KISAH
SEPASANG RAJAWALI
Cipt: Kho Ping Ho
Serial
Bu Kek Sian Su (9)
"Haaiiiii.... hiiyooooo....
huiiiiii....!"
"Yahuuuuu....! Wah, dengar, Lee-ko (kakak
Lee), suara terbawa angin tentu terdengar sampai jauh. Hiyooooohhhhh....!"
Mereka adalah dua orang anak laki-laki yang
menjelang dewasa, berusia empat belas tahun, berwajah tampan dan bertubuh tegap
kuat. Mereka ini kakak-beradik yang mempunyai ciri wajah berbeda sungguhpun
sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tampan. Yang disebut Lee-ko
adalah Suma Kian Lee, sedangkan adiknya itu adalah Suma Kian Bu, dan kedua
orang anak laki-laki ini bukan anak-anak nelayan biasa yang bermain-main dengan
perahu mereka, melainkan putera-putera Pendekar Super Sakti Suma Han atau yang
lebih terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman,
Majikan Pulau Es!
Pendekar Super Sakti yang mengasingkan diri
dari dunia ramai selama bertahun-tahun, tinggal di Pulau Es bersama dua orang
isterinya, yaitu Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang isteri yang cantik jelita
dan mencinta suaminya dengan sepenuh jiwa raga mereka. Di dalam cerita Sepasang
Pedang Iblis diceritakan betapa suami dengan kedua orang isterinya ini baru
berkumpul kembali di pulau itu setelah mereka berusia empat puluh tahun dan
hidup bertiga di pulau kosong itu, mengasingkan diri dari dunia ramai dan
saling mencurahkan kasih sayang yang terpendam selama belasan tahun berpisah!
Dari curahan kasih sayang yang amat mendalam
dan mesra itu, terlahirlah dua orang anak laki-laki itu. Lulu melahirkan
puteranya lebih dahulu, dan anak itu diberi nama Suma Kian Lee. Setengah tahun
kemudian, Nirahai juga melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Suma
Kian Bu. Tentu saja kelahiran dua orang anak laki-laki itu menambah rasa
bahagia di dalam kehidupan mereka bertiga sehingga tidak begitu terasalah kesunyian
di pulau itu. Dan setelah kedua orang anaknya terlahir, demi kepentingan dua
orang anaknya, Suma Han tidak lagi pantang bergaul dengan orang lain, bahkan
seringkali dia mengajak kedua orang puteranya pergi meninggalkan Pulau Es
mengunjungi pulau-pulau lain di dekat daratan besar yang dihuni oleh
nelayan-nelayan.
Karena kedua orang anak itu lebih mirip dengan
ibu masing-masing, maka biarpun keduanya sama tampan, namun terdapat perbedaan
dan ciri khas pada wajah mereka, juga semenjak kecil sudah tampak perbedaan
watak mereka yang menyolok sekali. Suma Kian Lee, putera Lulu, berwatak lembut
dan halus, sabar dan tidak pernah melakukan kenakalan, juga pendiam.
Sebaliknya, Suma Kian Bu, putera Nirahai, amat nakal dan periang, mudah tertawa
dan mudah menangis, bandel dan berani, akan tetapi juga amat mencinta kakaknya
dan betapapun nakalnya, akhirnya dia selalu tunduk dan taat kepada kakaknya.
Padahal dia berani membangkang terhadap ibunya sendiri, bahkan kadang-kadang
dia berani menentang ayahnya!
Pada pagi hari itu, ketika kedua orang ibu
mereka sedang sibuk di dapur darr ayah mereka seperti biasa di waktu pagi hari
duduk bersamadhi di dalam kamar samadhinya, mereka berdua bermain-main dengan
perahu mereka. Kenrudian timbul niatan tiba-tiba dalam kepala Suma Kian Bu
untuk pergi menggunakan perahu ke daratan besar dan mencari encinya (kakak
perempuannya) yang tinggal di kota raja! Memang anak ini mempunyai seorang
kakak perempuan yang bernama Puteri Milana. Puteri Nirahai adalah puteri Kaisar
Tiongkok yang lahir dari seorang selir, maka anaknya yang pertama, yang bernama
Milana, juga seorang puteri, cucu kaisar! Di dalam ceriteraSepasang Pedang
Iblis dituturkan betapa Puteri Milana, kakak Suma Kian Bu ini, oleh ayahnya
diharuskan ikut kakeknya, Kaisar Tiongkok, untuk tinggal di istana kaisar dan
selanjutnya mentaati semua perintah kakeknya itu. Akhirnya oleh kaisar, Puteri
Milana yang cantik jelita itu dijodohkan dengan seorang panglima muda yang juga
berdarah bangsawan, setelah panglima muda ini berhasil keluar dari sayembara
yang diadakan oleh Milana. Dara bangsawan itu, cucu kaisar, puteri Pendekar
Super Sakti, hanya mau dijodohkan dengan seorang yang mampu menahan serangannya
selama seratus jurus! Dan kalau dia menghendaki, sukarlah ditemukan orang yang
dapat menahan seratus jurus serangannya. Akan tetapi ketika Han Wi Kong,
panglima muda itu, memasuki sayembara, pemuda perkasa ini berhasil
mempertahankan diri dan dialah yang terpilih menjadi suami puteri jelita dan
perkasa itu! Sesungguhnya, hal ini hanya dapat terjadi karena memang Milana
memilihnya di antara sekian banyaknya pelamar yang datang memasuki sayembara.
Ketika diadakan pesta pernikahan Puteri
Milana, Pendekar Super Sakti bersama kedua orang isteri dan kedua orang
puteranya datang pula ke kota raja. Hal ini terjadi ketika kedua orang
puteranya masih kecil, baru berusia lima-enam tahun dan itulah pengalaman
pertama dari kedua orang anak ini melihat kota raja!
Demikianlah pagi hari itu, Suma Kian Bu
membujuk kakaknya untuk pergi menyusul kakak perempuannya di kota raja. Tentu
saja Suma Kian Lee menolak dan memperingatkan adiknya bahwa kota raja amatlah
jauh dan pergi ke sana tanpa ijin ayah mereka tentu akan membuat ayah mereka
marah. Akan tetapi, Suma Kian Bu merengek dan akhirnya Suma Kian Lee yang amat
sayang kepada adiknya, terpaksa menyanggupi dan berlayarlah keduanya
meninggalkan Pulau Es!
Biarpun kedua orang anak laki-laki itu baru
berusia empat belas tahun, akan tetapi sebagai putera-putera Pendekar Super
Sakti, tentu saja mereka tidak dapat disamakan dengan anak-anak lain yang
sebaya dengan mereka. Semenjak kecil mereka berdua telah digembleng oleh ayah
bunda mereka yang berilmu tinggi sehingga mereka merupakan dua orang anak-anak
yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan memiliki tenaga sin-kang
latihan Pulau Es yang mujijat. Betapapun juga, mereka hanyalah anak-anak dan
sifat anak-anak mereka yang suka bermain-main masih melekat dalam hati mereka.
Setelah mereka menjelang dewasa, jiwa petualang yang terdapat dalam hati semua anak
laki-laki, bergejolak dan kini dicetuskan oleh Kian Bu yang mengajak kakaknya
untuk pergi merantau, menyusul encinya di kota raja.
Perahu mereka telah jauh meninggalkan Pulau Es
karena angin di pagi hari itu bertiup kencang sehingga layar yang mereka pasang
berkembang penuh. Akan tetapi makin lama angin bertiup makin kencang sehingga
Kian Lee merasa khawatir sekali karena perahu mereka sudah miring-miring dan
meluncur terlalu cepat. Sebaliknya Kian Bu masih bermain-main, berdiri di
kepala perahu, bertolak pinggang dan berteriak-teriak membiarkan suaranya
dibawa angin.
"Bu-te, cepat bantu. Berbahaya kalau
begini, kurasa akan ada badai!" Kian Lee yang mengemudikan perahu dengan
dayungnya berteriak lagi.
Mendengar disebutnya "badai",
otomatis Kian Bu menghentikan teriakan-teriakannya dan air mukanya berubah.
Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menggulung layar dan membantu kakaknya
mendayung sambil berbisik, "Benarkah ada.... badai, Lee-ko?"
"Entahlah, mudah-mudahan saja
tidak," jawab kakaknya. "Dan payahnya, mungkin kita salah jalan,
Bu-te. Mengapa belum juga nampak daratan besar?"
Dua orang kakak-beradik ini memang agak gentar
terhadap badai. Pernah ayah mereka bercerita betapa hebatnya kalau badai telah
mengamuk di daerah lautan ini. Bahkan menurut cerita ayahnya, Pulau Es sendiri
pernah diamuk badai sampai tenggelam di bawah permukaan air laut! Betapa
mengerikan. Kata ayah mereka, dahulu pulau mereka itu merupakan sebuah
kerajaan, akan tetapi semua penghuninya dibasmi habis oleh badai dan hanya tinggal
bangunan istananya saja. Biarpun mereka berdua yang sejak kecil tinggal di
pulau dan tidak asing dengan lautan, bahkan ahli dalam ilmu renang, pandai pula
menguasai perahu, namun mendengar tentang badai sehebat itu, mereka merasa
gentar juga. Dan sekarang, berada di tengah lautan, jauh dari Pulau Es, mereka
merasa ngeri kalau-kalau ada badai akan mengamuk.
"Lee-ko, bukankah daratan besar letaknya
di sebelah barat?"
"Menurut ibu demikian dan tadi aku sudah
mengarahkan perahu ke barat. Akan tetapi, angin kencang mengubah haluan dan
kita agaknya menyimpang ke utara. Awas, Bu-te, angin makin kencang!"
Kedua orang pemuda tanggung itu kini tidak
bicara lagi, melainkan menggerakkan dayung dengan hati-hati untuk mengemudikan
perahu mereka yang mulai dipermainkan ombak. Makin lama angin makin kencang
bertiup dan ombak makin membesar sehingga perahu mereka diombang-ambingkan
seperti sebuah mainan kecil dipermainkan tangan-tangan raksasa! Mereka tidak
dapat lagi menentukan arah, hanya mempergunakan tenaga melalui dayung untuk
menjaga agar perahu mereka tidak sampai terbalik.
"Tenang saja, Bu-te...." di
tengah-tengah amukan ombak itu Kian Lee berkata kepada adiknya.
Kian Bu tersenyum. "Aku tidak apa-apa,
Lee-ko, harap jangan khawatir."
Dua orang pemuda tanggung itu memang memiliki
nyali yang amat besar. Biarpun keadaan mereka cukup berbahaya, namun keduanya
masih tenang saja, percaya penuh akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri.
"Dukk! Dukk!"
"Apa itu....?" Kian Bu berteriak
kaget, cepat menggerakkan dayung untuk membantu kakaknya mengatur keseimbangan
perahu yang tadi terpental seolah-olah ditabrak sesuatu.
"Hemm, ikan-ikan hiu....! Lihat itu
mereka!" Kian Lee berseru sambil menuding ke depan.
Tampaklah sirip-sirip ikan hiu yang berbentuk
layar itu meluncur di dekat perahu mereka. Agaknya ikan-ikan itu sudah tahu
bahwa perahu kecil itu ditumpangi dua orang yang tentu akan menjadi santapan
lezat bagi mereka kalau perahunya dapat terguling. Mereka tadi tidak sengaja
menabrak perahu, akan tetapi melihat dua orang di atas perahu, ikan-ikan itu
lalu berenang di kanan kiri perahu, agaknya menanti dengan tak sabar lagi
sampai dua orang manusia yang akan dijadikan mangsa mereka itu terjatuh ke air
dan diperebutkannya.
"Setan air!" Kian Bu memaki.
"Lee-ko, jaga perahu, biar kuhajar mereka!"
Tanpa menanti jawaban kakaknya, Kian Bu sudah
meloncat keluar dari perahunya, dipandang dengan mata penuh kegelisahan oleh
kakaknya. Kakak ini maklum akan keberanian dan kenakalan adiknya, akan tetapi
kadang-kadang dia harus menahan napas menyaksikan kenakalan Kian Bu, apalagi
sekarang! Kian Bu yang meloncat keluar itu, menggunakan kakinya hinggap di atas
sirip seekor ikan hiu besar, sedangkan dayung di tangannya, dayung yang
ujungnya dipasangi besi, dihantamkan ke kanan kiri mengenai dua ekor ikan hiu
lain, tepat di bagian kepala sehingga kepala dua ekor ikan itu pecah. Segera
terjadilah pesta pora, karena dua ekor ikan hiu yang terluka kepalanya dan
mengeluarkan darah itu telah dikeroyok oleh belasan ekor ikan hiu lainnya
sehingga dalam waktu sebentar saja daging mereka terobek-robek dan ditelan
habis. Kian Bu sudah meloncat lagi ke atas perahunya dan sambil tertawa-tawa
dia membantu kakaknya untuk mendayung perahu meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi karena gelombang lautan masih amat
besar, usaha mereka mendayung perahu itu hanya sedikit sekali hasilnya, perahu
mereka tetap saja diombang-ambingkan dan mereka tidak tahu lagi ke mana mereka
akan dibawa oleh perahu.
"Bu-te, lihat di sana ada pulau!"
Kian Bu menoleh ke kiri dan tampak olehnya
sebuah pulau kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak karena perahu mereka
masih dipermainkan ombak yang naik turun bergelombang. "Lee-ko, mari kita
ke sana!"
Dengan susah payah kedua orang kakak beradik
ini mendayung perahu mereka dan akhirnya mereka dapat juga mendarat di pulau
kecil itu dan menarik perahu sampai ke atas daratan yang tidak tercapai oleh
air yang bergelombang. Tiba-tiba mereka dikejutkan suara riuh rendah seperti
ada puluhan ekor anjing menggonggong dan menyalak. Ketika mereka naik ke tengah
pulau yang agak tinggi, tampaklah oleh mereka pemandangan yang menakjubkan.
Kiranya pulau itu merupakan tempat tinggal atau sarang dari sekawanan anjing
laut yang jumlahnya mungkin lebih dari seratus ekor!
"Lee-ko, betapa lucunya mereka. Mari kita
menangkap seekor anak anjing laut yang jumlahnya mungkin lebih dari seratus
ekor dan kita bawa pulang!" Kian Bu sudah berlari menuju ke tempat itu.
"Jangan, Bu-te!" Kian Lee melarang,
akan tetapi karena adiknya sudah berlari cepat, terpaksa dia mengejarnya.
Rombongan anjing laut itu makin hiruk-pikuk
mengeluarkan teriakan-teriakan mereka ketika melihat dua orang manusia yang
berlari menuju ke arah mereka itu, dan dalam sekejap mata saja mereka telah
terjun ke air dan berenang ke tengah laut. Tampak tubuh mereka itu timbul
tenggelam dan suara mereka masih menguik-nguik sebagai tanda kemarahan karena
ketenangan mereka terganggu.
"Bu-te, jangan ganggu mereka. Bukankah
tujuanmu mencari enci Milana, mengapa kau hendak menangkap anjing laut?"
Kian Lee menegur.
Kian Bu tertawa. "Aihhh, aku sudah lupa
lagi akan tujuan perjalanan kita, Lee-ko. Padahal, selain kita masih jauh dari
kota raja, sekarang kita bahkan tidak tahu lagi di mana kita berada."
Suara gerengan dahsyat yang menggetarkan pulau
itu mengejutkan mereka. Ketika mereka membalikkan tubuh, ternyata di depan
mereka telah berdiri seekor binatang yang besar sekali. Besar dan tinggi
binatang itu ada satu setengah kali manusia dewasa dan binatang itu adalah
seekor biruang es yang bulunya putih seperti kapas, mata dan moncongnya
kemerahan. Biarpun jarang mereka bertemu dengan seekor biruang es, namun kedua
kakak beradik itu mengerti bahwa binatang itu marah sekali. Mereka sudah siap
dan waspada menghadapi segala kemungkinan.
Sekali lagi binatang itu menggereng dan
tiba-tiba saja dia sudah menerjang ke depan. Biarpun tubuhnya amat besar dan
canggung, namun ternyata binatang itu dapat bergerak dengan cepat sekali, dan
dari sambaran angin tahulah dua orang kakak beradik itu bahwa biruang es ini
memlliki tenaga yang amat besar.
"Awas, Bu-te!" Kian Lee berseru
memperingatkan karena yang terdekat dengan biruang itu adalah Kian Bu, maka
pemuda inilah yang lebih dulu menjadi sasaran serangannya.
Kian Bu adalah seorang pemuda yang berani dan
agak ugal-ugalan, terlalu mengandalkan kepandaian dan tenaganya sendiri,
berbeda dengan kakaknya yang lebih berhati-hati. Melihat biruang itu
menubruknya dengan kedua kaki depan diangkat hendak mencengkeramnya dari kanan
kiri, Kian Bu cepat menggerakkan kedua tangan menangkis.
"Dukk!"
Tubuh Kian Bu terjengkang dan tenaga dahsyat
dari biruang itu membuat dia terguling-guling. Biruang itu agaknya juga merasa
nyeri kedua kakinya ketika terbentur oleh lengan pemuda yang mengandung tenaga
sin-kang itu, maka dia menggereng lagi penuh kemarahan, kemudian secepat kilat
dia menubruk pemuda yang masih bergulingan di atas tanah itu!
Melihat bahaya mengancam adiknya, Kian Lee
cepat menyambar dari samping, memukul ke arah kepala biruang sambil mengerahkan
tenaga Inti Es yang dahsyat. Dengan tenaga sin-kang istimewa ini, Kian Lee
sanggup menghantam remuk batu karang!
Akan tetapi ternyata biruang yang besar itu
gesit sekali, kegesitan yang dikuasainya bukan karena ilmu silat melainkan
karena keadaan hidupnya yang penuh bahaya setiap saat membuat dia gesit dan
waspada. Nalurinya tajam sekali dan perasaannya amat peka, maka begitu pukulan
dahsyat itu menyambar, dia sudah dapat mengelakkan kepalanya dan kedua kaki
depannya yang tadi menubruk ke arah Kian Bu kini menyimpang dan menghantam
pundak Kian Lee.
"Wuuuuttt.... dessss!" Kian Lee
cepat mengelak, melempar diri ke kanan, kemudian dari kanan dia sudah menampar
dengan telapak tangan kanannya yang tepat mengenai punggung biruang es.
Tamparan ini keras sekali, namun agaknya tidak terasa oleh biruang itu yang
hanya terhuyung sedikit, menurunkan kedua kaki depannya ke atas tanah, kemudian
secara tiba-tiba dia meloncat dan menubruk orang yang telah menampar pundaknya
itu.
"Awas, Lee-ko....!"
Kian Bu yang terkejut melihat serangan biruang
itu yang menubruk dengan cepat dan agaknya tak mungkin dapat dielakkan oleh
kakaknya karena jaraknya terlalu dekat, sudah berteriak dan menubruk ke depan.
Dia merangkul kedua kaki belakang biruang itu dari belakang sehingga biruang
yang sedang menubruk itu terguling, membawa tubuh Kian Bu terguling bersamanya!
Karena Kian Bu mempergunakan gin-kangnya, membuat tubuhnya ringan dan
gerakannya gesit sekali, dia berhasil jatuh di bagian atas, menindih tubuh
biruang es itu. Akan tetapi celaka baginya, binatang raksasa itu telah
menggunakan kedua kaki depannya yang amat kuat untuk merangkul pinggangnya dan
menarik sekuat tenaga, agaknya berusaha untuk mematahkan tulang punggung pemuda
itu.
"Auggghhh....!" Kian Bu mengerahkan
seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, akan tetapi ternyata binatang itu
memiliki tenaga kasar yang kuat sekali!
"Plak! Desss!" Tubuh binatang itu
terlempar ketika pada saat yang tepat Kian Lee telah menolong adiknya dengan
memukul tengkuk binatang itu dari atas, dan tepat pada saat itu juga, Kian Lee
telah menggunakan kedua tangannya untuk menghantam dada binatang itu. Menerima
pukulan Kian Lee yang dahsyat, seketika pelukan binatang itu mengendur, maka
ketika dadanya dihantam, dia terlempar dan bergulingan.
"Bu-te, hati-hati, dia buas sekali!"
Kian Lee memegang tangan adiknya dan kini kakak beradik itu berdiri
berdampingan, siap untuk mengeroyok binatang yang amat kuat itu. Biruang es
itupun berdiri di atas kedua kaki belakang, matanya makin merah menatap kedua
orang muda penuh kemarahan, mulutnya mendesis-desis memperlihatkan taringnya,
tetapi agaknya dia gentar juga menghadapi dua orang lawan yang cepat itu.
Akhirnya, tidak kuat dia menghadapi tatapan pandang mata yang amat tajam dan
pantang menyerah dari kedua orang muda itu, biruang ini mundur-mundur, kemudian
membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari situ.
"Bu-te, mari kita lekas kembali ke
perahu. Tempat ini berbahaya," kata Kian Lee yang segera lari diikuti oleh
adiknya, kembali ke perahu mereka. Mereka cepat menarik perahu ke laut dan
ternyata bahwa laut telah mulai tenang. Kini tampaklah sebuah pulau memanjang
yang berwarna hitam, tak jauh membentang di depan.
"Agaknya pulau itu tidak seliar tempat
ini, Lee-ko. Mari kita ke sana, siapa tahu kita dapat bertemu dengan nelayan
dan kita dapat bertanya arah ke daratan besar kepadanya."
Kian Lee setuju dan mereka lalu mengembangkan
layar. Angin perlahan meniup layar dan tak lama kemudian mereka telah tiba di
pulau yang kelihatan penuh dengan hutan liar itu. Tadinya mereka merasa
ragu-ragu untuk mendarat, akan tetapi ketika mereka melihat sebuah perahu kecil
berwarna hitam berada di tepi pantai, mereka menjadi girang dan cepat
mendaratkan perahu mereka dekat perahu hitam, kemudian mereka meloncat turun.
Akan tetapi baru saja kedua orang kakak
beradik ini melangkah menuju ke tengah pulau, tiba-tiba dari dalam hutan tampak
belasan orang berlari-larian keluar dan yang mengejutkan hati kedua orang
pemuda Pulau Es itu adalah ketika mereka melihat gerakan belasan orang itu.
Gerakan mereka ketika berlari amat cepat, tubuh mereka berkelebatan seperti
terbang, tanda bahwa belasan orang itu telah memiliki ilmu meringankan tubuh
yang tinggi! Yang lebih mengherankan dan menyeramkan lagi adalah seorang yang
memimpin rombongan itu, seorang kakek yang usianya tentu sudah lima puluh tahun
lebih, tubuhnya seperti raksasa, tinggi besar dan dua pasang kaki tangannya
yang tampak sebatas lutut dan siku, penuh dengan otot-otot yang
melingkar-lingkar!
Siapakah mereka itu? Pertanyaan ini mengganggu
pikiran kedua kakak beradik itu. Tentu saja mereka tidak tahu dan mereka sama
sekali juga tidak pernah menyangka bahwa mereka yang diserang gelombang besar
itu ternyata telah kesasar ke Pulau Neraka! Pulau Neraka adalah sebuah pulau
yang baru dua-tiga puluh tahun ini terkenal sekali, bahkan sama terkenalnya
dengan Pulau Es. Sebetulnya, Pulau Neraka ini menurut riwayatnya masih ada
hubungannya dengan Pulau Es (baca ceritera Sepasang Pedang Iblis).
Dahulu kala, ratusan tahun yang lalu, ketika di Pulau Es masih terdapat sebuah
kerajaan kecil, Pulau Neraka merupakan tempat pembuangan orang-orang yang
melakukan dosa besar. Akhirnya, setelah kerajaan di Pulau Es terbasmi habis
oleh badai (baca ceritera Bu-kek Sian-su) sehingga seluruh penghuninya
tewas, Pulau Neraka dengan penghuninya merupakan daerah yang bebas. Bahkan di
dalam ceriteraSepasang Pedang Iblis , Lulu isteri Pendekar Super Sakti
pernah pula menjadi ketua atau majikan dari Pulau Neraka ini.
Setelah Pulau Neraka kehilangan semua tokohnya
dan tidak ada yang memimpin lagi, terjadilah perebutan kekuasaan. Akan tetapi
baru tiga tahun yang lalu, Pulau Neraka kedatangan seorang kakek raksasa yang
amat sakti, yang dengan kepandaiannya menundukkan semua penghuni Pulau Neraka
sehingga otomatis dia diangkat menjadi ketua.
Dia memperkenalkan diri dengan nama julukan
Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam) dan memang dia pantas memakai nama
julukan seperti itu karena selain tubuhnya seperti raksasa dan mukanya yang
terhias caling itu seperti iblis, juga dia datang ke Pulau Neraka dengan
menunggang seekor burung rajawali hitam! Lebih hebat lagi, di belakang burung
rajawali hitam ini terdapat dua ekor burung rajawali lain yang berbulu putih
dan bermata emas, akan tetapi dua ekor burung rajawali ini masih muda dan
agaknya takluk kepada burung rajawali hitam sehingga dia ikut saja ke mana sang
rajawali hitam itu terbang.
Hek-tiauw Lo-mo memang seorang sakti. Dia
datang dari daratan negara Kolekok (Korea) dan di sana dia menjadi orang buruan
pemerintah karena dia merupakan seorang penjahat yang kejam dan dimusuhi
pemerintah dan semua orang gagah. Karena merasa tidak aman berada di negaranya
sendiri, Hek-tiauw Lo-mo melarikan diri dengan sebuah perahu ke selatan. Di
dunia selatan, dia berhasil menjadi raja suatu bangsa yang masih biadab dan
yang tinggal di dalam hutan-hutan pegunungan yang amat liar. Karena kepandaian
dan kekuatannya, bangsa biadab ini tunduk kepadanya dan sampai sepuluh tahun
dia menjadi raja mereka. Selain dapat memperoleh ilmu-ilmu yang aneh dan
tinggi, juga Hek-tiauw Lo-mo ini ketularan kebiasaan dan kesukaan bangsa itu,
yaitu kadang-kadang makan daging manusia, musuh mereka dari lain suku yang
menjadi kurban perang! Agaknya kebiasaan memakan daging orang inilah yang kemudian
membuat gigi calingnya menonjol keluar, membuat dia kelihatan menyeramkan,
seperti seorang iblis.
Setelah tidak kerasan lagi tinggal bersama
orang-orang liar dan merasa rindu kepada dunia ramai, Hek-tiauw Lo-mo dengan
membekal pengalaman hebat dan ilmu kepandaian yang tinggi, menggunakan perahu
meninggalkan tempat itu untuk kembali ke utara. Kini dia tidak takut lagi
dimusuhi oleh siapa pun juga karena dia mempunyai andalan ilmu-ilmu yang tinggi
dan sakti. Akan tetapi, ketika dia berlayar mencari negaranya, dia tersesat
jalan dan akhirnya dia tiba di sebuah pulau kosong yang tak pernah didatangi
manusia. Di tempat ini dia diserang oleh tiga ekor burung rajawali tadi, akan
tetapi karena kepandaiannya, dia berhasil menundukkan mereka, bahkan membuat rajawali
hitam yang liar dan ganas itu menjadi jinak dan menjadi binatang tunggangannya.
Adapun dua ekor rajawali putih yang masih muda, menurut saja kemana pun
perginya rajawali hitam, maka sekaligus dia memperoleh tiga ekor binatang
peliharaan yang boleh diandalkan!
Setelah memiliki binatang tunggangan yang
hebat ini, dia mencari lagi negaranya dengan menunggang rajawali hitam. Akan
tetapi kembali dia tersesat, dan kini rajawali itu membawanya turun ke Pulau
Neraka! Begitu melihat keadaan pulau ini dan melihat para penghuninya yang
rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi seketika hatinya tertarik. Dia
menundukkan mereka semuaa dengan kepandaiannya dan mengangkat diri sendiri
menjadi ketua Pulau Neraka. Dan karena selama perantauannya dia sudah membuang
nama sendiri, melupakan nama itu yang dianggap sebagai nama buronan yang
rendah, maka dia memperkenalkan dirinya sebagai Hek-tiauw Lo-mo. Nama Hek-tiauw
diambil dari nama tunggangannya, seekor burung rajawali hitam, dan nama Lo-mo
diambilnya karena dia memang merasa sebagai seorang iblis tua yang cocok
menjadi ketua Pulau Neraka!
Demikianlah, selama tiga tahun Hek-tiauw Lo-mo
menjadi ketua Pulau Neraka, dan dia malah menurunkan ilmu kepada para penghuni
Pulau Neraka yang kini hanya tinggal dua puluh orang pria dan tujuh orang
wanita itu. Empat orang di antara tujuh orang wanita yang masih muda, biarpun
mereka sudah menjadi isteri empat orang penghuni Pulau Neraka, secara paksa
diambil oleh Hek-tiauw Lo-mo sebagai selir-selirnya sendiri! Dan dia
menganjurkan kepada anak buahnya untuk mencari wanita dari perkampungan
nelayan. Dalam tiga tahun itu, bertambahlah penghuni Pulau Neraka dengan tiga
puluh orang wanita lagi, wanita-wanita muda yang mereka culik dari perkampungan
nelayan di sekitar laut itu.
Kedua kakak-beradik dari Pulau Es yang tadinya
merasa girang melihat bahwa di pulau asing itu ada penghuninya, yang
menimbulkan harapan bahwa mereka akan dapat menanyakan arah menuju ke daratan
besar, kini menjadi terkejut sekali melihat orang-orang ini ternyata berkepandaian
tinggi, bersikap liar dan rata-rata mereka mempunyai wajah yang pucat putih
seperti dikapur, kecuali wajah kakek raksasa itu. Lebih kaget lagi hati mereka
melihat orang-orang itu telah mengurung mereka dengan sikap mengancam.
"Huah-ha-ha-hahh!" Hek-tiauw Lo-mo
tertawa bergelak saking girang hatinya melihat dua orang laki-laki muda yang
bertubuh tegap sehat dan bersih itu. Mulutnya mengeluarkan air liur ketika
seleranya bangkit!
Sebaliknya, Kian Lee dan Kian Bu terkejut
sekali dan memandang dengan hati ngeri melihat betapa kakek raksasa itu
ternyata bercaling seperti biruang es yang belum lama ini mereka lawan!
Melihat sikap mereka yang mencurigakan dan
mengkhawatirkan itu, Kian Lee sudah mengangkat tangan depan dada, menjura
sambil berkata, "Harap Cu-wi sudi memaafkan kami berdua kalau kami
mengganggu Cu-wi dan datang di sini tanpa ijin Cu-wi. Kami datang hanya ingin
menanyakan sesuatu kepada Cu-wi."
Mendengar cara bicara pemuda tampan itu yang
halus dan teratur rapi, Hek-tiauw Lo-mo kembali tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, menarik sekali! Katakanlah, orang muda yang tampan, apa yang
hendak kalian tanyakan kepada kami?"
Kian Lee tak ingin berpanjang cerita maka dia
berkata singkat, "Kami berdua tersesat jalan karena terbawa gelombang
lautan dan kami ingin bertanya ke manakah arah daratan besar."
Hek-tiauw Lo-mo menoleh kanan kiri memandang
anak buahnya, tetsenyum menyeringai lalu berkata, "Dengarkah kalian?
Mereka sudah datang ke daratan sini masih ingin mencari daratan besar.
Heh-heh!"
Semua penghuni Pulau Neraka yang kini telah
datang berkumpul, tersenyum lebar menyeringai. Dua orang pemuda tanggung itu
menjadi makin gelisah dan mulailah mereka menduga bahwa tentu akan terjadi hal
yang tidak baik bagi mereka.
"Kalau Cu-wi tidak mau memberi tahu,
biarlah kami pergi lagi saja dan kami tidak akan mengganggu lebih lama lagi.
Marilah, Lee-ko!" kata Kian Bu yang sudah hilang sabarnya menyaksikan
sikap mereka.
"Hai, nanti dulu! Kalian hendak pergi ke
mana?" Hek-tiauw Lo-mo berkata nyaring dan semua anak buahnya sudah
bergerak menghadang kedua orang muda itu.
"Kami hendak pergi dari sini!" Kian
Bu membentak, marah sudah. Melihat kemarahan adiknya, Kian Lee cepat berkata
dengan suara masih penuh kesabaran dan ketenangan,
"Harap Cu-wi tidak menghalangi kami yang
hendak pergi lagi dengan aman."
"Ha-ha-ha, tidak begitu mudah,
orang-orang muda yang baik! Siapapun dia yang sudah mendarat di Pulau Neraka,
tidak dapat pergi begitu saja!"
"Pulau Neraka....?" Kedua orang muda
itu terbelalak setelah mengeluarkan kata-kata ini. Tentu saja mereka telah
mendengar akan Pulau Neraka dari penuturan orang tua mereka, bahkan Kian Lee
tahu pula bahwa ibu kandungnya dahulu adalah ketua Pulau Neraka!
"Aihhh! Jadi kalian ini adalah para
penghuni Pulau Neraka dan kami berdua berada di Pulau Neraka? Sungguh kebetulan
sekali!" teriak Kian Bu dengan girang.
"Ha-ha-ha, mengapa kaukatakan kebetulan,
orang muda?" tanya Hek-tiauw Lo-mo, agak kecewa mengapa kedua orang pemuda
tanggung ini tidak takut mendengar nama Pulau Neraka.
"Karena ibu kami, ibu kandung kakakku
ini, pernah menjadi ketua Pulau Neraka ini!"
"Bu-te....!" Kian Lee terkejut
melihat adiknya yang begitu sembrono mengakui hal itu.
Benar saja, kakek itu terkejut sekali, akan
tetapi lebih terkejut lagi adalah para penghuni Pulau Neraka itu yang kini
memandang kepada Kian Lee dengan mata bengong dan penuh selidik. Mereka semua
tahu bahwa majikan mereka yang dahulu, kini telah menjadi isteri Pendekar Super
Sakti di Pulau Es. Hek-tiauw Lo-mo yang tidak mengenal apa yang dimaksudkan
dengan wanita ketua Pulau Neraka itu, bertanya mendesak, "Benarkah
demikian?"
Karena adiknya sudah terlanjur bicara, maka
Kian Lee lalu berkata dengan suara tenang, dan sesungguhnya, "Tidak salah
ucapan adikku. Ibuku pernah menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi sekarang
ibuku adalah penghuni Pulau Es. Kami berdua datang dari Pulau Es, kami adalah
dua orang putera Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es."
Mendengar ucapan ini, semua penghuni Pulau
Neraka terbelalak dan serta merta mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap ke
arah dua orang pemuda itu! Melihat betapa semua anak buahnya memperlihatkan
sikap menghormat kepada dua orang muda yang mengaku datang dari Pulau Es itu,
Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah sekali. Dia membanting kedua kakinya yang sebesar
kaki gajah itu ke atas tanah sehingga tanah sekeliling tempat dia berdiri
tergetar seperti dilanda gempa bumi!
"Bangun semua! Hayo bangkit semua, yang
tidak bangkit akan kubunuh!"
Tentu saja para anak buah Pulau Neraka terkejut
dan ketakutan. Cepat mereka bangkit berdiri sungguhpun mereka masih memandang
ke arah Kian Lee dan Kian Bu dengan sikap sungkan.
Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat ke depan dan
dua orang pemuda tanggung itu melihat betapa gerakan kakek ini ringan sekali,
sama sekali tidak sepadan dengan tubuhnya yang demikian besarnya.
"Bagus! Jadi kalian adalah putera
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Siapa sih itu Pendekar Super Sakti? Baru
sekarang aku mendengar namanya! Tadinya kalian akan kujadikan pesta, daging
kalian yang muda tentu enak dipanggang. Akan tetapi karena kalian adalah
orang-orang Pulau Es, biarlah aku menjadikan kalian tahanan di sini. Hendak
kulihat apa yang akan dapat dilakukan oleh Pendekar Super Sakti!"
Tiba-tiba seorang yang tua dan tubuhnya gendut
tinggi besar, menjatuhkan diri berlutut di depan ketuanya.
"Ji Song, kau mau bicara apa?"
Hek-tiauw Lo-mo membentak, masih marah karena para anak buahnya tadi memberi
penghormatan besar kepada dua orang pemuda itu.
Ji Song adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang
boleh dibilang tertua, juga dia lihai sekali dan menjadi orang kedua setelah
Hek-tiauw Lo-mo. Tentu saja sebagai tokoh tua, dia cukup mengenal kehebatan
Pendekar Super Sakti yang amat ditakutinya itu (baca cerita Sepasang Pedang
Iblis). Maka begitu mendengar tantangan ketuanya, dia takut akan akibatnya,
kalau Pendekar Super Sakti mengamuk, bukan hanya ketua Pulau Neraka, mungkin
seluruh penghuni Pulau Neraka akan menanggung akibatnya.
"Tocu, harap maafkan saya.... akan tetapi
saya harap tocu tidak main-main dengan.... dengan Pendekar Super Sakti, Majikan
Pulau Es. Hendaknya tocu percaya kepada saya dan.... dan sebaiknya kalau kedua
orang pemuda ini dibebaskan saja agar jangan timbul banyak urusan yang akan
memusingkan saja."
Raksasa itu mengelus jenggotnya dan
mengangguk-angguk. "Hemmm, kalau bukan engkau yang bicara aku tentu tidak
akan percaya, Ji Song. Penghuni Pulau Neraka takut terhadap seorang manusia
lain? Engkau membangkitkan keinginan tahuku lebih besar lagi, melihat engkau sendiri
begitu takut! Seperti apakah Pendekar Super Sakti?"
"Seperti apa? Kalau dia datang, jangan
harap engkau akan dapat hidup lebih lama lagi!" Tiba-tiba Kian Bu berkata
dengan suara mengejek. "Pula, tidak perlu ayah datang, kami berduapun
tidak takut menghadapi kalian!"
"Bu-te....!" Kian Lee mencela
adiknya, kemudian dengan suara halus dia berkata kepada ketua Pulau Neraka itu,
"Harap tocu suka memaafkan kami dan apa yang dikatakan oleh lopek itu tadi
benar. Sebaiknyalah kalau di antara kita tidak timbul permusuhan apa-apa. Harap
tocu membiarkan kami pergi."
"Nanti dulu, orang muda. Tidak begitu
mudah menggertak Hek-tiauw Lo-mo, ha-ha-ha! Boleh jadi ayah kalian itu
berkepandaian tinggi dan membikin takut hati para penghuni Pulau Neraka, akan
tetapi aku yang belum pernah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, sama sekali
tidak takut!"
"Habis, apa yang hendak kaulakukan
terhadap kami?" Kian Bu membentak lagi saking marahnya. Kalau tidak
melihat sikap kakaknya, tentu dia sudah menerjang maju dan menggunakan
kekerasan untuk membebaskan diri dan meninggalkan pulau berbahaya itu.
"Ha-ha-ha, seperti melihat bumi dengan
langit. Begitu besar perbedaan antara mereka, akan tetapi begitu sama tampan
dan gagahnya! Orang-orang muda yang gagah dan tampan, siapakah nama
kalian?"
"Namaku adalah Suma Kian Lee dan dia ini
adalah adikku, Suma Kian Bu. Sekali lagi aku mengharap kebijaksanaan tocu untuk
membebaskan kami dan biarlah kami akan menceritakan kepada ayah kami akan
kebaikan hatimu itu."
"Oho! Kau hendak menggunakan nama ayahmu
untuk menakuti aku?"
"Habis, kau mau apa?" Kian Bu
membentak.
"Kalian tidak boleh meninggalkan pulau
ini sampai ayah kalian datang. Kalau benar ayah kalian super sakti dan dapat
mengalahkan aku, ha-ha-ha, hal yang sama sekali tak mungkin, kalau aku kalah,
baru kalian boleh pergi bersama ayahmu."
"Manusia sombong! Aku tidak takut, hendak
kulihat bagaimana kau hendak menangkap aku!" Kian Bu membentak lagi dan
sudah memasang kuda-kuda dengan kokoh, kedua kakinya menyilang dan agak ditekuk
lututnya, kedua lengan di depan dan di belakang tubuh, sikap yang siap
menghadapi pengeroyokan banyak lawan yang mengurungnya. Kian Lee yang kini
maklum bahwa tidak mungkin dapat membujuk ketua Pulau Neraka, juga sudah
bersiap untuk membela diri, akan tetapi sikapnya tenang dan penuh kewaspadaan,
cepat dia meloncat di belakang tubuh adiknya sehingga mereka berdua berdiri
saling membelakangi dan dengan demikian saling melindungi.
"Heh-heh-heh, luar biasa! Ji Song,
perintahkan lima orang untuk menangkap mereka. Hendak kulihat gerakan mereka.
Dari gerakan anak-anaknya, tentu aku akan dapat mengukur kepandaian
ayahnya," kata raksasa itu sambil tertawa penuh kegirangan.
Kedua alis Ji Song berkerut. Dia takut sekali
terhadap Pendekar Super Sakti. Sudah sering kali dia menyaksikan kehebatan
sepak terjang pendekar yang menjadi Majikan Pulau Es itu. Bahkan bekas
ketuanya, wanita yang memiliki kepandaian tinggi, sekarang menjadi isteri
Pendekar Super Sakti dan seorang di antara kedua pemuda ini, yang bersikap
tenang dan gagah, adalah putera bekas ketuanya. Tentu saja dia menjadi jerih
sekali dan kalau saja tidak takut kepada ketuanya yang baru ini, yang dia tahu
juga amat lihai dan kejam, tentu dia akan cepat-cepat membiarkan kedua orang
muda itu pergi, seperti membiarkan kedua ekor singa muda yang masuk ke dalam
rumahnya. Sekarang terpaksa dia menyuruh lima orang pembantunya yang paling
lihai untuk maju menangkap kedua orang muda ini.
"Tangkap mereka, akan tetapi jangan
sampai mereka terluka," perintahnya kepada lima orang anak buahnya itu.
Lima orang itu, tidak berbeda dengan Ji Song,
adalah penghuni-penghuni lama Pulau Neraka, tentu saja merekapun gentar
terhadap Pendekar Super Sakti dan terhadap Lulu, bekas ketua mereka. Ngeri rasa
hati mereka kalau mengingat bahwa mereka disuruh melawan putera bekas ketua
mereka itu! Akan tetapi karena mereka maklum bahwa kalau mereka berani
membangkang, tentu ketua mereka yang baru takkan ragu-ragu membunuh mereka,
bahkan mungkin makan daging mereka, lima orang itu mengangguk lalu meloncat
maju mengurung dua orang muda itu.
Kian Lee dan Kian Bu tidak bergerak, tetap
memasang kuda-kuda seperti tadi, tubuh mereka seperti arca, sedikitpun tidak
bergerak, hanya mata mereka yang melirik ke kanan kiri mengikuti gerakar lima orang
pengurung mereka itu. Seluruh urat syarat di dalam tubuh mereka menegang dan
dalam keadaan siap siaga.
Lima orang itu juga tidak berani turun tangan
secara sembrono karena mereka dapat menduga bahwa dua orang muda ini tentulah
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Maka mereka lalu mengurung sambil melangkah perlahan-lahan mengelilingi dua
orang muda itu, saling memberi tanda dengan mata untuk mengatur gerakan mereka.
Ternyata mereka itu hendak menggunakan bentuk barisan Ngo-seng-tin (Barisan
Lima Bintang) seperti yang diajarkan oleh ketua mereka yang baru. Melihat
gerakan anak buahnya ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan mengelus
jenggotnya dengan girang, mulutnya tersenyum-senyum dan dia sudah merasa yakin
bahwa dalam beberapa gebrakan saja dua orang muda itu tentu sudah dapat
diringkus dan ditawan.
Tiba-tiba seorang di antara lima penghuni
Pulau Neraka itu mengeluarkan teriakan yang menyayat hati saking tinggi
lengkingnya, dan teriakan ini disusul oleh teriakan keempat orang kawannya.
Teriakan-teriakan ini mempunyai wibawa yang amat kuat dan dengan
teriakan-teriakan ini saja, musuh yang kurang kuat sin-kangnya sudah akan dapat
dirobohkan! Harus diketahui bahwa tingkat kepandaian para penghuni Pulau Neraka
tidak boleh disamakan dengan dahulu ketika Lulu masih men jadi ketua di situ (bacaSepasang
Pedang Iblis). Ketika Lulu masih menjadi ketua, belasan tahun sampai dua puluh
tahun yang lalu, kepandaian anak buah Pulau Neraka memang sudah hebat dan tingkat
kepandaian atau kekuatan sin-kang mereka ditandai dengan warna muka mereka.
Muka mereka sebagai akibat keracunan ketika berlatih di Pulau Neraka, berubah
menjadi berwarna-warna, ada yang merah, merah muda, biru, hijau, kuning dan
sebagainya. Makin muda warna muka mereka, makin tinggilah kepandaian mereka
dan makin kuat sin-kang mereka. Ji Song yang kini menjadi pembantu utama ketua
baru, dahulu bermuka merah muda, merupakan tingkat ketiga dari Pulau Neraka.
Akan tetapi sekarang, semenjak Hek-tiauw Lo-mo menjadi ketua, tokoh sakti ini
telah memberikan latihan baru dan kepandaian para penghuni Pulau Neraka
meningkat demikian hebatnya sehingga warna muka mereka telah berubah menjadi
putih semua. Putih seperti dikapur! Hal ini bukan merupakan tanda bahwa racun
Pulau Neraka yang mengeram di tubuh mereka lenyap, sama sekali tidak, bahkan
perubahan itu datang karena hawa beracun lain yang lebih hebat memasuki tubuh
mereka. Hawa beracun yang tidak mengancam keselamatan nyawa, melainkan yang
mendatangkan tenaga sakti beracun yang hebat!
Mendengar lengking-lengking mengerikan dan
menyayat hati itu, Kian Lee dan Kian Bu cepat mengerahkan sin-kang mereka.
Biarpun kedua orang pemuda tanggung ini telah memiliki tingkat kepandaian
yang luar biasa tingginya, akan tetapi mereka tidak pernah bertempur dengan
lawan tangguh, maka kini menghadapi pengeroyokan lima orang yang menggunakan
khi-kang untuk merobohkan mereka itu mereka menjadi terkejut sekali. Mereka
mampu mempertahankan serangan suara khi-kang ini dengan mudah, namun rasa kaget
di hati mereka membuat tubuh mereka agak bergoyang. Hal ini disalahtafsirkan
oleh Hek-tiauw Lo-mo. Goyangan tubuh kedua orang pemuda tanggung ini
dianggapnya sebagai tanda bahwa sin-kang mereka tidaklah begitu kuat, maka dia
tertawa bergelak dan membentak, “Lekas tangkap mereka!”
Mendengar aba-aba yang keluar dari mulut sang
ketua sendiri, lima orang itu cepat bergerak. Seorang di antara mereka
mendahului kawan-kawannya, menyerang Kian Lee, orang kedua menyerang Kian Bu
sedangkan tiga orang yang lain sudah menerjang ke tengah-tengah di antara kedua
orang muda itu.
Kian Lee dan Kian Bu dengan mudah dapat
menangkis serangan lawan masing-masing, akan tetapi ketika melihat tiga orang
yang lain menyergap ke bagian kosong di antara punggung mereka, keduanya
terkejut dan melompat dengan menggeser kaki. Sambil mengelak ini, Kian Lee
merendahkan tubuhnya, kakinya bergerak menyapu dengan keCepatan kilat dan
seorang lawan terpelanting! Kian Bu juga mengelak dengan melompat ke atas, dengan
gaya yang amat indah tubuhnya berjungkir balik di udara dan kedua tangannya
bergerak menyambar ke arah kepala dua orang pengeroyok lain. Gerakannya cepat
sekali dan tidak terduga-duga, juga amat ganas karena serangannya adalah
serangan yang dapat mendatangkan maut. Kalau jari tangannya menemui sasaran,
yaitu ubun-ubun kepala, lawan yang betapa kuatpun tentu akan terancam bahaya
maut! Akan tetapi, seorang di antara mereka melempar diri ke belakang sehingga
terluput dari serang an itu, yang kedua menangkis dan inilah kesalahannya.
Biarpun ditangkis, karena Kian Bu menyerang dari atas dan menggunakan inti
tenaga Im-kang yang dingin, tetap saja orang itu mengeluh, tubuhnya menggigil
dan roboh terguling! Dia tidak terluka hebat, akan tetapi tubuhnya terbanting
dan dia harus cepat bergulingan menyelamatkan diri. Memang keistimewaan
sin-kang yang dilatih di Pulau Es adalah sin-kang yang mengandung hawa
dingin. Dan seperti gumpalan es yang dingin, sin-kang ini amat kuat terhadap
perlawanan dari bawah, amat kuat untuk menekan ke bawah, berbeda dengan
Yang-kang yang berhawa panas dan kuat sekali untuk mendorong, terutama ke atas,
sesuai pula dengan kekuatan api yang panas.
Dalam segebrakan saja, dua orang pengeroyok
telah terguling. Biarpun mereka tidak roboh terluka, namun mereka telah
terguling dan barisan mereka telah kacau, hal ini menunjukkan betapa hebatnya
dua orang muda itu! Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan melongo. Dia tadi sudah
girang menyaksikan gerakan lima orang anak buahnya dan dia melihat pula betapa
lima orang itu menggunakan Ngo-seng-tin dengan baiknya. Bahkan gebrakan
pertama, sebagai serangan pembuka tadi sudah amat baik, yang dua orang
memancing perhatian kedua lawan, yang tiga orang mendobrak untuk membuat dua
orang kakak-beradik itu terpisah dan tidak saling melindungi dengan berdiri
saling membelakangi. Akan tetapi, biarpun kedua kakak beradik itu kini
berpisah, fihak anak buahnya yang menderita rugi, dan kalau dikehendaki, kedua
orang pemuda remaja itu tentu telah dapat berdiri saling melindungi lagi. Akan
tetapi agaknya mereka menganggap hal itu tidak perlu. Dan memang benar.
Gebrakan pertama tadi membuat Kian Lee dan Kian Bu maklum bahwa para pengeroyok
mereka tidaklah sehebat yang mereka duga. Pertemuan tangan ketika menangkis,
gerakan mereka ketika menyergap, sekaligus membuat kakak beradik ini mengerti
bahwa untuk menghadapi lima orang ini saja, mereka berdua tidak perlu untuk
saling melindungi! Bahkan kini Kian Bu berkata, “Lee-ko, mundurlah dan biarlah
aku main-main dengan mereka ini.”
Kian Lee percaya akan kekuatan adiknya, maka
dia mengangguk lalu mundur dan berdiri dengan sikap tenang. Hal ini tentu
membuat Hek-tiauw Lo-mo makin terheran. Benarkah lima orang anak buahnya hanya
akan dihadapi oleh seorang pemuda saja? Pemuda itu masih belum dewasa benar,
baru lima belas tahun usianya. Biarpun menerima pendidikan orang pandai, tentu
belum matang kepandaiannya dan banyak pengalamannya. Hatinya merasa penasaran
sekali dan perasaannya menegang ketika dia melihat lima orang anak buahnya
sudah menerjang maju dengan gerakan berbareng, dari lima jurusan menubruk dan
seperti lima ekor burung rajawali memperebutkan seekor kelinci, mereka itu
mengulur lengan dengan jari-jari terbuka, siap hendak mencengkeram dan
menangkap.
Kian Bu yang memang merasa penasaran dan
marah sekali melihat sikap ketua Pulau Neraka, kini menggunakan kepandaiannya
dan mengerahkan sin-kangnya. Sengaja dia hendak memperlihatkan kepandaiannya,
maka tubuhnya sudah bergerak seperti gasing, berputar dan sekaligus dia telah
dapat menangkis lengan lima orang lawannya dengan keras sekali sehingga lima
orang lawannya itu berteriak kaget karena tiba-tiba saja mereka merasa betapa
hawa yang amat dingln menjalar melalui lengan yang ditangkis, membuat mereka
menggigil! Itulah inti yang dilatihnya di Pulau Es, tenaga Im-kang yang disebut
Swat-in Sin-ciang (Inti Salju). Melihat limag orang lawannya dapat dibuatnya
mundur dengar tangkisan tadi, kini tubuhnya bergerak cepat dan kedua lengannya
meluncur ke arah lima orang itu seperti dua ekor ular yang bergerak ganas dan
cepat sekali. Pemuda ini telah mainkan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular
Sakti) yang dipelajarinya dari ibunya, Puteri Nirahai. Demikian cepatnya kedua
lengannya itu bergerak sehingga sukar diikuti pandangan mata para
pengeroyoknya, juga amat sukar diduga terlebih dahulu.
“Bu-te, jangan lukai orang!” Kian Lee berseru
karena dia tidak menghendaki adiknya yang berwatak keras itu menimbulkan
keributan dan memperbesar permusuhan dengan Pulau Neraka.
Untung bagi lima orang Pulau Neraka itu bahwa
Kian Bu selalu mentaati perintah kakaknya, kalau tidak, tentu mereka itu akan
tewas! Mendengar ucapan kakaknya, Kian Bu mengubah totokannya yang tadinya
ditujukan kepada jalan darah berbahaya dengan tamparan-tamparan yang mengenai
dada mereka. Tamparan yang tidak begitu keras tetapi akibatnya cukup hebat.
Berturut-turut lima orang itu mengeluh, tubuh mereka menggigil dan tergulinglah
mereka ke atas tanah.
Melihat lima orang anak buahnya menggigil dan
muka mereka kebiruan, Ji Song cepat menghampiri mereka dan dengan menempelkan
telapak tangannya sebentar dalam gerakan menekan, dia telah menyalurkan
sin-kang dan membantu mereka mengusir keluar hawa dingin yang menyesak dada.
Lima orang itu maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda tanggung itu, maka
mereka lalu mundur mentaati isyarat mata yang diberikan Ji Song kepada mereka.
Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya yang sudah
terhias uban. Sama sekali tidak diduganya keadaan akan menjadi demikian. Lima
orang anak buahnya kalah oleh seorang pemuda tanggung, hanya dalam segebrakan
saja! Hal yang tidak mungkin! Akan tetapi jelas telah terjadi! Gerakan dengan
pemuda itu tadi amat cepat dan hebat, dilakukan dengan tenang, ciri khas ilmu
silat yang tinggi tingkatnya. Mulai khawatirlah hatinya. Benarkah ayah kedua
orang pemuda yang berjuluk Pendekar Super Sakti itu amat hebat ilmunya? Tidak,
tidak bisa dia percaya bahwa di dunia ini ada seorang tokoh yang akan mampu
menandinginya.
“Bagus sekali!” Hanya satu kali dia menggerakkan
kaki dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Kian Bu dan Kian Lee. Sejenak dia
menatap wajah kedua orang pemuda tanggung itu. “Kalian ternyata memiliki juga
sedikit kepandaian. Hendak kulihat apakah kalian dapat bertahan sampai sepuluh
jurusmelawanku. ”
“Tocu, mengapa tocu mendesak kami? Kami berdua
orang muda sama sekali tidak mempunyai niat untuk melawan tocu. Mana kami
berani bersikap begitu kurang ajar?” Kian Lee masih berusaha membujuk ketua
itu.
“Ha-ha-ha, apakah kalian takut?”
Mati Kian Bu yang sudah merasa tidak puas
menyaksikan sikap kakaknya yang terlalu mengalah, kinl meledak menjadi
remarahan mendengar tantangan ketua itu. Dia bertolak pinggang dan membenak,
“Iblis tua, siapa takut kepadamu?”
Kian Lee terkejut mendengar adiknya memaki,
akan tetapi karena memang julukan ketua itu adalah Iblis Tua Rajawali Hitam,
maka disebut Lo-mo (Iblis Tua) oleh Kian Bu, ketua itu tidak menjadi marah,
bahkan tertawa. “Kalau tidak takut, lekas maju dan menyerangku.”
Kian Bu sudah siap, mengepal kedua tinjunya.
“Bu-te, perlahan dulu “ kakaknya memperingatkan.
“Ha-ha, orang muda yang halus. Kaupun boleh
maju. Majulah kalian berdua dan hendak kulihat apakah kalian berdua sanggup
bertahan sampai sepuluh jurus.”
“Kakek sombong!” Kian Bu membentak lagi.
“Mari kita maju, Lee-ko. Dia yang menantang dan akan malulah ayah dan ibu kalau
kita tidak menyambut tantangannya!”
Klan Lee mengangguk kepada adiknya dan
berkata, “Hati-hatilah, Bu-te, jangan sembrono.”
Melihat kedua orang pemuda itu sudah siap,
Hek-tiauw Lo-mo tertawa. “Ha-ha-ha, majulah kalian....”
Sejenak mereka saling berpandangan. Kakek itu
berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangannya di pinggang.
Celana yang pendek, hanya sebatas lutut itu membuat dia kelihatan seperti
seorang pengemis saja, akan tetapi kedua kakinya kelihatan bersih dan putih
kulitnya, walaupun penuh dengan bulu dan otot yang melingkar-lingkar. Juga
kedua lengannya yang hanya tertutup baju dengan lengan sampai ke siku,
kelihatan kekar dan kuat.
“Hyaaattt....!” Kian Bu yang sudah marah
sekali itu kini sudah mendahului kakaknya, menerjang maju dan kembali dia
menggunakan ilmu simpanan yang dipelajarinya dari ibunya yaitu sebuah jurus
pilihan dari Ilmu Silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa). Mula-mula dia
meloncat ke depan sambil memekik nyaring, dari atas tubuhnya menerjang dengan
pukulan tangan kanan mengarah dahi lawan, sedang tangan kiri mencengkeram ke
arah pusar, akan tetaoi secara tiba-tiba sekali gerakan yang hanya merupakan
pancingan itu berubah sama sekali, tubuhnya menurun dan tahu-tahu pukulannya
berubah menjadi serangan dari bawah, menotok ke arah ulu hati dan menonjok ke
arah perut. Inilah jurus yang disebut Ciu-san-hoan-eng (Dewa Arak Menukar
Bayangan).
“Ha-ha, bagus!” Kakek itu mengubah kedudukan
kakinya yang tadi terpentang lebar, dengan loncatan kecil dia mundur, kini
menggunakan kuda-kuda dengan kaki kiri di depan dan kanan di belakang, tubuh
agak merendah, kedua lengannya yang berotot bergerak cepat, yang kiri menangkis
totokan lawan, yang kanan bergerak menangkap pergelangan tangan kiri Kian Bu.
“Dukkkk!” Pertemuan kedua lengan ketika kakek
itu menangkis mengejutkan hati Kian Bu karena dia merasa betapa seluruh
tubuhnya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sin-kang kakek itu kuat bukan main,
sedangkan tangan kirinya yang tadinya memukul, kini tanpa dapat dihindarkan
lagi karena luar biasa cepatnya gerakan lawan, tahu-tahu telah dicengkeram
pergelangannya oleh kakek itu yang masih tertawa-tawa! Kian Bu mengerahkan Swat-im
Sin-ciang, akan tetapi kakek itu masih enak saja tertawa, seolah-olah tenaga
Inti Salju itu tidak ada artinya baginya. Padahal, diam-diam kakek itu juga
terkejut bukan main ketika merasa betapa hawa dingin yang tak dapat dilawannya
menyusup melalui tangan pemuda itu memasuki lengannya!
Kian Lee lebih hati-hati daripada adiknya.
Ketika tadi dia melihat adiknya menyerang dengan dahsyat, dia diam saja, hanya
mendekat dan siap membantu. Dia maklum bahwa kakek ketua Pulau Neraka ini
tentu lihai sekali dan dugaannya ternyata tepat ketika melihat betapa
menghadapi serangan adiknya yang amat dahsyat itu, Hek-tiauw Lo-mo tidak hanya
dapat menangkis, bahkan berhasil memegang pergelangan tangan kiri Kian Bu.
“Wuuuuutttt.... plak-plak!”
Kedua pukulan Kian Lee yang mengarah lambung
dan tengkuk kakek itu dapat ditangkis dengan tepat oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan
tetapi ketika melihat datangnya pukulan yang mendatangkan angin dingin ini,
terpaksa dia melepaskan tangan Kian Bu karena maklum bahwa serangan pemuda
kedua inipun hebat sekali. Dia makin penasaran dan mulailah dia mengeluarkan
kepandaiannya, tubuhnya bergerak-gerak seperti orang menari, akan tetapi
tarian yang liar dan buruk, dan memang ilmu silat kakek ini bersumber kepada
tari-tarian bangsa yang masih liar dan belum beradab, dan melihat unsur-unsur
ajaib dalam gerakan tari liar ini, dia lalu menciptakan semacam ilmu silat
dengan menggabungkan unsur-unsur itu dengan inti ilmu silat yang pernah
dipelajarinya.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat!
Pertandingan antara seorang kakek raksasa yang dikeroyok oleh dua orang pemuda
tanggung, yang membuat semua penghuni Pulau Neraka, bahkan Ji Song sendiri,
terbelalak dan ternganga penuh kagum. Tubuh tiga orang itu berkelebatan,
kadang-kadang lenyap terbungkus bayangan lengan mereka, kadang-kadang mencelat
ke sana-sini, sehingga bagi mereka sukar sekali menentukan siapa di antara
kedua fihak yang mendesak dan siapa pula yang terdesak!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan penuh
penasaran rasa hati Hek-tiauw Lo-mo! Tadi dia menantang dan mengejek karena dia
merasa yakin bahwa dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia tentu akan
berhasil mengalahkan dua orang pemuda tanggung itu dan mampu menawannya. Akan
tetapi siapa mengira, setelah lewat lima puluh jurus belum juga dia mampu
mengalahkan mereka, bahkan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban
kedahsyatan serangan mereka, dan setiap kali bertemu dengan tangan mereka,
tentu ada hawa dingin menyusup yang sungguhpun dapat dilawannya dengan
sin-kangnya yang amat kuat, namun tetap saja dia merasa kulit lengannya
dingin seperti terkena salju.
Rasa penasaran membuat kakek ini merasa malu
dan marah. Malu kepada para anak buahnya dan marah kepada kedua orang pemuda
itu. Akan tetapi untuk menjatuhkan tangan maut, dia merasa sayang. Selain
keinginan makan daging mereka yang timbul melihat daging muda mereka yang
menimbulkan seleranya, juga dia ingin menggunakan mereka sebagai pancingan agar
orang yang berjuluk Pendekar Super Sakti yang amat ditakuti oleh semua penghuni
Pulau Neraka itu datang ke tempat itu.
“Terimalah ini....!”
Kedua tangan kakek itu bergerak. Kian Lee dan
Kian Bu terkejut dan cepat mereka bergerak mengelak karena mengira bahwa kakek
itu tentu menggunakan senjata rahasia untuk menyerang mereka. Akan tetapi
tiba-tiba tampak benda seperti kabut atau uap tebal mengurung mereka dan
ketika mereka berdua meloncat, ternyata bahwa kabut itu adalah sebuah jala
yang terbuat dari bahan tipis sekali namun amat ulet dan kuat! Ketika mereka
berdua meloncat, tubuh mereka tentu saja terhalang jala dan mereka berdua
terguling. Jala yang aneh itu makin menggulung mereka dan kedua orang pemuda
tanggung itu tak dapat meloloskan diri, betapapun mereka meronta-ronta dan
menarik-narik jala tipis itu. Penggunaan jala sebagai senjata ini memang luar
biasa sekali. Jala itu sedemikian tipisnya sehingga tadi dapat dikepal di kedua
tangan Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi setelah dilempar dan dikembangkan, dapat
menyelimuti tubuh kedua orang pemuda itu. Senjata istimewa ini merupakan
sebuah di antara senjata-senjata yang hebat dan aneh dari Hek-tiauw Lo-mo, dan
jala ini dibuatnya ketika dia menjadi raja bangsa biadab di dalam hutan liar di
selatan, bahannya dibuat dari otot-otot binatang semacam rubah aneh yang hanya
terdapat di dalam hutan itu. Otot-otot binatang ini amat ulet, sukar dibikin
putus oleh senjata tajam sekalipun, dan memiliki sifat melar seperti karet.
Setelah menotok jalan darah kedua orang pemuda
itu, Hek-tiauw Lo-mo menyimpan kembali jalanya dan memerintahkan kepada Ji
Song, “Tangkap dan belenggu mereka! Masukkan ke dalam kamar tahanan dan jaga
jangan sampai lolos, akan tetapi perlakukan mereka dengan baik.”
Ji Song meneruskan perintah ini kepada anak
buahnya dan setelah kedua orang pemuda yang tak dapat bergerak lagi itu
digotong pergi, Hek-tiauw Lo-mo berkata kepada Ji Song, “Suruh orang
menyampaikan berita ke Pulau Es bahwa mereka kita tawan.”
“Maaf, tocu. Apakah tocu sudah memikirkan
secara mendalam persoalan ini?” Ji Song berkata. “Apa gunanya bermusuh dengan
Pendekar Super Sakti? Diapun tidak pernah mengganggu kita. Lebih baik kedua
orang pemuda itu dibebaskan saja.”
Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya. “Tidak
mengganggu kita, ya? Bukankah aku mendengar dari kalian bahwa Pulau Neraka ini
dahulunya merupakan tempat pembuangan? Pembuangan dari kerajaan di Pulau Es?”
“Itu adalah sejarah dahulu, tocu. Akan tetapi
kini Kerajaan Pulau Es telah tidak ada, bahkan kabarnya Pendekar Super Sakti
pun bukan keturunan dari Kerajaan Pulau Es.”
“Sudah, diamlah, Ji Song! Aku merasa penasaran
kalau belum dapat bertemu dengan dia dan mengalahkannya.”
“Dia sakti sekali, tocu.”
“Aku tidak takut. Aku sudah siap
menghadapinya. Pula, kedua orang puteranya berada di tangan kita, takut apa?”
***
Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan Kian Bu yang
tertawan di Pulau Neraka dan dijadikan umpan oleh Hek-tiauw Lo-mo untuk
memancing datang Pendekar Super Sakti, dan marilah kita menengok peristiwa
lain yang terjadi pada waktu itu, terjadi jauh di sebelah barat daratan besar.
Negara Bhutan berada jauh di selatan Tiongkok,
merupakan sebuah kerajaan kecil namun yang rakyatnya memiliki kebudayaan
tinggi, menjadi perpaduan dan perantara antara Negara India dan Tiongkok.
Karena dihimpit oleh dua buah negara besar yang memiliki kebudayaan tinggi itu,
Nepal atau Bhutan mencangkok kebudayaan keduanya dan karenanya di situ
terdapat banyak orang-orang pandai dari kedua negara itu.
Daerah Pegunungan Himalaya terkenal sebagai
pegunungan yang paling tinggi di seluruh dunia, paling tinggi dan paling luas.
Selain amat luas, juga pegunungan ini amat terkenal sebagai tempat yang suci,
bahkan bagi yang percaya terdapat keyakinan bahwa para dewa yang tersebut
dalam dongeng-dongeng bertempat tinggal di pegunungan inilah! Karena kepercayaan
ini agaknya, dan terutama sekali karena keindahan alamnya dan kesunyiannya,
maka Pegunungan Himalaya menjadi tempat pelarian para pendeta, pertapa dan
manusia-manusia yang ingin mengasingkan diri dari dunia ramai.
Di sebuah dusun tak jauh dari kota raja, di
kaki Pegunungan Himalaya, pada suatu pagi yang sejuk, tampaklah belasan orang
pria yang bertubuh tegap dan kuat sedang berlatih ilmu silat. Tubuh mereka,
dari yang besar sampai yang kecil kurus, kelihatan kuat dan berisi tenaga besar
ketika mereka bergerak secara berbareng dengan tubuh atas telanjang, hanya
memakai celana panjang dan sepatu, rambut mereka dikuncir semua, mengikuti
petunjuk dan aba-aba yang keluar dari mulut seorang kakek berwajah tampan gagah
yang bertopi bulu. Kakek ini usianya sudah tua sekali, tentu kurang lebih ada
delapan puluh tahun, namun sikapnya masih gagah sungguhpun gerak-geriknya halus
dan wajahnya tampan terpelihara.
Suaranya masih lantang ketika dia mengeluarkan
aba-aba agar gerakan mereka yang sedang berlatih itu dapat seirama, sedang kaki
tangannya masih tangkas ketika dia memberi contoh gerakan.
“Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan!
Tu-wa-ga-pat-ma-nam-ju-pan!” Demikian aba-abanya, makin cepat pula gerakan
mereka yang sedang berlatih, terdengar angin bersiut dan buku-buku lengan kaki
berkerotokan ketika mereka bergerak memukul dan menendang.
“Hemm, mengapa pula engkau, Ceng Ceng?” Kakek
itu menghentikan hitungannya, membiarkan para murid itu bergerak dengan irama
mereka sendiri, sedangkan dia melangkah ke arah kanan sebelah kiri rombongan
pemuda yang sedang latihan itu kemudian berhadapan dengan seorang dara remaja
yang tadinya ikut pula berlatih. Dara remaja itu tentu belum ada lima belas
tahun usianya, wajahnya cantik manis, bentuk tubuhnya kecil ramping namun juga
padat berisi, pakaiannya sederhana dan rambutnya yang panjang dan gemuk itu
dibagi menjadi dua kucir yang besar dan panjang, bergantungan di depan
dadanya. Kedua kakinya masih memasang kuda-kuda seperti mereka yang sedang
berlatih, akan tetapi kedua lengannya tidak melakukan gerakan memukul-mukul
lagi, mulutnya yang kecil mungil itu cemberut dan matanya yang lebar seperti
sepasang bintang itu membayangkan kekesalan hati.
Dara itu tidak menjawab teguran kakeknya
melainkan mengurut-urut bahu dan lengannya, kepalanya menunduk dan kedua
kakinya diluruskannya kembali.
Kakek itu menghela napas panjang. “Hahhhh....
kau.... terlalu, Ceng Ceng! Selalu tidak mentaati perintahku. Mula-mula kau
akhir-akhir ini tidak mau berlatih dekat para suhengmu....”
“Kong-kong (kakek), bagaimana aku tahan
berlatih dekat mereka. Keringat mereka memercik ke sana-sini!” Dara itu
membentak.
Kakek itu menahan geli hatinya. Gadis yang
menjadi cucunya ini selalu ada saja bahan untuk menyangkal dan membantah, dan
selalu menyatakan sesuatu dengan jujur sehingga kadang-kadang lucu. Memang tak
dapat dibantah bahwa tubuh-tubuh sehat tanpa baju itu di waktu berlatih
mengeluarkan banyak keringat dan gerakan cepat itu membuat keringat mereka
memercik ke sana-sini!
“Sekarang, latihan yang amat penting ini
kauabaikan juga.”
“Habis, kaki tanganku sudah pegal dan kaku
semua, kong-kong! Masa untuk satu jurus saja harus diulang sampai limaratus
kali!”
“Hemm, kau tidak tahu keganasan jurus istimewa
ini. Jurus Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga) ini
merupakan satu di antara jurus-jurus pilihan dari ilmu silat kita. Diulang
sampai limaratus kalipun kalau belum sempurna harus diulang terus!”
“Apa gerakanku belum sempurna?”
“Engkau sudah menguasai gerakan ilmu silat
kita, akan tetapi para abangmu itu. Mereka harus diberi semangat, dan dengan
melihat gerakanmu, mereka tentu akan lebih tekun. Lihat, betapa besar semangat
mereka melatih jurus ini.”
Dara yang bernama Ceng Ceng itu menengok dan
mulutnya yang tadi merengut kini tersenyum mengejek, cuping hidungnya agak
bergerak. “Semangat apa? Mereka semua menoleh ke sini!”
Kakek itu cepat menengok dan benar saja.
Mereka itu masih bergerak, akan tetapi mata mereka semua mengerling ke arah
dara itu sehingga kelihatannya lucu.
“Ihh, engkau yang menjadi gara-gara!” Kakek
itu memaki lirih, kemudian menghampiri lagi ke depan para muridnya dan kembali
terdengar hitungannya yang menambah semangat. Kini para murid itu tidak berani
lagi mengerling ke arah sumoi mereka. Terpaksa pula Ceng Ceng juga bergerak
lagi, akan tetapi biarpun gerakannya lemas dan baik, dia tidak menggunakan
tenaga sehingga kalau para suhengnya itu ngotot dengan pengerahan tenaga, dia
kelihatan lebih mirip dengan orang menari!
Kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dia
dahulu bekerja sebagai seorang pengawal kaisar di Tiongkok, memiliki ilmu
kepandaian tinggi dalam ilmu silat dan ilmu sastera. Namun nasib malang menimpa
diri kakek ini ketika dia sudah mengundurkan diri sebagai pengawal dengan adanya
peristiwa yang menimpa keluarganya sehingga akhirnya dia mengasingkan diri di
dusun terpencil di kaki Pegunungan Himalaya ini. Ketika masih berada di
Tiongkok, kakek ini sudah kehilangan putera tunggalnya dan mantunya, dan
hanya hidup berdua dengan seorang cucunya, cucu wanita yang bernama Lu Kim
Bwee. Kurang lebih limabelas tahun yang lalu, peristiwa hebat menimpa diri Lu
Kim Bwee ini. Cucunya yang juga telah digemblengnya dengan ilmu silat itu, pada
suatu malam telah dibuat tidak berdaya oleh seorang muda dan diperkosa!
Akibatnya, Lu Kim Bwee mengandung! Semua peristiwa itu diceritakan dengan
jelas dalam cerita Sepasang Pedang Iblis.
Melihat penderitaan cucunya itu, Lu Kiong lalu
mengajak Lu Kim Bwee untuk pergi meninggalkan Tiongkok dan akhirnya mereka
tinggal di dusun kecil di kaki Pegunungan Himalaya itu. Di tempat terpencil
dan sunyi ini, Lu Kim Bwee melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi
malang sekali, ibu muda itu meninggal dunia ketika melahirkan karena memang dia
selalu berduka dan batinnya terhimpit oleh peristiwa yang memalukan dirinya
itu. Anak yang terlahir selamat itu diberi nama Lu Ceng dan sesungguhnya anak
ini adalah cucu buyut dari kakek Lu Kiong, akan tetapi diaku sebagai cucunya.
Biarpun kini penghidupannya di dalam dusun itu
bersama cucu buyutnya dapat dikatakan tenteram dan penuh damai, namun kakek
yang tua ini masih selalu gelisah kalau mengingat akan masa depan cucu buyutnya
itu. Pernah dia ditekan dan merasa terdesak oleh pertanyaan Ceng Ceng yang
berwatak periang, cerdik dan jenaka itu, yaitu pertanyaan mengenai ayah dara
itu. Dia tadinya hanya memberi tahu kepada Ceng Ceng bahwa nama ibunya adalah
Lu Kim Bwee. Dara yang cerdik itu cepat membantah.
“Tidak mungkin itu, kong-kong!”
“Apanya yang tidak mungkin?”
“Kalau ibu she Lu, mengapa aku juga she Lu?”
“Ahh.... kau sebetulnya.... ah, engkau memang
she Lu, cucuku.”
“Hemm, kong-kong menyembunyikan sesuatu
dariku! Siapakah ayahku? Dan di mana ayah? Apakah dia sudah meninggal? Mengapa
pula aku tidak diberi she (nama keturunan) ayahku?”
Dihujani pertanyaan ini, kakek Lu Kiong
menjadi sibuk sekali dan akhirnya dia mengaku juga.
“Ayahmu bernama.... Gak Bun Beng.”
“Gak Bun Beng....” Dara itu membisikkan nama
itu seolah-olah hendak menanamkan nama itu di dalam hatinya. “Kalau begitu,
namaku adalah Gak Ceng, bukan Lu Ceng!”
“Tidak, Ceng Ceng!” Kakek itu membentak dan
terkejutlah dara itu karena selamanya belum pernah dia mendengar suara kakeknya
mengandung kemarahan seperti itu.
“Mengapa, kong-kong?”
“Namamu tetap Lu Ceng!”
“Tapi ayahku....”
“Tidak! Kau tidak perlu memakai nama keturunan
orang itu!”
“Mengapa....?” Wajah Ceng Ceng menjadi berubah
agak pucat.
“Dia.... dia.... telah meninggalkan ibumu,
membuat ibumu hidup sengsara sehingga meninggal dunia ketika melahirkan kau.”
“Ouhhh....” Ceng Ceng kecewa bukan main
mendengar ini. Akan tetapi pikirannya yang cerdik itu menduga-duga. Tidak
mungkin agaknya ayahnya meninggalkan ibunya begitu saja tanpa sebab.
“Mengapa ayah meninggalkan ibu?” desaknya
lagi.
“Entahlah. Dia bukan orang baik, karena itu
kau harus memakai nama keturunan kita, nama keturunan Lu.”
“Aku akan mencari ayah, biar kutanya sendiri
mengapa dia sampai hati meninggalkan ibu!”
“Jangan....! Takkan ada gunanya, dia.... dia
sudah mati....”
“Ouhhh....” Dan kini dara itu terisak
menangis.Lu Kiong menarik napas panjang. Hatinya terasa perih mengenangkan
semua peristiwa yang menimpa diri cucunya, Lu Kim Bwee, belasan tahun yang
lalu. Tentu saja dia tidak mau membuka rahasia itu, tidak sampai hati dia
menceritakan cucu buyutnya ini bahwa ibunya diperkosa orang, bahwa dia adalah
seorang anak haram! Dia tidak ingin melihat dara ini menjadi menyesal dan
berduka, merasa rendah dan membenci ayahnya sendiri. Biarlah riwayat yang
mendatangkan aib itu dikubur bersama meninggalnya Lu Kim Bwee dan Gak Bun
Beng. Tentu saja diapun tidak mau menceritakan bahwa Gak Bun Beng, ayah dara
ini, tewas di tangan ibunya sendiri, yaitu ketika Lu Kim Bwee mengeroyok Gak
Bun Beng dengan wanita-wanita yang lain yang juga menjadi korban keganasan
jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) itu! Tentu saja kakek ini, juga cucunya, Lu
Kim Bwee yang telah meninggal dunia ketika melahirkan Ceng Ceng, sama sekali
tidak pernah menduga bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng, yang mereka
sangka telah tewas itu, sebetulnya sama sekali belum tewas (baca ceritaSepasang
Pedang Iblis).
Untuk mengisi kekosongan hidupnya di dusun
yang terpencil di kaki Pegunungan Himalaya itu, kakek Lu Kiong menerima
murid-murid untuk dilatih ilmu silat. Tentu saja dia memilih dalam penerimaan
murid ini, dan setelah dia kumpulkan, hanya ada lima belas orang pemuda di
sekitar daerah itu yang diterimanya menjadi murid-muridnya. Tentu saja karena
Ceng Ceng telah digemblengnya sejak kecil sedangkan penerimaan murid dilakukan
setelah Ceng Ceng berusia dua belas tahun, maka biarpun Ceng Ceng disebut
sumoi (adik perempuan seperguruan) namun dalam hal ilmu silat dara ini jauh
lebih pandai daripada semua suhengnya.
Kekesalan hati Ceng Ceng di pagi hari itu
bukan hanya karena dia jemu berlatih silat. Sama sekali tidak. Sesungguhnya
dia amat gemar berlatih ilmu silat dan bakatnya amat baik. Akan tetapi pagi
itu lain lagi. Ada berita menggemparkan bahwa rombongan utusan kaisar
Tiongkok akan lewat di dusun itu dalam perjalanan mereka menuju ke kota raja,
untuk memboyong puteri Raja Bhutan ke Tiongkok karena puteri itu telah
dijodohkan dengan seorang pangeran Mancu yang menguasai Tiongkok di waktu itu.
Rombongan utusan kaisar Mancu ini kabarnya membawa pula peralatan dan
hadiah-hadiah istimewa sehingga semua penduduk di daerah yang akan dilalui
rombongan telah bersiap-siap untuk menonton! Tentu saja Ceng Ceng, seorang
dara remaja yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan dan haus akan segala
yang menarik hati, ingin sekali menonton maka latihan-latihan keras yang
diadakan kakeknya pada saat seperti itu membuat hatinya mendongkol.
Betapapun juga, Ceng Ceng tidak mau membantah
lagi kepada kong-kongnya, apalagi di depan lima belas orang suhengnya. Dan dia
sudah ikut pula berlatih, biarpun hanya dengan setengah hati. Latihan
berjalan tertib kembali dan yang terdengar hanya bentakan-bentakan mereka yang
mengikuti pukulan-pukulan tertentu, suara pernapasan dan suara kakek yang
menghitung dengan irama yang khas.
Suara tambur yang terdengar tiba-tiba, datang
dari jauh dan makin lama makin mendekat, kini terdengar keras diselingi
sorak-sorai suara anak-anak, membuat Ceng Ceng hampir menangis. Suara tambur
itu seolah-olah mengejeknya, seolah-olah mengiringi gerakannya berlatih.
Ketika ia melirik ke arah kong-kongnya dan para suhengnya, mereka itu masih
tenggelam ke dalam semangat yang tetap menggelora. Hampir Ceng Ceng
terisak-isak dan lari dari tempat itu, akan tetapi ia merasa malu kepada para suhengnya,
dan takut kepada kong-kongnya. Betapa besar keinginan hatinya untuk pergi
menonton rombongan utusan itu! Utusan raja dari Tiongkok! Banyak sudah dia
mendengar tentang kehebatan kota raja di sana, akan tetapi hanya mendengar dari
cerita kakeknya, kota raja di Tiongkok seratus kali lebih besar dan lebih
megah dibandingkan dengan kota raja dengan istananya dan rumah-rumah besar di
Bhutan yang sudah pernah dilihatnya. Dan sekarang, selagi kesempatan tiba
dengan datangnya rombongan utusan kaisar, dia tidak bisa menonton, bahkan
harus terus berlatih silat! Siapa tidak akan mendongkol hatinya?
Pada saat itu seorang pelayan memasuki kebun
tempat berlatih itu, menghadap kakek Lu Kiong dan memberitahukan bahwa di luar
datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan kakek Lu Kiong. Kakek itu lalu
menggapai muridnya yang pertama.
“Kaulanjutkan, wakili aku memimpin latihan ini
baik-baik. Aku akan menemui tamu.”
“Baik, suhu!”
Kakek itu pergi setelah menoleh ke arah
cucunya, kemudian menghela napas dan pergi bersama pelayan itu memasuki
rumahnya. Begitu kakek itu lenyap di balik pintu, Ceng Ceng serta merta
menghentikan latihannya dan berlari meninggalkan tempat latihan menuju ke
pintu samping kebun itu.
“Haiii.... sumoi....! Kau tidak boleh pergi!”
kata murid pertama yang mewakili gurunya.
Akan tetapi Ceng Ceng telah tiba di pintu
kebun samping, dan mendengar seruan twa-suhengnya (kakak seperguruan pertama),
dia membalikkan tubuh dengan gaya mengejek, membusungkan dada, membuka bibir
dari kanan kiri dengan kedua telunjuknya dan menjulurkan lidahnya untuk
mengejek suhengnya itu, kemudian tertawa terkekeh dan lari dari tempat itu.
Twa-suhengnya hanya menarik napas panjang saja karena apa dayanya terhadap
sumoinya yang manja dan bengal itu? Kalau dia berkeras melarang, salah-salah
dia bisa dilawan oleh sumoinya, dan tentu saja dia tidak menghendaki hal ini.
Dia dan para saudara seperguruannya terlampau sayang kepada sumoi yang cantik
jelita, bengal akan tetapi selalu mendatangkan kegembiraan karena wataknya
yang periang dan jenaka itu. Dan dia tahu pula betapa besar keinginan hati
sumoinya untuk menonton rombongan utusan kaisar.
***
Hati Ceng Ceng merasa gembira bukan main.
Dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri dia menonton rombongan yang megah
itu lewat di dusun untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja yang tidak
begitu jauh lagi letaknya dari dusun itu. Bersama para penonton lain yang
terdiri dari anak anak dan orang tua laki-laki dan wanita, Ceng Ceng terus
terbawa oleh rombongan itu. Tanpa terasa kedua kakinya mengikuti rombongan
yang berpakaian indah-indah, membawa bendera dan tombak tanda kebesaran yang
mengutus mereka, barang-barang berharga dipikul dan berada di dalam peti-peti
yang berukir indah. Dengan hati kagum Ceng Ceng terus mengikuti rombongan itu,
bersama banyak anak-anak lain dan para penonton, menuju ke kota raja.
Akan tetapi setibanya rombongan itu di pintu
gerbang istana di kota raja Bhutan, para penonton itu tentu saja tidak
diperkenankan masuk! Penonton menjadi semakin banyak, tertambah oleh penduduk
di sekitar istana di kota raja itu sendiri dan dari dusun-dusun lain yang
sengaja datang ke kota raja untuk menonton keramaian ini. Para penjaga dengan
ketat menjaga pintu gerbang dan tidak memperkenankan rakyat untuk memasuki
pintu gerbang. Karena hal ini mendatangkan rasa kecewa dan protes para
penonton, terutama anak-anak berusia belasan tahun, maka terjadilah sedikit
kekacauan, dorong-mendorong sehingga di pintu gerbang yang tidak berapa lebar
itu terjadi desak-mendesak.
Keadaan menjadi makin kacau lagi ketika
beberapa orang penjaga terpelanting roboh dan hal ini dilakukan oleh Ceng Ceng
ketika dara ini yang berusaha untuk memasuki pintu gerbang dengan nekat,
dipegang pundaknya oleh seorang penjaga. Ketika penjaga melihat dara yang
cantik manis dan masih remaja ini, dengan kurang ajar penjaga itu mengusap dagu
Ceng Ceng dan lain tangannya berusaha untuk meraba dada. Ceng Ceng menjadi
marah, kaki kirinya menendang tulang kering kaki penjaga itu dan selagi penjaga
itu berjingkrak saking merasa nyeri sekali seolah-olah tulang keringnya remuk
dan rasa nyeri naik sampai ke ulu hati, Ceng Ceng menendang lututnya membuat
penjaga itu terjungkal! Tiga orang penjaga lain datang, seorang di antara
mereka menunggang kuda, akan tetapi begitu Ceng Ceng bergerak, mereka
terpelanting roboh juga, termasuk yang menunggang kuda. Tentu saja keadaan
menjadi ribut dan kacau. Anak-anak yang nakal mempergunakan kesempatan ini
untuk menyelinap masuk, dan ada penjaga yang berusaha mencegah mereka, ada pula
yang mengurung Ceng Ceng, dan keadaan makin kacau balau.
Dua orang perwira dari rombongan utusan kaisar
maju. Dengan tangan yang membentuk cakar garuda mereka hendak menangkap dara
yang membuat kekacauan itu karena mereka merasa curiga bahwa dara itu tentulah
mata-mata musuh yang sengaja hendak menggagalkan tugas mereka. Akan tetapi
dengan teriakan nyaring dan marah karena mengira bahwa dua orang perwira
inipun hendak berbuat kurang ajar kepadanya, Ceng Ceng sudah menggerakkan kaki
tangannya dengan cepat dan dua orang perwira itupun terpelanting mencium tanah!
Keadaan menjadi semakin ribut dan kini para penjaga maklum bahwa dara remaja
itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh
dipandang rendah!
“Harap Cu-wi mundur semua, biarlah saya
menghadapi pengacau cilik ini!” Suara itu terdengar nyaring dan dalam rombongan
kaisar muncullah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun kurang
lebih, berpakaian preman namun melihat wibawanya dalam rombongan itu dia
tentulah seorang yang penting. Memang demikian sesungguhnya. Pria ini adalah
seorang pengawal pribadi kaisar sendiri, seorang yang ditunjuk untuk
melindungi rombongan utusan yang penting itu. Orang ini bertubuh tegap, tidak
seberapa tinggi, akan tetapi yang amat menarik perhatian adalah bentuk
jenggotnya yang menyolok. Jenggot itu panjang sekali, dipelihara baik-baik dan
berjuntai sampai ke perutnya! Jenggot itu merupakan sebuah cambuk tebal dari
bulu halus, berwarna mengkilap hitam terhias beberapa warna putih dari uban
yang mulai banyak menghias rambut dan jenggotnya.
Pengawal berjenggot panjang ini melangkah
maju, mukanya yang bengis dan keras itu agak berseri ketika dia berkata, “Nona
cilik, berani kau membikin kacau di sini? Hayo lekas berlutut dan menyerah
kepada para penjaga untuk ditangkap!”
“Plak-plak-plak-plak!” Sampai empat kali kedua
tangan pengawal kaisar itu dapat ditangkis oleh Ceng Ceng dan pengawal itu
merasa kaget dan terheran-heran sekali. Sungguh tidak pernah diduganya bahwa
di pintu gerbang Istana Raja Bhutan, dia bertemu dengan seorang dara remaja
yang masih berbau kanak-kakak yang dapat menangkis terkamannya sampai empat
kali!
“Bagus, kau boleh juga!” Dan tiba-tiba
pengawal ini menggerakkan kepalanya dan.... bagaikan seekor ular hitam, atau
sebatang cambuk, jenggot pengawal itu telah meluncur dan menotok ke arah jalan
darah di leher Ceng Ceng! Dara ini terkejut dan berteriak kaget, akan tetapi
tidak percuma dia menjadi cucu buyut bekas pengawal kaisar, tidak percuma kakek
Lu Kiong menggemblengnya selama bertahun-tahun sejak dia kecil. Reaksinya
terhadap serangan jenggot yang leb1h menjijikkan dan mengerikan hatinya
daripada menakutkan itu, membuat diapun menggerakkan kepalanya dan.... dua
helai kucirnya yang tadinya tergantung ke belakang punggung itu kini melayang
ke depan dan menyambut jenggot lawannya!
“Plakkkk!” Ujung jenggot bertemu dengan dua
ujung kucir, saling membelit dan kakek pengawal itu tertawa, sebaliknya Ceng
Ceng terkejut sekali. Rambutnya terasa seperti dijambak-jambak, membuat
seluruh kepalanya terasa pedih dan seolah-olah rambutnya akan copot semua!
Dalam keadaan yang berbahaya itu, untung
sekali bagi Ceng Ceng, tiba-tiba muncul serombongan prajurit mengiringkan
seorang perwira yang bertubuh tinggi tegap keluar dari halaman istana dan sudah
tiba di pintu gerbang istana itu.
Melihat komandan pasukan dari dalam istana
yang agaknya merupakan penyambut itu menyebut “sumoi” kepada dara remaja yang
menjadi lawannya, pengawal kaisar terkejut, cepat melepaskan libatan
jenggotnya dan melangkah mundur sambil berkata, “Maaf....!”
Perwira tinggi tegap itu adalah seorang murid
kakek Lu Kiong juga. Sebelum menjadi muridnya, memang dia sudah menjadi
seorang perwira di dalam istana. Dia berguru kepada Lu Kiong hanya untuk
menambah ilmu kepandaian silatnya saja. Akan tetapi tentu saja diapun menyebut
sumoi kepada Ceng Ceng, sedang dara itupun menyebut suheng kepadanya. Ketika
melihat bahwa keributan yang terjadi di luar pintu gerbang itu adalah
gara-gara sumoinya, maklumlah dia karena diapun sudah mengenal watak sumoinya
yang kadang-kadang ugal-ugalan dan bengal. Maka dengan suara mencela dia
berkata, “Sumoi, apa yang kaulakukan di sini? Mengapa membikin ribut?”
Ceng Ceng cepat memutar otaknya dan dengan
cemberut, alisnya berkerut, sikap yang membuat wajahnya kekanak-kanakan akan
tetapi bertambah manis, dia berkata, “Aihh, suheng, siapa yang tidak jengkel?
Aku ingin bertemu dengan suheng untuk melihat dan mengagumi rombongan utusan
kaisar, siapa tahu di tempat ini sumoimu mendapatkan perlakuan yang kasar dan
kurang ajar.”
Perwira itu maklum akan kecantikan sumoinya
dan dia bukan tidak percaya bahwa ada penjaga yang bersikap kurang ajar,
maklumlah pria-pria kasar menghadapi seorang dara jelita selincah Ceng Ceng,
maka untuk cepat meredakan suasana, dia lalu menghadapi pengawal kaisar
berjenggot panjang itu, menjura dan berkata, “Harap maafkan kesalahpahaman ini.
Dia ini adalah adik seperguruan saya sendiri.”
Pengawal berjenggot panjang itu tertawa,
membalas penghormatan itu dan berkata, “Sungguh hebat sekali kepandaian sumoi
dari ciangkun (perwira) yang masih begini muda. Saya mengucapkan selamat dan
merasa kagum.”
Pertemuan itu ditutup dengan upacara penyambutan
pasukan yang dipimpin perwira itu, kemudian rombongan utusan diiringkan
memasuki halaman istana yang sudah berada dalam keadaan dan suasana pesta
penyambutan yang meriah. Dan munculnya perwira yang menjadi suheng Ceng Ceng
itu tentu saja memungkinkan gadis ini untuk diperkenankan ikut memasuki
istana! Tentu saja hati Ceng Ceng girang bukan main ketika dia dengan bebas
boleh masuk ke dalam istana dan oleh mereka yang belum mengenalnya, dia tentu
dianggap seorang di antara anggauta rombongan utusan sehingga siapapun yang
bertemu dengan rombongan itu memandangnya penuh kagum dan penuh hormat.
Sementara itu hari telah menjadi siang.
Rombongan utusan kaisar itu disambut dengan
upacara meriah oleh para pembesar istana dan penyambutan dikepalai oleh
pangeran tua, yaitu adik raja sendiri oleh karena pada hari itu, raja yang
diharapkan sudah pulang dari berburu binatang pada hari kemarin, masih juga
belum tiba! Hal ini tentu saja menimbulkan kebingungan di dalam hati keluarga
raja dan para pembesar, dan sejak kemarin telah dikirim utusan untuk menyusul
ke hutan di pegunungan sebelah barat. Akan tetapi utusan itupun belum pulang
sampai hari itu!
Karena kedatangan rombongan utusan kaisar itu
adalah untuk memboyong puteri, berarti urusan perjodohan, maka tentu saja
tanpa hadirnya kaisar sendiri yang menjadi ayah kandung sang puteri,
penyambutan resmi belum dapat diadakan. Rombongan itu harus bertemu dan
menghadap raja untuk menyampaikan segala pesan kaisar dan menghaturkan semua
hadiah perjodohan. Maka oleh pangeran tua, setelah diadakan penyambutan meriah
dan dijamu dengan hidangan mewah, rombongan tamu agung ini dipersilahkan
mengaso di dalam kamar-kamar istana yang sudah dipersiapkan untuk para tamu
yang penting dan terhormat itu. Dengan hati girang Ceng Ceng juga ikut makan
minum di meja sudut ruangan penyambutan, ditemani oleh suhengnya. Sambil makan
dia menyatakan kekagumannya kepada sang suheng akan kelihaian pengawal kaisar
yang berjenggot panjang itu.
Setelah rombongan tamu mengundurkan diri
beristirahat di kamar mereka, Ceng Ceng diajak suhengnya ke rumahnya yang
terletak di sebelah kiri dari istana raja. Akan tetapi dara ini membantah
ketika suhengnya menyuruh dia lekas pulang agar tidak mengkhawatirkan hati
kakeknya.
“Aku ingin sekali menonton sampai sri baginda
pulang, aku ingin melihat sang puteri diboyong!”
“Sumoi, engkau tadi mengatakan bahwa kau
pergi tanpa seijin suhu. Kepergianmu ini tentu akan membikin tidak senang hati
suhu. Sebaiknya engkau pulang sekarang agar hati orang tua itu tidak gelisah.”
“Biarpun aku pergi tanpa setahu kong-kong,
akan tetapi dia tahu bahwa aku ingin sekali menonton keramaian, maka dia tentu
dapat menduga pula bahwa aku tentu berada di kota raja bersama suheng. Hati
orang tua itu tidak akan menjadi gelisah. Suheng, kalau suheng keberatan aku
bermalam di rumah suheng ini, biarlah aku mencari tempat penginapan lain, di
kuil atau di mana saja. Pendeknya, aku harus melihat sang puteri diboyong!”
Perwira itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia tahu benar akan watak sumoinya ini dan dalam keadaan sibuk dengan
kedatangan rombongan utusan itu, tentu saja dia tidak ingin ditambah dengan
kesibukan mengurus sumoinya yang bengal ini. Maka dia hanya berkata, “Sumoi,
tentu saja engkau tahu aku tidak keberatan kau bermalam di sini. Aku hanya
ingin bilang bahwa kalau suhu marah, engkau sendiri yang harus menanggung
karena aku sudah berusaha membujukmu untuk pulang.”
Ceng Ceng tersenyum manis dan memegang tangan
suhengnya dengan sikap manja, kemanjaan seorang anak-anak kepada orang yang
sepatutnya menjadi ayahnya. “Suheng yang baik, seorang gagah harus berani
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, bukan?”
Mau atau tidak perwira itu tertawa. Dia
sendiri tidak mempunyai anak, dan sejak dahulu dia amat sayang kepada sumoinya
ini yang dianggap seperti seorang anaknya sendiri. Isterinya juga amat suka
kepada Ceng Ceng yang menyebut isteri suhengnya itu “so-so” (kakak ipar
perempuan).
Perwira ini bernama Jayin dan di Kota Raja
Bhutan namanya cukup terkenal karena dia merupakan tokoh kedua dalam deretan
nama-nama tokoh besar yang berpengaruh di lingkungan istana dan Kerajaan
Bhutan. Dia merupakan seorang perwira tinggi yang mengepalai pasukan pengawal
yang bertugas menjaga keselamatan di kota raja. Tokoh pertama adalah panglima
sendiri, yang selain merupakan panglima perang juga selalu mendampingi raja.
Panglima itulah yang kini mengawal raja dalam berburu binatang, bersama
pasukan pengawal pilihan lain yang jumlahnya semua dua losin orang. Perwira Jayin
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apalagi setelah ilmu silatnya ditambah
dengan latihan-latihan ilmu silat tinggi yang diberikan oleh kakek Lu Kiong
kepadanya. Dan sesungguhnya dialah yang menjadi murid pertama dari kakek Lu
Kiong, karena kakek itu mengajar silat kepadanya ketika Ceng Ceng masih kecil,
setelah kakek itu tertarik melihat watak gagah perkasa dari perwira tinggi itu.
Dapat dibayangkan betapa khawatir dan
pusingnya hati perwira ini sebagai orang yang bertanggung jawab penuh di kota raja
di saat raja dan panglima tidak berada di istana, padahal hari itu terjadi
peristiwa amat penting dengan kedatangan rombongan utusan kaisar. Kesibukan
dan kekhawatiran menghadapi urusan itu membuat dia tidak banyak cerewet lagi
menghadapi sumoinya, maka setelah mengajak sumoinya ke rumah dan
“menyerahkan” dara bengal itu kepada isterinya, perwira itu bergegas kembali
ke istana untuk menanti kembalinya raja dan rombongannya yang pergi berburu
semenjak tiga hari yang lalu.
Sore harinya dia pulang dengan wajah letih
lesu dan lagi karena raja yang dinanti-nanti pulangnya ternyata masih belum
pulang, dan pasukan kecil yang disuruh menyusul ternyata juga belum kembali dan
tidak ada kabar apa-apa dari rombongan raja yang memburu binatang di
hutan-hutan lebat Pegunungan Himalaya sebelah barat.
Ceng Ceng tidur dan bermimpi tentang yang
indah-indah. Tentang rombongan utusan kaisar, tentang istana yang megah dan
mewah dan dalam mimpi itu dia melihat dirinya sendiri berpakaian seperti
seorang puteri raja yang dijemput dan diboyong ke istana kaisar! Akan tetapi
tiba-tiba dia sadar dari mimpi dan terbangun dari tidurnya oleh suara orang
bercakap-cakap. Sebagai seorang ahli ilmu silat yang setiap saat waspada dan
seluruh urat syarat di tubuhnya berada dalam keadaan siap bergerak, begitu
terbangun Ceng Ceng sudah meloncat turun dari pembaringan dan berindap-indap
keluar dari kamarnya, mengintai suhengnya yang terdengar bercakap-cakap dengan
seorang laki-laki lain. Pada waktu itu telah lewat tengah malam, maka tentu
saja Ceng Ceng menjadi curiga dan menduga bahwa tentu ada peristiwa yang amat
penting maka pada saat selarut itu suhengnya masih menerima tamu.
Ketika Ceng Ceng mendengarkan percakapan
mereka, jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Kiranya terjadi hal yang
demikian hebat, pikirnya! Pantas saja suhengnya kelihatan sibuk benar dan
malam-malam begitu masih menerima tamu dari istana. Tamu itu adalah komandan
bawahannya yang memimpin pasukan kecil yang kemarin pagi menyusul rombongan
raja. Dan orang ini datang melapor kepada suhengnya bahwa rombongan raja yang
dikawal oleh panglima dan dua losin pasukan pilihan itu telah mengalami
malapetaka! Rombongan raja telah dihadang oleh pasukan besar orang-orang asing
yang hendak menawan raja. Terjadi perang kecil. Akan tetapi, biarpun raja
dikawal oleh pasukan pengawal pilihan yang dipimpin panglima sendiri, jumlah
musuh terlalu besar, sedikitnya ada seratus orang maka tentu saja pasukan
pengawal raja menjadi kewalahan. Pasukan pengawal tetap mempertahankan diri
sementara raja yang dikawal oleh panglima melarikan diri. Akibatnya, raja
berhasil lolos dari kepungan dengan pengawalan panglima yang lihai, sekarang
entah bersembunyi di mana, sedangkan dua losin pengawal pilihan itu
mempertahankan diri sampai tewas semua, terbasmi oleh fihak musuh yang jauh
lebih besar jumlahnya itu.
“Sekarang juga ciangkun diminta datang ke
istana oleh pangeran tua untuk merundingkan urusan ini.” Demikian pembantunya
mengakhiri pelaporan. Perwira Jayin mendengar pelaporan itu dan dia cepat
berpakaian, kemudian bergegas pergi ke istana bersama pembantunya.
Ceng Ceng tidak dapat tidur lagi. Menghadapi
peristiwa yang demikian hebatnya, mana dia bisa tidur? Terlalu hebat peristiwa
ini. Betapa kong-kongnya dan para suhengnya akan melongo mendengarkan
ceritanya kelak. Raja terancam bahaya! Raja hendak diculik, hendak dibunuh
oleh pasukan asing ketika raja dan panglima sedang berburu. Padahal rombongan
utusan kaisar sudah tiba! Dan sekarang raja dan panglima tidak tahu berada di
mana. Betapa hebatnya cerita ini. Dia harus tahu lebih banyak, demikian
pikirnya sambil mengenakan pakaian, membereskan rambutnya, mencuci muka dan
diam-diam dia meninggalkan rumah suhengnya melalui jendela dan berlari menuju
ke istana.
Dia sudah mengambil keputusan untuk masuk ke
istana, apapun juga yang akan terjadi, diperkenankan atau tidak! Dia harus
mengikuti terus perkembangan keadaan, harus tahu apa yang selanjutnya terjadi
agar kelak ceritanya kepada kong-kongnya dan kepada suhengnya dapat lengkap!
Betapa senangnya nanti menceritakan itu semua, pikirnya.
Tentu saja para penjaga menghadangnya di
pintu gerbang karena malam itu, sesuai dengan perintah yang dikeluarkan Perwira
Jayin, penjagaan diperketat dengan adanya tamu agung yang bermalam di istana
dan dengan terjadinya hal-hal yang mengejutkan seperti yang dilaporkan oleh
komandan pasukan yang menyusul rombongan raja.
Dara ini tersenyum mengejek, menggeser
tubuhnya ke bawah penerangan lampu agar mukanya kelihatan sambil berkata,
“Hemmm, apakah kalian ini penjaga-penjaga malas hendak mencari ribut lagi
dengan aku?”
Mendengar suara wanita dan melihat wajah
cantik di bawah sinar penerangan itu, tentu saja para penjaga mengenal Ceng
Ceng. Dara yang masih adik seperguruan Perwira Jayin, yang siang tadi membikin
ribut di pintu gerbang, merobohnya para penjaga dan dua perwira, bahkan yang
berani menandingi pengawal kepala dari rombongan utusan kaisar!
“Eh.... kau lagi.... nona?” Komandan jaga yang
mengenalinya berkata gugup.
“Ya, aku! Apakah kau hendak melanjutkan
gerakan tombakmu itu?”
Komandan jaga itu cepat-cepat menurunkan
tombaknya yang tadi menodong. “Ahh, tidak....! Maafkan, nona, tetapi kami
menjaga dan tidak ada orang asing yang boleh masuk.”
“Tentu saja! Kalau kau membiarkan orang asing
masuk, suhengku Perwira Jayin tentu tidak akan memberi ampun kepadamu! Akan
tetapi aku bukannya seorang asing, dan aku disuruh oleh so-so, isteri abangku,
untuk menyusul suheng yang baru saja masuk ke istana.”
Komandan jaga itu bingung dan ragu-ragu. Dia
sudah tahu bahwa dara ini adalah sumoi dari Perwira Jayin dan memang benar baru
saja perwira itu masuk ke istana!
“Ada ada urusan apakah, nona? Boleh kami yang
menyampaikan....”
“Hushhh! Urusan keluarga, urusan isteri hendak
kamu campuri, ya? Begitu kurang ajarkah kalian? Akan kulaporkan kepada
suheng....”
“Ah, maaf...., maaf.... harap nona tidak
marah. Kami bukan berniat buruk....”
“Kalau tidak berniat buruk, mengapa melarang
aku menyusul abang? Hayo katakan, apakah masih ada lagi penjaga yang hendak
kurang ajar kepadaku?”
Komandan jaga itu kewalahan. Dia memberi
isyarat kepada anak buahnya dan mereka semua minggir, memberi jalan dan
komandan itu berkata, “Baiklah, nona masuk saja. Akan tetapi harap jangan
bicara yang bukan-bukan kepada ciangkun.”
Ceng Ceng memasuki pintu gerbang itu, menoleh
dan tersenyum. “Aku akan melaporkan kepada suheng bahwa komandan jaga malam
ini, yang berkumis tipis, adalah seorang yang amat baik hati dan ramah.”
Setelah dara itu pergi memasuki halaman
istana, komandan jaga yang menjadi berseri wajahnya itu merabaraba kumisnya,
tersenyum-senyum bangga! Sikap dan ucapan Ceng Ceng itu sekaligus merobah
keadaan hatinya, kalau tadi dia merasa khawatir melakukan pelanggaran, kini dia
merasa bangga karena telah melakukan jasa.
Niat hati hendak mencari suhengnya di dalam
istana. Akan tetapi karena dia tidak hafal akan keadaan di istana yang demikian
besarnya, yang mempunyai banyak lorong-lorong yang hampir sama bentuk dan
hiasannya, membuat dia kesasar ke lain tempat, ke sebelah kiri bangunan istana
besar itu. Padahal suhengnya saat itu sedang ssbuk terlibat dalam perundingan
yang serius dengan Pangeran Tua dan para panglima lainnya yang berlangsung di
sebelah kanan bangunan istana. Ceng Ceng tersesat jalan, memasuki daerah yang
dihuni oleh para puteri dan semua anggauta wanita dari keluarga kerajaan.
Barulah dara ini sadar akan kesalahan jalan
ini setelah dia melihat beberapa orang penjaga wanita yang sudah bermunculan
dari kanan kiri dan mengurungnya!
“Siapa kau?”
“Tangkap dia!”
“Dia tentu mata-mata musuh!”
Para penjaga wanita itu sudah
berteriak-teriak dengan kacau sehingga percuma saja bagi Ceng Ceng untuk
membela diri. Bahkan mereka sudah serentak maju hendak menangkapnya. Ceng Ceng
menjadi marah, kaki tangannya bergerak dan dua orang penjaga menjerit dan
terpelanting roboh terkena dorongan tangan dan tendangan kakinya.
Ributlah keadaan di situ. Ceng Ceng marah
karena para penjaga wanita itu tidak mau mendengarkan kata-katanya dan terus
mengeroyoknya seperti sekelompok kupu-kupu beterbangan di sekelilingnya.
Betapapun marahnya, Ceng Ceng masih ingat bahwa dia berada di dalam istana,
maka dia mengatur kaki tangannya agar jangan sampai melukai berat lawan,
apalagi membunuh seorang di antara mereka. Namun, karena kaki dan tangan dara
ini sudah terlatih, tetap saja penjaga yang dirobohkannya mengalami
bengkak-bengkak dan lecet-lecet sehingga makin ributlah terdengar jeritan
wanita-wanita yang terpelanting itu.
“Siapa berani main gila di sini?” Tiba-tiba
terdengar bentakan halus dan Ceng Ceng memandang dengan penuh kagum dan
tercengang ketika dia melihat munculnya seorang dara yang amat cantik jelita.
Dara ini cantik sekali, kulit mukanya halus putih kemerahan, matanya lebar dan
jernih, terlindung bulu mata yang panjang dan melengkung, rambutnya gemuk
berombak dan dibiarkan terurai di belakang punggungnya, diikat di dekat tengkuk
dengan gelang mutiara, sedangkan di atas kepala tampak ikatan rambut yang
dihias dengan seekor burung Hong terbuat daripada emas dan permata. Telinganya
terhias anting-anting yang besar dari emas pula, demikian pergelangan
tangannya. Pakaiannya juga amat aneh dan serba indah, terbuat dari
sutera-sutera halus beraneka warna. Seorang dara yang cantik jelita dan
pantasnya dia seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi pada saat itu, dia
bukan merupakan seorang dewi yang penuh welas asih, melainkan seorang dewi yang
sedang marah, yang tangan kanannya memegang sebatang pedang yang indah pula,
pedang yang gagangnya terhias emas terukir halus.
Ceng Ceng sejenak memandang kagum dan
terpesona, akan tetapi ketika dara jelita itu menghampirinya dan menampar
dengan tangan kirinya, tamparan yang cukup keras, Ceng Ceng sadar dan cepat dia
menggerakkan tangan kanannya. Tadinya dia hendak menangkis, akan tetapi
mengingat betapa halus dan putih lengan dara itu, dia merasa tidak tega, maka
dia lalu merobah tangkisannya menjadi tangkapan.
“Plakkk....!” lengan tangan kiri dara itu
diterima oleh telapak tangan Ceng Ceng, dan sebelum pedang di tangan kanan dara
itu digerakkan, Ceng Ceng telah berkata halus, “Harap tahan dulu dan jangan
menyerang. Aku bukan orang jahat, aku mencari suhengku, Perwira Jayin!”
Mendengar ini, sepasang mata yang lebar itu
terbelalak dan tangan kanan yang memegang pedang menurun. Ceng Ceng sudah
melepaskan lengan yang berkulit halus itu, lalu melangkah mundur, berdiri tegak
dan memandang dengan penuh kagum.
“Dia....?”
“Benar dia....!” Demikian terdengar beberapa
orang penjaga wanita berkata.
Dara jelita berpakaian merah itu melangkah
maju, memandang Ceng Ceng dengan penuh selidik, sinar matanya merayapi tubuh
Ceng Ceng dari atas kepala sampai ke ujung kaki, kemudian terdengar suaranya,
halus namun penuh wibawa, “Apakah engkau sumoi dari Perwira Jayin yang siang
tadi menimbulkan geger di pintu gerbang dan yang kabarnya telah berani pula
melawan pengawal kaisar sendiri?”
Ceng Ceng tersenyum dan dia tidak menjawab
pertanyaan itu, sebaliknya dia malah bertanya, “Kalau boleh aku mengetahui,
siapakah anda yang begini cantik jelita seperti dewi?”
Dara itu tersenyum dan Ceng Ceng seolah-olah
silau oleh kecantikan yang makin menonjol itu. Betapa manis senyum itu, senyum
wajar yang menggerakkan dan menghidupkan seluruh wajah jelita itu, bahkan yang
seolah-olah menyinarkan kehangatan kepada seluruh keadaan di sekitarnya!
“Kabarnya engkau bernama Ceng Ceng dan engkau
mengakibatkan geger karena ingin melihat puteri yang akan diboyong oleh
rombongan utusan kaisar. Benarkah itu?”
Ceng Ceng mengangguk.
“Nah, akulah puteri itu.”
Mata Ceng Ceng makin melebar dan bibirnya yang
kecil mungil dan kemerahan itu terbuka. Sejenak dia tidak dapat berkata
apa-apa, akan tetapi kemudian dia menjatuhkan diri berlutut. “Ampunkan
hamba.... ahhh, hamba tidak tahu....”
Puteri itu tertawa, melempar pedangnya yang
disambut oleh seorang di antara para pengawal wanitanya. Kemudian puteri itu
maju, memegang pundak Ceng Ceng dan menariknya berdiri. Mereka itu sebaya, dan
perawakan merekapun tidak berselisih banyak. Mereka berdiri berhadapan, saling
memandang dan kemudian keduanya tersenyum dengan rasa suka timbul di hati
masing-masing.
“Paduka.... paduka Puteri Syanti Dewi....?”
Puteri itu mengangguk, tersenyum dan memegang
tangan Ceng Ceng, digandengnya dan ditariknya dara itu masuk ke dalam kamarnya
yang besar dan indah. Puteri itu memberi isyarat kepada semua pelayan dan
penjaganya agar tidak mengganggu mereka berdua, kemudian pintu kamarnya
ditutupkan dari luar dan dia berkata sambil tersenyum lebar. “Nah, duduklah dan
anggap ini kanarmu sendiri, Ceng Ceng, siapakah nama lengkapmu? Kau tentu
seorang Han dari Tiongkok, bukan? Kau tidak seperti orang Mancu.”
“Benar, hamba she Lu bernama Ceng akan tetapi
biasa disebut Ceng Ceng.”
“Ah, engkau puteri guru Perwira Jayin yang
bernama Lu Kiong, kakek yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi itu?”
“Bukan anaknya, melainkan cucunya. Paduka amat
baik terhadap hamba, padahal hamba telah mengagetkan paduka dan telah berani
memasuki tempat ini....”
“Hushh, kalau kau tidak merobah
sebutan-sebutan itu, aku akan kehilangan rasa sukaku kepadamu, Ceng Ceng,
tahukah kau betapa muak hatiku dengan semua ini? Setiap hari disembah-sembah
orang, setiap hari mendengar sebutan paduka tuan puteri atau yang mulia dan
lain-lain yang kosong dan palsu, mendengar orang merendahkan diri dan menyebut
hamba yang rendah dan sebagainya. Betapa rinduku diperlakukan seperti manusia
biasa, bukan seperti seorang dewi atau seorang siluman yang bukan manusia.
Tadi hatiku girang sekali menyaksikan sikapmu yang terbuka, menyebutku dengan
kata kau atau anda saja. Akan tetapi begitu kau meniru sikap mereka yang
merendahkan diri seperti orang menjilat, aku menjadi tidak senang.”
“Habis....?” Ceng Ceng meragu dan terheran,
juga geli rasa hatinya mengapa ada seorang puteri raja yang menyatakan pendapat
seperti itu.
“Engkau Ceng Ceng, dan aku Syanti saja. Kau
sebut saja namaku.”
“Ini.... ini.... mana hamba berani....”
“Kalau tidak berani, lekas kau pergi dari sini
dan aku tidak mau bersahabat lagi denganmu.”
“Ahhhh....” Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan
merasa kecewa sekali. “Hamba ingin sekali.... bersahabat.... hamba kagum dan
suka kepada paduka....”
“Hushh! Hanya satu syaratnya, yaitu kau
menganggap aku sebagai sahabat atau.... eh, bagaimana kalau sebagai saudara?
Berapa usiamu?”
“Kurang lebih lima belas tahun.”
“Kalau begitu sama dengan aku. Nah, untuk
menghormatiku biarlah kau menganggap aku lebih tua setengah bulan darimu, dan
kau menyebut aku enci (kakak), dan aku menyebutmu moi-moi (adik perempuan).
Selanjutnya kau harus ber-engkau dan ber-aku kepadaku, tidak ada lagi
paduka-padukaan atau hamba-hambaan. Bagaimana, maukah kau?”
Ingin Ceng Ceng menari kegirangan. Siapa bisa
percaya! Dia, seorang dara dusun, seorang gadis gunung, diaku sahabat baik,
bahkan saudara oleh Puteri Syanti Dewi yang terkenal itu! Duduk berdua sekamar
dengan puteri itu, bicara dengan sebutan engkau dan aku! Mana mungkin ini?
Hanya dapat terjadi dalam mimpi! Mimpikah dia? Diam-diam Ceng Ceng mencubit
pahanya sendiri.
“Haii, Ceng-moi, apa yang kaulakukan itu ?”
Puteri Syanti memandang heran ketika melihat Ceng Ceng mencubit pahanya
sendiri dan meringis karena merasa nyeri.
“Ehh....! Ohhh....! Tidak.... tidak
apa-apa.... eh, enci Syanti.”
Puteri Syanti tertawa lebar sehingga tampak
deretan giginya yang rapi dan putih seperti mutiara, rongga mulut yang merah
dan lidah yang kecil yang bergerak hidup dan berwarna merah muda.
“Senang hatiku mendengar kau menyebutku enci!
Ceng-moi, sebagai saudara kita tidak boleh menyimpan rahasia. Aku melihat kau
tadi mencubit pahamu sampai kau meringis kesakitan. Mengapa kau begini lucu,
mencubit paha sendiri?”
“Habis, tidak ada yang mencubit.... eh,
maksudku, kalau ada yang cubit, tentu kutampar mukanya, apalagi kalau dia
seorang pria!”
Jawaban ini membuat sang puteri terkekeh geli.
“Bagaimana kalau yang mencubit itu pria kekasihmu?”
“Kekasih?” Ceng Ceng bertanya, seolah-olah
tidak mengerti apa artinya kata-kata ini.
“Kekasih?” Ceng Ceng bertanya,
seolah-olah tidak mengerti apa artinya kata-kata ini.
“Kekasih, pria yang kaucinta. Bagaimana kalau
dia yang mencubit pahamu?”
“Cinta? Aku tidak tahu, aku tidak mengerti apa
itu cinta. Kalau ada pria melakukan hal itu, berarti dia kurang ajar dan tentu
akan kutampar mukanya sampai bengkak-bengkak!”
“Ouhhh....!” Puteri itu menutupi mulutnya dan
memandang heran. “Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau belum pernah
berpacaran?”
“Hehh? Berpacaran?”
“Ya, mempunyai teman pria yang kau sukai,
dengan siapa engkau bersendau-gurau, bersenang-senang, bermain-main bersama dan
sebagainya.”
Ceng Ceng menggeleng kepala dan memandang
dengan mata jujur. Puteri itu menarik napas panjang dan berkata kepada diri
sendiri, “Betapa anehnya! Dan kukira dara yang hidup bebas di luar, tidak
seperti aku yang dikurung di istana, dapat lebih menikmati hidup, dapat
memilih pacar dan calon jodoh sendiri....”
“Enci Syanti, apa yang kaubicarakan ini? Aku
tidak mengerti.”
“Sudahlah, adik Ceng, memang hanya orang yang
tidak mengerti itulah yang beruntung, tidak dilanda suka-dukanya. Aku
mengulangi pertanyaanku tadi, mengapa kau tadi mencubit pahamu?”
“Karena aku masih tidak percaya bahwa aku,
seorang gadis gunung, dapat duduk sejajar dengan Puteri Syanti Dewi,
bercakap-cakap seperti sahabat bahkan seperti saudara. Aku mengira bahwa aku
sedang mimpi, maka kucubit pahaku.”
“Hi-hik, kau memang lucu! Aku suka sekali
padamu, adik Ceng.”
“Dan aku.... aku tidak pernah mempunyai
seorang sahabat seperti engkau, enci Syanti. Aku suka sekali padamu.”
“Kalau begitu....!” Puteri itu meloncat.
“Benar! Sekarang aku tidak terlalu berduka lagi. Kau tahu, adik Ceng, aku
selalu menangis dan bersusah hati setelah sri baginda memutuskan perjodohanku
dengan pangeran putera Kaisar Tiongkok! Aku merasa seolah-olah masa depanku
gelap, seolah-olah aku akan dikirim ke neraka. Sekarang ada engkau! Engkau
harus menemani aku, adikku! Ya, engkau harus menemani aku, barulah aku sanggup
menghadapi kepergian ini!”
“Apa....? Aku....? Ikut bersamamu ke kota
raja, di Tiongkok? Ke istana kaisar?” Jantung di dada Ceng Ceng berdegup
keras. Makin hebat dan menarik saja pengalaman ini!
“Maukah engkau, adik Ceng? Katakanlah engkau
mau, kasihanilah aku yang amat memerlukan kehadiran seorang sahabat, seorang
saudara yang kucinta dalam perjalananku yang jauh dan amat menggelisahkan
hatiku ini” Dan puteri itu memandang Ceng Ceng dengan air mata berlinang!
Ceng Ceng tersenyum lalu mengangguk
kuat-kuat. “Aku mau! Dengan senang hati, enci Syanti!”
“Adikku....!” Saking girangnya puteri itu lalu
menubruk, memeluk Ceng Ceng dan mencium pipinya. Ceng Ceng membalas pelukan
itu dan mereka seperti enci-adik yang mencurahkan perasaan masing-masing yang
penuh keharuan, seperti kakak-beradik yang telah lama sekali tidak berjumpa,
dan baru sekarang bertemu.
“Akan tetapi bagaimana kalau kong-kong
melarangku?” Akhirnya Ceng Ceng yang teringat akan keadaannya, bertanya ragu.
“Jangan khawatir. Aku akan minta kepada sri
baginda agar engkau menjadi pengawal pribadiku, dan perintah ayahku sri baginda
tentu akan ditaati oleh kong-kongmu.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk dan mereka
bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan, kemudian tidur bersama dalam
pernbaringan puteri itu yang mewah, harum dan enak sekali dipakai.
***
Benar saja apa yang dikatakan oleh Puteri
Syanti Dewi. Setelah puteri ini menyatakan kehendaknya mengangkat Ceng Ceng
sebagai pengawal pribadinya, pangeran tua sendiripun tidak berani melarang
sehingga Perwira Jayin yang tadinya mendengar akan perbuatan Ceng Ceng dan
hendak membawa pulang sumoinya itu, jadi “mundur teratur” dan terpaksa dia
mengirim laporan kepada suhunya di dusun tentang keadaan Ceng Ceng yang kini
diangkat oleh sang puteri menjadi pengawal pribadi, bahkan sudah ditentukan
oleh puteri itu bahwa Ceng Ceng akan mengawalnya kalau tiba saatnya dia
diboyong oleh rombongan utusan kaisar!
Sementara itu, pada malam hari itu juga ketika
merundingkan persoalan raja yang terancam bahaya dengan para panglima dan
pembantunya, pangeran tua mengambil keputusan untuk mengirim pasukan yang
terdiri dari seribu orang perajurit, dipimpin oleh Panglima Jayin sendiri untuk
mencari raja dan menyelamatkannya dari ancaman bahaya.
Berangkatlah Panglima Jayin menunggang kuda
memimpin seribu orang perajurit itu pada malam hari itu juga. Bhutan bukanlah
sebuah negara besar dan karena negara itu selalu berada dalam keadaan aman,
jarang sekali dilanda perang, maka tentaranya juga tidak terlatih dan tidak
banyak jumlahnya. Kalau sekarang dikerahkan seribu orang pasukan adalah karena
mereka hendak menolong dan melindungi raja mereka. Obor-obor dipasang
mengiringi keberangkatan barisan itu keluar dari benteng kota raja.
Akan tetapi ketika barisan itu tiba di pintu
gerbang kota raja, terdengar teriakan penjaga dan Panglima Jayin cepat
menengok. Kiranya di antara sinar obor tampak berkelebat bayangan orang yang
melompati dinding benteng yang sangat tinggi itu dengan gerakan seperti seorang
burung terbang saja.
“Kejar dia! Tangkap! Panah dia!” Panglima
Jayin yang merasa curiga sekali memerintah dengan suara nyaring. Beberapa
orang perajurit ahli anak panah sudah menyerang bayangan itu, akan tetapi
karena gerakan bayangan itu cepat laksana burung terbang, serangan anak-anak
panah itu sia-sia belaka dan dalam sekejap mata saja bayangan itu telah lenyap
ke dalam kota raja.
Panglima Jayin mengangkat tangan menahan
gerakan barisannya, kemudian mengumpulkan para perwira pembantunya dan menyuruh
mereka menahan barisan untuk berhenti di luar tembok kora raja karena dia ada
urusan penting. Seorang diri panglima ini lalu membalapkan kudanya kembali ke
kota raja, menuju ke istana.
Hati Panglima Jayin mulai merasa curiga
terhadap para tamu agung, yaitu para rombongan utusan kaisar. Bukankah
malapetaka terjadi ketika rombongan itu di Bhutan? Kebetulan sajakah ini, atau
ada apa-apa di balik kedatangan rombongan itu? Mereka datang pada saat raja
berburu dan rombongan raja dihadang oleh pasukan musuh yang kini dia tahu
adalah orang-orang Mongol dan Tibet yang telah lama sering mengadakan gangguan
kepada Pemerintah Bhutan. Orang-orang campuran antara Bangsa Mongol dan Tibet
yang sesungguhnya merupakan orang-orang pelarian di negara mereka sendiri ini
telah membentuk sebuah perkumpulan besar atau dapat juga dikatakan sebuah
“kerajaan” kecil, dipimpin oleh seorang tokoh hitam yang kabarnya berasal dari
Tiongkok dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, selama ini,
karena jumlah mereka tidaklah banyak dibandingkan dengan jumlah barisan
Kerajaan Bhutan, gangguan mereka selalu dapat dihadapi dengan kekerasan dan
sudah lama mereka tidak pernah terdengar beritanya lagi. Mengapa kini tiba-tiba
mereka muncul dan mengganggu raja yang sedang berburu, tepat ketika rombongan
utusan kaisar tiba?
Bayangan yang dilihatnya meloncat seperti
terbang tadi memakai kucir, tanda bahwa bayangan itu adalah seorang dari
Tiongkok! Kecurigaan hati Panglima Jayin terhadap rombongan utusan kaisar makin
besar, maka dia menahan barisannya dan kini dia kembali ke istana untuk
menemui mereka, untuk melihat keadaan dan kalau perlu bertindak.
Ketika panglima memasuki pintu gerbang
istana, menitipkan kuda kepada para penjaga dan dia berlari-lari masuk ke
tempat di mana para tamu itu bermalam, ternyata di situ juga sedang dalam
keadaan ribut-ribut. Semua tamu itu telah terbangun dan banyak pula para
pengawal istana yang berkumpul di situ. Ketika mereka melihat Panglima Jayin,
maka segera menyambutnya dan kepala pengawal kaisar yang memimpin rombongan
utusan kaisar itu dengan langkah lebar menghampiri Jayin dengan muka merah dan
alis berkerut.
“Apa yang telah terjadi?” tanya Jayin dengan
pandang mata penuh selidik kepada pengawal kaisar yang berjenggot panjang
itu.
Pengawal ini ini bernama Tan Siong Khi, ketika
mendengar pertanyaan Jayin dia memandang tajam dan berkata, “Seharusnya kami
yang mengajukan pertanyaan ini, panglima!”
Jayin mengerutkan alisnya, terheran akan
tetapi juga tidak senang mendengar kata-kata itu, “Hemm.... apakah
sesungguhnya yang telah terjadi?”
“Ada orang menyelundup masuk ke tempat
penginapan kami, sikapnya mencurigakan sekali. Aku sendiri sudah menyerangnya
dan berusaha menangkapnya, akan tetapi gagal dan dia berhasil melarikan diri
dan lenyap.”
Tentu saja Jayin terkejut, “Benarkah? Seperti
apa orangnya?”
“Keadaan gelap, dan gerakannya gesit. Kami
tidak dapat melihat jelas mukanya. Akan tetapi yang amat mengherankan, mengapa
dia dapat memasuki istana yang terjaga kuat dan bagaimana mungkin dia melarikan
diri dari istana dan dari dalam kota raja?”
Biarpun ucapan Tan Siong Khi diucapkan
seperti orang yang merasa heran dan penasaran, namun di dalamnya terkandung
kecurigaan yang agaknya dinyatakan untuk mengimbangi sikap Jayin yang
datang-datang memperlihatkan kecurigaan pula.
Jayin mengerutkan alisnya lagi. Memang
sukarlah baginya keadaan seperti itu. Kecurigaannya terhadap rombongan utusan
ini memang makin besar. Siapa tahu keributan dengan alasan orang luar memasuki
tempat penginapan mereka ini hanya sandiwara belaka! Akan tetapi untuk menuduh
begitu saja, tidak mungkin jika tidak ada bukti nyata. Pula, mereka ini adalah
utusan dari negara yang besar dan kuat, bahkan rajanya sendiri sampai
mengorbankan puterinya untuk menjadi isteri seorang Pangeran Mancu hanya karena
mengharapkan ikatan keluarga agar Bhutan terlindung sebagai keluarga Kerajaan
Mancu yang menguasai seluruh Tiongkok. Akan tetapi Jayin adalah seorang
panglima yang sudah berpengalaman, tidak saja berpengalaman dalam medan
perang, akan tetapi juga berpengalaman dalam hal diplomasi. Dengan cerdik dia
lalu berkata dengan muka sungguh-sungguh, “Tan-ciangkun, kami sedang menghadapi
urusan besar yang juga menyangkut kepentingan rombongon utusan kaisar. Raja
kami sedang terancam bahaya.” Dia lalu menuturkan bagaimana rajanya yang sedang
berburu itu diserbu oleh musuh dan kini tidak tahu berada di mana dan bagaimana
pula keadaannya.
“Kalau raja kami tidak dapat segera
diselamatkan, tentu tugas yang ciangkun lakukan akan gagal pula. Maka setelah
ciangkun berada di sini, saya pribadi mohon petunjuk ciangkun yang sudah tentu
memiliki kepandaian dan pengalaman lebih luas sebagai pengawal kaisar sebuah
negara besar. Saya harap ciangkun tidak akan berkeberatan untuk membantu kami
melakukan penyelidikan untuk menolong raja kami.”
Tan Siong Khi juga bukanlah seorang pengawal
bodoh. Dia mengerti apa artinya permohonan yang diajukan dengan halus oleh
Jayin itu. Untuk urusan dalam seperti itu, tidak selayaknya kalau panglima ini
minta bantuan orang luar. Tentu saja lahirnya saja menyatakan minta bantuan,
akan tetapi sebetulnya dia akan dibawa sebagai sandera karena panglima ini
agaknya mencurigai rombongannya! Maka dia tersenyum dan berkata, “Kami
diperintahkan untuk menjemput mempelai, sekarang melihat Raja Bhutan yang akan
menjadi besan dari kaisar kami terancam bahaya, sudah tentu saya suka
membantu.”
“Kalau begitu, marilah, Tan-ciangkun. Malam
ini juga kita berangkat dan tentaraku sudah siap di luar tembok benteng kora
raja.” Panglima Jayin memerintahkan orangnya mempersiapkan seekor kuda lain dan
tak lama kemudian berangkatlah kedua orang perwira tinggi ini, menunggang kuda
keluar dari kota raja dan memimpin pasukan yang seribu orang besarnya itu. Obor
di tangan para perajurit yang bertugas membawa obor dan berada di depan,
tengah, dan belakang, kelihatan dari jauh seperti seekor naga sakti yang
menyala-nyala keemasan terbang melayang rendah di atas tanah. Mereka menuju ke
Pegunungan Himalaya, ke arah utara.
Kembali kita terpaksa meninggalkan barisan
Bhutan yang berangkat mencari raja mereka itu untuk menjenguk bagian lain jauh
di sebelah timur, di mana terjadi peristiwa lain yang seolah-olah tidak ada
hubungannya dengan kedua orang kakak-beradik putera Pendekar Super Sakti, juga
tidak ada hubungannya dengan pasuka Bhutan yang mencari raja mereka, akan
tetapi sesungguhnya tokoh-tokohnya merupakan tokoh penting dalam cerita ini
dan perlu kita mengenal mereka seorang demi seorang.
Di kota Shen-yang tak jauh dari kota raja.
Seorang pemuda tampan berpakaian indah bersih memasuki sebuah rumah makan yang
baru saja dibuka dan masih sepi. Hari masih terlalu pagi untuk makan, maka
yang penuh dengan orang berlalu lalang hanyalah jalan raya di depan rumah makan
itu, dan pemuda ini merupakan pemuda pertama yang disambut oleh pelayan yang
masih kelihatan segar dan bersemangat. Dengan wajah berseri dan ramah pelayan
itu menyambut dan mempersilakan tamunya masuk dan duduk menghadapi meja yang
kesemuanya masih kosong. Pemuda itu memilih meja di tengah dan duduknya di
sebelah sehingga dia dapat melihat ke pintu depan dan pintu yang menembus ke
ruangan sebelah dalam rumah makan itu.
Pemuda ini baru kelihatan jelas wajahnya
setelah dia membuka topinya yang berbentuk caping lebar dan diberi tali sutera
merah dan diikatkan di bawah dagunya. Setelah menaruhkan caping itu di atas
meja, juga menuruhkan buntalan di punggung dan menaruhnya pula di atas meja,
pemuda itu mengeluarkan sapu tangan dan menyusuti peluh di muka dan lehernya.
Sepagi itu, dengan hawa masih dingin sudah berkeringat! Hati ini menandakan
bahwa dia telah melakukan perjalanan jauh dan memang demikianlah, semalam
suntuk dia terus berjalan tak pernah berhenti dan baru berhenti di kota itu
setelah melihat rumah makan ini. Perutnya yang lapar memaksanya berhenti. Setelah
memesan makanan, pemuda itu menyandarkan dirinya ke meja dan memandang ke
luar.
Usianya masih muda sekali, sekitar enam belas
tahun, akan tetapi agaknya karena sudah banyak melakukan perantauan, maka
pandang matanya yang tajam itu sudah “matang”, gerak-geriknya tenang, wajahnya
yang tampan itu selalu berseri, mulutnya tersenyum namun bibir yang tak pernah
ditinggalkan senyum itu membayangkan ejekan dan mata yang tajam bersinar-sinar
itu seakan-akan memandang rendah kepada keadaan sekelilingnya.
Siapakah pemuda tampan ini? Dia bernama Ang
Tek Hoat dan sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang pemuda sembarangan karena
ia cucu bekas ketua Bu-tong-pai yang terkenal dengan sebutan Ang Lojin (Kakek
Ang) atau Ang Thian Pa! Ang Lojin atau bekas ketua Bu-tongpai yang kini telah
meninggal dunia dan kedudukannya sebagai ketua Bu-tong-pai telah digantikan
oleh seorang sutenya, hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang puteri
bernama Ang Siok Bi. Sebagai puteri tunggal, tentu saja Ang Siok Bi juga mewarisi
ilmu kepandaian ayahnya yang tinggi.
Di dalam ceritaSepasang Pedang Iblis
diceritakan dengan jelas betapa Ang Siok Bi yang masih gadis, baru berusia
sembilan belas tahun, pada suatu hari diperkosa oleh seorang pemuda dan
biarpun akhirnya dia bersama Puteri Milana dan Lu Kim Bwee, ibu Ceng Ceng
seperti yang telah dituturkan di depan, dapat membunuh pemuda yang
mernperkosanya itu, namun seperti Lu Kim Bwee pula, perkosaan atas dirinya itu
membuat dia mengandung dan akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki anak itu
diberi nama Ang Tek Hoat, yaitu pemuda yang berada di dalam rumah makan itu.
Karena merasa malu akan aib yang menimpa diri puterinya yang melahirkan anak
tanpa ayah, hal yang mencemarkan nama besarnya sebagai ketua Bu-tong-pai,
kakek Ang jatuh sakit sampai meninggal dunia ketika Tek Hoat masih bayi. Lebih
menyedihkan lagi bagi Ang Siok Bi, melihat dia melahirkan anak tanpa ayah,
Bu-tong-pai merasa dinodai namanya dan fihak pimpinan lalu mengeluarkan
keputusan untuk mengeluarkan Ang Siok Bi sebagai anggauta Bu-tong-pai.
Peristiwa ini terlalu hebat bagi Ang Siok Bi. Dengan hati yang hancur dia lalu
meninggalkan Bu-tong-pai, membawa anaknya yang masih bayi. Untung baginya
bahwa para pemimpin Bu-tongpai masih mengingat dia sebagai puteri bekas ketua
mereka, maka kepergiannya disertai bekal yang cukup sehingga Ang Siok Bi dan
puteranya tidak akan mengalami nasib sengsara dan kelaparan.
Ang Siok Bi membawa puteranya itu mengasingkan
diri ke sebuah bukit sunyi di lembah Sungai Hoang-ho. Bukit ini oleh penduduk
di sekitar daerah itu dinamakan Bukit Angsa, karena dilihat dari jauh mirip
seekor angsa sedang tidur. Dengan uang yang diperoleh dari Butong-pai, juga
dengan menjual perhiasan pribadinya, Ang Siok Bi membangun sebuah rumah kecil
yang cukup mungil di puncak Bukit Angsa, hidup berdua dengan puteranya di
tempat sunyi ini. Hanya kadang-kadang saja dia membawa puterinya turun bukit
mengunjungi dusun-dusun terdekat untuk membeli keperluan hidupnya yang tidak
banyak karena tanah di puncak bukit itu amat subur, penuh tetumbuhan yang dapat
dimakan.
Sejak kecil, Ang Siok Bi menggembleng
puteranya itu. Tujuan hidupnya hanya satu, yakni mendidik agar puteranya
menjadi seorang yang terkenal dan pandai di kemudian hari. Setelah puteranya
agak besar dan Tek Hoat sudah mengerti karena pergaulannya dengan anak dusun
sebaya yang suka menggembala domba di lereng bukit kemudian bertanya kepada
ibunya, Ang Siok Bi mengatakan bahwa ayah anak itu telah meninggal dunia sejak
ia ia masih dalam kandungan.
“Mengapa, ibu?” tanya anak kecil berusia enam
tahun itu. “Mengapa ayahku meninggal dunia?”
Repot juga hati Ang Siok Bi menghadapi
pertanyaan anaknya ini, kemudian timbul akalnya agar anak ini tidak terlalu
ingat kepada ayahnya, maka dengan sembarangan saja dia berkata, “Ayahmu
meninggal karena dibunuh penjahat. Oleh karena itu, kau harus belajar dengan
tekun agar kelak dapat menjadi orang gagah pembasmi penjahat.”
Tek Hoat yang kecil itu mengerutkan alisnya.
“Siapa yang membunuh ayah?”
“Tak perlu kauketahui namanya karena dia
sudah mati. Ibu telah membalaskan kematian ayahmu.”
“Jadi pembunuh ayah itu telah ibu bunuh? Ahhh,
sayang....”
“Eh? Mengapa sayang?”
“Karena kalau dia masih hidup, aku sendirilah
yang kelak akan membunuhnya!”
Ang Siok Bi merangkul anaknya dan mencium
pipinya, mengusapkan dua titik air matanya kepada baju anaknya agar Tek Hoat
tidak melihatnya. Bicara tentang ayah anak ini, teringatlah dia akan segala
pengalamannya di waktu dahulu bersama Gak Bun, Beng (baca ceritaSepasang
Pedang Iblis), orang yang bagaimanapun juga tak pernah dapat dilupakannya.
Biarpun Gak Bun Beng telah memperkosanya, biarpun kemudian dia bersama Milana
dan Lu Kim Bwee telah berhasil membunuh laki-laki itu namun harus diakuinya
bahwa dia masih mencinta Gak Bun Beng. Karena itu, bicara tentang laki-laki
itu merupakan hal yang menusuk perasaannya.
“Ibu, siapa namanya?”
“Nama siapa?”
“Nama penjahat yang membunuh ayah itu.”
“Namanya? Namanya.... Gak Bun Beng.”
“Gak Bun Beng? Hemmm, aku takkan melupakan
nama itu.”
“Untuk apa, Tek Hoat? Orang itu telah mati.”
“Orangnya sudah mati, akan tetapi namanyakan
masih ada. Dan siapakah nama ayahku, ibu?”
Makin repot dan bingunglah Ang Siok Bi
menghadapi pertanyaan ini. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya menyebutkan
nama begitu saja karena puteranya tentu sudah tahu bahwa nama keturunan harus
sama dengan keturunan ayahnya. Maka dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya hanya
dikenal orang sebagai Ang Lojin, ketua Bu-tong-pai. Tidak ada, atau jarang
sekali, yang tahu bahwa nama ayahnya adalah Ang Thian Pa. Maka dia lalu
menjawab, “Ayahmu telah meninggal dan dahulu namanya Ang Thian Pa.”
Anak itu kelihatan puas dan berkali-kali
mengulang nama Ang Thian Pa ini, seolah-olah dia hendak menghafal nama itu,
kemudian mengulang nama Gak Bun Beng. Diam-diam hati Ang Siok Bi terasa perih
sekali dan dia merasa kasihan kepada puteranya.
Sebagai seorang gadis yang sebetulnya masih
muda kemudian hidup terasing di puncak bukit itu bersama puteranya yang amat
disayangnya karena puteranya merupakan satu-satunya manusia yang dekat
dengannya, tentu saja Ang Siok Bi tidak tahu tentang cara mendidik anak. Anak
itu terlalu dimanjakannya, segala permintaannya dituruti saja, maka Tek Hoat
menjadi seorang anak yang amat manja. Apalagi ketika ia memperoleh teman-teman
yang bengal, ia lalu menjadi kepala di antara mereka, karena selain dia paling
tampan, paling baik pakaiannya, juga dia paling kuat dengan kepandaian silatnya
yang semenjak dia kecil diajarkan ibunya disamping pelajaran menulis dan
membaca.
Harus diakui bahwa Tek Hoat memiliki otak yang
cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan ibunya kepadanya, baik ilmu silat
maupun ilmu menulis membaca, sekali dihafal dilatih terus saja bisa. Tentu
saja ibunya merasa girang dan bangga sekali. Dalam usia empat belas tahun
saja, habislah semua ilmu silat yang dimiliki ibunya, semua sudah diajarkan
kepada puteranya itui Ketika ibunya menyatakan bahwa tidak ada ilmu lain lagi
yang dapat diajarkan, Tek Hoat merasa tidak puas.
“Ibu, apakah sekarang aku telah menjadi
seorang pendekar?”
Ibunya tertawa dan merangkul puteranya yang
kini telah menjadi seorang jejaka kecil yang tampan sekali. “Pendekar? Aihh,
Hoat-ji (anak Hoat), tidak mudah menjadi seorang pendekar! Di dunia ini banyak
sekali terdapat orang pandai, dan kepandaian ibumu terbatas sekali. Memang
kalau dibandingkan dengan anak sebaya, agaknya engkau sudah merupakan seorang
anak yang sukar dicari lawannya. Akan tetapi di dunia kang-ouw, orang-orang yang
memiliki kepandaian jauh melebihi kita amat banyak sekali.”
“Ada orang yang lebih pandai dari ibu?” tanya
anak berusia empat belas tahun itu.
Ang Siok Bi tertawa. “Baru di Bu-tong-pai
saja, tingkat ibu paling banyak hanya menduduki ke empat!” Tiba-tiba wanita ini
berhenti karena baru teringat bahwa dia dengan tanpa disengaja telah membuka
rahasia, padahal dia sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan puteranya dari
Bu-tong-pai?
“Bu-tong-pai?” Tek Hoat bertanya, mendesak
ketika melihat ibunya meragu.
Ang Siok Bi menarik napas panjang. Dia sudah
terlanjur bicara, dan anaknya cerdik, tentu akan menacuh curiga dan kalau saja
kelak anaknya menyelidiki sendiri kemudian tahu bahwa mereka adalah anak murid
Bu-tong-pai, tentu anaknya akan menegurnya. Maka dia berkata, “Benar, anakku,
Bu-tong-pai. Ibumu adalah murid Bu-tong-pai dan ilmu silat yang kita latih
adalah ilmu silat Bu-tong-pai. Ketahuilah bahwa ibumu ini adalah puteri
mendiang ketua Bu-tong-pai yang bernama Ang Lojin.”
Berseri wajah Tek Hoat mendengar ini. “Ahh,
jadi jelek-jelek aku ini cucu ketua Bu-tong-pai?”
“Hanya bekas ketua, anakku. Sekarang ketuanya
tentu lain orang lagi.”
“Siapa ketuanya, ibu?”
“Ketuanya sekarang adalah seorang tosu bernama
Giok Thian-sicu, masih sute dari kong-kongmu sendiri.”
“Ilmu silatnya tentu tinggi sekali, ibu?”
“Tentu saja, dan masih banyak tokoh lain di
Bu-tong-pai yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari kita. Akan
tetapi itu tidak semua, di dunia kang-ouw ini masih terlalu banyak untuk disebutkan
tokoh-tokoh yang amat lihai, yang amat sakti. Bahkan ada yang ilmu
kepandaiannya amat luar biasa, seperti dewa saja.”
Tek Hoat membelalakkan matanya. “Benarkah,
ibu?” Dia tidak percaya karena selama ini dia menganggap bahwa ibunya merupakan
orang paling hebat di dunia ini. “Siapakah mereka yang memiliki kepandaian
melebihi ketua Bu-tong-pai dan para tokohnya?”
“Banyak, anakku. Akan tetapi kurasa tidak akan
ada yang melebihi kepandaian seorang yang amat terkenal dahulu, yang sekarang
tidak pernah muncul, seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman.”
“Eh? Dia manusia atau siluman, ibu?”
Ibunya tersenyum. “Tentu saja manusia. Saking
saktinya, karena dia bisa menghilang, dia bisa mengubah rupa menjadi apa saja,
maka dia dijuluki Pendekar Siluman.”
“Pendekar Siluman....”
Tek Hoat berkata perlahan.
“Juga Pendekar.... Super Sakti.”
“Pendekar Super Sakti....” kembali Tek Hoat
menggumam penuh kekaguman.
“Dia Majikan Pulau Es!”
“Pulau Es.... di manakah Pulau Es itu, ibu?”
“Siapa tahu? Pulau Es seperti dalam dongeng
saja, disebut-sebut orang akan tetapi tidak ada yang tahu di mana letaknya.”
“Ibu, apakah dia orang yang paling pandai di
dunia ini?”
“Mungkin begitulah. Siapa yang tahu?”
“Ibu, aku ingin mencari Pendekar Siluman!”
“Eh, mau apa kau?”
“Aku mau menantangnya.”
“Kau gila?”
“Aku ingin membuktikannya sendiri apakah dia
itu benar-benar sakti seperti yang ibu katakan. Kalau benar demikian, aku ingin
berguru kepadanya agar kelak menjadi seorang pendekar terpandai.”
Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mudah
diucapkan akan tetapi tak mungkin dilaksanakan, anakku. Entah berapa banyaknya
orang yang hendak menemukannya, akan tetapi tidak ada yang tahu di mana adanya
pendekar sakti itu, dan di mana pula letaknya Pulau Es.”
“Akan tetapi aku ingin memperdalam ilmu
silatku, ibu, dan kau sudah tidak dapat mengajarku lagi, ibu.”
Hati ibu itu menjadi bingung karena apa yang
dikatakan puteranya memang benar. Ilmu silatnya sudah habis ditumpahkan kepada
puteranya semua dan kalau pada waktu itu tingkatnya masih lebih menang dari
puteranya hanyalah karena dia menang latihan belaka.
“Hoat-ji, ilmu silatmu bersumber kepada ilmu
silat Bu-tong-pai, maka yang dapat memperdalamnya hanyalah tokoh-tokoh di
sana....” Tiba-tiba Ang Siok Bi menghentikan kata-katanya dan memandang penuh
kekhawatiran. Dia kembali telah terlanjur bicara dan bagaimana kalau puteranya
menemui ketua Bu-tong-pai? Apakah puteranya akan diterima dan diakui sebagai
murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalau ada yang membocorkan rahasianya sehingga
puteranya tahu bahwa dia adalah seorang anak haram yang tidak mempunyai ayah?
Memang tidak ada yang tahu bahwa dia telah diperkosa oleh Gak Bun Beng (baca
ceritaSepasang Pedang Iblis), akan tetapi semua pimpinan Bu-tong-pai tahu
bahwa dia melahirkan anak tanpa suami!
“Ibu, aku akan pergi sekarang juga.”
“Anakku, jangan ke Bu-tong-pai. Ibumu sudah
tidak diakui sebagai murid lagi, engkau tentu akan ditolak.”
“Hemm, aku ingin mencari Pendekar Siluman,
atau tokoh kang-ouw lain kalau Bu-tong-pai tidak mau menerimaku.”
“Hoat-ji, jangan pergi. Ibumu bagaimana....?”
Tek Hoat mengerutkan alisnya dan kemudian dia
tersenyum, merangkul ibunya yang mulai menangis. “Ibu, mengapa ibu menjadi
cengeng? Bukankah ibu menghendaki anakmu menjadi seorang pendekar tanpa
tanding?”
Pandai sekali Tek Hoat menghibur ibunya
sehingga akhirnya, biarpun dengan air mata bercucuran, ibunya membiarkan dia
pergi dengan bekal secukupnya, dengan janji bahwa setiap tahun dia harus pulang
menengok ibunya.
Berangkatlah Tek Hoat yang berusia empat belas
tahun itu, masih kanak-kanak akan tetapi memiliki keberanian luar biasa.
Mulailah dia merantau dan di sepanjang jalan dia bertanya-tanya kepada orang
di mana letaknya Pulau Es atau di mana tempat tinggal Pendekar Siluman. Tentu
saja dia selalu kecewa. Orang biasa tidak ada yang tahu siapa itu Pendekar
Siluman dan di mana itu Pulau Es, sedangkan orang kang-ouw yang ditanyanya
membelalakkan matanya dengan heran dan takut, akan tetapi juga tidak ada yang
tahu di mana adanya Pulau Es dan di mana pula tinggalnya Pendekar Siluman yang
dikenal oleh seluruh tokoh kong-ouw itu. Karena tidak ada yang dapat memberi
petunjuk kepadanya, akhirnya anak yang belum dewasa akan tetapi memiliki
ketabahan luar biasa itu lalu menuju ke Bu-tong-san untuk memperdalam ilmunya
dengan berguru kepada Bu-tong-pai. Tentu saja amat mudah mencari Bu-tong-pai
sungguhpun dia harus pula melakukan perjalanan sampai lebih dari satu bulan
lamanya.
Pada waktu dia akhirnya berhasil berhadapan
dengan dua orang anggauta pimpinan Bu-tong-pai yang mewakili ketua menemui
pemuda kecil ini, kembali Tek Hoat dikecewakan bukan main. Dua orang kakek itu
dengan kening berkerut mendengarkan pengakuan Tek Hoat sebagai putera Ang Siok
Bi yang ingin melanjutkan pelajaran ilmu silat di Bu-tong-pai.
“Hemm, kami tidak ada hubungan apa-apa lagi
dengan seorang yang bernama Ang Siok Bi,” seorang di antara mereka, yang
berpakaian tosu berkata. “Dan kami tidak dapat menerima murid dari luar, apa
lagi keturunan dari Ang Siok Bi.”
Hati anak yang penuh keberanian itu menjadi
panas. Ibunya sudah memperingatkannya, akan tetapi dia merasa penasaran dan
berkata keras, “Mengapa begitu? Bukankah kakekku dahulu pernah menjadi ketua
kalian?”
Tosu itu mengerutkan alisnya dan memandang
tajam. “Tidak ada kakekmu yang menjadi ketua kami. Pergilah, anak bandel dan
jangan kau berani datang lagi ke sini.”
Dapat dibayangkan betapa kecewa, jengkel dan
marah hati anak itu. Sebulan lebih dia melakukan perjalanan yang amat
melelahkan untuk mencapai tempat ini, dan setelah berhasil tiba di Bu-tong-pai
di mana kakeknya pernah menjadi ketua, bukan saja dia ditolak untuk menjadi
murid, bahkan dia tidak dihormati sama sekali, diusir dan dihina!
“Kalau begitu kalian bukan orang Bu-tong-pai!
Kata ibu, Bu-tong-pai adalah pusat orang-orang gagah, akan tetapi sikap kalian
sama sekali tidak gagah. Aku malah akan merasa malu menjadi murid Bu-tong-pai!”
“Anak haram!” Orang kedua dari Bu-tong-pai
yang berpakaian seperti seorang petani membentak, tangannya melayang ke arah
kepala Tek Hoat. Anak ini tentu saja tidak mau kepalanya ditampar, dan dia lalu
mengelak dan balas menendang dengan jurus yang paling lihai dari ilmu silatnya.
Sambil menendang, tangannya menyusul dan memukul ke arah ulu hati lawan!
“Plak.... brukkk....!” Tubuh Tek Hoat
terbanting keras. Ternyata kakek itu telah dapat menangkap kaki dan tangannya
lalu melemparkannya sampai sejauh empat meter dimana dia terbanting keras
membuat kepalanya nanar dan matanya berkunang!
Akan tetapi saking marahnya, Tek Hoat
sudah melompat bangun lagi dan berlari ke depan, menerjang marah, melancarkan
pukulan bertubi. Kembali dia terjengkang roboh karena sebelum serangannya yang
dikenal baik oleh kakek itu mengenai tubuh lawan, dia telah didahului dan
didorong. Tek Hoat masih belum mau kalah, sampai lima kali dia maju lagi, lima
kali terjengkang dan tubuhnya sudah lecet-lecet, kepalanya bengkak dan
pakaiannya robek-robek. Kini dia merangkak bangun, menghapus darah yang
mengalir dari bibirnya yang pecah, matanya berapi memandangi kedua orang kakek
yang berdiri tenang itu, kepalanya digoyang-goyang, karena pandang matanya
berputar, akan tetapi dia bangkit lagi dengan susah payah dan dengan nekat dia
hendak menyerang lagi.
“Bocah hina, apakah kau ingin mampus?” Kakek
itu berteriak marah.
Tek Hoat meloncat maju dan memukul nekat.
“Bressss....!” Kini tubuhnya terbanting dan
bergulingan sampai jauh. Pening sekali kepalanya dan dia hanya dapat bangkit
duduk, memegangi kepalanya dan dari kedua lubang hidungnya mengalir darah.
“Hemmm.... orang-orang Bu-tong-pai memukul
anak kecil. Betapa anehnya ini!” Tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang
mukanya menyeramkan. Kakek ini mukanya persegi dan dilingkari rambut putih seperti
muka singa, matanya mengeluarkan sinar penuh wibawa, akan tetapi kedua kakinya
lumpuh! Hebatnya, biarpun kedua kakinya tak dapat digerakkan dan ditekuk
seperti orang bersila, kakek ini mampu bergerak cepat dengan tubuh
berlompat-lompatan! Kakek itu menghampiri Tek Hoat, setelah memeriksa tubuh
anak itu dia mengangguk-angguk. “Betapa pun juga, kalian tidak menjatuhkan
tangan maut. Kalau hal itu terjadi, tentu aku tidak akan tinggal diam!” Kakek
itu lalu menyambar tubuh Tek Hoat dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari
situ, diikuti pandang mata kedua orang tokoh Bu-tong-pai yang terheran-heran.
Sementara itu, Tek Hoat tadi melihat munculnya
kakek lumpuh yang mukanya menakutkan itu. Ketika tiba-tiba kakek itu mengempit
tubuhnya di bawah ketiak dan membawanya “terbang” cepat, dia terkejut sekali
akan tetapi juga girang. Dia melihat betapa tubuh kakek itu tanpa menggunakan
kaki yang bersila, akan tetapi cepatnya seperti seekor rusa membalap sampai dia
merasa ngeri dan kadang-kadang memejamkan mata kalau melihat dirinya dibawa
terbang melewati sebuah jurang yang lebar dan dalam sekali.
“Kakek yang baik, aku ingin menjadi muridmu!”
Tiba-tiba Tek Hoat berkata setelah mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat.
Kakek lumpuh ini melepaskan tubuhnya dan Tek
Hoat cepat berlutut. Kakek itu tertawa, mengelus jenggotnya yang putih semua.
“Aku tidak akan mengambil murid! Sekali
mengambil murid, tentu hanya akan menimbulkan urusan belaka di kemudian hari.
Aku sudah tua, sudah enak-enak hidup tenang dan penuh damai, mengapa mesti
mencari perkara? Tidak, aku tidak akan menerima murid.”
Tek Hoat menjadi kecewa bukan main. Dia tahu
bahwa kakek ini adalah seorang yang amat lihai, biarpun kedua kakinya lumpuh.
Tentu inilah orang yang disebut orang sakti oleh ibunya. Akan tetapi, ternyata
kakek itupun menolaknya untuk menjadi murid. Sial benar. Kekecewaan membuat dia
menjadi marah dan suaranya kaku ketika dia berkata, “Kalau engkau tidak mau
mengambil aku sebagai murid, mengapa kau tadi menolongku? Biarlah aku dibunuh
oleh kakek Bu-tong-pai, apa sangkut-pautnya denganmu?”
Kakek itu tercengang, akan tetapi tetap
tertawa. “Melihat anak kecil dipukul tokoh-tokoh Bu-tong-pai, bagaimana aku
dapat mendiamkannya saja. Hei, anak baik, mengapa engkau dipukuli mereka? Apakah
engkau mencuri sesuatu?”
“Sudahlah, kalau engkau tidak mau mengambil
murid kepadaku, mengapa masih banyak cakap lagi? Aku hanya mempunyai sebuah
permintaan lagi, kalau kau tidak mau memenuhinya, benar-benar aku tidak
mengerti mengapa kau begini usil mencampuri urusan orang lain! Permintaanku
adalah agar kau suka menunjukkan kepadaku tempat tinggal seorang yang
kucari-cari. Engkau tentu seorang kang-ouw yang sakti, maka kalau kau
mengatakan tidak tahu, berarti kau bohong.”
“Kau anak luar biasa. Katakan, siapa yang kau
cari itu?”
“Aku mencari Pendekar Siluman, Majikan Pulau
Es. Tahukah engkau di mana dia berada dan bagaimana aku dapat bertemu
dengannya? Heii.... engkau kenapa?” Tek Hoat berseru melihat kakek lumpuh itu
memandangnya dengan mata terbelalak seolah-olah dia telah berubah menjadi setan
yang menakutkan!
Tentu saja kakek itu terkejut bukan main
mendengar anak ini mencari Pendekar Siluman! Kakek ini berjuluk Sai-cu Lo-mo
(Iblis Tua Bermuka Singa), namanya sendiri yang telah dilupakan orang dan
hampir dilupakan sendiri olehnya adalah Bhok Toan Kok dan dia dahulu pernah
menjadi pembantu utama dari Puteri Nirahai ketika puteri ini menjadi ketua
Thian-liong-pang (baca ceritaSepasang Pedang Iblis). Seperti telah
diceritakan dalamSepasang Pedang Iblis , Sai-cu Lo-mo meninggalkan Pulau Es
yang pertama kali dikunjunginya itu bersama dengan Milana yang oleh ayahnya
disuruh ikut kakeknya, kaisar di kota raja. Kakek lumpuh namun lihai ini
seolah-olah menjadi wakil Puteri Nirahai untuk menemani puterinya di kota raja
dan sebelum pergi meninggalkan Pulau Es, kakek lumpuh ini oleh bekas ketuanya,
Nirahai, telah dibekali beberapa buah kitab pusaka ilmu silat yang hebat untuk
menambah kepandaiannya setelah kedua kakinya lumpuh.
Selama dua tahun Sai-cu Lo-mo tinggal di kota
raja, seperti seorang pensiunan di istana karena Milana menghendaki demikian
dan tentu kaisar memenuhi permintaan cucunya ini. Akan tetapi melihat betapa
Milana seperti terpaksa menikah dengan seorang suami yang memenuhi syarat sayembara,
yaitu seorang panglima muda berdarah bangsawan bernama Han Wi Kong, hati kakek
ini merasa perih sekali. Dia maklum betapa dara yang disayangnya itu menikah
dengan terpaksa, menikah dengan orang yang tidak dicintanya. Dia tahu betapa
hati dara itu masih melekat kepada Gak Bun Beng! Dia tidak tahu di mana adanya
Gak Bun Ben, cucu keponakannya itu dan melihat betapa ikatan cinta kasih
antara Gak Bun Beng dan Milana terputus, melihat betapa Milana kini terpaksa
menyerahkan diri menjadi isteri orang lain, hatinya merasa sengsara sekali.
Karena inilah, setelah Milana menikah kakek lumpuh ini meninggalkan istana,
meninggalkan kota raja dan merantau ke mana-mana untuk mencari cucu
keponakannya, Gak Bun Beng! Dalam perantauannya ini dia bertemu dengan Ang Tek
Hoat dan dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar betapa bocah yang bandel
ini hendak mencari Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!
“Eh, anak yang luar biasa anehnya!
Engkau benar-benar hendak mencari Pendekar Siluman?”
Tek Hoat memandang kakek itu dengan penuh
minat. Jangan-jangan kakek ini sendiri yang berjuluk Pendekar Siluman! Memang
pantas. Mukanya seperti singa, menakutkan, kedua kakinya lumpuh akan tetapi
dapat berlari begitu cepat, seolah-olah tanpa kaki dapat berlari secepat
terbang. Ini mirip siluman!
“Apakah engkau Pendekar Siluman?”
“Ha-ha-ha-ha!” Sai-cu Lo-mo tertawa sampai
matanya mengeluarkan air mata. Dia disangka Suma Han Si Pendekar Super Sakti!
Biarpun dia telah melatih isi kitab pelajaran ilmu silat tinggi yang dia
terima dari bekas ketuanya yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti,
biarpun kini kepandaiannya sudah meningkat jauh lebih tinggi daripada
tingkatnya sebelum kakinya lumpuh, namun kalau dibandingkan dengan kepandaian
Pendekar Siluman, benar-benar menggelikan!
“Ha-ha-ha, kau belum tahu siapa itu Pendekar
Siluman, akan tetapi kau sudah hendak mencarinya. Mau apakah kau mencari
Pendekar Siluman”
“Aku mau menantangnya!”
“Heiiii....? Kau....? Menantangnya...?”
Sekarang kakek ini terbelalak karena jawaban anak ini benar-benar
mengejutkan. “Mengapa?”
“Aku hendak membuktikan kata-kata ibu. Kalau
benar dia merupakan pendekar yang terpandai di kolong langit, aku akan berguru
kepadanya.”
“Bocah lancang! Kaukira begitu mudah menantang
dia atau berguru kepadanya? Mencarinya lebih sukar daripada mencari naga di
langit. Eh, kau siapakah dan mengapa kau tadi dipukul orang Bu-tong-pai?”
“Aku datang ke Bu-tong-pai hendak berguru,
memperdalam ilmu silatku karena ibuku adalah murid Bu-tong-pai dan kakekku
bahkan pernah menjadi ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi orang-orang Bu-tong-pai
tidak baik, malah memukulku.”
Kakek itu memandang tajam. “Siapa kakekmu?”
“Kakekku sudah meninggal dunia, dahulu dia
menjadi ketua Bu-tong-pai, namanya Ang Lojin.”
“Ang Lojin....?” Tentu saja Sai-cu Lo-mo
mengenal ketua Bu-tong-pai itu, mengenalnya dengan baik karena ketua
Bu-tong-pai itu dahulu pernah ditawan secara halus oleh Thian-liong-pang ketika
ketuanya, Nirahai, ingin melihat dasar kepandaian semua tokoh persilatan (baca
ceriteraSepasang Pedang Iblis).
“Ya. Dan ibuku bernama Ang Siok Bi, sedangkan
namaku Ang Tek Hoat.”
Mata yang biasanya kelihatan seperti orang
mengantuk dari kakek lumpuh itu kini terbelalak. Tentu saja dia tahu siapa Ang
Siok Bi! Gadis muda berpakaian kuning, puteri ketua Bu-tong-pai, yang
bersama-sama Milana dan Lu Kim Bwee telah mengeroyok Gak Bun Beng cucu
keponakannya karena dituduh telah memperkosanya!
“Ibumu yang suka memakai pakaian kuning
itu....?” Tanyanya di luar kesadarannya karena hatinya yang bicara,
menduga-duga setelah dia membayangkan peristiwa belasan tahun yang lalu itu.
Tek Hoat tercengang. “Kau sudah mengenal
ibuku?”
Sai-cu Lo-mo tidak menjawab, hanya mengelus
jenggotnya dan termenung. Dia mengenangkan semua peristiwa yang terjadi belasan
tahun yang lalu. Dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa cucu
keponakannya, Gak Bun Beng, dikeroyok oleh gadis-gadis yang membencinya.
Milana, Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee yang menganggap Gak Bun Beng sebagai seorang
penjahat besar, seorang pemerkosa yang keji. Karena dia sendiri percaya akan
cerita Milana, maka melihat cucu keponakannya dikeroyok dan hendak dibunuh, dia
tidak berdaya sampai akhirnya Gak Bun Beng terjerumus ke dalam jurang yang amat
dalam. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng tidak tewas dan dia bertemu lagi
dengan cucu keponakannya itu di Pulau Es dan di tempat inilah dia mendapat
kenyataan hebat, tentang terbukanya semua rahasia yang selama ini mengganggu
hatinya. Dia mendapat kenyataan bahwa Gak Bun Beng sama sekali tidak berdosa!
Gak Bun Beng hanya dipergunakan namanya oleh orang lain yang melakukan semua
perkosaan itu! Bukan Gak Bun Beng cucu keponakannya yang telah memperkosa Ang
Siok Bi, Lu Kim Bwee atau siapapun juga, melainkan orang sengaja hendak merusak
nama cucu keponakannya itu. Dan orang itu bukan lain adalah Wan Keng In yang
kini telah tewas. Wan Keng In putera Lulu, anak tiri Pendekar Super Sakti (baca
ceritaSepasang Pedang Iblis).
Sai-cu Lo-mo memandang Tek Hoat dengan penuh
selidik. Kasihan, pikirnya. Jadi anak ini adalah anak Ang Siok Bi, gadis yang
telah diperkosa orang yang bernama Gak Bun Beng?
“Anak baik, siapakah nama ayahmu?” Tiba-tiba
dia bertanya, di dalam hatinya merasa bersyukur juga bahwa gadis yang telah
terhina itu akhirnya dapat juga memperoleh jodoh dan bahkan dari perjodohan
itu agaknya telah memperoleh anak yang dia lihat amat berbakat, berani, dan
cerdik ini.
“Ayahku bernama Ang Thian Pa, sekarang telah
meninggal dunia.”
Sai-cu Lo-mo tercengang. Ang Thian Pa?
Bukankah Ang Thian Pa nama asli dari Ang Lojin sendiri?
“Siapa bilang bahwa nama ayahmu Ang Thian Pa?”
“Kakek aneh, siapa lagi kalau bukan ibu yang
bilang? Saya tidak pernah melihat wajah ayah. Kata ibu, ayah telah meninggal
dunia ketika aku berada di dalam kandungan ibu.”
Kembali kakek itu mengelus jenggotnya.
Sungguh tidak disangkanya sama sekali! Sungguh kasihan wanita yang bernama Ang
Siok Bi itu. Kini dia tidak ragu-ragu lagi. Anak ini tentu anak yang terlahir
akibat perbuatan Wan Keng In yang memperkosa gadis itu! Timbul rasa iba besar
di dalam hatinya terhadap anak ini.
“Ang Tek Hoet, aku mau menerima kau sebagai
muridku, akan tetapi syaratnya engkau harus berani hidup sengsara dan
kekurangan, ikut aku merantau dan hanya akan kulatih ilmu silat selama dua
tahun, dan kelak kau sama sekali tidak boleh menyebut namaku sebagai gurumu.
Bagaimana, maukah kau menerima syarat itu?”
Tek Hoat adalah seorang anak yang cerdik
sekali. Dengan girang dia lalu berlutut di depan kakek lumpuh itu, mengubah
sikapnya menjadi penuh hormat dan berkata, “Suhu, teecu menerima semua syarat
itu, dan mohon Suhu sudi memberitahukan nama Suhu.”
“Ha-ha-ha, namaku sendiri aku sudah lupa, akan
tetapi orang menyebutku Sai-cu Lo-mo, nama julukan yang dilebih-lebihkan karena
singa ini sudah lumpuh!”
Mulai saat itu, Tek Hoat menjadi murid Sai-cu
Lo-mo dan ke manapun juga kakek itu pergi, dia mengikutinya, melayani gurunya
dengan penuh kebaktian sehingga kakek ini menjadi girang sekali lalu
mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepada Tek Hoat. Dia mengajarkan ilmu silat
gabungan dari Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun
(Silat Sakti Delapan Dewa) yang sudah diperbaikinya setelah kakek ini
mempelajari kitab-kitab pusaka pemberian Nirahai, juga dia mengajarkan
sin-kang yang mengandung hawa panas, juga ilmu ini adalah hasil daripada
pemberian Nirahai setelah dia menjadi lumpuh kedua kakinya. Makin girang
hatinya melihat ketekunan dan kecerdasan Tek Hoat berlatih dengan ilmu-ilmu
ini. Mereka melakukan perantauan ke mana-mana akan tetapi selalu kakek itu
menghindarkan diri dari persoalan dengan orang lain, bahkan selalu
menyembunyikan diri karena memang dia sudah mual dengan persoalan di dunia,
apalagi dengan permusuhan-permusuhan di antara manusia.
Patut disayangkan, dan amat tidak baik bagi
Tek Hoat, kakek itu sama sekali tidak mengacuhkan tentang pendidikan. Dia
hanya membawa muridnya merantau dan mengajar silat kepadanya, dan tentang
pendidikan batin, dia sama sekali tidak mempedulikan. Padahal ketika itu Tek
Hoat merupakan seorang remaja, seorang anak laki-laki yang sedang berangkat
menuju kedewasaannya. Usia remaja menjelang dewasa ini merupakan usia yang
paling gawat karena jiwa petualang yang ada dalam diri anak itu sedang menonjol
mencari penyaluran dan pemuasan dari keinginantahunya akan segala macam hal.
Demikianlah, selama dua tahun itu Tek Hoat
berangkat dewasa tanpa bimbingan sama sekali, tumbuh dengan liar. Dia telah
berusia enam belas tahun, memiliki kepandaian yang hebat dan wataknya aneh,
sukar dijenguk isi hatinya karena pada wajahnya yang tampan itu selalu
terbayang senyum dan pandang matanya yang tajam tidak membayangkan perasaan
hatinya.
Setelah sekali lagi dia harus berjanji kepada
Sai-cu Lo-mo bahwa dia kelak tidak akan menyebut-nyebut nama kakek ini sebagai
gurunya, mereka saling berpisah. Tek Hoat melanjutkan perjalanan seorang diri
dan pemuda ini merasa lega hatinya. Selama dekat dengan gurunya, dia tidak
merasa bebas karena biarpun gurunya tidak mempedulikannya, dia mengerti bahwa
gurunya tentu akan turun tangan apabila dia melakukan sesuatu yang tidak
disukai gurunya. Kini dia bebas, seperti seekor burung terbang di angkasa. Dia
tidak mau pulang dulu kepada ibunya, karena apa artinya pulang kalau dia tidak
membawa hasil apa-apa? Dia memang sudah memperoleh hasil, yaitu ilmu yang
tinggi dari Sai-cu Lo-mo, akan tetapi pemuda ini belum merasa puas. Bekal uang
yang dibawanya ketika mulai meninggalkan tempat tinggalnya, hampir habis dan
pakaiannya yang baik hanya tinggal dua stel lagi. Dia akan terlantar kalau tidak
lekas mendapatkan uang dan pakaian. Padahal dia masih belum menemukan apa yang
dicarinya ketika dia meninggalkan rumah ibunya, yaitu Pendekar Siluman! Dan
dia harus datang lagi ke Bu-tong-pai. Dia akan mencoba kepandaiannya lagi
melawan kakek Bu-tong-pai yang dulu pernah menghajarnya. Sebelum dapat
membalas kepada kakek itu, dia akan selalu merasa penasaran.
Demikianlah, pada pagi hari Tek Hoat tiba di
kota Shen-yang, tak jauh dari kota raja, lalu dia memasuki sebuah rumah makan
yang baru buka dan masih kosong belum ada tamu lainnya. Hari masih terlalu
pagi untuk makan, akan tetapi Tek Hoat yang melakukan perjalanan jauh yang
melelahkan, bahkan semalam suntuk dia tidak berhenti berjalan, merasa lapar
sekali. Sudah dua hari dua malam dia berpisah dari gurunya, berpisah di hutan
yang berada tidak jauh dari kota raja, hanya memakan waktu perjalanan tiga
hari. Maka dia ingin sekali mengunjungi kota raja, karena selama dia bersama
gurunya, kakek itu tidak pernah mau memasuki kota besar, apa lagi kota raja.
Dari tempat dia duduk, Tek Hoat dapat melihat kesibukan orang berlalu lalang di
luar rumah makan, dan kalau dia menengok ke dalam, dia dapat mendengar pula
kesibukan di sebelah belakang ruangan itu, agaknya di dapur, di sana orang
mempersiapkan hidangan yang dipesan tamu. Terdengar suara ayam dipotong, suara
orang menuangkan air, mencacah daging dan sebagainya di sebelah dalam itu.
Rumah makan ini cukup besar, perabotnya masih baru dan agaknya termasuk rumah
makan terkenal di Kota Sen-yang. Bahkan Tek Hoat dapat melihat bayangan wanita
di samping mendengar suara mereka yang merdu.
Pemuda itu makan dengan lahapnya. Masakan
rumah makan itu memang terkenal enak dan perutnya lapar sekali, maka dia makan
dengan penuh semangat sehingga dia tidak perduli akan masuknya serombongan tamu
yang disambut dengan penuh hormat oleh dua orang pelayan. Mereka ini terdiri
dari tujuh orang, rata-rata bertubuh tinggi besar dan tegap, berpakaian sebagai
jagoan silat berikut lagak-lagak mereka, lagak jagoan. Dengan hiruk-pikuk
mereka menaruh golok dan pedang di atas meja, bicara dengan suara keras,
tertawa-tawa, tidak memperdulikan keadaan sekelilingnya. Pendeknya, lagak
jagoan-jagoan. Ketika seorang di antara mereka mendengus dan membuang ludah
dengan suara menjijikkan, barulah Tek Hoat mengangkat muka memandang. Baru dia
tahu bahwa di sebelah dalam, tak jauh dari pintu tembusan ruangan itu ke dalam,
telah duduk tujuh orang laki-laki kasar itu mengelilingi meja besar sambil
tertawa-tawa dan bercakap-cakap dengan sikap dan lagak jumawa. Akan tetapi dia
tidak mau perduli lagi kepada mereka dan melanjutkan makan minum.
Tujuh orang itu adalah jagoan-jagoan kota
Shen-bun yang letaknya hanya tiga puluh mil dari Shen-yang dan nama mereka amat
terkenal di daerah itu sampai ke kota raja. Mereka bukanlah penjahat-penjahat
atau perampok, sebaliknya malah. Mereka adalah gerombolan orang yang tidak
bekerja tetapi menjadi kaya karena kejagoan mereka, mendapat “sumbangan” dari
para hartawan yang membutuhkan “perlindungan” mereka. Nama Jit-hui-houw (Tujuh
Harimau Terbang) sudah merupakan momok bagi mereka yang kaya dan demi keamanan
mereka dan harta mereka, para hartawan ini dengan rela menyerahkan sejumlah
sumbangan kepada mereka setiap bulan dan hal ini memang amat menguntungkan
mereka karena tidak ada penjahat berani mengganggu hartawan yang “dilindungi”
oleh Jit-hui-houw! Akan tetapi, nama besar dan pengaruh mereka yang menakutkan
itu mendatangkan kesombongan dalam hati mereka, dan biarpun mereka tidak
melakukan perampokan atau kejahatan lain secara terang-terangan, namun sering
juga mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang mengandalkan kepandaian dan
nama besar mereka.
Para pelayan rumah makan tentu saja sudah
mengenal mereka biarpun baru beberapa kali Jit-hui-houw makan di tempat ini.
Kalau agak siang sedikit saja, tentu mereka akan bersarapan di rumah makan lain
yang lebih besar. Dengan suara ribut mereka memesan arak dan bakpauw karena
bakpauw buatan rumah makan ini memang terkenal enak. Kemudian mereka menyerang
bakpauw, minum arak tanpa takaran lagi sehingga sebentar saja suara ketawa
mereka makin lantang, sendau-gurau mereka makin kotor. Ketika mereka melihat
berkelebatnya pakaian seorang wanita di bagian belakang rumah makan, mereka
lalu berbisik-bisik, kemudian dua orang di antara mereka yang agaknya menjadi
pimpinan mereka, berdiri agak terhuyung karena setengah mabok, menghampiri
meja di mana duduk majikan rumah makan itu dan berkata, “Perut kami mulas. Kami
hendak ikut ke kamar kecil di belakang.”
Pemilik rumah makan itu berubah air mukanya.
Kakek yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu pucat dan mendapat firasat
tidak enak, maka dia hanya mengangguk-angguk karena tidak berani melarang, akan
tetapi sambil meneriaki seorang pelayan agar menyuruh nyonya dan nona
menyingkir. Akan tetapi, kedua orang itu sambil tertawa-tawa sudah melangkah
masuk mendahului pelayan, semua pelayan yang berada di luar tidak berani masuk,
muka mereka pucat sedangkan lima orang jagoan yang masih duduk di luar tertawa
bergelak. Ketika kakek pemilik rumah makan, yang melihat gelagat tidak baik,
bangkit dan hendak mengejar ke dalam, tiba-tiba tangannya disambar oleh seorang
jagoan dan ditariknya ke meja mereka.
“Lopek yang baik, engkau sebagai tuan rumah
marilah temani kami minum arak. Bukankah kita adalah sahabat-sahabat baik?
Ha-ha-ha!”
“Maaf.... saya.... saya....”
“Ahhh, apakah Lopek tidak menghargai ajakan
kami? Jangan khawatir, yang lopek makan dan minum menjadi tanggung jawab kami
untuk membayarnya. Ha-ha-ha!” Tangan yang menggenggam pergelangan kakek itu
mencengkeram dan si kakek pemilik rumah makan meringis kesakitan dan tidak
berani banyak membantah lagi. Dia duduk akan tetapi mukanya yang pucat selalu
menoleh ke dalam.
Tek Hoat sudah merasa curiga sekali sejak perhatiannya
tertarik kepada tujuh orang itu. Apalagi ketika dua orang di antara mereka
memasuki ruangan dalam dan melihat pula pemilik rumah makan dipaksa duduk
menemani lima orang yang lain, dia mengerutkan alisnya, menduga bahwa tentu
akan terjadi sesuatu. Karena Tek Hoat sudah mencurahkan perhatiannya,
mengerahkan ketajaman tenaganya, maka dia dapat menangkap suara lirih yang
keluar dari ruangan dalam di sebelah belakang rumah makan itu, suara lirih
yang tidak akan dapat tertangkap oleh pendengaran telinga biasa, suara wanita!
“Ampun.... ah, jangan....!” Dan terdengar isak
tertahan karena takut.
Cepat sekali tubuh Tek Hoat meloncat dari atas
bangkunya dan tubuhnya sudah berkelebat masuk ke ruangan belakang.
“Haiii....!” Lima orang jagoan itu berteriak
heran dan mereka sudah bangkit semua. Akan tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan
mereka, terus menerobos masuk. Para pelayan yang berada di belakang
berkelompok, berdiri ketakutan.
“Di mana mereka?” Tek Hoat bertanya singkat.
Para pelayan itu menggerakkan muka, menunjuk
dengan dagu ke arah sebuah kamar yang tertutup daun pintunya.
“Brakkkk....!” Daun pintu itu pecah diterjang
Tek Hoat. Ketika dia masuk pemuda ini terbelalak penuh keheranan, akan tetapi
juga kemarahan melihat betapa seorang gadis muda yang cantik sedang bergulat
mempertahankan kehormatannya dari perkosaan seorang di antara jagoan tadi.
Bajunya sudah terobek lebar sehingga tampak baju dalamnya yang sudah terkoyak
pula. Dan hal yang sama terjadi pula di sudut kamar, di atas lantai di mana
seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih, akan tetapi cantik sekali, lebih
cantik dari gadis itu, dengan tubuh yang padat menggairahkan sedang bergulat
dengan jagoan ke dua. Agaknya, terlambat sedikit saja kedatangan Tek Hoat,
kedua orang wanita itu, yang di atas pembaringan dan yang di atas lantai,
tentu takkan dapat bertahan menghadapi tenaga kasar dua orang jagoan itu.
“Keparat!” Tek Hoat meloncat ke depan.
Dua kali tangannya menyambar ke arah muka jagoan yang menengok kaget itu.
“Prak! Prak!” Dan dua orang jagoan itu
terpelanting, tubuh mereka terkulai tak mampu bergerak lagi. Gadis yang
ternyata sekarang kelihatan sudah terobek seluruh pakaiannya bagian depan,
yang tadi tidak nampak karena tertindih oleh jagoan yang menyerangnya, menjerit
dan berusaha menutupi tubuhnya, akan tetapi tak dapat dicegah lagi, tubuhnya
yang telanjang bulat di bagian depan itu sudah terlihat oleh Tek Hoat. Pemuda
ini menjadi merah mukanya, membuang muka dan menjambak rambut kedua orang
jagoan, menyeretnya ke pintu kamar.
“Haiii.... siapa dia? Hayo seret ke luar!”
Lima orang jagoan sudah berlari memasuki
ruangan dalam, akan tetapi tiba-tiba ada dua sosok tubuh melayang dari dalam
dan menerjang mereka.
“Awas....!” Mereka cepat menyambut terjangan
dua sosok bayangan itu dengan pukulan-pukulan tangan mereka sehingga terdengar
suara bak-bik-buk ketika pukulan mereka mengenai dua orang kawan itu.
“Celaka!” teriak mereka ketika melihat bahwa
dua sosok tubuh yang kini menggeletak di depan kaki mereka itu adalah dua orang
kawan mereka yang tadi mengganggu wanita di dalam, kini menggeletak dengan
pakaian yang masih awut-awutan dan dengan kepala pecah. Yang mereka pukuli tadi
adalah tubuh dua orang ini yang dilempar orang dari dalam dan keadaan mereka
telah tidak bernyawa lagi! Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan lima orang
ini melihat dua orang saudara mereka telah tewas. Terdengar suara senjata
dicabut dari sarungnya dan tampak sinar berkilauan ketika dua orang mencabut
golok dan tiga orang yang lain mencabut pedang.
“Kalian juga sudah bosan hidup?”
Ucapan yang keluar dari mulut pemuda tanggung
itu terdengar lucu, sama sekali tidak menakutkan, sama sekali tidak
menyeramkan, akan tetapi amatlah mengherankan dan hampir lima orang itu tidak
dapat percaya akan pandangan matanya sendiri. Benarkah dua orang suheng mereka
itu tewas oleh bocah ini?
Sejenak lima orang jagoan itu memandang
dengan mata terbelalak, senjata masing-masing tergenggam di tangan. Siapa yang
takkan menjadi ragu-ragu berhadapan dengan seorang pemuda remaja yang bertangan
kosong ini? Pemuda itu hanya memiliki sebuah kelebihan, yaitu ketampanannya,
akan tetapi apakah artinya wajah tampan? Tubuhnya kecil dan kelihatan lemah,
sama sekali bukan “potongan” jago kang-ouw. Benarkah pemuda remaja ini yang
membunuh kedua orang suheng mereka?
“Siapa engkau? Dan apa yang terjadi dengan
suheng kami?” tanya seorang di antara mereka sambil melangkah maju, pedangnya
bersilang di depan dada.
“Kalian belum tahu mengapa dua orang ini
tewas? Mereka hendak memperkosa wanita, maka aku telah turun tangan membunuh
mereka. Dan mau tahu namaku? Aku bernama.... Gak Bun Beng.” Tek Hoat tiba-tiba
saja timbul niat hatinya untuk menggunakan nama ini, nama orang yang membunuh
ayahnya. Nama musuh besarnya yang telah mati. Dia sendiri tidak mengerti
mengapa dia menggunakan nama itu, karena dia hanya ingin menyembunyikan namanya
sendiri, masih terpengaruh oleh sikap gurunya yang tidak mau melibatkan diri
dengan urusan lain. Dia hanya ingin menggunakan nama sembarangan saja untuk
menggantikan nama aselinya, dan pada saat dia sedang memilih nama pengganti,
tiba-tiba saja nama musuhnya itu menyelinap di kepalanya.
“Gak Bun Beng, berani kau membunuh dua orang
suheng kami?” Sambil membentak demikian, orang berpedang itu sudah menusukkan
pedangnya ke arah dada Tek Hoat. Bagi orang di daerah itu, mungkin sekali nama
Jit-hui-houw sudah terkenal dan ilmu kepandaiannya mereka sudah dianggap tinggi
dan sukar dicari lawannya, akan tetapi bagi Tek Hoat yang sudah memiliki kepandaian
tinggi, gerakan mereka terlalu lambat sehingga dengan mudah dia dapat
mengikuti gerakan pedang yang menusuk dadanya. Dengan menggerakkan badannya
miring, pedang meluncur lewat di samping tubuhnya dan secepat kilat tangan
pemuda itu menyambar ke depan, jari tangannya menusuk ke arah mata lawan.
Gerakannya demikian cepat sehingga lawan yang terancam matanya itu terkejut,
memutar pedang menangkis ke atas untuk membabat tangan Tek Hoat. Akan tetapi
gerakan serangan ke arah mata itu hanya tipuan belaka karena yang sesungguhnya
bergerak adalah tangan kedua yang diam-diam dari bawah menyambar ke atas,
mencengkeram tangan lawan yang memegang pedang dan di lain saat pedang itu
sudah berpindah tangan! Dengan seenaknya, kedua tangan pemuda itu dengan saluran
sin-kang yang amat kuat mematah-matahkan pedang itu seperti orang
mematah-matahkan sebatang lidi saja! Terdengar bunyi pletak-pietok dan pedang
itu sudah patah-patah menjadi lima potong. Sebelum pemilik pedang sadar dari
kaget dan herannya, Tek Hoat menggerakkan kedua tangannya bergantian dan
potongan-potongan pedang menyambar seperti anak panah cepatnya menuju ke arah
tubuh pemiliknya.
Orang itu berusaha mengelak, namun luncuran
potongan-potongan pedang itu terlalu laju dan jarak antara dia dan penyerangnya
terlalu dekat sehingga lima potong baja itu menembus masuk ke dalam tubuhnya.
Orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan roboh terjengkang, tewas seketika.
Empat orang anggauta Jit-hui-houw kaget
setengah mati, akan tetapi juga marah sekali. Mereka mengeluarkan teriakan
dahsyat lalu berbareng maju menyerang dengan senjata mereka. Penyerangan
mereka cukup hebat dan sinar pedang dan golok berkelebatan menyilaukan mata.
Para pengawal rumah makan sudah lari cerai berai.
Menghadapi serangan bertubi-tubi dari empat
orang yang marah itu, Tek Hoat sudah meloncat ke luar dan mereka melanjutkan
pertandingan di dalam ruangan tamu di depan yang luas. Meja kursi beterbangan
ditendangi empat orang itu ketika mereka mengejar dan mengepung Tek Hoat. Pemuda
ini tenang-tenang saja, bahkan timbul sifat kekanak-kanakannya yang hendak
mengajak empat orang pengeroyoknya main kucing-kucingan. Dia berlari ke sana
ke mari mengitari meja, dikejar dan dihadang empat orang pengeroyoknya yang
membacok atau menusuk setiap kali ada kesempatan. Setelah puas mempermainkan
mereka sambil tersenyum-senyum mengejek, Tek Hoat lalu menyambar sepasang
sumpit panjang dari atas meja, sepasang sumpit bambu dan dengan senjata
sederhana ini dia meloncat ke depan, kini tidak lagi melarikan diri
dikejar-kejar, bahkan dia yang berbalik menyerang! Begitu menyerang dia sudah
bermain dengan ilmu silat gabungan Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-kun-hoat yang
dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Ilmu silat ini memang dapat dilakukan dengan
tangan kosong atau dengan senjata apapun dengan merubah sedikit gerak
serangannya disesuaikan dengan senjata yang dipegangnya. Hebat bukan main
gerakan pemuda ini, terlalu hebat, aneh, dan cepat bagi empat orang lawannya
sehingga terdengar teriakan berturut-turut ketika empat orang itu dipaksa
melepaskan senjata masing-masing karena pergelangan tangan atau siku lengan
mereka tertusuk sumpit!
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara
tangis riuh rendah di sebelah belakang rumah makan. Mendengar itu, Tek Hoat
lalu meloncat ke dalam, meninggalkan empat orang lawan yang sudah melepaskan
senjata dan berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak saling pandang.
Untung bagi mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu meloncat ke dalam, kalau
tidak, dengan gerakan selanjutnya tentu dengan mudah pemuda itu akan membunuh
mereka setelah melucuti senjata mereka secara demikian istimewa!
Sementara itu, Tek Hoat yang mendengar suara
tangis itu merasa khawatir kalau terjadi hal-hal yang memerlukan bantuannya,
maka dia meninggalkan empat orang lawannya dan cepat berlari masuk. Melihat dia
muncul, pemilik rumah makan yang berusia lima puluh tahun lebih dan isterinya
yang masih muda dan cantik, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat.
Pemuda ini terkejut dan juga merasa heran mengapa mereka menangis dan dia
melihat gadis yang tadi hampir menjadi korban keganasan penjahat, dipegangi
oleh dua orang pelayan wanita. Gadis itu menangis dan meronta-ronta,
berteriak-teriak, “Lepaskan aku! Biarkan aku mati....!”
“Harap Ji-wi (anda berdua) bangun, tidak perlu
begini,” Tek Hoat berkata sambil menyingkir dari depan kedua suami isteri yang
berlutut itu. “Apakah yang terjadi lagi maka ribut-ribut?”
“Taihiap (pendekar besar).... tolonglah
kami.... kalau tidak, bukan hanya anak saya mati membunuh diri, akan tetapi
kami sekeluarga tentu akan habis terbasmi....” Kakek pemilik rumah makan itu
berkata sambil menangis.
“Hemm, apa maksudmu, lopek?” Tek Hoat
bertanya, dan hatinya senang sekali mendengar dia disebut taihiap. Sebutan yang
diidam-idamkannya. Dia seorang pendekar! Seorang pendekar besar!
“Marilah kita bicara di dalam kamar, taihiap.”
Ajak kakek itu dan Tek Hoat lalu mengikutinya masuk ke dalam kamar di mana tadi
kedua orang wanita itu hampir menjadi korban perkosaan.
Setelah mempersilahkan pemuda itu duduk, kakek
pemilik rumah makan berkata, “Taihiap, anak perempuan saya, Siu Li, berkeras
hendak membunuh diri, maka terjadi ribut-ribut sampai terdengar oleh taihiap.
Dia merasa malu sekali.”
“Ah, bukankah dia tidak sampai diperkosa?”
tanya Tek Hoat, khawatir kalau-kalau dia tadi terlambat.
“Memang benar, akan tetapi taihiap mengerti,
sebagai seorang gadis terhormat telah terlihat oleh seorang laki-laki dalam
keadaan telanjang bulat.... hal ini menimbulkan rasa malu yang hebat....”
“Mengapa begitu?” Tek Hoat mengerutkan
alisnya. “Bukankah penjahat yang hendak memperkosanya tadi telah kubunuh
mati?”
“Bukan penjahat itu yang dimaksudkannya,
taihiap. Laki-laki itu adalah.... taihiap sendiri.”
“Haiii....? Eh, bagaimana pula ini....?”
“Taihiap, bukan hal itu saja yang menyusahkan
hati kami, akan tetapi lebih-lebih kenyataan bahwa peristiwa ini tentu akan
berekor panjang. Dari fihak petugas keamanan mudah saja diselesaikan karena
memang nama Jit-hui-houw terkenal sebagai orang-orang yang suka bertindak
sewenang-wenang dan kematian mereka di warungku cukup membuktikan bahwa mereka
yang menimbulkan keonaran. Akan tetapi kami yakin bahwa mereka tentu akan
menuntut balas, kawan mereka dan terutama guru mereka. Kami tentu akan dibasmi
habis....” Dan kembali kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat.
“Kecuali kalau taihiap menolong kami sekeluarga....”
“Bagaimana aku dapat menolongmu? Ahhhh, mudah
saja! Aku akan membunuh mereka semua, tentu tidak akan ada pembalasan dendam
lagi!” Sebelum kakek itu sempat menjawab, tubuh Tek Hoat berkelebat lenyap dari
dalam kamar dan ternyata pemuda ini sudah berlari keluar, ke ruangan tamu di
depan, di mana dia tadi meninggalkan empat orang lawannya. Dia sudah membunuh
yang tiga, sedangkan yang empat lagi baru dia lucuti senjatanya saja. Akan
tetapi ketika dia tiba di ruangan depan itu, empat orang anggauta Jit-hui-houw
sudah tidak nampak bayangannya lagi sedangkan mayat tiga orang itupun sudah
lenyap. Mereka telah melarikan diri sambil membawa mayat ketiga suheng mereka!
Terpaksa Tek Hoat kembali ke kamar dan dengan
menyesal berkata kepada pemilik rumah makan. “Sayang sekali mengapa aku tadi
tidak membunuh yang empat orang lagi.”
“Taihiap, biarpun mereka dapat melarikan diri,
kalau taihiap suka membantu kami, hidup kami akan tenteram dan mereka tentu tak
akan berani lagi bermain gila.”
“Bagaimana aku dapat menolongmu, lopek?”
“Dengan menerima permohonan kami agar taihiap
sudi menjadi suami anak kami Siu Li....”
“Hahhh....?” Terbelalak sepasang mata yang
tajam itu saking kagetnya. Akan tetapi dia mendengarkan juga ketika kakek itu
menceritakan keadaan keluarganya. Kakek itu bernama Kam Siok yang hanya
mempunyai seorang anak, yaitu gadis yang berusia tujuh belas tahun yang bernama
Kam Siu Li itu. Ibu gadis itu telah meninggal dunia karena sakit, dan Kam Siok
lalu menikah lagi tiga tahun yang lalu dengan seorang janda muda, yaitu wanita
cantik berusia tigapuluh tahun lebih yang tadi hampir diperkosa bersama Siu Li,
anak tirinya. Keadaan mereka cukup berada, karena hasil dari rumah makan itu
cukup besar sehingga mereka hidup tenang dan senang. Akan tetapi siapa tahu,
hari itu terjadi malapetaka yang hebat dan kalau tidak ada jalan yang baik,
tentu mereka akan terancam bahaya pembalasan yang akan membasmi seluruh
keluarga mereka.
“Demikianlah, taihiap. Hanya satu jalan bagi
kami untuk dapat selamat, baik untuk keselamatan Siu Li agar dia tidak
menanggung aib dan nekat hendak membunuh diri, maupun untuk kami sekeluarga
agar terbebas dari ancaman pembalasan Jit-hui-houw.”
Pada saat itu, dua orang wanita yang tadi
hampir diperkosa, memasuki kamar. Gadis yang bermuka merah sekali, dengan air
mata bercucuran, digandeng tangannya dan agaknya dipaksa masuk oleh ibu tirinya
dan bersama puterinya itu, wanita cantik isteri Kam Siok lalu menjatuhkan diri
di depan Tek Hoat sambil berkata dengan suara merdu halus dan penuh daya
membujuk, “Mohon kemurahan hati taihiap agar memenuhi permohonan suami saya
karena hanya taihiaplah bintang penolong kami satu-satunya....” Muka yang
cantik dengan sepasang mata yang penuh gairah menantang itu diangkat. Tek Hoat
diam-diam kagum dan harus memuji kecantikan wanita ini, matanya, hidungnya,
bibirnya yang menantang, dan belahan dadanya yang tampak karena pakaiannya
yang tadi dirobek penjahat masih belum dibetulkan sama sekali. Adapun gadis
yang juga berlutut sambil menunduk itu cantik pula, dengan kulit leher yang
putih halus. Sungguhpun kecantikannya tidak menggairahkan seperti kecantikan
ibu tirinya, namun, Siu Li tergolong dara yang cantik manis.
Hati Tek Hoat tertarik, bukan hanya kepada
wanita-wanita itu, terutama sekali mengingat akan kekayaan kakek Kam Siok. Dia
memang sudah kehabisan uang dan dia butuh sekali uang banyak dan pakaian yang indah.
Apa salahnya kalau dia menerima penawaran ini?
Mulutnya tersenyum, senyum yang membuat
wajahnya kelihatan makin tampan akan tetapi senyum yang sinis dan mengandung
ejekan penuh rahasia. Dia mengangguk.
“Baiklah, demi keselamatan kalian sekeluarga,
aku menerima usul kalian ini.”
Kakek Kam Siok girang bukan main, maju
menubruk dan merangkul calon mantunya, “Anak baik.... Thian sendiri yang
agaknya menurunkan engkau dari sorga untuk menolong kami....! Kalau begitu,
perayaan pernikahan dapat segera dipersiapkan. Siapakah nama orang tuamu dan di
mana mereka tinggal? Eh, siapa pula namamu? Ha-ha-ha, betapa lucunya. Seorang
mertua tidak tahu nama mantunya!”
“Tidak perlu repot-repot, lopek. Aku seorang
yang sebatangkara, tiada tempat tinggal tiada keluarga. Namaku.... Gak Bun
Beng.”
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati
keluarga Kam Siok ketika Tek Hoat menerima permintaan mereka. Kam Siok merasa
terlindung keluarganya, Kam Siu Li merasa tertebus aibnya apalagi memperoleh
suami yang amat tampan dan gagah perkasa, hal yang sama sekali tak pernah
dimimpikan karena dia hanyalah anak seorang anak pemilik rumah makan! Dan ada
orang yang diam-diam merasa girang sekali dan memandang hari depan penuh
harapan. Orang ini adalah Liok Si, isteri Kam Siok yang masih muda dan cantik.
Dengan mata haus dia memandang pemuda calon mantu tirinya itu dan hatinya
bergelora panas. Dia tentu saja tidak pernah memperoleh kepuasan batin dari
suaminya yang dua puluh lima tahun lebih tua daripada dia dan dia memang mau menjadi
isteri pemilik rumah makan itu karena mengharapkan jaminan kecukupan dunia.
Akan tetapi, diam-diam dalam waktu tiga tahun ini, hatinya menderita dan
matanya selalu menyambar seperti mata burung elang melihat tikus gemuk setiap
kali dia melihat seorang pria muda yang tampan. Dan betapapun hatinya merindu,
kesempatan tidak mengijinkan sehingga selama ini dia seperti orang kehausan
yang tak pernah mendapatkan kepuasan. Akan tetapi sekarang, kesempatan terbuka
lebar di depan mata! Seorang pemuda tampan berada serumah dengan dia dan
agaknya akan leluasalah dia mendekati pemuda itu, karena bukankah pria muda ini
mantunya?
Pesta pernikahan dilangsungkan meriah juga.
Karena rumah makan itu sudah terkenal dan mempunyai banyak langganan, maka
perkawinan antara puteri pemilik rumah makan dengan “Gak Bun Beng” ini
mendapat kunjungan banyak sekali tamu. Selain sebagai langganan, juga para tamu
itu ingin sekali menyaksikan pemuda yang telah menggemparkan kota Shen-yang,
pemuda yang kabarnya telah merobohkan tujuh orang Jit-hui-houw, bahkan membunuh
tiga orang di antara mereka! Sebentar saja nama Gak Bun Beng terkenal di
seluruh kota dan sekitarnya, dan lebih menggemparkan lagi ketika sisa
Jit-hui-houw yang tinggal empat orang itu kini tidak tampak lagi di Shen-bun,
sudah menghilang entah ke mana! Diam-diam banyak orang yang merasa lega dan
bersyukur kepada pemuda asing ini.
Ketika sepasang mempelai dipertontonkan
kepada umum, para tamu kagum sekali melihat Tek Hoat. Tak mereka sangka bahwa
pemuda yang telah merobohkan Jit-hui-houw itu masih demikian muda. Seorang
pemuda remaja yang luar biasa tampan dan gagahnya! Betapa untungnya Kam Siong
memperoleh seorang anak mantu seperti itu, dan lebih untung lagi anak
perawannya yang hampir diperkosa anggauta Jit-hui-houw, tidak saja terbebas
dari malapetaka pemerkosa, bahkan telah memperoleh seorang suami yang demikian
gagah perkasa dan tampan!
Pada saat para tamu sedang bergembira
menghadapi hidangan, tiba-tiba terjadi kegaduhan dan banyak tamu yang sudah
bangkit berdiri dan menyingkir ke tempat aman ketika mereka melihat datangnya
lima orang yang membuat mereka terkejut. Ada tamu yang sampai terbatukhatuk
karena makanan yang baru saja dijejalkan ke mulut itu tersesat jalan ketika
matanya mengenal empat orang dari Jit-hui-houw yang datang itu dengan sikap
garang, mengiringkan seorang kakek gemuk pendek yang pakaiannya penuh tambalan
dan tangannya memegang sebatang tongkat baja berwarna hitam!
Gegerlah suasana pesta ketika empat orang
Jit-hui-houw itu menendangi meja kursi dalam kemarahan mereka karena meja kusi
menghalang jalan. Tamu-tamu lari cerai-berai dan hanya berani menonton dari
tempat jauh walaupun ada pula sebagian para tamu yang berhati tabah tetap
berada di tempat pesta itu, berdiri agak jauh di pinggiran.
Dapat dibayangkan betapa paniknya fihak tuan
rumah. Biarpun mereka sudah menduga-duga bahwa setiap waktu fihak Jit-hui-houw
tentu akan mengacau dan datang membalas dendam, dan biarpun mereka sudah
percaya penuh akan perlindungan Tek Hoat, namun melihat munculnya empat orang
Jit-hui-houw bersama seorang jembel tua yang menyeramkan itu, mereka menjadi
pucat ketakutan. Kam Siok sendiri sudah menarik tangan anak isterinya ke
sebelah dalam, bersembunyi di dalam kamar, kemudian dia sendiri mengintai keluar
dengan jantung berdebar tegang.
Tentu saja Tek Hoat merasa merah sekali
menyaksikan betapa lima orang itu datang mengacaukan perayaan pesta
pernikahannya. Akan tetapi sambil tersenyum pemuda ini melangkah lebar ke
ruangan depan yang sudah sunyi itu. Sunyi sekali di situ karena semua orang,
yang dekat maupun yang menonton dari jauh, tidak ada yang mengeluarkan suara,
bahkan mereka itu seperti menahan napas melihat pemuda yang menjadi pengantin
itu melangkah menghampiri lima orang yang sudah berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang lebar dan bersikap menantang itu.
Setelah berhadapan dengan lima orang itu, Tek
Hoat berkata sambil tersenyum mengejek dan memandang empat orang sisa
Jit-hui-houw, “Beberapa hari yang lalu aku tidak sempat membunuh kalian apakah
sekarang kalian datang untuk menyerahkan nyawa?”
Empat orang itu mencabut pedang dan golok,
muka mereka merah sekali dan mata mereka mendelik. “Suhu, inilah jahanam yamg
telah membunuh tiga suheng itu!” kata seorang di antara mereka.
Kakek tua berpakaian jembel itu memandang
dengan mata terbelalak penuh keheranan. Dia adalah Sin-houw Lo-kai (Jembel Tua
Harimau Sakti), seorang pertapa di hutan yang letaknya di luar kota Shen-bun,
tinggal di sebuah kuil tua yang kosong dan hidupnya dijamin oleh tujuh orang
muridnya, yaitu Jit-hui-houw yang terkenal itu.
Tujuh orang muridnya telah memiliki kepandaian
hebat, dan biarpun tak dapat dikatakan luar biasa, namun sukarlah dicari orang
yang dapat menghadapi mereka bertujuh kalau maju bersama. Mendengar penuturan
empat orang muridnya bahwa tiga di antara mereka tewas oleh seorang musuh, dia
menyangka bahwa murid-muridnya itu tentu dikalahkan seorang kang-ouw yang
ternama. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika empat
orang muridnya memperkenalkan seorang pemuda remaja yang menjadi pengantin ini
yang menjadi pembunuh tiga orang muridnya! Dia merasa penasaran sekali.
Demikian lemahkah murid-muridnya sehingga kalah oleh seorang pemuda yang masih
hijau ini? Sukar untuk dipercaya. Kini melihat pemuda tanggung itu, yang
kelihatannya masih belum dewasa benar, berdiri tenang tanpa senjata apapun, dia
segera membentak kepada empat orang muridnya, “Kalau begitu tunggu apa lagi
kalian? Hayo balaskan kematian tiga orang suhengmu!”
Empat orang itu sebetulnya merasa jerih karena
mereka sudah maklum betapa lihainya pemuda yang kelihatan lemah ini. Akan
tetapi karena suhu mereka yang memerintah, dan pula mereka mengandalkan suhu
mereka yang tentu akan membantu mereka, maka begitu mendengar perintah ini
mereka sudah menerjang maju dengan teriakan-teriakan garang, senjata mereka
berkelebat menyambar ke arah tubuh Tek Hoat. Pemuda ini biarpun mulutnya
tersenyum, namun hatinya panas seperti dibakar saking marahnya. Melihat dua
batang pedang dan dua batang golok menyambarnya, dia bergerak cepat sekali,
tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang menyelinap di antara sambaran sinar
senjata lawan, tangan kakinya bergerak dan terdengar suara berkerontangan
ketika empat buah senjata itu terlepas dari tangan para pemegangnya yang
terkena tamparan dan tendangan, kemudian sebelum mereka sempat mundur dan
sebelum kakek jembel itu sempat menolong murid-muridnya, Tek Hoat sudah
berkelebat cepat sekali, jari-jari tangannya menyambar ke arah kepala dan
berturut-turut terdengar pekik kengerian disusul robohnya empat orang
Jit-hui-houw itu. Mereka roboh dan berkelojotan sebentar lalu diam tak
bergerak, mati dengan kepala berlubang karena tusukan dua jari tangan Tek Hoat!
Peristiwa ini terjadi dengan sedemikian
cepatnya sehingga sukar diduga terlebih dulu. Sin-houw Lo-kai yang melihat
empat orang muridnya roboh dan tewas terbelalak kaget dan hampir dia tidak
dapat menahan kemarahan dan kedukaan hatinya. Kini semua muridnya, ketujuh
Jit-hui-houw telah tewas semua, dan kesemuanya dibunuh oleh pemuda yang luar
biasa ini! Dia mengeluarkan gerengan seekor harimau, kemudian membentak,
“Bocah kejam! Siapakah namamu? Siapa pula gurumu? Mengakulah sebelum Sin-houw
Lo-kai turun tangan membunuhmu!”
Tek Hoat tersenyum mengejek. “Perlu apa
menanyakan nama guruku? Aku bukanlah seorang pengecut macam murid-muridmu yang
belum apa-apa sudah merengek dan minta bantuan gurunya! Namaku adalah Gak Bun
Beng.”
“Keparat sombong! Engkau telah berhutang tujuh
nyawa muridku, hari ini aku Sin-houw Lo-kai harus mengadu nyawa denganmu!”
Setelah berkata demikian, kakek jembel itu lalu menggerakkan tongkatnya dan
menyerang. Karena dia tahu akan kelihaian pemuda itu, maka dia tidak
sungkan-sungkan lagi menyerang seorang lawan yang masih begitu muda dan
bertangan kosong, menggunakan tongkatnya yang ampuh.
Melihat tongkat menyambar-nyambar dan berbunyi
bercuitan, mengeluarkan angin yang berputaran, maklumlah Tek Hoat bahwa
kepandaian kakek ini tidak boleh dipandang ringan. Dibandingkan dengan kakek ini,
ternyata murid-muridnya hanyalah gentong kosong belaka! Tongkat yang butut itu
ternyata terbuat daripada baja yang kuat dan berat.
Dengan hati-hati sekali Tek Hoat melayani
lawannya dengan ilmu silat yang dipelajarinya dari ibunya. Tubuhnya gesit sekali
ketika mengelak ke sana-sini, kadang-kadang meloncat kalau tongkat lawan
menyambar dari pinggang ke bawah dengan lompatan yang ringan dan tinggi.
“Haiit, kau murid Bu-tong-pai!” Kakek itu
menahan tongkatnya dan membentak.
Akan tetapi Tek Hoat tidak menjawab, bahkan
menggunakan kesempatan itu untuk tiba-tiba menubruk ke depan, mainkan ilmu
silatnya yang amat aneh dan ampuh, yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo. Melihat
pemuda itu menerjangnya, kakek jembel itu cepat mengelak lalu memutar tongkatnya.
Akan tetapi berkali-kali dia berteriak kaget karena hampir saja tubuhnya kena
dihantam lawan yang memainkan ilmu silat amat aneh. Ilmu silat pemuda itu
dasarnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi jauh berbeda, terisi penuh tipu
muslihat dan keganasan, namun mengandung tenaga yang amat kuat. Itulah ilmu
silat gabungan Pat-sian-sin-kun dan Pat-mo-sin-kun, sedangkan hawa pukulan
yang keluar dari kedua telapak tangannya amat panas! Sekali ini, Sin-houw
Lo-kai benar-benar terkejut dan tidak dapat dia mengenal lagi ilmu silat yang
dimainkan Tek Hoat. Kalau tadi, ketika pemuda itu menggunakan ilmu silat yang
dia kenal sebagai ilmu silat Bu-tong-pai, dia dapat mendesak, akan tetapi
begitu pemuda itu mainkan ilmu silat yang amat aneh ini, tongkatnya hanya
dipergunakan untuk melindungi tubuhnya. Dia merasa seolah-olah pemuda itu
telah berubah menjadi delapan orang yang menyerangnya dari delapan penjuru!
Kakek itu makin kaget dan penasaran, akan tetapi dia harus melindungi tubuhnya
dari hantaman-hantaman yang disertai hawa panas membara yang keluar dari kedua
telapak tangan pemuda itu. Maka dia lalu memutar tongkatnya yang berat
sehingga tongkat itu berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyelimuti
tubuhnya.
Tek Hoat juga merasa penasaran. Pemuda ini
terlalu mengandalkan dirinya sendiri, terlalu percaya bahwa dia akan sanggup
mengalahkan lawannya yang manapun juga, apalagi setelah dia menjadi murid
Sai-cu Lo-mo selama dua tahun. Kini mampu mengalahkan kakek jembel itu biarpun
mereka sudah bertanding selama seratus jurus, dia merasa penasaran bukan
main. Akan tetapi dia tetap keras kepala, tidak mau menggunakan senjata. Dia
harus mampu mengalahkan kakek itu dengan tangan kosong saja!
“Mampuslah....!” Tiba-tiba kakek itu membentak
dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
“Cuat-cuat-cuattttt....!” tiga sinar putih
menyambar ke arah tubuh Tek Hoat. Pemuda ini cepat mengelak dari serangan piauw
(senjata runcing yang dilontarkan), akan tetapi tiba-tiba kakinya tersandung
bangku dan dia terguling roboh! Tentu saja Sin-houw Lo-kai menjadi girang
sekali. Cepat dia menubruk ke depan dan tongkatnya dihantamkan sekuat
tenaganya ke arah kepala lawannya.
“Siuuuuttt.... plakkk!” Tongkat menyambar
turun dan cepat bagaikan kilat Tek Hoat sudah meloncat ke atas. Kiranya dia
tadi hanya pura-pura jatuh untuk memancing perhatian lawan. Ketika melihat
lawannya menghantamkan tongkat ke atas kepalanya, Tek Hoat meloncat dan
menangkap tongkat itu di tengah-tengah dengan tangan kiri, sedangkan tangan
kanannya menampar ke arah tangan lawan yang masih memegang tongkat.
Kakek itu mengeluh dan terpaksa membiarkan
tongkatnya terampas oleh Tek Hoat yang telah membetotnya sambil mengerahkan
tenaga. Tentu saja kakek itu tidak dapat mempertahankan tamparan Tek Hoat yang
dilakukan dengan pengerahan sin-kang yang amat panas, sin-kang yang dilatihnya
di bawah bimbingan Sai-cu Lo-mo.
Kini Tek Hoat berdiri tegak setelah tadi
meloncat ke belakang sambil membawa tongkat rampasannya. Adapun kakek itu
telah bersiap untuk bertanding mati-matian, matanya menjadi merah dan mulutnya
seolah-olah mengeluarkan uap panas.
“Ha-ha, tongkatmu ini tidak ada gunanya,
Sin-houw Lo-kai.” Sambil berkata demikian, pemuda itu menekuk-nekuk tongkat
baja yang kuat itu dengan kedua tangannya dan tongkat itu tertekuk sampai
bengkok-bengkok seperti ular! Dengan senyum mengejek pemuda itu melemparkan
tongkat itu ke atas lantai kemudian melangkah maju menghampiri lawannya.
Pucatlah wajah kakek itu. Dia maklum bahwa
biarpun lawannya masih muda sekali, namun ternyata memiliki ilmu kepandaian
yang amat tinggi dan memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Dia tahu bahwa
dia bukanlah tandingan pemuda ini, akan tetapi setelah pemuda itu membunuh
semua muridnya, setelah pemuda itu begitu menghina dan memandang rendah
kepadanya, tentu saja dia merasa lebih baik mati daripada mundur!
Dia mengeluarkan pekik melengking penuh
kemarahan, tubuhnya meloncat ke atas dan menubruk seperti seekor harimau.
Memang kakek ini terkenal lihai dengan Ilmu Silat Harimau sehingga julukannya
Harimau Sakti, bahkan ketujuh orang muridnya yang tewas itupun terkenal dengan
julukan Tujuh Harimau Terbang. Lawan yang ditubruk oleh jurus paling ampuh
dari ilmu silatnya ini tentu akan menjadi panik, dan gerakan menubruk ini
banyak sekali perkembangannya. Akan tetapi Tek Hoat yang kini sudah merasa
yakin bahwa tenaganya masih lebih kuat daripada kakek itu, memandang rendah
serangan ini dan dia bahkan menyambut serangan lawan dan siap mengadu tenaga!
Maka ketika kakek itu menubruk, dengan kedua tangan dikembangkan dan jari-jari
tangan terbuka seperti cakar harimau, Tek Hoat juga mengembangkan kedua
lengannya dan menerima kedua tangan lawan itu dengan tangannya sendiri.
“Plak! Plak!”
Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan
mulailah terjadi adu tenaga sin-kang yang dilakukan tanpa bergerak namun yang
kehebatannya tidak kalah dengan adu kecepatan kaki tangan tadi. Kakek itu
berdiri dengan kedua kaki terpentang, mukanya beringas seperti muka harimau
marah, tubuhnya agak merendah, dia mengerahkan seluruh tenaganya. Tek Hoat
berdiri biasa saja, senyumnya masih menghias mulutnya, matanya tajam
bersinar-sinar, wajahnya berseri dan diam-diam dia mengerahkan Yang-kang yang
mengandung hawa panas itu. Dua pasang lengan itu sampai tergetar hebat dalam adu
tenaga itu, akan tetapi lambat laun kakek jembel itu sukar dapat mempertahankan
diri lagi karena hawa panas itu makin mendesak dan makin membakar seolah-olah
hendak membakar seluruh tubuhnya. Dia dapat mempertahankan dorongan tenaga
sin-kang lawan, akan tetapi menghadapi hawa panas yang meresap ke dalam
tubuhnya itu dan membuat dadanya seperti akan meledak, dia merasa tersiksa
sekali.
Tek Hoat makin memperkuat dorongannya makin
mengerahkan sin-kangnya sehingga dari telapak tangannya mengepul uap panas.
Kakek itu meringis, makin menderita dan akhirnya kedua kakinya gemetaran,
perlahan-lahan lututnya tertekuk, makin lama makin rendah dan akhirnya dia
jatuh berlutut dan tubuhnya gemetar semua.
Untuk kesekian kalinya Tek Hoat mengerahkan
tenaganya, terutama pada tangan kanannya yang sudah menekan tangan kiri lawan.
“Krekkk....! Aughh....!” Sin-houw Lo-kai
memekik kesakitan, akan tetapi pekiknya menjadi memanjang, menjadi lengking
mengerikan ketika tangan kanan Tek Hoat secepat kilat sudah melepaskan tangan
kiri lawan dan menyambar ke arah kepala lawan. Jari tangannya, telunjuk dan
jari tengah, menusuk dan masuk semua ke dalam kepala kakek itu.
Tubuh kakek itu berkelejotan dan terlempar keluar ketika Tek Hoat
menendangnya, tak lama kemudian tubuhnya tak bergerak lagi, mati seperti empat
orang muridnya.
Kakek Kam Siok dan para tamu yang menyaksikan
pertandingan itu dan melihat betapa lima orang pengacau itu telah tewas
semua, segera menghampiri Tek Hoat dan mertua yang merasa amat girang dan lega
ini merangkul mantunya dengan penuh kebanggaan. Mayat lima orang itu cepat
diurus dan kakek Kam Siok membereskannya persoalan itu dengan pembesar
setempat. Banyak sekali saksinya bahwa lima orang itulah yang datang mengacau,
maka Tek Hoat tidak dituntut, apalagi karena Kam Siok berani mengeluarkan
banyak hadiah untuk para petugas yang mengurus persoalan itu.
Pesta perkawinan dilanjutkan dengan meriah dan
kegagahan Tek Hoat menjadi bahan percakapan para tamu. Nama “Gak Bun Beng”
terkenal sekali dan semua orang merasa kagum akan kegagahan pemuda yang masih
muda sekali itu dan menyatakan betapa untungnya Kam Siok memperoleh seorang
mantu seperti itu.
Akan tetapi hanya orang luar saja yang
menganggap bahwa keluarga Kam berbahagia dengan munculnya pemuda tampan dan
gagah itu, karena orang luar tidak tahu keadaan sebenarnya. Adapun kakek Kam
Siok dan puterinya, Kam Siu Li, menderita tekanan batin hebat ketika beberapa
hari saja setelah pesta pernikahan itu berlangsung, secara terang-terangan
pemuda itu bermain gila dengan si ibu tiri! Tek Hoat yang masih hijau dalam
soal asmara, tentu saja tidak dapat melawan godaan Liok Si yang selain cantik
sekali, juga pandai merayu dan bergaya itu. Dengan mudah Tek Hoat dapat
ditundukkan dan terjatuh ke dalam pelukan ibu tiri ini. Mungkin karena
mengandalkan kelihaian Tek Hoat, Liok Si berani melakukan perjinaan dengan
mantu tirinya ini secara berterang! Dia seolah-olah menantang suaminya dan
anak tirinya! Merayu, merangkul dan mencium mantunya da depan suami dan anak tirinya
bukan merupakan hal yang aneh baginya! Adapun Tek Hoat yang masih hijau,
menurut saja karena dia mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dalam
hubungannya dengan Liok Si, kenikmatan yang tak dapat dia rasakan bersama
isterinya yang juga sama-sama belum berpengalaman dan masih hijau seperti dia
dalam bercumbu rayu.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siu Li
dan betapa marah dan malu rasa hati Kam Siok. Akan tetapi apa yang dapat mereka
lakukan? Mereka berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada “Gak Bun Beng”,
dan mereka takut sekali kepada pemuda ini. Ayah dan anak ini hanya dapat
bertangis-tangisan jika mereka berdua saja, menyesali nasib mereka yang sangat
buruk. Sedangkan Tek Hoat hampir selalu berada di dalam kamar Liok Si,
bermain-main dan bersendau-gurau sebebas-bebasnya, siang malam!
Barulah terjadi geger bagi orang-orang di
luar rumah makan itu ketika sebulan kemudian setelah pesta pernikahan yang
menghebohkan itu, terjadi ribut-ribut di rumah makan dan semua orang terkejut
ketika mendengar bahwa kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li si pengantin
baru, tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamarnya dengan kepala berlubang
bekas tusukan jari tangan! Pada malam itu, si pengantin pria yang gagah perkasa
itu kebetulan sedang pergi ke luar kota. Ketika Tek Hoat pada pagi harinya
datang dan menyaksikan isterinya dan ayah mertuanya sudah tewas dan dirubung
para tetangga, dia marah sekali, memakimaki dan menantang-nantang. “Jahanam
keparat!” teriaknya nyaring. “Ini tentu perbuatan teman-teman Jit-hui-houw!
Pengecut benar! Mengapa membunuh orang yang tak bersalah dan lemah? Kalau
memang berani, hayo datang dan lawanlah aku!”
Semua orang membenarkan dugaan pemuda ini
bahwa pembunuhnya tentulah kawan-kawan dari Jit-hui-houw yang membalas dendam,
maka mereka diam-diam merasa kasihan kepada pemuda yang mengagumkan hati
mereka itu. Demikianlah pendapat orang luar. Akan tetapi di sebelah dalam rumah
itu, Tek Hoat dan Liok Si tertawa-tawa merayakan kemenangan mereka dan Tek
Hoat membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan kekasihnya yang pandai merayu.
Pembunuhan itu tentu saja dilakukan oleh Tek Hoat sendiri atas bujukan Liok Si
dan semua harta benda peninggalan Kam Siok tentu jatuh ke tangan mereka.
Akan tetapi, kemesraan di antara mereka berdua
tidak dapat bertahan lama. Tek Hoat suka kepada Liok Si yang cantik genit itu
hanya karena dorongan nafsu yang dibangkitkan oleh Liok Si yang pandai merayu.
Setelah nafsu berahi terlampiaskan, yang muncul hanya kebosanan dan kemuakan.
Demikian pula dengan Tek Hoat, pemuda hijau yang salah didik ini. Dia mulai
merasa bosan dan sebulan kemudian, sering kali dia keluar rumah, bahkan
bermalam di kota lain. Jiwa perantauannya timbul kembali dan dia mulai tidak
kerasan berada di rumah makan itu. Hal ini tentu saja mengecewakan hati Liok
Si, juga membuatnya sengsara. Wanita yang haus cinta ini mana mungkin disuruh
melewatkan malam-malam sunyi dan sendirian saja? Mulailah dia mengerlingkan
matanya yang bagus itu kepada seorang pemuda tetangga, yang biarpun tidak
setampan Tek Hoat, namun memiliki tubuh tinggi besar sehingga cukup
membangkitkan gairahnya. Akhirnya, apabila Tek Hoat tidak bermalam di rumah,
Liok Si berhasil memikat pemuda itu memasuki kamarnya di mana dia memuaskan
semua kehausannya.
Pada suatu malam, tidak seperti biasanya, Tek
Hoat pulang dan pemuda ini memasuki rumah melalui genteng. Ketika dia mendorong
daun pintu kamar Liok Si, dia melihat Liok Si dan pemuda tinggi besar itu di
atas pembaringan! Tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeluarkan
suara, dua kali tangannya menyambar dan dua tubuh yang telanjang itu
berkelojotan sebentar, kemudian diam dan mati dengan kepala berlubang bekas
tusukan jari tangan!
Diam-diam Tek Hoat mengumpulkan semua
perhiasan Liok Si dan semua uang emas dan perak peninggalan kakek Kam, dibuntal
dengan bungkusnya, kemudian menjelang pagi dia melompat ke atas genteng sambil
mengerahkan khi-kangnya berteriak keras, “Pembunuh! Hendak lari ke mana kau?”
Dan dia berkali-kali berteriak “Pembunuh!” sampai para tetangga terkejut dan
keluar.
Setelah semua tetangga masuk dan melihat tubuh
Liok Si dan si pemuda tinggi besar yang mereka kenal adalah pemuda tetangga
terkapar di atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan mati dengan
kepala berlubang, mereka terkejut sekali dan keadaan kembali menjadi geger.
Tek Hoat lalu menceritakan betapa malam itu dia tidur nyenyak, dan bahwa dia
tahu ibu mertuanya sedang kedatangan kekasihnya akan tetapi dia tidak berani
mencampurinya. Kemudian dia terbangun oleh suara ribut, ketika dia meloncat
dan naik ke atas genteng, dia melihat berkelebatnya bayangan yang gesit
sekali. Dia berusaha mengejar akan tetapi bayangannya ditelan kegelapan malam.
“Dia lihai sekali!” demikian dia menyambung.
“Tentu dialah orangnya yang telah membunuh isteriku, dan yang sekarang kembali
datang membunuh ibu mertua dan kekasihnya. Bedebah dia! Aku akan mencarinya
sampai dapat! Aku tidak akan kembali ke sini sebelum aku dapat membunuh
penjahat itu!” Demikian Tek Hoat mengakhiri sandiwaranya, kemudian dia
menyerahkan rumah yang harta bendanya telah dikuras itu kepada tetangga di
sebelah. Setelah itu, pergilah Tek Hoat membawa buntalan pakaian dan harta
benda yang lumayan banyaknya. Semua orang merasa kasihan kepada pemuda perkasa
ini, dan nama “Gak Bun Beng” menjadi kenangan mereka di kota itu.
Akan tetapi, banyak di antara para tetangga
yang mulai merasa curiga kepada pemuda itu. Mengapa pembunuhan selalu terjadi
tanpa setahu pemuda itu? Dan mengapa pula para kawan Jit-hui-houw yang semua
terbunuh oleh pemuda itu membalas sakit hatinya kepada keluarga Kam, bukan
kepada si pemuda? Dan semua yang tewas itu berlubang kepalanya! Mereka
teringat betapa mayat lima orang yang mengacau pesta pernikahan dahulu itu, si
kakek jembel bersama empat orang Jit-hui-houw juga mati dengan kepala
berlubang! Dan si tetangga yang diserahi rumah makan, mendapatkan kenyataan
bahwa rumah makan itu hanya tinggal perabotnya saja, semua harta benda yang
berharga telah lenyap!
Kembali gegerlah kota Shen-yang! Berita
tentang kenyataan-kenyataan itu cepat tersebar luas dan timbullah dugaan bahwa
si pembunuh keluarga Kam itu tentu bukan lain pemuda Gak Bun Beng itu sendiri!
Apalagi setelah terdapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak pernah kembali lagi
ke Shen-yang, terkenallah nama Gak Bun Beng, kini bukan sebagai pemuda mantu
Kam Siok yang gagah perkasa, melainkan sebagai seorang pemuda kejam dan jahat!
Dan dugaan ini diperkuat dengan adanya berita yang memasuki kota Shen-yang
melalui para pendatang bahwa di dunia kang-ouw kini muncul seorang penjahat
muda yang terkenal dengan julukan Si Jari Maut!
Sementara itu, Tek Hoat yang dihebohkan di
kota Shen-yang dan Shen-bun dengan nama Gak Bun Beng, telah meninggalkan kota
itu dengan hati lega. Dia telah terbebas dari ikatan yang amat tidak
menyenangkan dan amat membosankan hatinya. Tentu saja ketika dia menerima
penawaran kakek Kam Siok untuk menikah dengan Siu Li, pada saat itu dia
terpengaruh untuk menolong mereka, akan tetapi sama sekali dia tidak berniat
untuk selamanya menjadi seorang suami yang terikat di rumah makan itu!
Kebetulan dia mendapat jalan dengan bujuk rayu Liok Si. Akhirnya, setelah
membunuh semua keluarga Kam, dia pergi sambil membawa harta benda mereka. Kini
tidak khawatir lagi akan kehabisan bekal di jalan.
Akan tetapi, buntalannya yang berisi banyak
emas dan perak itu menarik perhatian para penjahat yang bermata tajam. Namanya
yang belum terkenal membuat para perampok makin berani dan banyaklah perampok
yang mencoba untuk merampas buntalan pemuda remaja ini. Akan tetapi mereka
kecele karena perampok yang bagaimana lihaipun, begitu bertemu dengan pemuda
ini, tentu akan dihajar habis-habisan dan banyak pula yang tewas dengan kepala
berlubang. Maka gegerlah dunia kang-ouw dengan munculnya seorang tokoh baru,
seorang pemuda berjari maut dan segera terkenallah julukan Si Jari Maut. Akan
tetapi Tek Hoat tidak pernah mau memperkenalkan namanya sendiri, dan kalau
terpaksa dia harus mengaku, maka dia sengaja memakai nama Gak Bun Beng! Hal ini
adalah karena dia ingin orang membenci musuh besarnya yang telah meninggal
dunia itu, pula, dia merasa bahwa belum waktunya dia memperkenalkan nama
sebelum dia mencapai kedudukan sebagai seorang gagah nomor satu di dunia ini!
Dan untuk membuktikan bahwa dia adalah orang terpandai, dia harus lebih dulu
bisa mengalahkan pendekar yang diagung-agungkan ibunya, yaitu Pendekar Siluman
Majikan Pulau Es! Kalau sudah begitu, barulah dia akan memperkenalkan namanya
sendiri.
Ketika Tek Hoat tiba di luar kota raja, di
dalam sebuah hutan yang biasa didatangi oleh para bangsawan untuk berburu
binatang, dia mengalami hal yang sekaligus membuka matanya dan menyatakan
kepadanya bahwa sebetulnya ilmu kepandaiannya masih jauh untuk mencapai tingkat
jagoan nomor satu di dunia, dan juga membuka matanya bahwa selama ini dia
terlalu memandang tinggi tingkat kepandaiannya sendiri dan bahwa yang
dikalahkannya semua itu hanyalah penjahat-penjahat kelas rendahan saja!
Pengalaman yang mengejutkan hatinya ini
terjadi ketika dia sedang berjalan seorang diri di dalam hutan itu, sebuah
hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar dan kaya dengan burung-burung dan
binatang hutan. Selagi dia menikmati suara burung dan melihat kelinci dan
kijang lari ketakutan melihat dia datang, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
dan di belakangnya datang lima ekor kuda yang membalap. Jalan dalam hutan itu
sempit, akan tetapi dia tidak mau minggir, hendak dilihatnya apa yang akan
dilakukan lima orang penunggang kuda itu kalau dia tidak mau minggir!
“Haiii....! Minggir....!” Penunggang kuda
terdepan berseru.
Akan tetapi Tek Hoat tidak mau minggir, bahkan
membalikkan tubuhnya dan memandang dengan senyum sindir. Penunggang kuda
terdepan sudah tiba dekat dan mendadak orang itu, seorang berpakaian perwira
yang berwajah tampan bertubuh tegap, mengulurkan tubuhnya dari atas kuda ke
arah Tek Hoat dan tahu-tahu tubuh Tek Hoat sudah ditangkap dan diangkatnya
tinggi-tinggi tanpa pemuda ini dapat mengelak lagi!
“Bocah, apakah kau sudah bosan hidup maka
tidak mau minggir?” Bentak perwira itu sambil melemparkan tubuh Tek Hoat ke
samping. Tubuh Tek Hoat meluncur dan anehnya, tanpa dia mengerahkan
gin-kangnya, tubuhnya melayang perlahan dan tiba di atas tanah dalam keadaan
berdiri! Dia cepat memandang dan mengikuti lima orang penunggang kuda itu
dengan mata terbelalak. Tahulah dia bahwa perwira itu selain bertenaga besar
juga memiliki kepandaian hebat! Dia menjadi penasaran sekali. Masa dia kalah
oleh orang itu? Dengan hati penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya melawan
orang tadi, Tek Hoat lalu berlari mengejar ke dalam hutan.
Tak lama kemudian dia melihat lima orang
penunggang kuda itu di tengah hutan. Mereka sudah turun dari kuda dan binatang
tunggangan mereka sedang makan rumput, sedangkan mereka sendiri duduk di bawah
pohon, menghapus keringat dan memandang kepada seorang wanita yang masih duduk
di atas kudanya, seorang wanita yang amat cantik dan berpakaian amat indah.
Tek Hoat menyelinap dan bersembunyi, memandang dengan mata kagum. Wanita itu
sebaya ibunya, akan tetapi bukan main cantiknya dan bukan main mewah dan indah
pakaiannya. Kudanyapun merupakan kuda yang tinggi besar dan kuat, dan wanita
itu tiada hentinya memandang ke depan. Ketika Tek Hoat memandang pula, dia
hampir berteriak saking kagetnya. Di depan wanita itu kelihatan seekor harimau
yang besar sedang bersiap-siap untuk menubruk! Kuda tunggangan wanita itu
kelihatan gelisah sekali, dan lima ekor kuda lain yang tadinya makan rumput
juga mulai gelisah ketika harimau besar itu muncul. Namun, lima orang laki-laki
yang duduk di bawah pohon kelihatan tenang-tenang saja memandangi wanita itu,
sedangkan wanita cantik itu sendiri juga duduk di atas punggung kudanya dengan
tenang, tangannya memainkan sehelai sabuk sutera putih.
Melihat wanita itu bertangan kosong, tidak
membawa panah atau pedang, timbul kekhawatiran di hati Tek Hoat. Dia sendiripun
tidak bersenjata dan selamanya belum pernah melihat harimau, apalagi
melawannya. Akan tetapi karena melihat binatang itu hanya seperti seekor
kucing besar, dia tidak takut dan dia ingin sekali memamerkan ilmu
kepandaiannya kepada lima orang lakilaki itu terutama sekali kepada perwira
tampan gagah yang tadi melemparnya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, dia sudah
meloncat dengan tubuh ringan sekali, melayang ke depan wanita itu, menghadapi
harimau yang kelihatannya terkejut melihat ada orang “terbang” turun di
depannya! Harimau itu menggereng dan Tek Hoat sudah siap melawan mati-matian
sungguhpun kini dia baru tahu bahwa harimau itu kelihatan berbahaya dengan
mulut penuh taring.
“Bocah lancang! Mundurlah kau!” Terdengar
bentakan halus dan tiba-tiba Tek Hoat merasa pinggangnya seperti dirangkul
orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas. Biarpun dia berusaha
mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka dan alangkah heran dan kagetnya ketika
dia mendapat menyataan bahwa pinggangnya terbelit ujung sabuk sutera putih.
Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada orang, apalagi hanya seorang wanita,
dapat menggunakan sabuk sutera untuk memaksanya pergi, membuat tubuhnya
melayang dan menurunkan tubuhnya ke atas tanah seolah-olah sabuk itu bernyawa
dan amat kuatnya!
Dengan penasaran dia ingin meloncat maju, akan
tetapi tiba-tiba lengannya dipegang orang dari belakang, pegangan yang kuat
bukan main sehingga usahanya untuk merenggutnya lepas sia-sia belaka. Ketika
dia menoleh, orang itu adalah panglima yang tadi melemparnya. Kini tampak
betapa pakaian orang ini juga mewah dan indah, pakaian seorang panglima atau
perwira tinggi yang berwibawa dan bermata tajam.
“Sabarlah, orang muda, dan lihat betapa
ganasnya harimau itu!”
Terdengar gerengan hebat sehingga bumi yang
di bawah kakinya tergetar. Tek Hoat cepat memandang ke arah harimau dan melihat
harimau itu meloncat tinggi sekali, menerkam ke arah wanita yang masih duduk
tenang di atas punggung kudanya. Kudanya meronta dan meringkik, akan tetapi
anehnya kuda itu tidak mampu bergerak karena sesungguhnya tubuhnya telah
dijepit keras oleh kedua kaki wanita itu sehingga tak mampu berkutik. Ketika
tubuh wanita itu melayang di udara, wanita tadi menggerakkan tangan dan sinar
putih panjang menyambar ke depan. Itulah sabuk sutera putih yang telah
menyambut datangnya terkaman harimau. Ujung sabuk itu seperti seekor ular
hidup melibat perut harimau dan membanting ke bawah.
“Bressss!” Tubuh harimau terguling-guling
sampai mendekati seorang di antara pengawal yang duduk di bawah pohon.
Pengawal itu bangkit berdiri dan menusukkan tombaknya. Harimau yang besar itu
mengangkat kakinya menangkis atau mencengkeram ke arah tombak.
“Krekkkk!” Tombak itu patah-patah.
“Hati-hati, mundur....!” Wanita itu berseru
lagi dan kembali sabuk suteranya melayang dan menangkap pinggang harimau yang
kini hendak menyerang pengawal itu, mengangkat tubuh harimau ke atas dan
membantingnya lagi. Akan tetapi bantingan-bantingan keras itu ternyata hanya
membuat binatang itu marah, sama sekali tidak melumpuhkannya. Melihat ini,
mengertilah Tek Hoat bahwa binatang itu memang hebat dan ganas sekali, kuat dan
kebal.
Setelah lima kali wanita itu mengenakan ujung
sabuk suteranya membanting dan binatang itu masih tetap bangkit dan melawan
lebih ganas, agaknya dia menjadi marah dan penasaran sekali. Tangan kirinya
bergerak dan sinar emas menyambar ke arah harimau, tercium bau harum ketika
senjata jarum-jarum halus itu menyambar. Harimau meraung dan berloncat-loncatan
aneh ke atas, kemudian roboh dan berkelojotan.
“Bunuh dia!” Wanita itu berkata dan empat
orang pengawal melompat maju, lalu menggunakan tombak mereka untuk membunuh
harimau yang sudah sekarat itu.
Tek Hoat kini maklum bahwa dia bertemu dengan
orang-orang pandai, terutama sekali wanita cantik dan panglima ini. Maka dia
lalu merenggutkan lengannya terlepas dan berjalan pergi dari tempat itu.
Sesosok bayangan yang berkelebat cepat
mengejutkannya dan ketika dia melihat bahwa wanita cantik itu seperti terbang
saja sudah berada di depannya, dia mengira bahwa dia tentu akan ditegur atau
mendapatkan marah. Maka dia mendahului wanita itu dan memukul!
“Heiiii....!” Wanita itu berseru, menggunakan
tangan kirinya menyampok pukulan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan
sin-kang karena dia maklum akan kelihaian wanita itu.
“Plakkk....!” Tek Hoat terpelanting dan dia
hampir menjerit. Lengannya yang ditangkis oleh telapak tangan halus itu terasa
sakit bukan main! Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan wanita itu, maka dia lalu
membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu dengan hati kecewa dan terpukul
hebat. Dia mengagulkan kepandaiannya dan ternyata menghadapi seorang wanita
saja dia tidak mampu menang! Dengan kepandaiannya serendah itu dia hendak
mencari dan menantang Pendekar Siluman! Betapa memalukan!
“Hei, bocah lancang! Tunggu....!” Terdengar
panglima itu berseru.
“Biarlah, anak-anak yang mempunyai sedikit
kepandaian, memang biasanya keras kepala dan sombong!” terdengar wanita itu
mencegah.
Tek Hoat berlari makin kencang. Hatinya panas
sekali, panas dan kecewa. Dia kelihatan seperti seorang yang lemah menghadapi
panglima dan wanita cantik ini. Dia dikatakan kanak-kanak yang mempunyai
sedikit kepandaian. Anak-anak yang sombong dan keras kepala! Dia mengepal
tinjunya. Dia harus belajar lagi. Dia harus mengumpulkan ilmu-ilmu yang
tinggi. Dia harus menjadi jage nomor satu di dunia agar tidak akan ada yang
memandang rendah lagi!
Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mimpi
bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang puteri dari Pendekar Siluman!
Puteri itu adalah Puteri Milana yang sedang berburu binatang di hutan itu,
bersama suaminya, Panglima Han Wi Kong dan empat orang pengawal mereka. Ilmu
kepandaian Panglima Han Wi Kong memang tinggi, maka tentu saja Tek Hoat bukan
tandingannya, apalagi kepandaian Puteri Milana!
Seperti telah diceritakan, Puteri Milana telah
menikah dengan Panglima Han Wi Kong. Mereka hidup rukun, sungguhpun tak dapat
dikatakan bahwa Milana mencintai suaminya. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai
anak, seandainya ada, agaknya Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta
suaminya itu. Betapapun juga, mereka kelihatan rukun dan tak pernah terjadi
ribut di antara mereka.
Melihat seorang anak laki-laki yang memiliki
kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu, Milana dan suaminya terheran-heran.
Apalagi ketika suaminya menceritakan betapa anak itu tadi tidak mau minggir
sehingga terpaksa dia lemparkan dari jalan.
“Hemm, jelas dia bukan bocah biasa,” kata
Milana.
“Benar, dia tentu murid seorang pandai. Akan
tetapi sikapnya sungguh mencurigakan.”
“Dia bersikap aneh, tentu murid orang aneh
pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi, bukankah mirip sekali dengan Pat-sian-kun?
Heran sekali....!”
Mereka lalu kembali ke kota raja. Empat orang
pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah
menyangka anak laki-laki remaja tadi bukan lain adalah keturunan Wan Keng In!
Dia mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang Siok Bi pernah mengeroyok Gak
Bun Beng yang dianggapnya memperkosa para wanita itu (baca ceritaSepasang
Pedang Iblis), akan tetapi kemudian dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan
terkutuk itu adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak Bun Beng. Juga dia
tidak tahu bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun
lamanya oleh Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang
tadinya menemaninya di istana, akan tetapi yang pergi semenjak dia menikah.
Tek Hoat mengambil buntalannya yang tadi
disembunyikan di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanannya dengan wajah
murung. Kenyataan pahit betapa kepandaiannya tidak sehebat seperti yang
dianggapnya selama ini, membuat dia kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sai-cu
Lo-mo mengapa tidak mewariskan seluruh ilmunya! Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai
pula yang tidak mau menerimanya sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas
sekali dia tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tong-pai. Dia harus belajar
lagi. Akan tetapi belajar dari siapa?
Dengan bersungut-sungut Tek Hoat memasuki
sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan di dusun itu, dia masuk. Dia tidak
lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita itu tentulah orang-orang kota
raja dan tahulah dia betapa berbahayanya kota raja yang memiliki demikian
banyaknya orang pandai. Sebelum dia memiliki kepandaian yang tiada lawannya,
perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk dihina orang? Sekali masuk kota
raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!
“Brukkk!” Meja itu bergoyang-goyang dan tentu
ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek Hoat. Buntalannya memang berat
karena perak dan emas itu. Didengarnya suara orang berbisik-bisik. Ketika dia
mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah kiri duduk pula empat orang
laki-laki yang melihat pakaian dan gerak-geriknya, tentulah sebangsa jagoan
silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama sekali pandang mata
mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan pemuda itu.
“Ha-ha-ha, twako. Kalau sekali ini kita tidak
bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan kita ini,” kata seorang di antara
mereka.
“Aihhh, mana bisa memperoleh kakap di air
keruh? Tunggu di air tenang, barulah mudah menangkap kakap gemuk,” kata orang
yang kumisnya melintang sampai ke telinga.
“Twako, air di sinipun cukup tenang. Pula
siapa sih yang berani membikin keruh? Kakap tinggal tangkap saja, apa
sukarnya?”
“Kau benar juga, baik kita melihat gelagat,
ha-ha-ha!” kata si kumis panjang sambil tertawa dan minum araknya.
Tek Hoat diam saja karena memang tidak
mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu bahwa mereka itu membicarakan
dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan berat. Mata empat orang itu
amat tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi buntalan itu tentu emas!
Dengan tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil
menanti masakan, dia makan kwaci tanpa mempedulikan sedikit pun kepada empat
orang itu. Hatinya sedang kesal, wajahnya murung.
“Haii, orang muda. Mengapa engkau duduk
sendirian saja? Marilah duduk bersama kami!” tiba-tiba seorang di antara mereka
menegur Tek Hoat. Karena di rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat
bahwa dia yang ditegur, akan tetapi dia hanya melirik dan tidak menjawab, senyumnya
amat mengejek.
“Hei, orang muda. Lihatlah permainan kami
ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan kami ajari ilmu!” kata pula
orang ke dua.
Tek Hoat menoleh dan dia melihat si cambang
melintang itu menggerakkan kedua tangannya. Terdengar angin bersiutan dan
tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima batang senjata rahasia berbentuk
paku telah menancap berturut-turut di atas balok melintang, berjajar seperti
diatur saja!
“Bagaimana? Bagus, bukan? Kalau ditujukan
kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang lawan roboh binasa. Ha-ha-ha!”
Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa dengan lagak sombong.
“Huh!” Tek Hoat mendengus dan membuang muka
dengan hati jemu menyaksikan kesombongan orang. Kepandaian seperti itu saja
disombongkan, pikirnya. Betapa banyak manusia yang mengagulkan kepandaian
sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu sebetulnya bukan apa-apa, seperti
yang pernah dia sendiri lakukan pula.
Melihat sikap Tek Hoat, si kumis panjang
menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan sebatang paku meluncur ke arah
buntalan di atas meja Tek Hoat.
“Wirrrr.... trakkk!” Paku itu menembus
buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di sebelah dalam. Tek Hoat
terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa. “Kalau yang
kubidik tubuhmu, tentu sekarangpun engkau sudah tewas. Ha-ha-ha!”
Tek Hoat bangkit berdiri dengan marah. Empat
orang itu tertawa makin bergelak karena menganggap gerak-gerik pemuda itu lucu.
Dengan tenang Tek Hoat mencabut paku yang menancap di buntalannya. Empat orang
itu masih tertawa akan tetapi tiba-tiba suara mereka terhenti dan mata mereka
terbelalak ketika melihat betapa jari-jari tangan pemuda remaja itu
mematahmatahkan paku seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Kemudian,
tangan kiri Tek Hoat menjemput kwaci di atas piring dan dengan pengerahan
tenaga dia melontarkan kwaci-kwaci itu ke atas, ke arah lima batang paku yang
menancap di balok melintang. Terdengar suara berdenting dan lima batang paku
itu jatuh semua ke atas lantai!
Empat orang itu menjadi pucat wajahnya, akan
tetapi Tek Hoat masih menggerakkan tangan kirinya dan segenggam kwaci melayang
ke arah empat orang itu. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh dan.... muka mereka
berdarah-darah ketika kwaci-kwaci itu menancap di muka mereka!
Pada saat itu, pelayan datang membawa daging
dan roti pesanan Tek Hoat. Pemuda ini segera berkata, “Bungkus semua itu, aku
akan makan di luar, di sini banyak lalat.”
Pelayan yang melihat empat orang kasar tadi
mengaduh-aduh, mencabuti kwaci dari muka dan darah bercucuran, kaget sekali,
cepat-cepat membungkus makanan yang dipesan Tek Hoat dan memberikannya kepada
pemuda itu. Tek Hoat memasukkan makanan ke dalam buntalan, mengeluarkan uang
harganya dan menekan uang itu di atas meja, lalu pergi tanpa berkata apa-apa
lagi.
Pelayan itu terbelalak memandang uang yang
telah gepeng dan meja yang berlubang terkena tekanan jari tangan pemuda itu.
Juga empat orang itu melihat ini dan si kumis panjang kaget sekali. “Jari....
Jari Maut....” Bisiknya, kemudian bersama teman-temannya dia dengan cepat
meninggalkan rumah makan, meninggalkan si pelayan yang masih bengong dan
kemudian mengambil uang yang gepeng dan melesak di atas meja itu dengan
mencukilnya dengan pisau.
Seperti telah diceritakan, Puteri Milana telah
menikah dengan Panglima Han Wi Kong. Mereka hidup rukun, sungguhpun tak dapat
dikatakan bahwa Milana mencintai suaminya. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai
anak, seandainya ada, agaknya Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta
suaminya itu. Betapapun juga, mereka kelihatan rukun dan tak pernah terjadi
ribut di antara mereka.
Melihat seorang anak laki-laki yang memiliki
kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu, Milana dan suaminya terheran-heran.
Apalagi ketika suaminya menceritakan betapa anak itu tadi tidak mau minggir
sehingga terpaksa dia lemparkan dari jalan.
“Hemm, jelas dia bukan bocah biasa,” kata
Milana.
“Benar, dia tentu murid seorang pandai. Akan
tetapi sikapnya sungguh mencurigakan.”
“Dia bersikap aneh, tentu murid orang aneh
pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi, bukankah mirip sekali dengan
Pat-sian-kun? Heran sekali....!”
Mereka lalu kembali ke kota raja. Empat orang
pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah menyangka
anak laki-laki remaja tadi bukan lain adalah keturunan Wan Keng In! Dia
mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang Siok Bi pernah mengeroyok Gak Bun
Beng yang dianggapnya memperkosa para wanita itu (baca ceritaSepasang
Pedang Iblis), akan tetapi kemudian dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan
terkutuk itu adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak Bun Beng. Juga dia
tidak tahu bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun
lamanya oleh Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang
tadinya menemaninya di istana, akan tetapi yang pergi semenjak dia menikah.
Tek Hoat mengambil buntalannya yang tadi
disembunyikan di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanannya dengan wajah
murung. Kenyataan pahit betapa kepandaiannya tidak sehebat seperti yang
dianggapnya selama ini, membuat dia kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sai-cu
Lo-mo mengapa tidak mewariskan seluruh ilmunya! Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai
pula yang tidak mau menerimanya sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas
sekali dia tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tong-pai. Dia harus
belajar lagi. Akan tetapi belajar dari siapa?
Dengan bersungut-sungut Tek Hoat memasuki
sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan di dusun itu, dia masuk. Dia tidak
lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita itu tentulah orang-orang kota
raja dan tahulah dia betapa berbahayanya kota raja yang memiliki demikian
banyaknya orang pandai. Sebelum dia memiliki kepandaian yang tiada lawannya,
perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk dihina orang? Sekali masuk kota
raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!
“Brukkk!” Meja itu bergoyang-goyang dan tentu
ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek Hoat. Buntalannya memang berat
karena perak dan emas itu. Didengarnya suara orang berbisik-bisik. Ketika dia
mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah kiri duduk pula empat orang
laki-laki yang melihat pakaian dan gerak-geriknya, tentulah sebangsa jagoan
silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama sekali pandang mata
mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan pemuda itu.
“Ha-ha-ha, twako. Kalau sekali ini kita tidak
bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan kita ini,” kata seorang di antara
mereka.
“Aihhh, mana bisa memperoleh kakap di air
keruh? Tunggu di air tenang, barulah mudah menangkap kakap gemuk,” kata orang
yang kumisnya melintang sampai ke telinga.
“Twako, air di sinipun cukup tenang. Pula
siapa sih yang berani membikin keruh? Kakap tinggal tangkap saja, apa
sukarnya?”
“Kau benar juga, baik kita melihat gelagat,
ha-ha-ha!” kata si kumis panjang sambil tertawa dan minum araknya.
Tek Hoat diam saja karena memang tidak
mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu bahwa mereka itu membicarakan
dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan berat. Mata empat orang itu
amat tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi buntalan itu tentu emas!
Dengan tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil
menanti masakan, dia makan kwaci tanpa mempedulikan sedikit pun kepada empat
orang itu. Hatinya sedang kesal, wajahnya murung.
“Haii, orang muda. Mengapa engkau duduk
sendirian saja? Marilah duduk bersama kami!” tiba-tiba seorang di antara mereka
menegur Tek Hoat. Karena di rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat
bahwa dia yang ditegur, akan tetapi dia hanya melirik dan tidak menjawab,
senyumnya amat mengejek.
“Hei, orang muda. Lihatlah permainan kami
ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan kami ajari ilmu!” kata pula
orang ke dua.
Tek Hoat menoleh dan dia melihat si cambang
melintang itu menggerakkan kedua tangannya. Terdengar angin bersiutan dan
tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima batang senjata rahasia berbentuk
paku telah menancap berturut-turut di atas balok melintang, berjajar seperti
diatur saja!
“Bagaimana? Bagus, bukan? Kalau ditujukan
kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang lawan roboh binasa. Ha-ha-ha!”
Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa dengan lagak sombong.
“Huh!” Tek Hoat mendengus dan membuang muka
dengan hati jemu menyaksikan kesombongan orang. Kepandaian seperti itu saja
disombongkan, pikirnya. Betapa banyak manusia yang mengagulkan kepandaian
sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu sebetulnya bukan apa-apa, seperti
yang pernah dia sendiri lakukan pula.
Melihat sikap Tek Hoat, si kumis panjang
menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan sebatang paku meluncur ke arah
buntalan di atas meja Tek Hoat.
“Wirrrr.... trakkk!” Paku itu menembus
buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di sebelah dalam. Tek Hoat
terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa. “Kalau yang
kubidik tubuhmu, tentu sekarangpun engkau sudah tewas. Ha-ha-ha!”
Tek Hoat bangkit berdiri dengan marah. Empat
orang itu tertawa makin bergelak karena menganggap gerak-gerik pemuda itu lucu.
Dengan tenang Tek Hoat mencabut paku yang menancap di buntalannya. Empat orang
itu masih tertawa akan tetapi tiba-tiba suara mereka terhenti dan mata mereka
terbelalak ketika melihat betapa jari-jari tangan pemuda remaja itu
mematahmatahkan paku seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja!
Kemudian, tangan kiri Tek Hoat menjemput kwaci di atas piring dan dengan
pengerahan tenaga dia melontarkan kwaci-kwaci itu ke atas, ke arah lima batang
paku yang menancap di balok melintang. Terdengar suara berdenting dan lima
batang paku itu jatuh semua ke atas lantai!
Empat orang itu menjadi pucat wajahnya, akan
tetapi Tek Hoat masih menggerakkan tangan kirinya dan segenggam kwaci melayang
ke arah empat orang itu. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh dan.... muka mereka
berdarah-darah ketika kwaci-kwaci itu menancap di muka mereka!
Pada saat itu, pelayan datang membawa daging
dan roti pesanan Tek Hoat. Pemuda ini segera berkata, “Bungkus semua itu, aku
akan makan di luar, di sini banyak lalat.”
Pelayan yang melihat empat orang kasar tadi
mengaduh-aduh, mencabuti kwaci dari muka dan darah bercucuran, kaget sekali,
cepat-cepat membungkus makanan yang dipesan Tek Hoat dan memberikannya kepada
pemuda itu. Tek Hoat memasukkan makanan ke dalam buntalan, mengeluarkan uang
harganya dan menekan uang itu di atas meja, lalu pergi tanpa berkata apa-apa
lagi.
Pelayan itu terbelalak memandang uang yang
telah gepeng dan meja yang berlubang terkena tekanan jari tangan pemuda itu.
Juga empat orang itu melihat ini dan si kumis panjang kaget sekali. “Jari....
Jari Maut....” Bisiknya, kemudian bersama teman-temannya dia dengan cepat
meninggalkan rumah makan, meninggalkan si pelayan yang masih bengong dan
kemudian mengambil uang yang gepeng dan melesak di atas meja itu dengan
mencukilnya dengan pisau.
Dengan hati yang mendongkol sekali Tek Hoat
keluar dari dusun dan memasuki sebuah hutan. Kalau saja dia tidak mengingat
bahwa ilmu kepandaiannya sebenarnya belum berapa tinggi kalau dibandingkan
dengan panglima dan wanita cantik yang ditemuinya dalam hutan, di luar kota
raja, tentu dia tadi sudah membunuh empat orang kasar itu. Sekarang dia harus
berhati-hati, tidak mencari permusuhan karena kepandaiannya belum tinggi.
“Wan-kangcu....!”
Tek Hoat terkejut sekali. Suara yang tiba-tiba
terdengar di belakang itu demikian nyaringnya, merupakan lengking yang dahsyat
tanda bahwa yang bersuara itu memiliki khi-kang yang kuat sekali. Dia cepat
menoleh dan lebih terkejut lagi dia ketika melihat bahwa orang yang berseru itu
ternyata masih jauh dan kini orang itu berlari dengan kecepatan yang membuatnya
terbelalak heran dan kagum. Sebentar saja orang itu sudah berada di depannya
dan untuk ketiga kalinya Tek Hoat terkejut. Orang ini memang luar biasa sekali.
Mukanya merah, merah muda! Seperti muka seorang gadis cantik yang dirias bedak
dan yanci (pemerah pipi), akan tetapi wajah itu buruk, bulat dan serba besar
hidung dan bibirnya. Matanya berputaran liar seperti mata orang yang miring
otaknya, dan kepalanya gundul, ditumbuhi rambut yang jarang dan layu. Tubuhnya
gendut pendek. Akan tetapi yang membuat Tek Hoat terkejut adalah ketika
melihat betapa dari mulut orang itu keluar asap tipis putih yang keluar masuk
menurutkan jalan napasnya yang agaknya bukan hanya melalui hidung saja, akan
tetapi juga melalui mulutnya yang terbuka itu. Melihat uap putih ini di waktu
musim dingin, tidaklah aneh. Akan tetapi sekarang hawa sedang panasnya,
bagaimana orang ini dapat menyebabkan uap dengan napasnya? Dan dari dalam perut
orang itu terdengar bunyi seperti orang kalau sedang lapar, hanya bedanya,
kalau perut orang lapar terdengar bunyi berkeruyuk, adalah perut orang ini
mengeluarkan bunyi berkokok seperti katak, hanya agak jarang terdengarnya dan
hanya telinga terlatih saja yang dapat menangkap suara itu.
Sejenak kedua orang ini saling berpandangan.
Tek Hoat memandang penuh keheranan sedangkan orang aneh itu
memandang
dengan mata berputaran dan mulut menyeringai. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut
dan berkata, “Aha, tidak salah lagi, engkau adalah Wan-kongcu (tuan muda Wan)!
Ha-ha-ha, akhirnya dapat juga kita saling bertemu!”
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Jelas bahwa
orang ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan
tetapi masih diragukan kewarasan otaknya. Maka dia bersikap hati-hati, tidak
segera menyangkal dan dia malah memancing, “Siapakah engkau?”
“Heh-heh-heh, kongcu sudah lupa kepada saya?
Masa lupa kepada anak buah sendiri? Saya orang yang paling setia di Pulau
Neraka, saya Kong To Tek.”
Tentu saja Tek Hoat sama sekali tidak mengenal
nama ini, bahkan sebutan Pulau Nerakapun baru sekarang dia mendengarnya. Akan
tetapi dia cukup cerdik untuk menyangkal, maka dia diam saja dan segera
menurunkan buntalannya, duduk di bawah pohon berhadapan dengan si kepala gundul
yang aneh ini. Dikeluarkannya daging dan roti yang dibelinya tadi.
“Kau mau makan?” Dia menawarkan.
Kong To Tek girang sekali, lalu tanpa
sungkan-sungkan, seperti seekor anjing kelaparan, dia menyerbu daging dan roti
itu sehingga Tek Hoat hanya kebagian sedikit.
Di dalam ceriteraSepasang Pedang Iblis
diceritakan bahwa Kong To Tek adalah seorang di antara tokoh Pulau Neraka,
menjadi pembantu ketua Pulau Neraka yang waktu itu dipegang oleh Lulu. Dia
bahkan merupakan tokoh pembantu pertama, dan yang kedua adalah Ji Song yang
kini menjadi pembantu utama ketua baru Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo. Pulau
Neraka ditinggal oleh para tokohnya, yaitu ketika dua orang kakek sakti tokoh
Pulau Neraka yang penuh rahasia, yaitu Cui-beng Koai-ong dan sutenya, Bu-tek
Siauw-jin, saling bertanding sendiri dan keduanya tewas bersama, kemudian
ketua Pulau Neraka, Lulu juga meninggalkan pulau itu untuk kemudian ikut
suaminya, Pendekar Siluman ke Pulau Es. Semua ini diceritakan dalam
ceriteraSepasang Pedang Iblis . Mengapa Kong To Tek bisa berada di tempat itu,
berkeliaran di daratan besar dan tidak tinggal di Pulau Neraka? Biarlah kita
dengarkan sendiri penuturannya kepada Tek Hoat.
“Benarkah engkau Kong To Tek tokoh Pulau
Neraka?” Tek Hoat yang cerdik sekali itu berkata memancing. “Engkau berubah
sekali sampai aku tidak mengenalmu lagi.”
“Ha-ha-heh-heh-heh, di dunia ini masa ada Kong
To Tek kedua? Saya adalah Kong To Tek yang tulen, Kongcu. Kong To Tek dari
Pulau Neraka yang aseli!” Si gundul itu mengusap sisa makanan di bibir dan
menggaruk-garuk kepalanya, matanya memandang liar ke kanan kiri. Diam-diam Tek
Hoat merasa ngeri juga menyaksikan sikap liar ini.
“Ka1au engkau betul Kong To Tek yang aseli,
coba katakan siapa namaku.”
“Wah, masa aku bisa lupa kepadamu, kongcu.
Engkau adalah kongcu Wan Keng In putera tunggal Ketua Pulau Neraka.”
Tek Hoat terkejut sekali, akan tetapi bersikap
tenang. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa yang disebut Wan Keng In itu
sebenarnya adalah ayahnya, ayah kandung yang telah memperkosa ibunya! Dan bahwa
wajahnya memang mirip sekali dengan Wan Keng In.
“Benar, akan tetapi aku belum puas. Coba
katakan siapa guruku?”
“Ha-ha, apakah kongcu main-main? Tentu saja
guru kongcu adalah Cui-beng Koai-ong.... dan karena pesan mendiang gurumu
itulah maka dengan susah payah saya mencari kongcu.”
Tek Hoat pura-pura kaget. “Apa? Guruku....
Cui-beng Koai-ong telah meninggal dunia?”
Si gundul itu mengangguk-angguk. “Banyak hal
terjadi di Pulau Neraka, semenjak kongcu berlari pergi.... dan tocu (majikan
pulau), yaitu ibu kongcu juga tidak pernah kembali lagi....”
Tek Hoat bisa menggambarkan apa yang
diceritakan oleh si gundul ini. Agaknya dia disangka putera seorang majikan
pulau, yaitu Pulau Neraka dan bahwa dia murid Cui-beng Koai-ong yang telah
meninggal dunia. Dan ibunya, yaitu ketua pulau telah pergi dan tidak kembali
lagi!
“Kong To Tek lopek (paman tua), coba kau
ceritakan apa yang terjadi di Pulau Neraka.”
Kong To Tek duduk setengah rebah, bersandar
pohon dan sikapnya seenaknya biarpun berada di depan majikannya, hal ini
menunjukkan kepada Tek Hoat bahwa orang Pulau Neraka adalah orang-orang liar
yang kurang mempedulikan tata susila atau sopan santun. Akan tetapi dia tidak
peduli dan mendengarkan penuturan kakek itu dengan penuh perhatian. Kakek ini
usianya tentu sudah enampuluh tahun lebih, otaknya miring, akan tetapi jelas
berkepandaian tinggi dan ceritanya tentu aneh.
Dan cerita Kong To Tek memang aneh. Dia
menceritakan bahwa sebelum terjadi peristiwa hebat di Pulau Neraka, yaitu
matinya Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, kakak beradik seperguruan yang
merupakan manusia-manusia sakti jarang ada tandingnya, pada suatu hari dia
didatangi oleh Cui-beng Koai-ong Si Mayat Hidup.
“Agaknya gurumu itu telah mempunyai firasat
buruk, kongcu. Buktinya, baru dua hari setelah dia mendatangi saya, terjadilah
pertandingan hebat antara gurumu dan susiokmu Bu-tek Siauw-jin yang
mengakibatkan keduanya tewas!”
“Kong-lopek, apa maksudnya mendiang suhu
mendatangimu?” Tek Hoat mendesak, makin tertarik dengan cerita aneh ini.
“Gurumu menyerahkan dua buah kitab dan
sepatang pedang yang katanya merupakan inti segala ilmu yang dimiliki suhumu
dan susiokmu, dengan pesan agar kelak aku menyerahkan semua itu kepadamu.”
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Tek
Hoat. Dia melompat bangun dan menghardik. “Di mana pusaka-pusaka itu?”
Si gundul tertawa. “Jangan khawatir, kongcu.
Sudah saya simpan baik-baik. Ah, sayang sekali, saya buta huruf dan tidak dapat
mempelajari kitab-kitab itu. Padahal, baru melihat-lihat gambar-gambarnya dan
meniru dari gambar-gambar itu saja sudah membuat saya memperoleh kemajuan yang
hebat ini, kongcu!” Si gundul menghampiri pohon sebesar dua kali tubuh orang.
Dia memekik dan menubruk pohon itu dengan kepalanya, dengan loncatan yang kuat
sekali.
“Heiii....!” Tek Hoat berseru kaget.
“Desss! Brakkkkk....!”
Pohon itu patah dan tumbang, sedangkan si
gundul sudah tertawa-tawa lagi di depan Tek Hoat. Pemuda ini terkejut setengah
mati, akan tetapi diam-diam menjadi girang bukan main. Wajahnya tenang saja,
bahkan dia mengejek, “Hem, Kong-lopek, apakah engkau hendak menyombongkan diri
di depanku?”
Tiba-tiba si gundul berlutut. “Sama sekali
tidak, Kongcu. Ampunkan saya. Saya hanya ingin membuktikan betapa hanya dengan
mempelajari gambar-gambarnya saja, kepandaian saya sudah meningkat hebat.”
“Hayo cepat serahkan kitab-kitab dan pedang
dari suhu kepadaku!”
“Baik, baik.... mari, kongcu. Benda pusaka itu
kusembunyikan di dalam guha yang selama ini menjadi tempat tinggal saya.”
Keduanya berlari-larian. Tek Hoat mengerahkan
gin-kangnya dan berlari secepat mungkin, akan tetapi kakek gundul itu sambil
tertawa-tawa masih dapat mengimbangi kecepatan larinya. Hebat!
Guha itu berada di daerah berbatu-batu di
lereng gunung yang dikelilingi hutan lebat. Sunyi dan tak pernah dikunjungi
manusia. Guha yang cukup besar, dalamnya ada lima meter dan gelap. Ketika
akhirnya kakek itu menyerahkan dua buah kitab dan sebatang pedang kepadanya,
Tek Hoat menjadi girang sekali dan dengan jantung berdebar dia membawa
benda-benda pusaka itu keluar, ke tempat terang. Dicabutnya pedang itu dan
matanya menjadi silau. Sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kebiruan dan
mengandung wibawa yang kuat mengerikan, dan begitu tercabut terciumlah bau
amis bercampur harum yang memuakkan. Ukiran huruf kecil-kecil di dekat gagang
memperkenalkan nama pedang itu. Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa)!
Disarungkannya kembali pedang itu dan diselipkan di pinggangnya. Kemudian dia
membalik-balik lembaran dua buah kitab itu. Ternyata itu adalah dua kitab yang
mengandung pelajaran ilmu silat yang mujijat, inti dari semua ilmu silat yang
dikuasai oleh Cui-beng Koai-ong dan yang sebuah lagi adalah hasil ciptaan
Bu-tek Siauw-jin. Dahulu, sebelum kedua orang manusia sakti itu saling
bertanding sampai mati keduanya, Cui-beng Koai-ong yang agak jerih terhadap
sutenya telah berlaku curang, mencuri kitab ke dua dari sutenya. Akan tetapi
sebelum dia sempat mempelajari kitab sutenya, keburu mereka bertanding karena
masing-masing membela murid (baca ceritaSepasang Pedang Iblis).
“Heh-heh-heh, apakah engkau tidak girang,
kongcu?”
Tek Hoat memandang kakek gundul itu dan
mengangguk. “Terima kasih, Kong-lopek. Kau baik sekali. Memang kau seorang yang
paling setia di Pulau Neraka. Kau berjasa sekali dan aku tentu tidak akan
melupakan jasamu ini.”
“Heh-heh-heh, betapa banyak kesengsaraan
kuderita selama mencarimu, kongcu. Akan tetapi akhirnya berhasil juga, ha-ha,
sekarang aku tidak takut lagi kelak harus bertanggung jawab di depan suhumu.
Aku ngeri membayangkan betapa aku harus mempertanggungjawabkan kelak kalau aku
tidak berhasil menyerahkan semua ini kepadamu.”
Diam-diam Tek Hoat heran sekali. Kakek yang
amat lihai ini ternyata takut luar biasa kepada “gurunya” yang bernama
Cui-beng Koai-ong! Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah pikiran dan bertanya,
“Kong-lopek, menurut pendapatmu, siapakah yang lebih lihai antara guruku dan
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?”
Mendadak tubuh kakek itu gemetar dan kepalanya
digeleng-gelengkan. “Jangan.... jangan.... sebut-sebut nama dia.... bisa
datang secara tiba-tiba dia nanti.... ihhh.... aku takut, kongcu.”
Kembali Tek Hoat terkejut. Kiranya Pendekar
Siluman sedemikian hebatnya sampai kakek inipun ketakutan, padahal baru
menyebut namanya saja.
“Jangan khawatir, lopek. Dia tidak akan
muncul, tapi katakan, siapa yang lebih lihai di antara mereka?”
“Entahlah, seorang bodoh seperti saya mana
bisa menilai? Kepandaian beliau itu terlalu hebat, mengerikan.... tapi kalau
suhumu dan susiokmu (paman guru) maju berdua, kiranya akan menang.”
Tek Hoat kagum bukan main. Begitu hebatnya
Pendekar Siluman! Akan tetapi kini dia memperoleh kitab wasiat suhu dan
susioknya, berarti dia dididik oleh dua orang manusia sakti itu. Kelak tentu
dia akan dapat menandingi Pendekar Siluman! Demikianlah, sejak hari itu, Tek
Hoat tinggal di dalam guha bersama Kong To Tek yang melayaninya dan yang selalu
menjaga di luar guha di waktu Tek Hoat sedang berlatih ilmu silat. Untuk kedua
kalinya, pemuda ini berganti nama, kini namanya Wan Keng In, biarpun hanya
terhadap kakek gundul itu! Dengan penuh ketekunan dia mempelajari semua ijmu
yang berada di dalam dua kitab itu, dan melatih diri siang malam, kalau siang
berlatih gerakan silatnya, kalau malam berlatih sin-kang dan bersamadhi
menurut petunjuk di dalam kitab-kitab itu. Dia melarang Kong To Tek untuk
menimbulkan ribut di luaran, dan semua hartanya digunakan untuk persedian
makan dan pakaian mereka berdua.
***
Kita tinggalkan dulu Tek Hoat yang tekun
mempelajari ilmu yang mujijat, ilmu yang amat hebat dan yang kelak akan
menggegerkan dunia, menemukan secara kebetulan saja karena pembawa pusaka itu,
Kong To Tek, telah menjadi gila dan tidak mengenal orang lagi, mengira Tek Hoat
adalah Wan Keng In. Untuk melancarkan jalannya cerita, sebaiknya kalau kita
kembali ke barat, ke daerah Kerajaan Bhutan, mengikuti pasukan Pemerintah
Bhutan yang sibuk mencari rajanya yang terancam bahaya.
Karena mengkhawatirkan keselamatan rajanya,
maka Panglima Jayin sendiri memimpin seribu orang perajurit, ditemani oleh
panglima pengawal dari rombongan utusan kaisar, malam-malam berangkat juga
meninggalkan kota raja. Pasukan sebanyak seribu orang itu berderap dalam sebuah
barisan panjang keluar dari kota raja. Obor yang bernyala terang dibawa oleh
para perajurit dan diangkat tinggi-tinggi itu dari jauh kelihatan seperti
ribuan kunang-kunang di tengah sawah, atau seperti bintang-bintang yang
bertaburan di langit hitam. Kalau mereka berlari untuk mengimbangi derap
langkah kaki kuda yang cepat, maka dari jauh obor-obor itu menciptakan
pemandangan yang lebih indah, seperti seekor naga api merayap.
Barisan panjang itu naik turun bukit dan masuk
keluar hutan, akhirnya mereka tiba di sebuah padang rumput yang amat luas.
Tiba-tiba Panglima Jayin memberi aba-aba dan pasukannya berhenti. Jauh di
sebelah utara tampak banyak kunang-kunang bertebaran yang dapat diduga tentulah
sebuah barisan lain.
“Agaknya itulah barisan musuh yang mengganggu
raja,” kata Jayin perlahan kepada pengawal kaisar yang menunggang kuda di
sebelahnya. “Bagaimana pendapatmu, Tan-ciangkun?”
“Kita harus berhati-hati. Musuh yang sudah
menduga akan kedatangan kita tentu telah mengadakan persiapan dan jebakan.
Karena itu, sebelum ciangkun turun tangan, sebaiknya kalau kita melakukan
penyelidikan lebih dulu dan menilai kekuatan dan kedudukan musuh.”
Panglima Jayin sependapat dengan Tan-ciangkun.
Dia mengangguk-angguk kemudian berkata, “Tan-ciangkun, karena sekarang kita
bertugas untuk menyelamatkan raja, maka aku tidak berani menyerahkan
penyelidikan ini kepada anak buahku. Aku akan pergi melakukan penyelidikan
sendiri, dan harap Tan-ciangkun suka mengawani aku.”
“Tentu saja. Mari kita pergi.”
Jayin lalu menyerahkan pimpinan kepada
wakilnya dan memesan agar pasukan menanti tanda dari dia. Kalau sampai besok
pagi tidak ada tanda dari dia, pasukan boleh menyerbu saja ke depan menyerang
musuh. Setelah memberikan nasehat dan perintahnya, Panglima Jayin dan pengawal
kaisar itu berangkat. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat. Kaki mereka yang
berlari di padang rumput itu tidak menimbulkan suara dan seolah-olah mereka
terbang ke depan, berkelebat seperti dua orang iblis di tengah malam gelap.
Hanya bintang-bintang di langit saja yang menjadi penerangan bagi mereka,
dengan cahayanya yang suram.
Tak lama kemudian, dua orang gagah itu tiba di
tempat di mana terdapat api-api bernyala itu. Mereka tertegun ketika melihat
bahwa obor yang ratusan banyaknya itu ternyata tidak dipegang orang! Bukan
pasukan musuh yang memegang obor yang dilihat mereka dari jauh tadi, melainkan
obor-obor bambu yang gagangnya ditancapkan di atas tanah, dan ratusan buah obor
yang bernyala ini mengurung sebuah rumah kecil dari tembok yang sederhana dan
sunyi, sebuah rumah terpencil yang kelihatan terang oleh banyak obor itu.
“Hemm, aneh sekali. Mari kita menyerbu ke
dalam, kita periksa rumah itu,” kata Panglima Jayin.
“Ssttt, hati-hati, ciangkun. Lihat baik-baik.
Obor-obor itu teratur seperti bentuk barisan pat-kwa. Aku merasa curiga
sekali. Ini bukanlah sembarangan obor-obor saja, melainkan sebuah benteng! Ini
tentulah buatan orang pandai. Kalau kita lancang masuk, kita akan terjebak,
mungkin bisa masuk takkan bisa keluar lagi. Biarlah aku memeriksanya dulu.”
Panglima Bhutan itu mengangguk dan Tan Siong
Khi si jenggot panjang cepat melompat dan berlari mengelilingi benteng obor
itu. Benar seperti dugaannya, barisan obor itu merupakan benteng yang kokoh
kuat dan banyak mengandung rahasia. Dia sendiri akan sangsi untuk memasuki
benteng obor ini, karena tentu banyak bahaya maut mengancamnya. Dia telah tiba
kembali di tempat Panglima Jayin menantinya dengan hati tegang.
“Benar, sukar menembus benteng obor ini. Pula,
kita harus berhati-hati. Kalau tidak sudah jelas dan penting, mengapa kita
harus memasuki dan menyelidiki rumah itu? Kita tidak tahu jebakan apa yang
menanti kita di sana....”
Tiba-tiba terdengar langkah orang, banyak
sekali. Dua orang gagah ini cepat membalikkan tubuh, Panglima Jayin sudah
mencabut pedangnya dan pengawal Tan Siong Khi sudah siap menghadapi bahaya. Dan
ternyata yang muncul itu orang-orang Mongol dan Tibet yang ganas dan kasar,
yang kini sedang menyerang kedua orang itu sambil berteriak-teriak. Hujan
senjata datang menyerbu kedua orang gagah itu. Panglima Jayin mengamuk dengan
pedangnya, sedangkan Tan-ciangkun yang gagah perkasa itu menghadapi para
pengeroyoknya dengan tangan kosong. Senjatanya hanyalah kaki tangannya
ditambah jenggotnya yang panjang. Akan tetapi jenggot ini tidak kalah hebatnya
oleh pedang di tangan Panglima Jayin dan terpelantinglah beberapa orang
pengeroyok terdepan, roboh oleh kelebatan pedang Jayin dan hantaman jenggot
yang melecut-lecut!
Akan tetapi fihak pengeroyok terlalu besar
jumlahnya dan mereka itu terdiri dari orang-orang kasar yang tidak takut mati.
Bagaikan segerombolan serigala buas, kurang lebih seratus orang itu mengeroyok
Jayin dan Tan Siong Khi maka setelah merobohkan belasan orang, kedua orang
gagah ini mulai terdesak hebat, bahkan keduanya sudah terluka di pundak karena
sambaran golok para pengeroyok.
“Jayin-ciangkun, terpaksa kita masuk ke
benteng obor!” kata Tan-ciangkun dan dia mendahului meloncat masuk. Ketika
melihat betapa para pengeroyok itu agaknya jerih dan tidak berani mengejar
temannya, Panglima Jayin juga ikut melompati sebuah obor yang tingginya sama
dengan manusia itu. Hampir saja pakaiannya terbakar, maka dengan hati-hati dia
lalu menyelinap di antara obor-obor itu mendekati Tan Siong Khi. Dengan
hati-hati sekali mereka masuk selangkah demi selangkah, akan tetapi ternyata
jalan menjadi buntu dengan obor-obor menghadang di depan, dan hawa panas dari
obor-obor itu membuat mereka berkeringat, asap dari obor membuat napas menjadi
sesak.
Para pengeroyok tadi kini menyerang mereka
dari luar benteng obor, dengan menggunakan anak panah! Tentu saja dua orang
gagah itu menjadi semakin sibuk! Baru barisan obor itu saja membuat mereka
kewalahan dan tidak tahu ke mana harus melangkah, kini diserang oleh hujan anak
panah. Repotlah mereka mengelak dan karena tempat mereka terkurung obor dan
sempit, terpaksa Tan Siong Khi menggunakan jenggot dan jubahnya yang dipegang
di tangan kasar untuk menangkis, sedangkan Jayin menangkis dengan pedangnya.
Keadaan mereka berbahaya sekali karena kalau penyerangan itu dilanjutkan, dalam
waktu singkat mereka tentu akan terkena anak panah dan kalau roboh terjilat
api, tentu mereka akan terbakar hidup-hidup!
Dalam keadaan yang amat gawat itu, tiba-tiba
terdengar suara, yang jelas sekali, seolah-olah orang yang bicara itu berada di
dekat mereka, suara yang penuh wibawa dan halus tenang. “Ke kiri melalui tiga
obor....!”
Mendengar suara ini, dua orang gagah itu
saling pandang, kemudian mereka segera melangkah ke kiri sampai melalui tiga
batang obor.
“Maju melalui sebatang obor....” kembali
terdengar suara itu. “Lalu ke kanan melalui empat batang obor....!”
Dituntun oleh suara itu, dua orang gagah itu
bergerak sambil terus menangkisi anak panah. Suara itu terus menuntun mereka
sampai akhirnya mereka dapat masuk makin jauh dan tidak ada lagi anak panah
dapat mencapai mereka. Tak lama kemudian, suara yang memimpin itu membawa
mereka tiba di depan pintu rumah di tengah-tengah kelilingan benteng obor!
Pintu rumah terbuka dan tampaklah panglima
pertama dari Bhutan, yaitu Panglima Sangita yang mengawal raja berburu.
“Masuklah cepat, untung kalian masih dapat tertolong.”
Dua orang itu cepat masuk dan daun pintu
ditutup lagi oleh Panglima Sangita. Begitu memasuki rumah, dua orang gagah itu
terkejut dan girang sekali melihat bahwa Raja Bhutan telah berada di situ,
duduk di atas sebuah kursi dalam keadaan sehat dan selamat. Dan di depan raja
itu berdiri seorang laki-laki yang aneh. Laki-laki yang rambutnya panjang
riap-riapan, rambut yang sudah putih semua, wajahnya masih kelihatan segar
tidak setua rambutnya, sepasang matanya tajam bersinar-sinar aneh penuh wibawa,
kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya sederhana dan kelihatannya
seperti orang biasa saja. Yang paling menyolok adalah keadaan kakinya. Kaki
kirinya buntung sebatas paha, dan dia berdiri bersandar pada sebatang tongkat
butut. Juga sikapnya amat menyolok karena dia seolah-olah tidak bersikap hormat
kepada Raja Bhutan, melainkan bersikap biasa saja berdiri bersandar tongkat di
depan tubuh dan meja di belakangnya.
Melihat rajanya, dengan girang Jayin lalu
menjatuhkan diri berlutut, dan Tan-ciangkun juga berlutut di depan Raja
Bhutan.
“Hamba menghaturkan selamat bahwa paduka masih
dalam keadaan selamat!” kata panglima itu dengan girang dan bersyukur.
“Berkat pertolongan orang gagah ini,” kata
Raja Bhutan sambil menunjuk ke arah laki-laki berkaki buntung itu. “Kami dan
Panglima Sangita sudah dikepung musuh dalam rumah ini, dan Panglima Sangita
mempertahankan diri mati-matian. Tiba-tiba muncul orang gagah ini yang memukul
mundur musuh kemudian membuat benteng obor sehingga musuh tidak dapat masuk ke
sini. Bangkitlah kalian dan mari kita rundingkan bagaimana baiknya agar kami
dapat pulang ke kota raja.”
Setelah mendapat perkenan raja, kedua orang
itu bangkit. “Sri baginda, sahabat ini adalah pengawal kaisar, bernama Tan
Siong Khi, dia datang bersama rombongan utusan kaisar.”
“Ahhh, sungguh menyesal, Tan-ciangkun. Urusan
itu terpaksa ditunda karena kami tertahan di sini. Hal itulah yang membuat kami
banyak pikiran dan ingin lekas dapat kembali ke kota raja.”
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh Tan
Siong Khi yang begitu melihat pria buntung itu, segera menjatuhkan diri
berlutut di depan laki-laki itu! Baru sekarang dia melihat laki-laki itu,
karena tadi dia berlutut menghadap Raja Bhutan.
“Harap taihiap sudi memaafkan saya yang
tidak tahu. Kiranya taihiap yang telah menyelamatkan raja!” Sikap Tan Siong Khi
merendah dan juga penuh hormat dan kagum.
Laki-laki buntung itu menahan senyumnya dan
berkata halus, “Tan-ciangkun, apa perlunya segala kesungkanan ini? Raja Bhutan
sendiri tidak memperkenankan kau berlutut, apa lagi hanya aku! Bangkitlah dan
mari kita duduk membicarakan cara untuk menyelamatkan raja dari tempat ini.”
Raja Bhutan dan dua orang panglimanya, tentu
saja terheran-heran. Panglima Tan Siong Khi adalah seorang yang berkedudukan
tinggi, selain menjadi pengawal kepercayaan kaisar, juga menjadi pemimpin
rombongan utusan kaisar untuk memboyong puteri Bhutan. Akan tetapi pengawal itu
berlutut di depan laki-laki buntung yang gagah perkasa ini!
Tentu saja mereka tidak tahu, karena laki-laki
itu adalah seorang pendekar sakti di Tiongkok. Dia bukan lain adalah Pendekar
Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang bernama Suma Han.
Tentu saja bukan tidak ada sebabnya mengapa seorang pengawal kaisar sampai
memberi penghormatan dengan berlutut. Pendekar Siluman ini adalah mantu kaisar!
Isterinya, Puteri Nirahai adalah puteri kaisar yang amat terkenal. Bahkan
puteri pendekar luar biasa ini, Puteri Milana, sekarang menjadi seorang puteri
di kota raja, cucu kaisar dan telah menikah dengan seorang panglima muda yang
berkedudukan tinggi, yaitu Panglima Han Wi Kong. Maka sepatutnyalah kalau
pengawal ini berlutut di depan mantu kaisar ini, bukan hanya karena
kedudukannya, juga karena kepandaiannya yang amat hebat, membuat Pengawal Tan
tunduk dan kagum!
“Harap paduka rundingkan rencana penyelamatan
paduka dengan tiga orang gagah ini, saya sendiri hendak meneliti keadaan di
luar.” Tiba-tiba pendekar itu berkata dan terpincang-pincang dia menuju ke
pintu, membuka pintu dan berdiri di samping pintu, termenung memandang keluar
ke arah benteng obor yang dibuatnya. Ketika dia melihat raja dan panglimanya
dikepung siang tadi, dia sudah cepat menolong, akan tetapi sukarlah mengalahkan
ratusan orang Mongol dan Tibet itu. Tentu saja dia tidak mau memihak dan
membunuhi mereka, maka untuk menyelamatkan raja dalam sementara waktu, dia lalu
membuat benteng obor itu.
Raja Bhutan lalu mengajak kedua panglimanya
dan Tan-ciangkun untuk berunding.
“Betapapun juga, besok hari kami harus sudah
berada di kota raja. Urusan puteri kami amatlah penting, dan kalau makin
terlambat, tentu akan tidak menyenangkan hati kaisar. Ahh, salahku sendiri
mengapa pergi berburu menghadapi urusan besar. Dan mengapa manusia-manusia
biadab itu tidak dibasmi sejak dahulu!”
“Mereka itu jumlahnya lebih tiga ratus orang,
mungkin kini sudah ditambah lagi dan mereka bersembunyi mengurung tempat ini,”
kata Panglima Sangita yang berusia lima puluh tahun itu.
“Pasukan kita masih menanti agak jauh, dan
sudah hamba pesan untuk bergerak pada besok pagi-pagi. Kalau pasukan kita
datang, tentu dengan mudah menghancurkan mereka,” berkata Panglima Jayin.
“Bagus kalau begitu!” kata raja. “Kita menanti
sampai besok pagi.”
“Sayang sekali, obor-obor ini tidak akan dapat
bertahan sampai besok pagi. Sebentar lagi juga padam karena kehabisan minyak,”
tiba-tiba terdengar suara halus tenang, suara Pendekar Siluman dan suara ini
pula yang tadi “menuntun” Jayin dan Tan Siong Khi sampai di rumah itu. Mereka
terheran, kecuali Tan-ciangkun, betapa orang buntung itu dapat mendengarkan
percakapan mereka, padahal dia sendiri jauh di ambang pintu depan dan
kelihatan termenung memandang keluar.
“Ah, kalau begitu bagaimana?” Raja bertanya
khawatir.
“Bagaimana kalau kita bertiga menerjang
keluar, kemudian seorang di antara kita lari memanggil pasukan?” Jayin
mengusulkan.
“Tidak baik,” kata Tan-ciangkun. “Kita bertiga
tentu takkan dapat melawan mereka, dan kalau kita bertiga roboh, berarti
sia-sia belaka. Lawan terlalu banyak. Andaikata kita bertiga dapat
menyelamatkan diri, bagaimana dengan sri baginda?”
Kini semua mata yang diliputi kekhawatiran
itu tertuju kepada Pendekar Siluman yang masih berdiri membelakangi mereka.
“Taihiap, bagaimana baiknya?” Tiba-tiba sri
baginda berkata kepada Pendekar Siluman. “Harap taihiap suka menolong kami, dan
kelak hadiah apa yang taihiap minta tentu akan kami penuhi!”
Tan-ciangkun cepat memberi isyarat dengan
gelengan kepala kepada Raja Bhutan, dan raja ini agaknya maklum akan
kesalahannya, maka dia cepat berkata lagi, “Maksud kami, kami tidak akan
melupakan budi kebaikan taihiap yang amat berharga itu.”
Tubuh yang berkaki satu itu berputar dan
sepasang mata yang lembut namun tajam sekali berkata, seolah-olah berkata
kepada dirinya sendiri, tidak menjawab langsung ucapan Raja Bhutan itu,
“Dapatkah disebut perbuatan baik apabila perbuatan itu dilakukan dengan pamrih
sesuatu sebagai pendorongnya? Tidak ada pamrih baik atau buruk, yang ada hanya
pamrih saja, keinginan untuk memperoleh sesuatu, baik berupa harta benda,
kedudukan, nama besar, atau keinginan untuk menjadi baik dengan perbuatan
baik. Perbuatan seperti itu bukan baik, melainkan palsu dan munafik. Perbuatan
barulah benar apabila dilakukan tanpa disadari sebagai suatu perbuatan baik,
tanpa dorongan kewajiban atau apa saja, melainkan wajar dan polos penuh
kasih.”
Raja Bhutan tercengang, juga merasa terpukul.
Kiranya laki-laki yang cacat ini, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga
memiliki kebijaksanaan luar biasa!
“Taihiap, bagaimana sebaiknya untuk dapat
menyelamatkan Sri Baginda Bhutan yang menjadi calon besan kaisar kita?”
Tiba-tiba si jenggot Tan Siong Khi bertanya.
“Kita menunggu sampai api obor padam.”
Pendekar Siluman berkata tenang sambil terpincang-pincang masuk dan kembali
dia bersandar pada meja. “Dalam keadaan gelap, lebih mudah bagi kalian bertiga
untuk menerjang keluar dan menyelamatkan diri. Aku akan berusaha untuk membawa
sri baginda keluar.” Setelah berkata demikian Pendekar Siluman bersandar
kepada meja dan tongkatnya, memejamkan kedua matanya seolaholah tidur sambil
berdiri!
Melihat sikap ini, tidak ada yang berani
menegur atau membantah. Raja mengangguk dan kedua orang panglima itu segera
menjaga di luar pintu, menunggu sampai obor kehabisan minyak dan padam seperti
yang direncanakan Pendekar Siluman tadi. Raja, Tan-ciangkun dan Pendekar
Siluman masih berada di dalam rumah. Rumah kecil ini memang merupakan bangunan
yang khusus dibangun di situ untuk tempat raja beristirahat apabila sedang
melakukan olah raga berburu binatang. Maka biarpun kecil, cukup kuat dan
lengkap.
Keadaan menjadi tegang. Api unggun dalam
tempat api yang bernyala di depan raja hampir padam dan raja tidak
mempedulikannya. Ketegangan menghilangkan rasa dingin. Tiba-tiba raja
terkejut, juga Tan-ciangkun kaget menengok ketika tiba-tiba pintu luar dibuka
oleh Panglima Sangita yang berteriak, “Sudah ada di antara obor yang padam!”
Semua mata kini memandang kepada Pendekar
Siluman, mengharapkan petunjuk. Karena memang mereka semua, termasuk Raja
Bhutan, hanya mengandalkan kemampuan pendekar itu untuk dapat keluar dari
tempat itu dengan selamat. Sikap pendekar yang selalu tenang itu menimbulkan
harapan besar.
Dia menghadapi tiga orang gagah itu, dua
Panglima Bhutan dan seorang pengawal kaisar, lalu berkata, “Kalian bertiga
tunggu dan lihat baik-baik. Kalau semua obor di sebelah kiri pintu sudah
kupadamkan semua, kalian boleh menerobos keluar ke arah kiri. Dalam keadaan
gelap, fihak musuh tentu tidak berani sembarangan mengeroyok, khawatir
mengenai kawan sendiri. Selagi mereka sibuk menyalakan obor, kalian harus
cepat-cepat meninggalkan tempat itu, selalu bersatu merobohkan lawan, saling
membantu dan saling melindungi, akan tetapi jangan sampai terpancing dan
terlibat dalam pertandingan karena kalau obor sudah terpasang semua kalian
semua tentu tidak akan dapat lolos lagi. Jumlah musuh terlalu banyak dan mereka
adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah.”
Tiga orang itu mengangguk, akan tetapi
Panglima Jayin bertanya tidak sabar karena bagi hamba setia seperti dia, yang
terpenting adalah keselamatan rajanya, “Bagaimana dengan sri baginda?”
“Sri baginda adalah bagianku untuk mengawalnya
keluar. Beliau akan menanti kalian di tempat pasukan kalian berada.”
Ucapan ini mengherankan mereka bertiga. Sikap
pendekar ini demikian tenang, dan demikian pasti! Benarkah pendekar itu akan
berhasil membawa raja ke tempat pasukan lebih dulu daripada mereka?
“Sebelum kita mulai, aku hendak bertanya lebih
dulu kepada kedua Panglima Bhutan. Aku sedang mencari kedua orang puteraku
yang bernama Suma Kian Lee dan Suma Kiam Bu. Apakah Ji-wi pernah melihat atau
mendengar nama mereka di daerah Bhutan?”
Dua orang Panglima Bhutan itu saling pandang
lalu menggelengkan kepala. Pendekar Siluman menghela napas panjang, lalu
berkata, “Aku hanya minta apabila sewaktu-waktu Ji-wi (anda berdua) mendengar
mereka berada di sini agar suka membujuk mereka untuk pulang ke Pulau Es dan
menerima mereka sebagai sahabat.”
“Tentu saja, taihiap!” Tiba-tiba raja
menjawab. “Kami akan mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencari mereka.”
“Terima kasih.” Pendekar Siluman membungkuk,
kemudian melanjutkan bertanya kepada Tan-ciangkun, “Apakah Tan-ciangkun juga
tidak mendengar tentang mereka di sepanjang perjalanan?”
“Sayang sekali tidak, taihiap.”
Kembali pendekar itu menarik napas panjang.
“Tidak mengapa, biarlah. Mari kita mulai. Harap paduka juga ikut keluar dan
selalu dekat dengan saya, sri baginda.”
Mereka berlima segera membuka pintu dan
keluar. Benar saja, sudah ada sebagian obor yang padam, sebagian pula sudah
hampir padam, akan tetapi keadaan masih terang oleh nyala obor. Tampak
beberapa bayangan bergerak-gerak di seberang. Tentu keadaan itu menimbulkan
ketegangan juga di fihak musuh. Mereka sudah mengurung sejak siang tadi dan
betapapun mereka berusaha, mereka tidak mampu memasuki benteng obor, bahkan
sudah ada beberapa orang yang menjadi korban dan mati terbakar. Kini obor mulai
padam dan agaknya mereka sudah bersiap-siap untuk menerjang ke rumah itu jika
semua obor sudah padam. Orang yang berada di dalam rumah kecil itu amat penting
bagi mereka. Kalau bisa menawan Raja Bhutan, tentu mereka dapat memaksa
Kerajaan Bhutan untuk menakluk kepada mereka! Atau setidaknya, tentu mereka
yang berada di Bhutan bersedia untuk menukar raja dengan harta dalam jumlah
besar!
Tiga orang gagah itu terbelalak penuh kagum
ketika melihat betapa hanya dengan dua genggam tanah yang disabit-sabitkan,
Pendekar Siluman berhasil memadamkan semua obor di sebelah kiri. Akan tetapi
mereka tidak berhenti untuk mengagumi kelihaian ini, melainkan cepat berlari
maju ke depan dan menerjang keluar seperti yang dipesankan oleh Pendekar
Siluman. Dua orang Panglima Bhutan bersenjatakan pedang sedangkan Tan-ciangkun
sudah mencabut sebatang bambu obor dan mereka bergerak cepat sekali, menyelinap
di antara bambu-bambu obor yang sudah padam. Tak lama kemudian terdengarlah
ribut-ribut di sebelah seberang, tanda bahwa tiga orang gagah itu sudah tiba di
seberang benteng obor dan sudah mulai membuat jalan darah untuk lolos dari
kepungan musuh.
Suma Han Si Pendekar Super Sakti sudah
memadamkan obor di sebelah kanan dengan sabitan tanah pula. Kemudian dengan
tenang dia berkata, “Harap paduka suka duduk di punggung saya.”
Tanpa ragu-ragu Raja Bhutan lalu merangkul
leher penolongnya dan digendong seperti seorang anak kecil. Kemudian Raja
Bhutan terpaksa memejamkan matanya karena ngeri ketika merasa betapa tubuhnya
meloncat ke depan, terus dibawa berloncatan oleh Pendekar Siluman melalui atas
bambu-bambu obor itu.
Seperti juga tiga orang gagah itu, ketika tiba
di seberang, Pendekar Siluman disambut oleh orang-orang Mongol dan Tibet. Akan
tetapi karena keadaan gelap dan mereka belum sempat menyalakan obor, mudah
saja bagi Pendekar Siluman untuk merobohkan beberapa orang terdepan dengan
tongkatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, melalui kepala mereka, bahkan
kadang-kadang menginjak pundak seseorang dipakai sebagai landasan untuk
meloncat lagi. Gegerlah semua musuh ketika mereka menghadapi orang yang pandai
“menghilang” ini, dan tak lama kemudian Pendekar Siluman sudah berhasil lolos
dari kepungan dan berlari cepat membawa Raja Bhutan ke pasukan Kerajaan Bhutan
yang masih menanti kembalinya dua orang penyelidik itu, dan bersiap-siap untuk
menyerbu begitu malam berganti pagi.
Tentu saja kedatangan raja mereka itu disambut
dengan pekik sorak gemuruh. Akan tetapi raja sudah berseru keras, “Cepat serbu
ke sana! Dua orang panglima dan Tan-ciangkun masih di sana dikeroyok musuh!”
Kemudian barisan segera membawa delapan ratus
orang perajurit menyerbu, sedangkan yang dua ratus ditinggalkan untuk mengawal raja
kembali ke kota raja. Dalam keributan ini, diam-diam Pendekar Siluman telah
lolos dan ketika raja mencarinya, dia sudah pergi jauh sekali!
Setelah pagi tiba, pasukan kerajaan kembali
dengan membawa kemenangan. Hampir tiga perempat jumlah musuh dapat terbasmi dan
mereka kembali dipimpin oleh dua orang panglima dan juga bersama Tan-ciangkun.
Dengan gembira mereka lalu mengawal Raja Bhutan kembali ke kota raja. Raja
bersyukur sekali akan tetapi dia juga merasa menyesal mengapa pendekar yang
telah menyelamatkannya itu pergi tanpa pamit. Diam-diam dia kagum sekali,
berterima kasih dan juga ingin sekali dia mendapat kesempatan bertemu lagi
dengan pendekar berkaki satu itu. Tan-ciangkun yang sudah tahu akan sifat dan
watak Pendekar Super Sakti, hanya tersenyum dan dialah yang menjadi bulan-bulan
pertanyaan Raja Bhutan. Selama dalam perjalanan kembali ke kota raja,
Tan-ciangkun terpaksa harus menceritakan segala yang diketahuinya mengenai diri
Pendekar Siluman dan Raja Bhutan makin kagum ketika mendengar bahwa pendekar
yang amat sakti itu ternyata masih mantu dari kaisar sendiri!
***
Tentu saja Suma Han atau Pendekar Super Sakti
tidak dapat menemukan kedua orang puteranya. Dia mencari terlampau jauh! Dia
sama sekali tidak pernah menduga bahwa dua orang puteranya itu berada di Pulau
Neraka, dan memang sesungguhnya dua orang pemuda tanggung itupun tidak
mempunyai niatan pergi ke Pulau Neraka. Menurut dugaan Nirahai dan Lulu, dua
orang isterinya, juga dugaannya sendiri, dua orang anak itu tentu telah pergi
ke kota raja di daratan besar untuk mencari Milana.
“Kalau begitu, biarlah mereka mencari
pengalaman,” kata Pendekar Siluman kepada dua isterinya, karena sesungguhnya
dia merasa segan untuk meninggalkan Pulau Es, meninggalkan kedua orang
isterinya tercinta, meninggalkan kehidupannya yang sudah tenteram di pulau
itu, jauh daripada segala keramaian dan keributan dunia ramai. Dia sudah merasa
muak dengan kehidupan manusia di dunia ramai, di mana orang selalu mengejar
keinginan akan kesenangan jasmani dan rohani dan dalam pengejaran ini mereka
tidak segan-segan untuk saling menyerang, saling membunuh antara sesama
manusia. “Mereka sudah cukup besar, sudah lima belas tahun usia mereka, hampir
enam belas tahun. Juga mereka sudah memiliki kepandaian lumayan, tidak perlu
lagi kita mengkhawatirkan diri mereka seperti mengkhawatirkan anak kecil.”
“Akan tetapi, mereka ini masih hijau, masih
belum berpengalaman. Kalau bertemu dengan orang jahat, tentu mereka menghadapi
malapetaka, sedangkan di daratan sana begitu banyaknya orang-orang jahat!” kata
Nirahai.
“Dan banyak orang-orang golongan hitam yang
mendendam kepada keluarga kita. Kalau mereka mengaku datang dari Pulau Es,
tentu mereka akan dimusuhi banyak orang.” Lulu menyambung.
“Hemm, kalau tidak sekali waktu menghadapi
bahaya, mana bisa matang?” Pendekar Super Sakti membantah.
Nirahai dan Lulu berkata hampir berbareng,
keduanya cemberut, “Kalau tidak mau menyusul, biarlah aku yang pergi mencari!”
Suma Han menarik napas panjang. Takkan ada
menangnya bagi dia kalau berdebat melawan kedua orang isterinya yang pandai
bicara ini. Sebelum terlahir kedua orang anak itu, kedua isterinya selalu taat,
tunduk, dan mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepadanya
seorang. Akan tetapi begitu mereka mempunyai anak, dia menjadi “orang ke dua”!
“Dan pula, sudah lama sekali engkau tidak
menjenguk ke kota raja. Bukankah kasihan sekali Milana kalau tidak pernah kau
tengok? Kita tidak tahu bagaimana keadaan anak kita itu di kota raja.” Suara
Nirahai menggetar penuh keharuan dan Pendekar Super Sakti sudah khawatir
kalau-kalau isterinya ini mencucurkan air mata.
“Baiklah, aku akan mencari dua orang anak
bengal itu!” katanya cepat-cepat.
Berangkatlah Pendekar Super Sakti mencari dua
orang puteranya. Mula-mula dia mencari ke kota raja dan benar saja, seperti
yang dikatakan Nirahai, begitu melihat ayahnya, Milana menjerit dan menubruk
ayahnya, menangis terisak-isak seperti anak kecil! Suma Han merasa terharu
juga akan tetapi dia dapat menahan, hatinya dan sambil mengelus rambut
puterinya yang masih tetap cantik jelita ini, dia berkata, “Milana, mengapa kau
menangis? Bukankah hidupmu bahagia di sini?”
Suaminya, Panglima Han Wi Kong setelah
menghormat kepada ayah mertuanya, menjawab, “Dia cukup bahagia, ayah, hanya
tentu saja dia amat rindu kepada ayah dan ibu di Pulau Es.”
“Hemm, seperti anak kecil saja kau, Milana.”
Suma Han lalu duduk dan bercakap-cakap dengan puterinya dan mantunya. Dia
menyayangkan bahwa mereka belum mempunyai turunan, dan mendengar ini wajah
kedua orang itu menjadi muram. Tentu saja mereka tidak berani menceritakan
rahasia hati mereka. Sudah lama sekali mereka menjadi suami isteri pada
lahirnya saja, padahal sebenarnya mereka tidak lagi tidur sekamar! Milana
menyatakan terus terang bahwa dia tidak bisa juga untuk belajar mencinta
suaminya dan diapun rela kalau suaminya itu mengambil selir berapa saja yang
dikehendakinya! Namun sampai sebegitu lama, suaminya tetap belum mau mempunyai
selir, hal yang sungguh merupakan suatu keganjilan bagi kehidupan para
bangsawan di masa itu.
“Ayah, mengapa tidak mengajak Kian Lee dan
Kian Bu?” Milana bertanya untuk mengalihkan percakapan mengenai kehidupannya
yang tidak menyenangkan hatinya itu.
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, “Hemmm....,
justeru karena mereka berdua, bocah-bocah bengal itulah, maka kehidupannya yang
tenang tenteram terganggu. Aku meninggalkan Pulau Es justru untuk mencari
mereka yang minggat dari Pulau Es! Menurut dugaan kami, mereka pergi ke sini
mencarimu. Apakah mereka tidak ada datang ke sini?”
Milana dan suaminya menggelengkan kepala.
“Tidak ada, ayah. Aihhh, ke mana mereka pergi? Ayah, kalau sudah dapat
ditemukan, biarlah Kian Bu tinggal di sini saja bersamaku. Setidaknya, untuk
beberapa bulan....”
“Hal itu mudah diatur. Aku harus menemukan
mereka lebih dulu. Aihh, ke mana gerangan mereka? Menurut dugaan kami, tidak
ada lain tempat yang sekiranya boleh mereka datangi kecuali di sini.
Jangan-jangan ada sesuatu yang menarik hati mereka....” Suma Han mengerutkan
alisnya.
“Ah! Jangan-jangan rombongan utusan ke Bhutan
itu....!” Tiba-tiba Panglima Han Wi Kong berseru.
“Benar! Boleh jadi! Rombongan itu menarik
perhatian memang.” kata Milana.
“Rombongan utusan ke Bhutan?” Suma Han
bertanya.
“Pamanda kaisar akan berbesan dengan Raja
Bhutan,” kata Milana menceritakan, “yaitu pangeran muda putera selir ke tiga
dari pamanda kaisar. Pinangan sudah diterima setahun yang lalu, dan rombongan
utusan pamanda kaisar itu, dipimpin oleh pengawal Tan Siong Khi, berangkat ke
Bhutan untuk memboyong puteri Raja Bhutan yang cantik jelita bernama Syanti
Dewi. Rombongan itu sudah berangkat dua minggu yang lalu.”
Suma Han mengangguk-angguk. Memang kaisar
yang lama, yaitu ayah puteri Nirahai, telah lama meninggal dunia dan
kedudukannya telah diganti oleh Pangran Putera Mahkota yang masih paman dari
Milana. Kaisar ini merupakan kaisar ke dua dari Kerajaan Mancu.
Tiba-tiba Suma Han menepuk tangannya.
“Aihh....! Bhutan....? Bukankah dekat dengan
Pegunungan Himalaya? Kian Lee paling senang mendengar ibunya bercerita tentang
Pegunungan Himalaya yang disohorkan menjadi pusat pertapaan manusia pandai,
bahkan dewa-dewa dikabarkan tinggal di sana! Pernah anak itu ketika masih kecil
menyatakan bahwa dia ingin sekali melihat sendiri seperti apa itu Pegunungan
Himalaya. Mungkin juga kalau begitu. Mungkin mereka di jalan ketemu dengan
rombongan utusan itu, mendengar bahwa mereka menuju ke Bhutan dekat Himalaya
dan mereka berdua mendekati rombongan itu.”
“Bisa jadi!” Panglima Han Wi Kong berseru.
“Yang memimpin rombongan Tan-ciangkun. Dia sudah mengenal gakhu (ayah mertua),
kalau adik Kian Lee dan Kian Bu mengaku bahwa mereka itu putera Majikan Pulau
Es, sudah tentu saja Tan-ciangkun akan menerima mereka dengan kedua tangan
terbuka.”
“Hemm, kalau begitu biarlah aku menyusul ke
Bhutan.” kata Suma Han dengan tetap.
“Ayah, bolehkah aku ikut?” Tiba-tiba Milana
berkata.
Suma Han memandang tajam. “Kau? Ikut? Ahhh,
mana bisa. Engkau bukan seorang dara remaja yang suka merantau lagi seperti
dulu, Milana.”
Milana menunduk. “Aku.... aku ingin sekali
seperti dulu....”
Suma Han mengerutkan alisnya. Apa yang terjadi
dengan puterinya ini? Apakah puterinya tidak mengalami kebahagiaan dalam
pernikahannya? Aihh, betapa hidup ini penuh dengan derita dan kekecewaan.
Dia menggeleng kepala. “Tidak, aku akan pergi
sendiri. Aku pergi bukan untuk pesiar. Kelak adik-adikmu dan ibu-ibumu biar
datang mengunjungimu di sini. Biarlah mereka di sini sampai beberapa bulan.”
Ucapan ini menghibur hati Milana. Akan tetapi
ketika ayahnya berangkat, tiba-tiba dia lari mengejar dan merangkul ayahnya di
depan rumah yang seperti istana.
“Ayah....”
“Eh, ada apakah, Milana?”
“Ayah....” suaranya lirih sekali, gemetar dan
parau, “pernahkah ayah mendengar tentang.... dia....?”
Suma Han memejamkan matanya. Dia merasa
seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang beracun. Dia menggeleng kepala
tanpa membuka matanya yang dipejamkan, dan berbisik, “Aku tidak pernah
mendengar.... entah di mana.... kau.... kau tidak perlu lagi memikirkannya,
anakku....” Suma Han memaksa dirinya melepaskan rangkulannya dan membalik,
melompat pergi dan baru dia berani membuka kedua matanya yang menjadi basah.
Dia tidak menengok akan tetapi diapun tahu bahwa anaknya itu tadi mencucurkan
air mata, terasa olehnya beberapa tetes jatuh menimpa dadanya. Anaknya itu
hidup menderita! Pernikahannya yang dipaksa itu tidak mendatangkan bahagia.
Anaknya masih selalu mengenangkan Gak Bun Beng! Ahh, mengapa penderitaan batin
akibat cinta yang sudah ditanggungnya selama bertahun-tahun dahulu (baca
ceritaPendekar Super Sakti danSepasang Pedang Iblis) kini menimpa
pula diri puterinya! Kasihan Milana....!
Demikianlah usaha Pendekar Super Sakti mencari
kedua orang puteranya sehingga dia sampai ke Negeri Bhutan. Namun perjalanannya
itu tidak sia-sia karena biarpun dia tidak berhasil menemukan Kian Lee dan
Kian Bu, dia telah menyelamatkan Raja Bhutan yang terancam oleh
musuh-musuhnya.
***
Sementara itu, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu
meringkuk di dalam kamar tahanan di Pulau Neraka. Mereka diperlakukan dengan
baik, akan tetapi dijaga ketat dan kaki tangan mereka selalu terbelenggu dengan
rantai baja yang kokoh kuat. Mereka dapat berjalan, dan dapat makan sendiri,
akan tetapi tentu saja tidak mungkin untuk melarikan diri dari pulau itu dengan
kaki tangan menyeret rantai panjang itu.
Satu bulan sudah mereka ditahan. Pada suatu
hari, selagi mereka menjemur diri di luar kamar tahanan, Kian Lee menyikut
adiknya. “Lihat itu....!”
Mereka mendongak dan melihat tiga titik hitam
yang berada di angkasa, makin lama makin besar dan setelah dapat tampak,
ternyata dua titik putih dari satu titik hitam itu adalah dua ekor burung putih
dan seekor burung hitam yang besar sekali.
“Ihh, burung apa itu begitu besar, Lee-ko?”
“Entahlah. Agaknya burung garuda seperti yang
dulu pernah dimiliki ayah menurut cerita ayah.”
Melihat kakak beradik ini berbisik-bisik dan
menunjuk ke atas, penjaga yang melihatnya tertawa. “Kalian mau tahu? Itulah
seekor Hek-tiauw (Rajawali Hitam) tunggangan to-cu kami, dan yang dua ekor
adalah Pek-tiauw yang masih muda dan menjadi peliharaannya. Mereka datang
membawa daging manusia untuk kami, he-he!”
Sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring,
tiga ekor rajawali itu turun ke dalam kebun di luar rumah-rumah di pulau itu
dan kedua orang kakak beradik itu melihat betapa rajawali hitam yang amat besar
itu mencengkeram punggung baju seorang laki-laki muda gemuk yang menggigil
ketakutan. Laki-laki itu dilepas dan jatuh bergulingan di atas tanah, lalu
berlutut dan minta-minta ampun. Akan tetapi dua orang anggauta Pulau Neraka
telah melompat maju, menangkap dan membelenggunya, menyeretnya ke dalam untuk
dihadapkan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kian Lee dan Kian Bu mendengar suara ketawa
kakek raksasa ketua Pulau Neraka itu, kemudian melihat lagi tawanan itu
diseret keluar. Dengan mata terbelalak penuh kengerian, kedua orang pemuda
remaja itu melihat tawanan itu ditelanjangi, digantung kedua tangannya dan
dibelek perutnya dengan golok tajam dan dikeluarkan isi perutnya! Hampir mereka
tak dapat bertahan menyaksikan kekejaman dan mendengar suara teriakan tawanan
itu. Kemudian mereka berdua hampir muntah melihat mayat orang itu
dipotong-potong, kemudian dimasak dan dipanggang!
“Lee-ko.... aku.... aku takut....” Suma
Kian Bu berbisik, berdiri menggigil dan mukanya pucat sekali.
Suma Kian Lee juga berdebar ngeri, dan dia
maklum bahwa kalau adiknya yang tak pernah mengenal takut itu kini menyatakan
takut, maka keadaannya sudah gawat sekali.
“Bu-te.... kita harus dapat meloloskan
diri.... sekarang juga....” bisiknya sambil merangkul adiknya. Mereka berdua
maklum bahwa nasib mereka juga besar kemungkinan akan sama dengan tawanan yang
gemuk itu!
Kedua orang pemuda remaja itu menanti
kesempatan baik dan ketika ketua Pulau Neraka sedang berpesta pora menikmati
daging manusia sambil minum arak, kemudian sisanya dibagi-bagikan kepada para
anak buahnya, mereka berdua menyelinap ke dalam kebun. Di situ mereka melihat
tiga ekor burung rajawali sedang makan isi perut manusia! Dua ekor burung yang
putih bulunya dan masih muda, memperebutkan usus yang panjang, saling tarik dan
saling betot sambil mengeluarkan bunyi cecowetan.
“Bu-te, sekarang....!” bisik Suma Kian Lee dan
keduanya lalu menghampiri dua ekor burung itu. Dengan gerakan yang amat gesit,
keduanya mengerahkan gin-kang mereka dan meloncat ke atas punggung burung yang
tinggi. Dua ekor burung rajawali putih itu terkejut, meronta karena mengira
bahwa mereka diserang dan ditubruk musuh. Mereka berusaha untuk melemparkan
orang yang berada di punggung mereka dan dalam kemarahan mereka, usus yang
diperebutkan tadi sudah dilupakan lagi. Namun, kedua orang muda itu tetap
mendekam di atas punggung mereka sambil merangkul leher burung dengan
ketatnya.
“Rajawali, terbanglah!” Suma Kian Bu
membentak. “Kalau tidak, kucabuti semua bulu lehermu!” Berkata demikian,
pemuda bengal ini mencabuti beberapahelai bulu dari leher burung yang
ditungganginya. Burung itu menjerit kesakitan, mengembangkan sayapnya lalu terbang
ke atas. Burung yang ditunggangi Suma Kian Lee yang juga kebingungan dan
ketakutan, segera mencontoh perbuatan temannya dan terbang pula!
“Yahuuuuu....!” Suma Kian Bu bersorak
kegirangan. “Lee-ko! Kita terbang seperti dewa....!” Teriaknya pula sambil
menoleh ke arah rajawali kedua yang ditunggangi kakaknya.
“Hati-hati, Bu-te, lihat kita dikejar....!”
Kian Bu menoleh ke bawah dan benar saja. Dia
melihat rajawali hitam sudah terbang pula ke atas dan di punggung burung besar
itu duduk.... Hek-tiauw Lo-mo! Kakek itu kelihatan marah sekali,
menggerak-gerakkan kedua tangannya menyuruh dua orang muda itu kembali.
Rajawali hitam yang ditungganginya juga mengeluarkan suara melengking-lengking
seperti mengundang kedua orang temannya, dan dua ekor rajawali putih itu
bimbang dan tiba-tiba membalik dan terbang menghampiri rajawali hitam!
“Heiii, dua bocah yang bosan hidup! Kalian
berani mencoba melarikan diri? Awas kau, sekali ini aku tidak akan mengampuni
kalian lagi. Kalian akan kupanggang hidup-hidup!”
Rajawali hitam itu sudah dekat sekali dan
tiba-tiba rajawali putih yang ditunggangi Suma Kian Bu mengeluarkan pekik
nyaring dan.... menerjang rajawali hitam dengan ganasnya!
“Eh-eh, heiiitttt.... kurang ajar!” Hek-tiauw
Lo-mo berteriak marah melihat rajawali putih itu mengabruk rajawali hitam yang
ditungganginya. Akan tetapi dari belakangnya, rajawali putih kedua yang
ditunggangi Kian Lee juga datang menyerbu dengan ganas! Apakah yang terjadi?
Mengapa kedua rajawali putih itu menyerang temannya sendiri?
Kiranya Suma Kian Bu yang bengal itu menjadi
khawatir sekali menyaksikan kedatangan rajawali hitam yang ditunggangi ketua
Pulau Neraka yang menyeramkan itu. Dalam kegelisahannya, timbul akalnya dan
dia lalu mencabuti bulu di leher, bahkan mencengkeram leher rajawali yang
ditungganginya. Rajawali itu kesakitan dan marah-marah, sedemikian marahnya
sehingga dia mengamuk membabi buta, karena tidak dapat membalas orang yang
mendekam di punggungnya, dia lalu menumpahkan kemarahannya kepada rajawali hitam!
Adapun Kian Lee yang mendekam di punggung rajawali putih kedua membisikan
kata-kata halus kepada rajawali itu, minta kepada binatang itu agar
menolongnya, “Rajawali yang baik, kautolonglah kami berdua....”
Tentu saja rajawali yang ditungganginya itu
tidak mengerti arti kata-kata Kian Lee, akan tetapi melihat temannya menerjang
rajawali hitam, diapun membantu dan menyerangnya dari belakang. Segera terjadi
pertandingan yang seru dan mengerikan hati kakak beradik itu antara tiga ekor
burung rajawali itu! Siapa tidak akan merasa ngeri kalau burung yang
ditunggangi masing-masing itu menukik, menerjang, membalik dan membuat
gerakan-gerakan yang luar biasa dan sekali saja mereka terjatuh, tentu mereka
akan terbanting dari tempat yang luar biasa tingginya itu dan tubuh mereka
akan remuk!
Hek-tiauw Lo-mo marah bukan main. Dia
memaki-maki, tangannya ikut membantu rajawalinya memukul ke arah kedua ekor
rajawali putih, akan tetapi karena gerakan rajawali yang ditungganginya membuat
diapun harus berpegang kuat-kuat, maka gerakannya tidak leluasa dan pukulannya
meleset selalu.
“Bedebah! Keparat! Kalian berani melawan?
Kusembelih kalian!” bentaknya berkali-kali akan tetapi akhirnya dia terpaksa
harus menangkis karena keroyokan dua ekor rajawali putih yang masih muda dan
kuat itu membuat rajawalinya sendiri kwalahan dan beberapa patukan dan cakaran
kesasar menyerang dirinya! Dia merasa menyesal mengapa tadi tergesa-gesa tidak
membawa senjatanya. Tadinya dia sedang makan minum dan terkejut mendengar pekik
rajawalinya, maka dia lari keluar tanpa membawa senjatanya ketika anak buahnya
berteriak melapor bahwa dua orang pemuda cawanan itu lari. Pula, dia memandang
rendah mereka, sama sekali tidak mengira bahwa dua ekor burung rajawali itu
akan membalik dan melawannya!
Setelah terkena patukan beberapa kali dan
kepalanya terluka berdarah, rajawali hitam menjadi panik dan jerih, dan
akhirnya sambil berteriak panjang dia membalik dan pergi. Betapapun Hek-tiauw
Lo-mo membentak dan membujuknya, rajawali hitam itu tidak mau melanjutkan
pengejarannya dan dua ekor rajawali putih sudah terbang lagi dengan kecepatan
yang membuat kedua orang muda itu berpegang semakin erat.
Akan tetapi makin lama, mereka menjadi
terbiasa dan tidak terlalu ngeri lagi, bahkan Suma Kian Bu sudah pula mulai
bergembira dan bersorak-sorak.
“Aduhh.... indahnya pemandangan di bawah.
Lihat, Lee-ko, tuh di sana, pulau itu, aduh indahnya! Berwarna-warna, biru
hijau kuning.... dan pepohonan itu demikian kecil!”
Jarak antara kedua ekor rajawali itu memang
tidak jauh dan sepasang rajawali itu memang amat akrab, maka mereka dapat
saling bercakap-cakap, biarpun mereka harus berteriak agar dapat terdengar.
“Bu-te, kita harus kembali ke Pulau Es!” Kian
Lee berteriak.
“Benar, Lee-ko, mari kita cari. Tentu akan
lebih mudah mencari dari atas.”
Rajawali yang ditunggangi Kian Bu agaknya
memang lebih nakal daripada yang ditunggangi Kian Lee. Rajawali itu menukik ke
bawah, kemudian terbang berputaran dengan kecepatan yang luar biasa. Kian Bu
yang banyak akalnya mulai mempelajari cara menunggang burung raksasa ini. Dia
mencoba dengan menarik bulu leher kanan. Kalau merasa leher kanannya sakit,
terpaksa burung itu menggerakkan kepala ke kanan, ekornya mengimbanginya dan
otomatis terbangnya membelok ke kanan. Demikian pula kalau Kian Bu menarik bulu
di leher kiri. Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Kian Bu dan mulailah
dia “menyetir” burungnya mencari Pulau Es. Burung yang ditunggangi Kian Lee
selalu mengikuti ke mana terbangnya kawannya sehingga bagi Kian Lee tidak
sukar lagi menentukan arah.
“Ah, di sana itu, Bu-te...!” Tiba-tiba Kian
Lee berteriak ketika melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan berkilauan.
Tentu saja belum pernah dia melihat Pulau Es dari angkasa, akan tetapi biasanya
kalau dia sedang bermain di puncak bukit kecil di tengah pulau, dia melihat
permukaan pulau yang rendah juga berwarna putih dan berkilau seperti itu.
“Benar, mari kita pulang, Lee-ko!” Kian Bu
juga sudah melihat pulau itu dan dia memutar burungnya menuju ke sana.
Tak lama kemudian, kedua ekor burung rajawali
itu terbang berputaran di atas pulau dan kedua orang anak itu berteriak-teriak
kegirangan ketika mengenalnya. Memang benar pulau itu adalah tempat tinggal
mereka, Pulau Es!
“Ayaaaaaaahhhhh....! Ibuuuuu....!” Suma Kian
Bu berteriak-teriak dari atas.
Tak lama kemudian tampaklah Pendekar Super
Sakti dan kedua orang isterinya keluar dari dalam Istana Pulau Es dan ketiga
orang itu memandang ke atas dengan penuh keheranan melihat sepasang rajawali
itu berputaran di atas pulau.
“Kian Lee! Kian Bu!” Terdengar suara Pendekar
Super Sakti melengking nyaring. “Lekas kalian turun....!”
Dua ekor burung itu tetap terbang berputaran
dan betapapun kedua orang muda itu berusaha, tetap saja sepasang rajawali itu
tidak mau turun. Tentu saja mereka tidak mau turun di pulau yang asing karena
mereka merasa takut.
“Ayah! Kami tidak dapat menyuruh mereka
turun....!” Kian Lee berseru keras ke bawah.
“Kalian totok pangkal leher mereka di antara
kedua sayap, dan tekan kepala mereka ke bawah!” Terdengar lagi Pendekar Super
Sakti berseru.
Dua orang pemuda remaja itu mentaati perintah
ayah mereka dan benar saja, setelah mereka menotok dan menekan kepala
tunggangan masing-masing, dua ekor rajawali itu mengeluarkan lengking nyaring
dan gerakan mereka menjadi lemah. Pada saat itu Pendekar Super Sakti
mengeluarkan suara melengking seperti suara burung-burung itu, akan tetapi
lebih nyaring lagi sampai suara lengkingnya bergema di semua penjuru. Mendengar
suara ini, sepasang rajawali itu kelihatan terkejut, kemudian menukik ke bawah
dan terbang menghampiri Pendekar Super Sakti, hinggap di atas tanah depan
pendekar itu dan kelihatan bingung dan takut-takut. Kian Lee dan Kian Bu cepat
meloncat dari atas punggung sepasang rajawali.
“Kian Lee....!”
“Kian Bu....!”
Dan dua orang ibu itu lari menghampiri dan
memeluk putera masing-masing dengan hati lega. Selama ini kedua orang ibu itu
dicekam kegelisahan hebat karena putera mereka pergi sampai lama tanpa ada
beritanya.
“Hemm, kalian pergi tanpa pamit sampai
berbulan. Apa artinya perbuatan kalian itu?”
Suara Pendekar Super Sakti terdengar penuh
wibawa dan menyembunyikan kemarahan. Hal ini terasa sekali oleh kakak beradik
itu, maka keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka dan
hampir berbareng kedua orang anak itu berkata, “Aku telah bersalah, ayah.”
“Hayo ceritanya semuanya, ke mana kalian pergi
dan dengan maksud apa,” kata pula Pendekar Super Sakti dengan marah dan kedua
orang isterinya hanya memandang dengan hati khawatir. Merekapun tahu kalau
suami mereka marah dan memang sudah sepantasnya karena kedua orang anak itu
pergi tanpa pamit dan telah membuat hati orang tua mereka bingung dan gelisah.
Biarpun kalau berada di luar Kian Bu jauh
lebih bengal daripada kakaknya, namun menghadapi ayah mereka, Kian Bu paling
takut, maka dia hanya menoleh kepada kakaknya, seolah-olah hendak menyerahkan
semua jawaban kepada kakaknya. Kian Lee seperti biasanya selalu bersikap
tenang, juga kini di depan ayah mereka yang dia tahu sedang marah, dia
bersikap tenang sungguhpun jantungnya dicekam rasa jerih. Suaranya tenang dan
jelas ketika dia mulai menceritakan “petualangan” kakak beradik itu, betapa
mereka berdua tadinya berniat mencari kakak mereka Milana yang berada di kota
raja, akan tetapi betapa mereka tersesat jalan sampai tiba di Pulau Neraka.
Mendengar disebutnya Pulau Neraka, tiga orang
suami isteri itu terkejut, terutama sekali Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau
Neraka. “Kalian ke Pulau Neraka?” serunya dengan alis berkerut. “Apa yang
terjadi di sana?”
“Kami berdua tidak sengaja mendarat di Pulau
Neraka.” Kian Lee melanjutkan, “dan di sana, kami dijadikan tawanan oleh
ketuanya.”
“Hemmm, siapa ketua Pulau Neraka?” Suma Han
bertanya.
Kian Lee lalu menceritakan tentang Hek-tiauw
Lo-mo yang suka makan daging manusia dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali.
“Ah, agaknya pulau itu kini dikuasai oleh
seorang biadab!” Nirahai berseru heran.
Mendengar suara ibunya, Kian Bu berani membuka
mulut. “Wah, dia mengerikan sekali, Ibu! Untung Lee-ko dan aku dapat melarikan
diri dibantu oleh sepasang rajawali putih itu. Kami dikejar oleh ketua Pulau
Neraka yang menunggang rajawali hitam, untung saja sepasang rajawali ini
membela kami dan menerbangkan kami sampai ke sini!” Dia lalu menceritakan
pengalamannya ketika dikejar Hek-tiauw Lo-mo, ceritanya asyik sekali disertai
gerakan kaki tangan sehingga Nirahai dan Lulu mendengarkan dengan tertarik.
“Biarlah kubebaskan dulu engkau dari belenggu
itu!” Nirahai menghampiri Kian Bu sedangkan Lulu menghampiri Kian Lee dengan
niat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangan mereka dengan rantai besi
panjang itu.
“Jangan buka belenggu itu!” Tiba-tiba Suma Han
berkata. Kedua orang isterinya terkejut dan menengok, memandang suami mereka.
Dengan suara tenang namun penuh kepastian Suma
Han berkata lagi, “Mereka adalah dua orang anak yang telah membikin bingung
dan gelisah hati orang tua, juga telah mendatangkan kekacauan di Pulau Neraka
tanpa sebab. Mereka harus dihukum dan sepantasnyalah belenggu-belenggu itu
untuk mereka. Hayo kalian naik ke puncak dan bersamadhi di sana selama dua hari
dua malam. Pergi!” Suma Han mendekati ke dua orang puteranya dan tangan kirinya
menampar dua kali, mengenai punggung mereka.
“Bukk! Bukk!”
Kedua orang anak itu tersungkur, kemudian
bangkit berdiri memandang ayah mereka dengan mata terbelalak, menggigit bibir,
menahan nyeri, kemudian mereka saling pandang dan melangkah lebar menuju bagian
yang paling tinggi di pulau itu, yang mereka sebut puncak.
Lulu dan Nirahai saling pandang dengan alis
berkerut. Ketika kedua anak itu sudah tak tampak lagi, barulah Nirahai
berkata, nadanya memprotes, “Mengapa mereka....?”
“Harus dihukum, biar mereka tahu dan kelak
mereka akan memperhitungkan setiap tindakan mereka, tidak sembrono dan asal
berani saja,” kata Pendekar Super Sakti dengan suara tegas sehingga kedua orang
isterinya tidak berani membantah. Mereka hanya memandang dengan hati terharu
melihat dua ekor rajawali itu mengeluarkan suara seperti orang menangis ketika
mereka memandang ke arah perginya dua orang muda itu. Kemudian, sepasang
rajawali itu terbang ke atas dan berputaran di atas Pulau Es.
Pada malam kedua diam-diam Lulu menyelinap ke
puncak dan membawakan makanan dan minuman untuk mereka berdua. Ketika tiba di
puncak, Lulu melihat bahwa sepasang rajawali ini seolah-olah sedang menjaga
Kian Lee dan Kian Bu yang duduk bersila seperti patung, muka dan tubuh mereka
penuh salju putih sehingga mereka seperti sudah berubah menjadi manusia salju.
Lulu harus mengurut dan mengguncang sampai
lama dan barulah Kian Lee sadar dari samadhinya. Melihat ibunya, dia hanya
menggelengkan kepalanya dan hendak memejamkan matanya kembali.
“Lee-ji, bangunlah dulu. Kau harus makan dan
minum dulu, baru boleh bersamadhi lagi. Ingat, tubuhmu takkan kuat bertahan dan
kau bisa terancam sakit. Juga adikmu Kian Bu.”
Karena dibujuk terus, akhirnya Kian Lee
menurut, membangunkan adiknya dan kedua orang muda ini lalu makan dan minum
sekadarnya untuk mengisi perut yang kosong dan menghangatkan tubuh. Setelah
makan minum, mereka melanjutkan samadhi dan terpaksa Lulu meninggalkan mereka.
Pada keesokan harinya, dua hari dua malam
telah lewat dan pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya
telah berada di puncak. “Bangunlah kalian, masa hukuman telah habis!” Suma Han
berseru dan suaranya yang disertai khi-kang kuat itu seolah-olah menembus
keadaan dua orang muda yang sedang samadhi itu sehingga mereka terbangun dan
cepat bangkit. Keduanya terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah
mereka.
Suma Han memandang kedua puteranya itu, lalu
berkata dengan wajah berseri, “Sekarang, kerahkan hawa panas yang berputaran
di tian-tan (pusar) kalian, dorong ke arah pergelangan tangan dan coba renggutkan
belenggu itu agar patah.”
Dua orang muda itu menurut. Memang selama
mereka bersamadhi, mereka terlindung oleh hawa panas yang berputaran di
seluruh tubuh mereka, seperti keadaan mereka kalau berlatih sin-kang di waktu
hujan salju di Pulau Es. Kini mereka mengerahkan tenaga panas itu ke arah kedua
lengan, mengerahkan sin-kang dan merenggut.
“Krekk! Krekk!” Patahlah belenggu di kedua
tangan mereka!
Lulu dan Nirahai girang sekali menyaksikan
kemajuan putera-putera mereka, akan tetapi Suma Han mengerutkan alisnya dan
berkata lantang,
“Haiii....! Apakah selama dua hari dua malam
ini kalian pernah berhenti makan dan minum?”
Kakak beradik itu saling pandang, lalu
menunduk. Berat rasa hati Kian Lee kalau harus mengaku bahwa ibunya telah
membujuknya, dan untuk membohong dan mengatakan tidakpun dia tidak berani.
“Semalam aku datang dan menyuruh mereka makan
dan minum,” tiba-tiba Lulu berkata. “Hati siapa yang akan tega menyaksikan
anak-anaknya disiksa?”
Suma Han menggeleng-gelengkan kepalanya dan
mengepal-ngepal tangannya sendiri. “Aihhh.... kelemahan hati wanita memang
seringkali menimbulkan kegemparan dan juga kegagalan.”
Lulu memandang suaminya dan wajahnya berubah.
“Eh...., apa.... maksudmu....?”
“Sebelum mengirim mereka ke puncak, aku telah
membuka saluran hawa di tubuh mereka. Aku melihat bahwa mereka sedang dalam
keadaan baik sekali, berhati besar dan baru mengalami ketegangan hebat. Pula,
saatnya amat cocok untuk mereka melatih dan menerima kekuatan Inti Salju. Kalau
tidak terganggu, kiranya saat ini mereka sudah dapat mengumpulkan sin-kang
sepuluh kali lebih kuat daripada sekarang!”
“Ohhhh....!” Lulu memegangi dahinya dengan
penuh penyesalan. “Mengapa kau tidak bilang lebih dulu sebelumnya?”
“Tak baik kalau diberi tahu lebih dulu, akan
menimbulkan ketegangan dan harapan sehingga dapat menggagalkan latihan. Akan
tetapi sudahlah, memang sudah demikian kenyataannya. Yang jelas sekarang
mereka harus berlatih dengan giat sekali. Kian Lee, Kian Bu, kalian tahu betapa
ilmu kepandaian kalian masih jauh daripada mencukupi sehingga sekali merantau
meninggalkan pulau, kalian menjadi tawanan orang dan hampir saja celaka. Mulai
hari ini, kalian harus rajin berlatih dan sebelum sempurna ilmu kepandaian
kalian, kalian tidak boleh meninggalkan pulau tanpa pamit. Tidak perlu
memikirkan kakak kalian. Milana dalam keadaan selamat di kota raja dan kelak
kalau ilmu kepandaian kalian sudah mencukupi, tentu kalian boleh
mengunjunginya.”
Dua orang pemuda remaja itu mengangguk-angguk
dan untuk menyatakan penyesalan mereka, mulai hari itu mereka seperti berlumba
dalam kegiatan berlatih ilmu sehingga memperoleh kemajuan yang pesat. Adapun
sepasang rajawali putih dari Pulau Neraka itu menjadi kian jinak dan menjadi
kesayangan mereka. Seringkali kedua orang pemuda itu, juga ayah dan para ibu
mereka, menunggangi rajawali sekadar untuk terbang di udara, di atas Pulau Es.
Beberapa bulan kemudian, barulah kedua orang
pemuda itu maklum betapa mereka telah membikin repot ayah mereka ketika mereka
pergi tanpa pamit. Baru mereka tahu akan hal ini ketika malam hari itu, setelah
mereka semua makan malam, Pendekar Super Sakti menceritakan kepada
putera-puteranya betapa dia mencari mereka sampai ke daratan besar, bahkan
sampai ke Negara Bhutan, jauh di barat!
“Mengapa ayah menyusul sejauh itu ke Bhutan?”
tanya Kian Bu. dengan heran.
“Sebetulnya aku hanya menduga saja kalian ikut
rombongan utusan dalam petualangan kalian, akan tetapi kalau tidak ada terjadi
suatu hal, akupun tidak akan menyusul sejauh itu.” Pendekar itu lalu
menceritakan betapa ketika dia mengunjungi puterinya, Milana, dari Han Wi Kong
suami Milana, dia mendengar bahwa kaisar membutuhkan orang pandai untuk
menyelidiki keadaan di barat, sekalian mengawal rombongan utusan yang kelak
akan memboyong puteri. Hal ini karena ada kekhawatiran di istana bahwa kini di
barat mulai timbul pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku bangsa dan
kerajaan-kerajaan kecil yang sudah mulai memperlihatkan permusuhan. Mendengar
ini, Suma Han lalu menghadap kaisar yang masih terhitung mertuanya sendiri itu
dan dia menyanggupi untuk menjadi penyelidik. Karena itulah maka Pendekar Super
Sakti ini bahkan mendahului rombongan utusan menuju ke Bhutan dan ketika
mendahului rombongan itu, dia tahu bahwa kedua puteranya tidak ikut dalam
rombongan. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Pendekar Super Sakti
berhasil menyelamatkan Raja Bhutan dan ancaman bahaya kepungan para musuhnya.
Seperti biasa kalau mendengarkan cerita-cerita
ayahnya, kini mendengarkan pengalaman ayah mereka di Bhutan, kedua orang pemuda
itu tertarik sekali dan hati mereka ingin sekali memperoleh kesempatan merantau
ke daratan besar yang menurut cerita ayahnya merupakan tempat yang amat luar
biasa, penuh ketegangan dan penuh keanehan itu. Keinginan ini mendorong
semangat mereka untuk berlatih ilmu silat lebih giat lagi.
***
“Kong-lopek, mau apa kau? Jangan mengganggu,
aku sedang mencoba membuat ramuan obat seperti yang ditulis dalam kitab oleh
mendiang suhu Cui-beng Koai-ong....”
“Aiiih.... kongcu! Jangan main-main dengan
obat itu. Aku masih ingat, bukankah obat itu yang namanya obat perampas
ingatan? Obat itu mengerikan sekali.... masa kongcu sendiri tidak ingat?”
Tentu saja Tek Hoat tidak mengerti dan tidak
ingat apa-apa karena dia memang bukanlah Wan Keng In dan bahkan tidak pernah
melihat orang yang kini dianggap gurunya, yaitu mendiang Cui-beng Koai-ong itu!
Akan tetapi, pemuda yang amat cerdik ini tertawa dan berkata, “Tentu saja aku
ingat, Kong-lopek. Mengapa engkau begitu bodoh? Ingatanku tentu lebih kuat
daripada ingatanmu!”
“Tentu saja.... tentu saja, kongcu. Karena
itu, harap jangan kongcu main-main dengan ramuan racun obat ini....”
“Hemm, aku ingin mencoba kekuatan ingatanmu,
Kong-lopek. Coba ceritakan, apa yang kau ingat dahulu sehingga kau menganggap
obat ini begitu luar biasa dan menakutkan?”
Kakek yang ingatannya sudah tidak terlalu
waras lagi itu menghela napas dan berkata sambil mengangguk-angguk kepalanya
yang gundul dan memutar-mutar kedua matanya. “Hebat sekali obat itu.... siapa
yang bisa melupakan peristiwa yang terjadi di Pulau Neraka ketika itu?
Bukankah engkau sendiri yang menerima obat buatan suhumu itu, kongcu? Bukankah
obat itu telah memperlihatkan keampuhannya yang mujijat? Puteri Pendekar Siluman
sendiri.... ah, dia sampai lupa daratan, hilang ingatannya karena kauberi minum
obat beracun itu. Kemudian, lebih hebat lagi, murid Pendekar Siluman yang
terkenal sebagai seorang wanita gagah perkasa dan kabarnya sudah kebal akan
segala macam racun, bahkan dia telah menjadi murid susiokmu Bu-tek Siauw-jin
dan oleh susiokmu telah diberi makan racun sehingga dia makin kebal racun,
ternyata masih dikalahkan oleh suhumu! Nona yang kebal itupun menjadi korban
dari obat perampas ingatan yang amat mujijat itu! Dan untuk itu, gurumu girang
bukan main karena hal itu membuktikan bahwa dalam hal racun, gurumu lebih lihai
daripada susiokmu.”
Mendengar ini, bukan main girangnya hati Tek
Hoat. Kalau sampai puteri dan murid Pendekar Super Sakti dibuat tidak berdaya oleh
ramuan obat beracun ini, tentu kelak akan berguna sekali baginya! Dia tertawa
dan menepuk-nepuk pundak kakek gundul ini. “Ha-ha-ha, kau ternyata masih dapat
ingat semua itu, Kong-lopek! Justru karena khasiat obat itu, maka sekarang aku
ingin sekali dapat membuat sendiri. Dahulu aku hanya menerima dari mendiang
suhu, dan aku tidak pernah diajari membuat obat ini. Sekarang, catatan
pembuatan obat itu ada di kitab ini, maka aku ingin mencoba membuatnya.”
Kong To Tek, kakek gundul bekas tokoh Pulau Neraka
itu, menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang dan berkata, “Terserah
kepadamu, kong-cu. Akan tetapi aku merasa ngeri.... hemm, obat itu hebat sekali
dan berbahaya....” Dia lalu pergi meninggalkan pemuda yang disangkanya Wan Keng
In majikan mudanya itu sambil menggeleng-geleng kepalanya. Tek Hoat tersenyum
lebar dan melanjutkan pekerjaannya mempraktekkan pelajaran membuat obat
perampas ingatan seperti yang dibacanya dari kitab peninggalan Cui-beng
Koai-ong ini. Ini bukanlah sembarang obat! Selain membutuhkan ramuan
bahan-bahan obat yang sukar dicari dan hanya bisa didapatkannya dengan bantuan
Kong To Tek, juga harus dicampuri dengan rambut dan kuku orang mati yang hanya
bisa didapatkannya dengan menggali kuburan! Selain itu, apabila hendak mempergunakannya,
mencampurkannya dalam makanan atau minuman orang yang hendak dirampas
ingatannya, ada pula mantramnya yang harus dibaca. Ternyata bahwa obat
perampas ingatan ini bukanlah racun biasa, melainkan racun yang mengandung
kekuatan mujijat dari ilmu hitam!
Sampai hampir sebulan lamanya dia
mempersiapkan ramuan obat perampas ingatan itu dan akhirnya dia berhasil.
Dengan wajah berseri-seri dia memandang bubukan berwarna putih yang berada di
depannya.
“Terima kasih Cui-beng Koai-ong,” bisiknya sambil
menengadah. “Aku telah mewarisi sebuah lagi daripada ilmu-ilmu yang
kautinggalkan!”
Kemudian pemuda itu termenung. Obat mujijat
itu telah dibuatnya sesuai dengan yang ditulis dalam kitab. Akan tetapi
bagaimana cara membuktikannya bahwa buatannya itu memang telah benar? Bagaimana
cara membuktikannya bahwa obat perampas ingatan buatannya itu akan ampuh kalau
dipergunakan? Jalan satu-satunya harus dicobakan kepada seseorang! Akan tetapi
kepada siapa? Berkelebatnya bayangan Kong To Tek di luar guha membuat dia
tersenyum. Siapa lagi yang akan dicobanya untuk membuktikan kemanjuran obat
itu kalau bukan Kong To Tek! Sambil tersenyum-senyum dia lalu membungkus dua
macam obat itu, yang putih adalah obat perampas ingatan dan yang merah adalah
obat penawarnya, dan membawa dua bungkusan itu ke dalam guha. Obat merah dia
campur dengan arak dan diminumnya sendiri, sedangkan yang putih dia masukkan
ke dalam guci arak di mana masih ada sisa arak. Selama tinggal di dalam guha,
Kong To Tek yang mencarikan segala keperluan mereka, termasuk arak wangi.
“Kong-lopek....!” Kemudian dia memanggil
sambil menanti di depan guha, guci arak dan dua cawan kosong di tangannya.
Tak lama kemudian muncullah kakek gundul itu,
pringas-pringis seperti biasanya. “Kau perlu apakah, kongcu?”
“Kong-lopek aku telah berhasil membuat obat
perampas ingatan itu!” Tek Hoat berkata sambil tersenyum girang.
Akan tetapi Kong To Tek mengerutkan alisnya
dan mendengus. “Uhhh, obat mengerikan seperti itu, untuk apakah kongcu?”
Tek Hoat tertawa. “Ha-ha-ha, aku sudah dapat
membuat rahasia peninggalan suhu, bukankah itu menggirangkan sekali?
Kong-lopek, kita harus rayakan ini! Hayo temani aku minum arak untuk merayakan
hasil baik ini!” Dia menuangkan arak dari guci ke dalam dua cawan kosong dan
ternyata sisa arak itu hanya tepat dua cawan saja, lalu menyerahkan yang
secawan kepada Kong To Tek. Tentu saja kakek ini menerima dengan girang tanpa
curiga karena selain dia percaya penuh kepada orang yang dianggapnya Wan Keng
In putera ketuanya itu, juga dia melihat bahwa pemuda itu juga minum dari cawan
ke dua yang diisi dari guci yang sama.
“Terima kasih, lopek. Sekarang pergilah
beristirahat, aku sendiri sudah lelah sekali.”
Kakek gundul itu mengangguk-angguk dan
diam-diam Tek Hoat memperhatikan gerak-geriknya. Melihat betapa kakek itu
berulangkali menguap tanda mengantuk, dia girang sekali. Cocok dengan tulisan
dalam kitab. Orang yang terkena racun itu tentu akan merasa mengantuk sekali
dan setelah orang itu tertidur, maka terjadilah perubahan pada ingatannya,
racun itu bekerja dan kalau orang itu bangun, dia tidak akan ingat hal-hal yang
telah lalu sama sekali!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tek
Hoat sudah bangun dan menghampiri Kong To Tek yang masih tidur di bagian luar
guha besar itu. Kakek gundul itu tidur mendengkur dengan keras sekali, tanda
bahwa tidurnya amat pulas. Akan tetapi Tek Hoat sudah tidak sabar lagi,
mengguncang-guncang pundak kakek itu.
“Lopek! Kong-lopek, bangunlah....!”
“Hemmm.... ahhhh.... masih mengantuk....
ehhh, siapa kau....?” Kakek gundul itu membuka matanya, menggosok-gosok kedua
matanya dan memandang ke kanan kiri, lalu memandang lagi kepada Tek Hoat,
kemudian meloncat bangun dengan kaget dan heran.
“Di mana aku....? Siapa kau ini orang
muda....? Ah, mengapa aku bisa berada di sini?” Kakek itu kelihatan seperti
orang bingung dan Tek Hoat tersenyum girang sekali. Sikap kakek itu saja jelas
membuktikan bahwa obat perampas ingatan itu benar-benar amat manjur dan hebat!
“Lopek, apakah benar-benar engkau tidak ingat
apa-apa lagi?”
“Orang muda, siapakah engkau? Dan aku....
hemm.... siapa pula aku dan di mana tempat ini? Mengapa aku tidur di guha?”
Kini Tek Hoat tidak ragu-ragu lagi, akan
tetapi untuk lebih yakin, dia sengaja menguji. “Lopek, masa engkau lupa akan
namanya sendiri? Namamu adalah.... Ang Tek Hoat, masa engkau lupa?” Kakek itu
menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. “Ang Tek Hoat....? Hemm, terdengar asing
akan tetapi mungkin itulah namaku. Ya, benar, namaku Ang Tek Hoat, dan engkau
siapa, orang muda?”
Tek Hoat menahan ketawanya. “Aku? Namaku Kong
To Tek!”
“Kong To Tek? Nama itu tidak asing bagiku.
Hemm, kalau begitu tentu engkau sudah kukenal lama, Kong To Tek.”
Tek Hoat tertawa. “Tentu saja, lopek! Kita
adalah sahabat-sahabat lama!”
Sehari itu, Tek Hoat memperhatikan gerak-gerik
Kong To Tek yang hanya duduk di depan guha sambil termenung, agaknya bingung
dan wajahnya membayangkan keraguan hebat. Ternyata kakek ini sama sekali tidak
ingat akan masa lalu, dan yang diketahuinya hanyalah bahwa dia bernama Ang Tek
Hoat dan pemuda itu bernama Kong To Tek! Dia seolah-olah seorang yang sama
sekali baru!
Setelah kini merasa yakin akan kemanjuran
ramuan perampas ingatan itu, pada malam harinya, ketika mereka berdua makan,
Tek Hoat mencampurkan obat penawar racun itu ke dalam minuman Kong To Tek.
Seperti malam kemarin, kakek itu sehabis makan dan minum obat penawar, tertidur
dengan nyenyaknya.
Ketika pada keesokan harinya mereka terbangun,
Tek Hoat ingin menggoda Kong To Tek dan dia akan memberitahu bahwa kakek itu
telah dijadikan kelinci percobaan dengan hasil baik sekali. “Eh, lopek Ang Tek
Hoat, kau baru bangun?” Tegurnya menggoda.
Akan tetapi, segera Tek Hoat meloncat bangun
dan memandang tajam. Sikap kakek itu aneh sekali, lain dari biasanya. Matanya
tidak bergerak liar lagi, bahkan mata itu kini memandang kepadanya penuh
selidik dan suaranya terdengar penuh wibawa, “Orang muda, siapa engkau? Namaku
bukan Ang Tek Hoat, melainkan Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka! Siapa kau berani
memasuki guha rahasia yang menjadi tempat persembunyianku ini?”
Tentu saja Tek Hoat kaget setengah mati. Dia
meloncat keluar dan kini mereka saling berhadapan di bawah sinar matahari pagi,
di depan guha besar itu.
“Kong-lopek, jangan main-main. Bukankah
engkau sudah mengenalku? Aku adalah Wan Keng In....”
“Bohong....!” Tiba-tiba Kong To Tek membentak
marah sekali. “Biarpun wajahmu mirip sekali dengan Wan-kongcu, akan tetapi
engkau sama sekali bukan Wan Keng In! Engkau jauh lebih muda, dan kalau dia masih
hidup, tentu dia patut menjadi ayahmu. Orang muda, jangan kau main-main dengan
aku! Siapa kau? Hayo mengaku, dan mau apa engkau berada di sini?” Tiba-tiba
wajah kakek itu menjadi pucat sekali. “Kau...., sudah lamakah berada di sini?”
“Aihhh, Kong-lopek, aku adalah Wan Keng In
pewaris pusaka suhu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin....”
“Pedang itu....!” Kong To Tek menuding ke
arah pedang Cui-beng kiam yang berada di punggung Tek Hoat. “Kembalikan!
Pedang itu milikku, dan juga kitab-kitab pusaka.... di mana kitab-kitab itu?
Kau sudah mengambilnya pula? Keparat, hayo kembalikan!” Dia menubruk maju
hendak merampas pedang, akan tetapi sebuah tendangan kaki dari samping membuat
dia terjengkang.
“Aihhhh....! Kau melawan? Kau berani kepada
Kong To Tek tokoh Pulau Neraka? Bocah, kau sudah bosan hidup!”
Tek Hoat menjadi terheran-heran dan bingung.
Mengapa terjadi perubahan yang hebat pada diri kakek itu? Akhirnya dia dapat
menduga sebabnya. Mungkin karena racun perampas ingatan itu. Setelah minum obat
penawarnya, agaknya pikiran atau ingatan kakek itu malah sembuh sama sekali,
pulih seperti dahulu ketika belum gila sehingga kakek itu teringat akan
segala-galanya! Celaka, pikir Tek Hoat, kalau begini berbahaya sekali. Orang
ini harus dibunuhnya!
“Bocah keparat, pencuri pusaka! Kau harus
mampus!” Dan kakek gundul itu sudah menerjang dengan terkaman seperti seekor
singa kelaparan.
“Engkaulah yang akan mampus, Kong To Tek!” Tek
Hoat miringkan tubuh ke kiri dan dari kiri tangan kanannya menampar ke depan.
“Wuuuuttt.... dessss....!”
“Aihhh....!” Kong To Tek berteriak, karena
sakit dan kaget melihat betapa pemuda yang dipandangnya rendah itu ternyata
lihai sekali sehingga dua kali dia terjengkang. Tenaga sin-kang yang menyambar
dari tangan pemuda itu membuka kedua matanya sehingga dia tahu bahwa pemuda ini
memiliki ilmu kepandaian hebat.
“Bagus! Kiranya engkau seorang penjahat
cilik!” Dia memaki dan kini Kong To Tek mulai mengerahkan tenaga dari pusarnya.
Kepandaian kakek ini memang hebat. Dahulu dia merupakan tokoh ke dua sesudah
ketua di Pulau Neraka, dan ilmunya yang paling diandalkan adalah sin-kang dari
perut yang membuat perutnya mengeluarkan bunyi seperti katak tertimpa hujan,
dan kalau dia sudah mengerahkan tenaga sin-kangnya ini, dari mulutnya menyambar
uap beracun pula! Apalagi setelah dia mempelajari kitab-kitab Cui-beng
Koai-ong dari gambar-gambarnya, latihan itu membuat dia makin kuat dan lihai!
“Wuuuusssshh....!” Mulutnya menyemburkan uap
putih ke arah muka Tek Hoat, tubuhnya merendah seperti berjongkok dan kedua
kakinya bergerak aneh ke depan sambil berjongkok, kemudian tiba-tiba kedua
lengannya bergerak melakukan serangan dari bawah dengan hebat dan hawa pukulan
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya ke arah Tek Hoat.
Kalau saja Tek Hoat belum melatih diri dengan
ilmu-ilmu dari dalam kedua kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu
selama hampir dua tahun ini, kiranya dengan ilmu yang dipelajarinya dari Sai-cu
Lo-mo saja dia tidak akan mampu menandingi tokoh gundul dari Pulau Neraka ini.
Akan tetapi selama hampir dua tahun ini, di dalam guha itu Tek Hoat telah
mempelajari ilmu-ilmu kesaktian yang amat hebat sehingga ilmu kepandaiannya
menjadi hebat sekali, sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan dua tahun
yang lalu. Namun, karena dia belum pernah mencoba ilmu-ilmu barunya, melihat
serangan kakek gundul itu, dia terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke
belakang untuk menghindarkan diri.
“Haiiiiittt....!” Kong To Tek meloncat dari
kedudukannya berjongkok tadi, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua lengannya
bergerak-gerak, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala sedang
yang kanan menonjok ke arah ulu hati Tek Hoat!
Namun kini Tek Hoat sudah siap sedia. Melihat
datangnya serangan yang amat dahsyat itu, dia berlaku cepat, mengangkat tangan
kanan menangkis ke atas sambil mengerahkan tenaga sin-kang, sedangkan tangan
kirinya dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan, menerima pukulan tangan
kanan lawan.
“Plak! Dessss....!”
Untuk ketiga kalinya tubuh Kong To Tek
terdorong dan terjengkang! Kakek itu mendengus keras dan meloncat bangun lagi.
Ternyata ujung mulutnya mengucurkan darah, tanda bahwa benturan tenaga dalam
tadi sedemikian hebatnya sehingga dia mengalami luka di dalam tubuhnya!
Melihat hasil tangkisannya, besarlah hati Tek
Hoat. Kini dia menghadap terjangan lawan dengan pandang mata mengejek dan sama
sekali tidak merasa jerih lagi karena dia telah memperoleh kepercayaan tebal
kepada kepandaian sendiri. Ketika kakek itu menerjang dan menyerangnya
bertubi-tubi, sambil tersenyum mengejek dia mengelak dan menangkis,
kadang-kadang balas memukul. Setiap kali dia membalas, kakek gundul itu pasti
terdorong oleh pukulannya yang biarpun tidak mengenai tubuh lawan, namun hawa
pukulannya amatlah hebatnya, tidak kuat kakek itu menahannya.
“Kong To Tek, sekali ini terpaksa aku harus
membunuhmu!” bentak Tek Hoat dan tiba-tiba tampak sinar berkilauan ketika dia
telah mencabut Cui-beng-kiam!
Melihat pedang ini, Kong To Tek kelihatan
gentar, akan tetapi juga marah. Sambil menerjang maju, dia membentak,
“Kembalikan Cui-beng-kiam kepadaku!”
Terjangannya dahsyat sekali karena dia
menggunakan jurus-jurus dari Ilmu Silat Liong-jiauw-pok-cu (Cakar Naga
Menyambar Manusia). Kedua tangannya membentuk cakar dan bergerak-gerak
mencengkeram untuk merampas pedang sedangkan dari perutnya terdengar bunyi
berkokokan tanda bahwa dia mengerahkan sin-kangnya yang amat kuat, mulutnya
mengeluarkan uap putih.
Melihat terjangan ini, Tek Hoat bergerak ke
kanan kiri cepat sekali sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi banyak,
dan dari kanan kiri menyambarlah gulungan sinar pedang Cui-beng-kiam yang
ampuh.
“Singgggg.... crak! Crokk!”
Terdengar suara pekik melengking dan Kong To
Tek roboh terguling, kedua lengannya buntung sebatas siku terbabat pedang
Cui-beng-kim yang ampuh!
Melihat tubuh itu berkelojotan dan bergulingan
di atas tanah, Tek Hoat tersenyum untuk menekan perasaan hatinya yang menyesal.
Kakek itu telah melakukan banyak kebaikan kepadanya!
“Hemmm, terpaksa aku membunuhmu, Kong-lopek.
Hidupmu berbahaya bagiku setelah pulih kembali ingatanmu!”
Sambil meringis menahan rasa nyeri yang amat
hebat, Kong To Tek bertanya, “Orang muda.... siapakah engkau....?”
“Namaku Ang Tek Hoat. Dengan kebetulan saja
aku bertemu denganmu, lopek. Kau menyangka aku bernama Wan Keng In dan engkau
menyerahkan pusaka para datuk Pulau Neraka kepadaku. Tentu saja aku tidak dapat
menolak datangnya keuntungan ini, dan sekarang pulih pula ingatanmu, maka kau
berbahaya bagiku.”
“Aughhhh.... kau.... kau.... memang mirip
sekali dengan Wan-kongcu...., ahhh, agaknya roh Wan Keng In memasuki dirimu....
agaknya Wan-kongcu muncul kembali untuk dapat membalas musuh-musuhnya....”
“Siapa sih orang yang bernama Wan Keng In
itu?” Tek Hoat bertanya, ingin juga dia mengetahui siapa orang yang katanya
mirip dengan dia itu.
“Dia...., dia bekas majikanku.... dia kongcu
dari Pulau Neraka putera ketua Pulau Neraka....”
Tek Hoat mengangguk-angguk kagum. “Dan siapa
itu musuh-musuhnya?”
“Musuhnya adalah.... Gak Bun Beng.... dan....
dan To-cu Pulau Es....”
Tek Hoat merasa terkejut bukan main mendengar
disebutnya dua nama itu! Gak Bun Beng juga musuh besarnya! Dan.... To-cu Pulau
Es! “Apakah kaumaksudkan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”
“Benar.... dia.... dia lihai....”
“Dan Gak Bun Beng, penjahat itu sudah dibunuh
mati oleh ibuku!” kata pula Tek Hoat.
Kong To Tek membelalakkan matanya. Darah
bercucuran dari kedua lengan yang buntung itu. Mukanya pucat karena banyak
kehilangan darah. Keadaannya sungguh mengerikan dan tubuhnya sudah mulai lemah.
Namun agaknya dia terkejut mendengar pengakuan Tek Hoat itu dan dia bertanya.
“Siapa.... siapa ibumu....?”
Biarpun Tek Hoat tidak suka menceritakan
keadaan keluarganya, namun melihat bahwa kakek ini tidak akan hidup lebih lama
lagi, dia mengaku, “Ibuku.... hem, ibuku seorang pendekar wanita puteri dari
ketua Bu-tong-pai. Ayahku bernama Ang Thian Pa dan ibuku bernama Siok Bi....”
Tek Hoat menghentikan kata-katanya ketika melihat Kong To Tek bangkit duduk dan
matanya terbelalak memandangnya.
Lengan tangan yang hanya tinggal sepotong itu
bergerak ke atas dan seolah-olah menuding sehingga Tek Hoat merasa ngeri juga.
“Kau.... kau.... kau anak Siok Bi....? Ahhh.... ah tidak salah lagi.... kau....
kau puteranya.... auhh!” Tubuh itu terguling.
“Apa katamu? Kong-lopek, apa maksudmu?” Tek
Hoat mengguncang-guncang tubuh itu, akan tetapi Kong To Tek telah menjadi
mayat.
Tek Hoat bangkit berdiri, termenung. Apa yang
dimaksudkan oleh kakek ini tadi? Agaknya kakek ini mengenal ibunya! Dan dia
puteranya? Putera siapa? Sayang kakek itu sudah mati. Ah, mengapa dia
memusingkan hal itu? Mungkin hanya igauan orang dalam sekarat. Jelas dari
penuturan ibunya bahwa ayahnya bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahnya terbunuh
oleh Gak Bun Beng, akan tetapi musuh besar itu telah dibunuh ibunya pula.
Pada hari itu juga, Tek Hoat meninggalkan
mayat Kong To Tek dan guha di mana selama dua tahun dia melatih diri. Dia
membawa Cui-beng-kiam dan dua buah kitab yang isinya telah dipelajarinya akan
tetapi belum semua sempat dilatihnya karena memang amatlah sukar melatih
ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab itu. Dia akan pulang ke Lembah Huang-ho, ke
Bukit Angsa di mana tinggal ibunya yang tentu sudah merindukannya. Dia akan
menuturkan pertemuannya dengan Kong To Tek itu kepada ibunya dan barangkali
ibunya akan dapat mengerti tentang sikap aneh kakek gundul itu sebelum mati.
***
Karena adanya halangan yang hampir merupakan
malapetaka dan yang menimpa diri Raja Bhutan, maka dengan alasan bahwa
negaranya masih terancam bahaya dan puterinya masih terlalu muda, Raja Bhutan
menyuruh rombongan kaisar pulang dengan surat permohonan kepada kaisar agar
pernikahan puterinya itu diundur sampai dua tahun lagi!
Hal ini dilakukan Raja Bhutan yang
mendengarkan kata-kata penasehatnya di istana. Pada waktu itu, ketahyulan masih
amat kuatnya menguasai hati semua orang, bahkan keluarga kerajaan sendiri tidak
terlolos dari pengaruh tahyul dan tradisi. Segala sesuatu dilakukan berdasarkan
“perhitungan” bulan bintang, dan segala peristiwa dianggap sebagai
“tanda-tanda” untuk menentukan sesuatu di masa depan. Karena itu, pernikahan
puteri raja tentu saja dilakukan atas dasar “perhitungan” para “ahli nujum”
pula. Maka peristiwa yang hampir mencelakakan raja diperhitungkan dengan
pernikahan puteri, dihitung pula hari kelahiran Puteri Syanti Dewi, kemudian
diputuskan bahwa selama dua tahun mendatang merupakan hari-hari buruk bagi Raja
Bhutan, maka tidak dibenarkan kalau mengawinkan puteri itu sebelum lewat dua
tahun!
Kaisar menerima surat permohonan itu dan dapat
menyetujuinya setelah dia mendengar akan peristiwa yang terjadi di Bhutan.
Kaisar sendiri tidak terluput dari kepercayaan itu, apalagi setelah para ahli
nujumnya sendiri juga memperhitungkan bahwa memang kedatangan Puteri Bhutan
dalam waktu dekat akan menimbulkan bahaya bagi kerajaan sendiri! Demikianlah,
maka acara memboyong Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu diundur sampai dua
tahun!
Terjadi perubahan besar dalam kehidupan Lu Ceng,
atau Ceng Ceng. Semenjak pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi, dia diminta
tinggal di dalam istana dan tentu saja dia dihormat pula oleh semua penghuni
istana karena dia sekarang telah menjadi seorang puteri! Dia adalah adik angkat
Puteri Syanti Dewi, maka dengan sendirinya diapunn menjadi seorang puteri
istana! Bahkan Raja Bhutan telah menganugerahinya dengan nama baru, nama
seorang puteri, yaitu Candra Dewi!
Biarpun dia telah dianggap seorang puteri
istana, sikap Ceng Ceng masih biasa saja, bahkan diapun hanya mau mengenakan
pakaian puteri kalau ada upacara resmi saja. Untuk sehari-hari, dia tetap
mengenakan pakaian yang ringkas seperti biasa, dan rambutnya yang panjang,
dikuncir seperti kebiasaan gadis-gadis dusun! Setiap hari dia menemani Sang
Puteri Syanti Dewi yang suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga mereka
berdua berlatih bersama. Dari adik angkatnya ini sang puteri memperoleh banyak
petunjuk karena memang tingkat kepandaian Ceng Ceng jauh lebih tinggi daripada
dia.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Apalagi
bagi Ceng Ceng yang selalu hidup gembira bersama Puteri Syanti Dewi dan para
puteri lain di istana. Setiap hari, kalau tidak berlatih silat tentu berlatih
tari-tarian, bernyanyi, bersenang-senang atau membaca kitabkitab kuno berisi
dongeng-dongeng indah. Dua tahun tak terasa telah lewat dan pada suatu hari,
datanglah rombongan utusan kaisar yang sekali ini benar-benar hendak memboyong
Sang Puteri Syanti Dewi!
Tidak ada lagi alasan bagi Raja Bhutan untuk
menolak. Selama dua tahun ini, kaisar telah mengirim banyak bantuan, baik
berupa pasukan maupun perlengkapan untuk mengusir para gerombolan pemberontak
sehingga Kerajaan Bhutan tidak begitu dirongrong lagi oleh mereka.
Pesta besar diadakan untuk menyambut
rombongan ini dan sekali ini, kembali rombongan itu dipimpin oleh Tan-ciangkun
(Perwira Tan), yaitu Tan Siong Khi yang gagah perkasa dan memiliki jenggot
panjang yang indah bentuknya!
Untuk menghormati para utusan kaisar, juga
sekaligus merayakan hari diboyongnya Puteri Syanti Dewi yang sudah berusia
delapan belas tahun, dan juga pesta perpisahan dengan sang puteri, maka malam
hari itu selain diadakan pesta makan minum, juga diadakan pesta tari-tarian
tradisionil dari para penari Bhutan.
Dalam pesta ini, Sang Puteri Syanti Dewi
keluar pula, duduk di atas sebuah kursi. yang khusus disediakan untuk keluarga
raja. Tentu saja Ceng Ceng tidak mau ketinggalan dan dia menemani puteri yang
telah menjadi kakak angkatnya itu. Akan tetapi, karena sekali ini dia akan
bertemu dengan orang-orang dari kerajaan suku bangsanya sendiri, dia tidak mau
mengenakan pakaian puteri Bhutan, dan hanya mengenakan pakaian biasa biarpun
masih baru. Ceng Ceng atau Candra Dewi itu berdiri di dekat kursi Puteri Syanti
Dewi sambil menonton pertunjukan tari-tarian.
Melihat wajah para utusan yang gagah perkasa,
terutama sekali si jenggot panjang yang kini tampak makin gagah biarpun sudah
makin tua, Ceng Ceng ingin sekali menyaksikan kepandaian mereka. Dia masih
teringat betapa dahulu, dua tahun yang lalu, dia pernah mengadu kuncirnya
dengan jenggot panjang itu dan merasa betapa rambutnya terjambak seperti akan
copot rasanya! Dan dia mendengar dari kakeknya bahwa si jenggot itu ternyata
adalah seorang pengawal pribadi kaisar yang amat lihai! Kini, melihat mereka
dan terutama sekali si jenggot panjang, timbul keinginan di hati Ceng Ceng.
“Kak Syanti....” dia berbisik.
Syanti Dewi menengok. “Ada apakah, Candra?”
Dengan suara berbisik-bisik Ceng Ceng lalu
mengajukan usulnya, yaitu agar sang puteri minta kepada ayahnya untuk membujuk
para utusan yang gagah perkasa itu agar menghibur dan meramaikan pesta dengan
pertunjukan ilmu silat mereka yang terkenal tinggi! Syanti Dewi memang suka
sekali akan ilmu silat, maka mendengar usul adik angkatnya ini, dia cepat
mengajukan permintaannya kepada raja. Sebetulnya raja merasa agak enggan juga
mengajukan permintaan agar para tamu memperlihatkan kelihaian mereka, akan
tetapi karena tidak tega menolak keinginan puterinya yang akan pergi
meninggalkannya itu, terpaksa dia menyuruh pengawalnya menghubungi
Tan-ciangkun untuk menyampaikan permintaannya.
Tan Siong Khi bermata tajam. Dia melihat
ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada Syanti Dewi. Pengawal kaisar ini tentu
saja masih ingat kepada nona yang disangkanya pengacau itu dan yang kini dia
dengar telah menjadi adik angkat puteri yang akan diboyongnya ke Tiongkok.
Maka diam-diam dia agak memperhatikan dan melihat ketika Ceng Ceng tadi
berbisik kepada sang puteri kemudian sang puteri bicara dengan Raja Bhutan.
Setelah Raja Bhutan mengutus pengawal menghubunginya dan menyampaikan
permintaan raja, tahulah Tan-ciangkun bahwa permintaan itu adalah gara-gara
si gadis yang lihai dan bengal itu. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu
berunding dengan para temannya, yaitu para perwira yang memiliki kepandaian
tinggi.
Tak lama kemudian suasana pesta menjadi makin
meriah seorang demi seorang, majulah para Perwira Mancu Kerajaan Ceng untuk
memperlihatkan kepandaian mereka bermain silat. Bermacam-macam senjata telah
mereka pergunakan, dan rata-rata ilmu kepandaian mereka memang amat tinggi bagi
para Perwira Bhutan sehingga tepuk tangan penuh kagum menyambut setiap
permainan silat dari rombongan utusan itu.
Kemudian, sebagai orang terakhir, tiba giliran
Tan-ciangkun sendiri. Pengawal kaisar yang lihai dan biarpun berpakaian biasa
namun sesungguhnya dialah yang memimpin rombongan utusan itu, maju dengan kedua
tangan kosong. Setelah dia memberi hormat dengan bertekuk lutut ke arah Raja
Bhutan dan keluarganya, dia meloncat bangun, menggulung kedua lengan bajunya
sehingga naik ke bawah siku. Kemudian dia mengangkat kedua tangan memberi
hormat berkeliling, dan berkata dengan suara lantang, “Maafkan kami yang telah
berani memperlihatkan kepandaian yang dangkal, karena kami hanya memenuhi
perintah sri baginda untuk ikut meramaikan pesta ini. Kami tahu bahwa di Bhutan
terdapat banyak sekali orang pandai yang jauh melampaui tingkat kami. Saya
sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa dan saya merasa agak sayang juga
terpaksa harus menghentikan minum anggur Bhutan yang demikian lezatnya! Karena
itu, saya harap cu-wi maafkan kalau saya hendak melanjutkan minum anggur yang
lezat itu.” Setelah berkata demikian, kakek berjenggot panjang ini
menggerakkan kepalanya.
“Wirrrr....!” Jenggotnya yang panjang itu
menyambar ke depan, ke arah guci anggur yang tadi dihadapinya dan tiba-tiba
anggur itu melayang ke atas, dilibat ujung jenggot yang panjang! Guci itu
diputar-putar di udara dan dipermainkan oleh jenggot panjang itu, kemudian,
ujung jenggot melibat guci dan membawa guci itu menukik ke bawah sehingga
anggur yang berada di dalam guci dan masih tinggal seperempat itu tertumpah ke
bawah. Kakek ini membuka mulutnya dan anggur itu persis memasuki mulutnya
sehingga kelihatannya dia minum anggur dari guci dengan dilayani oleh
jenggotnya! Bukan main hebatnya demonstrasi ini dan semua orang bertepuk
tangan memuji! Ceng Ceng sendiri diam-diam juga merasa kagum karena biarpun
memainkan guci dengan ujung rambut merupakan hal yang tidak begitu sukar, namun
jenggot yang dapat tegak “memegang” guci yang cukup berat itu membuktikan
sin-kang yang amat kuat!
Kini guci anggur itu sudah habis isinya, hanya
tinggal menetes-netes memasuki mulut Tan-ciangkun, sedangkan lengan kanan yang
tangannya terkepal itu menggigil, menandakan bahwa kakek itu mengerahkan tenaga
sin-kang yang kuat untuk membuat jenggotnya tegak kaku menahan guci, kemudian
di bawah tepuk sorak memuji, kakek ini memainkan guci kosong dengan jenggotnya.
Guci dilontarkan ke atas, tinggi sampai hampir menyentuh langit-langit,
kemudian ketika meluncur turun diterimanya lagi dengan ujung jenggot dan
diputar-putar sampai kelihatannya menjadi banyak saking cepatnya.
Setelah Tan Siong Khi mengakhiri permainannya,
semua orang bertepuk tangan memuji. Baru jenggotnya saja sudah demikian kuat
dan ampuh, apa lagi kaki tangannya! Tan-ciangkun menjura ke sekeliling,
kemudian memberi hormat kepada Raja Bhutan dan terdengar suaranya lantang,
“Terima kasih hamba haturkan atas pujian sri baginda, padahal permainan hamba
tidak ada artinya, apalagi kalau dibandingkan dengan kepandaian tokoh-tokoh
Bhutan yang lihai. Sekarang hamba mohon agar paduka sudi memberi kesempatan
kepada tokoh-tokoh Bhutan untuk memperlihatkan kepandaian untuk memeriahkan
pesta ini.”
Raja Bhutan mengangguk-angguk dan menoleh ke
kanan kiri. Dia tahu bahwa para pengawalnya juga rata-rata memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba Tan-ciangkun berkata lagi, “Hamba
tahu bahwa nona yang menjadi adik angkat sang puteri memiliki ilmu kepandaian
tinggi sekali!”
Memang sengaja Tan-ciangkun berkata demikian
untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Kalau tidak gara-gara nona muda itu
yang mengusulkan, tentu dia dan kawan-kawannya tidak harus memamerkan kepandaian
seperti serombongan tukang jual obat atau penari silat di pasar-pasar!
Mendengar ini, Raja Bhutan cepat menengok ke
arah Ceng Ceng sambil tersenyum lebar dan berkata, “Aih, sampai lupa aku!
Candra Dewi, kau majulah dan perlihatkan kepandaianmu!”
Ceng Ceng terkejut sekali, tidak mengira bahwa
dia diperintah raja untuk bersilat! Tentu saja dia tidak berani membantah dan
dia sudah berlutut menyembah sambil mengeluarkan kata-kata kesanggupan dengan
lirih, matanya melirik gemas kepada Tan-ciangkun yang hanya tersenyum. Kemudian
dara itu melompat ke tengah ruangan, mencabut keluar sepasang pisau belati yang
sebelumnya merupakan hui-to (golok terbang), yaitu senjata rahasia yang
disabitkan, dan mulailah dia bersilat dengan sepasang belati itu. Gerakannya
indah sekali, cepat dan bertenaga sehingga para penonton menjadi kagum karena
kelihatannya dara itu sedang menari-nari dengan indahnya, namun
gulungan-gulungan kecil dari sinar putih yang seperti selendang kecil
digerak-gerakkan itu mengandung cakar maut yang dapat membunuh lawan!
Tepuk sorak bergemuruh menyambut dengan kagum
ketika Ceng Ceng sudah merubah permainannya, tepuk sorak yang disertai suara
ketawa di sana-sini karena selain lucu juga luar biasa sekali permainan yang
kini dilakukan oleh Ceng Ceng. Apa yang terjadi? Dara ini telah menggunakan
kuncirnya yang sudah dibagi dua untuk bermain silat! Sepasang kuncirnya itu
seolah-olah telah berubah menjadi dua ekor ular hitam yang hidup dan ujung
kedua kuncir membelit hui-to kemudian dia bergerak-gerak dengan cepat,
menggoyang kepalanya sehingga sepasang kuncir itu memainkan sepasang hui-to itu
seperti tadi Tan-ciangkun untuk mengejeknya!
Setelah Ceng Ceng mengakhiri permainannya,
tentu saja dia disambut dengan tepuk sorak gemuruh, juga Tan-ciangkun ikut
bertepuk tangan sambil tersenyum karena diapun ikut bangga. Betapapun juga,
dara itu dia tahu bukanlah Bangsa Bhutan, melainkan bangsanya sendiri dan ilmu
silat yang dimainkan oleh Ceng Ceng itu adalah ilmu silat dari pedalaman. Dia
sudah mendengar bahwa dara yang cantik jelita itu adalah cucu dari kakek Lu
Kiong yang dahulu pernah memegang pekerjaan seperti dia, yaitu pernah menjadi
pengawal kaisar puluhan tahun yang lalu.
Setelah beberapa orang perwira dan pengawal
Raja Bhutan juga memperlihatkan ilmu kepandaian masing-masing, pesta itu
berakhir sampai jauh malam, bahkan sudah lewat tengah malam. Semua orang pergi
ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Ceng Ceng mengawal kakak angkatnya
masuk ke kamar pula. Semenjak menjadi adik angkat Syanti Dewi, Ceng Ceng tidur
sekamar dengan puteri itu.
Menjelang pagi, Ceng Ceng terbangun oleh suara
tangis. Dia bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan mencoba untuk melihat di
dalam kamar yang telah digelapkan itu. Kiranya yang menangis adalah Syanti
Dewi! “Eh, suci Syanti.... kau.... kenapakah....?” Ceng Ceng cepat meloncat
turun dan menyalakan lilin di atas meja. Dilihatnya puteri itu menelungkup
sambil menangis terisak-isak.
“Enci Syanti, mengapa kau menangis?” Kembali
Ceng Ceng bertanya sambil duduk di pembaringan puteri itu dan mengusap
pundaknya.
Puteri itu menengok, lalu bangkit berdiri
merangkul Ceng Ceng sambil menangis makin sedih. “Adikku.... aihhh.... adikku
Candra....!”
Ceng Ceng membiarkan puteri itu menangis di
pundaknya sampai agak mereda, kemudian dia berkata, “Kakakku yang baik,
beginikah sikap seorang gagah? Biarpun kita wanita, namun kita menjunjung
kegagahan dan tangis merupakan hal yang dipantang, kecuali kalau ada persoalan
yang tak terpecahkan dan amat hebat. Apakah yang telah terjadi? Kalau ada
persoalan, bicarakanlah denganku, dan marilah kita pecahkan bersama. Tidak ada
di dunia ini persoalan yang tidak akan dapat kita pecahkan berdua, bukan?”
Putri itu menghapus air matanya dan memandang
adik angkatnya. Tangisnya sudah mereda dan melihat wajah adiknya menimbulkan
kepercayaan dan hiburan besar baginya. Dia menghela nafas panjang berkali-kali
sebelum bicara, kemudian sambil memegang tangan adik angkatnya dia berkata,
“Candra, hati siapa tidak akan menjadi kecewa, penasaran dan duka? Tadi aku
mendengar dari seorang pelayanku yang memang kusuruh melakukan penyelidikan di
antara rombongan utusan, dan aku mendengar berita yang sangat mengecewakan
sebelum tidur tadi.”
“Berita apakah?”
“Berita keterangan tentang Pangeran Liong Khi
Ong....”
“Aihhh, tentang calon suamimu?” Ceng Ceng
menahan ketawanya. “Bukankah berita itu menggembirakan?”
“Siapa bilang menggembirakan? Ternyata dia
adalah seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun.... hu-huuukkk....”
Putri itu menangis lagi.
Ceng Ceng merangkul dan menghiburnya. “Lima
puluh tahun belum tua bagi seorang laki-laki, apalagi kalau dia seorang
pangeran,” dara ini mencoba menghibur sebisanya.
“Tapi.... tapi.... dia mempunyai banyak
selir....” kembali puteri itu terisak.
“Aihh, enci Syanti, apa anehnya tentang itu?
Dia seorang pangeran, tentu saja banyak selirnya. Akan tetapi engkau akan
menjadi isterinya, mengepalai semua selirnya.”
“Tapi.... tapi.... aku tidak suka, Candra. Aku
merasa seolah olah berangkat mati saja.... kehilangan kebebasanku.... menjadi
budak belian!”
“Ihhhh....! Mengapa kau berkata begitu, enci
Syanti?” Ceng Ceng berseru kaget.
“Mengapa tidak? Apa bedanya aku dengan budak
belian? Aku dibeli, dibeli dengan kedudukan dan nama, aku kehilangan
kebebasan, harus menurut menjadi isteri siapa saja! Aku.... aku ingin
menjadi isteri orang yang kupilih sendiri, adik Candra....!” Kembali puteri itu
menjatuhkan diri menelungkup, memeluk bantal dan menangis.
Ceng Ceng duduk termenung. Dia dapat menyelami
perasaan kakak angkatnya dan tak dapat membantah kebenaran kata-katanya.
Memang kaum wanita sama dengan budak belian. Diharuskan menjadi isteri siapa
saja, menjadi isteri seorang pria yang belum pernah dilihatnya. Apa bedanya
dengan budak belian? Hanya diberi pakaian indah dan penghormatan, namun pada
hakekatnya, nasib mereka dalam hal perjodohan tiada bedanya dengan budah
belian! Diam-dian hatinya memberontak pula.
“Enci Syanti, kalau begitu, mengapa tidak
engkau tolak saja?”
Puteri itu terkejut sekali, lalu bangkit
duduk. Dia memandang adiknya, menarik napas panjang dan menggelengkan
kepalanya. “Dahulu, dua tahun yang lalu, aku sama sekali tidak pernah
memikirkan ini. Kuterima saja perintah ayah karena memang biasanya demikian,
seorang puteri dikawinkan dan aku boleh disebut beruntung menjadi calon isteri
seorang pangeran putera kaisar yang besar! Akan tetapi, setelah pernikahan
diundur dua tahun, selama ini timbul penasaran di dalam hatiku mengapa aku
harus menikah, mengikatkan hidupku selamanya, dengan seorang yang sama sekali
belum pernah kulihat? Aku masih menghibur diri dengan anggapan bahwa seorang
pangeran putera kaisar tentulah seorang pria yang gagah perkasa, tampan, muda
dan pendeknya memenuhi impianku tentang seorang kekasih. Siapa tahu.... berita
itu.... dia sudah tua dan banyak selirnya.... hu-hu-huuukkk....”
Ceng Ceng menggaruk-garuk belakang telinganya,
bingung. “Kalau begitu, bagaimana baiknya, enci Syanti? Kautolak saja
sekarang, bagaimana?”
“Ahhh, kau tidak tahu, adikku. Kalau aku
menolak, tentu ayah akan memaksaku karena hal itu selain akan mencemarkan
nama keluarga Kerajaan Bhutan, juga berbahaya sekali, dapat menyeret negara ke
dalam perang.”
“Ohhh....!” Ceng Ceng terkejut sekali. “Habis,
bagaimana baiknya? Kalau begitu, mari kita.... melarikan diri saja. Malam ini
juga, biar aku menemanimu, enci....”
Mau tidak mau puteri itu tersenyum masam
mendengar ajakan ini. Ajakan yang ugal-ugalan. Mana mungkin puteri raja
minggat? Selain percuma karena tentu akan dapat ditangkap, juga amat memalukan.
“Tidak bisa, adikku, tidak mungkin itu.”
“Habis bagaimana? Apakah kau akan menerima
nasib begitu saja?”
“Apa boleh buat. Aku harus menerima nasib,
akan tetapi hatiku tentu akan terhibur sekali kalau kau suka menemaniku ke
Kerajaan Ceng di timur sana.”
“Tentu saja aku mau! Aku malah ingin sekali ke
sana! Baik, aku akan menemanimu.”
“Akan tetapi, apakah kakekmu akan
memperkenankan?”
“Dia harus menyetujui!” Ceng Ceng berkata
cemberut. “Aku berasal dari timur sana sudah sepatutnya kalau dia mengajakku
kembali ke sana. Sekarang ada kesempatan baik. Aku ikut denganmu, enci
Syanti!”
Demikianlah, keputusan diambil malam itu juga
dan pada keesokan harinya, sang puteri memberitahukan ayahandanya bahwa Candra
Dewi akan ikut bersamanya ke timur. Raja Bhutan tak dapat menolak dan kakek Lu
Kiong segera diberitahu tentang hal itu. Kakek ini terkejut, akan tetapi diapun
tidak berani menghalangi kehendak sang puteri, bahkan diam-diam dia harus
mengakui bahwa sudah sepatutnya kalau dia membiarkan cucunya itu kembali ke
timur. Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan cucunya, dia lalu
menyatakan hendak ikut mengawal rombongan sang puteri. Tentu saja keputusan
kakeknya ini menggirangkan hati Ceng Ceng, karena betapun juga dia merasa
kasihan dan tidak tega kalau harus meninggalkan kakeknya yang sudah tua itu
sendirian di Negara Bhutan.
Persiapan untuk keberangkatan Puteri Syanti
Dewi dilakukan dan keadaan di istana sibuk sekali. Besok pagi-pagi rombongan
yang memboyong puteri itu akan berangkat, pasukan istimewa yang khusus sebanyak
lima ratus orang akan mengawal rombongan sampai di perbatasan, di mana pasukan
Kerajaan Ceng akan menyambut dan mengoper tugas pengawalan. Barang-barang
berharga milik sang puteri dikumpulkan sampai berpeti-peti banyaknya. Ceng Ceng
sendiri memperoleh kesempatan untuk pulang ke rumah kakek, membantu kakeknya
yang juga berkemas dan dibantu oleh murid-murid kakeknya. Wajah para murid itu
kelihatan murung, karena mereka tahu bahwa sekali ini, gurunya pergi untuk
tidak kembali lagi ke Bhutan karena gurunya sudah amat tua.
Sementara itu, tanpa disangka-sangka, di pintu
penjagaan benteng, yaitu di pintu gerbang besar, terjadi keributan. Seorang
laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan berkuncir
panjang, bertangan kosong, sedang ribut mulut dengan para penjaga. Dari
pakaiannya mudah dikenal bahwa orang ini datang dari timur, seorang bangsa Han.
Karena di kota raja Bhutan sedang ada kesibukan, maka tentu saja para penjaga
itu menghadang orang yang tidak dikenal ini sambil menghardik, “Siapakah engkau
dan ada keperluan apa hendak memasuki kota raja?”
Laki-laki itu mengerutkan alisnya. “Hemm,
begitukah sikap para penjaga kota raja di Bhutan? Seorang penduduk sinipun
tidak akan mengalami gangguan, apalagi seorang pendatang dari luar yang dapat
disebut seorang tamu! Aku datang sebagai tamu, sebagai utusan dan aku ingin
menghadap sri baginda!”
Akan tetapi, kepala penjaga tertawa mengejek.
Orang itu pakaiannya biasa, sama sekali bukan pakaian orang berpangkat atau
seorang perwira, tentu saja dianggap menggelikan dan membohong ketika mengaku
sebagai tamu dan utusan, dan bahkan menimbulkan kecurigaan. Orang begini hendak
menghadap raja! Tentu berniat tidak baik, pikir kepala penjaga itu.
“Jangan main gila kau!” bentaknya. “Kaukira
mudah saja menghadap sri baginda! Hayo cepat pergi, keluar dari tempat ini atau
terpaksa akan kami tangkap sebagai mata-mata musuh!”
Orang itu memandang tajam dan tersenyum.
“Kepala penjaga, jangan membuka mulut besar dan sembarangan. Lebih baik
kaulaporkan kepada atasanmu, kepada Panglima Jayin bahwa ada seorang tamu
datang hendak bertemu! Kalau masih belum cukup meyakinkan, katakan bahwa yang
datang membawa bunga suci!”
Ucapan ini, apalagi kalimat terakhir, membuat
kepala penjaga menjadi makin marah. Dia melangkah maju dan mendorong dada
orang itu sambil berkata, “Engkau masih banyak membantah? Pergilah!”
Akan tetapi, kepala penjaga itu kaget sekali
karena dia seperti mendorong sebuah gunung karang saja! Orang itu sama sekali
tidak bergerak, maka dengan marah dia lalu memukul dada laki-laki berbaju hitam
itu.
“Dukkk!” Bukan tubuh orang itu yang roboh
terkena pukulan keras, sebaliknya kepala penjaga itu berteriak dan roboh terpelanting
seperti dibanting saja!
“Kau berani melawan?” Dua orang penjaga
menyerang dengan tombak mereka dari depan dan belakang. Namun dengan gerakan
gesit sekali, laki-laki berbaju hitam itu mengelak, kedua tangannya bergerak
menyambar tombak, tangan kiri menangkap tombak dari depan, tangan kanan
menangkap tombak dari belakang dan sekali dia mengangkat, dua orang penjaga itu
terangkat ke atas seolah-olah hanya seperti daun saja ringannya! Tentu saja
mereka terkejut dan berteriak, akan tetapi tubuh mereka segera melayang ke
depan dan jatuh terbanting cukup keras, membuat mereka hanya dapat bangkit
duduk dengan kepala pening dan mata berkunang!
Para penjaga yang lain datang dan segera
menyerang laki-laki yang lihai itu sehingga terjadilah pertandingan keroyokan
di depan pintu gerbang. Laki-laki itu menghadapi mereka dengan tenang, hanya
menggunakan kaki tangannya untuk menangkis dan merobohkan para pengeroyok tanpa
melakukan pembunuhan. Beberapa orang penjaga sudah lari untuk melapor kepada
Panglima Jayin.
“Tahan senjata, mundur semua!” Tiba-tiba
terdengar suara Panglima Jayin yang sudah cepat datang ke tempat itu. Para
penjaga mundur dan saling membantu karena mereka sudah menderita cidera tangan.
Panglima Jayin melangkah maju, berhadapan
dengan laki-laki itu. Orang itu segera menjura dan merangkapkan kedua tangannya
dengan jari-jari terbuka dan saling jalin di depan dada, dengan ibu jari saling
tindih. Melihat bentuk jari-jari tangan di depan dada ini, Panglima Jayin
mengerutkan alisnya dan berkata, nadanya menegur, “Apakah Pek-lian-kauw telah
mengalihkan permusuhannya kepada Negara Bhutan?” Pertanyaan ini mengandung
teguran dan juga tantangan.
“Ah, ah.... tidak sama sekali, harap
tai-ciangkun suka maafkan. Saya hanya seorang utusan, untuk menyampaikan surat
dari Raja Muda Tambolon untuk sri baginda di Bhutan.”
“Hemmm.... apalagi sekali ini? Setelah dua
tahun yang lalu kalian mencoba hendak menawan raja kami?”
“Saya sendiri tidak tahu, hanya ditugaskan
menyampaikan surat. Harap tai-ciangkun suka menghadapkan saya kepada sri
baginda.”
“Tidak mungkin! Sri baginda sedang sibuk....”
“Ha-ha, dengan keberangkatan pengantin?
Sayang sekali, puteri cantik harus dihadiahkan kepada....”
“Tutup mulutmu! Apa hubungannya denganmu? Hayo
lekas serahkan surat itu kepadaku, atau kau boleh pergi lagi!” Panglima Jayin
membentak marah.
Orang itu tersenyum tenang saja. “Begitupun
baik. Pokoknya surat ini akan terbaca oleh sri baginda di Bhutan.”
Dia mengeluarkan sebuah sampul panjang dan
sekali dia menggerakkan tangannya, surat itu melayang ke arah Panglima Jayin.
Perwira tinggi besar ini menyambut dan terkejutlah dia ketika merasa betapa
tangannya tergetar hebat pada saat menerima surat yang disabitkan itu. Dari
ini saja dia sudah tahu bahwa orang ini memiliki sin-kang yang amat kuat dan
dia bukanlah tandingan orang ini!
“Ha-ha-ha, tai-ciangkun aku mohon diri!”
“Haii, tunggu sebentar, sobat! Tidak kusangka
bahwa Pek-lian-kauw berkeliaran sampai di tempat sejauh ini!” Tiba-tiba
tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah muncul Tan Siong Khi
yang telah meloncat ke depan dan menghadang orang berbaju hitam itu. Orang itu
memandang dengan tajam, kemudian mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya
seperti orang mengejek. Sedangkan Panglima Jayin cepat berkata. “Tan-ciangkun,
harap jangan ganggu dia. Dia hanyalah seorang utusan yang menyampaikan surat!”
Panglima ini tentu saja memegang peraturan umum bahwa seorang utusan sama
sekali tidak boleh diganggu, maka dia menghalangi Tan Siong Khi melarang orang
itu pergi.
“Sayang sekali....!” Tan Siong Khi berkata.
“Huhh!” Laki-laki berjubah hitam itu mendengus
lagi dan sekali meloncat, tubuhnya melayang tinggi.
“Enak saja kau pergi....!” Tan Siong Khi
menggerakkan kakinya dan tubuhnya mencelat ke atas, agaknya hendak menghadang
tubuh orang itu yang sedang melayang. Akan tetapi, tiba-tiba orang itu berseru
keras dan tubuhnya yang sedang meloncat itu berjungkir balik tiga kali dan
dapat meloncat lebih tinggi melampaui kepala Tan Siong Khi! Hebat dan indah
sekali gerakan ini, membuktikan kemahiran gin-kang yang luar biasa.
“Bukan main....!” Jayin berkata kepada Tan
Siong Khi setelah orang itu pergi jauh. “Dia lihai sekali, kuat sin-kangnya
dan lihat gin-kangnya, merupakan lawan yang lihai.”
Tan-ciangkun tertawa. “Akan tetapi diapun
tidak akan menganggap kita orang lemah!”
“Apa maksudmu, Tan-ciangkun?” Tanya Jayin,
akan tetapi Tan Siong Khi hanya tersenyum. Tadi ketika tubuh pesuruh Raja Muda
Tambolon itu melayang di atasnya, dia menggerakkan kepalanya dan jenggot
panjangnya melayang dan menyambar ke atas, merobek celana di selangkangan kaki
orang itu. Kalau dia mau, tentu saja bukan celana yang robek, melainkan bagian
tubuh yang lebih penting lagi dan yang mematikan!
“Raja Muda Tambolon ini makin menggila saja,”
katanya sambil berjalan memasuki pintu gerbang bersama Tan-ciangkun. “Dia
telah menghimpun semua kekuatan mereka yang bermaksud memberontak kepada
Kerajaan Ceng, yaitu orang-orang dari Tibet, Turki dan Mongol. Dia sendiri adalah
peranakan Tibet dan Mongol, dan khabarnya memiliki ilmu kepandaian yang
mujijat. Entah apa maksudnya kali ini, dan anehnya mengapa yang menjadi utusan
adalah orang Pek-lian-kauw.”
“Agaknya perkumpulan agama yang tersesat dan
menjadi tukang berontak itu kena pula dibujukkan dan menjadi sekutunya,” kata
Tan Siong Khi dan Jayin menganggukkan kepalanya. Memang dugaan ini tidak
meleset. Di perbatasan antara wilayah Kerajaan Ceng, yaitu di luar Sin-kiang,
gerombolan ini berkumpul dan makin lama menjadi kekuatan yang cukup besar.
Pada waktu itu, baik Tibet, Turki, Mongol dan semua raja muda yang menguasai
wilayah-wilayah kecil masing-masing telah ditundukkan dan dihancurkan oleh
Pemerintah Ceng. Namun, ada beberapa tokoh-tokoh mereka yang belum mau tunduk
dan akhirnya mereka ini dapat dihimpun oleh Raja Muda Tambolon untuk bersekutu
dan bersama-sama memperkuat diri dalam persiapan mereka menyerang Kerajaan Ceng
dan merampas wilayah-wilayah mereka kembali.
Ketika Raja Bhutan membaca surat yang dibawa
oleh Jayin, dia berkerut dan kelihatan gelisah. Akhirnya dia mengundang semua
pembantu dan orang kepercayaannya untuk membicarakan hal itu.
Bahkan Tan-ciangkun juga disuruh hadir karena
Raja Bhutan tentu saja mengharapkan bantuan dan perlindungan dari Pemerintah
Ceng yang akan menjadi besannya.
“Isi surat dari Tambolon ini membujuk agar
Bhutan tidak melanjutkan hubungan kekeluargaan dengan Pemerintah Mancu, dan
mereka mengajak kami untuk bersekutu. Kami memanggil kalian bukan untuk minta
pendapat mengenai permintaan mereka itu, karena sudah jelas bahwa kami tidak
akan menghentikan hubungan kekeluargaan kami dengan Kerajaan Ceng dan kami
tidak sudi diajak bersekutu oleh kaum pemberontak bekas orang-orang pecundang
dan pelarian itu. Akan tetapi perlu kita bicarakan tentang penjagaan dan
pembelaan diri yang perlu kita adakan karena mereka tentu tidak akan tinggal
diam setelah kami tidak menghiraukan permintaan mereka.”
Suasana menjadi hening, dan akhirnya terdengar
Tan Siong Khi berkata, “Harap paduka bertenang hati. Hamba mengerti bahwa
pemboyongan puteri paduka pasti akan mengalami gangguan dan halangan di jalan,
mungkin akan dihadang oleh mereka, akan tetapi hamba dan para pengawal akan
melindungi sang puteri dengan taruhan nyawa hamba sekalian!”
“Kami mengerti, Tan-ciangkun. Hanya, perlu
diadakan perubahan, karena bukan hanya rombongan itu yang mungkin akan
diganggu, akan tetapi juga Bhutan mungkin akan diserang. Karena itu, kami rasa
tidak baik kalau Panglima Jayin sendiri yang mengawal. Dia perlu untuk
memperkuat pertahanan di sini. Namun, pengawalan harus diperkuat. Inilah yang
membingungkan hati kami.”
“Harap paduka tidak gelisah,” akhirnya
Panglima Jayin berkata. “Sudah dipersiapkan pasukan istimewa, lima ratus orang
banyaknya dan hamba tidak perlu ikut karena sudah ada suhu Lu Kiong yang
memperkuat pengawalan. Apalagi ada Tan-ciangkun dan para pengawal dari
rombongan pemboyong. Kiranya rombongan itu sudah terkawal cukup kuat, dan
kalau mereka itu berani menyerang ke sini, kitapun sudah siap untuk memukul
hancur mereka! Para pemberontak itu tidak memiliki pasukan besar, kabarnya
paling banyak dua ribu saja. Terlalu banyak pasukan merupakan bunuh diri bagi
mereka karena tentu tidak akan kuat memberi ransum. Biarkan mereka datang hamba
bersumpah akan membasmi mereka sampai habis!”
Kata-kata penuh semangat dari Panglima Jayin
ini melegakan hati sri baginda, dan mereka lalu merundingkan tentang
keberangkatan sang puteri, dan penjagaan-penjagaan yang perlu diadakan.
Sementara itu, Ceng Ceng yang sudah mendengar
tentang kedatangan utusan pemberontak, berkata kepada Syanti Dewi, “Enci
Syanti, betapapun juga, kurasa jauh lebih baik menjadi isteri seorang Pangeran
Kerajaan Ceng daripada jatuh ke tangan pemberontak yang liar dan ganas itu. Bayangkan
saja kalau kau dijodohkan dengan seorang raja pemberontak! Selalu akan hidup di
medan perang, bahkan selalu menjadi orang pelarian, dan mereka itu tentu
merupakan orang-orang ganas dan liar yang menyeramkan.”
Syanti Dewi mengangguk. “Aku akan menyesuaikan
diri, adikku. Kurasa, apapun yang akan terjadi atas diriku, aku masih akan
terhibur oleh kehadiranmu di sampingku.”
***
Bunyi musik paduan suara terompet, tambur dan
canang riuh gembira diseling ledakan-ledakan merecon mengantar dan mengiringkan
keberangkatan rombongan Puteri Syanti Dewi sampai di luar pintu gerbang. Ketika
rombongan sudah mulai meninggalkan kota raja, dari jauh masih terdengar suara
riuh gembira ini di belakang mereka. Dari dalam jolinya, Syanti Dewi mengusap
air matanya yang bercucuran. Betapa tidak akan pilu hatinya meninggalkan orang
tua, keluarga dan tempat kelahirannya itu untuk selamanya? Sedikit sekali
kemungkinan dia akan dapat berkunjung ke Bhutan setelah dia menjadi isteri
Pangeran Liong Khi Ong!
Ceng Ceng yang berada sejoli dengan puteri itu
menghiburnya. Berbeda dengan sang puteri, dara ini kelihatan gembira sekali,
wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Tentu saja dia girang karena
memperoleh kesempatan untuk kembali ke negeri di mana dia dilahirkan, dan kepergiannya
ini juga bersama kong-kongnya yang berada di luar bersama para pengawal.
Joli itu tidak dipikul, melainkan merupakan
kereta kecil ditarik oleh empat ekor kuda. Beberapa orang pelayan wanita
pribadi naik sebuah kereta ke dua, kemudian di sebelah belakang masih ada pula
sebuah kereta besar penuh dengan peti-peti bawaan sang puteri. Para pengawal
mengapit tiga buah kereta itu di depan, belakang, kanan dan kiri sehingga sang
puteri terkurung rapat dan aman.
Pasukan itu megah dan gagah, dikepalai oleh
panglima wakil Jayin dan ditemani oleh kakek Lu Kiong yang gagah perkasa,
diiringkan pula oleh Tan Siong Khi dan teman-temannya. Mereka semua berkuda,
dan di sepanjang perjalanan, rombongan ini menjadi tontonan yang mengagumkan
dan mengherankan para penduduk dusun.
Dan untuk menenteramkan hati sang puteri, atas
perintah panglima komandan pasukan, di sepanjang jalan para perajurit itu
bersama-sama menyanyikan lagu-lagu ketentaraan yang terdengar megah dan gagah.
Memang megah sekali menyaksikan rombongan ini. Bendera kebesaran
berkibar-kibar tertiup angin, suara nyanyian lima ratus mulut itu menggegap
gempita, diseling ringkik kuda.
Perjalanan selama berhari-hari dilakukan
dengan aman dan selamat. Tidak tampak ada penghalang sedikitpun sampai mereka
tiba di dekat perbatasan antara wilayah Bhutan dan Propinsi Tibet. Lima hari
telah lewat dan memang perajurit itu agak lambat karena melalui Pegunungan
Himalaya dan pasukan Bhutan itu agaknya ogah-ogahan melepaskan puteri junjungan
mereka sehingga memperlambat perjalanan. Betapapun juga ada perasaan berat
untuk melepas puteri itu ke daerah Ceng, karena setelah nanti bertemu dengan
pasukan penjemput di daerah Tibet, pasukan Bhutan akan kembali ke Bhutan dan
menyerahkan pengawalan itu kepada pasukan Ceng.
Pada hari ke lima, rombongan tiba di kaki
gunung dan tampaklah padang pasir membentang luas di depan. Diduga bahwa
pasukan penjemput sudah berada dekat, di balik gunung pasir di depan. Karena
itu, rombongan berhenti di hutan terakhir sebab lebih baik menanti datangnya
pasukan penjemput di daerah yang masih sejuk ini, karena perjalanan selanjutnya
akan melalui daerah pegunungan yang sukar dan berbatu-batu sampai lembah Sungai
Brahmaputera di sebelah utara perbatasan Bhutan.
Pasukan dihentikan dan semua turun dari kuda
masing-masing. Di hutan itu terdapat mata air yang jernih, airnya mengalir
menjadi sebatang anak sungai kecil menuju ke utara dan agaknya anak sungai ini
akan memuntahkan airnya di Sungai Brahmaputera. Tentu saja setibanya di sungai
besar itu, airnya tidak sejernih ketika keluar dari mata airnya di hutan itu.
Mendengar dendang anak sungai itu, Sang Puteri Syanti Dewi turun dari jolinya
dan ingin sekali membasuh mukanya dengan air yang jernih. Maka berjalanlah
Syanti Dewi ditemani Ceng Ceng dan dikawal sendiri oleh panglima pasukan dan
kakek Lu Kiong, menuju ke tengah hutan dari mana terdengar suara riak air
sungai itu.
Akantetapi, ketika mereka tiba di tengah hutan
yang subur itu, mereka tertegun melihat seorang laki-laki sedang tidur di atas
rumput, berbantal batu, kedua lengan bersilang depan dada dan mukanya tertutup
oleh sebuah caping besar bundar. Seekor kuda yang kelihatan lelah sekali sedang
makan rumput tak jauh dari laki-laki itu.
Panglima pasukan dan kakek Lu Kiong yang memang
di sepanjang perjalanan menduga akan datangnya penyerbuan fihak musuh, tentu
saja menjadi curiga ketika melihat laki-laki itu. Akan tetapi karena merasa
terlalu tinggi untuk menegur, panglima itu memanggil lima orang perajurit yang
sedang duduk tak jauh dari situ dengan lambaian tangannya.
“Usir dia pergi! Sang puteri berkenan hendak
mandi di mata air ini,” katanya.
Lima orang perajurit itu dengan sikap gagah
dan galak, langkah lebar menghampiri orang yang sedang tidur. “Heiii! Bangun!
Sang puteri hendak mempergunakan tempat ini, kau pergi dan pindahlah tidur di
lain tempat!” bentak seorang di antara para perajurit itu.
Akan tetapi orang itu tetap tidur, sama sekali
tidak bergerak.
“Haiiii! Tulikah engkau?” bentak
perajurit ke dua.
“Apakah kau sudah mati barangkali?” bentak
perajurit ke tiga.
“Tak mungkin mati, lihat lututnya
bergerak-gerak!”
Memang, orang yang tertidur itu lutut kanannya
terangkat dan kini bergerak, akan tetapi terhenti lagi karena dibicarakan
orang.
“Haiii, petani....! Lekas bangun dan pergi.
Apakah kau ingin diseret?” bentak pula seorang perajurit.
Tetap saja orang itu tidak mau bergerak.
Melihat ini seorang perajurit yang berkumis tebal dan memegang sebelah kaki
orang itu, lalu menarik sekuat tenaga. Akan tetapi, betapa herannya semua orang
melihat bahwa si kuat ini sama sekali tidak mampu membuat orang itu bergerak,
bahkan menggerakkan kaki itupun tidak mampu! Seolah-olah bukan orang yang
ditarik-tariknya, melainkan patung batu yang luar biasa beratnya. Teman-temannya
menjadi heran, dan juga penasaran, lalu maju bersama dan lima orang itu
membetot-betot tubuh orang yang tidur itu. Terdengar mereka mengeluarkan suara
ah-uh-uh ketika mengerahkan tenaga, namun tetap saja orang yang dikeroyok lima
ini tidak dapat digerakkan sedikitpun juga!
“Eh-eh, apakah engkau minta dipukul?” Seorang
perajurit membentak dan kuda orang itu menjadi ketakutan melihat dan mendengar
ribut-ribut sehingga binatang ini melarikan diri agak jauh dari tempat itu.
Karena orang itu tetap tidur dengan muka
ditutup caping, lima orang perajurit itu menjadi hilang sabar, malu dan
penasaran. Mereka berlima tidak mampu menggerakkan orang yang tidur ini, dan
jelas bahwa orang itu tidak tidur, maka mereka merasa dianggap ringan dan hina.
Kini mereka berlima turun tangan menyerang dengan pukulan kalang kabut!
“Plak-plak-plak-duk-dukkk....!”
Aneh bukan main. Tanpa menurunkan topi yang
menutupi seluruh mukanya, orang itu dapat menggerakkan kaki tangannya
menangkisi semua pukulan. Bukan saja pukulan-pukulan itu tertangkis, bahkan
lima orang perajurit itu akhirnya mundur sambil meringis, memegangi lengan
mereka yang menjadi bengkak-bengkak terkena tangkisan orang yang masih tertutup
mukanya oleh caping itu!
“Hemmm....!” Panglima sudah memegang gagang
pedangnya, akan tetapi dia didahului oleh Ceng Ceng yang sekali melompat telah
berada di dekat orang itu sambil berkata, suaranya lantang penuh teguran,
“Kalau kau seorang gagah, tentu kau tahu bahwa tempat ini bukan milikmu
seorang, dan tentu kau mempunyai kesopanan untuk menyingkir karena ada wanita
hendak mandi di sini!”
“Adik Candra.... jangan....!” Tiba-tiba sang
puteri berseru dan sudah lari mendatangi dan berkata dengan halus kepada orang
yang mukanya masih ditutupi topi itu. “Harap kau suka pergi dari sini dan
setelah kami selesai mempergunakan mata air ini, tentu saja kau boleh
menempatinya lagi.”
Tubuh itu bergerak-gerak sedikit, kemudian
tangan kanannya meraba tanah, menepuknya dengan pengerahan tenaga dan tubuhnya
mencelat ke atas punggung kudanya yang berada agak jauh dari situ, kemudian
kuda itu membalap pergi meninggalkan suara derap kaki dan sedikit debu
mengepul. Semua itu dilakukan tanpa membuat capingnya terbuka!
“Hebat....!” Kakek Lu Kiong memuji dengan
kagum.
“Mungkin dia mata-mata musuh....” bisik
panglima komandan pasukan yang segera pergi dan memerintahkan para
penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan di sekitar hutan itu.
Kakek Lu Kiong mengerutkan alisnya, termenung
dan meraba-raba jenggotnya, lalu berkata kepada panglima itu, “Dia adalah
seorang Han, dan melihat gerak-geriknya, dia memiliki ilmu silat yang tinggi
sekali. Sayang bahwa kita belum dapat melihat wajahnya sebelum dia pergi.
Kurasa dia bukanlah mata-mata musuh, karena kalau dia mata-mata musuh, tentu tidak
demikian perbuatannya, melainkan menyelidiki kita dengan diam-diam dan
sembunyi-sembunyi. Betapapun juga, dia lihai sekali dan kita harus
berhati-hati.”
Juga Tan-ciangkun yang diberitahu tentang
orang asing bercaping itu, termenung. “Saya mengenal banyak tokoh kang-ouw,
dan tentu saja banyak yang bercaping dan berilmu tinggi. Mungkin saya dapat
mengenalnya kalau melihat wajahnya. Akan tetapi karena jelas tidak mengganggu,
bahkan dalam bentrokan itu dia tidak menewaskan seorangpun perajurit, kurasa dia
tidak mempunyai niat buruk terhadap rombongan kita.”
Sementara itu, Ceng Ceng dan sang puteri mandi
di mata air dan mereka juga membicarakan laki-laki yang aneh tadi.
“Dia tentu orang jahat, kalau tadi dia tidak
lekas menyingkir, tentu aku akan menghajarnya!” kata Ceng Ceng yang merasa
mendongkol juga karena orang asing itu dipuji-puji dan orang itu mendapat
kesempatan untuk memamerkan kepandaiannya. Memang dara ini memiliki watak yang
kadang-kadang keras tidak mau kalah, dan dia paling tidak senang melihat orang
memamerkan kepandaiannya.
“Ahh, belum tentu, adik Candra. Kurasa,
melihat gerak-geriknya, dia bukanlah seorang jahat. Buktinya, dikeroyok
demikian banyaknya perajurit, dia tidak membunuh seorangpun di antara mereka,
padahal kalau melihat kepandaiannya, tentu dengan mudah dia melakukan hal
itu.”
“Hemm, dia memang sengaja hendak memamerkan
kepandaiannya!” bantah Ceng Ceng masih tidak puas. “Kalau saja aku diberi
kesempatan, akan kubuktikan bahwa lagaknya itu hanya kosong belaka!”
Maklum akan watak adik angkatnya, puteri itu
hanya tersenyum dan tidak menyebut lagi perihal orang aneh itu. Juga para tokoh
dalam rombongan itu tidak bicara lagi tentang orang aneh, dan orang itu hanya
disebut-sebut dengan bisik-bisik di antara para perajurit. Namun, peristiwa itu
mempertinggi kewaspadaan rombongan dan penjagaan dilakukan ketat malam itu.
Karena para penjemput belum juga muncul, maka terpaksa mereka bermalam di hutan
itu dengan membangun tenda-tenda darurat. Sang puteri dan Ceng Ceng, juga para
pelayan wanita, tidur di dalam kereta joli.
Malam itu sunyi sekali setelah lewat tengah
malam. Sebagian besar perajurit yang tidak bertugas jaga, tidur nyenyak karena
mereka memang sudah lelah sekali. Akan tetapi mereka yang bertugas jaga, tetap
berjaga dengan penuh kewaspadaan di tempat masing-masing. Perondaan dilakukan
terus-menerus dari tempat penjaga yang satu kepada tempat penjaga yang lain.
Juga kakek Lu Kiong, komandan pasukan, dan Tan-ciangkun tidak dapat tidur dan
mereka bercakap-cakap di dalam tenda melewatkan waktu malam yang merupakan
bahaya bagi mereka itu.
Di dalam kereta joli, Ceng Ceng dan Syanti
Dewi juga tidak dapat tidur. Mereka sudah terbiasa dengan kamar yang serba
lengkap, dengan pembaringan yang lunak sehingga tidur di kereta joli setengah
duduk itu merupakan hal yang sukar dilakukan. Maka keduanya juga setengah
berbaring sambil bercakap-cakap. Diam-diam keduanya merasakan sesuatu yang
aneh dan seolah-olah ada tanda-tanda rahasia akan datangnya hal yang tidak
mereka kehendaki. Setelah munculnya orang aneh siang tadi, segala sesuatu
kelihatan penuh rahasia. Suara angin berdesir mempermainkan daun-daun pohon
saja terdengar seperti bisikan-bisikan iblis dan siluman. Bayang-bayang pohon
yang dibuat oleh sinar lentera penjagaan tampak seperti bayangan raksasa!
Keadaan serba menyeramkan dan menegangkan.
“Kulik! Kulik! Kulik!”
Suara burung malam itu terdengar jelas sekali
karena suasana yang amat sunyi. Suara itu memecah kesunyian dan Puteri Syanti
Dewi menggerakkan kedua pundaknya. Tengkuknya terasa dingin meremang.
“Ihhhh.... menyeramkan sekali....!” Bisiknya.
“Adik Candra, hatiku terasa tidak enak sekali. Bagaimana kalau sampai terjadi
sesuatu dengan kita?”
Ceng Ceng juga merasa seram, akan tetapi dia
menghibur hati kakak angkatnya dengan senyum lebar. “Apa yang dapat terjadi
kepada kita? Engkau dikawal oleh lima ratus perajurit pilihan, enci Syanti.”
“Lima ratus orang perajurit di tempat seperti
ini tidaklah meyakinkan sekali, adik Candra. Aku mendengar bahwa di daerah
perbatasan ini seringkali muncul gerombolan yang dipimpin oleh Raja Muda
Tambolon yang biadab itu.”
“Siapakah Raja Muda Tambolon yang terkenal
itu, enci?”.
Syanti Dewi bergidik. “Aku sendiri belum
pernah melihat orangnya. Akan tetapi menurut kabar, dia adalah seorang
peranakan Tibet dan Mongol, seorang laki-laki bertubuh raksasa yang amat sakti
dan juga amat kejam, terutama sekali terhadap wanita.”
“Hemmm, kejam terhadap wanita? Bagaimanakah?”
“Hihh, aku merasa ngeri baru mengingat cerita
yang kudengar itu saja. Bayangkan, kalau Tambolon sudah menyerang sebuah
dusun, dia akan membunuh semua laki-laki yang tidak mau menyerah, dan tidak
ada seorangpun wanita yang dilepaskannya. Semua kanak-kanak dibunuh, dan wanita
dari usia empat belas tahun ke atas, semua menjadi korban kebiadabannya.
Kabarnya, dia sendiri akan memilih sedikitnya lima orang wanita tercantik untuk
dia permainkan sampai bosan. Adapun sisanya, semua diberikan begitu saja kepada
para anak buahnya dan terjadilah peristiwa yang lebih mengerikan daripada
penyembelihan terhadap kaum pria dan anak-anak. Para wanita itu diperkosa di
dalam rumah, di jalan-jalan, di sawah, di mana saja mereka ditemukan, bahkan
di antara mayat-mayat suami dan atau saudara-saudara mereka.”
“Keparat jahanam!” Ceng Ceng mendesiskan
kata-kata ini penuh kebencian.
“Dan beberapa hari kemudian, wanita-wanita
tua dibunuh, yang muda digiring sebagai orang tawanan atau lebih tepat lagi,
sebagai alat hiburan mereka sampai kaum wanita itu mati atau bunuh diri. Anak-anak
yang lahir dari perbuatan laknat ini kelak menjadi anak buah gerombolan.
Kabarnya Tambolon sendiri merupakan hasil kelahiran perbuatan biadab seperti
itulah.”
“Hemm, kalau begitu biarlah mereka muncul.
Ingin aku memenggal leher manusia iblis itu dengan pedangku sendiri!” Ceng
Ceng berkata lagi.
Tiba-tiba, seolah-olah menjawab kata-kata
Ceng Ceng, terdengar suara melengking tinggi berulang-ulang. Mula-mula suara
itu datangnya dari arah barat, kemudian disusul dari selatan, timur dan utara.
Suara melengking yang agaknya bukan keluar dari leher manusia, melainkan dari
semacam alat tiup yang aneh. Segera terdengar teriakan-teriakan dan kegaduhan
hebat di luar kereta joli.
“Apa itu....?” Syanti Dewi bertanya kaget dan
mukanya pucat.
“Jangan keluar dulu, biar aku yang memeriksa!”
Ceng Ceng sudah meloncat keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya
melihat ratusan anak panah berapi datang bagaikan hujan menyerang tempat itu!
Di sana-sini terjadi kebakaran pada tenda-tenda dan keadaan menjadi kacau. Para
perajurit yang baru saja terbangun dari tidur dan dalam keadaan panik, lari ke
sana ke mari sampai akhirnya teriakan-teriakan kakek Lu Kiong, komandan
pasukan, Tan-ciangkun dan beberapa orang perwira lain dapat meredakan
kepanikan. Pasukan-pasukan disusun dan dibagi empat, siap menghadapi serangan
dari empat penjuru itu.
Tak lama kemudian, muncullah fihak musuh yang
menyerang dari empat penjuru, dan terjadi pertempuran yang amat hebat. Perang
yang terjadi di dalam gelap itu amat kejam dan dahsyat, namun sungguh tidak
menguntungkan pihak pasukan Bhutan. Mereka sebagian besar baru saja bangun
tidur, masih nanar dan agaknya fihak penyerang lebih tangkas dan lebih biasa
dengan pertempuran di dalam hutan yang gelap. Selain itu, segera didapatkan kenyataan
yang mengejutkan bahwa jumlah musuh luar biasa banyaknya, jauh lebih banyak
daripada jumlah pasukan Bhutan yang lima ratus orang itu, juga, di fihak musuh
banyak terdapat orang-orang pandai dari bermacam suku bangsa. Ada pendeta Lama
dari Tibet, ada orang Turki yang bersorban, orang Mongol dan juga orang Han!
Perang tanding mati-matian itu terjadi sampai
hampir pagi. Ceng Ceng yang siap dengan pedang di tangan melindungi Syanti Dewi
yang juga memegang pedang. Ada beberapa orang musuh dapat menyelundup masuk dan
Ceng Ceng sudah merobohkan empat orang musuh, sedangkan Syanti Dewi sendiri
yang selama hidupnya belum pernah bertempur, apalagi membunuh orang, terpaksa
membunuh seorang laki-laki tinggi besar yang hendak menangkapnya. Kini dengan muka
pucat dan tubuh menggigil puteri itu memandang korbannya. Pedangnya tertinggal
di dalam perut korban itu karena merasa terlalu ngeri untuk mencabut
pedangnya!
Tiba-tiba kakek Lu Kiong datang dengan muka
agak pucat. Seluruh pakaian kakek itu berlumur darah, dan mukanya penuh
keringat. Pedang di tangan kakek inipun berlepotan darah dan kelihatannya dia
lelah sekali. Seperti juga para perajurit dan para pimpinan, kakek ini telah
ikut berperang dan mengamuk seperti seekor harimau.
“Ceng Ceng.... cepat persiapkan diri dan tuan
puteri! Kita harus melarikan diri, fihak musuh terlalu kuat!”
“Apa? Melarikan diri? Tidak, kong-kong!” Ceng
Ceng membantah marah. “Biar kita melawan sampai titik darah terakhir!”
“Hushhhhh! Kaukira kakekmu ini pengecut? Kita
tidak boleh memikirkan diri sendiri, kita harus menyelamatkan sang puteri!”
Barulah Ceng Ceng teringat. Dia menoleh dan
melihat Syanti Dewi berdiri pucat memandang orang yang telah ditusuk perutnya
dengan pedangnya itu. Orang itu masih berkelojotan di depan kakinya!
“Bagaimana kita bisa melarikan sang puteri,
kong-kong? Tempat ini sudah terkurung.”
“Cepat, kalian berdua pakai pakaian ini dan
mari ikut dengan aku!” Kakek Lu Kiong memberikan dua stel pakaian petani kepada
Ceng Ceng dengan nada memerintah. “Sekarang yang terpenting adalah
menyelamatkan tuan puteri. Ini sudah diatur oleh kami, komandan pasukan,
Tan-ciangkun, dan aku sendiri. Kita berdua harus dapat mengawal dan
menyelamatkan puteri keluar dari tempat ini!”
Dua orang gadis itu tidak banyak membantah
lagi, lalu mengenakan pakaian petani yang agak kebesaran itu, menutupi pakaian
mereka sendiri, menguncir rambut seperti model laki-laki, kemudian
tergesa-gesa mengikuti kakek itu menyelinap di antara pohon-pohon gelap. Sang
puteri menyerahkan segenggam perhiasan berharga kepada Ceng Ceng untuk
membantu membawanya sebagai bekal. Dengan perhiasan di kantung baju yang
lebar, dan pedang disembunyikan di bawah baju, mereka bergerak di bawah
pohon-pohon. Syanti Dewi telah mendapatkan kembali pedangnya setelah dicabut
dari perut penyerangnya tadi dan dibersihkan darahnya pada pakaian korban.
Akan tetapi, di mana-mana mereka bertemu
dengan fihak musuh dan beberapa kali terpaksa mereka membuka jalan darah dan
merobohkan musuh untuk dapat melanjutkan usaha mereka melarikan diri. Namun,
kakek Lu Kiong sedapat mungkin menghindarkan diri dari pertempuran, memilih
lowongan-lowoagan untuk keluar dari dalam hutan tanpa diketahui musuh.
Akhirnya, setelah matahari pagi tersembul di
antara daun-daun pohon, mereka bertiga telah berhasil lolos dan keluar dari
dalam hutan di mana masih berlangsung perang yang amat hebat itu. Suara
pertempuran masih terdengar jauh di luar hutan. Baru saja hati ketiga orang
pelarian itu merasa lega karena dapat lolos, dan memasuki sebuah hutan kecil di
antara gurun pasir yang hanya kadang-kadang saja menyelingi gundukan
perbukitan, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan lima orang sudah berdiri di
depan mereka dengan golok terhunus di tangan!
“Ha-ha-ha, sudah kuduga tentu akan ada yang
menyelinap ke sini! Eh, kakek tua, apakah kalian ini anggauta rombongan
puteri.... ehhhh! Kalian berdua ini begini tampan, persis perempuan.... heiiii,
bukankah kalian perempuan?” Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar
bermuka hitam bermata lebar menunjuk dengan goloknya ke arah muka Ceng Ceng dan
Syanti Dewi.
“Ahhhh, dia puteri Bhutan! Tidak salah lagi!
Aku pernah melihatnya, dia Puteri Bhutan!” tiba-tiba terdengar teriak seorang
tinggi kurus bermuka kuning. Mendengar ini, lima orang itu cepat maju
mengurung.
“Ha-ha-ha, benarkah itu, kawan? Kalau begitu,
kita telah berhasil menjebak kakap dalam jaring kita! Ha-haha, raja muda tentu
akan memberikan hadiah banyak sekali kepada kita. Tangkap dia!” teriak si muka
hitam yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan lima orang kasar ini.
Si muka hitam dan si muka kuning sudah
menggunakan golok mereka untuk menerjang kakek Lu Kiong, sedangkan tiga orang
teman mereka menubruk Ceng Ceng dan Syanti Dewi. “Plak-plak, dess!” Tiga orang
itu tersungkur karena Ceng Ceng sudah memukul dan menendang dua orang,
sedangkan Syanti Dewi sendiri merobohkan seorang dengan sebuah tendangan
kilat.
“Tranggg....! Cringgg....!” Kakek Lu Kiong
berhasil menangkis dua batang golok lawan, biarpun dia terkejut sekali karena
ketika dia menangkis, dia merasa betapa dua kali pedangnya tergetar hebat,
tanda bahwa si muka hitam dan si muka kuning itu memiliki tenaga sin-kang yang
kuat sekali!
Melihat tiga orang temannya tersungkur dan
meloncat kembali, si muka hitam tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya memiliki
kepandaian juga si puteri dan pelayannya....!”
“Mulut busuk! Aku bukan pelayan!” bentak Ceng
Ceng marah sekali dan dia sudah menghunus pedangnya, demikian pula Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, tangkap mereka, jangan sampai
mereka terluka. Sang Puteri boleh untuk Raja Muda, akan tetapi si cantik liar
itu untukku saja, ha-ha-ha!”
“Keparat!” Lu Kiong sudah menggerakkan
pedangnya menyerang dan dapat ditangkis oleh si muka hitam. Segera terjadi
pertandingan yang seru sekali antara kakek Lu Kiong dikeroyok dua orang yang
ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh juga.
Tiga orang anak buah mereka itu sudah mencabut
golok dan kini menyerang Ceng Ceng dan Syanti Dewi. Akan tetapi karena mereka
tidak berani melukai, sedangkan dua orang dara itu melawan mati-matian, tentu
saja tiga orang itu menjadi kewalahan, betapapun lihai ilmu silat mereka. Ceng
Ceng mulai mendesak dengan pedangnya dan tiga puluh jurus kemudian, dia sudah
merobohkan seorang pengeroyok dengan bacokan pedangnya yang hampir memisahkan
kepala dari tubuh lawan itu!
Terdengar teriakan keras dan Ceng Ceng melihat
kakeknya juga sudah berhasil merobohkan si muka kuning yang terbabat hampir
putus pinggangnya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa kakeknya
juga terluka parah pada pundak kirinya sehingga bajunya penuh darah.
“Kong-kong....!” Teriaknya sambil menangkis
dua batang golok yang menyerangnya.
“Ceng Ceng, jaga sang puteri....!” kakek itu
berteriak.
“Wuuuutttt.... singgg....!” Golok itu menjadi
sinar terang meluncur cepat sekali dari atas membacok ke arah kepala kakek Lu
Kiong. Si muka hitam ternyata marah sekali melihat saudaranya tewas dan kini
dia mengerahkan tenaga untuk membalas dendam.
“Tringggg.... augghhh....!” Tubuh kakek Lu Kiong
tersungkur dan dia bergulingan. Ketika menangkis tadi, rasa nyeri menusuk
pundak kirinya yang terluka sehingga dia kehilangan tenaga dan hanya dengan
jalan menjatuhkan diri saja dia terbebas dari bacokan golok. Si muka hitam
mengejar dan menghujankan bacokan, namun kakek itu dengan sigapnya bergulingan
sambil mengangkat pedang beberapa kali menangkis, kemudian dengan teriakan
keras dia sudah meloncat bangun dan segera terjadi pertandingan mati-matian
antara kedua orang itu.
“Kakekmu terluka.... bantulah dia, adik
Candra....!” Syanti Dewi berkata sambil membacokkan pedangnya ke arah lawan
yang dapat ditangkis oleh lawan itu.
“Tidak, kita bereskan dulu dua ekor anjing
ini!” Ceng Ceng berseru karena dia mengerti bahwa puteri itu bukanlah lawan
kedua orang yang cukup lihai ini, maka dia cepat memutar pedangnya. Kemarahan
melihat kakeknya terluka menambah semangat dara ini dan dengan putaran pedang
seperti kitiran cepatnya, akhirnya dia berhasil menendang roboh seorang lawan.
Tendangan dengan ujung sepatu yang tepat mengenai sambungan lutut sehingga
orang itu berlutut tanpa mampu berdiri kembali.
“Singggg....!” Pedang di tangan Syanti Dewi
menyambar.
“Tranggg....!” Orang yang sudah berlutut itu
berusaha menangkis, namun karena kedudukannya yang tidak baik, tangkisannya
membuat goloknya terpental dan terlempar.
“Wuuuutttt.... crotttt....!” Pedang Ceng Ceng
sudah menyambar dan merobek tenggorokannya. Orang itu mengeluarkan suara
seperti babi disembelih dan roboh terjengkang, darah muncrat-muncrat dari
lehernya yang dicobanya ditutupinya dengan telapak tangan. Melihat ini, Syanti
Dewi meloncat mundur dan membuang muka dengan penuh kengerian.
Hampir dia muntah-muntah menyaksikan
pemandangan yang mengerikan hatinya ini.
Ceng Ceng mengamuk dan menekan lawan yang
tinggal seorang lagi itu. Orang itu kini menjadi panik karena kedua orang
kawannya telah tewas. Setelah menangkis tiga kali dan selalu tangannya tergetar
sehingga goloknya hampir terlepas, dia berteriak, meloncat ke belakang hendak
lari.
“Robohlah....!” Teriak Ceng Ceng. Dengan
gerakan indah dia melontarkan pedangnya ke depan. Pedang itu meluncur seperti
anak panah dan menancap di punggung orang itu, menembus sampai ke dada. Dengan
teriakan keras orang itu roboh terguling.
“Kong-kong....!” Ceng Ceng menjerit ketika
melihat kakeknya terhuyung lalu kakek itu roboh di atas mayat si muka hitam
yang baru saja dirobohkan dan ditewaskan. Ternyata kakek yang kosen ini biarpun
berhasil membunuh si muka hitam yang lihai, menderita luka pula karena kena
bacokan golok si muka hitam yang mengenai dadanya sehingga dada itu terobek
lebar!
“Kong-kong....!” Ceng Ceng berlutut dan
memangku kepala kakeknya. Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh
kegelisahan menyaksikan keadaan kakeknya yang terluka hebat dan seluruh
pakaiannya berlepotan darah itu.
Kakek Lu Kiong membuka matanya, memandang
kepada Ceng Ceng lalu kepada Syanti Dewi yang juga sudah datang berlutut di
dekat Ceng Ceng. “Ceng Ceng, kau.... kau selamatkan puteri.... harus, sekarang
juga.... pergilah kau ke kota raja.... jumpai di sana Puteri Milana, dia
sahabat mendiang ibumu lindungi puteri dengan nyawamu sebagai.... sebagai
keturunan seorang bekas pengawal setia....” Kakek itu menghentikan kata-katanya
karena napasnya telah terhenti.
“Kong-kong....!” Ceng Ceng memeluk kepala
kakek itu, kemudian dia mengangkat mukanya. Dia tidak menangis biarpun ada dua
butir air mata di pipinya yang pucat. “Engkau benar, kong-kong! Kita adalah
pengawal-pengawal setia sampai mati. Engkau gugur sebagai orang gagah,
kong-kong! Dan aku akan melanjutkan kegagahanmu.” Dia melepaskan pelukannya
dan dengan hati-hati dia merebahkan tubuh kakeknya itu di antara mayat-mayat
lima orang lawan tadi.
“Marilah, enci. Kita harus cepat pergi dari
sini sebelum musuh datang!”
“Tapi.... tapi jenazah kakekmu....”
“Tidak apa! Kong-kong akan tahu bahwa kita
tidak sempat menguburnya. Biarlah semua orang melihat bahwa kong-kong tewas di
antara musuh-musuhnya dalam tugas sebagai seorang pengawal perkasa!
Marilah....!” Ceng Ceng menahan tangisnya karena sesungguhnya hatinya perih
sekali harus meninggalkan mayat kakeknya seperti itu. Namun dia tahu bahwa
kalau dia terlambat, musuh akan datang dan dia akan sukar sekali menyelamatkan
sang puteri.
Puteri Syanti Dewi menahan isak, mengeluarkan
sehelai kalung dan sambil berlutut mengalungkan benda itu di leher kakek Lu
Kiong. “Ini adalah kalungku sendiri, biarlah sebagai tanda terima kasihku....”
Dia terisak dan lengannya disambar oleh Ceng Ceng lalu diajaknya puteri itu melarikan
diri. Hampir saja Ceng Ceng tadi menangis melihat sikap puteri itu, dan dengan
mengeraskan hati dia setengah menyeret kakak angkatnya karena kalau dia
menurutkan hati dan ikut menangisi jenazah kakeknya, keadaan mereka bisa
berbahaya sekali.
Demikianlah, dengan menyamar sebagai dua
orang petani yang melarikan diri karena terjadi perang, Ceng Ceng dan Syanti
Dewi melewati gurun pasir, pegunungan dan hutan-hutan lebat menuju ke timur.
Tentu saja perjalanan itu sukar bukan main bagi mereka berdua, seperti dua ekor
ikan kecil yang dilepas di tengah lautan. Mereka tidak mengenal jalan.
Satu-satunya yang mereka ketahui hanyalah bahwa kota raja Kerajaan Ceng berada
jauh sekali di timur! Mereka membawa bekal banyak perhiasan berharga, namun
apa artinya semua itu kalau mereka selama belasan hari tidak pernah bertemu
dengan orang lain? Mereka terpaksa harus makan binatang buruan dan daun-daun,
minum dari air sungai dan mereka selalu dalam keadaan waspada dan gelisah
karena mereka maklum bahwa sebelum tiba di kota raja, mereka selalu akan
terancam bahaya karena fihak musuh, yaitu orang-orang bawahan Raja Muda
Tambolon tentu melakukan pengejaran.
“Lee-ko, mari kita turun dari sini.
Lihat itu sepasang rajawali kita beterbangan di atas permukaan laut, agaknya
tentu ada sesuatu terjadi. Mungkin ada ikan besar terdampar ke pulau seperti
dahulu!” kata Kian Bu sambil menudingkan telunjuknya ke bawah puncak di mana
tampak sepasang rajawali itu terbang rendah di permukaan laut.
“Ahh, Bu-te, sekarang bukan waktunya
bermain-main. Ingat, hari ini kita harus melatih sin-kang untuk menghimpun
Hui-yang-sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api) yang amat sukar.”
“Memang sukar, Lee-ko. Tidak semudah ketika
kita melatih Swat-im-sin-kang.”
“Tentu saja, untuk menghimpun Swat-im-sin-kang
(Tenaga Sakti Inti Salju) kita dibantu oleh hawa dingin dan salju, sedangkan
Hui-yang-sin-kang adalah sebaliknya, menyalurkan sin-kang menjadi berhawa
panas. Karena sukarnya, maka kita harus giat berlatih, jangan terlalu banyak
main-main. Marilah kita berlatih lagi, kurasa di guha itu sudah cukup panas,
apinya sudah sejak pagi tadi menyala.”
Kian Bu menghela napas kecewa, akan tetapi
tidak berani membantah kakaknya dan mereka memasuki sebuah guha di puncak itu.
Kalau orang lain yang belum terlatih, baru memasuki guha itu saja tentu tidak
akan kuat bertahan. Di situ dinyalakan api arang yang amat besar sehingga hawa
menjadi panas luar biasa, baru masuk saja terasa kulit seperti dibakar. Namun
kedua orang pemuda yang sudah terlatih itu seolah-olah mereka tidak merasakan
hal ini. Mereka berjalan masuk dan duduk bersila, mulai berlatih
Hui-yang-sin-kang.
Kedua orang muda putera majikan Pulau Es ini
memang selalu tekun berlatih silat semenjak mereka dahulu tersesat ke Pulau
Neraka dan terancam bahaya maut. Biarpun mereka dapat terhindar dari
malapetaka, bahkan pulang ke Pulau Es membawa sepasang rajawali, namun keduanya
maklum bahwa ilmu kepandaian mereka masih belum mencukupi sehingga sekali saja
keluar merantau hampir celaka, maka di bawah gemblengan dan bimbingan yang amat
keras dari ayah mereka, keduanya berlatih setiap hari sehingga memperoleh
kemajuan yang pesat sekali.
Akan tetapi belum lama mereka melakukan
siulian (samadhi) untuk berlatih sin-kang, tiba-tiba telinga Kian Bu menangkap
suara rajawali yang melengking panjang. Dia membuka mata memandang keluar
guha. Tentu saja dari dalam guha itu dia tidak melihat sepasang rajawali, akan
tetapi kembali telinganya menangkap suara lengking panjang dari sepasang
rajawali itu.
“Lee-ko....!”
Kian Lee membuka matanya memandang dengan
cemberut. “Bu-te, mengapa kau belum juga berlatih? Apa kau ingin mendapat marah
dari ayah?”
“Lee-ko dengarkan! Sepasang rajawali kita
marah-marah, tentu ada sesuatu!”
Terpaksa Kian Lee mencurahkan perhatiannya
pada pendengarannya dan tak lama kemudian dia mendengar lengking panjang dari
sepasang rajawali mereka. Tak salah lagi, memang sepasang rajawali itu sedang
marah-marah. Hal ini amat mengherankan karena kalau tidak terjadi sesuatu di
Pulau Es, mengapa sepasang rajawali itu marah-marah?
“Hemm, mereka marah sekali. Entah apa yang
sedang terjadi....” kata pemuda yang bersikap tenang ini.
“Mendengar suara mereka, kalau tidak melihat
dulu, mana bisa aku menyatukan tenaga untuk berlatih? Aku mau melihatnya dulu,
Lee-ko!” Berkata demikian, Kian Bu sudah menggerakkan kakinya dan tahu-tahu
tubuhnya sudah melesat keluar dari guha itu. Gerakannya memang hebat sekali
karena pemuda ini sudah memperoleh kemajuan yang amat pesat.
“Tunggu, Bu-te....!” Kian Lee juga meloncat
dengan kecepatan yang sama. Kedua orang kakak beradik itu berlari cepat
menuruni puncak dan ketika mereka tiba di pantai tampaklah oleh mereka apa
yang menyebabkan sepasang rajawali itu beterbangan rendah dan mengeluarkan
suara pekik kemarahan. Kiranya Pulau Es kedatangan tamu! Hal yang luar biasa
sekali karena selama mereka hidup di Pulau Es, satu kali ini ada orang-orang
asing datang di Pulau Es, menggunakan sebuah perahu besar yang berlabuh di tepi
pantai.
Kakak beradik itu merasa heran sekali, apalagi
ketika melihat bahwa yang datang adalah orang banyak. Ada dua puluh orang yang
kini sudah mendarat dan mereka itu berdiri di pantai, berhadapan dengan Suma
Han dan kedua orang isterinya! Karena ayah dan ibu mereka telah hadir, kakak
beradik ini tidak berani bersuara, hanya melangkah maju dan mendengarkan
percakapan.yang baru berlangsung. Agaknya orang tua mereka juga baru saja
datang ke tempat itu menyambut para pendatang ini. Dua puluh orang itu
rata-rata telah berusia lanjut, paling muda empat puluh lima tahun sampai ada
yang sudah tua sekali. Akan tetapi yang paling menarik adalah dua orang kakek
yang berdiri di depan, karena mereka ini adalah yang paling aneh di antara
mereka semua.
Dua orang kakek ini menarik karena wajah mereka
serupa benar. Sukarlah membedakan dua wajah itu yang bentuk dan garis-garisnya
sama, bahkan rambut mereka yang panjang terurai sampai ke leher juga sama. Akan
tetapi, ada perbedaan yang amat menyolok pada pakaian mereka dan warna muka
mereka. Yang seorang bermuka putih, bukan pucat melainkan putih seperti dicat!
Kakek ini memakai baju tebal dari bulu, akan tetapi masih kelihatan seperti
orang kedinginan, bahkan mukanya yang lebar bulat itu, yang berwarna putih,
agak kebiruan seperti orang menderita dingin hampir beku. Adapun kakek ke dua
merupakan kebalikan dari kakek pertama ini. Kakek kedua bermuka merah, muka
yang seperti orang kepanasan, dan orang kedua ini hanya memakai celana sebatas
lutut dan sepatu, sama sekali tidak memakai baju sehingga tubuhnya yang agak
kurus dengan tulang iga menonjol itu kelihatan. Anehnya, biarpun berada di
Pulau Es yang dingin sekali, kakek ini masih kelihatan seperti orang kegerahan,
mengipas-ngipas tubuhnya yang atas dan telanjang itu dengan sehelai saputangan
yang sudah basah oleh keringatnya. Dan ini bukan hanya aksi belaka karena
memang lehernya selalu basah oleh keringat!
Delapan belas orang yang lain terdiri dari
empat belas orang kakek yang rata-rata kelihatan aneh dan membayangkan ilmu
kepandaian tinggi, dan empat orang wanita berusia kurang lebih lima puluh tahun
yang masing-masing membawa pedang di punggung mereka. Empat orang wanita ini
kepalanya dibalut dengan kain putih seperti orang berkabung dan wajah mereka
angker, penuh kebencian ketika mereka memandang kepada Pendekar Super Sakti dan
kedua isterinya. Melihat dari bentuk pakaian mereka, jelas bahwa empat orang
wanita ini bukanlah wanita Han, sungguhpun wajah mereka seperti wanita Han
biasa, akan tetapi pakaian mereka agak lain. Dan memang mereka itu adalah
wanita-wanita dari Korea, dan tergolong tokoh-tokoh orang gagah di negeri itu.
Siapakah kedua orang kakek kembar yang agaknya
menjadi pimpinan rombongan yang secara tidak terduga-duga datang mendarat di
Pulau Es ini? Nama mereka tidak begitu dikenal di dunia kang-ouw, karena memang
kedua kakek kembar ini selama puluhan tahun pergi meninggalkan dunia kang-ouw
dan merantau di luar negeri. Mereka adalah kakak beradik kembar, berasal dari
Taiwan (Formosa) dan pernah mereka menjelajah ke daratan besar dan membuat nama
dengan ilmu kepandaian mereka. Akan tetapi, mereka berbeda haluan dengan suheng
mereka yang mencari kedudukan dengan menghambakan diri kepada Bangsa Mancu yang
menduduki Tiongkok. Suheng mereka kemudian terkenal sebagai Koksu (Guru Negara),
yaitu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun (bacaSepasang Pedang Iblis). Mereka
berdua merasa kecewa melihat kakak seperguruan yang mereka anggap sebagai
pengganti suhu itu menghambakan diri kepada musuh, maka keduanya lalu pergi
meninggalkan daratan besar dan mereka berpencar untuk meluaskan pengalaman dan
memperdalam ilmu mereka. Yang tua pergi ke utara dan selama puluhan tahun
bermukim di daerah Kutub Utara yang amat dingin. Adapun yang muda merantau ke
selatan, ke daerah panas di mana matahari lewat tepat di atas kepala.
Beberapa tahun yang lalu, kedua orang ini kembali ke daratan besar sebagai dua
orang lihai bukan main. Setelah puluhan tahun tinggal di dekat Kutub Utara,
kakek tertua menjadi putih mukanya dan selalu berpakaian tebal seperti yang
biasa dipakai orang-orang Eskimo di daerah Kutub Utara. Kakek ini kemudian
terkenal dengan sebutan Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dari Utara). Adapun adik
kembarnya, sekembalinya dari daerah panas, menjadi merah mukanya dan selalu
merasa kegerahan dan tidak pernah berbaju. Dia kini dijuluki Lam-thian Lo-mo
(Iblis Tua Dari Selatan). Biarpun baru datang beberapa tahun saja, kelihaian
mereka membuat nama Siang Lo-mo (Sepasang Iblis) ini terkenal sekali, terutama
pada golongan yang menentang Pemerintah Mancu karena kedua orang inipun
terkenal anti kepada Kerajaan Mancu. Memang aneh sekali keadaan kedua orang
itu. Lajimnya, orang yang selamanya tinggal di daerah dingin seperti Kutub
Utara, kalau datang ke tempat yang lebih panas tentu akan kegerahan, akan
tetapi Pak-thian Lo-mo sebaliknya malah, terus-menerus kedinginan! Demikian
pula dengan Lam-thian Lo-mo, puluhan tahun dia tinggal di daerah panas,
semestinya kini dia akan merasa kedinginan, akan tetapi biarpun berada di Pulau
Es, dia masih terus merasa panas!
Sebetulnya mereka tidak pura-pura dan yang
menyebabkannya demikian adalah sin-kang mereka. Di Kutub Utara, Pak-thian Lo-mo
melatih diri secara liar sehingga dia dapat menghimpun inti tenaga yang
mengandung hawa dingin. Memang hebat sekali tenaga ini, namun akibatnya karena
dilatih secara liar, dia selalu merasa kedinginan dan harus memakai jubah tebal
berbulu dan seringkali minum arak tanpa takaran untuk menghangatkan tubuhnya,
demikian pula Lam-thian Lo-mo yang telah melatih dan menghimpun inti tenaga
sakti yang amat panas sehingga tubuhnya selalu terasa terlalu panas!
Ketika kakek kembar ini mendengar betapa
suheng mereka telah digagalkan semua usahanya memberontak oleh Pendekar Super
Sakti, bahkan kabarnya suheng mereka itu tewas di Pulau Es, tentu saja menjadi
marah sekali dan menaruh hati dendam kepada Pendekar Super Sakti Majikan Pulau
Es. Apalagi ketika mendengar pendekar yang menjadi musuh besar mendiang suheng
mereka itu adalah mantu Kaisar Mancu, kebencian mereka makin meluap-luap.
Mereka lalu mengumpulkan kawan-kawan sehaluan, yaitu mereka yang menentang
Pemerintah Mancu. Di antaranya adalah keempat wanita dari Korea itu. Mereka
itu adalah kakak beradik dari Jepang yang telah menikah dengan perwira-perwira
Korea. Ketika suami mereka semua gugur dalam perang melawan pasukan Mancu,
mereka bersumpah untuk membalas dendam dan menggabung dengan mereka yang anti
Pemerintah Mancu sehingga akhirnya mereka dapat bekerja sama dengan Siang
Lo-mo. Mendengar bahwa Siang Lo-mo hendak mencari Pulau Es dan menyerang Majikan
Pulau Es yang menjadi mantu Kaisar Mancu, tentu saja mereka berempat menjadi
girang dan segera menyatakan hendak ikut membantu.
Empat belas kakek yang lainnya sebagian besar
adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang merasa dirugikan oleh Pemerintah Mancu, ada
pula yang ikut menyerbu Pulau Es semata-mata untuk membalas dendam kepada
Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti karena sahabat atau saudara
seperguruan mereka pernah roboh di tangan pendekar ini.
Suma Han dan dua orang isterinya yang juga mendengar
pekik sepasang rajawali dan melihat sebuah perahu besar mendarat, sudah cepat
menyambut dan kini mereka bertiga menanti keluarnya dua puluh orang itu dari
perahu. Sikap Suma Han dan dua orang isterinya tenang-tenang saja sungguhpun
mereka juga merasa heran sekali melihat rombongan orang asing datang ke pulau
mereka dan mereka bertiga sudah dapat menduga bahwa rombongan itu tentulah
bukan datang dengan iktikad baik.
Namun, sesuai dengan wataknya yang tenang dan
sopan, Suma Han mengangkat kedua tangannya di depan dadanya sebagai tanda
penghormatan, lalu bertanya dengan suara halus, “Siapakah cu-wi (anda sekalian)
yang telah mendarat di Pulau Es dan apa gerangan keperluan cu-wi?”
Sejenak kedua orang kakek kembar itu tak dapat
menjawab, hanya mata mereka memandang Suma Han penuh perhatian dan penuh
selidik, memandang pendekar itu dari rambutnya yang putih semua dan panjang
sampai ke pundak sampai kakinya yang tinggal sebelah. Akhirnya Pak-thian
Lo-mo menghela napas panjang. Dia merasa heran sekali dan hampir tidak percaya
bahwa laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang kelihatannya lemah,
tubuhnya sedang, kakinya tinggal yang kanan dan rambutnya sudah putih semua,
bersikap halus dan lemah lembut ini adalah Pendekar Super Sakti atau Pendekar
Siluman yang demikian tersohor! Dia tersenyum dan dengan sikap tak acuh tanpa
membalas penghormatan tuan rumah, dia bertanya, “Apakah engkau yang berjuluk
Pendekar Super Sakti, to-cu dari Pulau Es?”
“Kalau benar demikian, kau mau apakah?”
Tiba-tiba Lulu tidak dapat menahan kemarahannya melihat sikap orang yang sama
sekali tidak menghormat suaminya, padahal suaminya telah bersikap sopan dan
ramah.
Pak-thian Lo-mo memandang Lulu dan
mengangguk-angguk. “Hebat, aku sudah mendengar bahwa Pendekar Super Sakti mempunyai
dua orang isteri yang kabarnya lihai bukan main dan bahwa yang seorang adalah
puteri dari Kaisar Mancu sendiri! Apakah engkau puteri kaisar itu?”
“Kakek tua bangka yang tidak mengenal orang!”
Nirahai membentak. “Akulah puteri kaisar yang kautanyakan. Engkau siapakah dan
mau apa berlagak di tempat ini dengan membawa banyak anak buah?”
Pak-thian Lo-mo saling pandang dengan adik
kembarnya, kemudian mereka berdua tertawa bergelak. Kini Lam-thian Lo-mo yang
menjawab, suaranya kering namun nyaring sekali, “Eh, Pendekar Siluman! Kami
hendak bertanya, apakah benar suheng kami Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tewas
di Pulau Es ini?”
Suma Han dan kedua orang isterinya terkejut.
Kiranya dua orang kakek kembar yang aneh itu adalah sute-sute dari mendiang
Im-kan Sen-jin Bhong Ji Kun (bacaSepasang Pedang Iblis)! Jelas bahwa
kedatangan mereka ini mengandung niat yang tidak baik.
Namun suara Suma Han masih tetap tenang ketika
dia menjawab, “Benar, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tewas di tempat ini karena
perbuatannya sendiri yang menyalahi kebenaran.
“Kaukah yang membunuhnya?” Pak-thian Lo-mo
bertanya, suaranya penuh ancaman.
Sebetulnya, seperti diceritakan dalam ceritaSEPASANG
PEDANG IBLIS , Im-kan Sen-jin Bhong Ji Kun ketika bertanding dengan Gak Bun
Beng, terjungkal dari tebing yang amat curam. Akan tetapi bukanlah watak Suma
Han untuk menyebutkan kesalahan orang lain hanya untuk melindungi dirinya
sendiri, maka jawabnya, “Yang membunuhnya adalah tingkah lakunya sendiri yang
tidak benar.”
Pak-thian Lo-mo mengangkat tangannya ke
pinggang, bertolak pinggang dengan sikap angkuh sekali. “Pendekar Siluman,
dengarlah baik-baik! Kami berdua adalah Siang Lo-mo, aku disebut Pak-thian
Lo-mo dan dia ini adikku Lam-thian Lo-mo. Kami datang untuk menuntut kematian
suheng kami! Bukan itu saja, karena engkau adalah mantu kaisar penjajah dan
isterimu itu puteri kaisar, maka kami para patriot bergabung untuk membasmi
kalian dan mengambil Pulau Es ini sebagai sebuah markas baru!”
“Iblis tua bangka bosan hidup!” Nirahai sudah
membentak marah sekali dan hampir berbareng dengan Lulu yang juga marah, kedua
orang wanita sakti ini sudah melompat ke depan. Terjangan mereka disambut oleh
Pak-thian Lomo dan Lam-thian Lo-mo yang tertawa-tawa menghina dan memandang
rendah kedua wanita itu.
“Dessss! Desssss!”
Empat pasang lengan saling bertemu dengan
hebatnya, dan akibatnya, Nirahai dan Lulu terlempar ke belakang sedangkan
kedua kakek inipun terhuyung! Melihat ketangguhan kedua orang kakek Siang Lo-mo
itu, Suma Han berkata kepada kedua orang isterinya yang sudah dapat mengatur
keseimbangan tubuh mereka, “Biarlah aku menghadapi mereka.”
“Pendekar Siluman, tibalah saatnya engkau
menebus kematian suheng!” Lam-thian Lo-mo berteriak keras dan bersama saudara
kembarnya dia menubruk ke depan dan dari kedua tangannya menyambar hawa yang
panas seperti api menyala, sedangkan dari kedua tangan Pak-thian Lo-mo
menyambar hawa yang dingin sekali. Namun Suma Han dengan gerakan tenang sudah
menggerakkan tongkatnya ke depan, dengan gerakan aneh, tongkatnya berputar
seperti mencoret-coret huruf di udara.
“Plak-plak....!” Secara aneh sekali tahu-tahu
tongkat itu telah memukul tepat mengenai punggung kedua kakek itu yang cepat
melompat ke belakang, saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka kaget bukan
main! Sama sekali mereka tidak mengerti bagaimana tongkat di tangan si kaki
buntung itu dapat memukul punggung mereka! Namun mereka tidak menjadi jerih
dan cepat tangan mereka meraba pinggang dan mereka melolos sabuk mereka, yang
ternyata merupakan sebatang senjata cambuk baja hitam!
Suma Han merasa khawatir sekali di dalam
hatinya. Kalau kedua orang kakek itu menggunakan senjata yang dia dapat menduga
tentu ampuh dan lihai sekali, maka pertandingan akan menjadi sungguh-sungguh
dan ada kemungkinan dia kesalahan tangan dan terpaksa membunuh mereka untuk
menyelamatkan diri. Biarpun dia tidak merasa takut, namun betapapun juga dia
tidak menghendaki dia sekeluarga terpaksa membunuh orang dan mengotori Pulau Es
yang sudah beberapa kali dikotori darah manusia yang terbunuh di situ akibat
kejahatan-kejahatan mereka. Selama puluhan tahun dia hidup damai, tenteram, dan
aman bersama dua orang isterinya dan kedua orang puteranya. Kini dia tidak
ingin terjadi pembunuhan.
“Jiwi harap bersabar. Apakah urusan ini tidak
dapat diselesaikan dengan damai?” tanyanya tenang.“Pendekar Siluman, jangan
kau kira bahwa kami gentar menghadapi tongkatmu! Kami datang untuk menantang
engkau berkelahi!” bentak Pak-thian Lo-mo.
Suma Han menahan napas. “Andaikata terpaksa
berkelahi juga, apakah tidak sebaiknya kita menggunakan tangan untuk mengukur
siapa yang lebih kuat, dan tidak perlu menggunakan senjata?” Sambil berkata
demikian, dia menancapkan tongkatnya di depan kaki, tanda bahwa ia tidak akan
menggunakan tongkat itu sebagai senjata.
Dua orang kakek itu saling pandang, dan
sebagai sepasang saudara kembar, tentu saja hubungan batin mereka lebih erat
daripada orang lain sehingga dengan saling pandang saja mereka sudah dapat
mengetahui isi hati masing-masing. Keduanya mengangguk, menyelipkan cambuk di
ikat pinggang, kemudian keduanya lalu berpencar, menghampiri Suma Han dari
kanan kiri.
“Engkau hendak mengadu tenaga sin-kang, ya?”
Lam-thian Lo-mo berseru. “Baiklah! Nah, kauterima pukulan kami ini!”
Kedua orang kakek itu mengeluarkan suara
menggereng hebat dari dalam perut mereka, kemudian mereka menggerakkan kedua
lengan yang menggetar hebat dan tak lama kemudian, kedua lengan Lam-thian
Lo-mo berubah menjadi merah kehitaman dan mengeluarkan uap panas, sedangkan
kedua lengan Pak-thian Lo-mo berubah putih pucat seperti lengan mayat dan dari
kedua lengan ini juga keluar uap dingin! Kiranya mereka sudah mengumpulkan dan
mengerahkan sin-kang istimewa masing-masing, menyalurkannya ke dalam lengan dan
tiba-tiba mereka berseru keras, memukul dengan telapak tangan kanan terbuka ke
arah Suma Han dari kanan kiri agak ke depan pendekar berkaki tunggal itu.
Suma Han maklum bahwa kalau dia tidak
memperlihatkan kekuatannya tentu tidak akan membuat lawan mundur dan dia tidak
ingin kalau harus bertanding mati-matian, maka diam-diam diapun telah
mengerahkan tenaga sin-kangnya yang istimewa. Pendekar Super Sakti ini memang
terkenal sekali dengan sin-kangnya, karena dia telah menguasai dengan sempurna
dua macam tenaga sin-kang yang berlawanan, yaitu Hwi-yang-sin-kang (Tenaga
Inti Api) dan Swat-im-sin-kang (Tenaga Inti Salju). Kini, menghadapi dua
serangan yang datang mengandalkan sin-kang yang berlawanan, tentu saja dia
sudah siap. Bagi orang lain, betapa kuat sin-kangnya, tentu akan sukar
menyelamatkan diri menghadapi serangan dari dua tenaga sin-kang yang berlawanan
itu, namun Pendekar Super Sakti dapat dalam satu saat menyalurkan dua tenaga
bertentangan itu, lengan kiri penuh dengan tenaga Hwi-yang-sin-kang menyambut
telapak tangan Lam-thian Lo-mo yang panas, sedangkan telapak tangan kanannya
juga mendorong dan menyambut telapak tangan Pak-thian Lo-mo yang dingin.
“Dess! Dess....!”
Pertemuan tenaga mujijat itu hebat luar biasa.
Seolah-olah bumi bergetar dan semua orang yang ada di situ dapat merasakan
getaran hawa panas dan dingin berselang-seling sehingga beberapa orang anak
buah sepasang kakek kembar itu menggigil penuh kengerian. Baru pertama kali itu
selama hidup mereka yang puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw, mereka
menyaksikan beradunya tenaga mujijat sehebat itu.
Dan akibatnya juga luar biasa sekali! Tubuh
kedua kakek kembar itu terlempar sampai empat meter lebih. Mereka seperti daun
kering tertiup angin, terhuyung dan terguling-guling dan ketika mereka berdua
dapat meloncat berdiri, tampak darah merah menghias ujung bibir mereka!
Benturan tenaga dahsyat tadi telah membuat mereka terluka di sebelah dalam,
sungguhpun tidak terlalu berat karena mereka telah membiarkan diri mereka terdorong
oleh tenaga lawan yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi, di lain fihak, biarpun
Pendekar Super Sakti masih berada di tempatnya tadi, tidak bergeser
selangkahpun, namun tubuhnya menjadi kurang tingginya dan kalau orang melihat
ke arah kakinya yang tinggal sebelah itu ternyata telah melesak ke dalam tanah
sampai hampir selutut! Ternyata bahwa kekuatan kedua orang kakek kembar itu
kuat sekali sehingga dalam menahan pukulan mereka, tubuh Suma Han tertekan
sedemikian rupa dan biarpun pendekar ini dapat mempertahankan, namun tanah di
bawah kakinya tidak dapat menahan sehingga kaki itu masuk ke dalam tanah!
Tadinya kedua kakek kakak beradik itu terkejut
bukan main, akan tetapi mereka melihat keadaan lawan, hati mereka menjadi
besar. Kiranya keadaan lawan juga tidak lebih baik daripada keadaan mereka.
Melihat betapa Pendekar Super Sakti masih berdiri dengan kaki tunggal menancap
ke dalam tanah, kedua orang itu sudah mencabut cambuk masing-masing dan dengan
bentakan-bentakan nyaring mereka menerjang maju.
“Tar-tar-tar-tarrr....!” Cambuk hitam mereka
meledak-ledak di udara kemudian menyambar ke arah kepala Suma Han.
“Trak-trak-trak-trakkk!”
Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung dan
kiranya tongkat yang tadi tertancap di atas tanah di depan kakek Pendekar
Siluman, kini telah tercabut dan berada di tangan kanannya. Biarpun kaki
tunggalnya masih menancap di atas tanah, namun pendekar itu dengan tenangnya
dapat menangkis semua sambaran sinar berwarna hitam dari kedua cambuk lawan.
Ke manapun ujung cambuk menyambar, tentu akan terbendung oleh gulungan sinar
tongkat dan membalik seperti seekor ular bertemu api!
Di antara delapan belas orang teman sepasang
kakek kembar, empat orang wanita Korea itu merupakan tokoh-tokoh terpandai.
Melihat keadaan musuh mereka yang seolah-olah sudah terjebak, mereka
mengeluarkan bentakan-bentakan pendek yang nyaring dan ketika tangan mereka
bergerak, tampak pedang-pedang panjang melengkung, yaitu pedang samurai model
Jepang, berada di kedua tangan mereka. Pedang itu terlalu panjang dan berat
bagi mereka, maka mereka menggunakan kedua tangan untuk memegang gagang
pedang, seperti orang memegang toya dan kini mereka memekik sambil berlari ke
arah Suma Han dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas kepala mereka.
“Haaaiiiiikkkk....!”
“Trang-cring-cring-cring....!”
Empat orang wanita itu terhuyung-huyung ke
belakang dan mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Lulu dan Nirahai
yang ternyata telah menghadang mereka dan menangkis samurai-samurai itu
dengan pedang mereka. Lulu memegang pedang Pek-kong-kiam yang bersinar putih,
sedangkan Nirahai telah menggunakan senjatanya yang luar biasa, yaitu pedang
payung. Merasakan tangkisan yang membuat tangan mereka tergetar dan tubuh
mereka terhuyung, empat orang wanita Korea itu maklum akan kelihaian dua orang
wanita isteri Pendekar Siluman itu, maka mereka lalu serentak maju menyerang
sambil mengeluarkan pekik-pekik dahsyat. Empat belas orang lain juga bergerak
maju, hendak mengeroyok Suma Han dan dua orang isterinya.
“Lee-ko, mari....!”
Kian Bu sudah berlari ke medan pertempuran,
diikuti oleh kakaknya.
“Manusia-manusia jahat, berani kalian mengacau
Pulau Es?” Kian Bu berteriak dan segera dia menyerbu ke depan. “Haiiiitt!”
“Hyaaaahhh!”
Kedua orang pemuda itu mengamuk dan mereka
ternyata hebat sekali. Biarpun mereka hanya bertangan kosong, namun setiap
pukulan mereka tentu mengenai seorang lawan yang terjengkang atau terhuyung ke
belakang. Biarpun mereka itu dapat bangun kembali, namun amukan kedua orang pemuda
ini membuat mereka menjadi kaget dan panik. Apalagi ketika terdengar lengking
memanjang dari atas dan dua ekor rajawali yang menyambar-nyambar dan mengamuk
pula membantu kedua orang majikan mereka! Keadaan makin menjadi panik dan para
pengeroyok itu kini sebaliknya malah menjadi sibuk dan terdesak
hebat!Pertandingan antara Suma Han dan dua orang kakek kembar juga makin seru,
namun diam-diam kedua orang kakek itu harus mengakui bahwa lawan mereka yang
berjuluk Pendekar Super Sakti itu memang benar-benar amat sakti! Sering kali
kedua orang kakek ini menjadi bingung karena secara aneh dan tiba-tiba sekali
lawan mereka yang hanya berkaki satu itu lenyap dari depan mereka dan
tahu-tahu lawan itu telah menyerangnya dari atas kepala! Ketika mereka
menyambarkan cambuk ke atas, kembali tubuh itu lenyap dan tahu-tahu sudah
menerjang dari belakang! Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Super Sakti
mengeluarkan ilmu silatnya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat
Gerak Kilat dan Badai) yang merupakan ilmu
Suma Han menahan napas. “Andaikata terpaksa
berkelahi juga, apakah tidak sebaiknya kita menggunakan tangan untuk mengukur
siapa yang lebih kuat, dan tidak perlu menggunakan senjata?” Sambil berkata
demikian, dia menancapkan tongkatnya di depan kaki, tanda bahwa ia tidak akan
menggunakan tongkat itu sebagai senjata.
Dua orang kakek itu saling pandang, dan
sebagai sepasang saudara kembar, tentu saja hubungan batin mereka lebih erat
daripada orang lain sehingga dengan saling pandang saja mereka sudah dapat mengetahui
isi hati masing-masing. Keduanya mengangguk, menyelipkan cambuk di ikat
pinggang, kemudian keduanya lalu berpencar, menghampiri Suma Han dari kanan
kiri.
“Engkau hendak mengadu tenaga sin-kang, ya?”
Lam-thian Lo-mo berseru. “Baiklah! Nah, kauterima pukulan kami ini!”
Kedua orang kakek itu mengeluarkan suara
menggereng hebat dari dalam perut mereka, kemudian mereka menggerakkan kedua
lengan yang menggetar hebat dan tak lama kemudian, kedua lengan Lam-thian
Lo-mo berubah menjadi merah kehitaman dan mengeluarkan uap panas, sedangkan
kedua lengan Pak-thian Lo-mo berubah putih pucat seperti lengan mayat dan dari
kedua lengan ini juga keluar uap dingin! Kiranya mereka sudah mengumpulkan dan
mengerahkan sin-kang istimewa masing-masing, menyalurkannya ke dalam lengan dan
tiba-tiba mereka berseru keras, memukul dengan telapak tangan kanan terbuka ke
arah Suma Han dari kanan kiri agak ke depan pendekar berkaki tunggal itu.
Suma Han maklum bahwa kalau dia tidak
memperlihatkan kekuatannya tentu tidak akan membuat lawan mundur dan dia tidak
ingin kalau harus bertanding mati-matian, maka diam-diam diapun telah
mengerahkan tenaga sin-kangnya yang istimewa. Pendekar Super Sakti ini memang
terkenal sekali dengan sin-kangnya, karena dia telah menguasai dengan sempurna
dua macam tenaga sin-kang yang berlawanan, yaitu Hwi-yang-sin-kang (Tenaga
Inti Api) dan Swat-im-sin-kang (Tenaga Inti Salju). Kini, menghadapi dua
serangan yang datang mengandalkan sin-kang yang berlawanan, tentu saja dia
sudah siap. Bagi orang lain, betapa kuat sin-kangnya, tentu akan sukar
menyelamatkan diri menghadapi serangan dari dua tenaga sin-kang yang berlawanan
itu, namun Pendekar Super Sakti dapat dalam satu saat menyalurkan dua tenaga
bertentangan itu, lengan kiri penuh dengan tenaga Hwi-yang-sin-kang menyambut
telapak tangan Lam-thian Lo-mo yang panas, sedangkan telapak tangan kanannya
juga mendorong dan menyambut telapak tangan Pak-thian Lo-mo yang dingin.
“Dess! Dess....!”
Pertemuan tenaga mujijat itu hebat luar biasa.
Seolah-olah bumi bergetar dan semua orang yang ada di situ dapat merasakan
getaran hawa panas dan dingin berselang-seling sehingga beberapa orang anak
buah sepasang kakek kembar itu menggigil penuh kengerian. Baru pertama kali itu
selama hidup mereka yang puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw, mereka
menyaksikan beradunya tenaga mujijat sehebat itu.
Dan akibatnya juga luar biasa sekali! Tubuh
kedua kakek kembar itu terlempar sampai empat meter lebih. Mereka seperti daun
kering tertiup angin, terhuyung dan terguling-guling dan ketika mereka berdua
dapat meloncat berdiri, tampak darah merah menghias ujung bibir mereka!
Benturan tenaga dahsyat tadi telah membuat mereka terluka di sebelah dalam,
sungguhpun tidak terlalu berat karena mereka telah membiarkan diri mereka
terdorong oleh tenaga lawan yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi, di lain
fihak, biarpun Pendekar Super Sakti masih berada di tempatnya tadi, tidak
bergeser selangkahpun, namun tubuhnya menjadi kurang tingginya dan kalau orang
melihat ke arah kakinya yang tinggal sebelah itu ternyata telah melesak ke
dalam tanah sampai hampir selutut! Ternyata bahwa kekuatan kedua orang kakek
kembar itu kuat sekali sehingga dalam menahan pukulan mereka, tubuh Suma Han
tertekan sedemikian rupa dan biarpun pendekar ini dapat mempertahankan, namun
tanah di bawah kakinya tidak dapat menahan sehingga kaki itu masuk ke dalam
tanah!
Tadinya kedua kakek kakak beradik itu terkejut
bukan main, akan tetapi mereka melihat keadaan lawan, hati mereka menjadi
besar. Kiranya keadaan lawan juga tidak lebih baik daripada keadaan mereka.
Melihat betapa Pendekar Super Sakti masih berdiri dengan kaki tunggal menancap
ke dalam tanah, kedua orang itu sudah mencabut cambuk masing-masing dan dengan
bentakan-bentakan nyaring mereka menerjang maju.
“Tar-tar-tar-tarrr....!” Cambuk hitam mereka
meledak-ledak di udara kemudian menyambar ke arah kepala Suma Han.
“Trak-trak-trak-trakkk!”
Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung dan
kiranya tongkat yang tadi tertancap di atas tanah di depan kakek Pendekar
Siluman, kini telah tercabut dan berada di tangan kanannya. Biarpun kaki
tunggalnya masih menancap di atas tanah, namun pendekar itu dengan tenangnya
dapat menangkis semua sambaran sinar berwarna hitam dari kedua cambuk lawan.
Ke manapun ujung cambuk menyambar, tentu akan terbendung oleh gulungan sinar
tongkat dan membalik seperti seekor ular bertemu api!
Di antara delapan belas orang teman sepasang
kakek kembar, empat orang wanita Korea itu merupakan tokoh-tokoh terpandai.
Melihat keadaan musuh mereka yang seolah-olah sudah terjebak, mereka
mengeluarkan bentakan-bentakan pendek yang nyaring dan ketika tangan mereka
bergerak, tampak pedang-pedang panjang melengkung, yaitu pedang samurai model
Jepang, berada di kedua tangan mereka. Pedang itu terlalu panjang dan berat
bagi mereka, maka mereka menggunakan kedua tangan untuk memegang gagang
pedang, seperti orang memegang toya dan kini mereka memekik sambil berlari ke
arah Suma Han dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas kepala mereka.
“Haaaiiiiikkkk....!”
“Trang-cring-cring-cring....!”
Empat orang wanita itu terhuyung-huyung ke
belakang dan mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Lulu dan Nirahai
yang ternyata telah menghadang mereka dan menangkis samurai-samurai itu
dengan pedang mereka. Lulu memegang pedang Pek-kong-kiam yang bersinar putih,
sedangkan Nirahai telah menggunakan senjatanya yang luar biasa, yaitu pedang
payung. Merasakan tangkisan yang membuat tangan mereka tergetar dan tubuh
mereka terhuyung, empat orang wanita Korea itu maklum akan kelihaian dua orang
wanita isteri Pendekar Siluman itu, maka mereka lalu serentak maju menyerang
sambil mengeluarkan pekik-pekik dahsyat. Empat belas orang lain juga bergerak
maju, hendak mengeroyok Suma Han dan dua orang isterinya.
“Lee-ko, mari....!”
Kian Bu sudah berlari ke medan pertempuran,
diikuti oleh kakaknya.
“Manusia-manusia jahat, berani kalian mengacau
Pulau Es?” Kian Bu berteriak dan segera dia menyerbu ke depan. “Haiiiitt!”
“Hyaaaahhh!”
Kedua orang pemuda itu mengamuk dan mereka
ternyata hebat sekali. Biarpun mereka hanya bertangan kosong, namun setiap
pukulan mereka tentu mengenai seorang lawan yang terjengkang atau terhuyung ke
belakang. Biarpun mereka itu dapat bangun kembali, namun amukan kedua orang
pemuda ini membuat mereka menjadi kaget dan panik. Apalagi ketika terdengar
lengking memanjang dari atas dan dua ekor rajawali yang menyambar-nyambar dan
mengamuk pula membantu kedua orang majikan mereka! Keadaan makin menjadi panik
dan para pengeroyok itu kini sebaliknya malah menjadi sibuk dan terdesak
hebat!Pertandingan antara Suma Han dan dua orang kakek kembar juga makin seru,
namun diam-diam kedua orang kakek itu harus mengakui bahwa lawan mereka yang
berjuluk Pendekar Super Sakti itu memang benar-benar amat sakti! Sering kali
kedua orang kakek ini menjadi bingung karena secara aneh dan tiba-tiba sekali
lawan mereka yang hanya berkaki satu itu lenyap dari depan mereka dan
tahu-tahu lawan itu telah menyerangnya dari atas kepala! Ketika mereka
menyambarkan cambuk ke atas, kembali tubuh itu lenyap dan tahu-tahu sudah
menerjang dari belakang! Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Super Sakti
mengeluarkan ilmu silatnya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat
Gerak Kilat dan Badai) yang merupakan ilmu
Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Super Sakti
mengeluarkan ilmu silatnya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat
Gerak Kilat dan Badai) yang merupakan ilmu kesaktian paling cepat gerakannya di
dunia ini!
Diam-diam Suma Han harus mengakui bahwa ilmu
kepandaian dua orang kakek kembar itu hebat sekali, sin-kang mereka kuat dan
tubuh mereka kebal, juga mereka merupakan ahli-ahli silat yang sudah berhasil
mengumpulkan intisari segala gerakan ilmu silat, diringkas dan dimainkan dasarnya
saja sehingga mereka berdua merupakan lawan yang amat ulet dan kuat. Namun,
andaikata dia menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun yang membingungkan mereka,
tentu saja dia dapat merobohkan mereka dengan tongkatnya, membunuh atau
sedikitnya melukai mereka. Dia tidak menghendaki hal ini. Dia maklum bahwa
jalan kekerasan hanya akan berakhir dengan kekerasan pula, dengan dendam dan
kebencian yang tak kunjung henti. Maka dia bersikap sabar dan mengalah.
Ketika Suma Han mendengar bentakan, kedua
orang isterinya dan kedua orang puteranya dia menengok dan terkejutlah hati
Pendekar Super Sakti ini. Dua orang isterinya dan dua orang pemuda itu mengamuk
seperti naga-naga marah. Dua orang wanita Korea telah roboh dan tak dapat
bertanding lagi karena terluka parah, sedangkan di antara empat belas orang
itu, sudah ada delapan orang yang roboh, entah tewas atau pingsan!
Celaka, dia sendiri tidak mau turun tangan
keras, isteri-isteri dan anak-anaknya malah mengamuk seperti itu! “Heiii,
tahan dan mundur kalian semua!” Teriaknya sambil mencelat ke arah kedua isteri
dan anaknya. “Kian Bu, Kian Lee, hayo panggil burung-burung setan itu!”
teriaknya pula melihat betapa dua ekor rajawali itupun mengamuk hebat, membuat
para lawan menjadi panik dan sibuk mempertahankan diri dari paruh dan cakar
yang kuat.
Kedua isterinya mengerutkan alis, namun mereka
mengenal suami mereka dan tidak mau membantah. Mereka maklum bahwa suami mereka
akan berduka sekali kalau sampai keluarganya menggunakan kekerasan. Juga Kian
Lee dan Kian Bu meloncat mundur dan berusaha memanggil sepasang rajawali yang
sedang marah dan mengamuk itu. Akan tetapi, pekerjaan itu tidaklah mudah karena
sepasang rajawali itu agaknya telah datang kembali sifat liar mereka dan sekali
mencium darah, mereka menjadi buas!
Akan tetapi, sama sekali tidak
disangka-sangka oleh Suma Han. Dia sendiri mundur dan menyuruh anak isterinya
untuk berhenti bertanding, akan tetapi sepasang kakek itu, dua orang wanita
Korea, dan enam orang teman mereka yang masih belum roboh, sudah datang lagi
menerjang dengan kemarahan meluap. Suma Han menghela napas panjang. Sedih dia
melihat betapa begitu banyak orang ternyata amat membencinya sehingga mereka
itu siap mempertaruhkan nyawa untuk membunuh dia!
“Siang Lo-mo dan cu-wi sekalian! Apakah kalian
sudah bosan hidup? Lihat.... bukit itu longsor ke sini....!” tiba-tiba Suma
Han berteriak, suaranya disertai khi-kang dan mengandung tenaga sakti mujijat
yang bergema di seluruh tempat itu, tongkatnya menuding ke tengah pulau di mana
tampak bagian yang menjulang tinggi seperti bukit es yang putih.
Sepasang kakek kembar dan para temannya
menengok ke arah yang ditunjuk itu dan tiba-tiba mata mereka terbelalak dan
muka mereka pucat sekali. Mereka melihat betapa bukit itu pecah-pecah, batu
dan es yang besar-besar sedang bergulingan dari atas menuju ke tempat itu,
disertai suara gemuruh dan tanah yang mereka injak bergoyang-goyang seperti
ada gempa bumi yang hebat.
“Celaka....! Lari....!” Pak-thian Lo-mo
berteriak sambil menyambar tubuh dua orang pembantu yang terluka.
“Lari...., bawa teman-teman....!” teriak pula
Lam-thian Lo-mo yang juga menjadi pucat wajahnya.
Tentu saja tidak perlu dikomando dua kali
karena mereka yang belum roboh, menjadi pucat ketakutan menyaksikan malapetaka itu,
bencana alam yang amat hebat dan yang tentu akan menggulung dan membasmi mereka
semua kalau mereka terlambat lari dari tempat yang agaknya sudah dikutuk dan
akan musnah itu. Mereka cepat menyambar teman yang terluka, lalu bersicepat
lari ke arah perahu mereka, berloncatan ke dalam perahu dan sekuat tenaga
mendayung perahu ke tengah laut. Angin segera mendorong layar dan perahu itu
melaju cepat meninggalkan Pulau Es.
Suma Han menghela napas lega. Dua orang pemuda
yang tadinya berlutut merangkul kedua kaki ibu masing-masing dengan muka pucat,
kini menengadah melihat ibu mereka tersenyum, keduanya bangkit berdiri, menoleh
ke arah bukit dan ternyata tidak ada terjadi apa-apa di sana! Padahal tadi,
mereka ikut menengok dan melihat betapa bukit itu pecah dan mengeluarkan suara
bergemuruh, mengancam tempat itu dengan gumpalan batu dan es sebesar rumah!
“Untung mereka dapat dikelabuhi....“ Suma Han
berkata perlahan.
“Hemmm, kalau mereka tidak lari, tentu
sebentar lagi mereka tak sempat berlari lagi!” kata Lulu.
“Mereka itu tidak seberapa kuat, mengapa harus
dipergunakan hoat-sut (ilmu sihir)?” kata Nirahai, tidak puas karena tadi
sedang “enak-enaknya” membabati musuh. Sudah puluhan tahun puteri kaisar yang
gagah perkasa ini tidak memperoleh kesempatan untuk mempergunakan ilmunya untuk
bertempur, padahal dahulu puteri ini mempunyai kesukaan untuk bertanding ilmu
silat. Maka peristiwa tadi sebetulnya amat menggembirakan hatinya, siapa yang
tidak mengkal hatinya kalau sedang enak-enak membabat musuh lalu dihentikan?
“Aihhh.... jadi ayah tadi mempergunakan ilmu
sihir?” Kian Lee berkata, memandang ayahnya dengan kagum dan heran. “Akan
tetapi.... aku melihat sendiri, bukit itu seperti pecah....“
“Karena kau ikut menengok, maka kau menjadi
korban pula kekuasaan ilmu sihir ayahmu,” kata Lulu. Dia dan Nirahai yang
sudah tahu bagaimana caranya melawan ilmu sihir itu, tadi tidak menengok dan
karenanya tidak terseret.“Wah, hebat sekali, ayah! Harap ajarkan ilmu itu
kepadaku!” Kian Bu bersorak.
Ayahnyadiam saja, hanya memandang sepasang
rajawali yang masih terbang berputaran di angkasa. Tiba-tiba dia mengeluarkan
suara melengking nyaring dan kedua ekor burung rajawali itu terkejut, lalu
menukik turun dan tak lama kemudian dia hinggap di atas tanah, di depan
pendekar itu.
“Kian Lee, Kian Bu, lihat apa yang berada di
paruh mereka itu!” bentak Suma Han.
Kian Lee dan Kian Bu menghampiri sepasang
rajawali dan mengambil sesuatu dari paruh mereka. Kiranya burung rajawali
kesayangan Kian Lee membawa sebatang jari tangan di paruhnya, sedangkan burung
rajawali kesayangan Kian Bu membawa sebuah.... daun telinga manusia!
“Ihhh....! Jari tangan orang!” Kian Lee
bergidik dan membuang jari tangan itu ke atas tanah.
“Haiiii! Ini daun telinga orang....!” Kian Bu
juga membuang benda menjijikkan itu.
Suma Han menghela napas, menggunakan
tongkatnya membuat lobang di dalam tanah, kemudian menjemput jari tangan dan
daun telinga itu, kemudian sambil menarik napas panjang dan menggeleng-geleng
kepala dia berjalan ke tengah pulau.
“Ayah, ajarkan aku ilmu sihir itu....!” Kian
Bu berseru dan hendak mengejar ayahnya. Akan tetapi tangannya dipegang ibunya.
“Ilmu itu tidak mungkin diajarkan ayahmu
kepada siapapun juga,” puteri kaisar itu berkata.
“Mengapa tidak mungkin, ibu?”
“Ilmu yang kelihatan seperti ilmu sihir itu
dimiliki oleh ayahmu tanpa dipelajarinya karena ayahmu memiliki kekuatan
mujijat. Pula, dengan kepandaian silat yang kau miliki sekarang ini, tidak
perlu lagi menginginkan kekuatan sihir karena kau akan mampu menghadapi lawan
yang bagaimana kuatpun.”
“Kian Lee, apa yang diucapkan oleh ibumu
Nirahai itu benar sekali,” Lulu juga berkata, ditujukan kepada puteranya
sendiri. “Tingkat kepandaian kalian berdua sudah cukup tinggi, dan melihat
gerakan kalian ketika menghadapi musuh tadi, kiranya tingkat kalian tidak
berada di sebelah bawah kami berdua. Ketika dahulu aku masih menjadi ketua
Pulau Neraka, dan ibumu Nirahai menjadi ketua Thian-liong-pang yang terkenal di
seluruh dunia, tingkat kami berdua kiranya masih belum setinggi tingkat kalian
sekarang ini.”
Nirahai mengangguk-angguk dan menyambung
ucapan madunya itu, “Memang benar, apalagi kalau diingat bahwa kalian berdua
adalah pemuda-pemuda yang sedang kuat-kuatnya, sedangkan kami makin tua dan
makin lemah. Maka jangan kalian berdua menginginkan ilmu kesaktian ayah kalian
yang tidak mungkin dipelajari itu.”
Tentu saja hati sepasang pemuda ini menjadi
gembira dan girang mendengar pujian Nirahai itu. Kegirangan itu bertambah
besar ketika pada malam harinya, setelah keluarga itu makan malam, Suma Han
berkata dengan suaranya yang selalu tenang dan halus, “Lee-ji dan Bu-ji,
sekarang telah tiba saatnya bagi kalian berdua untuk keluar dari pulau,
merantau meluaskan pengetahuan kalian.”
Kedua orang pemuda itu hampir bersorak saking
girangnya mendengar ini, dan mereka berdua saling pandang dengan muka berseri
dan mata bersinar-sinar. Demikian gembira mereka sampai tidak melihat betapa
sebaliknya wajah ibu mereka menyuram.
“Akan tetapi ingat, kalian jangan mengira
bahwa kalian boleh berbuat sesuka hati setelah bebas. Kebebasan yang benar
adalah kebebasan yang dapat mengatur diri sendiri, bukan kebebasan liar (semau
gue!) yang tentu akan menyeret kalian ke dalam perbuatan sesat. Memang,
tingkat ilmu silat kalian sudah cukup tinggi sehingga tidak perlu
dikhawatirkan akan dicelakakan oleh musuh, namun kalian masih kurang sekali
dalam pengalaman. Karena itu, dalam meluaskan pengalaman, kalian pergilah ke
kota raja dan jumpai enci kalian, Milana. Dari enci kalian itu kalian akan
mendapat banyak petunjuk. Dan ingat, kalian jangan sekali-kali menyebut nama
Pulau Es untuk menyombongkan diri. Mengerti?”
Kedua orang pemuda itu mengangguk dan
menyembunyikan rasa girang mereka di dalam hati. “Ayah, bolehkah kami membawa
sepasang rajawali?”
Suma Han menahan senyumnya. Puteranya yang
kedua ini selalu berwatak riang gembira dan biarpun usianya sudah hampir
delapan belas tahun, masih kekanak-kanakan sehingga merantaupun ingin membawa
rajawali kesayangannya!
“Rajawali jangan dibawa. Sekali ini kalian
merantau, berarti akan memasuki tempat-tempat ramai, apalagi akan memasuki kota
raja. Kalau kalian membawa sepasang rajawali, tentu akan menimbulkan ribut dan
kekacauan. Ingat kalian harus menganggap bahwa kalian adalah seperti sepasang
rajawali yang terbang bebas di angkasa, tidak menggantungkan nasib dan
keselamatan kalian pada perlindungan siapapun juga. Seperti sepasang rajawali,
kalian harus selalu waspada jangan lengah karena segala kemungkinan dapat saja
terjadi, segala bahaya dapat saja datang dari segala penjuru”.
Setelah banyak-banyak memberi nasihat kepada
kedua orang puteranya sehingga semalam itu mereka hampir tidak tidur, pada
keesokan harinya berangkatlah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meninggalkan
Pulau Es. Mereka hanya membawa bekal beberapa potong emas dan sejumlah uang
perak untuk biaya di jalan, akan tetapi mereka berdua tidak diberi bekal
senjata. Perahu layar yang membawa mereka pergi meninggalkan Pulau Es, menuju
ke arah yang telah ditunjuk dan digambarkan dalam peta oleh ayah mereka,
diikuti pandangan mata kedua ibu mereka yang basah oleh air mata.
Setelah perahu itu lenyap dari pandangan
mata, kedua orang wanita itu tidak dapat menahan tangis mereka. Betapa hati
mereka tidak akan berkhawatir dan berduka ditinggalkan putera tercinta yang
semenjak lahir berada di pulau itu bersama mereka? Suma Han mendiamkan saja
kedua isterinya berduka, karena dia dapat menyelami perasaan mereka. Dia hanya
berdiri dibantu tongkatnya, memandang jauh lepas ke arah lautan, mencoba
untuk mempelajari dan mengerti akan hidup dari permukaan laut yang tak bertepi.
Andaikata ada yang bertanya kepada kedua orang
ibu itu mengapa mereka menangis dan mengapa mereka berduka karena berpisahan
dengan putera mereka, tentu mereka akan menjawab langsung bahwa mereka berduka
karena mereka mencinta putera mereka yang sekarang pergi meninggalkan mereka.
Jelas bahwa mereka menangis bukan demi putera mereka, karena sepasang pemuda
itu bergembira dan tidak perlu ditangisi. Akan tetapi mereka menangis karena
mereka ditinggalkan! Mereka menangis demi dirinya sendiri, menangis karena iba
diri yang ditinggalkan pergi orang-orang yang dicinta!
“Cinta” yang bersifat pengikatan diri kepada
sesuatu yang dicinta, seperti kedua ibu ini, hanya akan membawa kedukaan.
Pengikatan diri kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kemuliaan
duniawi, kepada kesenangan, sebenarnya bukanlah cinta kasih sejati, melainkan
nafsu mementingkan dan menyenangkan diri sendiri belaka. Segala sesuatu, baik
benda hidup ataupun mati, yang dipunyai seseorang secara lahiriah, kalau sampai
dimiliki pula secara batiniah, hanya akan menimbulkan kesengsaraan. Segala
sesuatu tidak kekal di dunia ini, sekali waktu tentu terjadi perpisahan. Kalau
kita mengikatkan diri kepada sesuatu, berarti kita memiliki secara batiniah
dan seolah-olah yang kita miliki itu telah berakar di dalam hati. Maka jika
tiba saatnya kita harus berpisah dari sesuatu yang kita miliki secara batiniah
itu, sama saja dengan dicabutnya sesuatu itu dari hati sehingga merobek dan
menyakitkan hati!
Mengikatkan diri kepada apapun juga, kepada
suami, isteri, anak, keluarga, harta dan apa saja berarti menghambakan diri
dan ikatan-ikatan ini yang membuat orang menjadi takut dan khawatir. Takut
kalau-kalau dipaksa berpisah, karena kehilangan, karena kematian dan
lain-lain. Rasa takut akan perpisahan dengan yang telah mengikat dirinya,
membuat orang menjaga dan melindungi mati-matian, dan untuk ini tidak
segan-segan orang menggunakan kekerasan. Maka timbullah pertentangan, dan dari
pertentangan ini lahirlah kesengsaraan hidup!
Kita tinggalkan dulu Pulau Es dan suami isteri
yang termenung ditinggalkan putera-puteranya itu, dan kita biarkan sepasang
pemuda itu mulai dengan perantauan mereka seperti sepasang rajawali, dan mari
kita menengok kembali keadaan Syanti Dewi dan Ceng Ceng.
Seperti telah diceriterakan di bagian depan,
dua orang dara jelita ini melarikan diri dan terpaksa meninggalkan kakek Lu
Kiong yang tewas oleh pengeroyokan para tokoh pemberontak yang memusuhi
Kerajaan Bhutan. Dengan berpakaian seperti dua orang petani sederhana, dua
orang gadis itu terus melarikan diri. Mereka melumuri pipi yang halus putih
itu dengan lumpur untuk menyembunyikan wajah cantik mereka setelah memperoleh
kenyataan bahwa penyamaran itu dapat diketahui para penghadang sehingga hampir
saja mereka tertangkap.
Sukarlah bagi mereka untuk dapat meloloskan
diri karena daerah perbatasan itu termasuk daerah kekuasaan pasukan-pasukan
Raja Muda Tambolon. Dusun-dusun di sekitar daerah itu telah berada di bawah
kekuasaannya. Syanti Dewi yang pernah mendengar tentang ini, mengerti akan
bahaya yang mengancam mereka, maka dia selalu menganjurkan kepada Ceng Ceng
untuk berhati-hati.
Pada suatu senja, pelarian mereka membawa
mereka ke sebuah dusun. Mereka menanti di luar dusun sambil bersembunyi, dan
setelah cuaca menjadi gelap, barulah mereka berani memasuki dusun itu. Bau
masakan dan bumbu terbawa uap masakan yang sedap membuat mereka tidak menahan
diri. Telah beberapa hari lamanya mereka hanya makan daun-daun dan daging
panggang tanpa bumbu. Kini perut mereka terasa lapar sekali ketika hidung
mereka mencium bau yang amat gurih dan sedap itu, dan berindap-indap keduanya
memasuki warung yang berada di pinggir dusun. Warung itu ternyata cukup besar
dan ketika keduanya masuk, di situ terdapat tujuh orang tamu yang pakaiannya
agak kotor dan tujuh orang ini semua membawa topi caping bundar lebar yang
kini mereka taruh di atas meja.
Ketika Syanti Dewi dan Ceng Ceng memasuki
warung dengan muka kotor berlumpur dan muka tunduk, mereka berhenti bicara,
melirik sebentar akan tetapi melihat bahwa yang masuk hanyalah dua orang
petani muda yang agaknya baru pulang dari sawah karena pakaian dan mukanya
kotor, tujuh orang itu melanjutkan pembicaraan mereka. Mereka adalah
orang-orang kasar dan jujur dan berani bicara keras begitu melihat keadaan
aman.
Syanti Dewi memesan makanan dan makan bersama
Ceng Ceng tanpa bicara, akan tetapi mereka berdua tertarik sekali oleh
percakapan antara tujuh orang itu. “Kabarnya sang puteri lenyap....”
kata-kata ini yang membuat mereka terkejut dan mendengarkan dengan penuh
perhatian.
“Ahhhhh, kasihan sekali kalau begitu. Dan
bagaimana dengan rombongan utusan kaisar?”
“Entah, kabarnya banyak yang tewas. Akan
tetapi pasukan penjemput dari kerajaan Ceng tiba dan musuh dapat dihalau pergi.
Hanya celakanya, sang puteri tidak ada lagi....”
“Aihh, jangan-jangan dia tertawan musuh”
“Mungkin sekali....”
“Aduh kasihan!”
“Kalau saja kita dapat menolongnya....”
“Wah, orang-orang pedagang garam macam kita
ini bagaimana bisa menolongnya? Untuk melalui kota Tai-cou saja kita tentu
harus mengeluarkan banyak biaya untuk menyuap penjaga, baru kita akan boleh
masuk.”
“Memang celaka, dan hanya di kota itu garam
kita akan laku dengan harga tinggi.”
Syanti Dewi dan Ceng Ceng saling pandang dan
sinar mata mereka berseri. Mereka juga harus melalui kota Tai-cou dan setelah
dapat melewati kota terakhir dari kekuasaan Raja Muda Tambolon itulah mereka
dapat dikatakan telah lolos dari cengkeraman musuh. Dan mendengarkan
percakapan antara pedagang garam itu, agaknya mereka itu tak dapat disangsikan
lagi adalah orang-orang yang berpihak kepada Kerajaan Bhutan dan Kerajaan
Ceng, orang-orang yang anti kepada Raja Muda Tambolon. Hal ini berarti
orang-orang itu adalah sahabat!
Betapa kaget dan heran hati tujuh orang
pedagang garam itu ketika mereka meninggalkan warung dan sedang berjalan sambil
bercakap-cakap di lorong dusun yang gelap dan sunyi, tiba-tiba berkelebat
bayangan dua orang dan tahu-tahu dua orang “pemuda” yang tadi makan di warung
telah berdiri di depan mereka.
“Para paman harap berhenti sebentar!” Ceng
Ceng berkata.
Mendengar suara wanita, karena Ceng Ceng
mempergunakan suara aselinya, tujuh orang itu tertegun dan mencoba untuk
melihat lebih jelas lagi di tempat gelap itu.
“Kami telah mendengar percakapan paman
bertujuh dan percaya bahwa paman sekalian akan suka membantu kami untuk
meliwati kota Tai-cou, kata pula Ceng Ceng.
“Apa....apa
maksudmu.... tuan....
eh, nona....?” seorang di antara mereka yang berkumis tebal bertanya bingung
karena dia masih ragu-ragu. Melihat pakaiannya, dua orang itu adalah pria, akan
tetapi suaranya seperti wanita!
“Paman, lihatlah baik-baik. Aku adalah
seorang wanita, dan dia ini bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan
Bhutan yang kalian bicarakan tadi.”
Tujuh orang itu terkejut bukan main. Cepat
mereka memandang ke arah Syanti Dewi, membuka caping dan tiba-tiba mereka
menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu!
“Maafkan kami.... hamba tidak mengetahui....”
Syanti Dewi cepat berkata, “Harap paman semua
bangkit berdiri. Kalau sampai kelihatan orang tentu dicurigai.”
Mendengar ini, mereka cepat bangkit berdiri.
Mereka adalah pedagang-pedagang garam yang berhutang budi kepada Pemerintah
Bhutan karena mereka diijinkan untuk mengangkut garam dari Bhutan yang mereka
jual di daerah pedalaman. Dari Pemerintah Bhutan mereka tidak pernah mengalami
gangguan, maka tentu saja mereka merasa terlindung dan di dalam hati mereka
bersimpati kepada kerajaan ini dan sebaliknya mereka seringkali mengalami
gangguan dari anak buah Raja Muda Tambolon maka tentu saja mereka membenci
mereka.
“Paman, tolonglah kami agar dapat lewat kota
Tai-cou. Kami hendak melarikan diri ke ibukota Kerajaan Ceng,” kata Syanti
Dewi.
“Tentu saja hamba senang sekali kalau dapat
menolong paduka. Marilah paduka berdua ikut bersama hamba ke tempat
peristirahatan rombongan pedagang garam di kuil tua.”
Syanti Dewi dan Ceng Ceng mengikuti mereka
dan ketika mereka tiba di dalam kuil tua yang kini diterangi dengan api-api
penerangan lilin, tampak oleh mereka bahwa jumlah rombongan pedagang garam itu
ada tujuh belas orang! Ketua mereka adalah si kumis tebal tadi, maka begitu
mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan yang mereka dengar diboyong ke Tiong-goan
dan di tengah jalan rombongan puteri itu diserbu gerombolan pemberontak,
mereka segera berlutut menghaturkan selamat dan dengan senang hati mereka ingin
membantu dan melindungi puteri ini melewati kota Tai-cou dengan selamat.
“Kota terakhir di bawah kekuasaan Raja Muda
Tambolon ini terjaga kuat sekali,” kata si kumis tebal. “Jalan satu-satunya
bagi sang puteri agar dapat lolos dengan selamat hanya dengan menyamar menjadi
seorang di antara kita, menyamar sebagai pedagang garam dan bersama rombongan
kita memikul garam memasuki kota.”
Semua orang menyatakan setuju dan dengan
tergesa-gesa dibuatlah dua stel pakaian pedagang garam untuk dipakai Syanti
Dewi dan Ceng Ceng, juga mereka diberi masing-masing sebuah caping lebar
bundar itu beserta sebuah pikulan terisi dua keranjang garam. Pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu berangkat meninggalkan dusun tanpa
membangkitkan kecurigaan penduduk yang tidak tahu bahwa rombongan tujuh belas
orang itu kini telah menjadi sembilan belas!
Perjalanan dari dusun itu menuju ke Tai-cou
memakan waktu sehari. Di sepanjang perjalanan, para pedagang garam itu tentu
saja membebaskan dua orang dara itu dari memikul garam dan hanya apabila
mereka melewati dusun-dusun saja kedua orang dara itu harus memikul garam.
Menjelang sore, tibalah rombongan ini di depan
pintu gerbang kota Tai-cou. Semua orang menjadi tegang hatinya ketika mereka
tiba di pintu gerbang itu dan terpaksa harus berhenti karena akan dilakukan
pemeriksaan oleh para penjaga pintu gerbang yang dikepalai oleh seorang perwira
komandan yang tinggi besar, galak dan brewok. Kebetulan sekali ketika rombongan
pedagang garam yang berjumlah sembilan belas orang ini tiba, di pintu gerbang
itu tiba pula rombongan pedagang garam dari lain daerah yang jumlahnya dua
puluh orang lebih sehingga keadaan di situ menjadi ramai sekali.
“Haiiii!” Sang komandan yang melompat
ke atas sebuah meja berteriak dengan tangan di pinggang, lagaknya keras dan
angkuh sekali. “Kalian harus masuk seorang demi seorang! Setiap keranjang akan
diperiksa, juga setiap orang akan diperiksa baik-baik karena dikhawatirkan ada
penyelundup! Kalau kami menangkap seorang saja penyelundup, kalian semua akan
dihukum berat!”
Si kumis tebal sudah menyelinap dan mendekati
komandan itu, berbisik perlahan sambil menyerahkan sebuah kantung berisi uang.
“Maafkan, tai-ciangkun, kami tergesa-gesa sekali. Lihat, ada rombongan
pedagang garam lain, kalau kami kalah dulu, tentu akan jatuh harga garam. Ini
sedikit tanda terima kasih untuk tai-ciangkun dan kalau kami sudah menjual
habis garam kami, tentu akan ditambah lagi....“
Perwira komandan itu menyambar kantung uang
dan berkata keren, “Hemm.... kalian akan kuperbolehkan lewat lebih dahulu, akan
tetapi tetap harus diperiksa! Keadaan sekarang gawat!”
Si kumis tebal sudah mundur dan wajahnya
pucat. Kalau sampai diperiksa dan ketahuan bahwa dua orang di antara mereka
adalah wanita, tentu akan terjadi keributan, apalagi kalau sampai sang puteri
dikenal! Pada saat itu, terjadi keributan di bagian rombongan pedagang garam
yang dua puluh orang lebih itu. Seorang pedagang garam yang mukanya hitam dan
bopeng bekas penyakit cacar, berteriak-teriak dan mencak-mencak, “Hayaaa....
celaka.... siapa menaruh ular-ular ini di keranjangku....? Tentu pedagang garam
dari barat, keparat....!”
Terjadilah gaduh dan ribut karena memang
tiba-tiba muncul banyak sekali ular-ular besar kecil di tempat itu! Ceng Ceng
yang bermata tajam tadi melihat betapa pedagang garam yang bermuka hitam bopeng
itu telah mengeluarkan bungkusan kain kuning dari dalam keranjang dan agaknya
ular-ular itu keluar dari bungkusan itulah! Dan selagi Ceng Ceng termenung,
tiba-tiba dia melihat betapa kaki si bopeng menendang seekor ular kecil. Ular
itu melayang ke atas dan.... mengenai dada komandan yang berdiri di atas meja.
Tidak ada yang melihat gerakan ini kecuali Ceng Ceng. Si komandan
berteriak-teriak dan mengebut-ngebutkan pakaiannya.
“Basmi semua ular....!” teriaknya kepada para
anak buahnya. “Hayo kalian segera maju, jangan memenuhi tempat ini!” Teriaknya
kepada rombongan si kumis tebal.
Menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau
balau itu, Ceng Ceng dan Syanti Dewi sudah memanggul pikulan masing-masing dan
dengan desakan dari si kumis tebal mereka cepat memikul keranjang garam
memasuki pintu gerbang.
“Haiii, diperiksa dulu.... eihhh,
celaka....!” Komandan yang berteriak itu kembali terkejut karena ada seekor
ular hijau melayang dan mengenai mukanya, hampir menggigit hidungnya!
Ceng Ceng dan Syanti Dewi dapat lolos dengan
cepat, kemudian dilindungi oleh para temannya, kedua orang dara itu melepaskan
pikulan dan tergesa-gesa berjalan memasuki kota Tai-cou. Karena dia tidak
memikul garam, maka setelah keadaan gaduh di pintu gerbang itu mereda dan semua
pedagang diperiksa, dalam rombongan itu tidak lagi terdapat dua orang wanita
ini dan mereka tidak dipanggil karena tidak ada penjaga yang menyangka bahwa
dua orang yang berjalan pergi tanpa membawa pikulan itu adalah anggauta
rombongan pedagang garam. Apalagi karena semua penjaga tadi sibuk membunuhi
ular-ular itu sehingga perhatian mereka terpecah.
Semalam suntuk itu kedua orang dara itu
melarikan diri. Mereka maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat
meninggalkan kota Tai-cou, keadaan mereka masih terancam bahaya besar,
sungguhpun sampai saat itu tidak ada yang mencurigai mereka. Dengan mudah
mereka telah lolos dari Tai-cou, keluar dari sebelah utara dan menempuh
perjalanan di sepanjang malam yang gelap tanpa arah tujuan tertentu kecuali
hanya satu keinginan, yaitu melarikan diri sejauh mungkin dari Tai-cou yang
merupakan benteng terakhir dari kekuasaan Tambolon. Dan mereka hanya tahu
bahwa mereka melarikan diri menuju ke timur. Dengan melihat letaknya bintang,
mereka dapat mengarahkan kaki menuju ke timur.
Pada keesokan harinya, mereka beristirahat
sebentar di sebuah hutan, makan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal dari
pemberian para pedagang garam, minum air jernih yang mereka dapatkan di hutan
itu, kemudian berbaring di atas rumput melepaskan lelah.
“Aihhhhh.... bukan main nyamannya rebah
begini....” Sang Puteri Syanti Dewi mengeluh nikmat. “Dan roti kering tadi,
betapa lezatnya, air jernih itu juga menyegarkan sekali. Belum pernah selama
hidupku aku dapat menlkmati makan-minum dan tiduran seperti ini!”
Mendengar Ini, Ceng Ceng tertawa bebas sampai
kelihatan deretan gigi dan lidahnya. Karena di situ tidak ada orang lain, maka
dia tertawa sebebasnya. Mendengar ini, Syanti Dewi memandang heran. ”Eh, kau
kenapa, adik Candra? Mengapa tertawa segembira itu?”
“Aku geli mendengarkan ucapanmu tadi, enci
Syanti, dan mungkin aku tertawa karena merasa lega dan gembira telah terbebas
dari bahaya. Ucapanmu tadi membuat aku teringat akan dongeng tentang raja yang
tidak suka makan dan tidak dapat tidur. Raja itu meninggalkan istana karena
merasa jengkel, dan di tengah hutan dia melihat seorang petani mencangkul tanah
lalu makan dengan lahapnya. Raja lalu membantu si petani, mencangkul tanah
untuk mendapatkan semangkok nasi dan lauknya yang hanya terdiri dari ikan asin,
dan minumnya yang hanya terdiri dari air jernih. Setelah dia selesai bekerja
keras sampai tangannya lecet-lecet dan tubuhnya lelah bukan main, dia
memperoleh makan minum itu dan menikmatinya seperti belum pernah dirasakannya
selama hidupnya! Persis seperti keadaanmu ini! Engkau adalah seorang puteri
raja yang tiap hari makan hidangan yang serba mahal, sekarang makan roti kering
minum air jernih, tidurmu bukan di dalam kamar indah dan berlandaskan kasur
tebal melainkan di hutan, di atas rumput, namun engkau merasa nikmat sekali!
Hi-hik, bukankah lucu ini?”
Syanti Dewi tertawa juga. “Kausamakan aku
dengan raja dalam dongeng? Jangan begitu, ah! Dia sih pemalas, kalau aku kan
tidak! Akan tetapi akupun heran sekali mengapa aku dapat menikmati ini semua.
Pengalaman ini membuka mataku, adik Chandra, bahwa yang dikatakan enak atau
tak enak, menyenangkan atau tak menyenangkan, sama sekali bukanlah bergantung
kepada keadaan di luar, melainkan kepada hati sendiri! Kepada hati dan kepada
tubuh, pendeknya bergantung kepada diri sendiri. Lezatnya makanan bukan berada
di mangkok, baik buruknya sesuatu bukan ada di depan kita, melainkan di dalam
diri kita sendiri. Pikiranku sekarang sedang lega karena lepas dari bencana,
tubuh lelah dan perut lapar. Tentu saja segala makanan dan minuman terasa
lezat sekali! Rumput ini jauh lebih nikmat ditiduri daripada segala macam
kasur bulu karena sekarang tubuhku sedang lelah sekali. Jadi kalau begitu....
pernyataan bahwa ini enak itu tak enak, ini baik itu tak baik, bukan kenyataan
sebenarnya, melainkan pendapat hati yang dipengaruhi oleh keadaan waktu itu.”
“Hemm.... lalu bagaimana?” Ceng Ceng
mengerutkan alisnya yang berbentuk bagus, matanya memandang dengan sinar
gembira karena dia mulai dapat menangkap yang dimaksudkan dalam ucapan kakak
angkatnya itu.
“Kalau begitu.... tidak ada yang baik atau
buruk di dunia ini. Kita sendiri yang menentukan! Dan.... ah, aku jadi bingung
sendiri menghadapi kenyataan yang jelas ini! Biasanya kita selalu dipermainkan
oleh pikiran sendiri yang suka mengada-ada saja!”
Ceng Ceng sudah tak dapat menjawab karena dia
hampir tidak dapat menahan kantuknya, hanya mengangguk lemah dan menutupi mulut
dengan jari tangan menahan mulut yang ingin menguap saja. Tak lama kemudian,
kedua orang dara itu sudah tertidur pulas di bawah pohon, berlandaskan rumput
yang lunak. Tubuh yang lelah menuntut istirahat setelah perut yang lapar diisi
kenyang.
Matahari telah naik tinggi ketika kedua orang
dara itu terbangun dan mereka menjadi terkejut melihat bahwa hari telah siang.
Mula-mula Syanti Dewi yang terbangun lebih dulu. Dia terbangun seperti orang
kaget dan bangkit duduk, menggosok kedua matanya dan mengeluh lirih. “Uuhh,
kiranya hanya mimpi....” bisiknya karena dia telah mimpi tertangkap dan
dihadapkan kepada Raja Muda Tambolon! Ketika mendapat kenyataan bahwa matahari
telah naik tinggi, dia menoleh kepada Ceng Ceng.
“Haiii, adik Candra! Bangun! Sudah siang....!”
Dia mengguncang pundak adik angkatnya itu.
Ceng Ceng terbangun dan bangkit duduk, menahan
kuapnya dengan punggung tangan kiri. “Wah, keenakan tidur, enci Syanti.
Rasanya malas untuk bangun!”
“Hushh, jangan malas! Matahari telah naik
tinggi dan kita enak-enak tidur di sini. Perjalanan masih amat jauh, mari kita
lanjutkan, adikku.”
Ceng Ceng sudah bangun berdiri dan kini
teringatlah dia akan keadaan mereka. “Aihh, hampir aku lupa bahwa kita adalah
pelarian yang dikejar musuh! Mari, enci Syanti Dewi!”
Ketika dua orang dara itu melanjutkan
perjalanan, tiba-tiba Ceng Ceng memegang lengan puteri dan berbisik sambil
menuding ke kanan, “Lihat itu....!”
Syanti Dewi menengok, dan sang puteri
menutupkan tangan ke depan mulut menahan jeritnya. Tak jauh dari situ tampak
tubuh seorang laki-laki setengah tua rebah di atas tanah, sudah menjadi mayat
dan mukanya yang terlentang itu memperlihatkan sepasang mata yang terbelalak
lebar tanpa sinar. Di tenggorokan orang itu tampak luka berlubang dan darah
masih menetes dari luka itu, tanda bahwa orang ini belum lama terbunuh.
“Dan di sana itu.... lihat, enci!” Kembali
Ceng Ceng berbisik. Kakak angkatnya menengok dan makin terkejut karena di
sebelah kiri, hanya terpisah belasan meter dari situ, juga tampak sebuah mayat
yang lehernya berlubang! Mereka berdua saling pandang, kemudian Ceng Ceng
menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya mencelat ke atas pohon besar dan dari
tempat tinggi ini Ceng Ceng memandang ke sekeliling, memeriksa. Namun tidak
tampak bayangan seorangpun manusia dan dari tempat tinggi itu dia melihat
bahwa bukan hanya ada dua orang mayat di situ, melainkan ada delapan orang!
Delapan orang telah mengurung tempat dia dan kakak angkatnya tidur tadi dan
kini delapan orang itu telah mati semua dengan leher berlubang, mungkin
terkena senjata rahasia yang ampuh! Setelah yakin bahwa tidak ada orang lain di
sekitar tempat itu, dia turun lagi dan menceritakan kepada kakak angkatnya apa
yang telah dilihatnya dari tempat tinggi tadi.
“Ahhh, kalau begitu, tentu mereka itu musuh
yang tadinya mengepung kita, dan ada sahabat yang telah menolong kita,” kata
sang puteri.
Ceng Ceng mengangguk-angguk, akan tetapi
alisnya berkerut. Dia juga dapat menduga demikian, akan tetapi hatinya tidak
senang kepada penolongnya yang bersikap rahasia itu! Kalau memang orang
bersahabat, mengapa tidak menolong secara berterang? Pula, diapun belum dapat
yakin benar bahwa delapan mayat itu adalah fihak musuh.
“Lebih baik kita cepat pergi dari sini, enci,”
katanya. Syanti Dewi mengangguk dan berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan
dengan cepat meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Sore hari mereka tiba di sebuah dusun yang
terpencil, sebuah dusun yang cukup besar di kaki gunung. Karena letaknya yang
terpencil ini, maka dusun itu agaknya menjadi pos peristirahatan mereka yang
melakukan perjalanan di daerah itu, dan di situ terdapat pula sebuah rumah
penginapan sederhana dan sebuah warung nasi. Karena merasa ngeri dengan
pengalaman mereka tadi, dua orang gadis itu mengambil keputusan untuk bermalam
di rumah penginapan.
Para pelayan rumah penginapan hanya sebentar
memandang dengan heran karena dalam keadaan kacau seperti itu, daerah yang
sering kali terjadi perang antara pasukan Raja Muda Tambolon melawan pasukan
Ceng atau pasukan Bhutan, tak terlalu mengherankan melihat dua orang gadis yang
berpakaian seperti petani biasa dan memakai caping lebar, melakukan perjalanan
berdua saja. Banyak sudah wanita-wanita muda yang ketakutan akan perang
melarikan diri ke timur karena sudah terkenal betapa pasukan anak buah Raja
Muda Tambolon amat kejam terhadap tawanan wanita, apalagi yang masih muda dan
cantik. Tentu wanita itu akan dijadikan perebutan dan akan dipermainkan oleh
banyak orang sampai mati dalam keadaan menyedihkan dan mengerikan sekali.
“Ji-wi kouwnio hendak menginap?” tanya seorang
pelayan dengan sikap ramah.
Ceng Ceng merogoh saku dan mengeluarkan
potongan perak. Dia memperlihatkan perak itu sambil berkata, “Kami membutuhkan
sebuah kamar dengan dua tempat tidur, harap pilihkan yang bersih.”
Melihat potongan perak itu, sikap si pelayan
bertambah hormat. Dia maklum bahwa yang membawa uang perak dalam perjalanan
hanyalah orang-orang dari kalangan “atas” kalau bukan puteri-puteri hartawan
tentulah wanita-wanita kang-ouw yang membekal banyak uang. Sambil mengangguk
dan tersenyum lebar dia menjawab, “Harap ji-wi jangan khawatir. Mari, silahkan
masuk!”
Tentu saja kamar yang bersih dalam rumah
penginapan itu sebetulnya masih terlalu kotor bagi Syanti Dewi karena kamar
yang katanya paling bersih itu masih jauh lebih kotor daripada kamar dapur di
istananya!
Setelah mencuci muka dan makan malam, kedua
orang dara itu duduk di atas pembaringan dalam kamar mereka dan bercakap-cakap
dengan suara perlahan setengah berbisik. “Aku khawatir bahwa peristiwa di
hutan itu akan ada lanjutannya, enci Syanti. Yang jelas saja, delapan orang itu
mati tentu ada yang membunuh, dan si pembunuh tentu tahu akan keadaan kita. Aku
merasa seolah-olah kita di sinipun sedang diawasi orang.”
Syanti Dewi mengangguk. “Akupun mempunyai
perasaan demikian, Candra. Akan tetapi, kurasa orang yang membunuh mereka itu
bukanlah musuh. Kalau musuh, tentu dia atau mereka sudah turun tangan ketika
kita tertidur di hutan!”
“Perjalanan kita masih amat jauh dan biarpun
kita sudah meliwati kota Tai-cou, namun kita akan melewati daerah yang sama
sekali tidak kita kenal dan menurut kong-kong.... eh, mendiang kong-kong....”
Sampai di sini, Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan ucapannya karena lehernya
terasa seperti dicekik ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas dalam
keadaan menyedihkan, bahkan jenazahnya pun tidak sampai terkubur!
Syanti Dewi mengerti akan keharuan hati
adiknya, maka dia merangkul sambil berkata, “Ahhh, kong-kongmu telah berkorban
nyawa demi keselamatanku, adikku! Entah bagaimana aku akan dapat membalas budi
kong-kongmu itu ....”
Ceng Ceng cepat menekan hatinya dan dia
berkata agak keras, “Jangan berkata begitu, enci!”
Sejenak mereka termenung, kemudian terdengar
lagi Syanti Dewi berkata, “Engkau adalah seorang dara perkasa, dan di dalam
tubuhmu mengalir darah keturunan petualang kang-ouw yang berani dan perkasa!
Agaknya, bagimu keadaan kita ini tidaklah terasa berat, Candra. Akan tetapi
aku....! Sejak kecil aku hidup mewah dan senang, sekarang, aku harus menderita
kesengsaraan seperti ini, maka tak mengherankan kalau aku sampai bersikap
cengeng, adikku. Bagaimana aku tidak akan berduka? Bukan hanya kong-kongmu
tewas, juga menurut cerita para pedagang garam, sebagian besar para anggota rombongan
yang mengawalku tewas dalam perang. Dan semua ini gara-gara aku seorang! Bahkan
sekarang, engkau adikku yang tercinta, engkaupun harus menderita karena
mengawalku!”
Ceng Ceng tertawa. “Siapa bilang aku
menderita, enci? Aku sama sekali tidak menderita!”
“Apa? Tak usah berpura-pura. Pakaian kitapun
hanya yang menempel di tubuh kita! Tak pernah dapat berganti pakaian, padahal
sudah berapa lama? Seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan aku berani bertaruh
bahwa tentu ada kutu di pakaian kita.”
Tiba-tiba Ceng Ceng menggaruk-garuk dada
kirinya dan kelihatan dia merasa ngeri. Aih, jangan bicara tentang kutu, enci!
Marilah kita pikirkan dengan tenang dan sejujurnya. Benar bahwa engkau adalah
seorang puteri yang tidak pernah menderita kesengsaraan hidup. Akan tetapi apa
bedanya dengan aku? Akupun hanya seorang gadis dusun yang belum pernah
melakukan perantauan. Keadaan kita sama saja, enci. Akan tetapi betapa pun
juga, kita tidak boleh putus asa, tidak boleh merasa gelisah. Kegelisahan hanya
akan membuat kita tidak tenang dan mengurangi kewaspadaan kita. Biarlah kita
saling melindungi dan aku bersumpah bahwa aku takkan meninggalkanmu, aku pasti
akan dapat memenuhi pesan mendiang kong-kong, yaitu mengantarkan enci sampai
ke kota raja dan di sana kita bisa minta bantuan Puteri Milana seperti yang
dipesankan kong-kong.”
Melihat sikap Ceng Ceng yang penuh semangat
itu, bangkit pula semangat Puteri Syanti Dewi. Dia mengepal tinju dan berkata,
“Ah, kiranya tidak percuma pula aku dahulu tekun mempelajari ilmu silat,
apalagi memperoleh petunjuk-petunjukmu, adik Candra. Saat ini, aku bukan
puteri kerajaan, melainkan seorang dara kang-ouw yang berpetualang dan siap
menghadapi bahaya apapun juga! Kalau ada bahaya mengancam, hemmm....
haiittt....!” Puteri itu membuat gerakan silat dengan kaki tangannya,
seolah-olah dia mengamuk dan merobohkan para pengeroyoknya. Sikapnya lincah
dan lucu sehingga Ceng Ceng tertawa dan merangkul kakak angkatnya itu.
“Bagus! Begitulah seharusnya, enci. Kita
seperti sepasang burung yang terbang lepas di udara. Bebas dan kita boleh
berbuat apa saja menurut kehendak kita sendiri. Bukankah itu menyenangkan
sekali? Coba, kalau kita masih berada di istana, lalu enci ingin makan roti
kering dan air, ingin menginap di kamar yang begini bersahaja, tentu akan
dilarang oleh sri baginda!”
Kedua orang dara itu bercakap-cakap sambil
bersenda-gurau dan mereka sudah lupa lagi akan peristiwa siang tadi di hutan.
Tak lama kemudian dua orang dara itu telah tidur nyenyak saling berpelukan di
atas sebuah pembaringan dan membiarkan pembaringan ke dua kosong. Dengan
berdekatan di waktu tidur, mereka lebih besar hati dan aman!
Kurang lebih lewat tengah malam kedua orang
gadis itu terbangun karena kaget mendengar suara gaduh di atas kamar mereka.
Mula-mula Ceng Ceng yang terbangun lebih dulu dan otomatis dia meloncat turun
dari pembaringan. Pada saat itu Syanti Dewi juga terbangun dan puteri ini
berbisik, “Suara apa itu....?”
Ceng Ceng sudah menyambar bungkusan perhiasan
dan topi mereka yang tadi mereka taruh di atas meja, menyimpan bungkusan di
dalam saku bajunya yang lebar, menyerahkan topi caping yang sebuah kepada
puteri itu sambil berbisik, “Sstttt, ada orang bertempur di atas genting....“
Keduanya sudah siap dan mencurahkan
perhatiannya ke atas. Makin jelas kini suara orang bertanding di atas dan
menurut dugaan Ceng Ceng yang lebih tajam pendengarannya, sedikitnya ada lima
orang bertanding di atas genteng kamarnya. Dan mereka semua adalah orang-orang
yang berilmu tinggi karena biarpun mereka bergerak cepat, namun tidak ada kaki
yang memecahkan genteng yang diinjak. Yang terdengar hanya suara angin
menyambar-nyambar, angin senjata tajam dan kadang-kadang terdengar suara
nyaring beradunya senjata tajam.
Tiba-tiba di antara suara beradunya senjata
dan berdesingnya angin gerakan senjata tajam, terdengar suara seorang laki-laki
berpantun, suaranya nyaring dan seperti tidak ada artinya, namun bagi sepasang
gadis itu pantun yang dinyanyikan memiliki arti penting. Yang mengherankan
hati Ceng Ceng dan mendebarkan adalah suara itu, seperti suara yang telah
dikenalnya!
“Sepasang merpati terkurung
tiada jalan terbang lari, dihadang depan belakang
maut mengintai dari utara di
sepanjang lembah sungai!”
“Enci Syanti, mari kita cepat lari....!”
Puteri itu meragu. “Mengapa lari? Di luar....
bukankah lebih berbahaya? Kita berjaga di sini dan kalau ada bahaya baru kita
membela diri.”
“Sssttt.... kauturutlah aku, enci. Cepat!”
Ceng Ceng sudah menggandeng tangan puteri itu, menariknya keluar dari kamar
terus berlari melalui belakang rumah penginapan. Pintu belakang rumah
penginapan itu masih tertutup. Ceng Ceng membuka palang pintu, kemudian mereka
berdua meloncat ke dalam gelap, melalui pintu belakang dan terus lari tanpa
menoleh lagi.
“Kita lari ke mana, Candra?” puteri itu
bertanya, heran mengapa adik angkatnya ini tahpa ragu-ragu melarikan diri ke
arah tertentu.
“Enci, ingat kata-kata terakhir di setiap
baris pantun tadi. Lima kata-kata itu adalah
terkurung-lari-belakang-utara-sungai! Nah, yang berpantun itu adalah seorang
sahabat atau penolong yang menganjurkan kita lari karena kita telah terkurung
dan kita dianjurkan lari melalui pintu belakang, menuju ke utara dan kalau aku
tidak salah menduga, kita akan tiba di sebuah sungai.”
Syanti Dewi terkejut dan juga kagum akan
kecerdikan adik angkatnya, akan tetapi juga ingin sekali tahu siapa orang yang
berpantun dan yang menolong mereka itu.
“Dia siapa, adik Candra?” tanyanya sambil
terus berlari di samping adiknya.
“Entahlah, akan tetapi suaranya seperti....
heiii!” Tiba-tiba Ceng Ceng menghentikan larinya karena dia kini teringat akan
suara itu. “Tentu saja dia orangnya!”
“Apa katamu?” Syanti Dewi berusaha menyelidiki
muka Ceng Ceng di dalam gelap itu. “Dia siapa?”
“Penolong kita itu, yang berpantun tadi....
suaranya seperti si muka bopeng yang membikin ribut dengan ular-ular di Tai-cou
itu dan.... dan.... wah, tidak mungkin salah, tentu dia orang pandai yang
menolong kita.”
Tiba-tiba Ceng Ceng menarik tangan Syanti Dewi
dan dia sendiri sudah melepas topi capingnya, menggunakan benda itu untuk
menghantam ke kanan, ke arah bayangan yang berkelebat dan tadi dilihat
bayangan itu hendak menangkap Syanti Dewi.
“Prakkkk!”
Ceng Ceng terhuyung ke belakang dan caping di
tangannya itu hancur berantakan. Dara ini kaget bukan main. Dia menyerang
bayangan itu dengan caping biasa, akan tetapi dia sudah mengerahkan sin-kangnya
sehingga bagi lawan yang ilmunya tidak amat tinggi, serangannya itu sudah cukup
hebat dan dapat merobohkan orang. Akan tetapi, bayangan itu menangkis dengan
lengannya, akibatnya tidak hanya capingnya yang hancur, juga dia sampai
terhuyung saking kuatnya tenaga orang yang menangkisnya itu! Dia teringat akan
pesan kong-kongnya bahwa di pedalaman banyak sekali terdapat orang pandai maka
tanpa menanti orang tadi bergerak, dia sudah menerjang ke depan, menggunakan
sepasang pisau belati yang disimpan di sebelah dalam bajunya.
“Hyaaatttt....!” Dara perkasa ini mengeluarkan
pekik dahsyat, tubuhnya menerjang cepat dan sepasang pisaunya menyambar dari
kanan kiri, yang kanan mengarah lambung, yang kiri mengarah leher. Serangan
yang dahsyat dan lihai sekali, apalagi dilakukan dalam cuaca yang gelap!
“Plak-plak.... wuuuutttt....!”
Kembali Ceng Ceng tercengang dan kaget. Orang
itu telah dapat menangkis serangan dalam gelap, menangkis lengan kanan kiri
bahkan telapak tangan orang itu menyambar hendak mencengkeram ubun-ubun
kepalanya. Untung dia dapat mengelak cepat, kalau tidak, sekali kepalanya kena
dicengkeram oleh tangan yang dia tahu amat kuat itu, akan celakalah dia! Kini,
bayangan itu menerjangnya dengan kecepatan yang mengerikan.
Namun Ceng Ceng tidak menjadi gentar, dia
menggerakkan kedua tangannya yang memegang pisau, melindungi tubuhnya dan
sekaligus dia menggerakkan kepalanya sehingga kuncir rambutnya menyambar
seperti seekor ular hidup ke arah mata orang itu!
“Sing, sing.... plakk!” Ceng Ceng mengeluarkan
teriakan kaget karena selain sepasang pisaunya dapat dielakkan orang, juga
kuncirnya hampir saja dapat ditangkap kalau saja dia tidak dapat melepaskan
tendangan yang amat kuat dan membuat lawan itu terpaksa menarik kembali
tangannya yang akan menangkap kuncir. Akan tetapi tiba-tiba tubuh orang itu
mencelat ke depan dan sebelum Ceng Ceng dapat mencegahnya, bayangan itu sudah
menangkap Syanti Dewi! Puteri ini memekik dan berusaha memukul, akan tetapi
tingkat kepandaian puteri ini masih jauh sekali di bawah tingkat lawannya yang
amat lihai, maka sekali orang itu menggerakkan tangan, tubuh itu telah menjadi lemas
tertotok dan dia telah dipondong!
“Jahanam, lepaskan dia!” Ceng Ceng sudah
menerjang maju dengan lompatan dahsyat. Hatinya marah bukan main dan sedikitpun
dia tidak takut menghadapi lawan yang tangguh itu, yang dia khawatirkan adalah
Puteri Syanti Dewi, maka begitu menerjang maju dia telah menggunakan sepasang
pisaunya untuk menyerang dan berusaha merampas tubuh Syanti Dewi yang telah
dipondong orang itu. Akan tetapi, ternyata lawan gelap itu lihai bukan main,
gerakannya ringan sekali sehingga dia dapat mengelak dengan melompat ke kanan
kiri. Selain lawan memang lihai, juga Ceng Ceng merasa kurang leluasa
gerakannya karena dia takut kalau-kalau senjatanya mengenai tubuh enci
angkatnya. Kemudian dengan beberapa lompatan jauh, orang itu melarikan diri
meninggalkan Ceng Ceng.
“Iblis, hendak lari ke mana kau?” Ceng Ceng
tentu saja mengejar secepatnya. Namun dia kalah cepat dan hal ini terutama
sekali disebabkan karena Ceng Ceng belum hafal akan keadaan di situ sehingga
tentu saja dalam berlari cepat dia harus berhati-hati agar jangan sampai
terjatuh dan ketinggalan makin jauh lagi. Dia sudah mulai gelisah sekali karena
orang yang melarikan Syanti Dewi itu makin jauh meninggalkannya ketika
tiba-tiba orang itu berteriak dan roboh terguling! Tubuh Syanti Dewi yang
masih lemas tertotok, juga ikut terguling, akan tetapi ada tangan menyambarnya
dan tubuh itu seketika terbebas dari totokan. Syanti Dewi mengeluh dan cepat
menjauhkan diri sambil terhuyung-huyung dan berpegang kepada sebatang pohon.
Ketika Ceng Ceng tiba di tempat itu, orang yang melarikan Syanti Dewi tadi
telah lari, dikejar bayangan lain yang agaknya tadi merobohkan penculik itu dan
membebaskan totokan Syanti Dewi. Dalam sekejap mata saja dua bayangan yang
berkejaran itu telah lenyap dari situ.
“Engkau tidak apa-apa, enci?”
Syanti Dewi menggeleng kepalanya.
Ceng Ceng merasa gembira, cepat dia memegang
lengan puteri itu dan diajaknya terus lari ke utara, seperti yang dipesankan
dalam pantun oleh penolong mereka yang aneh. Siapakah penolong itu? Apakah yang
menolong Syanti Dewi dari tangan penculik itupun sama orangnya dengan yang
berpantun di atas kamar penginapan sambil bertanding, dan sama pula dengan si
muka bopeng yang melepas ular di pintu gerbang Tai-cou? Ceng Ceng merasa heran dan
bingung. Kalau benar orangnya hanya satu, tentu orang itu lihai bukan main. Dia
tahu betapa orang-orang yang bertanding di atas kamar penginapan itu memiliki
gin-kang yang amat tinggi, dan kalau penolongnya hanya seorang, berarti dia itu
dikeroyok! Tadipun dia mendapat kenyataan yang tak mungkin dibantah bahwa
penculik Syanti Dewi adalah orang lihai yang memiliki kepandaian lebih tinggi
daripada dia. Namun penolong itu dalam segebrakan saja mampu merampas Syanti
Dewi!
Selain itu, juga hatinya khawatir sekali.
Mudah saja diduga bahwa fihak musuh sudah mengenal penyamaran mereka, sudah
tahu bahwa yang menyamar sebagai gadis-gadis petani itu, yang seorang adalah
Syanti Dewi. Bahkan di dalam gelap, penculik tadi sudah dapat menentukan mana
yang harus diculiknya! Kalau begini, berbahayalah!
“Mari cepat, enci!” Dia berkata dan mereka
berlari secepatnya. Namun, betapapun mereka hendak bersicepat, tetap saja
mereka menabrak pohon! Apalagi ketika mereka tiba di sebuah hutan yang penuh
pohon. Mereka tidak dapat berlari lagi dengan baik, hanya meraba-raba dan
menyelinap di antara pohon-pohon, kadang-kadang hampir terguling karena kaki
mereka terjerat akar pohon atau semak-semak.
Dengan napas terengah-engah Syanti Dewi
mengeluh, “Aduuhhh.... kita berhenti dulu.... ah, lelah sekali....”
“Jangan, enci. Banyak musuh yang lihai....
mereka sudah mengenal engkau!”
Ucapan Ceng Ceng ini membuat sang puteri
terkejut sekali. “Be.... benarkah mereka telah mengenalku? Celaka.... hayo....
hayo lari cepat....” Kini Syanti Dewi yang lari lebih dulu, lari dengan nekat
karena takut! Dia merasa ngeri kalau sampai tertawan dan dibawa kepada Raja
Muda Tambolon.... ah, tidak berani dia membayangkan nasib seperti itu, maka dia
lari secepatnya.
“Enci.... hati-hati.... !” Kini Ceng Ceng yang
merasa khawatir melihat puteri itu lari cepat dengan nekat tanpa melihat-lihat
ke depan.
“Oughhhh....!” Tiba-tiba Syanti Dewi menjerit,
tubuhnya terguling masuk ke dalam jurang!
“Enci Syanti....!” Ceng Ceng menjerit dan
cepat menjatuhkan diri menelungkup, kemudian merangkak mendekati jurang yang
hanya kelihatan menghitam di dalam gelap. Dapat dibayangkan, betapa gelisah
hatinya. Sang puteri terjerumus ke dalam jurang yang gelap!
“Enci Syanti....!” Dia berteriak ke bawah, ke
arah sumur menghitam yang menganga di depannya. Sampai lama tidak ada jawaban
kecuali gema suaranya sendiri. Akan tetapi selagi dia hendak memanggil lagi,
terdengar suara lemah dari bawah, “Adik Candra....!”
Jantung Ceng Ceng berdebar girang, akan tetapi
bulu tengkuknya meremang juga. Terjerumus ke dalam jurang segelap itu,
benar-benarkah sang puteri masih hidup dan selamat? Jangan-jangan yang
memanggil tadi adalah.... arwahnya! Ceng Ceng menggunakan tangan kiri mengusap
tengkuknya yang meremang lalu menjulurkan tubuh atasnya ke dalam sambil
berteriak lagi, “Enci Syanti.... di mana engkau....?”
“Aku di sini....aku selamat, Candra. Untung
ada pohon di sini yang menahan tubuhku. Tidak jauh, aku dapat melihatmu dari
sini, mungkin kau tidak dapat melihat karena di bawah gelap. Lekas kau cari
tali tidak perlu panjang kurasa sepuluh kaki cukuplah.... aku dapat memanjat ke
atas melalui tali....”
Girang sekali rasa hati Ceng Ceng. Kini dia
dapat menangkap suara puteri itu dan memang tidak jauh di bawah. Sepuluh kaki? “Enci,
hanya sepuluh kaki, mengapa kau tidak meloncat saja?”
“Ah, tidak mungkin. Pohon ini kecil, kalau
dipakai landasan meloncat mungkin tidak kuat. Pula, begini gelap, bagaimana aku
dapat meloncat dengan tepat ke atas? Lekas cari tali....”
Ceng Ceng bingung lagi. Ke mana harus mencari
tali di dalam gelap seperti itu, apalagi di dalam hutan? Akhirnya dia mendapat
akal baik. Tanpa ragu-ragu lagi ditanggalkannya semua pakaiannya setelah dia
mengeluarkan perhiasan dan uang perak dan emas ke atas tanah. Ditanggalkannya
bajunya, celananya, baju dalam dan celana dalam. Seluruh pakaiannya
ditanggalkan sehingga dia menjadi telanjang bulat sama sekali! Kemudian, sambil
meraba-raba, dia sambung-sambungkan semua pakaian itu setelah digulungnya
sehingga merupakan gulungan kain yang bersambung-sambung, yang kemudian, dengan
tubuh telanjang bulat, dia bertiarap di tepi jurang, menggulung-gulungkan kain
itu sambil berteriak, “Enci Syanti.... ini talinya....!”
“Ke sini, Candra sebelah sini....!” Terdengar
jawaban dari bawah dan Ceng Ceng mengulur tali ke arah suara itu.
Tak lama kemudian tali menegang, telah dapat
terpegang oleh Syanti Dewi.
“Eh, dari mana kau memperoleh tali kain
ini....?”
“Naiklah, enci. Ujung sini sudah kupegang
erat. Hati-hati....“
Ceng Ceng mengerahkan tenaganya menahan ketika
Syanti Dewi mulai memanjat naik. Tak lama kemudian, puteri itu sudah meloncat
ke atas tanah. Dia menubruk Ceng Ceng dan keduanya saling berpelukan dan
menangis! Menangis karena girang dan bersyukur bahwa Syanti Dewi selamat dari
bahaya maut yang mengerikan itu.
“Heiii....! Kau.... kau.... telanjang
bulat....!” Tiba-tiba Syanti Dewi berseru kaget dan heran sambil meraba-raba
tubuh Ceng Ceng. Ceng Ceng menggeliat kegelian dan memegang tangan Syanti Dewi.
”Itulah tali yang memancingmu keluar jurang,
enci!”
Syanti Dewi tertawa, dan keduanya tertawa-tawa
gembira ketika Ceng Ceng mulai memakai lagi pakaiannya yang tadi telah
dipergunakan untuk menyelamatkan nyawa enci angkatnya. Kini dia merasa tubuhnya
panas dingin kalau membayangkan betapa akan jadinya kalau hal itu terjadi di
siang hari dan kebetulan ada orang melihat dia bertelanjang bulat seperti
seorang bayi tadi!
“Mari kita mencari tempat untuk beristirahat,
enci. Malam terlalu gelap. Melanjutkan perjalanan berbahaya sekali, apa lagi
kita sudah memasuki hutan di pegunungan. Masih untung Thian melindungimu
ketika kau terjerumus tadi. Kalau tidak ada pohon itu, apa jadinya?”
“Ahh, paling-paling mati, adikku! Dan agaknya
hal itu leblh baik daripada jatuh ke tangan Tambolon.”
“Jangan putus asa, enci. Aku akan melindungimu
dengan seluruh jiwa ragaku “
Mereka melanjutkan perjalanan, kini dengan
hati-hati sekali dan setelah mereka mendapatkan sebuah tempat yang dianggap
cukup menyenangkan, yaitu di bawah pohon yang diapit-apit oleh batu gunung yang
besar, keduanya berhenti dan duduk beristirahat di atas rumput, bersandar
kepada batu gunung. Mereka berusaha untuk melepaskan lelah dan beristirahat
secukupnya.
“Tidurlah, enci Syanti, biarlah aku menjaga di
sini.”
“Hemm, dinginnya bukan main. Mana bisa tidur?
Bagaimana kalau kita membuat api unggun?”
“Ah, berbahaya, enci. Api unggun akan menarik
perhatian orang, dan pula dapat kelihatan dari tempat jauh.”
Tubuh mereka memang dapat beristirahat, akan
tetapi hati mereka selalu tegang dan siap siaga menghadapi segala bahaya yang
mungkin datang menimpa. Malam itu gelap bukan main, agaknya bintang-bintang di
langit dihalangi awan hitam. Dalam keadaan segelap itu, di dalam hutan yang
asing, apalagi setelah mengalami hal-hal yang mengerikan, kedua orang dara itu
tentu saja merasa khawatir dan gelisah. Mereka duduk berhimpit bersandarkan
batu, mata mencoba menembus kegelapan malam dan memandang ke kanan kiri,
telinga mereka dicurahkan untuk mendengar apa yang tak dapat dilihat mata.
Mereka selalu merasa seolah-olah diikuti oleh sesuatu, entah manusia, binatang
atau setan! Bahkan ketika sedang duduk di tempat itu, mereka merasa ada mata
yang memandang mereka, ada sesuatu yang memperhatikan mereka! Dapat dibayangkan
betapa ngeri rasa hati mereka. Syanti Dewi adalah seorang puteri yang selama
hidupnya belum pernah melakukan perjalanan seorang diri seperti itu, apalagi
malam-malam berkeliaran di dalam hutan gelap! Adapun Ceng Ceng, biar dia
seorang dara perkasa yang sejak kecilnya digembleng oleh kakeknya, namun
perjalanan seperti inipun baru pertama kali dia alami bersama Syanti Dewi itu.
Mereka makin berhimpitan dan makin siap dengan
jantung berdebar tegang sekali ketika di dalam kegelapan malam pekat itu mereka
seperti mendengar suara-suara yang aneh. Beberapa kali mereka mendengar suara
gerengan dari tempat agak jauh, suara lolong anjing, dan lapat-lapat seperti
ada orang bernyanyi! Mula-mula suara aneh itu seperti lewat terbawa angin
lalu, akan tetapi kadang-kadang terdengar dekat sekali, bahkan mereka seperti
mendengar suara langkah kaki orang di sekeliling mereka!
Tentu saja semalam suntuk mereka tidak mampu
tidur sama sekali. Dengan tinju terkepal kedua orang dara itu duduk bersandar
batu, seluruh urat syarat mereka menegang karena mereka menduga bahwa
sewaktu-waktu tentu akan muncul musuh mereka. Mata dan telinga mereka siap
dengan penuh perhatian meneliti keadaan di depan, kanan dan kiri karena mereka
tidak mengkhawatirkan musuh akan datang menyerang mereka dari belakang yang
terlindung oleh batu gunung yang besar dan tinggi. Akan tetapi, tidak ada
sesuatu terjadi! Bahkan menjelang pagi, suara itu lenyap sama sekali.
Setelah sinar matahari pagi mulai mengusir
embun dan kegelapan, keduanya bangkit berdiri. “Hayo kita tinggalkan tempat
yang menyeramkan ini, enci Syanti,” kata Ceng Ceng, lega bahwa malam itu dapat
mereka lewatkan dengan selamat.
“Suara apakah semalam, Candra? Menyeramkan
sekali!”
“Entahlah, mungkin kita salah memilih tempat.
Mungkin di sini sebuah perkampungan siluman yang tentu saja tidak tampak.”
Syanti Dewi bergidik, memegang tangan adik
angkatnya dan bergegas mereka melanjutkan perjalanan menuju ke utara
meninggalkan tempat menyeramkan itu. Tubuh mereka terasa letih dan mengantuk,
akan tetapi hati lega karena mereka dapat meninggalkan tempat itu.
“Haiii.... banyak bangkai anjing di sini....!”
Tiba-tiba Ceng Ceng berseru heran ketika mereka keluar dari tempat itu dan
melihat belasan ekor anjing serigala telah menggeletak malang melintang dalam
keadaan mati, ada yang lehernya hampir putus, ada yang kepalanya pecah. Darah
yang masih belum kering betul menunjukkan bahwa gerombolan srigala ini dibunuh
orang semalam!
“Kalau begitu lolong anjing semalam bukanlah
suara siluman, melainkan suara mereka ini!” bisik Syanti Dewi sambil menengok
ke kanan kiri.
Juga Ceng Ceng menoleh ke kanan kiri, depan
belakang sambil memandang penuh selidik. “Heran sekali, siapa yang membunuh
mereka semalam? Aku mendengar suara orang, seperti orang bernyanyi....”
“Aku juga!” kata Syanti Dewi. Semalam ketika
mendengar suara-suara itu, keduanya diam saja karena merasa ngeri.
“Dan ada suara langkah-langkah kaki orang....”
“Benar, akupun mendengarnya.”
“Hemmm, kalau begitu, kita masih terus
dibayangi orang, enci.”
“Siapa dia gerangan?”
“Tidak perduli siapa, aku tidak takut!” Ceng
Ceng menjadi penasaran dan sudah mencabut sepasang pisau belatinya. Dengan
mengangkat dadanya yang mulai membusung itu dia berteriak, “Heiii, orang yang
membayangi kami, hayo keluar kalau memang engkau seorang gagah! Kalau ada niat
busuk, mari kita bertanding sampai seribu jurus!”
Akan tetapi dara itu seperti menantang angin
karena yang menjawabnya hanya bunyi angin berdesir mempermainkan ujung-ujung
ranting pohon. Setelah yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali
mereka berdua, dua orang dara itu melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi,
kembali mereka tertegun ketika melihat bangkai dua ekor harimau yang besar
juga. Seperti juga gerombolan srigala tadi, dua ekor harimau itu belum lama
dibunuh orang. Ketika Ceng Ceng memeriksa, diam-diam dia terkejut dan kagum
bukan main melihat bahwa dua ekor raja hutan itu mati dengan kepala berlubang
bekas tusukan jari tangan! Dapat dibayangkan betapa kuatnya orang itu, yang
membunuh dua ekor harimau itu hanya dengan jari tangan saja! Melihat kenyataan
ini, hatinya agak jerih juga dan dia tidak lagi mengulangi tantangannya di
dekat bangkai gerombolan srigala tadi, melainkan cepat mengajak Syanti Dewi melanjutkan
perjalanan ke utara.
Pada tengah hari, tibalah mereka di tepi
sebuah sungai! Girang hati mereka karena ternyata, nasehat penolong yang
berpantun itu ternyata cocok! Mereka tidak.mengenal daerah itu dan tidak tahu
sungai apakah itu, akan tetapi mereka tahu bahwa mereka sudah berada di daerah
yang aman. Mereka harus menyeberangi sungai itu dan melanjutkan perjalanan ke
utara. Akan tetapi, tempat ini sunyi sekali. Sungai itu mengalir tenang melalui
hutan-hutan dan pegunungan.
Sungai itu adalah Sungai Nu-kiang (Salween)
yang bermata air di Gunung Thangla, mengalir ke selatan memasuki Negara Birma.
Tanpa sepengetahuan mereka, dua dara itu telah tiba di kaki Pegunungan
Hengtoan-san. Tentu saja lembah Sungai Nu-kiang di pegunungan ini amat sunyi sehingga
sukarlah bagi mereka untuk mencari perahu agar dapat menyeberang. Tempat itu
jauh sekali dari perkampungan nelayan.
Akan tetapi, setelah mereka menyusuri sungai
sampai jauh, dari jauh nampak sebuah perahu kecil di pinggir sungai, sebuah
perahu kosong! “Di sana ada perahu, adik Candra!” Syanti Dewi berkata girang
sambil menuding ke depan. Ceng Ceng juga sudah melihatnya dan gadis ini
memegang tangan kakak angkatnya sambil berkata, “Enci Syanti, karena kita,
terutama engkau, adalah orang-orang pelarian yang dikejar-kejar musuh, maka
kurasa sebaiknya mulai saat ini engkau jangan menggunakan nama Syanti Dewi
sebelum kita selamat di kota raja Kerajaan Ceng.”
Syanti Dewi mengangguk-angguk. “Engkau benar,
adikku. Lalu nama apakah yang sebaiknya kupergunakan?”
“Bagaimana kalau namamu menjadi Sian Cu?
She-nya boleh memakai sheku, yaitu she Lu.”
“Lu Sian Cu? Nama yang bagus sekali!” Syanti
Dewi atau Sian Cu berkata girang.
“Dengan nama ini, kalau sekali waktu aku lupa
dan menyebutmu enci Syanti, biar disangka menyebutmu Sian-ci (kakak Sian). Dan
seperti engkau tahu, namaku adalah Lu Ceng. Kita berdua mengaku sebagai gadis
dari daerah perbatasan yang lari mengungsi ke timur.”
“Baiklah, adik.... Ceng. Ah, hampir aku
menyebutmu Candra yang bagiku terdengar lebih manis.”
“Nah, mari kita dekati perahu itu. Heran
sekali, ke mana tukang perahunya?” Mereka melangkah lagi mendekati perahu dan
setelah tiba di dekat tempat di mana perahu itu tertambat di tepi sungai,
tampak seorang laki-laki sedang tidur di atas tanah, berbantal batu yang
dilandasi kedua tangannya. Laki-laki itu tidur nyenyak, terdengar suara
dengkurnya yang keras.
Ceng Ceng dan Syanti Dewi atau lebih baik
disebut nama barunya yaitu Sian Cu, mendekati tukang perahu yang sedang tidur nyenyak
itu dan memandang penuh perhatian. Dia seorang laki-laki bertubuh sedang, cukup
tegap dan tampak kuat karena agaknya biasa bekerja berat, pakaiannya bersih
akan tetapi telah terhias beberapa tambalan di dekat lutut dan siku, pakaian
sederhana seorang petani atau nelayan, semodel dengan yang dipakai dua orang
gadis itu. Sukar ditaksir usia orang itu. Melihat bentuk mukanya, dia kelihatan
masih muda sekali, akan tetapi kumis dan jenggotnya yang hitam gemuk dan liar
tak terpelihara membuat muka itu kelihatan lebih tua. Model seorang nelayan
yang bodoh yang sederhana dan biasa hidup keras dan sukar!
Ceng Ceng menggunakan ujung bajunya yang
lebar untuk mengusap keringat dari dahi ke lehernya. Rambutnya agak awut-awutan
dan karena dia tidak memakai caping lagi, benda itu telah hancur ketika
dipakai melawan musuh yang lihai di malam hari yang lalu itu, mukanya yang
putih halus dan cerah itu agak coklat kemerahan oleh sinar matahari.
“Hei, tukang perahu....!” Ceng Ceng berseru
memanggil laki-laki yang sedang tidur nyenyak itu.
Si tukang perahu tetap tidur mendengkur,
sedikitpun tidak bergerak, juga dengkurnya tidak berubah, tanda bahwa teriakan
Ceng Ceng itu sama sekali tidak mengganggu tidurnya.
“Paman tukang perahu....!” Ceng Ceng berteriak
lebih nyaring lagi.
Kini suara mendekur itu berubah agak perlahan,
dan kumis liar di bawah hidung itu bergerak-gerak lucu, akan tetapi kumis itu
diam lagi dan dengkurnya kini menjadi bertambah keras! Ceng Ceng yang berwatak
keras itu mulai jengkel hatinya.
“Heii, tukang perahu yang malas!
Bangunlah....!” Dia berteriak nyaring dan mengomel, “Wah celaka, bertemu
seorang pemalas seperti kerbau!”
Tukang perahu itu menggerakkan kedua kakinya,
menarik kedua tangan dari bawah kepala, mulutnya komat-kamit akan tetapi kedua
matanya masih terpejam dan terdengar dia bicara dengan suara ngelindur.
“....aduhh.... siluman rase.... ahhh.... siluman ular....” Dan dia lalu
membalikkan tubuh, membelakangi dua orang dara itu, tidur mendengkur lagi
lebih keras.
Ceng Ceng membanting kaki kanannya, mukanya
merah dan matanya terbelalak marah. “Kurang ajar! Babi pemalas! Tidak bangun
malah memaki-maki orang!”
“Sabarlah, Ceng-moi. Dia tidak memaki, dia
sedang tidur dan tentu mimpi.”
“Biarpun mimpi, jelas dia memaki kita. Dia
menyebut siluman rase, siluman ular, bukankah itu memaki namanya? Di dongeng
manapun juga, siluman rase dan siluman ular selalu menjadi seorang wanita!”
“Tapi jelas dia tidak sengaja, dia sedang
tidur.”
“Kalau sengaja, tentu sudah kupatahkan semua
giginya!” Ceng Ceng berkata lagi, mendongkol sekali. Kakinya mencongkel tanah
pasir di depannya dan beterbanganlah pasir dan tanah mengenai kepala dan leher
tukang perahu itu. Tukang perahu itu terdengar mengeluh, kemudian tubuhnya
bergerak dan dia sudah terlentang lagi seperti tadi, kedua tangan ditaruh di
bawah kepalanya dan dia sudah tidur lagi mendengkur, hanya bedanya, kalau tadi
mulutnya tertutup, kini bibirnya terbuka sehingga tampak di bawah kumis liar
itu deretan giginya yang putih dan kuat, seolah-olah tukang perahu itu
menantang dan memperlihatkan giginya untuk dipatahkan oleh Ceng Ceng! Ceng
Ceng yang sedang marah itu makin gemas.
“Tukang perahu yang malas seperti kerbau dan
babi!” teriaknya lagi. “Hayo bangun, atau.... kulemparkan kau ke dalam sungai!”
Tukang perahu itu tetap tidur.
“Enci, mari kita pakai saja perahu itu!”
“Eh, jangan Ceng-moi. Tak baik mencuri barang
orang lain,” kata Sian Cu.
“Kalau begitu, biar kulempar mukanya dengan
batu supaya si pemalas itu bangun!”
“Sttt, jangan begitu, Ceng-moi. Kasihan dia,
lihat tidurnya begitu nyenyak, siapa tahu semalam dia tidak tidur! Orang yang
terlalu lelah, orang yang terlalu sedih, tentu dapat tidur seperti pingsan
saja. Pula, kita berdua tidak pandai mengemudikan perahu, tanpa dia, bagaimana
kita bisa menyeberang? Siapa tahu, dia bisa mengantarkan kita sampai ke kota
yang berdekatan. Tentu dia lebih mengenal daerah ini.”
Ceng Ceng menahan kemarahannya dan kembali dia
berteriak, “Tukang perahu malas dan tolol! Lekas bangun, kita hendak menyewa
perahumu!”
Kini tukang perahu itu menghentikan suara
dengkurnya dan sepasang matanya bergerak-gerak lalu kelopak matanya terbuka.
Dua orang dara itu kaget melihat sepasang mata yang bersinar tajam sekali, akan
tetapi tukang perahu itu mengejapkan matanya beberapa kali seperti belum sadar
benar.
“Paman, bangunlah. Kami hendak menyewa
perahumu itu!” kata Sian Cu sambil menuding ke arah perahu. Suaranya lunak dan
halus dan memang puteri ini memiliki watak yang jauh lebih halus daripada Ceng
Ceng yang keras hati dan jujur.
Tukang perahu itu mengeluh dan bangkit duduk,
menggosok-gosok matanya dan ketika dia menurunkan kedua tangan memandang dua
orang gadis itu, tiba-tiba dia melompat berdiri, matanya terbelalak, tubuhnya
menggigil dan dia menudingkan telunjuknya kepada Ceng Ceng dan Sian Cu sambil
berteriak ketakutan. “Siluman.... eh, siluman.... jangan ganggu aku....!”
“Monyet tua....!” Ceng Ceng sudah bergerak
hendak memukul, akan tetapi lengannya dipegang oleh Sian Cu yang tersenyum
melihat kemarahan Ceng Ceng. Dengan sabar dia menghadapi tukang perahu yang
masih ketakutan itu.
“Paman, tenanglah. Kami bukan siluman,
melainkan dua orang gadis yang ingin menyewa perahumu.”
Tukang perahu itu mengangkat kedua tangan di
depan dada dan mulutnya masih komat-kamit, terdengar suaranya. “Aduhhh....
selamat.... selamat.... selamat...., Tuhan masih melindungi aku....! Maafkan,
ji-wi kouwnio (kedua nona), tadinya aku mengira bahwa ji-wi adalah
siluman-siluman yang semalam kudengar suaranya yang amat mengerikan!
Hiiiihhh....!” Tukang perahu itu menggerakkan kedua pundaknya dan otomatis Ceng
Ceng dan Sian Cu juga bergidik, teringat akan pengalamannya semalam.
“Engkau mendengar apakah, paman?” Sian Cu
bertanya.
“Semalam.... hihhh, aku tak dapat tidur sama
sekali. Tadinya aku mengira bahwa aku akan mati dicekiknya, suara aneh-aneh
terdengar dari hutan itu, seolah-olah semua penghuninya, siluman dan iblis,
sedang berpesta pora. Huh, untung aku masih hidup, aku ingin tidur sampai
kenyang. Harap nona berdua jangan menggangguku.” Tukang perahu itu kembali
merebahkan diri, siap untuk melanjutkan tidurnya.
“Eh-eh.... jangan tidur lagi, engkau!” Ceng
Ceng membentak. “Kami ingin menyewa perahumu!”
Tukang perahu itu bangkit, akan tetapi tidak
berdiri, hanya duduk sambil memandang kepada Ceng Ceng. “Nona, melihat
pakaianmu, engkau tentu seorang gadis dusun biasa, akan tetapi sikapmu seperti
seorang puteri pembesar tinggi saja!”
“Cerewet kau! Siapa aku, tak perlu kau
pedulikan! Kami ingin menyewa perahumu, berapapun akan kami bayar!” Dia
mengeluarkan dua potong uang perak dari saku bajunya dan memperlihatkannya
kepada si tukang perahu, dengan keyakinan bahwa sinar perak yang berkilauan
itu tentu akan melenyapkan kantuk tukang perahu itu.
Akan tetapi, betapa menjengkelkan sikap tukang
perahu itu yang memandang tak acuh lalu berkata, “Aku tidak menyewakan
perahuku.” Dan dia sudah hendak merebahkan dirinya lagi.
“Paman, tolonglah kami. Kami ingin
menyeberang, tolong seberangkan kami dan kami akan membayar secukupnya
kepadamu.”
Tukang perahu itu memandang Sian Cu, lalu
melirik kepada Ceng Ceng yang masih mendelik marah. “Aku tidak menyewakan
perahuku, juga aku tidak butuh uang.”
“Kau manusia sombong....!” Ceng Ceng
berteriak, akan tetapi Sian Cu sudah memegang tangan dara itu dan berkatalah
dia dengan suara halus kepada si tukang perahu, “Paman tukang perahu, kalau
begitu, kami tidak menyewa perahumu, hanya minta tolong kepadamu. Aku percaya
bahwa paman tentu akan suka menolong dua orang gadis yang tidak berdaya. Kami
melarikan diri mengungsi dari daerah perang dan kami ingin melanjutkan
perjalanan menyeberang sungai.”
Suara yang halus dan sopan dari Sian Cu
membuat tukang perahu itu kelihatan sungkan juga. Dengan ogah-ogahan dia
bangkit berdiri, menggaruk-garuk kepalanya dan menguap beberapa kali, lalu
memandang ke arah seberang sungai. “Kalian hendak menyeberang? Mau ke mana
menyeberang?”
“Kami hendak melanjutkan perjalanan, akan
tetapi terhalang sungai ini, maka kami hendak menyeberang,” kata pula Sian Cu
mendahului Ceng Ceng yang kelihatannya sudah tidak sabar menyaksikan sikap si
tukang perahu.
“Menyeberang ke sana dan melanjutkan
perjalanan? Aihh, apakah kalian mencari mati?”
“Apa katamu?” Ceng Ceng sudah membentak lagi.
“Hemm, kau galak sekali, nona. Aku bilang
bahwa kalian menyeberang ke sana dan melanjutkan perjalanan mengungsi, berarti
kalian mencari mati. Di seberang sana hanya terdapat hutan-hutan yang liar dan
tak terbatas luasnya, gurun-gurun pasir yang tak bertepi, dan pegunungan yang
sukar sekali dilalui manusia selain penuh dengan binatang-binatang buas dan
siluman-siluman jahat! Dan kalian hendak menyeberang ke sana? Eh-eh....!” Dia
lalu memandang tajam kepada dua orang gadis itu, pandang mata penuh selidik.
“Benar-benarkah.... eh.... kalian ini manusia, bukan siluman-siluman?”
“Mulut busuk!” Ceng Ceng membentak marah,
tidak membiarkan Sian Cu mencegahnya lagi karena dia sudah marah bukan main.
“Kalau kami berdua siluman, maka engkau adalah siluman babi Ti Pat Kai!”
Tukang perahu itu melongo, kemudian tertawa.
“Ha-ha-ha, kau pandai juga membadut, nona! Masa yang begini dikatakan Ti Pat
Kai!” Ti Pat Kai adalah tokoh dalam cerita See-yu-ki, seorang siluman babi yang
terkenal, pelahap, dan mata keranjang!
“Paman, harap jangan main-main. Kami berdua
sudah melakukan perjalanan jauh yang amat melelahkan, bahkan semalam kami,
tidak tidur sebentarpun. Kami ingin melanjutkan perjalanan. Terus terang saja,
kami berniat pergi ke Kota Raja Kerajaan Ceng“
“Wahhhh....? Mimpikah aku? Ataukah benar-benar
kalian dua orang gadis dusun ini hendak pergi ke kota raja? Tahukah kalian
berapa jauhnya kota raja itu? Kalian harus melalui sedikitnya enam propinsi dan
ratusan kota! Mengapa kalian dua orang gadis dusun di perbatasan hendak pergi
ke tempat sejauh itu?”
“Kami berdua hanya ingin menyeberang, dan
engkau begini cerewet! Tukang perahu macam apa sih engkau ini?” Ceng Ceng sudah
membentak lagi. Akan tetapi Sian Cu segera berkata, tidak memberi kesempatan
kepada si tukang perahu untuk menanggapi kegalakan Ceng Ceng, “Kami mempunyai
seorang bibi di sana. Paman, kalau benar di seberang merupakan daerah yang
amat berbahaya dan sukar dilalui maka kami harap kau suka menolong kami dan
memberi tahu jalan mana yang harus kami tempuh agar kami dapat sampai ke kota
raja dengan selamat.”
Tukang perahu itu menggaruk-garuk belakang
telinganya. “Terus terang saja, aku sendiri belum pernah pergi ke kota raja.
Akan tetapi menurut keterangan yang kuperoleh, jalan satu-satunya ke kota raja hanya
menggunakan jalan air, menurutkan aliran Sungai Besar Yang-ce-kiang sampai ke
kota besar Wu-han, kemudian melalui jalan darat ke utara sampai Sungai Huang-ho
dan mengambil jalan air lagi menurutkan aliran Sungai Huang-ho ke timur sampai
ke kota besar Cin-an, baru menggunakan jalan darat ke utara menuju ke kota
raja. Akan tetapi letaknya amat jauh dan kiranya akan menggunakan waktu
berbulan!”
Ceng Ceng sudah mengerutkan alisnya. Turun
semangatnya mendengar keterangan yang membentangkan kesukaran perjalan itu,
akan tetapi Sian Cu berkata, “Terima kasih, paman. Kau baik sekali dan kami
akan menggunakan petunjuk itu untuk melanjutkan perjalanan. Lalu bagaimana
kita dapat mencapai Sungai Yang-ce-kiang?”
“Dari tempat ini dapat berperahu mengikuti aliran
sungai sampai ke dusun Kiu-teng, dari sana terdapat jalan menuju ke Sungai
Lan-cang (Mekong), menyeberangi Sungai Lan-cang dan melalui jalan darat ke
timur akan mencapai Sungai Yang-ce-kiang.”
“Ah, terima kasih. Kuharap paman sudi membawa
kami ke dusun Kiu-teng.”
“Hemmm....”
“Kami akan membayar sewanya, berapa saja yang
kau minta, paman.”
“Sikapmu halus dan baik sekali, nona. Siapakah
namamu?”
“Namaku Lu Sian Cu, paman,” jawab Sian Cu
sambil menunduk agar tidak tampak perubahan air mukanya.
“Baiklah, Sian Cu. Aku suka mengantarkan
engkau ke Kiu-teng yang jaraknya cukup jauh dari sini, memakan waktu hampir
sehari semalam. Akan tetapi dia itu siapa namanya?” Dia menuding kepada Ceng
Ceng. Tentu saja Ceng Ceng sudah marah memandang dengan mata mendelik, akan
tetapi dia didahului oleh Sian Cu.
“Dia adalah adikku, namanya Lu Ceng.”
“Aku hanya mau menyeberangkanmu ke Kiu-teng,
nona Sian Cu, bahkan tanpa membayar apapun. Akan tetapi dia itu, hemm.... Lu
Ceng terlalu galak dan sikapnya tidak menyenangkan, maka....”
“Cerewet! Kalau kau tidak mau akupun tidak
membutuhkan bantuanmu, manusia sombong! Kalau aku melemparmu ke dalam sungai
dan membawa perahumu, kau mau bisa apa?”
“Ceng-moi, jangan begitu....!” Sian Cu
membujuk adik angkatnya, kemudian berkata kepada si tukang perahu. “Paman, kau
maafkan adikku yang masih kekanak-kanakan. Kalau aku pergi, diapun harus ada di
sampingku. Harap kau suka memaafkan dan membawa kami berdua ke Kiu-teng.”
Tukang perahu itu bersungut-sungut. “Baiklah,
akan tetapi hanya dengan satu janji.”
“Janji apa?” Sian Cu bertanya dan Ceng Ceng
sudah siap, kalau si tukang perahu minta janji yang kurang ajar, tentu akan
dihantamnya dan dilemparkannya ke sungai!
“Bagimu engkau tidak usah melakukan sesuatu,
tidak usah membayar sesuatu. Akan tetapi nona Ceng ini, dia harus menurut
perintahku, dia harus membantuku kalau aku perlu bantuannya mendayung perahu
atau mengatur layar, dan diapun harus menanak nasi, air, atau memanggang ikan
untukku setiap kali kukehendaki.”
“Setan.... kau kira aku siapa....?”
“Adik Ceng, mengapa ribut-ribut? Bukankah
permintaannya itu sudah semestinya? Dia mau menolong kita, apakah sebaliknya
kita tidak mau menolong dia hanya dengan pekerjaan ringan seperti itu?”
Dengan menggigit bibir saking gemasnya, Ceng
Ceng berkata singkat. “Baiklah!”
Tukang perahu itu tertawa. “Nah, silahkan naik
ke perahu. Perahu ini kecil dan tentu saja kurang enak, jangan nanti kalian
menyalahkan aku.” Sambil berkata demikian, tukang perahu mengambil buntalannya
dan menaruhnya di kepala perahu agar ruangan tengah yang terlindung anyaman
bambu itu dapat dipakai oleh kedua orang gadis itu.
Mereka memasuki perahu dan meluncurlah perahu
itu ke tengah sungai didayung oleh si tukang perahu yang mulai dengan gayanya
yang terang-terangan hendak menghukum Ceng Ceng yang dianggapnya galak itu.
“Eh, nona Ceng, kau masaklah air, itu cereknya, itu batu api, teh di sana....
dan beras ada di ujung sana, masak nasi untuk kita bertiga. Aku akan memancing
ikan untuk lauknya.”
Ceng Ceng mendelik, akan tetapi jawilan jari
tangan Syanti Dewi membuat dia tidak membantah dan dengan bersungut-sungut dia
mengerjakan perintah tukang perahu itu. Awas saja kau, pikirnya geram. Nanti
kalau kami tidak membutuhkan lagi perahumu, akan kutampar mukamu dan kucabuti
kumis dan jenggotmu. Biarlah sekarang dia mengalah. Melakukan pekerjaan yang
diperintahkan seorang tukang perahu miskin yang kurang ajar. Sialan!
Akan tetapi tukang perahu itu pandai sekali
mengail. Sebentar saja dia telah mendapatkan dua ekor ikan yang sebesar betis.
Dia melontarkan ikan-ikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Bersihkan
ikan-ikan itu, beri bumbu. Garam dan lain-lain bumbu ada di poci sebelah kiri
itu, dekat kakimu, lalu panggang di atas arang membara. Awas, jangan sampai
api menyala, nanti hangus dan tidak enak!”
Lagakmu, Ceng Ceng memaki di dalam hatinya.
Kaukira aku tidak tahu caranya masak dan memanggang ikan? Akan tetapi karena
dia dan encinya membutuhkan perahu itu, bukan hanya perahu itu akan tetapi
tukang perahunya karena mereka berdua tidak tahu bagaimana caranya
mengemudikan perahu, dia menahan kemarahannya dan melakukan pekerjaan tanpa
banyak mengeluarkan suara.
Ceng Ceng adalah seorang dara yang sejak kecil
digembleng ilmu silat oleh kakeknya. Wataknya keras, pemberani dan di samping
ini, juga harus diakui bahwa dia terlalu dimanja oleh kong-kongnya. Selama dia
tinggal bersama kong-kongnya yang merupakan seorang guru terhormat, dia
diperlakukan dengan hormat oleh semua orang. Terutama sekali setelah dia
menjadi adik angkat Puteri Syanti Dewi, derajatnya naik dan dia makin dihormat.
Tidak pernah ada orang berani memandang rendah kepadanya, karena kedudukannya
dan juga karena orang maklum akan kelihaiannya. Akan tetapi sekarang, dia bukan
saja dipandang rendah, bahkan diperintah oleh si tukang perahu seperti seorang
pelayan saja layaknya!
Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan
mengkal rasa hatinya sehingga ketika mereka bertiga makan, hanya si tukang
perahu dan Sian Cu yang dapat menikmatinya sedangkan Ceng Ceng tidak dapat
menikmati makanan itu karena hatinya mendongkol sekali. Sikap tukang perahu itu
benar-benar menggemaskan hatinya. Setiap gerak-geriknya seolah-olah
mengejeknya, setiap kata-katanya seolah-olah menyindirnya! Mulut yang
cengar-cengir itu, dengan kumis yang bergerak-gerak, seperti selalu
mentertawakan padanya! Bedebah benar!
Akan tetapi, melihat sikap Sian Cu yang selalu
bersabar, Ceng Ceng dapat menahan kemarahannya dan ditambah oleh kelelahan
tubuhnya karena malam tadi sama sekali tidak tidur, malam hari itu dia dapat
tidur nyenyak bersama Sian Cu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, suara
tukang perahu itu sudah berteriak-teriak membangunkan mereka.
“Nona Ceng, bangun! Sudah siang!” teriaknya.
Suaranya nyaring dan bukan hanya Ceng Ceng yang bangun, juga Sian Cu.
“Siapa bilang sudah siang?” Ceng Ceng
bersungut-sungut ketika melihat bahwa hari masih pagi sekali, sungguhpun malam
memang telah lewat dan sinar matahari mulai mengusir kegelapan.
“Hanya seorang pemalas saja yang mengatakan
bahwa sekarang belum siang!” kata tukang perahu. “Aku jelas bukan pemalas
karena biasanya pada waktu seperti ini aku sudah bangun tidur dan memasak air
dan bubur untuk sarapan pagi.”
Ceng Ceng hendak membantah, akan tetapi Sian
Cu berbisik, “Kemarin kau memaki dia malas.” Teringat akan itu, Ceng Ceng diam
saja dan mengerjakan apa yang diperintahkan tukang perahu itu.
Tiba-tiba tukang perahu berkata, “Harap kalian
tenang, ada kesukaran di depan!”
Dengan kaget Ceng Ceng dan Sian Cu melihat
bahwa di sebelah depan tampak dua buah perahu hitam yang ditumpangi
masing-masing oleh lima orang, di antara mereka tampak dua orang tosu tua yang
bersikap keren!
“Siapa mereka? Mau apa?” Ceng Ceng bertanya
lirih.
“Stttt.... harap kalian diam dan serahkan
saja kepadaku menghadapi mereka.” Tukang perahu menjawab dan ketenangan
sikapnya membuat dua orang dara itu menjadi heran. Andaikata mereka itu adalah
bajak-bajak sungai yang banyak mereka dengar, sungguhpun hal itu menyangsikan karena
di antara mereka terdapat dua orang tosu maka sikap tukang perahu itu terlampau
tenang! Sepantasnya, tukang perahu itu tentu akan menjadi panik dan ketakutan
tidak bersikap seolah-olah penuh keyakinan dia akan dapat mengatasi keadaan.
Ceng Ceng memberi tanda dengan kedipan mata
kepada Sian Cu, dan puteri ini yang mengerti bahwa dialah yang mungkin menjadi
incaran musuh, segera menyembunyikan diri ke dalam perahu. Sedangkan dia
melirik penuh perhatian dan kewaspadaan. Hatinya berdebar tegang melihat betapa
dua buah perahu itu dipalangkan di tengah sungai, agaknya sengaja menghadang
perahu yang ditungganginya.
“Haii, tukang perahu!” Terdengar suara
bentakan dari dua buah perahu itu. “Hendak ke mana?”
“Kami hendak ke Kiu-teng!” Terdengar jawaban
tukang perahu yang ramah dan tetap gembira.
“Bersama siapa? Membawa apa?” Kembali
terdengar pertanyaan yang keren dan berwibawa itu, dan ternyata yang bertanya
adalah seorang di antara dua orang tosu yang duduk di dalam perahu pertama.
Tukang perahu itu menoleh ke arah Ceng Ceng
yang sedang memasak bubur, lalu berkata, “Bersama isteriku! Kami tidak membawa
apa-apa, hendak mencari ikan dan menjualnya ke Kiu-teng!”
Hampir saja Ceng Ceng meloncat dan
memaki-maki! Dia diaku sebagai isteri si tukang perahu jahanam itu! Akan tetapi
ketika dia menoleh dan sudah siap untuk meloncat, dia melihat Sian Cu memberi
isyarat kepadanya dengan jari tangan di depan mulut menyuruhnya diam, bahkan
Sian Cu lalu menyelimuti dirinya dengan tikar yang berada di dalam perahu. Tentu
kakak angkatnya itu hendak menolong si tukang perahu yang sudah menyatakan
bahwa tukang perahu itu hanya bersama dengan isterinya!
Ketika Ceng Ceng menengok lagi, tentu saja
wajahnya nampak oleh orang-orang di dalam kedua perahu itu, dan terdengarlah
suara ketawa lalu seorang di antara mereka yang bermata lebar berseru sambil
tertawa, “Haiiiii, isterimu cantik sekali, tukang perahu! Boleh aku
menyewanya?”
“Perahuku tidak disewakan!”
“Heh, tolol! Bukan perahumu, akan tetapi
isterimu yang kusewa! Berapa sewanya semalam?” Terdengar suara ketawa dari
kedua perahu itu. Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan hati Ceng Ceng, akan
tetapi melihat bahwa kakak angkatnya sudah bersembunyi, dia tidak tega
mengganggu, diapun ingin sekali mendengar apa yang menjadi jawaban tukang
perahu gila itu.
“Hemm, berapa kau berani bayar, kawan?”
Benar gila! Ceng Ceng mengepal tinju dan sudah
siap untuk menghajar mereka semua. Kedua telinganya mengeluarkan bunyi
mengiang-ngiang saking marahnya.
“Ha-ha-ha! Nah, kau terima uang panjarnya
dulu, dan kalau kau menolak, ini tambahnya!” Dari dalam sebuah di antara dua
perahu itu melayang benda ke dalam perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan
ternyata sekantung kecil uang tembaga dan sebatang toya baja yang dilontarkan
ke depan kaki tukang perahu itu. Ceng Ceng melirik dengan sudut matanya. Jelas
bahwa orang-orang kasar itu memberi uang dan disertai ancaman karena toya itu
berarti ancaman kalau permintaan itu ditolak. Si tukang perahu mengambil
kantung, membuka untuk melihat isinya yang hanya uang tembaga, juga dia
memegang toya dan melihatlihat benda itu seperti hendak menimbang-nimbang.
Kemudian dia berkata, “Wah, penawarannya masih jauh berkurang, sobat! Bagaimana
kalau ditambah nyawamu?” Dia lalu melontarkan kembali kantung uang dan toya.
Ceng Ceng terkejut. Betapa beraninya si tukang
perahu! Dan dia melihat betapa semua orang di kedua perahu itu merubung dan
melihat toya dan kantung uang, seolah-olah ada sesuatu yang aneh pada kedua
benda itu. Terdengar teriakan lirih dari rombongan itu, “Si Jari Maut!”
Makin heran lagi hati Ceng Ceng ketika dia
melihat dua orang tosu itu bangkit berdiri di perahu mereka dan seorang di
antara keduanya menjura dengan membentuk tanda jari-jari tangan depan dada
sambil berkata. “Harap sudi memaafkan kelakar anak buah kami dan persilakan
lewat disertai salam persahabatan kami!”
Si tukang perahu hanya tersenyum, lalu
menggunakan dayungnya untuk meluncurkan perahunya lewat di antara kedua perahu
yang telah minggir itu, melempar senyum mengejek ke arah mereka, kemudian
berkata ke dalam perahu, “Nona Sian Cu, keluarlah, tidak ada bahaya lagi
sekarang.”
Ceng Ceng membanting panci terisi bubur panas.
Dia meloncat bangun dan menudingkan telunjuknya kepada si tukang perahu.
“Keparat, mulutmu busuk sekali! Berani kau mengatakan aku sebagai isterimu?
Phuah, tak tahu diri, tukang perahu jembel busuk!”
Si tukang perahu mengangkat hidungnya. “Hemm,
gadis dusun yang galak! Andaikata benar kau adalah isteriku, maka engkaulah
yang untung dan aku yang rugi benar!”
“Jahanam....!” Ceng Ceng tidak dapat menahan
kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang untuk menampar pipi orang itu. Biar
kurontokkan giginya, pikirnya dengan marah.
“Wuuuttttt....!” Tamparan yang dilakukan
dengan cepat sekali dan disertai tenaga sin-kang yang kuat itu hanya mengenai
angin. Terkejutlah Ceng Ceng karena tidak disangkanya sama sekali bahwa tukang
perahu itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya, dapat mengelak dari
tamparannya. Padahal tamparan itu dilakukan secara tidak terduga dan cepat
sekali sehingga jaranglah ada yang dapat mengelakkan begitu mudah! Dia menjadi
penasaran sekali dan menerjang lagi, kini tidak lagi menampar, melainkan
memukul secara bertubi-tubi dengan kedua tangannya!
“Wuuut-wuuut-wuuut-wuuutt....!” Semua
pukulannya adalah jurus-jurus pilihan dan disertai tenaga sin-kang yang amat
kuat, namun semuanya dapat dielakkan secara mudah oleh si tukang perahu!
“Ceng-moi, jangan....!” Sian Cu berseru.
“Biar!” Ceng Ceng membantah marah. “Dia kurang
ajar, harus kupukul manusia jahanam ini!”
“Eh-eh-eh, beginikah engkau membalas budi
orang?” Tukang perahu itu tersenyum sambil mengejek. “Ditolong balasnya
memukul? Ini namanya diberi air susu dibalas dengan air tuba! Benar-benar
gadis galak yang tidak mengenal budi!”
“Setan sungai kau!” Ceng Ceng kini menubruk
maju, kakinya menendang dan tangannya menyusul dengan tusukan jari tangannya ke
arah perut tukang perahu.
“Wuuutttt.... dukkk!” Tubuh Ceng Ceng
terhuyung ketika orang itu terpaksa menangkis tusukan tangannya. Namun hal itu
membuat Ceng Ceng makin marah dan dia menerjang lagi.
“Adik Ceng, jangan....!”
“Biarlah, enci. Dia kurang ajar sekali. Dia
tentu manusia busuk!” Dia meloncat dan mengirim pukulan yang amat berbahaya
karena dia telah menggunakan jurus pilihan dari ilmu silat kong-kongnya.
Pukulan itu bersiut datang ke arah lambung
tukang perahu, akan tetapi tiba-tiba tubuh tukang perahu bergerak dan ternyata
dia telah meloncati lewat bilik perahu ke bagian belakang perahu!
“Mau lari ke mana kau!” Ceng Ceng mengejar,
juga meloncati bilik itu dan dari atas dia sudah mencengkeram dengan kedua
tangannya. Namun si tukang perahu itu dengan tersenyum-senyum menyelinap ke
bawah, menerobos melalui bilik perahu, dikejar dan memutari tiang layar sambil
tertawa-tawa. Sementara itu, semua pukulan dan tendangan yang dilakukan oleh
Ceng Ceng dengan kemarahan meluap-luap itu sama sekali tidak ada hasilnya!
“Ceng-moi.... tahan dulu....!” Sian Cu
memegang tangan Ceng Ceng dan berusaha menahan gadis yang marah itu mengamuk.
“Enci, apakah kau tadi tidak mendengar
omongan busuknya? Kalau aku tidak dapat memukul pecah mulutnya, aku tidak akan
puas!” Dia menarik lengannya secara tiba-tiba sehingga pegangan Sian Cu
terlepas dan kembali dia menendang sambil meloncat. Tendangan terbang yang
berbahaya sekali, mengarah tenggorokan si tukang perahu.
“Heiiittt.... tendangan hebat!” Si tukang
perahu mengelak sambil memuji dengan suara mengejek.
“Mampuslah....!” Ceng Ceng membalikkan
tubuhnya ketika tendangannya tidak mengenai sasaran, sambil membalik tubuhnya
maju dan tangannya yang dikepal menghantam dada.
“Eiiiiihhhh.... hebat, wahhh luput! Sayang
sekali....!” Kembali si tukang perahu mengejek dan berhasil mengelak. Dapat
dibayangkan betapa jengkel hati Ceng Ceng. Perahu bergerak-gerak miring dan
dia sudah menyerang bertubi-tubi, namun tidak berhasil sama sekali. Biarpun
kini dia maklum bahwa tukang perahu itu ternyata lihai, namun kemarahannya
membuat dia tidak mengenal takut dan hatinya tidak akan terasa puas sebelum dia
berhasil merobohkan orang yang dibencinya itu.
“Adik Ceng.... ahhh, jangan! Lihat, perahu
sudah miring.... kita bisa celaka....!”
Memang benar teriakan Sian Cu ini.
Gerakan-gerakan dua orang yang berkejar-kejaran seperti tikus dengan kucing ini
membuat perahu kehilangan arah dan miring-miring.
“Ha-ha-ha, biarkanlah, nona Sian Cu. Kalau
perahu terbalik, baru nona galak itu tahu rasa. Kau jangan khawatir, tentu akan
kutolong, tapi dia.... biar kembung perutnya terisi penuh air, ha-ha-ha!”
“Jahanam busuk....!” Ceng Ceng hampir menangis
dan kini dia mengeluarkan sepasang belatinya. “Engkau harus mampus di
tanganku!”
“Adik Ceng....!”
Ceng Ceng yang sudah “mata gelap” saking
marahnya itu menyerang dengan dahsyat, tidak peduli akan perahu yang miring.
Melihat datangnya dua sinar terang yang menyambarnya, tukang perahu secara
tiba-tiba merendahkan tubuh berjongkok dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa kedua
tangannya lemas karena secara lihai dan tak tersangka sama sekali, dari bawah menyambar
jari-jari tangan tukang perahu itu memapaki gerakan tangannya dan pergelangan
tangannya telah ditotok sehingga tangannya yang lumpuh tak mampu lagi
memegang sepasang belatinya dan dengan gerakan kilat, sepasang senjatanya itu
telah dibuang ke dalam sungai oleh si tukang perahu. Sambil tertawa tukang
perahu itu meloncat lagi melewati bilik dan berada di ujung perahu yang lain
sambil menyeringai lebar.
“Heh-heh, kau boleh terjun keluar mengejar
pisau-pisau dapur itu!”
Kemarahan yang memuncak membuat Ceng Ceng
tidak sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian yang
amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan
tetapi dia jengkel sekali, merasa terhina dan ingin dia menangis dan
menjerit-jerit! Dia telah dibikin malu, dihina, dibuat tidak berdaya dan
sepasang senjatanya dibuang begitu saja ke dalam sungai!
Tiba-tiba timbul akalnya untuk membalas
dendam! Dia menubruk ke depan, disambarnya dayung, dua batang dayung dari
perahu itu, bukan dipergunakan untuk senjata, melainkan dayung yang dua buah
itu dilemparnya jauh-jauh keluar dari perahu, ke tengah sungai! Disambarnya
tali layar, direnggutnya sampai putus dan dibuangnya pula, lalu dirobeknya
layar.
“Heiii.... jangan....! Wah-wah-wah, celaka....
kau benar-benar liar!” Tukang perahu berteriak-teriak, mengangkat kedua
tangannya untuk mencegah dan kelihatan bingung sekali. Melihat ini, terobatlah
hati Ceng Ceng yang panas dan sakit, akan tetapi dia belum puas. Dia melihat
buntalan si tukang perahu, maka cepat buntalan itu disambarnya pula.
“Jangan itu....!” Tukang perahu berteriak dan
meloncat dengan kecepatan seperti burung terbang, melewati bilik dan tangannya
diulur untuk merampas buntalan. Akan tetapi sambil tersenyum mengejek Ceng Ceng
sudah melemparkan buntalan itu sampai jauh ke tengah sungai.
“Byuurrr....!”
“Wah, celaka....!” Tukang perahu berteriak dan
diapun meloncat ke dalam air mengejar buntalannya yang dibuang. “Byuurr....!”
Air muncrat ke atas dan tukang perahu lenyap, menyelam untuk mengejar buntalan
yang sudah tenggelam. Tubuh tukang perahu terseret air yang mengalir cepat.
Ceng Ceng melongo, mukanya agak pucat. Melihat
tukang perahu itu lenyap ditelan air, dia kaget dan merasa khawatir sekali.
Kekhawatiran yang menimbulkan penyesalan. Jangan-jangan tukang perahu itu akan
mati terseret arus yang kencang, pikirnya. Buntalan itu tentu amat penting
baginya. Mungkin segala harta milik tukang perahu yang miskin itu berada di
dalam buntalan, maka tentu saja dia mati-matian mempertahankan miliknya dan
jangan-jangan dia mengorbankan nyawa dalam mengejar buntalan.
“Ceng-moi.... celaka.... perahunya hanyut dan
miring....!” Terdengar jerit Sian Cu. Ceng Ceng tersadar dan dia mendekati
encinya. Segera diapun menjadi bingung. Perahu terseret dan terbawa arus yang
kuat sekali dan karena perahu itu kehilangan kemudi, maka dipermainkan air
oleng ke kanan kiri. Ditambah lagi kepanikan mereka yang berdiri di perahu,
menjaga keseimbangan badan ketika perahu oleng, malah menambah miring perahu.
Kedua orang dara itu menjadi makin bingung!
“Bagaimana, Ceng-moi? Bagaimana kita harus
menahan perahu? Mana dayungnya?” Sian Cu menjerit-jerit ngeri karena dia tidak
pandai renang.
“Dayungnya....?” Ceng Ceng terkejut. Dayung,
tali layar, semua telah dibuangnya, bahkan layarnya telah dirobek-robeknya!
Dia tidak mampu menjawab, dan tidak tahu harus berbuat apa, untuk menyelamatkan
perahu dan mereka berdua. Karena tidak dapat melakukan sesuatu, Ceng Ceng
hanya merangkul dan melindungi Sian Cu dengan lengannya sambil berpegang
erat-erat pada tihang layar yang terbuat dari bambu itu.
“Jangan bergerak-gerak, enci. Tenang saja agar
perahu hanyut dengan tenang!”
Kedua orang dara itu tak bergerak dan benar
saja, perahu itu tidak lagi miring-miring, akan tetapi setengahnya telah
terendam air dan kini hanyut dengan kecepatan yang mengerikan. Untung bahwa
bagian sungai itu tidak dalam dan tidak ada batu-batu menonjol sehingga perahu
mereka dapat hanyut terus, tidak menabrak batu yang tentu akan membuat perahu
tenggelam. Karena menghadapi bahaya maut yang mengerikan ini, kedua orang dara
itu sudah lupa lagi kepada tukang perahu yang tadi meloncat ke air. Perahu
hanyut dengan cepat dan memasuki sebuah dusun yang besar dan ramai. Di tempat
ini banyak sekali perahu berada di sungai dan begitu perahu yang ditumpangi
Ceng Ceng dan Sian Cu datang dengan cepatnya, gegerlah para nelayan di situ.
Perahu-perahu yang berada di tengah dan sedang didayung seenaknya cepat-cepat
didayung minggir.
“Minggir....! Perahu hanyut....!”
“Celaka...! Krakkkk....!”
“Braaakkkk! Krakkkk....!”
Teriakan-teriakan terdengar dan dua buah
perahu yang tidak keburu minggir telah ditabrak oleh perahu yang hanyut itu
sehingga terguling dan tenggelam, berikut perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan
Sian Cu!
“Ceng-moi....!” Terdengar Sian Cu menjerit
sebelum tubuhnya tenggelam.
“Enci Syanti!” Ceng Ceng juga menjerit dan
dara itu biarpun belum pernah belajar berenang, namun dia telah mendengar
bagaimana caranya berenang. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dan
menendang-nendangkan kakinya sehingga tubuhnya tidak tenggelam, akan tetapi
karena gerakannya ngawur, tubuhnya segera terseret oleh arus deras.
Orang-orang di situ masih panik dan bingung
karena peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, maka
tidak ada yang melihat gadis yang hanyut terbawa air yang kencang itu. Mereka
yang tadinya duduk di dalam perahu yang pertama tertabrak, sebanyak lima orang,
sudah berenang dan berusaha membalikkan perahu mereka. Adapun perahu kedua yang
tenggelam, tidak tampak timbul kembali, juga penumpangnya, seorang laki-Iaki
setengah tua, tidak kelihatan muncul di permukaan air.
Tiba-tiba terdengar banyak orang
berteriak-teriak keheranan. Siapa tidak akan menjadi keheranan dan kagum sekali
ketika melihat perahu kedua yang tenggelam tadi, tiba-tiba saja muncul dan
perahu itu seperti bersayap, tahu-tahu telah “terbang” di atas permukaan air
dan terus mendarat! Di atas perahu itu seorang laki-laki setengah tua yang
berpakaian basah kuyup memegang dayung panjang di tangan kanan dan mengempit
tubuh Syanti Dewi di tangan kiri, berdiri dan mengatur keseimbangan perahu yang
meluncur itu dengan tubuhnya. Setelah perahu itu mendarat di atas pasir,
setelah tadi “terbang” melalui beberapa buah perahu lainnya, laki-laki itu
meloncat dari perahu, terus berjalan pergi dengan cepat sambil memondong Syanti
Dewi atau Sian Cu yang masih pingsan!
Tentu saja semua orang terheran-heran,
apalagi setelah mereka berusaha mengejar, laki-laki itu telah lenyap tanpa
meninggalkan bekas. Ramailah orang membicarakan orang yang aneh itu. Dari
keterangan beberapa orang yang mengenal laki-laki aneh itu, ternyata bahwa
laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun itu baru dua bulan lebih tiba
di Kiu-teng, yaitu dusun di mana terjadi peristiwa hebat dan aneh itu tadi.
Laki-laki itu seringkali duduk di dalam perahu, termenung, kadang-kadang
mengangkut barang dagangan menyeberang atau ke tempat lain yang tidak begitu
jauh. Orang itu pendiam, jarang sekali bicara akan tetapi karena pandang
matanya dan tutur bahasanya yang jarang itu selalu manis budi, semua orang suka
kepadanya. Dalam menerima biaya pengangkutan, orang itupun tidak cerewet
sehingga mulai memperoleh banyak langganan. Anehnya, mereka yang mengenal orang
itu, mereka sering kali melihat orang itu mengajak anak-anak kecil untuk
bermain-main, mengajar mereka berenang, bernyanyi dan bermain-main. Lebih
mengherankan lagi, orang itu hampir selalu menghabiskan uang hasil
pekerjaannya untuk menyenangkan hati anak kecil itu, bahkan beberapa kali dia
membelikan pakaian untuk anak-anak yang miskin.
“Siapa namanya?” tanya seorang.
“Dia tentu seorang pendekar sakti yang
menyamar!”
“Mungkin dia seorang dewa! Kalau manusia, mana
mampu menerbangkan perahu?”
Orang yang mengenal laki-laki aneh itu
menggelengkan kepalanya. “Itulah anehnya. Dia tidak pernah mau mengaku siapa
namanya, hanya mengatakan bahwa dia she Gak, sehingga akupun hanya menyebutnya
Gak-twako (kakak Gak). Anehnya, sikapnya biasa dan sederhana saja. Siapa tahu
ternyata dia adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu!” Orang itu
menggeleng-gelengkan kepalanya penuh takjub.
Bagi yang mengenal laki-laki setengah tua itu
tentu tidak akan heran menyaksikan kesaktiannya, karena orang itu bukan lain
adalah Gak Bun Beng. Para pembaca ceritaSEPASANG PEDANG IBLIS tentu
tidak akan pernah melupakan nama ini! Pada waktu itu, di dalam ceritaSEPASANG
PEDANG IBLIS , Gak Bun Beng masih muda, seorang pemuda yang memiliki
kesaktian yang luar biasa karena pemuda ini telah banyak mewarisi ilmu silat
yang tinggi sekali, selain ketika masih kanak-kanak dia menjadi murid seorang
tokoh sakti Siauw-lim-pai, ketika menjelang dewasa dia secara kebetulan
mewarisi ilmu kesaktian peninggalan seorang manusia dewa yang bernama Koai
Lojin. Bukan itu saja, bahkan pernah dia menerima warisan ilmu dari kakek sakti
Bu-tek Siauw-jin datuk Pulau Neraka, dan pernah pula menerima pendidikan
sin-kang dari Pendekar Super Sakti! Di waktu dia masih muda saja dia telah
memiliki kesaktian-kesaktian luar biasa itu, di antaranya adalah ilmu Lo-thian
Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit), Tenaga Sakti Inti Bumi dari Bu-tek
Siauw-jin, gabungan tenaga sin-kang Swat-im-sin-kang dan Hui-yang-sin-kang dari
Pendekar Super Sakti, di samping ilmu silat-ilmu silat lain yang kesemuanya
bertingkat tinggi!
Hanya sayang pemuda yang tampan dan gagah
perkasa itu malang nasibnya sehingga banyak mengalami kesengsaraan (baca
cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), bahkan pertalian cinta kasihnya dengan
Milana, puteri sulung Pendekar Super Sakti, telah gagal dan putus.... Pada
akhir ceritaSEPASANG PEDANG IBLIS , pemuda Gak Bun Beng yang mengunjungi
Pulau Es, berpamit dari Pendekar Super Sakti, berpisah dari bekas kekasihnya,
Milana, dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Semenjak itu, sampai belasan tahun,
tidak pernah terdengar namanya di dunia kang-ouw.
Gak Bun Beng menganggap bahwa nasib hidupnya
itu sudah sewajarnya. Kalau dia melihat keadaan riwayatnya, dia bahkan
menganggap dirinya masih beruntung karena tidak sampai terjerumus menjadi
seorang penjahat. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang amat jahat, yang
bernama Gak Liat dan dia sendiri dilahirkan di dunia karena kejahatan ayahnya
yang memperkosa seorang pendekar wanita Siauw-lim-pai! Dia seorang anak haram,
keturunan seorang ayah yang jahat seperti iblis! Mengingat itu semua, Gak Bun
Beng tidak pernah menyesali nasibnya dan dia malah menyembunyikan diri, hidup
di antara rakyat miskin sederhana, merantau ke pelbagai tempat dan diam-diam
tentu saja memperdalam ilmu-ilmunya. Akhirnya, kurang lebih dua bulan yang
lalu, dia tiba di dusun Kiu-teng itu dan hidup sebagai seorang tukang perahu
yang sederhana. Di tempat inipun, seperti di lain-lain tempat, dia tidak pernah
memperkenalkan namanya kecuali hanya she-nya sehingga oleh tukang perahu lain
yang mengenalnya dia hanya dikenal sebagai Gak-twako, seorang tukang perahu
yang hidup sederhana dan pendiam, penyayang kanak-kanak.
Ketika pada hari itu Gak Bun Beng sedang
melamun sambil duduk menanti pesanan orang yang akan menyewa perahunya,
tiba-tiba perahunya menjadi korban tabrakan perahu yang hanyut itu sehingga
terguling dan tenggelam. Bun Beng tidak memperdulikan dirinya sendiri,
pertama-tama yang menarik perhatiannya adalah teriakan-teriakan dua orang gadis
yang ikut tenggelam bersama perahu yang hanyut itu. Ketika dia mendengar
seorang di antara dua orang gadis itu menyebut nama “enci Syanti”, dia menjadi
heran sekali. Nama itu terang bukan nama gadis Han! Tentu saja Bun Beng
bermaksud menolong mereka, akan tetapi dia bukanlah seorang yang amat ahli
dalam ilmu renang, maka dia hanya dapat menolong gadis terdekat. Setelah dia
dapat meraih gadis yang pingsan itu dan mulai tenggelam lagi, Bun Beng
menggunakan kepandaiannya menyelamatkan perahunya. Dengan kekuatan yang
dahsyat dia menggunakan dayungnya sebagai alat menekan sehingga perahunya
meluncur ke atas sedemikian kuatnya sehingga melampaui perahu lain dan dapat
mendarat di atas pasir. Karena keadaan yang memaksanya itu, tanpa sengaja dia
mengeluarkan kepandaiannya dan barulah dia teringat akan hal ini setelah
perahunya mendarat. Dia menyesali kelengahannya dan terpaksa dia harus
meninggalkan perahunya dari tempat itu karena kalau tidak, berarti dia membuka
rahasianya yang selama belasan tahun ini disimpannya rapat-rapat. Hanya satu
hal membuat dia kecewa, yaitu dia tidak dapat menolong gadis kedua yang telah
hanyut terbawa arus air yang amat kuat. Dia tahu bahwa mengejarnya tidak akan
ada gunanya dan gadis itu tentu tewas, kecuali kalau ada pertolongan yang tak
tersangka-sangka.
Bun Beng membawa Syanti Dewi ke dalam kuil tua
yang kosong di tengah hutan, di sebelah timur dusun Kiu-teng dan di lembah
Sungai Nu-kiang, merebahkan tubuh yang pingsan itu di atas lantai, kemudian
mengeluarkan air dalam perut dara itu, mengurut beberapa jalan darah sampai
dara itu mengeluh dan siuman.
“Ahhhhh....!” Syanti Dewi mengeluh dan
bergerak, lalu membuka kedua matanya. Bun Beng memandang wajah itu dan di
sudut hatinya terharu. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah gadis asing
yang memiliki kecantikan khas agak mirip dengan Milana, bekas kekasihnya yang
memiliki darah Mancu bangsawan, karena Milana adalah cucu Kaisar Mancu!
Ketika Syanti Dewi mendapat kenyataan bahwa
dia rebah di dalam kamar tua dari tembok yang sudah retak-retak, di atas lantai
yang kotor, kemudian melihat seorang laki-laki berusia kurang dari empat puluh
tahun berjongkok tidak jauh darinya, dia terkejut dan cepat bangkit duduk.
Kenyataan pertama bahwa pakaiannya basah kuyup, maka teringatlah dia akan
peristiwa yang mengerikan itu ketika perahu yang hanyut itu tenggelam membawa
dia dan Ceng Ceng tenggelam pula.
“Di.... di mana aku? Siapakah paman....?”
Biarpun ucapannya itu dikeluarkan dalam
keadaan bingung dan terkejut, namun jelas terdengar kehalusan budi bahasa gadis
itu.
“Tenanglah, nona. Engkau telah dapat terbebas
dari bahaya tenggelam di sungai dan aku adalah seorang tukang perahu yang
kebetulan melihat engkau tenggelam bersama perahu hanyut itu.” Kata Bun Beng
dengan suara halus menghibur.
Tiba-tiba sepasang mata dara itu terbelalak
dan dia bertanya, “Bagaimana dengan Ceng-moi? Di mana Ceng-moi....?”
“Engkau maksudkan gadis kedua yang turut
terguling dan tenggelam dengan perahu hanyut itu?” Bun Beng bertanya.
“Benar.... kami berdua di perahu itu....
bagaimana dengan Ceng-moi? Di mana dia....? Ceng-moi....!” Syanti Dewi menjerit
dan memanggil nama adik angkatnya, penuh kekhawatiran.
Bun Beng menggeleng kepalanya dan menghela
napas. “Menyesal sekali bahwa tenagaku terbatas, aku hanya berhasil
menyelamatkanmu, nona. Adapun nona kedua itu.... aku melihat sendiri dia
terseret dan hanyut oleh arus sungai yang amat deras dan kuat....”
Makin terbelalak sepasang mata itu, dan muka
Syanti Dewi menjadi pucat sekali. “Paman....! Kau.... maksudkan.... dia....
Ceng-moi....?”
Bun Beng mengangguk. “Kalau tidak terjadi hal
yang luar biasa, aku khawatir sekali bahwa dia akan tewas. Air itu deras sekali
dan amat dalam.”
“Ceng-moi....!” Syanti Dewi menjerit lalu
menangis sesenggukan, menutupi muka dengan kedua tangannya. Bun Beng memandang
dengan alis berkerut, akan tetapi dia diam saja karena maklum bahwa pada saat
seperti itu, hanya tangis yang merupakan obat terbaik bagi dara ini.
“Ceng-moi.... aihhh.... Candra adikku,
bagaimana aku dapat hidup tanpa kau? Bagaimana aku berani melanjutkan
perjalanan tanpa engkau....? Adik Candra.... tega benar engkau meninggalkan
aku.... hu-hu-huhhhh, lalu aku bagaimana....?”
Mendengar wanita muda itu menyebut gadis kedua
dengan nama Ceng-moi dan juga adik Candra, Bun Beng merasa heran. Akan tetapi
kerut di alisnya mendalam dan tiba-tiba dia berkata, suaranya penuh nada
teguran, “Nona, tak kusangka bahwa hatimu kejam dan engkau mementingkan dirimu
sendiri saja!”
Mendengar teguran aneh ini, tentu saja Syanti
Dewi terkejut dan merasa heran sehingga sejenak dia lupa akan tangisnya,
mengangkat muka yang pucat dan basah dengan mata merah, memandang tukang
perahu itu sambil bertanya dengan suara tergagap, “Paman.... apa.... apa
maksudnya....? Aku kejam...., terhadap siapa....?”
“Terhadap siapa lagi kalau bukan terhadap
adikmu itu?”
“Paman!” Syanti Dewi bertanya dengan suara
keras karena penasaran. “Apa maksudmu dengan kata-kata itu? Aku kejam terhadap
adik Ceng Ceng?”
Bun Beng menarik napas panjang. “Ahhh, aku
sampai lupa bahwa engkaupun hanya seorang gadis yang tentu saja takkan berbeda
dengan seluruh manusia di dusun ini, hidupnya penuh dengan keakuan yang selalu
mementingkan diri sendiri. Akan tetapi, coba engkau sadarilah, nona. Engkau
menangis dan berduka ini, terus terang saja, yang engkau tangisi dan dukakan
ini karena adikmu itu mungkin mati, ataukah engkau menangis dan berduka karena
engkau ditinggalkan oleh dia yang kausandari? Engkau menangisi dia ataukah
engkau menangisi dirimu sendiri?”
Syanti Dewi terkejut bukan main! Ucapan itu
terdengar olehnya seperti halilintar menyambar di tengah hari terik, dan
memasuki hatinya seperti setetes air dingin sekali di waktu panas. Sejenak dia
melongo dan tercengang, hanya memandang orang itu tanpa dapat berkata-kata, dan
otomatis tangisnya pun berhenti!
Bun Beng lalu membuat api unggun tanpa
berkata-kata, lalu keluar dari dalam kamar kuil tua dan berkata dari luar
kamar, “Sekarang yang terpenting menjaga jangan sampai engkau jatuh sakit.
Tanggalkan semua pakaianmu dan lemparkan keluar agar dapat kujemur sampai
kering. Sementara menanti pakaian kering, kau duduklah dekat api unggun. Dan
engkau tidak perlu khawatir, nona. Di tempat ini tidak orang lain kecuali kita
berdua, dan aku akan menjaga di luar kuil.”
Teguran atas tangisnya tadi masih menghunjam
di ulu hatinya, masih berkesan dalam sekali di hatinya, maka seperti dalam
mimpi, dengan mata masih tertuju ke arah pintu dari mana laki-laki itu keluar,
tanpa ragu-ragu Syanti Dewi menanggalkan semua pakaiannya satu demi satu lalu
menggulung semua pakaian itu dan melempar keluar pintu. Hanya tampak sebagian
lengan tangan menyambar gulungan pakaian itu, lalu lenyap. Syanti Dewi duduk
mendekati api unggun, menutupi dadanya dengan rambutnya yang dilepas
kuncirnya. Dia termenung, terheran-heran memikirkan laki-laki aneh yang
ucapannya menusuk hatinya dengan tepat sekali, membuat tangisnya terhenti
seketika karena dia kini malu sendiri kalau harus menangis, karena tak dapat
dibantahnya bahwa tangisnya tadi terutama sekali karena merasa khawatir dan
iba kepada dirinya sendiri, bukan kepada Ceng Ceng! Dia menangis karena
ditinggalkan. Karena DIA yang ditinggalkan, karena DIA kehilangan kawan baik,
karena DIA kini menghadapi masa depan di istana kerajaan asing seorang diri
saja! Kini dia termenung dan merasa heran tiada habisnya karena sedikit ucapan
itu menggugah kesadarannya, membuat dia melihat kepalsuan dalam liku-liku
kehidupan manusia. Apakah semua tangis yang dikucurkan, semua perkabungan jika
ada kematian kesemuanya itu seperti tangisnya tadi juga, semua itu palsu,
belaka dan yang menangis itu sesungguhnya hanya menangisi dirinya sendiri
saja, bukan menangis demi yang mati?
Bun Beng memeras pakaian gadis itu sampai
hampir kering sehingga dijemur sebentar saja pakaian itu sudah kering betul.
Pakaian itu digulungnya dan dari luar kamar kuil itu dia berkata, “Nona,
pakaianmu sudah kering semua. Terimalah dan segera pakai kembali pakaianmu!”
Gulungan pakaian itu dia lemparkan ke dalam dan kembali hanya sebagian
lengannya saja yang tampak.
Syanti Dewi merasa bersyukur dan berterima
kasih sekali. Cepat dia mengenakan kembali pakaiannya. Di dalam hatinya dia
bersyukur kepada Thian bahwa setelah kehilangan Ceng Ceng, kini dia bertemu
dengan orang yang demikian baik budinya, seorang laki-laki yang bukan hanya
telah menyelamatkan nyawanya, akan tetapi juga yang secara aneh telah
menyadarkan batinnya dan kini bersikap demikian sopan kepadanya!
“Aku sudah berpakaian, paman. Harap suka masuk
agar kita dapat bicara,” katanya.
Bun Beng melangkah masuk dan kembali mereka
duduk di atas lantai, saling berhadapan. Tanpa malu-malu Syanti Dewi kini
menatap laki-laki itu dan terkejutlah dia karena baru sekarang tampak olehnya
bahwa orang yang berada di depannya jelas bukanlah seorang tukang perahu
biasa! Sinar mata laki-laki itu demikian tajam dan berwibawa, namun mengandung
kehalusan pandang mata yang penuh kasih sayang dan iba hati. Wajah itu tampan
dan kulitnya halus, kumis dan jenggotnya terpelihara, seluruh tubuhnya
membayangkan perawatan dan kebersihan, bahkan kuku-kuku jari tangannya pun
terawat seperti tangan seorang sastrawan, pakaiannya sederhana namun bersih
pula. Bukan seorang tukang perahu biasa, agaknya seorang sastrawan yang menyamar
sebagai rakyat jelata! Di lain fihak, Bun Beng yang memperhatikan wajah gadis
itu, juga dapat menduga bahwa gadis ini selain asing karena nama dan bentuk
mukanya, juga tentu seorang gadis terpelajar tinggi.
“Nona siapakah?” Bun Beng bertanya
singkat.
“Namaku Lu Sian Cu. Boleh aku mengetahui
namamu, paman?”
“Sebut saja aku paman Gak. Akan tetapi kuharap
engkau tidak merahasiakan namamu karena aku telah mendengar gadis kedua itu
meneriakkan namamu, yaitu Syanti.”
Syanti Dewi tercengang dan maklum bahwa tiada
gunanya untuk membohong kepada orang yang jelas beriktikad baik terhadap
dirinya itu. “Memang Lu Sian Cu adalah nama baruku, paman. Nama yang kupakai
dalam perjalanan bersama adikku itu. Nama aseliku adalah Syanti Dewi....” Dara
itu berhenti untuk melihat reaksi pada wajah laki-laki itu. Namanya adalah nama
puteri Kerajaan Bhutan, tentu laki-laki itu akan menjadi terkejut
mendengarnya. Akan tetapi, tidak ada reaksi apa-apa pada wajah laki-laki itu,
dan memang Bun Beng tidak pernah mendengar nama ini, bahkan dia selama belasan
tahun tidak mau mencampuri urusan dunia, tidak pula memperhatikan segala
peristiwa yang terjadi mengenai pemerintah dan kerajaan manapun juga!
“Engkau dari suku bangsa apakah, nona?”
Kini tahulah Syanti Dewi bahwa laki-laki ini
memang tidak mengenal namanya sama sekali! Hal ini mengherankan hatinya,
karena daerah ini belum jauh dari Bhutan. Memang namanya yang tidak dikenal
orang, ataukah laki-laki ini yang bodoh?
“Aku berbangsa Bhutan....!”
“Ah.... dan engkau bersama adikmu datang dari
Bhutan berdua saja? Hendak ke manakah dan mengapa kalian hanya pergi berdua?
Kuharap kau suka menceritakan semua kepadaku agar aku menjadi jelas ke mana aku
selanjutnya harus mengantarmu.”
Bukan main girang dan lega rasa hati Syanti
Dewi. Benar-benar dia telah ditemukan oleh Thian dengan orang ini yang demikian
baik hati! Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada Bun
Beng, yang dibalas oleh laki-laki itu dengan semestinya.
“Paman, aku menghaturkan banyak terima kasih
atas pertolonganmu, dan lebih banyak terima kasih lagi bahwa paman akan sudi
melanjutkan pertolongan paman itu untuk mengantar aku sampai ke tempat tujuan.
Akan tetapi, hal itu berarti bahwa aku akan membuat paman repot sekali!”
“Ah, tidak ada kerepotan apa-apa, nona. Dan
akupun bukan menolong. Sudah sewajarnyalah kalau aku menolong seorang gadis
muda yang kini hanya melakukan perjalanan seorang diri saja.”
“Tapi perjalananku amat jauh, paman.”
“Hemm, sejauh manakah?”
“Sampai ke kota raja Kerajaan Ceng.”
“Hehhh....?” Bun Beng menjadi kaget, juga sama
sekali tidak menyangkanya bahwa gadis ini berniat pergi ke kota raja! Akan
tetapi dia menduga bahwa tentu ada urusan yang luar biasa pentingnya, maka
segera dia berkata, “Memang jauh sekali ke sana, akan tetapi kalau memang
perlu, aku bersedia mengantarmu ke sana, nona.”
Kebaikan yang dianggapnya berlebihan ini
membuat Syanti Dewi meragu. “Akan tetapi, paman.... kabarnya perjalanan ke sana
menghabiskan waktu berbulan, bagaimana paman dapat meninggalkan keluarga
paman....?”
Bun Beng tersenyum dan Syanti Dewi makin
kagum. Laki-laki ini tampan dan gagah, juga giginya yang tampak sekilat itu
terawat baik, tidak seperti gigi sebagian besar tukang perahu atau orang-orang
dusun yang dijumpainya.
“Jangan khawatir, nona. Aku hidup seorang diri
di dunia ini, tiada handai taulan, tiada sanak keluarga, tiada rumah tangga.
Akan tetapi, karena perjalanan itu jauh sekali, maka aku tadi mengatakan bahwa
kalau perlu, baru aku bersedia mengantarmu. Maka harus dilihat keperluannya
dulu. Kalau saja engkau mau menceritakan semua riwayatmu kepadaku, mengapa
engkau hendak ke kota raja, dan bagaimana engkau dan adikmu itu sampai terbawa
perahu hanyut. Kalau kuanggap memang sepatutnya engkau ke kota raja, tentu akan
kuantar.”
Kembali sang puteri menatap wajah Bun Beng
sampai beberapa lama, seolah-olah hendak menyelidiki keadaan hati orang itu,
kemudian berkata, “Paman Gak, terus terang saja kukatakan bahwa riwayatku
merupakan rahasia besar yang menyangkut negara, bahkan menyangkut juga mati
hidupku. Sekali aku keliru menceritakannya kepada orang yang tidak dapat
dipercaya, celakalah aku.”
“Aku tidak perlu membujuk agar engkau
mempercayaiku, nona. Hanya, untuk mengantarmu ke tempat yang demikian jauhnya, aku
harus memperoleh kepastian dulu akan alasannya.”
“Aku sudah percaya kepadamu, paman Gak. Kalau
engkau bukan orang yang dapat dipercaya, agaknya aku telah mati atau mungkin
bernasib lebih buruk lagi. Baiklah, aku akan menceritakan semua keadaanku. Pertama-tama,
aku adalah Puteri Syanti Dewi, puteri dari Raja Bhutan.” Puteri itu berhenti,
hendak melihat reaksi wajah orang itu. Namun, tidak ada reaksi apa-apa,
seolah-olah orang she Gak itu menganggap seorang puteri raja sama saja dengan
seorang gadis dusun anak petani atau nelayan! Hal ini sedikit banyak
mendatangkan kekecewaan di dalam hati Syanti Dewi, dan dia cepat melanjutkan,
“Dan aku adalah calon mantu Kaisar Ceng!”
Akan tetapi, Bun Beng tidak kelihatan kaget,
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang tajam, seolah-olah hendak
menjenguk isi hati dara itu. Syanti Dewi menghela napas. Dia kecele kalau ingin
melihat wajah orang itu berubah kaget. Agaknya urusan yang menyangkut nama
segala raja di raja tidak menggetarkan sedikitpun juga di hati orang itu.
“Rombongan utusan kaisar telah menjemputku di
Bhutan, Gak-siok-siok (paman Gak) dan dalam rombongan yang dikawal oleh lima
ratus orang pasukan Bhutan itu aku ditemani oleh Ceng-moi.”
“Adikmu yang bernama Candra itu?”
“Dia hanya adik angkat, nama aselinya adalah
Lu Ceng, dan nama barunya Candra Dewi, jadi keadaannya berbalik dengan diriku.
Dia seorang gadis Han yang memiliki ilmu silat yang lihai sekali.”
Bun Beng mengangguk-angguk, hatinya senang
juga mendengar seorang puteri raja mau mengangkat saudara dengan seorang gadis
biasa, hal yang membuktikan bahwa puteri yang ditolongnya ini adalah seorang
wanita yang berbudi baik!
SyantiDewi lalu menceritakan semua
pengalamannya, semenjak berangkat dari istana Bhutan sampai mereka diserbu
pasukan musuh yang amat besar jumlahnya. Diceritakannya betapa dia bersama
Ceng Ceng, dikawal oleh kakek gadis itu, terpaksa menyamar dan melarikan diri
karena gelagatnya tidak baik, betapa kakek itu tewas dalam membelanya dan
kemudian dia bersama adik angkatnya itu melarikan diri berdua, mengalami segala
kesengsaraan sampai akhirnya terbawa perahu yang hanyut, dan dia tertolong oleh
paman Gak itu.
“Demikianlah, paman. Sungguh tidak saya sangka
bahwa kalau demikian buruk nasib Ceng-moi. Kasihan sekali dia.... demi
keselamatanku, dia dan kakeknya sampai mengorbankan nyawa.”
“Hemm, kita belum yakin benar bahwa nona Ceng
itu akan tewas. Akan tetapi, tukang perahu yang membawa kalian itu, sungguh
menarik dia. Benarkah dia itu memiliki kepandaian yang hebat?”
“Dia lihai sekali. Hal ini baru kami ketahui
setelah adik Ceng marah-marah dan menyerangnya. Ternyata dia memiliki
kepandaian yang lebih daripada kepandaian Ceng-moi yang sudah amat lihai itu.
Dan baru saya dapat menduga bahwa para pencegat dalam dua buah perahu itu
tentulah jerih terhadap dia, entah mengapa, bahkan ada yang membisikkan nama
julukan Si Jari Maut.”
Bun Beng mengangguk-angguk. Tak disangkanya
bahwa dia akan bertemu dengan urusan sebesar ini! Yang ditolongnya adalah
puteri Raja Bhutan, calon mantu kaisar! Dan ternyata di derah barat terjadi
pemberontakan yang besar pula. Dia tidak ingin terseret ke dalam urusan apapun
juga, akan tetapi setelah secara kebetulan dia menolong puteri ini, tak mungkin
pula dia membiarkannya saja pergi seorang diri yang tentu merupakan hal yang
amat berbahaya sekali.
“Ketika engkau masih bersama nona Ceng, ke
manakah tujuan kalian melarikan diri?”
“Kami hanya mentaati pesan kakek dari
Ceng-moi, yaitu disuruh melarikan diri ke kota raja Kerajaan Ceng dan menemui
seorang puteri kaisar di sana.”
“Puteri kaisar?” Bun Beng memandang dengan
jantung berdebar tegang.
“Ya, namanya Puteri Milana....”
Bun Beng menelan seruan kagetnya, akan tetapi
dia tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang menjadi merah. Perubahan pada
wajah ini tampak pula oleh Syanti Dewi yang cepat bertanya, “Ada apakah,
paman?”
“Tidak ada apa-apa,” jawab Bun Beng yang
segera bangkit berdiri dan termenung sejenak. Kemudian dia berkata, “Sebelum
kita berangkat ke kota raja yang jauh itu, mari kita mencoba untuk mencari
adikmu itu. Siapa tahu dia dapat menyelamatkan diri....”
Keduanya lalu menyusuri Sungai Nu-kiang, akan
tetapi sampai puluhan li jauhnya, mereka tidak melihat ada tanda-tanda bahwa
Ceng Ceng mendarat, akan tetapi juga tidak ada melihat mayat gadis itu.
Akhirnya, terpaksa Bun Beng mengajak dara itu menghentikan usaha mereka mencari
Ceng Ceng dan mulailah dia mengantarkan dara itu ke kota raja, sebuah
perjalanan yang amat jauh sekali dan akan memakan waktu berbulan!
***
“Kau tidak boleh melakukan hal seperti itu,
Bu-te! Engkau bisa disangka hendak berbuat kurang patut!”
Mendengar teguran kakaknya itu, Kian Bu
tersenyum lebar, “Ahhh, Lee-ko. Perduli apa dengan persangkaan kosong? Buktinya
yang penting, dan engkau tentu tahu betul bahwa aku sama sekali tidak ingin
melalukan sesuatu yang kurang patut! Aku hanya ingin berkenalan dan mendapat
kesempatan bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik. Apa salahnya itu?”
Mau tidak mau Kian Lee tertawa. Memang adiknya
ini bengal sekali dan bagi yang tidak mengenalnya betul, tentu perbuatannya
akan dianggap sebagai perbuatan kurang ajar dan melanggar susila. Seminggu yang
lalu, adiknya itu sudah mempraktekkan kebengalannya. Ketika melihat sebuah joli
digotong angin nakal menyingkapkan tirai memperlihatkan bahwa yang berada di
dalam joli itu duduk seorang gadis cantik, tanpa ragu-ragu sama sekali Kian Bu
mengejar joli, membuka tirai dan berseru girang, “Haiii, nona Liem....! Engkau
hendak ke manakah?”
Tentu saja empat orang penggotong joli mengira
bahwa pemuda tampan itu memang kenalan atau anggauta keluarga si nona cantik
yang mereka gotong, dan baru mereka tahu bukan demikian halnya ketika terdengar
nona itu menjawab dengan nada heran dan marah, “Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!”
“Eh, eh, Liem-siocia. Masa lupa lagi kepadaku?
Aku Suma....”
“Aku tidak kenal orang she Suma. Dan aku bukan
she Liem, aku she Kiem!” nona itu membentak pula, sedangkan tukang joli
terpaksa berhenti dan memberi kesempatan kepada muda-mudi itu untuk
bercakap-cakap.
Suma Kian Bu pura-pura kaget. “Aihh.... maaf,
maafkanlah aku, Kiem-siocia. Kau mirip benar dengan Liem-siocia yang....
cantik. Kalau begitu perkenalkanlah, aku.... Suma Kian Bu....”
“Tukang joli, hayo jalan terus!” Nona itu
berkata marah dan menutupkan tirai joli.
Ketika joli itu sudah berjalan jauh, Suma Kian
Bu hanya tertawa-tawa mendengarkan teguran kakaknya. “Salah-salah kau bisa
disangka jai-hwa-cat, penjahat tukang perkosa wanita!” Suma Kian Lee mengakhiri
tegurannya.
Sekarang baru sepekan kemudian, sudah kumat
pula penyakit Suma Kian Bu dan pemuda ini menyatakan hendak “belajar kenal”
dengan seorang puteri yang naik joli. Melihat betapa joli itu tertutup rapat
tanda bahwa penumpangnya adalah seorang wanita muda yang tidak mau
memperlihatkan diri, Kian Lee mencegah adiknya.
“Biarlah, kalau begitu besok pagi aku akan
mencegat dia di depan kelenteng,” kata Kian Bu. “Aku penasaran kalau belum
melihatnya. Menurut kata pemilik warung dekat kelenteng, sudah beberapa hari
ini nona itu setiap pagi pergi ke kelenteng dan kabarnya cantik sekali.”
“Huh, mata keranjang kau!” Kian Lee berkata.
“Biarlah besok kau keluar sendiri, aku tidak sudi melihat kau berbuat ceriwis
terhadap wanita!”
Seperti telah diceritakan di bagian depan, kakak
beradik dari Pulau Es ini mulai dengan perantauan mereka. Dengan perahu mereka
meninggalkan Pulau Es dan berkat petunjuk peta yang dibuat oleh Pendekar Super
Sakti, ayah mereka, kali ini tanpa banyak kesulitan mereka dapat mencapai
daratan besar. Mereka lalu mulai melakukan perjalanan yang amat jauh itu,
menuju ke kota raja untuk menemui kakak mereka, yaltu Puteri Milana. Akan
tetapi karena baru kali itu mereka merantau, mereka tidak tergesa-gesa dan di
setiap tempat yang menyenangkan hati, mereka berhenti sampai dua tiga hari.
Bekal mereka cukup banyak sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal uang
untuk beaya makan dan penginapan.
Tidak dapat terlalu disalahkan kalau dua orang
pemuda itu, terpesona menyaksikan tamasya alam yang amat indah, yang tidak
dapat mereka lihat di Pulau Es, melihat kota-kota besar dan dusun-dusun yang
ramai, apalagi terpesona melihat gadis-gadis cantik yang selama hidup belum
pernah mereka lihat. Hanya bedanya, kalau Kian Lee tetap bersikap tenang-tenang
saja, adalah Kian Bu yang seperti cacing kepanasan dan setiap kali bertemu
gadis cantik, ingin sekali dia berkenalan! Dorongan hasrat yang wajar saja,
sama sekali tidak terkandung nafsu berahi atau keinginan yang tidak patut!
Mereka terpaksa bermalam satu malam lagi di
rumah penginapan di kota itu karena Kian Bu rewel tidak mau melanjutkan
perjalanannya sebelum sempat “berkenalan” dengan nona dalam joli yang setiap
pagi pergi ke kelenteng, dengan menggunakan “siasatnya” yang hanya dapat
diciptakan otak seorang pemuda yang memang memiliki watak urakan (ugal-ugalan)
tapi tidak kurang ajar.
Besoknya, pagi-pagi sekali Kian Bu sudah
menanti di tepi jalan, dekat kelenteng, dia meninggalkan kakaknya yang masih
tidur di atas pembaringan dalam kamar pembaringan. Jantungnya berdebar tegang
dan sebentar-sebentar dia tersenyum membayangkan betapa dia akan dapat
berhadapan dengan gadis cantik dalam joli dan dapat bercakap-cakap! Siapa tahu,
kalau awak sedang untung, dia akan mendapatkan tanggapan baik dan akan dapat
bersahabat, sungguhpun dia hanya ingin melihat kata-kata ramah dan senyum manis
ditujukan kepadanya, lain tidak!
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia
melihat joli yang dinanti-nantikannya dari jauh. Tak salah lagi, tentu dia,
pikirnya. Tidak ada joli lain yang digotong menuju ke kelenteng!
“Hendak ke mana, lopek?” tanyanya kepada
penggotong joli terdekat. Penggotong joli itu melirik tanpa menoleh dan
menjawab singkat, “Ke kelenteng.”
Kian Bu lalu menghampiri joil dan berteriaklah
dia dengan suara girang sambil tangannya menyingkap tirai. “Haiii, kiranya nona
Thio.... hahhh....?” Matanya terbelalak ketika melihat bahwa yang berada di
dalam joli itu ternyata adalah Suma Kian Lee, kakaknya sendiri!
Joli dihentikan, Kian Lee meloncat keluar dan
tertawa, mentertawakan adiknya yang membanting-banting kaki dan
bersungut-sungut karena empat orang penggotong joli sudah tertawa, demikian
pula beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu di tepi jalan.
“Lee-ko, engkau terlalu....!” Kian Bu berkata,
akan tetapi dia tidak membantah ketika tangannya ditarik oleh kakaknya,
diajak kembali ke penginapan untuk mengambil buntalan mereka.
“Bu-te, kalau tidak begitu engkau tidak akan
bertobat, Kau tidak boleh melakukan hal itu, karena biarpun aku yakin bahwa
engkau tidak berniat kurang ajar, namun engkau membuat seorang gadis merasa
malu dan terhina. Salah-salah engkau akan terlibat dalam perkelahian, padahal
ayah sudah berpesan keras-keras bahwa kita tidak boleh mencari gara-gara di
dalam perjalanan!”
“Sudahlah, sudahlah, aku memang bersalah
besar!”
“Engkau tidak salah besar, Bu-te, akan tetapi
engkau terlalu jahil dan kenakalanmu itu dapat mengakibatkan urusan besar.
Engkau suka mengganggu gadis, padahal engkau tidak tahu dia siapa, anak siapa,
dan engkau mendatangkan rasa terhina dan malu kepadanya. Padahal semua itu
kaulakukan hanya untuk main-main, bukan karena memang engkau sungguh tertarik
dan suka kepadanya.”
“Kalau begitu, andaikata aku tertarik
benar-benar kepada seorang gadis, aku boleh.... eh, belajar kenal dengannya?”
“Tentu saja boleh, asal caranya tidak kurang
ajar dan sewajarnya. Bukan dengan cara urakan menegur orang di jalan pura-pura
kenal macam yang kaulakukan itu!”
Wajah tampan dari Kian Bu berseri gembira,
lenyap sudah kemengkalan hatinya karena penipuan kakaknya tadi. Memang
demikianlah watak Kian Bu. Lincah, kocak, nakal, periang, mudah marah dan mudah
tertawa lagi. “Bagus! Kalau begitu aku akan mencari akal lain yang lebih baik “
Dia melihat kakaknya melotot dan cepat menyambung, “yaitu kalau
aku sudah tertarik benar-benar kepada seorang gadis.”
“Kau memang mata keranjang dan nakal!”
Kakaknya mengomel.
“Eh, Lee-ko, apakah kau tidak tertarik dan
suka melihat gadis cantik? Mereka itu begitu cantik, begitu manis, suaranya
begitu halus merdu, lirikan dan senyuman semanis madu, gerak-geriknya
menyenangkan. Aku tidak percaya kalau tidak suka pula menyaksikan seorang gadis
cantik.”
“Biarpun suka, akan tetapi tidak boleh
diutarakan secara kasar seperti kelakuanmu.”
“Hore! Jadi kaupun suka, koko? Bagus, kalau
begitu bukan aku sendiri yang suka melihat gadis cantik! Eh, engkau lebih suka
yang bagaimana, koko? Aku suka gadis yang lincah, yang kocak pandang matanya,
yang murah senyumnya, yang pandai bergaul, seperti lagak seekor burung murai
yang tak pernah diam dan selalu berkicau meriah dan merdu.”
Di dalam hatinya, Kian Lee merasa tidak senang
dan malu harus bicara tentang wanita, akan tetapi hanya untuk melawan dan
mencela adiknya, dia menjawab juga, “Sama sekali tidak seperti engkau, aku
suka kepada seorang dara yang sopan santun, pendiam, dan menyembuyikan
keramahan di balik kesopanan dan kesusilaan.”
“Wah-wah-wah, kalau begitu engkau lebih baik
memilih sebuah patung saja, Lee-ko! Ha-ha-ha!”
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan.
Aku muak mendengar obrolanmu tentang wanita.”
Demikianlah, kakak beradik yang wataknya
berbeda seperti bumi dengan langit ini tidak pernah rukun di dalam perjalanan,
dalam arti kata, rukun dalam sifat mereka. Mereka selalu tidak sependapat
mengenai cara hidup, apalagi kalau ada hubungannya dengan pergaulan dan wanita.
Mereka hanya rukun dan saling membela mati-matian kalau ada urusan yang
langsung mengenai diri mereka. Kian Lee amat mencinta dan membela adiknya,
mendahulukan keperluan adiknya daripada keperluannya sendiri. Sebaliknya Kian
Bu amat mencinta kakaknya dan amat patuh, sungguhpun pada lahirnya dia suka
membantah, dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih atas segala kebaikan
yang dilimpahkan kakaknya kepadanya.
Watak Suma Kian Bu di samping keriangan dan
kelincahannya, juga amat romantis. Dia menikmati keindahan alam dengan cara
terbuka, dengan wajah berseri, mata bercahaya dan mulut tiada hentinya
mengeluarkan puji-pujian, mengagumi bunga-bunga yang indah, suka akan makanan
enak, suka mendengarkan nyanyian merdu, suka akan pakaian-pakaian indah, suka
mempersolek diri, suka bernyanyi-nyanyi dan tentu saja suka sekali melihat dara
cantik! Sungguh merupakan kebalikan dari sifat Suma Kian Lee yang pendiam,
tidak suka bicara kalau tidak penting, biarpun suka mengagumi keindahan, namun
rasa sukanya itu dipendam dalam batin saja, berpakaian sederhana tidak
mengutamakan keindahan melainkan yang enak dipakai, mengutamakan kesusilaan
dan sopan-santun yang bukan paksaan melainkan timbul dari watak aselinya yang
menghargai orang lain.
Betapapun juga, perangai Kian Bu yang riang
gembira itu kadang-kadang menular kepadanya sehingga kalau selagi senang
hatinya mendengar Kian Bu bernyanyi-nyanyi, dia ikut pula bersenandung
sungguhpun tidak bernyanyi dengan nyaring mengeluarkan semua kegembiraan
hatinya melalui nyanyian seperti adiknya itu. Apalagi sikap adiknya yang amat
suka akan wanita cantik, kadang-kadang membuatnya termenung dan dia harus
mengakui diam-diam bahwa tidak ada kecantikan bunga dan keindahan alam yang
melebihi wajah seorang dara, tidak ada suara merdu yang melebihi suara seorang
dara!
Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah
dusun dan karena kemalaman mereka bermalam di sebuah penginapan kecil dan
sedang duduk di serambi sambil minum arak hangat, tiba-tiba mereka melihat
sebuah kereta yang dikawal oleh rombongan piauwsu berhenti di depan rumah
penginapan itu. Kepala pengawal mendekati kereta dan menyingkap tirai,
sedangkan pembantu-pembantunya menahan kuda yang berbusa mulutnya. Agaknya
empat ekor kuda itu sudah bekerja berat, lari melalui jarak jauh sehari itu.
Tiba-tiba ujung kaki Kian Bu menyentuh betis
kakaknya sebagai isyarat. Kian Lee mengangkat mata melirik adiknya dan menoleh
ketika melihat adiknya memandang ke arah kereta. Pintu kereta terbuka, tirai
disingkapkan dan turunlah seorang gadis berusia kurang lebih enam belas tahun,
cantik jelita seperti seorang bidadari turun dari kahyangan. Gerakgeriknya
begitu halus gemulai ketika dia turun dari kereta dibantu oleh seorang wanita
setengah tua dan seorang laki-laki setengah tua yang agaknya adalah ayah
bundanya.
Sejenak dara itu berdiri di serambi depan
ketika ayahnya bicara dengan pengurus penginapan minta disediakan kamar bagi
mereka, kemudian dara dengan ayah bundanya itu memasuki penginapan dan lenyap
di dalam kamar. Sibuklah para piauwsu menurunkan barang-barang, dan kereta
lalu ditarik ke sebelah belakang rumah penginapan itu. Dengan kusirnya semua
terdapat sebelas orang piauwsu yang kelihatannya tangkas dan kuat.
Kian Bu yang melihat dara tadi menunduk saja,
sedikitpun tidak pernah melirik kepada mereka, melihat sikap yang amat sopan
santun dari gadis itu, padahal dia mengharapkan kerlingan dan senyum, merasa
kecewa dan tidak puas. Akan tetapi ketika dia memandang kakaknya, dia melihat
kakaknya itu termenung, mukanya merah dan kedua tangan kakaknya mempermainkan
cawan arak yang telah kosong, agaknya kakaknya itu termenung-menung.
Kian Bu tersenyum. Baru sekarang dia melihat
kakaknya termenung setelah melihat seorang dara! Maka segera dia menangkap
tangan kakaknya sambil berkata, “Lee-ko, bagaimana?”
Kian Lee mengangkat muka memandang, melihat
sinar mata adiknya yang jelas menggodanya, mukanya menjadi makin merah,
“Bagaimana apanya?” Dia balik bertanya, setengah membentak.
Kian Bu menggerakkan kepalanya ke arah
belakang rumah penginapan. “Dia tadi, hebat bukan?”
Kian Lee tidak menjawab segera, melainkan
menunduk dan berkata lirih, “Hebat atau tidak, ada sangkut paut apa dengan
kita? Jangan kau memikirkan yang bukan-bukan!”
“Ah, tidak. Bagiku sih, dia seperti patung
hidup! Melirik sedikitpun tidak, tersenyum sedikitpun tidak, bicara sepatah
katapun tidak!”
“Itu tandanya dia seorang dara terpelajar,
sopan dan menjaga harga diri tinggi-tinggi, bukan seorang perempuan genit!”
“Hi-hik, aku tahu bahwa dara model inilah yang
akan menarik hatimu, koko. Mengapa tidak mengajak dia berkenalan? Eh, secara
sopan maksudku?”
Kian Lee memandang adiknya dengan mata
melotot. “Mau apa kau? Jangan main gila kau, Bu-te!”
“Ah, tidak. Aku hanya mengatakan bahwa kalau
kau tertarik kepada dara itu, apa salahnya kalau kau berkenalan dengan dia?
Hanya berkenalan, apa sih buruknya? Kalau tidak berkenalan, bagaimana bisa
mengerti cocok atau tidak?”
“Aku bukan laki-laki mata keranjang yang suka
mengganggu gadis yang tidak kukenal.”
“Siapa bilang mengganggu? Aih, koko, engkau
benar-benar selalu berprasangka buruk dan tidak percaya kepada adikmu ini. Dan
kau selalu hendak berpura-pura, dan bersikap palsu.”
“Hemm, apa lagi ini maksudnya? Jangan kau
kurang ajar kepadaku!”
“Koko merasa suka kepada seseorang, akan
tetapi pada lahirnya pura-pura dingin, bukankah ini pura-pura namanya? Hati
ingin berkenalan, akan tetapi mulut bicara lain, bukankah itu palsu?”
“Kian Bu, engkau masih kanak-kanak akan tetapi
lidahmu tajam. Hati-hati kau, kalau kau bicara dengan orang lain seperti itu,
tentu engkau akan mudah menanam permusuhan. Memang kuakui bahwa sikap dan
keadaan dara tadi menimbulkan kagum di dalam hatiku, akan tetapi apa yang harus
kulakukan? Aku bukanlah seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar
seperti engkau!”
“Bagus....!” Kian Bu meloncat bangun dan
merangkul kakaknya. “Lee-ko, aku hanya ingin mendengar pengakuanmu bahwa kau
tertarik kepadanya. Kita bukanlah orang-orang rendah yang suka melakukan
hal-hal tidak patut, akan tetapi tanpa siasat, mana mungkin kau berkenalan
dengan dara itu? Aku sudah mempunyai suatu rencana, kalau siasat ini dilakukan,
engkau tentu akan berkenalan dengan dia dan bahkan dipandang tinggi dan
hormat!” Pemuda tanggung ini lalu berbisik-bisik di dekat telinga kakaknya.
Wajah Suma Kian Lee yang tampan sebentar merah
sebentar pucat, dia menggeleng-geleng kepala, akan tetapi akhirnya dia berkata
lirih, “Berbahaya sekali siasatmu yang nakal itu, Bu-te!”
“Alaaaaa.... kau maksudkan piauwsu-piauwsu
itu? Serahkan padaku, beres. Dan akupun bukan hendak memperpanjang pertempuran
dengan mereka. Aku hanya menjadi penculik, kau lalu muncul. Habis perkara. Yang
penting, dia akan berhutang budi kepadamu dan tentu saja menjadi kenalan.
Tidak ada apa-apa yang jahat, bukan?”
“Akan tetapi, kalau kau melukai
seorangpun....”
“Koko, kau anggap aku ini orang macam apa? Aku
bukan penculik tulen, bukan pula perampok, mau apa melukai orang? Percayalah
kepadaku, kelak engkau akan berterima kasih kepadaku kalau sudah menjadi
sahabatnya, koko!”
Terpaksa Kian Lee tersenyum dan dengan gerakan
gemas seperti hendak menampar kepala adiknya. Kian Bu meloncat menjauh lalu
tertawa-tawa dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik inipun sudah
memasuki kamar mereka dan tidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian
Lee telah dibangunkan oleh Kian Bu. Seperti biasa setiap pagi, mereka duduk
bersila dan bersiulian sebentar, latihan yang sudah menjadi kebiasaan
sehingga sekali saja tidak melakukannya terasa kurang enak. Kemudian mereka
mandi dan membayar biaya penyewaan kamar lalu berangkat, akan tetapi setibanya
di luar dusun, mereka berhenti. Setelah matahari menumpahkan cahayanya di
permukaan bumi, tampak oleh mereka yang dinanti-nanti sejak tadi, yaitu kereta
berkuda empat yang dikawal oleh sepuluh orang piauwsu dan seorang kusir. Mereka
membiarkan rombongan itu lewat, kemudian mereka membayangi dari jauh. Biarpun
rombongan itu terdiri dari kereta ditarik kuda dan dikawal oleh sepuluh orang
piauwsu berkuda, namun tidaklah sukar bagi dua orang muda itu membayangi
mereka. Kakak beradik ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kesaktian yang
tinggi dan ilmu berlari mereka luar biasa.
Rombongan memasuki sebuah hutan.
“Saudara-saudara, hati-hati dan waspadalah, di depan adalah hutan yang cukup
besar!” berkata kepala piauwsu yang bermuka merah. Sepuluh orang itu lalu
melarikan kuda mereka mengurung kereta, tiga di depan, tiga di belakang, dan
masing-masing dua di kanan kiri.
Tiba-tiba para piauwsu itu terkejut sekali
ketika melihat sesosok bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar,
langsung menimpa atap kereta dan terdengar kain robek disusul jerit nona yang
berada di dalam kereta, lalu tampak pula bayangan itu meloncat turun dari
kereta sambil memondong tubuh nona itu yang menjerit-jerit dan meronta ronta.
“Tolong....! Penculik.... tolong Bi Hwa....!”
Nyonya dan suaminya tergopoh-gopoh keluar dari kereta yang sudah dihentikan
oleh kusir, menangis dan berteriak-teriak. Para piauwsu sudah cepat bergerak.
Enam orang melakukan pengejaran kepada Suma Kian Bu yang berlari cepat
memondong tubuh dara itu sedangkan yang empat orang lagi tetap menjaga kereta.
“Tangkap penjahat....!” Teriak kepala piauwsu
yang memimpin teman-temannya mengejar. Akan tetapi mereka segera terpaksa turun
dari kuda dan melanjutkan pengejaran dengan berlari ketika melihat penculik itu
membawa dara itu menyusup-nyusup ke dalam semak-semak tebal.
“Lepaskan aku....! Lepaskan....!” Bi Hwa, dara
itu meronta sambil memukul-mukul ke arah dada muka dan kepala Suma Kian Bu.
Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja.
“Tenanglah sayang, diamlah manis.... aku
takkan mengganggumu....!”
Namun Bi Hwa masih meronta-ronta. Meremang
seluruh bulu badannya melihat dirinya dipondong dan dibawa lari dengan begitu
hati-hati oleh pemuda yang amat tampan ini. Di dalam hatinya yang dilanda
kaget dan takut, timbul keheranan mengapa pemuda yang masih amat muda dan amat
tampan ini menjadi penjahat!
Tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang
menghadang di depan sambil membentak, “Penculik, lepaskan dia!”
Suma Kian Bu yang melihat kakaknya sudah
muncul, pura-pura membentak marah, “Engkau pendekar, jangan mencampuri urusanku!”
Suma Kian Lee menerjang ke depan, dan beberapa
lamanya kakak beradik itu pukul-memukul, akhirnya sebuah pukulan mengenai
kepala Suma Kian Bu yang terhuyung dan roboh. Tentu Bi Hwa ikut pula terbanting
kalau saja tidak cepat ditahan oleh Suma Kian Lee. Sejenak Bi Hwa berdiri
dengan muka pucat memandang kepada Suma Kian Lee yang telah menolongnya,
kemudian menoleh dan memandang Suma Kian Bu yang rebah miring dengan muka pucat
seperti telah menjadi mayat! Kian Lee yang diam-diam menyesalkan siasat adiknya
ini karena jelas tampak betapa gadis itu kaget dan takut, menanti ucapan terima
kasih dan sudah siap untuk mengantarkan dara itu kembali ke kereta dan orang
tuanya. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh
kakak beradik itu. Si dara jelita yang menoleh dan memandang Kian Bu, tiba-tiba
terisak dan lari.... menghampiriKian Bu, berlutut di dekat tubuh pemuda ini.
“Aihhh, kau.... kau telah membunuhnya....!
Kau telah membunuhnya....!” Dia menuding ke arah Kian Lee, kemudian dia
mengangkat kepala Kian Bu, memangkunya dan mengusap-usap kepalanya seperti
hendak mencari bagian mana dari kepala itu yang pecah dan membuat pemuda ini
tewas. “Aduh kasihan sekali engkau....” bisik Bi Hwa.
Kian Lee berdiri dengan muka pucat. Dan Kian
Bu lupa akan permainan sandiwaranya, dia begitu terheran-heran sehingga lupa
bahwa dia telah “mati”. Dan membuka matanya memandang dengan melongo.
“Syukur, kau belum mati.... ah, aku girang
sekali.... di manakah yang terluka ?” Bi Hwa bertanya.
Kian Bu menggeleng kepala dan menuding ke arah
Kian Lee. “Kau.... kau harus cepat menghaturkan terima kasih kepadanya. Dialah
penolongmu “
“Dia kejam, memukulmu sampai hampir mati!” Bi
Hwa membantah.
“Tapi aku adalah penculikmu, dialah yang
menolongmu.... lekas kauhampiri dia....” Kian Bu makin bingung dan
merenggutkan dirinya yang masih dipeluk dara itu.
Pada saat itu, terdengar bentakan. “Penculik
busuk, hendak lari ke mana kau?” Dan muncullah enam orang piauwsu dengan
pedang atau golok di tangan masing-masing. Melihat ini, Kian Lee meloncat dan
berkata, “Bu-te, pergi.... !”
Terbirit-birit Kian Bu meloncat dan melarikan
diri mengejar kakaknya. Sampai jauh sekali mereka berlari, terengah-engah
mereka berhenti di dalam hutan kecil yang terpisah jauh dari hutan di mana
mereka tadi main sandiwara itu.
Tentu saja mereka terengah-engah, bukan karena
telah lari cepat dan jauh, melainkan karena sejak tadi hati mereka penuh
ketegangan ketika bersandiwara yang kemudian ternyata gagal total itu! Si gadis
manis bukan berterima kasih kepada Kian Lee yang “menolongnya” melainkan
menaruh iba kepada Kian Bu “si penculik”! Benar-benar merupakan kebalikan dari
apa yang mereka inginkan, dan hampir saja rahasia mereka terbuka ketika para
piauwsu itu datang.
“Kau....!” Kian Lee menggerakkan tangan hampir
menampar muka adiknya, akan tetapi ditahannya dan dia menarik napas panjang.
“Lee-ko, jangan salahkan aku! Dialah yang
salah, gadis tak tahu terima kasih itu, gadis tidak mengenal budi itu!”
“Diam! Jangan memaki dia! Justeru perbuatannya
tadi menambah tingkatnya dalam pandanganku! Dia adalah seorang yang berbudi
mulia, mendahulukan rasa iba hatinya terhadap orang yang tertindas. Karena
melihat kau kupukul dan mengira engkau tewas, maka dia melupakan semua urusan
pribadinya dan menjatuhkan rasa iba hatinya kepadamu. Bukankah itu menandakan
bahwa dia seorang yang baik budi?”
Suma Kian Bu melongo. Kakaknya ini malah lebih
aneh daripada gadis tadi. Dia menggerakkan pundaknya dan diam-diam berjanji
dalam dirinya untuk berhati-hati, agar lain kali jangan mengecewakan hati
kakaknya.
“Siasatku tadi memang kurang sempurna, koko.
Meskinya, begitu terpukul, aku pura-pura kalah dan melarikan diri, bukan
pura-pura terpukul mati. Kalau aku kalah dan lari, tentu perhatiannya tertuju
kepadamu.”
“Sudahlah, salah kita sendiri. Kita bermain
sandiwara, bertindak palsu untuk mempermainkan kepercayan hati seorang gadis,
maka cara yang tidak baik itu tentu saja mendatangkan hasil tidak baik pula.”
“Aihh, koko, jangan, begitu. Aku telah
bersungguh-sungguh membantumu, dan engkau belum pernah membantuku.”
“Hemm, aku memang telah hutang budi kepadamu.
Baik, akan kubalas seperti yang kaulakukan kepadaku, hanya hasilnya terserah
engkau yang menanggung jawab semua.”
“Tentu saja. Akan tetapi siasatnya harus
diperbaiki. Setelah engkau kuserang, engkau pura-pura kalah dan meninggalkan
gadis itu untuk berterima kasih kepadamu.”
“Hemmmm....” Kian Lee hanya menggumam
mengkal.
Saat yang dijanjikan oleh Kian Lee kepada adiknya
itu tiba ketika perjalanan mereka sudah tiba di pegunungan yang menjadi tapal
batas Propinsi Hopei. Perjalanan naik turun gunung dan melalui hutan-hutan
besar, hanya jarang saja mereka menjumpai pedusunan atau kota. Pada suatu hari,
selagi mereka berjalan perlahan di bawah pohon-pohon yang rindang yang amat
sejuk karena terlindung dari sinar matahari, mereka bertemu dengan
serombongan orang yang terdiri dari dua buah kereta dan dua losin piauwsu.
Rombongan yang cukup besar dan kereta itu merupakan kereta mewah, kudanyapun
besar-besar sehingga sudah diduga bahwa penumpangnya tentulah sebangsa
bangsawan atau hartawan.
“Nah, besar kemungkinan di dalamnya ada
gadisnya, koko,” bisik Kian Bu.
Kakaknya cemberut. “Apakah di dalam kepalamu
itu isinya hanya bayangan gadis-gadis cantik?” bentaknya.
“Alaaaaaa...., koko. Kalau kau begini terus,
sampai kapan kau hendak membalas budi?”
“Wah, kau memang cerewet dan selalu ingat
kalau mengutangkan sesuatu!” cela kakaknya.
“Dan kau terlalu sabar kalau disuruh membayar
hutang!” Adiknya menggoda sehingga Kian Lee kewalahan.
“Kau lihat sendiri, dua buah kereta itu
tertutup, mana kita bisa tahu apakah di dalamnya ada gadisnya atau tidak?”
“Ha-ha, apa sih sukarnya untuk mengetahui hal
itu?” Tangan Kian Bu bergerak dan tampak oleh Kian Lee sinar-sinar hitam
kecil menyambar ke depan. Adiknya telah menggunakan tanah liat untuk menyambit
ke arah kuda yang menarik kereta. Terdengar ringkik keras dan empat ekor kuda
yang terkena timpukan tanah liat tepat di bawah telinganya itu meringkik dan
meronta berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja kusirnya cepat
membentak dan menarik kendali. Rombongan terhenti dan semua piauwsu bertanya
sehingga ributlah keadaan di situ.
Dua buah kereta itu tersingkap dari dalam. Ada
kepala-kepala orang menjenguk dan bertanya apa yang terjadi dan mengapa ada
ribut-ribut di luar, bahkan orang-orang yang menumpang dalam kereta yang
kudanya meringkik itu menjadi agak panik karena keretanya bergoyang-goyang.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk mengintai dan betapa girangnya
ketika melihat bahwa di kereta kedua, kereta yang besar dan mewah, terdapat
tiga orang penumpang yaitu seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah tanda
hartawan, usianya kurang lebih empat puluh tahun, seorang wanita yang usianya
kurang lebih empat puluh tahun dan seorang gadis cantik manis yang berusia
paling banyak sembilan belas tahun! Seorang gadis cantik dan bajunya merah,
manis sekali! Juga Kian Lee melihat ini dan diam-diam dia memuji kecerdikan
adiknya. Bocah itu ada saja akalnya! Akan tetapi sekali ini “tugasnya” lebih
berat daripada yang dilakukan adiknya sebulan yang lalu. Jumlah pengawal ada
dua losin orang, dan di antara mereka banyak yang membawa busur, juga sikap
mereka lebih gagah daripada sepuluh orang dahulu itu. Akan tetapi apa boleh
buat, kalau dia belum “membayar hutang”, adiknya tentu akan rewel terus. Dia
akan menjaga agar adiknya angan bertindak lebih jauh dari sekadar belajar kenal
dengan gadis itu!
“Baiklah, aku akan membayar hutangku. Kau
tunggu di luar hutan ini di sebelah kiri sana,” katanya tanpa banyak cakap
lagi. Kian Bu memegang tangan kakaknya.
“Terima kasih, koko!”
Kian Lee merenggut tangannya. “Pergilah!”
Kian Bu tertawa dan meloncat pergi dengan
girang sekali. Mau tidak mau, melihat adiknya berloncatan seperti anak kecil
berlari sambil berjingkrakan itu, Kian Lee menggeleng kepala dan menarik napas
panjang. Adiknya itu benar-benar seperti anak kecil, akan tetapi begitu besar
hasratnya untuk berkenalan dengan gadis-gadis cantik!
Dia cepat berlari mengejar rombongan yang
sudah bergerak lagi itu. Sebentar saja dia sudah dapat menyusul. Kian Lee tidak
mau menimbulkan keributan seperti yang biasa dilakukan adiknya, maka dia
sengaja mendahului rombongan lalu berdiri di tengah jalan sambil mengangkat
tangan. “Harap cu-wi berhenti dulu!”
Melihat ada seorang pemuda berkelebat cepat
sekali kemudian berdiri menghadang di tengah jalan, dua kereta dihentiikan
dan dua losin piauwsu itu cepat menjaga kereta, pemimpinnya seorang piauwsu tua
berjenggot putih, bersama belasan orang pembantunya menghadapi Kian Lee.
“Kau siapakah dan mau apa menahan rombongan
kami?” bentak si jenggot putih.
Akan tetapi Kian Lee tidak mau melayaninya,
melainkan melangkah lebar ke arah kereta kedua. Dia segera dikurung, akan
tetapi dia berjalan terus menuju ke kereta sambil berkata, “Aku mau bicara
dengan mereka! Yang berada di dalam kereta!”
Melihat pemuda tampan ini berpakaian pantas
dan tidak membawa senjata, sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar, maka
para piauwsu ragu-ragu untuk menurunkan tangan besi, dan kereta itu disingkap
dari dalam, muncul wajah tiga orang itu. Kian Lee yang melihat jelas bahwa di
dalamnya memang terdapat seorang gadis cantik berbaju merah, segera berkata,
“Aku hanya mau mengajak pergi dia itu!” berkata demikian tubuhnya meloncat
cepat sekali ke depan, dan tahu-tahu semua orang melihat dia sudah melesat
pergi dan lari memondong tubuh gadis berbaju merah yang berteriak teriak.
“Tolong.... toloooonggg....!”
Beberapa orang piauwsu memasang anak panah
pada busurnya.
“Hati-hati, jangan salah sasaran. Arahkan
kepada kakinya!”
Belasan batang anak panah melesat mengejar
Kian Lee, akan tetapi dengan meloncat-loncat, pemuda itu dengan mudahnya
menghindarkan kakinya dari sambaran anak panah dan mempercepat larinya. Biarpun
para piauwsu melakukan pengejaran secepatnya, namun sebentar saja Kian Lee
sudah lenyap dari depan mereka.
“Lepaskan aku....! Tolonggg....!”
“Diamlah, aku hanya menculikmu!” Kian Lee
menahan kata-katanya karena hampir saja dia bilang “Sebentar lagi kau akan
tertolong!”
Karena cepatnya dia berlari, tak lama kemudian
dia sudah keluar dari hutan itu dan tiba-tiba Kian Bu meloncat keluar
menghadang. “Heii, perampok! Penculik! Lekas lepaskan gadis manis ini kalau kau
tidak ingin kupukul mampus!”
Keduanya segera bertanding menurut rencana dan
Kian Lee yang terdesak segera melepaskan gadis itu, menerima beberapa kali
pukulan lalu melarikan diri dari situ dengan cepatnya. Dari jauh dia menyelinap
dan mengintai ke arah dua orang itu. Dia kagum melihat betapa gadis itu
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kian Bu sambil menangis.
“Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada
kongcu yang telah menyelamatkan nyawa saya....” katanya dengan suara merdu.
Kian Bu tersenyum. “Ahhh, tidak mengapa, nona.
Urusan kecil saja itu. Tidak perlu berterima kasih. Saya sudah merasa girang
kalau nona sudi menjadi sabahat saya.”
Gadis itu bangkit berdiri karena tangannya
ditarik oleh Kian Bu. Dari tempat sembunyinya jelas tampak oleh Kian Lee betapa
gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya mengerling tajam ke arah Kian Bu,
sikapnya amat memikat. “Tentu saja, kongcu. Engkau adalah penolongku, apapun
yang kongcu kehendaki dariku, tentu akan kulakukan untuk membalas budi....”
Kalau saja yang menerima kata-kata ini bukan
seorang pemuda tanggung yang masih hijau seperti Kian Bu, tentu dapat menangkap
arti di balik kata-kata memikat ini. Akan tetapi dasar dia masih mentah, Kian
Bu hanya tersenyum girang dan berkata, “Terima kasih, aku girang sekali dapat
berkenalan denganmu, apalagi menjadi sahabatmu. Nona, namaku adalah Suma Kian
Bu, dan nona siapakah?”
“Namaku....?” Gadis itu kelihatan malu-malu
dan mengerling tajam disertai senyum simpul. “Aku.... Cia Hong Ciauw....”
“Namamu manis sekali, seperti orangnya,” kata
Kian Bu.
Ucapan yang keluar dari mulut Kian Bu ini
hanyalah ucapan jujur saja dan bukan merupakan sanjungan atau bujuk rayu,
melainkan diucapkan karena memang sesungguhnya dia menganggap nama itu manis
dan orangnyapun manis! Akan tetapi, wajah gadis itu menjadi merah sekali, lebih
merah dari bajunya, tersenyumlah dia dengan penuh daya pikat, matanya
mengerling, dan dari lehernya keluar suara seperti seekor kucing dibelai.
“Ihiiikk.... kongcu bisa saja memuji orang
membikin aku malu saja....” Dan tiba-tiba gadis itu merangkul dan
menyembunyikan mukanya di dada Kian Bu.
“Lhoh....! Ehhh....! Bagaimana ini....? Wah,
jangan....!” Kian Bu menjadi bingung, tubuhnya menjadi kaku dan meremang
semua, seolah-olah ada ribuan ekor ulat yang merubung tubuhnya.
Dan pada saat itulah muncul kakek dari dalam
kereta bersama para piauwsu.
“Hong Ciauw....!” Kakek itu membentak marah.
Gadis itu lalu melepaskan rangkulannya,
terkejut dan mundur, akan tetapi masih sempat melempar senyum dan kerling manis
ke arah Kian Bu, lalu berkata, “Dia ini adalah in-kong (tuan penolong) Suma
Kian Bu. Kalau tidak ditolongnya, tentu aku sudah mati di tangan penculik
kejam....”
Kian Bu yang melihat kakek itu melotot marah,
tahu bahwa keadaannya tidak menguntungkan. Ayah itu tentu marah melihat anaknya
merangkul seorang pemuda!
“Eh, maaf.... aku.... eh, aku hanya menolong
puterimu tanpa pamrih sesuatu....”
“Puteri siapa? Dia adalah bini mudaku!”
bentak kakek itu.
Sepasang mata Kian Bu makin lama makin lebar
sampai menjadi bulat dan tidak dapat lebih lebar lagi, mulutnya juga terbuka
sampai lama. Untung di tempat itu tidak banyak lalat! Akhirnya, tanpa
mengeluarkan suara bah atau buh, dia membalikkan kedua kakinya dan lari lintang
pukang seperti dikejar hantu! Tentu saja para piauwsu yang melihat ini menjadi
terheran-heran, apalagi mendapat cerita nyonya muda itu bahwa pemuda tadi telah
menolongnya dari tangan penculik yang amat lihai tadi. Benar-benar seorang
pemuda yang aneh, pikir mereka, aneh dan berilmu amat tinggi karena dengan
beberapa loncatan saja, bayangan pemuda itu melesat dan lenyap.
Kian Bu berlari terus dengan cepat, merasa
seolah-olah gadis manis itu mengejarnya, hendak merangkulnya, hendak
menciumnya. Dia bergidik berkali-kali, menggerakkan kedua pundak dan
tengkuknya terasa dingin dan ngeri, larinya makin cepat seolah-olah setan
gadis itu berada dekat sekali di belakangnya.
“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba terdengar suara
tertawa dan mendengar suara ketawa ini tahulah Kian Bu bahwa memang ada orang
di belakangnya, bukan setan bukan siluman, melainkan kakaknya sendiri. Maka
dia berhenti dan terengah-engah memandang wajah kakaknya yang tertawa-tawa
dengan gelinya. Baru sekarang dia melihat kakaknya tertawa demikian enak
sampai memegang perutnya.
“Ha-ha-ha-ha....! Dia bini mudanya....
ha-ha-ha-ha, dan kau dirangkulnya, ha-ha-ha....!” Kian Lee yang tidak biasa
tertawa-tawa seperti itu, kini tidak dapat menahan kegelian hatinya.
“Koko, kau.... kejam!”
Kian Bu membentak dan suara tertawa terhenti.
Dengan mulut masih tersenyum lebar menahan
geli hatinya, Kian Lee berkata,
“Nah, kau rasakan sekarang, Bu-te. Tidak
benarkah kata-kataku bahwa cara yang tidak baik hanya akan menghasilkan
ketidakbaikan pula? Karena pertolonganmu tadi hanya sandiwara dan pura-pura
saja, hanya palsu, maka hasilnya hanya menimbulkan cemburu seorang suami yang
melihat bini mudanya bermain gila dengan orang lain.”
“Huh! Sialan perempuan itu....!” Kian Bu
membanting kaki dengan gemas. “Aku tidak akan melakukan hal itu lagi! Tidak
lagi!”
“Sudahlah, Bu-te, sekali waktu ada gunanya
juga pelajaran pahit seperti ini bagi kita. Nah, marilah sekarang kita cepat
mengejar mereka dan membayangi dari jauh.”
“Hehh....?” Kian Bu memandang kakaknya dengan
mata lebar. “Perlu apa membayangi? Aku tidak butuh berkenalan dengan perempuan
itu!”
“Sekarang bukan urusan berkenalan dengan
wanita, Bu-te. Ketahuilah, ketika tadi aku melarikan diri dan mengintai, aku
melihat berkelebatnya tiga orang tosu dan aku segera membayangi mereka. Aku
sempat menangkap percakapan mereka yang menyatakan bahwa mereka akan turun
tangan terhadap rombongan itu malam ini di kuil tua.”
“Eh, siapa mereka itu?”
“Aku tidak tahu, akan tetapi melihat
gerakan-gerakan mereka, kalau benar mereka turun tangan mengganggu, para
piauwsu itu bukanlah tandingan mereka. Maka kita harus membayangi dan kalau
perlu menolong mereka, Bu-te. Sekali ini bukan menolong pura-pura, bukan main
sandiwara, melainkan main betul-betulan karena ada pihak yang terancam bahaya.”
“Baik, koko. Akan tetapi kuharap ada penculik
sungguhan yang melarikan perempuan itu dan jangan harap aku akan menolong dia.
Agaknya orang seperti dia itu memang selalu mengharapkan dibawa pergi penculik!”
Kian Bu mengomel.
“Hushh, jangan sentimen, Bu-te! Dia patut
dimaafkan karena memang sukarlah mencari seorang penolong pemuda istimewa
seperti engkau.”
“Wah, kau tiada habisnya mengejek, koko!” Suma
Kian Bu mengomel dengan suara merengek. “Awas, kalau lain kali engkau yang
kecelik, aku akan mentertawakanmu juga!”
Dua orang kakak beradik itu menggunakan ilmu
berlari cepat, akan tetapi karena rombongan itu dibalapkan semenjak mengalami
gangguan kakak beradik itu, maka setelah hampir malam baru mereka dapat
menyusul rombongan itu yang telah berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar
hutan. Kuil ini adalah kuil Budha yang sudah amat tua, sebagian besar bangunan
itu sudah runtuh dan agaknya dibuat sebagai tempat perhentian oleh para
pendeta Budha di jaman dahulu ketika mereka mulai dengan penyebaran Agama Budha
sampai ke pelosok-pelosok dunia. Kini kuil kuno dan rusak itu tentu saja tidak
dipergunakan lagi oleh para pendeta dan hanya dipergunakan oleh orang-orang
yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat itu untuk sekedar beristirahat
atau kadang-kadang juga bermalam. Agaknya rombongan yang dilindungi oleh dua
losin piauwsu itu memang sudah merencanakan untuk bermalam di tempat itu dan
merasa aman karena ada dua losin piauwsu yang mengawal. Akan tetapi, peristiwa
penculikan nyonya muda di siang hari tadi, dilakukan oleh seorang pemuda dan
entah bagaimana nasib nyonya muda itu kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda
lain, membuat para piauwsu bersikap waspada, hati-hati dan juga agak cemas.
Baru ada seorang perampok saja yang turun tangan, penjahat itu sudah berhasil
menculik wanita di hadapan hidung mereka tanpa mereka dapat menangkapnya!
Setelah hartawan itu dan dua orang isterinya
turun dari kereta menempati ruangan kuil yang sudah dibersihkan dan dihangatkan
dengan api unggun, duduk di dekat api di atas tikar, para piauwsu yang
berjaga-jaga tentu saja membicarakan peristiwa siang tadi. Juga di antara
hartawan dan kedua orang isterinya terjadi percakapan mengenai peristiwa itu.
Terutama si hartawan yang mengomel tak kunjung henti.
“Baru sejenak saja dari sampingku, engkau
sudah main gila dengan laki-laki lain,” kata si hartawan kepada bini mudanya.
“Sudah berapa puluh kali kau mengatakan hal
itu!” jawab si bini muda dengan berani. “Sampai bosan aku mendengarnya!
Engkau tidak terancam bahaya maut, maka bicara sih mudah! Aku yang terancam
bahaya maut oleh penculik yang ganas dan kejam sekali itu, setelah ditolong
orang, tentu saja aku amat senang dan berterima kasih. Dia masih amat muda,
sepatutnya menjadi adikku, kalau aku menyatakan terima kasihku dengan
merangkulnya, apakah itu merupakan kejahatan besar?”
“Kalau aku tidak keburu muncul, entah macam
apa lagi terima kasihmu itu, kau perempuan rendah....!”
“Sudahlah, sudahlah....!” Isteri pertama
mencela. “Di tengah perjalanan, di tempat berbahaya dan di mana bahaya
sewaktu-waktu masih selalu mengancam kita, mengapa ribut-ribut mengenai urusan
yang telah lewat? Terdengar para piauwsupun hanya akan menimbulkan rasa malu.”
Setelah tiga orang itu dengan
bersungut-sungut tidur di dekat api dan tidak lagi ribut mulut, para piauwsu
yang berjaga-jaga membicarakan peristiwa siang tadi sambil berbisik-bislk. Di
antara mereka, Can Si Hok si kepala piauwsu sendiri, juga ikut bercakap-cakap.
“Nasib kita masih baik sehingga ada saja
muncul seorang penolong sehingga penculikan itu dapat digagalkan,” kata seorang
di antara mereka.
“Penculik itu mempunyai kepandaian yang hebat
sekali. Keroyokan anak panah itu dapat dielakkannya semua tanpa menoleh,
padahal dia sedang memondong orang dan sedang berlari. Sayang.dia keburu lari
sehingga kita tidak sempat mencoba sampai di mana kepandaian ilmu silatnya.
Kelihatannya masih muda sekali.”
“Akan tetapi, jelas bahwa kepandaian penolong
itupun lebih hebat,” bantah yang lain. “Buktinya dapat menolong dan mengusir si
penculik. Penolong itupun masih amat muda. Dari cara dia melarikan diri, jelas
bahwa gin-kangnya amat luar biasa, seperti terbang saja.”
Can Si Hok, si kepala pengawal yang berjenggot
putih, menarik napas panjang dan berkata, “Kawan-kawan, malam ini harap kalian
waspada dan lebih baik kalau tidak seorangpun di antara kita tertidur.
Penjagaan di luar kuil harus dilakukan dengan ketat, perondaan di sekitar kuil
dilakukan dengan bergiliran. Aku khawatir akan terjadi lagi hal yang tidak kita
inginkan. Munculnya dua orang tadi, baik si penculik maupun si penolong,
merupakan hal yang amat luar biasa. Selama ini belum pernah pula mendengar di
dunia kango-uw muncul dua jago muda yang sedemikian lihainya. Baiknya, kalau
yang seorang jahat, yang seorang baik dan suka menolong. Mudah-mudahan tugas
kita sekali ini tidak akan gagal.”
Penjagaan diperketat dan Can Si Hok sendiri
melakukan perondaan. Kelihatannya aman dan tidak terjadi sesuatu di tempat
yang amat sunyi itu. Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian karena
tidak jauh dari kuil itu terjadi hal-hal yang tentu akan menggegerkan para
piauwsu kalau saja mereka mengetahuinya.
Tiga sosok bayangan yang gerakannya gesit
bukan main, bagaikan setan-setan saja layaknya, bergerak di antara pohon-pohon
mendekati kuil. Setelah dekat dengan kuil mereka mengintai dari balik pohon
besar ke arah empat orang penjaga yang menjaga di pojok kuil.
“Kita bunuh saja mereka berempat itu, lalu menyerbu
ke dalam,” berbisik seorang di antara mereka.
“Biarlah pinto yang menyelinap ke dalam
mencari benda itu, kalian berdua bikin ribut di luar, memancing perhatian semua
piauwsu. Yang agak lumayan kepandaiannya hanyalah Can-piauwsu itu saja, yang lain-lainnya
tidak perlu dikhawatirkan.”
“Baik, akan tetapi bagaimana dengan hartawan
itu?” tanya tosu yang ada tahi lalat besar di dagu kanannya, “Dan kedua orang
wanita itu?”
“Bereskan saja mereka, hartawan itu adalah
seorang yang pelit!” kata tosu kedua.
“Ah, wanita muda itu sayang kalau dibunuh. Dia
manis,” kata si tahi lalat.
“Hushhhh.... jangan ribut-ribut, kita bergerak
sekarang dan.... heiii.... hujankah....?”
Memang ada air menyiram mereka dari atas pohon
besar itu. Tadinya mereka mengira bahwa hujan turun tak tersangka-sangka, akan
tetapi hidung ketiga orang tosu itu kembang kempis. Mereka meraba-raba air
hujan yang menimpa kepala dan mendekatkan jari ke depan hidung.
“Mengapa baunya begini?”
“Seperti air kencing!”
Dan “hujan” pun berhenti yang berarti memang
tidak hujan sama sekali, melainkan ada orang mengencingi mereka dari atas
pohon itu.
“Keparat!” Mereka memaki dan secepat kilat
tubuh mereka sudah mencelat ke atas, ke dalam pohon. Mereka berlompatan dan
mencari-cari, akan tetapi tidak ada seorangpun di pohon itu! Terpaksa mereka
turun lagi dan berbisik-bisik penuh ketegangan.
“Apa yang terjadi?”
“Tentu hanya seekor monyet, siapa lagi?”
“Akan tetapi, biarpun monyet, bagaimana bisa
bergerak secepat itu seperti pandai menghilang saja?”
“Kita harus bekerja cepat,” kata tosu bertahi
lalat. “Sudah dikabarkan orang bahwa kelenteng kuno ini menjadi tempat keramat.
Yang dapat menggoda kita seperti tadi tentu hanya setan saja!”
Ketiganya menjadi tegang. Mereka percaya bahwa
setanlah yang menggoda mereka, karena kalau manusia atau binatang, tak mungkin
dapat lari dari mereka sedemikian cepatnya. Mereka adalah orang-orang yang
berkepandaian tinggi, tak mungkin dapat dipermainkan dan kalau yang berada di
atas pohon tadi manusia atau binatang sudah pasti mereka akan dapat
menangkapnya.
“Mari kita bergerak,” kata tosu pertama.
“Ji-sute (adik seperguruan kedua), kau menyelinap dari kanan, dan kau
sam-sute, kau dari kiri. Setelah kalian menyergap keempat orang itu, pinto akan
masuk melalui pintu samping yang kelihatan dari sini itu dan selanjutnya
kalian harus memancing mereka semua keluar agar leluasa pinto bergerak ke
dalam.”
“Baik, suheng,” kata kedua orang tosu itu yang
segera berpencar ke kiri dan ke kanan.
“Heiii.... aduhhh!” Tak lama kemudian
terdengar tosu yang berlari ke kiri terjungkal dan menahan teriakan makiannya.
Mereka berkumpul, kini di tempat tosu itu
jatuh.
“Mengapa kau, sam-sute?”
“Tersandung batu! Sialan!”
“Engkau? Dapat tersandung batu? Sungguh aneh.”
“Entahlah, batu itu seperti ada tangannya
memegang dan menjegal kakiku. Eh, mana batu jahanam itu?” Dia meraba-raba dan
tidak menemukan batu itu. “Aneh sekali, batu itu besar sekali ketika aku
menyandungnya, mengapa sekarang menghilang?”
“Ah, sungguh heran, sekali mengapa mendadak
engkau menjadi penakut dan gugup sehingga jatuh sendiri, sam-sute. Apakah
cerita tentang setan membuat kau penakut?” cela tosu tertua.
“Biarlah empat orang itu kubereskan sendiri,
nanti sam-sute menyusul kalau aku sudah memancing mereka keluar,” kata orang
kedua yang segera meloncat ke depan dengan sigap. Dua orang temannya melihat
dia meloncat ke atas, akan tetapi betapa kaget rasa hati mereka karena tidak
melihat temannya itu turun lagi, seolah-olah menghilang begitu saja!
Tosu tertua dan sam-sutenya yang tadi
tersandung batu ajaib itu terbelalak memandang. “Eh, ke mana dia?” tanya
sutenya. “Mana ji-suheng?”
Tosu tertua juga bingung karena sutenya itu
benar-benar lenyap tak menimbulkan bekas. “Ji-sute....!” bisiknya memanggil.
Tiba-tiba terdengar jawaban agak jauh di
belakang mereka, akan tetapi bukan jawaban panggilan itu melainkan suara
“ceekkk.... ceekkk....” seperti orang yang lehernya dicekik! Cepat mereka
berdua melompat dan lari ke arah suara itu dan dapat dibayangkan betapa kaget
hati mereka ketika melihat saudara yang dicari-cari itu sedang “menggantung”
diri di sebuah dahan, tubuhnya berkelojotan, lehernya mengeluarkan suara
tercekik dan dia digantung dengan sabuknya sendiri sehingga celananya merosot
turun terkumpul di kaki dan karena tosu bertahi lalat itu sudah “biasa” tidak
memakai pakaian dalam, tentu saja dia menjadi telanjang bulat di tubuh bagian
bawahnya, menimbulkan penglihatan yang lucu sekali!
Kedua orang tosu itu cepat meloncat dan
melepaskan sabuk itu dari dahan pohon dan membawa turun saudara mereka yang
sudah melotot matanya, terjulur lidahnya dan kebiruan mukanya itu! Mereka
sibuk, yang seorang menggosok-gosok leher bekas terjirat itu, yang kedua
membenarkan celana dan mengikatkan lagi sabuknya pada pinggang.
Setelah siuman, tosu ketiga bertanya,
“Ji-suheng, mengapa kau begitu pendek pikiranmu? Mengapa kau hendak membunuh
diri dan mengapa pula membunuh diri saja menanti saat seperti ini? Aihh,
ji-suheng, kalau kau mati dengan membunuh diri, nyawamu akan melayang ke
neraka siksaan!”
“Bunuh diri hidungmu itu!” Si tahi lalat
memaki dan bangkit duduk, menggosok-gosok lehernya dan menggoyang-goyangkan
kepalanya. “Iblis yang melakukan ini!”
“Ji-sute, coba ceritakan, apakah yang
terjadi?” Tanya tosu tertua setelah dia tadi meloncat ke atas pohon menyelidiki
akan tetapi juga tidak menemukan orang di situ.
Tosu bertahi lalat menghela napas lalu
bergidik. “Kalian melihat sendiri aku meloncat. Tahu-tahu rambutku ditangkap orang
dari atas dan sebelum aku sempat berteriak, jalan darah di leher ditotok
membuat aku tak dapat bersuara, dan aku lalu.... digantung di dahan itu.”
“Tidak mungkin!” Tosu pertama membantah.
“Mungkin saja!” Tosu ketiga mencela.
“Buktinya dia sudah tergantung di sana,
kecuali kalau dia menggantung diri sendiri. Ji-suheng, berterusteranglah, apa
kau benar-benar tidak mencoba membunuh diri? Jangan putus asa, biarlah wanita
di kuil itu untukmu, aku tanggung ini!”
“Sam-sute, sekali lagi kau bicara tentang
bunuh diri, lehermu yang akan kucekik!” Si tahi lalat berkata marah dan
mendongkol.
“Ji-sute, pinto sukar untuk percaya. Biarpun
andaikata benar ada orang menangkap rambutmu dari atas dan menotok jalan
darahmu di leher sehingga kau tidak dapat berteriak, akan tetapi kedua tangan
masih bebas. Dengan itu kau dapat....”
“Kalau diceritakan memang aneh, suheng, maka
tadi kukatakan bahwa setan sajalah yang dapat melakukan itu. Aku sudah melawan
tentu saja, dan tangan kiriku ini sudah menampar lambungnya, bahkan aku yakin
benar tangan kananku sudah menotok jalan darahnya di pinggang. Akan tetapi aku
seolah-olah menampar dan menotok tubuh.... mayat saja. Begitu dingin dan sama
sekali tidak ada hasilnya, hihhh....!” Dia bergidik dan kedua orang saudaranya ikut
merasa ngeri.
“Aihh.... benar-benarkah ada setan di
sini....?”
Tosu pertama berkata sambil menoleh ke kanan
kiri sedangkan tosu ketiga menggosok-gosok tengkuknya yang terasa tebal.
Tiba-tiba si tahi lalat berkata, “Bukan,
suheng. Teringat aku sekarang! Bukan setan karena aku mendengar dia tertawa,
disusul suara yang terdengar jelas akan tetapi agak jauh.”
“Suara bagaimana?”
“Suara seorang laki-laki berkata: Koko, dia
telanjang, ha-ha, begitulah, sekarang aku teringat benar tentu ada dua orang
di pohon itu yang mempermainkan aku.”
Tosu pertama mengelus jenggotnya. “Hemmm....
setan atau manusia, jelas bahwa mereka itu lihai sekali dan agaknya hendak
merintangi tindakan kita. Bodoh sekali kalau kita berlaku nekat. Biarlah kita
anggap saja kita gagal malam ini, dan kita tangguhkan sampai besok. Kita harus
membawa bantuan kalau begini, siapa tahu diam-diam ada orang pandai yang
melindungi rombongan itu.”
Dua orang adiknya mengangguk dan cepat-cepat
meninggalkan tempat itu dan beberapa kali si tahi lalat menoleh ke belakang
karena dia masih merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi.
Tentu saja mudah diduga bahwa yang melakukan
gangguan itu adalah Kian Lee dan Kian Bu. Dan mudah pula diduga bahwa yang
mengencingi kepala tiga orang tosu itu dan menyamar sebagai batu lalu menjegal
kaki, adalah Kian Bu. Sedangkan yang menggantung si tahi lalat adalah Kian Lee,
dibantu oleh adiknya yang melepaskan sabuk dan membuat tali gantungan di dahan.
Setelah tiga orang tosu itu pergi, Kian Lee
yang sudah turun ke bawah bersama adiknya, berkata, “Ingat, Bu-te. Ayah sudah
berpesan agar kita tidak menanam permusuhan dengan siapapun. Urusan antara
tosu-tosu itu dengan rombongan hartawan adalah urusan mereka yang sama sekali
kita tidak ketahui sebab-sebabnya. Kita tidak boleh membantu satu pihak, hanya
kita harus turun tangan kalau ada pihak yang akan melakukan kejahatan.”
Kian Bu menggangguk. “Si tahi lalat suka
kepada perempuan itu. Kalau dia menculik si perempuan itu, aku tidak akan
mencegahnya.”
“Hushh! Menculik sungguh-sungguh merupakan
kejahatan yang harus kita cegah. Kita lihat saja besok, agaknya mereka hendak
merampas sesuatu dari rombongan itu.”
“Bagaimana kalau besok terjadi pertempuran,
koko?”
“Kita lihat saja dari jauh. Pertempuran di antara
mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Tentu saja kita tidak dapat
membantu siapapun, dan kita tidak dapat mencegah pertempuran yang adil. Hanya
kalau metihat ketidakadilan, baru kita harus turun tangan seperti yang
dipesankan ayah.”
“Wah, sukar, Lee-ko!”
“Apanya yang sukar?”
“Tentang keadilan itu, atau lebih tepat
ketidakadilan itu. Bagaimana menentukannya mana yang adil dan mana yang tidak?
Yang tidak adil bagimu belum tentu tidak adil bagiku dan sebaliknya, demikian
pula dengan orang lain!”
“Hemm, Bu-te, seorang yang menjunjung tinggi
kegagahan, yang mengabdi untuk kebenaran dan keadilan harus waspada akan
kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan keadilan yang didasari kepentingan
diri pribadi tentu saja palsu! Akan tetapi, mudah saja melihat kenyataan akan
penindasan dan kejahatan yang dilakukan orang, dan itulah ketidakadilan. Kalau
kau belum mengerti benar, maka harus belajar, adikku. yang terpenting, seperti
pesan ayah, harus diingat dan diketahui bahwa segala sesuatu untuk perbuatan
yang dilakukan demi kepentingan diri pribadi, demi keuntungan lahir batin diri
pribadi, tidak benar kalau dipertahankan sebagai kebenaran atau keadilan.“
“Wah-wah, kuliahmu membikin aku pusing, koko.
Kita sama lihat sajalah besok kalau benar-benar terjadi. Tentu ramai!”
Dua orang kakak beradik itu lalu memilih
sebatang pohon besar yang enak dipakai tidur, yang tidak ada semut-semutnya
tentu saja dan mereka tidur di dalam selimut daun-daun pohon itu sampai pagi.
Kalau rombongan piauwsu itu sama sekali tak ada yang tidur semenit pun, kedua
orang kakak beradik itu tidur dengan nyenyaknya. Mereka tidak khawatir jatuh
karena tubuh dan syaraf mereka yang sudah terlatih sejak kecil itu akan selalu
siap menjaga segala macam bahaya yang mengancam tubuh mereka.
***
Siapakah adanya tiga orang tosu yang
gerak-geriknya penuh rahasia itu? Dan siapa pula rombongan hartawan yang hendak
diganggunya? Untuk mengetahui ini, kita harus mengenal dulu keadaan
pemerintahan pada saat itu.
Ternyata bahwa seperti juga di setiap
pemerintahan, pada waktu itu banyak terdapat orang-orang yang membenci
Pemerintah Mancu yang mulai memperbaiki keadaan pemerintahannya, bahkan
berusaha sedapatnya untuk menarik simpati hati rakyat dengan usaha
memperbaiki nasib rakyat kecil. Betapapun juga, tetap saja ada di antara
mereka yang penasaran dan menghendaki agar pemerintah penjajah itu lenyap dari
tanah air mereka. Golongan ini yang tidak berani berterang melakukan
penentangan terhadap pemerintah yang kuat lalu menyusup ke mana-mana dan di
antaranya ada yang menyusup ke dalam tubuh alat negara yang berupa pasukan
pemerintah!
Apalagi pada waktu itu, kesempatan baik tiba
bagi mereka yang diam-diam membenci Pemerintah Mancu. Kaisar Kang Hsi sudah tua
dan seperti biasanya yang terjadi dalam sejarah kerajaan setiap kali sang raja
sudah tua maka timbullah perang dingin di antara para pangeran yang
bercita-cita mewarisi kedudukan kaisar yang amat diinginkan itu.
Biarpun putera mahkota yang ditunjuk untuk
kelak menggantikan kaisar sudah ada, yaitu Pangeran Yung Ceng, namun banyaklah
pangeran-pangeran yang lebih tua usianya, putera-putera selir, merasa iri hati
dan selain ada yang menginginkan kedudukan kaisar juga banyak yang
memperebutkan pangkat-pangkat tinggi sebagai pembantu kaisar kelak.
Di antara mereka yang berambisi merampas
kedudukan terdapat seorang pangeran tua, pangeran yang paling tua di antara
para pangeran. Pangeran tua ini bernama Pangeran Liong Bin Ong, usianya sudah
lima puluh tahun lebih karena dia dilahirkan dari seorang selir ayah Kaisar
Kang Hsi. Jadi dia adalah adik tiri Kaisar Kang Hsi. Diam-diam Liong Bin Ong
mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw yang membenci pemerintah,
bahkan mengadakan kontak dengan suku bangsa liar di luar tembok besar, terutama
bangsa Mongol yang masih menaruh dendam kekalahannya terhadap Mancu. Diantara
golongan-golongan yang mengadakan persekutuan pemberontakan ini terdapat
perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang para pemimpinnya terdiri
dari tosu-tosu yang sudah menyeleweng dari Agama To dan mempergunakan agama
demi tercapainya ambisi pribadi berkedok agama, yaitu ambisi politik.
Tiga orang tosu yang pada malam itu
dipermainkan oleh Kian Lee dan Kian Bu adalah angauta-anggauta Pek-lian-kauw
yang ditugaskan oleh pimpinannya untuk melakukan penyelidikan karena
Pek-lian-kauw mendengar bahwa pemerintah pusat sedang mulai menaruh curiga
terhadap persekutuan itu dan kabarnya mengirim utusan kepada Jenderal Kao Liang
yang bertugas sebagai komandan yang menjaga tapal batas utara. Di dalam kabar
yang diterima ini, pesuruh dari pemerintah pusat menyamar dan selain mengirim
berita, juga membawakan biaya dalam bentuk emas dan perak. Tiga orang tosu itu
bertugas untuk mengawasi dan kalau dapat merampas semua itu.
Adapun hartawan yang sedang melakukan
perjalanan itu memang datang dari kota raja bersama kedua orang isterinya dan
dikawal oleh para piauwsu bayaran yang kuat, akan tetapi dia hanyalah seorang
hartawan yang hendak pulang ke kampung halamannya saja di utara. Sama sekali
dia tidak mengira bahwa dia disangka oleh para pemberontak sebagai utusan dari
kota raja!
Demikianlah, dengan hati merasa lega juga
bahwa semalam tidak terjadi gangguan terhadap mereka, para piauwsu
mengiringkan dua buah kereta itu melanjutkan perjalanan. Dusun yang dituju
oleh hartawan itu sudah tidak jauh lagi, terletak di balik gunung di depan
kira-kira memerlukan perjalanan setengah hari lebih.
Akan tetapi, belum lama mereka bergerak
meninggalkan kuil kuno itu, tiba-tiba kusir kereta pertama yang duduknya agak
tinggi melihat debu mengepul di depan. “Ada orang dari depan....!” serunya dan
semua piauwsu terkejut, siap dan mengurung kedua kereta itu untuk melindungi.
“Berhenti dan berjaga-jaga!” Piauwsu
berjenggot putih memberi aba-aba dan dua buah kereta itu lalu berhenti, semua
piauwsu meloncat turun dari kuda dan merasa tegang namun siap siaga menghadapi
segala kemungkinan. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang sudah bertahun-tahun
melakukan tugas itu, sudah terbiasa dengan hidup penuh kekerasan dan
pertempuran.
Tak lama kemudian, muncullah tiga orang tosu
itu dan di belakangnya tampak sepuluh orang tinggi besar yang menunggang kuda.
Dilihat dari cara mereka menunggang kuda saja dapat dipastikan bahwa mereka
adalah orang-orang yang biasa melakukan perjalanan jauh dengan berkuda, dan
sikap mereka jelas membayangkan kekerasan, kekejaman dan juga ketangkasan
ahli-ahli silat. Yang lebih mengesankan bagi para piauwsu adalah tiga orang
tosu itu, yang datang dengan jalan kaki, berlari cepat di depan rombongan
berkuda. Para piauwsu yang sudah berpengalaman itu tidak gentar menghadapi
sepuluh orang berkuda yang tinggi besar dan kasar itu, akan tetapi mereka dapat
menduga bahwa tiga orang tosu itulah yang harus dihadapi dengan hati-hati. Oleh
karena itu, pimpinan piauwsu yang tua dan berjenggot putih, segera melangkah
maju menghadapi tiga tosu itu dan menjura penuh hormat.
“Kami dari Hui-houw Piauw-kiok (Perusahaan
Pengawal Harimau Terbang) di Sen-yang menghaturkan salam persahabatan kepada
sam-wi totiang dan cu-wi sekalian. Maafkan bahwa dua kereta yang kami kawal
memenuhi jalan sehingga merepotkan cu-wi saja. Kalau cu-wi hendak lewat,
silahkan mengambil jalan dulu!” Kata-kata penuh hormat dan merendah ini memang
biasanya dilakukan oleh para piauwsu jika menghadapi gerombolan yang tidak
dikenalnya, karena bagi pekerjaan mereka, makin sedikit lawan makin banyak
kawan makin baik.
Tiga orang tosu itu tidak segera menjawab,
melainkan mata mereka mencari-cari penuh selidik, memandangi semua anggauta
piauwsu, bahkan dua orang kusir keretapun tidak luput dari pandang mata mereka
yang penuh selidik sehingga para piauwsu menjadi ngeri juga. Pandang mata tiga
orang tosu itu mengandung wibawa dan agaknya mereka marah. Tentu saja tidak ada
orang yang tahu bahwa tiga orang kakek pendeta ini mencari apakah selain para
piauwsu, tidak ada orang yang menyelundup di dalam rombongan itu. Mereka masih
terpengaruh oleh peristiwa gangguan “setan” semalam! Akan tetapi ketika melihat
bahwa semua orang yang mengawal kereta adalah piauwsu-piauwsu biasa yang sejak
kemarin mereka bayangi, wajah mereka kelihatan lega dan kini si tahi lalat
mewakili suhengnya menjawab, “Kami tidak ingin lewat, kami sengaja menghadang
kalian.”
Berubah wajah para piauwsu dan tangan mereka
sudah meraba gagang pedang masing-masing. Melihat gerakan ini tiga orang tosu
itu tertawa dan tosu tertua sekarang berkata, “Kami tldak ada permusuhan dengan
Hui-houw Piauw-kiok!”
Mendengar ini pimpinan piauwsu kelihatan
girang karena sekarang sudah tampak olehnya gambar teratai di baju tiga orang
tosu itu, di bagian dada. Tiga orang pendeta itu adalah orang-orang
Pek-lian-kauw dan hal ini saja sudah membuat hatinya keder karena sudah
terkenallah bahwa orang-orang Pek-lian-kauw memiliki kepandaian yang tinggi.
Akan tetapi biasanya orang Pek-lian-kauw tidak melakukan perampokan, maka para
piauwsu selain lega juga menjadi heran mengapa tiga orang tosu Pek-lian-kauw
itu menghadang perjalanan mereka.
“Kamipun tahu bahwa para locianpwe dari
Pek-lian-kauw adalah sahabat rakyat jelata dan tidak akan menggang&u
perjalanan kami. Akan tetapi, sam-wi totiang menghadang kami, tidak tahu ada
keperluan apakah? Pasti kami akan membantu dengan suka hati sedapat kami.”
“Kami akan menggeledah kereta yang kalian
kawal!” kata si tahi lalat yang agaknya sudah tidak sabar lagi.
Berubahlah wajah pimpinan piauwsu. Sambil
menahan marah dia mengelus jenggotnya. Betapapun juga, dia adalah wakil ketua
piauw-kiok dan telah terkenal sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Selain itu sebagai wakil piauw-kiok dia rela mempertaruhkan nyawanya demi nama
baik piauw-kiok dan demi melindungi barang atau orang yang dikawalnya.
“Harap sam-wi totiang suka memandang
persahabatan dan tidak mengganggu kawalan kami,” katanya tenang.
“Kami tidak mengganggu, hanya memeriksa dan
tentu saja kalian akan bertanggung jawab kalau kami mendapatkan apa yang kami
cari,” kata tosu tertua.
“Apakah yang sam-wi cari?” tanya piauwsu.
“Bukan urusanmu!” jawab si tahi lalat.
“Suheng, mari kita segera menggeledah, perlu apa melayani segala piauwsu
cerewet?”
Pimpinan piauwsu melangkah maju menghadang di
depan kereta, mengangkat mukanya dan memandang dengan sinar mata berapi penuh
kegagahan. “Sam-wi totiang perlahan dulu! Sam-wi tentu maklum bahwa seorang
piauwsu yang sedang bertugas mengawal menganggap kawalannya lebih berharga
daripada nyawanya sendiri. Oleh karena itu, betapapun menyesalnya, kami
terpaksa tidak dapat membenarkan sam-wi melakukan penggeledahan terhadap
barang dan orang-orang kawalan kami.”
Si tahi lalat membelalakkan matanya
lebar-lebar. “Apa? Kau hendak menentang kami? Kami bukan perampok, akan tetapi
sikap kalian bisa saja membuat kami mengambil tindakan lain!”
“Kami juga tidak menuduh sam-wi perampok, akan
tetapi kalau kehormatan kami sebagai piauwsu disinggung, apa boleh buat, kami
akan melupakan kebodohan kami dan mengerahkan seluruh tenaga untuk melindungi
dua kereta ini.”
“Wah, piauwsu sombong, keparat kau!” Si tahi
lalat sudah bergerak, akan tetapi lengannya dipegang oleh suhengnya.
“Piauwsu, kalau dua orang suteku bergerak,
apalagi dibantu oleh kawan-kawan kita di belakang ini, dalam waktu singkat saja
kalian semua yang berjumlah dua losin ini tentu akan menjadi mayat di tempat
ini. Kami bukan hendak merampok tanpa alasan dan bukan hendak menyerang orang
tanpa sebab dan sekarang kami hanya akan menggeledah. Kalau engkau merasa
tersinggung kehormatanmu sebagai piauwsu, nah, sekarang antara engkau dan
pinto mengadu kepandaian. Kalau pinto kalah, kami akan pergi dan kami tidak
akan mengganggu kalian lebih jauh lagi. Akan tetapi kalau kau kalah, kau harus
membolehkan kami melakukan penggeledahan.”
Piauwsu tua itu mengerutkan alis berpikir dan
mempertimbangkan usul dan tantangan tosu itu. Memang resikonya besar sekali
kalau dia membiarkan anak buahnya bertempur melawan rombongan Pek-lian-kauw
itu. Dia dan anak buahnya tentu saja tidak takut mati dalam membela dan
melindungi kawalan mereka. Mati dalam tugas melindungi kawalan bagi seorang
piauwsu adalah mati terhormat! Akan tetapi, perlu apa membuang nyawa kalau
para tosu ini memang hanya ingin menggeledah? Pula, dia mendengar bahwa
orang-orang Pek-lian-kauw hanya mengurus soal pemberontakan, siapa tahu
hartawan yang dikawal ini menyembunyikan sesuatu, atau membawa sesuatu yang
merugikan dan mengancam keselamatan Pek-lian-kauw? Kalau dia menang, dia
percaya bahwa mereka itu tentu akan pergi karena dia sudah mendengar bahwa
orang-orang Pek-lian-kauw, biarpun kadang-kadang amat kejam, namun selalu
memegang janji dan karenanya memperoleh kepercayaan rakyat. Kalau dia kalah,
dua kereta hanya akan digeledah. Andaikata mereka menemukan sesuatu yang
dicarinya, hal itu masih dapat dirundingkan nanti. Resikonya amat kecil kalau
dia menerima tantangan, dibandingkan dengan resikonya kalau dia menolak.
“Baiklah, kalau aku kalah, sam-wi boleh
menggeledah. Sebaliknya kalau aku menang, harap cu-wi suka melepaskan kami
pergi,” katanya sambil mencabut golok besarnya, senjata yang diandalkan selama
puluhan tahun sebagai piauwsu. “Saya sudah siap!”
Sebelum tosu tertua maju, tosu ketiga sudah
berkata, “Suheng dan ji-suheng, biarkan aku yang maju melayani. Sudah sebulan
lebih aku tidak latihan, tangan kakiku gatal-gatal rasanya!”
Si tahi lalat dan suhengnya mengangguk dan
tersenyum, lalu melangkah mundur. Tosu ketiga yang tubuhnya kecil kurus,
mukanya pucat seperti seorang penderita penyakit paru-paru itu melangkah maju
dengan sigap. Dia adalah seorang pecandu madat, maka tubuhnya kurus kering dan
mukanya pucat, akan tetapi ilmu silatnya lihai. Agaknya racun madat yang
dihisapnya tiap hari itu tidak mengurangi kelihaiannya, bahkan menurut cerita
orang, setiap kali habis menghisap madat, dia menjadi lebih ampuh dari
biasanya, dan jurus-jurus silatnya mempunyai perkembangan yang lebih aneh dan
lihai!
Tosu itu menghampiri piauwsu berjenggot
putih, tersenyum dan memandang ke arah golok di tangan si piauwsu, lalu
berkata, “Eh, piauwsu, yang kau pegang itu apakah?”
Piauwsu itu tentu saja menjadi heran,
mengangkat goloknya lalu berkata, “Apakah totiang tidak mengenal senjata ini?
Sebatang golok yang menjadi kawanku semenjak aku menjadi piauwsu.”
Tosu kecil kurus itu mengangguk-angguk, “Aahh,
pinto tadi mengira bahwa itu adalah alat penyembelih babi. Heii, piauwsu, kalau
kau hendak menyembelih aku apakah tidak terlalu kurus?”
Mendengar ucapan yang nadanya berkelakar dan
mengejek ini, rombongan anak buah Pek-lian-kauw tertawa tanpa turun dari
kudanya, dan rombongan piauwsu juga tersenyum masam karena pihak mereka diejek oleh
tosu kecil kurus yang kelihatan lemah namun amat sombong itu!
“Totiang, kurasa sekarang bukan waktunya untuk
berkelakar. Kalau totiang mewaklli rombongan totiang maju menghadapiku harap
totiang segera mengeluarkan senjata totiang, dan mari kita mulai,” kata
pimpinan piauwsu yang menahan kemarahannya.
“Senjata.... heh-heh, twa-suheng dan
ji-suheng, dia tanya senjata! Eh, piauwsu, apakah kau tidak melihat bahwa pinto
telah membawa empat batang senjata yang masing-masing sepuluh kali lebih ampuh
daripada alat pemotong babi di tanganmu itu?”
Piaauwsu tua itu sudah cukup berpengalaman
maka dia mengerti apa artinya kata-kata yang bernada sombong itu. “Hemm, jadi
totiang hendak melawan golokku dengan keempat buah tangan kaki kosong? Baiklah,
totiang sendiri yang menghendaki, bukan aku, maka kalau sampai totiang
menderita rugi karenanya, harap jangan salahkan aku.”
“Majulah, kau terlalu cerewet!” kata tosu
kecil kurus itu dan dia sendiri seenaknya saja, sama sekali tidak memasang
kuda-kuda dan sikapnya ini jelas memandang rendah kepada lawan.
Melihat sikap tosu itu, piauwsu itu juga tidak
sungkan-sungkan lagi, cepat dia mengeluarkan teriakan dan goloknya menyambar
dengan derasnya.
“Wuuuuttt.... sing-sing-sing-singgg....!”
Hebat memang ilmu golok dari piauwsu itu karena sekali bergerak, setiap kali
dengan cepat dielakkan lawan, golok itu sudah menyambar, membalik dan
melanjutkan serangan pertama yang gagal dengan bacokan kedua. Demikianlah,
golok itu menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda, dari kanan ke kiri
dan sebaliknya, tak pernah menghentikan gerakan serangannya.
“Wah-wehh.... wutt, luput....!” Tosu kurus
kering itu mengelak ke sana-sini dengan cekatan sekali dan biarpun dia juga
kaget menyaksikan serangan yang bertubi-tubi dan berbahaya itu, namun dia masih
mampu terus-menerus mengelak sambil membadut dan berlagak.
Golok itu bergerak dengan cepat dan teratur,
sesuai dengan ilmu golok Siauw-lim-pai yang sudah bercampur dengan gerak kaki
ilmu silat Hoa-san-pai, kadang-kadang menusuk akan tetapi lebih banyak membacok
dan membabat ke arah leher, dada, pinggang, lutut dan bahkan kadang-kadang
membabat mata kaki kalau lawan mengelak dengan loncatan ke atas. Suara golok
membacok angin mengeluarkan suara mendesing-desing menyeramkan dan sebentar
kemudian, golok itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung
yang indah dan yang mengejar ke manapun tosu itu bergerak.
Namun hebatnya, tosu itu selalu dapat
mengelak, bahkan kini kadang-kadang dia menyampok dengan kaki atau tangannya.
Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja berani menyampok golok dengan kaki
atau tangan, karena meleset sedikit saja sampokan itu, tentu mata golok akan
menyanyat kulit merobek daging mematahkan tulang!
“Kau boleh juga, piauwsu!” kata si tosu dan
tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking keras dan tubuhnya juga lenyap
bentuknya, berubah menjadi bayangan yang cepat sekali menari-nari di antara
gulungan sinar golok. Si piauwsu terkejut ketika merasa betapa jantungnya
berhenti beberapa detik oleh pekik melengking tadi, dan sebelum dia dapat
menguasai dirinya yang terpengaruh oleh pekik yang mengandung kekuatan khi-kang
tadi, tahu-tahu lengan kanannya tertotok lumpuh, goloknya terampas dan tampak
sinar golok berkelebat di depannya, memanjang dari atas ke bawah, disusul suara
“bret-bret-brettt....!” dari kain terobek dan.... ketika tosu itu melempar
golok ke tanah, tampak piauwsu itu berdiri dengan pakaian bagian depan terobek
lebar dari atas ke bawah sehingga tampaklah tubuhnya bagian depan! Tentu saja
dia terkejut dan malu sekali, cepat dia menutupkan pakaian yang terobek itu,
dan dengan muka merah dia menjura dan memungut goloknya, “Saya mengaku kalah.
Silahkan totiang bertiga melakukan penggeledahan!”
Terdengar suara berbisik di antara para piauwsu,
akan tetapi pimpinan piauwsu itu berteriak, “Saudara-saudara harap
mempersilakan sam-wi totiang melakukan penggeledahan di dalam kereta!” Selagi
piauwsu kepala ini menutupi tubuhnya yang setengah telanjang itu dengan pakaian
baru yang diambilnya dari buntalannya di punggung kuda dan memakainya dengan
cepat, ketiga orang tosu itu sambil tertawa-tawa lalu mendekati kedua kereta
itu. Si tahi lalat terpisah sendiri dari kedua orang saudaranya. Kalau tosu
pertama dan ketiga menghampiri kereta depan, adalah si tahi lalat ini
menghampiri kereta belakang di mana duduk si hartawan bersama kedua orang
isterinya!
Sambil menyeringai ke arah wanita muda baju
merah, si tahi lalat yang menyingkap tirai itu berkata, “Kalian sudah mendengar
betapa kepala piauwsu kalah dan kami berhak untuk menggeledah. Heh-heh-heh!”
Hartawan itu dengan muka pucat ketakutan
menjawab, “Harap totiang suka menggeledah kereta depan karena semua barang kami
berada di kereta depan.”
“Ha-ha, dua orang saudaraku sudah menggeledah
ke sana, akan tetapi yang kami cari itu mungkin saja disembunyikan di dalam
pakaian, heh-heh. Karena itu, pinto terpaksa akan melakukan penggeledahan di
pakaian kalian.”
Tentu saja dua orang wanita itu menjadi merah
mukanya dan isteri tua cepat berkata, “Totiang yang baik, kami orang-orang
biasa hendak menyembunyikan apakah? Harap totiang suka memaafkan kami dan
tidak menggeledah, biarlah saya akan bersembahyang di kelenteng memujikan
panjang umur bagi totiang.”
Si tahi lalat tersenyum menyeringai,
“Heh-heh, tidak kau sembahyangkanpun umurku
sudah panjang. Kalau terlalu panjang malah berabe, heh-heh!”
Wanita setengah tua itu terkejut dan tidak
berani membuka mulut lagi melihat lagak pendeta yang pecengas-pecengis seperti
badut dan pandang matanya kurang ajar sekali ditujukan kepada madunya yang
masih muda itu.
“Orang menggeledah orang lain harus didasari
kecurigaan. Akupun tidak mau berlaku kurang ajar kepada kalian berdua, akan
tetapi wanita ini menimbulkan kecurigaan hati pinto, karenanya pinto harus
menggeledahnya!”
“Aihhh....!” Wanita muda itu menjerit lirih,
tentu saja merasa ngeri membayangkan akan digeledah pakaiannya oleh
tangan-tangan tosu bertahi lalat yang mulutnya menyeringai penuh liur itu.
“Lihat, dia ketakutan! Tentu saja pinto menjadi
lebih curiga lagi!” kata tosu bertahi lalat itu serius. “Harap kalian turun
dulu, jangan mengganggu pinto sedang bekerja!”
Setelah didorongnya, suami isteri setengah tua
itu tergopoh-gopoh turun dari kereta, meninggalkan wanita muda itu sendirian
saja. Wanita itu duduk memojok dan tubuhnya gemetaran ketika memandang tosu itu
naik ke kereta sambil tersenyum menyeringai.
“Aku.... aku tidak membawa apa-apa....!
Aku.... tidak punya apa-apa....”
“Ah, bohong! Segala kau bawa, kau mempunyai
begini banyak! Heh-heh, kau harus diam dan jangan membantah kalau tidak ingin
pinto bertindak kasar!” Dan sepuluh jari tangan itu seperti ular-ular hidup
merayap-rayap menggerayangi seluruh tubuh wanita muda itu.
Suaminya dan madunya yang berada di luar
kereta, hanya mendengar suara wanita itu merintih, merengek dan mendengus
diseling kadang-kadang terkekeh genit dan suaranya mencela, “Eh.... ihh....
hi-hik, jangan begitu totiang....!” Suara ini bercampur dengan suara tosu itu
yang terengah-engah dan kadang-kadang terkekeh pula, kadang-kadang terdengar
suaranya, “Hushh, jangan ribut.... kau diamlah saja ku.... ku... geledah....”
Sementara itu, dua tosu yang lain telah
memeriksa kereta pertama. Akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan, kecuali peti-peti terisi pakaian dan beberapa potong perhiasan
dan uang emas milik hartawan itu.
“Hemm, sia-sia saja kita bersusah payah. Para
penyelidik itu benar bodoh seperti kerbau. Orang biasa dicurigai!” Tosu kurus
kering mengomel.
“Mana ji-sute?” Tosu tertua bertanya.
“Ke mana lagi si mata keranjang itu kalau
tidak ke kereta kedua?”
“Hemm.... mari kita lekas pergi, setelah salah
duga, tidak baik terlalu lama menahan mereka. Para piauwsu itu tentu akan
menyebarkan berita tidak baik tentang Pek-lian-kauw.”
Keduanya meninggalkan kereta pertama dan
menghampiri kereta kedua. Ketika mereka berdua membuka pintu kereta, tosu
pertama menyumpah. “Ji-sute, hayo cepat kita pergi!”
“Eh.... uhh.... baik, suheng!”
Akan tetapi agak lama juga barulah si tahi lalat
itu keluar dari kereta, pakaiannya kedodoran, rambutnya awut-awutan dan
napasnya agak terengah, dan ketika kedua orang hartawan dan isterinya naik
kereta, mereka melihat wanita muda itu sedang membereskan pakaiannya dan
rambutnya, mukanya merah sekali dan dia tersenyum kecil, mengerling ke arah
suaminya yang cemberut. Pintu kereta ditutup dari dalam dan segera terjadi
maki-makian dan keributan di dalam kereta antara si suami yang memaki-maki
bini mudanya dan si bini muda yang membantah dan melawan, diseling suara isteri
tua yang melerai mereka.
Akan tetapi, ketika dua tosu itu menghampiri
kereta kedua, para pengikutnya yang kasar-kasar itu sudah turun dan beberapa
orang dari mereka ikut memeriksa kereta pertama, kemudian beberapa buah peti
mereka bawa ke kuda mereka. Melihat ini piauwsu yang terdekat segera meloncat
dan menegur, “Heii, mengapa kalian mengambil peti itu? Kembalikan!”
Jawabannya adalah sebuah bacokan kilat yang
membuat piauwsu itu roboh mandi darah. Gegerlah keadaannya yang memang sejak
tadi sudah menegangkan itu. Kedua pihak memang sejak tadi sudah hampir
terbakar, hampir meledak tinggal menanti penyulutnya saja. Kini, begitu seorang
piauwsu mandi darah, semua piauwsu serentak bergerak menyerbu dan terjadilah
pertempuran yang sejak tadi sudah ditahan-tahan.
Melihat ini, biarpun hatinya menyesal, tiga
orang tosu itu terpaksa turun tangan. “Jangan kepalang, kalau sudah begini,
bunuh mereka semua agar tidak meninggalkan jejak kita!” kata si tosu tertua.
Memang terpaksa dia harus membunuh seluruh piauwsu dan kusir serta penumpang
kereta, karena kalau tidak, tentu mereka akan menyebar berita bahwa
Pek-lian-kauw mengganggu dan merampok. Hal ini tentu akan menimbulkan
kemarahan ketua mereka dan merekalah yang harus bertanggung jawab, mungkin
mereka akan dibunuh sendiri oleh ketua mereka karena hal itu amat dilarang
karena dapat memburukkan nama Pek-lian-kauw di mata rakyat yang mereka butuhkan
dukungannya.
“Bunuh semua, jangan sampai ada yang lolos!”
tiga orang tosu itu berteriak-teriak sambil mengamuk. Siapa saja yang berada di
dekat tiga orang tosu yang bertangan kosong ini, pasti roboh.
Tiba-tiba tampak berkelebatnya dua sosok
bayangan orang yang tahu-tahu di situ telah muncul Kian Lee dan Kian Bu. Mereka
sudah sejak tadi membayangi dan mengintai dari jauh. Mereka melihat lagak para
tosu dan karena wanita muda itu sama sekali tidak minta tolong, bahkan ada
terdengar suara ketawanya di antara rintihan dan rengeknya, Kian Lee yang
ditahan-tahan oleh adiknya itu sengaja tidak turun tangan dan mendiamkannya
saja. Juga ketika terjadi adu kepandaian tadi, dia tidak berbuat apa-apa karena
memang pertandingan itu sudah adil, satu lawan satu.
Akan tetapi melihat pertempuran pecah dan
mendengar aba-aba dari mulut tosu itu, Kian Lee dan Kian Bu hampir berbareng
melompat dan lari cepat sekali ke medan pertempuran. Sekali mereka bergerak,
robohlah empat orang di antara sepuluh orang tinggi besar pengikut
Pek-lian-kauw itu dan terdengar Kian Bu berteriak, “Cu-wi piauwsu, harap kalian
hadapi enam orang hutan itu, biarkan kami menghadapi tiga orang pendeta palsu
ini!”
Melihat munculnya dua orang muda yang
segebrakan saja merobohkan empat orang tinggi besar itu, semua piauwsu
terheran-heran dan tentu saja dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika
mengenal kedua orang itu yang bukan lain adalah si penculik nyonya muda dan
penolongnya! Bagaimana mereka dapat datang bersama dan kini membantu mereka
menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw? Akan tetapi, mereka tidak ada waktu untuk
bertanya dan kini semua para piauwsu yang bersama pemimpinnya masih berjumlah
delapan belas orang karena yang enam orang telah roboh, maju menyerbu dan
mengeroyok enam orang sisa pasukan pengikut Pek-lian-kauw yang tinggi besar
itu. Biarpun pada umumnya tingkat kepandaian orang Pek-lian-kauw itu lebih
tinggi sedikit, namun karena mereka harus menghadapi para piauwsu dengan
perbandingan satu lawan tiga, mereka segera terdesak.
Sementara itu, Kian Lee dan Kian Bu sudah
menghadapi tiga tosu yang memandang kepada mereka dengan mata terbelak dan
dengan ragu-ragu. Kian Bu segera tersenyum dan bertanya, “Apa kabar, sam-wi
totiang? Aihh, kenapa sam-wi bau air kencing?”
Mendengar kata-kata ini, tiga orang tosu itu
kontan berteriak marah sekali karena mereka tahu bahwa dua orang pemuda inilah
yang mengganggu mereka semalam dan yang telah menyamar sebagai “setan”. Biarpun
semalam mereka mendapatkan bukti betapa lihainya dua orang itu, namun begitu
melihat mereka berdua hanyalah pemuda-pemuda tanggung, tiga orang tosu itu menjadi
besar hati. Sampai di mana sih tingkat kepandaian orang-orang muda seperti
itu? Mereka tentu saja tidak merasa gentar sedikitpun dan sambil mengeluarkan
suara teriakan seperti harimau buas, si tahi lalat sudah lebih dahulu menerjang
maju dan mencengkeram dengan kedua tangan membentuk cakar ke arah kepala Kian
Bu!
Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, akan
tetapi setelah kedua tangan yang seperti cakar itu dekat dengan kepalanya
secepatnya ia menangkis hingga sekaligus tangan kirinya menangkis dua tangan
lawan yang menyeleweng ke samping, kemudian secepat kilat tangan kanannya
bergerak selagi tubuh lawan masih berada di udara.
“Plak! Crettt! Aduuhh....!” Tosu bertahi lalat
di dagunya itu berteriak kaget dan kesakitan, lalu mencelat mundur berjungkir
balik sambil mendekap hidungnya yang keluar “kecap” terkena sentilan jari
tangan Kian Bu. Biarpun tosu itu sudah mahir sekali menggunakan sin-kang
membuat tubuhnya kebal, akan tetapi kekebalannya tidak dapat melindungi
hidungnya yang agak terlalu besar dan buntek itu, maka sekali kena disentil
jari tangan yang kuat itu, sekaligus darahnya muncrat ke luar.
Tosu kurus kering juga sudah menerjang Kian
Lee. Karena tosu ini lebih berhati-hati, tidak sembrono seperti sutenya, dia
menyerang dengan jurus pilihan dari Pek-lian-kauw, bahkan dia mengerahkan
sin-kang yang mendorong hawa beracun menyambar ke luar dari telapak tangannya.
Hampir semua tokoh Pek-lian-kauw yang sudah agak tinggi tingkatnya, semua
mempelajari ilmu pukulan beracun ini, yang hanya dapat dipelajari oleh kaum
Pek-lian-kauw. Ilmu pukulan ini ada yang memberi nama Pek-lian-tok-ciang
(Tangan Beracun Pek-lian-kauw) dan memang amat dahsyat karena begitu tosu itu
memukul dengan kedua tangan terbuka, tidak saja dapat melukai lawan di sebelah
dalam tubuhnya dengan hawa pukulan sin-kang itu, akan tetapi hawa beracun itu
masih dapat mencelakai lawan yang dapat menahan sin-kang. Berbahayanya dari
pukulan ini adalah karena hawa beracun itu tidak mengeluarkan tanda apa-apa,
berbeda dengan pukulan tangan beracun lain yang dapat dikenal, yaitu dari
baunya atau dari uap yang keluar dari tangan sehingga lebih mudah dijaga.
Kian Lee agaknya tidak tahu akan pukulan
beracun ini, maka dengan seenaknya dia menyambut dengan kedua telapak
tangannya pula. Melihat ini, si tosu kurus kering dan twa-suhengnya yang belum
turun tangan menjadi girang, mengira bahwa pemuda itu pasti terjungkal, karena
andaikata dapat menahan tenaga sin-kang dari pukulan itu, pasti akan terkena
hawa beracun.
“Duk! Plakk!”
Terjungkallah tubuh.... si tosu kurus kering!
Kejadian ini tentu saja membuat tosu pertama menjadi kaget setengah mati karena
hal yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang disangka dan diharapkannya. Dia
melihat tubuh sutenya yang roboh bergulingan menggigil kedinginan,
terheran-heran mengapa sutenya bisa begitu. Akan tetapi tak ada waktu untuk
memeriksa dan segera menerjang maju aengan marah sekali sambil meloloskan sabuk
sutera di pinggangnya. Sabuk pendek ini memang selalu dilibatkan di pinggang
dan merupakan senjatanya yang ampuh sungguhpun jarang sekali dia
mempergunakannya karena biasanya, kedua tangannya saja sudah cukup untuk
merobohkan seorang lawan. Akan tetapi sekarang, melihat betapa ji-sutenya dalam
segebrakan telah remuk hidungnya dan sam-sutenya juga telah roboh dan menggigil
kedinginan, dia maklum bahwa kedua orang muda itu amat hebat kepandainnya dan
tanpa sungkan-sungkan lagi dia lalu meloloskan senjatanya itu.
Juga si tahi lalat yang sudah hilang puyengnya
karena hidungnya remuk itu, setelah menghapus darah dari mulutnya yang ternoda
oleh darah yang menitik dari bekas hidung, sudah mengeluarkan senjatanya pula.
Berbeda dengan suhengnya, senjata tosu ini ada dua macam, yaitu seuntai tasbeh
dan setangkai kembang teratai putih yang entah diberi obat apa sudah menjadi
keras seperti besi! Tadinya kedua senjata ini tersimpan di dalam saku bajunya
yang lebar dan kini sudah berada di kedua tangannya.
“Wah-wah, setelah menghadapi kesukaran baru
kau ingat kepada tasbehmu dan kembang, ya? Apakah engkau hendak membaca doa dan
memuja dewa dengan kembang itu?” Kian Bu mengejek.
“Keparat, mampuslah kau di tanganku!” Si tahi
lalat membentak dan tasbehnya sudah menyambar ganas ke arah dahi Kian Bu
sedangkan kembang teratai itu menyambar leher. Serangan ini berbahaya sekali
karena merupakan serangan palsu atau ancaman. Kelihatannya memang ganas, akan
tetapi keganasan ini hanya untuk mengelabui perhatian lawan karena pada detik
selanjutnya, selagi perhatian lawan tertuju untuk menghadapi dua serangan ganas
itu, kakinya menyambar dan menendang ke arah anggauta kelamin yang merupakan
satu di antara pusat kematian bagi seorang laki-laki!
“Cuuuutt-wuuuttt.... wessss!”
Namun sekali ini yang dihadapi oleh si tahi
lalat adalah putera Pendekar Super Sakti! Menghadapi serangan ini, dengan amat
tenangnya Kian Bu tersenyum dan memandang saja. Ketika dua senjata itu sudah
datang dekat, dia hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja, dan pada saat kedua
senjata itu ditarik secara berbareng, tahulah dia bahwa dua serangan itu
hanyalah merupakan gertak sambal saja, maka dengan tenang dia menanti serangan
intinya. Ketika melihat berkelebatnya kaki tosu itu menendang ke arah alat
kelaminnya, Kian Bu tersenyum dan pura-pura terlambat mengelak.
“Desss!” Tepat sekali kaki itu menendang
bawah pusar dan Kian Bu terjengkang roboh, mukanya pucat dan matanya mendelik
dan napasnya terhenti.
“Hua-ha-ha-ha! Kiranya engkau hanya begini
saja! Tidak lebih keras daripada tahu!” Sambil berkata demikian, si tahi lalat
itu melangkah maju, mengangkat kakinya dan mengerahkan sin-kang, hendak
menginjak hancur kepala Kian Bu.
“Wuuuuttt! Plak! Tekkk.... wadouww....!” Tosu
itu memekik, kedua senjatanya terlepas dan dia berjingkrak-jingkrak seperti
anak kecil kegirangan, akan tetapi air matanya bercucuran dan mulutnya
megap-megap dan mendesis-desis seperti orang kepedasan, kedua tangannya
mendekap alat kelaminnya dan kaki kanannya diangkat, kaki kiri
berloncat-loncatan! Apa yang terjadi? Tentu saja Kian Bu tadi menerima
tendangan itu dengan sengaja! Sebagai seorang putera Pendekar Super Sakti yang
telah memiliki sin-kang luar biasa sekali tingginya, pada saat kaki lawan
datang, dia sudah mengerahkan sin-kangnya menyedot seluruh alat kelaminnya
masuk ke rongga perut sehingga tendangan itu hanya mengenai kulitnya yang
dilindungi oleh hawa sin-kang di sebelah dalam. Akan tetapi dia pura-pura jatuh
dan semaput! Pada saat kaki tosu itu datang hendak menginjak kepalanya, dia
cepat megangkap kaki itu, menariknya sehingga tubuh tosu itu merendah, kemudian
dengan jari tangannya dia “menyentil” alat kelamin tosu itu, mengenai sebutir
di antara bola kelaminnya, dan tentu saja mendatangkan rasa nyeri yang sukar
dilukiskan di sini. Hanya mereka yang pernah terpukul bola kelaminnya sajalah
yang akan tahu bagaimana rasanya. Kiut-miut berdenyut-denyut terasa di seluruh
tubuh, merasuk di otot-otot dan tulang sumsum, terasa oleh setiap bulu di
badan, membuat kepala rasanya mot-motan dan ulu hati seperti diganjal, nyeri
dan linu, pedih cekot-cekot dan segala macam rasa nyeri terkumpul menjadi satu
membuat tosu itu pingsan tidak sadarpun tidak, hidup tidak matipun belum! Dalam
keadaan seperti itu, tentu saja kedua senjatanya terlepas tanpa disadarinya
lagi, bahkan dia masih berjingkrakan seperti seekor monyet diajar menari ketika
Kian Bu sambil tertawa mengalungkan tasbeh di leher tosu itu dan menancapkan
tangkai kembang di rambutnya!
Sementara itu tosu tertua yang menyerang Kian
Lee pun kecelik. Sabuknya menyambar seperti seekor ular hidup, mula-mula
melayang-layang ke sana-sini untuk mengacaukan perhatian lawan. Namun, melihat
betapa pemuda itu sama sekali tidak membuat gerakan mengelak, bahkan memandang
gerakan sabuk itu tanpa gentar sedikitpun juga, sabuk itu melayang turun dan
menotok ke arah ubun-ubun kepala Kian Lee. Kalau saja pemuda ini belum yakin
akan kemampuan dan kekuatan sin-kang lawan, tentu saja dia tidak begitu gegabah
berani menerima totokan ujung sabuk ke arah bagian kepala yang lemah ini. Akan
tetapi perhitungannya sudah masak, dan dia menerima saja totokan itu.
“Takkkk!” Ujung sabuk tepat mengenai ubun-ubun
kepala pemuda itu, akan tetapi sabuk itu membalik dan hebatnya, bukan
sembarangan saja membalik, melainkan mengandung kekuatan dahsyat dan sabuk itu
menyerang ubun-ubun kepala tosu itu sendiri tanpa dapat ditahannya. Kaget
setengah mati tosu itu dan cepat dia miringkan kepala sehingga totokan sabuk
itu meleset.
Akan tetapi dia masih penasaran. Disangkanya
hal itu hanyalah kebetulan saja karena kuatnya dia menggerakkan sabuk dan
kuatnya pemuda itu menahan totokannya. Biarpun dia kaget dan juga heran, namun
kembali dia menggerakkan sabuknya dan sekali ini sabuknya meluncur dan menotok
ke arah mata kanan Kian Lee! Secepat itu pula, tangan kirinya bergerak ke depan
mencengkeram ke arah pusar. Sukar dibandingkan yang mana antara kedua serangan
ini yang lebih berbahaya. Sudah jelas bahwa totokan ujung sabuk ke arah mata
itu sedikitnya dapat membuat sebelah mata menjadi buta! Akan tetapi cengkeraman
tangan yang amat kuat itu ke pusar, kalau sampai pusar dapat dicengkeram dan
terkuak, tentu isi perut akan ambrol dan terjurai keluar semua!
Kian Lee yang senantiasa bersikap tenang itu
sedikitpun tidak menjadi gugup bahkan dengan tenangnya tanpa berkedip dia
menanti sampai ujung sabuk dekat sekali dengan mukanya, lalu tiba-tiba
tangannya menyampok dan mengirim kembali ujung sabuk itu ke muka lawan,
sedangkan perutnya menerima cengkeraman itu, bahkan menggunakan sin-kang untuk
membuat perutnya lunak seperti agar-agar sehingga tangan lawan terbenam masuk,
akan tetapi setelah tangan lawan memasuki perutnya, dia mengerahkan sin-kang
untuk menyedot dan tangan itu tidak dapat ditarik kembali oleh pemiliknya.
Bukan main kagetnya tosu itu, dia harus
membagi perhatiannya menjadi dua, sebagian untuk menarik kembali tangannya
yang terjepit di perut lawan, dan kedua kalinya untuk menguasai sabuknya
sendiri yang menjadi “liar” dan menyerang dirinya sendiri.
“Plakk! Krekkk!” Tubuh tosu itu terjengkang
dan dia mengerang kesakitan karena selain pipinya terobek kulitnya oleh
hantaman ujung sabuknya sendiri, juga tulang ibu jari dan kelingkingnya
patah-patah terkena himpitan di dalam perut pemuda luar biasa itu!
“Tahan semua senjata! Cu-wi piauwsu, biarkan
mereka pergi semua!” Kian Lee berseru suaranya lantang sekali, penuh dengan
kekuatan khi-kang sehingga mereka yang masih bertanding itu terkejut dan
menahan senjata masing-masing.
Kepala piauwsu itu yang melihat betapa tiga
orang tosu itu telah dibuat tidak berdaya oleh dua orang pemuda aneh itu, tak
berani membantah lalu berkata kepada sisa pengikut Pek-lian-kauw, “Kalian tahu
sendiri kami tidak berniat untuk memusuhi Pek-lian-kauw, melainkan pimpinan
kalian yang mendesak kami. Nah, pergilah dan bawa teman-temanmu!”
Sisa pihak Pek-lian-kauw yang maklum bahwa
melawanpun tiada gunanya, lalu saling tolong dan naik ke atas kuda. Tiga orang
tosu yang tadinya ketika datang menggunakan ilmu lari cepat di depan rombongan
kuda, kini dalam keadaan setengah pingsan dipangku oleh mereka yang masih
sehat, kemudian tanpa pamit mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Para piauwsu lalu menolong teman-teman mereka
yang terluka sedangkan pimpinan rbmbongan itu, piauwsu berjenggot putih menjura
kepada Kian Lee dan Kian Bu sambil berkata, “Berkat pertolongan ji-wi taihiap
maka kami masih dapat selamat dan....” tiba-tiba dia menghentikan kata-kata dan
terbelalak ketika melihat dua orang pemuda itu saling pandang, mengangguk dan
tiba-tiba saja melesat dan lenyap dari depannya! Yang terdengar dari jauh
hanya suara melengking tinggi, seperti suara burung rajawali yang sedang
berkejaran.
“Bukan main....!” Piauwsu itu menggeleng
kepala dan melongo. “Sepasang pemuda itu.... seperti.... sepasang rajawali
sakti saja....! Sayang mereka tidak memperkenalkan diri....!” Memang selama
hidupnya berkelana di dunia kang-ouw, belum pernah piauwsu ini menyaksikan
kepandaian dua orang pemuda semuda itu, dua orang pemuda yang tingkat ilmunya
tidak lumrah manusia dan ketika pergi seperti terbang, seperti sepasang
rajawali sakti saja!
Tiada habisnya mereka membicarakan kedua orang
pemuda itu yang pada kemunculan pertama sudah aneh, seorang menjadi penculik
dan seorang menjadi penolong, kemudian penculik dan penolong itu bekerja sama
mengusir orang-orang Pek-lian-kauw secara mengherankan sekali. Tak salah lagi,
tentu mereka itu bersaudara melihat wajah mereka yang mirip, dan tentu soal
penculikan tadi hanya main-main saja, permainan dua orang pemuda aneh yang
tidak lumrah manusia.
Cerita itu menjalar cepat dari mulut ke mulut
sehingga mulai hari itu, terkenallah julukan Sepasang Rajawali Sakti untuk dua
orang pemuda yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw. Bukan hanya
dari pihak piauwsu itu saja yang memperluas cerita itu, juga dari pihak
Pek-lian-kauw sendiri segera mengakui bahwa memang di dunia kang-ouw muncul
dua orang pemuda yang aneh dan yang patut disebut Sepasang Rajawali Sakti
karena ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi!
***
Tidak baik kalau terlalu lama kita
meninggalkan Lu Ceng atau Ceng Ceng, dara remaja cantik jelita dan lincah
jenaka yang sejak permulaan cerita ini sudah banyak mengalami hal-hal yang amat
hebat itu. Seperti diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng yang juga mempunyai
nama baru setelah diangkat adik oleh puteri Bhutan, yaitu Candra Dewi, hanyut
di dalam perahu tanpa kemudi bersama kakak angkatnya, Puteri Syanti Dewi yang
dalam penyamarannya karena dikejar-kejar kaum pemberontak juga mempunyai nama
baru, yaitu Lu Sian Cu.
Seperti telah diceritakan, Syanti Dewi dan
Ceng Ceng terlempar ke air sungai yang dalam dan deras arusnya, ketika perahu
yang tanpa kemudi karena ditinggalkan tukang perahu itu menabrak perahu-perahu
lain dan terguling. Syanti Dewi dapat tertolong oleh seorang laki-laki gagah
perkasa yang bukan lain adalah Gak Bun Beng, akan tetapi keduanya tidak
berhasil mencari Ceng Ceng dengan jalan menyusuri tepi Sungai Nu-kiang. Namun
tak ditemukan jejak Ceng Ceng dan dengan hati berat terpaksa Syanti Dewi
bersama penolongnya itu meninggalkan sungai itu dan menganggap bahwa Ceng Ceng
tentu sudah tenggelam dan tewas.
Benarkah Ceng Ceng tewas tenggelam di dasar
Sungai Nu-kiang di barat itu?
Kalau demikian, pengarang yakin tentu dalam
waktu pendek pengarang tentu akan menerima surat-surat protes dari para
pembaca! Tidak, Ceng Ceng tidak tewas dan pada saat Syanti Dewi dan Gak Bun
Beng menyusuri tepi Sungai Nu-kiang itu, dia sudah menggeletak jauh dari tepi
sungai, di dalam sebuah hutan yang amat sunyi dan liar, menggeletak pingsan
dengan muka masih kebiruan, akan tetapi perutnya telah kempis tidak penuh air
dan napasnya sudah berjalan dengan halus dan kuat. Krisis telah lewat dan dara
itu telah selamat dari cengkeraman maut melalui air Sungai Nu-kiang.
Ceng Ceng mulai siuman dan menggerak-gerakkan
pelupuk mata, atau lebih tepat lagi, bola mata yang masih tertutup pelupuk itu
mulai bergerak, kemudian pelupuk matanya terbuka perlahan, makin lama makin
lebar sehingga matanya seperti sepasang matahari baru muncul dari permukaan
laut di timur. Mendadak, mata itu terbuka serentak dengan lebar, kepalanya
menoleh ke kanan kiri, lalu ke pinggir tubuhnya. Mengapa dia rebah terlentang
di bawah pohon-pohon besar, di atas rumput kering, di dekatnya ada api unggun
yang mendatangkan hawa hangat. Ketika menengok ke kanan, dia melihat seorang pemuda
sedang duduk di tepi sungai kecil di dalam hutan itu, duduk membelakanginya dan
memegang tangkai pancing, sedang tangan kirinya memegang sebuah paha ayam hutan
yang sudah dipanggang, dan di dekatnya tampak kayu yang masih terbakar
mengepulkan asap dan di antara api membara itu masih terdapat sisa ayam hutan.
Ceng Ceng tidak bergerak, memandang seperti
dalam mimpi. Siapa pemuda itu? Dan dia.... mengapa berada di tempat ini.
Tiba-tiba dia menahan seruannya karena teringat. Bukankah dia bersama kakaknya
Syanti Dewi terlempar ke dalam sungai dan hanyut? Teringat akan ini, teringat
akan kakaknya yang hanyut, serentak Ceng Ceng melompat bangun.
“Iiihhh....!” Dia menjerit kecil dan
cepat-cepat dia merobohkan diri “mendekam” lagi di atas tanah, kedua tangannya
sibuk menutupkan jubah lebar yang kedodoran dan tadi terbuka ketika dia
meloncat bangun. Baru sekarang dia melihat dan memperhatikan keadaan tubuhnya
dan rasa malu membuat seluruh tubuhnya, mungkin saja dari akar rambut sampai
akar kuku jari kaki, menjadi kemerahan. Siapa yang tidak akan malu setengah
mati mendapat kenyataan bahwa tubuhnya hanya tertutup oleh jubah lebar itu
saja, tanpa apa-apa lagi di sebelah dalamnya? Dia telah telanjang bulat-bulat
betul, hanya terlindung oleh jubah itu. Di mana pakaiannya? Mengapa dia
telanjang bulat? Siapa yang mencopoti pakaiannya tanpa ijin? Dan jubah ini,
siapa yang menutupkan di tubuhnya? Siapa lagi kalau bukan pemuda itu, pikirnya
dan matanya mulai mengeluarkan sinar berapi. Kurang ajar! Pemuda laknat, berani
menelanjangi aku dan memakaikan jubah ini. Pemuda yang harus mampus! Ingin dia
menjerit dan menangis, akan tetapi melihat pemuda yang duduk mancing ikan dan
membelakanginya itu diam tak bergerak, dia menjadi ragu-ragu. Dia tidak boleh
sembrono dan lancang, pikirnya. Bagaimana kalau bukan dia yang melakukannya?
“Setan alas di
kali eh, setan kali di alas!” Tiba-tiba
pemuda itu mengomel dan kalau Ceng Ceng tidak sedang marah besar sekali itu
tentu dia akan tertawa geli melihat pemuda itu mengangkat pancingnya dan
melihat ada tahi tersangkut di mata kail itu! Agaknya tahi monyet atau
binatang lain, akan tetapi bentuknya seperti kotoran manusia dan cukup
menjijikkan! Dengan gerakan gemas pemuda itu menyabet-nyabetkan kailnya di air
sampai kotoran itu lenyap, kemudian mengangkat mata kailnya yang sudah
kehilangan umpan, mengambil lagi daging bakar, sebagian dicuwil untuk dipakai
umpan, sebagian lagi dijejalkan mulutnya. Melihat betapa pemuda itu kembali
mengambil paha ayam dan menggigitnya, timbul air liur di mulut Ceng Ceng karena
baru terasa olehnya betapa lapar perutnya.
Pemuda itu lalu menancapkan gagang pancingnya
di tanah, lalu bangkit berdiri, membalik dan baru dia melihat Ceng Ceng
agaknya! Melihat gadis itu sudah siuman, mendeprok di bawah dengan tangan sibuk
menutupi tubuhnya dengan jubah kedodoran yang kancingnya banyak yang sudah
rusak sehingga tidak dapat dikancingkan itu, dia tersenyum mengejek! Senyum
yang bagi Ceng Ceng amat menggemaskan, senyum yang lebih tepat disebut menyeringai
dan sengaja mengejek, malah matanya melirak-lirik seperti orang menggoda,
tangan kiri memegang paha ayam diacungkan ke atas, dicium dengan cuping hidung
kembang kempis.
“Hemmm.... sedap dan gurihnya....!” lalu dia
menoleh kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Wah, lama benar engkau tidur!
Keenakan mimpi, ya? Kau membikin aku repot bukan main, yaaaa.... repot bukan
main, lahir batin. Untung engkau tidak mati di sungai, dan untung aku mempunyai
jubah cadangan, biarpun sudah agak tua akan tetapi cukup untuk menyelimutimu.”
Mendengar ini, kontan keras Ceng Ceng naik
darah! Betapa tidak kalau kata-kata pemuda itu jelas membuktikan bahwa pemuda
inilah yang telah mencopoti semua pakaiannya, kemudian mengenakan jubah itu
pada tubuhnya! Sialan? Dia meloncat bangun, kedua tangan dikepal dan siap untuk
menyerang, akan tetapi agak kaku karena tangan kanannya tertutup oleh tangan
baju yang terlalu panjang itu dan telapak kakinya terasa nyeri dan juga geli
karena kakinya telanjang dan batu-batu di tempat itu agak runcing. Akan tetapi
hanya beberapa detik saja dia memasang kuda-kuda yang kaku itu karena dia
melihat pemuda itu sudah menaruh telunjuknya di depan hidung sambil berkata,
“Cih, tidak tahu malu, ya? Lihat jubah itu kedodoran!”
Tentu saja Ceng Ceng sudah cepat menggunakan
kedua tangannya untuk menutupi depan jubahnya dan dia tidak berani lagi maju
menyerang karena begitu dia menyerang, tentu jubah itu akan terlepas, terbuka
dan.... akan tampaklah semua bagian depan dari tubuhnya. Dia membanting-banting
kakinya, akan tetapi segera menjerit dan mengaduh karena kakinya menimpa batu
runcing. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis dan dengan mata terbelalak
penuh kemarahan dia memandang wajah pemuda itu.
Pemuda itu lalu enak-enak duduk lagi di tepi
sungai, membelakangi Ceng Ceng dan sambil melanjutkan makan ayam panggang dia
mencurahkan perhatiannya kepada pancingnya, seolah-olah Ceng Ceng tidak ada di
belakangnya atau bahkan seolah-olah di dunia ini tidak ada seorang manusia lain
kecuali dia dan pancingnya!
Ceng Ceng makin panas perutnya. Dia memutar
otaknya dan teringat akan cerita tentang jai-hwa-cat, yaitu penjahat
berkepandaian tinggi yang kerjanya hanya menculik dan memperkosa seorang gadis
kemudian membunuhnya. Dia bergidik. Seorang penjahat jai-hwa-cat (penjahat
pemetik bunga) kiranya pemuda itu! Dia terjatuh ke dalam tangan seorang
penjahat keji. Diam-diam selagi pemuda itu membelakanginya, dia meraba-raba
tubuhnya, memeriksa dan merasakan keadaan tubuhnya. Hatinya lega karena dia
merasa yakin bahwa dia belum ternoda. Akan tetapi berapa lama lagi? Dan dia
sudah ditelanjangi oleh pemuda itu, jari-jari tangan pemuda itu telah
menggerayangi tubuhnya ketika menanggalkan semua pakaiannya, bahkan sepatunya,
kemudian mengganti dengan jubah itu! Pemuda kurang ajar! Pemuda yang harus
mampus!
Makin dipikir, makin dikenang, makin panas
rasa perutnya. Dia lalu merobek pinggiran jubah itu sehingga merupakan tali
yang cukup panjang, kemudian selain menggunakan sebagian tali untuk ikat
pinggang, juga dia mengikat lubang-lubang kancing jubah itu sehingga tidak ada
bahaya terbuka lagi kalau kedua tangannya digerakkan. Setelah itu lalu
digulungnya lengan bajunya sampai ke siku agar tidak menghalangi gerakannya
karena dia sudah mengambil keputusan pasti untuk menghajar jai-hwa-cat itu!
Menghajarnya sampai mati.
Setelah selesai persiapannya, dia melangkah
perlahan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Dia sudah memasang
kuda-kuda dan kedua tangannya sudah terkepal di pinggang, siap untuk menerjang
dan memukul. Dia harus menyerang dengan jurus apa? Bagian mana yang harus
dipukulnya dan sebaiknya memukul dengan tangan terbuka atau terkepal? Dia
mempertimbangkan, memilih-milih bagian mana yang paling “lunak” dan yang
paling tepat, karena dia yakin bahwa pemuda itu tentu pandai, maka dia harus
dapat berhasil menyerang secara “tek-sek”, yaitu satu kali “tek” (suara
pukulan) hasilnya “sek” (mati), atau sekali pukul mati! Tengkuknya yang
sebagian tertutup rambut yang hitam lebat dan dikuncir tebal itu? Ah, kuncir
itu terlalu tebal dan ini bisa menahan pukulannya. Punggungnya? Pemuda itu
memakai baju dan berlapis jubah tebal, inipun tidak menguntungkan kalau dia
memukul punggung, apalagi menotok karena totokannya bisa terhalang oleh
tebalnya pakaian. Kepalanya! Ya, ubun-ubun kepalanya itu. Biarpun pemuda itu
rambutnya hitam dan tebal, akan tetapi kiranya rambut itu tidak cukup kuat
untuk melindungi ubun-ubun yang lemah.
Sekali pukul ubun-ubunnya, beres! Apalagi
kalau dia mengerahkan sin-kangnya, menggunakan jari tangan terbuka
mencengkeram, tentu jari-jari tangannya akan menancap di ubun-ubun itu.
Crottt, dan otaknya akan muncrat keluar! Ceng Ceng bergidik ngeri juga. Belum
pernah dia melakukan hal sekejam itu. Membayangkan otak kepala manusia
berlepotan di jari tangannya, dia sudah mau muntah. Ah, ditotok saja jalan
darah di lehernya. Totokannya biasanya jitu dan sekali totok tentu pemuda itu
akan tak berdaya lagi, kalau sudah begitu, terserah nanti bagaimana dia akan
membunuhnya.
Tangannya sudah dibuka jarinya, kedua jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanan sudah menegang sedangkan tiga jari
lainnya ditekuk, siap untuk melakukan totokan yang jitu selagi pemuda itu
tekun memperhatikan pancingnya.
“Apakah sebelum membunuhku, kau tidak lebih
dulu menanyakan di mana kusimpan pakaianmu? Kalau aku mati dan kau tidak dapat
menemukan pakaianmu, apakah kau akan melakukan perjalanan seperti itu?”
Ucapan pemuda itu membuat dia lemas! Lemas dan
jengkel. Jari tangan yang sudah menegang menjadi lemas kembali.
“Jai-hwa-cat! Manusia cabul! Mata keranjang!
Laki-laki tak tahu malu! Ceriwis dan muka tebal!”
Pemuda itu menoleh, tersenyum lebar
memperlihatkan deretan gigi yang kuat dan putih bersih, matanya bersinar-sinar,
wajahnya berseri. “Apa lagi? Kalau masih ada, keluarkan semua, kalau perlu
boleh melihat kamus mencari kata-kata makian. Tidak baik menyimpan penasaran.”
Bagaikan api disiram bensin, kemarahan Ceng
Ceng makin berkobar, telunjuknya menuding. “Kau.... kau.... babi celeng monyet
anjing kerbau! Kau manusia iblis, setan,
siluman eh,
apalagi.... eh, keparat jahanam! Hayo kembalikan pakaianku, kalau tidak....”
“Kalau tidak mengapa sih?”
“Kalau tidak.... akan kuhancurkan kepalamu,
kurobek dadamu, kukeluarkan isi perutmu, kupotong lehermu, kaki dan
tanganmu....!”
“Heh-heh, memangnya aku ayam? Terlalu kejam
bagi seorang dara secantik engkau!”
Karena kata-kata dan sikap pemuda itu
mengejeknya, tak dapat lagi Ceng Ceng menahan kemarahan hatinya, “Kembalikan
pakaianku!”
“Nanti dulu! Kalau kau minta dengan cara
kurang ajar seperti itu, jangan harap aku akan mengembalikannya!”
“Apa? Harus bagaimana aku minta?”
“Yahhh, dengan kata-kata yang sopan dan manis,
namanya saja orang minta-minta.”
“Aku bukan pengemis!”
“Akan tetapi engkau minta sesuatu, harus yang
sopan dan manis.”
“Manis hidungmu! Mampuslah!”
Ceng Ceng sudah tak dapat lagi menahan lebih
lama dan dia menyerang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya memukul
meskipun kakinya berjingkrak karena telanjang.
“Hehhhh.... waaahhh.... luput!”
“Haaaaiiitttt....!” Tubuh Ceng Ceng menerjang
maju, kakinya menendang menyusul hantamannya mengarah dada.
“Wuuuussss.... hampir saja tapi luput!”
“Hyaattt....!” Kemarahan membuat Ceng Ceng
menyerang sehebatnya, kini tangan kirinya mencengkeram ke arah mata lawan
disusul tangan kanannya menyodok lambung. Pukulan yang berbahaya sekali.
“Bagus sekali, sayang gagal....!”
Bertubi-tubi Ceng Ceng menyerang, mengeluarkan
jurus-jurus paling ampuh yang pernah dipelajarinya, terus mengejar ke manapun
pemuda itu loncat mengelak, namun tak pernah serangannya berhasil. Gerakan
pemuda itu luar biasa gesitnya, dan tiba-tiba Ceng Ceng mengaduh-aduh, lalu
menghentikan serangannya dan pergi dari tempat yang penuh batu kerikil runcing
itu ke tempat tadi. Kiranya pemuda itu mengelak sambil memancing gadis itu
mengejarnya ke tempat yang penuh dengan batu kerikil runcing. Tentu saja kaki
Ceng Ceng menjadi korban. Semenjak kecil, dara itu tidak pernah mempergunakan
kakinya bertelanjang menginjak sesuatu, tentu saja telapak kakinya menjadi amat
halus, kulitnya tipis dan perasa sekali. Tanpa sepatu, kakinya itu merupakan
bagian tubuh yang lemah sekali.
Kini dia memandang pemuda itu dengan mata
terbelalak. Lagak dan kata-kata pemuda itu, caranya mengelak dan mengejeknya
ketika semua serangannya gagal, mengingatkan dia akan seseorang. Melihat dara
itu tidak menyerangnya lagi, pemuda itu berkata kepada diri sendiri, “Melihat
orang mengamuk masih mending, asal jangan melihat orang menangis. Menyebalkan!”
Tiba-tiba tubuhnya lenyap begitu saja dan Ceng Ceng melongo. Kiranya pemuda
itu adalah iblis! Hanya iblis saja yang pandai menghilang seperti itu. Akan
tetapi, dia belum pernah bertemu dengan iblis, dan menurut dongeng, iblis hanya
muncul di waktu malam. Sekarang, masih siang begini iblis macam apa muncul
dalam ujud seorang pemuda tampan?
“Nih pakaianmu!” Tiba-tiba terdengar suara
dari atas dan ketika Ceng Ceng memandang ke atas, kiranya pemuda itu nongkrong
di atas dahan pohon dan mengeluarkan pakaiannya dari bungkusan, kemudian
melemparkan pakaiannya kepadanya. Ceng Ceng menerima gulungan pakaiannya itu,
lengkap pakaian dalam dan luar, dan sepatunya, akan tetapi pakaian petani yang
dipakai menyamar, yang dipakai di luar pakaiannya sendiri, tidak ada. Dia tidak
pula memperhatikan hal ini, bahkan kini pakaian itu hanya dipegangnya saja
dengan kedua tangannya karena dia memandang pemuda itu yang meloncat turun
dengan gerakan yang membuat dia kaget dan kagum. Pantas saja seperti
menghilang, kiranya pemuda itu memiliki gerakan yang luar biasa ringan dan
cepatnya. Akan tetapi, bukan itu yang membuat dia bengong dan seperti orang
terpesona, melainkan buntalan yang dibawa turun oleh pemuda itu. Teringat
benar bahwa dia pernah melihat buntalan itu, bahkan pernah melemparkannya ke
dalam sungai. Melemparkan buntalan! Dari perahu!
“Heiiiii....!” Tiba-tiba karena teringat, dia
menjerit sambil menudingkan telunjuknya ke arah pemuda itu. Si pemuda sedang
berjongkok memegang buntalan untuk memeriksa apakah pancingannya mengena,
ketika ditunjuk dan tiba-tiba dara itu menjerit, dia kaget sampai terloncat.
“Wah, kau ini gadis aneh. Apa lagi kau
menjerit-jerit seperti melihat setan?” dia mengomel.
“Bukan melihat setan, melainkan melihat
engkau! Engkau tukang perahu keparat itu! Benar, matamu, senyummu....”
“Bagus dah menarik, ya?”
“Menarik hidungmu! Hayo mengaku! Kau yang
menyamar sebagai tukang perahu itu, bukan?”
“Kalau tidak mengaku, mengapa?”
“Mengaku atau tidak, tetap saja aku sekarang
mengenalmu. Buntalan itu! Aku membuangnya ke dalam sungai dan kau meloncat
mengejar dan menyelam.”
“Kau memang gadis liar dan galak!”
“Dan kau.... kau meninggalkan perahu, membuat
perahu hanyut dan terguling. Dan
enciku ehhhh,
enciku.... dia tentu celaka....!”
“Hemm, semua gara-gara engkau juga! Mengapa
engkau begitu jahat dan kejam, membuang buntalan orang? Sepatutnya engkau yang
harus mati tenggelam, bukan kakakmu yang baik hati dan manis budi dan cantik
jelita itu.”
“Tidak, engkau yang meninggalkan perahu sampai
perahu hanyut!” Ceng Ceng membantah, marah.
“Kalau kau tidak begitu kejam membuang
buntalanku, apakah aku meninggalkan perahu? Kau saja yang tak mengenal budi
orang!” Pemuda itu mengomel lalu mengambil sebuah topi caping lebar dari
buntalan besar dan mengebut-ngebutkannya. Melihat caping itu, Ceng Ceng makin
kaget dan memandang dengan matanya yang indah itu terbelalak lebar.
“Heiii....!”
“Ihhh!” Pemuda itu mencela, terperanjat. “Apa
kau sudah gila, menjerit-jerit tidak karuan?”
“Capingmu itu! Kau adalah orang yang dulu
mengganggu ketika sang.... eh, kakakku hendak mandi!”
Pemuda itu menoleh, tersenyum mengejek dan
berkata, “Benarkah?”
“Ternyata kau memang kurang ajar, agaknya
sejak dahulu engkau membayangi kami, ya?”
“Kalau kau yang minta aku pergi ketika itu,
aku tentu tidak sudi. Akan tetapi Sang Puteri Syanti Dewi, dia begitu cantik,
begitu halus, sayang, gara-gara kenakalanmu dia sampai lenyap!”
“Gara-gara kekurangajaranmu!” Ceng Ceng
membantah.
“Gara-gara engkau!”
“Engkau!”
“Hemmm, kau ini hanya seorang dayang pelayan
besar lagak amat!” pemuda itu mengejek.
Sepasang mata yang sudah terbelalak itu
mengeluarkan sinar berapi. “Apa katamu? Dayang pelayan? Keparat bermulut
lancang dan busuk!” Ceng Ceng melepaskan gulungan pakaiannya dan saking
marahnya dia sudah menerjang lagi dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan
mengeluarkan jurus yang paling ampuh. Akan tetapi, dengan gerakan yang aneh dan
sigap, pemuda itu berhasil menangkap kedua pergelangan tangannya dan dia
meronta-ronta namun tidak bisa melepaskan kedua tangannya yang terpegang. Ceng
Ceng marah sekali, kakinya menendang-nendang namun selalu dapat ditangkis oleh
kaki pemuda itu. Betapapun juga, memegang seorang dara yang liar seperti itu
sama dengan memegang seekor harimau betina, salah-salah bisa terkena cakarnya.
Maka pemuda itu berkata sungguh-sungguh, “Gadis liar! Kalau kau tak
menghentikan kegalakanmu, terpaksa aku akan menghukummu dengan ciuman-ciuman
pada mulutmu!”
Diancam pukulan atau maut, agaknya Ceng Ceng
takkan merasa takut. Akan tetapi diancam ciuman, hal yang sama sekali belum
pernah dialaminya biar dalam mimpi sekalipun, meremang seluruh bulu di
tubuhnya, dan otomatis dia menghentikan gerakan tubuhnya. Melihat ini, pemuda
itu tertawa dan sekali mendorong, tubuh Ceng Ceng terlempar dan terbanting ke
atas tanah.
“Huh, biar kau belajar ilmu silat lagi sampai
kau menjadi nenek-nenek keriput, tak mungkin engkau dapat melawanku.” Pemuda
itu mengejek dengan nada suara sombong sekali.
Ceng Ceng yang terduduk di atas tanah itu tak
bergerak, hati dan pikirannya terasa sakit bukan main. Pemuda ini seorang
pemuda yang tampan dan berkepandaian begitu tinggi, dan kini dia dapat
menduga-duga bahwa dia yang terseret arus sungai tentu telah ditolong oleh
pemuda ini, tentu dalam keadaan hampir mati dan basah kuyup. Pemuda aneh ini,
yang tampan dan gagah, tentu telah mengeluarkan air dari perutnya dan karena
pakaiannya basah kuyup, tentu telah menanggalkan pakaian itu dan memakaikan
jubahnya kepadanya, dan pakaiannya itu, sampai sepatu-sepatunya, dijemur sampai
kering, mungkin setelah dicuci dulu karena terkena lumpur. Dan ketika
menanggalkan semua pakaiannya, pemuda itu jelas tidak melakukan sesuatu yang
melanggar susila, kalau demikian halnya, tidak akan begini keadaannya. Pemuda
yang aneh, tampan, gagah, kurang ajar akan tetapi juga baik sekali. Justeru
kebaikan pemuda itulah yang membuat hatinya menjadi makin sakit, karena
betapapun baik dan tampan dan gagahnya, pemuda itu kini ternyata tidak
menghargainya, menghinanya, memandang rendah mengatakannya pelayan dan biar
sampai menjadi nenak-nenek keriput takkan mampu melawannya. Dan pemuda itu
sudah dua kali mengalahkannya.
Dia jengkel sekali, marah sekali. Melawan
dengan tenaga, tidak mampu, bahkan kalah jauh sekali. Melawan dengan
maki-makian, ternyata pemuda itupun pandai sekali bicara, bahkan setiap
kata-katanya menusuk perasaan! Dia kalah segala-galanya! Perasaan ini membuat
dia terasa begitu nelangsa, teringat dia akan kakeknya, karena kalau ada
kakeknya, tentu tidak ada manusia berani bersikap begini kurang ajar
kepadanya. Selama hidupnya, ketika kakeknya masih ada, dia belum pernah
mengalami penghinaan seperti ini. Juga kalau ada Syanti Dewi yang biarpun halus
dan lemah namun amat berwibawa itu, agaknya dia ada yang membela. Sekarang,
dia seorang diri dan dihina orang tanpa mampu melawan sedikitpun. Teringat akan
ini, biarpun pada dasarnya Ceng Ceng bukan seorang dara yang cengeng, bahkan
amat keras hati dan pantang menangis karena iba diri, kini tak dapat menahan tangisnya
dan dia menundukkan muka, menutupi kedua matanya yang mengalirkan air mata.
Siapakah pemuda tampan yang amat lihai itu?
Dia ini bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian
depan, pemuda ini semenjak meninggalkan ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah
Huang-ho, telah banyak mengalami hal yang hebat-hebat. Selama dua tahun dia
menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan memperoleh ilmu kepandaian yang amat tinggi,
kemudian petualangannya sebagai Si Jari Maut dengan menggunakan nama Gak Bun
Beng untuk merusak nama musuh pembunuh ayahnya yang sudah meninggal itu dan
kemudian setelah dia dikalahkan oleh Puteri Milana yang membuat dia malu dan
penasaran sekali dia bertemu dengan Kong To Tek bekas tokoh Pulau Neraka yang
telah mewarisi kitab-kitab peninggalan dua orang Iblis Tua dari Pulau Neraka,
yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Karena Kong To Tek menderita
sakit ingatan, tokoh ini yang melihat wajah Tek Hoat mirip sekali dengan Wan
Keng In yang sudah meninggal, mengira bahwa dia berhadapan dengan Wan Keng In
dan menyerahkan pusaka-pusaka peninggalan dua orang Iblis Tua itu kepada Tek
Hoat, berikut pedang pusaka Cui-beng-kiam yang ampuh dan catatan pembuatan obat
perampas ingatan yang amat luar biasa. Karena mencobakan obat perampas ingatan
dan obat penawarnya kepada Kong To Tek, maka kakek ini waras kembali dan
melihat dia tertipu, dia hendak membunuh Tek Hoat namun kalah dan bahkan dia
yang terbunuh oleh Tek Hoat yang telah menjadi lihai sekali!
Dengan hati girang Tek Hoat yang telah
mewarisi ilmu kepandaian hebat, bahkan masih ada dua buah kitab peninggalan
Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin yang dianggap gurunya dan yang belum
dilatihnya, pemuda ini lalu pergi hendak pulang ke rumah ibunya di puncak Bukit
Angsa, membawa dua buah kitab dan sebatang pedang.
Kini dia tidak sudi lagi menyamar dengan nama
Gak Bun Beng. Dia telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, dan dia menganggap
bahwa di dunia ini tidak akan ada yang dapat melawannya, maka dia berhak
menggunakan namanya sendiri dan hendak mencari nama besar dengan cara yang akan
menimbulkan kegemparan di dunia! Akan tetapi betapa kecewa hatinya ketika dia
tiba di puncak Bukit Angsa, dia mendapatkan rumah ibunya kosong dan ibunya
tidak berada lagi di rumah itu. Bahkan melihat bekas-bekasnya, agaknya sudah
lama ibunya meninggalkan rumah itu tanpa meninggalkan pesan apapun dan kepada
siapapun. Tek Hoat menjadi jengkel dan marah kepada ibunya, lupa bahwa dialah
yang telah melanggar janji. Ketika pergi dahulu, dia berjanji untuk pulang
menengok ibunya setiap tahun, akan tetapi dia telah pergi hampir empat tahun
lamanya dan baru ini dia pulang!
Terpaksa dia meninggalkan lagi Bukit Angsa
dengan tujuan mencari ibunya, dan terutama sekali mencari nama besar di dunia
kang-ouw. Pertama-tama dia harus mengunjungi Bu-tong-pai dan memberi hajaran
kepada para tokoh Bu-tong-pai yang telah berani menghinanya empat tahun yang
lalu! Kedua, dia akan mencari Puteri Milana di kota raja dan akan menantangnya
untuk menebus kekalahannya dua tahun yang lalu! Kemudian dia akan membuat
geger dunia kang-ouw dan minta diakui sebagai jagoan nomor satu, lalu dia akan
menantang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!
Dengan cita-cita besar itu, pergilah Tek Hoat
dari Bukit Angsa. Akan tetapi sebelum semua cita-citanya terkabul, dia bertemu
dengan rombongan Pek-lian-kauw dan dalam bentrokan kecil antara dia dengan para
tokoh Pek-lian-kauw, dia telah memperlihatkan kepandaiannya yang dahsyat. Para
tokoh Pek-lian-kauw tertarik, lalu membujuknya dan membawa pemuda yang masih
hijau ini pergi menghadap Pangeran Tua, yaitu Pangeran Liong Bin Ong di kota
raja! Pertemuannya dengan Pangeran Liong Bin Ong membuat terbuka mata pemuda
ini bahwa jalan satu-satunya untuk mencari kedudukan tinggi, juga membuat nama
besar dan melakukan kegemparan di dunia, adalah membantu pangeran ini. Kalau
sampai mereka berhasil merampas tahta kerajaan, tentu dia akan memperoleh
pangkat tinggi dan siapa tahu terdapat kesempatan baginya untuk kelak merampas
mahkota sendiri dan menjadi kaisar! Lamunan muluk-muluk ini membuat Tek Hoat
untuk sementara melupakan urusan pribadinya dan mulailah dia mengabdi kepada
Pangeran Tua yang mengangkatnya menjadi pengawal kepala dan menugaskannya
mewakili pangeran ini mengadakan kontak dengan para pembantu pangeran di luar
kota raja.
Ketika Kaisar Kang Hsi melamar Puteri Syanti
Dewi di Bhutan untuk diperisteri adik tirinya, Pangeran Long Khi Ong, adik tiri
Pangeran Tua, diam-diam Pangeran Tua ini tidak setuju. Tentu saja dia tidak
setuju karena ikatan keluarga itu akan memperkuat kedudukan kaisar atau kakak
tirinya sendiri di dunia barat. Karena itulah maka diam-diam dia mengusahakan
agar pernikahan itu gagal dan dia lalu mengirim sogokan dan bujukan kepada
Raja Muda Tambolon pemberontak di daerah Bhutan untuk menghalangi diboyongnya
Puteri Syanti Dewi di daratan besar. Bahkan dia mengutus para kepercayaannya
yang baru, Ang Tek Hoat untuk menyelidiki ke Bhutan dan membantu usaha
penggagalan pernikahan itu.
Demikianlah singkatnya keadaan Ang Tek Hoat
yang muncul di Bhutan sebagai seorang pemuda yang menyembunyikan mukanya di
balik caping lebar ketika Puteri Syanti Dewi hendak mandi. Kemudian melihat
bahwa pasukan Raja Muda Tambolon berhasil, dia diam-diam membayangi sang puteri
bersama Ceng Ceng yang melarikan diri. Dia pula yang menyamar sebagai pedagang
garam untuk membantu dua orang gadis pelarian itu lolos, kemudian dia menyamar
sebagai tukang perahu. Semua itu dilakukan agar dia dapat mengamat-amati dua
orang gadis itu, dan terutama sekali agar Puteri Syanti Dewi tidak sampai lolos
dan dapat mencapai kota raja. Kalau saatnya tiba, dia akan “menggiring” sang
puteri ini dan dihaturkan kepada majikannya, kemudian terserah keputusan
Pangeran Liong Bin Ong. Hanya dia harus mengakui bahwa diam-diam dia tertarik
dan terpesona oleh kecantikan dan sikap halus sang puteri, sehingga diam-diam
membayangkan betapa akan gembiranya kalau dia dapat menduduki pangkat tinggi,
kalau mungkin kaisar, dengan seorang isteri seperti puteri Bhutan ini! Baru
sekali ini Tek Hoat merasa tertarik kepada seorang wanita, dan biasanya dia
memandang rendah kaum wanita.
Akan tetapi, rencananya menjadi berantakan
karena kenakalan Ceng Ceng yang melemparkan buntalannya ke sungai. Padahal
buntalan itu berisi pedang Cui-beng-kiam! Tentu saja dia tidak mau kehilangan
pedang itu dan cepat meloncat ke air sehingga perahu itu hanyut sendiri. Dia
melakukan pengejaran sambil berenang secepatnya. Namun tetap saja tidak dapat
mencegah terjadinya tabrakan sehingga perahu itu terguling. Cepat dia meloncat
ke darat dan lari di sepanjang tepi sungai dan akhirnya dia melihat Ceng Ceng
dalam keadaan pingsan hanyut di air. Dia segera menolong gadis itu, namun
tidak berhasil menolong Puteri Syanti Dewi, sama sekali dia tidak mimpi bahwa
puteri itu telah ditolong oleh seorang yang namanya akan membuat dia terkejut
seperti melihat mayat hidup, yaitu Gak Bun Beng musuh besarnya, pembunuh
ayahnya yang telah dianggapnya mati itu.
Tek Hoat yang memiliki watak amat luar biasa,
kejam, dingin, tak mengenal sedikitpun perasaan iba, penuh dendam dan penuh
kebencian terhadap manusia umumnya, hanya mengejar keuntungan diri pribadi
saja, betapapun juga bukanlah seorang yang mudah hanyut oleh nafsu berahi. Dia
seorang pemuda yang kuat luar dalam, kuat pula perasaannya yang seperti membeku
dingin sehingga ketika dia menolong Ceng Ceng, mengempiskan perut dara itu yang
penuh air, kemudian menanggalkan pakaian Ceng Ceng karena pakaian itu basah
kuyup, melihat bentuk tubuh yang sedang mekar dan menggairahkan itu, dia sama
sekali tidak terangsang! Bahkan secara kasar dia menolong Ceng Ceng karena
marah, menganggap gadis ini yang menghancurkan rencananya sehingga dia terpisah
dari Syanti Dewi. Kemudian setelah melihat nyawa Ceng Ceng tertolong, dia
mengenakan jubahnya pada gadis itu dan menangkap ayam, memanggangnya, kemudian
dia memancing ikan. Selanjutnya kita telah mengetahui apa yang terjadi.
Kini, melihat Ceng Ceng menangis, Tek Hoat
mengerutkan alisnya. Hatinya seperti ditusuk-tusuk atau diremas-remas. Memang
ada keanehan pada diri Tek Hoat, keanehan yang seolah-olah tidak normal, yaitu
dia tidak tahan melihat orang menangis, atau lebih tepat, melihat wanita
menangis! Mungkin saja hal ini timbul dan menjadi wataknya karena di waktu dia
masih kecil, sering sekali dia melihat ibunya menangis sesenggukan dan
terisak-isak dengan sedihnya, bahkan hampir setiap malam dia melihat ibunya
menangis seorang diri dan kalau ditanya kenapa menangis, ia hanya menggeleng
kepalanya. Boleh jadi Tek Hoat merupakan pemuda keras hati dan dingin yang
tiada keduanya di dunia, apalagi setelah dia mempelajari ilmu-ilmu mujijat dari
dua Iblis Tua Pulau Neraka, wataknya menjadi makin tidak lumrah. Namun kesan
mendalam karena tangis ibunya setiap malam itu masih melekat di hatinya
sehingga kini, melihat Ceng Ceng menangis, dia seolah-olah mendengar ibunya
menangis dan hatinya seperti diremas-remas!
“Aihh, kenapa kau menangis?” tanyanya sambil
membalikkan tubuh, duduk menghadapi gadis itu.
Ditanya dengan suara yang halus seperti itu,
makin menjadi-jadi tangis Ceng Ceng, akan tetapi segera ditahannya ketika
teringat bahwa yang menegurnya adalah pemuda yang memanaskan dan menjengkelkan
hatinya itu. Dia mengintai dari celah-celah jari tangannya dan dengan heran dia
melihat betapa pemuda itu amat pucat wajahnya, pandang matanya sayu dan amat
berduka, agaknya menderita sekali melihat dia menangis!
“Sudahlah, mengapa menangis? Aku tidak
mengganggumu dan kalau tadi kau tersinggung, sudahlah kau maafkan aku dan
jangan menangis....” Suaranya halus dan lunak, bahkan agak gemetar! Hal ini
mengherankan hati Ceng Ceng sehingga otomatis tangisnya berhenti. Teringat dia
akan kata-kata pemuda itu tadi ketika dia menyerangnya, “Melihat orang
mengamuk, masih mending, asal jangan melihat orang menangis!”
Agaknya pemuda ini memiliki “kelemahan”,
pikirnya. Yaitu tidak tahan melihat orang menangis! Teringat akan ini, Ceng
Ceng lalu menangis lagi sesenggukan! Dan diam-diam dia mengintai dari
celah-celah jari tangannya, melihat betapa pemuda itu memejamkan matanya,
menggigit bibirnya dan berkata dengan lantang, “Harap kau jangan menangis!”
Akan tetapi Ceng Ceng menangis terus, memaksa
diri menangis sungguhpun kini tidak ada air matanya yang keluar, karena memang
tangisnya tangis buatan, disembunyikan di balik kedua tangannya. Karena dia
tertarik melihat sikap pemuda yang aneh itu dia lupa akan kemarahan dan
kedukaannya, maka tentu saja sukar baginya untuk menangis benar-benar.
Tek Hoat makin tersiksa. Suara sesenggukan
itu persis suara ibunya di waktu malam. “Nona, kau maafkan aku dan jangan
menangis. Kau lihat aku tidak melakukan sesratu kepadamu, bukan? Kalau aku
berniat buruk, betapa mudahnya aku memperkosamu ketika kau pingsan. Akan
tetapi aku tidak berniat buruk....”
“Uhuuuu.... huuhhh.... huuuu....!” Ceng Ceng
memperhebat tangisnya dan dari celah-celah jari tangannya dia melihat betapa
pemuda itupun makin hebat penderitaannya. “Kau.... kau.... telah menanggalkan
pakaianku, engkau telah menelanjangi aku, berarti engkau telah menghinaku
uh-hu-huuu....!”
“Nanti dulu, jangan menangis, nona. Memang
benar aku telah menanggalkan semua pakaianmu, kemudian mengenakan jubahku ini
kepadamu. Akan tetapi kalau tidak begitu, habis bagaimana? Pakaianmu basah
kuyub, engkau terancam bahaya maut dan satu-satunya cara untuk menolongmu hanya
mengeluarkan air dari perutmu, kemudian mengeringkan pakaianmu. Aku melakukan
itu untuk menolongmu, untuk menyelamatkan nyawamu....”
“Uhu-hu-hu, bohong.... huuuu.... bagaimanapun
juga, kau telah menghinaku dan setelah kau melihat aku telanjang, bagaimana aku
tidak akan malu setengah mati? Bagaimana aku dapat bertemu pandang denganmu?
Uhu-hu-huuu....”
“Kalau begitu jangan memandang aku....”
Ceng Ceng menangis makin hebat sampai menggerung-gerung.
Dari celah-celah jari tangannya dia melihat benar betapa pemuda itu menjadi
makin gelisah dan bingung, bahkan kemudian berkata, “Sudahlah, jangan menangis.
Sekarang apa yang harus kulakukan untuk menebus dosa, asal kau jangan
menangis....”
“Kau harus berjanji.... tidak, harus
bersumpah....!”
“Baiklah, aku bersumpah. Bersumpah bagaimana?”
“Keluarkan saputanganmu, untuk saksi sumpah.”
Tek Hoat yang ingin agar dara itu benar-benar
menghentikan tangisnya, terpaksa mengeluarkan saputangannya. Sesungguhnya,
pemuda ini bukanlah seorang yang begitu bodoh. Akan tetapi dia benar-benar
tidak tahan mendengar dan melihat wanita menangis, dan kalau saja bukan Ceng
Ceng, tentu dia sudah menggerakkan tangan membunuhnya. Dia tidak bisa melakukan
itu, dia membutuhkan dara ini. Bukankah dara ini sahabat baik Puteri Syanti
Dewi? Dengan perantaraan Ceng Ceng ini dia masih ada harapan untuk mendapatkan
puteri itu, kalau saja puteri itu masih hidup dan dia yakin masih karena dia
tidak melihat mayatnya.
“Baik, inilah saputanganmu,” katanya
mengeluarkan saputangan, tidak melihat betapa Ceng Ceng menggosok-gosok keras
kedua matanya sehingga menjadi makin merah dan basah air mata ketika dia
menurunkan tangan menyambut saputangan itu.
“Taruh tanganmu di saputangan ini dan
bersumpahlah!” kata Ceng Ceng mengulurkan saputangan di tangannya. Terpaksa Tek
Hoat meletakkan tangannya di atas saputangan yang berada di telapak tangan
Ceng Ceng.
“Bersumpahlah bahwa kau tidak akan
menggangguku,” kata dara itu.
“Aku bersumpah tidak akan mengganggumu.” Tek
Hoat mengulang.
“Dan kau tidak akan memandangku.”
“Hehhh....? Habis bagaimana? Aku kan punya
mata!” pemuda itu membantah.
“Kalau kau memandangku, aku akan teringat
bahwa aku pernah telanjang di depan matamu dan aku akan mati karena malu.”
“Habis bagaimana? Apakah kalau bertemu
denganmu aku harus memejamkan mata?”
“Terserah, memejamkan mata atau membalik
belakang atau menutupi mata dengan saputangan, pendeknya kau tidak boleh
melihat aku!”
“Baiklah....” Di dalam hatinya Tek Hoat
memaki.
“Bersumpahlah bahwa kau selalu akan menutupi
atau memejamkan matamu kalau bertemu denganku.”
“Aku berjanji akan selalu menutupi atau
memejamkan mataku kalau bertemu.”
“Dan kau akan selalu menurut kata-kataku, kau
akan mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi kepadaku, dan engkau akan mencarikan
enci Syanti sampai bertemu, dan engkau akan....”
“Wah, tidak jadi saja kalau begitu!” Tek Hoat
berseru keras sambil menurunkan tangannya dari saputangan. “Masa harus
bersumpah begitu banyak? Pula, tidak mungkin aku mengajarkan ilmu silat, dan
tidak mungkin harus menurut segala kata-katamu.”
Melihat ini Ceng Ceng maklum bahwa dia sudah
terlalu jauh dalam tuntutannya, maka cepat dia berkata, “Baik, kalau begitu
ulangi dua sumpahmu itu saja, bersumpah bahwa kalau sampai melanggarnya,
engkau akan mati muda dan saputangannya ini menjadi saksinya!”
Karena ingin lekas beres agar dara itu tidak
rewel lagi, dia berkata, “Akan tetapi sebagai imbalannya, kaupun harus
bersumpah bahwa kau tidak akan menangis lagi!”
“Baik, aku bersumpah takkan menangis lagi
kalau kau sudah bersumpah.”
Tek Hoat menarik napas panjang, meletakkan
tangannya di atas saputangan lalu berkata, “Aku....”
“Sebutkan namamu!”
“Aku.... Ang Tek Hoat, bersumpah bahwa aku
tidak akan mengganggumu....”
“Sebutkan namaku, Lu Ceng!”
“....bahwa aku tidak akan mengganggu Lu Ceng,
dan bahwa aku akan selalu menutupi atau memejamkan mata kalau bertemu dengan Lu
Ceng dan kalau aku melanggar sumpah ini, biarlah aku mati muda dan saputangan
ini menjadi saksi!”
Ceng Ceng girang sekali lalu menyimpan
saputangan itu di sakunya. “Heiii, kau mau melanggar sumpah? Hayo pejamkan
mata atau, membalik! Aku mau berganti pakaian!”
Tek Hoat yang terlupa dan membuka mata
memandang tadi, cepat-cepat memejamkan mata dan memutar tubuhnya membalik,
diam-diam dia mengutuk diri sendiri mengapa dia mau bersumpah seperti itu. Akan
tetapi, dia sudah terlanjur bersumpah dan memang dia memerlukan gadis ini
untuk dapat bertemu kembali dengan Syanti Dewi dan melaksanakan cita-citanya
terhadap puteri Bhutan itu. Kalau segala itu sudah tercapai, membunuh gadis ini
apa sih sukarnya? Biarlah sementara ini dia mengalah dulu. Pula, dia juga
merasa kurang enak dan tidak aman kalau harus melanggar sumpahnya. Siapa tahu,
sumpah itu benar-benar manjur dan kalau dilanggarnya dia akan mati muda! Dia
bergidik! Nanti dulu, ya! Dia masih mempunyai banyak cita-cita yang belum
terlaksana. Pokoknya hanya terletak pada saputangan itu. Kalau kelak dia membunuh
gadis ini, atau setidaknya merampas kembali saputangannya, berarti sumpahnya
sudah punah karena tidak ada lagi saksinya!
Dengan hati gembira Ceng Ceng mengganti jubah
yang kedodoran itu dengan pakaiannya sendiri, menyimpan saputangan di balik
kutangnya, dan sambil berganti pakaian dia memandang punggung pemuda itu
dengan tersenyum. Dia menang! Tak disadarinya lagi, dia memberes-bereskan
pakaian dan rambutnya agar kelihatan patut. Dia mempersolek diri untuk pemuda
itu tanpa disadarinya!
“Aku sudah selesai!” akhirnya dia berkata,
ingin melihat pemuda itu memandangnya dengan kagum. Setelah mengenakan
pakaiannya sendiri, tentu dia akan tampak lebih cantik! Akan tetapi pemuda itu
sama sekali tidak menoleh, bahkan melanjutkan memancing ikan dan tiba-tiba
mengangkat tangkai pancingnya dan seekor ikan lele yang gemuk
menggelepar-gelepar.
Ceng Ceng kecewa, akan tetapi segera teringat.
Celaka! Pemuda itu tentu tidak akan memandangnya! Karena sumpah itu! Perlu apa
dia bersolek? Wah, serba berabe kalau begini. Akan tetapi dia tahu bahwa pemuda
ltu lebih repot lagi karena harus menghindarkan pandang matanya dari Ceng Ceng.
Biar tahu rasa dia! Pikiran ini mengusir kekecewaannya.
“Nona Ceng....”
“Tak usah nona-nonaan. Aku biasa disebut Ceng
Ceng.”
“Hemm.... Ceng Ceng, apakah kau tidak lapar?”
tanya Tek Hoat tanpa menoleh.
“Tentu saja.”
“Nah, ini ada sisa ayam panggang....”
“Aku tak sudi makan sisamu!”
“Kalau, begitu, ikan ini kau boleh ambil dan
bakar.” Tanpa menoleh Tek Hoat menyerahkan ikan itu yang diterima oleh Ceng
Ceng dan tak lama kemudian Ceng Ceng sudah memanggang daging ikan yang gemuk
dan makan dengan lahapnya tanpa menawarkannya kepada Tek Hoat.
Hari mulai gelap, senja telah mendatang.
“Kita harus pergi mencari majikan....”
“Apa? Siapa kau maksudkan?”
“Siapa lagi kalau bukan Puteri Syanti Dewi?”
“Tek Hoat, kau jangan sembarangan omong, dan
aku bukanlah pelayannya. Mengerti?”
Tek Hoat mengangguk-angguk dan merasa girang.
Tidak keliru dia mengalah kepada gadis liar ini, kiranya sudah diaku sebagai
adik angkat. Kalau dia membunuhnya, tentu sukar baginya untuk berbaik dengan
Syanti Dewi.
“Kau tergila-gila kepada kakakku, ya?”
Tek Hoat terkejut, akan tetapi hanya
mengangguk. Dia masih duduk membelakangi Ceng Ceng.
“Wah, tidak enak benar begini! Masa aku bicara
dengan.... pinggul saja?”
Tek Hoat tersenyum akan tetapi menahan gelak
tawanya. “Habis bagaimana? Aku tidak berani melanggar sumpah.”
“Wah, kau menghadap ke sini dan memejamkan
mata, masa tidak bisa?”
“Lebih tidak enak lagi buat aku, terus
memejamkan mata, masa seperti orang buta.”
“Kalau begitu, tutup saja dengan saputangan.”
“Saputanganku sudah kaubawa.”
Terpaksa Ceng Ceng memberikan saputangannya
sendiri yang berbau harum. Tek Hoat menerimanya, menutupkan saputangan itu di
depan matanya dan mengikatkan kedua ujung di belakang kepala, kemudian
membalik menghadapi Ceng Ceng. Gadis itu tersenyum lebar menutupi mulutnya.
Lucu sekali, seperti anak kecil bermain-main!
“Ceng Ceng, kau mengatakan aku tergila-gila
kepada kakakmu? Memang, bukan tergila-gila, melainkan aku.... aku jatuh cinta
kepadanya.”
“Hemm, bagus! Betapapun juga, engkau bukan
pemuda yang buruk rupa dan masih muda lagi. Daripada kakakku itu menikah dengan
Pangeran Liong Khi Ong yang kabarnya sudah hampir lima puluh tahun usianya,
lebih baik menikah denganmu.”
“Benarkah?” Tek Hoat bertanya girang.
“Ya. Dan aku suka membantumu agar enciku suka
kepadamu, asal saja engkau tidak melanggar sumpahmu. Kalau kau melanggar, tidak
saja engkau tidak dapat berkenalan dengan enci Syanti Dewi, malah engkau akan
mampus di waktu usiamu masih muda. Sayang, kan?” Kemba;i dia tersenyum dan
menutupi mulutnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Tek Hoat dapat
melihatnya dari balik saputangan sutera yang tipis itu! Akan tetapi pemuda
inipun tidak berani memandang langsung, takut akan sumpah.
“Hari telah malam, tidak mungkin kita mencari
enci Syanti. Malam ini gelap tidak ada bulan. Lalu bagaimana kita akan
melewatkan malam?”
“Tak jauh dari sini, di tepi sungai ini
terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Kita dapat bermalam di situ dan tempat
itu memang tidak jauh dari Sungai Nu-kiang. Besok pagi-pagi, kita mencari lagi,
mendengar-dengarkan, mungkin ada nelayan yang tahu bagaimana nasib encimu
itu.”
Lega hati Ceng Ceng. “Kalau begitu, mari kita
ke kuil.” Dia bangkit berdiri dan pergi.
“Haii, bagaimana aku bisa berjalan kalau
mataku ditutup begini?”
Ceng Ceng tersenyum. “Bodoh, kalau begitu
mengapa tidak dibuka?”
“Kalau dibuka, mana bisa jalan bersama? Aku
tidak mau berjalan dengan mata terpejam, salah-salah bisa terjatuh ke dalam
sungai!”
Ceng Ceng tertegun dan bingung. “Habis
bagaimana?”
“Kecuali kalau kau sudi menuntun....”
Karena hari sudah hampir gelap dan hutan itu
kelihatannya menakutkan, terpaksa Ceng Ceng menyambar tangan pemuda itu dan
menuntunnya. “Ke mana jalan?” dia bertanya.
“Terus saja menurutkan aliran sungai ini,”
jawab Tek Hoat yang diam-diam merasa geli dan juga bangga bahwa kini dia dapat
membalas. Sesungguhnya dia dapat melihat melalui saputangan tipis itu, akan
tetapi biarlah, biar gadis itu tahu rasa, pikirnya. Betapapun juga, gadis yang
liar dan galak ini ternyata cukup baik, mau menuntunnya.
Mereka tiba di kuil kosong. Karena ruangan
yang merupakan kamar tertutup hanya sebuah, maka Ceng Ceng berkata, “Aku tidur
di sini dan biar kau tidur di mana sesukamu asal jangan di kamar ini.” Berkata
demikian dia lalu menutupkan daun pintu. Perbuatan ini sia-sia saja karena
biar pintu ditutup, jendela di kamar itu melongo tanpa daun! Lalu dia membuat
api unggun dan tidak memperdulikan lagi kepada Tek Hoat. Pemuda ini luar
biasa, pikirnya. Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan kalau pemuda ini berwatak
jahat, sukar untuk melawannya. Dan dia.... agak aneh rasanya. Mengapa hatinya tidak
enak mendengar pengakuan pemuda itu yang mencinta Syanti Dewi? Mengapa dia
tidak puas? Mengapa dia tadi merasa jantungnya berdebar-debar ketika tangannya
menggandeng tangan Tek Hoat? Seolah-olah ada getaran dari tangan itu yang
menyentuh hatinya, menimbulkan rasa girang yang luar biasa. Mengapa? Celaka,
jangan-jangan dia telah jatuh hati seperti yang hanya dikenalnya dalam cerita
dongeng! Itukah cinta? Memang pemuda itu cukup segala-galanya untuk menjatuhkan
hati seorang gadis, memang patut dicinta. Betapa tidak? Tampan, gagah perkasa,
lucu dan pandai mengalah, biarpun agak kasar, akan tetapi buktinya tidak suka
melakukan pelanggaran susila. Wah, jangan-jangan aku jatuh cinta kepadanya,
bisik Ceng Ceng sebelum tidur.
Menjelang tengah malam dia terbangun karena
mimpi ditelanjangi oleh Tek Hoat! Ditelanjangi selagi dia sadar dan anehnya,
dia diam saja. Setelah kelihatan pemuda itu hendak merabanya dan hendak
memeluknya, barulah dia meronta dan terbangun! Bulu tengkuknya berdiri. Kalau
tadi bukan mimpi, melainkan sungguh-sungguh terjadi, tentu dia akan membunuh
pemuda itu! Atau, kalau dia kalah, dia akan melawan mati-matian, kalau perlu
mempertaruhkan nyawa untuk membela kehormatannya. Bedebah! Dia memaki pemuda
itu akan tetapi segera teringat bahwa yang dikalahkan pemuda itu hanya dalam
mimpi saja! Mungkin kenyataannya tidak demikian, buktinya Tek Hoat juga tidak
melakukan sesuatu terhadap dirinya.
Tiba-tiba dia bangkit duduk. Terdengar suling
ditiup orang amat merdu dan indahnya. Akan tetapi hanya lapat-lapat terdengar,
agaknya dari jauh. Ceng Ceng membereskan rambut dan pakaiannya, kemudian
meloncat keluar melalui jendela. Biarpun tidak ada bulan malam itu, namun
langit bersih terhias bintang sejuta, cukup memberi cahaya penerangan di
permukaan bumi. Dia melangkah dengan hati-hati, mencari-cari, akan tetapi
ternyata Tek Hoat tidak berada di kuil itu! Ke mana perginya pemuda itu?
Buntalannyapun tidak nampak.
Ceng Ceng mulai bergidik. Ngeri dia memikirkan
bahwa dia ditinggal sendirian saja di kuil tua itu. Kuil yang biasanya dalam
dongeng kalau sudah kosong dan kuno begitu selalu dihuni oleh siluman-siluman!
Cepat dia keluar dari kuil dan mendengar suara suling lapat-lapat dari depan,
dia lalu melangkah maju menuju ke arah suara itu.
Tak lama kemudian dia sudah mengintai dari
balik pohon, memandang ke arah Tek Hoat yang berdiri di tepi sungai besar.
Sungai Nu-kiang! Kiranya dia telah berada di tepi sungai itu, di mana anak
sungai dari hutan memuntahkan airnya ke situ dan di tepi sungai tampak Tek Hoat
yang tadi meniup suling. Kini pemuda itu sudah berhenti meniup suling dan
menyelipkan kembali sulingnya. Yang menarik perhatian Ceng Ceng adalah sebuah
perahu besar yang bergerak mendekat pantai di mana pemuda itu berdiri, sebuah
perahu yang indah dan mewah, dan tampak diterangi lampu-lampu sehingga dia
melihat beberapa orang berpakaian tentara mengiringkan seorang berpangkat
tinggi yang mewah pakaiannya ke pinggir perahu. Ceng Ceng mengintai penuh
perhatian dan memasang pendengarannya agar dapat mendengarkan apa yang akan
terjadi. Dia melihat Tek Hoat memberi hormat kepada pembesar itu dari pantai
sambil berkata, “Maafkan, hamba tidak sempat melapor karena hamba tidak dapat
meninggalkan gadis itu sebelum dia tidur.”
“Hemm, Ang Tek Hoat, ceritakan semua yang
terjadi. Kami sudah mendengar akan lenyapnya puteri itu, akan tetapi belum
jelas bagaimana. Apa saja yang telah kaulakukan selama melakukan tugas yang
diperintahkan saudara tua kami Liong Bin Ong?”
“Rombongan penjemput puteri itu telah berhasil
dihancurkan oleh Tambolon, dan puteri itu bersama pelayannya yang sudah
diangkat saudara, berhasil meloloskan diri, akan tetapi hamba terus membayangi
mereka. Bahkan hamba telah berhasil mengajak mereka naik perahu hamba....”
“Bagus! Bagaimana puteri itu? Benarkah amat
cantik?” tanya pembesar itu.
“Memang cantik jelita seperti bidadari, dan
paduka beruntung sekali....”
“Aahhh, sayang sekali dia harus dikorbankan
demi cita-cita,” orang setengah tua itu menghela napas. “Akan tetapi, kalau
semuanya berhasil dia akan tetap menjadi selirku! Aku Liong Khi Ong bukanlah
orang yang suka menyia-nyiakan waktu.... eh, Tek Hoat, lalu bagaimana? Di mana
dia?”
“Harap paduka sudi memaafkan hamba. Terjadi
kecelakaan, perahu bertabrakan dan terguling. Hamba berhasil menyelamatkan
adik angkatnya akan tetapi belum berhasil menemukan Puteri Syanti Dewi....”
“Hahh? Bodoh! Habis bagaimana? Celaka,
jangan-jangan dia terjatuh ke tangan orang-orangnya kaisar!”
“Hamba akan mencarinya sampai dapat besok
pagi, kalau andaikata dia terampas oleh orang lain, hamba akan merampasnya
kembali, harap paduka jangan khawatir,” kata Tek Hoat.
“Hemm, baik. Apa perlu kau dibantu pasukan?”
“Tidak perlu, Ong-ya. Hamba lebih leluasa
bekerja sendiri. Hamba tanggung akan bisa menemukan puteri itu, asal dia belum
tewas.”
“Bagus, kami akan menanti saja di kota raja,
di sana masih banyak urusan dan kau harus cepat kembali, banyak tugas
menantimu.”
“Baik, Ong-ya....”
“Baik, Ong-ya....”
Tiba-tiba Ceng Ceng yang bengong terlongong
itu terkejut karena mendengar suara berkeresekan di belakangnya. Dia menoleh
dan melihat seorang laki-laki berpakaian hitam, berjenggot panjang berdiri
tepat di belakangnya. Dia hampir berteriak dan membuka mulut.
“Eekkkeeekkk....” Mulutnya telah dibungkam
tangan kiri orang tua dan sebelum dia sempat melawan, pundaknya sudah ditotok
dan dia roboh lemas dalam rangkulan orang itu.
“Ssstt, diam.... jangan bergerak.... aku bukan
musuh melainkan sahabatmu dan sahabat Puteri Syanti Dewi....” Setelah berkata
demikian dan melihat Ceng Ceng mengangguk, orang itu menotok lagi dan Ceng Ceng
terbebas. Dara ini terkejut dan heran. Demikian banyaknya orang pandai di sini.
Pemuda itu lihai dan orang inipun hebat kepandaiannya! Dia memandang sejenak.
Orang itu mukanya membayangkan kegagahan, matanya sipit seperti orang
mengantuk, alisnya tebal kepalanya agak botak dan jenggotnya panjang, usianya
tentu sudah ada lima puluh tahun, pakaiannya biasa saja seperti pakaian
petani. Melihat orang itu memperhatikan ke depan, diapun lalu memandang lagi.
Kini tampak betapa pemuda itu berbisik-bisik di dekat perahu dengan si pembesar
tinggi yang ternyata adalah Pangeran Liong Khi Ong, tunangan Syanti Dewi!
Ceng Ceng berdebar-debar. Bingung dia dan
diam-diam dia memaki-maki Tek Hoat. Kiranya pemuda itu adalah kaki tangan
Pangeran Liong Khi Ong! Akan tetapi apa artinya ini semua? Kalau dia kaki
tangan Pangeran Liong Khi Ong, mengapa dia bersikap begitu aneh, tidak bersama
anggauta rombongan lainnya yang dipimpin oleh pengawal kaisar Tan Siong Khi?
Mengapa bertindak secara rahasia? Dan apa pula artinya kata-kata pangeran itu
bahwa Syanti Dewi terpaksa harus dikorbankan demi cita-cita? Ceng Ceng menjadi
bingung dan tidak bergerak sama sekali, hanya melihat betapa Tek Hoat telah
pergi dengan cepat menuju ke kuil kembali, sedangkan perahu mewah itupun
bergerak ke tengah sungai.
“Cepat, mari pergi dari sini. Kalau dia
kembali dan dapat menyusul kita, celaka. Kita berdua bukanlah lawannya,” bisik
laki-laki setengah tua berjenggot panjang itu.
“Hemm, mengapa aku harus menurut kata-katamu?
Siapa tahu bahwa kau lebih jahat lagi daripada dia?”
“Nona Lu, percayalah kepadaku. Mungkin kakekmu
Lu Kiong belum pernah menyebut namaku, akan tetapi aku mengenal baik
Lu-lo-enghiong bekas pengawal kaisar. Aku adalah rekan dari Tan Siong Khi. Aku
sudah mendengar bahwa kakekmu gugur, dan aku hampir mengerti semuanya, kecuali
beberapa hal.”
“Apakah yang terjadi? Siapakah sebenarnya
pemuda bernama Ang Tek Hoat itu?”
“Sstt, marilah kita segera pergi,” kakek itu
mendesak.
“Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku.”
“Dia seorang manusia luar biasa, ilmu
kepandaiannya sangat tinggi....”
“Aku sudah tahu!”
“Tapi dia adalah pengawal Pangeran Liong Bin
Ong, pangeran yang merencanakan pemberontakan. Bahkan pangeran itulah yang
mengatur pencegatan rombongan sehingga kakekmu tewas. Pemuda itu tangan
kanannya dan Pangeran Liong Khi Ong tadi menyalahgunakan niat baik kaisar yang
menjadi kakaknya sendiri. Mereka itu demi cita-cita pemberontakan, tidak
segan-segan melakukan kekejian, kalau perlu membunuh Puteri Syanti Dewi dan
engkau.”
“Ohhhh....”
“Marilah, nona. Demi keselamatanmu sendiri dan
keselamatan Syanti Dewi.”
Dengan hati penuh kengerian Ceng Ceng lalu
mengikuti laki-laki itu melarikan diri. Dia percaya penuh karena bukankah dia
sudah menyaksikan dan mendengarkan sendiri pertemuan dan percakapan antara
Pangeran Liong Khi Ong dan Ang Tek Hoat? Kiranya pemuda itu seorang mata-mata
pemberontak! Kiranya malah musuh dari kerajaan kaisar dan kerajaan Bhutan,
hendak mencelakakan Syanti Dewi! Bahkan yang merencanakan pencegatan rombongan
yang mengakibatkan terbunuhnya kakeknya, adalah para pemberontak itu! Dan dia
sudah tertarik hatinya oleh Tek Hoat.
“Ahhhh....!”
“Ada apa, nona Lu?” tanya kakek itu.
“Tidak apa-apa....” jawab Ceng Ceng karena
yang terasa nyeri adalah jauh di dalam lubuk hatinya, bukan badannya.
Setengah malam penuh mereka berjalan terus,
melalui hutan-hutan dan pegunungan. Dalam perjalanan ini, kakek tadi menceritakan
keadaan kerajaan yang diancam pemberontakan, dan memperkenalkan dirinya. Dia
adalah seorang pengawal kaisar pula, di bawah Tan Siong Khi dan bernama Souw
Kee It. Dia bertugas untuk menyelidiki secara diam-diam keadaan rombongan itu.
Tentu saja dia tidak secepat Pendekar Super Sakti yang juga melawat ke Bhutan
dan berhasil menolong Raja Bhutan, akan tetapl sebagai seorang penyelidik yang
tahu akan keadaan negara, dia mempunyai pendengaran dan penciuman yang lebih
tajam. Dia mendapatkan rahasia dari pemberontak yang menaruh tangan-tangan
kotor ke dalam pencegatan itu, maklum bahwa raja liar Tambolon juga digerakkan
oleh tangan kotor dari kota raja sendiri. Dia telah melihat pula sepak terjang
Tek Hoat yang hebat, dan maklumlah dia bahwa dia bukan pula lawan pemuda itu.
Maka ketika memperoleh kesempatan, dia mengajak lari Ceng Ceng.
Mendengar semua penuturan ini, Ceng Ceng makin
terheran-heran dan bingung. Tak disangkanya bahwa pernikahan Syanti Dewi akan
membawa akibat sedemikian hebat dan peristiwa itu terlibat dengan pemberontakan
yang ruwet.
“Bagaimana dengan enci Syanti Dewi?” tanyanya
dengan khawatir.
“Sudah kuselidiki, nona. Kabarnya puteri itu
juga tertolong secara ajaib oleh seorang nelayan tua yang tidak dikenal siapa
sebenarnya. Cara menolongnya amat ajaib sehingga sukar aku mempercaya cerita
mereka itu. Akan tetapi, laki-laki gagah yang menolongnya itu telah pergi
bersama sang puteri. Sekarang yang saya ingin ketahui, ke manakah rencana
nona dan sang puteri tadinya setelah terpaksa meninggalkan kakek Lu yang
gugur?”
“Kakek meninggalkan pesan agar supaya kami
pergi ke kota raja, minta perlindungan dan bantuan kepada Puteri Milana....”
Souw Kee It mengangguk-angguk. “Memang tepat
sekali pesan kakekmu. Akan tetapi beliau tidak tahu akan perubahan di kota
raja. Kalau engkau dan Puteri Syanti Dewi sudah tiba di kota raja dan berada di
tangan Puteri Milana, kiranya tidak ada setanpun yang berani mengganggu. Akan
tetapi, justeru perjalanan menuju ke kota saja itulah yang amat sukar dan berbahaya.
Kaki tangan mereka sudah disebar di mana-mana untuk menangkap kalian berdua.”
“Ouhhh, habis bagaimana?”
“Harap nona jangan khawatir. Aku juga
mempunyai teman-teman, dan nanti akan kita atur bagaimana membawa nona pergi ke
timur dengan selamat. Akan tetapi, kurasa tidak tepat kalau sebelum bertemu
dengan Puteri Syanti Dewi nona pergi ke kota raja, kalau kita berhasil sampai
ke timur, lebih baik kalau nona untuk sementara berlindung di benteng yang
dikuasai Jenderal Kao Liang di tapal batas utara ibu kota.”
Hati Ceng Ceng agak lega mendengar bahwa
Syanti Dewi juga tidak tewas dan telah tertolong orang pandai, sungguhpun dia
bingung memikirkan mengapa begitu banyak orang pandai muncul? Siapakah penolong
Syanti Dewi dan ke mana perginya kakak angkatnya itu?
Dua hari kemudian, tibalah mereka di sebuah
dusun dan di sini terdapat pasukan kaisar yang masih setia kepada kaisar. Souw
Kee It lalu mendandani Ceng Ceng sebagai seorang prla, lengkap dengan kumis
palsu sehingga andaikata Tek Hoat sendiri bertemu dengannya kiranya akan
sulitlah untuk mengenalnya, demikian pendapat Ceng Ceng ketika dia
memperhatikan wajahnya sendiri di depan cermin. Setelah membawa bekal
secukupnya, Souw Kee It bersama Ceng Ceng, lalu menunggang kuda-kuda pilihan,
melanjutkan perjalanan mereka ke timur.
Kita tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan pengawal
kaisar Souw Kee It yang melakukan perjalanan amat jauh ke timur, dan mari kita
mengikuti perjalanan Puteri Syanti Dewi.
Secara kebetulan dan aneh sekali, Puteri
Syanti Dewi tertolong oleh Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Pendekar ini sudah
mengenyampingkan urusan dunia, hidup tenteram di antara rakyat kecil,
kadang-kadang menjadi petani, kadang-kadang bercampur dengan para nelayan,
selalu memilih tinggal di dusun-dusun yang dianggapnya tidak akan terjadi hal
yang penting. Sungguh di luar dugaannya bahwa hari itu dia terlibat dalam
urusan yang amat besar, bukan hanya menyangkut urusan diri pribadi seorang
gadis cantik, melainkan diri seorang puteri Raja Bhutan, bahkan menyangkut urusan
kerajaan!
Gak Bun Beng yang usianya sudah mendekati
empat puluh tahun itu melakukan perjalanan dengan hati kadang-kadang berdebar
keras. Benarkah yang dilakukannya ini, mengantarkan Syanti Dewi ke kota raja?
Benarkah dia kalau kini dia akan menjumpai Milana? Sesungguhnya tidak benar
dan amat berbahaya, seperti orang hendak membuka balutan luka yang amat parah,
akan tetapi apa dayanya? Tidak mungkin dia membiarkan Syanti Dewi begitu saja
setelah dia mengetahui siapa adanya gadis ini. Calon mantu kaisar! Dan terancam
bahaya karena dikejar-kejar oleh mereka yang hendak menggagalkan perkawinan
itu. Apa boleh buat, demi gadis ini, dan terutama demi kesejahteraan negara,
kerajaan kaisar dan Bhutan, dia harus menanggung semua itu, harus berani
menghadapi resiko perjumpaannya dengan Puteri Milana!
Perjalanan yang amat jauh itu dilakukan
dengan hati-hati oleh Gak Bun Beng yang menjaga agar jangan sampai terjadi
keributan di perjalanan. Dia sudah muak akan keributan dan permusuhan yang
dibuat oleh manusia-manusia yang mengaku berkepandaian. Untuk menjaga agar
perjalanan dapat dilalui dengan aman, dia menyamar sebagai seorang perantau
yang baru pulang dari perantauannya ke Tibet, dan Syanti Dewi diakuinya sebagai
anaknya. Agar tidak dicurigai orang, dia mengaku bahwa ibu Syanti Dewi seorang
wanita Tibet dan memang Syanti Dewi selain pandai dalam bahasanya sendiri,
yaitu Bahasa Bhutan, juga pandai berbahasa Tibet dan Bahasa Han.
Berpekan-pekan telah lewat tanpa ada peristiwa
penting yang mengganggu perjalanan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi. Pada suatu
hari, ketika mereka sedang berjalan melalui jalan raya kasar di lereng
pegunungan, mereka berpapasan dengan serombongan pasukan yang terdiri dari
kurang lebih seratus orang. Pasukan ini kelihatan letih dan banyak yang
terluka, dan sekali pandang saja Gak Bun Beng dapat melihat bahwa mereka adalah
Bangsa Han yang bercampur dengan orang-orang Mongol. Agaknya pasukan yang hanya
tinggal sisanya dari suatu pertempuran yang merugikan fihak mereka. Diam-diam
Gak Bun Beng terkejut. Apakah kini sudah timbul perang lagi? Ataukah hanya
sisa-sisa pemberontak ataukah pemberontak baru yang sedang ditindas oleh
pasukan pemerintah? Dia tahu bahwa pemberontak Mongol yang amat hebat, yang
dipimpin oleh Pangeran Galdan, telah dihancurkan oleh pasukan Kaisar Kang Hsi,
bahkan kabarnya Galdan sendiri telah dibinasakan. Apakah sekarang Bangsa
Mongol memberontak lagi, bergabung dengan orang Han yang masih merasa penasaran
akan penjajahan Bangsa Mancu?
Karena dilihatnya masih banyak rombongan-rombongan
pasukan campuran itu lewat, Gak Bun Beng hendak menghindarkan keributan, maka
dia mengajak Syanti Dewi untuk melalui jalan hutan. Untung bahwa rombongan
pertama yang lewat tadi terlalu lelah dan terlalu tertekan batinnya untuk melakukan
sesuatu, hanya mereka memandang tajam kepada Syanti Dewi saja, bahkan ada pula
yang menyeringai, dan ada yang mengeluarkan kata-kata tak senonoh akan tetapi
hanya sambil lalu.
Dasar mereka harus mengalami keributan.
Ketika mereka melalui jalan sunyi, menyelinap-nyelinap di hutan tak jauh dari
jalan raya itu, mereka bertemu dengan rombongan lain yang hanya terdiri dari
belasan orang, akan tetapi rombongan ini semua duduk melepaskan lelah. Mereka
terdiri dari tujuh orang Han dan delapan orang Mongol dan ada seorang Han dan
empat orang Mongol sedang minum arak, agaknya untuk menghibur hati yang
penasaran karena kekalahan mereka. Melihat bahwa rombongan ini hanya lima
belas orang, timbul niat di hati Gak Bun Beng untuk bertanya, maka dia mengajak
Syanti Dewi untuk mendekat.
Orang-orang itu memandang kepadanya dengan
curiga, akan tetapi ada yang tersenyum lebar ketika melihat Syanti Dewi yang
biarpun berpakaian sederhana seperti gadis dusun, namun kecantikannya masih
menonjol.
“Maaf, laote,” kata Gak Bun Beng kepada
seorang Han yang duduk bersandar pohon sambil menekuk lutut duduk pula dekat
orang itu, diikuti oleh Syanti Dewi di belakangnya, “bolehkah kami bertanya
mengapa banyak pasukan yang mundur dan banyak yang terluka? Apa yang telah
terjadi? Kami ayah dan anak dari Tibet hendak ke Se-cuan, akan tetapi kami
khawatir melihat cu-wi terluka, seolah-olah ada perang di sana.”
Orang itu yang mukanya dilindungi brewok,
memandang kepada Gak Bun Beng kemudian melirik ke arah Syanti Dewi. “Lebih baik
kalian kembali ke barat.”
“Ya, kembali saja bersama kami! Biar kami yang
melindungi kalian!” teriak orang Han yang sedang minum arak bersama empat orang
Mongol tadi.
“Kami mempunyai urusan penting sekali di
timur, sobat,” kata Gak Bun Beng. “Apakah yang terjadi di sana? Dan siapakah
cu-wi?”
“Apakah tidak tahu bahwa kami adalah
pendekar-pendekar sejati, patriot-patriot?” Tiba-tiba orang berewok itu
menjawab marah.
Gak Bun Beng menggangguk-angguk. “Ahh, kiranya
laote dan cu-wi sekalian adalah pejuang-pejuang yang menentang penjajah,
benarkah? Lalu, apa yang terjadi?”
Dipuji sedemikian, si brewok agak sabar, lalu
menarik napas panjang. “Si keparat Jenderal Kao Liang itu! Anjing penjilat kaki
Mancu dia! Begitu dia datang meronda di bagian barat dan memimpin sendiri
pasukan pembersihan, kita dipukul hancur!”
“Paman, kembalilah saja ke barat, dan sebelum
anakmu itu diperebutkan anjing-anjing Mancu, lebih baik diberikan kepadaku!”
Orang Han yang minum arak, usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu berkata.
Gak Bun Beng menahan kesabarannya. “Apakah
tentara pemerintah itu melakukan perbuatan jahat?”
“Siapa bilang tidak? Merampok, membunuh,
menculik dan memperkosa! Daripada diperkosa oleh anjing-anjing Mancu dan para
penghianat dan penjilat, lebih baik diberikan kepada kami agar menghibur kami
para patriot. Dengan demikian, kau dan anakmu itu ikut berjasa untuk tanah air
dan bangsa!” kata pula orang itu.
“Akur! Jumlah kita hanya lima belas orang,
bisa dibagi rata. Marilah, manis, kau layanilah aku!” kata seorang Han yang
lain yang berkumis panjang melintang.
Gak Bun Beng bangkit berdiri sambil tersenyum.
“Kami tahu penderitaan dan perjuangan kalian, sobat-sobat. Akan tetapi anakku
ini adalah pembantuku yang utama, seolah-olah tangan kananku sendiri, bagaimana
bisa kuberikan kepada orang lain? Mana mungkin aku memberikan tangan kananku?”
“Ahhh, dasar kau pelit! Apakah kau hendak
peluki anakmu sendiri? Tak tahu malu! Masa menolong dan meringankan penderitaan
kaum pendekar dan pahlawan sedikit saja tidak mau?” Mereka semua sudah bangkit
berdiri dari mengurung. Syanti Dewi terkejut dan mukanya berubah pucat, kedua
tangannya sudah dikepal untuk membela diri. Dan tidak hanya takut, akan tetapi
juga marah sekali mendengar omongan yang kotor itu.
Akan tetapi Gak Bun Beng tetap tenang dan
sabar. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata, “Bukan aku pelit, akan
tetapi sungguh mati, kalau kalian memaksa hendak mengambil anakku, sama saja
dengan kalian memaksa mengambil tangan kananku. Sebelum kalian mengambil
anakku, biarlah kuberikan saja kedua tanganku. Hidup tanpa tangan kanan
kepalang tanggung. Nah, siapa mau lebih dulu membuntungi kedua tanganku?” dia
mengacungkan kedua tangannya ke atas.
“Ha-ha-ha! Orang sinting, tapi anaknya cantik
manis sekali! Biar kupenuhi permintaannya!” Teriak orang muda Han yang mabok
itu sambil menghunus goloknya yang sudah berkarat karena darah orang dalam
pertempuran.
“Baiklah, mari kau buntungi tangan kiriku
lebih dulu!” Bun Beng memberikan tangan kirinya. Golok itu menyambar, kuat
sekali ke arah tangan kiri Gak Bun Beng yang diacungkan ke atas. Tangan itu
tidak mengelak, malah memapaki golok.
“Krekkkk!”
Golokk itu patah-patah dan pemiliknya
memandang gagang goloknya dengan mata terbelalak!
“Sayang, golokmu sudah berkarat dan rapuh!”
Gak Bun Beng berkata dengan suara biasa. “Siapa lagi yang mempunyai senjata
lebih tajam untuk membuntungi tanganku?”
“Biar kulakukan itu!” Bentak seorang Han
lainnya sambil meloncat maju, pedangnya menyambar tangan kanan Gak Bun Beng.
Kembali pendekar sakti ini tidak mengelak, melainkan memapaki pedang itu dengan
tangannya.
“Krak.... krakkk!”
“Hayaaa....!” Si pemilik pedang terbelalak
memandang gagang pedangnya yang hanya tinggal pendek saja itu karena pedangnya
sendiri sudah patah-patah.
Melihat ini, tiga belas orang lain serentak
maju dengan senjata mereka yang bermacam-macam, ada tombak, golok, pedang dan
toya. Gak Bun Beng membiarkan mereka mencabut semua senjata, kemudian dia
meloncat ke depan dan menerima semua serangan dengan kedua tangan dan juga
kakinya sambil mengerahkan sin-kangnya. Terdengar suara krak-krek-krak-krek
disusul oleh teriakan si pemilik senjata dan dalam sekejap mata saja semua
senjata milik dari lima belas orang itu sudah patah-patah semuanya.
“Ilmu siluman....!” Terdengar seorang di
antara mereka berteriak dan larilah mereka lintang pukang ketakutan,
meninggalkan segala perbekalan yang tadi mereka taruh di atas tanah.
Gak Bun Beng menghela napas, lalu menyambar
guci arak yang ditinggal di situ, menenggak isinya sampai habis.
Dilemparkannya guci kosong dan diusapnya mulut yang basah itu dengan ujung
lengan bajunya. Dia kelihatan tidak senang sekali. Memang dia tidak senang
karena terpaksa dia harus memperlihatkan kepandaiannya lagi setelah secara
terpaksa dia mengeluarkan kepandaian itu ketika menyelamatkan Syanti Dewi.
“Gak-siok-siok....” Syanti Dewi tahu-tahu
telah berada di sampingnya dan menyentuh lengan pendekar itu karena diapun
dapat merasakan betapa pendekar itu kelihatan tidak tenang, bahkan seperti
orang berduka. “Engkau banyak repot karena aku saja....”
Gak Bun Beng menoleh dan melihat wajah yang
cantik dan agung itu menyuram, dia tersenyum dan mengelus kepala Syanti Dewi.
Bukan main halusnya perasaan anak ini, pikirnya terharu. “Tidak apa-apa, Dewi.
Akupun hanya menakut-nakuti mereka saja. Marilah kita melanjutkan perjalanan.”
“Akan tetapi di timur ada perang dan
pertempuran, siok-siok.”
“Bukan perang, hanya pasukan pemerintah
mengadakan pembersihan terhadap sisa-sisa gerombolan pemberontak seperti mereka
tadi.”
“Akan tetapi, mendengar omongan mereka tadi,
mereka bukanlah
pemberontak, melainkan patriot-patriot
yang berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air mereka.” Puteri itu
membantah. Biarpun hanya seorang wanita, namun sebagai puteri raja tentu saja
dia sudah banyak membaca kitab-kitab sejarah dan ketatanegaraan sehingga
pengetahuannya agak luas daripada wanita-wanita terpelajar biasa.
Gak Bun Beng menghela napas panjang. Ucapan
puteri ini menyentuh perasaannya, perasaan muak terhadap ulah tingkah manusia
dalam hidup ini, maka dengan suara bersemangat, di luar kesadarannya dia
berkata, “Manusia di dunia ini siapakah yang tidak akan membenarkan dirinya
sendiri? Pemerintah Mancu renganggap mereka pemberontak karena mereka melawan
pemerintah yang syah dan menganggap diri sendiri sebagai penolong rakyat,
sebaliknya mereka itu menganggap pemerintah sebagai penjajah laknat dan
menganggap diri sendiri sebagai patriot. Namun keduanya tetap sama saja, tetap
saja melakukan kekerasan dan kekejaman dengan dalih kebenaran masing-masing.
Padahal, apa sih bedanya manusia? Dari kaisar, jenderal, pedagang, petani, si
jembel sekalipun, hanya dibedakan oleh pakaian dan embel-embel di luar badan.
Coba kumpulkan mereka semua, telanjangi mereka semua di dalam sebuah kandang,
apa bedanya mereka dengan sekumpulan domba atau kuda? Manusia hanyalah mahluk
biasa yang mempunyai kelebihan, inilah yang merusak hidup!”
Syanti Dewi mendengarkan dan memandang wajah
pendekar itu dengan mata terbelalak. Baru satu kali ini selama hidupnya dia,
mendengarkan pandangan orang tentang manusia seperti itu. Ada artinya yang
mendalam, ada kesungguhan dan kebenarannya, akan tetapi juga lucu sekali. Kalau
dibayangkan betapa seluruh manusia di dunia ini tidak berpakaian, tidak dihias
segala benda-benda yang hanya menjadi pemisah dan penentu dari tingkat
masing-masing, alangkah lucunya dan memang sukar membedakan mana raja mana
jembel mana kaya mana miskin! Dia sendiripun tadinya seorang istana dan memakai
pakaian puteri. Sekarang? Setelah berpakaian gadis petani seperti itu, siapa
percaya bahwa dia seorang puteri? Apalagi kalau harus telanjang bersama seluruh
manusia lain!
“Kau.... kau hebat, paman!” katanya lirih.
Gak Bun Beng sadar lagi dan memegang tangan
Syanti Dewi. “Kau.... kau semuda ini, sudah dapat menangkap arti kata-kataku
tadi?”
Syanti Dewi mengangguk, lalu mengangkat
mukanya memandang wajah yang masih tampan dan gagah itu. Gak Bun Beng dahulunya
memang seorang pemuda yang tampan, gagah, matanya mengeluarkan cahaya tajam,
mulutnya terhias kumis kecil terpelihara rapi, demikian juga jenggotnya yang
pendek saja. Pakaiannya sederhana, pakaian petani atau nelayan, namun bersih
dan kuku-kuku tangannya terpelihara baik, giginya terawat.
“Paman Gak, di manakah adanya keluargamu?”
Gak Bun Beng terbelalak dan mengerutkan
alisnya. “Apa? Keluarga?”
“Ya, isteri dan anakmu....”
“Ah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan,
aku khawatir mereka datang lagi mengganggu.” Dia memegang tangan Syanti Dewi
dan diajaknya dara itu pergi meninggalkan tempat itu.
Sampai lama mereka berjalan menyusup-nyusup
hutan karena Gak Bun Beng tidak ingin terganggu lagi oleh gerombolan
pemberontak atau pejuang yang melarikan diri karena diobrak-abrik oleh pasukan
pemerintah yang kabarnya tadi dipimpin oleh Jenderal Kao Ling yang ditakuti.
Beberapa kali Syanti Dewi menengok dan memandang wajah pendekar itu, namun Gak
Bun Beng berjalan terus tanpa mengeluarkan kata-kata.
Akhirnya Syanti Dewi tidak dapat menahan
hatinya. “Paman Gak, di manakah isteri dan anak-anakmu?”
Sesungguhnya pertanyaan ini sejak tadi bergema
di telinga Gak Bun Beng dan dia sengaja mengalihkan perhatian dan mengharapkan
gadis itu lupa akan pertanyaannya yang terngiang-ngiang di telinga hatinya.
Maka mendengar pengulangan pertanyaan ini, dia menahan napas sejenak untuk
menekan perasaannya, baru dia menjawab tenang saja. “Tidak ada.”
“Ehhh....?” Syanti Dewi terkejut.
“Aku tidak pernah mempunyai isteri atau anak,
tidak mempunyai saudara, tidak ada orang tua lagi, aku sebatangkara di dunia,”
kembali jawaban yang keluar dari mulut pendekar itu terdengar datar seolah-olah
seorang nelayan membicarakan jalan atau pancingnya, biasa saja.
“Tapi.... tapi tidak mungkin itu, paman Gak!”
“Apa maksudmu, tidak mungkin? Mengapa harus
tidak mungkin?”
“Seorang seperti paman ini.... eh, tidak
mungkin tidak menikah! Paman, apakah tidak ada wanita di dunia ini yang
mencintamu?”
Tanpa menengok Gak Bun Beng menggeleng kepala
dan matanya memandang jauh ke depan.
“Hemm, mustahil! Dan apakah paman tidak ada
mencinta seorangpun wanita di dunia ini?”
Gak Bun Beng tersenyum ketika menoleh dan
melihat wajah puteri ini diliputi penasaran besar, bahkan seperti orang marah!
“Dewi, engkau kenapa? Aku tidak pernah memikirkan hal itu dan hidupku sudah
cukup bahagia.”
“Tidak masuk akal! Seorang pria seperti
paman!”
“Hemm, hanya seperti aku ini, apa sih bedanya
dengan orang lain?”
“Tidak sama sekali, jauh sekali bedanya!
Pangeran-pangeran di Bhutan, bahkan orang berpangkat jauh di bawah pangeran
dan orang berharta, mereka itu sedikitnya mempunyai tiga empat orang isteri!
Padahal dibandingkan dengan paman, mereka itu tidak ada sekuku hitam paman!”
“Aihh, Dewi, aku seorang tua yang miskin tidak
memiliki apa-apa, mana ada ingatan yang bukan-bukan?” Gak Bun Beng berkata
untuk menghibur diri karena percakapan ini tanpa disengaja oleh puteri itu
telah menusuk-nusuk perasaannya, mengingatkan dia kepada Milana.
“Jangan paman berkata demikian. Siapa bilang
paman sudah tua? Usia paman tidak akan lebih dari empat puluh tahun! Dan
pangeran yang namanya Liong Khi Ong itu, yang akan mengawiniku, kabarnya malah
berusia lima puluh tahun, dan aku berani bertaruh potong rambut bahwa dibandingkan
dengan paman, dia itu bukan apa-apa!”
Gak Bun Beng berhenti melangkah dan memegang
kedua tangan Syanti Dewi. “Dewi, kuminta kepadamu, janganlah kau membicarakan
urusan diriku. Aku minta dengan sangat, ya? Banyak hal yang pahit getir telah
berlalu, pembicaraanmu hanya akan menggali segala kepahitan yang telah lewat
itu saja.” Ucapan ini keluar dengan suara agak gemetar.
Syanti Dewi mengangkat muka memandang dan
melihat wajah penolongnya ini diliputi awan kedukaan, hatinya terharu dan dua
titik air mata menetes seperti dua butir mutiara di atas kedua pipinya.
“Eh? Kau.... menangis?”
“Aku kasihan kepadamu, paman Gak.”
Gak Bun Beng tersenyum dan menggunakan
telunjuknya menghapus dua butir mutiara itu. “Kau anak yang aneh! Kau
memperlakukan aku seolah-olah aku ini seorang yang jauh lebih muda daripada
engkau. Sudahlah, jangan membicarakan tentang diriku, tidak ada harganya
dibicarakan. Sekarang aku ingin bicara tentang dirimu. Mengapa engkau
membicarakan pribadi calon suamimu seperti itu? Agaknya engkau tidak suka
kepadanya?”
“Hemm, tentu saja,” jawab Syanti Dewi
ketika mereka melangkah lagi. “Siapa orangnya suka dikawinkan dengan seorang
kakek yang belum pernah dilihatnya selama hidupnya? Dia seorang pangeran, dan
kulihat pangeran-pangeran di Bhutan hanyalah orang-orang yang berlomba mengejar
kesenangan, tenggelam dalam kemewahan dan aku berani bertaruh bahwa Pangeran
Liong Khi Ong itu tentu sudah mempunyai isteri sedikltnya selosin orang,
apalagi usianya sudah lima puluh tahun. Aku tentu sudah gila kalau aku
mengatakan suka kepadanya, paman Gak.”
Gak Bun Beng tersenyum geli. Bukan main anak
ini! Pandangannya selalu tepat, membayangkan pengetahuan luas dan pertimbangan
yang masak, kata-katanya tepat mengenai sasaran dan perasaannya amat halus
bukan main.
“Dewi, kalau kau memang tidak suka, kenapa kau
mau?”
“Paman, masa paman tidak mengerti? Aku hanya
bertugas di dalam perkawinan ini untuk menjadi paku utama dalam singasana
ayah.”
“Eh....?”
“Aku kawin bukan karena cinta, melainkan kawin
politik. Agar kedudukannya di Bhutan kuat apalagi dalam menghadapi
pemberontakan Bangsa Mongol dan Tlbet yang dipimpin oleh Tambolon, ayah
mengorbankan aku untuk menjadi mantu kaisarmu di sana!” Kedua pipi itu menjadi
merah karena penasaran dan matanya yang indah bersinar-sinar.
Gak Bun Beng mengangguk-angguk. “Kau kan bisa
menolak?”
“Aih, paman. Apa dayaku sebagai seorang puteri
raja? Kalau aku menolak, andaikata aku bisa menolak, kemudian terjadi sesuatu
yang bisa merobohkan kerajaan, bukankah namaku akan dicatat di dalam sejarah
sebagai seorang anak yang paling durhaka terhadap orang tua, sebagai seorang
puteri yang tidak dapat menjaga negaranya? Ahh, kalau saja aku hanya seorang
gadis petani biasa, tentu tidak ada yang usil mulut!”
Gak Bun Beng maklum akan hal ini dan dia
menghela napas panjang, merasa kasihan sekali kepada gadis ini, dan dia
teringat pula akan nasib Milana yang juga menikah karena terpaksa oleh kaisar!
“Akan tetapi, sekarang engkau telah bebas, bukan? Engkau telah menjadi seorang
gadis petani, bukan?”
“Apa gunanya? Tak mungkin aku menjadi begini
terus. Setelah paman nanti menyerahkan aku ke istana, apa dayaku selain menurut
dan menerima pernikahan itu dengan mata meram dan perasaan mati?”
“Kalau aku tidak menyerahkan engkau ke istana,
bagaimana?”
Sepasang mata itu terbelalak. “Benarkah,
paman? Akan tetapi, tidak diserahkanpun aku tidak berdaya. Mana mungkin aku
bisa hidup sendiri di dunia ini? Aku sudah terbiasa hidup keenakan di istana.
Aihh, kalau saja ada adik Ceng Ceng.... tentu dia akan dapat mencarikan akal.”
“Tenanglah, Dewi. Aku akan membawamu ke kota
raja, akan tetapi aku menjamin bahwa tidak ada seorang iblispun akan dapat
memaksamu menikah dengan siapapun yang tidak kau suka. Aku tidak akan
membiarkan itu, Dewi.”
Syanti Dewi memegang tangan kanan Gak Bun Beng
yang terkepal itu erat-erat, membawa kepalan tangan itu ke depan hidungnya dan
menciuminya sambil terisak. Di dalam diri penolongnya itu dia tidak hanya
menemukan seorang penolong, akan tetapi juga seorang kawan baik, seorang yang
menjadi pengganti ayah bundanya, seorang pelindung dan pembela yang dia percaya
sepenuh hatinya, seorang yang menimbulkan kasih sayang di hatinya.
***
“Bangun....! Gak-siok-siok....
bangunlah....!” Gak Bun Beng membuka matanya.
“Paman, lihat, ada pasukan tentara
datang....!”
Gak Bun Beng mengeluh dan merasa kasihan
sekali kepada dara itu. Baru saja mereka beristirahat di dalam rumah kosong
yang rusak itu. Setelah membuat api unggun dan menyelimuti tubuh Syanti Dewi
yang tidur di atas rumput kering, dia sendiri lalu duduk bersandar dinding
rusak di dekat pintu, menjaga sambil beristirahat, dan diapun tertidur saking
lelahnya. Baru saja tidur, belum ada sejam karena diapun belum pulas benar,
sudah ada orang yang mengganggu.
Dia bangkit dan berdiri, menggosok-gosok kedua
matanya dan memandang keluar.
“Heiii....! Yang berada di dalam rumah kosong!
Hayo kalian semua keluar!” terdengar teriakan seorang di antara para perajurit
yang memegang obor. Obor itu besar sekali dan amat terang dan di atas sebuah
tandu pikulan duduklah seorang panglima yang berpakaian lengkap dan gagah,
pakaian perang, sikapnya gagah sekali mengingatkan Gak Bun Beng akan tokoh Kwan
Kong di dalam cerita Sam Kok, seorang panglima perang yang jarang bertemu
tanding saking gagah perkasanya.
“Tenanglah, Dewi, mari ikut aku keluar,” kata
Gak Bun Beng dan dia menggandeng tangan dara itu, diajaknya keluar menghadap
panglima itu.
“Suruh pergi mereka semua! Kalau mereka tidak
menyembunyikan pemberontak, sudahlah, jangan ganggu penduduk di sekitar sini!
Akan tetapi cari di rumah-rumah kosong, di guha-guha dan basmi semua pelarian
pemberontak, barulah daerah ini akan aman. Kalian jangan terlalu malas, bekerja
kepalang tanggung. Satu kali mengeluarkan tenaga hasilnya harus dapat dirasakan
selama satu tahun! Tidak setiap hari mengalami gangguan terus!”
Beberapa orang panglima dan perwira yang
mendengar perintah ini membungkuk-bungkuk dan kelihatannya mereka takut sekali
kepada panglima gagah perkasa ini. Tiba-tiba panglima gagah perkasa ini
memandang ke arah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi. Gak Bun Beng terkejut. Pandang
mata itu menunjukkan bahwa jelas pembesar militer ini benar-benar bukan orang
sembarangan, akan tetapi dia balas memandang dengan sikap tenang.
Pembesar itu memberi isyarat dengan tangan dan
seorang perajurlt menggapai kepada mereka sambil berkata, “Heii, kalian berdua
majulah menghadap tai-goanswe!”
Gak Bun Beng menarik tangan Syanti Dewi
menghadap pembesar itu dan menjura dengan dalam-dalam, akan tetapi tidak
berlutut karena dia ingin menguji watak pembesar ini.
“Hei, berlutut kalian!” bentak seorang
perajurlt.
“Biarkan mereka!” Jenderal besar (tai-goanswe)
itu berkata, melambaikan tangan kepada Gak Bun Beng memberi isyarat agar mereka
berdua maju. Sekali lagi pandang mata Jenderal itu memandang tajam penuh
selidik, kemudian bertanya kepada Syanti Dewi dengan suara membentak dan
tiba-tiba, “Kau, wanita muda katakan, siapa namanya laki-laki ini?”
Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main
karena biasanya, dalam setiap urusan selalu Gak Bun Beng yang maju ke depan dan
Gak Bun Beng yang melayani semua tanya jawab. Sekali ini, secara tiba-tiba
jenderal yang kelihatan galak seperti seekor singa itu menanya kepadanya.
Saking kagetnya, dia menjawab tanpa dapat dipikir lebih dulu secara otomatis,
“Namanya adalah Gak Bun Beng!”
Jenderal ini mengerutkan alisnya yang tebal,
mengingat-ingat, kemudian dia meloncat turun menghadapi Gak Bun Beng. Tepat
dugaan pendekar sakti ini, cara jenderal itu meloncat menunjukkan pula
kemahiran ilmu silat tinggi, biarpun tubuhnya tegap tinggi besar namun
gerakannya ringan sekali dan ketika kedua kakinya menginjak tanah, tidak
mengeluarkan bunyi apa-apa seperti kaki kucing meloncat saja.
“Kau Si Jari Maut?”
tiba-tiba jenderal itu membentak.
Gak Bun Beng melepaskan tangan Syanti Dewi dan
menyuruh dara itu minggir. Syanti Dewi juga kaget sekali, apalagi mendengar
nama Si Jari Maut. Mengapa pula penolongnya itu disangka Si Jari Maut? Bukankah
Si Jari Maut adalah tukang perahu itu?
Gak Bun Beng juga merasa heran dan dia
menggeleng kepala. “Bukan, tai-goanswe. Saya tidak punya nama lain kecuali yang
dikatakan tadi.”
“Siapa dia?” Jenderal itu menuding ke arah
Syanti Dewi.
“Dia anak saya.”
“Hemm, wajahnya bukan wajah wanita Han. Jangan
membohong kau!”
“Memang anak saya ini berdarah campuran,
tai-goanswe. Ibunya adalah seorang Tibet.”
Jenderal ini meraba jenggotnya.
“Hem.... kau dari mana hendak ke mana?”
“Saya dari Tibet di mana selama belasan tahun
saya merantau dan menikah di sana, sekarang hendak pergi ke Se-cuan.”
“Kau bukan Jari Maut?”
“Bukan, tai-goanswe.”
“Tapi kau tentu bisa ilmu silat, bukan?”
Sukarlah bagi Gak Bun Beng untuk mendusta
terhadap jenderal yang bermata tajam ini. Tentu saja bagi seorang ahli, dapat
melihat bahwa dia seorang yang “berisi”, maka dia bersenyum dan menjawab,
“Sedikit-sedikit saya pernah mempelajari.”
“Nah, coba kau hadapi seranganku ini, ingin
aku melihat sampai di mana kepandaianmu!” Tiba-tiba saja jenderal itu
menerjang maju, gerakannya cepat bukan main, sama sekali tidak sesuai dengan
tubuhnya yang besar tegap itu, apalagi dengan memakai pakaian perang yang cukup
berat. Selain cepat, juga pukulan kepalan tangannya didahului angin yang
menyambar dahsyat, hawa yang mengandung rasa panas ke arah dada Gak Bun Beng.
Pendekar sakti ini maklum bahwa sang jenderal
sudah dapat melihat bahwa dia memiliki kepandaian dan agaknya dia hendak
menguji karena curiga, maka diapun tidak mau berpura-pura lagi karena toh akan
sia-sia saja dan akan ketahuan oleh jenderal yang cerdik itu, maka diapun cepat
menangkis sambil mengerahkan tenaganya sebagian saja cukup untuk menandingi
tenaga sin-kang penyerangnya.
“Dukkk!” Jenderah itu berseru kaget ketika
pukulannya tertangkis dan lengannya terpental. Dia dapat memukul lagi dan
tahulah Gak Bun Beng bahwa pukulannya tadi ternyata hanya menggunakan tenaga
setengahnya karena jenderal itu belum tahu sampai di mana kekuatannya. Kini
jenderal itu menghantam dengan tenaga penuh, tenaga yang melebihi kekuatan
seekor kerbau jantan mengamuk!
“Dess....!” Kembali pukulan tertangkis dan
jenderal itu terhuyung ke belakang.
“Coba pergunakan jari mautmu!” Bentak sang
Jenderal dan kini dia menerjang lagi, kaki tangannya bergerak dan sekaligus
Gak Bun Beng menghadapi penyerangan pukulan, tamparan, totokan dan tendangan
sebanyak delapan kali berturut-turut. Maklumlah dia bahwa jenderal ini
benar-benar pandai, dan agaknya sang jenderal sengaja mendesaknya dengan jurus
luar biasa itu untuk memancing dia agar dia, kalau memang mempunyai,
mengeluarkan llmunya yang paling hebat, yang diharapkan akan membuka rahasia
Jari Maut.
Tentu saja kalau Gak Bun Beng menghendaki,
dengan apa saja, dia sekali turun tangan akan mampu membunuh lawannya ini. Akan
tetapi tentu saja dia tidak mau, bahkan dia menangkis dan sengaja memperlambat
gerakannya sehingga dua kali pukulan mengenai bahu dan dadanya.
“Bukk! Dess....!” Gak Bun Beng terhuyung ke
belakang sambil becseru, “Maaf, tai-goanswe, saya tidak kuat bertahan!”
“Ha-ha-ha-ha!” Jenderal itu tertawa bergelak,
berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan perutnya sampai bergoyang-goyang
ketika dia tertawa sambil mendongak ke angkasa. “Ha-ha-ha, engkau terang
bukanlah Si Jari Maut, sungguhpun engkau pandai sekali merendah. Sobat, aku
Kao Liang kagum sekali kepadamu!”
Terkejutiah hati Gak Bun Beng mendengar nama
ini. Kiranya inilah jenderal yang ditakuti oleh para pelarian tadi. Pantas
saja! Memang seorang jenderal yang hebat! Untung jenderal ini agaknya tidak
pernah atau jarang sekali muncul di kota raja sehingga tidak mengenalnya, pula,
andaikata pernah, tentu sudah sejak mendengar namanya tadi pembesar itu lain
sikapnya.
“Ah, kiranya Kao-taigoanswe....! Saya pernah
mendengar nama besar tai-goanawe dari para pemberontak yang lari
terbirit-birit ke barat.”
“Ha-ha-ha, dan aku tadinya mencurigaimu
sebagai anggauta pemberontak. Tidak mungkin. Apalagi dengan anakmu ini. Nah,
kalian berdua hendak ke Se-cuan? Silahkan, kalau di jalan bertemu kesukaran,
katakan bahwa engkau adalah sahabat Kao Liang, tentu akan dapat menolong!”
Gak Bun Beng menjura, menghaturkan terima
kasih lalu mengajak Syanti Dewi pergi dari situ cepat-cepat, biarpun malam itu
cukup gelap karena bintang di langit terhalang sedikit awan.
Gak Bun Beng mengajak Syanti Dewi berhenti di
bawah sebatang pohon besar di dekat padang rumput. Tidak mungkin melanjutkan
perjalanan melintasi padang rumput yang demikian rimbun, takut kalau-kalau ada
ularnya atau binatang lain. Melihat lampu-lampu di sebelah kiri, mereka lalu
bangkit lagi dan menuju ke tempat itu. Kiranya itu adalah sebuah dusun yang
lumayan besarnya. Akan tetapi karena dusun itu baru saja mengalami pemeriksaan
dan pembersihan, semua penduduk masih merasa takut dan pintu rumah ditutup
rapat-rapat. Beberapa kali Gak Bun Beng mengetuk pintu, dan mendengar suara
bisik-bisik di dalam, namun tidak pernah ada yang menjawabnya. Bahkan ketika
mereka melihat sebuah rumah penginapan dan mengetuk pintunya, tidak ada pelayan
yang membukainya. Barulah setelah Syanti Dewi yang bersuara minta dibukakan
pintu, daun pintu terbuka oleh seorang pelayan yang memandang mereka penuh
curiga.
“Kenapa kalian ini malam-malam menggedor-gedor
pintu rumah ocang?” tanyanya dengan hati lega akan tetapi juga jengkel ketika
melihat bahwa yang datang hanyalah seorang laki-laki setengah tua dan seorang
dara remaja yang keduanya berpakaian seperti orang dusun.
“Hemm, bukankah ini rumah penginapan untuk
umum?” Gak Bun Beng bertanya sabar.
“Benar, akan tetapi apakah kau tidak bisa
mengerti akan keadaan? Dunia sedang kiamat begini mencari kamar waktu tengah
malam! Untung aku berani membuka pintu, kalau tidak siapa lagi yang berani dan
kalian takkan bisa mendapatkan tempat di rumah manapun juga.”
“Maaf kalau kami mengganggu dan mengagetkan,
biarlah besok sebagai penambah uang sewa kamar kami beri juga uang kaget,” kata
pula Gak Bun Beng.
Mendengar bahwa dia akan menerima uang kaget
sebagai hadiah pelayan itu menjadi lebih ramah. “Baru siang tadi dusun kami
digerebek dan diperiksa, diawut-awut, banyak yang ditangkap dituduh teman
pemberontak. Tentu saja sedusun ini masih dalam suasana panik dan takut.”
Gak Bun Beng mengangguk-angguk dan akhirnya
mereka memperoleh sebuah kamar dengan dua buah tempat tidur. Tadinya Gak Bun
Beng hendak menyewa dua kamar, akan tetapi di depan pelayan itu Syanti Dewi
berkata, “Ayah, mengapa harus dua kamar? Satu saja cukuplah asal ada dua tempat
tidur. Apalagi, aku takut tidur sendiri dalam kamar!”
Malam itu keduanya dapat tidur nyenyak setelah
bercakap-cakap sebentar tentang Jenderal Kao Liang. “Seorang jantan sejati,”
kata Gak Bun Beng kagum. “Negara memang membutuhkan orang-orang seperti dia
itulah! Aku berani bertaruh apa saja bahwa orang seperti dia tentu setia kepada
negara, tidak mabok kedudukan, tidak sudi menjilat dan tidak suka pula menekan
bawahan. Ilmu kepandaiannya boleh juga.”
“Aku juga sudah khawatir, paman. Dia
kelihatannya begitu kuat dan lihai. Akan tetapi ternyata kau tidak apa-apa! Dia
memang mengerikan, seperti seekor singa!”
“Jarang kini terdapat orang seperti dia,” kata
pula Gak Bun Beng. “Orang pemberani macam dia tentu tidak berhati kejam. Hanya
orang penakutlah yang berhati kejam karena kekejaman lahir dari rasa takut. Dan
dia tidak pula penjilat, karena hanya orang yang suka menindas bawahannya
sajalah yang suka menjilat atasannya. Dia memang jantan sejati dan aku
benar-benar kagum!”
Sementara itu, di perkemahannya, Jenderal Kao
Liang juga berkata kepada seorang perwira kepercayaannya. “Orang bernama Gak
Bun Beng tadi memang hebat! Aku percaya bahwa dia tentulah seorang kang-ouw
yang berilmu tinggi, dan yang memakai nama Gak Bun Beng Si Jari Maut tentulah
seorang penjahat yang sengaja hendak merusak namanya.”
Memang tepatlah kata-kata Jenderal Kao Liang
ini. Yang merusak dan menggunakan nama Gak Bun Beng Si Jari Maut bukan lain
adalah Ang Tek Hoat! Jenderal ini sudah mendengar akan sepak terjang Si Jari
Maut, akan tetapi dia mendengar bahwa penjahat kejam itu adalah seorang pemuda,
maka dia tadi percaya bahwa Gak Bun Beng yang ditemuinya itu bukanlah Si Jari
Maut. Tentu saja dia tidak tahu bahwa ketika menangkis serangannya tadi, Gak
Bun Beng hanya mempergunakan sedikit bagian saja dari tenaganya, dan sama
sekali dia tidak pernah mimpi bahwa Gak Bun Beng adalah seorang pendekar sakti
murid dari Pendekar Super Sakti, Bu-tek Siauw-jin, dan memiliki ilmu-ilmu
kesaktian tingkat tinggi yang amat hebat!
Pada keesokan harinya, setelah mandi pagi, Gak
Bun Beng berkata kepada Syanti Dewi, “Dewi, kita harus menyamar dalam
perjalanan selanjutnya. Aku sudah kapok kalau sampai terjadi seperti malam
tadi. Pula, menurut pelayan, di sebelah sananya padang rumput itu terdapat
perkemahan pasukan. Ingin sekali aku melakukan penyelidikan, dan mengetahui apakah
gerangan yang terjadi sehingga seorang jenderal yang berpangkat tinggi itu
sampai datang ke tempat ini dan melakukan perondaan sendiri, memimpin pasukan
sendiri melakukan pembersihan.”
“Paman, bukankah Jenderal Kao telah
menjamin....”
“Ah, aku tidak mau berkedok nama jenderal,
Dewi. Kita melakukan perjalanan sendiri menggunakan akal sendiri untuk
menyelamatkan diri. Bagaimana kalau kita menyamar sebagai ayah dan anak penjual
silat?”
“Tapi ilmu silatku masih rendah, paman.”
“Habis apa kiranya yang menjadi keahlianmu?”
“Aku agak pandai menari....”
“Nah, itu dia! Kita menyamar sebagai penjual
obat dan engkau menari, aku yang mengiringi dengan meniup suling.”
Syanti Dewi tertawa dan cahaya matahari
menjadi cerah bagi Gak Bun Beng. Tawa gadis yang halus itu benar-benar
mendatangkan kesegaran dalam perasaannya. Bertahun-tahun dia hidup membeku, dan
baru sekarang dia merasakan kehangatan perikemanusiaan.
“Menari hanya diiringi dengan suling saja? Dan
lagunya? Apakah kau mengenal lagu Bhutan, paman?”
“Tentu saja tidak. Akan tetapi asal melagukan
cukup? Apa lagi kita adalah penjual obat, bukan ahli tari sungguhpun aku yakin
bahwa engkau tentu merupakan seorang ahli tari yang luar blasa. Nah, sekarang
kita harus berbelanja ke dusun ini menyiapkan segala keperluan penyamaran kita.
Untukku sebatang suling dan sebuah caping lebar, dan untukmu, apa kebutuhanmu
dalam penyamaranmu, Dewi?”
“Sebagai penari keliling, cukup dengan sehelai
selendang panjang saja, selendang sutera berwarna merah.”
Setelah menemukan dan membeli kebutuhan mereka
itu, Gak Bun Beng lalu mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan meninggalkan
dusun itu dan melintasi padang rumput. Di sepanjang perjalanan Syanti Dewi
menyanyikan beberapa lagu Tibet yang dikenalnya dan dengan penuh kagum dan
keharuan karena dara itu ternyata amat pandai bernyanyi dan mempunyai suara
yang amat merdu dan halus. Gak Bun Beng mempelajari lagu-lagu itu dengan
sulingnya.
Ketika mereka sudah melewati padang rumput Gak
Bun Beng berhenti dan meminta kepada Syanti Dewi agar supaya menari. “Kita
harus berlatih dulu agar cocok antara suling dan gerakan tarianmu,” katanya.
Dia duduk di bawah pohon dan mulai meniup
sulingnya, menirukan lagu yang dinyanyikan dara itu, dan Syanti Dewi mulai
menari, menggerakkan tubuhnya seperti seekor kupu-kupu beterbangan di atas
kelompok bunga, dan ketika selendangnya yang merah itu digerak-gecakkan,
selendang itu membentuk lengkung-lengkuk merah yang amat indah dan
berubah-ubah. Kadang-kadang seperti seekor naga merah terbang, kadang-kadang
seperti seekor kupu-kupu, lalu seperti huruf-huruf yang hanya tampak sekilas
pandang saja karena sudah berubah lagi bentuknya. Bukan main! Gak Bun Beng
terpesona dan lupa diri, seolah-olah dia sedang berada di kahyangan menyaksikan
tarian seorang bidadari. Di dalam setiap gerakan tubuh dara itu, dari ujung
jari tangan sampai ke anak rambut yang terjurai di depan dahi, semua begitu
hidup, mengandung warna tertentu dan merupakan nyanyian tertentu, indah penuh
rahasia seperti sajak-sajak keramat, meriah dan riang gembira seperti sinar
matahari pagi di musim semi!
Setelah Syanti Dewi menghentikan tariannya
sambil tertawa, Gak Bun Beng baru sadar. Dia menurunkan sulingnya pula, masih
terlongong dan termenung, seolah-olah orang baru terbangun dari suatu mimpi
yang amat indah.
“Paman Gak!” Syanti Dewi memanggil ketika
melihat pendekar itu duduk termenung, aeolah-olah ada sesuatu yang
mengganggunya.
“Heh....? Ehhh....!” Gak Bun Beng menyeka
peluh yang tanpa diketahuinya telah memenuhi dahi dan lehernya, kemudian dia
memandang Syanti Dewi dengan sinar mata lembut dan penuh kasih sayang. “Dewi,
bukan main kau....! Bukan main....!” Dan tak dapat ditahan lagi, dia
mengatupkan bibir dan dua titik air mata menetes ke atas pipinya.
Syanti Dewi menubruknya. “Paman, ada apakah?
Paman.... paman menangis?” Ucapan ini dikeluarkan penuh ketidakpercayaan.
Rasanya mustahil bagi Syanti Dewi melihat seorang pria yang demikian gagah
perkasa, jantan keras bagaikan baja, lembut dan budiman seperti kapas, yang
dihormati, kagumi, dan sayang dapat meruntuhkan air mata walaupun hanya dua
butir!
Gak Bun Beng tak mampu menjawab dan memejamkan
mata ketika merasa betapa Syanti Dewi menyeka dua butir air mata itu dengan
ujung selendangnya. Terbayanglah wajah Milana, teringatlah dia akan semua
kenikmatan dan kebahagiaan berkasih sayang dengan wanita itu. Kehadiran Syanti
Dewi dalam hidupnya membuat luka di dalam hatinya merekah kembali dan dia
menjadi amat rindu kepada Milana, amat rindu pada belaian kasih sayang wanita.
Padahal selama ini, dia telah berhasil menundukkan semua itu, telah membuat
hatinya mengeras seperti baja. Namun segala keindahan yang dilihatnya dalam
diri Syanti Dewi, segala kelembutannya, mendobrak seluruh pertahanannya dan
menjadi jebol!
“Paman kau kenapakah? Mengapa paman berduka?”
Kemudian Syanti Dewi bertanya dengan suara penuh kedukaan dan kecemasan.
Gak Bun Beng membuka matanya, lalu memaksa
diri tersenyum dan membuka capingnya, mengipasi muka dan lehernya dengan
caping, bukan untuk mengusir hawa panas, melainkan dengan harapan angin dari
kipasan caping itu akan mengusir keharuan yang mencekik lehernya. Sukar dia
mengeluarkan suara dan hanya menggeleng kepala sambil tersenyum.
“Paman, kau tadi kelihatan demikian berduka,
sampai menangis! Padahal tadinya tidak apa-apa. Setelah aku menari, paman
berduka dan terharu. Tentu ada sebabnya, paman. Demikian tegakah paman
membiarkan aku dipermainkan kesangsian? Tidak sudikah paman mempercayaiku dan
menceritakan apa yang mendukakan hatimu?”
Gak Bun Beng menggerakkan tangan dan mengelus
rambut kepala gadis itu. Gerakan ini meruntuhkan hati Syanti Dewi dan otomatis
dia lalu menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada pendekar itu. Dia merasa
begitu aman, begitu tenteram dan begitu bahagia, seolah-olah dada yang bidang
itu melindunginya dari segala malapetaka yang akan mengancamnya, melindunginya
dari segala kedukaan dan mendatangkan kebahagiaan yang dia tidak mengerti. Gak
Bun Beng pun menerima perbuatan gadis ini dengan perasaan wajar, seolah-olah
sudah semestinya demikian, dan untuk beberapa saat dia tetap mengelus rambut
kepala yang panjang, hitam dan halus itu. Kemudian dia teringat betapa
janggalnya keadaan mereka, maka perlahan dia mendorong kepala gadis itu dari
atas dadanya. Mereka duduk berhadapan dan berkatalah Gak Bun Beng, “Syanti
Dewi, kaulah satu-satunya manusia yang berhak mengetahui segala mengenai
diriku.”
“Terima kasih, paman. Aku yakin bahwa memang
engkau akan menceritakan kepadaku, karena kiranya tidak ada lagi manusia yang
demikian mulia seperti engkau, paman.”
Gak Bun Beng memegang tangan dara itu, akan
tetapi ketika dia merasa ada getaran kemesraan yang luar biasa keluar dari
tangan dara itu, dia cepat melepaskannya kembali dan menghela napas, membuang
pandang matanya ke tanah, menunduk. “Dewi, engkau terlalu tinggi memandang
diriku. Aku hanyalah seorang tua yang bodoh, yang canggung dan lemah.”
“Bukan aku yang memandang terlalu tinggi,
melainkan engkau yang selalu merendahkan diri, dan itulah satu di antara sifat-sifat
paman yang kukagumi. Sekarang ceritakan, paman, mengapa paman tadi menangis
ketika melihat aku menari?”
“Syanti Dewi, karena kau mengingatkan aku akan
seorang lain....”
“Seorang wanita?”
Gak Bun Beng mengangguk.
“Wanita yang paman cinta?”
Kembali Gak Bun Beng mengangguk.
“Dan diapun mencinta paman?”
Untuk ketiga kalinya Gak Bun Beng mengangguk.
Syanti Dewi menunduk, kelihatan berduka
sekali. Sampai lama keduanya diam saja, kemudian terdengar dara itu bertanya,
suaranya gemetar menahan isak, “Paman Gak, sudah lamakah dia meninggal?”
Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, lalu
mengerti bahwa dara ini menyangka kekasihnya itu sudah meninggal. “Sampai
sekarang dia masih hidup, Dewi.”
Muka dara itu menjadi pucat sekali, kemudian
merah dan dia meloncat bangkit berdiri dan suaranya nyaring penuh rasa
penasaran dan kemarahan, “Kalau begitu dia telah meninggalkan paman, sungguh
kejam sekali!”
Gak Bun Beng cepat menggeleng kepalanya.
“Bukan! Bukan dia, melainkan akulah yang meninggalkan dia....”
Wajah yang tadinya merah menyala itu menjadi
pucat, kedua tangannya yang dikepal terbuka dan tubuh yang menegang itu
menjadi lemas. “Ouhhh....!” Syanti Dewi mengeluh dan duduk kembali di depan
pendekar itu.
Syanti Dewi melihat Gak Bun Beng pendekar
pujaannya itu duduk termenung, wajahnya pucat sekali, alisnya yang tebal
berkerut dan di permukaan wajah itu terbayang kenyerian yang sukar dilukiskan.
Melihat wajah pendekar itu sepecti ini, Syanti Dewi tidak dapat menahan
tangisnya. Dia terisak dan memegang kedua tangan pendekar itu,
mengguncang-guncangnya sambil bertanya di antara isaknya. “Akan tetapi....
mengapa, paman? Mengapa....? Mengapa....?” Suaranya bercampur isak dan dia
membiarkan air matanya berderai menuruni pipinya.
Melihat keadaan dara ini, Gak Bun Beng
merenggutkan kedua tangannya. Dia takut kepada dirinya sendiri karena seluruh
tubuhnya, seluruh hati dan perasaannya, seakan-akan mendorongnya untuk memeluk
dan mendekap dara itu penuh cinta kasih. Dia melawan hasrat ini dan karenanya dia
merenggutkan ketua tangan dari pegangan dara itu, lalu menutupkan keduanya
tangannya ke mukanya sambil menahan air matanya dengan jari-jari tangannya.
Sampai lama mereka tidak berkata-kata, yang terdengar hanya suara isak Syanti
Dewi dan tarikan napas panjang Gak Bun Beng.
Setelah Syanti Dewi agak mereda dan berhasil
menekan perasaan harunya dan ibanya, dia mengangkat muka yang basah dan merah,
memandang punggung kedua tangan yang menutupi muka pendekar itu, bertanya,
“Paman, saya yakin pasti ada sebab-sebab yang memaksa paman meninggalkannya.
Pasti ada, dan maukah paman menceritakan kepadaku?”
Mendengar suara gadis itu telah tenang kembali
biarpun masih gemetar, Gak Bun Beng yang juga telah berhasil meredakan gelora
hatinya, menurunkan kedua tangannya dan tampaklah wajahnya yang pucat dan
muram. “Syanti Dewi, sudah kukatakan bahwa aku akan menceritakannya kepadamu.
Memang ada sebabnya, dan sebab itu adalah karena aku bodoh dan serba canggung!
Begitu banyak aku melihat perkawinan gagal, cinta kasih berantakan setelah
terjadi perkawinan, kemesraan lenyap terganti cemburu, kekecewaan dan kemarahan
yang berakhir dengan kebencian dan dendam, sehingga aku menjadi muak dan ngeri.
Aku menjadi takut kalau-kalau diapun akan menderita apabila kasih di antara kita
yang murni itu akan menjadi palsu dan kotor setelah kita menikah. Aku tidak
tega membiarkan dia kelak menderita, karena itu, aku mundur.... tidak tahu
bahwa aku membawa pergi racun yang menggerogoti dan merusak hidupku hari demi
hari. Dengan kekuatan batin aku bisa menundukkan semua itu, membuat hatiku
keras dan melupakan segala.” Dia menarik napas panjang dan menengadah,
memandang ke langit seolah-olah hendak mengadukan nasibnya kepada Thian.
“Jadi.... itukah sebabnya, paman, seorang
pendekar besar mengasingkan dan menyembunyikan diri di antara orang-orang
biasa, menjauhkan diri dari segala urusan dan kesenangan duniawi?”
Gak Bun Beng mengangguk.
“Dan selama itu paman tidak lagi tertarik
kepada wanita yang manapun?”
“Hemmm.... sebelum mengenal dia, aku belum
pernah mencintai orang lain, sesudah itupun aku tidak ada minat dan waktu....
aku malah muak dan tidak percaya akan cinta kasih antara pria dan wanita yang
kesemuanya kuanggap palsu belaka! Aku tidak percaya lagi akan kata-kata cinta
yang pada hakekatnya hanyalah penonjolan keinginan pribadi untuk mencari
kesenangan dan kepuasan hati sendiri. Akan tetapi.... sikapku karena patah hati
itu ternyata keliru dan baru aku sadar bahwa memang ada cinta kasih yang murni,
yang tanpa pamrih.... yaitu setelah aku bertemu denganmu, Dewi. Setelah aku
berjumpa denganmu, setelah aku bergaul beberapa lamanya denganmu, kau
mengingatkan aku kepada dia....”
“Aduh, paman Gak.... sungguh kasihan kau!
Kalau begitu, mengapa kita tidak pergi mencari dia? Di manakah kekasihmu itu?
Sekarang belum terlambat untuk menyambung kembali pertalian kasih sayang yang
secara paksa paman putuskan itu! Marilah, aku akan menceritakan kepadanya
betapa paman adalah seorang jantan yang hebat, seorang pria yang budiman, yang
sampai saat inipun tidak pernah melupakan dia, tidak pernah mengurangi cinta
kasihnya yang mendalam dan murni!”
Gak Bun Beng menggeleng kepala. “Dia.... dia
sudah menikah dengan orang lain, Dewi....”
“Ihhhh....!” Mata yang indah itu terbelalak
memandang Bun Beng. “Mana mungkin....? Bukankah dia mencintamu, paman?”
“Dia tidak berdaya, kehendak orang tuanya.”
Tiba-tiba Gak Bun Beng teringat bahwa dia telah berlarut-larut, melihat wajah
dara itu yang biasanya seperti matahari pagi kini menjadi muram, pucat dan layu,
dia hampir memukul kepalanya sendiri. Tiba-tiba dia memegang tangan dara itu,
ditariknya berdiri dan sambil tersenyum dia berkata, “Aahhh, apa yang telah
kita lakukan ini? Kita mendongeng tentang cerita-cerita duka, menggali
pendaman-pendaman busuk! Padahal dunia ini begini indah, matahari begitu
terang! Hapuskan air matamu itu, Dewi! Engkau masih muda belia, muda remaja.
Lihat, masa depanmu seperti sinar matahari itu, cerah dan terang! Perlu apa
hidup sekali ini di dunia harus berkeluh kesah dan berduka cita! Air mata darah
sekalipun tidak akan dapat membangkitkan kembali yang telah mati! Ha-ha-ha, aku
bodoh dan canggung! Mari, Dewi, kita lanjutkan perjalanan. Lihat di sana itu,
genteng-gentengnya masih baru, tentu itu merupakan bangunan baru, dan kalau
tidak salah, itulah markas pasukan yang akan kita selidiki.”
Melihat perubahan sikap pendekar itu, Syanti
Dewi yang berperasaan tajam halus dan memang cerdik itu, maklum bahwa pendekar
itu selain hendak mengkubur kembali kenangan yang menyedihkan, juga tidak
ingin menyeretnya berlarut-larut ke dalam awan kedukaan. Dia makin kagum dan
bersyukur, dan diapun membantu agar pendekar itu tidak kecewa. Dia menghapus
semua keharuannya dan mulai tampaklah senyum di bibir dara itu dan matanya
mulai bercahaya ketika dia memandang wajah Gak Bun Beng.
“Baik, paman. Marilah, akan tetapi harap paman
menjagaku baik-baik karena aku masih ngeri kalau teringat akan kekasaran
perajurit-perajurit itu.”
“Jangan khawatir. Betapapun juga, andaikata
terjadi apa-apa yang tak dapat kucegah, kita masih mempunyai jimat berupa nama
jenderal itu, bukan? Cuma satu hal yang harus kau jaga. Jangan kau menari
seindah tadi!”
“Eh, mengapa, paman?”
“Mana mungkin ada penari dusun dapat menari
seindah tarian bidadari seperti tadi! Jangan, gerakkan selendangmu biasa saja,
agak perkasarlah, gerakan kaki tanganmu.”
Syanti Dewi tertawa. Sedap perasaan Gak Bun
Beng mendengar suara ketawa ini dan buyarlah semua awan mendung. “Perintahmu
ini jauh lebih sukar daripada perintah memperbaiki atau memperhalus tarian,
paman. Memperkasar tarian? Betapa sukarnya, akan tetapi biarlah kucoba asal
paman membantu dengan suara sulingmu.”
“Membantu bagaimana?”
“Jangan terlalu merdu! Bikin agak sumbang
begitulah, jadi aku akan tetap teringat untuk membikin gerakannya kaku.”
Keduanya tertawa dan melanjutkan perjalanan
menuju ke sekelompok bangunan di depan sambil bergandengan tangan. Sekali ini
Gak Bun Beng tidak ragu-ragu lagi untuk menggenggam tangan yang kecil halus
itu. Mereka bergandengan sebagai dua orang sahabat, sebagai ayah dan anak,
bukanlah sebagai sepasang kekasih!
Markas itu adalah markas pasukan penjaga tapal
batas. Biasanya mereka bermalas-malasan, akan tetapi semenjak Jenderal Kao
Liang datang beberapa hari yang lalu, mereka tidak berani bermalas-malasan lagi
dan penjagaan dilakukan dengan tertib. Juga tidak ada yang berapi berkeliaran
mengganggu dusun-dusun terdekat karena Jenderal Kao Liang terkenal sebagai
seorang pembesar yang keras dan kedatangannya otomatis membuat para komandan
pasukan di tempat itu juga menjadi tegas dan keras terhadap bawahannya.
Banyak juga orang preman, penduduk dusun yang
keluar masuk pintu gerbang benteng, ada yang mengantar kayu bakar,
sayur-sayuran dan lain-lain. Gak Bun Beng berjalan tenang bersama Syanti Dewi
dan sambil berjalan dia meniup sulingnya. Ketika mereka tiba di depan pintu
gerbang, empat orang penjaga menghadang mereka dan seorang di antaranya
menghardik, “Berhenti! Siapa kalian dan mengapa engkau meniup-niup suling di
tempat ini? Tak tahukah bahwa di sini adalah markas pasukan?”
Bu Kek Sian Su (9) -Episode 90
Kisah
Sepasang Rajawali
“Maaf, kami memanglah rombongan tari maka
sudah menjadi kebiasaan saya kalau berjalan meniup suling agar tidak lekas
lelah. Jadi di sini adalah markas pasukan pemerintah? Kebetulan sekali! Kami
sedang menuju ke timur dan karena kami ingin mendengar secara resmi bagaimana
keadaan di sana, maka kami ingin memperoleh keterangan dari komandan kalian.
Untuk itu, kami bersedia menghibur kalian dengan tari-tarian dan memberi obat
luka yang manjur.”
Para penjaga itu saling pandang dan mereka
berkali-kali memandang wajah Syanti Dewi yang amat cantik biarpun sederhana
pakaiannya itu. “Kau tunggu sebentar, aku akan melapor kepada komandan!” kata
seorang di antara mereka penuh gairah. Gak Bun Beng mengangguk dan duduk di
sudut sambil meniup sulingnya, sengaja dia mainkan sulingnya sebaik mungkin
untuk menarik perhatian. Sedangkan Syanti Dewi menunduk saja karena dia merasa
“ngeri” melihat pandang mata para penjaga itu yang seolah-olah hendak
menelannya bulat-bulat!
Tak lama kemudian muncullah si penjaga tadi
mengiringkan seorang perwira gendut pendek yang mukanya bulat dan lucu
kelihatannya. Perwira itu adalah komandan sementara di markas itu karena panglimanya
sedang pergi mengikuti Jenderal Kao Liang yang sedang memimpin pasukan
beroperasi di daerah barat. Perwira itu sebetulnya seorang yang sabar dan baik,
akan tetapi begitu melihat bahwa yang disebut rombongan tari itu terdapat
seorang gadis yang demikian denok, kontan saja sikapnya menjadi berubah dari
biasanya. Dia memasang aksl seolah-olah dialah komandan terbesar, dialah
panglima tertinggi atau bahkan kaisar sendiri! Sambil bertolak pinggang dia
memandang kepada Gak Bun Beng yang sudah berdiri dan menjura di depannya.
Pandang matanya menyapu pendekar itu dan dara di sebelahnya, seolah-olah dia
sama sekali tidak acuh akan kecantikan dara itu dan hanya menjalankan tugasnya
sebagai “komandan” betul-betul, lalu dia membentak dengan suara nyaring, “Siapa
kau dan dari mana hendak ke mana?”
Gak Bun Beng yang sudah berpengalaman dan
pandai membaca sikap dan isi hati orang, tersenyum geli karena maklum bahwa
kegagahan perwira ini adalah dibuat-buat untuk menarik perhatian Syanti Dewi,
tentunya dengan maksud agar dara itu kagum melihat seorang “komandan
sungguhan”! Ingin sekali dia melihat akan bagaimana wajah badut ini kalau dia
tahu bahwa gadis dusun yang cantik dan dipasangi aksi itu adalah Puteri Bhutan
yang akan menjadi mantu kaisar! Bisa dibayangkan bahwa si gendut pendek ini
tentu akan bertiarap di depan kaki Syanti Dewi, menyusup-nyusup seperti ular di
antara rumput dan minta-minta ampun!
“Maafkan kami berdua, tai-ciangkun!” kata Gak
Bun Beng yang makin geli hatinya melihat betapa perwira itu ketika mendengar
sebutan tai-ciangkun terus saja melembungkan dadanya dan mengempiskan
perutnya, akan tetapi karena tidak dapat menahan lama-lama, segera dadanya
mengempis dan perutnya mengembung kembali seperti biasanya. Dicobanya lagi
beberapa kali, namun makin lama makin tak kuat sampai napasnya senin kemis dan
akhirnya dia membiarkan saja perutnya gendut bergantung dan dadanya mengempis.
“Saya bernama Gak Bun Beng dan dia adalah
anakku bernama Dewi, ibunya seorang Tibet. Kami hendak pergi ke timur, akan
tetapi di sepanjang jalan saya melihat pasukan pemberontak yang melarikan diri
dan kabar selentingan bahwa di timur geger karena perang. Hal ini sangat
menggelisahkan kami karena kabar yang kami terima tidak jelas. Maka kami ingin
memperoleh keterangan yang resmi dan jelas dari tai-ciangkun agar hati kami
lega untuk melanjutkan perjalan ke timur yang amat jauh itu. Untuk kebaikan
tai-ciangkun, sebelumnya kami menghaturkan terima kasih dan untuk membalas
budi, kami akan mengadakan pertunjukan tari-tarian dan membagi obat luka yang
mujarab untuk tai-ciangkun.”
Perwira gendut itu menggerak-gerakkan alisnya
seperti orang yang berpikir keras. Memang dia berpikir, akan tetapi alis tipis
yang digerak-gerakkan itu termasuk aksinya agar kelihatan sebagai panglima ahli
siasat yang pandai. Lagi-lagi, matanya yang agak bulat dan kecil melirik ke
arah Syanti Dewi. Lirikan cepat tidak kentara akan tetapi tentu saja tidak
terlepas dari pandang mata Gak Bun Beng.
“Dewi.... hemmm....” Perwira itu menggumam,
agaknya tertarik oleh nama itu dan sama sekali tidak memperhatikan nama
lakl-laki bercaping itu.
“Bagaimana, tai-ciangkun?” Gak Bun Beng
bertanya ketika melihat perwira itu seperti mimpi menyebut nama Dewi.
“Ohhh.... ya, kami pikir dulu. Eh, engkau
kelihatan begini tabah menghadapi pasukan, seperti sudah biasa. Engkau bukan
mata-mata pemberontak, bukan?”
Gak Bun Beng tersenyum. Pertanyaan ini saja
sudah membuktikan betapa tololnya perwira ini dan dengan seorang perwira
seperti ini menjadi komandan markas, tidak akan heran kalau mata-mata dapat
menyelundup masuk.
“Tentu saja bukan, tai-ciangkun. Kalau
mata-mata musuh, masa kami mencari penyakit datang ke sini? Saya memang sudah
biasa dengan pasukan, apalagi pasukan pemerintah sendiri, karena belasan tahun
yang lalu saya pun pernah menjadi perajurit dalam pasukan istimewa yang
dipimpin oleh Puteri Nirahai sendiri.”
“Ohhh....!” Seruan ini terdengar dari banyak
mulut para perajurit yang sudah mengerumuni tempat itu. Pasukan istimewa dari
Puteri Nirahai memang terkenal sekali dan mendengar ini, perwira gendut itu
berseri wajahnya.
“Apa katamu tadi? Tepat sekali, bukan? Sudah
kulihat bahwa engkau adalah seorang yang biasa dengan pasukan. Kiranya masih
bekas rekan sendiri, ha-ha! Kalau begitu, tentu saja kalian kami sambut dengan
kedua tangan terbuka. Selamat datang dan marilah masuk. Mari silahkan,
nona.... eh, nona Dewi. Indah sekali nama puterimu, saudara Gak!”
Syanti Dewi menjura dengan hormat dan Gak Bun
Beng tersenyum girang ketika keduanya diiringkan oleh sang perwira gendut
sendiri memasuki pintu gerbang markas itu. Hari telah mulai gelap karena tadi
mereka berangkat dari dusun setelah berbelanja dan sudah lewat tengah hari. Dan
tadi mereka agak lama berhenti bercakap-cakap sehingga menjelang senja mereka
baru tiba di depan markas itu.
“Sebaiknya tari-tarian dilakukan di waktu
malam hari, di dekat api unggun, barulah tampak lebih indah dan meriah,” kata
Gak Bun Beng.
“Baik, dan memang sebaiknya demikian agar
semua anak buah dapat ikut menonton karena sudah bebas tugas,” kata perwira itu
yang mulai kelihatan kebaikan hatinya seperti biasa.
“Sekarang kalau kau tidak berkeberatan,
ciangkun, harap suka menceritakan kepadaku tentang keadaan di kota raja. Saya
ingin membawa anak saya ke kota raja, akan tetapi tentu saja hati saya tidak
akan tenteram sebelum tahu bagaimana keadaan di sana.”
Perwira itu menggeleng kepalanya. “Sebetulnya,
perjalanan ke sana dari sini sudah tidak akan terganggu oleh para pemberontak
lagi karena belum lama ini telah dilakukan operasi pembersihan besar-besaran.
Akan tetapi, tentu saja kau harus berhati-hati terhadap perampok dan orang
jahat, saudara Gak.”
“Harap ciangkun tidak usah khawatir. Kalau
hanya menghadapi para perampok, kiranya saya tidak percuma menjadi bekas anak
buah Puteri Nirahai. Akan tetapi, bagaimanakah keadaan kerajaan sendiri?
Mengapa banyak timbul pemberontakan? Kalau kiranya memang perlu, biarpun
sekarang sudah mulai tua, aku akan menghadap panglima di kota raja untuk
menjadi perajurit lagi, membela pemerintah.”
Perwira itu menggeleng-geleng kepala. “Memang
kurang baik keadaannya. Karena itulah Jenderal Kao Liang sendiri sibuk ke sana
ke mari, mengadakan pengontrolan dan perondaan sendiri, hanya dengan beberapa
orang pembantu dan pengawalnya. Tentu kau tahu, setelah sri baginda menjelang
tua, biarpun tahta kerajaan sudah ditentukan akan jatuh kepada Putera Mahkota
Yung Ceng, tetap saja timbul perebutan. Kabarnya banyak pangeran yang diam-diam
melakukan pemberontakan secara rahasia sehingga sukar diketahui yang mana
yang setia kepada kerajaan dan yang mana yang memberontak. Apalagi akhir-akhir
ini keadaan dibikin ramai dan ribut lagi dengan adanya pertalian jodoh antara
Puteri Kerajaan Bhutan dan seorang pangeran.” Perwira itu agaknya senang bercerita,
apalagi melihat Syanti Dewi mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga mata
yang indah itu jarang berkedip, pandangannya seolah-olah bergantung kepada
bibirnya yang sedang bercerita, bibir yang tebal membiru karena terlalu banyak
menghisap tembakau.
Disebutnya Puteri Bhutan itu mengejutkan hati
Gak Bun Beng dan karena dia ingin agar perhatian perwira itu beralih dari wajah
Syanti Dewi yang tentu saja lebih kaget lagi, dia cepat berkata,
“Mengapa pertalian jodoh dapat menimbulkan
ramai dan ribut, ciangkun?”
“Sebetulnya pernikahan itu sendiri tidak akan
menimbulkan ribut, bahkan merupakan peristiwa yang menggembirakan. Kabarnya
Puteri Bhutan itu cantik bukan main, seperti bidadari....”
“Hemm, sayapun sudah mendengar, bahkan
melebihi bidadari,” kata Gak Bun Beng secara kelakar untuk sekedar melenyapkan
kekagetan Syanti Dewi. Dara itu menoleh kepada “ayahnya” dan tersenyum.
“Akan tetapi di balik pernikahan itu
tersembunyi maksud-maksud tertentu dari kedua pihak. Pihak Bhutan tentu saja suka
berbesan dengan kaisar kita, karena ingin mendapat perlindungan dari para
pemberontak Tibet dan Mongol yang dipimpin Raja Muda Tambolon. Sebaliknya,
pihak kaisar juga ingin menaklukkan negara itu secara halus melalui ikatan
kekeluargaan tanpa perang. Namun maksud kaisar ini mendapatkan tantangan dari
banyak pangeran dengan bermacam-macam dalih, akan tetapi saya kira dasarnya
hanyalah karena tidak ingin melihat kedudukan kaisar makin kuat dengan adanya
banyak negara lain yang bersekutu! Maka kabarnya terjadi bermacam-macam usaha
untuk menggagalkan pernikahan itu, bahkan kabarnya rombongan penjemput puteri
yang dipimpin Panglima Tan Siong Khi telah diserbu dan puteri itu sendiri
kabarnya lenyap ditawan pemberontak. Inilah sebabnya mengapa Jenderal Kao
Liang mengamuk dan menumpas para pemberontak di perbatasan. Celakanya ada
kabar angin bahwa usaha itu diatur dari kota raja sendiri, oleh para pangeran
yang secara rahasia memberontak.”
Kaget bukan main hati Gak Bun Beng mendengar
ini. Kiranya segala kekacauan itu bersumber kepada perebutan kekuasaan di
istana! Bagalmana dengan Milana?
“Lalu bagaimana kabarnya sikap pangeran yang
akan dikawinkan dengan Puteri Bhutan?”
“Pangeran Liong Khi Ong? Hemm, tidak ada
berita tentang dia, kelihatannya tenang-tenang saja, bahkan belum lama ini
diapun ikut rombongan Jenderal Kao Liang meninjau ke barat, akan tetapi lalu
terpisah dan berpesiar menggunakan perahu melalui sungai dikawal oleh
pasukannya sendiri. Masih untung Puteri Bhutan yang seperti bidadari itu tidak
jadi menikah dengan pangeran itu!”
“Kenapa demikian? Bukankah enak menikah dengan
pangeran yang tinggi kedudukannya?” Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya, tidak dapat
menahan hatinya lagi karena yang dibicarakan itu sesungguhnya adalah dirinya
sendiri.
Perwira gendut memandang dan tersenyum
menyeringai, senang hatinya mendengar dara itu bertanya, “Menarik sekali
ceritaku, ya?”
“Ceritamu menarik dan hebat, tai-ciangkun,”
jawab Syanti Dewi.
“Biarpun andaikata engkau sendiri, nona, akan
sengsara kalau menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong.” Perwira itu berkata
sambil mengurut kumisnya yang tebal. “Pangeran itu terkenal sebagai seorang
mata keranjang, selain selirnya banyak sekali, juga setiap malam dia harus
berganti teman baru. Maka, andaikata puteri itu menjadi isterinya, dalam
beberapa hari saja tentu dia akan disia-siakan begitu saja!”
“Ahhh....!” Tentu saja berita ini membuat
Syanti Dewi terkejut dan marah.
“Ceritamu menarik sekali, ciangkun dan terima
kasih atas segala keterangannya. Dengan ceritamu itu, saya malah ingin sekali
segera tiba di kota raja untuk mendaftarkan masuk perajurit lagi. Sekarang,
hari sudah malam, mari kita mulai dengan pertunjukan sebagai upah kebaikan
ciangkun. Dan sebungkus obat ini adalah obat yang amat manjur terhadap
luka-luka, saya haturkan kepada ciangkun.”
“Terima kasih, terima kasih.” Perwira itu
menerima bungkusan obat, lalu mengantarkan mereka keluar. Api unggun dipasang
di pelataran yang luas itu, dan para perajurit sudah berkumpul untuk menonton.
Gak Bun Beng mengeluarkan sulingnya dan Syanti
Dewi mengeluarkan selendang. Suling kemudian ditiup, semakin malam semakin
mengalun nyaring dan kemudian mulailah Syanti Dewi menari dengan selendang
merahnya. Gak Bun Beng meniup suling sambil duduk dan matanya mengikuti gerakan
Syanti Dewi, juga siap waspada melindungi dara itu, sedangkan Syanti Dewi
menari di dalam api unggun, membuat selendang itu nampak seperti api bernyala
dan wajah yang cantik itu kemerahan, amat cantik jelitanya.
Ketika melihat betapa dara itu tenggelam ke
dalam tariannya dan menari dengan amat indah, Gak Bun Beng cepat mengangkat
sedikit jari penutup lubang sulingnya sehingga suara sulingnya menjadi
sumbang. Syanti Dewi terkejut mendengar suara ini, teringat dan menengok ke
arah Gak Bun Beng sambil tersenyum, lalu tangan kanannya digerakkan secara
kaku, sungguhpun tangan kirinya masih bergerak halus dan lemas sekali. Makin
sumbang suara suling, makin kaku gerakan Syanti Dewi dan tak lama kemudian
suara suling itu bunyinya seperti suling ular! Tari-tarian dara itupun makin
kacau, akan tetapi karena hatinya geli, dia tersenyum-senyum dan senyumnya
inilah yang menyelimuti semua kejanggalan itu! Seluruh penonton terpesona oleh
senyumnya!
Setelah suara suling berhenti dan Syanti Dewi
juga menghentikan tariannya, terdengar tepuk sorak riuh rendah diselingi
permintaan agar dara itu melanjutkan tari-tariannya. Gak Bun Beng maklum bahwa
kalau dituruti para prajurit yang sudah lama tinggal di asrama dan rata-rata
“haus wanita” itu keadaannya akan menjadi runyam, apalagi kalau Syanti Dewi
secara tak sadar begitu banyak mengobral senyumnya. Selain itu, juga si perwira
gendut bisa saja menuntut yang bukan-bukan nanti. Keterangan yang resmi dan
jelas tentang keadaan di kota raja sudah didapat, dan itulah memang sasaran
utamanya. Setelah berhasil, perlu apa tinggal lebih lama lagi di tempat ini?
Bagi dia tidak apa-apa, akan tetapi bagi Syanti Dewi amat berbahaya. Juga dia
yakin kalau Jenderal Kao Liang tiba, tentu jenderal itu akan marah dan mungkin
akan menghukum si perwira gendut yang melalaikan tugas dan bersenang-senang.
“Saudara sekalian,” tiba-tiba dia bangkit
berdiri dan menghampiri Syanti Dewi yang masih menerima sorak sorai itu sambil
tersenyum dan membungkuk-bungkuk.
Suara berisik berhenti dan semua orang hendak
mendengarkan kata-kata ayah dara yang amat mempesona itu. “Saudara-saudara
sekalian, kami masih mempunyai pertunjukan yang menarik lagi, yaitu tarian
bersama antara anakku dan aku sendiri, akan tetapi harap Saudara sekalian suka
duduk dan jangan berdiri agar yang berada di belakang dapat menonton pula
dengan senang.”
Semua orang tertawa dan mulailah mereka duduk
di atas tanah dengan hati senang karena jarang terdapat hiburan seperti ini.
Setelah melihat semua orang duduk, Gak Bun Beng lalu meniup sulingnya sambil
menggerakkan kedua kaki seperti orang menari. Hal ini mengherankan Syanti
Dewi. Dia tahu bahwa “ayahnya” ini mempunyai suatu niat tertentu, akan tetapi
tidak tahu niat apa. Diapun membantu dan mulai menari lagi dengan indahnya.
Tiba-tiba Gak Bun Beng berbisik sambil menghentikan sebentar tiupan sulingnya,
“Kau nanti naik ke punggungku!” lalu terus menyuling, mengejapkan mata ke pada
Syanti Dewi agar mendekati dan mengikutinya. Gak Bun Beng melangkah makin ke
pinggir, kemudian secara tiba-tiba dia berbisik, “Hayo sekarang!”
Syanti Dewi yang cerdik mengerti bahwa
pendekar itu tentu akan membawanya lari tanpa menimbulkan pertempuran, maka
cepat dia meloncat ke punggung pendekar itu.
Gak Bun Beng mengeluarkan suara melengking
nyaring sekali, tangan kirinya menahan tubuh Syanti Dewi yang digendongnya di
belakang punggung, tangan kanan memegang suling dan tubuhnya sudah melesat
seperti terbang saja melalui kepala orang-orang yang duduk itu! Semua orang bersorak,
mengira bahwa ayah dan anak itu masih memperlihatkan pertunjukan yang memang
amat hebat dan menarik. Akan tetapi ketika kedua orang itu lenyap ditelan
kegelapan malam dan keadaan sunyi kembali, terdengar mereka ribut-ribut, “Ke
mana mereka?”
“Mereka menghilang!”
“Wah, tentu telah lari!”
“Mengapa lari?”
“Mata-mata! Mereka tentu mata-mata!”
Perwira gendut itu memerintahkan semua anak
buahnya untuk mencari dan mengejar, namun sia-sia belaka karena Gak Bun Beng
dan Syanti Dewi telah pergi jauh sekali, jauh dari markas itu dan sudah
berjalan sambil tertawa-tawa.
“Paman, mengapa kau harus mempergunakan akal
untuk lari? Bukankah perwira itu baik sekali dan kita tidak akan terganggu?”
“Hemm, belum tentu. Kalau hanya aku sendiri,
pasti tidak ada gangguan. Akan tetapi ada engkau, Dewi!”
Syanti Dewi mengerti dan menghela napas
panjang. “Sungguh tidak enak menjadi wanita....”
“Heh....?”
“Apalagi kalau masih muda....”
“Hemm....”
“Dan cantik pula. Selalu menghadapi gangguan
pria.”
“Tidak semua pria, Dewi.”
“Tentu saja, paman. Pria seperti paman tidak
akan mengganggu wanita, akan tetapi ada berapa gelintir orang seperti paman di
dunia ini? Justeru itulah celakanya, pria seperti paman tidak pernah
mengganggu, dan yang mengganggu hanyalah laki-laki ceriwis macam tikus yang
menjemukan saja!”
Gak Bun Beng tertawa karena kini dia melihat
segi-segi lain yang mengagumkan hatinya dalam diri gadis ini. Kalau tiba
saatnya, gadis ini dapat pula bersikap jenaka dan lucu, sungguhpun tidak
selincah Milana misalnya. Dia terkejut, dan mengepal tinjunya. Mengapa dia jadi
teringat kepada Milana dan membanding-bandingkan dengan dara ini?
“Paman, kalau hanya ingin mendengar berita
tentang kota raja, bertanya biasapun bisa. Mengapa paman harus menggunakan
siasat penyamaran kemudian melarikan diri?”
“Ah, tidak mudah, Dewi. Bertanya kepada orang
biasa, tentu tidak tahu jelas. Bertanya kepada mereka secara biasa, tentu
menimbulkan kecurigaan dan selain tidak akan memperoleh penuturan jelas,
mungkin malah ditangkap dengan tuduhan mata-mata yang melakukan penyelidikan.”
“Setelah mendengar penuturan itu, aku makin
tidak suka pergi ke kota raja, paman.”
“Hem, aku mengerti. Akan tetapi kita harus ke
sana lebih dulu, harus melihat sendiri keadaannya. Bagaimana kalau si gendut
tadi hanya membual saja?”
“Akan tetapi aku tidak sudi menjadi isteri
pangeran itu!” kata Syanti Dewi dengan tarikan muka jijik dan mengkal hatinya.
“Habis bagaimana?”
“Terserah kepada paman saja, ke manapun juga,
selama hidupku. Aku suka menjadi apa saja, murid, anak, keponakan, pelayan,
atau.... ah, apa saja terserah paman.”
“Hemm.... hemm....” Gak Bun Beng mengelus
jenggotnya yang pendek.
“Kalau paman keberatan, aku akan kembali ke
Bhutan saja!”
Gak Bun Beng menengok dan tersenyum melihat
betapa kini gadis itupun bisa memperlihatkan sikap merajuk dan manja seperti
biasanya kaum wanita.
“Kita ke kota raja dulu dan nanti kita lihat
bagaimana perkembangannya, Dewi.”
Berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan
menuju ke timur. Di sepanjang perjalanan mulailah Gak Bun Beng memberi
pelajaran ilmu silat tinggi kepada Syanti Dewi.
“Coba kaumainkan jurus-jurus pilihan dari
gurumu, perwira Bhutan murid kakek adik angkatmu itu.”
“Baik dan aku mengharapkan petunjuk dan
bimbingan paman.” Puteri itu lalu bergerak dan bersilat, memilih jurus-jurus
yang dianggapnya paling ampuh. Kadang-kadang Gak Bun Beng memandang penuh
perhatian, menyuruhnya berhenti tiba-tiba dan memperbaiki jurus itu, dan
demikianlah, perlahan-lahan dia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat tinggi,
dimasukkan dalam jurus-jurus yang telah dikenal oleh puteri itu. Dengan adanya
pelajaran silat ini yang selalu dilatih setiap kali ada kesempatan, perjalanan
jauh itu tidaklah terasa melelahkan, apalagi memang ada daya tarik luar biasa
yang mempesonakan hati masing-masing dari teman seperjalanan itu.
Diam-diam Gak Bun Beng membayangkan dengan
hati khawatir apa yang telah terjadi di kerajaan. Cerita dari perwira gendut
itu hanya menggambarkan keadaan luarnya saja, namun tidak menceritakan dengan
jelas apa yang telah terjadi dan siapakah di antara para pangeran yang
merencanakan pemberontakan, siapa pula yang bersekutu dengan orang-orang Mongol
dan Tibet. Hal ini menggelisahkan hatinya, terutama kalau dia teringat bahwa
kini Milana tinggal di kota raja. Dia sudah mendengar berita bahwa Milana
telah menikah. Biarpun tidak disengaja, berita ini menghancurkan dan
sekaligus mendinginkan hatinya. Dia tahu bahwa Milana amat mencintanya dan
tentu pernikahan itu atas desakan ayah dara itu, Pendekar Super Sakti. Maka dia
menerima nasib dan memang dialah yang meninggalkan kekasihnya itu. Akan
tetapi, kini mendengar tentang pergolakan di kota raja, timbullah
kekhawatirannya tentang diri kekasihnya itu.
Sebetulnya, apakah yang telah terjadi di
istana Kaisar Kang Hsi? Agar lebih jelas, sebaiknya secara singkat kita
mempelajari keadaannya. Telah ditetapkan bahwa yang menjadi Pangeran Mahkota
adalah Pangeran Yung Ceng, seorang pangeran dari permaisuri yang amat dikasihi
kaisar. Tentu saja masih banyak para pangeran yang lahir dari selir-selir
kaisar, namun yang dicalonkan hanya Pangeran Yung Ceng seorang.
Kaisar masih mempunyai dua orang adik tiri,
yaitu dua orang pangeran yang lahir dari selir ayahnya, yaitu Pangeran Liong
Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Dua orang pangeran tua inilah yang tidak
setuju akan pengangkatan Pangeran Yung Ceng sebagai pangeran mahkota karena
mereka tahu bahwa kelak mereka tidak akan dapat mempermainkan pangeran ini
yang tidak suka kepada kedua pamannya itu. Maka diam-diam dua orang pangeran
tua ini merencanakan pemberontakan secara rahasia dan menghasut para pangeran
lainnya.
Pada suatu hari, seorang pangeran dari selir,
yang sebaya dengan Pangeran Yung Ceng, bernama Pangeran Yung Hwa, setelah
mendengar akan kecantikan Puteri Bhutan, mengajukan permohonan kepada ayahanda
kaisar agar dapat menikah dengan puteri terkenal itu. Kaisar merasa senang dan
setuju dengan keinginan hati Pangeran Yung Hwa ini. Akan tetapi seorang
menteri setia, yaitu perdana menteri, yang sekaligus menjadi penasehat kaisar,
membisikkan kaisar bahwa kurang tepatlah kalau putera kaisar dijodohkan dengan
puteri sebuah negeri sekecil Bhutan! Pangeran Yung Hwa sepatutnya dijodohkan
dengan puteri kerajaan yang lebih besar lagi sehingga kehormatan kaisar tidak
menurun. Adapun Puteri Bhutan itu, untuk menarik Bhutan negara kecil itu
sebagai keluarga, sebaiknya dilamar untuk dinikahkan dengan Pangeran Liong Khi
Ong yang biarpun sudah berusia lima puluh tahun namun masih “perjaka” dalam
arti kata belum mempunyai isteri sah melainkan hanya berpuluh-puluh selir saja.
Perdana menteri mengemukakan hal ini menurut perhitungannya yang bijaksana. Dia
sendiri tidak tahu akan pemberontakan rahasia yang diusahakan oleh Pangeran
Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi dia tahu bahwa dua
pangeran tua itu diam-diam tidak menyukai pangeran mahkota, maka pemberian
“hadiah” ini untuk melunakkan hati Liong Khi Ong!
Kaisar yang mendapat keterangan panjang lebar
ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan memuji akan kecerdikan perdana
menterinya, maka dia lalu menolak permintaan Yung Hwa dengan alasan bahwa Yung
Hwa akan dinikahkan dengan seorang Puteri Birma yang lebih cantik dan lebih
hebat lagi. Adapun Puteri Bhutan lalu dipinang untuk Pangeran Liong Khi Ong!
Justeru kesempatan ini dipergunakan secara
licin oleh dua orang pangeran pemberontak itu untuk menggagalkan semua rencana,
hanya dengan niat agar Bhutan menjadi musuh Pemerintah Ceng dan kelak mudah
mereka ajak bersekutu untuk melawan pemerintah kakak mereka atau keponakan
mereka sendiri.
Betapapun kedua orang pangeran itu
merahasiakannya, namun tetap saja terasa oleh semua orang suasana panas,
suasana tidak enak yang meliputi istana. Apalagi ketika dikabarkan bahwa
Pangeran Yung Hwa yang “patah hati” itu lolos meninggalkan istana tanpa pamit!
Dan dikabarkan bahwa ada bentrok yang mulai terasa di antara perdana menteri
dan kedua orang pangeran tua. Suasana panas ini tidak langsung ditimbulkan oleh
mereka yang bersangkutan, melainkan oleh kaki tangan masing-masing dan mulailah
terjadi pelotot-mempelototi, sindir-menyindir antara pengawal masing-masing
apabila bertemu di jalan raya di kota raja. Bahkan telah terjadi beberapa kali
bentrokan bersenjata, sungguhpun hanya kecil-kecilan dan secara bersembunyi.
Puteri Milana yang juga merasakan suasana
panas ini sesungguhnya dia tidak lagi tinggal di istana, melainkan tinggal di
gedung suaminya yang menjadi perwira tinggi dan pengawal istana. Dari
suaminya, yang biarpun hubungan mereka seperti saudara saja namun masih
bersikap baik kepadanya, dia mendengar tentang keadaan di istana. Dengan hati
khawatir Milana mulai sering mengunjungi Istana untuk mendengar-dengar dan
melakukan penyelidikan. Jiwa patriotnya tersentuh dan agaknya sifat
kepahlawanan ibunya menurun kepadanya. Dia menghadap kaisar yang menjadi
kakeknya itu, dengan terus terang menyatakan kekhawatirannya tentang
desas-desus bahwa ada persekutuan pemberontak mengancam pemerintah. Kakeknya
menertawakan cucunya ini, akan tetapi tidak melarang ketika Milana membentuk
sebuah pasukan pengawal khusus yang dipimpinnya sendiri untuk melakukan
penyelidikan dan untuk membasmi pemberontak yang berani mengacau kota raja!
Pendeknya dia mencontoh ibunya, Puteri Nirahai, untuk menjaga keselamatan kota
dan semua keluarga kaisar! Dan dengan adanya pasukan istimewa inilah maka
keadaan kota raja mulai agak tenang dan keselamatan penghuninya terjamin. Dua
orang pangeran tua itu lebih berhati-hati, tidak berani melakukan tindakan
terlalu menyolok karena merekapun maklum betapa lihainya cucu keponakan
mereka, Puteri Milana.
Demikianlah sedikit gambaran keadaan kota
raja, dan sudahlah sepatutnya kalau Gak Bun Beng merasa gelisah karena memang
dia sedang menuju ke tempat yang amat gawat, yang setiap saat dapat meletus
menjadi perang pemberontakan yang dahsyat. Namun, tujuan yang utama Gak Bun
Beng bukanlah untuk menyelidiki kota raja atau untuk melihat keselamatan
Milana, melainkan untuk mengantar Syanti Dewi. Andaikata tidak ada Puteri Bhutan
ini yang ditolongnya, kiranya mendengar apapun tentang kota raja dan istana,
tidak akan menggerakkan hatinya untuk mengunjungi tempat itu.
Di sepanjang perjalanan, makin dekat dengan
kota raja makin tampaklah suasana pertentangan. Bahkan di antara rakyat
sendiri, ada yang pro dan ada yang anti kepada kaisar dan putera mahkota. Hal
ini lumrah karena rakyat, betapapun juga menyadari bahwa pemerintah yang
sekarang adalah pemerintah penjajah yang bagaimanapun tidak bisa mendapatkan
dukungan sepenuhnya dari lubuk hati mereka.
Syanti Dewi memperoleh kemajuan pesat dalam
ilmu silat. Gak Bun Beng tidak tanggung-tanggung mengajarkan rahasia-rahasia
ilmu silat tinggi, bahkan dia telah mengoperkan hawa sin-kang gabungan
Swat-im-sin-kang (Tenaga Inti Salju) dan Hui-yang-sin-kang (Tenaga Inti Api)
yang amat mujijat dari dalam tubuhnya ke dalam tubuh dara itu. Sampai pingsan
Syanti Dewi menerima tenaga dahsyat ini, dan bagi Gak Bun Beng sendiri,
pengoperan tenaga sin-kang ini membuat dia selama tiga hari tiga malam harus
berdiam diri mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya. Dengan
memiliki dasar tenaga sin-kang gabungan ini, biarpun ilmu silat yang dimainkan
oleh Syanti Dewi masih sama dengan beberapa bulan yang lalu, namun kelihaiannya
naik menjadi sepuluh kali lipat! Juga, biarpun dalam waktu singkat itu dia
hanya menerima jurus-jurus baru yang tidak lebih dari belasan macam saja
banyaknya, namun jurus-jurus ini sudah cukup untuk dipergunakan melindungi diri
dari ancaman lawan yang amat kuatpun!
Mereka sudah menyeberangi Sungai Huang-ho dan
tiba di kota Ban-jun di sebelah barat kota raja. Hari sudah siang ketika mereka
memasuki kota itu dan karena kota raja sudah dekat dan mereka telah melakukan
perjalanan yang melelahkan sekali, Gak Bun Beng mencari sebuah rumah
penginapan.
Akan tetapi baru saja mereka sampai di jalan
perempatan, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan tampak dari jauh
mendatangi sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda besar dan dikusiri
oleh seorang yang berpakaian tentara dan yang memegang golok. Dari simpangan
yang lain tampak belasan orang yang juga berpakaian tentara, dipimpin oleh
seorang perwira dan mereka ini membalapkan kuda mengejar kereta itu! Kemudian
betapa kagetnya hati Gak Bun Beng dan Syanti Dewi ketika melihat anak panah
berapi menyambar ke arah kereta dan dalam sekejap mata saja kereta itu
terbakar!
“Ohhh....!” Syanti Dewi berseru, seruannya
kabur di dalam seruan-seruan semua orang yang melihat peristiwa itu dan yang
segera lari cerai berai bersembunyi di balik-balik rumah penduduk. “Kita harus
menolong penumpang....!” kata pula puteri ini.
Gak Bun Beng memegang tangan dara itu
mencegahnya bertindak lancang. Dia masih tidak tahu siapa penumpang kereta,
siapa pula yang mengejar dan melepaskan anak panah berapi itu. Sementara itu,
perwira yang memimpin belasan orang perajurit sudah tiba di situ. Kusir kereta
itu bangkit berdiri dan berusaha melawan dengan goloknya, akan tetapi karena di
belakangnya ada api berkobar, dan gerakan perwira itu tangkas sekali, ketika
kuda perwira itu meloncat dekat dan pedang perwira itu menyambar, robohlah
kusir itu dari atas kereta, terjungkal di atas tanah jalan sedangkan dua ekor
kuda yang panik karena “dikejar” api di belakang mereka itu, terus membalap
sambil meringkik-ringkik.
Kini Gak Bun Beng tidak dapat tinggal diam
lagi. Apa dan siapapun yang bermusuhan, kusir itu tewas dan penumpang kereta
terancam maut. Dia harus menolongnya dulu dan baru kemudian mendengar
urusannya. Bagaikan tatit kilat tubuhnya melesat berkelebat dan angin menyambar
dan pendekar itu telah lenyap. Syanti Dewi kagum bukan main, akan tetapi juga
khawatir ketika melihat bayangan Gak Bun Beng melesat ke dalam kereta yang
terbakar. Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pendekar itu melesat ke luar
lagi memondong seorang pemuda yang terluka ringan di pahanya.
“Keparat, berani mencampuri urusan
kami?” Perwira itu bersama belasan orang perajuritnya sudah menerjang maju
kepada Gak Bun Beng yang menurunkan pemuda itu di tepi jalan dekat Syanti Dewi.
“Hemm, kalian terlalu kejam!” Gak Bun Beng
berkata lalu menerjang ke depan karena dia tidak ingin pemuda itu diserang.
“Dewi, lindungi dia!” katanya dan begitu perwira itu sudah dekat, dia menyambut
pedang yang menusuknya dengan sentilan jari tangannya.
“Tringg.... krekkk!” Pedang itu patah menjadi
dua!
Gak Bun Beng lalu berkelebat di antara mereka,
dan ke manapun dia berkelebat, tentu senjata seorang perajurit penunggang kuda
patah atau terlempar. Dua orang perajurit menghampiri pemuda yang terluka itu
dengan golok terangkat, akan tetapi Syanti Dewi yang sudah siap dengan dua buah
batu sebesar kepalan tangannya, menggerakkan tangan kanan dua kali. Terdengar
teriakan mengaduh dan dua batang golok terlepas dari tangan yang disambar batu
itu.
“Mundur....! Pergi....!” Perwira itu memberi
aba-aba dan pasukan kecilnya yang telah “dilucuti” senjatanya itu tidak menanti
perintah kedua, terus membalikkan kuda dan terjadilah lomba balap kuda yang
ramai, meninggalkan debu mengebul tinggi.
Gak Bun Beng menarik napas panjang. Hatinya
lega bahwa urusan itu dapat diselesaikan sedemikian mudahnya. Akan tetapi
betapa kagetnya ketika dia menoleh ke tempat Syanti Dewi berada, dia hanya
melihat dara ini saja sedangkan pemuda yang terluka ringan dan hampir mati terbakar
dalam kereta tadi tidak tampak lagi. Cepat dia menghampiri Syanti Dewi.
“Apa yang terjadi? Mana dia?”
“Dia telah pergi, paman. Dia hanya menanyakan
nama paman, kemudian dia mengatakan bahwa dia berterima kasih sekali, bahwa
selama hidupnya dia tidak akan melupakan budi paman.”
“Dalam keadaan terluka itu dia pergi?”
Syanti Dewi mengangguk. “Dia tidak mau
ditahan, agaknya tergesa-gesa sekali. Dan dia hanya menyatakan bahwa namanya
adalah Yung Hwa.”
“Hemm.... sungguh aneh sekali. Mari kita pergi
dari kota ini, Syanti Dewi, aku tidak mau menjadi perhatian orang.” Memang pada
saat itu, orang-orang sudah berkumpul dan menghampirinya sambil membicarakan
kegagahannya ketika menolong penumpang kereta dan melawan belasan orang pasukan
tadi. Akan tetapi sebelum ada yang sempat bertanya, Gak Bun Beng sudah
menggandeng tangan Syanti Dewi dan cepat-cepat meninggalkan kota itu, tidak
menengok ketika mendengar ada orang-orang menegur dan memanggilnya menyuruh
berhenti. Tentu saja orang-orang itu hanya melongo, dan laki-laki perkasa itu
tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang memang selalu bersikap dan
berwatak aneh.
Peristiwa itu menambah dorongan bagi Gak Bun
Beng dan Syanti Dewi untuk cepat menuju ke kota raja. Mereka menduga bahwa
tentu bentrokan yang terjadi itu ada hubungannya dengan kerusuhan di kota raja.
Sama sekali Gak Bun Beng tidak menyangka bahwa yang ditolongnya itu adalah
putera kaisar sendiri! Dia adalah Pangeran Yung Hwa, adik Pangeran Mahkota
Yung Ceng. Pangeran Yung Hwa itulah tadi yang tergila-gila mendengar
kecantikan Syanti Dewi dan ingin menikah dengan puteri itu. Tentu saja Gak Bun
Beng dan Syanti Dewi tidak tahu sama sekali akan urusan itu, juga bagi pangeran
muda yang tampan itu, sama sekali tidak pernah mimpi bahwa puteri yang
membuatnya tergila-gila itu pernah berdiri di depannya, bahkan pernah
menolongnya dengan merobohkan dua penyerangnya dengan sambitan batu, pernah dia
bercakap-cakap dengan puteri itu! Tentu saja dia hanya mengira bahwa wanita
muda yang menolongnya itu hanyalah seorang dara kang-ouw yang lihai saja. Juga
dia masih terlalu muda untuk mendengar nama Gak Bun Beng yang hanya dikenal
oleh golongan yang lebih tua karena selama belasan tahun ini nama Gak Bun Beng
tidak pernah disebut-sebut orang lagi, apalagi memang orangnya telah menghilang
tanpa meninggalkan jejak.
Dengan cepat Gak Bun Beng melanjutkan
perjalanan karena dia ingin cepat-cepat melihat keadaan kota raja. Apalagi
ketika di sepanjang jalan setelah makin dekat kota raja dia melihat banyaknya
pasukan-pasukan kecil yang hilir mudik dan kelihatan sibuk sekali. Kelihatannya
memang amat gawat keadaannya dan di sepanjang jalan dia mencari keterangan,
namun para penduduk juga hanya mengetahui sedikit sekali tentang keadaan
sedalam-dalamnya dari kota raja yang diliputi penuh rahasia itu, hanya
mengatakan bahwa di sekitar kota raja muncul banyak orang-orang aneh dan lihai
seolah-olah semua tokoh kang-ouw dan para datuk kaum sesat muncul dari tempat
pertapaan mereka, semua orang sakti turun dari pegunungan dan semua iblis
keluar dari neraka! Dan bahwa kini sering sekali tampak perondaan pasukan
tentara dari kota raja dan banyak terjadi pertempuran, bahkan antara pasukan
dengan pasukan lain sehingga membingungkan dan mendatangkan rasa takut kepada rakyat
jelata.
Beberapa hari kemudian, tibalah Gak Bun Beng
dan Syanti Dewi di depan pintu gerbang kota raja sebelah barat. Di depan pintu
gerbang ini, Gak Bun Beng berhenti dan termenung dengan muka berubah pucat.
Terbayanglah olehnya semua pengalamannya belasan tahun yan lalu (baca ceritaSepasang
Pedang Iblis) dan jantungnya berdebar tegang ketika teringat bahwa di dalam
lingkungan tembok kota raja inilah adanya wanita yang pernah dan masih
dicintanya. Puteri Milana!
Pintu gerbang itu terbuka lebar dan terjaga
oleh sepasukan penjaga yang bersenjata lengkap dan yang memandangi orang-orang
yang lalu lalang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kalau ada orang yang
kelihatan mencurigakan, tentu akan dipanggil dan diperiksa. Akan tetapi keadaan
Gak Bun Beng dan Syanti Dewi sama sekali tidak mencurigakan. Wajah Gak Bun Beng
bukanlah wajah yang menyeramkan, bahkan seperti seorang petani biasa saja yang
tampan, sedangkan biarpun wajah Syanti Dewi mempunyai kecantikan yang khas,
namun kecantikannya yang mirip kecantikan wanita Mancu ini malah
menyelamatkannya dari kecurigaan para penjaga. Apalagi karena kulit mukanya
sudah agak gelap terbakar sinar matahari selama berpekan-pekan, dia mirip
seorang gadis dusun biasa saja sungguhpun amat manisnya.
“Paman, hayo, kita masuk. Mengapa paman
berdiri saja di sini?” Syanti Dewi menegur dan menarik tangan pendekar itu.
“Ahhh.... eh.... benar kau.... mari....” kata
Gak Bun Beng, suaranya agak parau dan gemetar.
“Paman, engkau kenapakah? Mukamu pucat sekali
seperti orang sakit.”
“Sakit? Siapa....? Aku sakit? Ah, tidak....!”
jawab Gak Bun Beng akan tetapi kedua kakinya tersaruk-saruk seolah-olah
tubuhnya menjadi lemah kehabisan tenaga.
“Agaknya kau masuk angin, paman. Biar
kubawakan buntalan itu.” Syanti Dewi mengambil buntalan dari tangan Gak Bun
Beng dan memandang pamannya itu penuh kekhawatiran.
Ternyata Gak Bun Beng memang sedang menderita
tekanan batin yang hebat. Tidak hanya dia teringat akan segala peristiwa
belasan tahun lalu, yang mendatangkan rasa duka, terharu, dan khawatir, akan
tetapi kemudian dia teringat bahwa mereka telah tiba di tempat tujuan! Ini
berarti bahwa dia akan segera berpisah dari Syanti Dewi. Kenyataan ini
merupakan palu godam yang menghantam perasaan hatinya dan lebih parah lagi
karena dia mendapat kenyataan betapa berat rasa hatinya untuk berpisah dari
samping gadis ini! Kesadaran akan hal inilah yang benar-benar menghimpit
hatinya. Mengapa jadi demikian? Mengapa dia menjadi berat berpisah dari
samping gadis ini? Biarpun Syanti Dewi sudah mengatakan akan suka ikut
selamanya dengan dia, namun dia bukanlah seorang laki-laki yang mempergunakan
kelemahan seorang gadis untuk menyenangkan diri sendiri. Tidak! Apa akan
jadinya dengan Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan, gadis bangsawan tinggi yang
biasa hidup mulia itu apabila ikut dengan dia? Menjadi seorang perantau yang
tidak menentu makan, pakaian dan rumahnya? Tidak! Tidak! Tentu, saja dia tidak
bisa menceritakan kepada Syanti Dewi bahwa bayangan perpisahan itu yang
memberatkan hatinya, yang memukul batinnya, di samping bayangan pertemuannya
dengan Milana!
Mereka melewati pintu gerbang dengan aman.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan serombongan pasukan masuk melalui pintu
gerbang itu. Syanti Dewi masih memandang pamannya yang menunduk saja.
“Lakukan pengawasan ketat dan jangan lupa,
kalau dua iblis itu berani muncul di sini, cepat laporkan padaku!”
Suara bisikan yang tidak terdengar oleh orang
lain karena diucapkan perlahan dan dari jarak jauh itu masih dapat ditangkap
oleh pendengaran Gak Bun Beng dan ada sesuatu dalam suara itu yang membuatnya
terkejut dan cepat dia menoleh ke kiri. Seketika mukanya menjadi makin pucat
seperti mayat, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, kedua tangan dikepal
dan dia tak bergerak seperti arca. Matanya memandang seperti orang yang hilang
ingatan kepada seorang wanita cantik jelita dan gagah perkasa yang menunggang
kuda besar dan berada di depan pasukan berkuda itu dan wanita inilah yang tadi
bicara kepada perwira di sampingnya. Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh
tujuh tahun, tubuhnya masih padat dah tinggi semampai, menunggang kuda dengan
tegak, tubuhnya tertutup mantel putih, rambutnya disanggul tinggi-tinggi dan
yang membuat Gak Bun Beng hampir pingsan adalah wajah yang cantik itu kelihatan
begitu kurus, begitu muram kehilangan cahayanya yang dahulu selalu berpancar
dari wajah Milana! Hatinya menjerit. “Milana....!” akan tetapi mulutnya tidak
mengeluarkan suara apa-apa.
Syanti Dewi terkejut bukan main, cepat
menengok dan diapun melihat wanita yang menunggang kuda itu dan segera
rombongan itu lewat dan lenyap. Dia menoleh kembali kepada pamannya yang
keadaannya masih payah. Kini Gak Bun Beng menggigit bibir bawahnya, alisnya
berkerut dan bibirnya berbisik-bisik tanpa suara.
“Paman....! Ada apakah....? Paman....!”
Gak Bun Beng terhuyung dan cepat tangannya
ditangkap oleh Syanti Dewi, kemudian dia menuntun pendekar itu ke pinggir
jalan, terus diajaknya berjalan ke tempat yang sunyi. Tak jauh dari situ
tampaklah huruf-huruf besar yang menyatakan bahwa di situ terdapat sebuah
rumah penginapan.
“Paman, kita beristirahat di penginapan itu,
ya?”
Gak Bun Beng hanya mengangguk dan memejamkan
matanya. Syanti Dewi berkhawatir sekali. Dengan hati-hati dia menuntun Gak Bun
Beng ke rumah penginapan itu dan minta disediakan sebuah kamar. Melihat gadis
itu menuntun laki-laki yang kelihatannya menderita sakit, pelayan cepat
menyediakan kamar dan Syanti Dewi segera menuntun Gak Bun Beng memasuki kamar.
Gak Bun Beng melempar tubuhnya ke atas
pembaringan dan rebah telentang dengan muka tetap pucat. Pukulan batin yang
amat hebat dideritanya. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama
sekali perasaan terharu melihat betapa Milana kini telah berubah menjadi
sekurus dan sepucat itu. “Aku menyiksanya.... aku menyiksa batinnya.... ah, aku
menyiksanya....” Demikian jerit hati Gak Bun Beng dan dia memejamkan matanya.
Syanti Dewi duduk di pinggir pembaringan dan
dipegangnya dahi pendekar itu. Panas! “Aih, kau panas sekali, paman. Kau sakit!
Kau demam....”
Gak Bun Beng membuka matanya, memandang Syanti
Dewi sebentar, lalu memejamkannya kembali, menggeleng kepala dan berkata lemah,
“Tidak apa-apa, Dewi.... sebentar juga sembuh.... tidak apa-apa....”
“Paman, ah, paman, aku khawatir sekali. Kau
tadi begitu pucat seperti mayat setelah melihat wanita itu! Siapakah wanita
cantik dan gagah yang menunggang kuda itu tadi, paman?”
“Milana.... dia Milana....!” Ketika
mengucapkan nama ini, seolah-olah hatinya menjerit memanggil nama kekasihnya.
“Milana....!”
Mendengar nama ini, Syanti Dewi terkejut.
“Sang Puteri Milana....?”
Gak Bun Beng mengangguk lagi dan memejamkan
matanya. Syanti Dewi mengulang nama itu dan memandang penolongnya penuh
selidik, kemudian dia mengangguk-angguk. Digenggamnya tangan pendekar itu
ketika dia berkata, “Maafkan kelancanganku, ya, paman? Diakah wanita yang yang
paman cinta? Sang Puteri Milana itu?”
Sejenak Gak Bun Beng tidak menjawab, bibirnya
menggigil, matanya terpejam, kemudian dia mengangguk.
“Aihhh....!” Syanti Dewi tertegun, sama sekali
tidak menduga bahwa penolongnya ini mempunyai hubungan cinta kasih dengan cucu
kaisar sendiri! Diam-diam dia mengakui bahwa memang patutlah kalau penolongnya
ini mencinta wanita itu, karena memang wanita tadi itu hebat. Begitu cantik,
begitu gagah dan begitu agung! Akan tetapi mengapa wanita itu tidak menahan
kepergian pendekar ini? Apakah cinta kasih wanita itu kurang mendalam? Kasihan
pendekar ini, sampai sekarang masih menderita hebat karena cinta kasihnya
terputus!
“Kalau begitu, antarkan aku kepadanya, paman.
Atau aku mencari sendiri, aku akan menghadapnya dan akan kutegur dia, akan
kukatakan betapa dia telah membuat hidupmu sengsara, betapa dia telah berlaku
kejam terhadapmu, betapa dia sepatutnya harus....”
“Hushh....! Jangan berkata begitu, Dewi.
Akulah yang meninggalkannya. Cintaku kepadanya sedemikian mendalam sehingga aku
tidak mau karena menikah denganku dia akan sengsara. Lihat, dia begitu agung,
seorang puteri Istana! Cucu kaisar dan puteri Majikan Pulau Es, seorang
pendekar yang berjuluk Pendekar Super Sakti! Sedangkan aku.... ah, riwayatku
hanya memalukan untuk dibicarakan, seorang rendah, miskin dan....”
“Dan semulia-mulianya orang, yang tak dapat
melihat ini matanya buta!” Syanti Dewi melanjutkan.
“Tidak, Syanti Dewi. Kau tidak mengerti. Aku
rela memutuskan hubungan kami, dan aku rela menderita kalau dia berbahagia.
Karena itu, akupun tidak pernah menampakkan diri. Sekarang karena terpaksa aku
berada di sini dan.... dan melihat dia.... ahh, Dewi, apakah kau tidak melihat
bagaimana wajahnya tadi?”
“Cantik dan agung, paman. Akan tetapi....
hemm, memang kurus dan pucat, agak murung....”
“Dia menderita, Dewi. Aku mengenal benar
wajahnya. Dia menderita, dan semua itu karena aku.... ohh.” Gak Bun Beng
memejamkan mata erat-erat, mulutnya terkancing.
“Paman....! Paman....!” Syanti Dewi menjerit
dan karena jeritannya itu pelayan tadi berlari masuk. Melihat betapa orang
yang dipanggil “paman” oleh gadis itu pingsan dan kaku iapun ikut menjadi
bingung sekali.
“Lekas.... oh, lekas panggllkan tabib....!”
Syanti Dewi memohon dan pelayan itu lalu lari keluar untuk memanggil ahli
pengobatan yang kebetulan toko obatnya tidak begitu jauh dari situ.
Syanti Dewi sendiri cepat membuka baju Gak Bun
Beng, kemudian dia meletakkan telapak tangannya di dada pendekar itu dan
mati-matian mengerahkan sin-kang yang diajarkan oleh Gak Bun Beng. Napasnya
sendiri sampai terengah-engah, wajahnya pucat, akan tetapi dia nekat terus
menyalurkan sin-kang. Akhirnya, Gak Bun Beng sadar dan cepat dia menangkap
tangan Syanti Dewi dan berkata, “Anak bodoh....! Lekas kau bersila dan atur
napasmu baik-baik!”
Syanti Dewi girang sekali melihat penolongnya
sudah siuman, maka dia menurut dan bersila. Kini Gak Bun Beng yang membantunya
dengan menempelkan telapak tangannya ke punggung dara itu. Syanti Dewi sehat,
dan pulih kembali tenaganya, akan tetapi keadaan Gak Bun Beng makin lemah.
“Ahhh, gejolak batin yang belasan tahun
kutekan, dalam hari ini terbebas dari tekanan sehingga seolah-olah api dalam
sekam, kini menyala, atau seperti air dibendung, kini pecah bendungannya. Mana
aku kuat menahan? Jangan khawatir, Dewi, aku sudah sadar sekarang, hanya
tinggal lemas. Tubuhku lemah sekali dan perlu beristirahat agak lama. Kita
tunda saja pergi menghadap dia....”
“Menghadap Puteri Milana? Tak perlu kau
terlalu banyak memikirkan urusanku, paman. Kalau kau menghendaki menghadap
kapan sajapun boleh. Kalau tidakpun, aku juga tidak ingin masuk istana. Yang
perlu kau harus berobat sampai sembuh.”
Pelayan datang bersama sinshe ahli obat.
Setelah memeriksa nadi dan mendengarkan dada, sinshe tua itu
mengangguk-angguk. “Orang muda, jangan terlalu banyak pikiran. Memang sedang
masanya dunia kacau dan ribut-ribut, akan tetapi bukan kita sendiri yang
merasakannya, melainkan orang sedunia. Perlu apa gelisah dan berduka? Tenang
dan bergembiralah dan tanpa obatpun kau akan sembuh. Akan tetapi perlu kuberi
obat untuk menjaga jantungmu.”
Setelah membuat resep dan menerima uang biaya
dari Syanti Dewi, sinshe itu lalu pergi dan si pelayan cepat membelikan obat
dari resep itu. Sambil memasak obat di dalam kamar, Syanti Dewi memperhatikan
dan menjaga Gak Bun Beng yang masih rebah telentang.
“Sinshe itu memang pandai....” kata Gak Bun
Beng. “Sungguhpun dugaannya keliru, namun sifat penderitaanku dia tahu semua.
Dan dia menyebutku orang muda, betapa lucunya!”
Biarpun suara Gak Bun Beng masih gemetar dan
lemah, membuat Syanti Dewi terharu dan khawatir, namun teringat akan nasehat
sinshe tadi Syanti Dewi berkata dengan tertawa dan suaranya gembira,
“Hi-hik,paman . Apanya yang lucu? Memang kau masih muda, malah engkau masih....
perjaka lagi, hi-hik!”
Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum.
“Bagaimana kau tahu?” Memang sesungguhnya, Gak Bun Beng yang sudah berusia
empat puluh tahun itu masih perjaka, belum pernah dia mengadakan hubungan
badani dengan wanita!
“Tentu saja tahu! Bukankah engkau tak pernah
kawin? Itu berarti masih perjaka!”
Gak Bun Beng tidak menjawab. Dia terharu
sekali karena dia tahu bahwa sebetulnya hati dara itu gelisah memikirkan
bagaimana nanti kalau dia ditinggal di istana, memikirkan sakitnya. Akan tetapi
gadis itu sengaja memaksa diri bergembira dan mengajak berkelakar agar dia
lekas sembuh. Betapa luhur budi dara ini!
Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi merawat Gak
Bun Beng, memberinya minum obat dan bahkan menyuapi mulut Gak Bun Beng ketika
makan bubur, tetap tak membolehkan pendekar itu bangkit dan makan sendiri.
Akhirnya, dengan hati diliputi penuh keharuan, Gak Bun Beng tertidur nyenyak.
Sore harinya, melihat Gak Bun Beng masih tidur
terus hati Syanti Dewi menjadi tidak enak. Bagaimana kalau terus tidur dan
tidak akan bangun kembali? Membayangkan pendekar itu “mati” Syanti Dewi menjadi
panik. Kacau hatinya, maka dia lalu bertanya kepada pelayan dan menuju ke rumah
obat menemui sinshe tadi, memberitahukan bahwa obat telah diminumkan dan
menanyakan mengapa setelah minum obat lalu tertidur terus sejak tadi sampai
sekarang.
“Bagus, bagus....!” Sinshe itu
mengangguk-angguk. “Jangan ganggu dia. Makin banyak tidur makin baik, dia
gelisah dan berduka, tidur dan istirahat, bergembira adalah yang mujarab.”
Legalah hati Syanti Dewi dan dengan hati dan
langkah ringan dia kembali ke rumah penginapan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika
dia melihat keributan terjadi di rumah penginapan itu. Dua orang kakek yang
aneh sekali telah berada di ruangan depan penginapan dan berhadapan dengan lima
orang pelayan. Karena mereka itu ribut-ribut tepat di depan pintu kamar Gak Bun
Beng, maka Syanti Dewi terhalang tak dapat masuk dan dia menjadi khawatir
sekali. Sejenak dia memandang dengan penuh keheranan dan kengerian. Kedua orang
kakek itu memang luar biasa sekali. Wajah keduanya presis sehingga mudah
diduga tentu mereka adalah orang-orang kembar. Akan tetapi pakaian mereka
berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Yang seorang bermuka merah, tubuhnya
hanya tertutup oleh sebuah celana pendek sehingga dari pinggang ke atas dan
dari paha ke bawah sama sekali telanjang, memakai sepatupun tidak! Adapun kakek
yang kedua, mukanya putih, pakaiannya lengkap, terlalu lengkap malah, karena
di luar pakaiannya dia memakai mantel bulu tebal, seolah-olah dia selalu merasa
dingin sedangkan yang seorang seolah-olah kegerahan terus! Dua kakek ini
marah-marah.
“Kami juga mampu bayar, kenapa tidak boleh
memakai kamar ini?” bentak yang bermantel bulu.
“Maaf, loya. Kamar ini sudah ada tamunya,
bahkan sedang sakit. Harap ji-wi suka memakai kamar yang berada di dalam atau
di belakang.”
“Tidak! Kami memerlukan kamar paling depan!
Hayo suruh si sakit itu keluar dan pindah ke belakang. Kami berani bayar tiga
kali lipat!”
“Tapi, loya....”
“Heh-heh, kamu minta mampus?” Tiba-tiba yang
setengah telanjang itu membentak sambil terkekeh, tangannya menepuk meja di
sebelahnya dan.... permukaan meja itu menjadi hangus seperti dibakar!
Para pelayan terkejut sekali dan tidak berani
bicara lagi, sedangkan Syanti Dewi yang menyaksikan demontrasi tadi juga
terkejut. Mengertilah dia bahwa kakek setengah telanjang itu memiliki sin-kang
yang amat hebat sehingga mampu membakar meja! Dia lalu menyelinap dari
samping, mendorong daun jendela kamar Gak Bun Beng.
Akan tetapi dia melihat pendekar itu sudah
bangkit dan duduk, dan ketika melihat Syanti Dewi, dia berkata, “Biarlah kubereskan
urusan di luar.”
“Jangan, paman.... mereka.... mereka lihai
sekali....”
Tentu saja kata-kata ini hanya disambut
dengan senyum saja oleh Gak Bun Beng dan dia lalu turun dari pembaringan,
terhuyung dan membuka pintu kamarnya. Melihat dua orang kakek itu menghadapi
lima orang pelayan yang ketakutan, Gak Bun Beng mengerutkan alisnya dan
berkata, “Andaikata ji-wi sedang sakit dan aku yang sehat, tentu dengan senang
hati aku mengalah dan memberikan kamar ini untuk ji-wi. Akan tetapi karena
keadaan kita sebaliknya, sungguh tidak patut kalau ji-wi hendak memaksa para
pelayan. Harap saja ji-wi suka memandang aku yang sedang sakit untuk mengambil
kamar di dalam saja.”
“Heh-heh-heh-heh, apa kau juga ingin mampus?”
Kembali kakek setengah telanjang berkata dan dia menggunakan telapak
tangannya mendorong meja tadi dan.... seketika keempat kaki meja itu amblas ke
dalam lantai yang keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari agar-agar saja!
Melihat ini Gak Bun Beng mengerutkan alisnya.
“Hemm, kau memang hebat, akan tetapi berwatak buruk sekali!” Gak Bun Beng
melangkah maju dan sekali kakinya dihempaskan ke lantai, meja yang kakinya
amblas tadi mencelat ke atas sampai ada setengah meter dari lantai!
Dua orang kakek itu terkejut sekali, saling
pandang, kemudian menghadapi Gak Bun Beng. “Bagus, engkau merupakan lawan yang
boleh juga! Kau menantang kami, ya?” Serta merta kakek bermantel tebal itu
menghantam ke depan dengan telapak tangan kanan. Mendengar sambaran angin ini
dan merasakan betapa ada hawa yang amat dingin datang menyambarnya, Gak Bun
Beng terkejut dan maklumlah dia bahwa kakek ini adalah seorang ahli Im-kang,
maka diapun cepat menyambut dengan telapak tangan kiri.
“Plakkk!”
Pada saat itu, kakek setengah telanjang juga
sudah menghantam dengan telapak tangan terbuka pula, dan Gak Bun Beng merasa
betapa hawa yang menyambarnya amatlah panasnya. Maka diapun menyambut dengan
tangan kanannya.
“Plakk!”
Dua orang kakek ini terkejut, berseru
“Aughh....!” dan muka mereka menjadi pucat.
Tentu saja kedua orang kakek itu tidak
mengenal siapa yang mereka serang. Kakek kembar ini pernah kita jumpai, yaitu
ketika mereka bersama kawan-kawannya yang semua berjumlah dua puluh orang
menyerbu ke Pulau Es dan dapat dihalau pergi oleh Pendekar Super Sakti, dua
orang isteri dan dua orang puteranya. Si muka putih yang selalu bermantel itu
adalah Pak-thian Lo-mo sedangkan si muka merah yang setengah telanjang itu
adalah Lam-thian Lo-mo. Kedua kakek kembar ini memang memiliki kelstimewaan
masing-masing, kalau si baju tebal itu seorang ahli tnaga sakti Im-kang yang
selalu kedinginan adalah si setengah telanjang itu seorang ahli Yang-kang yang
selalu kepanasan. Akan tetapi, sekali ini mereka bertemu dengan Gak Bun Beng,
seorang ahli dalam tenaga sin-kang Inti Salju dan Inti Api, maka dengan
sendirinya dia berani menghadapi pukulan panas dengan hawa yang lebih panas
sedangkan pukulan dingin dia hadapi dengan hawa yang lebih dingin lagi!
“Ouhhhh....!” Kedua orang kakek itu
mengerahkan tenaganya karena Pak-thian Lo-mo si ahli Im-kang mulai menggigil
kedinginan sedangkan Lam-thian Lomo si ahli Yang-kang mulai berpeluh
kepanasan. Untung bagi mereka bahwa Gak Bun Beng tidak niat membunuh orang, dan
lebih untung lagi bahwa pendekar sakti itu sedang sakit, maka pengerahan tenaga
ini membuat Gak Bun Beng terbatuk-batuk dan muntah darah! Kesempatan ini
dipergunakan oleh kakek kembar itu untuk menarik tangan masing-masing, kemudian
melihat lawannya muntah darah, mereka berdua menyerang lagi dengan hebatnya!
Gak Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan
biarpun dia menggoyang-goyangkan kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya
dan mengusir kunang-kunang yang tampak ribuan di depan matanya, dia masih bisa
menangkis setiap pukulan yang datang dengan cepatnya sehingga kedua kakek itu
merasa amat terheran-heran dan terkejut bukan main! Belum pernah mereka
menghadapi lawan yang sehebat dan setangguh ini setelah Pendekar Super Sakti!
Tentu saja mereka menjadi penasaran dan kini mereka mengeluarkan senjata
mereka, yaitu sabuk baja yang berupa pecut. Terdengarlah bunyi meledak-ledak
ketika kedua kakek itu menggerakkan senjata mereka menyerang Gak Bun Beng.
Pendekar ini berusaha mengelak dan bahkan
menangkis dengan lengannya yang penuh dengan hawa sin-kang, namun karena pandang
matanya berkunang dan dia terhuyung-huyung, ada beberapa pukulan yang mengenai
tubuhnya sehingga dia terluka cukup berat.
Pada saat itu, Syanti Dewi sudah meloncat
masuk ke dalam kamar, menyambar buntalan dari meja dan melihat betapa Gak Bun
Beng dikeroyok dan terhuyung-huyung, dia menjerit.
Pada saat itu, terdengarlah derap banyak kaki
kuda dan sesosok bayangan menyambar masuk disertai bentakan nyaring seorang
wanita. “Sepasang iblis laknat, kalian berani mengacau kota raja?”
“Sing-sing....!” Dua sinar terang menyambar ke
arah dua orang kakek itu.
“Trang-trang....!” Dua batang pisau terbang
itu dapat disampok pecut baja, namun kedua kakek itu terkejut ketika tangan
mereka terasa tergetar, tanda bahwa dua batang pisau terbang itu diluncurkan oleh
orang yang memiliki tenaga hebat. Wanita yang bukan lain adalah Puteri Milana
ini sudah membentak lagi dan sinar-sinar halus menyambar, kini serangan
jarum-jarum halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh bagian depan
dari kedua orang kakek kembar.
“Hayaaaa....!” Dua orang kakek itu berteriak
dan dengan cepat mereka memutar pecut untuk melindungi tubuh sambil meloncat
keluar dari rumah penginapan di mana mereka disambut oleh sepasukan pengawal
yang cukup lihai.
Sementara itu, ketika Milana melihat orang
yang tadi dikeroyok oleh sepasang kakek kembar itu terhuyung dan dipapah oleh
seorang gadis cantik, dia cepat membalikkan tubuhnya mengejar dua orang kakek
kembar yang sudah merobohkan dua orang pengawal. Dengan pedangnya yang
berkilauan Milana menerjang dan kedua orang kakek itu terpaksa harus
mengerahkan kepandaian mereka karena wanita ini benar-benar amat lihai, apalagi
dibantu oleh banyak sekali pengawal yang mengurung mereka.
“Paman, kau.... terluka....” Syanti Dewi
memeluk tubuh yang terhuyung itu.
“Dewi.... cepat.... bawa aku pergi.... jangan
sampai dia melihatku....!”
Syanti Dewi tadi sudah melihat kedatangan
Milana dan dia kagum meyaksikan kehebatan puteri itu. Setelah dekat dan melihat
wajah Milana terkena sinar penerangan, barulah dia melihat betapa cantiknya
puteri itu, sungguhpun wajah itu begitu pucat, begitu dingin dan muram seperti
kehilangan cahayanya. Kini mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia menjadi bingung.
Mengapa penolongnya ini selalu hendak menghindarkan diri dari kekasihnya?
“Dewi, cepat.... aku tak tahan lagi....” Bun
Beng berbisik. “Ke sana.... melalui jendela....”
Syanti Dewi tidak berani membantah dan memapah
penolongnya itu memasuki kamar dan membantunya keluar melalui jendela. Ketika
mereka lewat di samping rumah mereka melihat betapa pertempuran masih
berlangsung dengan hebat sungguhpun kedua orang kakek itu terkepung dan
terdesak oleh pedang Milana. Akan tetapi pada saat itu Milana kebetulan melirik
ke arah Gak Bun Beng yang juga sedang memandang ke arah pertempuran.
“Gak-twako....!” Seruan lirih ini terdengar di
antara suara beradunya senjata dan teriakan orang-orang, akan tetapi Gak Bun
Beng mengenal suara Milana, maka cepat dia memondong tubuh Syanti Dewi dan
melesat pergi dengan kecepatan kilat, tidak memperdulikan bahwa tenaganya sudah
hampir habis. Dia berlari terus, meloncati tembok pintu gerbang, akan tetapi
ketika dia sudah meloncat turun ke tempat gelap, dia terguling dan roboh
pingsan di tempat gelap itu!
“Paman....! Paman....!” Syanti Dewi
berbisik-bisik dekat telinga pendekar itu, akan tetapi Gak Bun Beng tidak
bergerak.
Sementara itu, Milana yang terkejut bukan main
melihat orang yang tadi dikeroyok dua orang kakek dan agaknya terluka itu lewat
di samping rumah bersama seorang gadis cantik, karena dia mengenal wajah Gak
Bun Beng! Agaknya tidak mungkin salah lagi. Di antara selaksa wajah orang
laki-laki, dia akan mengenal wajah Gak Bun Beng, pria yang penah dicintanya dan
masih dicintanya itu. Biarpun laki-laki setengah tua itu berkumis dan
berjenggot, akan tetapi dia tidak pangling melihat mulutnya, hidungnya,
terutama mata dan pandang matanya.
Karena perhatiannya tertarik, apalagi karena
meninggalkan gelanggang pertempuran untuk berusaha mengejar Gak Bun Beng,
kedua orang kakek kembar itu tidak terdesak lagi dan sambil berseru keras
mereka lalu meloncat dan melarikan diri pula.
“Mereka lari!”
“Kejar....!”
Barulah Milana sadar ketika mendengar
teriakan-teriakan ini. Cepat dia memerintahkan para pengawal untuk mengejar kedua
orang kakek itu, juga dia memerintahkan sebagian pasukan lagi untuk mencari
orang yang bersama dengan gadis cantik yang tadi dikeroyok oleh dua orang
kakek. Dari keterangan pelayan dia mendengar betapa laki-laki itu datang ke
losmen dalam keadaan sakit dan dirawat oleh gadis yang agaknya adalah
keponakan laki-laki itu.
Milana termenung mendengar keterangan ini.
Melihat wajahnya, apalagi melihat kenyataannya bahwa dalam keadaan sakit masih
mampu menahan pengeroyokan dua orang kakek lihai, jelas bahwa orang tadi
tentulah Gak Bun Beng. Akan tetapi kalau benar dia, mengapa lari darinya?
Mengapa tidak menemuinya? Dan sakit apakah? Ke mana perginya? Bimbanglah hati
Milana dan dia sendiri membantu pencarian itu. Bukan mencari sepasang kakek
kembar, melainkan mencari Gak Bun Beng. Baginya kakek kembar itu tidak penting,
hanya merupakan orang-orang dari golongan sesat yang mencurigakan saja.
Semalam suntuk dia dan pasukannya mencari dan
akhirnya, menjelang pagi keesokan harinya, terpaksa dia pulang dengan hati
parah, penuh kebimbangan dan penyesalan. Dia telah melihat kekasihnya, akan
tetapi belum ada ketentuan juga.
Bagaimana dengan keadaan Syanti Dewi dan Gak
Bun Beng yang karena terlampau banyak mempergunakan tenaga, apalagi karena
sudah terluka dalam pertempuran melawan Siang Lo-mo, yaitu kakek kembar itu?
Dapat dibayangkan betapa bingungnya rasa hati Syanti Dewi. Dia mengerahkan
tenaganya, memondong tubuh Gak Bun Beng untuk dibawa pergi dari pintu gerbang
utara itu. Akan tetapi sebelum dia melangkah jauh, dia mendengar suara
hiruk-pikuk dan melihat serombongan pasukan berlari-lari mendatangi. Tentu saja
dia terkejut melihat obor-obor di tangan para perajurit itu. Dilihatnya bahwa
di bawah pintu gerbang itu terdapat sebuah sungai dengan jembatannya, maka
cepat dia membawa tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan. Karena jalannya
menurun dan agak sukar, dia takut kalau memondong tubuh penolongnya bisa
tergelincir, maka terpaksa dia bersusah payah menarik atau menyeret tubuh Gak
Bun Beng turun ke bawah jembatan di mana dia bersembunyi sambil memeluk pundak
dan kepala Gak Bun Beng dengan hati berdebar penuh rasa khawatir dan
ketegangan.
Sambil memangku kepala penolongnya, dia
membasahi saputangannya dengan air sungai dan membasuh muka dan kepala pendekar
itu, berbisik-bisik memanggil-manggil namanya. Ketika Gak Bun Beng tetap tidak
menjawab, Syanti Dewi terisak dan mendekap kepala itu, menempelkan pipinya pada
muka pendekar itu dan berbisik dekat telinganya. “Paman Gak.... jangan kau
mati.... jangan tinggalkan aku sendiri, paman....!” Akan tetapi karena takut,
dia menahan isaknya sehingga hanya air matanya saja yang bercucuran, dia
menangis tanpa suara.
Setelah keadaan sunyi kembali dan pasukan itu
dengan suara hiruk-pikuk telah kembali memasuki pintu gerbang, barulah Syanti
Dewi berani bergerak. Dengan susah payah dia berhasil juga menyeret tubuh Gak
Bun Beng keluar dari bawah jembatan, kemudian memondong tubuh pendekar itu dan
secepat mungkin dia membawa Gak Bun Beng pergi jauh dari tempat itu.
Sampai dua hari dua malam Bun Beng pingsan tak
sadarkan diri sama sekali, ditangisi oleh Syanti Dewi di dalam sebuah hutan
yang besar dan liar. Berkali-kali Puteri Bhutan ini memanggil-manggil,
mengguncang-guncang tubuh pendekar itu, kemudian diseling tangisnya
terisak-isak sambil menyatakan penyesalan hatinya kepada Puteri Milana yang
dianggapnya kejam!
Pada hari ketiga, saking lelahnya, Syanti Dewi
yang duduk bersandar batang pohon tertidur atau setengah pingsan. Dia lelah
bukan main, lelah, lemas karena lapar dan haus yang sama sekali tak
dihiraukannya, dan mengantuk karena semenjak melarikan diri bersama Bun Beng
dia sama sekali belum tidur. Pagi-pagi tadi, lewat tengah malam, dia menangis
dengan putus harapan dan didekapnya kepala Bun Beng yang dipangkunya, karena
dia menganggap bahwa pendekar itu tentu tidak dapat sadar kembali. Akhirnya dia
tertidur atau setengah pingsan, bersandar pada batang pohon sambil tetap
memangku kepala Gak Bun Beng yang masih belum sadar.
Ketika Bun Beng siuman dan membuka matanya,
pertama-tama yang diingatnya adalah Milana, maka dia terbelalak melirik ke
kanan kiri, takut kalau-kalau Milana berada di situ. Tiba-tiba dia duduk dan
membalik, memandang kepada Syanti Dewi yang masih pula bersandar pohon, dengan
muka pucat dan masih ada bekas air mata. Bun Beng mengeluh lirih. Dia telah
tidur atau pulas dengan kepala di atas pangkuan gadis itu! Dan mereka telah
berada di dalam hutan besar! Padahal, seingatnya, dia memondong gadis ini
berlari secepatnya dari kota raja, melompati benteng pagar tembok kota raja
lalu dia terguling dan tidak ingat apa-apa lagi.
“Dewi....!” Bun Beng berkata lirih, setengah
menduga bahwa tentu Syanti Dewi yang menyelamatkannya, membawanya sampai ke
dalam hutan lebat itu.
Biarpun hanya lirih saja panggilan ini, Syanti
Dewi membuka kedua matanya. Ketika dia melihat Bun Beng sudah duduk di
depannya, memandangnya dengan sepasang mata yang penuh perasaan haru, dia
menggosok-gosok kedua matanya, takut kalau-kalau dia hanya bermimpi,
kemudian, ketika melihat bahwa Bun Beng tetap masih duduk di depannya, tidak
pingsan lagi, bukan main girangnya rasa hati dara ini.
“Paman ! Aihh, paman.... syukurlah bahwa paman
telah sadar! Ahh, betapa sengsara dan takut hatiku selama dua hari dua malam
ini, melihat paman diam tak pernah bergerak....”
Bun Beng memegang kedua tangan dara itu dan
memandang tajam. “Apa katamu? Selama dua hari dua malam aku.... aku tak
sadarkan diri?”
Syanti Dewi hanya mengangguk dan baru sekarang
terasa oleh dara itu betapa lapar perutnya, betapa lelah tubuhnya.
“Dan selama ini engkau.... engkau memaksa diri
melarikan aku ke sini.... dan.... dan merawatku....?” Bun Beng menelan ludahnya
menahan keharuan hatinya.
Kembali Syanti Dewi mengangguk. Kemudian
berkata lirih, “Aih, paman Gak. Bagaimana aku dapat merawatmu? Aku sudah
bingung sekali, hampir putus harapan pagi tadi melihat engkau seperti....
seperti mati. Aku takut sekali....”
Bun Beng menggenggam kedua tangan yang kecil
itu, suaranya gemetar ketika dia berkata, “Dewi.... kau.... kau seorang....
anak yang baik sekali.”
Hati dara itu girang bukan main. Setelah Bun
Beng siuman, dia tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi, tidak takut apa-apa lagi.
“Paman, kau tentu lapar sekali, dua hari dua malam tidak makan apa-apa, tidak
minum apa-apa. Aku akan mencari buah-buahan untukmu.”
Tapi Gak Bun Beng tidak melepaskan tangan dara
itu. “Dewi, katakanlah, apakah selama ini engkau juga pernah makan?”
Syanti Dewi menunduk dan menggeleng kepala.
“Dan pernah minum?”
Kembali Syanti Dewi menggeleng kepala.
Bun Beng menghela napas. “Luar biasa sekali!
Engkau seorang gadis yang luar biasa sekali. Seorang yang berhati mulia, engkau
seorang puteri budiman. Cara bagaimanakah engkau dapat melarlkan aku ke tempat
ini, Dewi?”
Wajah yang agak pucat itu kini menjadi merah
dan Syanti Dewi lalu menceritakan betapa hampir saja mereka tertangkap oleh
sepasukan tentara kalau saja dia tidak cepat menyeret Bun Beng ke kolong
jembatan. Kemudian dia menceritakan betapa dia membawa lari Bun Beng tanpa
tujuan tertentu, pokoknya asal dapat menjauh dari kota raja, sejauh mungkin.
“Aku hanya tahu bahwa paman tidak ingin
dilihat.... orang, maka aku membawa paman menjauh dari kota raja sedapat
mungkin. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa paman melarikan diri
begitu paman melihat Puteri Milana? Mengapa paman tidak ingin dia melihat
paman? Bahkan aku mendengar dia mengenal dan memanggil paman malam itu.
Mengapa, paman?”
Gak Bun Beng menunduk, menghela napas panjang,
lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Aku.... aku tidak kuat menghadapinya....
aku.... aku.... ah, aku hanya seorang laki-laki yang bodoh.”
Hening sampai lama. Bun Beng tetap menunduk
dan Syanti Dewi mencoba untuk menyelami perasaan pendekar itu dengan menatap
tajam wajah yang muram itu. Kemudian terdengar Syanti Dewi bertanya, suaranya
lirih. “Paman Gak, demikian besarkah cintamu terhadap Puteri Milana?”
Bun Beng tidak menjawab, hanya menarik napas
panjang, lalu untuk membelokkan bahan pembicaraannya, dia berkata, “Dewi, kita
harus kembali ke kota raja. Aku akan mengantarkan sampai ke luar pintu
gerbang, dan kau masuk sendiri serta langsung menghadap Puteri Milana.
Ceritakan riwayatmu tanpa menyebut-nyebut namaku, dan aku yakin dia akan suka
menolongmu.”
“Aku hanya mau menghadap dia kalau bersamamu,
paman.”
“Ah, engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat
menemuinya.”
“Kalau begitu akupun tidak sudi menghadapnya!”
Jawaban Syanti Dewi ini agak keras, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya
seperti biasa yang penuh kehalusan, seolah-olah baru satu kali ini dia
marah-marah.
Bun Beng mengangkat muka memandang. “Mengapa,
Dewi? Bukankah engkau jauh-jauh dari Bhutan dikirim ke kota raja oleh ayahmu
untuk menjadi mantu kaisar?”
“Tidak, tidak! Paman sudah tahu sendiri akan
semua akal busuk yang bersembunyi di balik kepura-puraan perjodohan itu! Aku
tidak sudi! Pula, dahulu aku hanya mau karena ada adik Ceng di sampingku.
Sekarang adik Ceng hilang, mungkin tewas, dan sebagai gantinya adalah paman.
Karena itu, tanpa paman, aku tidak sudi harus pergi sendiri ke istana. Leblh
baik aku.... mati di sini....”
Bun Beng memegang tangan dara itu. “Tenanglah,
tidak ada yang memaksamu, Dewi. Kalau begitu, kita harus melanjutkan
perjalanan ke utara. Aku mau menemui Jenderal Kao Liang. Di kota raja sedang
terjadi pergolakan dan agaknya dia yang menguasai banyak pasukan saja yang akan
dapat menyelamatkan kota raja dan sekaligus mewakili aku mengurus urusanmu
dengan kaisar. Percayalah, tidak akan ada yang memaksamu, Dewi. Aku akan
mempertaruhkan nyawaku untuk mencegah siapapun yang memaksamu.”
Wajah yang jelita itu berseri. “Baik, paman.
Ke manapun paman membawaku pergi, aku akan suka ikut, asal jangan menyuruh aku
pergi seorang diri. Wah, perutku lapar sekali, tentu paman juga. Biar aku
mencari buah-buah....”
Bun Beng sudah menyambitkan batu kecil yang
digenggamnya dan kelinci gemuk yang menyusup di antara semak-semak itu mati
seketika. “Nah, itu ada kelinci gemuk yang menyerahkan dagingnya, Dewi.
Ambillah.”
Tadi Syanti Dewi terkejut menyaksikan gerakan
pendekar itu, akan tetapi mendengar ucapannya, dia tertawa lalu berlari-lari
dan membuka-buka semak-semak itu. Benar saja, di situ terdapat seekor kelinci
gemuk yang telah mati dengan kepala pecah disambar batu, masih hangat tubuhnya.
Sambil tertawa gembira Syanti Dewi lalu menguliti dan memanggang daging
kelinci. Setelah Bun Beng siuman kembali, terusirlah semua kekhawatiran dan
kedukaan dari hati dara ini yang sebaliknya menjadi riang gembira kembali,
sungguhpun tubuhnya masih terasa amat lelah.
Akan tetapi ternyata pukulan batin yang
diderita oleh Gak Bun Beng dalam pertemuannya dengan Milana ditambah dengan
luka dalam yang dideritanya ketika dalam keadaan tidak sehat dia bertanding
melawan Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar di kota raja itu, membuat pendekar
ini lemah dan sakit. Ditambah lagi kenyataan yang menusuk hatinya, yang
mendatangkan rasa khawatir dan bingung, kenyataan yang dirahasiakan yaitu
sikap Syanti Dewi kepadanya, sikap yang amat baik, mengandung kasih sayang,
sikap yang hanya dapat diperlihatkan seorang wanita yang jatuh cinta, membuat
dia makln menderita batinnya. Dia memandang gejala ini sebagai datangnya suatu
bahaya yang amat besar, yang amat mengkhawatirkan bagi kehidupan Syanti Dewi.
Biarpun dara ini tak pernah menyatakan dengan mulut, biarpun mungkin dara itu
sendiri masih belum sadar akan perasaan hatinya sendiri, namun Bun Beng sudah
dapat menduganya, melihat dari pandang matanya, gerak-geriknya, suaranya. Hal
ini menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Tidak, betapapun juga, dia tidak akan
menyeret dara yang amat berbudi ini ke dalam hidupnya yang serba canggung dan
sengsara. Dia tidak akan mengulangi riwayat penuh duka seperti yang dialaminya
dengan Milana. Memang betapa akan amat mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang
dara seperti Syanti Dewi, seorang dara yang berbudi mulia, halus dan penuh
perasaan. Akan tetapi tidak! Dia bukanlah seorang yang hanya mementingkan
kesenangan dirinya sendiri saja.
Perang yang terjadi dalam batin Bun Beng
menambah luka dalam yang dideritanya dalam pertandingan berat sebelah ketika
melawan kakek kembar dalam keadaan sakit itu. Karena itu, perjalanan ke utara
bersama Syanti Dewi itu dilakukan dengan susah payah dan lambat, bahkan
akhirnya Bun Beng jatuh sakit lagi!
Di dalam perjalanan ini, di waktu dia
terserang sakit, lebih jelas kenyataannya bahwa yang diduga dan ditakuti Bun
Beng adalah benar. Perawatan yang dilakukan Syanti Dewi terhadap dirinya amat
luar biasa, penuh ketelitian, penuh pengorbanan dan ketekunan. Diam-diam Bun Beng
yang menderita sakit itu mengambil keputusan bahwa kalau dia sudah dapat
bertemu dengan Jenderal Kao Liang, dia akan menyerahkan Syanti Dewi dalam
perlindungan jenderal yang dipercayanya itu, kemudian dia akan pergi untuk
selamanya, tidak akan mencampuri dunia ramai lagi, seperti dahulu sebelum
bertemu dengan Syanti Dewi dan terpaksa mengantarkan dara itu ke kota raja.
***
Kita tinggalkan dulu Bun Beng yang sedang
menderita sakit dan melakukan perjalanan dengan amat sukar bersama Syanti Dewi
menuju ke perbatasan utera untuk menemui Jenderal Kao Liang, dah mari kita
mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang secara kebetulan sekali juga telah
melakukan perjalanan ke utara!
Seperti telah diceritakan di bagian depan,
Ceng Ceng telah ditolong dari bahaya tenggelam oleh Tek Hoat, kemudian secara
kebetulan dia dapat mendengarkan percakapan antara pemuda itu dengan Pangeran
Liong Khi Ong sehingga terbukalah rahasia pemuda itu sebagai kaki tangan
Pangeran Liong Bin Ong yang membuat rencana pemberontakan. Masih untung bagi
Ceng Ceng bahwa pada saat yang berbahaya itu, dia keburu dicegah oleh Pengawal
Kaisar Souw Kee It dan diajak pergi melarikan diri. Andaikata dia tidak bertemu
dengan kakek pengawal itu dan terang-terangan menegur Tek Hoat, tentu pemuda
itu tidak akan segan-segan untuk membunuhnya agar rahasianya dapat tertutup.
Dengan bantuan Souw Kee It, pengawal kawakan
yang telah berpengalaman, Ceng Ceng melakukan perjalanan setelah menyamar
sebagai seorang pria tampan yang berkumis tipis! Bermacam perasaan bercampur
aduk di dalam hati dara ini. Pertama-tama dia merasa gembira bukan main
mendengar dari Souw Kee It bahwa Syanti Dewi telah diselamatkan oleh seorang
nelayan. Dia merasa bersyukur sekali dan ingin dia bertemu dengan kakak
angkatnya itu yang tidak diketahui ke mana perginya. Akan tetapi di samping
kegembiraannya ini terdapat perasaan duka, kecewa dan marah kalau dia teringat
kepada Tek Hoat. Pemuda yang amat dikaguminya itu, pemuda yang tampan dan
memiliki kepandaian demikian tinggi, ternyata adalah seorang kaki tangan
pengkhianat dan pemberontak! Betapa rendah dan hina! Dan pemuda itu dengan
terus terang menyatakan bahwa dia mencinta Syanti Dewi! Kalau dulu di waktu dia
mendengar pergakuan ini timbul rasa panas dan agak cemburu di hatinya, kini
sebaliknya malah. Dia merasa panas dan marah, tidak rela bahwa kakak angkatnya
itu dicinta oleh seorang yang demikian rendah! Dia harus menghalang-halangi
ini. Siapa tahu, pemuda yang tampan dan pandai itu akan dapat bertemu dengan
Syanti Dewi dan berhasil merayunya atau memaksanya.
Selama dalam perjalanan, Souw Kee It
menceritakan kepada Ceng Ceng akan keadaan di kota raja yang kacau karena
adanya pertentangan secara diam-diam antara perdana menteri yang setia kepada
kaisar dan dua orang pangeran tua, yaitu Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin
Ong.
“Mengapa sri baginda kaisar diam saja?
Bukankah jelas bahwa dua orang pangeran itu bermaksud memberontak?”
Souw Kee It menarik napas panjang. “Sri
baginda kaisar adalah amat bijaksana. Beliau tidak menghendaki adanya
perpecahan dan keributan antara keluarga kerajaan. Hal ini akan mencemarkan
dan melemahkan kedudukan keluarga kaisar dan merendahkan martabatnya di mata
rakyat. Apalagi karena niat pemberontakan kedua orang pangeran itu belum ada
buktinya, baru merupakan desas-desus belaka. Oleh karena itulah, maka sri
baginda hanya memberi tugas kepada para pengawal yang dipercaya, dan dipimpin
sendiri oleh Puteri Milana, untuk secara diam-diam membasmi kaki tangan yang
berniat memberontak. Jika tidak ada kekuatan dari luar yang mendorong, tentu
niat hati kedua orang pangeran itu akan lenyap sendiri.”
Ceng Ceng bersungut-sungut. “Terlalu sabar.
Kalau dikasih hati, dua orang pengkhianat itu makin merajalela.”
“Demikian pula pendapat perdana menteri,
sehingga kini secara berterang, para pengawal perdana menteri sering bentrok
dengan para pengawal kedua orang pangeran itu. Dan demikian pula pandangan
Puteri Milana yang sudah mulai menumpas semua tokoh jahat yang mencurigakan dan
yang ada hubungannya dengan niat pemberontak itu.”
“Akan tetapi kulihat pemuda yang bernama
Tek Hoat itu lihai bukan main! Kalau dia tidak dapat dibasmi, kelak tentu akan
menimbulkan bahaya!” Berkata demikian Ceng Ceng teringat kepada kakak
angkatnya, Syanti Dewi yang dianggapnya terancam keselamatannya oleh pemuda itu
yang telah menyatakan cinta kepada Puteri Bhutan itu.
Souw Kee It mengangguk. “Memang akupun sudah
melihat kelihaiannya. Dia adalah tenaga baru yang belum kami kenal, dan agaknya
dia telah ditugaskan untuk mengacaukan dan menggagalkan perjodohan yang hendak
diikat oleh sri baginda kaisar antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi
Ong.”
“Heran sekali, mengapa sri baginda mengambil
keputusan yang demikian aneh? Puteri Bhutan adalah seorang dara yang muda
remaja, mengapa hendak dijodohkan dengan pangeran yang sudah tua, mata
keranjang dan jahat lagi?” Dia teringat akan percakapan antara Tek Hoat dan
pangeran tua di perahu.
“Aihh, engkau tidak tahu, nona. Demi
keselamatan kerajaan, tentu saja sri baginda akan melakukan apa saja. Taktik
pengikatan jodoh antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong mempunyai dua
maksud yang amat penting. Pertama, dengan menarik Kerajaan Bhutan menjadi
keluarga, tentu saja Bhutan dijadikan sebuah perisai atau benteng pertahanan di
barat, juga berarti bertambahnya sebuah negara keluarga yang bersahabat.
Kedua, ikatan jodoh itu dimaksudkan untuk membuktikan kesabaran dan kebaikan
hati kaisar sehingga biarpun ada desas-desus akan pengkhianatan Pangeran Liong
berdua, tetap saja kaisar menganugerahinya dengan sebuah pernikahan dengan
Puteri Bhutan yang terkenal cantik jelita.”
“Hemm, sungguh aku tidak mengerti mengapa
perasaan perorangan diabaikan sama sekali demi kepentingan kerajaan.”
“Memang tentu mengherankan bagi seorang yang
tidak pernah mendekati urusan kerajaan seperti engkau, Nona. Akan tetapi aku
yang sudah sejak muda berkecimpung di dekat keluarga kerajaan, seperti juga
kakekmu dahulu, tidak merasa heran. Apalagi hanya perasaan, bahkan nyawa
perorangan tidaklah begitu berarti lagi dibandingkan dengan kepentingan
kerajaan. Dalam urusan pernikahan inipun yang hancur hatinya adalah Pangeran
Yung Hwa.”
“Pangeran Yung Hwa? Siapa dia dan mengapa?”
“Dia juga putera dari sri baginda, seorang
pangeran muda remaja, baru berusia dua puluh tahun. Sesungguhnya, Pangeran
Yung Hwa inilah yang ketika mendengar berita tentang Puteri Syanti Dewi, jatuh
cinta dan mohon kepada sri baginda untuk dilamarkan. Akan tetapi, permintaannya
ditolak karena Puteri Syanti Dewi hendak dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi
Ong.”
“Si tua bangka!” Ceng Ceng mengomel.
“Dan karena itu, Pangeran Yung Hwa lolos dari
istana.”
“Lolos?”
“Ya, patah hati dan minggat dari istana.
Begitulah orang muda....”
Ceng Ceng terdiam, merasa terharu. Heran juga
dia mengapa Pangeran Yung Hwa dapat jatuh cinta kepada seorang gadis yang belum
pernah dilihatnya! Jatuh cinta hanya karena mendengar berita tentang
kecantikan dan segala kebaikan Puteri Syanti Dewi! Lucu juga, pikirnya.
Perjalanan dilanjutkan dengan cepat karena
mereka berkuda. Karena Ceng Ceng menyamar sebagai pria berkumis, maka biarpun
Tek Hoat yang kehilangan gadis itu sudah cepat mengerahkan kaki tangan Pangeran
Liong Khi Ong untuk mengejar dart mencari, namun hasilnya sia-sia. Dan di
sepanjang perjalanan itu, biarpun ada banyak mata-mata pemberontak yang
melihat mereka, namun tidak ada yang menduga bahwa “pemuda ganteng berkumis”
itu adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicari-cari. Tentu saja Tek Hoat
merasa menyesal bukan main, karena dianggapnya gadis itu merupakan orang
penting sekali untuk dapat menemukan Syanti Dewi yang hilang dan dia hanya
dapat menyumpah-nyumpah.
Pada suatu pagi, Ceng Ceng dan pengawal Souw
telah tiba di sebuah dusun di dekat tapal batas utara. “Kita sudah memasuki
wilayah kekuasaan Jenderal Kao,” kata kata pegawal itu. “Oleh karena itu,
boleh dikatakan kita tiba di daerah aman dan kau boleh menanggalkan
penyamaranmu.”
Ceng Ceng merasa girang sekali karena dia
merasa kurang leluasa dalam penyamarannya itu. Dibuangnya “kumis” yang menarik
perhatian para wanita di sepanjang perjalanan itu, dan diubahnya pakaiannya
sehingga kini dia berubah menjadi seorang dara remaja yang cantik dan gagah,
dengan kepala dilindungi sebuah caping lebar.
“Karena perjalanan ke utara, ke benteng di
mana Jenderal Kao Liang berada merupakan perjalanan yang cukup sukar dan
melelahkan, melalui daerah tandus, maka sebaiknya klta mengganti kuda di dusun
ini.”
“Apakah di sini engkau juga mempunyai
kawan-kawan, Souw-lopek?”
“Tidak, akan tetapi dusun ini terkenal sebagai
tempat pusat perdagangan kuda. Banyak kuda Mongol yang baik dijual di dusun
ini, dan kita hanya menukarkan kuda kita yang sudah lelah dengan menambah
sedikit uang.”
Benar saja, setelah mereka memasuki dusun itu,
di tengah-tengah dusun terdapat sebuah pasar kuda yang amat besar dan luas dan
terdapat ratusan ekor kuda diperjualbelikan di tempat ini.
“Kaubawa kuda kita ke bagian sana, bagian
penjualan, dan aku akan memilih kuda-kuda baru di sebelah sini. Kalau aku yang
menjual, karena aku laki-laki, harganya akan kurang tinggi.”
“Eh, mengapa begitu, Lopek (paman tua)?” tanya
Ceng Ceng terheran.
Souw Kee It tersenyum. “Karena, biasanya para
pencuri kuda adalah kaum pria. Jarang ada wanita, biar wanita kang-ouw sekalipun,
mau mencuri kuda.”
“Wah, jadi kalau yang menjual disangka
pencuri kuda, kudanya lalu ditawar murah-murahan? Mengapa ada orang yang mau
membeli kuda curian?”
“Hemm, kau masih belum tahu akan ketamakan
manusia di dunia ini, Nona. Curian atau bukan, asal mendatangkan keuntungan
besar, tentu diterima dengan tangan terbuka. Sudahlah, kau yang menjual ke
sana, berikan kalau ditawar kurang leblh dua ratus tail untuk dua ekor ini,
kemudian kaubawa uangnya ke sini untuk membeli dua ekor kuda baru. Aku yang
memilih, karena kalau tidak pandai memilih, bisa ditipu mentah-mentah oleh para
pedagang kuda yang amat licik dan cerdik itu. Kuda sakit dibilang sehat, kuda
tua dibilang muda.”
Ceng Ceng mengangguk, lalu menuntun dua ekor
kuda itu menuju ke seberang di mana terdapat banyak tengkulak kuda sedang
memeriksa kuda yang akan dijual. Begitu Ceg Ceng tiba di tempat itu, beberapa
orang pedagang kuda sudah berlari datang menyambutnya.
“Nona, kudamu sudah amat lelah, memang
sepatutnya dijual segera!” kata seorang di antara mereka.
“Agaknya sudah melakukan perjalanan yang amat
jauh, lihat tapal kakinya menipis dan urat pahanya menggembung!” kata orang ke
dua.
“Kalau tidak cepat dipelihara baik-baik bisa
terkena penyakit,” kata orang ke tiga.
Ceng Ceng membiarkan para tengkulak kuda itu
ribut-ribut menurunkan nilai dua ekor kudanya. Kalau saja dia belum
mendengarkan penjelasan Souw Kee It tentang siasat para pedagang kuda, tentu
dia akan marah atau setidaknya akan merasa bimbang dan kecewa. Akan tetapi,
sekarang dia hanya tersenyum, lalu berkata dengan lantang, “Kalian boleh
menjelek-jelekkan dua ekor kudaku ini sesuka hati dan seenak perutmu, akan
tetapi kalau tidak dua ratus tail, dua ekor kuda ini tidak akan kujual!”
“Ha-ha-ha, pintar sekali!” Tiba-tiba terdengar
suara ketawa dan memuji, perlahan saja namun cukup terdengar oleh Ceng Ceng,
karena orang yang memuji itu berada dekat di tempat itu. Dia melirik dan
melihat dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan, berdiri memandangnya
penuh kagum. Kekaguman yang tidak disembunyikan. Terutama sekali pemuda ke dua
yang agaknya sedikit lebih muda, yang wajahnya berseri gembira. Melihat Ceng
Ceng melirik ke arahnya, pemuda ini lalu menggerakkan kepalanya sedikit
sehingga kuncir rambutnya yang tebal itu bergerak melilit lehernya sendiri.
Pemuda yang tercekik dan terlilit lehernya oleh rambutnya sendiri, membuat
gerakan seperti orang mendelik dan lidahnya terjulur, sambil berkata dengan
nada mengejek kepada para pedagang kuda itu. “Hekkk.... hekkk.... mau mencekik
malah tercekik.... mampus, kena batunya sekarang....”
“Bu-te, jangan kurang ajar....!” Pemuda
pertama yang agak lebih tua dan yang sikapnya pendiam menegur dengan suara
lirih.
Senang hati Ceng Ceng. Dia tidak menganggap
pemuda itu kurang ajar karena dia tahu bahwa pemuda itu mengejek para pedagang
kuda. Timbullah rasa persahabatan di dalam hatinya dan dia menoleh kepada
mereka, lalu tersenyum kecil, kemudian menghadapi para pedagang kuda.
“Bagaimana, apakah kalian mau membeli kudaku
yang kelelahan, buruk, berpenyakitan ini? Dua ekor untuk dua ratus tail,
tidak kurang sedikitpun juga!”
Para pedagang itu saling pandang,
menggaruk-garuk kepala. Memang perkiraan Souw Kee It tadi sudah tepat. Dua
ratus tail untuk dua ekor kuda pilihan itu tidaklah mahal, akan tetapi juga
tidak terlalu murah. Memang harga “pasaran”. Melihat sikap nona muda itu
demikian tegas, dan jelas tidak mugkin untuk dikelabui dengan aksi-aksi palsu,
mereka tidak banyak bicara lagi lalu menghitung dua ratus tail perak,
diserahkan kepada Ceng Ceng yang membungkusnya dengan kain lebar yang sudah
disiapkan oleh Kee It sebelumnya. Kemudian dia meninggalkan tempat setelah
melirik lagi kepada dua orang pemuda tadi.
“Lee-ko
dia hebat sekali! Mari kita berkenalan....”
“Hushh, jangan kurang ajar di tempat umum
begini. Kau bisa dimaki orang, Bu-te....”
“Tapi, dia tentu seorang gadis kang-ouw, dan
tentu suka berkenalan. Apa sih jahatnya orang berkenalan?”
Dua orang muda itu bukan lain adalah Suma Kian
Lee dan Suma Kian Bu. Seperti kita ketahui, kakak beradik ini setelah
menyelamatkan rombongan hartawan yang diganggu oleh para tosu Pek-lian-kauw,
melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan pada hari itu berhenti di dusun
untuk membeli kuda.
Melihat adiknya nekat hendak mengikuti dara
cantik jelita yang menjual kuda tadi, terpaksa Kian Lee mendampingi karena dia
tidak ingin melihat adiknya membuat ribut di tempat ramai itu. Tiba-tiba Kian
Lee memegang tangan adiknya, dengan gerakan mukanya dia menunjuk ke depan.
Kian Bu juga sudah melihat seorang laki-laki
kurus yang berada di belakang gadis itu. Jelas tampak oleh keduanya bahwa
laki-laki itu tentulah seorang pencopet yang sedang mengincar buntalan uang
yang berada di tangan kiri gadis itu.
Tiba-tiba, di tempat yang agak sepi, di tempat
perbatasan antara bagian penjualan dan bagian pembelian kuda-kuda di pasar
itu, laki-laki kurus tadi bergerak cepat sekali, tangannya meraba buntalan.
Tampak pisau berkilau dan agaknya pencopet itu bukan ingin merebut semua
buntalan melainkan hendak merobek buntalan dan mengambil uang dari dalamnya.
“Plakk.... krekk....! Aduhhh....!” laki-laki
itu memegangi lengannya yang patah tulangnya sedangkan pisaunya terlempar
entah ke mana. Kiranya begitu ada gerakan orang, Ceng Ceng sudah menggerakkan
tangan kanannya sambil memutar tubuh dan sekali dia menampar, pergelangan
tangan orang yang memegang pisau itu menjadi patah tulangnya.
“Ampunkan saya.... anak-anak saya
kelaparan....” Orang itu berkata dengan muka pucat dan tubuh gemetar
ketakutan karena kalau sampai semua orang turun tangan, dia akan menjadi mayat
di tempat itu.
Ceng Ceng mengeluarkan sepotong uang perak dan
melemparkannya ke depan orang itu. “Ambillah dan pergilah!”
Pencopet itu mengambil uang perak dengan
tangan kiri, lalu mengangguk dan cepat menyelinap pergi. Melihat ini, Kian Lee
dan Kiam Bu terbelalak kagum.
“Wah, kiranya seorang yang lihai!” Kian Bu
hampir bersorak karena baru sekali ini dia melihat seorang dara cantik jellta
yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu.
“DIa tentu seorang pendekar wanita dunia
kang-ouw seperti yang sering diceritakan oleh Ibu, maka lebih baik kita jangan
mengganggunya, kata Kian Lee yang merasa kagum sekali.
Kian Bu bersungut-sungut kecewa apalagi
melihat seorang laki-laki gagah setengah tua yang menghampiri gadis itu
kemudian mereka membeli dua ekor kuda, Kian Bu
tidak berani melanjutkan niatnya menghampiri. “Hemm, aku masih merasa
penasaran, Lee-ko. Apa sih salahnya kalau aku hanya ingin berkenalan?”
“Adikku, harus kuakui bahwa engkau tidak
bersalah. Aka tetapi, sejak kecil kita hidup di tempat terasing dari pergaulan
umum, maka tentu saja kita berdua merasa bebas. Ketahuilah bahwa kehidupan
umum di daerah daratan ini tidaklah bebas sama sekali, kehidupan manusia sudah
dibelenggu dan diikat oleh segala macam peraturan, di antara
peraturan-peraturan itu ialah bahwa menegur seorang wanita yang bukan keluarga
dan bukan kenalannya merupakan perbuatan yang kurang ajar!”
“Aneh dan tidak adil! Kalau tidak lebih dulu
menegur, mana bisa kenal? Pula apa sih jeleknya kalau hanya menegur untuk
berkenalan saja? Nona itu tadi pun bercakap-cakap dengan para pembeli kuda,
padahal mereka pun belum saling mengenal.”
“Itu lain lagi namanya, kan ada keperluannya,
jual beli kuda?”
“Wah, serba salah! Peraturan yang licik
sekali. Baik buruknya kan tergantung dari niat yang terkandung di dalam
perbuatan, bukan si perbuatan itu sendiri. Seorang pria menegur seorang wanita
untuk berkenalan, masa tidak boleh? Peraturan macam apa itu?”
“Itu namanya peraturan kesusilaan, Adikku. Dan
masih banyak lagi aturan-aturan antara pria dan wanita, apalagi kalau kita tiba
di kota raja, sama sekali tidak boleh dilanggarnya.”
“Hemm, daratan begini luas akan tetapi seperti
penjara saja!”
“Memang, kita manusia hidup seperti dalam
penjara, dikurung dan dibelenggu oleh segala macam peraturan dan hukum. Akan
tetapi, semua itu sudah menjadi kebiasaan umum, kalau dilanggarnya, kau akan
dianggap liar dan kurang ajar, tidak tahu kesopanan dan lain sebagainya
sehingga engkau akan dianggap jahat dan dimusuhi.”
“Konyol!” Kian Bu makin tidak puas dan makin
penasaran. Memang pemuda itu belum mau mengerti akan semua kebiasaan di dunia
“sopan” ini. Hidup di Pulau Es tentu saja merasa bebas, tidak terikat oleh
peraturan apa pun karena mereka hanya hidup bersama ayah dan ibunya, sedangkan
pertemuan yang kadang-kala dengan para nelayan yang menjelajah di pulau-pulau
agak jauh dari Pulau Es, juga merupakan pertemuan dengan orang-orang sederhana
yang hidup wajar dan polos, tidak banyak terikat oleh segala macam peraturan.
Kini, darah mudanya yang menuntut sehingga timbul daya tarik terhadap kaum
wanita, menghadapi penghalang yang sangat besar dan dirasakan amat mengganggu
kebebasannya. Berbeda dengan Kian Lee yang sungguhpun keadaan hidupnya di
Pulas Es tiada bedanya dengan Kian Bu, namun pemuda ini memperhatikan semua
yang diceritakan tentang dunia ramai oleh ibunya, bahkan suka membaca-baca
kitab tentang sejarah dan kehidupan di dunia ramai. Oleh karena itu biarpun dia
baru sekali ini turun ke daratan besar, namun segala peraturan tidaklah terlalu
mengejutkan hatinya dan dapat dihadapinya dengan tenang dan sabar.
Demikianlah, Kian Bu hanya dapat memandang
saja ketika melihat gadis yang mengagumkan hatinya itu meloncat ke atas kuda
bersama kakek itu, lalu keduanya membalapkan kuda keluar dari dusun itu.
Hatinya ingin sekali menegur, bertanya dan berkenalan, namun dia memaksa diri
diam saja, hanya memandang dan makin tertarik hatinya ketika melihat betapa
dara itu mengerling ke arah mereka sambil tersenyum manis!
“Siapakah mereka....?” Souw Kee It bertanya
setelah mereka keluar dari dusun.
“Hi-hik, pemuda-pemuda yang lucu.” Ceng Ceng
lalu menceritakan pertemuannya dengan dua orang muda itu ketika dia menjual
kuda.
“Hemm, mereka mencurigakan. Nona, kita harus
berhati-hati.”
“Kau sendiri mengatakan bahwa ini daerah aman,
Lopek.”
“Benar, memang tadinya kuanggap demikian. Akan
tetapi di dalam pasar kuda tadi, aku melihat banyak mata yang memandang
kepadaku secara sembunyi. Hal seperti itu sudah terlalu sering kualami sehingga
aku dapat merasakannya. Juga, kalau aku tidak salah, aku melihat wajah seorang
kakek yang menyelinap di antara banyak orang, padahal kalau aku tidak salah ingat,
itu adalah wajah seorang tosu Pek-lian-kauw. Dan kabarnya Pek-lian-kauw juga
sudah memasukkan tangan-tangan kotor ke dalam usaha pemberontakan ini.”
“Ihhh....!” Ceng Ceng menjadi kaget mendengar
ini.
“Keadaan menjadi berbahaya kalau begini, Nona.”
Souw Kee It mengerutkan alisnya dan menahan kudanya agar dia dapat menerangkan
lebih jelas lagi. “Kalau sampai di dusun itu terdapat orang-orangnya
pemberontak tanpa diketahui oleh Jenderal Kao, maka hal itu hanya berarti
bahwa kaki tangan pemberontak sudah menyelundup ke utara. Mungkin saja di
antara para pembantu Kao-goanswe sendiri ada yang sudah terpengaruh. Dan ini
berbahaya bagi pertahanan di utara.”
“Habis, apa yang hendak kaulakukan,
Lopek?” Ceng Ceng bertanya, khawatir juga mendengar suara orang tua itu yang
amat serius.
Tiba-tiba kakek itu memandang ke depan dan
matanya terbelalak, lalu berkata, “Tenang, tak usah khawatir, akan tetapi siap
menghadapi mereka itu. Kurasa mereka bukan orang-orang yang mengandung niat
baik....”
Ceng Ceng juga memandang ke depan dan
tampaklah olehnya dua orang tosu dan dua orang laki-laki yang dikenalnya
sebagai dua di antara para pembeli kuda tadi telah menghadang di depan. Kuda
tunggangan empat orang itu ditambatkan pada pohon tak jauh dari situ dan jelaslah
bahwa empat orang ini memang sengaja menanti dan menghadang mereka di tempat
ini!
“Lopek, hajar saja mereka!” Ceng Ceng
berteriak dengan gemas dan kedua tangannya sudah meraba sepasang pisau belati
yang diselipkan di pinggangnya.
Memang mereka sudah bersiap sedia dan Souw Kee
It telah memberikan dua batang pisau itu sebagaimana yang dipilihnya sendiri
ketika pengawal itu menawarkan senjata apa yang paling digemarinya.
“Kauhadapi dua orang mata-mata yang menyamar
sebagai pedagang kuda itu, dan biarlah aku yang menghadapi dua orang tosu
Pek-lian-kauw itu,” bisik Souw Kee It.
Ceng Ceng mengangguk dan dengan tenang
keduanya turun dari atas kuda, menambatkan kuda mereka di pohon lalu
menghampiri empat orang yang mengawasi gerak-gerik mereka tanpa berkata-kata
itu. Biarpun dia merasa amat gemas dan marah, namun Ceng Ceng tidak berani
sembrono turun tangan, melainkan membiarkan pengawal itu yang bicara.
“Jiwi-totiang (bapak pendeta berdua) agaknya
mempunyai keperluan dengsnku maka sengaja menanti di sini. Ada keperluan
apakah?” Souw Kee It bertanya sambil menghadapi kedua orang tosu itu.
Dua orang tosu itu tidak menjawab, melainkan
membuat gerakan membuka jubah depan mereka, yang menutupi jubah di dalam dan
tampaklah lukisan teratai putih di depan dada mereka. Tentu saja Souw Kee It
sudah tahu sebelumnya bahwa dua orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw,
akan tetapi dia berpura-pura kaget dan tidak mengerti.
“Kalau tidak salah, ji-wi adalah tosu dari
Pek-lian-kauw. Ada keperluan apakah dengan kami paman dan keponakan?”
“Souw Kee It, tidak perlu kau berpura-pura
lagi!” Tiba-tiba seorang di antara mereka, tosu yang ada tahi lalatnya di dagu,
berkata mengejek. “Dan tidak perlu lagi mengaku dia ini keponakanmu. Ketika dia
masih menjadi pemuda berkumis, memang kami ragu-ragu. Souw Kee It, dan kau
Nona! Hayo katakan di mana adanya Puteri Syanti Dewi!”
Souw Kee It terkejut juga. Demikian hebat
gerakan para pemberontak ini sehingga mata-matanya tersebar ke mana-mana,
bahkan perjalanannya bersama Ceng Ceng, penyamaran dara itupun diketahui belaka
oleh tosu-tosu ini. Yang tidak mereka ketahui, seperti yang dia sendiri pun
belum mengetahui, adalah di mana adanya Putri Syanti Dewi. Hal ini melegakan
hatinya, juga melegakan hati Ceng Ceng, karena berarti bahwa Syanti Dewi belum
terjatuh ke tangan kaum pemberontak.
“Pemberontak hina dina!” bentak Souw Kee It
dan tanpa banyak cakap lagi pengawal ini sudah meloncat ke depan, menerjang
sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar terang. Dua
orang tosu Pek-lian-kauw itu juga sudah mencabut pedang masing-masing dan
menangkis sambil membalas dengan serangan dahsyat. Namun, mudah saja serangan
mereka ditangkis oleh Souw Kee It dan melihat gerakan-gerakan mereka, hati
pengawal kawakan ini menjadi lega karena dia yakin akan dapat mengatasi
mereka. Dia mengkhawatirkan Ceng Ceng yang juga sudah membentak nyaring dan
sudah menerjang maju disambut oleh dua orang pedagang kuda palsu itu dengan
golok mereka. Terdengar suara nyaring berdencing berkali-kali ketika dua orang
pedagang kuda palsu itu sibuk menangkis sinar terang dari sepasang belati di
tanga Ceng Ceng yang menyambar-nyambar ganas ke arah mereka! Tersenyumlah Souw
Kee It menyaksikan sepak terjang dara dari Bhutan itu. Hebat dan lincah, dan
dia maklum bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ceng Ceng. Hal ini membuat
dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi dua orang tosu dari
Pek-lian-kauw.
“Nona Lu, mari cepat robohkan mereka!”
bentaknya karena pengawal ini maklum bahwa kalau para kaki tangan pemberontak
ini mempunyai banyak kawan dan datang mengeroyok, keadaan akan menjadi
berbahaya.
“Baik, Lopek!” Ceng Ceng memang tadinya hendak
mempermainkan dua orang lawannya, kini mendengar seruan itu dia memperhebat
permainan sepasang pisau belatinya sehingga dua orang itu terdesak hebat!
Souw Kee It juga sudah mengerahkan tenaga
mengeluarkan kepandaiannya, pedangnya bergulung-gulung sinarnya tidak memberi
kesempatan kepada dua orang pengeroyoknya yang main mundur terus. Terdengar
bentakan keras dua, kali dari mulut pengawal itu dan robohlah dua orang tosu
itu, roboh untuk tidak bangun kembali karena dada mereka tertembus pedang!
“Haiiittt....!” Ceng Ceng yang merasa
penasaran memekik dan pisaunya menyambar, berhasil merobek pipi kanan seorang
lawari yang berteriak-teriak kesakitan.
“Aku mencari bantuan....!” Seorang di antara
mereka berteriak dan lari meninggalkan kawannya yang robek pipinya.
“Lari ke mana?” Ceng Ceng membentak, tangan
kirinya bergerak dan pisau belati yang kiri meluncur ke depan, mengejar lawan
yang lari itu.
“Auuggghhh....!” Orang itu roboh dan pisau
belati hanya tampak gagangnya saja menancap di punggungnya. Orang ke dua yang
terluka pipinya menjadi nekat, akan tetapi kaki kiri Ceng Ceng menendang,
tepat mengenai pergelangan tangannya sehingga golok yang dipegangnya terlepas
dan sebelum dia sempat mengelak, pisau belati Ceng Ceng sudah bersarang di
dadanya, membuat dia roboh terjengkang dan tewas tak lama kemudian.
Ceng Ceng mencabut dua batang pisaunya,
membersihkan senjata itu di pakaian korbannya sambil mendengarkan pesan Souw
Kee It, “Nona, sudah jelas bahwa pihak pemberontak telah mengetahui keadaan
kita. Hal ini membuktikan bahwa kaki tangan pemberontak telah menguasai pula
daerah ini dan mungkin sekali sudah ada mata-mata yang menyelinap ke dalam
pasukan penjaga tapal batas. Hal ini berbahaya sekali. Jenderal Kao adalah
seorang panglima yang amat setia, akan tetapi kalau dia dikelilingi pemberontak
tanpa diketahuinya, amatlah berbahaya. Sekali pertahanan di tapal batas ini
bobol, bahaya utara akan membanjir ke selatan dan merupakan ancaman besar.”
“Kalau begitu, kita cepat menghadap Jenderal
Kao untuk menceritakan keadaan, Lopek.”
Souw Kee It menggeleng kepala. “Kita harus
membagi tugas. Di benteng terdekat sebelah barat sana yang bertugas sebagai
seorang komandan seorang sahabatku. Aku akan pergi ke sana untuk cepat
memperingatkan sahabatku itu agar dia dapat bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Sedangkan engkau, Nona, harap kaulanjutkan perjalanan ini ke
utara. Karena lebih tiga puluh li lagi dari sini, engkau akan tiba di benteng
di mana kau dapat menghadap Jenderal Kao sendiri dan kauceritakan segala yang
kau telah ketahui dan dengar dari aku mengenai keadaan di ibu kota.”
Ceng Ceng mengangguk. “Baik, Lopek.”
Souw Kee It mengeluarkan sebuah benda dan
memberikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Kaubawalah tek-pai ini sebagai
pelindung kalau terjadi sesuatu. Aku sendiri tidak memerlukannya karena
Panglima Kim yang akan kuhubungi adalah wakil dari Jenderal Kao dan adalah
bekas sahabatku ketika kami bersama bertugas di kota raja. Kalau kau menghadapi
kesukaran dari pihak pasukan, tek-pai ini tentu akan menyelamatkanmu.”
Ceng Ceng menerima benda itu yang ternyata
adalah sebuah tek-pai, yaitu sepotong bambu yang merupakan sebuah tanda bahwa
pemegangnya telah diberi kuasa oleh pihak atasan. Biasanya, jika kaisar memberi
kekuasaan kepada seseorang ponggawa untuk melakukan suatu pekerjaan penting, ponggawa
ini diberi sebuah tek-pai. Akan tetapi tek-pai yang diserahkan oleh Souw Kee It
kepada Ceng Ceng adalah tanda kuasa yang diberikan oleh Puteri Milana.
“Berangkatlah, Nona dan hati-hatilah di jalan.
Kurasa tidak akan ada gangguan lagi seperti tadi setelah Nona berada di dekat
benteng pasukan Jenderal Kao.”
Mereka lalu berpisah dan Ceng Ceng lalu
membalapkan kudanya menuju ke utara. Adapun Souw Kee It sendiri juga lalu
meloncat ke atas kudanya, memutar kudanya menuju ke kiri di mana dia tahu ada markas
dari pasukan yang dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao, yaitu Panglima Kim.
Pencegatan tosu Pek-lian-kauw tadi terjadi di daerah kekuasaan pasukan Panglima
Kim, maka dia perlu sekali harus cepat memberi tahu bekas sahabatnya itu agar
dapat mengadakan operasi pembersihan karena dia yakin bahwa tentu daerah ini
telah kemasukan kaki tangan pemberontak.
Memang daerah yang merupakan front ke dua ini
dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao Liang, yaitu Panglima Kim Bouw Sin yang
dahulu pernah menjadi pengawal kaisar, rekan dari Souw Kee It. Panglima Kim
Bouw Sin yang berusia lima puluh tahun ini bertubuh kecil tinggi, bermata
tajam dan dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu perang, selain ahli pula
dalam ilmu silat. Dahulunya dia hanya seorang guru silat yang karena
kepandaiannya yang tinggi maka banyak putera bangsawan menjadi muridnya di
kota raja. Akhirnya dia diangkat menjadi pengawal dan memang orang she Kim ini
amat rajin dan pandai pula mengambil hati bekas-bekas muridnya yang banyak
terdapat diantara para pangeran sehingga akhirnya dia terus naik pangkat sampai
menjadi wakil Jenderal Kao Liang dan mengepalai puluhan ribu perajurit di tapal
batas utara.
Akan tetapi, kenaikan demi kenaikan yang
membawanya ke tempat yang lebih tinggi dan mulia, kedudukan demi kedudukan
yang telah dicapainya itu sama sekali tidak pernah memadamkan api cita-cita
yang selalu berkobar di dalam dada Kim Bouw Sin. Tidak pernah membuat dia
merasa puas dan cukup. Cita-cita atau ambisinya terus meningkat dan kedudukan
wakil panglima komandan perbatasan masih jauh daripada memuaskan hatinya yang
penuh ambisi, karena di sana, jauh di tinggi, masih tampak kedudukan
panglima, kedudukan menteri-menteri, perdana menteri, panglima tertinggi dan
kaisar sendiri! Ambisi inilah yang kemudian menyeret dia untuk diam-diam
bersekutu dengan Pangeran Liong Bin Ong dan biarpun secara terang-terangan dia
menjadi wakil panglima di perbatasan utara, namun gelap-gelapan dia adalah
pemimpin pemberontak, kepercayaan Liong Bin Ong yang sudah siap melakukan
gerakan besar di utara!
Seperti halnya Kim Bouw Sin, seperti pula
dapat kita lihat dalam penghidupan manusia sehari-hari, betapa kita ini
dicengkeram, dibuai dan dipermainkan oleh cita-cita, oleh ambisi. Cita-cita
dan ambisi adalah masa depan sehingga kita hidup seperti dalam mimpi, hidup
dituntun oleh masa depan sehingga kita menjadi seperti buta akan masa kini,
saat ini, tidak dapat melihat segala keindahan dan kebahagiaan saat ini karena
mata kita selalu kita tujukan ke depan dan ke atas! Kita selalu mementingkan
tujuan, sehingga terjadilah kepalsuan-kepalsuan dalam cara atau tindakan karena
semua itu dituntun demi mencapai tujuan! Karena mementingkan tujuan, maka
timbullah perbµatan-perbuatan yang palsu, karena yang penting bukanlah
caranya lagi, melainkan tujuannya. Timbullah anggapan palsu bahwa tujuan
menghalalkan secara cara! Maka terjadilah segala kepalsuan yang dapat kita
lihat sehari-hari di dalam kehidupan kita. Betapa demi tujuan mendapatkan
keuntungan, kita tidak segansegan untuk mencapainya dengan cara apapun, dengan
judi, dengan korupsi, dengan penyogokan, dengan penipuan dagang, dengan
penyelundupan, dan banyak lagi macamnya. Semua itu kita lakukan demi untuk satu
tujuan, yaku mencari keuntungan! Lebih hebat lagi, demi tujuan mencapai
kemenangan, kita manusia saling bunuh-membunuh dalam perang, bahkan tidak
segan-segan memakai nama Tuhan, negara, bangsa dan lain-lain yang hanya
merupakan suatu cara palsu untuk mencapai tujuan, yaitu kemenangan tadi!
Umumnya kita menganggap bahwa cita-cita atau
ambisi mendatangkan kemajuan! Kalau tidak bercita-cita, tidak ada kemajuan,
demikian kita berkata dan anggapan atau pendapat ini telah berakar di dalam
hati dan pikiran. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata dan mempelajarlnya,
benarkah demikian? Benarkah ambisi mendatangkan kemajuan? Kalau kita ukur
kemajuan dengan lembaran uang, mungkin ada benarnya, yaitu bahwa ambisi
mendatangkan uang! Akan tetapi, apakah itu suatu kemajuan? Apakah itu dapat
dikatakan maju kalau menjadi kaya-raya karena korupsi, karena dagang gelap,
karena penipuan dan lain-lain? Apa artinya kaya-raya kalau batinnya miskin?
Dapatkah kekayaan mendatangkan kebahagiaan? Tanya saja kepada para hartawan dan
semua akan menjawab pertanyaan itu dengan geleng kepala!
Yang penting adalah sekarang ini! Saat ini!
Tindakan ini! Cara ini! Bukan tujuannya, bukan cita-citanya! Kalau caranya
atau tindakannya benar, tujuannya pun benar! Biarpun tujuannya benar, kalau
caranya tidak benar, tujuannya pun menjadi tidak benar! Daripada membiarkan
pikiran melamun dan membayangkan tujuan atau cita-cita atau ambisi di masa
depan, hal-hal yang belum ada dan hanya merupakan khayal belaka, marilah kita
tujukan seluruh perhatian kita kepada saat ini, saat demi saat sehingga apa
yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, semua kita lakukan dengan kesadaran
sepenuhnya, dengan perhatian sepenuhnya, sehingga kita dapat menghayati hidup
ini saat demi saat! Dengan demikian akan timbul kewaspadaan, kita dapat
melihat yang palsu sebagai palsu dalam diri kita sendiri dan di luar diri kita.
Souw Kee It sama sekali tidak pernah mengira
bahwa bekas sahabat dan rekannya itu kini telah menjadi orang kepercayaan
Pangeran Liong Bin Ong. Dia datang dan menghadap bekas temannya yang telah
menjadi wakil panglima perbatasan itu. Akan tetapi begitu dia menceritakan
tentang pencegatan dua orang tosu Pek-llan-kauw dan dua orang kaki tangan
pemberontak lain yang berhasil dibunuhnya, seketika dia disergap, dikeroyok dan
akhirnya, dalam perlawanan mati-matian, pengawal kaisar yang gagah perkasa ini
tewas di depan kaki Panglima Kim Bouw Sin!
Souw Kee It telah menceritakan betapa
pengawal itu bersama adik angkat Puteri Syanti Dewi telah tiba di utara dan
bahkan telah mengetahui bahwa di utara terdapat kaki tangan pemberontak! Dan
sekarang gadis itu telah menuju ke markas Jenderal Kao! Hal ini tentu saja
menggegerkan hati Kim Bouw Sin dan kawan-kawannya. Maka setelah menyingkirkan
mayat pengawal Souw Kee It, Panglima Kim Bouw Sin segera memanggil semua
sekutunya untuk mengadakan perundingan kilat!
Yang hadir dalam perundingan itu selain
Panglima Kim Bouw Sin sendiri, juga dua orang utusan Pangeran Liong Bin Ong
yang menjadi penghubung, dan tiga orang kepala suku Mongol yang memusuhi
pemerintah. Memang Kim Bouw Sin amat cerdik. Untuk memperkuat kedudukannya dan
memperkuat barisan kalau kelak tiba masanya bahwa pasukannya harus digerakkan
ke selatan, diam-diam dia telah mengadakan persekutuan dengan suku-suku liar di
luar tembok besar dan telah mengadakan kontak dengan tiga orang kepala suku
Mongol itu.
“Rahasia telah terbuka, mungkin sekarang
Jenderal Kao telah mendengar dari gadis itu,” demikian antara lain Panglima Kim
berkata kepada lima orang itu. “Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu terlalu sembrono,
turun tangan tanpa melihat keadaan lawan lebih dulu. Selain mereka gagal, juga
tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Jenderal Kao.”
“Bagi Pangeran Liong, hal itu tidak
membahayakan,” kata seorang di antara tiga orang utusan Pengeran Liong Bin Ong,
“karena kabar pemberontakan itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada
buktinya. Akan tetapi tidak demikian dengan kedudukan ciangkun (panglima) di
sini. Jenderal Kao terkenal keras, dan Ciangkun sebagai bawahannya tentu dapat
dia perlakukan sesuka hatinya.”
“Itulah yang memusingkan hatiku!” Panglima Kim
menghantam meja di depannya. “Kecuali kalau dia dapat disingkirkan lebih
dulu, lebih pagi daripada rencana semula! Tetapi, pasukannya belum dapat kita
kuasai seluruhnya sehingga hal itu tentu amatsukar dilakukan.”
“Bukankah Jenderal Kao suka sekali melakukan
penyelidikan dan perondaan sendiri, hanya dikawal oleh tiga belas orang
pengawalnya yang terkenal?” kata seorang di antara utusan Pangeran Liong.
“Bagaimana kalau dipergunakan akal untuk memancingnya keluar bersama para
pengawalnya itu dan kita sergap dia?”
Kim Bouw Sin mengangguk. “Memang ada rencana
itu, akan tetapi kalau ketahuan bahwa dia tewas, tentu akan timbul kegemparan
dan mungkin pasukan yang setia kepadanya akan menimbulkan keributan. Kecuali
kalau pasukannya sudah dapat kita kuasai atau.... kalau dapat melenyapkannya
tanpa menimbulkan jejak....”
Tiba-tiba seorang kepala suku Mongol yang
kumisnya panjang bergantungan dari kanan kiri mulai menepuk pahanya sendiri sehingga
mengejutkan semua orang yang hadir. “Dapat sekarang!” Teriaknya sehingga semua
orang memandangnya penuh perhatian. “Sumur maut! Tempat itu dapat kita
pergunakan untuk memancing dan menjebak Jenderal Kao!”
Enam orang itu segera bicara berbisik-bisik
mengatur rencana, mereka menggunakan siasat keji untuk membunuh Jenderal Kao
tanpa diketahui orang dan menimbulkan kesan bahwa jenderal itu terbunuh oleh
suku bangsa liar yang memusuhi pemerintah.
Panglima Kim Bouw Sin kelihatan girang bukan
main, wajahnya berseri gembira, di dalam hatinya dia merasa betapa dia dan
sekutunya melalukan sesuatu yang cerdik dan yang benar! Demikianlah keadaan
batin seseorang yang telah diracuni oleh cita-cita, demi tercapainya cita-cita
itu, segala cara dianggapnya baik dan benar belaka. Yang baik dan yang benar
hanya diukur dari keuntungan bagi diri pribadi. Yang menguntungkan diri
sendiri, lahir maupun batin, maka sudah baik dan benarlah itu! Dengan pedoman
hidup seperti ini di antara kita semua, herankah kita kalau dunia ini selalu
kacau dan ribut, kekerasan, permusuhan dan peperangan terjadi di seluruh
dunia?
“Berhenti!” Tiba-tiba bermunculan
perajurit-perajurit yang agaknya tadi bersembunyi di balik batu-batu gunung dan
lebih dari dua puluh orang perajurit sudah mengepung Ceng Ceng yang cepat
menahan kudanya. Melihat sikap mereka yang galak dan berbaris rapi, diam-diam
Ceng Ceng menjadi kagum. Mudah diduga bahwa perajurit-perajurit ini merupakan
anggauta pasukan pilihan yang kuat, akan tetapi di samping kekagumannya, dia
pun merasa penasaran. Dia seorang wanita, akan tetapi pasukan ini
memperlihatkan sikap demikian keras dan kaku. Wataknya yang nakal membuat dia
ingin sekali menggoda para perajurit Jenderal Kao ini.
“Heiiii, kenapa kalian menyuruh aku berhenti?”
teriaknya.
Seorang di antara mereka, komandannya yang
berusia kurang lebih empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar dan tegap,
melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring, “Nona, kau melanggar wilayah
penjagaan kami. Kau tidak boleh terus dan harus kembali.”
Ceng Ceng tersenyum. “Aihh, tanah, pasir dan
gunung ini bukan kalian yang bikin, mengapa hendak melarang orang lewat?
Bagaimana kalau aku tidak mau kembali dan hendak terus?”
“Terpaksa kau akan kami tangkap dan kami
hadapkan kepada atasan kami untuk diperiksa.”
“Begitu mudah?” Ceng Geng tersenyum mengejek.
“Coba tangkap aku kalau bisa!”
Para perajurit itu saling pandang, ada yang
merasa penasaran dan marah menyaksikan lagak dara remaja itu, ada pula yang
tersenyum geli, akan tetapi tidak ada seorang pun berani bergerak karena
mereka menanti perintah komadan mereka.
“Nona, jangan bergurau. Kembalilah saja, atau
turun dari kuda untuk kami hadapkan kepada atasan kami,” berkata komandan
tinggi besar itu dengan wajah sungguh-sungguh.
“Dan aku tidak bergurau, melainkan menantang
kalian semua untuk menangkap aku kalau bisa!”
Merah wajah komandan itu. Dia merasa
dipermainkan oleh anak perempuan ini di depan anak buahnya. “Tangkap dia!”
teriaknya memberi aba-aba. Setelah terdengar aba-aba ini, barulah para
perajurit bergerak, mengulur tangan dan seolah-olah hendak berlomba menangkap
atau menjamah tubuh dara remaja yang cantik manis dan menggemaskan hati itu!
Ceng Ceng tertawa, kakinya bergerak dan
tubuhnya sudah mencelat dan melayang melalui atas kepala mereka, bagaikan
seekor burung saja gadis ini meloncat dari atas kudanya melalui kepala para
perajurit dan turun ke atas tanah di luar kepungan sambil tertawa-tawa.
Ceng Ceng menggapai kepada para perajurit yang
kini membalikkan tubuh memandang kepadanya dengan mata terbelalak. “Mari,
mari! Siapa yang merasa ada kepandaian, boleh maju! Atau kalau kalian tidak
tahu malu, boleh mengeroyok aku!”
Tentu saja para perajurit menjadi marah dan
bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba komandan tinggi besar itu berteriak,
“Tahan!”
Serentak para perajurit menghentikan gerakan
mereka dan berdiri tegak menanti perintah komandan mereka. Akan tetapi
komandan itu melambaikan tangannya memberi isyarat agar mereka mundur,
kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Ceng Ceng. Sejenak dia memandang
dara itu penuh perhatian dan kecurigaan, kemudian dia berkata, “Nona,
sebetulnya siapakah engkau, ada keperluan apa datang ke tempat ini dan
mengapa menantang kami?”
Ceng Ceng yang sudah kumat nakalnya dan
memang sengaja hendak mempermainkan orang, tersenyum dan berkata, “Soal nama
dan keperluan nanti saja. Sekarang karena aku dilarang melanjutkan perjalanan,
aku tantang siapa saja di antara kalian. Kalau aku kalah, aku akan kembali tanpa
banyak cerewet lagi, akan tetapi kalau aku menang, kalian harus membolehkan aku
melanjutkan perjalananku....”
Komandan itu menggeleng-gelengkan kepala.
“Peraturan di sini tidak boleh diubah oleh siapapun juga, Nona. Siapa yang
melanggar akan berhadapan dengan kami.”
“Aku tidak mau tunduk akan peraturan itu!”
“Kalau begitu terpaksa Nona akan kutangkap.”
“Cobalah!”
Akan tetapi kembali komandan itu ragu-ragu.
“Aku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak suka memukul wanita. Akan
tetapi harap Nona ketahui bahwa kami telah berbulan-bulan bertugas di sini dan
jauh dari wanita, maka jangan katakan aku kurang ajar kalau tangan-tanganku
menjadi gatal.”
Para perajurit tertawa mendengar kelakar
komandan mereka ini, dan wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. Akan tetapi
karena dia pun tahu bahwa komandan itu bukan bermaksud untuk kurang ajar
melainkan bicara sejujurnya, dia pun mejawab, “Tidak usah banyak sungkan,
Ciangkun. Mari perlihatkan kepandaianmu.”
“Heiiiiitttt!” Komandan itu yang juga memiliki
ilmu silat cukup tangguh sudah bergerak maju, menubruk dengan kedua lengannya
dipentang lebar.
“Yaaaahhhh!” Dengan lincahnya Ceng Ceng
mengelak dan tubuhnya yang kecil ramping itu lolos dari bawah lengan kanan
komandan itu, tidak lupa untuk menggerakkan tangan kiri menampar belakang
pundak kanan.
“Plakkk!” Tubuh komandan itu terhuyung-huyung
dan wajahnya kelihatan kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa tubrukannya itu
tidak hanya dapat dielakkan, malah dia kena ditampar, tamparan main-mainan
saja karena kalau dara itu menghendaki, tamparan itu tentu dapat diubah menjadi
pukulan yag berbahaya. Tahulah dia bahwa gadis ini memang berllmu tinggi maka
berani berlagak seperti itu, maka dia tidak menjadi sungkan-sungkan lagi dan
sambil berteriak keras mulailah dia menyerang, bukan sekedar untuk
mengalahkan.
Ceng Ceng yang memang hanya ingin
mempermainkan, menggunakan gin-kangnya dan dengan amat lincah dia selalu dapat
mengelak dari semua serangan lawan tanpa membalas karena dia memang tidak
berniat untuk bermusuhan. Kemudian, ketika komandan itu menyerangnya dengan
dahsyat, menggunakan lengan kanan untuk memukul ke arah lambung dan tangan
kirinya mencengkeram pundak, Ceng Ceng mengelak dengan loncatan ke kanan sambil
menggerakkan kepalanya.
“Plak! Plak!”
Komadan itu terkejut dan cepat meloncat
mundur sambil terhuyung-huyung karena tadi dua helai kuncir dara itu dengan
tepat telah menyambar dan mengenai leher dan dadanya. Melihat ini, para
perajurit sudah bergerak maju hendak menolong dan membantu komandan mereka,
akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang sambil berseru
keras, “Tahan....!”
Komandan itu sudah mencabut pedangnya dan
dengan mata terbelalak marah memandang. Ceng Ceng cepat menjura kepadanya dan
berkata, “Harap Ciangkun maafkan. Sebetulnya saya hanya main-main saja. Saya
hendak menghadap Jenderal Kao Liang, harap Ciangkun mengantar saya
kepadanya.”
Komandan itu mengerutkan alisnya. Tentu saja
dia menjadi makin curiga. Gadis ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Kedatangannya demikian mencurigakan dan sekarang menyatakan ingin
bertemu dengan Jenderal Kao Liang, tentu saja dia menjadi curiga sekali.
“Nona, terpaksa kami hanya dapat menghadapkan
engkau sebagai seorang tangkapan.”
Ceng Ceng tersenyum, lalu merogoh saku
mengeluarkan tek-pai yang diterimanya dari Pengawal Souw Kee It, menyodorkan
tek-pai itu ke depan perwira komandan itu sambil berkata, “Apakah engkau masih
mencurigai aku?”
Komandan itu memandang tek-pai, bambu kuasa
itu dan setelah membaca dan mengenal tulisan di atas tek-pai, melihat cap
kebesaran Puteri Milana sendiri, cepat dia menjatuhkan diri berlutut. Para
perajuritnya terkejut dan biarpun mereka belum mengerti jelas, mereka pun
cepat meniru perbuatan komandan mereka, berlutut.
“Harap Nona maafkan kami yang tidak
mengenal Nona,” kata komandan itu. “Aihh, tidak apa-apa, Ciangkun. Salahku
sendiri karena memang aku yang ingin main-main dengan pasukanmu yang begini
perkasa. Nah, sekarang antarkanlah aku menghadap Jenderal Kao Liang.”
“Baik, Nona.”
Komandan itu meninggalkan perintah kepada anak
buahnya, dan dia sendiri lalu mengantarkan Ceng Ceng memasuki benteng besar di
mana terdapat penjagaan yang ketat dan mengagumkan hati Ceng Ceng. Dia maklum
betapa akan sukarnya memasuki benteng yang terjaga kuat ini apabila tidak
diantarkan oleh komandan itu.
Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa itu
menerima kedatangan Ceng Ceng dengan ramah, apalagi ketika Ceng Ceng
memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) dari Puteri Milana dan menceritakan
bahwa dia mewakili Perwira Pengawal Souw Kee It.
“Aih, sungguh patut dipuji seorang wanita muda
seperti Nona menempuh segala kesukaran untuk membantu negara. Nona amat gagah
perkasa! Silahan duduk di ruangan dalam dan ceritakan semua tugas Nona datang
menjumpai kami,” kata jenderal itu yang mengajak Ceng Ceng duduk di ruangan
dalam.
Setelah minum teh yang disuguhkan, Ceng Ceng
mulai dengan penuturannya. “Souw-ciangkun sekarang pergi ke benteng di barat
sana untuk melaporkan bahwa daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak.
Kami berdua telah dicegat oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan kaki tangannya.
Menurut Souw-ciangkun, pemberontak yang sekarang sedang berusaha untuk
menghimpun kekuatannya, tidak hanya bergerak di barat, melainkan agaknya juga
sudah mulai mengulur tangan kotor di daerah perbatasan ini.”
Jenderal Kao Liang tertawa sambil mengangkat
cawan arak dan minum arak dengan lahapnya. Dia kuat sekali minum dan tidak
pernah menjadi mabuk. “Ha-ha-ha, harap tenangkan hatimu, Nona.
Pemberontak-pemberontak itu hanya besar mulut saja, akan tetapi tidak ada
artinya. Bahkan baru-baru ini aku sendiri sudah melakukan pemeriksaan ke
barat, memimpin operasi pembersihan membasmi para pemberontak yang berani
mengganggu perbatasan barat. Kalau ada pemberontak yang berani muncul di
daerah ini, tentu akan kusapu sampai bersih!” Kembali dia tertawa bangga lalu
melanjutkan. “Sayang bahwa para penjahat itu berhasil mencegat rombongan Puteri
Bhutan sehingga sang puteri kabarnya lenyap. Akan tetapi, Kerajaan Bhutan
tentu mau bekerja sama dengan kami untuk membasmi para pemberontak di sana
yang sebetulnya hanya merupakan segerombolan orang liar dan biadab, di bawah
pimpinan penjahat besar Tambolon.”
“Agakgya Tai-ciangkun belum tahu jelas akan
keadaan yang lebih parah dan berbahaya daripada yang Tai-ciangkun kira.” Ceng
Ceng berkata, “Hendaknya diketahui bahwa saya adalah Lu Ceng, atau Candra Dewi,
saudara angkat dengan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, dan saya pula yang menjadi
pengawal pribadinya ketika diboyong ke kota raja.”
“Ehhh....?” Jenderal itu terkejut juga dan
kini memandang kepada Ceng Ceng penuh perhatian.
Ceng Ceng lalu menceritakan semua
pengalamannya bersama Syanti Dewi yang sekarang entah berada di mana akan
tetapi yang menurut kabar diselamatkan oleh seorang nelayan dan pasti belum
terjatuh ke tangan pemberontak. Kemudian dia menceritakan pula pertemuannya
dengan Ang Tek Hoat yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong si
pemberontak, menceritakan pula percakapan yang didengarnya antara Ang Tek Hoat
dan Pangeran Liong Khi Ong.
Mendengar semua itu, barulah Jenderal Kao
tidak memandang ringan lagi, bahkan dia menggebrak meja. “Celaka! Kiranya di
kota raja sendiri telah penuh dengan manusia-manusia khianat! Kalau begitu, aku
sendiri harus ke kota raja untuk memperingatkan kaisar dan berunding dengan
Puteri Milana yang bijaksana. Ahhh, pengkhianat-pengkhianat yang tak mengenal
budi itu harus dibasmi secepat mungkin sebelum gerakan mereka menjadi besar!”
Pada saat itu, seorang pengawal melangkah
masuk dan memberi hormat kepada Jenderal Kao sambil berkata, “Kim-ciangkun
datang dan mohon menghadap!”
“Ah, dia datang? Suruh masuk cepat!” kata
jenderal itu.
Ketika Panglima Kim Bouw Sin memasuki ruangan
itu dan memberi hormat kepada Jenderal Kao, Ceng Ceng memandang penuh
perhatian. Panglima Kim adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh
tahun, mukanya pucat dan matanya sipit sekali. Karena tahu bahwa panglima ini
adalah sahabat baik Souw Kee It, maka begitu panglima itu duduk dia bertanya,
“Kim-ciangkun, bukankah Souw-lopek sudah bertemu denganmu?”
Kim Bouw Sin memandang dara itu lalu tertawa.
“Tentu Nona adalah Nona Lu Ceng dari Bhutan seperti yang diceritakan oleh
Souw-sicu. Memang dia telah bertemu denganku, Nona. Bahkan kini dia membantu
menjadi penunjuk jalan bagi pasukan yang kukirimkan untuk melakukan
pembersihan ke dusun tempat jual kuda itu.”
“Hemm, Kim-ciangkun! Mengapa urusan besar
seperti itu kauserahkan saja kepada bawahanmu dan tidak kaupimpin sendiri?
Kita harus mengadakan pembersihan jangan sampai kaki tangan pemberontak
memperlebar sayapnya di daerah ini!” Jenderal Kao menegur bawahannya.
Kim Bouw Sin cepat menghadapi atasannya itu
dan berkata, “Memang sebenarnya harus saya sendiri yang memimpin operasi
pembersihan itu. Akan tetapi, ada hal lain yang lebih penting lagi dan yang
harus saya laporkan sendiri kepada Goanswe.”
“Hemm.... berita apakah yang begitu penting?”
“Para peyelidik kami mendapat keterangan
bahwa pada hari besuk, para kepala suku mengadakan pertemuan dan perundingan
tidak jauh dari sini dan mereka itu akan menerima kujungan seorang kaki tangan
penberontak yang tentu akan melakukan pembujukan kepada para kepala suku untuk
bersekutu dengan pihak pemberontak.”
Wajah Jenderal Kao berubah merah sekali dan
dia menggebrak meja. “Bagaimana bisa ada kejadian seperti ini? Selama ini
para kepala suku itu baik dengan kita!”
Dengan sikap agak ketakutan Kim-ciangkun
berkata, “Akan tetapi, pihak pemberontak itu tentu telah berhasil membujuk
mereka yang mata duitan dengan menyerahkan hadiah-hadiah. Kalau Goanswe
mengijinkan, saya akan melakukan penyelidikan sendiri ke tempat itu.”
“Tidak! Hal ini terlalu penting sehingga
harus aku sendiri yang melakukan penyelidikan. Di mana tempat itu?”
“Di sekitar sumur maut di tengah padang
pasir.”
“Hemm, tempat terpencil dan mengerikan itu?”
Jenderal Kao membelai jenggotnya, “Baik, biarlah aku akan menyelidikinya
sendiri.”
“Kalau begitu baik sekali, dan saya akan
menyusul ke selatan, memimpin sendiri operasi pembersihan di dusun pasar
kuda,” kata Kim Bouw Sin yang segera pamit dan keluar meninggalkan tempat itu.
Jenderal Kao lalu menyuruh seorang pengawal mengantar Ceng Ceng ke sebuah kamar
tamu agar dara itu dapat beristirahat sambil menanti kembalinya Souw Kee It,
karena dia sendiri sibuk mempersiapkan tiga belas orang pengawalnya dan
mengatur rencana untuk menyelidiki sumur maut yang dijadikan tempat pertemuan
para kepala suku itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
Jenderal Kao telah berangkat meninggalkan benteng itu. Seperti biasanya tiap
kali dia mengadakan perondaan atau penyelidikan, dia hanya dikawal oleh tiga
belas orang pengawalnya yang gagah perkasa dan setia.
Derap kaki kuda di luar itu membangunkan Ceng
Ceng dari tidurnya. Dia membuka pintu kamar dan bertanya kepada pelayan,
mendapat keterangan bahwa Jenderal Kao telah berangkat. Ceng Ceng lalu mandi,
bertukar pakaian lalu keluar dari bangunan itu melihat-lihat. Akan tetapi baru
saja dia keluar, tampak olehnya seorang laki-laki berpakaian perwira menengah
berjalan dengan amat cepatnya sambil menengok ke kanan kiri.
Jelas nampak olehnya betapa orang itu seperti
tergesa-gesa dan hati-hati sehingga timbullah kecurigaan hatinya. Apalagi
orang itu agaknya baru saja meninggalka tempat di mana dia menginap, padahal
dia sejak kemarin tidak pernah bertemu dengan orang itu, seolah-olah orang itu
telah bersembunyi di situ.
Ketika melihat orang berpakaian perwira itu
memasuki sebuah pondok, Ceng Ceng cepat menggunakan kepandaiannya untuk
meloncat ke atas genteng dan tak lama kemudian dia sudah mengintai dan
mendengarkan dari atas. Perwira itu telah bertemu dengan seorang perwira lain
dan biarpun percakapan mereka hanya singkat saja, namun cukuplah bagi Ceng
Ceng mengetahui siapa adanya mereka.
“Cepat kau pergi melaporkan Kim-ciangkun
bahwa dia telah berangkat,” kata perwira yang dibayanginya tadi.
“Baik, dan kau mempersiapkan semua teman agar
mengendalikan semua pasukan di sini,” kata orang ke dua.
“Ya, setelah itu aku akan menyusul mereka
untuk melihat apakah semua berjalan menurut rencana. Sebaliknya, sebelum engkau
berangkat kepada Kim-ciangkun, engkau yang menghubungi teman-teman di sini.
Jangan lupa gadis itu, harus secepatnya dibikin tidak berdaya. Aku akan
berangkat sekarang, khawatir kalau-kalau terjadi perubahan dan kegagalan di
sana.”
Selanjutnya mereka berbisik-bisik dan Ceng
Ceng cepat meloncat turun, menyelinap di depan pondok itu dan bersembunyi di
tempat yang masih gelap. Percakapan yang didengarnya itu cukup baginya dan amat
mengejutkan. Jelas bahwa kedua orang itu tentulah mata-mata pemberontak yang
menyelinap dan berhasil menjadi perwira-perwira di situ, atau juga
perwira-perwira yang telah dibujuk oleh pihak pemberontak. Yang amat
mengejutkan hatinya adalah disebutnya Kim-ciangkun! Agaknya Kim-ciangkun juga
sekutu mereka! Jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan Souw Kee It yang
belum juga muncul setelah pengawal itu pergi mengunjungi Kim-ciangkun.
Kecurigaan besar timbul di dalam hatinya. Dia khawatir bahwa telah terjadi
sesuatu yang tidak baik menimpa diri pegawal itu. Akan tetapi Ceng Ceng maklum
bahwa dia menghadapi orang yang memiliki pasukan besar, yang tak mungkin
dilawannya begitu saja. Jalan satu-satunya adalah melapor secepatnya kepada
Jenderal Kao yang telah pergi. Dan orang berpakaian perwira itu agaknya akan
menyusul rombongan Jenderal Kao untuk melihat apakah rencana mereka berjalan
lancar. Ceng Ceng segera mengambil keputusan dan melihat perwira itu
berkelebat ke luar, cepat dia membayangi dari jauh.
Perwira itu keluar dari benteng, naik kuda dan
membalap ke arah utara! Ceng Ceng terpaksa menggunakan ilmu berlari cepat, akan
tetapi sebentar saja sudah tertinggal jauh dan akhirnya perwira berkuda yang
dibayanginya itu lenyap. Untung baginya bahwa jejak tapak kaki kuda yang
dikejarnya dapat dilihat jelas maka dia dapat terus melakukan pengejaran ke
utara dengan melihat tapak kaki kuda perwira itu.
Sementara itu, Jenderal Kao Liang dan tiga
belas orang pengawalnya telah tiba di daerah sumur maut. Dengan teliti
jenderal itu bersama para pengawalnya memeriksa keadaan di sekitar itu, namun
yang tampak hanyalah padang pasir yang luas, tidak kelihatan ada seorang pun
manusia. Sumur maut yang berada di tengah-tengah padang pasir itu pun sunyi
saja, hanya tampak dari jauh sebagai suatu lubang yang dikelilingi batu-batu
besar yang berserakan. Tidak ada suara apa-apa, tidak ada gerakan apa-apa.
Jenderal Kao telah memecah pasukan pengawalnya
menjadi empat untuk memeriksa di empat jurusan, namun mereka semua kembali
dengan tangan hampa, karena memang tidak terdapat seorang pun manusia di
sekitar daerah yang amat sunyi itu.
Setelah menanti sampai lama namun tidak juga
ada datang kepala-kepala suku seperti yang dikabarkan akan mengadakan pertemuan
rahasia di situ, Jenderal Kao mulai menjadi penasaran dan curiga. Apakah berita
itu hanya berita bohong belaka?
“Mari kita periksa sumur itu!” Akhirnya dia
berkata dan bergeraklah rombongan ini mendekati sumur.
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring disusul
suara derap kaki kuda. “Jangan mendekati sumur itu....!”
Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya
Ceng Ceng yang datang menunggang kuda dengan cepat sekali dan dara itu yang tadi
berteriak. Dara ini telah berhasil mengejar perwira berkuda ketika perwira itu
turun dari kudanya setelah tiba dekat daerah sumur maut dan selagi perwira itu
mengintai dari jauh, Ceng Ceng menyergapnya. Perwira itu berusaha melawan,
namun dia bukanlah lawan dara perkasa dari Bhutan ini, dan dengan mudah Ceng
Ceng berhasil merobohkannya. Karena perwira itu tetap membungkam ketika Ceng
Ceng berusaha membongkar rahasianya, akhirnya Ceng Ceng menotoknya lumpuh lalu
menggunakan kuda perwira itu untuk membalap dan menyusul Jenderal Kao. Melihat
keadaan yang amat sunyi di situ, dan melihat Jenderal Kao dan anak buahnya
bergerak mendekati sumur, Ceng Ceng menjadi curiga dan khawatir, maka dia lalu
berteriak memperingatkan jenderal itu.
Ketika Jenderal Kao Liang dan anak buahnya
terkejut dan menengok, tepat pada saat itu mereka melihat anak panah berapi
meluncur ke atas langit dari empat jurusan dan terdengar suara keras.
Batu-batu di sekitar sumur maut itu terpental dan dari bawahnya berlompatan ke
luar belasan orang, kemudian meluncurlah senjata-senjata rahasia dari tangan
mereka, seperti hujan menyerang kepada Jenderal Kao dan tiga belas orang
pengawalnya!
Mereka terkejut namun sebagai orang-orang
gagah yang sudah biasa menghadapi bahaya, mereka cepat mengelak dan mencabut
senjata masing-masing. Sementara itu, Ceng Ceng yang masih membalapkan
kudanya, tiba-tiba berteriak kaget, kudanya terjungkal roboh karena perut kuda
itu telah robek dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek yang tadinya bersembunyi
di bawah pasir. Kakek kurus yang berjenggot pendek dan kuncir rambutnya
melibat leher.
Dengan amat cekatan Ceng Ceng meloncat turun
sewaktu kudanya terjungkal, akan tetapi tiba-tiba dia sudah diserang oleh kakek
itu dengan pukulan-pukulan kedua tangan terbuka yang mendatangkan angin
bersiutan, tanda bahwa kedua tangan kakek itu mengandung tenaga sin-kang yang
amat kuat! Ceng Ceng berteriak marah, mengelak dan sudah mencabut keluar
sepasang pisau belatinya, membalas dengan serangan-serangan dahsyat.
Jenderal Kao dan anak buahnya juga sudah
menghadapi serbuan lima belas orang yang tadi bersembunyi di dalam pasir di
bawah batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi
yang sengaja didatangkan dari selatan untuk membunuh Jenderal Kao dan tiga
belas orang pengawalnya. Namun, jenderal yang gagah perkasa itu
berteriak-terlak seperti seekor singa, mengamuk dengan hebat bersama tiga belas
orang pengawalnya yang setia sehingga lima belas orang pembunuh bayaran itu
menjadi kewalahan, bahkan terdesak hebat. Dua orang sudah roboh oleh pedang
dan hantaman tangan jenderal perkasa itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari empat penjuru
tampak pasukan datang berkuda. Biarpun jumlah mereka tidak banyak, namun
setelah berkumpul, tidak kurang dari seratus orang anak buah suku bangsa liar
mengepung tempat itu dan langsung menyerbu dan mengeroyok Jenderal Kao Liang
dan anak buahnya!
Ceng Ceng menjadi terkejut bukan main. Kalau
tadi dia merasa agak lega melihat betapa para penjahat hanya berjumlah belasan
orang dan Jenderal Kao bersama anak buahnya adalah orang-orang pandai, sehingga
tidak khawatir akan kalah, kini melihat datangnya seratus orang liar itu dia
menjadi khawatir sekali. Kakek yang mendesaknya juga ternyata amat lihai.
“Haiiiiittttt....!” Ceng Ceng berteriak
nyaring, kedua pisaunya menyambar dari kanan kiri, menyilang dengan gerakan
berkelebat cepat seperti sambaran kilat. Menghadapi serangan dahsyat dan
bertubi ini, kakek itu melompat mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ceng
Ceng untuk lari menghampiri rombongan Jenderal Kao Liang.
Melihat gadis ini, Jenderal Kao tertawa,
“Ha-ha-ha, kau hebat sekali, Nona! Benar-benar aku merasa kagum dan andaikata
kita gagal membasmi mereka ini, melihat Nona yang begini gagah perkasa merupakan
penglihatan terakhir yang akan menjadi bekal menyenangkan ke alam baka!”
Diam-diam Ceng Ceng kagum sekali.
“Hyaaaattt....! Ceppp....! Desss....!” Dua
orang Mongol roboh oleh pisau dan tendangan kakinya. Setelah merobohkan dua
orang itu, sambil mengelak dan menangkisi hujan golok dan tombak, Ceng Ceng
menjawab, “Kao-ciangkun, pembantumu itu, Kim-ciangkun, telah memberontak....
dia agaknya yang mengatur semua ini. Engkau dijebak....”
“Prakkk! Desss!” Dua orang pengeroyok roboh
dengan kepala pecah dan leher hampir putus terkena hantaman tangan kiri
Jenderal Kao dan sambaran pedangnya.
“Hemm, sudah kuduga! Keparat tak mengenal
budi, pengkhianat hina itu! Mari kita basmi anjing-anjing ini, Nona. Baru kita
cari dan hancurkan kepala manusia she Kim yang keparat itu!”
Kedua orang itu mengamuk, juga tiga belas
orang pengawal setia. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Biarpun mereka
berhasil merobohkan puluhan orang musuh, namun akhirnya, seorang demi seorang
roboh dan tewaslah tiga belas orang pengawal Jenderal Kao yang gagah perkasa
dan setia itu. Hanya tinggal jenderal itu bersama Ceng Ceng yang masih terus
melakukan perlawanan, bahu-membahu dan saling melindungi. Mereka berdua pun
sudah mengalami luka-luka dan pakaian mereka sudah berlepotan darah, darah
para pengeroyok yang mereka tewaskan dan darah mereka sendiri!
Sepasang mata jenderal itu melotot lebar,
penuh keganasan, akan tetapi mulutnya tersenyum setiap kali dia melirik ke
arah Ceng Ceng. “Engkau hebat.... wah, engkau hebat....! Hanya tinggal kita
berdua yang masih hidup. Mari klta berlomba, siapa yang lebih banyak
merobohkan lawan. Ha-ha-ha!” Sambil tertawa-tawa jenderal itu memutar-mutar
pedangnya dengan dahsyat, sedangkan Ceng Ceng yang sudah lelah sekali itu pun
menggerakkan kedua pisaunya untuk melindungi tubuhnya dan untuk mencari
sasaran pada tubuh para pengeroyoknya yang masih bersisa tiga puluh orang
lebih. Ternyata bahwa dalam perang kecil yang tidak seimbang ini, Jenderal
Kao, Ceng Ceng, dan tiga belas orang pengawalnya telah berhasil merobohkan
tujuh puluh orang lebih!
Namun, kedua orang tua dan muda yang gagah
perkasa itu sudah terlalu lelah dan terlalu banyak kehilangan darah yang
keluar dari luka-luka mereka. Biarpun jenderal itu masih tertawa-tawa membesarkan
hati Ceng Ceng, namun gerakannya sudah lemah dan serbuan hebat dari kakek tua
yang melawan Ceng Ceng tadi, dibantu oleh empat orang yang cukup lihai, membuat
tangkisan pedang Jenderal Kao kurang kuat dan pedangnya terpental, terlepas
dari tangannya.
Pada saat itu terdengarlah suara melengking
panjang dan nyaring sekali, seperti suara burung rajawali atau garuda yang
sedang marah datangnya dari arah selatan. Namun, Ceng Ceng tidak sempat
memperhatikan suara melengking nyaring itu karena dia terkejut bukan main
melihat Jenderal Kao terguling roboh di dekat Sumur Maut. Sebelum jenderal
itu dapat bangkit kembali, dua orang menubruknya dan mengangkat tubuh jenderal
itu, kemudian dilemparkan ke arah Sumur Maut yang siap untuk mencaplok apa saja
yang memasukinya!
“Heiiiiittt....!” Ceng Ceng menyambitkan dua
batang pisaunya dan tepat sekali dua batang pisau itu menancap ke dalam lambung
dua orang yang mengangkat tubuh Jenderal Kao, mereka roboh, akan tetapi tubuh
jenderal itu sudah terlempar ke arah sumur!
Ceng Ceng berteriak keras, tubuhnya mencelat
ke depan mendahului tubuh Jenderal Kao, kakinya menendang dan tubuh jenderal
yang tinggi besar itu berhasil dapat ditendangnya, terpental keluar dari mulut
Sumur. Akan tetapi, hasil yang menyelamatkan nyawa Jenderal Kao ini ditebus
dengan pengorbanan diri Ceng Ceng sendiri. Karena menendang tubuh berat dalam
keadaan masih meloncat, tubuh dara perkasa itu terjengkang dan tepat terjatuh
masuk ke dalam mulut Sumur Maut yang terbuka lebar, gelap dan mengerikan!
“Nona Ceng Ceng....!” Jenderal Kao menjerit.
Akan tetapi sia-sia saja, tubuh dara itu telah lenyap dan tidak terdengar
apa-apa lagi dari dalam sumur.
“Keparat, kalian membunuhnya! Jahanam busuk,
kalian harus mampus semua!” Jenderal itu dengan suara serak karena menahan
keperihan dan keharuan hatinya melihat Ceng Ceng yang menolongnya menjadi
korban terjeblos ke dalam Sumur Maut, berteriak seperti seekor singa terluka
kemudian dengan kedua tangan kosong dia mengamuk seperti seekor naga marah.
Hatinya terasa sakit bukan main. Dia merasa amat kagum melihat kegagahan Ceng
Ceng, kekaguman yang menimbulkan rasa sayang kepada dara remaja itu. Tidak ada
yang dapat menimbulkan kekaguman pada hati jenderal yang keras ini kecuali
kegagahan, dan apa yang diperlihatkan oleh Ceng Ceng benar-benar menimbulkan
kesan mendalam di hati jenderal ini. Sekarang, dia melihat dara itu tewas,
terjeblos ke dalam Sumur Maut dan hal ini terjadi karena gadis itu
menyelamatkannya. Tentu saja hal ini selain mendatangkan keharuan, juga membuat
dia merasa sakit hati sekali, maka mengamuklah dia dengan nekat tanpa
memperdulikan keselamatan dirinya sendiri! Pada saat itu, Kao Liang bukan lagi
seorang jenderal yang selalu mempergunakan siasat dalam perang, melainkan
seorang pria yang sakit hati melihat orang yang dikagumi dan disayangnya
seperti anak sendiri, tewas di depan matanya!
Biarpun tubuhnya sudah luka-luka, namun dengan
kedua tangan kosong jenderal ini mengamuk dan robohlah berturut-turut enam
orang pengeroyok terdekat. Akan tetapi, kini kakek lihai dan bebarapa orang
temannya yang juga memiliki kepandaian tinggi mengurungnya dan mendesaknya
dengan serangan senjata mereka secara bertubi-tubi sehtngga Jenderal Kao
terdesak hebat. Dalam belasan jurus saja panglima yang perkasa ini telah
menderita luka-luka baru lagi. Dia sedikit pun tidak mengeluh, bahkan
berteriak-teriak penuh kemarahan dan siap untuk mengadu nyawa.
Suara melengking nyaring terdengar dan keadaan
menjadi kacau ketika tiba-tiba semua orang yang mengepung dan mendesak Jenderal
Kao terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir. Para pengeroyok terkejut
melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bercaping lebar, menggunakan
capingnya itu untuk mengamuk dan siapa pun yang terdekat pasti roboh oleh tamparan
capingnya itu! Senjata-senjata tajam beterbangan terlepas dari pegangan
pemiliknya disusul robohnya para pengeroyok.
Melihat munculnya orang yang demikian
lihainya, maklumlah para kaki tangan pembecontak bahwa usaha mereka membunuh
Jenderal Kao telah gagal. Timbul rasa gentar di hati mereka dan tanpa dikomando
lagi, larilah sisa pemberontak itu meninggalkan gelanggang di mana berserakan
teman-teman mereka yang menjadi korban pengamukan Ceng Ceng, Jenderal Kao dan
tiga belas orang pengawalnya, dan yang terakhir laki-laki bercaping lebar itu.
Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng,
pendekar yang sakti. Bersama Puteri Syanti Dewi, Gak Bun Beng tiba di tempat
itu dan segera turun tangan menolong ketika melihat Jenderal Kao dikeroyok
banyak orang dalam keadaan terluka. Tak lama kemudian, Syanti Dewi muncul pula
dan wajah puteri itu membayangkan kengerian menyaksikan banyak orang yang
tewas dan terluka. Tempat itu bergelimang darah dan peuh dengan suara rintihan
mereka yang terluka dan belum tewas.
Ketika Jenderal Kao melihat siapa yang telah
menolongnya, dia menjadi girang dan cepat menghampiri Gak Bu Beng. “Aha,
kiranya kalian pula yang muncul dan menyelamatkan aku dari ancaman maut!
Bukankah engkau ini sahabat Gak Bun Beng yang pernah kujumpai di barat?”
Gak Bun Beng menjura dan berkata, “Benar,
Kao-taigoanswe, saya adalah Gak Bun Beng yang datang bersama anak saya dan
kebetulan dapat membantu goanswe menghadapi para pemberontak itu.”
“Terima kasih.... terima kasih, engkau memang
gagah perkasa....” Tiba-tiba jenderal itu menghentikan kata-katanya, mendekati
sumur dan melongok-longok ke dalam sumur, menarik napas panjang dan
menggeleng-geleng kepala.
“Aihhhh.... sungguh kasihan.... menyesal bahwa
engkau tidak datang lebih pagi, Gak-enghiong (orang gagah she Gak). Sayang dia,
seorang gadis yang luar biasa, gagah perkasa dan berbudi, penuh keberanian,
muda, cantik dan pandai, terpaksa harus mengalami nasib begini mengerikan....”
Dengan kepalan tangannya, jenderal itu mengusap dua butir air mata dari bawah
matanya!
Bun Beng mengerutkan alisnya. “Apakah
maksudmu, Taigoanswe? Siapakah yang kaubicarakan itu?”
“Engkau tidak tahu dan tentu tidak
mengenalnya. Dia seorang dara perkasa dari barat, dari Bhutan....”
Tiba-tiba Syanti Dewi meloncat ke depan
jenderal itu dan dengan suara penuh wibawa dia bertanya, “Siapa dia? Siapa dara
itu? Cepat katakan padaku!”
Jenderal Kao memandang heran. Sejak pertemuan
pertama dahulu dia sudah merasa heran mengapa anak dari orang she Gak ini
demikian cantik dan halus, demikian agung sikapnya, dan jelas pula bukan orang
Han. Kini, menyaksikan sikapnya ketika bertanya, mengingatkan dia akan sikap
puteri-puteri istana saja! Namun, karena tidak enak terhadap Gak Bun Beng, dia
menjawab juga.
“Nona itu bernama Lu Ceng....”
Syanti Dewi menjerit, matanya terbelalak
memandang ke Sumur Maut itu. “Lu Ceng....? Candra Dewi....? Dan.... dia....
dia.... di manakah dia....?”
Jenderal Kao makin kaget. Dengan mata masih
menatap wajah Syanti Dewi penuh selidik, dia menjawab, “Untuk menolongku, dia
telah mengorbankan dirinya dan terjatuh ke dalam sumur maut ini.”
Kembali Syanti Dewi menjerit dan sekali ini
dia menjatuhkan diri berlutut di dekat sumur maut sambil menangis tersedu-sedu,
Bun Beng juga terkejut karena dia sudah mengenal nama Lu Ceng atau Candra Dewi
dari Puteri Bhutan ini. Akan tetapi Jenderal Kao yang menjadi terkejut dan
terheran-heran. Sambil menghadapi Bun Beng dia bertanya, “Gak-enghiong, apakah
artinya ini?”
“Nona Lu Ceng adalah saudara angkat dari
Puteri Syanti Dewi, dan terus terang saja, Tai-goanswe, yang menyamar sebagai
anakku ini adalah Sang Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dikejar-kejar
pemberontak.”
“Ahhh....!” Jenderal Kao terkejut bukan main.
Tentu saja dia sudah mendengar pula akan nama Syanti Dewi, puteri raja Bhutan
yang akan dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong dan yang hilang di dalam
perjalanan ketika diboyong. Kiranya puteri ini masih selamat, tertolong oleh
pendekar yang bernama Gak Bun Beng ini.
“Kao-goanswe, sudah lamakah nona itu
terjerumus ke dalam sumur?” Gak Bun Beng bertanya setelah sejenak memandang ke
arah sumur itu.
“Baru saja,” jawab jenderal itu dengan suara
serak karena dia menjadi makin terharu setelah melihat Puteri Bhutan itu
menangisi kematian Ceng Ceng.
“Kalau begitu, biar saya mencoba untuk
mencarinya!” Gak Bun Beng cepat lari mencari tali yang banyak terdapat di
antara para korban suku Bangsa Mongol karena mereka itu sudah biasa membawa
tali untuk keperluan di dalam perantauan mereka, lalu menyambung-nyambung tali
itu dan kembali ke dekat sumur di mana Jenderal Kao menantinya dengan heran.
“Gak-enghiong, apa yang akan kaulakukan?”
tanyanya.
“Saya hendak mencarinya di dalam sumur, harap
Goanswe suka memegangi tambang ini agar dapat menolong saya kalau di bawah sana
terdapat bahaya.”
“Aihh, harap Gak-enghiong jangan melakukan
ini!” Jenderal itu berseru kaget. “Sumur ini terkenal sebagai sumur maut dan
siapa saja, apa saja yang masuk ke dalamnya, tidak pernah keluar lagi.”
“Betapapun berbahayanya, saya akan mencoba
untuk mencarinya dan setidaknya memeriksa di sebelah dalam. Siapa tahu
kalau-kalau nona Lu masih dapat ditolong.”
“Paman.... Paman Gak.... benarkah saudaraku
Candra Dewi masih dapat ditolong?”
“Mudah-mudahan saja.”
“Tapi.... tapi Paman sendiri? Jangan-jangan
akan terancam bahaya di bawah sana....” puteri itu bergidik ngeri. “Kalau
berbahaya.... harap jangan turun ke sana....” Dia bangkit, menghampiri Gak Bun
Beng dan memegang tangan pendekar itu.
Gak Bun Beng tersenyum. “Tenangkanlah hatimu,
Dewi. Di sini terdapat Kao-goanswe yang akan memegangi ujung tali. Andaikata
aku terancam bahaya, masih dapat ditolong.”
Akhirnya jenderal itu dan Syanti Dewi tidak
membantah lagi, melainkan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar
penuh ketegangan ketika mereka melihat betapa Gak Bun Beng mulai menuruni
sumur yang kelihatan menganga hitam dan tidak dapat dilihat dasarnya itu.
Jenderal Kao memegangi ujung tali dengan kuat, mengulur tali sedikit demi
sedikit ketika Bun Beng sudah mulai menuruni sumur. Sebentar saja, dua orang
itu tidak lagi melihat bayangan Bun Beng yang lenyap ditelan kegelapan yang
hitam pekat di dalam sumur itu. Syanti Dewi berlutut di tepi mulut sumur sambil
memandang dan kedua tangannya dirangkap di depan dada karena diam-diam dia
berdoa demi keselamatan pendekar sakti itu dan demi tertolongnya Ceng Ceng.
“Aahhhhh....!” Tiba-tiba Jenderal Kao berseru
kaget, wajahnya berubah dan cepat-cepat dia menarik tambang itu dengan kedua
tangannya secepatnya. Tadi, ketika dia mengulur tambang sampai hampir habis,
tiba-tiba saja tambang itu menegang dan terasa berat, tidak bergerak lagi!
Syanti Dewi memandang terbelalak dan pucat mukanya.
Biarpun dia sudah terluka, jenderal itu masih
kuat sekali sehingga sebentar saja dia sudah dapat menarik keluar tubuh Gak Bun
Beng dari dalam sumur. Tubuh yang tergantung pada ujung tambang yang mengikat
pinggangnya dan ternyata pendekar itu telah pingsan dengan muka pucat dan
kulit muka serta leher dan kedua tangannya agak kehitaman!
“Paman....!” Syanti Dewi hendak menubruk tubuh
pingsan yang kini direbahkan di atas tanah itu, akan tetapi Jenderal Kao cepat
mencegahnya.
“Harap paduka mundur, dia keracunan, biar
kucoba menyadarkannya!”
Mendengar ini, Syanti Dewi yang gelisah
sekali itu hanya dapat memandang dengan air mata bercucuran, sedangkan Jenderal
Kao yang berpengalaman itu lalu menempelkan kedua telapak tangan di dada dan
perut Gak Bun Beng, mengerahkan sin-kangnya membantu pendekar itu untuk dapat
bernapas lagi dan mengusir hawa beracun dari dalam dadanya. Akhirnya Bun Beng
dapat bernapas kembali dan mengeluh, lalu bangkit dan duduk, memegangi
kepalanya yang terasa pening. Ketika dia membuka mata dan melihat Syanti Dewi
menangis, dia berkata, “Tenanglah, Dewi. Aku tidak apa-apa.” Kemudian kepada
Jenderal Kao dia berkata, “Di bawah sana gelap sama sekali, dan dalamnya sukar
diukur. Selagi aku masih tergantung, tiba-tiba ada tercium bau yang aneh dan
napasku menjadi sesak, lalu tidak ingat apa-apa lagi.”
Jenderal itu mengangguk-angguk. “Itu tentulah
gas yang keluar dari dalam bumi. Sudah jelaslah nasib nona Lu.... kasihan
dia....”
“Dia.... dia.... telah mati....” Syanti Dewi
menangis lalu berlutut di tepi sumur. Sejenak mereka bertiga memandang ke
dalam sumur dan seperti mengheningkan cipta. Barulah mereka sadar ketika
terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan dari benteng di bawah pimpinan
seorang perwira yang setia terhadap Jedecal Kao. Perwira itu bernapas lega
melihat atasannya selamat, kemudian menceritakan betapa wakil Panglima Kim
telah melarikan diri begitu mendengar akan kegagalan rencananya. Juga dia
melaporkan bahwa Pengawal Souw Kee It yang datang bersama Ceng Ceng ternyata
telah dibunuh oleh Panglima Kim sendiri yang memimpin pemberontakan.
Jenderal Kao mengepal tinjunya. “Tak kusangka!
Akan tetapi, aku bersumpah untuk menangkap dan menghukum jahanam she Kim itu!”
Dia mendendam hebat karena menganggap bahwa kematian Ceng Ceng adalah gara-gara
pengkhianatan Kim Bouw Sin. Bahaya yang mengancam dirinya sendiri, yang hampir
menewaskannya, tidak teringat lagi olehnya karena sebagai seorang panglima
yang telah puluhan tahun berkecimpung di dalam ketenteraan, ancaman maut
baginya merupakan hal yang biasa saja. Akan tetapi kematian Ceng Ceng, hal itu
sukar untuk dapat dilupakan oleh jenderal perkasa ini.
Jenderal Kao lalu mengajak Gak Bun Beng dan
Puteri Syanti Dewi yang diliputi kedukaan itu ke bentengnya untuk diajak
berunding. Bagaimanakah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi dapat datang di sumur maut
dan berhasil menyelamatkan Jenderal Kao sungguhpun mereka agak terlambat
sehingga tidak dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Untuk mengetahui hal ini,
sebaiknya kita mundur dulu untuk mengikuti perjalanan dan pengalaman mereka
yang hebat-hebat sampai mereka tiba di sumur maut itu.
***
Seperti kita ketahui, Gak Bun Beng melakukan
perjalanan dengan susah payah bersama Syanti Dewi, meninggalkan kota raja
menuju ke timur karena pendekar sakti itu jatuh sakit keras setelah jantungnya
terguncang hebat dalam perjumpaannya dengan kekasihnya, yaitu Puteri Milana
yang kini telah menjadi isteri orang lain.
Perjalanan ke utara itu bukan main sukarnya
bagi Syanti Dewi. Gak Bun Beng benar-benar terserang penyakit yang payah. Sakit
luar dalam! Sakit badan karena dia mengalami pukulan-pukulan dahsyat dari Siang
Lo-mo, iblis kembar yang amat lihai itu. Sakit hatinya karena perjumpaannya
dengan Milana membuat hati yang terluka itu pecah kembali! Semua ini masih
ditambah lagi oleh keharuan dan kegelisahan hatinya menyaksikan sikap Syanti
Dewi kepadanya. Sikap seorang wanita muda yang membuat dia amat khawatir karena
melihat gejala-gejala yang mencemaskan hatinya bahwa Puteri Bhutan itu telah
jatuh cinta kepadanya! Hal ini membuat penyakit dalam di hatinya makin parah
dan otomatis membuat dia makin berhutang budi kepada puteri itu karena makin
parah sakitnya, makin tekun dan penuh ketelitian lagi sang puteri merawat dan
menjaganya.
Luka yang diderita Bun Beng cukup parah, dan
selama ini tidak diobati sama sekali, maka tentu saja keadaannya menjadi
bertambah parah dan lemah. Andaikata hatinya tidak terluka sehebat itu, tentu
dengan kepandaiannya yang tinggi, pendekar ini mampu mengobati luka dalam
akibat pukulan sepasang iblis itu. Akan tetapi, keadaan hatinya membuat dia
seolah-olah tidak perduli lagi akan penderitaan tubuhnya. Andaikata tidak ada
Syanti Dewi, tentu dia tidak mau melanjutkan perjalanan, dan akan menyerah
kepada nasib dan bersembunyi di dalam hutan.
“Dewi, kau banyak mengalami kesengsaraan....
aku membuat kau menjadi sengsara saja....”
“Paman, jangan berkata demikian.”
“Betapapun juga, aku harus dapat membawamu
menghadap Jenderal Kao Liang, baru akan tenang rasa hatiku akan tetapi.... ah,
kesehatanku makin memburuk, padahal perjalanan ini tidak boleh
ditunda-tunda....”
“Jangan khawatir, Paman. Aku akan
merawatmu....”
Akan tetapi keadaan Bun Beng makin memburuk
sehingga pada suatu hari dia tidak kuat berjalan lagi! Pendekar ini maklum
bahwa kalau sampai dia mati sebelum bertemu dengan Jenderal Kao Liang, Syanti
Dewi akan hidup tanpa pengawal dan keselamatannya terancam.
“Dewi, kaubuatiah alat penyeret dari bambu....
kita harus melanjutkan perjalanan....”
“Aduh, Paman.... sakitmu bertambah parah,
bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan? Marilah kita beristirahat dulu
di hutan ini, biar aku yang merawat sampai Paman sembuh baru kita melanjutkan
perjalanan ini.”
“Tidak! Harus dilanjutkan sampai tiba di
benteng Jenderal Kao! Setelah tiba di sana, tentu aku akan mendapat perawatan
dan pengobatan. Sebelum tiba di sana, bagaimana hatiku dapat tenteram?”
Sesungguhnya, Bun Beng ingin segera tiba di
benteng Jenderal Kao adalah karena dia mengkhawatirkan keadaan Syanti Dewi,
sama sekali bukan karena dia ingin memperoleh pengobatan. Terpaksa Syanti Dewi
tidak berani mtmbantah dan gadis ini lalu membuat alat penyeret dan
melanjutkan perjalanan sambil menyeret tubuh pendekar itu yang rebah telentang
di atas anyaman bambu yang menjadi alat penyeret itu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya
dara itu melakukan perjalanan seperti ini. Padahal mereka melalui gunung-gunung
dan daerah-daerah tandus, melalui jalan yang amat sukar. Seorang puteri raja
yang biasanya hidup mewah dan segala dilayani, segala tersedia, kini harus
melakukan perjalanan sambil menyeret orang sakit seperti itu, mencari makan di
tengah jalan yang tandus dan merawat orang sakit, dapat dibayangkan betapa
hebat penderitaannya. Namun, Syanti Dewi tidak pernah mengeluh dan selalu
mendahulukan kepentingan Bun Beng daripada kebutuhan dirinya sendiri. Dia
kurang makan, kurang tidur, kelelahan sampai tubuhnya menjadi kurus dan
wajahnya agak pucat, kedua telapak tangannya yang memegang bambu seretan
menjadi tebal dan kulit mata kakinya lecet-lecet!
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Syanti Dewi
sudah menyeret tubuh Bun Beng keluar dari sebuah hutan di mana semalam mereka
bermalam di bawah pohon besar, dan kini dara itu mendaki daerah pegunungan yang
penuh batu karang sehingga pagi-pagi sudah berpeluh. Tanah pegunungan penuh
batu itu kelihatan tandus, pohon dan tetumbuhan tidak dapat hidup subur,
apalagi pada waktu itu telah tiba musim kering sehingga rumput-rumput pun
menguning kering dan kehausan.
Ketika Syanti Dewi menuruni sebuah puncak batu
karang dan tiba pada sebuah tikungan, tampaklah olehnya di depan, sebuah
dataran dan dari jauh kelihatan gerakan beberapa orang yang sedang bertempur.
“Paman Gak, ada orang bertempur di depan
sana!” dara itu berkata sambil berhenti.
“Hadapkan aku ke sana, Dewi.” Bun Beng berkata
lirih.
Syanti Dewi memutar alat penyeret itu sehingga
Bun Beng dapat melihat ke depan. Setelah memandang sebentar, pendekar sakti
yang sedang sakit itu berkata, “Jalan saja terus dan jangan pedulikan mereka,
Dewi. Biarpun si kecil itu dikeroyok tiga, dia tidak akan kalah.”
Syanti Dewi melanjutkan perjalanannya,
matanya memandang ke arah orang-orang yang bertempur dan merasa heran sekali.
Yang bertanding adalah empat orang dan merupakan pertempuran berat sebelah dan
tidak adil karena seorang di antara mereka, seorang kanak-kanak, dikeroyok oleh
tiga orang dewasa! Panas juga hati Syanti Dewi menyaksikan betapa seorang anak
kecil yang melihat tingginya tentu tidak akan lebih dari dua belas tahun
usianya, yang hanya membawa sebatang ranting, dikeroyok oleh tiga orang tua
yang gerakannya lihai bukan main. Akan tetapi anehnya, anak kecil itu sama
sekali tidak kewalahan, bahkan dengan gerakan rantingnya yang amat cepat, yang
dimainkan seperti sebatang pedang, anak itu berhasil mendesak tiga orang pengeroyoknya!
Karena Gak Bun Beng sudah menyuruhnya agar
tidak memperdulikan mereka, maka ketika tiba di dataran itu, Syanti Dewi terus
berjalan sambil menyeret tubuh pedekar yang sedang sakit itu, sama sekali tidak
mengeluarkan suara dan bahkan tidak menengok ke arah empat orang yang
bertempur itu.
Akan tetapi, ketika tiga orang lihai yang
sedang mengeroyok anak kecil itu melihat Bun Beng dan Syanti Dewi, mereka
mengeluarkan seruan girang, meloncat ke belakang menjauhi anak kecil yang
mereka keroyok, lalu lari menghampiri Syanti Dewi dan menjatuhkan diri
berlutut di depan dara itu sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat.
Tentu saja Syanti Dewi menjadi terkejut dan heran melihat ini, bingung karena
tidak tahu apa artinya semua itu. Otomatis dia berhenti.
“Dewi, hadapkan aku kepada mereka.” Bun Beng
berkata lirih dan Syanti Dewi lalu memutar bambu penyeretnya sehingga pendekar
itu rebah terlentang menghadapi tiga orang yang masih berlutut.
“Harap Lociapwe (orang tua yang gagah) sudi
memaafkan kami bertiga yang tidak mengadakan penyambutan karena tidak tahu akan
keadaan Locianpwe.” Seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, berkata
dehgan sikap dan suara amat menghormat.
Bun Beng mengerutkan alisnya. Dia mengerti
bahwa orang-orang ini tentulah “salah alamat” dan mengira dia seorang lain.
Akan tetapi sebelum dia menjawab, dengan sekali gerakan kaki saja “anak kecil”
itu sudah meloncat dekat dan sekarang tampaklah oleh Syanti Dewi kenyataan
yang sudah dilihat oleh Bun Beng dari jauh tadi bahwa “anak kecil” itu
sebetulnya bukanlah anak-anak lagi, melainkan seorang tua yang bertubuh kecll
dan wajahnya kekanak-kanakan pula!
“Hei, kalian tiga orang Pek-san-pai
(Perkumpulan Pegunungan Putih) yang pengecut! Hayo lanjutkan pertandingan kita,
ataukah kalian hendak mengajukan orang mau mampus ini sebagai jago? Kalau benar
demikian, hayo cepat maju dan lawanlah aku!”
Melihat orang tua bertubuh kanak-kanak ini
yang bersifat sombong, Bun Beng mengurungkan niatnya untuk mengaku bahwa tiga
orang itu salah mengenai orang. Dia kini diam saja dan mendengarkan sambil
melihat keadaan. Tiga orang itu cepat menoleh dan berkata kapada si kecil,
“Engkau orang tua adalah jago undangan Hek-san-pai (Perkumpulan Pegunugan
Hitam), akan tetapi hari ini bukanlah saatnya kita bertanding. Engkau
mendesak kami, sungguh ini melanggar peraturan! Saat hari pertandingan adalah
besok, di Jembatan Angkasa, akan tetapi mengapa kau mendesak kami?”
“Ha-ha-ha, katakan saja bahwa kalian takut!
Pertandingan diadakan sekarang atau besok apa bedanya? Kalau kalian takut,
lekas suruh ketua kalian maju, boleh juga kalau mengeroyok aku!”
Tiga orang itu kelihatan marah, akan tetapi
juga tampak bahwa mereka itu memang merasa jerih menghadapi si kecil yang amat
lihai itu, maka mereka kini memandang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh
harapan. Melihat ini, Bun Beng dengan susah payah bangkit duduk di atas anyaman
bambu itu, memandang kepada si kecil dan berkata, “Kalau aku boleh bertanya,
benarkah sudah dijanjikan bahwa saat pertandingan adalah besok pagi di Jembatan
Angkasa?”
Melihat sinar mata Bun Beng yang amat tajam
dan suaranya yang penuh wibawa, si kecil itu kelihatan ragu-ragu dan menjawab,
“Benar, memang saatnya besok di Jembatan Angkasa, akan tetapi kalau sama
beraninya, sekarang pun, di tempat ini pun kita dapat mengadu ilmu, mengukur
kegagahan!” Sambii berkata demikian, orang tua yang seperti anak-anak itu
memutar ranting di antara jari-jari tangannya sehingga lenyaplah ranting itu,
berubah menjadi segulungan sinar hijau.
“Sobat,” Gak Bun Beng berkata dengan suara
halus namun sikapnya serius dan pandang matanya berwibawa, “seorang yang gagah
perkasa tidak akan memamerkan kegagahannya, seorang yang mengerti tidak
menonjolkan pengertiannya. Akan tetapi engkau terlalu mengandalkan
kepandaianmu sehingga tidak lagi memandang kepada orang lain. Seorang yang
jantan akan selalu memegang janji yang dihargainya lebih dari nyawa, akan
tetapi engkau agaknya lebih suka melanggar janji antara dua partai. Kegagahan
seseorang bukanlah diukur dari keberaniannya berkelahi, karena sesungguhnya
keberanian berkelahi yang nekat dan konyol hanyalah membuktikan bahwa dia
dihantui rasa takut dan khawatir. Takut kalah, khawatir dianggap tidak gagah,
khawatir tidak akan dipuji, khawatir tidak akan memperoleh nama besar, dan
sebagainya lagi. Sobat yang baik, apakah engkau yang menurut percakapan tadi
adalah seorang jago undangan dari Hek-san-pai, ingin disebut seorang yang
nekat dan hanya berani karena merasa lebih kuat, dan seorang yang suka
melanggar janji?”
Wajah si kecil itu sebentar pucat sebentar
merah. Ranting di tangan kanannya menggigil, tangan kirinya yang kecil
dikepal-kepal, matanya berapi dan dia sesungguhnya marah sekali. Akan tetapi
karena apa yang diucapkan orang sakit itu tak dapat dibantah kebenarannya,
sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya dia membanting ranting di atas
tanah, diinjaknya dan dia meludah di tanah, lalu berkata, “Orang
berpenyakitan! Aku menunggu kedatanganmu di atas Jembatan Angkasa besok. Hendak
kulihat apakah kepandaianmu selihai mulutmu. Huhh!” Dia membalikkan tubuhnya
dan dengan beberapa kali loncatan saja si kecil itu sudah lenyap dari tempat
itu.
Gak Bun Beng menarik napas panjang dan
diam-diam merasa menyesal sekali karena kata-katanya yang dimaksudkan untuk
menyadarkan orang bertubuh kecil itu, ternyata hanya mampu mengurungkan niat
orang kecil itu untuk memaksa tiga orang lawannya berkelahi, akan tetapi bahkan
mendatangkan rasa dendam di hati si orang kecil. Dia memandang kepada tiga orang
yang masih berlutut di depannya, lalu bertanya, “Harap sam-wi (saudara bertiga)
sudi menjelaskan apakah sebenarnya yang telah terjadi di sini?”
Syanti Dewi merasa lega juga melihat bahwa
pamannya berhasil mengusir orang kecil tadi tanpa pertandingan, maka dia pun
lalu duduk di atas tanah dekat pamannya, mendengarkan penuturan orang berkumis
tebal yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) dari dua orang lainnya.
Di pegunungan itu tinggal dua orang kakak dan
adik seperguruan yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi karena guru mereka
menurunkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan bakat masing-masing,
timbullah rasa iri hati di dalam hati masing-masing, mengira bahwa guru mereka
lebih sayang kepada saudara seperguruannya. Perasaan iri hati dan bersaing
ini terus tumbuh dengan subur dan setelah guru mereka meninggal dunia, kedua
orang kakak beradik ini berpisah dan akhirnya si suheng (kakak seperguruan)
tinggal di Hek-san (Gunung Hitam) sedangkan si sute (adik seperguruan) tinggal
di Pek-san (Gunung Putih). Hek-san dan Pek-san sebetulnya masih satu daerah
pegunungan, hanya berbeda puncak yang berwarna hitam dan putih. Hek-san
berwarna hitam karena batu karang hitam yang keras memenuhi puncak itu,
sedangkan Pek-san berwarna putih karena puncaknya banyak mengandung batu kapur.
Kedua orang lihai ini akhirnya menerima murid-murid dan berdirilah dua buah
perkumpulan yang dinamakan menurut nama puncak masing-masing yaitu Hek-san-pai
dan Pek-san-pai.
Persaingan atau permusuhan secara diam-diam
itu berlangsung terus dan akhirnya meledak menjadi permusuhan terbuka karena
mereka yang kini mempunyai banyak anggauta itu membutuhkan air untuk keperluan
sehari-hari dan terutama sekali untuk keperluan sawah ladang mereka. Padahal
air yang amat dibutuhkan itu hanya terdapat di bawah Jembatan Angkasa yang
merupakan sumber yang tak pernah kering. Terjadilah bentrokan-bentrokan kecil
memperebutkan air, yang kemudian makin lama menjadi makin hebat sehingga kakak
dan adik seperguruan itu sendiri turun tangan sendiri bertanding di atas
jembatan gantung, disaksikan oleh para murid mereka! Betapapun juga, kedua
orang ini masih ingat akan sumpah mereka di depan mendiang guru mereka bahwa
mereka dilarang keras untuk saling membunuh, maka dalam pertandingan ini mereka
berdua menjaga agar jangan sampai lawan yang masih saudara seperguruan sendiri
itu tewas! Akhirnya, sang sute kalah dan menderita luka-luka. Karena dia tidak
dibunuh, maka dia menaruh dendam dan menantang untuk bertanding lagi setahun
kemudian.
Demikianlah, permusuhan yang aneh ini
berlangsung terus sampai dua tiga keturunan mereka. Setiap tahun diadakan
pertandingan di antara mereka, jago melawan jago untuk menentukan siapa yang
unggul. Mereka yang menang dianggap menguasai mata air di bawah Jembatan
Angkasa dan menentukan pembagian air untuk keperluan mereka sampai ada
keputusan tahun depan dalam pertandingan mendatang!
“Hari pertandingan tahun ini jatuh pada hari
besok, Locianpwe,” si kumis tebal mengakhiri ceritanya. “Telah bertahun-tahun
lamanya, karena ingin mencapai kemenangan, kedua pihak tidak puas dengan jago
golongan sendiri dan mulailah mendatangkan jago dari luar kalangan sendiri.
Tahun ini, pihak Hek-san-pai telah mendatangkan jago orang yang bertubuh kecil
tadi, yang berjuluk Sin-kiam Lo-thong (Anak Tua Pedang Sakti). Baru menggunakan
ranting saja, kami bertiga murid-murid kepala Pek-san-pai tidak dapat
menandinginya, apalagi kalau dia menggunakan pedang!”
“Hemm, lalu mengapa kalian yang tidak
mengenalku begitu berjumpa telah memberi hormat berlebihan?”
“Biarpun belum pernah bertemu, kami tahu bahwa
Locianpwe tentulah Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Tangan Sakti) dari puncak
Ci-lan-kok (Lembah Bunga Cilan). Ketua atau guru kami telah mengundang
Locianpwe, maka begitu Locianpwe muncul kami telah mengenal Locianpwe yang
tahun ini diundang oleh suhu (guru) sebagai jagoan kami.”
Bun Beng tersenyum. Kiranya orang-orang ini
telah salah menduganya sebagai seorang tokoh yang bernama Sin-ciang Yok-kwi dan
yang dicalonkan sebagai jago pihak Pek-san-pai. Dia tidak ingin mencampuri
urusan ini, akan tetapi karena melihat bahwa orang kecil tadi memang lihai
dan tentu pihak Pek-san-pai akan kalah, dia ingin melihat perkembangan lebih
jauh. Pula, timbul niat di hatinya untuk mengusahakan perdamaian di antara
perkumpulan yang masih bersaudara itu.
“Aku bukan Sin-ciang Yok-kwi, akan tetapi aku
kebetulan lewat dan biarlah aku akan menonton besok. Kalau Yok-kwi yang kalian
tunggu itu tidak muncul, aku akan mengusahakan agar tidak ada pertumpahan
darah.”
Tiga orang itu girang sekali. Biarpun mulut
mereka tidak mengatakan sesuatu namun pandang mata mereka saling bertemu dan
saling maklum. Bagi mereka, tidak salah lagi bahwa tentu orang sakti ini adalah
Sin-ciang Yok-kwi! Ciri-cirinya sama! Biarpun mereka belum pernah jumpa dengan
kakek setan obat itu, namun kabarnya Yok-kwi adalah seorang yang berpenyakitan
dan yang sama sekali tidak pernah mau mengakui namanya sendiri, tidak mau
mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi! Tentu saja mereka tidak pernah dapat melihat
Yok-kwi, karena kabarnya kakek yang tinggal sebagai pertapa di puncak
Ci-lan-kok itu wataknya aneh luar biasa. Orang-orang sakit yang datang
kepadanya, pasti sembuh. Akan tetapi orang waras yang berani datang, tentu akan
dihajarnya sampai menjadi sakit! Karena itu tidak ada orang waras yang suka
atau berani naik ke puncak Ci-lan-kok.
Bun Beng tak membantah ketika bersama Syanti
Dewi dia diajak pergi ke puncak Pek-san-pai di mana dia disambut dengan segala
kehormatan oleh ketua Pek-san-pai sendiri, seorang laki-laki berusia lima
puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan gagah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketua
Pek-san-pai mengajak rombongannya, juga Bun Beng dan Syanti Dewi, pergi ke
Jembatan Angkasa. Empat orang anggauta Pek-san-pai memanggul alat penyeret
bambu di mana Bun Beng rebah diikuti oleh Syanti Dewi.
Jembatan Angkasa itu adalah bangunan batu
karang hitam kuat yang menyambung satu tepi jurang dengan tepi yang lain,
bentuknya seperti jembatan gantung! Jembatan buatan alam ini memang ajaib dan
patut dinamakan Jembatan Angkasa karena orang yang melalui jembatan ini berada
di tempat tinggi seperti terbang saja melalui tangga awan. Dan tepat di kolong
jembatan batu ini terdapatlah sumber atau mata air yang dijadikan perebutan
dan bahan pertentangan. Kini semua pihak telah berkumpul, pihak Hek-san-pai di
ujung kiri Jembatan Angkasa dan pihak Pek-san-pai di ujung kanan. Seperti
biasa pada tiap pertemuan pertandingan itu, sebelum masing-masing jago kedua
pihak maju bertanding, terlebih dahulu dua orang ketua masing-masing
perkumpulan maju dan bertemu di atas jembatan.
Ketua Pek-san-pai sudah mendaki jembatan dan
disambut oleh ketua pihak Hek-san-pai yang masih terhitung suhengnya sendiri.
Keduanya bertemu, mengangkat tangan memberi hormat dan ketua Pek-san-pai
berkata, “Apakah tahun ini Suheng sebagai ketua Hek-san-pai tetap tidak mau
mengalah dan hendak menguasai mata air?”
Ketua Hek-san-pai yang mukanya seperti seekor
orang hutan dan hidungnya pesek, tersenyum mengejek. “Tentu saja, Sute. Memang
selamanya kami dari Hek-san-pai yang seharusnya menguasai mata air itu.”
“Hemm, kalau begitu, Suheng menantang untuk
diadakan pertandingan?”
“Tentu saja! Kami sudah mempunyai jago kami,
yaitu Sin-kiam Lo-thong!”
“Dan kami juga sudah mengundang jago kami,
Sin-ciang Yok-kwi!”
Sin-kiam Lo-thong yang berdiri di ujung kiri
jembatan sudah tertawa-tawa dan meraba-raba gagang pedangnya. Sementara itu,
Syanti Dewi mendengarkan penjelasan seorang anggauta Pek-san-pai tentang sebab
permusuhan itu, tentang sumber mata air dan tentang jalannya pertandingan yang
ada pantangannya, yaitu tidak boleh membunuh lawan dan siapa yang roboh
dianggap kalah dan kekalahan ini harus diterima oleh pihak partai yang menjagoi
yang kalah itu.
“Pamanku bukan Sin-ciang Yok-kwi,” kata Syanti
Dewi karena dia khawatir sekali melihat Bun Beng yang sedang sakit itu hendak
disuruh bertanding.
Pemuda Pek-san-pai itu hanya tersenyum.
“Tentu saja bukan....” katanya karena dia pun sudah mendengar bahwa Sin-ciang
Yok-kwi tidak pernah mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi. “Akan tetapi tanpa
bantuan locianpwe itu, pihak kami tentu akan kalah lagi. Sudah lima tahun
berturut-turut pihak kami kalah selalu karena Hek-san-pai pandai mencari
jago-jago yang lihai. Bahkan tahun ini, jagonya yang berdiri di sana itu amat
lihai.” Pemuda itu menuding ke arah Sin-kiam Lo-thong yang tampak dari situ
seperti seorang anak kecil yang berdiri di atas batu.
Karena merasa tidak ada gunanya bersikeras
menyangkal, akhirnya Syanti Dewi bertanya, “Di manakah tempat bertapa Sin-ciang
Yok-kwi?”
Pemuda itu memandang kepadanya sambil
tersenyum, seolah-olah dia menganggap dara ini main-main, akan tetapi dia
tidak berani untuk tidak menjawab, maka dia lalu menunjuk ke arah sebuah puncak
lain yang tidak berapa jauh dari Jembatan Angkasa itu. “Di puncak sana itulah
tempat pertapaan tabib dewa itu.”
“Benarkah bahwa dia pandai mengobati segala
macam penyakit?”
Pemuda itu mengangguk. “Sepanjang pendengaranku,
belum pernah ada orang sakit yang tidak dapat disembuhkannya.”
Percakapan itu terpaksa berhenti karena Syanti
Dewi melihat betapa Gak Bun Beng, dengan langkah-langkah lemah dan agak
terhuyung, telah naik ke atas Jembatan Angkasa.
“Paman....!” Serunya lirih dan dia
meninggalkan pemuda Pek-san-pai itu lari ke jembatan batu.
Gak Bun Beng berhenti, menengok dan memberi
isyarat kepada Syanti Dewi agar tidak ikut naik. Dara itu tidak berani
membantah, berdiri di kaki jembatan sambil memandang ke atas, mukanya pucat
sekali dan pandang matanya penuh kekhawatiran.
Gak Bun Beng menghampiri dua orang ketua yang
saling berdebat di atas Jembatan Angkasa itu. Melihat orang yang menderita
sakit ini telah maju, Sin-kiam Lo-thong juga berlari-lari mendatangi dari ujung
jembatan yang lain.
“Ha-ha-ha, engkau yang disebut Sin-ciang
Yok-kwi? Majulah kalau memang engkau dijadikan jago oleh Pek-san-pai, melawan
aku Sin-kiam Lo-thong jago Hek-san-pai!” Kakek bertubuh kanak-kanak itu
menantang.
Bun Beng sudah tiba di atas jembatan, berdiri
tegak dan mengatur pernapasannya, kemudian berkata dengan suara halus namun
kata-katanya mengejutkan semua orang, terutama ketua Pek-san-pai, “Cu-wi
sekalian, memang aku datang dan melihat urusan ini timbul keinginan hatiku untuk
mencampurinya. Akan tetapi, aku sama sekali tidak mewakili Pek-san-pai, tidak
mewakili atau membantu kedua pihak, karena aku adalah pihak ke tiga yang
membutuhkan tempat dan sumber air ini!”
“Apa katamu....?” ketua Hek-san-pai membentak
dengan mata melotot.
“Locianpwe.... apa.... apa artinya ini....?”
Ketua Pek-san-pai juga bertanya heran.
“Keparat! Manusia berpenyakitan hampir mampus
ini ternyata pengacau! Baik kubasmi dia!” Sin-kiam Lo-thong berteriak marah dan
untuk memperlihatkan kelihaiannya dan mencari jasa, dia sudah mencabut
pedangnya dan menyerang Gak Bun Beng dengan tusukan kilat!
“Hemm....” Pendekar ini menggeram. Biarpun
tubuhnya lemah dan sebelah dalam dadanya nyeri, namun sekali ini dia
mengerahkan sin-kang, dia dapat mengelak cepat dan tangan kirinya menampar ke
arah sinar pedang yang berkelebat.
“Krekkkk! Aughhhh....!”
Pedang itu kena dihantam tangan miring Gak Bun
Beng dan patah menjadi dua potong, bahkan sebuah tusukan jari tangan kanan yang
cepat mengenai jalan darah di pundak Sin-kiam Lo-thong, membuat kakek bertubuh
kecil itu terjengkang dan roboh tak dapat bangun kembali karena sudah
tertotok lumpuh!
“Bawa dia pergi....!” Bun Beng berseru ke arah
anak buah Hek-san-pai yang cepat berlari-lari datang dan dua orang itu lalu
menggotong pergi Sin-kiam Lo-thong yang masih lumpuh kaki tangannya.
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian
mereka menghadapi Gak Bun Beng dengan alis berkerut. “Sebetulnya, apakah
kehendakmu?” ketua Hek-san-pai yang melihat jagonya roboh itu bertanya.
“Locianpwe, bukankah Locianpwe mewakili kami
sehingga kini fihak Pek-san-pai yang menang?” tanya ketua Pek-san-pai penuh
harap.
Gak Bun Beng memandang mereka dengan mulut
tersenyum mengejek. “Aku tidak mewakili siapa-siapa. Sudah kukatakan bahwa aku
mewakili diriku sendiri untuk memperebutkan tempat ini berikut sumber airnya.”
“Ahhh! Akan tetapi tempat ini adalah warisan
dari nenek moyang kami kedua perkumpulan! Kami kakak beradik seperguruan saja
yang berhak atas tempat ini!” bantah ketua Pek-san-pai yang merasa kecewa
sekali.
Bun Beng memperlebar senyumnya. “Kakak beradik
seperguruan macam apa kalian ini? Kalau kalian sudah memperebutkan tempat ini
dan setiap tahun bertanding, biarlah aku juga memperebutkannya. Akan tetapi
alangkah curangnya kalau untuk kepentingan sendiri harus mengundang
jagoan-jagoan bayaran. Hayo, kalian kakak beradik yang membutuhkan tempat ini
majulah bersama melawan aku. Kalau kalian kalah, tempat ini menjadi milikku
dan untuk keperluan air, kalian boleh membeli atau menyewa dariku. Kalau aku
yang kalah, nah, tempat ini menjadi milik kalian berdua, keperluan air kedua
pihak tentu dapat dicukupi tanpa adanya permusuhan dan perebutan.”
Dua orang saudara seperguruan yang sudah
beberapa keturunan menjadi musuh karena air itu kini saling pandang. Mereka
menjadi ragu-ragu dan penasaran. Urusan jembatan dan air adalah urusan dalam
antara mereka sendiri, dan kini muncul orang luar yang hendak merampas tempat
itu dan memaksakan diri masuk ke dalam perebutan turun-temurun itu!
“Apakah kalian ini telah menjadi orang-orang
yang demikian pengecut, beraninya hanya ribut antara saudara sendiri dan takut
untuk menentang orang luar?” Bun Beng berkata lagi, nadanya amat menghina
sehingga wajah kedua orang ketua itu menjadi merah.
“Siapa takut? Kami hanya menghormatimu karena
nama besarmu sebagai Sin-ciang Yok-kwi....” kata ketua Peksan-pai.
“Aku bukan Yok-kwi (Setan Obat) atau setan apa
pun. Aku adalah Gak Bun Beng seorang perantau yang ingin memiliki jembatan dan
sumber air ini. Kalau kalian takut, sudah saja kalian bayar sewa tahunan
kepadaku untuk menggunakan air di sini. Kalau berani, majulah!”
“Keparat, tempat ini akan kami pertahankan
dengan nyawa!” bentak ketua Hek-san-pai.
“Bagus, kalau begitu majulah kamu berdua. Akan
tetapi, kalian harus ingat akan pertaruhan dan janjinya. Kalau aku menang,
kalian menjadi penyewa tempat ini dan membayar kepadaku. Kalau aku yang kalah,
kalian harus berdamai dan tidak lagi memperebutkan tempat ini, memakainya
sebagai milik bersama.”
Kedua orang ketua itu sudah menjadi marah
sekali. Dari kanan kiri mereka maju menyerang Bun Beng. Pendekar ini diam-diam
merasa gembira karena siasatnya berhasil baik. Maka dia juga bergerak dan
menangkis tanpa mengerahkan tenaganya karena tadi begitu dia mengerahkan
sin-kang ketika menghadapi Sin-kiam Lo-thong, dadanya terasa makin nyeri.
Biarpun kini dia tidak mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi karena dia harus
mengelak ke sana ke mari dan menangkisi pukulan-pukulan kedua orang ketua yang
juga memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi itu, Bun Beng merasa betapa
kepalanya pening. Akhirnya, pukulan ketua Hek-san-pai mengenai dadanya
sedangkan pukulan ketua Pek-san-pai mengenai punggungnya. Bagi tubuh Bun Beng
yang sudah memiliki daya tahan dan kekebalan luar biasa, pukulan-pukulan itu
tidak berbahaya, namun cukup kuat untuk membuat kepalanya yang sudah pening
menjadi makin pening, pandang matanya gelap dan robohlah dia dalam keadaan
pingsan!
“Kalian manusia-manusia berhati kejam....!” Tiba-tiba
Syanti Dewi berlari naik ke atas jembatan menudingkan telunjuknya ke arah muka
kedua orang ketua itu dengan marah. “Butakah mata kalian?”
Kedua orang ketua itu terheran-heran. Tadinya
mereka siap menghadapi dara ini karena mereka menyangka bahwa dara itu akan
menuntut balas atas kekalahan Gak Bun Beng. Kini mereka saling pandang dan
bingung.
“Sudah jelas bahwa paman Gak sengaja hendak
memaksa kalian agar berdamai dan menghentikan permusuhan ini, permusuhan
bersifat kanak-kanak yang memalukan! Paman Gak sengaja mengalah dan
mengorbankan dirinya agar kalian menang dan berdamai. Kalau tidak, apakah
kiranya kalian berdua akan dapat menang menghadapinya? Tidak kalian lihat tadi
betapa dalam segebrakan saja dia mampu mengalahkan Sin-kiam Lo-thong? Buta!
Kalian buta dan tidak mengenal budi!” Setelah berkata demikian, Syanti Dewi
lalu berlutut dekat Gak Bun Beng.
Dua orang ketua itu terbelalak seperti
disambar petir rasanya. Baru sekarang mereka mengerti. Mereka pun otomatis
berlutut dekat tubuh Bun Beng yang masih pingsan.
“Maafkan kami, Nona. Biarlah kami menolong dan
merawat locianpwe ini....” kata ketua Pek-san-pai.
“Kami memang bodoh dan locianpwe telah memberi
pelajaran hebat kepada kami dengan mengorbankan diri. Maafkan kami, Nona. Kami
akan berusaha merawat dan mengobatinya.”
Syanti Dewi bangkit berdiri. “Apakah di antara
kalian terdapat ahli pengobatan yang pandai?”
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian
menggeleng kepala.
“Kalau begitu, tolong bawa paman Gak ke rumah,
aku akan pergi menemui Sin-ciang Yok-kwi di Ci-lan-kok.”
Kembali kedua orang ketua itu tertegun.
“Jadi.... benarkah locianpwe ini bukan Sin-ciang Yok-kwi?”
“Kalian memang bodoh dan buta karena
permusuhan picik ini. Dia adalah paman Gak Bun Beng yang sedang sakit dan
kebetulan lewat di tempat ini. Aku mau pergi mencari Yok-kwi!”
Syanti Dewi sudah hendak lari ketika dua orang
ketua itu berseru “Tahan dulu, Nona!”
“Ada apa lagi?”
“Sebaiknya kalau Gak-locianpwe dibawa saja ke
puncak Ci-lan-kok menghadap dan mohon bantuan Sin-ciang Yok-kwi. Kalau Nona
pergi ke sana mengundangnya, tentu beliau tidak mau bahkan amat berbahaya bagi
keselamatanmu.”
“Tidak! Paman Gak sedang menderita dan sakit
berat, mana mungkin dibawa naik puncak? Aku akan mencarinya, menemuinya dan
memintanya turun puncak mengobati paman Gak. Kalian rawat paman Gak baik-baik!”
Tanpa menanti jawaban lagi Syanti Dewi lari meninggalkan jembatan itu, tidak
memperdulikan peringatan dan cegahan kedua orang ketua itu. Setelah mengadakan
permufakatan, akhirnya Gak Bun Beng yang pingsan itu digotong ke tempat tinggal
ketua Pek-san-pai dan selanjutnya kedua orang ketua yang masih terhitung kakak
beradik seperguruan itu bersama-sama merawat Bun Beng dan nampak rukun sekali.
Melihat ini, otomatis para anak murid atau anak buah mereka menjadi girang dan
tanpa diperintah mereka itu pun menjadi rukun, berkelompok dan bercakap-cakap
seperti sahabat-sahabat lama baru saling berjumpa lagi.
Di puncak lembah Ci-lan-kok terdapat sebuah
kuil tua yang sudah rusak. Kuil ini ratusan tahun yang lalu dihuni oleh para
tosu yang bertapa di tempat itu, dan sekarang telah kosong tidak dipergunakan
lagi. Akan tetapi semenjak beberapa tahun yang lalu, kuil yang dikabarkan
orang berhantu itu mendapatkan seorang penghuni baru yang amat aneh. Seorang
kakek bertongkat yang menderita sakit, tidak perah kelihatan sehat, akan tetapi
hebatnya, kakek berpenyakitan ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam
ilmu pengobatan. Mula-mula yang diobatinya adalah anak-anak penggembala kerbau
yang sampai di lereng Ci-lan-kok, kemudian beberapa orang penebang kayu dan
pemburu yang terluka. Lama kelamaan banyak orang sakit yang datang kepadanya.
Memang hebat kepandaian kakek ini. Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat
disembuhkannya dan cara mengobatinya juga amat aneh. Memang sebagian besar
dari mereka yang datang minta obat kepadanya, diberi obat ramuan daun, bunga,
buah dan akar-akaran. Akan tetapl ada kalanya dia menyuruh orang makan tanah,
ada yang diludahi, ada yang ditampar pundak atau dadanya, ada yang ditotok,
ada pula yang dipukul kepalanya dengan tongkat sampai benjol, akan tetapi apa
pun yang diberikan oleh tangannya atau dilakukan dengan tangannya, orang yang
sakit menjadi sembuh kembali! Inilah sebabnya, biar dia tidak pernah
menyebutkan namanya, dia segera memperoleh julukan Sin-ciang Yok-kwi (Setan
Obat Bertangan Sakti), karena sikap dan wataknya memang aneh seperti setan,
dan tangannya dianggap sakti.
Dia disebut setan karena memang aneh wataknya.
Orang yang menderita sakit, kalau menghadap kepadanya, tentu diObatinya biarpun
secara luar biasa dan kadang-kadang menyakitkan hati. Akan tetapi orang waras
yang berani menghadapinya sekedar ingin melihat dan mengenalnya, tentu akan
diamuknya, menjadi korban pukulan tongkatnya sehingga orang yang waras itu akan
lari lintang-pukang dengan kepala benjol-benjol dan tubuh sakit-sakit! Dan
ternyata bahwa ilmu silat kakek itu juga hebat, karena banyak di antara mereka
yang dihajar itu sendiri orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun yang sama
sekali tidak berdaya menghadapi hajaran tongkat kakek berpenyakitan itu!
Pada hari itu, seperti biasa, Sin-ciang
Yok-kwi duduk bersandar pada dinding di luar kuil, di bawah sebatang pohon
besar yang tumbuh di depan kuil. Kakek ini duduk bersandar dengan mata masih
mengantuk, memegang tongkatnya yang gagangnya bengkok dan yang dipakai
menopang dagunya. Kelihatannya dia masih mengantuk dan lemas sekali, bahkan
kadang-kadang terdengar dia mengeluh dan merintih seperti orang yang menderita
penyakit berat. Kedua kakinya tidak bersepatu dan pakaiannya yang cukup bersih
itu amat sederhana. Melihat wajahnya yang sudah penuh keriput, agaknya kakek
ini tentu sudah ada enam puluh tahun usianya.
Matahari telah naik tinggi ketika dari lereng
puncak Ci-lan-kok muncul belasan orang. Melihat keadaan mereka, jelas tampak
bahwa mereka adalah orang-orang yang menderita sakit. Ada yang
terhuyung-huyung, ada yang dipapah, ada yang digotong dan ada yang mengerang
dan terengah-engah. Ketika mereka melihat kakek yang mereka harapkan akan dapat
menyembuhkan penderitaan mereka itu berada di luar kuil, mereka berhenti.
Biarpun mereka itu mengandung harapan untuk disembuhkan, namun nama kakek yang
tersohor aneh dan galak ini membuat mereka takut dan seolah-olah ingin orang
lain menghadap lebih dulu. Seperti serombongan orang yang menderita sakit gigi
antri di depan kamar periksa dokter gigi! Ingin diobati namun ngeri
membayangkan cara pengobatan yang menyiksa.
Seorang di antara mereka, yang masih muda,
mengangkat dadanya lalu dengan langkah lebar menghampiri kakek itu, kemudian
menjatuhkan diri berlutut di depan Sin-ciang Yok-kwi yang masih memejamkan mata
bersandar dinding butut.
“Locianpwe, saya mohon pertolongan Locianpwe
untuk menyembuhkan penderitaan saya, sesak di dada dan lambung kiri....” Orang
muda itu berkata sambil berlutut.
Perlahan-lahan mata itu terbuka, memandang
tak acuh kepada pemuda yang berlutut di depannya. “Huh, kau berkelahi?”
tiba-tiba bibir kakek itu bergerak dan pertanyaan penuh celaan ini membuat
pemuda itu menundukkan mukanya.
“Benar, Locianpwe, akan tetapi saya tidak
bersalah, saya....”
“Sudah berkelahi berarti bersalah! Kalau sudah
berani berkelahi, terluka, tanggung saja sendiri!”
“Harap Locianpwe mengasihi saya.... dada ini
terasa sakit bukan main kalau bernapas....”
“Sudahlah! Engkau memang kurang mendapat
pukulan!” Tiba-tiba tangan kiri kakek itu meraih ke depan, ujung kuncir rambut
pemuda itu yang menggantung di depan telah dipegangnya dan ditariknya sehingga
kepala pemuda itu tertarik, tubuhnya membungkuk, lalu tongkat itu bergerak
memukul punggung si peemuda.
“Dukkkk....! Uakkhh....!” Pemuda itu muntahkan
darah dan roboh menelungkup di depan kaki Yok-kwi. Matanya terbelalak dan
mukanya menjadi merah. Dia marah sekali dan cepat dia bangkit duduk lalu
meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
“Locianpwe....! Aihhh.... dadaku.... sudah
tidak terasa sakit lagi....!” Pemuda itu berloncat-loncatan dengan girangnya
biarpun bibirnya masih berlepotan darah.
“Pergilah!” Kakek itu mengangkat tongkatnya
hendak memukul dan pemuda itu lari dari tempat itu sambil tertawa-tawa girang.
Mereka yang menyaksikan cara pengobatan itu
menjadi makin ngeri sehingga diam-diam mereka yang merasa bahwa penyakitnya
tidak berat, segera meninggalkan tempat itu, menuruni puncak tidak berani
berobat! Kini yang berlutut di depan kakek itu adalah sepasang suami isteri.
Usia mereka tiga puluh tahun lebih, si suami bertubuh gendut dan tiada hentinya
mengusap keringat yang membasahi dahi dan lehernya, sedangkan isterinya yang
cantik dan bertubuh montok cemberut karena suami itu kelihatannya jerih dan
agaknya dipaksa menghadap Yok-kwi. Dengan tarikan-tarikan tangannya, isteri
itu mendesak agar si suami cepat bicara kepada Yok-kwi. Suami itu kelihatan
ketakutan dan sukar mengeluarkan kata-kata, keringatnya makin banyak. Maka
terjadilah tarik-menarik tangan antara mereka di depan kakek yang sudah
melenggut lagi itu. Akhirnya, setelah isteri itu mencubit lengan suaminya sekerasnya,
si gendut itu berteriak kesakitan dan Yok-kai membuka matanya memandang.
“Ada apa kalian ini?” tegurnya.
Laki-laki gemuk itu terkejut dan makin
ketakutan, memberi hormat dengan memukul-mukulkan dahi ke atas tanah sambil
berkata, “Mohon maaf, Locianpwe.... saya.... eh, kami.... mohon obat kepada
Locianpwe.... agar kami berdua.... dapat dikurniai anak....”
Sejenak kakek itu memandang kepada mereka
bergantian, lalu bertanya kepada wanita itu, “Benarkah engkau ingin mempunyai
anak?”
Dengan muka berubah merah sekali wanita itu
tanpa berani mengangkat mukanya menjawab lirih, “Benar.... Locianpwe....”
Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas tanah
di dekat si suami, membuat si gendut ini terkejut dan ketakutan. “Kalau ingin
mempunyai anak kau harus tidur dengan laki-laki lain!”
Jawaban ini tentu saja mengejutkan suami
isteri itu, dan menggelikan hati semua orang, namun tidak ada yang berani
tertawa. Suami yang gendut itu membentur-benturkan dahinya di atas tanah, lalu
berkata gagap, “Akan tetapi.... Locianpwe, ini.... ini adalah....”
“Pergi! Lekas! Atau kuketuk kepala kalian
dengan tongkat ini!” bentak kakek itu marah-marah.
Si isteri memegang tangan suaminya dan
menariknya pergi dari situ. “Hayo cepat pergi....” bisiknya.
Suami gendut itu menurut, dan pergilah
mereka, suara mereka masih terdengar karena mereka agaknya mulai cek-cok. “Kau
tergesa-gesa hendak mencari pria lain, ya?” terdengar si suami mengomel.
“Cih! Kau yang tak becus!” isterinya
membantah.
“Awas kau kalau tidur dengan laki-laki
lain....!”
“Sshhhh, manusia tak tahu malu! Didengar
orang, tahu tidak?”
Orang-orang yang berada di situ tersenyum
geli juga mendengar percekcokan suami isteri itu dan diam-diam merasa heran
akan sikap kakek yang sudah melenggut pula itu. Tentu saja mereka tidak tahu
bahwa dua kali pengobatan itu sudah membuktikan kelihaian Yok-kwi. Pemuda tadi
telah disembuhkanya dengan cara pukulan sin-kang yang sekaligus mengusir
bahaya dari dalam tubuh si pemuda dan memunahkan akibat dari pukulan yang
membuat pemuda itu mengalami cidera di dalam tubuhnya. Adapun kata-katanya
kepada suami isteri itu memang atas dasar kenyataan bahwa menurut
penglihatannya yang tidak ngawur melainkan menurut perhitungan dan
pengalaman, suami gendut itu memang tidak dapat memberikan benih keturunan
kepada isterinya. Jawaban itu mungkin terdengar tidak sopan dan bahkan kurang
ajar dan memang demikianlah watak aneh dari Yok-kwi, namun sebenarnya memang
tepat, karena wanita yang bertubuh sehat dan montok itu pasti bisa memperoleh
keturunan kalau tidur dengan pria lain yang normal, tidak seperti suaminya!
Setelah beberapa orang yang sakit diobati oleh
Yok-kwi dengan cara-caranya yang istimewa, akhirnya tampak sepasang suami
isteri berlutut menghadap kakek itu. Si suami yang bertubuh tinggi besar dan
biarpun usianya sudah lima puluh tahun namun mukanya terpelihara bersih,
pakaiannya pun rapi, berwajah pucat dan datang ke tempat itu dipapah oleh
isterinya yang baru berusia tiga puluhan tahun, cantik dan bersikap genit penuh
daya pikat.
“Locianpwe, mohon sudi mengobati suami saya
yang menderita sakit sudah berbulan-bulan,” berkata si isteri sambil berlutut.
Kakek itu memandang laki-laki pucat itu sampai
beberapa lama, kemudian mengerling ke arah si isteri lalu membentak, “Apa kau
ingin membunuh suamimu?”
Isteri itu terkejut bukan main, demikian pula
suaminya. “Apa.... apa maksud Locianpwe?” isteri itu bertanya gagap sedangkan
si suami memandang isterinya dengan alis berkerut.
“Kalau tidak ingin membunuh suamimu,
tinggalkan dia kalau malam. Harus pindah kamar sampai tiga bulan lamanya!”
Tiba-tiba tangan kanan kakek itu menyambar sebutir batu, melemparkan batu
kecil ke atas pohon dan jatuhlah seekor burung, mati karena kepalanya disambar
batu. “Masak ini dengan arak, tim yang empuk lalu makan habis. Setiap hari
harus makan burung seperti ini dengan arak, sampai sebulan. Nah, pergilah!”
Suami isteri itu tidak banyak cakap lagi,
menerima bangkai burung dan menghaturkan terima kasih, cepat pergi dari tempat
itu dengan muka merah. Di antara sisa mereka yang hendak berobat, ada yang
tersenyum geli. Itulah resikonya seorang laki-laki tua mempunyai isteri muda
sekali, pikirnya.
Akhirnya semua orang telah menerima giliran
berobat dan yang terakhir sekali seorang dara cantik jelita berlutut di depan
kakek itu. Yok-kwi memandang dengan alis berkerut kepada Syanti Dewi, kemudian
berkata galak, “Kau tidak sakit! Kalau kau lekas menikah tentu akan terobat
rindu di hatimu terhadap pria yang kaucinta! Hayo pergi, kalau bukan seorang
anak perempuan, sudah kupukul kepalamu!”
Syanti Dewi sudah mendengar akan watak aneh
dari kakek ini, bahkan tadi dia telah menyaksikan cara-cara kakek ini mengobati
orang. Biarpun dia merasa gentar juga, namun demi keselamatan Bun Beng, dia
tidak akan mundur dan bahkan dia telah memperoleh akal untuk mengundang kakek
ini agar suka mengobati Gak Bun Beng. Betapapun juga, kata-kata kakek itu
mengejutkan hatinya dan membuat dia sejenak termenung dengan muka berubah
merah. Dia rindu terhadap pria yang dicintanya?
“Hayo pergi....!” Kakek itu membentak dan
bangkit berdiri karena dia ingin masuk ke dalam kuil kembali setelah semua
orang itu pergi.
“Maaf, Locianpwe. Memang saya tidak sakit dan
kedatangan saya ini untuk menyaksikan sendiri kabar yang saya dengar tentang
kepandaian Locianpwe yang katanya setinggi langit. Akan tetapi saya kecewa
melihat cara Locianpwe mengobati orang tadi. Apalagi melihat keadaan Locianpwe
sendiri jelas bukan orang waras dan menderita sakit hebat, saya makin tidak
percaya.”
Yok-kwi memandang Syanti Dewi dengan alis
berkerut dan mata terbelalak penuh kemarahan. Sebagai seorang yang
berpengalaman dan tajam penglihatannya, dia sekali pandang saya sudah mengenal
orang. Dia tahu bahwa wanita muda ini bukan orang sembarangan, gerak-geriknya
halus, kata-katanya teratur dan sopan, sikapnya agung. Jelas bukan wanita
sembarangan. Akan tetapi mengapa ucapannya seolah-olah sengaja hendak
menghina dan merendahkannya?
“Nona, aku tidak tahu engkau siapa dan apa
perlumu datang ke tempat ini. Akan tetapi ketahuilah, biarpun aku tidak biasa
membuat propaganda seperti tukang jual obat di pasar, aku menantang semua
penyakit di dunia ini! Orang yang menderita penyakit apapun, asal dia belum
mampus, tentu dapat kuobati sampai sembuh!” Suara kakek itu keren dan marah
sekali karena kelemahannya telah disinggung oleh Syanti Dewi dan memang inilah
tujuan dara yang cerdik itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang sejak
kecil dididik dengan kebudayaan tinggi dan kesopanan dalam istana sehingga
otomatis dia memiliki sifat dan sikap yang amat halus. Akan tetapi di balik ini
semua terdapat kecerdikan luar biasa, maka melihat sikap dan watak kakek
Yok-kwi, dia sudah lantas dapat mengambil sikap yang tepat agar keinginannya
terkabul dan pancingannya berhasil untuk menarik kakek ini pergi mengobati Gak
Bun Beng.
“Mungkin saja ucapan Locianpwe itu benar, akan
tetapi bagaimana saya bisa tahu bahwa Locianpwe tidak hanya menjual kecap?
Buktinya, kalau Locianpwe dapat mengobati semua penyakit asal orangnya belum
mati, mengapa Locianpwe tidak bisa mengobati diri sendiri yang menderita sakit
berat?”
Kakek itu makin marah. “Bocah lancang mulut!
Tentu saja aku tidak bisa mengobati diriku sendiri. Orang bisa saja melihat
kesalahan orang lain dengan amat jelasnya, akan tetapi melihat kesalahan
sendiri tidak mungkin! Orang bisa saja melihat keburukan dan cacat cela orang
lain dengan amat mudah, akan tetapi tidak mungkin melihat keburukan diri
sendiri. Mudah saja untuk menasehati orang lain, akan tetapi tidak bisa
menasehati diri sendiri. Maka, apa salahnya kalau aku mampu mengobati orang
lain akan tetapi tidak mampu mengobati diriku sendiri? Apa perdulimu dengan itu
semua?”
Diam-diam, biarpun merasa gentar hatinya,
Syanti Dewi makin girang karena makin marah kakek ini, makin mudahlah
memancingnya untuk pergi turun puncak mengobati Bun Beng yang amat dia
khawatirkan keselamatannya itu.
Syanti Dewi sengaja tersenyum mengejek,
kemudian berkata, “Locianpwe, harap jangan marah-marah dulu. Kedatanganku ini
memang sengaja hendak melihat kelihaian Locianpwe karena saya amat tertarik
sekali. Keadaan Locianpwe sama benar dengan keadaan pamanku. Pamanku juga
seorang yang amat ahli dalam ilmu pengobatan, tidak ada penyakit yang tak dapat
disembuhkannya, dan saya percaya dia masih lebih pandai daripada Locianpwe,
sedikitnya tentu tingkatnya lebih tinggi satu dua tingkat! Akan tetapi
celakanya seperti Locianpwe pula, dia juga menderita penyakit yang dia tidak
mampu obati sendiri. Maka saya sengaja datang untuk menantang Locianpwe mengadu
ilmu dengan pamanku itu yang kini berada di rumah ketua Pek-san-pai.”
“Tidak sudi! Kau hanya memancing agar
aku mengobati dia! Huh, setelah kau bersikap kurang ajar, masih mengharapkan
aku menyembuhkan pamanmu? Dia tentu seorang undangan dari pihak Pek-san-pai
untuk menghadapi jagoan Hek-san-pai, bukan? Huh, aku sudah tahu semua tentang
mereka. Pergilah dan biar pamanmu mampus! Aku tidak sudi mengobatinya!”
Dapat dibayangkan betapa perih rasa hati
Syanti Dewi. Sudah bersusah payah dia berlagak dan menggunakan muslihat, namun
tetap tidak berhasil. Betapapun juga, dia tidak putus harapan dan
menyembunyikan perasaan hatinya. Kakek yang tadinya girang melihat dara itu
terpukul dan mengharapkan dara itu akan menangis, menjadi terkejut melihat dara
itu kini tersenyum lagi, bahkan berkata nyaring dengan nada penuh ejekan,
“Locianpwe, kalau kau takut, katakan saja takut! Pamanku bukanlah orang
undangan Pek-san-pai maupun Hek-san-pai. Pamanku seorang pendekar sakti yang
berilmu tinggi, dia bukan hanya tidak memihak, malah dia berhasil mendamaikan
Pek-san-pai dan Hek-san-pai sehingga mulai sekarang tidak akan ada lagi perang
di antara keduanya. Pamanku berhasil mendamaikan dan menginsyafkan mereka.
Akan tetapi melihat pamanku sakit dan Locianpwe juga sakit dan memiliki keadaan
yang sama, maka aku sengaja datang menantang Locianpwe untuk mengadu
kepandaian.”
“Apa....?” Kakek itu memukulkan tongkatnya ke
atas sebongkah batu dan batu itu pecah berhamburan dan bunga api berpijar.
Syanti Dewi terkejut sekali melihat kakek itu marah-marah. “Pamanmu telah
mendamaikan mereka? Celaka tiga belas! Pamanmu jahat bukan main! Pamanmu dengki
dan jahat!”
Biarpun dia takut, namun mendengar Gak Bun
Beng dimaki-maki, Syanti Dewi menjadi marah. “Harap Locianpwe tidak sembarangan
memaki orang! Pamanku adalah seorang pendekar sakti yang budiman, yang telah
mengakurkan dua pihak yang masih bersaudara seperguruan itu dari permusuhan.
Mengapa Locianpwe malah memakinya jahat dan dengki?”
“Bodoh....! Bodoh....! Mengapa aku sampai
susah payah tinggal di sini, mendekati Hek-san-pai dan Pek-san-pai kalau tidak
ada permusuhan tahunan itu? Permusuhan itu menimbulkan banyak korban yang
terluka, baik yang ringan maupun yang berat. Sekarang, pamanmu lancang dan
dengki, menghentikan permusuhan dan berarti tidak akan ada pertempuran lagi.
Bukankah itu berarti aku akan kehabisan langganan orang yang sakit terluka?”
Mengertilah kini Syanti Dewi dan makin heran
dia akan jalan pikiran kakek yang aneh ini. Pandangan kakek itu benar-benar
aneh dan menyeleweng dari umum, tidak lumrah.
Syanti dewi kembali tersenyum. “Memang
agaknya pamanku sengaja berbuat demikian, akan tetapi Locianpwe akan dapat
berbuat apa? Dalam ilmu pengobatan pun, Locianpwe akan kalah. Aku berani
tanggung bahwa pamanku akan sanggup menyembuhkan penyakit yang diderita
Locianpwe .”
“Omong kosong!”
“Mari kita buktikan saja! Mari, kalau
Locianpwe berani ikut bersama saya dan coba Locianpwe mengobati pamanku,
kemudian baru pamanku mengobati Locianpwe. Hendak kulihat siapa di antara
kalian yang lebih sakti!”
Terbakar juga hati Yok-kwi oleh sikap dan
kata-kata Syanti Dewi. “Baik! Aku pasti akan datang mengusir penyakitnya, akan
tetapi kalau dia tidak mampu menyembuhkan penyakitku, dia akan kubunuh dan
mungkin kau juga.”
“Boleh, itu taruhanku!” jawab Syanti Dewi
girang dan dara ini berlari cepat turun dari puncak, diikuti oleh Yok-kwi yang
berjalan dibantu tongkatnya.
Ketua Pek-san-pai dan ketua Hek-san-pai yang
masih berada di situ menyambut dengan heran dan girang, juga kagum melihat
bahwa Syanti Dewi benar-benar berhasil mengajak Yok-kwi turun puncak. Karena
nama besar Yok-kwi yang berwatak aneh itu, semua orang memandang dengan segan
dan takut, bahkan mereka tidak berani marah ketika kakek itu memasuki pondok
tanpa membalas penghormatan mereka, bahkan tidak mengacuhkan mereka yang
dianggapnya seperti arca saja. Dia langsung mengikuti Syanti Dewi memasuki
ruangan besar di mana tubuh Bun Beng yang tadinya pingsan itu dibaringkan.
“Paman....!” Syanti Dewi lari menghampiri
pembaringan itu dan Bun Beng yang sudah siuman mengangkat muka, tersenyum
kepada Syanti Dewi.
“Dewi, apa yang kaulakukan? Ke mana kau
pergi....?”
“Aku mengundang Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Nah,
ini dia sudah datang.”
Bun Beng menengok dan kedua orang sakti itu
saling bertemu pandang. Diam-diam Bun Beng terkejut melihat kakek aneh itu,
karena dia dapat melihat sinar aneh dari wajah kakek bertongkat itu. Sebelum
Bun Beng sempat membuka mulutnya, Yok-kwi yang sudah marah sekali dan
memandang rendah kepadanya, sudah melangkah maju dan berkata, “Keponakanmu ini
menyombongkan kepandaianmu dan menantangku untuk menandingimu tentang ilmu
pengobatan. Biarlah kuobati kau lebih dulu, baru kau mengobati aku, kalau kau
mampu!” Tanpa menanti jawaban, Yok-kwi lalu berdiri tegak, matanya terpejam,
pernapasannya seperti terhenti seketika. Kalau Syanti Dewi dan yang lain-lain
memandang heran, adalah Bun Beng yang memandang kagum karena dia maklum bahwa
kakek itu telah mengerahkan seluruh panca inderanya untuk mengumpulkan tenaga
murni. Kemudian, Yok-kwi membuka matanya yang kini mengeluarkan cahaya
berkilat, dan tongkatnya sudah bergerak mengetuk-ngetuk dan menotok-notok
seluruh tubuh Bun Beng, dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala! Tentu saja
Syanti Dewi terkejut dan khawatir, akan tetapi melihat Bun Beng tersenyum saja
hatinya menjadi lega.
“Ahhh....!” Sin-ciang Yok-kwi tiba-tiba
berseru kaget ketika dengan tangan kirinya dia menekan-nekan dada dan perut Bun
Beng. Yang mengejutkan hatinya itu adalah karena dia merasa betapa dari dalam
pusar orang yang sakit itu keluar tenaga sakti yang amat kuat, yang
kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, namun kedua macam inti tenaga Yang
dan Im itu luar biasa kuatnya. Tahulah dia bahwa dara itu tidak berbohong dan
memang orang yang sakit ini bukanlah seorang manusia biasa melainkan seorang
yang memiliki kesaktian hebat! Maka dia pun tidak berani main-main lalu
memeriksa keadaan Gak Bun Beng lebih teliti lagi.
Orang-orang yang melihat cara kakek itu
memeriksa orang sakit, biarpun hati mereka gentar terhadap kakek aneh yang
galak itu, namun mereka merasa geli di dalam hati mereka. Sin-ciang Yok-kwi
memang luar biasa. Dia memeriksa tubuh Bun Beng bukan hanya dengan mengetuk
sana-sini dengan tongkatnya, memijat sana-sini dengan tangannya, juga dia
menggunakan hidungnya untuk mencium-cium sana-sini dengan cuping hidung
kembang kempis, malah akhirnya dia menjilat keringat di leher Gak Bun Beng,
lalu menggerak-gerakkan mulut dan matanya terpejam seperti tingkah seorang
yang mencicipi masakan apakah cukup asinnya!
“Aihhh, luka dalam dadanya memang hebat dan
akan mematikan orang yang bertubuh kuat sekali pun. Akan tetapi dia dapat
bertahan, sungguh luar biasa!” Akhirnya dia berkata, “Bagi dia, luka itu tidak
membahayakan, yang lebih hebat adalah keruhnya hati dan pikiran. Akan tetapi,
aku bukan seorang ahli pengobatan yang pandai kalau tidak mampu menyembuhkan
penyakit macam ini saja!” Kakek itu lalu menuliskan resep yang terdiri dari
bahan yang aneh-aneh, sungguhpun tidak sukar untuk dicari. Di antara banyak
daun, buah, bunga dan akar pohon dan tetumbuhan, juga terdapat arang kayu dan
tujuh ekor kutu rambut dalam resep itu!
“Beri dia minum ini pasti sembuh. Sepekan kemudian
aku menanti dia di puncak Ci-lan-kok!” kata kakek itu lalu pergi dari situ
menyeret tongkatnya tanpa memperdulikan ucapan-ucapan terima kasih dari Syanti
Dewi dan dua orang ketua perkumpulan.
Akan tetapi tentu saja Syanti Dewi tidak
memperdulikan sikap kakek aneh itu karena dia sudah cepat-cepat mempersiapkan
obat seperti yang tertulis dalam resep. Dengan bantuan dua orang ketua
Pek-san-pai dan Hek-san-pai, akhirnya dalam hari itu juga terkumpullah semua
bahan resep yang lalu dimasak oleh Syanti Dewi sampai airnya tinggal semangkuk,
lalu setelah dingin diminumkan kepada Gak Bun Beng.
Pendekar itu masih berada dalam keadaan
setengah pingsan, hanya teringat sedikit saja apa yang terjadi. Akan tetapi
setelah minum obat itu, sinar mukanya yang tadinya pucat kekuningan berubah
menjadi agak merah. Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi, dibantu dua orang
ketua, merawat dan meminumkan obat menurut resep Sin-ciang Yok-kwi dan dalam
waktu lima hari saja Gak Bun Beng sudah sembuh sama sekali!
Pada pagi hari ke enam, ketika pendekar ini
terbangun dengan tubuh yang ringan dan nyaman, masuklah dua orang ketua
Pek-san-pai dan Hek-san-pai, bersama Syanti Dewi.
“Paman, kau sudah sembuh....!” Syanti Dewi
berseru girang sambil duduk di tepi pembaringan.
“Hemm, berkat perawatanmu yang baik, Dewi.”
“Juga berkat bantuan kedua orang Paman Ketua,
Paman Gak.”
“Ahh, kalau begitu aku berhutang budi kepada
Ji-wi (Kalian berdua),” kata Gak Bun Beng kepada kedua orang itu sambil
mengangkat kedua tangan yang dirapatkan itu di depan dada.
“Ah, Taihiap.... kamilah yang harus berterima
kasih.” Dua orang itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Gak Bun
Beng. Pendekar ini terkejut dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk
mengangkat bangun mereka itu.
“Jangan begitu, mari duduk dan kita bicara
dengan baik,” kata Gak Bun Beng dan setelah mereka duduk di atas bangku-bangku
dalam kamar itu, Bun Beng berkata lagi. “Syukur bahwa kalian sudah sadar dan
dapat hidup rukun sebagai saudara seperguruan.”
Keduanya menjura. “Kami telah sadar berkat
bantuan Taihiap. Memang selama puluhan tahun kami berdua hidup sebagai musuh.
Sungguh memalukan sekali. Sekarang kami insyaf dan kami akan berusaha menjadi
orang baik-baik.”
Gak Bun Beng menghela napas panjang. “Ji-wi
harus mengerti bahwa kebaikan tidak dapat diusahakan. Yang penting adalah
menginsyafi dan menyadari akan keburukan kita sehingga semua keburukan itu
hilang. Sumber air itu adalah pemberian alam, untuk siapa saja yang
membutuhkan, cukup banyak. Mengapa harus diperebutkan? Lebih baik diusahakan
agar airnya dapat mengalir di tempat-tempat yang membutuhkannya.”
Dua orang ketua itu mengangguk-angguk. Akan
tetapi, sungguh sayang bahwa mereka itu kurang memperhatikan sehingga tidak
dapat menangkap arti dari kata-kata Gak Bun Beng yang pertama kali tadi seperti
juga manusia pada umumnya tidak pernah sadar akan keadaan dirinya sendiri
seperti apa adanya. Mata ini tidak pernah dipergunakan untuk memandang keadaan
diri sendiri sehingga mengenal diri pribadi saat demi saat, melainkan dipakai
untuk merenung jauh ke depan, memandang, melihat dan menjangkau hal-hal yang
belum menjadi kenyataan.
Dua orang itu berjanji akan berusaha menjadi
orang-orang baik! Dapatkah kebaikan itu diusahakan dan dipelajari? Kebaikan
barulah sejati kalau menjadi sifat, seperti harum pada bunga. Kebaikan yang
telah berada dalam diri manusia menuntun semua gerak-gerik perbuatan si
manusia itu sehingga segala yang dilakukanpun tentu baik tanpa disadari lagi
bahwa itu adalah kebaikan. Sebaliknya, kebaikan yang dipelajari, dilatih dan
diusahakan, hanyalah akan menjadi pengetahuan belaka dan kalaupun ada
perbuatan yang dianggap baik oleh orang yang memaksakan kebaikan dalam
perbuatannya,, maka kebaikan itu hanyalah menjadi suatu cara untuk mencapai
suatu tujuan, dan karenanya menjadi kebaikan palsu. Seperti kedok belaka.
Kalau kita melakukan sesuatu yang kita anggap suatu kebaikan, tentu
tersembunyi pamrih tertentu, baik pamrih lahir maupun batin di balik perbuatan
yang kita lakukan itu. Dan kebaikan yang diusahakan, yang berpamrih, bukanlah
kebaikan namanya, melainkan palsu, hanya merupakan cara atau jembatan untuk
memperoleh yang dipamrihkan tadi. Kebaikan seperti itu serupa dengan seorang
anak yang menyapu lantai dengan tekun dan bersih, namun pekerjaannya itu
dilakukan karena dia mengingat bahwa ibunya akan memujinya, ayahnya tidak akan
memarahinya kalau dia menyapu dengan baik. Baginya yang penting bukanlah
menyapu lantai dengan bersih, melainkan ingin dipuji ibunya dan agar tidak
dimarahi ayahnya. Sungguh jauh bedanya dengan kalau anak itu menyapu lantai
dengan bersih karena memang dia CINTA AKAN PEKERJAANNYA ITU, karena dia memang
suka melakukan pekerjaan itu tanpa pamrih apa-apa, bahkan dia tidak ingat lagi
bahwa dia melakukan itu!
Kebaikan adalah suatu sifat. Tidak dapat
diusahakan atau dilatih. Yang penting adalah mengenal diri sendiri, membuka
mata memandang keadaan diri sendiri. Kalau kita ingin menjadi orang baik, hal
ini terdorong oleh kenyataan bahwa kita tidak baik, bukan? Daripada mengejar
kebaikan, lebih baik kita menyadari akan ketidakbaikan kita, akan kekotoran
kita. Kesadaran dengan pengertian mendalam ini akan menghentikan segala
ketidakbaikan dan kekotoran itu, dan kalau sudah tidak ada ketidakbaikan lagi
di dalam diri kita, perlukah kita berusaha menjadi baik? Kalau sudah tidak ada
kekotoran di dalam diri kita, perlukah kita mencari kebersihan? Tidak perlu
lagi, karena baik dan bersih itu sudah menjadi sifat setelah kejahatan dan
kekotoran lenyap.
“Aku hanya ingat secara samar-samar tentang
seorang kakek yang mengobatiku. Dia datang bersamamu, Dewi. Siapakah dia?”
Bun Beng bertanya kepada Syanti Dewi.
“Memang, dia adalah Sin-ciang Yok-kwi, Paman.
Dialah yang mengobati Paman sampai sembuh. Akan tetapi dia itu orang gila,
wataknya aneh dan mengerikan. Hanya dengan susah payah dan dengan akal saja
aku berhasil mengajak dia ke sini mengobati Paman.”
“Aihh, kalau begitu aku harus mengunjunginya
dan menghaturkan terima kasih kepadanya.” Bun Beng berkata sambil bangkit
berdiri.
“Saya kira tidak usah, Paman. Jangan-jangan
dia malah akan menimbulkan keributan baru!” Syanti Dewi lalu menceritakan
akalnya menantang Sin-ciang Yok-kwi yang akan “diadu” dalam hal kesaktian
dengan pamannya, akal yang dipergunakan untuk memancing Kakek Setan Obat itu
agar mau mengobati Bun Beng.
Mendengar penuturan Puteri Bhutan itu, hati
Bun Beng terharu sekali. Puteri yang berwatak halus itu sampai rela memaksa
diri menjadi seorang pembohong dan penipu besar hanya karena ingin
menolongnya! Dia lalu memegang tangan puteri itu dan berkata, “Jangan
khawatir, kita harus pergi ke Ci-lan-kok. Ji-wi, kami akan pergi sekarang.
Mari, Dewi!”
Kedua orang ketua itu tidak dapat mencegah dan
mereka bersama anak buah mereka hanya memandang dengan khawatir ketika melihat
dua orang itu mendaki puncak Ci-lan-kok untuk menemui Sin-ciang Yok-kwi yang
mereka takuti. Di tengah perjalanan menuju ke puncak itu, Syanti Dewi berkata,
“Paman, perlukah kita menjumpainya? Aku telah membohonginya dan mengatakan
bahwa Paman adalah seorang ahli pengobatan pula. Tentu dia akan marah-marah
dan aku takut kalau-kalau hal ini akan menimbulkan sesuatu yang tidak
menyenangkan, Paman.”
“Tenanglah, Dewi. Aku memang bukan seorang
ahli pengobatan, akan tetapi aku melihat sesuatu ketika dia memeriksaku.
Samar-samar aku masih ingat bahwa tubuh kakek itu mengeluarkan hawa beracun
yang amat berbahaya. Kalau benar demikian, aku harus menolongnya.”
Syanti Dewi terkejut. “Begitukah? Ah, kalau
demikian, memang seharusnya Paman menolongnya!”
Gak Bun Beng menghentikan langkahnya dan
memandang dara itu penuh kagum. Makin lama dia mengenal Puteri Bhutan ini,
makin kagumlah hatinya, makin menonjol dan tampak olehnya sifat-sifat baik
dara ini, makin jelas pula tampak olehnya kasih sayang bersinar keluar dari
dalam hati dara itu melalui sinar matanya dan senyumnya, dalam kata-katanya.
Dan makin gelisahlah dia!
“Syanti Dewi, kau baik sekali. Selama ini....
ah, takkan terlupakan selama hidupku, engkau telah bersusah payah untukku,
merawatku, membawaku lari dari kota raja melalui perjalanan yang sukar,
membawa aku yang sedang sakit, kemudian mempertaruhkan nyawa memancing
seorang aneh seperti Sin-ciang Yok-kwi untuk mengobatiku....”
“Sshhh...., cukuplah, Paman. Diantara kita,
kalau mau bicara tentang kebaikan, takkan ada habisnya karena siapakah yang
menyelamatkan nyawaku, siapa yang selama ini kugantungi harapanku, yang menjadi
pelindungku, menjadi pembelaku? Apa yang kulakukan untuk Paman tidak ada
artinya sama sekali dan memang sudah seharusnya. Kita hanya berdua, kalau tidak
saling bantu, habis bagaimana? Pula.... yang penting sekarang ini, asal Paman
sudah sembuh kembali, aku sudah merasa girang bukan main. Soal-soal lain tidak
perlu dibicarakan lagi, Paman.”
Mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu
pandang dan saling bertaut sampai lama. Akhirnya Gak Bun Beng perlahan-lahan
membuang muka, memejamkan mata seolah-olah tidak tahan dia melihat sinar mata
penuh kasih yang ditujukan kepadanya dari sepasang mata yang bening indah itu!
Aku harus menjauhkan diri darinya, harus dan secepat mungkin, demikian suara
hatinya. Kalau dilanjutkan begini, berbahayalah aku! Akan tetapi Milana pun
telah menjadi isteri orang lain, tentu saja tidak berhak mencampuri urusannya!
“Kau kenapa, Paman?” Syanti Dewi
mendekat dan memegang tangan Bun Beng karena merasa khawatir sekali melihat
Bun Beng memejamkan mata dan mengerutkan keningnya.
Bun Beng membuka matanya kembali, mata yang
agak basah. “Tidak apa-apa, Dewi, mari kita lanjutkan perjalanan kita menemui
Sin-ciang Yok-kwi.”
Ketika mereka tiba di depan kuil kuno,
ternyata Sin-ciang Yok-kwi sudah menanti di depan kuil, duduk di atas batu
besar dan memandang kepada Bun Beng dengan penuh perhatian. Gak Bun Beng cepat
menghampiri dan bersama Syanti Dewi dia menjura kepada kakek itu.
“Ha-ha-ha, bocah nakal! Apa kau masih tidak
percaya akan kemampuanku mengobati? Sekarang pamanmu telah sembuh, bukan?”
“Terima kasih atas pertolongan Locianpwe dan
sejak dahulupun saya tidak pernah meragukan kepandaian Locianpwe,” jawab Syanti
Dewi.
“Ha-ha-ha, memang kau nakal dan kau sengaja
memancingku. Heii, Gak Bun Beng! Apakah kau datang untuk memperlihatkan
kepandaianmu? Benarkah kau pandai mengobati?”
Melihat sikap yang kasar dan terbuka dari
kakek itu, Gak Bun Beng tersenyum dan sambil memandang wajah kakek itu dia
berkata, “Sin-ciang Yok-kwi, terus terang saja bahwa keponakanku ini berbohong
kepadamu. Aku bukan ahli pengobatan, dan aku berterima kasih kepadamu bahwa
kau telah menyembuhkan penyakitku. Akan tetapi, ketika engkau memeriksaku,
aku mendapat kenyataan bahwa ada hawa beracun keluar dari dadamu. Kalau
engkau memang tidak keberatan, aku suka untuk mengeluarkan hawa beracun dari
tubuhmu.”
Kakek itu kelihatan terkejut, kemudian
membuka kancing bajunya di depan dada. “Nah, kau boleh memeriksa!”
Bun Beng melangkah dekat, menggunakan kedua
telapak tangannya ditempelkan ke dada kakek itu. Terkejutlah dia! Benar-benar
terdapat hawa mujijat dalam dada kakek itu yang amat kuat dan aneh, yang tak
dapat dikendalikan oleh kakek itu sehingga menjadi penyakit yang hebat.
“Tidak salah!” serunya. “Ada hawa beracun yang
kuat di dalam tubuhmu, Sin-ciang Yok-kwi. Akan tetapi karena bukan tabib, aku
tidak tahu mengapa bisa demikian dan mengapa pula sampai berlarut-larut
kaudiamkan saja!”
“Engkau hebat,” Yok-kwi berkata. “Biarpun
engkau tidak tahu akan ilmu pengobatan, namun dengan rabaan tangan yang penuh
dengan sin-kang engkau sudah dapat mengetahui keadaanku yang tak kuketahui
sendiri! Sekarang mengertilah aku. Dahulu, karena terlampau ingin menguasai
ilmu pengobatan terhadap segala macam racun, aku sengaja menelan
bermacam-macam racun lalu kuobati sendiri. Semua obatku bisa menolong
memunahkan racun itu, akan tetapi agaknya hawa racun dan obat yang
memunahkannya telah berkumpul sedikit demi sedikit di dalam tubuhku tanpa
kurasakan sehingga kini tidak dapat kukeluarkan lagi. Kalau aku mengerahkan
kekuatan sin-kang, tentu perlindungan di tubuhku kurang kuat dan hawa itu akan
membunuhku. Untung selama ini aku tidak bertanding melawan musuh kuat, karena
pengerahan sin-kang yang kuat tentu akan membunuhku sendiri. Hemm.... kau sudah
menemukan penyakitku, biarpun tidak ada obatnya, aku tidak akan penasaran lagi
andaikata penyakit ini akan mencabut nyawaku.”
“Tidak, Sin-ciang Yok-kwi. Hawa itu dapat saja
diusir dari dalam tubuhmu. Aku akan membantumu.”
“Tapi.... hal itu membutuhkan tenaga yang amat
kuat....”
“Akan kucoba. Duduklah bersila dan mari kita
mulai. Dengan kekuatan kita berdua, mustahil hawa itu tidak akan dapat terusir
keluar.”
Sejenak kakek itu menatap wajah Bun Beng,
kemudian bertanya, “Gak Bun Beng, aku tidak pernah mendengar namamu sebagai
seorang tokoh besar. Dari partai manakah engkau?”
Gak Bun Beng tersenyum den menggeleng kepala.
“Bukan dari partai manapun juga. Apa sih bedanya itu? Mari, silakan.”
Sin-ciang Yok-kwi lalu melempar tongkatnya ke
samping dan duduk bersila di atas tanah. Bun Beng juga segera duduk bersila di
depan kakek itu, meluruskan kedua lengannya ke depan sehingga kedua tangannya
menempel pada dada kakek itu. Syanti Dewi hanya menonton dengan jantung
berdebar penuh ketegangan. Dia mengharapkan pendekar sakti itu akan mampu
menyembuhkan kakek itu, akan tetapi di samping ini dia juga khawatir karena
biarpun ilmu silatnya sendiri belum tinggi akan tetapi dia pernah mendengar
betapa menyembuhkan orang dengan menggunakan sin-kang itu amat melelahkan. Dia
khawatir kalau-kalau Gak Bun Beng yang baru saja sembuh akan kehabisan tenaga
dan jatuh sakit lagi.
Sin-ciang Yok-kwi terkejut bukan main ketika
dia merasa betapa dari kedua tangan Bun Beng keluar hawa yang amat panas,
mula-mula hanya hangat akan tetapi makin lama makin panas menyerap ke dalam
dadanya. Dia mengikutinya, juga dengan pengerahan sin-kangnya, membuat tubuhnya
menjadi panas sampai mengepulkan uap! Hawa panas yang masuk dari kedua telapak
tangan Bun Beng itu amat kuatnya, terasa bergerak berputaran di dalam dadanya,
hampir tak tertahankan panasnya sampai kakek ini mengeluarkan keringat dan
napasnya mulai terengah-engah.
Bun Beng melihat ini, maka dia lalu mengurangi
tenaga Hwi-yang Sin-kang (Hawa Sakti Inti Api) sehingga rasa panas yang
menyerang Yok-kwi mulai berkurang dan makin lama makin dingin, akan tetapi
tidak berhenti menjadi normal karena terus menjadi makin dingin sampai luar
biasa sekali. Kembali Yok-kwi terkejut dan kagum. Dia sendiri adalah seorang
ahli tenaga dalam dan memiliki sin-kang yang kuat. Akan tetapi menghadapi hawa
dingin yang keluar dari sepasang telapak tangan orang itu, dia tidak mampu
mengikutinya terus dan tubuhnya segera menggigil kedinginan. Dia tidak tahu
bahwa Gak Bun Beng telah mengganti tenaga Hwi-yang Sin-kang tadi menjadi
Swat-im Sin-kang (Hawa Sakti Inti Salju)! Dua tenaga sin-kang yang
bertentangan dan yang hanya dimiliki oleh penghuni Pulau Es.
Syanti Dewi memandang dengan bingung dan
heran, juga khawatir! Dia tidak tahu apa yang telah dan sedang terjadi. Dia
hanya melihat betapa kakek yang sakti itu tadinya menjadi merah mukanya,
mengeluarkan banyak keringat dan tubuhnya beruap, napasnya agak
terengah-engah, akan tetapi sekarang keadaannya berubah, mukanya menjadi
pucat dan agak kebiruan, tubuhnya menggigil dan napasnya makin
terengah-engah!
Dengan kekuatan sin-kangnya yang hebat,
perlahan-lahan Bun Beng mendorong keluar hawa mujijat yang mengeram di dalam
dada dan perut kakek itu dan mulailah tampak uap hitam membubung keluar dari
mulut, hidung dan tubuh atas kakek itu!
Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dia
melanjutkan pengerahan Swat-im Sin-kang, kakek itu tentu tidak akan dapat
bertahan, maka melihat betapa hawa beracun itu sudah mulai keluar, dia
merubah lagi pengerahan sin-kangnya dan kini dia mengerahkan Tenaga Sakti Inti
Bumi yang halus dan lunak namun menyembunyikan kekuatan yang dahsyat pula.
Uap menghitam yang membubung keluar itu makin
menipis, kemudian kakek itu mengeluarkan keluhan panjang dan tubuhnya terguling
roboh, tepat pada saat Bun Beng lebih dulu menarik kembali tenaganya. Pendekar
ini cepat memejamkan matanya, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan
tenaganya yang diperas keluar dari tubuhnya yang masih lemah tadi.
Syanti Dewi memandang dengan hati gelisah. Dia
melihat Yok-kwi terguling roboh dan tidak bangun kembali, sedangkan Gak Bun
Beng masih duduk bersila dengan muka pucat. Dan kakek kecil pendek yang tadi
menyerang dengan lemparan senjata rahasia sehingga merobohkan Yok-kwi telah
berdiri di belakang Gak Bun Beng. Sambil menyeringai, Sin-kiam Lo-thong, bekas
jagoan panggilan pihak Hek-san-pai, kini mencabut pedangnya dan menghampiri
Gak Bun Beng!
Munculnya kakek bertubuh kanak-kanak ini
memang mengejutkan dan tidak disangka-sangka. Tadi ketika Gak Bun Beng dan
Yok-kwi keduanya sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pengobatan itu,
kakek ini muncul dan langsung saja menyerang Yok-kwi dengan jarum merah.
Karena tidak menyangka dan terkena jarum tepat pada lehernya, kakek itu roboh
terguling dan pingsan, sedangkan Gak Bun Beng yang sedang mengerahkan Tenaga Inti
Bumi secara tiba-tiba mengalami kekagetan dan menarik kembali tenaganya secara
serentak, membuat tubuhnya yang masih lemah itu mengalami goncangan hebat
sehingga dia terpaksa harus menghimpun hawa murni, kalau tidak jantungnya bisa
pecah!
Sin-kiam Lo-thong tersenyum girang. Dia
menganggap bahwa Yok-kwi tentu telah tewas karena lehernya kemasukan jarum
merahnya, sedangkan sebagai seorang ahli dia maklum akan keadaan Gak Bun Beng,
maka dengan cepat dia sudah menghampiri pendekar itu dengan pedang terhunus.
“Manusia keji....!” Syanti Dewi menjerit dan
cepat dia menyambar batu sebesar kepala, menyambitkan batu itu sekuat
tenaganya ke arah Sin-kiam Lo-thong yang sudah berada dekat sekali di belakang
Gak Bun Beng.
Sin-kiam Lo-thong mengangkat lengan kirinya
menangkis batu yang menyambarnya itu.
“Prakkk!” Batu itu hancur berkeping-keping dan
Sin-kiam Lo-thong sudah menggerakkan tangan kanannya, pedangnya membacok ke
arah leher Gak Bun Beng.
“Ouhhh.... jangan....!” Syanti Dewi menjerit
dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
“Singgg....!” Pedang di tangan Sin-kiam
Lo-thong berkelebat menjadi sinar terang yang menyambar ke arah leher Gak Bun
Beng. Syanti Dewi memejamkan mata membayangkan betapa leher pendekar itu akan
terbabat putus!
“Takkk! Aughhh....!”
Mendengar pekik ini, Syanti Dewi membuka
matanya dan dia terbelalak keheranan namun juga kegirangan melihat bahwa Gak
Bun Beng masih tetap saja duduk seperti tadi, bersila dan lehernya masih utuh!
Sebaliknya, Sin-kiam Lo-thong terlempar ke belakang, pedangnya terlepas dari
pegangan dan kini kakek bertubuh kanak-kanak itu merangkak hendak bangun dengan
muka pucat dan ketakutan. Kiranya seluruh tubuh Gak Bun Beng pada saat itu
masih terlindung hawa sin-kang Inti Bumi sehingga ketika pedang itu menyambar
tengkuk, otomatis tenaga sakti itu melindungi dan tidak hanya membuat pedang
itu tidak melukai tengkuk, bahkan reaksi dari tenaga sakti itu membuat pedang
terlempar dari tangan Lo-thong dan kakek itu sendiri terpukul hawa mujijat itu
dan terlempar ke belakang!
Betapa kagetnya ketika Lo-thong melihat bahwa
kini Yok-kwi telah bangun dan sedang menghampirinya dengan mata melotot penuh
kemarahan. Disangkanya Yok-kwi telah tewas. Tidak mungkin orang yang sudah
ditembusi jarum merah lehernya masih dapat hidup! Dan memang Yok-kwi juga masih
tertolong oleh hawa sin-kang yang dikerahkan Gak Bun Beng ketika mengobatinya
tadi. Hawa sin-kang yang amat kuat itu sedang berputar-putar di seluruh
tubuhnya, maka ketika jarum merah menyambar dan mengenai lehernya, otomatis
hawa sin-kang itu melindunginya, membuat lehernya kebal sehingga jarum merah
itu tidak terus masuk, melainkan menancap setengahnya saja. Yok-kwi tadi
pingsan bukan karena jarum merah melainkan karena ditariknya Tenaga Inti Bumi
oleh Bun Beng secara tiba-tiba. Perubahan mendadak itulah yang membuat dia
pingsan. Akan tetapi dia pingsan hanya sebentar. Ketika siuman dan mencabut
jarum dari lehernya, dia melihat Lo-thong terlempar dan kini dia menghampiri
kakek kecil itu dengan penuh kemarahan.
Sin-kiam Lo-thong meloncat dan hendak
melarikan diri, akan tetapi Yok-kwi membentak, “Pemberontak hina, hendak lari
ke mana kau?” Tangannya bergerak, jarum merah itu menyambar dan Lo-thong
memekik nyaring, roboh dan berkelojotan karena jarumnya sendiri telah menembus
ke dalam kepalanya melalui tengkuk!
“Paman....!” Syanti Dewi menghampiri Bun Beng
dan berlutut, mukanya masih pucat akan tetapi bibirnya tersenyum tanda girang.
Bun Beng membuka kedua matanya, tersenyum
kepada Syanti Dewi, kemudian berdiri dan menengok. Alisnya berkerut ketika dia
melihat Lo-thong berkelojotan dalam sekarat.
“Yok-kwi, kenapa engkau membunuhnya?”
“Dia layak dibunuh dua kali!” jawab kakek itu.
“Kenapa?”
“Pertama, dia tadi hendak membunuh kita
berdua. Kedua kalinya, dia adalah seorang anggauta pemberontak laknat, kaki
tangan Pek-lian-kauw.”
“Hemm....!” Gak Bun Beng tidak berkata
apa-apa lagi melainkan memandang kepada tubuh kecil yang sudah tidak bergerak
lagi itu sambil menarik napas panjang.
Yok-kwi menghampirinya dan menjura.
“Gak-taihiap, selain amat berterima kasih bahwa engkau telah dapat
menyembuhkanku, juga aku merasa amat kagum akan kesaktian Taihiap. Kalau
sekiranya kakimu buntung sebelah, tentu engkau inilah yang patut menjadi
Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang terkenal.”
Gak Bun Beng tersenyum. “Beliau adalah
guruku.”
Kakek itu terbelalak, lalu tertawa dan kembali
menjura dengan hormat. “Ha-ha-ha, kiranya begitu? Ah, maafkan aku yang tidak
mengenal Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Sungguh beruntung sekali aku
dapat berjumpa dan bersahabat dengan seorang murid Pendekar Super Sakti.
Gak-taihiap, namaku adalah Kwan Siok, nama yang puluhan tahun kusembunyikan
sehingga orang menyebutku Yok-kwi. Dan aku datang ke sini bukan hanya untuk
mengasingkan diri dan menguji kepandaian dengan mendekati dua perkumpulan yang
saling bermusuhan, akan tetapi juga diam-diam aku memperhatikan keadaan para
pemberontak yang mulai meluaskan pengaruhnya di perbatasan ini. Diam-diam aku
membantu untuk membalas budi kepada Puteri Milana....” Tiba-tiba dia
menghentikan kata-katanya ketika melihat Bun Beng memandangnya dengan mata
bersinar-sinar kaget. Akan tetapi ketika Bun Beng merasa betapa jari-jari
tangan Syanti Dewi mencengkeram lengannya, dia dapat menenangkan hatinya
sambll tersenyum dia berkata, “Budi apakah yang kauterima dari puteri yang
gagah perkasa dan terkenal itu?”
Yok-kwi menjura lagi. “Maaf, tentu Taihiap
mengenal baik Puteri Milana. Bukankah dia itu puteri dari Pendekar Super Sakti?
Sebagai murid pendekar itu maka kau....”
“Tentu saja, dia terhitung sumoiku sendiri.
Nah, katakanlah, budi apa yang kauterima darinya?”
“Ketika aku dikepung oleh musuh-musuhku, para
tokoh Pek-lian-kauw yang sudah puluhan tahun menjadi musuhku, dalam keadaan
terdesak dan terancam bahaya maut Puteri Milana lewat dan menolongku. Kini,
kota raja sedang ribut dengan adanya pertentangan antara para pengeran, dan ada
usaha-usaha pemberontakan. Melihat Sang Puteri itu sibuk menangani sendiri
untuk mengamankan kota raja, diam-diam aku membantu dengan mengamat-amati
keadaan di sini.”
Gak Bun Beng mengangguk-angguk. “Aihh, kiranya
engkau seorang yang berjiwa patriot, Kwan Lo-enghiong (Orang Tua Gagah she
Kwa).”
“Gak-taihiap, jangan menyebutku enghiong.
Karena orang sudah memberiku nama Yok-kwi, biarlah kupakai terus nama itu.
Kalau aku boleh mengetahui, mengapa Taihiap dan Nona ini sampai tiba di tempat
sejauh ini?”
“Kami hendak pergi menjumpai Jenderal Kao
Liang, untuk menceritakan keadaan di kota raja. Dan Nona ini....” Gak Bun Beng
ragu-ragu.
Yok-kwi tertawa. “Ha-ha, dia tentu saja adalah
Sang Puteri dari Bhutan!”
Syanti Dewi mengeluarkan seruan tertahan dan
Bun Beng memandang tajam penuh kecurigaan kepada kakek itu. “Yok-kwi, bagaimana
kau bisa tahu?”
“Mudah saja, Taihiap. Aku sudah mendengar akan
Puteri Bhutan yang lenyap di tengah perjalanan dan kabar terakhir bahwa
mungkin puteri itu tertolong oleh seorang sakti ketika hanyut di sungai.
Sekarang, melihat Taihiap muncul di sini hendak menjumpai Jenderal Kao yang
setia, bersama seorang dara yang sikap dan wibawanya seperti puteri, juga yang
jelas adalah seorang dara berkebangsaan tanah barat, mudah saja
menduga-duga.”
“Kau memang cerdik sekali, Yok-kwi. Memang
benar, dia adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan.”
Yok-kwi menjura kepada Syanti Dewi. “Harap
Paduka sudi memaafkan segala kekurangajaran saya.”
Syanti Dewi menghampiri Yok-kwi dan memegang
tangan kakek itu. “Aih, Locianpwe terlalu merendah. Sayalah yang minta maaf
karena telah berani mempermainkan Locianpwe.”
Yok-kwi tertawa bergelak sambil meraba
jenggotnya, “Mempermainkan saya? Ha-ha-ha, kalau tidak ada Paduka, agaknya aku
Si Tua Bangka masih tetap menjadi orang yang berpenyakitan.”
“Akan tetapi Paman Gak juga tentu belum
sembuh.”
Mereka tertawa gembira karena mendapat
kenyataan bahwa mereka adalah orang segolongan.
“Kami akan segera melanjutkan perjalanan kami
ke benteng Jenderal Kao di utara,” kata Bun Beng.
“Tidak jauh lagi, Taihiap. Dari sini ke utara,
lewat bukit di depan itu lalu membelok ke timur. Saya akan tetap tinggal di
sini dan siap setiap saat untuk membantu, biarpun sesungguhnya saya sudah muak
berurusan dengan dunia ramai yang penuh kepalsuan.”
Mereka berpisah dan Gak Bun Beng yang sudah
sembuh sama sekali itu dapat melakukan perjalanan cepat bersama Syanti Dewi.
Akan tetapi, baru saja turun dari puncak Ci-lan-kok, mereka dihadang oleh
orang-orang Hek-san-pai dan Pek-san-pai yang menyediakan dua ekor kuda untuk
mereka. Ketika Bun Beng menceritakan tentang Sin-kiam Lo-thong, Ketua
Hek-san-pai menjadi pucat wajahnya.
“Aahh.... celaka, siapa tahu bahwa dia seorang
pengkhianat? Inilah akibatnya kalau bermusuhan dengan keluarga sendiri. Dia
datang dan menawarkan diri menjadi jago. Melihat kelihaiannya, saya
menerimanya. Ah, Taihiap, biarlah yang sudah dilupakan saja. Sekarang, kami
dari Hek-san-pai dan Pek-san-pai siap untuk membantu pemerintah menghadapi
pemberontak setiap saat kami diperlukan.”
Gak Bun Beng dan Syanti Dewi berpisah dari
mereka, melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda. Akan tetapi karena
tidak mengenal jalan di daerah yang sunyi itu, mereka salah jalan dan tanpa
disengaja keduanya malah tiba di daerah sumur maut di mana Gak Bun Beng
berhasil menolong dan menyelamatkan Jenderal Kao Liang dari pengeroyokan para
pemberontak.
Demikianlah, seperti telah diceritakan di
bagian depan, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi muncul di tempat itu, agak
terlambat sehingga biarpun pendekar sakti itu berhasil menolong Jenderal Kao,
namun dia tidak berhasil menyelamatkan Ceng Ceng yang terlempar ke dalam sumur
maut. Biarpun kemudian pendekar itu mencoba untuk menyelidiki dengan turun ke
sumur melalui tambang, sia-sia belaka bahkan hampir saja dia celaka kena
diserang gas beracun di dalam sumur.
Maka dengan penuh duka, terutama sekali Syanti
Dewi yang masih menangis, Jenderal Kao mengajak mereka berdua pergi ke
bentengnya. Setelah tiba di dalam benteng, pertama-tama Jenderal Kao
memerintahkan pasukannya untuk menyerbu benteng pembantunya, yaitu panglima Kim
Bouw Sin dan menangkap Panglima itu.
Gak Bun Beng mengkhawatirkan bahwa akan
terjadi perang saudara antara pasukan pemerintah sendiri dan hal ini akan
merugikan sekali. Maka dia lalu berkata kepada Jenderal Kao, “Kalau Goanswe
tidak berkeberatan, ijinkanlah saya untuk pergi menyelundup ke benteng itu dan
menangkap Panglima Kim si pemberontak itu. Kalau dia dan kaki tangannya sudah
ditangkap dan dilumpuhkan, tentu pasukannya yang tidak tahu apa-apa itu akan
menyerah. Tenaga pasukan itu masih amat dibutuhkan, bukan? Perang terbuka
antara saudara sendiri hanya akan melemahkan kedudukan pertahanan di
perbatasan ini.”
Kao Liang memandang dengan wajah berseri.
“Tepat sekali. Aku memang sudah mempunyai rencana demikian, hanya tidak berani
minta bantuanmu karena engkau bukan anak buah kami, Taihiap. Dan untuk menyuruh
orang lain, kiranya tidak ada di antara anak buahku yang memiliki ilmu
kepandaian begitu tinggi sehingga diharapkan akan berhasil menangkap
pengkhianat itu tanpa menimbulkan perang saudara. Kalau Gak-taihiap bersedia,
kita akan bersama menangkapnya, dan biarlah pasukanku hanya mengurung saja.”
Jenderal Kao dan Bun Beng lalu mengatur
rencana siasat mereka untuk menangkap Kim Bouw Sin dan kaki tangannya tanpa
menimbulkan perang saudara. Sementara itu Syanti Dewi dipersilakan untuk
mengaso dan tinggal di dalam sebuah kamar dan dilayani dengan hormat, dianggap
sebagai seorang tamu agung.
***
Bagaimanakah keadaan Ceng Ceng? Benarkah
seperti dugaan Jenderal Kao, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi bahwa dara perkasa
itu tewas di dalam sumur yang mengandung gas beracun dan sukar diukur dalamnya
itu? Untuk mengetahui keadaan Ceng Ceng, sebaiknya kita mengikuti semua
pengalamannya.
Dara perkasa itu terkejut bukan main dan
merasa ngeri ketika dia menyelamatkan Jenderal Kao Liang dengan menendang
tubuh pembesar itu sehingga terpental keluar dari lubang sumur, dia sendiri
terdorong dan terjerumus ke dalam lubang tanpa dapat dicegah lagi! Dia merasa
ngeri dan ketika tubuhnya melewati bagian yang ada gasnya, dia tak dapat
bernapas dan pingsan. Kalau saja dia lebih lama berada di bagian itu, tentu dia
akan tewas oleh gas beracun.
Akan tetapi, ternyata bahwa gas itu keluar
dari dinding sumur, bukan dari dasar sumur, maka setelah tubuhnya yang melayang
ke bawah itu melewati sumber gas, di sebelah bawah tidak ada gas beracun ini
dan dia selamat, biarpun masih dalam keadaan pingsan dan masih terus melayang
ke bawah, ke dalam sumur yang seperti tidak ada dasarnya itu.
Daiam keadaan pingsan meluncur ke bawah, tentu
tubuhnya akan hancur lebur kalau terbanting ke dasar sumur itu. Akan tetapi,
tidak jauh dari dasar sumur yang merupakan lantai batu keras, tiba-tiba tubuh
Ceng Ceng terhenti dan tertahan oleh sesuatu. Kiranya dia telah ditangkap
oleh seekor ular besar! Ular ini besarnya melebihi paha seorang dewasa dan
panjangnya lima meter lebih! Dengan ekornya, ular itu telah “menangkap” tubuh
Ceng Ceng, membelit pinggang dara itu dengan ekornya sehingga Ceng Ceng tidak
sampai terbanting mati di dasar sumur. Memang sudah menjadi kebiasaan ular
besar ini untuk menangkap binatang apa saja yang kebetulan jatuh dari atas,
yang kemudian menjadi mangsanya. Kini, memperoleh korban seorang manusia, ular
itu mulai mendekatkan kepalanya kepada Ceng Ceng, dan tubuhnya melingkari batu
dinding yang menonjol. Matanya berkilat-kilat, lidahnya keluar masuk dan
agaknya dia sudah mengilar sekali melihat calon mangsanya.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis tajam dari
bawah, suara mendesis yang membuat ular itu tampak terkejut dan menoleh ke
bawah. Kembali terdengar suara mendesis-desis penuh kemarahan dari mulut
seorang nenek yang duduk mendeprok di atas lantai sumur itu. Mula-mula ular
besar itu meragu, akan tetapi kemudian dengan perlahan dia merayap turun
setelah menggigit punggung baju Ceng Ceng yang masih pingsan, membawa gadis
ini turun menghampiri nenek yang duduk di bawah itu.
Setelah tiba di depannya, nenek itu berkata,
“Lepaskan dia!”
Ular itu melepaskan gigitannya sehingga tubuh
Ceng Ceng menggeletak di atas lantai batu, kemudian mengangkat kepalanya dan
mendesis-desis seperti ragu-ragu.
“Pergi....!” Nenek itu menjerit lagi, tangan
kirinya diangkat ke atas dan seperti seekor anjing jinak yang dibentak
majikannya, ular besar itu mengeluarkan suara berkokok lalu merayag pergi, naik
lagi ke atas.
Ceng Ceng mengeluh, membuka matanya dan cepat
meloncat bangun, berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan. Cahaya dari
atas mendatangkan penerangan yang cukup dan ketika dia menengok ke atas, dia
seperti melihat benda bulat yang bercahaya di dalam tempat gelap ini. Kemudian
dia teringat dan tahu bahwa benda bulat bercahaya itu adalah mulut sumur yang
demikian tingginya seperti sebuah matahari yang aneh. Matanya mulai terbiasa
dengan keadaan remang-remang itu dan dia menggigil teringat betapa tubuhnya
terjatuh dari tempat yang sedemikian tingginya. Akan tetapi mengapa dia tidak
mati? Mengapa tubuhnya tidak hancur, bahkan luka pun tidak, hanya terasa agak
sakit di pinggangnya? Mendadak ia meloncat mundur ketika melihat gerakan di
depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit saking ngerinya. Tadi dia
tidak melihat apa-apa karena memang tempat itu agak gelap dan di lantai dasar
sumur itu yang kelihatan hanya warna hitam belaka. Kini baru terlihat olehnya
bahwa di depannya, duduk di atas lantai, terdapat seorang manusia yang
keadaannya amat aneh dan mengerikan!
Ceng Ceng mengerahkan kekuatan pandang matanya
agar dapat melihat lebih jelas lagi. Jantungnya berdebar penuh ketegangan
karena dia tidak tahu apakah mahluk yang berada di depannya ini. Manusia
ataukah setan? Muka yang amat pucat dan kurus, hanya tengkorak terbungkus
kulit, rambutnya panjang riap-riapan, tubuhnya kurus kering terbungkus kain
lapuk, kedua kakinya ditekuk di bawah dan kini dia memandang kepada Ceng Ceng
dengan sepasang mata yang berkilauan dalam gelap seperti mata kucing dan mulut
yang tak bergigi lagi itu menyeringai aneh, amat mengerikan hati Ceng Ceng,
apalagi ketika dia melihat betapa nenek itu merangkak mendekatinya dengan
menggunakan kedua siku lengannya, mengesot karena kedua kaki itu ternyata
lumpuh. Mahluk ini lebih menyerupai binatang aneh atau setan daripada seorang
manusia.
“Heh-heh-heh, kau cantik, cantik dan
muda....!” Nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi mengejutkan hati dan
Ceng Ceng merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin.
“Kau.... siapakah....?” Akhirnya dara itu
dapat juga mengeluarkan suara melalui kerongkongannya yang terasa kering.
“Dan.... bagaimanakah aku dapat.... selamat tiba di sini....?” Dia memandang ke
atas, ke arah “matahari” yang tinggi itu dan bergidik. Tak mungkin manusia
dapat hidup setelah terjatuh dari tempat setinggi itu, pikirnya.
“Heh-heh, kalau tidak ada Siauw-liong (Naga
Kecil) itu, tubuhmu tentu sudah hancur di lantai batu ini, heh-heh!” Nenek itu
berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya ke atas.
Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk dan
hampir dia menjerit. Otomatis dia meloncat ke belakang ketika dia melihat ular
besar yang tadinya tak tampak olehnya itu, melingkar di dinding sumur dan
memandang ke bawah dengan mata berkilat-kilat. Seekor ular yang besar dan
panjang sekali, yang disebut Naga Kecil oleh nenek itu! Bagaimana ular besar
itu dapat menolongnya? Pinggangnya terasa sakit, tentu pernah dililit oleh
tubuh ular itu. Ceng Ceng bergidik ngeri.
“Dan sekarang engkau tentu sudah aman di dalam
perutnya kalau saja tidak ada Ban-tok Mo-li, heh-heh-heh!”
“Ban-tok Mo-li....?” Ceng Ceng bertanya
heran. Dia tidak pernah mendengar nama julukan Ban-tok Mo-li (Iblis Betina
Selaksa Racun).
“Ya, Ban-tok Mo-li Ciang Si, aku sendiri,
heh-heh. Ular Siauw-liong itu menyambarmu ketika tubuhmu melayang turun,
sebelum dia mengirimmu ke dalam perutnya, aku mencegahnya.”
Mengertilah kini Ceng Ceng apa yang telah
terjadi dengan dirinya. Betapa pun menjijikkan dan menakutkan keadaannya, dia
menduga bahwa nenek yang bernama Ban-tok Mo-li ini tentulah seorang yang
memiliki kepandaian hebat dan telah menolongnya tadi, maka dia cepat
menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.
“Banyak terima kasih teecu haturkan kepada
Locianpwe yang telah menolong teecu dari cengkeraman maut.”
“Heh-heh, aku senang menolongmu, aku senang
bertemu denganmu. Siapakah namamu?”
“Nama teecu (murid) adalah Lu Ceng.”
“Kau dapat tiba di sini dengan selamat, ini
namanya jodoh! Lu Ceng, mari pergi ke tempat tinggalku. Kaulihat, aku tidak
bisa jalan. Maukah engkau menggendongku kalau memang benar kau berterima kasih
kepadaku?”
Ceng Ceng bergidik, akan tetapi dia menekan
perasaannya dan mengangguk. Akan tetapi ketika dia hendak membungkuk untuk
mengangkat tubuh nenek yang kedua kakinya lumpuh itu tiba-tiba tubuh itu
melesat ke atas dan tahu-tahu telah berada di punggungnya! Dia terkejut bukan
main menyaksikan kelincahan luar biasa ini.
“Heh-heh, kaugendonglah aku lewat terowongan
itu.” Nenek itu menuding ke depan. Ceng Ceng lalu menggendong nenek itu melalui
terowongan yang gelap sekali. Kalau tidak ada nenek itu yang memberi petunjuk,
tentu dia akan menabrak dinding. Untungnya nenek itu sudah hafal benar akan
jalan terowongan gelap ini karena dia selalu memperingatkan Ceng Ceng,
membelok ke kiri, ke kanan, merendahkan tubuh agar tidak terbentur kepalanya
dan sebagainya. Setelah melalui terowongan yang berliku-liku dan gelap itu
sepanjang ratusan meter, akhirnya tampak cahaya terang dan keluarlah Ceng Ceng
dari terowongan, memasuki sebuah guha yang menghadapi jurang amat curamnya.
“Heh-heh-heh, di guha sinilah aku tinggal,”
kata nenek itu, masih tetap duduk di atas punggung Ceng Ceng. Dara ini
melangkah ke depan, ke pinggir jurang di depan guha, menengok ke bawah dan
bergidik ngeri. Jurang itu selain curam tak mungkin dituruni, juga tidak
nampak dasarnya karena terhalang oleh uap halimun saking dalamnya! Menengok ke
kanan kiri guha, juga merupakan dinding batu yang curam dan tegak lurus, licin
dan tidak mungkin dijadikan jalan untuk meninggalkan tempat itu. Dia
benar-benar telah terjebak ke dalam tempat yang benar-benar terputus hubungannya
dengan dunia ramai!
“Heh-heh-heh, kau mencari jalan keluar? Tidak
mungkin, Lu Ceng. Aku sendiri sudah dua puluh tahun lebih berada di sini,
tidak menemukan jalan keluar. Jalan satu-satunya hanyalah melalui mulut sumur
itu, dan tidak mungkin ada manusia dapat naik melalui jalan itu karena dinding
sumur itu banyak mengeluarkan gas beracun. Dan menuruni tebing-tebing jurang
di sini, sama dengan membunuh diri. Engkau sudah berjodoh denganku untuk
menemaniku selama hidupmu di tempat ini, anak manis.”
“Tidak! Tidak mungkin....!” Ceng Ceng
menjerit. “Harap Locianpwe turun, teecu hendak mencari jalan keluar.”
Melihat dara itu hendak menurunkannya,
tiba-tiba nenek itu berkata, “Tidak, aku tidak mau turun lagi selamanya darl
punggungmu, heh-heh-heh!”
Ceng Ceng menjadi terkejut sekali, terkejut
dan marah. Kedua tangannya sudah bergerak hendak menangkap tubuh nenek itu dan
memaksanya turun, akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa jari-jari tangan
nenek itu menyentuh ubun-ubun kepalanya.
“Jangan bergerak! Kalau bergerak, kepalamu
akan kuhancurkan!” Nenek itu membentak, suaranya mendesis-desis seperti ular
marah. “Aku sudah terlalu lama hidup tanpa kaki, merayap seperti ular. Aku
ingin hidup wajar, ingin melihat dunia ramai dan tak mungkin kulakukan tanpa
kaki. Sekarang aku sudah mendapatkan kedua kaki, kakimu, dan aku tidak akan
melepaskannya lagi!”
“Locianpwe.... gila....!” Ceng Ceng berseru,
matanya terbelalak dan ngeri dia membayangkan bahwa untuk selamanya nenek itu
tidak mau turun dari punggungnya!
“Heh-heh, aku ahli racun yang nomor satu di
dunia ini. Ingat, julukanku adalah Ban-tok (Selaksa Racun) dan memang aku
mengenal selaksa racun yang terdapat di dunia ini. Aku bisa menggunakan ilmuku
untuk menanam tubuhku ini di punggungmu, melekat untuk selamanya dan kedua
kakimu menjadi pengganti kedua kakiku yang lumpuh, ha-ha-ha!”
Bukan main ngeri dan jijiknya rasa hati Ceng
Ceng. Dia telah diselamatkan oleh seorang nenek gila, seorang nenek yang
berwatak seperti iblis. Kiranya masih lebih baik mati daripada harus hidup
seperti itu, selamanya menggendong nenek ini, siang malam, di waktu dia makan,
di waktu tidur, mandi dan lain-lain. Selamanya! Mana mungkin? Lebih baik mati!
Dia tidak takut mati, akan tetapi agaknya nenek tua renta ini masih sayang akan
hidupnya, masih suka hidup. Dara itu tersenyum dan dengan langkah seenaknya dia
mendekati tebing jurang lalu berkata, “Baiklah, Locianpwe. Kalau begitu mari
kita mampus bersama!”
“Heiii....! Apa.... apa maksudmu....?” Nenek
itu menjerit sambil memandang ke bawah, ke dalam jurang yang tertutup kabut
tebal itu.
“Locianpwe lebih suka hidup, akan tetapi aku
lebih suka mati. Kita meloncat ke bawah, mungkin di bawah sana terdapat air
yang akan menelan dan membuat kita mati tenggelam, mungkin juga batu-batu
runcing tajam seperti pedang yang akan menerima tubuh kita sampai hancur
berkeping-keping, atau batu keras yang menerima tubuh kita sampai gepeng. Mari
kita mampus bersama!”
“Heiii, jangan....! Gila kau....! Dua puluh
tahun aku bersusah-payah mempertahankan hidupku, masa sekarang akan kauakhiri
begitu saja. Biarkan aku turun....!”
Akan tetapi kini Ceng Ceng menggunakan kedua
tangannya memegang erat-erat dua kaki yang lumpuh itu. “Tidak, aku tidak akan
menurunkanmu, aku akan mengajakmu mampus bersama, untuk menjadi temanku pergi
ke neraka menerima siksaan di sana!”
“Lepaskan.... aihh.... aku tidak mau mati....
belum mau mati....!” Kini nenek itu merengek dan hampir menangis.
Ceng Ceng tersenyum geli. Biarpun dia telah
terjebak ke tempat mengerikan itu, namun pada saat itu dia lupa akan
kesengsaraannya dan dia gembira dapat mempermainkan nenek yang seperti iblis
ini. “Aku hanya mau menurunkan Locianpwe dan tidak akan meloncat ke bawah
kalau Locianpwe suka berjanji untuk mengangkat murid kepada teecu dan
menurunkan semua ilmu kepandaian Locianpwe kepada teecu.”
“Baik, aku berjanji.... lekas mundur jauhi
tebing ini.... hihhh....!”
Ceng Ceng melompat mundur, melepaskan kedua
kaki nenek itu dan Ban-tok Mo-li meloncat turun. Mereka berhadapan dan kembali
Ceng Ceng merasa ngeri dan jijik, akan tetapi juga kasihan menyaksikan nenek
itu menelungkup seperti seekor kadal.
“Kau.... kau bocah nakal dan cerdlk, hi-hik!
Kau memang pantas menjadi muridku, Lu Ceng. Aku memang membutuhkan teman di
sini, dan kalau kau menjadi muridku, berarti kita tidak akan saling berpisah
pula, Nah, mulai saat ini kau menjadi muridku.”
Karena tidak ada pilihan lain dan agaknya dia
harus pula mengandalkan kepandaian nenek ini untuk dapat keluar, selain itu
juga dia ingin memperdalam ilmunya agar dia kelak dapat mencari sendiri jalan
keluar kalau nenek itu tidak mau membantunya, Ceng Ceng lalu menjatuhkan diri
berlutut sambil berkata, “Teecu Lu Ceng menghaturkan terima kasih kepada Subo
(Ibu Guru).”
“Heh-heh-heh, engkau tidak tahu betapa
beruntungnya kau hari ini, Lu Ceng. Engkau tidak tahu siapakah Ban-tok Mo-li
Ciang Si yang kauangkat menjadi guru ini. Aku sendiri mungkin tidak terkenal,
akan tetapi suhengku adalah seorang di antara tokoh-tokoh nomor satu dari
Pulau Neraka. Suhengku Bu-tek Siauw-jin (Manusia Hina Tanpa Tanding) adalah
seorang tokoh Pulau Neraka yang suka merantau dan dari Suheng itu aku
memperoleh banyak ilmu mujijat. Hi-hik, kau beruntung sekali.”
Mulai hari itu Ceng Ceng berdiam di tempat
terasing ini bersama gurunya dan di dalam penyelidikannya, tempat itu
benar-benar terputus dari dunia luar.
Untung bahwa di dalam terowongan terdapat
sumber air yang terus menetes dari dinding batu, dan untuk menyambung hidup,
selama puluhan tahun gurunya hanya makan daun-daun dari tanaman yang merambat
di tepi jurang di luar guha, jamur-jamur yang banyak tumbuh di dalam
terowongan, ribuan macam banyaknya, dan akar-akar tetumbuhan yang terpendam di
dalam tanah di guha dan di luar guha.
Akan tetapi Ceng Ceng tidak mau meniru gurunya
yang kadang-kadang makan cacing dan binatang dalam tanah lainnya. Dia merasa
jijik dan karena dia tidak lumpuh seperti gurunya, akhirnya dia berhasil juga
menyambit jatuh burung-burung yang kebetulan terbang di tempat tinggi itu.
Setelah berhari-hari tinggal dengan Ban-tok
Mo-li Ciang Si, dia mendengar penuturan gurunya dan memperoleh kenyataan bahwa
gurunya itu memang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Tidak saja ilmu
silatnya luar biasa, akan tetapi terutama sekali gurunya adalah seorang ahli
besar dalam soal racun. Berkat latihannya yang tekun selama beberapa puluh
tahun, gurunya telah menguasai semua racun, bahkan seluruh tubuh gurunya
mengandung racun yang dapat dipergunakan untuk membunuh lawan. Dari tamparan
tangannya, sampai jari kukunya, sabetan rambutnya, gigitan mulut yang tak
bergigi lagi, sampai ludahnya mengandung racun yang cukup berbahaya dan dapat
membunuh lawan!
Biarpun pada waktu itu dia belum melihat
kemungkinan untuk dapat terbebas dari neraka itu, namun Ceng Ceng tidak putus
asa dan tidak mau membenamkan dirinya dalam kedukaan atau keputusasaan yang
menggelisahkan. Dia tetap gembira, merasa yakin bahwa pada suatu saat kalau
ilmu kepandaiannya sudah tinggi, dia pasti akan dapat keluar dari tempat itu.
Pikiran inilah yang membuatnya tetap gembira dan bahkan membuatnya makin tekun
mempelajari ilmu dari nenek luar biasa itu.
Pada suatu hari, kurang lebih sebulan semenjak
Ceng Ceng berada di tempat itu, sehabis latihan pagi, Ceng Ceng memberanikan
dirinya bertanya kepada gurunya, “Subo, bagaimanakah Subo sampai dapat berada
di tempat ini, dan bagaimana pula Subo yang berilmu tinggi sampai dapat
menderita penyakit lumpuh kedua kaki Subo?”
Pada saat itu, Ban-tok Mo-li Ciang Si sedang
menggelung rambutnya. Semenjak Ceng Ceng berada di situ, melihat kebersihan
muridnya yang setiap hari mandi dan mencuci pakaian, dia terbawa oleh kebiasaan
ini dan mulailah dia mau mengurus tubuh dan pakaiannya. Pakaiannya kini
bersih, dicucikan oleh muridnya dan rambutnya pun bersih dan disanggul, tidak
seperti biasanya terurai dan kotor, membuatnya kelihatan seperti kuntilanak.
Mendengar pertanyaan muridnya itu, mukanya yang pucat menjadi merah dan
sepasang matanya mengeluarkan sinar marah.
“Kalau yang mengajukan pertanyaan itu orang
lain, tentu akan kubunuh seketika juga karena pertanyaan itu mengingatkan aku
akan hal-hal yang tidak menyenangkan. Akan tetapi karena kau muridku, sebaiknya
kau tahu karena hanya engkaulah yang kuharapkan kelak akan dapat membalaskan
penderitaanku ini kepada mereka itu.”
“Mereka siapakah, Subo? Dan apa yang mereka
lakukan kepadamu?”
“Ahhh....” Nenek itu menarik napas panjang.
“Mungkin hari ini atau besok mereka akan datang ke sini untuk menagih janji,
mengambil kitab catatanku tentang racun....”
Ceng Ceng menekan jantungnya yang
berdebar-debar keras penuh ketegangan. Mereka akan datang ke tempat itu? Hal
ini membuktikan bahwa terdapat jalan untuk memasuki tempat ini dan berarti ada
pula jalan keluarnya!
Biarpun dia tidak mengatakan sesuatu, gurunya
dapat menduga jalan pikirannya dan gurunya berkata, “Percuma saja, Lu Ceng.
Sudah hampir dua puluh tahun aku berada di sini dan apakah kaukira aku selama
itu tidak berusaha menemukan jalan keluar itu? Akan tetapi aku tidak berhasil.
Jalan rahasia itu hanyalah diketahui oleh mereka berdua, karena memang tempat
ini adalah milik mereka, dahulu adalah tempat pertapaan mereka.”
“Siapakah mereka?”
“Dua orang iblis berwajah manusia yang
terkenal dengan ulukan Siang Lo-mo (Sepasang Iblis Tua), dua orang kembar yang
amat jahat.”
“Mengapa mereka menganiaya Subo?”
Nenek itu kembali menarik napas panjang. “Dua
puluh tahun yang lalu mereka bertemu denganku dan hanya setelah mereka maju
mengeroyok saja aku terpaksa kalah. Mengetahui bahwa aku memiliki ilmu yang
tinggi tentang racun, mereka memaksaku untuk membuatkan kitab cacatan tentang
selaksa racun. Aku tidak sudi, biarpun mereka memaksaku. Mereka amat keji,
dengan marah mereka lalu menghancurkan tulang-tulang kedua kakiku.”
“Aihhh....!” Ceng Ceng menjerit ngeri.
“Kemudian mereka membawa aku yang pingsan ke
dalam tempat ini. Ketika aku sadar, mereka mengancam akan datang membunuhku
kalau aku tidak mau memenuhi permintaan mereka. Aku tetap menolak dan sampai
sekarang mereka belum juga membunuhku. Karena aku tahu bahwa tidak dapat keluar
dari sini, aku memperdalam ilmuku teniang racun dan aku siap untuk membunuh
mereka. Paling akhir mereka mengancam bahwa mereka akan datang untuk yang
terakhir, kalau aku tidak memberikan catatan racun, mereka tentu benar-benar
akan membunuhku. Hari yang dijanjikan itu adalah hari ini atau besok pagi. Akan
tetapi, aku sudah siap menghadapi mereka dan mereka akan mampus,
hi-hi-hi....!”
“Maksud Subo, Subo hendak melawan dan akan dapat
mengalahkan mereka?”
“Tidak, kalau melawan berterang, tidak
mungkin dapat menangkan dua orang kembar itu. Akan tetapi sudah bertahun-tahun
aku merencanakan akal, mari kaulihat saja dan bantu aku membuat persiapan!”
Ceng Ceng mengikuti subonya memasuki guha dan
sesampainya di mulut terowongan yang berada di sebelah dalam guha, nenek itu
berhenti dan mengeluarkan bunyi mendesis-desis dan diseling suara melengking.
“Subo memanggil Siauw-liong (Naga Kecil)?”
Ceng Ceng yang sudah pernah mendengar subonya memanggil ular besar itu
bertanya. Selama sebulan di tempat itu baru pagi hari ini dia merasakan
ketegangan hebat setelah mendengar bahwa tempat itu akan kedatangan musuh yang
lihai, bukan hanya tegang karena musuh itu melainkan karena harapannya bahwa
dia akan dapat menemukan jalan keluar yang dirahasiakan oleh sepasang kakek
iblis itu.
Tak lama kemudian, terdengar suara
mendesis-desis dan muncullah ular besar yang merayap dari dalam terowongan.
Nenek itu juga merayap dekat, lalu memegang leher dan perut ular dengan kedua
tangan, kemudian dengan gerakan tiba-tiba dia melemparkan ular itu ke atas, ke
arah batu menonjol di atas guha. Ular itu menggunakan ekornya melibat batu dan
berdiam di situ tak berani bergerak lagi, melingkari batu.
Setelah melihat ular itu di tempat seperti
yang dikehendakinya, Ban-tok Mo-li tertawa, kemudian mengeluarkan sebuah
bungkusan dari saku bajunya, membuka bungkusan yang ternyata berisi bubuk
berwarna hitam. Ditaburkannya bubuk itu di sepanjang jalan terowongan di mulut
guha sebelah dalam. Tidak ada tampak bekasnya namun lantai yang ditaburi bubuk
sambil mengesot mundur itu, dari mulut terowongan sampai ke dalam sejauh tiga
meter lebih telah terlapis dengan bubuk hitam.
“Ha-ha-ha, kau akan melihat mereka bergelimpangan,
Lu Ceng.” Nenek itu tertawa sambil mengantongi lagi kertas pembungkus racun
hitam tadi.
“Apakah Subo akan berhasil?” Ceng Ceng
bertanya ragu, mengingat akan cerita gurunya betapa lihai kedua orang kakek
itu.
“Hi-hi-hik, tentu saja! Racun itu tidak tampak
sama sekali, akan tetapi sekali menyentuhnya, biar memakai sepatu sekalipun,
yang menginjaknya akan roboh dan tewas. Andaikata kakek kembar iblls busuk itu
mampu melewatinya, tentu Siauw-liong yang girang melihat kedatangan korban akan
menyerang mereka. Serangan ini tentu akan membuat mereka meloncat mundur lagi
dan mau tidak mau akan menginjak racun hitam. Heh-heh-heh!”
“Kalau gagal bagaimana, Subo?”
“Hemm, gagal? Aku sudah siap dengan
jarum-jarumku yang akan kusebar dari sebelah luar guha. Dan engkau selama ini
sudah berlatih melempar jarum beracun dan pasir beracun, kaubantu aku
menyerang dari samping kiri.”
“Baik, Subo.”
“Nah, kita siap sekarang.”
Nenek itu lalu mengesot ke sebelah kanan mulut
guha, bersembunyi di balik batu besar. Ceng Ceng juga melompat ke samping kiri
mulut guha, siap dengan jarum merah beracun dan pasir yang dikantonginya.
Jantungnya berdebar tegang. Yang menjadi perhatian sepenuhnya adalah
kemungkinan baginya untuk menemukan jalan rahasia keluar dari tempat itu!
Kalau selama sebulan ini dia kurang giat mencari jalan keluar adalah karena dia
sudah putus harapan untuk dapat menemukan jalan keluar, karena dia tidak tahu
bahwa memang terdapat jalan rahasia. Kini, setelah mendengar cerita gurunya,
timbul semangatnya. Kalau orang lain mampu keluar masuk tempat ini, mengapa dia
tidak?
Menanti merupakan pekerjaan yang paling
melelahkan. Apalagi dalam suasana di mana ketegangan mencekam hati seperti
saat itu. Sejak pagi Ceng Ceng menanti bersama subonya, di kanan kiri mulut
guha, bersembunyi sambil mengintai ke sebelah dalam terowongan yang hitam
pekat. Apalagi dia sebagai manusia yang dipermainkan pikiran dan khayal
pikirannya sendiri, sedangkan ular besar itu pun mulai kelihatan gelisah akan
tetapi tidak berani merayap turun karena takut sekali kepada nenek itu. Hanya
kepalanya saja digoyang-goyang ke kanan kiri, matanya melirik-lirik dan
lidahnya berkali-kali dijulurkan keluar sambil mengeluarkan suara
mendesis-desis. Setiap kali dia mendesis, nenek itu mendesis-desis keras dan
ular itu terdiam.
Ceng Ceng sudah hampir tidak kuat lagi
menahan. Dia adalah seorang dara yang lincah gembira, mana dia dapat tahan
untuk diam saja seperti arca selama berjam-jam? Matahari telah naik tinggi dan
sudah lebih dari tiga jam mereka menanti di situ. Akan tetapi baru saja dia
hendak membuka mulut mengajak subonya bicara, nenek itu menggerakkan tangan
memberi isyarat agar dia tidak mengeluarkan suara. Ceng Ceng menarik napas
panjang dan menundukkan mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan
main. Dengan amat jelas terdengarlah suara orang tertawa, jauh dari sebelah
dalam terowongan itu!
“Ha-ha-ha-ha! Ban-tok Mo-1i nenek ular yang
buruk! Keluarlah kau...., kami datang menagih janji! Ha-ha-ha-ha!”
Ceng Ceng merasa ngeri. Baru suaranya saja
sudah membayangkan bahwa orang yang tertawa itu mempunyai kekejaman luar
biasa! Keadaan menjadi sunyi sekali dan amat menyeramkan setelah suara tertawa
dan kata-kata itu habis gemanya. Dara itu melirik ke arah subonya dan melihat
betapa nenek itu juga tegang, memandang ke dalam guha sambil mengintai dari
balik batu besar, jarum-jarum hitam di kedua tangannya. Ceng Ceng juga
mempersiapkan jarum merah di tangan kanan dan pasir di tangan kiri. Pasir yang
digenggamnya itu bukanlah pasir biasa melainkan pasir yang didapat di lantai
guha itu dan yang sudah direndam dalam racun oleh subonya. Dia sendiri sudah
menggunakan obat pemunahnya sehingga tidak berbahaya baginya, namun lawan yang
terkena pasir ini, sedikit saja lecet kulitnya tentu akan terancam bahaya maut
karena dari luka itu racun pasir akan meracuni semua jalan darahnya!
Tiba-tiba tampak bayangan dua orang di sebelah
dalam terowongan. Karena di dalam terowongan itu memang gelap sekali, maka
yang tampak hanya bayangannya saja, akan tetapi dengan jantung berdebar Ceng
Ceng merasa pasti bahwa bayangan itu tentulah sepasang kakek kembar Siang
Lo-mo, musuh dari gurunya. Apakah mereka itu akan menginjak lantai yang
beracun? Ataukah akan meloncati tempat itu? Akan tetapi kini dia mengerti akan
siasat gurunya. Gurunya mengajak dia bersembunyi, dan hal ini merupakan jebakan
dan pancingan. Kalau tidak kelihatan ada orang di situ, tentu dua orang kakek
itu akan berhati-hati dan akan maju perlahan-lahan, tidak berani sembarangan meloncat
begitu saja, khawatir akan terjebak. Dan karena hati-hatinya, tentu dua orang
kakek itu akan menginjak lantai yang sudah dipasangi racun dan yang tidak
nampak sama sekali.
Ceng Ceng melihat dua orang atau dua bayangan
itu bergerak melangkah maju, dan dia melihat pula betapa Siauw-liong, ular
besar itu sudah mulai menjulurkan kepalanya ke bawah, agaknya dengan air liur
membasahi lidahnya binatang itu sudah siap untuk mencaplok korban yang akan
menjadi mangsanya itu.
Setapak demi setapak dan bayangan orang itu
melangkah maju, makin mendekati lantai beracun, dan makin berdebar pula rasa
jantung Ceng Ceng. Mereka itu makin dekat dan tiba-tiba terdengar jerit
melengking dan kedua orang itu roboh tepat di atas lantai beracun. Mereka roboh
begitu kaki mereka menyentuh lantai itu! Bukan main ngeri, kagum dan juga
girangnya hati Ceng Ceng karena melihat dua orang musuh tangguh dari gurunya
itu dapat dirobohkan sedemikian mudahnya. Dia hendak meloncat keluar akan
tetapi mengurungkan niatnya ini ketika dia menoleh ke arah gurunya, dia
melihat gurunya itu dengan muka pucat dan pandang mata gelisah memberi isyarat
agar dia tetap bersembunyi. Bahkan gurunya kini siap untuk melemparkan
jarum-jarumnya ke depan!
Selagi Ceng Ceng terheran-heran dan bingung
melihat sikap gurunya, tiba-tiba terdengar suara dua orang tertawa-tawa dan
dari dalam terowongan berkelebatlah dua sosok bayangan orang. Sambil
tertawa-tawa dua orang itu meloncat ke depan, menginjak punggung dua orang
pertama yang masih menelungkup di atas lantai beracun, kemudian dari punggung
itu mereka meloncat ke depan dan barulah tampak oleh Ceng Ceng bahwa yang
meloncat hanya satu orang sedangkan orang ke dua duduk di atas pundak orang
pertama. Orang pertama yang berada di bawah itu memakai sepatu kulit tebal dan
orang ke dua yang duduk di atas pundak orang pertama itu tidak bersepatu,
bahkan tidak berpakaian kecuali hanya sepotong cawat!
Tiba-tiba ular besar tadi menyerang ke bawah.
“Heh-heh-heh!” Orang yang tidak berpakaian dan hanya bercawat itu terkekeh.
“Masih ada permainanmu yang lain lagi, Nenek Buruk?” Bentaknya dan kedua
tangannya bergerak cepat, dengan jari-jari tangan kurus panjang disodokkan ke
arah kepala ular, jari-jari tangan itu telah menembus kulit ular seperti
pisau-pisau runcing masuk ke dalam kepala dan leher ular besar itu! Darah
muncrat-muncrat dan tubuh ular itu melorot turun, mencoba untuk membelit dua
orang tadi.
Pada saat itu, Ban-tok Mo-li sudah
menggerakkan kedua tangannya bergantian dan sinar-sinar hitam menyambar ke
arah dua orang kakek itu, disusul sinar-sinar merah dari jarum-jarum Ceng Ceng
dan sinar putih dari pasir beracunnya. Namun, sambil tertawa kakek yang
telanjang itu telah memutar-mutar bangkai ular besar sehingga semua serangan
jarum dan pasir mengenai tubuh ular, membuat ular itu mati seketika dan tidak
berkelojotan lagi. Kakek telanjang membuang bangkai ular dan melompat turun,
kemudian kedua orang kakek itu melompat keluar mulut guha.
Ceng Ceng kini dapat memandang dengan jelas.
Wajah kedua orang kakek itu bentuknya sama benar dan jelas bahwa mereka adalah
orang kembar. Namun kesamaan ini lenyap oleh perbedaan-perbedaan lain yang
amat mencolok. Kakek pertama memakai pakaian lengkap dan serba baru, dari
sepatu kulit sampai baju bulunya yang amat indah, mukanya pun berwarna pucat
putih seperti kapur dan mukanya serius. Melihat baju mantel bulu dan penutup
kepala bulu halus yang mahal itu pantasnya dia adalah seorang hartawan besar
yang mengenakan pakaian untuk musim salju dan agaknya dia terus merasa
kedinginan! Adapun kakek ke dua sama sekali tidak memakai pakaian kecuali cawat
atau celana pendek sekali itu, tubuhnya yang kurus itu seperti selalu terasa
gerah dan mukanya pun kemerahan seperti dipanggang! Kakek inilah yang
tertawa-tawa dan sikapnya seperti orang gembira biarpun wajahnya yang merah itu
kelihatan menyeramkan seperti orang mabuk atau orang yang marah.
“Heh-heh-heh-heh, Ban-tok Mo-li, kaukira kami
orang-orang bodoh? Untung kami menemukan dua orang di atas sana dan untung pula
ada ular besar. Heh-heh!” kata kakek bermuka merah.
“Ban-tok Mo-li, cepat kauberikan kitab catatan
racun kepada kami!” Kakek muka putih menyambung. Si Muka Putih ini berjuluk
Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Utara) sedangkan Si Muka Merah adalah adik
kembarnya, berjuluk Lam-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Selatan). Seperti telah
diceritakan di bagian depan cerita ini, kedua orang kakek kembar ini lebih
terkenal dengan sebutan Siang Lo-mo (Iblis Tua Kembar) dan pernah menyerbu ke
Pulau Es memusuhi Pendekar Super Sakti namun dikalahkan oleh pendekar itu dan
kedua orang isterinya yang sakti. Mereka ini berasal dari Formosa (Taiwan) dan
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Si Muka Putih Pak-thian Lo-mo itu
memiliki Im-kang yang amat kuat sehingga tubuhnya kedinginan terus maka dia
selalu memakai pakaian tebal. Sebaliknya, Si Muka Merah Lam-thian Lo-mo adalah
seorang ahli Yang-kang sehingga tubuhnya yang kurus itu selalu telanjang
karena dia merasa gerah terus.
“Aku tidak akan menyerahkan kitab apa pun
kepada kalian dua manusia iblis!” Ban-tok Mo-li memekik dengan marah, matanya
memandang dengan sinar berapi penuh kebencian.
“Kau bosan hidup!” Pak-thian Lo-mo membentak
marah.
“Heh-heh-heh, siapa takut mampus? Kalian
majulah, hendak kulihat siapa di antara kita yang akan mampus lebih dulu!”
nenek itu menantang sambil tertawa mengejek.
“Singgg....!” Pak-thian Lo-mo sudah melolos
sabuknya yang panjang berupa pecut baja yang mengerikan.
“Eihh, Pak-heng (Kakak Pak), perlahan dulu.
Jangan mudah dibujuk oleh nenek busuk ini. Keenakan kalau dia dibunuh begitu
saja, ha-ha-ha!” Lam-thian Lo-mo mencegah kakak kembarnya. “Kalau dia berkeras
tidak mau memberikan catatan itu memang sudah selayaknya dia mampus, akan
tetapi harus mati perlahan-lahan dan kita siksa dulu sepuasnya!”
Agaknya Pak-thian Lo-mo yang amat menginginkan
pengetahuan tentang segala macam racun itu, mengerti akan akal adik kembarnya,
maka dia hanya bersungut-sungut sambil menyimpan kembali senjatanya yang
ampuh.
“Ban-tok Mo-li dengarlah.” Lam-thian Lo-mo
berkata sambil tertawa. “Telah puluhan tahun engkau hidup seperti ular, kedua
kakimu lumpuh, akan tetapi engkau masih dapat menggunakan kedua lenganmu untuk
mengesot dan merangkak. Sekarang, kalau kau tidak mau menyerahkan catatan itu,
kami akan melumpuhkan kedua lenganmu pula. Hendak kullhat bagaimana kau akan
dapat merayap maju, apakah akan berlenggak-lenggok seperti ular, ha-ha-ha!”
“Heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo. Siapa tidak
mengetahui kelicikan kalian manusia iblis yang sudah mau mampus?” nenek itu
balas mengejek. “Kalian takut mendekati aku, karena begitu mendekat, kalian
tentu akan mampus, maka kalian menggertak. Hendak kulihat bagaimana kalian
hendak membuntungi atau melumpuhkan kedua tanganku ini, hi-hik. Majulah!”
Dua orang kakek itu saling pandang. Memang apa
yang diucapkan oleh nenek ini benar. Mereka berdua maklum betapa nenek ini
setelah lumpuh kedua kakinya, selama dua puluh tahun memperdalam ilmunya
sehingga kini merupakan lawan yang amat berbahaya, seolah-olah keadaan di sekeliling
nenek itu beracun!
“Pak-heng, memang kau benar. Nenek busuk ini
harus dihajar. Disangkanya kita tidak bisa menghajarnya dari jarak jauh!” kata
Si Muka Merah.
“Memang dia harus dihajar sampai mampus!”
jawab Si Muka Putih. “Lam-te, mari kita serang dia dengan batu dari jauh, baru
kita menggunakan senjata.”
Pada saat itu, Ceng Ceng sudah tidak dapat
menahan kemarahannya lagi. Dia meloncat ke depan sambil berseru, “Dua orang
kakek berhati kejam!”
“Lu Ceng, jangan....!” Ban-tok Mo-li berteriak
namun terlambat karena dara itu sudah menyerang kepada dua orang kakek itu
dengan pukulan-pukulan tangannya.
“Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-li sudah mempunyai
seorang pembantu yang nekat!” Lam-thian Lo-mo tertawa mengejek ketika dia
bersama kakaknya dengan mudahnya mengelak dari serangan-serangan Ceng Ceng
yang marah sekali.
“Sepasang manusia iblis keji! Kalian telah
menyiksa Subo, telah membuat hidup Subo amat sengsara, dan kalian masih saja
mendesak dan mengganggunya!” Ceng Ceng memaki-maki sambil menyerang lagi dengan
ganas. Namun semua serangannya gagal karena dua orang kakek itu amat mudah
mengelaknya tanpa banyak bergerak.
Melihat betapa Ceng Ceng membelanya
mati-matian, nenek itu tercengang dan terheran-heran. Tadinya dia adalah
seorang pembenci manusia, siapa pun dibencinya dan dimusuhinya karena dia
seperti merasa bukan manusia lagi. Juga terhadap Ceng Ceng sebetulnya dia
benci, hanya karena dia enggan kehilangan dara itu yang telah datang di tempat
itu dan dapat menjadi temannya, bahkan dapat pula kelak dipaksa untuk
mengajaknya keluar, maka dia tidak membunuh Ceng Ceng bahkan menerimanya
sebagai murid. Akan tetapi sekarang, melihat betapa dara itu membelanya
mati-matian, dengan nekat melawan dua orang kakek itu, timbul perasaan terharu
dan sayang kepada Ceng Ceng, maka tentu saja dia menjadi amat khawatir melihat
betapa Ceng Ceng menyerang dua orang kakek yang tentu saja sama sekali bukan
lawan muridnya itu.
“Lu Ceng muridku...., jangan....! Mundurlah
dan biar aku yang menghadapi mereka!” Nenek itu berteriak-teriak sambil
mengesot maju.
Dua orang kakek kembar itu adalah orang-orang
yang cerdik. Sebetulnya mereka tidak ingin benar membunuh nenek itu karena
memang tidak mempunyai permusuhan apa-apa. Yang penting bagi mereka adalah
kepandaian nenek itu tentang racun, dan semua penyiksaan dan ancaman yang
mereka lakukan terhadap Ban-tok Mo-li semata-mata karena ingin memaksa nenek
itu menyerahkan catatan tentang racun. Kalau sampai mereka membunuh nenek itu
tentu karena kecewa dan marah akan kekerasan hati nenek itu. Kini mereka dapat
melihat sikap Ban-tok Mo-li, dan mendengar dalam suara nenek itu terkandung
rasa sayang kepada gadis yang menjadi muridnya itu, maka sekaligus mereka telah
dapat menentukan sikap dan akal mereka. Memang ada pertalian batin yang aneh
di antara dua orang kembar ini, kadang-kadang tanpa kata-kata mereka sudah
dapat mengerti isi hati masing-masing.
Lam-thian Lo-mo tertawa bergelak, lalu
tubuhnya bergerak membalas serangan Ceng Ceng. Dara ini terkejut bukan main
menyaksikan serangan yang amat dahsyat itu. Lengan telanjang itu menyerangnya
dengan berbareng, yang kiri mencengkeram ke arah dadanya dengan jari-jari
terbuka, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya. Dia cepat
meloncat ke belakang sambil menggerakkan kedua tangan menangkis, akan tetapi
tiba-tiba ada hawa dingin menyambar dari arah belakang dan sebelum dia sempat
mengelak, kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh kedua tangan
Pak-thian Lo-mo! Ceng Ceng meronta-ronta, akan tetapi Lam-thian Lomo
tertawa-tawa dan sudah menyambar ke bawah dan di lain saat tubuh dara itu sudah
tergantung dan terlentang seperti seekor rusa ditangkap dan hendak disembelih.
Kedua tangannya dipegang oleh Pak-thian Lo-mo sedangkan kedua kakinya dipegang
oleh Lam-thian Lo-mo. Ceng Ceng hanya meronta-ronta memaki-maki, akan tetapi
tidak berdaya melepaskan diri dari pegangan kedua orang kakek itu. Kalau
mereka menghendaki, betapa mudahnya bagi mereka untuk membunuh dara itu.
“Lu Ceng....!” Ban-tok Mo-li menjerit
ketika melihat muridnya tertawan. “Siang Lo-mo, keparat busuk! Lepaskan
muridku!”
“Ha-ha-ha!” Lam-thian Lo-mo tertawa dan
bersama kakak kembarnya dia menghampiri tepi jurang depan guha. “Ban-tok
Mo-li, kaulihatlah dulu muridmu yang cantik jelita dan muda belia ini terbang
ke bawah sana agar tubuhnya hancur lebur di dasar jurang yang tak tampak dari
sini, dengar saja jeritnya yang melengking nanti agar dapat kaunikmati
sebelum kau mampus pula di tangan kami. Ha-ha-ha!” Bersama kakak kembarnya, Lam-thian
Lo-mo mengayun-ayun tubuh dara itu dan siap untuk melepaskan pegangan dan
melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.
“Tunggu....! Tahan....! Kalian menghendaki
catatan racun? Sudah kubuatkan....!” Nenek itu menjerit penuh kegelisahan
melihat tubuh muridnya sudah hampir dilempar ke jurang.
“Ha-ha-ha-ha, siapa percaya omonganmu, nenek
busuk?” Lam-thian Lo-mo mengejek.
“Bedebah! Ini kitabnya! Sudah kupersiapkan!”
Nenek itu merogoh pinggangnya mengeluarkan sejilid kitab kecil bersampul hitam.
“Bagus! Berikan itu kepada kami dan kami akan
membebaskan muridmu,” kata pula Lam-thian Lo-mo, girang bukan main karena isi
kitab itu akan membuat mereka berdua bertambah lihai.
“Lemparkan dia kepadaku dan aku akan
melemparkan kitab ini kepadamu!” nenek itu kini menahan karena melihat betapa
musuh amat menginginkan kitab itu.
“Baik, aku akan melemparkannya kepadamu. Akan
tetapi kau juga harus melemparkan kitab itu kepadaku.” Lam-thian Lo-mo
berkata.
“Nanti dulu, Lam-te!” Pak-thian berkata
tenang. “Jangan sampai dapat ditipu nenek busuk itu! Peganglah tangan gadis
ini!”
Lam-thian Lo-mo memegang pergelangan kedua
kaki Ceng Ceng dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya kini menggantikan
kakak kembarnya memegangi kedua pergelangan tangan gadis itu. Kuat sekali
kedua tangan kakek kurus bermuka merah ini sehingga Ceng Ceng merasa betapa
kedua kaki tangannya seperti dijepit alat dari baja dalam genggaman jari-jari
tangan kakek itu. Pak-thian Lo-mo lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan
putih, kemudian memakainya. Setelah itu baru dia berkata, “Nah, sekarang
pertukaran boleh dilakukan, Lam-te.”
“Ha-ha-ha, kau benar cerdik, Pak-heng. Aku
sampai lupa bahwa tentu kitab itu penuh dengan racun berbahaya pula!” Dia
memandang nenek itu yang kelihatan marah-marah. “Ban-tok Mo-li, lagi-lagi
siasatmu tidak berhasil, ha-ha! Hayo lempar kitab itu kepada Pak-heng dan aku
akan melemparkan dara ini kepadamu!”
“Keparat, iblis busuk!” Nenek itu memaki dan
melemparkan kitab hitam kepada Pak-thian Lo-mo pada saat Lam-thian Lo-mo
melemparkan tubuh Ceng Ceng kepadanya.
Tubuh Ceng Ceng tentu akan terbanting kalau
saja kedua tangan subonya tidak menyangganya dan menariknya agar dara itu duduk
di sebelahnya dan dapat dilindunginya. Sementara itu, Pak-thian Lo-mo sudah
membalik-balik kitab kecil dan wajahnya yang serius itu kini berseri melihat
catatan racun-racun dengan obat pemunahnya. Dia mengangguk kepada adik
kembarnya dan keduanya lalu melompat jauh melewati kepala Ceng Ceng dan Ban-tok
Mo-li, melompati pula lantai beracun seperti tadi, yaitu Lam-thian Lo-mo, di
atas pundak kakak kembarnya yang meloncat dan menginjak mayat dua orang tadi
sebagai batu loncatan, kemudian keduanya menghilang di dalam terowongan gelap.
Ceng Ceng sudah bangkit berdiri hendak mengejar,
akan tetapi tangannya dipegang oleh nenek itu. “Kau mau apa?”
“Subo, aku hendak membayangi mereka untuk
mencari jalan keluar mereka.”
“Sssttt.... percuma. Mereka bergerak cepat
sekali dan kalau sampai ketahuan kau membayangi mereka, tentu kau akan mereka
bunuh.”
Ceng Ceng mengurungkan niatnya, akan tetapi
diam-diam dia mengingat semua peristiwa tadi, tentang kemunculan mereka, suara
mereka ketika pertama kali datang, agar dia dapat menyelidiki dan mengira-ngira
dari mana kiranya mereka itu datang ke dalam terowongan. Dia menyangka bahwa
sudah pasti di dalam terowongan yang gelap itu terdapat sebuah pintu rahasia
yang menghubungkan tempat itu dengan dunia luar.
“Jangan mengharapkan yang bukan-bukan,
muridku. Selama betahun-tahun aku telah menyelidiki seluruh tempat itu, telah
memeriksa seluruh terowongan, namun tidak berhasil menemukan. Sekarang lebih
baik kau tekun belajar agar dapat menguasai semua ilmuku sehingga kelak kalau
mereka berdua datang, kau akan mampu merobohkan mereka dan memaksa mereka
mengantarmu keluar dari sini.”
“Apakah mereka akan datang lagi setelah
berhasil merampas kitab?”
Nenek itu menyeringai lalu tertawa.
“Heh-heh-heh, mereka mengira aku ini orang macam apa? Sudah kuatur sebelumnya
dan biarpun racun yang kuoleskan pada kitab itu tidak berhasil karena
kecerdikan Pak-thian Lo-mo, namun aku sengaja membuat obat ramuan pemunah satu
diantara racun yang paling jahat secara keliru. Kalau mereka kelak mendapat
kenyataan itu, apalagi kalau mereka membutuhkan obat pemunah, tentu mereka
akan turun lagi ke sini! Dan sementara itu, engkau tentu sudah pandai dan
dapat kita bersama membunuh mereka....”
“Membunuh....?”
“Maksudku, membunuh setelah mereka kita paksa
membawa kita keluar.” Nenek itu cepat menyambung. Ceng Ceng boleh jadi cerdik,
namun dia tidak mampu melawan kecerdikan nenek itu sehingga tidak dapat
menduga isi hati nenek itu yang sebenarnya. Nenek itu sama sekali sudah tidak
mempunyai keinginan untuk keluar dari tempat itu. Apa gunanya keluar kalau dia
sudah menjadi seorang manusia tak berguna seperti itu? Hanya akan mendatangkan
penghinaan dan rasa malu. Akan tetapi dia ingin melihat muridnya ini
berkepandaian tinggi agar kelak dapat membalaskan sakit hatinya, dapat
membunuh dua orang kakek itu. Soal mereka akan dapat keluar dari tempat itu
atau tidak, sama sekali tidak diperdulikannya.
Ceng Ceng yang tidak melihat jalan lain lalu
menghibur diri dengan belajar secara tekun sekali sehingga dia memperoleh
kemajuan pesat dan perlahan-lahan dia pun mulai memasukkan sari-sari racun yang
terdapat diantara jamur-jamur yang tumbuh di terowongan dan makin lama dia
makin berbahaya karena mulailah dia menjadi seorang “manusia beracun” seperti
ibu gurunya sehingga setiap tendangan, setiap pukulan, setiap tamparan atau
cengkeraman, mengandung racun hebat. Bahkan dia mulai melatih ilmu sin-kang
beracun untuk membuat setiap anggauta tubuhnya, sampai ke ludah-ludahnya
mengandung racun yang berbahaya!
***
Pertentangan antara para pangeran yang
dipelopori oleh dua Pangeran Tua Liong Bin Ong dan Liong Khi Ong di satu pihak
dan Perdana Menteri Su yang setia kepada Kaisar, sungguhpun merupakan
pertentangan yang tidak terang-terangan, namun telah mendatangkan keadaan
yang panas dan kacau di kota raja. Namun, berkat ketrampilan dan kegagahan
Puteri Milana dan pasukah-pasukan yang dipimpin olehnya sebagai bantuan
terhadap tugas suaminya, yaitu Perwira Pengawal Han Wi Kong, keadaan di kota
raja dapat dibikln tenteram dan aman. Kedua orang Pangeran Liong tidak berani
membuat huru-hara di kota raja karena mereka tahu bahwa pihak Menteri Su dan
Puteri Milana yang tentu saja bekerja sama itu hanya menanti sampai ada
bukti-bukti pemberontakan mereka untuk dapat turun tangan menentang mereka
secara terang-terangan.
Sebagai adik-adik dari Kaisar, tentu saja
kedua orang Pangeran Liong ini mempunyai pengaruh yang cukup besar. Tanpa
adanya bukti penyelewengan mereka, Kaisar sendiri tidak dapat mengambil
tindakan secara begitu saja. Dan mereka cukup cerdik untuk menghapus semua bekas
dan bukti pemberontakan mereka, karena mereka memiliki pembantu-pembantu yang
amat pandai, orang-orang berilmu tinggi yang mewakili mereka melakukan
hubungan dengan luar kota raja.
Pada hari itu, kota raja kelihatan ramai dan
banyak pembesar keluar dari gedung masing-masing untuk mengunjungi Istana
Pangeran Liong Bin Ong yang merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh!
Diadakan perayaan besar-besaran di dalam istana pangeran tua ini dan tentu saja
para bangsawan dan keluarga kerajaan datang semua memenuhi undangan ini.
Bahkan Perdana Menteri Su dan Puteri Milana sendiri, merasa tidak enak kalau
tidak menghadiri pesta itu, di mana mereka diundang dan termasuk tamu-tamu
kehormatan! Bahkan Kaisar sendiri mengirim hadiah ulang tahun dan mewakilkan kehadirannya
dan ucapan selamatnya kepada Perdana Menteri Su.
Gedung istana yang besar dan megah itu
dipajang meriah dan karena jumlah tamu amat banyak, maka yang datang terlambat
terpaksa dipersilakan duduk di kursi-kursi yang diatur di luar ruangan depan,
yaitu di dalam taman dan di samping kiri ruangan itu, taman yang sudah dihias
dan dirubah menjadi ruangan tamu dengan penerangan cukup dan terlindung
tenda-tenda besar.
Sejak siang tadi sampai malam, bunyi alat
musik tidak pernah berhenti, dan bau arak wangi sampai dapat tercium oleh
penduduk yang berdiri menonton pesta di luar pagar di tepi jalan raya depan
istana pangeran itu. Karena pesta itu diadakan di waktu malam, maka para tamu
datang berbondong-bondong mulai sore dan setelah keadaan menjadi gelap dan
tempat pesta itu diterangi oleh banyak sekali lampu penerangan, tempat itu
telah penuh dengan para tamu. Juga di luar pagar penuh dengan penduduk yang
menonton, sebagian besar anak-anak. Mereka ini tidak hanya ingin mendengarkan
musik dan menonton orang pesta, akan tetapi juga ingin sekali melihat
orang-orang besar dan bangsawan- bangsawan istana yang pada malam hari itu
berkumpul di situ, padahal biasanya amat sukar bagi rakyat untuk menyaksikan
mereka. Mereka memperhatikan para penyambut tamu yang meneriakkan nama tamu
yang terhormat sebagai laporan kepada pihak tuan rumah yang menyambut di
ruangan agar pihak tuan rumah tahu siapa yang telah datang di pintu gerbang dan
mempersiapkan sambutan sesuai dengan kedudukan para tamu terhormat itu.
Sejak tadi, pihak penyambut tamu di depan
tiada hentinya meneriakkan nama-nama para bangsawan yang datang berbondong,
dari pejabat militer yang tentu berkedudukan panglima sampai kepada pembesar
yang merupakan orang-orang penting dalam pemerintahan. Setiap ada nama
bangsawan disebut, orang-orang yang berkerumun di luar memanjangkan leher untuk
melihat bagaimana bentuk orangnya, karena banyak yang sudah mereka dengar
namanya namun belum pernah melihat orangnya.
“Yang terhormat Perwira Pengawal Han Wi Kong
bersama isteri, Yang Mulia Puteri Milana....!”
Seruan ini disambut oleh suara gaduh dan
bahkan ada suara tepuk tangan di antara para penonton di luar pagar. Siapakah
yang tidak mengenal nama Puteri Milana? Bagi penghuni kota raja, besar kecil
semua mengenal nama ini dan merasa kagum serta berterima kasih karena puteri
inilah yang selalu menentang para pengacau dan puteri ini yang selalu siap
melindungi rakyat apabila terjadi penindasan dari pihak pemerintah atau alat
pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaannya.
“Hidup Yang Mulia Puteri Milana....!”
Terdengar seruan diantara para penonton itu dan bahkan anak-anak yang berada di
situ berebut tempat untuk dapat melihat dengan lebih jelas wajah Puteri Milana
yang mereka kagumi dan hormati itu. Diantara para penonton ini, terdapat dua
orang pemuda yang juga memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah
berseri-seri kepada puteri yang baru turun dari kereta bersama suaminya,
seorang perwira yang tampan dan gagah itu.
Perwira itu adalah Han Wi Kong, seorang pria
berusia hampir empat puluh tahun yang bertubuh sedang, berwajah tampan dan
pendiam, berpakaian sebagai seorang perwira pengawal dengan sebatang pedang
tergantung di pinggangnya. Dengan sikap menyayang dan menghormat dia membantu
isterinya turun dari kereta. Begitu turun dan mendengar sambutan rakyat yang
menonton, Puteri Milana menoleh keluar dan mengangkat tangan melambai sambil
tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak dapat merubah wajahnya yang agak pucat
dan dingin. Dia memang cantik jelita, biarpun usianya sudah tiga puluh tahun
lebih namun tubuhnya masih ramping seperti seorang dara belasan tahun,
pakaiannya indah namun sederhana dan rambutnya tidak dihias dengan emas
permata. Pakaiannya lebih menyerupai pakaian seorang pendekar wanita yang
sering melakukan perjalanan jauh, ringkas dan sederhana daripada pakaian
seorang puteri cucu kaisar dan isteri perwira. Sehelai mantel berwarna ungu
yang lebar menutupi pakaiannya dan menyembunyikan sebatang pedang yang
tergantung di pinggangnya. Warna ungu mantelnya itu cocok sekali dengan warna
pakaiannya yang serba kuning dan dengan tenang dia melangkah di samping
suaminya, mukanya diangkat dan matanya lurus memandang ke depan, sikapnya
tenang sekali padahal semua orang dapat menduga dan dia sendiri tahu bahwa dia
memasuki guha macan!
Pangeran Liong Bin Ong menyambut Puteri Milana
dan suaminya dengan penuh kehormatan dan dengan wajah berseri dan mulut
tersenyum lebar, lalu setelah mereka saling memberi hormat seperti yang
semestinya karena pangeran itu masih terhitung paman kakeknya sendiri, Puteri
Milana lalu diantar duduk di tempat kehormatan di mana telah duduk Perdana
Menteri Su yang menyambut puteri itu dengan pandang mata penuh arti dan mulut
tersenyum.
Setelah duduk di kursi yang disediakan
untuknya, Milana memandang ke seluruh ruangan itu penuh perhatian. Dia
memperoleh kenyataan bahwa pihak tuan rumah telah mengatur sedemikian rupa
sehingga golongan yang memihak Kaisar berada di satu kelompok, adapun para
bangsawan yang diragukan kesetiaannya duduk tersebar mengelilingi kelompok itu.
Seolah-olah kelompok yang setia kepada Kaisar telah dikurung! Namun dia
bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada hal yang perlu dirisaukan.
“Wah, Enci (Kakak) Milana hebat sekali, ya?”
Seorang di antara dua pemuda yang berada diantara para penonton berkata sambil
menyiku lengan pemuda ke dua.
“Memang hebat! Mengapa kita tidak menghadap
dia, Bu-te?” kata Suma Kian Lee kepada Suma Kian Bu yang kelihatan girang dan
bangga sekali melihat kakaknya. Dua orang pemuda Pulau Es itu baru saja tiba
di kota raja siang tadi dan sebagai dua orang pemuda yang belum pernah melihat
kota besar dan seindah itu, mereka menjadi kagum dan berkeliling kota,
mengagumi segala keindahan yang amat luar biasa itu. Akhirnya mereka terbawa
oleh arus orang yang menuju ke depan istana Pangeran Liong Bin Ong yang sedang
mengadakan perayaan itu dan mereka ikut pula menonton.
“Lee-ko, Ibu telah berpesan kepadaku agar aku
pandai membawa diri di kota raja, jangan bersikap liar dan tidak sopan, karena
hal itu akan memalukan Enci Milana sebagai seorang puteri istana. Aku tidak
berani memanggilnya di tempat ini, Koko.”
“Kau benar, Bu-te. Memang tidak pantas,
apalagi pakaian kita sudah kotor begini. Enci Milana dihormat sedemikian rupa
dan dikagumi rakyat, kalau kita menegurnya dan semua orang mendengar bahwa kita
adalah adik-adiknya, tentu akan menimbulkan keributan dan akan memalukan Enci
Milana. Kita menonton saja di sini dan nanti kalau dia pulang, kita ikuti dan kita
menghadap di tempat tinggalnya.”
Kian Bu mengangguk dan kedua orang muda itu
lalu menonton ke dalam, bercampur dengan anak-anak dan orang-orang lain. Tentu
saja perhatian mereka selalu tertuju kepada Puteri Milana yang tempat duduk
kelompoknya agak tinggi sehingga dapat terlihat dari luar.
Sementara itu, sambil kadang-kadang mengangkat
cawan arak mengajak para tamunya minum, diam-diam Pangeran Liong Bin Ong
tersenyum memandang ke arah kelompok yang duduk di bagian kehormatan. Mereka
yang memusuhiku berada di situ, pikirnya melamun. Terutama sekali Perdana
Menteri Su dan Puteri Milana, musuh besarnya dan penghalang utamanya. Kalau
pada saat itu dia mengerahkan kaki tangannya dan berhasil membunuh mereka,
alangkah balknya! Akan tetapi tentu saja hal itu akan menimbulkan geger!
Sebaiknya digunakan siasat seperti yang telah diaturnya dengan para
pembantunya. Betapapun hatinya menyesal mengapa dia tidak dapat membunuh
mereka semua itu selagi kesempatan terbuka begini lebar. Sekali dia mengerahkan
para pengawal dan pembantunya, mereka yang kini terkurung itu tentu tidak akan
mampu lolos!
Tiba-tiba seorang pengawalnya menghampiri
pangeran tua ini, memberi hormat dan menyerahkan sepucuk surat tanpa
berkata-kata. Pangeran Liong Bin Ong menerima surat itu dan memberi isyarat
supaya pengawalnya mundur, kemudian sambil tersenyum dibacanya surat kecil
itu. Mendadak mukanya berubah agak pucat ketika dia membaca surat laporan dari
kepala pengawal yang disuruh melakukan penjagaan dan penyelidikan. Tulisan
pengawalnya itu adalah seperti berikut :
Menurut hasil penyelidikan,
orang-orangnya Puteri Milana telah menyelinap diantara para tamu, para
penabuh musik, dan diantara para penonton. Bahkan pasukan istimewa Perwira Han
Wi Kong melakukan baris pendam mengurung istana ini.
Pangeran Liong Bin Ong mengusap peluh dengan
saputangannya. Untung bahwa semua rencananya membunuh kelompok di tempat
kehormatan itu hanyalah merupakan lamunan kosong belaka. Kalau dilaksanakan,
sebelum hal itu terjadi, tentu dia telah ditangkap dan istana itu diserbu!
Bukan main cerdiknya Puteri Milana dan dia mengerling ke arah puteri itu dan
suaminya dengan sinar mata penuh kebencian. Tentu saja para penjaganya tidak
melihat baris pendam yang telah diatur oleh Han Wi Kong. Tentu para anggauta
pasukan istimewa itu melakukan pengurungan dengan bersembunyi, hanya siap
sewaktu-waktu untuk menyerbu dan melindungi junjungan mereka!
Pangeran Liong Bin Ong masih memandang kepada
Milana dan suaminya dengan penuh kemarahan dan kebencian. Akan tetapi karena
pada saat ituhidangan sedang dikeluarkan, dia menahan sabar dan bahkan dengan
muka dimanis-maniskan dia berdiri dari kursinya, menghampiri para tamu
terhormat sambil terbongkok-bongkok dan mempersilakan mereka menikmati hidangan
yang dikeluarkan. Mulailah para tamu makan minum sambil bercakap-cakap dan di
bagian para tamu yang kebagian tempat duduk di dalam taman, tampak Suma Kian
Lee dan Suma Kian Bu ikut pula makan minum dengan lahapnya di sebuah meja!
Ternyata Suma Kian Bu tidak dapat menahan
keinginan hatinya ketika dia melihat para tamu mulai makan minum. Bau arak
wangi dan masakan yang masih mengepulkan uap, membuat perutnya yang sudah lapar
itu menjadi makin lapar, maka dia menyentuh lengan kakaknya dan memberi isyarat
dengan kepala, kemudian tanpa menanti jawaban Suma Kian Lee yang mengerutkan
alisnya, Suma Kian Bu pergi keluar dari rombongan para penonton yang memandang
orang makan sambil menelan air liur itu. Kian Bu mengajak Kian Lee ke bagian
yang sunyi, kemudian mereka menggunakan waktu semua penonton memandang ke
dalam, seperti dua ekor burung rajawali mereka meloncati pagar tembok dan
menyusup melalui tempat gelap, akhirnya mereka dapat menyelinap masuk dan
duduk di kursi paling belakang dari rombongan tamu yang kebagian tempat di
taman! Mereka bersikap biasa saja ketika para pelayan datang membawa hidangan
dan mengangguk dengan sikap angkuh seolah-olah mereka juga tamu-tamu
kehormatan ketika para pelayan menaruh hidangan dan memandang
hidangan-hidangan dan arak yang diatur di atas meja itu dengan sikap angkuh
dan acuh tak acuh, dengan pandangan yang jelas menyatakan bahwa mereka telah
“biasa” dengan hidangan seperti itu, seperti sikap orang-orang muda bangsawan
dan kaya raya. Akan tetapi begitu para pelayan itu meninggalkan meja mereka
untuk melayani para tamu lain, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu segera menyerbu
hidangan-hidangan itu dan makan dengan lahapnya karena memang perut mereka
sudah lapar dan selamanya mereka belum pernah makan hidangan mahal selezat
itu.
Sementara itu, Pangeran Liong Bin Ong sudah
memutar otaknya. Rencananya gagal total. Tadinya dia dan anak buahnya telah
merencanakan siasat keji untuk membasmi musuh-musuhnya. Rencana ini adalah
memancing keributan sehingga terjadi pertempuran seolah-olah pihak pemberontak
mengacaukan pestanya dan di dalam kekacauan ini dia akan mengerahkan kaki
tangannya yang lihai untuk membunuh Puteri Milana dan Perdana Menteri Su,
sedangkan dia telah merencanakan untuk membiarkan dirinya “diculik” oleh pengacau.
Hal ini untuk membuktikan kebersihannya, sehingga selain musuh-musuh yang
diseganinya, Perdana Menteri Su dan Puteri Milana dapat ditewaskan, juga
Kaisar akan kehilangan kecurigaannya terhadap dirinya. Tentu saja yang
“menculiknya” adalah kaki tangannya sendiri dan dia akan mencari akal untuk
dapat lolos dari tawanan para penculik, kalau perlu dengan tuntutan penebusan
kepada pihak istana. Akan tetapi, siapa kira, Panglima Han Wi Kong, atau lebih
tepat lagi Puteri Milana karena dia menduga keras bahwa puteri itulah yang
mengatur semua ini, agaknya telah mencium rahasia itu atau juga telah menduga
akan terjadinya sesuatu yang tidak wajar sehingga istana itu dikepung oleh
pasukan terpendam sehingga tentu saja rencananya gagal karena kalau dilanjutkan,
tentu akan ketahuan bahwa dialah yang mengatur kekacauan itu.
Sambil bersungut-sungut Liong Bin Ong memberi
isyarat kepada seorang yang berdiri sebagai penjaga di sudut ruangan. Orang ini
sebetulnya adalah kepala pengawalnya yang sejak tadi memandang ke arah
majikannya setelah dia menyuruh seorang pengawal menyerahkan laporan
tertulisnya. Melihat kepala pengawal itu memandang kepadanya, Pangeran Liong
Bin Ong lalu mengangkat tangan kanannya ke atas, menekuk semua jari tangannya
kecuali jari tengah dan telunjuk. Ini merupakan isyarat rahasia bahwa dia
menghendaki agar “siasat ke dua” dijalankan, karena siasat pertama gagal total.
Memang, sebagai seorang ahli siasat, Pangeran Liong Bin Ong dan anak buahnya
telah mengatur rencana selengkapnya, yaitu telah direncanakan siasat cadangan
untuk merubah rencana kalau yang pertama gagal.
Rencana ini akan mempergunakan siasat ke dua,
tidak lagi untuk membunuh Perdana Menteri Su dan Puteri Milana. Tak mungkin
lagi dilakukan rencana pembunuhan setelah Puteri Milana dengan cerdiknya
mengatur barisan pendam mengurung istana, bahkan menyelundupkan
pengawal-pengawalnya ke dalam para tamu, para penonton bahkan ahli-ahli musik
yang sedang menghibur para tamu. Akan tetapi siasat ke dua dapat dijalankan,
yaitu untuk membuat pihak Puteri Milana malu di depan para tamu bangsawan,
yaitu dengan jalan mengadu kepandaian antara jago-jago yang telah
dipersiapkan oleh Pangeran Liong Bin Ong sebelumnya, dan pihak tamu
kehormatan yang akan ditantang dengan jalan halus.
Kalau sampai berhasil memancing kemarahan
Puteri Milana dan puteri yang perkasa itu turun tangan sendiri, itulah yang
diharapkan karena hal itu berarti bahwa siasat mereka berhasil. Kalau Sang
Puteri maju, maka hanya ada dua kerugian di pihak Puteri Milana. Kalau Sang
Puteri kalah, jelas hal ini yang dikehendaki Pangeran Liong Bin Ong, apalagi
kalau dalam pertandingan itu Puteri Milana sampai dapat ditewaskan. Andaikata
sebaliknya, karena puteri itu memang amat lihai, setidaknya puteri itu telah
merendahkan diri melayani jagoan-jagoan, dan merendahkan derajatnya sebagai
puteri cucu Kaisar dan tentu hal ini akan mudah dijadikan bahan menghasut
Kaisar agar Kaisar yang tua itu membenci cucunya yang dianggap mencemarkan
kehormatan keluarga kerajaan!
Setelah semua tamu selesai makan, Pangeran
Liong Bin Ong diam-diam memberi isyarat. Tak lama kemudian, dari rombongan
tamu yang berada di dalam taman, berdirilah dua orang, yang seorang bertubuh
tinggi besar bermuka hitam dan kelihatan kasar dan kuat sekali, sedangkan orang
ke dua tinggi kurus dengan muka kuning mata sipit, langkahnya gontai seperti
orang lemah. Kedua orang ini seperti orang mabuk berjalan menuju ke tempat
kehormatan, lalu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai di tengah ruangan
yang memang telah dipersiapkan untuk menjadi tempat gelanggang adu kepandaian
di mana hanya terdapat meja besar tempat menyimpan semua hadiah dan sumbangan.
Kedua orang itu menghadap kepada Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus
yang berkata dengan suara melengking nyaring sehingga terdengar oleh semua yang
hadir, terutama sekali oleh mereka yang duduk di panggung kehormatan karena
kedua orang itu berlutut menghadap ke situ.
“Mohon paduka sudi mengampunkan kami berdua.
Akan tetapi kami berdua menagih janji paduka untuk menguji kami di depan para
tamu yang mulia agar dapat memutuskan apakah kami patut menjadi pengawal
pribadi paduka yang dapat dipercaya.”
Semua orang tentu saja memandang dan selain
merasa heran juga berkhawatir melihat keberanian dua orang itu mengganggu
pesta dan tentu Pangeran Liong Bin Ong akan marah sekali. Akan tetapi pangeran
itu hanya memandang dengan tersenyum, sedangkan yang menjadi marah adalah
Pangeran Liong Khi Ong yang tadi mendekati kakaknya, tak lama setelah pengawal
mengantar surat. Pangeran Liong Khi Ong bangkit berdiri dari kursinya dan
sambil menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu dia membentak,
“Manusia-manusia kurang ajar! Berani kalian mengganggu pesta dengan bicara
tentang pekerjaan?” Pangeran Liong Khi Ong sudah menoleh kepada pengawal untuk
memberi perintah menangkap mereka, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bin
Ong memegang lengan adiknya itu dan berkata nyaring sehingga semua tamu
mendengar suaranya,
“Jangan persalahkan mereka! Memang aku sudah
berjanji kepada mereka untuk menguji mereka dalam pesta ini!” Kemudian
Pangeran Liong Bin Ong bangkit berdiri dan menghadapi para tamu di bagian
kehormatan sambil berkata, “Cu-wi sekalian yang mulia. Di dalam keadaan
terancam oleh pengacauan-pengacauan para pemberontak suku bangsa di luar tapal
batas, kita perlu sekali menghimpun tenaga untuk menjadi pengawal-pengawal
dan melindungl kita.”
Puteri Mllana dan Perdana Menteri Su saling
bertukar pandang dan Puteri Milana menahan senyum mengejek. Betapa tak tahu
malu pangeran tua yang menjadi paman kakeknya itu. Sudah terang, biarpun belum
ada bukti, bahwa kedua orang Pangeran Liong itulah yang mengandalkan semua
pemberontak suku bangsa, sekarang masih berani bicara seperti itu!
“Dua orang saudara dari dunia kang-ouw ini
mendengar bahwa kami sedang membutuhkan tenaga pengawal-pengawal yang sakti.
Kemarin dulu mereka datang menghadap kami dan melamar pekerjaan menjadi
pengawal pribadi. Karena kami sedang menghadapi perayaan, maka kami memutuskan
untuk menguji mereka pada saat pesta ini, sekalian untuk memeriahkan suasana
pesta. Karena kami mengerti bahwa pada saat inilah terkumpul semua tokoh gagah
perkasa yang tentu akan sudi turun tangan membantu kami untuk menguji mereka
berdua apakah benar mereka memiliki kepandaian dan patut menjadi pengawal
pribadi kami. Yang tinggi besar bermuka hitam ini adalah Yauw Siu, seorang
jagoan dari Pantai Po-hai!” Si Muka Hitam bangkit berdiri dan dengan
mengerahkan tenaga membuat otot-otot lengan dan lehernya tampak menggembung,
dia membungkuk dan memberi hormat ke empat penjuru.
“Yang tinggi kurus bermuka kuning adalah Sun
Giam, jagoan dari pegunungan selatan,” kata pula Pangeran Liong Bin Ong dan Si
Tinggi Kurus juga memberi hormat ke empat penjuru.
“Silakan jika di antara Cu-wi ada yang suka
membantu kami untuk menguji kedua orang calon pengawal ini!” Pangeran Liong
Bin Ong menutup kata-katanya lalu duduk kembali. Suasana menjadi sunyi sekali.
Biarpun terdengarnya seperti seorang yang minta bantuan menguji dan sekaligus
memeriahkan suasana pesta, namun bagi mereka yang diam-diam menentang pangeran
ini, jelas terasa bahwa pangeran itu mengajukan dua orang jagoannya untuk
menantang! Betapapun, di antara para tamu kehormatan tidak ada yang sudi untuk
memenuhi tantangan ini, karena mereka tidak sudi merendahkan diri melawan
orang-orang yang dianggapnya rendah itu.
Kesunyian yang mencekam sekali dan tampak
Puteri Milana menahan senyum, girang bahwa pancingan pangeran tua itu tidak
berhasil. Dua orang jagoan yang kini masih berdiri itu memandang ke sekeliling,
dan kelihatan blngung karena tidak ada yang menyambut tantangan Pangeran Liong
Bin Ong. Timbullah kesombongan dalam hati Yauw Siu yang mengira bahwa diamnya
para tamu ini adalah karena mereka gentar kepadanya! Maka sambil mengangkat
dada dia berkata nyaring setelah tertawa, “Ha-ha-ha, harap para orang gagah
yang hadir di sini tidak khawatir karena saya Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin
Tiat-liong (Naga Besar Bermuka Hitam) tidak perlu membunuh dalam pi-bu (mengadu
kepandaian)!”
Tiba-tiba tampak seorang pembesar bangkit dari
kursinya, pembesar ini gemuk dan dia adalah seorang pembesar sastrawan yang
berwenang memeriksa hasil ujian para calon sastrawan, seorang pembesar yang
mata duitan dan tentu saja suka makan sogokan para calon sastrawan yang
mengikuti ujian. Sambil tersenyum pembesar ini menjura ke arah Pangeran Liong
Bin Ong dan berkata, “Harap paduka maafkan saya. Melihat bahwa tidak ada orang
yang suka membantu paduka untuk menguji kedua orang calon pengawal itu,
bagaimana kalau saya mengajukan lima orang pengawal pribadi saya? Kedua orang
itu kelihatan gagah perkasa dan tentu lihai sekali, maka tidak tahu apakah
mereka berani menghadapi lima orang pengawal saya.”
Sebelum Pangeran Liong Bin Ong menjawab, Yauw
Siu si Muka Hitam sudah cepat menjawab, “Boleh sekali! Silakan lima orang itu
maju berbareng dan akan saya tandingi sendiri, tidak perlu Saudara Sun Giam
turun tangan!”
Jawaban ini memancing suara berisik dari para
tamu yang menganggap orang muka hitam itu sombong sekali. Akan tetapi Pangeran
Liong Bin Ong melambaikan tangan dan mengangguk tanda setuju. Pembesar itu
lalu menggapai ke belakang, maka muncullah lima orang pengawalnya yang
berpakaian seragam biru, lima orang berusia tiga puluhan tahun dan kesemuanya
bertubuh tegap dan gagah. Setelah menjura dengan penuh hormat kepada semua yang
hadir, lima orang itu melangkah maju menghadapi Yauw Siu, sedangkan Sun Giam
sambil menyeringai sudah mundur dan duduk di atas lantai di pinggiran.
Yauw Siu sudah menghadapi lima orang gagah itu
sambil tersenyum lebar, kemudian terdengar dia bertanya, “Sebelum kita mulai,
bolehkah saya bertanya Ngo-wi (Anda Berlima) ini murid-murid dari partai
manakah?”
Pertanyaan itu sungguh terdengar menantang dan
tinggi hati, akan tetapi seorang di antara lima orang pengawal itu menjawab,
“Kami adalah murid-murid dari Gak-bukoan (Perguruan Silat Gak) di Seng-kun.”
“Ahhh! Ha-ha-ha, jadi Ngo-wi adalah
murid-murid dari Gak-kauwsu? Bagus sekali! Aku sudah mengenal baik guru kalian
itu dan tahu bahwa guru kalian mengandalkan ilmu menghimpun tenaga yang amat
kuat di kedua lengannya dan terkenal dengan Ilmu Pukulan Pek-lek-jiu (Tangan
Halilintar), bukan?”
Lima orang itu mengangguk dan Si Muka Hitam
melanjutkan, “Kalau begitu, biarlah kalian menguji tenagaku dan sebaliknya aku
akan menguji apakah benar-benar kalian telah mempelajari ilmu secara baik-baik
dari Gak-kauwsu.” Dia memberi isyarat kepada Sun Giam dan orang tinggi kurus
ini melemparkan segulung tali yang besar dan kuat kepada temannya.
Yauw Siu lalu menyerahkan tali itu kepada lima
orang pengawal sambil berkata, “Harap Ngo-wi suka mengikat kedua kaki dan
tangan, juga pinggangku, kemudian Ngo-wi di satu pihak menarik dan aku di laln
pihak mempertahankan. Dengan demikian kita mengadu tenaga satu lawan lima.
Bukankah ini menarik sekali dan mengingat akan hubungan diantara kita, tidak
perlu ada yang sampai roboh terluka atau tewas?” Si Muka Hitam yang sombong
itu ternyata pandai bicara dan pandai pula berlagak sehingga menarik perhatian
para tamu.
“Bagus! Itu adil sekali! Hayo kalian cepat
lakukan!” dari tempat duduknya, pembesar sastrawan itu bertepuk tangan gembira.
Tentu saja hatinya menjadi lega dan dia mengharapkan kemenangan lima orang
pengawalnya karena pertandingan yang ditentukan oleh Si Muka Hitam sendiri itu
menguntungkan pihaknya.
Lima orang itu cepat memenuhi permintaan Yauw
Siu. Pergelanaan kaki dan tangan, juga pinggang Si Muka Hitam itu diikat dengan
tali, kamudian mereka berlima memegang ujung tali di depan Si Muka Hitam. Semua
tamu menonton dengan gembira, bahkan diantara para pembesar itu kini sibuk
bertaruh sehingga keadaan menjadi berisik dan gembira. Dua orang pangeran tua
saling pandang dan tersenyum-senyum, kadang-kadang mereka melirik ke arah
Perdana Menteri Su dan Puteri Milana yang kelihatan masih tenang-tenang saja.
“Siap....! Tarik....!” Tiba-tiba Yauw Siu
berteriak dan lima orang pengawal itu sudah mengerahkan tenaganya menarik tali
yang mengikat tubuh Si Muka Hitam.
Yauw Siu berdiri dengan tegak, mengerahkan
tenaganya sehingga mukanya berubah menjadi makin hitam, urat-urat yang tampak
di lengan dan leher yang tidak tertutup pakaian itu menggembung besar, matanya
melotot dan betapa pun lima orang lawannya membetot dan mengerahkan tenaga
sekuatnya, tetap saja tubuh Si Tinggi Besar itu tidak bergoyang sedikit pun!
“Tahan....!” Yauw Siu memekik keras dan kedua
tangannya digerakkan ke belakang. Dua orang pengawal yang memegang dua ujung
tali yang mengikat tangannya itu terhuyung ke depan. Kembali Yauw Siu berseru
dan kedua kakinya melangkah mundur, juga mengakibatkan dua orang pengawal lain
terbawa dan terhuyung, kemudian dia mengeluarkan bentakan keras, tubuhnya
meloncat ke belakang dan lima orang itu jatuh tertelungkup dan terseret!
Tepuk tangan dan sorak memuji bergemuruh
menyambut kemenangan Yauw Siu ini, yang sambil tertawa-tawa menggunakan
jari-jari tangannya yang besar dan kuat untuk memutus-mutuskan tali yang
mengikat kedua kaki, tangan dan pinggangnya. Kembali demonstrasi tenaga yang
amat kuat ini memancing tepuk tangan gemuruh. Yauw Siu mengangguk dan
membungkuk ke empat penjuru menerima sambutan dan pujian itu.
Sun Giam meloncat ke depan dan memberi isyarat
kepada temannya untuk mundur. Si Muka Hitam lalu mundur dan duduk di pinggiran,
di atas lantai, sadangkan Sun Giam sendiri membantu lima orang itu berdiri,
menggulung tali dan melemparnya kepada temannya. Kemudian Sun Giam berkata,
ditujukan kepada pembesar sastrawan yang bersungut-sungut menyaksikan kekalahan
lima orang pengawalnya.
“Apakah Taijin mengijinkan kalau saya
menghadapi mereka ini dalam ilmu silat untuk menguji saya?”
Wajah pembesar itu berseri. Kini terbuka
kesempatan untuk membersihkan dan menebus kekalahan tadi. Dia tahu bahwa lima
orang pengawalnya adalah ahli-ahli ilmu silat, maka sambil mengangguk dia
berkata, “Baik, kami setuju sekali!”
Sun Giam kini berkata, ditujukan kepada semua
hadirin, “Tadi sahabat saya, Yauw Siu, telah memperlihatkan kekuatan tubuhnya
yang dahsyat. Kalau hanya tenaga dua puluh lima oranq biasa saja kiranya dia
masih akan mampu menandinginya. Akan tetapi, dia belum memperlihatkan ilmu
silatnya dan karena dia telah mengeluarkan tenaga, biarlah saya yang akan
menghadapi lima orang murid perguruan Gak-bukoan ini.” Sambil menghadapi
mereka, Si Muka Kuning ini berkata, “Harap Ngo-wi suka mendemonstrasikan
pukulan-pukulan Pek-lek-jiu yang telah terkenal itu dan sekaligus maju
menyerang saya.”
Lima orang yang sudah kalah dalam mengadu
tenaga itu, kini mengepung Si Muka Kuning kemudian terdengar seorang diantara
mereka mengeluarkan aba-aba dan serentak menyeranglah mereka dengan
pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan
lemas dan lincah Si Tinggi Kurus itu dapat mengelak ke sana ke mari sambil
menggerakkan kedua tangannya menyampok setiap pukulan yang tidak sempat
dielakkannya. Tampaklah pemandangan yang mengagumkan di mana Sun Giam
menggunakan kelincahannya dikeroyok lima orang itu. Jelas tampak oleh mata
para ahli yang duduk di situ bahwa Si Tinggi Kurus ini memang sengaja
mendemonstrasikan kepandaiannya maka sengaja hanya mengelak dan menangkis,
padahal jelas mudah dilihat betapa tingkatnya jauh lebih tinggi daripada para
pengeroyoknya.
“Ngo-wi, awas....!” Tiba-tiba dia berkata
halus, kaki tangannya bergerak dengan cepat sekali dan berturut-turut
terdengar lima orang itu memekik disusul robohnya tubuh mereka di atas lantai
karena totokan jari-jari tangan dan tendangan kaki Sun Giam.
Kembali terdengar sorak dan tepuk tangan
memuji yang disambut oleh Sun Giam dengan membungkuk ke empat penjuru. Seperti
dua orang yang sudah biasa berdemonstrasi dan menjual kepandaian di depan umum,
kini Yauw Siu dan Sun Giam sudah berdiri mengangkat tangan ke atas, memberi
kesempatan kepada lima orang pengawal itu mengundurkan diri dan setelah pujian
agak mereda, terdengar Yauw Siu berkata dengan suaranya yang lantang,
“Sahabatku Sun Giam telah memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi kami berdua
masih belum puas karena apa yang kami perlihatkan tadi tidak ada harganya dan
tentu belum memuaskan hati junjungan kami Pangeran Liong Bin Ong. Oleh karena
itu kami mohon dengan hormat sudilah kiranya para tokoh besar yang hadir di
sini suka turun tangan menguji kami. Lima orang pengawal tadi, biarpun
kepandaiannya cukup hebat, namun masih jauh di bawah tingkat kami!”
Hening sampai lama setelah Si Muka Hitam ini
bicara. Melihat bahwa tidak ada sambutan, Sun Giam membuka mulutnya, “Kami
berdua mendengar sebelum memasuki kota raja bahwa kota raja menjadi pusat orang
pandai, menjadi pusat para pengawal yang berilmu tinggi. Sungguh kami tidak
percaya kalau sekarang tidak ada yang berani menghadapi kami!”
Ucapan ini mulai memanaskan hati para tamu
yang merasa memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi ketika Han Wi Kong
yang mukanya menjadi merah karena marah hendak bangkit. Puteri Milana,
isterinya yang duduk di sampingnya, mencegah dengan pandangan matanya. Puteri
ini masih kelihatan tenang-tenang saja karena dia sedang memutar otak mencari
tahu atau menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik semua ini, yang
dia yakin tentu diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong. Dia tidak mau sampai
terpancing oleh pangeran yang cerdik itu, maka dia menyabarkan suaminya yang
mulai marah melihat sikap dan mendengar kata-kata kedua orang jagoan Pangeran
Liong Bin Ong itu.
Sebagian para pengawal yang hadir di tempat
itu dalam melaksanakan tugas mengawal para pembesar militer dan sipil, biarpun
merasa marah dan penasaran, namun mereka ini tidak berani lancang turun tangan
di dalam perjamuan orang-orang besar seperti itu tanpa perintah dari junjungan
masing-masing. Sedangkan para pembesar jarang pula yang berani memerintahkan
pengawalnya untuk menghadapi dua orang jagoan itu. Mereka yang memang terpengaruh
oleh Pangeran Liong Bin Ong tentu saja tidak suka menentang, sedangkan mereka
yang berpihak Kaisar dan diam-diam tidak suka kepada pangeran ini, juga tidak
berani menyuruh pengawal mereka karena mereka merasa segan untuk menentang
pangeran ini secara terang-terangan, mengingat akan pengaruh kedua orang
pangeran di situ setelah Sun Giam membuka mulutnya setengah menantang para
pengawal kota raja.
Melihat betapa tidak ada sambutan sama sekali,
Yauw Siu dan Sun Giam yang memang sudah menerima tugas dari Pangeran Liong Bin
Ong untuk memanaskan suasana dan untuk menujukan tantangan kepada Puteri
Milana secara halus, lalu saling pandang dan Yauw Siu bangkit berdiri,
menghadap ruangan kehormatan dan berkata lantang, “Kami berdua belum lama
meninggalkan tempat pertapaan, saya meninggalkan pantai laut dan Sahabat Sun
Giam meninggalkan pegunungan. Namun, kami telah mendengar akan kehebatan ilmu
kepandaian para tokoh di kota raja, maka kami sengaja datang ke kota raja
untuk mencari pekerjaan agar kepandaian kami dapat dipergunakan demi
kepentingan kerajaan! Apakah sekarang tidak ada orang gagah yang sudi menguji
kami? Ataukah benar seperti dugaan Sahabat Sun Giam tadi bahwa orang-orang di
kota raja agak.... penakut?”
“Manusia busuk....!” Tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring dan berkelebatlah bayangan orang, dan tahu-tahu di depan kedua
orang jagoan itu telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun,
bertubuh tinggi besar dan gagah, pakaiannya preman, jenggotnya panjang sekali
dan wajahnya angker, mengandung wibawa.
“Di jaman kekacauan merajalela dan
banyak manusia tak berbudi memberontak, muncul kalian yang bermulut besar!
Kalau hanya menghadapi kalian berdua saja, tidak perlu orang-orang gagah di
kota raja turun tangan. Aku Tan Siong Khi, cukuplah kiranya menghadapi
orang-orang macam kalian yang bermulut besar!” Orang ini memang Tan Siong Khi,
pengawal Kaisar yang gagah perkasa, yang telah kita kenal karena dialah yang
memimpin rombongan penjemput Puteri Raja Bhutan!
Akan tetapi, sebelum dua orang jagoan itu
sempat membuka mulut, tiba-tiba Pangeran Liong Khi Ong bangkit berdiri dan
menudingkan telunjuknya kepada Tan Siong Khi sambil berkata, “Bukankah engkau
Pengawal Tan Siong Khi yang telah gagal melaksanakan tugas mengawal Puteri Bhutan
sehingga puteri itu lenyap tak diketahui ke mana perginya?”
“Keparat! Berani engkau muncul di sini setelah
engkau melakukan dosa dan kelalaian besar itu? Kebodohan dan kelalaianmu
menyebabkan Sang Puteri lenyap tidak diketahui masih hidup atau sudah mati. Dan
kau berani malam ini datang ke sini dan berlagak menjadi jagoan? Kenapa
kegagahanmu tidak kauperlihatkan ketika rombonganmu dihadang musuh? Mengapa
Sang Puteri yang kaukawal sampai lenyap sedangkan kau masih hidup? Aku akan
minta kepada Sri Baginda untuk menjatuhkan hukuman seberatnya kepadamu!”
Semua tamu memandang dengan hati tegang. Semua
mengenal siapa adanya Tan Siong Khi, seorang pengawal kepercayaan Kaisar,
bahkan menjadi pembantu dari Puteri Milana dalam mengamankan kota raja. Mereka
semua telah mendengar pula akan kegagalan pengawal itu menjemput Puteri
Bhutan, calon isteri Pangeran Liong Khi Ong. Maka sepantasnyalah kalau
pangeran itu, yang urung menjadi pengantin, yang kehilangan calon isterinya
marah-marah kepada pengawal ini.
“Mengapa kau berani datang ke sini? Hayo
pergi....! Pergi kau....!”
Tan Siong Khi yang kelihatan tenang itu
menoleh ke arah Perdana Menteri Su dan Putri Milana. Dia melihat kedua orang
pembesar itu mengangguk kepadanya dan memberi isyarat agar supaya dia pergi.
Sebetulnya munculnya Tan Siong Khi di tempat itu adalah karena dia ditugaskan
oleh Kaisar untuk mengawal Perdana Menteri Su yang malam itu juga mewakili
Kaisar, berarti dia menjadi pengawal utusan Kaisar. Akan tetapi, sebagai
seorang pengawal setia yang telah berpengalaman dan berpemandangan luas, di
tempat umum itu dia tidak mau membela diri dengan menyebut nama perdana
menteri, karena dia tidak mau menjadi penyebab terjadinya keributan atau
perasaan tidak enak. Setelah menerima isyarat, dia lalu menjura kepada
Pangeran Liong Khi Ong dan berkata, “Baik, hamba dengan langkah lebar
meninggalkan tempat pesta melalui pintu gerbang depan.”
Keadaan menjadi sunyi sekali setelah pengawal
itu pergi. Peristiwa tadi menimbulkan ketegangan. Tiba-tiba suasana yang sunyi
itu dipecahkan oleh suara tertawa dari Yauw Siu. Dia sudah bangkit berdiri dan
berkata, “Sungguh menyesal sekali bahwa Pengawal Tan Siong Khi tadi kiranya
seorang yang telah melakukan dosa dan kelalaian besar dan sepatutnya dia dihukum.
Kalau tidak agaknya dia memiliki sedikit kepandaian untuk diperlihatkan agar
kami berdua dapat diuji. Harap Cu-wi yang merasa memiliki ilmu kepandaian sudi
maju sebagai penggantinya. Kami maklum bahwa diantara Cu-wi banyak yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi jangan khawatir bahwa kami
akan celaka. Kami takkan mengecewakan Cu-wi. Selama kami merantau, kami belum
pernah dikalahkan orang. Bahkan kami tadinya merencanakan untuk mencari Pulau
Es....”
Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun suara
ini menembus semua kegaduhan dan memasuki telinga Yauw Siu seperti jarum-jarum
menusuk. “Mau apa kalian mencari Pulau Es?”
Yauw Siu terkejut sekali dan cepat menoleh ke
arah Puteri Milana yang telah mengajukan pertanyaan itu. Melihat sepasang mata
yang amat tajam itu, diam-diam dia menjadi gentar juga. Tentu saja Yauw Siu
dan Sun Giam maklum siapa adanya puteri cantik dan agung itu. Mereka maklum
bahwa puteri itu adalah puteri dari Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti atau
Pendekar Siluman, dan ibunya adalah bekas pangilma besar wanita Puteri
Nirahai! Kalau saja mereka berdua tidak menjadi kaki tangan kedua orang
Pangeran Liong, tentu mereka akan berpikir-pikir dulu untuk berani main-main di
depan Puteri Milana. Akan tetapi, justru tugas mereka adalah untuk memancing
puteri itu agar bangkit kemarahannya dan membuat puteri itu menjadi serba
salah. Maju menghadapi mereka berarti merendahkan derajatnya, kalau tidak
berarti terhina karena ditantang tanpa menanggapi!
“Kami hendak mencari Pulau Es karena kami
tidak pernah bertemu tanding! Kami mendengar bahwa Majikan Pulau Es adalah
seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!” jawab Sun Giam.
“Akan tetapi, sebelum melihat sendiri,
bagaimana kami dapat percaya?” sambung Yauw Siu. “Hanya kabarnya, banyak pula
muridnya berada di kota raja, maka apa salahnya kalau ada muridnya yang mau
mencoba-coba dengan kami agar dari kepandaian muridnya kami dapat mengukur pula
tingkat gurunya? Kami adalah dua orang baru yang tidak tahu apakah benar di
kota raja ada murid Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es yang terkenal itu.”
Tentu saja Yauw Siu cukup cerdik untuk
melindungi diri mereka dengan dalih bahwa mereka tidak tahu menahu tentang
Pendekar Super Sakti, tidak tahu bahwa puteri Pendekar Super Sakti berada di
tempat perjamuan itu karena kalau demikian halnya, tentu Puteri Milana yang
cerdik akan merasa curiga dan menduga akan adanya pancingan dan jebakan.
“Biar aku menghajar mereka!” Panglima Han Wi
Kong berkata dan isterinya mengangguk. Tadi Puteri Milana telah menyaksikan
gerakan kedua orang jagoan itu dan dia maklum bahwa mereka berdua itu hanyalah
memiliki tingkat yang biasa saja sehingga dia merasa yakin bahwa suaminya akan
dapat mengalahkan mereka. Mendengar dua orang jagoan kasar itu menyinggung nama
ayahnya tanpa dia melakukan sesuatu, tentu akan mencemarkan nama dan
kehormatannya. Akan tetapi kalau diaturun tangan sendiri juga merupakan hal
yang tidak baik karena dia adalah seorang puteri cucu Kaisar dan puteri
Pendekar Super Sakti, amat rendahlah untuk melayani dua orang jagoan kasar!
Berbeda lagi kalau Han Wi Kong yang turun tangan karena suaminya itu juga bekas
seorang pengawal kaisar yang kini turun tangan menghadapi mereka yang
menantang-nantang semua orang gagah di kota raja!
“Manusia-manusia sombong! Biar akulah yang
akan menghadapi kalian!” bentak Han Wi Kong yang sekali melancat sudah berada
di depan kedua orang itu.
Sun Giam dan Yauw Siu cepat menjura dengan
hormat, kemudian Sun Giam menjura ke arah Pangeran Liong Bin Ong sambil
berkata, “Harap Paduka Pangeran sudi mengampunkan permohanan hamba berdua.
Hamba berdua tentu tidak berani sembarangan mengangkat tangan menghadapi para
tamu yang terdiri dari para pembesar dan bangsawan agung. Oleh karena itu, kami
baru berani mengangkat tangan kalau yang datang ke gelanggang ini menganggap
diri sendiri sebagai seorang kang-ouw, seorang ahli silat tanpa membawa-bawa
kedudukannya.”
Sebelum Pangeran Liong Bin Ong atau Liong Khi
Ong sempat menjawab, Han Wi Kong sudah membentak, “Aku tidak akan membawa
kedudukanku karena aku pun bekas seorang pengawal! Aku maju karena ingin
menyaksikan kepandaian kalian manusia sombong!” Han Wi Kong cukup mengerti
untuk tidak membawa-bawa nama ayah mertuanya, yaitu Pendekar Super Sakti, maka
dia mengaku bahwa dia maju sebagai seorang bekas pengawal, jadi atas namanya
sendiri.
“Bolehkah kami mengetahui nama besar paduka?”
Yauw Siu bertanya. Tentu saja dia tadinya sudah memperoleh keterangan bahwa
laki-laki gagah ini adalah suami Puteri Milana, akan tetapi dia ingin memancing
agar dari mulut laki-laki ini keluar sendiri pengakuannya. Akan tetapi Han Wi
Kong sudah terlalu marah, dan menjawab dengan bentakan nyaring, “Tidak perlu
aku memperkenalkan nama kepada kalian! Semua yang hadir sudah tahu siapa aku!
Hayo majulah kalian berdua!”
Sun Giam berseru, “Ehh....! Maju berdua?
Benarkah kami disuruh maju berdua?”
Han Wi Kong bukan seorang yang sombong atau
sembrono. Kalau dia berani menantang agar mereka maju berdua secara berbareng
adalah karena tadi dia sudah menyaksikan sepak-terjang mereka dan merasa yakin
akan dapat mengalahkan mereka berdua, apalagi dia ingin cepat merobohkan
mereka yang sombong ini, tidak usah mereka disuruh maju satu demi satu!
“Ya, majulah kalian berdua mengeroyokku. Aku
ingin menguji kepandaian kalian yang sesungguhnya tidak patut menjadi pengawal
seorang pangeran!”
“Bagus! Engkau yang menyuruh sendiri,
Sobat. Kalau sampai kami kesalahan tangan membunuh, jangan persalahkan kami.”
“Dalam pibu, membunuh atau terbunuh adalah
soal biasa, mengapa kalian banyak cerewet lagi? Majulah!”
“Awas serangan. Hiaaaatttt....!” Sun Giam
sudah menyerang.
“Haiiittt....!” Yauw Siu juga menyusul dengan
pukulannya yang dahsyat.
“Hemmm....!” Han Wi Kong menggeram dan cepat dia
mengelak sambil memutar tubuh dan menangkis dengan kedua lengannya.
“Dukkk! Dukkk!”
Tubuh Han Wi Kong tergetar akan tetapi pukulan
kedua orang lawannya juga terpental. Diam-diam Han Wi Kong terkejut. Tak
disangkanya sama sekali bahwa kedua orang ini ternyata memiliki tenaga sin-kang
yang amat kuat! Mengapa tadi mereka tidak memperlihatkan tenaga sin-kang ini?
Di dalam otaknya segera dia mencari dan mengerti bahwa kedua orang ini telah
menjebaknya! Tadi mereka sengaja berpura-pura sebagai ahli-ahli silat biasa
saja dan menyembunyikan kepandaian asli mereka dan dia sudah terjebak! Dua
orang ini ternyata bukan orang sembarangan dan segera dia memperoleh kenyataan
akan hal itu karena kini mereka telah mainkan ilmu silat yang amat aneh,
cepat, dan kuat sekali!
Wajah Puteri Milana juga berubah agak pucat.
Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia pun dapat melihat perubahan yang terjadi
pada kedua orang jagoan itu. Dan gerakan-gerakan mereka sekarang ini, jelas
tampak olehnya bahwa mereka bukanlah jagoan-jagoan kasar seperti semula
setelah melihat sepak-terjang mereka tadi. Kiranya mereka adalah ahli-ahli
yang tangguh, yang menyembunyikan kepandaian mereka di balik sikap kasar dan
ugal-ugalan tadi. Tentu untuk memancing!
Puteri Milana menjadi serba salah. Memang, di
dalam tahun-tahun pertama dari pernikahan mereka, dia telah menurunkan
beberapa macam ilmu silat kepada suaminya dan ilmu kepandaian suaminya sudah
meningkat dengan pesat kalau dibandingkan dengan dahulu sebelum menjadi
suaminya. Namun, suaminya tidak memiliki dasar untuk menjadi seorang ahli ilmu
silat tinggi dan tidak mungkin dapat melatih sin-kang dari Pulau Es. Maka kini
bertemu dengan dua orang jagoan itu, suaminya berada dalam keadaan terancam!
Kalau maju seorang lawan seorang, mungkin suaminya masih dapat mengimbangi,
akan tetapi dikeroyok dua!
Memang demikianlah sebenarnya! Dua orang itu
bukanlah orang sembarangan dan tadi memang mereka berpura-pura, mengeluarkan
ilmu-ilmu kasar untuk memancing dan menjebak. Sebenarnya mereka adalah
ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah lama menjadi
tangan-tangan kanan dari Raja Muda Tambolon, yaitu raja muda kaum pemberontak
di perbatasan barat yang sedang merongrong Kerajaan Bhutan. Karena kedua orang
ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw maka mereka sama sekali tidak
terkenal dan memang hal inilah yang dikehendaki oleh Pangeran Liong Bin Ong.
Tadinya, untuk keperluan memancing kemarahan Puteri Milana untuk menjatuhkan
orangnya atau namanya ini, Pangeran Tua Liong Bin Ong hendak menggunakan tenaga
Siang Lo-mo, sepasang kakek kembar yang amat lihai itu. Akan tetapi sungguh di
luar dugaan dan perhitungannya bahwa Siang Lo-mo ketika tiba di kota raja telah
bentrok dengan Milana di dalam rumah penginapan ketika Siang Lo-mo bertemu
dengan Gak Bun Beng yang mereka kenal setama ini sebagai “orang sakit yang
lihai”. Karena peristiwa itu, maka Pangeran Liong Bin Ong tidak berani dan
tidak jadi menggunakan kedua orang kakek itu, dan mencari penggantinya. Siang
Lo-mo pula yang mengusulkan kepada Liong Bin Ong untuk mengundang Yauw Siu dan
Sun Giam, dua orang diantara para pembantu Raja Tambolon.
Untuk menjaga nama keluarga isterinya, yaitu
para penghuni Pulau Es, juga untuk menjaga nama isterinya dan dirinya sendiri,
biarpun maklum bahwa kedua orang itu merupakan dua orang lawan yang terlalu
tangguh baginya, namun Han Wi Kong tidak menjadi gentar dan dia sudah menerjang
dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling
ampuh. Namun dua orang lawannya dapat mengelak dan menangkis dengan cepat,
bahkan langsung membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang kembali membuat
Han Wi Kong terhuyung ke belakang ketika terpaksa menangkis dua serangan dari
depan itu. Segera berlangsunglah pertandingan yang seru sekali antara tiga
orang itu, disaksikan oleh banyak pasang mata dengan tegang. Diam-diam suasana
tegang itu ditimbulkan oleh perasaan bahwa di dalam pertandingan ini
seolah-olah terjadi persaingan antara Pangeran Tua Liong Bin Ong dan pihak
Milana serta Perdana Menteri Su! Semua tamu maklum belaka atau setidaknya sudah
dapat menduga bahwa diantara kedua pihak itu memang terdapat permusuhan atau
persaingan terpendam! Dan kini, seolah-olah kedua orang jagoan itu mewakili
pihak Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Han Wi Kong tentu saja mewakili pihak
isterinya, Puteri Milana dan Perdana Menteri Su.
Tentu saja yang merasa paling tegang dan
gelisah adalah Puteri Milana sendiri! Diam-diam dia merasa menyesal mengapa
tadi dia membiarkan suaminya turun tangan dan memasuki jebakan pihak Pangeran
Liong Bin Ong sehingga kini suaminya terancam. Dia adalah seorang yang amat
cerdas, maka setelah berpikir sejenak maklumlah dia bahwa sesungguhnya yang
diserang adalah dia! Suaminya tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Liong Bin
Ong yang menjadi paman kakek tirinya itu, akan tetapi dia tentu saja dianggap
musuh oleh pangeran tua itu. Maka pertandingan itu tentu dimaksudkan untuk
memukul dia! Mulai merah kedua pipi puteri yang gagah perkasa ini dan setiap urat
syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk membela suaminya. Dia merasa kasihan
sekali kepada suaminya, seorang pria yang amat baik dan gagah perkasa.
Bertahun-tahun dia menjadi isteri Han Wi Kong hanya pada lahirnya saja, namun
mereka sebetulnya hanyalah merupakan sahabat setelah keduanya maklum bahwa
tidak ada cinta kasih antara pria dan wanita, antara suami dan isteri di dalam
hati mereka, atau setidaknya, di dalam hati Milana. Han Wi Kong maklum akan
hal ini, maka dia pun secara jantan dan bijaksana membebaskan isterinya dan
hanya mengakui isterinya secara lahiriah saja untuk menjaga nama baik
isterinya! Bukan isterinyalah yang menemaninya di dalam kamarnya, melainkan
dua orang selir cantik yang setengah dipaksakan oleh Milana untuk melayani
suaminya itu!
Biarpun tidak ada hubungan kasih di dalam
hatinya terhadap Han Wi Kong, namun Milana menganggapnya sebagai seorang
sahabat yang paling baik di dunia ini, maka tentu saja dia merasa gelisah dan
khawatir sekali menyaksikan keadaan suaminya dan dia sudah mengambil keputusan
untuk melindungi suaminya dari bahaya.
“Yaaahhh!” Tiba-tiba Han Wi Kong yang sudah
terdesak terus-menerus itu mengeluarkan teriakan nyaring, tubuhnya menerjang
dengan kecepatan kilat ke depan, kedua tangannya dikepal dan menghantam ke
arah muka dan pusar Yauw Siu secara hebat sekali! Milana terkejut menyaksikan
gerakan suaminya ini. Kalau suaminya terus memperkuat daya tahannya, biar
terdesak kiranya masih tidak mudah bagi kedua orang pengeroyoknya untuk
merobohkannya. Akan tetapi agaknya suaminya itu tidak mau didesak terus dan
kini mengeluarkan jurus nekat yang ditujukan kepada seorang diantara dua orang
pengeroyoknya. Agaknya Han Wi Kong sudah bertekad untuk merobohkan seorang
lawan dengan resiko dia sendiri terpukul oleh lawan ke dua. Milana maklum akan
isi hati suaminya, yaitu bahwa biarpun suaminya roboh, setidaknya telah dapat
merobohkan seorang lawan pula, sehingga tidaklah akan terlalu memalukan.
“Heiiiittt....!” Yauw Siu berteriak, kaget
juga menyaksikan serangan hebat ini, dia mencelat mundur dan ketika lawan terus
mengejar, dia juga melonjorkan kedua lengannya dan bertemulah kedua tangannya
dengan kepalan tangan Han Wi Kong.
“Desss.... bukkk....!”
Yauw Siu kalah tenaga karena memang sedang
mundur, begitu kedua tangannya bertemu dengan tangan lawan, dia terlempar dan
terjengkang, akan tetapi pada saat itu juga, Sun Giam sudah menerjang dari
samping dan pukulannya yang amat keras dan ditujukan kepada leher Han Wi Kong,
biarpun sudah dielakkan oleh Han Wi Kong dengan miringkan tubuh, tetap saja
masih mengenai pundaknya, membuat bekas panglima pengawal ini roboh pula!
Yauw Siu dan Sun Giam kini melompat ke depan,
agaknya hendak mengirim pukulan maut kepada lawan yang sudah rebah miring dan
belum sampai bangun itu, apalagi Yauw Su yang menjadi marah karena tubuhnya
masih tergetar oleh pertemuan kedua tangannya tadi, dan pinggulnya masih panas
dan nyeri karena dia terjengkang dan terbanting.
“Plakk! Plakk!”
Dua orang jagoan itu terkejut sekali dan terhuyung-huyung
ke belakang. Mereka terbelalak memandang puteri cantik yang sudah berdiri di
depan mereka yang tadi menangkis kedua tangan mereka yang sudah diayun untuk
menghantam Han Wi Kong, tangan halus sekali yang ketika menangkis terasa dingin
seperti es dan membuat mereka menggigil dan terhuyung ke belakang.
“Bedebah! Kalian manusia curang,
setelah mengeroyok masih hendak membunuh orang yang terluka? Tunggulah
sebentar!” kata Puteri Milana dengan nada suara dingin sekali, lalu dia
memapah suaminya kembali ke kursinya. Setelah melihat bahwa luka suaminya
tidaklah berat, hanya mengalami patah tulang pundak, dia lalu membalikkan tubuh
hendak menandingi dua orang jagoan itu. Akan tetapi betapa heran hatinya
ketika di tengah tempat pibu itu kini telah muncul dua orang pemuda remaja yang
menghadapi Yauw Siu dan Sun Giam sambil tersenyum mengejek! Dan banyak tamu
yang berbisik-bisik dan ada yang bertepuk tangan memuji karena ketika Milana
sedang memapah suaminya tadi, dari tempat duduk para tamu di samping melayang
dua sosok bayangan dan tahu-tahu dua orang pemuda itu telah berdiri di depan
Sun Giam dan Yauw Siu. Gerakan meloncat yang indah inilah yang menarik
perhatian para tamu.
“Siapakah mereka?”
“Dari mana mereka datang?”
Pangeran Liong Bin Ong sendiri terkejut dan
bingung, akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanyalah dua orang pemuda yang
masih remaja, dia percaya bahwa dua orang jagoannya itu akan dapat mengatasi
mereka.
Sun Giam yang tinggi kurus bermuka kuning itu
sudah meloncat ke depan dan matanya yang sipit menjadi makin sipit seperti
terpejam ketika dia membentak marah, “Bocah-bocah lancang mau apa kalian datang
ke sini?”
Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Kian Bu
yang setengah memaksa kakaknya untuk muncul di gelanggang itu, dengan
mendahului meloncat dan disusul oleh kakaknya. Ketika tadi melihat Puteri
Milana maju menyelamatkan laki-laki gagah yang maju menghadapi dua jagoan dan
yang terkena pukulan, Kian Bu dan Kian Lee memandang penuh perhatian. Mereka
berdua tidak tahu siapa adanya laki-laki itu. Mereka dahulu masih terlalu kecil
ketika bertemu dengan Han Wi Kong sehingga mereka tidak ingat lagi. Akan
tetapi tentu saja hati mereka berpihak kepada laki-laki ini ketika melihat
betapa laki-laki gagah ini menghadapi dua orang jagoan yang menantang Pulau Es!
Kalau tidak dicegah kakaknya, ketika mendengar tantangan tadi tentu dia sudah
meloncat untuk menghajar Sun Giam dan Yauw Siu. Kini melihat kakaknya menolong
laki-laki itu dan membawanya duduk kembali ke kursinya, Kian Bu berbisik
kepada kakaknya, “Lee-ko, dia itu adalah Ci-hu (Kakak Ipar)!”
“Ah, benar....! Ci-hu telah terpukul oleh
mereka!” kata Kian Lee.
“Dan Enci Milana akan maju sendiri, hayo kita
dului!” Tanpa menanti jawaban Kian Lee, Kian Bu sudah meloncat dan terpaksa
Kian Lee mengikuti adiknya sehingga mereka berdua kini berhadapan dengan Sun
Giam dan Yauw Siu.
Kian Bu tahu bahwa dia tidak bisa mengandalkan
kakaknya untuk bicara, kakaknya yang pendiam itu, maka dia cepat mendahului
kakaknya menjawab bentakan Sun Giam tadi. “Siapa adanya kami bukan hal yang
patut diributkan, akan tetapi yang penting adalah siapa adanya kalian berdua!
Kalian berdua mengaku hendak melamar pekerjaan pengawal, akan tetapi kami tahu
bahwa kalian tidak patut menjadi pengawal, karena kalian hanyalah dua orang
badut yang tidak lucu!”
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya
semua orang mendengar ucapan pemuda tampan yang suaranya lantang itu. Betapa
beraninya bocah itu menghina dua orang jagoan yang demikian kosen, yang telah
berhasil mengalahkan bekas Panglima Pengawal Han Wi Kong, suami Puteri Milana
sendiri! Akan tetapi yang lebih heran dan juga amat marah adalah Sun Giam dan
Yauw Siu. Yauw Siu melangkah maju.
“Setan cilik, apa kau sudah bosan hidup?”
“Setan gede, kalian yang sudah bosan hidup
berani menjual lagak di sini. Apa kalian kira kami tidak tahu bahwa tadi kalian
bermain curang. Kalau kalian tidak main curang, mana kalian mampu menang
menghadapi orang gagah tadi? Manusia macam kalian ini, jangankan menjadi pengawal,
menjadi jongos pun tidak patut,” kata Kian Bu.
“Wah, pantasnya menjadi apa, Adikku?” Kian Lee
bertanya membantu adiknya.
“Jadi apa, ya? Pantasnya mereka ini
tukang-tukang pukul kampungan, atau pencopet-pencopet di pasar, menjadi
penjahat besar pun tidak patut!”
Tentu saja makin bising keadaan di situ karena
para tamu maklum bahwa dua orang pemuda yang masih remaja itu dengan sengaja
hendak mencari perkara dan sengaja menghina dua orang jagoan tangguh itu. Hati
mereka menjadi tegang dan bertanya-tanya siapa gerangan dua orang muda yang
nekat itu.
Yang paling marah adalah Sun Giam dan Yauw
Siu. Mereka adalah dua orang yang kasar dan tak mengenal takut karena
bertahun-tahun lamanya mereka menjadi orang-orang yang memiliki kekuasaan
diantara gerombolan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon, maka kini dimaki dan
dihina oleh dua orang pemuda tanggung itu, hati mereka seperti dibakar
rasanya. Akan tetapi, di samping kekasaran mereka, dua orang ini pun cerdik
dan mereka menahan kemarahan hati karena mengingat bahwa di tempat itu terdapat
banyak orang pandai dan bahwa mereka berada di kota raja yang besar dan tidak
boleh bertindak sembarangan. Kalau saja tidak berada di tempat itu, tentu
mereka sudah sejak tadi turun tangan membunuh dua orang pemuda yang berani
menghina mereka seperti itu. Mereka masih tidak tahu siapa dua orang pemuda
ini. Siapa tahu, melihat sikap mereka yang begitu berani, dua orang pemuda ini
adalah putera-putera pembesar yang berkedudukan tinggi di kota raja! Maka Sun
Giam lalu memberi isyarat kepada kawannya agar menahan kemarahan, kemudian
dia menoleh dan berlutut ke arah Pangeran Liong Bin Ong.
“Mohon paduka mengampuni hamba berdua!”
katanya lantang. “Tanpa perkenan atau perintah paduka, hamba tidak berani
turun tangan sembarangan. Akan tetapi, dua orang pemuda ini telah menghina
hamba berdua dan karena hamba adalah calon pengawal paduka, maka penghinaan
yang dilakukan di sini berarti menghina paduka pula. Maka hamba berdua mohon
perkenan untuk menghajar dua orang pemuda ini dengan perkenan paduka!”
Tadinya Liong Bin Ong juga terkejut dan marah,
dan memang diam-diam dia merasa girang bahwa kedua orang jagoannya itu
ternyata boleh diandalkan, berhasil melukai suami Milana dan mungkin akan
berhasil membikin malu puteri yang menjadi musuhnya itu. Dia menduga bahwa
kedua orang pemuda itu jelas merupakan pendukung puteri itu, maka tanpa
ragu-ragu lagi dia lalu mengangguk!
Tentu saja girang bukan main rasa hati Sun
Giam dan Yauw Siu. Kalau tadi mereka masih terpaksa menelan kesabaran adalah
karena mereka ragu-ragu karena tidak mengenal dua orang pemuda itu, takut
kalau kesalahan tangan. Kini, setelah memperoleh perkenan Pangeran Liong Bin
Ong, tentu saja hati mereka menjadi besar dan dengan muka beringas mereka
menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.
“Bocah-bocah lancang, hayo lekas beritahukan
siapa kalian dan siapa orang tua kalian. Kami adalah orang-orang gagah yang
tidak mau menghajar anak orang tanpa mengetahui siapa ayahnya!” kata Yauw Siu
dengan lagak sombong karena dia kini tidak khawatir lagi terhadap ayah
anak-anak ini setelah dilindungi oleh Pangeran Liong Bin Ong.
Semua tamu termasuk Milana yang sudah duduk
kembali karena dia dapat melihat sifat luar biasa kedua orang anak itu,
memandang dan mendengarkan dengan penuh perhatian karena dia pun ingin sekali
mendengarkan siapa gerangan dua orang pemuda remaja yang sudah begitu berani
mengacaukan pesta Pangeran Liong Bin Ong! Akan tetapi, diantara semua tamu
yang hadir, hanya Milana seoranglah yang berani mempersiapkan diri untuk
melindungi kedua orang pemuda remaja itu kalau-kalau terancam bahaya maut di
tangan dua orang jagoan itu. Puteri ini tentu saja tidak tega membiarkan
mereka tewas karena membela dia, atau membela nama Pulau Es yang disebut-sebut
dan ditantang oleh dua orang jagoan itu.
Sementara itu, melihat lagak sombong dari Yauw
Siu, Kian Lee yang pendiam hanya memandang dengan matanya yang lebar
terbelalak, akan tetapi adiknya, Kian Bu sudah tertawa riang dan mendahului
kakaknya menjawab, “Kalian adalah she Yauw dan she Su, dan ketahuilah bahwa
kakakku ini namanya Ta-yauw-eng (Pendekar Pemukul Orang she Yauw) dan namaku
adalah Ta-sun-eng (Pendekar Pemukul Orang she Sun)! Nah, kalian tidak lekas
berlutut minta ampun?”
Jawaban yang tak disangka-sangka orang ini
selain menimbulkan kemarahan hebat di dalam hati dua orang jagoan itu, juga
membuat geli hati mereka yang berpihak kepada suami Puteri Milana yang terluka
tadi. Namun kegelisahan hati mereka bercampur dengan kekhawatiran karena
mereka maklum betapa marahnya dua orang tukang pukul yang sudah memperoleh
perkenan dari Pangeran Liong Bin Ong untuk menghajar dua orang pemuda remaja
itu dan tentu mereka tidak akan bertindak kepalang tanggung. Mungkin akan
dibunuhnya dua orang pemuda remaja yang tampan dan sedikit pun tidak mengenal
takut itu.
“Bocah setan! Kau sudah bosan hidup!”
Sun Giam dan Yauw Siu membentak dan keduanya menerjang dan menyerang Kian Bu.
“Heeiiitt....! Eiiittt....!” Kian Bu sudah
berloncatan ke belakang dengan sikap mengejek dan mempermainkan, lalu
menudingkan telunjuknya ke arah muka mereka bergantian. “Kiranya kalian ini
benar-benar hanyalah tukang-tukang pukul kampungan yang beraninya mengeroyok
orang! Tadi kalau tidak mengeroyok dan curang, tentu kalian telah roboh oleh
orang gagah itu. Apa sekarang kau hendak mengeroyok aku pula?”
Wajah kedua orang jagoan itu menjadi merah.
Sudah banyak mereka menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekarang mereka
merasa diperrnainkan oleh seorang anak-anak! “Kalian juga berdua, majulah!”
teriak Sun Giam menahan kemarahannya karena dia pun malu kalau dikatakan
mengeroyok seorang bocah!
“Eh-eh, nanti dulu!” Kian Bu mengangkat kedua
tangan ke atas menahan mereka, juga sekaligus menahan kakaknya yang sudah
bersiap hendak menerjang Yauw Siu. “Katanya kalian adalah orang-orang gagah,
maka sekarang di depan begini banyak tamu agung, perlihatkanlah kegagahanmu.
Kalian merupakan dua jago tua dan kami adalah dua orang jago muda, mari kita
bertanding satu-satu agar lebih sedap ditonton dan lebih dapat dinikmati
bagaimana kalian menghajar kami satu-satu! Betul tidak?”
“Betul....!” Otomatis Yauw Siu menjawab karena
tertarik oleh cara Kian Bu bicara.
“Hushhh!” Sun Giam membentak dan barulah Yauw
Siu sadar bahwa dia telah terseret oleh kata-kata bocah itu dan menanggapinya!
Terdengar suara tertawa diantara para tamu menyaksikan sikap dua orang jagoan
itu.
Yauw Siu yang menjadi malu sekali sudah
melangkah maju. “Baik, mari kita bertanding satu lawan satu!” bentaknya sambil
membusungkan dadanya yang bidang dan kekar.
“Nanti dulu, kau tidak sabar amat!” Kian Bu
berkata sambil tersenyum. “Lawanmu adalah kakakku, ingat? Kakakku adalah
Ta-yauw-eng, jadi harus dia yang memukul engkau! Sedangkan aku adalah
Ta-sun-eng, biarlah sekarang aku menghadapi Sun Giam lebih dulu, baru engkau.”
“Setan! Siapa pun diantara kalian boleh maju,
kalau perlu boleh maju berdua kulawan sendiri!” teriak Yauw Siu yang hampir tak
dapat menahan kemarahannya lagi.
“Heiit, sabar, sabar! Hanya mau mengalami hajaran
saja mengapa tergesa-gesa amat? Hayo, engkau orang she Sun, kauhadapilah aku
Tukang Pemukul Orang she Sun!”
Sun Giam lebih pendiam daripada kawannya, dan
juga dia tidak kelihatan menyeramkan seperti Yauw Siu yang tinggi besar bermuka
hitam itu. Akan tetapi, orang berusia empat puluh tahun yang bertubuh tinggi
kurus, bermuka kuning dan matanya sipit ini sebetulnya memiliki keahlian yang
lebih berbahaya dibandingkan dengan Yauw Siu. Kalau Yauw Siu yang berjuluk
Hek-bin-tiat-liong (Naga Besi Bermuka Hitam) itu adalah seorang yang bertenaga
raksasa dan seorang ahli gwa-kang (tenaga otot), sebaliknya Sun Giam adalah
seorang ahli lwee-keh (tenaga dalam) yang tangguh. Hal ini diketahui dengan
baik oleh Milana ketika wanita sakti ini tadi menangkis pukulan mereka
berdua. Tentu saja untuk dia pribadi, kepandaian mereka berdua itu tidak ada
artinya, akan tetapi kini melihat betapa Sun Giam berhadapan dengan pemuda
remaja yang usianya paling banyak enam belas tahun itu, tidak urung hati Milana
menjadi tegang juga.
Sun Giam orangnya pendiam, akan tetapi
menyaksikan lagak dan mendengarkan ucapan pemuda tampan yang amat memandang
rendah kepadanya itu, dia juga sudah tak dapat menahan kemarahannya. “Baik,
bocah kurang ajar. Engkau yang menantang dan semua tamu agung yang hadir
menjadi saksi. Kalau kau terpukul mampus nyawamu jangan penasaran dan
menyalahkan aku!”
Setelah berkata demikian, Sun Giam sudah
menggulung kedua lengan bajunya sehingga tampaklah kedua lengannya yang kurus
kecil dan panjang. Melihat ini, Kian Bu tertawa, “He-he-he, kedua lenganmu
kecil seperti kayu kering yang lapuk, perlu apa dipamerkan? Jangan-jangan untuk
menyerangku menjadi patah-patah nanti!”
Kembali terdengar suara tertawa. Biarpun semua
orang masih ragu-ragu apakah pemuda remaja yang tampan dan nakal jenaka itu
dapat menandingi Sun Giam, namun setidaknya godaan-godaan itu cukup membuat
hati mereka yang tidak suka kepada dua orang jagoan itu menjadi senang.
Akan tetapi suara ketawa itu terhenti dan
semua mata memandang penuh ketegangan ketika mereka melihat Sun Giam
menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan jari tangan berbentuk cakar dan
terdengarlah bunyi berkerotokan mengerikan dari tulang-tulang lengan dan
tangannya! Juga tampak betapa kedua lengan itu berubah menjadi kehijauan dan
mengeluarkan getaran hebat.
Milana menggenggam tangan kanannya. Dia
mengenal ilmu yang dimiliki oleh Sun Giam itu, semacam tok-ciang (tangan
beracun) yang mengandung sin-kang kuat dan berbahaya karena beracun! Dia
mengerti bahwa hantaman kedua tangannya itu selain amat kuat, juga dapat
menembus kulit daging dan meracuni tulang dan otot di tubuh lawan. Dugaannya
memang tidak salah, Sun Giam telah melatih semacam pukulan beracun dan kedua
tangannya itu mahir dengan Ilmu Cheng-tok-ciang (Tangan Beracun Hijau) yang
dahsyat!
“Wah-wah, kiranya engkau pandai main sulap.
Tentu kau dahulu adalah seorang penjual obat yang suka main di pasar-pasar,
bukan? Sayang permainanmu kurang menarik dan tidak kebetulan aku tidak membawa
uang kecil!” kata Kian Bu sambil menyeringai. Tentu saja, sebagai putera Pulau
Es, dia pun mengenal kedua tangan itu, akan tetapi dia memandang rendah.
“Bocah sombong, terimalah pukulan mautku!”
Sun Giam sudah menghardik sambil bergerak
maju. Gerakannya cepat sekali, kedua kakinya maju tanpa diangkat, hanya
bergeser mengeluarkan suara “syet-syet!” dan kedua lengannya sudah
bergerak-gerak, setelah dekat dengan Kian Bu dia membentak keras,
“Huiii....! Wut-wut-wut-wut!” Empat kali
beruntun kedua tangannya menyambar dahsyat, dimulai dengan tangan kiri
membacok dengan tangan terbuka ke leher, disusul tangan kanan mencengkeram
iga, kemudian tangan kiri menusuk lambung dan diakhiri dengan tangan kanan
mencengkeram ke arah bawah pusar. Setiap serangan merupakan cengkeraman maut
yang dapat merenggut nyawa seketika.
“Aihh....! Wuusss.... plak-plak-plak....!”
Dengan gerakan lincah sekali Kian Bu mengelak lalu menangkis tiga kali dengan
tangannya, lagaknya seperti orang kerepotan akan tetapi semua tangkisannya
tepat membuat kedua tangan lawan terpental.
“Sayang luput.... desss....!” Kembali dia
menangkis hantaman ke arah mukanya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya
menampar ke depan.
“Plakk....! Aughhh....!” Sun Giam terkejut
setengah mati. Bukan hanya semua serangannya dapat dielakkan dan ditangkis,
bahkan tahu-tahu pipi kirinya kena ditampar keras sekali sampai kepalanya
mendadak menjadi puyeng dan matanya berkunang, pipi kirinya panas
berdenyut-denyut! Dia terhuyung ke belakang sambil mengusap pipi kirinya.
“Wah, mukamu menjadi hitam sebelah!” Kian Bu
menggoda. “Mari biar kutampar yang sebelah lagi agar tidak menjadi berat
sebelah!”
Bisinglah keadaan para tamu ketika menyaksikan
hal yang dianggapnya amat aneh ini. Pemuda nakal itu dalam segebrakan saja
telah mampu menampar pipi Sun Giam! Dan dilakukan dengan cara semudah itu,
seperti mempermainkan seorang anak kecil saja, malah diejek seolah-olah Sun
Giam merupakan lawan yang sama sekali tidak mempunyai kepandaian apa-apa.
Sun Giam mengeluarkan suara melengking dari
kerongkongannya, lalu tubuhnya mencelat lagi ke depan, kini menggunakan jurus
yang amat hebat, kedua lengannya sampai kelihatan menjadi amat banyak saking
cepatnya kedua tangan itu bergerak mengirim pukulan-pukulan maut yang amat
gencar bertubi-tubi dan saling susul-menyusul.
“Wuuut-tak-tak-tak-syuuuttt.... aih, lagi-lagi
kena angin belaka!” Kian Bu mengejek, tubuhnya berloncatan, berputaran,
seperti menari-nari dan dengan gerakan aneh menyelinap ke sana-sini namun
selalu dia dapat mengelak atau menangkis semua pukulan itu.
“Mampuslah!” Sun Giam yang terus menyerang itu
tiba-tiba berteriak, dan kaki kanannya melayang ke arah bawah pusar Kian Bu.
Kalau tendangan maut ini mengenai sasaran bagian tubuh yang paling lemah dari
seorang pria itu, tentu sukar dapat menyelamatkan nyawa. Semua orang yang ahli
dalam ilmu silat diam-diam menahan napas menyaksikan serangan maut ini, kecuali
Milana yang tampak tenang saja akan tetapi kini matanya mengeluarkan sinar
aneh memandang pemuda remaja itu, duduknya enak dan sama sekali tidak
bersiap-siap lagi untuk membantu.
“Wirrr....!” Tendangan itu melayang
dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Kian Bu seolah-olah tidak
melihat ini, akan tetapi begitu kaki lawan mendekat, dia menggeser tubuh ke
kiri, membiarkan kaki lewat di sebelah kanan tubuhnya, tangan kanannya
menyambar dan merangkul pergelangan kaki, sedangkan tangan kirinya menyambar
ke depan.
“Plakkk!”
Kembali Sun Giam terhuyung ke belakang dan
mengeluh, otomatis tangan kanannya mengusap pipi kanannya yang kena ditampar.
“Nah, sekarang baru berimbang, mukamu menjadi
kemerah-merahan seperti muka seorang dara cantik yang segar, he-he-heh!” Kian
Bu berkata sambil bertepuk tangan. Para tamu yang berpihak kepadanya juga tertawa
dan bahkan ada yang bertepuk tangan pula.
Sun Giam menjadi mata gelap saking marahnya.
Dia tahu sekarang bahwa pemuda yang bengal ini ternyata memiliki ilmu
kepandaian yang mujijat. Bukan hanya dapat menangkis tangan beracunnya tanpa
terluka sedikit pun, juga pemuda itu memiliki gerakan yang kelihatannya
seenaknya dan sembarangan saja, namun selalu dengan tepat dapat menangkis semua
pukulannya, dan setiap kali pukulannya tertangkis, Sun Giam merasa betapa
seluruh lengannya dari ujung jari sampai ke ketiaknya, terasa tergetar hebat
sekali tanda bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang amat luar biasa! Dia
maklum, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menyerah begitu saja. Dia tidak
sudi menerima kenyataan bahwa dia kalah menghadapi seorang bocah bengal. Maka
sambil mengeluarkan lengking dahsyat, kembali ia menubruk, dengan kedua lengan
dikembangkan dan kedua tangan membentuk cakar harimau, lagaknya persis seekor
harimau kelaparan yang menubruk kambing.
Kembali banyak orang terkejut karena melihat
betapa pemuda itu enak-enak saja tertawa dan bertepuk tangan, seolah-olah
terkaman itu tidak ada artinya sama sekali atau dia tidak tahu betapa dirinya
terancam bahaya maut yang mengerikan. Dua lengan lawan itu bergerak-gerak dan
sukar diduga ke arah mana akan menyerang dan sekali saja dirinya kena
dicengkeram tentu akan hebat akibatnya. Namun tentu saja ini pendapat para
penonton, tidak demikian dengan pendapat Kian Bu sendiri. Dia dapat melihat
dengan jelas, dapat mengikuti gerakan kedua tangan lawan itu, maka dia
enak-enak saja. Ketika jaraknya sudah dekat, tiba-tiba dia pun mengulur kedua
lengannya dan kedua tangannya menyambut cengkeraman kedua tangan lawan dan
berbareng dia mengangkat lutut kirinya “memasuki” perut lawan.
“Ngekk....!” Biarpun Sun Giam sudah
mengerahkan lwee-kangnya untuk membuat perutnya keras dan kebal, namun
hantaman lutut yang dilakukan dengan kuat dan tiba-tiba itu tidak urung
membuat perutnya mulas dan napasnya sesak, dan pada saat itu Kian Bu sudah
menggerakkan tangan kanan yang saling berpegangan dengan tangan kiri lawan,
menariknya tiba-tiba sehingga tubuh Sun Giam tertarik dan terbawa maju, lalu
dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kian Bu menekuk lengan kanannya itu,
sikunya menyambar ke depan.
“Croott....!” Siku itu mencium muka Sun Giam,
tepat mengenai hidungnya. Bagian ini sukar untuk diisi tenaga lwee-kang
sekuatnya, maka biarpun batang hidung itu tidak remuk, akan tetapi getaran
pukulan siku itu membuat darahnya muncrat keluar dari dalam!
“Aughhh....!” Sun Giam mengeluh dan tubuhnya
terhuyung ke belakang. Sibuklah kedua tangannya, yang satu mengelus perut yang
mulas, yang satu lagi menutupi hidungnya yang berdarah.
“Bocah setan....!” Tiba-tiba Yauw Siu memaki
dan langsung dia menubruk ke arah Kian Bu.
“Heiii....! Eh, uh, luput! Eh, kau adalah
lawan kakakku!” Kian Bu mengelak ke sana ke mari dengan cekatan sekali sehingga
setiap pukulan, setiap tubrukan mengenai tempat kosong. Namun Yauw Siu yang
marah sekali menyaksikan betapa temannya tadi dipermainkan, saking marahnya
terus menerjang seperti seekor harimau, kedua lengannya yang besar panjang itu
bergerak-gerak dan kedua tangannya menyambar-nyambar ganas. Mukanya yang hitam
menjadi makin hitam dan matanya melotot lebar menyeramkan.
Melihat betapa calon lawannya itu mengamuk dan
menyerang adiknya, Kian Lee hanya berdiri tersenyum. Tentu saja dia tahu bahwa
orang kasar itu sama sekali bukan tandingan adiknya, biar ada sepuluh orang
seperti itu belum tentu akan dapat mengalahkan adiknya, maka dia tenang-tenang
saja dan membiarkan adiknya yang jenaka itu bergembira memborong semua lawan!
“Wah.... eiiittt.... Koko, bagaimana ini?”
Kian Bu masih mengelak terus.
“Ambil saja untukmu, biar aku menonton saja!”
jawab Kian Lee.
“Begitukah? Ha-ha, Yauw Siu, engkau masih
untung! Kalau melawan kakakku, tentu kepalamu akan hancur. Aku masih mending,
kau hanya akan mengalami benjut-benjut saja!”
“Keparat....!” Yauw Siu sudah menubruk lagi,
kedua kaki dan tangannya dipentang lebar, agaknya tidak ada jalan keluar lagi
bagi Kian Bu untuk mengelak. Dan pemuda ini pun sama sekali tidak mengelak
lagi! Bahkan dia memapaki, menyambut terkaman itu, kedua tangannya didorongkan
ke depan dan.... tubuh tinggi besar itu seperti daun ditiup angin, terlempar ke
samping dan terbanting keras.
Yauw Siu terkejut bukan main. Dia tidak tahu
bagaimana dia tadi terbanting roboh, yang dirasakannya hanyalah ada angin
menyambar dahsyat, angin yang terasa amat dingin. Akan tetapi dia merasa
penasaran, cepat dia meloncat berdiri dan menerjang lagi seperti angin puyuh,
mengamuk membabi buta mengirim pukulan dan tendangan.
Kian Bu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan
amat mudah dia mengelak dengan jalan meloncat ke belakang dan tahu-tahu
lenyaplah dia dari depan Yauw Siu yang menjadi bingung dan terbelalak
memandang, mencari ke kanan kiri. Terdengar gelak tawa para penonton karena
mereka dapat melihat betapa tubuh pemuda lihai itu tadi mencelat dengan
kecepatan yang sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu telah berada di belakang
Yauw Siu sambil tersenyum-senyum. Mendengar suara ketawa para penonton, Yauw
Siu menjadi makin bingung dan matanya memandang liar. Tiba-tiba ada yang
menyentuh pundaknya dari belakang. Dia membalik dan.... “Plak-plak!” kedua
pipinya kena ditampar dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Tepuk tangan
menyambut “kemenangan” pemuda itu dan Pangeran Liong Bin Ong memandang pucat,
memberi isyarat dengan pandang matanya kepada para pengawalnya.
Yauw Siu terkejut dan makin marah. Biarpun dia
kini juga maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai,
namun rasa malu dan marahnya membuat dia nekat.
“Srattt....!” Dia telah mencabut sebatang
ruyung lemas yang bergigi, yang tadi melingkar di pinggangnya.
“Singg.... wir-wir-wirrr....!” Sun Giam kini
juga sudah mengeluarkan senjatanya yang tadi melibat pinggangnya, yaitu sebuah
senjata rantai baja dengan bola berduri di kedua ujungnya.
“Mundurlah, Bu-te!” Kian Lee berkata dengan
marah melihat betapa dua orang jagoan itu benar-benar tak tahu diri. Betapapun
juga, dia amat sayang kepada adiknya dan melihat kenekatan dua orang itu yang
telah mengeluarkan senjata, dia cepat melompat maju.
Kian Bu meloncat ke belakang. “Celakalah
kalian sekarang,” katanya mengejek kepada dua orang jagoan itu.
Akan tetapi dua orang jagoan yang sudah amat
marah itu tidak mempedulikan ejekan Kian Bu. Melihat bahwa sekarang pemuda ke
dua yang maju dengan tangan kosong saja, dengan sikap tenang sekali namun
dengan wajah yang tampan itu membayangkan kemarahan dan mata yang tajam itu
memandang tanpa berkedip, mereka sudah menerjang maju menggerakkan senjata
masing-masing tanpa mempedulikan lagi teriakan-teriakan para tamu yang memaki
mereka dan yang mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu.
Han Wi Kong yang pundaknya sudah dibalut dan
sejak tadi memandang kagum, kini hendak bangkit dari tempat duduknya. “Si
keparat tak tahu malu!” desisnya. Akan tetapi tiba-tiba tangan Milana menyentuh
lengannya.
“Biarkan saja....”
“Apa....? Kedua orang anak muda itu
terancam....”
Milana menggeleng kepala, mulutnya tersenyum
dan matanya bersinar, wajahnya berseri-seri. “Apakah kau tidak dapat menduga
siapa mereka? Apakah kau tidak mengenal Sin-coa-kun, kemudian loncatan
Soan-hong-lui-kun dan dorongan pukulan Swat-im Sin-ciang yang dilakukan Kian Bu
tadi?”
“Kian Bu.... ahh dan yang satu itu....?”
“Kian Lee, siapa lagi?”
Han Wi Kong memandang terbelalak dan dengan
penuh kekaguman dia melihat betapa Kian Lee menghadapi dua orang lawan
bersenjata itu dengan sikap tenang sekali. Dua gulungan sinar senjata itu
menyambar-nyambar ke depan. Kian Lee berkelebat mengelak diantara dua gulungan
sinar senjata itu, gerakannya cepat sekali sehingga tidak dapat dilihat lagi
bentuk tubuhnya, hanya bayangannya saja berkelebatan dan tiba-tiba terdengar
dua kali teriakan keras, dua batang senjata itu terlempar dan dua orang jagoan
itu terlempar dan roboh terbanting!
Kian Lee telah berdiri dengan sikap penuh
wibawa, kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bersedakap dan dia
menghardik, “Kalian masih berani menjual lagak lagi di sini?”
Dua orang jagoan itu merangkak bangun, muka
mereka menjadi pucat sekali, lalu mereka saling pandang dan membalikkan
tubuhnya.
“Tunggu....!” Klan Bu mencelat dari tempat dia
berdiri, tahu-tahu telah berada di depan kedua orang itu. “Tadi kalian melukai
orang, terlalu enak kalau kalian dibiarkan pergi begitu saja tanpa dihukum!”
Kedua tangannya bergerak cepat menyambar ke depan. Kedua orang jagoan yang
masih merasa nanar itu berusaha membela diri, akan tetapi mereka jauh kalah
cepat.
“Krek-krek! Krek-krek!” Dua orang itu jatuh
berlutut, kedua tulang pundak mereka telah dipatahkan oleh jari tangan Kian Bu
yang hendak membalaskan orang gagah yang tadi patah tulang pundaknya. “Nah,
pergilah kalian!” bentaknya.
Dua orang itu mengeluh, menggigit bibir,
memandang dengan mata melotot, kemudian bangkit berdiri dan pergi cepat
meninggalkan tempat itu melalui pintu gerbang dengan gerak langkah yang amat
lucu. Kaki mereka melangkah cepat setengah berlari, akan tetapi kedua lengan
mereka tidak dapat berlenggang, hanya tergantung lumpuh di kanan kiri tubuh.
“Tangkap dua orang pengacau itu....!”
Tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong berteriak memerintah sambil menudingkan
telunjuknya ke arah Kian Lee dan Kian Bu. Belasan orang pengawal bergerak maju
mengepung dengan senjata di tangan.
“Eh, eh, kenapa kami hendak ditangkap?” Kian
Bu berseru heran sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Kaliah mengacau!” Pangeran itu membentak
pula karena dia pun melihat betapa banyak diantara para tamu menggelengkan
kepala tidak setuju kalau dua orang muda itu ditangkap.
“Ah! Ah! Jadi kami yang mengacau?” Kian Bu
berteriak pula tanpa takut sedikit pun. “Dua orang jagoan kampungan tadi telah
mengeluarkan tantangan dan penghinaan terhadap Pulau Es, dan siapa pun tahu
bahwa Majikan Pulau Es adalah Pendekar Super Sakti! Pendekar itu adalah mantu
dari Yang Mulia Kaisar dan ayah dari Puteri Milana yang hadir di sini sebagai
tamu kehormatan! Kami berdua maju menghajar orang yang menghina mantu Kaisar
malah dituduh pengacau! Kalau begini, siapa yang mengacau?”
Mendengar ucapan ini, Liong Bin Ong menjadi
merah mukanya. Apa yang diucapkan dua orang pemuda remaja itu terdengar oleh
semua orang dan hampir semua orang mengangguk-angguk membenarkan.
“Siapa kalian?” bentaknya.
“Sebagai putera-putera Pendekar Super Sakti,
tentu saja kami tidak membiarkan orang-orang macam mereka itu menghina Pulau
Es.”
“Kian Bu....! Kian Lee....!” Milana tak dapat
menahan lagi kegirangan hatinya. Dia sudah bangkit berdiri dan menghampiri dua
orang pemuda itu yang serta merta berlutut di depan Milana.
“Enci Milana....!” Mereka berkata hampir
berbareng.
Milana tertawa dan sekaligus mengusap air
matanya, menyuruh bangun mereka dan memeluk mereka, menarik mereka ke ruangan
tamu kehormatan dan memperkenalkan mereka kepada Pangeran Liong berdua dan para
tamu.
“Mereka adalah adik-adikku Suma Kian Bu dan
Suma Kian Lee dari Pulau Es!”
Melihat keluarga yang saling bertemu itu
bergembira dan disambut oleh para tamu dengan girang, dua orang Pangeran Liong
saling pandang dengan muka pucat. Tentu saja mereka tidak dapat berbuat sesuatu
terhadap adik-adik Puteri Milana, yaitu cucu Kaisar sendiri, apalagi karena
semua tamu tadi jelas menyaksikan betapa dua orang pemuda itu mengalahkan dua
orang jagoan yang dianggap menghina Pulau Es. Berbondong para tamu datang dan
menghaturkan selamat kepada Puteri Milana yang telah bertemu dengan dua orang
adiknya yang gagah perkasa.
Dengan alasan kedatangan dua orang adiknya,
Puteri Milana dan suaminya yang terluka pundaknya itu bergegas meninggalkan
tempat pesta, pulang ke istana mereka sendiri. Setelah Han Wi Kong yang patah
tulang pundaknya itu memperoleh perawatan dari seorang tabib dan mengundurkan
diri untuk beristirahat di kamarnya sendiri, Milana mengajak dua orang adiknya
bercakap-cakap sampai semalam suntuk. Tidak ada habis-habisnya mereka saling
menceritakan keadaan masing-masing, dan terutama sekali dengan penuh kerinduan
hati Milana ingin mendengarkan segala hal mengenai Pulau Es. Ketika dia
mendengar tentang Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar yang pernah dilawannya
di rumah penginapan itu ternyata pernah pula menyerbu Pulau Es dengan
kawan-kawannya, puteri ini mengerutkan alisnya dan dengan penuh kekhawatiran
dia dapat menduga bahwa Pangeran Liong ternyata dibantu oleh orang-orang
pandai.
Beberapa hari kemudian, setelah membawa dua
orang adiknya menghadap kepada Kaisar, Milana lalu memberi tugas kepada kedua
orang adiknya yang dia tahu memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk menjaga
diri dan untuk menunaikan tugas rahasia itu. Dia menyuruh Kian Lee dan Kian Bu
pergi ke utara, menemui Jenderal Kao Liang dan menceritakan semua keadaan di
kota raja, mengajak Jenderal Kao yang amat setia dan yang menguasai sebagian
besar pasukan itu untuk mengerahkan pasukan menumpas pemberontak-pemberontak
tanpa menanti perintah Kaisar lagi karena Kaisar tentu saja terpengaruh oleh
para pangeran yang menjadi saudaranya sendiri itu, dan tidak percaya bahwa mereka
merencanakan pemberontakan. Pendeknya Milana mengajak Jenderal Kao untuk
mendahului gerakan pemberontakan dan sekaligus membasmi pemberontak yang belum
sempat bergerak itu.
***
Tengah malam telah lewat. Udara amat dingin
membuat para penjaga yang berkumpul di gardu benteng mengantuk dan mereka
berusaha untuk melawan dingin dengan api unggun besar. Perang antara dinginnya
hawa udara dan panasnya api unggun mendatangkan kehangatan yang membuat orang
cepat mengantuk, apalagi setelah bertugas menjaga dan meronda sehari semalam
menanti penggantian giliran besok pagi. Banyak diantara para penjaga itu yang
mendengkur tanpa dapat ditahan lagi, ada yang berbaring begitu saja di bawah
gardu, ada yang tidur sambil bersandar gardu, dan yang belum tidur rata-rata
sudah melenggut digoda kantuk yang berat. Mereka sudah malas meronda. Pula,
perlu apa diadakan perondaan secara ketat? Benteng itu penuh pasukan tentara,
siapa berani mengantar nyawa memasuki benteng?
Kelengahan para penjaga karena ngantuknya ini
makin memudahkan dua orang yang bergerak seperti iblis saja di malam hari itu.
Dengan gerakan ringan bukan main mereka meloncat ke atas pagar tembok, lalu
melayang turun dan cepat menyelinap diantara bangunan-bangunan di dalam
benteng, menghindarkan diri dari pertemuan dengan penjaga-penjaga yang
bertugas di dalam.
Dua sosok bayangan orang itu berkelebatan
kadang-kadang naik ke atas genteng dan berloncatan, kemudian melayang turun
lagi dan menyelinap diantara bangunan-bangunan rumah asrama para pasukan
tentara. Dari gerak-gerik mereka, jelas bahwa selain memiliki kepandaian
tinggi, juga dua orang ini sudah hafal akan keadaan di situ.
Tentu saja demikian karena seorang diantara
mereka ini adalah Jenderal Kao Liang dan yang seorang lagi adalah Pendekar
Sakti Gak Bun Beng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jenderal Kao
Liang dibantu Gak Bun Beng pergi ke benteng yang dikuasai oleh Panglima Kim
Bouw Sin, untuk menumpas para pemberontak. Menyetujui pendapat Bun Beng agar
tidak mendatangkan perang saudara secara terbuka antara pasukan-pasukan
sendiri, maka jenderal itu bersama Bun Beng memasuki benteng berdua saja
secara diam-diam dan menggunakan waktu malam untuk menyelidik. Sudah tentu saja
andaikata Jenderal Kao masuk dari pintu gerbang, para penjaga akan mengenalnya
dan tidak akan ada yang berani melarangnya, akan tetapi kalau hal itu dilakukan
dan Kim Bouw Sin mendengar akah kedatangannya, tentu panglima yang memberontak
itu akan mengadakan persiapan untuk mencelakakannya. Maka mereka berdua
memasuki benteng malam itu secara diam-diam, dan berkat pengetahuan jenderal
itu tentang benteng di mana dahulu dia pernah menjadi komandannya, maka mereka
berdua dapat dengan mudah menyelinap masuk dan langsung menuju ke tempat
kediaman Panglima Kim Bouw Sin.
Akhirnya, Jenderal Kao dan Bun Beng sudah tiba
di balik pintu ruangan besar di mana Panglima Kim Bouw Sin tampak sedang
berunding dengan belasan orang, dan kelihatan panglima itu marah-marah.
“Kalian sungguh-sungguh tidak ada gunanya!”
Agaknya entah sudah berapa puluh kali dia memaki seperti itu. “Sekarang, semua
gagal dan kita akan celaka.”
“Kim-ciangkun, apakah tidak sebaiknya kalau
kita mengirim pasukan yang lebih kuat dan diam-diam berusaha lagi untuk....”
“Jangan sembrono! Setelah kegagalan itu, tentu
Kao Liang akan berjaga dengan teliti dan kuat. Lebih baik kita cepat
melaporkan kepada Pangeran Liong dan kalian yang ikut membantu di sumur maut
harus cepat menyembunyikan diri sehingga andaikata dia datang memeriksa, dia
tidak akan menemukan bukti apa-apa di sini.”
“Bagus sekali siasatmu, akan tetapi rahasiamu
telah terbuka, Kim Bouw Sin! Pengkhianat hina, pemberontak busuk, menyerahlah
kalian!”
Bentakan suara Jenderal Kao yang amat nyaring
ini tentu saja amat mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu.
Mereka meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ke
arah jendela yang tiba-tiba bobol dari luar diikuti melayangnya tubuh dua orang
yang kini sudah berdiri di situ memandang mereka dengan sinar mata berapi. Kim
Bouw Sin tidak mengenal siapa adanya laki-laki gagah berpakaian sederhana
bercaping lebar yang berdiri di samping Jenderal Kao itu, akan tetapi mengerti
bahwa rahasianya telah terbuka, dia cepat berseru, “Bunuh mereka!”
Sebelum menyerbu masuk, Jenderal Kao yang
melihat betapa diantara belasan orang itu terdapat Kim Bouw Sin dan tiga orang
panglima pembantunya, juga terdapat dua orang yang dia lihat ikut mengeroyoknya
di sumur maut, telah membisiki Gak Bun Beng bahwa mereka berdua harus dapat
menangkap hidup atau mati Kim Bouw Sin, tiga orang pembantunya, dan dua orang
pengeroyok itu. Yang lain-lain hanyalah kaki tangan yang tidak begitu penting,
akan tetapi tiga orang pembantu dan dua orang pengeroyok itu merupakan saksi
penting sekali akan pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan
Pangeran Liong seperti dapat dibuktikan dari perundingan mereka tadi. Gak Bun
Beng mengangguk dan menyerbulah mereka ke dalam ruangan itu.
Aba-aba yang dikeluarkan oleh mulut Kim Bouw
Sin tidak perlu diulang kembali karena semua yang hadir dalam perundingan itu
mengenal belaka siapa adanya laki-laki berusia lima puluhan tahun yang
bertubuh tinggi besar, gagah perkasa dan berpakaian panglima itu. Sungguhpun
kebanyakan diantara mereka tidak ada yang mengenal laki-laki yang lebih muda,
berusia empat puluh tahunan berpakaian sederhana itu, namun mereka dapat
menduga bahwa laki-laki itu tentulah kaki tangan Jenderal Kao. Hanya dua orang
yang ikut menyerbu ke sumur maut mengenal Bun Beng dan mereka ini menjadi
begitu kaget dan ketakutan sehingga ketika Kim Bouw Sin dan yang lain-lain
mencabut senjata dan menyerbu, dua orang ini lari menyelinap dan berusaha
pergi dari tempat berbahaya itu.
Pada saat itu, Jenderal Kao Liang sudah
mencabut pedang panjangnya dan dengan gagah perkasa menghadapi serbuan lima
enam orang, sedangkan Gak Bun Beng dengan tangan kosong sedang menghadapi
hujan senjata para kaki tangan Kim Bouw Sin yang rata-rata terdiri dari
orang-orang berkepandaian tinggi. Akan tetapi melihat dua orang yang tadi
ditunjuk oleh Jenderal Kao sedang berusaha menyelinap pergi, Bun Beng
melepaskan topi caping lebarnya dan sekali tangannya bergerak, topi caping
lebar itu meluncur, mengeluarkan suara berdesing, berputar-putar seperti gasing
dan menyambar ke arah lutut kedua orang yang melarikan diri itu dari belakang.
“Crak-crakkk!”
Dua orang itu mengeluarkan suara menjerit dan
roboh terjungkal karena kedua lutut kaki mereka seperti dibacok senjata tajam,
membuat mereka berdua lumpuh tak dapat bangun kembali sedangkan mata mereka
terbelalak memandang ke arah benda yang masih berputaran dan kini melayang
kembali ke arah Gak Bun Beng. Caping itu memang dilemparkan dengan gerakan
istimewa pergelangan tangan sehingga berputar amat cepatnya, maka ketika
menyentuh lutut kedua orang itu, dalam keadaan terputar seperti golok tajamnya
dan bersentuhan dengan lutut mereka itu membuat caping tadi yang masih berputar
cepat itu berbalik arah dan melayang kembali ke arah pemiliknya. Memang hal ini
telah diperhitungkan oleh Bun Beng melalui latihan-latihan yang tekun
bertahun-tahun lamanya.
Dengan tenang Bun Beng menghadapi pengeroyokan
orang banyak, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas ketika dia melihat capingnya
melayang kembali dan menyambar benda itu, terus dipakai di atas kepalanya dan
mulailah dia menggunakan kaki tangannya menghadapi pengeroyok.
Jenderal Kao yang dikeroyok oleh Kim Bouw Sin
sendiri bersama kaki tangannya, mengamuk hebat. Pedangnya bergerak seperti
seekor naga bermain-main di angkasa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi
segulungan sinar yang menyilaukan mata tertimpa cahaya lampu di ruangan itu dan
dalam belasan jurus saja dia telah berhasil merobohkan dua diantara tiga
panglima pembantu Kim Bouw Sin yang mengakibatkan seorang tewas dan yang
seorang lagi setengah mati karena kaki kanannya buntung dan pundaknya terluka
parah.
Gan Bun Beng yang sudah lama sekali, belasan
tahun sudah, tidak pernah melukai orang apalagi membunuh, merasa ngeri juga
maka dia mengambil keputusan untuk cepat mengakhiri pertempuran itu tanpa
terlalu banyak membunuh orang. Tiba-tiba dari dalam perutnya, melalui
kerongkongannya keluar pekik melengking yang luar biasa sekali, sedangkan kedua
lengannya didorongkan ke depan. Menyambarlah angin-angin pukulan yang berhawa
dingin, dan semua pengeroyoknya yang berjumlah delapan orang itu roboh semua,
sebagian karena sudah lumpuh mendengar pekik melengking itu dan sebagian lagi
roboh oleh dorongan angin pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa itu.
Kemudian tubuhnya mencelat ke arah Jenderal Kao yang sedang mengamuk dan
dengan beberapa kali menggerakkan tangan dan kakinya, robohlah seorang
panglima pembantu dan dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao, yaitu
dua orang yang pernah mengeroyok jenderal itu di sumur maut. Jenderal ini kagum
dan juga girang sekali, pedangnya mendesak hebat kepada bekas pembantunya dan
betapa pun Kim Bouw Sin mempertahankan dengan pedangnya, namun tidak sampai
sepuluh jurus dia roboh, pedangnya terlepas dari pegangan dan lehernya sudah
dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri Jenderal Kao!
Melihat robohnya para panglima itu, sisa para
pengeroyok menjadi jerih dan cepat melarikan diri keluar dari ruangan sambil
berteriak-teriak minta bantuan. Dari luar berbondong-bondong masuklah para
pengawal dari penjaga yang bersenjata lengkap.
“Gak-taihiap, lekas bawa dua orang itu!”
Bun Beng sendiri bingung menghadapi keadaan
yang amat gawat itu. Kalau semua pasukan datang menyerbu, mereka berdua mana
mungkin mampu melawan puluhan ribu orang tentara? Maka dia tidak banyak
bertanya, cepat dia menyambar dua orang yang dirobohkannya tadi, menotok
mereka lalu mengempit tubuh mereka, mengikuti Jenderal Kao yang sudah memanggul
tubuh Kim Bouw Sin dan meloncat keluar dari ruangan itu melalui jendela.
Terdengar suara anak panah yang banyak sekali
mengaung dan berdesir menyambar, namun Jenderal kao dapat meruntuhkannya
dengan putaran pedangnya sedangkan Bun Beng sudah melesat ke atas dengan cepat
sekali, diikuti oleh Jenderal Kao.
“Mari kauikuti aku!” Jenderal Kao berkata dan
keduanya lalu berloncatan melalui atap rumah-rumah di dalam benteng itu menuju
ke menara! Dengan kecepatan luar biasa keduanya dapat tiba di menara. Belasan
orang penjaga menara ketika melihat bahwa yang muncul adalah Jenderal Kao yang
mengempit Panglima Kim Bouw Sin dan seorang pria gagah yang membawa dua orang,
menjadi terkejut, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Hai, para penjaga! Aku Jenderal Kao datang
untuk membasmi pemberontakan dan pengkhianatan. Hayo kalian lekas bunyikan
tanda agar seluruh perajurit berkumpul!” dengan suara yang nyaring dan penuh
wibawa jenderal itu membentak, lalu menambahkan. “Ataukah kalian hendak ikut
memberontak pula dan ingin kubunuh semua di sini?”
Para penjaga itu menjadi ketakutan, apalagi
melihat bahwa panglima mereka telah tidak berdaya. Dua orang diantara mereka
cepat meniup terompet dan memukul tambur tanda berkumpul bagi seluruh
penghuni benteng itu. Sementara itu pagi sudah mulai tiba, biarpun cuaca masih
remang-remang, namun tidaklah segelap tadi. Para perajurit yang sedang tidur
lelap itu terbangun dan menjadi kaget sekali, cepat-cepat mereka berpakaian
dan berlari-lari menuju ke lapangan terbuka di bawah menara. Dalam keadaan
hiruk-pikuk itu, tentu saja berita tentang penyerbuan dua orang yang
menggegerkan itu diterima dalam keadaan bingung dan simpang-siur oleh para
perajurit sehingga mereka itu tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi dan
menyangka bahwa tanda berkumpul itu tentu ada hubungannya dengan berita
kekacauan itu.
Karena sudah terlatih, dalam waktu singkat
saja semua perajurit telah berkumpul rapi di lapangan itu, menghadap ke menara
dipimpin oleh perwira yang mengepalai pasukan masing-masing. Dari atas menara,
Jenderal Kao melihat bahwa tidak ada seorang pun panglima yang hadir. Dari atas
dia dapat melihat jelas karena para perajurit yang bertugas bagian penerangan
telah memasang banyak lampu dan obor untuk menerangi tempat itu. Padahal Kim
Bouw Sin mempunyai lima orang pembantu sebagai panglima-panglima di benteng
itu. Tiga orang di antara yang lima itu ikut mengkhianati pemerintah dan telah
dirobohkan, akan tetapi yang dua lagi, Panglima Kwa dan Panglima Coa, tidak
nampak hadir. Apakah yang dua itu pun ikut memberontak dan dalam keadaan
berbahaya itu telah melarikan diri?
Setelah semua perajurit telah berkumpul,
Jenderal Kao membawa Panglima Kim Bouw Sin yang setengah pingsan itu ke depan
menara sehingga tampak oleh semua perajurit karena di bagian depan menara itu
telah dipasangi lampu oleh para penjaga yang menjadi bingung sekali melihat
betapa panglima mereka ditawan oleh Jenderal Kao yang terkenal galak dan
ditakuti juga disegani dan dihormati semua perajurit itu.
Melihat munculnya Jenderal Kao yang memegang
tengkuk Panglima Kim Bouw Sin dan memaksa bekas komandan benteng itu berdiri
di sampingnya, terkejutlah semua perajurit dan di bawah menjadi bising.
“Semua tenang....!” Suara Jenderal Kao bergema
sampai jauh di bawah menara dan seketika keadaan menjadi hening, tidak ada
seorang pun yang berani membuka suara. Hati jenderal itu menjadi lega
menyaksikan ketaatan ini. Hal ini hanya berarti bahwa belum semua perajurit
dipengaruhi oleh rencana pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan
Pangeran Liong Bin Ong. Dan dia pun bersyukur sekali bahwa dia menyetujui
rencana Gak Bun Beng untuk mengakhiri urusan ini secara menyelundup ke dalam
benteng, dibantu oleh pendekar yang sakti itu. Kalau dia datang bersama
sepasukan tentara, tentulah terjadi salah paham dan pasukan benteng itu akan
dapat mudah dibujuk untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi sekarang, setelah
semua panglima yang memimpin pemberontakan dirobohkan dan ditawan, mereka
tidak sempat lagi membujuk dan para perajurit yang kebingungan baru bangun
tidur itu tentu saja tidak berniat untuk memberontak karena yang muncul
hanyalah seorang saja, yaitu Jenderal Kao Liang yang mereka takuti dan
hormati.
Setelah melihat semua perajurit tenang dan
suasana menjadi hening, jenderal itu bicara dan suaranya menggema dari atas
menara, “Para perwira dan para perajurit yang gagah perkasa! Diantara kalian
tentu ada yang sudah tahu, ada yang dapat menduga dan mungkin ada pula yang
belum tahu bahwa Panglima Kim Bouw Sin juga menjadi komandan kalian, yang
menjadi pembantuku yang kupercaya, ternyata telah berkhianat dan menyelewengkan
kalian ke arah pemberontakan yang amat hina dan rendah!”
Jenderal itu berhenti sebentar dan melihat
banyak mata memandang dengan ketakutan. Cepat dia menyambung, “Kalian tahu apa
yang akan menimpa kalian kalau hal itu terlaksana? Kalian akan dibasmi,
dihancurkan dan masing-masing akan menerima hukuman berat sekali, dicap sebagai
pengkhianat dan pemberontak yang amat rendah sehingga sampai beberapa
keturunan nama kalian menjadi busuk, bahkan nama nenek moyang terbawa-bawa ke
dalam kehinaan! Untung bahwa aku mengetahui hal itu dan cepat malam ini aku
turun tangan menangkap pengkhianat Kim Bouw Sin ini bersama kaki tangannya. Dan
aku tahu bahwa kalian tidak berdosa, bahwa kalian hanya terbawa-bawa saja oleh
atasan yang menyeleweng, oleh karena itu, kalau kalian mau insyaf dan mulai
saat ini tunduk dan setia kepada pemerintah, aku Jenderal Kao Liang akan
menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum dan tidak dianggap berdosa.
Bagaimana pendapat kalian?”
Hening sejenak, keheningan yang amat
menegangkan hati Gak Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa kalau sampai
jenderal itu gagal menguasai para perajurit ini sehingga mereka memberontak,
tentu dia dan Jenderal Kao tidak dapat meloloskan diri lagi dari kepungan
puluhan ribu orang perajurit itu!
“Hidup Jenderal Kao....!”
“Basmi pemberontak....!”
Gak Bun Beng bernapas lega dan diam-diam dia
kagum sekali atas ketenangan dan kepribadian jenderal itu. Jenderal Kao
mengangkat kedua tangannya dan semua kebisingan yang di bawah berhenti.
“Yang memimpin pemberontakan adalah Kim Bouw
Sin dan tiga orang pembantunya, mereka sudah kurobohkan, dibantu pula oleh
tenaga-tenaga dari luar benteng. Akan tetapi aku tidak melihat adanya Panglima
Kwa dan Panglima Coa, ke manakah kedua orang itu?”
Terdengar jawaban dari bawah, dari mulut
seorang perwira, “Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun telah ditangkap dan ditawan
oleh Kim Bouw Sin!”
“Ahh!” Jenderal Kao Liang berseru. “Lekas
bebaskan mereka dan hadapkan kepadaku!”
Dari bawah terdengar suara menyanggupi dan
tampak beberapa orang perwira berlari ke dalam rumah tahanan dan tak lama
kemudian mereka datang kembali membawa dua orang laki-laki bertubuh tegap yang
pakaiannya kusut dan robek-robek, yang tubuhnya banyak luka-luka bekas
cambukan. Mereka ini berlari ke depan, dan cepat menjatuhkan diri berlutut di
bawah menara, menghadap ke arah Jenderal Kao.
“Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun, apa yang
terjadi? Mengapa kalian ditangkap oleh Kim Bouw Sin?” Jenderal Kao bertanya.
“Kami berdua menentang pemberontakannya,
tidak mau terbujuk, maka kami ditangkap dan kami disiksa untuk mau membantu,
akan tetapi kami berdua lebih baik memilih mati daripada harus memberontak,”
jawab Kwa-ciangkun.
“Para perwira dan perajurit! Kalian sudah
mendengar sendiri. Itulah baru suara seorang perajurit sejati! Maka, untuk
sementara waktu ini, aku mengangkat Kwa-ciangkun sebagai komandan benteng ini
yang baru dan Coa-ciangkun menjadi wakilnya!”
Kembali terdengar sambutan sorak-sorai,
sebagian besar dari para perajurit yang merasa beruntung sekali bahwa mereka
yang tadinya terbujuk untuk membantu Kim Bouw Sin, memperoleh pengampunan
yang demikian mudahnya. Baru sekarang mereka melihat kenyataan betapa lemah
kedudukan mereka, betapa lemah pemimpin mereka yang mengajak memberontak
sehingga dengan munculnya dua orang saja, para pemimpin itu telah dibuat tidak
berdaya sama sekali! Kalau mereka terlanjur memberontak, menghadapi pasukan
pemerintah di bawah pimpinan seorang panglima seperti Jenderal Kao, tentu
mereka akan dibasmi hancur!
Jenderal Kao lalu menyerahkan pimpinan kepada
kedua orang panglimanya yang baru. Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun lalu
menggunakan kesempatan itu untuk memberi “kuliah” kepada para perajurit sampai
hari menjadi terang, sedangkan Jenderal Kao dan Gak Bun Beng menyerahkan para
tawanan itu, Kim Bouw Sin dan dua orang kaki tangannya yang akan diajukan
sebagai saksi, kepada para penjaga agar mereka itu ditawan dengan kaki tangan dibelenggu.
Akan tetapi ketika mereka turun dari menara dan memasuki ruangan pertempuran
tadi, ternyata tiga orang pembantu panglima yang menjadi kaki tangan Kim Bouw
Sin telah tewas semua, membunuh diri!
“Ahhh.... saya yang ceroboh, Panglima!” Bun
Beng berseru menyesal. “Semestinya mereka itu kutotok lumpuh sebelum kita
tinggalkan tadi.”
“Tidak mengapa, Taihiap. Mereka pun sudah
sepatutnya mampus, manusia-manusia rendah yang hanya mengejar kesenangan
tanpa mempedulikan lagi caranya itu sehingga mereka mau saja diperalat oleh
Pangeran Liong untuk memberontak. Yang penting adalah Kim Bouw Sin sebagai
tokoh utamanya dan dua orang pembantunya itu sebagai saksi karena mereka berdua
ikut mengeroyokku di sumur maut.” Jenderal Kao lalu mengajak dua orang
komandan baru untuk berunding, kemudian dia bersama Gak Bun Beng kembali ke
bentengnya sendiri dikawal oleh sepasukan istimewa yang membawa Kim Bouw Sin
dan dua orang pembantunya itu dalam kereta kerangkeng, karena Jenderal Kao
menghendaki agar tiga orang tawanan itu dibawa ke bentengnya agar langsung
berada di bawah penjagaannya sendiri menanti saatnya mereka dihadapkan ke
kota raja. Dia pun sudah memerintahkan dengan tegas agar mereka bertiga tidak
diberi kesempatan untuk membunuh diri, karena di dalam hatinya jenderal ini
mengambil keputusan untuk menggunakan mereka bertiga itu untuk membongkar
rahasia pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong.
Rasa persahabatan terhadap Bun Beng makin
mendalam berakar di hati jenderal yang perkasa itu. Di sepanjang perjalanan
kembali ke bentengnya, mereka yang duduk berkuda berdampingan, tiada hentinya
bercakap-cakap dan di dalam percakapan ini Jenderal Kao Liang menceritakan
tentang keadaannya. Di dalam pelaksanaan tugasnya yang penting, berbahaya, dan
di perbatasan yang sunyi dan liar, dia tidak membawa keluarganya, meninggalkan
isteri dan tiga orang anaknya di kota raja setelah terjadi hal menyedihkan
ketika keluarganya dibawanya dahulu di perbatasan itu. Di waktu keluarganya
ikut bersamanya di benteng perbatasan, puteranya yang sulung, ketika itu baru
berusia sepuluh tahun, pada suatu hati telah lenyap ketika anak itu
bermain-main di luar benteng seorang diri. Tentu saja Jenderal Kao sudah
mengerahkan pasukan mencari-cari, dia sendiri pun sudah mencari, mengarungi
padang pasir di utara, namun hasilnya sia-sia, puteranya pun tidak dapat
diketemukan kembali bahkan mayatnyapun tidak! Setelah terjadi peristiwa
menyedihkan itu, dia lalu mengirim kembali keluarganya ke kota raja dan
peristiwa yang sudah terjadi selama belasan tahun yang lalu itu masih saja
berbekas di dalam hatinya, kadang-kadang membuatnya termenung memandang padang
pasir yang luas, teringat akan nasib puteranya yang dianggapnya tentu telah
tewas tak tentu kuburnya itu.
Adapun Gak Bun Beng juga merasa makin kagum
terhadap pribadi jenderal ini, yang ternyata selain seorang yang amat setia
kepada pemerintah, keturunan orang-orang besar dalam bidang kemiliteran, juga
adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berjiwa besar. Maka hatinya pun menjadi
lega bahwa dia telah membawa Syanti Dewi kepada jenderal itu. Dan dia pun
lalu menceritakan tentang diri Syanti Dewi selengkapnya, seperti yang
diketahuinya.
“Saya merasa kasihan sekali terhadap Syanti
Dewi. Dia seorang puteri raja, akan tetapi nasib membawanya mengalami banyak
kesengsaraan lahir batin. Tidak hanya dia terpaksa mentaati kehendak orang tua
untuk menikah dengan seorang pangeran tua yang sama sekali belum pernah
dijumpainya, akan tetapi juga ternyata bahwa pangeran itu seorang berhati
curang, bahkan mungkin sekali, karena hal ini belum dapat terbukti kuat, adalah
seorang pengkhianat dan pemberontak. Lebih lagi setelah tiba di sini, dia
mendengar akan kematian Candra Dewi atau Nona Lu Ceng, adik angkatnya.”
Mendengar disebutnya nama Lu Ceng, Jenderal
itu memejamkan matanya sebentar dan merasa betapa jantungnya seperti ditusuk.
Nona yang telah mati karena menolongnya itu! Tak pernah dia akan dapat
melupakan betapa nona itu benar-benar telah mengorbankan nyawa untuk menebus
nyawanya sendiri, karena kalau bukan Ceng Ceng yang menendangnya keluar dari
sumur, tentu bukan dara itu melainkan dia yang akan tewas!
“Memang kasihan sekali dia....” katanya,
tidak tentu lagi siapa yang dimaksudkan dengan “dia”, puteri itukah atau Ceng
Ceng.
“Maka saya mengharapkan kebijaksanaan dan
kemurahan hatimu, Kao-goanswe, untuk menerima gadis itu dan melindunginya.
Saya hendak pergi melanjutkan perjalanan, dan saya menitipkan Syanti Dewi
kepadamu agar kelak dapat kauantarkan dia kepada Puteri Milana....”
“Hemm, kenapa kepada Puteri Milana?” Jenderal
itu menatap tajam wajah pendekar itu.
Bun Beng menahan getaran jantungnya dan
bersikap tenang dan biasa saja. “Siapa lagi yang dapat melindunginya selain
puteri yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang yang gagah perkasa dan
budiman, puteri dari Pendekar Super Sakti itu? Kalau Syanti Dewi berada di
bawah perlindungannya, barulah hatiku akan merasa tenang.”
“Baiklah, Taihiap. Syanti Dewi akan kuanggap
sebagai anakku sendiri. Anakku ada tiga orang, kesemuanya laki-laki, yang
paling besar telah hilang, dan aku akan senang sekali menganggap dia sebagai
anakku sendiri. Akan kulindungi dia sampai ada kesempatan bagiku untuk
mengantarnya sendiri kepada Puteri Milana.”
Gak Bun Beng seketika mengangkat kedua
tangannya memberi hormat dengan wajah berseri-seri. “Budimu amat besar, dan aku
tidak akan melupakannya, Goanswe!”
Jenderal Kao memandang wajah itu makin tajam
penuh selidik, kemudian dia menarik napas dan berkata, “Gak-taihiap, engkau
memutarbalikkan kenyataan dan demikian memang sifat pendekar-pendekar budiman.
Engkaulah yang telah menyelamatkan nyawaku, kemudian membantuku membasmi
pemberontak. Tanpa bantuanmu, takkan begitu mudah urusan ini dapat diatasi.
Akan tetapi.... hemm, sungguh aneh sekali.... aneh sekali....!”
Gak Bun Beng yang duduk di atas kudanya di
sebelah kiri jenderal itu, menengok dan bertanya heran, “Apakah yang aneh,
Kao-goanswe?”
“Taihiap, pernahkah engkau mendengar
Jit-hui-houw, tujuh jagoan dari kota Shen-bun?”
Bun Beng memandang penuh pertanyaan, tidak
mengerti mengapa jenderal itu menanyakan ini, mengingat-ingat, kemudian
menggeleng kepalanya.
“Dan kurang lebih dua tahun yang lalu,
pernahkah Taihiap tinggal di kota Shen-yang?”
“Shen-yang dekat kota raja?”
Jenderal itu mengangguk.
“Tidak pernah, Goanswe. Belasan tahun saya
mengembara di gunung-gunung dan dusun-dusun, tidak pernah tinggal di kota
besar.”
Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk. “Sudah
kuduga demikian.... akan tetapi menurut berita, namanya juga Gak Bun Beng dan
juga amat lihai, lebih terkenal dengan julukan Si Jari Maut....”
“Aiih, dahulu ketika pertama kali kita saling
berjumpa, engkau pun menyebut Si Jari Maut. Siapakah dia dan apa
sangkut-pautnya denngan saya, Kao-goanswe?”
“Saya sendiri tidak pernah bertemu dengannya,
hanya menurut kabar, dia lihai sekali, lihai dan kejam. Namanya Gak Bun Beng,
julukannya Si Jari Maut, kabarnya masih muda, akan tetapi engkau pun belum tua
benar, Taihiap.”
“Hemm, tentu dia orang lain. Apakah
pekerjaannya?”
“Dia merampok, membunuh, memperkosa....”
“Ahhh....!” Bun Beng mengerutkan alisnya.
“Kalau begitu, tentu hanya ada dua kemungkinan.”
“Maksudmu, Taihiap?”
“Pertama, memang ada seorang penjahat
keji yang lihai dan yang memiliki nama dan she yang sama dengan saya. Ke dua,
dia adalah seorang musuh tersembunyi yang sengaja hendak merusak nama saya.
Yang mana pun kenyataan dari kedua kemungkinan itu, saya harus pergi
mencarinya, Kao-goanswe.”
Jenderal itu mengangguk-angguk. “Saya lebih
condong menyangka kemungkinan ke dua, Taihiap. Seorang yang lihai seperti
Taihiap tentu dahulu sudah sering kali bentrok dengan golongan hitam dan kaum
sesat, maka tidaklah aneh kalau ada yang mendendam dan kini membalas dengan
cara memburukkan namamu.”
Gak Bun Beng menggelengkan kepalanya
perlahan. “Agaknya tidak mungkin, Goanswe. Sudah belasan tahun saya tidak
pernah terjun ke dunia kang-ouw. Betapa pun juga, saya akan melakukan
penyelidikan.”
“Berita itu mula-mula muncul dari Shen-yang,
kemudian di sekitar daerah sebelah selatan kota raja. Ke sanalah kalau engkau
hendak melakukan penyelidikan, Taihiap.”
“Baik, hari ini juga saya akan berangkat
setelah saya pamit kepada Puteri Syanti Dewi.”
Setelah tiba di benteng, Gak Bun Beng segera
menemui Syanti Dewi. Akan tetapi puteri itu tidak berada di dalam kamarnya dan
menurut pelayan, puteri itu sejak Gak Bun Beng dan Jenderal Kao berangkat,
semalam suntuk tidak memasuki kamarnya dan berada di dalam taman. Bahkan para
pelayan yang hendak menemaninya disuruh pergi semua. Cepat Bun Beng memasuki
taman dan dengan langkah perlahan dia menghampiri puteri yang sedang duduk
menutupi muka dengan saputangan yang basah air mata. Agaknya puteri itu
menangis. Bun Beng mengerutkan alisnya dan menduga-duga. Selama dalam
perjalanan yang amat susah payah, puteri yang sebetulnya lemah itu telah
memperlihatkan sikap yang amat tabah dan tahan uji, tahan menderita, dan baru
sekarang dia melihat puteri itu berduka dan menangis, bahkan, katanya semalam
suntuk tidak meninggalkan taman itu!
“Dewi....!”
Saputangan basah itu terlepas, muka yang agak
pucat dengan mata merah itu tampak, menengok, lalu dia meloncat, lari
menghampiri sambil mengeluh panjang, “Paman...., ahhh, Paman....!” Syanti Dewi
menubruk dan merangkul leher Bun Beng, menangis di atas dada pendekar itu.
Bun Beng mengelus rambut kepala yang halus
itu, berkali-kali menarik napas panjang dan memejamkan kedua matanya,
kemudian baru ia berkata lirih, “Aih, Dewi, kau kenapakah? Semalam engkau berada
di taman dan engkau.... menangis? Apa yang menyusahkan hatimu? Apakah engkau
masih berduka karena kematian adikmu Candra Dewi?”
Syanti Dewi terisak-isak dan mempererat
pelukannya, kemudian dia melepaskan rangkulannya, memandang wajah pendekar
itu, berusaha tersenyum akan tetapi kelihatan makin mengharukan. “Maafkan aku,
Paman....! Tentu saja aku masih berduka kalau teringat kepada Adik Candra, akan
tetapi semalam aku.... aku cemas sekali memikirkan Paman....”
Bun Beng tersenyum dan kembali jantungnya
seperti ditusuk. Betapa besar kasih sayang dara ini kepadanya! Mencemaskan
keadaannya sampai tidak tidur semalam suntuk. Makin terasa olehnya betapa
Puteri Bhutan ini mencintanya, makin tidak enaklah rasa hati Gak Bun Beng,
apalagi dia juga merasakan betapa hatinya tertarik dan di situ terdapat
kecondongan cinta kasih yang amat besar terhadap dara ini, seolah-olah
pencurahan kasih sayangnya yang gagal dan terputus terhadap Milana kini
dibelokkan ke arah Syanti Dewi!
Bun Beng memaksa senyum untuk menutupi
perasaan hatinya. “Dewi, kau lucu sekali. Mengapa mengkhawatirkan aku?”
“Ada dua hal yang membuat aku merasa khawatir
sekali dan yang membuat aku menangis, Paman. Sampai saat ini pun, biar Paman
telah kembali dengan selamat, namun masih ada hal ke dua yang mencemaskan
hatiku. Yang pertama, tadinya aku khawatir Paman akan celaka dan ternyata Paman
telah kembali dengan selamat. Akan tetapi ada hal ke dua....” Kembali Syanti
Dewi menundukkan muka menahan tangisnya.
“Ada apakah, Dewi? Katakanlah kepadaku.”
“Aku.... aku khawatir.... bahwa Paman....
Paman akan meninggalkan aku....”
“Ah, Dewi, mengapa engkau mengkhawatirkan hal
itu?”
Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu memegang
kedua lengan pendekar itu, wajahnya berseri, matanya bersinar penuh harapan.
“Jadi Paman tidak akan meninggalkan aku? Paman, berjanjilah bahwa Paman tidak
akan pernah meninggalkan aku, bahwa kita tidak akan saling berpisah!”
Bun Beng menghela napas panjang. “Aihh, bukan
begitu maksudku, Dewi. Mengapa engkau mengkhawatirkan perpisahan antara kita
yang memang sudah semestinya? Biarpun engkau sudah kuanggap sebagai keponakan
sendiri, akan tetapi kenyataannya adalah bahwa kita bukanlah sanak kadang,
bukan keluarga. Antara kita tidak ada ikatan keluarga, dan memang aku akan
melanjutkan perjalananku, meninggalkan engkau di sini bersama Jenderal Kao
yang menganggap kau sebagai anak sendiri....”
“Tidak....! Aku ikut denganmu, Paman.”
Bun Beng menggeleng kepala. “Aku seorang yang
hidup sebatangkara, tidak tentu tempat tinggalku, tidak tentu makanku, mana
mungkin engkau ikut?”
“Biar! Aku akan ikut ke mana pun engkau
pergi!”
“Perjalanan hidupku hanyalah menghadapi
kesengsaraan belaka....”
“Aku tidak takut! Aku bersedia menderita
sengsara di sampingmu, Paman.”
“Akan tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan,
Dewi! Diantara kita tidak ada ikatan apa-apa, tidak ada hubungan keluarga
dan....”
“Siapa bilang tidak ada ikatan apa-apa,
Paman?”
“Maksudmu....”
“Tidak terasakah oleh Paman akan adanya ikatan
yang amat erat diantara kita, ikatan batin yang amat kuat? Dan Paman masih
mengatakan tidak ada ikatan apa-apa? Mengapa aku, seorang puteri yang biasanya
hidup serba mewah dan mudah, dapat melakukan perjalanan yang sukar dan
menderita dengan hati tetap bergembira dan berbahagia di samping Paman?
Bukankah itu membuktikan adanya ikatan yang amat luar biasa diantara kita?”
“Maksudmu....?”
“Maksudku....?” Wajah itu pucat dan dari kedua
matanya mengalir air mata di pipinya, akan tetapi pandang matanya
bersinar-sinar. “Masih perlukah kujelaskan lagi? Mengapa aku gelisah kalau
Paman pergi? Mengapa aku setengah mati kalau Paman sakit? Mengapa aku
berbahagia kalau berada di samping Paman? Perlukah kujelaskan lagi, Paman?
Perlukah....?” Syanti Dewi tersedu.
Wajah Bun Beng pucat. Inilah yang ditakutinya,
yang dikhawatirkannya selama ini. Bibirnya bergetar, alisnya berkerut,
seluruh tubuhnya terasa menggigil.
“Kau.... kau....?”
“Aku cinta padamu, Paman! Kurasa Paman tidak
buta untuk melihat hal itu....”
“Aku tahu.... aihh, Dewi.... aku tahu....
tapi....”
“Paman....!” Syanti Dewi merangkul dan
menangis di dada pria itu, dan Bun Beng juga memeluknya, mengelus rambutnya,
mukanya ditengadahkan, menghadap ke angkasa seolah-olah dia mohon kekuatan
dari atas, akan tetapi dia merasa ngeri untuk menyaksikan kenyataan ini
sehingga kedua matanya terpejam. Sampai lama mereka berada dalam keadaan
seperti itu, saling peluk sambil berdiri dan tak bergerak seperti telah berubah
menjadi arca.
Ketika Syanti Dewi yang tadinya menangis di
dada pria itu merasa betapa tubuh itu bergoyang-goyang, dia mengangkat mukanya
dan betapa kaget hatinya melihat Bun Beng menitikkan air mata! Pendekar sakti
itu menangis!
“Paman....!” Dia berseru kaget karena hal ini
merupakan hal yang amat aneh dan luar biasa. Sukar dapat membayangkan betapa
pendekar yang sakti itu, pria yang gagah perkasa, kuat dan budiman, dapat
menangis!
Gak Bun Bengg memejamkan kedua matanya,
melepas pelukannya dan menghapus air mata di pipi dengan ujung lengan bajunya,
kemudian terdengar suaranya agak parau, “Syanti Dewi, duduklah dan mari kita
bicara baik-baik. Tenanglah dan jangan membiarkan perasaan mencengkeram hati
kita.”
Dengan pandang mata khawatir Syanti Dewi
melepaskan pelukannya lalu duduk di atas bangku taman itu. Bun Beng juga duduk
di sampingnya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian setelah berulang kali
menarik napas panjang, Bun Beng berkata, suaranya sudah tenang dan biasa
kembali, “Dewi, aku merasa berterima kasih dan terharu sekali bahwa engkau,
seorang puteri kerajaan yang cantik jelita dan masih muda sudi memperhatikan
dan menaruh hati kasih kepada seorang laki-laki seperti aku, miskin dan
pengembara, sengsara dan sudah hampir tua....”
“Paman Gak Bun Beng! Apakah cinta kasih itu
harus disertai usia dan kedudukan seseorang?”
“Tentu saja tidak, Dewi. Akan tetapi cinta
kasih antara pria dan wanita yang menuju kepada perjodohan, sudah tentu harus
memperhatikan hal itu, demi kebahagiaan dan kelangsungan perjodohan itu sampai
selama hidupnya. Engkau masih muda, berdarah bangsawan, dan....”
“Cukup, Paman! Aku tidak mau mendengar hal
itu lagi. Aku sekarang adalah seorang gadis yang tidak mempunyai apa-apa, yang
sebatang kara pula seperti Paman.... dan aku.... aku tidak sanggup kalau harus
hidup berpisah dari samping Paman.”
“Dewi....! Pikirlah baik-baik, tidak mungkin
keadaan kita ini dilanjutkan. Hari ini juga aku datang menemuimu untuk
berpamit. Aku akan pergi melanjutkan perjalananku, melanjutkan hidupku yang
merana, dan aku tidak akan begitu kejam untuk menyeretmu ke dalam kehidupanku
yang penuh derita ini. Aku hendak pergi, dan aku sudah membicarakan tentang
dirimu kepada Jenderal Kao. Dialah yang akan mengatur kesemuanya demi
kebaikanmu, Dewi....”
Gak Bun Beng sudah bangkit berdiri, akan
tetapi Syanti Dewi juga meloncat bangun dan menubruknya, memegangi lengannya
sambil menangis. “Jangan, Paman.... Jangan tinggalkan aku.... ah, jangan
tinggalkan aku, Paman.... aku tidak akan kuat menanggungnya....”
Bun Beng menjadi terharu sekali. Dia
benar-benar merasa tidak tega dan berat melihat keadaan dara itu, dan dia hanya
dapat mengelus rambut dara itu dengan hati seperti diremas-remas rasanya.
Tidak, pikirnya, dia tidak boleh menurutkan kelemahan hatinya, dia harus ingat
akan masa depan gadis ini!
“Jangan begitu, Dewi. Aku melakukan ini demi
masa depanmu sendiri, aku harus pergi, sekarang juga. Jenderal Kao akan
mengurus segala keperluanmu, tinggal engkau rundingkan dengan dia yang
menganggap kau sebagai anaknya. Dia dapat mengantarmu kembali ke Bhutan atau
kota raja menghadap Kaisar....”
“Paman.... Paman Gak.... apakah Paman tidak
cinta kepadaku?”
“Demi Tuhan.... satu-satunya orang yang
kusayang sepenuh hatiku pada saat ini adalah engkau seorang, Dewi. Akan tetapi,
ngeri aku membayangkan untuk mencintamu dengan disertai keinginan memiliki
dirimu lahir batin. Aku.... ah.... agaknya luka di hatiku masih belum sembuh,
aku belum berani lagi mencinta wanita.... pengalaman yang lalu.... ah, kau
mengerti, Dewi. Betapapun juga, kalau ada orang yang kusayang, kukasihi
sepenuh hatiku, selain dia.... ah, kiranya orang itu hanya engkau, Dewi....”
Gak Bun Beng memeluk erat-erat, seolah-olah dia tidak ingin lagi melepaskan
dara itu, kemudian mencium dahi yang halus itu, lalu tiba-tiba dia melepaskan
rangkulannya dan meloncat pergi, dalam sekejap mata saja lenyap dari pandangan
Syanti Dewi, hanya suaranya saja yang terdengar, mengandung rintihan jiwa yang
menggetar, “Selamat tinggal, Dewi....!”
“Paman Gak....!” Syanti Dewi menjerit dan lari
ke sana ke mari mencari-cari, namun pendekar itu telah lenyap dan akhirnya dara
ini menjatuhkan diri di atas tanah, berlutut sambil menangis sampai mengguguk.
Sampai lama sekali dara itu menumpahkan kedukaan hatinya seperti itu, sampai
lupa waktu.
“Syanti Dewi, anakku.... mengapa engkau
berduka seperti ini?”
Syanti Dewi mengangkat mukanya yang basah air
mata. Melihat Jenderal Kao Liang berdiri di situ, mendengar jenderal itu tidak
lagi menyebutnya tuan puteri, bahkan menyebutnya “anakku”, hatinya yang penuh
kecewa dan duka itu menjadi terharu.
“Paman....!” Serunya sambil berlari ke depan
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan jenderal itu sambil menangis.
Jenderal Kao Liang mengangkatnya bangun dan
membiarkan gadis itu menangis dengan muka di atas dadanya, sambil mengelus
rambut itu dengan hati penuh kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.
“Tenanglah, anakku. Jangan meneruskan hati
yang gelisah dan duka. Engkau tentu menangisi kepergian Gak-taihiap, bukan?”
Tanpa menjawab, Syanti Dewi mengangguk.
Jenderal itu menghela napas panjang lalu berkata, “Dia memang seorang yang
amat luar biasa, seorang pendekar besar yang patut dijunjung tinggi, patut
dihormati, bahkan patut pula menerima kasih sayang dara seperti engkau. Aku
mengerti, seorang gagah seperti dia tentu tidak mau mempergunakan kesempatan
untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi jangan kau khawatir, Anakku. Jodoh
tidak dapat dipaksakan, juga tidak dapat dipisahkan. Kalau memang sudah
berjodoh, tentu kelak dapat berkumpul kembali.”
Sambil menghibur, Jenderal Kao Liang mengajak
puteri itu kembali ke dalam rumah sehingga akhirnya reda juga kedukaan hati
puteri itu. Akan tetapi setelah dia tidak menangis lagi, Syanti Dewi lalu
mengajukan permintaan kepada Jenderal Kao Liang untuk mengantarkannya ke kota
raja, ke istana Puteri Milana!
“Apakah kau tidak ingin kembali saja ke
istanamu di Bhutan?” Jenderal Kao Liang bertanya.
“Tidak, saya ingin bertemu dan bicara dengan
Puteri Milana!” jawab Syanti Dewi dengan tegas. Dia tidak mengatakan kepada
jenderal itu bahwa dia ingin bertemu dengan Puteri Milana bukanlah untuk
keperluan dirinya sendiri, melainkan untuk menegur puteri itu yang telah
membuat hidup Gak Bun Beng menjadi sengsara! Dia ingin menegur Puteri Milana!
“Baiklah, Syanti Dewi. Akan tetapi kau
bersabarlah, karena tidak mungkin aku mengantarmu sekarang. Aku sudah menyusun
pelaporan ke kota raja dan aku akan menunggu jawaban pelaporan tentang
pemberontakan di sini dari Kaisar. Kalau jawaban itu tiba, tentu aku harus
menghadap ke sana dan engkau sekalian akan kuantarkan kepada Puteri Milana.”
Terpaksa Syanti Dewi menanti dengan sabar dan
menekan kedukaan hatinya yang selalu mengenangkan Gak Bun Beng, pendekar sakti
yang amat dikagumi dan yang telah menjatuhkan hatinya itu.
***
Kita tinggalkan dulu Puteri Syanti Dewi yang
merana dan menderita kesengsaraan batin sebagai akibat cinta pertama itu dan
kita mengikuti keadaan Candra Dewi atau Lu Ceng atau Ceng Ceng yang seolah-olah
terkubur hidup-hidup di dalam dunia bawah tanah bersama nenek lumpuh Ban-tok
Mo-li.
Seperti telah diceritakan di bagian depan,
melihat betapa Ceng Ceng membelanya ketika Siang Lo-mo datang menuntut
diberikannya kitab catatan racun, timbul rasa sayang di dalam hati nenek lumpuh
yang tidak waras lagi otaknya itu terhadap Ceng Ceng. Dengan penuh kesungguhan
hati mulailah nenek itu menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ceng Ceng, terutama
sekali ilmu menggunakan racun-racun berbahaya ke dalam tubuh sehingga dalam
waktu beberapa bulan saja Ceng Ceng telah berubah menjadi seorang “gadis
beracun” yang amat menyeramkan karena bukan saja dara ini dapat mengisi hawa,
pukulan dan serangannya dengan hawa beracun, akan tetapi juga dapat menggunakan
racun ke dalam seluruh anggauta tubuhnya sehingga setiap tamparan, jamahan
tangan, kalau dikehendakinya, dapat membuat lawan roboh dan tewas. Bahkan
dengan pengerahan istimewa, gadis ini dapat membuat ludahnya beracun pula!
Dengan amat tekun Ceng Ceng melatih dirinya dengan semua ilmu kaum sesat yang
mengerikan itu dan dalam waktu tiga bulan dia telah memperoleh kemajuan hebat
sehingga jauhlah kalau dibandingkan dengan sebelum dia terjerumus ke dalam
sumur maut. Memang nenek yang sudah putus asa untuk dapat membalas dendam
sendiri kepada Siang Lo-mo, mewariskan ilmu-ilmunya kepada muridnya ini, dengan
harapan agar kelak Ceng Ceng dapat membalaskan dendamnya kepada sepasang kakek
kembar yang lihai itu. Bahkan catatan racun yang aslinya, tidak seperti yang
diberikan kepada Siang Lo-mo yang mengandung kesalahan-kesalahan yang
disengaja, telah diperlihatkan dan diserahkan kepada Ceng Ceng untuk
dipelajarinya sehingga dara ini bukan saja menjadi ahli dalam ilmu silat
beracun, juga ahli pula dalam soal segala macam racun sehingga dengan tuntunan
kitab catatan kecil itu dia dapat menyembuhkan segala macam keracunan!
Selain memperoleh ilmu silat dan ilmu tentang
racun, juga Ceng Ceng memperoleh sebatang pedang dari gurunya, sebatang pedang
yang indah dan ampuh, akan tetapi sudah direndam racun yang bermacam-macam,
lama, dan amat jahatnya. Pedang ini yang tadinya merupakan sebatang pedang
pusaka ampuh, terbuat dari logam pilihan, oleh Ban-tok Mo-li telah diubah
menjadi sebatang pedang iblis yang amat mengerikan dan oleh nenek itu diberi
nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun).
Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan pada
suatu senja, seperti biasa kalau sudah lelah berlatih, Ceng Ceng yang tidak ada
bosan-bosannya itu memeriksa terowongan dan mencari-cari jalan rahasia dari
mana datangnya Siang Lo-mo. Terutama sekali dia memeriksa terowongan di mana
dahulu sepasang kakek kembar itu muncul karena dia yakin bahwa tentu di
sekitar tempat inilah terdapat sebuah pintu rahasia. Dia sudah hampir setiap
hari mengetuk, memukul, mendorong dan menarik batu-batu dinding terowongan
itu tanpa hasil. Sekali ini ia melihat-lihat ke atas. Terowongan itu cukup
tinggi, tidak kurang dari dua tombak tingginya, dan permukaan dindingnya agak
kasar karena batu-batunya menonjol. Kalau pintu rahasia itu tidak berada di
kanan kiri dinding terowongan itu, apakah terdapat di atas, di langit-langit
terowongan, pikirnya. Dia lalu mengangkat kakinya menginjak batu menonjol,
lalu mengenjot tubuhnya ke atas, berpegang kepada batu menonjol di
langit-langit, kaki yang sebelah lagi menginjak batu menonjol yang lain,
kemudian dengan kedua tangannya, mulailah dia mengetuk-ngetuk dan mendorong
atau menarik batu-batu menonjol di sekitar langit-langit terowongan itu.
Tiba-tiba jantungnya berdebar tegang ketika
sebuah batu menonjol yang dipegang tangan kirinya ketika dia dorong bergerak
sedikit! Dia membenarkan letak kakinya mencari tempat berpijak yang kuat,
kemudian mengerahkan tenaganya mendorong batu menonjol itu.
“Kraaakkkk....!” Terdengar suara batu bergeser
dan tampaklah sebuah lubang yang bergaris tengah hampir satu meter terbuka di
langit-langit terowongan itu! Ceng Ceng hampir bersorak girang. Tentu saja
sampai bertahun-tahun Ban-tok Mo-li tidak dapat menemukan pintu rahasia ini
karena nenek yang bernasib malang itu telah lumpuh kedua belah kakinya dan
tidak dapat mempergunakan lagi kakinya itu, sedangkan rahasia pintu terowongan
di langit-langit itu hanya dapat ditemukan kalau orang menggunakan kedua
kakinya untuk memanjat dan kedua tangan untuk menarik. Dan agaknya ini pula
yang menjadi satu diantara sebab mengapa dua orang kakek kembar itu membikin
lumpuh kaki Ban-tok Mo-li.
Dengan hati girang sekali Ceng Ceng lalu
meloncat turun, mengambil kitab catatan racun dan pedang Ban-tok-kiam pemberian
subonya, kemudian dia lari kembali ke bawah pintu rahasia itu. Akan tetapi baru
saja kedua kakinya bergerak hendak meloncat ke atas memasuki lubang itu,
tiba-tiba terdengar suara berkaok ular besar yang melingkar di batu menonjol
tak jauh dari lubang rahasia itu, kemudian dengan kaget Ceng Ceng mendengar
suara teguran subonya, “Ceng Ceng, kau hendak pergi ke mana membawa-bawa
pedang dan kitab?”
Ceng Ceng terkejut sekali. Dia maklum bahwa
dia harus pergi meninggalkan gurunya, karena tidaklah mungkin baginya untuk
pergi mengajak subonya yang cacad kedua kakinya itu. Tanpa menjawab dia
menyelinap di ujung terowongan untuk bersembunyi. Akan tetapi tiba-tiba tampak
tubuh subonya yang merangkak cepat sekali datang dari dalam.
“Heh-heh, aku tahu kau berada di situ, Ceng
Ceng. Kau mencurigakan sekali, tentu engkau telah menemukan pintu rahasia itu,
bukan? Heh-heh, jangan kautinggalkan tempat ini tanpa aku, muridku!”
“Tidak! Subo harus tinggal di sini, biar teecu
yang keluar dan kelak teecu akan membalaskan dendam Subo terhadap Siang Lo-mo!”
“Heh-heh-heh, enak saja! Tidak, kau harus
membawa aku atau kau tidak akan dapat pergi dalam keadaan hidup!”
Ceng Ceng maklum akan watak subonya yang amat
kejam. Ancaman subonya itu tentu akan dilaksanakan kalau dia tidak mau
menurut, akan tetapi dia pun tidak mau menyia-nyiakan jalan kebebasan ini. Dan
keluar dari tempat itu bersama subonya bukanlah kebebasan namanya. Subonya
lihai sekali dan sekali mereka keluar dari neraka di bawah tanah itu, dia akan
dipaksa untuk memenuhi kehendak subonya di bawah ancaman maut.
“Tidak, Subo. Teecu akan pergi sendiri!” Ceng
Ceng meloncat ke atas, ke arah lubang dan pada saat itu dia tidak lengah,
melainkan dengan waspada dia memandang ke arah subonya.
“Kalau begitu mampuslah!” Ban-tok Mo-li
menggerakkan tangan kanannya dan melayanglah sebuah benda bulat yang
mengeluarkan sinar ke arah Ceng Ceng dengan kecepatan hebat.
Ceng Ceng terkejut. Dia maklum bahwa subonya
memiliki senjata-senjata rahasia yang aneh-aneh dan dia belum sempat
mempelajarinya. Dia tidak tahu senjata rahasia apakah yang dipergunakan subonya
saat itu untuk menyerangnya, maka dia mengambil keputusan untuk mengelak dengan
jalan meloncat turun kembali karena dia tidak berani menangkis atau menendang
bola yang meluncur ke arahnya itu sebelum dia tahu benda macam apa yang
dipergunakan untuk menyerangnya selagi tubuhnya melayang ke atas itu.
Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan meluncur
dari atas menyambar ke arah bola yang melayang itu. Ceng Ceng sudah bergantung
ke pinggir lubang sambil memandang ke bawah. Kagetlah dia ketika melihat bahwa
yang meluncur itu adalah ular besar yang dengan moncong terbuka lebar menyambar
ke arah senjata rahasia berupa bola itu.
“Ular tolol! Jangan....!” Terdengar Ban-tok
Mo-li yang sudah tiba di bawah tempat itu berteriak. Namun terlambat karena
ular itu sudah mencaplok benda melayang itu dan terdengarlah bunyi ledakan
keras dan tampak api bernyala besar membakar tubuh ular itu yang terpaksa
melepaskan belitannya pada batu, jatuh ke bawah merupakan api berkobar-kobar.
Terdengar jerit melengking mengerikan dan
Ceng Ceng terbelalak memandang, lalu dia meloncat turun sambil berteriak,
“Subo....!”
Akan tetapi gadis ini hanya berdiri bingung
dengan jari-jari tangan saling cengkeram, tidak tahu harus berbuat bagaimana
melihat subonya yang tertimpa ular itu kini juga terbakar secara hebat!
Melihat ular dan subonya bergulingan dan berkelojotan tanpa dia mampu menolong
sedikit pun, Ceng Ceng memejamkan matanya, tidak tega menghadapi peristiwa
yang amat mengerikan itu, kemudian dia meloncat lagi memasuki lubang
terowongan, lalu merangkak dengan cepat melalui terowongan yang ternyata amat
panjang dan gelap itu.
Terowongan yang gelap itu ternyata amat
panjang, berlika-liku dan selalu naik. Dara itu tidak tahu sampai berapa
jauhnya dia merangkak-rangkak, kaki dan tangannya sampai terasa lelah, namun
mengenangkan gurunya dia merasa ngeri dan terus melanjutkan perjalanan yang
sukar itu tanpa berhenti.
Setelah melalui perjalanan yang amat sukar dan
lama, kadang-kadang terowongan itu sempit dan licin basah, kadang-kadang
melalui lantai yang penuh batu tajam dan runcing, akhirnya dia berhenti karena
jalan itu buntu. Selama menempuh perjalanan sukar sambil merangkak-rangkak
itu, dia harus meraba-raba dengan kedua tangannya karena amat gelap. Kini pun
dia meraba-raba dan mendapat kenyataan mengejutkan bahwa jalan itu berhenti
dan buntu, di depannya adalah dinding batu. Ketika dia meraba-raba lantai yang
penuh dengan benda-benda berserakan seperti batu-batu besar, tiba-tiba keadaan
di situ menjadi agak terang dan dia cepat mengangkat muka memandang ke atas.
Hampir dia berteriak saking kaget dan heran, juga girangnya, dan cepat dia
bangkit berdiri. Betapa enaknya rasa tubuhnya berdiri seperti itu setelah
berjam-jam merangkak terus! Kiranya tempat itu merupakan sebuah sumur yang
cukup tinggi, biarpun tentu saja tidak setinggi sumur di padang pasir, sumur
maut di mana dia terjungkal. Dan cuaca di dasar sumur itu menjadi makin terang,
bahkan kini terdengar suara-suara orang di atas sumur! Ceng Ceng terkejut dan
cepat menyelinap bersembunyi ke terowongan sambil mengintai ke atas. Tampaklah
obor-obor dipegang tangan banyak orang, lalu tampak kepala-kepala orang yang
kelihatannya aneh dan menyeramkan dari bawah itu. Keadaan menjadi makin terang
dan ketika dia melihat lagi ke atas lantai sumur, hampir saja Ceng Ceng
menjerit. Pantas saja sejak tadi dia mencium bau yang amat tidak enak, bau
busuk, bau bangkai! Hanya karena dia sudah melatih diri dengan ilmu yang
membuat tubuhnya beracun, maka tadi dia tidak begitu merasakan hal ini.
Sekarang, setelah keadaan menjadi terang oleh sinar banyak obor di atas
sehingga dia dapat melihat bahwa benda-benda berserakan yang disangkanya
batu-batu tadi ternyata adalah tumpukan tulang-tulang dan tengkorak manusia,
barulah dia tahu bahwa tempat itu merupakan gudang tulang-tulang manusia,
bahkan ada tulang-tulang yang masih belum bersih betul, masih ada sisa
hancuran dan cairan bekas tubuh manusia yang tentu saja berbau busuk sekali!
Ceng Ceng memandang lagi ke atas. Agaknya
terdapat kesibukan-kesibukan di atas sumur itu, akan tetapi suara orang-orang
itu tidak terdengar jelas, karena campur aduk tidak karuan. Tiba-tiba tampak
oleh Ceng Ceng betapa banyak tangan manusia mengangkat sesuatu kemudian
melemparkan benda yang panjang ke dalam sumur itu! Dengan cepat Ceng Ceng
merangkak mundur ke dalam terowongan dan merasa ngeri karena dia sudah menduga
benda apakah itu yang dilempar ke bawah.
“Bukkk!” Benda itu terbanting keras dan betul
dugaannya bahwa benda itu adalah mayat seorang manusia! Dia tidak sempat
melihat apakah mayat itu laki-laki atau wanita, yang jelas bahwa mayat itu
telanjang bulat dan jatuh menimpa tulang-tulang yang berserakan di tempat itu,
karena agaknya orang-orang yang berada di atas itu mulai pergi meninggalkan
sumur sehingga keadaan kembali menjadi gelap pekat.
Ceng Ceng terpaksa merangkak mundur sampai
belasan meter dari dasar sumur itu. Dia akan menanti sampai terang. Kalau dia
mengingat-ingat akan waktu yang dipergunakan untuk merangkak-rangkak tadi, dia
dapat menduga bahwa saat itu tentu sudah lewat tengah malam dan kiranya pagi
tidaklah lama lagi. Dia lalu rebah terlentang di dalam terowongan,
beristirahat. Dia akan mencari jalan keluar kalau sudah pagi dan terang, dan
untuk menanti datangnya pagi, dia memilih terowongan sempit ini daripada dasar
sumur yang luas akan tetapi penuh dengan tulang dan mayat manusia.
Tentu saja Ceng Ceng tak dapat tidur sekejap
mata pun. Hatinya terlalu tegang dan dia ingin lekas-lekas dapat keluar dari
tempat itu. Hatinya girang sekali ketika sinar matahari pagi mulai masuk ke
dalam sumur itu. Ketika dia merangkak ke dasar sumur, hatinya jijik sekali
melihat mayat telanjang seorang laki-laki tua yang dilempar dari atas semalam,
dia menujukan perhatiannya ke atas tanpa banyak membiarkan pandang matanya
melihat ke bawah. Tepat seperti diduganya malam tadi bahwa pasti ada jalan
keluar karena terowongan rahasia ini adalah yang dilalui Siang Lo-mo, dengan
girang dia mendapat kenyataan bahwa biarpun sumur itu dalamnya tidak kurang
dari lima belas meter, namun dia sanggup naik melalui dindingnya yang kasar
dan penuh batu-batu dan injakan kaki. Tanpa membuang banyak waktu lagi,
mulailah Ceng Ceng merayap atau mendaki naik dengan harap-harap cemas agar
jangan sampai ada muncul orang yang mengganggunya setelah dia tiba di luar
sumur.
Ketika akhirnya dia meloncat keluar, ternyata
sumur itu berada di tengah hutan di lereng gunung! Bukan di tengah padang pasir
lagi! Pantas saja kalau terowongan itu banyak mendaki, kiranya membawanya ke
lereng bukit. Dan sumur itu adalah sebuah kuburan! Agaknya penduduk di sekitar
daerah ini mempunyai cara penguburan yang aneh, yaitu melemparkan mayat-mayat
dalam keadaan telanjang bulat ke dalam sumur ini! Dia dapat mengetahui hal ini
karena di tepi sumur terdapat banyak papan-papan nama yang ditancapkan di atas
tanah, dan di situ terdapat pula bekas-bekas hio, agaknya mereka
menyembahyangi leluhur mereka di tepi sumur ini secara beramai-ramai. Sumur ini
merupakan kuburan bersama! Pantas saja Siang Lo-mo dapat menggunakan sumur ini
tanpa diketahui orang, karena orang lain tentu tidak ada yang berani memasuki
sumur yang dijadikan kuburan ini, yang tentu merupakan sebuah tempat yang
keramat!
Dengan perasaan yang mungkin hanya dapat
dirasakan oleh seekor burung yang baru terlepas dari sangkarnya, atau seekor
harimau yang baru terlepas dari kerangkeng, Ceng Ceng segera pergi dari tempat
itu, menuruni lereng atau memilih jalan menurun untuk keluar dari dalam hutan
yang cukup lebat itu. Biarpun semalam suntuk tak pernah tidur dan baru saja
mengalami ketegangan yang cukup hebat, namun kelegaan dan kegembiraan hatinya
dapat terbebas secara yang tak disangka-sangkanya itu membuat wajah Ceng Ceng
berseri-seri, dan segala yang tampak di depan matanya, pohon-pohon dan
batu-batu, bahkan rumput dan daun kering, kelihatan amat indah dan menyenangkan
hatinya. Ingin dia tertawa-tawa, ingin dia bernyanyi-nyanyi, akan tetapi
kadang-kadang dia berhenti dan termenung, alisnya berkerut kalau dia teringat
kepada gurunya. Betapapun juga, harus ia akui bahwa Ban-tok Mo-li yang kejam
dan mengerikan itu telah menyelamatkan nyawanya, bukan itu saja, bahkan nenek
itu telah menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya. Kini nenek itu telah tewas.
“Subo, aku akan membalaskan sakit hatimu
terhadap Siang Lo-mo!” bisiknya sambil mengepal tinju dan dia cepat mengusir
bayangan subonya dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat karena dari atas
dia melihat genteng-genteng rumah penduduk dusun di bawah sana.
Dia berhenti di luar dusun itu ketika melihat
anak sungai yang airnya jernih sekali. Timbul keinginan hatinya untuk mandi dan
minum. Atau setidaknya dia harus mencuci mukanya di air yang jernih itu,
karena kalau mandi dia khawatir dilihat orang. Cepat dia menuruni anak sungai
itu, akan tetapi baru saja kedua tangannya menyentuh air, tiba-tiba terdengar
orang berseru penuh kekhawatiran, “Hei....! Nona...., jangan sentuh air
itu...., lekas kau keluar dari situ!”
Tentu saja Ceng Ceng merasa heran sekali.
Kalau orang itu melarangnya, tentu dia akan marah. Akan tetapi orang itu jelas
bukan melarang, melainkan memperingatkannya seolah-olah orang itu merasa ngeri
dan takut akan sesuatu.
“Mengapa tidak boleh, Lopek?” tanyanya ketika
laki-laki setengah tua itu sudah tiba dekat sambil berlarian.
“Aihh, Nona, harap cepat keluar. Air sungai
itu beracun!”
“Hemm, beracun?” Ceng Ceng tertarik sekali
dan memandang air itu, lalu membawa tangannya yang basah ke depan hidungnya,
bahkan lalu menjilatnya. Memang beracun, pikirnya, akan tetapi hanya tipis dan
lemah saja kekuatan racun itu, agaknya karena sudah tercampur air yang amat
banyak itu. “Biarlah aku ingin mencuci muka dan minum!” jawabnya seenaknya dan
dia lalu mencuci mukanya, bahkan menyendok air dengan kedua telapak tangan dan
diminumnya. Hemmm, menyegarkan rasanya.
“Nona! Jangan.... ahhh, anakku pun sekarang
hampir mati karena minum air ini, dan di kampung kami sudah ada enam orang yang
tewas. Mengapa Nona begini nekat?”
Ceng Ceng makin tertarik dan dia lalu meloncat
ke darat. Sekali loncat saja dia telah tiba di depan laki-laki tua itu yang
memandang terbelalak kemudian menjatuhkan diri berlutut! “Kiranya Nona adalah
seorang pendekar wanita yang sakti....! Nona tidak takut racun dan Nona
melompat seperti terbang.... kalau begitu, saya mohon dengan hormat, sudilah
kiranya Nona menolong kami, mengobati puteraku dan beberapa orang lain yang
belum tewas akan tetapi yang menderita sakit hebat karena air sungai ini.”
Ceng Ceng mengangguk. “Baik, akan kucoba untuk
menyembuhkan mereka. Mari!”
Kakek itu girang sekali dan cepat mengajak
Ceng Ceng memasuki perkampungan itu langsung menuju ke sebuah rumah yang
paling besar dan paling indah di dusun itu. Kiranya orang tua itu adalah
hartawan yang paling kaya di dusun itu, dan dia lalu dengan singkat
menceritakan kepada isterinya yang masih menangis bahwa nona muda ini hendak
mengobati putera mereka. Ibu yang cemas ini cepat mengajak Ceng Ceng memasuki
sebuah kamar dan di atas pembaringan rebahlah seorang anak laki-laki berusia
sepuluh tahun yang membengkak mukanya dan panas badannya.
Ceng Ceng menghampiri, dan sebentar saja dia
sudah tahu bahwa anak ini memang keracunan, racun yang sama dengan yang dia
dapatkan di dalam anak sungai tadi. Racun yang sama sekali tidak berbahaya
kalau saja orang tahu cara pengobatannya. Cepat dia menotok jalan darah di dada
kiri anak itu dan menyuruh Sang Ibu mengambil abu dapur, merendam abu itu di
dalam air, lalu memberikan air itu setelah abunya mengendap, untuk diminumkan
anaknya.
Setelah ditotok dan minum obat sederhana ini,
anak itu benar saja sembuh, bengkak pada mukanya mengempis dan napasnya tidak
memburu lagi, panas tubuhnya pun menurun! Tentu saja hartawan itu menjadi
girang sekali dan orang lain yang menderita keracunan yang sama lalu dibawa ke
rumah gedung itu dan semua diobati oleh Ceng Ceng dan dapat diselamatkan
nyawanya.
Rumah itu penuh dengan penduduk dan mereka
semua berlutut menghaturkan terima kasih kepada Ceng Ceng dipimpin oleh kepala
dusun itu yang masih adik kandung sendiri dan Si Hartawan tadi. Ceng Ceng
berkata, “Harap Cu-wi sekalian bangkit dan jangan berlebihan. Aku hanya ingin
tahu mengapa air sungai itu beracun, apakah biasanya tidak begitu?”
“Tentu saja tidak, Lihiap (Pendekar Wanita),”
jawab Si Kepala Dusun setelah semua orang bangkit. “Sejak turun-temurun, anak
sungai itu memiliki air yang jernih dan bersih dan yang menjadi air minum
seluruh penduduk dusun. Akan tetapi sejak tiga hari yang lalu, tiba-tiba saja
airnya mengandung racun yang jahat itu sehingga ada enam orang penduduk kami
tewas, yang lain sakit dan tentu akan tewas pula kalau tidak ada pertolongan
Lihiap.”
“Hemm, sungguh aneh,” kata Ceng Ceng. “Racun
seperti itu adalah buatan orang dan tak mungkin dapat meracuni sungai kalau
tidak sengaja dilakukan orang.”
“Kami mendengar berita bahwa di selatan sana
keadaan dusun-dusun lebih parah lagi karena mengamuknya racun yang entah datang
dari mana. Kami tadinya tidak percaya sampai air sungai itu menjadi beracun,”
jawab Si Kepala Dusun. “Terpaksa kami menggunakan air dari sumber di atas
bukit untuk keperluan kami.”
“Dan Cu-wi tahu mengapa sebabnya semua itu?”
“Tidak, Lihiap, kami tidak tahu.”
“Hemm, kalau begitu tentu ada apa-apa di
selatan sana. Aku akan pergi ke sana menyelidikinya.”
Mendengar uacpan ini, semua orang memandang
dengan muka berubah. “Ada apakah di selatan?” Ceng Ceng bertanya melihat sikap
mereka itu.
Si Kepala Kampung memandang ke kanan kiri
seperti orang ketakutan, lalu berkata lirih, “Sebaiknya kalau Lihiap jangan
mengambil jalan ke selatan. Kurang lebih lima puluh li dari tempat ini
terdapat tempat yang dinamakan Lembah Bunga Hitam, dan tempat itu amat
berbahaya....”
“Mengapa....?”
“Penghuni Lembah Bunga Hitam adalah golongan
yang amat ditakuti di sekitar daerah ini...., dan sudah banyak yang menjadi
korban keganasan mereka, namun tidak ada yang berani melawan karena mereka itu
amat lihai....”
Ceng Ceng tersenyum. “Tak usah Cu-wi khawatir,
aku mampu menjaga diriku.”
Akan tetapi kepala kampung dan hartawan itu,
juga para penduduk, menahan Ceng Ceng pergi seketika. Mereka lebih dulu ingin
menjamu Ceng Ceng untuk menyatakan terima kasih mereka. Bahkan melihat betapa
pakaian yang dipakai dara itu sudah amat lapuk, Si Hartawan sudah cepat
menyiapkan pakaian baru untuk Ceng Ceng, dan setelah dara itu dipaksa untuk
makan minum bersama mereka, lalu seekor kuda yang besar dihadiahkan pula kepada
dara itu. Ceng Ceng juga tidak menolak pemberian itu, menerima dengan gembira
dan berterima kasih. Dia memang amat membutuhkan pakaian bersih, dan kuda itu
pun dapat berguna baginya. Maka dengan diantar oleh para penduduk sampai di
pintu dusun, dara ini berangkat melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan.
Akan tetapi baru kurang lebih sepuluh li
kudanya dilarikan ke selatan, tiba-tiba di luar sebuah hutan dia melihat
penduduk dusun berbondong-bondong pergi mengungsi ke utara. Keadaan mereka
sungguh menyedihkan, kelihatan muka mereka pucat ketakutan, pakaian kumal dan
penuh duka, ada yang menggendong anak ada pula yang menggandeng dua anak di
kanan kiri, ada yang menggendong buntalan pakaian dan memikul barang-barang
yang sempat mereka bawa lari ngungsi.
Ceng Ceng meloncat turun dari kudanya dan
memegang kendali kuda, memandang orang-orang itu yang agaknya tidak
mempedulikannya, bahkan agaknya memandang kepadanya dengan penuh curiga dan
penuh kebencian. Akhirnya dia bertanya kepada dua orang laki-laki setengah tua
yang berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap, “Ji-wi Lopek (Paman Tua
Berdua) agaknya kalian semua mengungsi dengan tergesa-gesa dan ketakutan,
apakah yang terjadi di selatan?”
Dua orang laki-laki itu berhenti dan memandang
kepada Ceng Ceng dengan penuh keheranan. “Apakah Nona hendak maksudkan bahwa
Nona belum tahu akan apa yang sedang dan telah terjadi, dan sekarang Nona
hendak melakukan perjalanan ke selatan?” tanya yang berjenggot pendek.
“Benar, Lopek. Akan tetapi, apakah sebenarnya
yang sedang terjadi? Mengapa Lopek sekalian melarikan diri dan pergi mengungsi?”
“Aihh, tadinya kami mengira tentu Nona adalah
seorang di antara mereka! Kalau ternyata bukan, harap Nona cepat membalikkan
kuda dan ikut melarikan diri bersama kami sebelum terlambat.”
“Sebelum terlambat?”
“Ya, lihat. Kami adalah petani-petani akan
tetapi sekarang terpaksa melarikan diri tanpa membawa seekor pun binatang
peliharaan. Kuda Nona masih sehat, maka lekas-lekas Nona bawa pergi sejauhnya
ke utara kalau ingin selamat.”
Tentu saja Ceng Ceng menjadi makin tertarik.
Jelas bahwa telah terjadi sesuatu yang amat hebat di selatan, yang akibatnya
telah menggegerkan dusun di utara tadi di mana air sungai mendadak menjadi
beracun.
“Lopek, tolong jelaskan. Apa yang sedang
terjadi?”
“Geger hebat, dunia akan kiamat, Nona! Sejak
tiga hari yang lalu, terjadi pertempuran hebat di Lembah Bunga Hitam, antara
golongan penghuni Lembah dan musuh-musuh mereka. Pertandingan yang mengerikan,
dan akibatnya bagi para penghuni dusun di sekitar lembah, lebih mengerikan
lagi. Bayangkan saja, ternak-ternak kami mati, air pun keracunan, hawa udara
pun beracun, semua tanaman layu dan agaknya tanah pun menjadi beracun. Dua
golongan ahli-ahli racun perang menggunakan racun-racun mengerikan. Banyak
diantara penduduk dusun sekitar tempat itu mati konyol, maka kami semua cepat
melarikan diri mengungsi. Nah, sekarang sebaiknya Nona cepat memutar arah
perjalanan Nona, atau kalau ada keperluan ke selatan, sebaiknya mengambil
jalan memutari pegunungan di selatan itu agar tidak melewati Lembah Bunga
Hitam.”
Ceng Ceng menjadi tertarik sekali. Dia
meloncat ke atas punggung kudanya dan berkata, “Terima kasih, Lopek. Saya akan
meninjau keramalan itu!” Lalu dia membedal kudanya ke selatan.
“Ah, sayang kuda sebaik itu akan mati konyol!”
terdengar seorang berkata.
“Nona itu lebih sayang lagi, begitu muda
remaja dan cantik jelita!” kata orang ke dua. Akan tetapi mereka tidak tahu
bahwa Ceng Ceng, murid yang telah mewarisi ilmu dari nenek yang menjadi datuk
racun, Ban-tok Mo-li, tentu saja tertarik sekali mendengar bahwa ada dua
golongan ahli-ahli racun sedang bertanding dan tentu saja dia tidak merasa
takut sama sekali.
Makin banyak Ceng Ceng bertemu dengan para
rombongan pengungsi. Setelah Lembah Bunga Hitam tinggal lima belas 11 lagi
jauhnya, dia memberikan kudanya kepada rombongan pengungsi terakhir, karena dia
maklum bahwa hawa udara yang mulai bau wangi-wangi aneh itu amat berbahaya bagi
kudanya. Dia melanjutkan perjalanan menuju ke Lembah Bunga Hitam dengan
berlari-lari.
Dusun-dusun sudah kosong dan makin dekat
dengan Lembah Bunga Hitam, makin mengerikanlah keadaannya. Dusun-dusun itu
ditinggalkan penghuninya yang masih hidup, meninggalkan banyak mayat manusia di
mana-mana. Pohon-pohon layu dan daunnya rontok menjadi gundul mengerikan.
Bangkai-bangkai berserakan di atas tanah, dari bangkai binatang buas yang galak
dan kuat seperti biruang hutan sampai kijang dan kelinci, dari belalang dan
jengkerik sampai segala macam kadal, coro, kecoa, dan semut. Juga anak-anak
sungai dan selokan-selokan penuh dengan bangkai katak, ikan, yuyu, belut dan
sebagainya. Semua bangkai mulai membusuk, maka dapat dibayangkan betapa
hebatnya bau di sepanjang jalan dan dusun-dusun itu. Merupakan daerah mati,
daerah yang menyeramkan di mana maut memperlihatkan taring dan kukunya yang
tajam meruncing.
Makin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, makin
mengerikan keadaannya, bahkan banyak tanah yang hangus seperti terbakar, ada
tanah yang merekah retak-retak dan masih mengeluarkan asap, ada air hitam
menetes-netes dari pohon seperti darah, air yang mengandung racun ganas! Di
samping kengerian yang dihadapinya, Ceng Ceng juga merasa tertarik bukan main
karena segala macam racun yang diajarkan oleh subonya selama ini, sekarang
dapat dia melihatnya dalam bentuk aslinya, melihat kenyataannya. Dia mengenal
dari bentuk, warna, dan baunya, dan untuk setiap racun yang terdapat di situ,
Ceng Ceng mengenal pula cara menolaknya, bahkan tubuhnya yang sudah dilatih dan
diisi dengan hawa beracun boleh dikatakan kebal terhadap segala macam racun.
Ketika Ceng Ceng memasuki perkampungan
terakhir yang berada di luar Lembah Bunga Hitam, perkampungan yang tadinya
dihuni oleh anak buah Lembah Bunga Hitam tingkat terendah, dusun ini juga
sudah kosong sama sekali dan di sini jelas nampak bekas-bekas pertandingan yang
mengerikan karena banyak berserakan mayat-mayat yang membusuk, bahkan ada pula
yang sudah tinggal rangkanya saja, padahal pertandingan baru berjalan tiga hari
yang lalu. Memang ada beberapa macam racun yang kalau mengenal tubuh orang
lalu menggeroti kulit daging dengan cepatnya sehingga dalam waktu satu hari
satu malam saja yang ada tinggal kerangkanya, karena yang lain-lainnya telah
mencair dan habis. Selain mayat-mayat ini, tampak pula binatang-binatang
berbisa yang juga kebal terhadap racun-racun lain. Tampak kelabang,
kalajengking dan ular-ular berbisa segala jenis, berkeliaran dan makan
bangkai-bangkai binatang laln, ada pula beberapa ular jenis ular merah hitam
tampak memperebutkan daging membusuk tubuh seorang manusia! Ceng Ceng bergidik,
apalagi ketika dia melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh
tahun rebah miring di atas tanah kering. Hatinya merasa ngeri dan kasihan akan
tetapi juga terheran-heran melihat betapa mayat anak kecil ini masih utuh,
hanya agaknya tidak lama lagi utuhnya karena di sekelilingnya terdapat banyak
sekali ular berbisa yang seolah-olah menanti saat baik untuk nanti
memperebutkan daging yang masih lunak dan utuh itu.
Tidak, pikir Ceng Ceng. Aku tidak mungkin
membiarkan mayat anak itu dimakan ular-ular jahanam itu! Harus kuselamatkan
mayat itu, akan kukubur baik-baik. Dia menghampiri mayat itu dan tiba di luar
lingkaran ular-ular yang mengerumuni mayat anak kecil itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang membuat
bulu tengkuk Ceng Ceng bangun berdiri saking ngerinya karena suara ketawa itu
keluar dari mulut mayat anak perempuan itu! Dan “mayat” itu kini bangkit
duduk, wajahnya cantik mungil akan tetapi pucat sekali seperti mayat, dan
sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya yang tertawa-tawa itu tiba-tiba kini
berdesis-desis seperti suara ular. Suara mendesis ini disambut oleh suara
mendesis dari empat penjuru, dan bukan hanya ular-ular yang tadi berkerumun di
situ saja yang bergerak, juga dari arah lain berdatangan banyak ular besar kecil
yang mendesis-desis dan merayap secepatnya ke tempat itu, seolah-olah memenuhi
penggilan anak perempuan itu!
Tiba-tiba, desis yang keluar dari mulut anak
perempuan itu berubah dan terkejutlah Ceng Ceng ketika dia melihat betapa
semua ular itu kini membalik dan seperti marah menyerbu ke arahnya! Sebentar
saja ular-ular besar kecil, semuanya beracun, dipimpin oleh tujuh ekor ular
sendok yang “berdiri” dan dengan leher berkembang menyembur-nyembur,
mengurungnya dan anak perempuan itu kini sudah bangkit berdiri dan menari-nari
kegirangan sambil tertawa-tawa, seolah-olah seorang anak kecil yang
memperoleh permainan menarik sekali.
Mengertilah Ceng Ceng bahwa dia berhadapan
dengan seorang bocah yang luar biasa, tentu anak dari golongan sesat yang amat
lihai. “Hemm....!” bentaknya dan dia melangkah maju ke arah tujuh ekor ular
sendok yang paling galak. Tujuh ekor ular itu menyerangnya dengan berbareng,
mematuknya. Ceng Ceng menggerakkan kedua lengannya setelah menyingsingkan
lengan bajunya agar jangan tergigit robek. Tujuh ekor ular itu tentu saja
tertarik dan kesemuanya lalu mematuk ke arah kedua lengan yang berkulit putih
itu. Ketika Ceng Ceng mengangkat kedua lengannya, tujuh ekor ular cobra itu
bergantungan pada lengannya dan kini Ceng Ceng menggerakkan tangannya,
mencengkeram kepala ular-ular itu yang menggigit lengannya, lalu sekali
mengerahkan tenaganya, kepala tujuh ekor ular itu hancur dan bangkai ular itu
dia lemparkan ke bawah. Sementara itu, ular-ular yang lain sudah menyerbu, akan
tetapi gigitan mereka sama sekali tidak mempengaruhi apa-apa pada tubuh dara
itu, bahkan dia lalu menggerakkan kaki tangan dan menginjaki kepala ular,
menangkapi dan membanting sehingga ular-ular itu menjadi morat-marit dan kacau
balau, banyak yang mati, sisanya lalu ketakutan dan mulai menjauhkan diri.
Anak perempuan yang tadi menari-nari
kegirangan, kini menghentikan tariannya, memandang dengan mata terbelalak,
kemudian melangkah maju. “Kau.... kau.... dapat mengalahkan ular-ularku....?”
Ceng Ceng menangkap kepala seekor ular yang
sebesar lengannya dan panjangnya lebih dari satu meter, menggerakkan bangkai
ular itu ke arah anak perempuan tadi.
“Plak! Plak!” Biarpun anak perempuan itu
berusaha mengelak, tetap saja ekor ular itu menyabet kedua pipinya. Anak itu
menangis dan menutupi mukanya!
Dingin kembali hati Ceng Ceng yang tadinya
panas. Dia menghampiri dan mengelus kepala anak luar biasa itu. “Kau siapa dan
mengapa kau di sini seorang diri?” tanyanya dengan suara halus.
Anak itu mengangkat mukanya memandang. Cantik
benar wajah anak ini, hanya sayang kepucatan wajahnya mengerikan, seolah-olah
tidak ada darah mengalir di bawah kulit itu.
“Engkau.... engkau tidak akan membunuh aku?”
tanya anak itu.
Ceng Ceng tersenyum. “Ihh, mengapa aku harus membunuhmu?”
“Enci, engkau orang aneh, tidak seperti yang
lain. Ayah tentu akan senang sekali bertemu denganmu.”
“Siapa ayahmu, dan engkau siapa?”
“Namaku Kim Hwee Li, dan ayahku adalah
Hek-tiauw Lo-mo!” Berkata demikian, anak itu memandang dengan sikap bangga.
Akan tetapi kembali dia terheran-heran dan kecewa karena agaknya wanita yang
dapat mengalahkan ular-ularnya itu sama sekali tidak kelihatan kaget. Memang
Ceng Ceng selama hidupnya belum pernah mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo (Iblis
Tua Rajawali Hitam) itu, tentu saja dia tidak menjadi kaget. Dia tidak tahu
bahwa iblis tua itu bukan lain adalah raja atau Ketua Pulau Neraka yang
memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main!
“Di manakah ayahmu? Mengapa kau ditinggalkan
di sini seorang diri?”
“Ayahku baru sibuk perang dengan orang-orang
Lembah Bunga Hitam, mengatur anak buahnya. Aku bosan melihat perang selama
tiga hari, maka aku pergi sendiri bermain-main di sini. Sini sepi tidak ada
orang hidup, tidak ada lagi orang bertempur. Enci, apa kau tidak takut kepada
ayahku? Ayahku ditakuti semua orang. Baru mendengar namanya saja, orang sudah
lari ketakutan, akan tetapi kenapa engkau tidak lari?”
“Aku tidak takut kepada siapapun juga.”
“Bagus! Kiranya engkau di sini, Hwee Li. Dan
kau bertemu dengan seorang bocah sombong! Ha-ha-ha, jangan ditiru sikap
sombongnya itu, karena sikap itu hanya akan mencelakakan.”
Ceng Ceng cepat membalikkan tubuhnya dan dia
terkejut. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang manusia
seperti ini, amat menyeramkan. Laki-laki itu usianya tentu sudah lima puluh
tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan ketika tertawa tadi,
mulutnya terbuka memperlihatkan dua buah gigi panjang meruncing seperti taring
singa, kedua lengannya yang tidak tertutup karena bajunya berlengan pendek itu
penuh bulu yang kaku seperti jarum hitam, matanya liar dan mengandung sinar
kejam dan buas seperti mata singa sedang marah. Diam-diam Ceng Ceng merasa
heran bukan main. Orang yang buruk seperti setan ini memiliki seorang anak
perempuan yang demikian manis dan mungilnya! Sungguh tidak patut!
“Jadi engkau adalah ayah dari Hwe Li! Hemm,
seorang anak kecil dibiarkan bermain-main sendiri di tempat seperti neraka ini.
Sungguh ayah yang tidak dapat mendidik dan menjaga anak!” Ceng Ceng berkata
untuk membalas ejekan kakek raksasa itu, sedikit pun tidak mengenal takut.
“Wah-wah, Nona muda. Apa anakku tidak
mengatakan siapa adanya ayahnya?”
“Sudah, Ayah. Akan tetapi enci ini hebat, dia
tidak takut kepada Hek-tiauw Lo-mo!” tiba-tiba Hwe Li berseru.
Muka kakek itu berubah merah dan kedua matanya
melotot lebar ketika memandang Ceng Ceng. “Kau tidak tahu siapakah Hek-tiauw
Lo-mo?”
“Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku sama sekali!”
“Keparat sombong! Engkau tentu orang pihak
Lembah Bunga Hitam!”
“Aku tidak mengenal Lembah Bunga Hitam. Aku
kebetulan lewat di sini dan melihat akibat perang yang kotor dan keji, melihat
anak kecil yang tidak terdidik baik-baik menyerangku dengan ular-ular
beracun.”
“Ha-ha-ha, engkau nona muda yang cantik,
mulutmu kecil akan tetapi suaramu besar. Kau tidak takut kepada Pulau Neraka?”
“Aku tidak peduli dan tidak kenal Pulau
Neraka!”
“Ha-ha-ha! Dan kau juga tidak takut kepada
Lembah Bunga Hitam?”
“Persetan dengan Lembah Bunga Hitam!”
“Ha-ha-ha-ha!” Ketua Pulau Neraka itu tertawa
bergelak dan menjadi makin tertarik. Kalau tadi dia mendengar bahwa Pulau
Neraka tidak ditakuti, dia agak mendongkol, akan tetapi sekarang mendengar
bahwa dara muda jelita ini juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam yang
menjadi lawannya, dia tertawa girang. “Ingin aku melihat muka Si Tua Bangka
Hek-hwa Lo-kwi (Setan Tua Bunga Hitam) kalau mendengar bahwa Lembah Bunga
Hitam tidak ditakuti oleh seorang bocah perempuan. Ha-ha-ha!”
“Ayah, Enci ini tentu saja tidak takut. Dia
lihai sekali. Ular-ularku banyak yang mati dan sama sekali tidak berdaya
menghadapinya!” tiba-tiba Hwe Li berkata.
“Apa....?” Ketua Pulau Neraka menjadi
terkejut dan gembira. “Kiranya seorang nona muda yang lihai juga, ya? Tempat
ini menjadi gelanggang pertandingan mengadu racun dan kau masih berani datang
ke sini, bahkan kau telah mengalahkan ular-ular berbisa itu? Hemm, agaknya kau
tidak takut racun, ya?”
Ceng Ceng tersenyum mengejek, teringat akan
mendiang subonya yang menjadi datuk ilmu racun! “Hemm, racun adalah makananku
sehari-hari!” katanya, bukan semata-mata untuk bersombong karena memang selama
berada di neraka bawah tanah bersama subonya, boleh dibilang setiap hari dia
disuruh makan racun! Itulah cara subonya membuat dia kebal akan racun, dan
tentu saja menelan racun itu disertai ramuan obat dan totokan-totokan pada
jalan darah tertentu.
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo menerimanya
sebagai suatu kesombongan besar. Dia adalah Ketua Pulau Neraka yang terkenal
sebagai tempat racun, dan dia adalah seorang ahli, maka mendengar kesombongan
ini dia menjadi marah. “Bagus, kalau begitu makanlah ini!” Tangannya bergerak
dan uap hitam menyambar dari tangan itu ke arah muka Ceng Ceng.
Ceng Ceng dapat mencium bau uap beracun itu,
maka dia tahu racun apa yang dipergunakan kakek itu untuk menyerangnya. Dia
tetap tersenyum, hanya miringkan sedikit kepalanya agar tidak terkena hawa
pukulan yang menyambar dari tangan itu, dan uap hitam menyelimuti mukanya.
Terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Uap hitam itu saja sudah cukup
untuk merobohkan seorang lawan tangguh, roboh dan pingsan, dan dia pun merasa
yakin bahwa dara muda ini akan roboh pingsan pula. Akan tetapi, suara ketawanya
berhenti dan dia terbelalak kaget ketika melihat setelah asap membuyar, gadis
itu tetap saja berdiri tegak, mukanya tetap berseri, juga matanya masih
bersinar-sinar, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan padahal gadis itu
tidak menahan pernapasannya dan jelas telah menyedot uap hitam itu.
“Kau dapat bertahan? Makanlah ini!”
Kakek itu kembali membentak dan kini dia
membanting sesuatu di depan Ceng Ceng. Benda bulat putih itu meledak dan
muncratlah cairan hijau yang mengeluarkan bau memuakkan. Cairan ini muncrat dan
ketika mengenai tanah mengeluarkan suara mendesis dan mengeluarkan asap
seolah-olah tanah yang terkena benda cair ini terbakar!
Ceng Ceng mengelak agar pakaiannya tidak
terkena benda itu, akan tetapi kedua tangannya menyampok benda cair yang muncrat.
Kedua tangan itu berlepotan benda cair hijau itu. Kembali Hek-tiauw Lo-mo
terbelalak kaget. Benda cair itu adalah racun yang amat jahat dan segala benda,
apalagi kulit daging, akan hancur membusuk terkena benda ini, akan tetapi kedua
tangan nona itu yang berlepotan benda cair ternyata tidak apa-apa. Bahkan Ceng
Ceng lalu membentak, “Kaumakanlah sendiri!” Kedua tangan nona itu bergerak dan
benda cair yang berlepotan di tangannya memercik ke arah muka Hek-tiauw Lo-mo!
“Uhhhh....!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak kaget
sekali, akan tetapi dia pun dapat menghindarkan diri dari percikan cairan hijau
itu. Diam-diam dia menjadi terkejut sekali. Dia sendiri kalau harus menghadapi
racun hijau pencabut nyawa itu harus menggunakan obat penawar lebih dulu karena
racun ini terlalu berbahaya. Akan tetapi gadis itu dapat menangkisnya begitu
saja, dengan seenaknya seolah-olah racun hijau itu bukan apa-apa! Dia menjadi
penasaran. Mungkinkah gadis ini memiliki keahlian tentang racun yang melebihi
dia? Tak mungkin!
“Kau hebat akan tetapi cobalah ini!” Kini
Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua telapak tangan mendorong ke depan dengan
cepat sekali. Ceng Ceng maklum bahwa itu merupakan pukulan beracun, maka dia
yang melihat betapa cepatnya gerakan kakek ini, cepat mendorongkan kedua
tangannya pula memapaki. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. Gadis
itu berani memapaki pukulannya yang mengandung lima racun inti, pukulan yang
disebut Ngo-tok-toat-beng-ciang (Pukulan Tangan Lima Racun Pencabut Nyawa)!
Padahal pukulannya ini amatlah ampuhnya, dahsyat dan jarang, bahkan belum
pernah ada yang mampu menerimanya kecuali Ketua Lembah Bunga Hitam tentunya.
“Ha-ha-ha, sekarang engkau mampus, bocah
sombong!” teriaknya. Di samping hawa beracun yang amat ganas ini, juga dia
mengandalkan kekuatan sin-kangnya yang mendorong hawa beracun itu sehingga
daya serang racun itu tidak perlu disangsikan lagi kedahsyatannya.
“Plak! Plakk!”
“Aihhh....?” Hek-tiauw Lo-mo kini benar-benar
kaget. Tidak saja gadis itu berani menerima pukulannya dan jelas bahwa
Ngo-tok-toat-beng-ciang tidak berbekas apa-apa, juga gadis itu ternyata
memiliki sin-kang yang cukup tinggi sehingga mampu menangkis pukulannya tadi.
Lebih lagi, dia merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal tanda bahwa telapak
tangan gadis itu mengandung racun yang luar biasa dan agaknya tak dapat ditahan
oleh kulit telapak tangannya yang kebal karena terisi ilmu pukulan beracun
tadi! Cepat dia memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya di mana sudah terdapat
batu-batu mustika penawar racun, agar kedua tangan itu tidak sampai keracunan
hebat.
Ceng Ceng tersenyum mengejek, “Bagaimana,
Hek-tiauw Lo-mo?” katanya.
“Bocah sombong, kiranya engkau setan cilik
beracun pula! Akan tetapi jangan kira Hek-tiauw Lo-mo kalah olehmu dalam
keahlian racun. Coba kaubebaskan dirimu dari lingkaran racun api ini kalau
mampu!” Tiba-tiba kakek itu bergerak lari memutari tempat Ceng Ceng berdiri.
Dara itu terkejut menyaksikan betapa cepatnya kakek itu bergerak. Tadi dia
sudah merasakan kehebatan tenaga sin-kang kakek itu, kini dia menyaksikan
gin-kang yang amat hebat sehingga diam-diam dia maklum bahwa dia berhadapan
dengan seorang yang benar-benar amat sakti. Namun dia tidak menjadi gentar.
Kalau hanya diserang dengan segala macam racun saja dia tidak akan takut! Maka
sambil berdiri dengan tenang dia memandang lawan yang sambil berlari cepat
mengelilinginya itu ternyata telah menaburkan semacam bubuk putih di atas tanah
di sekitarnya.
“Ha-ha-ha-ha! Hendak kulihat bagaimana kau
menghadapi racun api yang mengelilingimu!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan masih
terus melangkah di sekeliling Ceng Ceng, agaknya siap untuk menyerang apabila
dara itu melompat ke luar dari lingkaran itu.
Ceng Ceng memandang ke bawah. Dia tahu racun
macam apa itu yang kini mulai membara dan perlahan-lahan api itu memakan tanah
dan merayap mendekatinya sehingga dengan cepat lingkaran api itu menjadi
makin menyempit. Sebentar lagi tentu lingkaran itu akan mencapai kakinya dan
membakarnya!
Dari dalam neraka di bawah tanah, ketika dia
pergi meninggalkan tempat itu, Ceng Ceng telah membawa semua persediaan
racun-racun ampuh milik subonya. Maka kini dia mengeluarkan sebungkus obat
bubuk berwarna hitam, menjumput obat itu dan menaburkan di sekeliling tubuhnya
dengan sikap tenang.
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan penuh
perhatian, dan mukanya berubah ketika dia melihat betapa api dari racun yang
ditaburkannya tadi, ketika tiba di tempat yang sudah ditaburi obat bubuk hitam
oleh Ceng Ceng, menjadi padam seketika! Padahal obat bubuk putihnya tadi adalah
racun yang dapat membakar apa saja!
“Hemm, sekarang menangislah engkau!”
Hek-tiauw Lo-mo membentak, tidak menggunakan ilmu sihir karena dia hendak
menonjolkan keahliannya menggunaan racun, melainkan melemparkan bubuk hitam
seperti uap ke arah muka Ceng Ceng. Dara ini mengenal pula bubuk yang membuat
orang dapat menangis itu, akan tetapi karena dia tahu bahwa dirinya sudah
kebal terhadap racun ini yang termasuk golongan menengah, tidak berapa kuat,
dia tidak mengelak, hanya memejamkan mata sambil menerjang ke depan dan kini
dia membalas dengan meludah ke arah Hek-tiauw Lo-mo! Bukan meludah biasa,
karena ludahnya itu memercik lebar seperti hujan menyerang lawan.
Hek-tiauw Lo-mo yang hanya menyangka bahwa
nona itu karena marahnya meludah untuk menghinanya, mengelak akan tetapi ketika
punggung tangannya terkena percikan ludah, dia berteriak kaget,
“Aduhhh....! Ihhh, keparat, sampai
ludah-ludahnya pun beracun!” teriaknya kaget, cepat dia menggosok punggung
tangan kirinya dengan batu mustika pemunah racun. Namun, tetap saja kulitnya
terdapat titik-titik hitam sebagai bekas racun ludah itu!
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan mata
terbelalak lebar. Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli racun
yang benar-benar amat lihai, bahkan mungkin melebihi kehebatan ilmunya tentang
racun!
“Hebat.... hebat.... siapa mengira bahwa di
dunia terdapat seorang ahli racun yang masih begini muda dan hebat! Aihh, orang
harus mengenal batas kemampuannya dan mengakui keunggulan seorang ahli.
Agaknya pengetahuanmu dalam hal racun tidak kalah olehku, Nona. Akan tetapi
ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu silatmu!” Setelah berkata
demikian, kakek itu menerjang maju, kini menggunakan ilmu silatnya untuk
menerjang Ceng Ceng.
Sekali ini Ceng Ceng menjadi kelabakan! Tentu
saja dia menjadi repot sekali menghadapi serangan seorang ahli seperti
Hek-tiauw Lo-mo yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi!
Padahal Ceng Ceng hanyalah memiliki kepandaian yang belum berapa tinggi, hanya
berkat latihan dari kakeknya, sedangkan di waktu dia menjadi murid Ban-tok
Mo-li, dalam waktu hanya tiga bulan itu dia lebih banyak melatih diri dengan
ilmu tentang racun dan pukulan-pukulan beracun serta kekebalan terhadap racun.
Kalau dia diserang dengan racun dia dapat menghadapi dengan enak saja, kini
diserang dengan ilmu silat tinggi, dia menjadi sibuk dan biarpun dia berusaha
menghindarkan diri dengan elakan, tangkisan, bahkan sedapat mungkin membalas,
namun dalam waktu dua puluh jurus saja dia sudah dapat dirobohkan dalam
keadaan tertotok lemas dan lumpuh kaki tangannya!
“Ha-ha-ha-ha, kiranya ilmu silatmu tidak
seberapa tinggi, tidak akan mampu menandingi seorang pembantuku di Pulau
Neraka!” kata kakek itu. “Akan tetapi ilmu pengetahuanmu tentang racun hebat
maka sayang kalau kau dibunuh. Hwee Li, bawa dia pulang, suruh para paman
menjaga baik-baik agar dia tidak sampai lolos. Aku masih banyak urusan mengatur
penyerbuan ke lembah!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah
tubuh kakek raksasa itu sehingga Ceng Ceng menjadi terkejut dan kagum sekali.
Dia tidak merasa penasaran dikalahkan oleh kakek tadi karena memang kepandaian
kakek itu agaknya tidak kalah oleh tingkat kedua orang kakek kembar sekalipun!
Anak perempuan itu menghampiri Ceng Ceng yang
masih rebah telentang dalam keadan kaki tangannya lumpuh dan lemas, tersenyum
manis dan matanya berseri-seri penuh sikap menggoda. “Wah, kau mengecewakan
aku, Enci. Ketika kau mengalahkan semua ularku, kau hebat dan aku kagum, akan
tetapi ternyata melawan Ayah, sebentar saja kau roboh seperti orang yang amat
lemah.”
Sejak kakek yang lihai tadi pergi, Ceng Ceng
sudah memutar otaknya mencari akal. Tidak mungkin dia yang baru saja terbebas
dari maut di dalam neraka bawah tanah, kini harus mandah saja terjatuh ke
tangan kakek sakti itu. Dia harus mencari akal agar dapat lolos lagi dari
bahaya maut. Sudah terlalu sering dia dicengkeram bahaya maut yang ganas
sekali. Ketika bersama Syanti Dewi terkepung dan dikejar-kejar, ketika hanyut
ke dalam sungai, kemudian ketika dia terjungkal ke dalam sumur maut, lalu jatuh
ke tangan nenek gila Ban-tok Mo-Li, bahkan ketika dia hendak dibunuh oleh Siang
Lo-mo. Semua bahaya itu dapat dihindarkannya, maka kini pun dia harus dapat membebaskan
diri!
“Hwee Li, jadi engkau adalah puteri Hek-tiauw
Lo-mo?”
“Ya, aku puteri tunggalnya. Ayahku adalah
Ketua Pulau Neraka. Hebat ya ilmu kepandaiannya?”
Ceng Ceng mencibirkan mulutnya, “Huh, hebat
apa? Tidak lihatkah engkau tadi betapa dia kalah oleh aku dalam hal keahlian
tentang racun?”
Anak perempuan itu mengangguk. “Ya, akan
tetapi akhirnya engkau toh kalah dan dirobohkan, kau mengecewakan hatiku,
Enci.”
“Hwee Li, engkau suka akan kegagahan?”
“Tentu saja!”
“Ayahmu memang tinggi ilmu silatnya, akan
tetapi dia belum lihai kepandaiannya tentang racun. Andaikata aku memiliki
tingkat ilmu silat seperti dia, apakah dia tidak sudah tewas sekarang dan kalah
olehku?”
Hwee Li agaknya seorang anak yang cerdas. Dia
mengangguk dan berkata, “Akan tetapi ilmu silatmu amat rendah, Enci....”
“Memang harus kuakui itu. Akan tetapi
keahlianku tentang racun jauh melebihi ayahmu. Hwee Li, apakah kau kelak ingin
menjadi seorang yang terpandai di dunia, tanpa ada yang mengalahkanmu?”
“Tentu saja! Ayahku bilang, kalau aku berlatih
dengan tekun dan kelak mewarisi semua ilmu ayahku, aku tentu akan menjadi
seorang paling pandai nomor satu di dunia.”
“Ayahmu bohong! Andaikata ayahmu memiliki ilmu
silat nomor satu di dunia, tetap saja dia tidak dapat membikin kau menjadi ahli
nomor satu kelak, karena kalau kau bertemu dengan ahli racun nomor satu di
dunia, kau akan celaka. Kau baru benar-benar bisa menjadi orang paling pandai
kalau selain mewarisi ilmu silat ayahmu engkau juga mewarisi ilmu tentang racun
dariku!”
Anak itu mengerutkan alisnya dan mengangguk,
“Omonganmu benar juga, Enci.”
“Tentu saja benar. Kalau kau mau menjadi
muridku kelak untuk mempelajari ilmu tentang racun, kau akan menjadi ahli racun
nomor satu di dunia, tidak ada yang melawan lagi.”
“Sebabnya?”
“Karena aku adalah murid dan pewaris
ilmu-ilmu dari datuk ahli racun Ban-tok Mo-li....”
“Aihhhh....! Ayahku sudah lama
menyebut-nyebut nama ini, mengatakan sayang bahwa wanita ahli racun nomor satu
di dunia itu lenyap.”
“Memang lenyap bagi dunia umum, akan tetapi
tidak bagiku. Aku menjadi muridnya dan pewaris ilmu-ilmunya dan karena sekarang
dia telah meninggal dunia, aku adalah ahli nomor satu di dunia, dan kelak
engkau yang akan mewarisi kalau engkau suka menjadi muridku.”
“Tentu saja aku suka sekali!” jawab Hwee Li
dengan wajah girang.
“Kalau begitu, kau kuterima sebagai murid dan
kelak setelah kau tamat belajar ilmu silat dari ayahmu, aku akan mulai
mengajarmu tentang ilmu racun. Tapi lebih dulu harus bebaskan aku agar aku
dapat menerima penghormatan sebagai muridku.”
Hwee Li memang cerdik sekali. Dia memandang
ragu. “Akan tetapi, bagaimana kalau kelak kau melanggar janji dan
kaupergunakan janji ini hanya untuk menipu aku agar kau dapat bebas?”
Ceng Ceng memaki di dalam hatinya akan
kecerdikan anak ini. “Bodoh!” bentaknya. “Apakah ayahmu sebagai ahli nomor
satu dalam ilmu silat juga suka membohongi orang dan melanggar janji?”
“Tentu saja tidak.”
“Nah, aku pun sebagai ahli racun nomor satu,
mana sudi melanggar janji? Hayo cepat kaubebaskan aku, apakah kau bisa
menotok?”
“Aku sudah belajar ilmu menotok dari Ayah,
akan tetapi aku tidak tahu bagaimana harus membebaskan totokan Ayah pada
tubuhmu.”
“Mudah saja, asal engkau sudah dapat
menggunakan jari tanganmu untuk menotok. Kautotoklah jalan darah di bawah
tengkukku, dengan dua jari.”
Hwee Li mendorong tubuh Ceng Ceng menjadi
miring, kemudian dia menotok tempat itu.
“Dukk!”
Ceng Ceng menyeringai kesakitan. “Kurang ke
atas sedikit....” keluhnya.
Hwee Li kembali menotok, agak ke atas. Akan
tetapi mula-mula totokannya tidak berhasil membebaskan Ceng Ceng, malah
mendatangkan rasa nyeri. Akan tetapi setelah diulang-ulang sampai lima kali,
akhirnya totokan itu ada hasilnya dan kedua lengan Ceng Ceng dapat digerakkan
sedikit akan tetapi jalan darahnya belum mengalir dengan sempurna. Dia lalu
mengerahkan sin-kangnya mendorong dari dalam dan berhasillah dia. Setelah
kedua lengannya bebas, dia mengumpulkan tenaga lalu menotok bawah punggungnya
sendiri untuk membebaskan kedua kakinya.
“Aihhh....!” Dia bangkit duduk sambil
mengelus-elus tempat yang ditotok Hwee Li tadi.
“Sekarang aku menjadi muridmu, Enci.”
“Ya, kaulakukanlah upacara pengangkatan guru,
berlutut dan memberi hormat delapan kali!”
Hwee Li lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan Ceng Ceng yang sudah bangkit berdiri, memberi hormat sampai delapan kali
sambil menyebut, “Subo....!”
Begitu selesai memberi hormat, anak itu cepat
meloncat bangun dan berkata, “Subo, sekarang tiba giliranmu untuk mengucapkan
janji kepadaku!”
Ceng Ceng tersenyum. Memang dia sudah merasa
suka. kepada anak kecil ini dan andaikata kelak mereka dapat saling jumpa
kembali, agaknya dia tidak akan keberatan untuk menurunkan ilmu kepada anak
yang cerdas ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun berkata, “Aku berjanji....”
“Nama Subo siapa, harap sebutkan agar aku
tidak lupa.”
Ceng Ceng tersenyum dan memandang kagum. Anak
ini kelak akan menjadi seorang yang hebat, pikirnya. “Aku Lu Ceng, berjanji
bahwa kelak, kalau Kim Hwee Li telah mempelajari ilmu silat dari ayahnya, aku
akan mengajarkan ilmu tentang racun kepadanya sebagai muridku yang baik.”
Hwee Li tertawa girang. “Subo, mari sekarang
kita pergi ke tempat yang dijadikan benteng ayahku dan para anak buah Pulau
Neraka. Aku tanggung tidak akan ada yang berani mengganggumu setelah mereka
tahu bahwa engkau adalah guruku.”
“Tidak, Hwee Li. Aku harus pergi dulu, kelak
kita akan bertemu kembali.”
Anak itu menghela napas. “Akan tetapi
ingatlah Subo. Kalau aku sudah tamat belajar dari Ayah dan Subo tidak datang
mencariku, aku yang akan pergi mencarimu.”
Ceng Ceng tersenyum, memegang dagu yang manis
itu. “Engkau muridku yang baik, tentu kelak kita akan saling berjumpa.
Percayalah. Nah, selamat tinggal, Hwee Li!” Ceng Ceng lalu cepat meloncat jauh
dan berlari pergi dari situ, menuju ke selatan. Dia harus cepat pergi karena
kalau sampai ayah anak itu datang kembali, belum tentu dia akan dapat
menghindarkan diri dengan mudah dari kekuasaan kakek yang sakti itu.
Biarpun dia melakukan perjalanan cepat, namun
Ceng Ceng selalu bersikap hati-hati sekali karena dia maklum bahwa dia makin
mendekati daerah berbahaya, yaitu Lembah Bunga Hitam. Jalan mulai mendaki dan
tidak tampak lagi ada dusun. Keadaan amat sunyi melengang, sunyi yang
menegangkan karena di dalam kesunyian ini seolah-olah maut mengintai di
mana-mana, di balik batu, di atas pohon, di dalam jurang. Dan memang maut
mengintai di mana-mana berupa binatang berbisa, racun-racun yang tersebar dan
tercecer di mana-mana, jebakan-jebakan yang berisi ular, paku-paku berkarat dan
beracun yang dipasang orang di mana-mana di tempat yang tak tersangka-sangka.
Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng dapat terhindar dari semua itu dan akhirnya
tibalah dia di luar pintu gerbang sebuah dusun yang kelihatan amat sunyi
melengang, di mana pohon-pohonnya banyak yang rontok dan mengering,
rumah-rumah tembok kokoh kuat tanpa penghuni. Dia memasuki pintu gerbang itu
dan jantungnya berdebar tegang. Memang menyeramkan sekali keadaan di dusun itu.
Inilah agaknya Lembah Bunga Hitam, karena mulai tampak olehnya rumpun tetanaman
yang kembangnya hitam kecil-kecil yang mengeluarkan bau yang jelas mengandung
racun yang amat berbahaya! Dengan hati-hati Ceng Ceng berjalan terus dan
tiba-tiba dia meloncat, menyelinap di balik semak-semak karena dia melihat ada
beberapa orang di depan. Dari tempat sembunyiannya dia mengintai dan betapa
herannya melihat sebuah kerangkeng di mana terdapat seorang laki-laki yang
kepalanya tersembul di luar kerangkeng, kaki tangannya terbelenggu dan
laki-laki itu mukanya merah sekali. Kerangkeng itu bentuknya seperti kerangkeng
yang biasa dipakai untuk mengangkut seorang tawanan. Ada empat orang yang
menjaga di dekat kerangkeng, seorang lagi berdiri agak jauh, mungkin orang ke
lima ini menjaga kalau-kalau ada musuh yang muncul dari arah selatan.
Ceng Ceng merasa tertarik sekali, lalu dia
menyelinap di balik pohon dan semak-semak, mendekati. Tak jauh dari tempat itu
dia melihat sebuah sumur tua, dan tiba-tiba sekali, hampir tidak tampak olehnya
kalau saja dia tidak sedang memperhatikan sumur itu, dia melihat bayangan
berkelebat cepat sekali memasuki sumur itu! Keheranan dan kecurigaannya timbul.
Mungkin dia salah lihat, pikirnya, akan tetapi sumur itu merupakan tempat yang
tepat untuk mengintai dan bersembunyi, dan tidak ada jeleknya untuk memeriksa
apakah benar bayangan tadi memasuki sumur. Dia menyelinap makin dekat dan
akhirnya dia meloncat ke dalam sumur tua, berpegang pada bibir sumur yang
terbuat dari batu-batu besar. Mudah saja baginya untuk bersembunyi di situ,
karena dari jauh tadi pun sudah tampak betapa dinding sumur besar itu terbuat
dari tumpukan batu-batu yang tidak rata.
Ketika dia menjenguk ke bawah, tiba-tiba bulu
tengkuknya berdiri karena kembali dia melihat bayangan orang berkelebat,
sekarang di dasar sumur itu dan lenyap. Benarkah ada orangnya di bawah sana
yang gelap dan hitam itu? Ataukah dia sudah salah lihat? Agaknya tidak mungkin
ada orang di dalam sumur ini, pikirnya dan perhatiannya segera ditujukan lagi
ke luar sumur, ke arah kerangkeng di mana seorang laki-laki terbelenggu itu.
Kini nampak jelas wajah laki-laki yang tertawan itu. Wajah yang gagah bukan
main, dan masih muda, akan tetapi kulit muka itu merah seperti terbakar dan
matanya menyorotkan sesuatu yang amat aneh.
Tiba-tiba Ceng Ceng merasa jantungnya
berdebar tegang. Pemuda tampan itu seperti pernah dijumpainya! Tampan dan
gagah! Tak salah, pernah dia berjumpa dengan pemuda yang berada di dalam
kerangkeng itu. Kalau tak salah...., ya, di dalam pasar kuda! Ketika dia
menjual-belikan kuda, bersama Panglima Souw Kwee It, di dalam pasar itu
terdapat dua orang pemuda yang menarik perhatiannya. Dua orang pemuda tampan.
Tentu seorang di antara mereka itulah yang kini berada di dalam kerangkeng ini.
Teringat akan sikap dua orang pemuda itu, yang memandang kagum kepadanya ketika
di pasar dahulu, timbul keinginan hati Ceng Ceng untuk menolong pemuda di dalam
kerangkeng ini.
Empat orang penjaga yang dekat dengan kereta
itu bertubuh biasa saja, akan tetapi sinar mata mereka seram, membayangkan
kekejaman hebat. Juga sikap mereka aneh, yang seorang malah tidak bersepatu,
dan kadang-kadang mereka itu sama sekali tidak bergerak seperti arca. Tiga
orang duduk di atas tanah, seorang berdiri dan seorang lagi berdiri jauh dari
kerangkeng. Kalau aku serang mereka dan terjadi pertempuran, tentu kawan-kawan
mereka akan berdatangan dan kalau banyak orang datang mengeroyok, akan
gagallah usahaku menolong. Lebih baik dengan mendadak kubebaskan dia, agar
dapat melarikan diri, pikir Ceng Ceng.
Ceng Ceng lalu bergerak naik dan meloncat
keluar dari dalam sumur dengan hati-hati sekali, lalu dia mengeluarkan
gin-kangnya berloncatan ke arah kerangkeng itu. Dia terkejut karena melihat
betapa lima orang penjaga itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah mereka
itu benar-benar telah berubah menjadi arca betul! Akan tetapi dia tidak mau
peduli lagi, cepat menghampiri kerangkeng.
“Eh.... oh.... mau apa kau....?” Pemuda di
dalam kerangkeng melihat Ceng Ceng menghampirinya.
Mendongkol juga hati Ceng Ceng mendengar
pertanyaan ini. “Tidak apa-apa,” jawabnya dingin. “Hanya ingin membebaskan kau
dari dalam kerangkeng ini, yaitu kalau kau mau.”
“Tidak....! Tidak....! Jangan lakukan itu,
lekas kau lari dari sini kalau kau sayang jiwamu!”
Ceng Ceng menjadi makin mendongkol lagi.
Wataknya memang keras dan suka melawan, makin dikeras dia makin berani dan
nekat.
“Manusia tak mengenal budi! Aku nekat hendak
menolong kau malah menolak. Aku tetap hendak menolongmu, hendak kulihat kau
mau bisa menolak atau tidak!” Dia sudah menggerakkan tangan hendak membongkar
kerangkeng itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras dan lima orang
penjaga itu sudah datang berlari-lari lalu menyerangnya kalang kabut!
“Nona, siapapun adanya engkau, lekas larilah!”
Kembali pemuda di dalam kerangkeng berteriak keras. Akan tetapi, andaikata
tadinya Ceng Ceng berniat untuk lari, mendengar kata-kata ini saja sudah cukup
baginya untuk merobah niatnya itu. Dia menghunus pedang Ban-tok-kiam, memutar
pedang itu dan menangkis serangan lima orang yang menggunakan senjata golok
dan pedang. Terdengar suara nyaring dan lima orang itu meloncat ke belakang,
seorang di antara mereka terus roboh terkena hawa beracun dari Ban-tok-kiam.
“Pedang hebat....!” Empat orang yang
lain memuji karena sebagai anggauta Lembah Bunga Hitam tentu saja mereka
mengenal senjata beracun yang amat berbahaya itu.
“Baik, kalau kalian sudah mengenal pedangku
agar tidak mati penasaran. Majulah!” Ceng Ceng memegang sambil mengerling ke
arah pemuda dalam kerangkeng dengan senyum mengejek dan menantang. Kerling dan
senyumnya seperti berkata, “Aku tetap hendak melawan, kau mau apa!”
Akan tetapi mendadak Ceng Ceng melongo karena
dia melihat empat orang lawannya itu sama sekali tidak bergerak lagi, seperti
tadi, seolah-olah berubah menjadi patung! Melihat ini, dia tidak membuang waktu
lagi, cepat dia menghampiri kerangkeng untuk membebaskan pemuda itu.
“Jangan, Nona. Lekas kau pergi. Mereka itu
terkena hawa beracun yang membuat mereka sebentar sadar sebentar tidak seperti
itu. Lekas pergi, kalau sampai ketahuan ketua lembah, lari pun akan terlambat
bagimu!”
Ceng Ceng memandang dengan cemberut. “Kau ini
cerewet benar, sih! Kau tidak ingin keluar dari kerangkeng, akan tetapi aku
justeru ingin membebaskanmu!”
“Jangan.... jangan.... aku.... aku
keracunan.... pergilah saja, Nona!” pemuda itu kembali berkata, wajahnya makin
merah dan matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.
“Uh, cerewet! Tranggg....!” Ceng Ceng
terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi
menggunakan pedangnya membacok pinggiran kerangkeng, akan tetapi kerangkeng
itu tiba-tiba miring dan pedangnya bertemu dengan bagian yang dilapis baja.
Pemuda di dalam kerangkeng itu ternyata telah menggerakkan dirinya sehingga
kerangkeng itu miring dan selain pinggiran baja, juga dia telah menangkis
pedang itu dengan belenggu!
“Manusia tak mengenal budi! Kau bersikap
hendak mempertahankan diri supaya tidak bisa bebas, ya? Dan aku pun berkeras
hendak menghancurkan kerangkeng ini!” Dia mendesak lagi.
“Trang-trang-trakk....!”
Ceng Ceng kaget. Pedangnya menembus bagian
kayu dari kerangkeng itu, akan tetapi selalu bertemu dengan belenggu baja.
Pemuda ini ternyata berkepandaian tinggi, kalau tidak, mana mungkin dalam
keadaan terbelenggu, di dalam kerangkeng pula, dapat menangkis pedangnya?
Pula, pedangnya adalah pedang Ban-tok-kiam, bagaimana pemuda itu mampu
menangkis begitu saja dan setiap tangkisan membuat lengan kanannya tergetar
hebat? Akan tetapi, hal ini malah menambah kemarahannya!
Tiba-tiba empat orang itu bergerak lagi dan
berseru keras menerjang. Akan tetapi, tiba-tiba secara beruntun mereka roboh
terjengkang dan tidak bergerak lagi, entah mengapa.
“Nona, lekas pergi... ketua lembah
datang....!” Pemuda di dalam kerangkeng itu berseru, Ceng Ceng memandang dan
melihat gerombolan orang yang jumlahnya paling sedikit ada dua puluh orang
berlari-lari datang. Dia tidak takut, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan
menang menghadapi begitu banyak orang, yang membuat dia mendongkol adalah bahwa
kekalahannya itu membuat dia tidak akan berhasil membebaskan Si Pemuda! Memang
terjadi perubahan aneh di dalam watak Ceng Ceng setelah dia menjadi murid
Ban-tok Mo-li dan setelah kini tubuhnya mengandung racun! Perubahan yang
membuat dia keras hati, keras kepala, dan aneh tidak lumrah. Dia bukan takut
kalau dia kalah dan terluka atau tewas, melainkan khawatir kalau-kalau tidak
berhasil membebaskan pemuda itu yang makin diinginkannya begitu pemuda itu
menolaknya.
“Kau pergi bersamaku!” katanya dan dia lalu
mendorong kerangkeng yang beroda itu secepatnya pergi dari tempat itu!
“Wah-wah-wah.... mana bisa melarikan diri
kalau mendorong kereta? Kau bocah bandel, keras kepala! Lepaskan kerangkeng,
dan larilah!” pemuda itu meronta-ronta sehingga terasa berat sekali kerangkeng
itu. Namun, makin dimarahi, makin marah pulalah hati Ceng Ceng dan dia makin
nekat mendorong kereta itu keluar dari dusun itu.
Ceng Ceng mendengar pemuda itu mengomel akan
tetapi tidak meronta-ronta lagi. Dan dia pun merasa heran mengapa dua puluh
lebih orang tadi tidak juga dapat menyusulnya padahal larinya dengan cara
mendorong kerangkeng itu tidak dapat dikatakan cepat? Huh, kalau begitu Ketua Lembah
Bunga Hitam hanya mempunyai nama kosong belaka, pikirnya. Akan tetapi dia
mempercepat larinya, lalu membelokkan kerangkeng, memasuki daerah di mana
pegunungan itu mempunyai banyak batu-batu besar dan banyak guha-guha. Akhirnya
dia mendorong kerangkeng memasuki sebuah di antara guha-guha itu.
“Hemm, hendak kulihat siapa di antara kita
yang menang. Aku yang akan membuka kerangkeng atau engkau yang hendak
mempertahankan diri di dalam kerangkeng seperti binatang!” kata Ceng Ceng dan
mulailah dia menggunakan pedangnya untuk membacok-bacok kerangkeng.
Pemuda itu kini mukanya makin merah, matanya
melotot ketakutan, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata lagi, hanya sering
kali dia mendengus dan mengeluh seolah-olah menderita sakit hebat. Ceng Ceng pun
tahu bahwa pemuda ini keracunan, dan justeru karena itulah dia ingin
membebaskannya, agar dia dapat memeriksanya dan memberinya obat. Sambil
mendengus dan berusaha mengelakkan kerangkengnya dari sabetan pedang, pemuda
itu memandang Ceng Ceng dengan mata berapi penuh kemarahan, kadang-kadang
menggerakkan belenggunya untuk menangkis. Bahkan satu kali pemuda itu dapat
menggerakkan kerangkengnya secara keras sekali sehingga tubuh Ceng Ceng
terdorong dan roboh telentang! Tentu saja dara itu menjadi makin marah,
menyimpan pedangnya, menubruk kerangkeng yang sudah patah-patah itu dan
akhirnya dia berhasil merenggut dan kerangkeng itu cerai-berai, pemuda itu
terguling ke luar dan bebas dari kerangkeng, akan tetapi dengan kaki tangan
terbelenggu yang disambung rantai panjang.
“Oughhhh....!” Pemuda itu mendengus keras,
tubuhnya mencelat dan dengan gerakan luar biasa sekali dia telah meloncat
bangun. Ceng Ceng memandang bengong dan penuh takjub dan kagum. Pemuda itu
memiliki tubuh seperti seekor singa jantan yang amat kokoh kuat dan tegap,
tinggi besar dan pakaiannya yang compang-camping itu memperlihatkan sebagian
kulit tubuh yang putih dengan otot-otot yang kekar. Seorang jantan yang
memiliki tubuh kuat dan mengagumkan. Belum pernah selama hidupnya Ceng Ceng
melihat seorang pria seperti ini, maka dia terlongong kagum. Dan sekarang jelas
baginya bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang di antara dua orang pemuda
yang pernah dijumpainya di pasar kuda. Bukan, pemuda ini jauh lebih tua dari
mereka. Pemuda ini tentu sudah lewat dua puluh tahun uslanya, dan pada wajahnya
nampak garis-garis tanda bahwa semasa mudanya pemuda ini mengalami banyak
kesukaran hidup. Wajah yang tampan dan gagah namun tertutup oleh warna merah
mengerikan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan kini memandang
kepada Ceng Ceng dengan aneh.
“Oughhhh....!” Kembali dia mengeluh, tubuhnya
gemetar, matanya dipaksa-paksa untuk dipejamkan, kedua tangan mengepal tinju
dan belenggu di kaki tangannya berbunyi berkerincingan. Agaknya pemuda itu
sedang menderita hebat, bahkan seperti terjadi pergulatan hebat di sebelah
dalam dirinya.
Ceng Ceng yang sudah meloncat bangun dan
memandang penuh perhatian itu, memandang penuh selidik dan biarpun dia belum
memeriksa langsung, memandang keadaan pemuda itu dia sudah dapat menduga dan
berseru, “Kau keracunan, racun yang membuat darahmu menjadi panas dan....
ehh.... haili....!” Ceng Ceng berteriak kaget karena tiba-tiba pemuda itu
menubruknya!
“Gila kau....!” Ceng Ceng membentak
sambil mengelak ke kiri. Akan tetapi begitu tubrukannya luput, pemuda itu sudah
dapat membalik dan menubruk lagi dengan gerakan yang bukan main cepatnya. Ceng
Ceng kembali mengelak, akan tetapi dia kalah cepat maka dia membarengi dengan
tangkisannya pada kedua lengan tangan yang hendak menangkapnya itu.
“Dukkk.... ihhhh....!” Ceng Ceng terhuyung
dan menjadi marah sekali. Dia telah mengerahkan sin-kangnya ketika menangkis
tadi, namun dia masih saja terhuyung tanda bahwa pemuda itu selain memiliki
gerakan cepat, juga memilik tenaga yang amat kuat!
“Keparat!” Dia memaki, marah sekali. Orang
yang telah ditolongnya dan dibebaskannya itu membalas dengan serangan. Dengan
kemarahan memuncak, kini Ceng Ceng membalas dengan pukulan keras dan beruntun,
cepat sekali kedua tangannya menyambar ke arah pelipis dan menurun ke lambung
dari kanan kiri, dan selain cepat dan kuat, dia juga mengerahkan tenaga yang
mengandung racun.
“Ouhhhh....!” Kembali laki-laki itu
mengeluarkan suara keluhan dalam, akan tetapi dengan sigapnya, biarpun kaki
tangannya dibelenggu, dia dapat mengelak dan menangkis semua pukulan serangan
Ceng Ceng. Dara itu makin terkejut karena dia memperoleh kenyataan bahwa ilmu
silat pemuda ini hebat bukan main, biarpun dibelenggu kaki tangannya namun
agaknya tidak kalah oleh Hek-tiauw Lo-mo! Ketika dia menerjang lagi dan kedua
tangannya memukul dada dan perut, pemuda itu tidak mengelak sama sekali.
“Dukkk! Desss!” Dada dan perut pemuda itu
terkena pukulannya yang mengandung racun, akan tetapi ada hawa sin-kang kuat
yang membuat kedua tangannya terpental kembali dan kedua lengannya seperti
lumpuh seketika. Dan sebelum dia sempat bergerak lagi, tahu-tahu kaki pemuda
itu telah menyambar kakinya sendiri dan sekali lagi Ceng Ceng roboh terguling!
“Keparat, kau sudah bosan hidup!” bentaknya
sambil meloncat bangun dan dengan pedang Ban-tok-kiam di tangan dia menyerang
lagi. Akan tetapi sebelum dia sempat menusuk, tiba-tiba pemuda itu sudah
mendahuluinya, dengan gerakan aneh sekali kedua lengannya bergerak, rantai
belenggu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring menulikan telinga, lenyap
bentuk rantainya dan berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dahsyat
didahului oleh angin pukulan yang amat kuat ke arah kepala Ceng Ceng.
Tentu saja Ceng Ceng menjadi terkejut sekali
melihat serangan maut yang amat dahsyat ini, secepatnya dia mengelak ke
samping akan tetapi tiba-tiba lengan tangannya yang memegang pedang menjadi
lemas, pedangnya terlepas dan jatuh ke lantai guha karena entah bagaimana
caranya, pergelangan tangannya telah kena ditotok oleh jari tangan pemuda itu.
“Aihhh....!” Ceng Ceng menjerit akan tetapi
kembali sinar hitam rantai belenggu menyambar ke bagian tubuhnya. Dia membuat
gerakan mengelak ke belakang, namun tiba-tiba dia sudah roboh tertotok dalam
keadaan lemas dan telentang di atas lantai. Dan pemuda itu dengan mata
mengeluarkan sinar mengerikan lalu menubruknya, memeluk dan menciumi mukanya.
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa
hati Ceng Ceng, bercampur dengan rasa malu yang membuat dia hampir pingsan. Dia
tidak mampu melawan lagi, tubuhnya sudah lemas dan menjadi lebih lemas dan
gemetar saking tegangnya ketika dia merasa betapa hidung dan bibir yang amat
panas itu, yang mendengus-denguskan napas yang memburu, merayapi seluruh mukanya.
Lehernya, telinganya, matanya, dahinya, hidungnya dan kemudian bibirnya diciumi
oleh pemuda itu! Jerit tertahan mencekik leher Ceng Ceng. Selama hidupnya,
belum pernah dia dicium pria, apalagi dicium bibirnya seperti itu, ciuman
penuh nafsu yang seolah-olah membetot semangat dari tubuhnya! Dalam keadaan
setengah pingsan Ceng Ceng memejamkan matanya ketika bibir yang panas itu
mencium mulutnya, kemudian mendadak muka orang itu terangkat dan menjauh.
Dia memaksa diri memicingkan mata dan melihat
betapa pemuda itu berlutut, menutupi muka dan seperti orang menangis! Kemudian
pemuda itu mendengus aneh dan meloncat berdiri, menurunkan kedua tangannya,
memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh duka, lalu sekali meloncat
dia lenyap berberkelebat ke luar guha!
Ceng Ceng mengeluarkan keluhan panjang dan air
matanya bergerak menuruni kedua pipinya. Hatinya lega bukan main. Nyaris dia
mengalami hal yang amat mengerikan dan yang hanya dapat dia bayangkan di dalam
mimpi buruk saja. Ngeri dia membayangkan hal itu, dan kegelapan hatinya untuk
sementara menghapus bayangan pengalaman tadi ketika dia diciumi oleh pemuda
itu. Akan tetapi dia masih tidak berdaya, dia masih tidak mampu menggerakkan
kaki tangannya. Dia tidak tahu apakah bahaya sudah tidak ada lagi. Baru saja
dia terbebas dari bahaya yang leblh mengerikan daripada kematian, akan tetapi
bagaimana kalau para pengejar, ketua lembah dan orang-orangnya secara tiba-tiba
muncul di situ selagi dia masih belum mampu bergerak? Bagalmana kalau orang-orang
lembah yang ganas dan kejam itu mengganggunya.
“Uhuuuhhh....” Ceng Ceng terisak penuh rasa
takut. Selama hidupnya baru tadi ketika dia dipeluk dan diciumi dia merasa
ngeri dan ketakutan yang lebih hebat lagi. Sukar untuk membayangkan dia
diganggu oleh orang-orang lembah. Lebih hebat daripada tadi!
“Keparat kau.... keparat kau....!” Dia
memaki-maki pemuda itu yang meninggalkan dia seperti itu. Dia telah menolong
pemuda itu, kenapa pemuda itu berbalik memperlakukannya seperti itu? Dan kini
meninggalkannya dalam keadaan tertotok dan sama sekali tidak berdaya?
“Hekkk....!” Napas Ceng Ceng terhenti dan
matanya memandang terbelalak ke luar guha. Tampak bayangan orang di luar guha,
bayangan yang perlahan-lahan datang mendekat! Bayangan orang lembah? Makin
dekat bayangan itu makin ngeri rasa hati Ceng Ceng. Dia berusaha mengerahkan
sin-kangnya untuk membebaskan diri dari totokan, namun sia-sia belaka. Dia
tidak berani bersuara bahkan napas pun ditahan agar jangan mengeluarkan bunyi.
Akhirnya bayangan itu muncul di depan guha dan
ternyata adalah pemuda tadi! Rambutnya awut-awutan, mukanya merah dan matanya
kembali mengeluarkan sinar aneh yang berapi-api.
Dengan langkah satu-satu pemuda itu
menghampiri Ceng Ceng, langkah yang seolah-olah terjadi di luar kehendaknya.
“Jangan.... ah, jangan....” Ceng Ceng merintih
perlahan sambil memandang dengan muka penuh ketakutan.
Pemuda itu kelihatan bingung, menjadi makin
beringas dan sudah berlutut di dekat Ceng Ceng. Sampai hampir pecah rasa dada
Ceng Ceng karena jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Pemuda itu
menggerakkan tangannya sehingga rantai belenggu berdencingan, lalu jari-jari
tangannya mengelus pipi Ceng Ceng. Dara ini mengeluh dan memejamkan matanya
lagi, kemudian dikeraskan hatinya dan dia membuka mata lalu memaki, “Keparat
laknat! Apa yang akan kaulakukan? Tidak malukah engkau? Aku telah berusaha
menolongmu dan kau membalasnya dengan penghinaan seperti ini? Manusia macam apa
engkau? Laki-laki macam apakah engkau ini?”
Kemarahan mengusir semua rasa takut dan ngeri
dan kini Ceng Ceng memandangdengan mata bersinar-sinar. Pemuda itu seperti
terpukul oleh dampratan itu, dia bangkit berdiri lagi, meragu dan tiba-tiba
tangannya bergerak menampar kepalanya sendiri, lalu membalikkan tubuh dan
terhuyung pergi ke pintu guha. Hati Ceng Ceng menjadi lega.
Tiba-tiba Ceng Ceng menjadi pucat. Sampai di
pintu guha, pemuda itu berhenti, perlahan-lahan membalikkan tubuhnya,
memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh gairah berahi, kemudian
mengeluarkan suara keluhan dalam di kerongkongannya lalu.... meloncat seperti
seekor harimau menerkam ke arah tubuh Ceng Ceng! Ceng Ceng menjerit akan
tetapi mulutnya tersumbat ciuman dan ketika jari-jari tangan pemuda itu
bekerja, Ceng Ceng merintih dan pingsan tidak ingat apa-apa lagi!
Apa bedanya manusia dengan binatang kalau
kesadarannya lenyap? Kesadaran lenyap menghilangkan pengertian, dan yang
tinggal hanyalah kekerasan berdasarkan dorongan kebutuhan jasmaniah belaka,
seperti binatang. Naluri yang ada hanyalah naluri kebutuhan badan. Demikian
pula dengan keadaan pemuda itu. Terpengaruh oleh racun yang amat hebat, yang
bagi orang lain tentu mendatangkan akibat maut yang tak mungkin dapat
dihindarkan lagi, pemuda ini kehilangan kesadarannya. Biarpun dia sudah
berusaha melawannya dengan sedikit ingatan yang masih ada, namun hawa racun itu
akhirnya menang, merampas seluruh kesadarannya dan membuat dia bertindak
seperti binatang dan menurutkan dorongan kebutuhan jasmani yang pada saat itu
dikuasai oleh nafsu berahi yang amat dahsyat sebagai akibat pengaruh racun
yang memenuhi tubuhnya. Maka terjadilah hal yang tak mungkin dapat terelakkan
lagi oleh Ceng Ceng dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi oleh pemuda itu.
Beberapa lama kemudian, tampak pemuda itu
melangkah keluar dari guha, berkali-kali menampar kepalanya sendiri, dengan
wajah muram namun tidak liar lagi, dan mulutnya mengeluarkan kata-kata
berulang-ulang, “Terkutuk....! Terkutuk....!”
Jauh lebih lama kemudian, Ceng Ceng mengeluh
dan siuman. Ternyata dia sudah dibebaskan dari totokan. tubuhnya terasa
sakit-sakit dan ada sesuatu yang tidak wajar. Ceng Ceng teringat akan semua
pengalamannya sebelum dia pingsan. Ingatan ini mengejutkan hatinya, apalagi,
setelah dia melihat betapa pakaiannya terbuka dan terdapat noda darah di
pahanya, tiba-tiba dia menjerit dan roboh pingsan lagi!
Perlahan-lahan dara yang tertimpa malapetaka
itu siuman, merintih dan menangis dengan sedih sekali. Dia mencengkerami tanah
dan batu, memukul-mukul tanah dan menangis makin sedih. Makin dikenang, makin
dibayangkan, makin sakit rasa hatinya karena dia kini sudah merasa yakin bahwa
dia telah diperkosa oleh pemuda itu. Tiba-tiba dia meloncat berdiri, tidak
mempedulikan pakaiannya yang terbuka, kedua tangannya dikepal, lalu
disambarnya pedang Ban-tok-kiam yang masih berada di lantai guha. “Jahanam....!
Keparat buruk....! Manusia laknat! Iblis keji, aku bersumpah akan membunuhmu!
Aku akan menyiksamu, akan kusayat-sayat tubuhmu, kuhancurkan kepalamu, kuremuk
semua tulang di tubuhmu!” Dia memaki-maki dengan air mata bercucuran, kemudian
sambil menangis dia membetulkan pakaiannya dan lari keluar dari guha dengan
pedang terhunus di tangannya. Timbul kebenciannya yang hebat kepada pemuda
itu, kepada laki-laki pada khususnya, kepada manusia pada umumnya. Tanpa
disadarinya, saat itu terjadilah perubahan hebat pada dirinya. Di lubuk
hatinya tumbuh perasaan benci yang amat berat, yang meracuni seluruh darahnya,
yang mengakibatkan watak yang kejam di dalam dirinya. Peristiwa hebat yang
mengguncangkan seluruh batinnya itu menambah dengan hebatnya perubahan yang
memang mulai terjadi di dalam dirinya akibat ilmu tentang racun yang sifatnya
kejam semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-1i.
Dengan semangat berapi-api untuk mencari
pemuda itu dan mengadu nyawa dengannya, Ceng Ceng kembali memasuki dusun yang
menjadi sarang Lembah Bunga Hitam. Dari jauh sudah tampak olehnya serombongan
orang yang jumlahnya sembilan, dan orang-orang itu menjadi terkejut ketika
melihat seorang gadis dengan pedang di tangan berlari cepat mendatangi dan
langsung menyerang mereka dengan ganas!
Dengan kemarahan dan kebencian meluap di
dalam hatinya, Ceng Ceng merobohkan dua orang, lalu menghadapi pengeroyokan
tujuh orang anggauta lembah. Pedang Ban-tok-kiam merupakan senjata ampuh yang
membuat jerih para pengeroyoknya. Seorang di antara mereka lalu bersiul-siul
dan datanglah lebah-lebah beterbangan. Lebah putih yang beracun! Melihat ini,
Ceng Ceng yang masih memutar pedangnya, cepat mengeluarkan bubuk hijau dan
menanti sampai lebah-lebah itu datang mendekat. Disebarnya bubuk hijau itu di
sekeliling dirinya dan lebah-lebah yang terkena serbuk hijau ini sebagian jatuh
dan mati, sebagian lagi mabok dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh anggauta
lembah yang bersiul-siul! Sebaliknya, Ceng Ceng lalu mengeluarkan serbuk merah,
sambil menyerbu ke depan dan menaburkan serbuk merah ini ke udara, kemudian
dengan gerakan pedangnya yang diputar-putar sehingga mendatangkan angin, dia
berhasil membuat serbuk merah yang kini berubah menjadi semacam uap merah,
menyambar ke arah para pengeroyoknya!
Orang-orang lembah yang kesemuanya adalah
ahli-ahli racun, ternyata tidak mengenal uap merah ini. Mereka hanya menjauhkan
diri lalu menghampiri Ceng Ceng dari arah lain agar tidak terkena serbuk merah.
Akan tetapi mereka mencium bau tajam dan celaka bagi mereka yang terdekat,
karena kelihaian racun serbuk merah ini adalah pada baunya. Begitu mencium bau
keras ini, dua orang menjadi pening dan terhuyung-huyung, berseru, “Celaka!”
lalu meninggalkan gelanggang pertempuran.
Sementara itu, Ceng Ceng sudah menerjang
lagi, pedangnya berhasil merobohkan seorang lagi karena hawa beracun yang
keluar dari pedang itu, dan ludahnya merobohkan dua orang lain!
“Mampuslah kalian, keparat! Mampuslah!”
Berkali-kali mulutnya berkata demikian karena dia membayangkan para pengeroyok
itu sebagai pemuda yang telah memperkosanya, atau setidaknya mereka itu
dianggap wakil pemuda itu yang harus dibalasnya. Oleh karena itu, sepak
terjangnya mengerikan, dan dia mengamuk seperti seekor harimau kelaparan.
Akan tetapi berbondong-bondong datanglah
orang-orang lembah yang tadinya meninggalkan lembah itu untuk melakukan perang
melawan orang-orang Pulau Neraka. Karena menyangka bahwa gadis itu tentulah
seorang di antara orang orang Pulau Neraka, mereka menyerbu dan mengeroyok.
Ceng Ceng tidak peduli dan sama sekali tidak gentar menghadapi pengeroyokan
banyak orang ini. Dia mengamuk terus, menggerakkan pedangnya yang ampuh dan
menyebar racun-racunnya, melakukan pukulan-pukulan beracun bahkan menyerang
dengan ludahnya. Banyak di antara para pengeroyoknya roboh menjadi korban dan
akhirnya terdengar bentakan keras, “Mundur semua!” dan Ceng Ceng berhadapan
dengan seorang kakek tua yang amat mengerikan. Kakek ini usianya tentu sudah
enam puluh tahun lebih, tinggi kurus dan mukanya hanya kelihatan tengkorak
terbungkus kulit belaka. Pakaiannya serba hitam dan matanya hampir hitam
seluruhnya karena bagian putihnya juga gelap, kemerahan mengarah warna hitam
sehingga kalau dia memandang orang, amatlah mengerikan.
“Nona, siapakah kau? Apakah kau seorang
Pulau Neraka?”
“Banyak cerewet! Engkau tentu Ketua Lembah
Bunga Hitam, bukan? Nah, majulah!” bentak Ceng Ceng yang sudah menerjang maju
dengan pedangnya menyerang kakek itu. Kakek itu bertangan kosong, ketika dia
menggerakkan kedua tangannya, terdengar suara, “Ccinggg....!” dan tangan kanan
Ceng Ceng tergetar. Kiranya kakek itu telah menggunakan kuku jari tangannya
menyentil dan sentilan ini saja sudah membuat pedangnya tergetar dan hampir
terlepas dari pegangan! Hal ini cukup menjadi bukti bahwa kepandaian kakek ini
hebat sekali, tenaga sin-kangnya juga jauh lebih tinggi dan kuat daripada
tenaganya sendiri. Namun tidak ada sedikit pun rasa gentar di dalam hati dara
yang sudah terbakar hangus oleh rasa dendam yang amat hebat itu. Mati baginya
bukan apa-apa lagi dan yang terasa hanyalah kebencian, kebencian yang bernyala
makin besar dan membakar semua perasaan ini. Dengan kenekatan yang luar biasa
dia menyerang kakek bermuka tengkorak itu dengan pedangnya. Ketua Lembah Bunga
Hitam itu tertawa dan menghadapi Ceng Ceng dengan tangan kosong saja, akan
tetapi biarpun demikian, segera dia membuat dara itu kalang-kabut karena memang
kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi. Ceng Ceng kembali mengalami
pertandingan seperti ketika dia melawan Ketua Pulau Neraka, dan merasa
dipermainkan tanpa dapat mendesak lawan sama sekali.
Biarpun dia juga membantu pedangnya dengan
pukulan beracun tangan kiri, dan bahkan menggunakan rambutnya dan ludahnya
yang beracun, namun tetap saja dia dipermainkan dan didesak hebat.
“Ha-ha-ha, bocah lancang, ilmu kepandaianmu
lumayan dan pengetahuanmu tentang racun hebat. Lekas kau berlutut dan menjadi
muridku, dan aku akan mengampunkan kesalahanmu....”
“Mampuslah!” Ceng Ceng membentak dan
menusukkan pedangnya dengan nekat dan dahsyat.
“Pedang baik....!” kakek itu mengelak. “Tapi
kau keras kepala!”
Pada saat pedang meluncur lewat, kakek itu
menggerakkan kakinya yang merupakan tendangan berputar, sama sekali tidak
diduga oleh Ceng Ceng sehingga lambung dara ini terkena tendangan. Dia
terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi sebelum kakek itu menyusul dengan
serangan lain yang tentu akan merupakan bahaya bagi Ceng Ceng, tiba-tiba
terdengar suara lembut yang datangnya dari arah sumur tua yang pernah dipakai
oleh Ceng Ceng untuk bersembunyi mengintai ketika pemuda yang telah
memperkosanya itu menjadi tawanan dalam kerangkeng!
“Thio Sek, apakah kau sudah melupakan Istana
Gurun Pasir....?”
Ceng Ceng mendapat kesempatan untuk meloncat
berdiri karena tiba-tiba, mendengar suara itu, Ketua Lembah Bunga Hitam
terkejut setengah mati, mengeluarkan suara lirih dan berdiri bengong seperti
orang melihat setan di tengah hari.
“Thio Sek, majikan kita menanti engkau datang
menyerahkan kitab dan nyawa!” kembali suara aneh dan halus itu terdengar dari
dalam sumur. Ketua lembah memandang ke arah sumur, mukanya pucat sekali
sehingga dia makin mirip dengan mayat hidup, kemudian terdengar keluhan aneh
dari dalam kerongkongannya dan dia membalikkan tubuhnya, mencelat jauh dan lari
secepatnya, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari situ. Anak buahnya yang
melihat keadaan ketua mereka ini, juga serentak lari pergi terbirit-birit
dengan ketakutan.
Ceng Ceng masih berdiri dengan pedang
Ban-tok-kiam di tangannya. Hatinya lega karena baru sekarang dia sadar bahwa
dia telah terbebas dari ancaman bahaya maut, ditolong oleh suara dari sumur
itu. Teringatlah dia ketika dia pernah melihat bayangan samar-samar di dasar
sumur. Timbul keinginan-tahunya. Tentu ada seorang aneh di dalam sumur itu.
Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri sumur itu, menjenguk ke dalam. Akan
tetapi tidak tampak apa-apa lagi, bahkan bayangannya pun tidak ada. Tentu orang
itu sudah pergi, pikirnya. Betapa lihainya orang itu.
Suara sorak-sorai mengejutkannya. Dia cepat
membalik dan melihat tujuh orang laki-laki memasuki pintu gerbang dusun itu
sambil bersorak. Orang-orang ini semua memegang senjata di tangan kanan dan
seekor ular berbisa di tangan kiri, sikap mereka buas dan seperti orang-orang
yang gila. Apalagi ketika mereka melihat Ceng Ceng, mereka segera menyerbu
dengan kata-kata yang membuat dada Ceng Ceng seperti dibakar, karena mereka
mengeluarkan kata-kata kotor terhadap dirinya!
“Ha-ha, nona manis kesepian sendiri!”
“Engkau tentu sudah lama rindu kepada
laki-laki!”
“Kami datang untuk menghiburmu, Nona!”
“Kalau kami bertujuh masih terlampau sedikit,
teman-teman kami masih banyak di belakang!”
Ceng Ceng yang sedang berduka dan marah itu,
tentu saja makin meledak kebenciannya terhadap pria. Sambil mengeluarkan
seruan seperti lengking seekor binatang yang dahsyat, dia menyerbu, tangan
kirinya sudah siap dengan segenggam bubuk putih yang tadi dia keluarkan dari
saku bajunya, pedangnya diputar-putar di atas kepala. Tujuh orang itu tentu
saja memandang rendah, sambil tertawa mereka menyambut dan mengurung.
“Yang memegang lebih dulu, mendapat giliran
lebih dulu, ha-ha!” Akan tetapi suara ketawa mereka terhenti seketika karena
selagi mereka menangkis pedang Ceng Ceng yang menyambar-nyambar, dara ini
menyebar bubuk putih ke udara. Terdengar teriakan-teriakan kaget karena bubuk
putih yang dipandang rendah itu begitu tampak oleh mereka, menimbulkan rasa
pedas di mata mereka sehingga air mata mengalir ke luar dan pandangan mata
mereka menjadi kabur. Dalam keadaan seperti ini, mudah saja Ceng Ceng
menggerakkan pedangnya dan empat orang roboh dan tewas seketika disambar
Ban-tok-kiam!
Tiga orang lain terkejut bukan main. Mereka
meloncat ke belakang, menggosok-gosok mata mereka. Celaka, makin digosok makin
pedas dan gatal, bahkan kini mata mereka mulai membengkak! Seorang di antara
mereka cepat mengeluarkan sebuah tanduk menjangan dan meniupnya sehingga
terdengarlah suara mengaung. Adapun dua orang temannya sudah menerjang Ceng
Ceng yang mengejar mereka. Ular di tangan kiri mereka mendesis-desis dan
ketika mereka lontarkan, dua ekor ular itu menyambar Ceng Ceng. Gadis ini
mengangkat lengan kirinya menangkis dan dua ekor ular itu dengan tepat
menggigit dan bergantung kepada lengan kiri itu. Dua orang itu girang sekali
karena menyangka bahwa tentu gadis yang sudah tergigit dua ekor ular mereka itu
akan roboh. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika
melihat Ceng Ceng mengibaskan lengan kirinya dan dua ekor ular itu terbanting
ke atas tanah dan.... berkelojotan! Agaknya bukan gadis itu yang keracunan,
sebaliknya dua ekor ular itulah, karena hawa beracun yang dikerahkan gadis itu
dari lengan yang tergigit membuat dua ekor ular itu seperti dibakar kepanasan.
Selagi dua orang itu masih bengong, Ceng Ceng sudah meloncat, pedang
Ban-tok-kiam menyambar. Mereka berusaha menangkis, namun terlambat, apalagi
karena hawa beracun dari pedang itu sudah membuat mereka lemas. Robohlah dua
orang ini dengan leher hampir buntung!
Orang terakhir itu masih meniup tanduk
menjangan berkali-kali. Dalam ngeri dan takutnya menyaksikan kehebatan dara
itu, dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk meniup suling memanggil
teman-temannya. Akan tetapi suara mengaung dari tanduk yang ditiup itu segera
terhenti dan dia pun roboh di bawah tusukan pedang Ceng Ceng yang menembus
perutnya!
Barulah agak puas hati Ceng Ceng setelah
berhasil membunuh tujuh orang itu. Akan tetapi baru saja dia mencabut kembali
pedang Ban-tok-kiam dari dalam perut lawan terakhir setelah dia membiarkan
pedang itu “meminum darah” agak lama di dalam tubuh orang itu, terdengar suara
hiruk-pikuk. Dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia
melihat seorang kakek perkasa dengan langkah lebar menghampiri tempat itu.
Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka, diikuti oleh
belasan orang anak buahnya!“Keparat! Bocah setan, kau lagi! Kau berani membunuh
tujuh orang anak buahku? Sekarang terpaksa aku tidak dapat mengampunimu lagi!”
Kakek itu berseru marah bukan main setelah dia melihat mayat tujuh orang anak
buahnya menggeletak di sekitar tempat itu. Baru sekarang Ceng Ceng tahu bahwa
tujuh orang yang tadinya disangka adalah anak buah Lembah Bunga Hitam, ternyata
adalah anak buah Pulau Neraka yang menjadi musuh Lembah Bunga Hitam! Akan
tetapi dia tidak takut. Tanpa menjawab dia sudah menerjang ke depan, disambut
oleh Hek-tiauw Lo-mo yang dalam kemarahannya telah mengeluarkan sebuah di
antara senjata-senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah jala tipis yang digulung
dan dikepal dalam tangannya. Dia ingin menangkap gadis itu, sebelum dibunuh
dia akan menyiksanya dan akan diperasnya agar gadis itu dapat menyerahkan
ilmunya yang hebat tentang racun kepadanya.
Ceng Ceng yang menerjang ke depan hanya
melihat bayangan hitam melebar seperti payung menerkamnya. Dia kaget dan
memutar pedangnya menangkis. Terdengar suara berdencingan dan pedangnya bertemu
dengan benda yang keras akan tetapi ulet dan bayangan itu terus menerkamnya,
tidak terhalang oleh putaran pedangnya. Tahu-tahu dia mendapatkan dirinya telah
berada di dalam sehuah jala tipis yang lebar dan ke mana pun dia bergerak, dia
tidak dapat membebaskan diri dari dalam jala itu! Dia melihat kakek raksasa itu
memegang tali jala dari tempat yang jauhnya ada tiga empat meter, sambil
tertawa. Kemarahannya timbul dan dia menjadi nekat, biarpun berada di dalam
jala, dia meloncat dengan maksud menerjang kakek itu dan menyerang dengan
pedangnya dari balik jala. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu membetot dan Ceng
Ceng yang merasa kakinya diangkat, kehilangan keseimbangan tubuhnya dan
terguling roboh di dalam jala. Dia mengamuk, meronta, memutar pedangnya, namun
sia-sia belaka, seperti seekor ikan besar dalam jala, semua gerakannya terbatas
dan hanya gerakan sia-sia belaka.
Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan belasan orang anak
buahnya juga tertawa girang melihat gadis yang liar dan buas itu telah
tertawan. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti ketika terdengar suara
orang mengejek, “Aih, Lee-ko, orang-orang di sini sungguh tidak tahu malu, ya?
Belasan orang laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, aturan mana yang
dipakai ini? Sungguh curang, licik dan tidak tahu malu!”
Semua orang menengok dan Hek-tiauw Lo-mo
terkejut sekali melihat dua orang pemuda tampan tahu-tahu sudah berdiri di
belakangnya. Kalau sampai ada dua orang asing dapat muncul di tempat itu tanpa
diketahui oleh dia sendiri dan anak buahnya, maka hal ini hanya membuktikan
bahwa yang datang adalah orang-orang luar biasa! Akan tetapi, melihat bahwa
mereka hanyalah dua orang pemuda remaja yang masih amat muda sekali, dia
memandang rendah. Dengan tangan kiri memegang tali jala di mana Ceng Ceng tertawan,
dia membentak, “Eh, dari mana datangnya dua bocah lancang ini dan siapakah
kalian?”
Ceng Ceng juga sudah berhenti meronta dan
dari dalam jala dia memandang ke luar. Matanya terbelalak lebar. Kini dia
mengenal dua orang pemuda itu. Tidak salah lagi. Dua orang itu adalah dua orang
pemuda yang pernah berjumpa dengan dia di pasar kuda! Dua orang pemuda yang
tampan dan seorang di antaranya ceriwis, pandang matanya nakal dan mulutnya
selalu tersenyum penuh gairah, sedangkan yang ke dua pendiam dengan sinar mata
yang tajam dan tenang. Ceng Ceng sendiri memandang rendah. Kalian mencari
mampus, pikirnya. Tentu dua orang pemuda ini akan tewas di tangan Ketua Pulau
Neraka dan anak buahnya yang lihai. Akan tetapi dia tidak peduli. Biarlah
mampus semua laki-laki di dunia ini, apalagi dua orang pemuda tampan ini
mengingatkan dia akan pemuda laknat yang dicarinya dan dibencinya. Mampuslah
kalian! Mampuslah kalian semua laki-laki di dunia!
Ceng Ceng memandang dan kini mereka telah
mulai bertanding. Dua orang pemuda itu tadinya bersikap tenang saja. Akan
tetapi pemuda yang lebih muda, yang tersenyum-senyum dan bermata nakal,
memandang Ketua Pulau Neraka dan berkata, “Aih, kiranya Hek-tiauw Lo-mo dan
anak buahnya. Pantas saja tidak segan melakukan kecurangan, kiranya Ketua Pulau
Neraka yang seperti iblis. Masih baik kita keburu datang untuk mencegah
perbuatanmu yang buruk!”
Mendengar ini, Hek-tiauw Lo-mo dan anak
buahnya menjadi terkejut bukan main. Jarang ada orang yang mengenal Ketua Pulau
Neraka, apalagi hanya dua orang pemuda remaja ini.
“Kalian siapa, bocah lancang?” bentaknya.
“Kami adalah orang-orang yang akan
menghabiskan riwayatmu, Hek-tiauw Lo-mo. Kami adalah Sepasang Rajawali Putih!”
Mendengar julukan yang tak pernah didengar
sebelumnya ini, Hek-tiauw Lo-mo mendongkol. Tentu bocah ini sengaja menggunakan
julukan Rajawali Putih untuk mempermainkannya, karena dia sendiri berjuluk
Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam).
“Keparat, bersiaplah untuk mampus!” bentaknya
tanpa peduli lagi akan nama mereka dan dia sudah memberi isyarat kepada para
anak buahnya. Belasan orang itu maju mengepung dua orang pemuda itu yang tetap
bertangan kosong. Akan tetapi begitu mereka menyerbu ke depan, dua orang pemuda
itu mengeluarkan suara melengking seperti dua ekor rajawali, dan Ketua Pulau
Neraka menjadi bengong dan kaget melihat betapa dua orang pemuda itu kini
bergerak secepat burung-burung rajawali. Mereka berkelebat ke sana-sini dan
berturut-turut robohlah empat orang anak buah Pulau Neraka tanpa mereka itu
tahu bagaimana mereka dirobohkan karena cepatnya gerakan dua orang pemuda itu!
Ceng Ceng sendiri memandang kagum. Kini dia
melihat Ketua Pulau Neraka melepaskan tali jala dan maju sendiri menyerbu,
setelah melolos sebatang cambuk baja lemas yang tadinya membelit pinggangnya
yang besar. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika cambuk itu
menyambar-nyambar ganas mengikuti berkelebatnya bayangan dua orang pemuda itu.
Hebat memang tenaga Hek-tiauw Lo-mo dan cambuk panjang itu dahsyat sekali. Namun
dengan lincah, dua orang pemuda itu dapat mengelak dengan loncatan-loncatan
yang tampaknya tubuh mereka itu meloncat ke sana-sini seperti kilat menyambar.
Ceng Ceng meronta setelah melihat tali jala
tidak dipegang lagi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dari dalam jala, dia menarik tali
yang mengikat jala dan perlahan-lahan dia dapat membebaskan diri, Setelah
bebas, dengan pedang diputar ganas dia menyerbu dan menyebar racun di antara
para anak buah Pulau Neraka.
Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi khawatir
sekali. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan betapa dua orang pemuda itu
benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Ketika dia menggunakan sin-kang
sekuatnya di kanan kiri mendorong ke depan, pemuda yang lebih tua menyambut
dorongan tangan itu dengan tangan kanannya.
“Dukkk!”
Hek-tiauw Lo-mo meloncat mundur dan mukanya
menjadi pucat. Dia mengenal ilmu sin-kang Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti
Inti Salju) yang membuat dengan kirinya terasa dingin sekali.
“Pulau Es....!” Serunya dan kini matanya
terbelalak lebar. Dia ingat akan dua orang putera Majikan Pulau Es yang pernah
ditawannya dan dua orang anak itu berhasil melarikan diri dengan menunggang
dua ekor burung rajawali putih. “Kiranya kalian....”
Dua orang pemuda itu memang Suma Kian Lee dan
Suma Kian Bu. Mereka hanya tersenyum dan kini Hek-tiauw Lo-mo maklum bahwa
kalau sampai ayah atau ibu dua orang pemuda itu ikut datang, dia dan anak
buahnya akan celaka. Maka dia bersuit nyaring lalu meloncat ke belakang, dan
larilah Ketua Pulau Neraka ini diikuti oleh sisa anak buahnya.
Kian Lee dan Kian Bu tidak mengejar. Kian Bu
berpaling memandang Ceng ceng yang masih berdiri dengan pedang di tangan.
“Syukur kau telah selamat, Nona,” kata Kian Bu
yang lebih berani menghadapi seorang wanita daripada kakaknya. “Dan selamat
berjumpa untuk yang ke dua kalinya. Kita saling bertemu untuk pertama kali di
pasar kuda itu. Ingat, bukan? Perkenalkan, namaku adalah Suma Kian Bu dan ini
adalah kakakku, Suma Kian Lee. Bolehkah kami mengetahui namamu?”
Tiba-tiba Ceng Ceng menggerakkan pedangnya ke
kiri. “Crekkk!” dan roboh kembalilah anggauta Pulau Neraka yang tadinya hendak
bangkit duduk. Orang yang tadinya menderita luka itu, roboh dan tewas karena
pedang Ban-tok-kiam membacok lehernya hampir putus! Melihat ini, Suma Kian Bu
dan Suma Kian Lee terkejut sekali. Kian Lee mengerutkan alisnya sedangkan Kian
Bu memandang bengong. Dan kagum akan kecantikan dan kegagahan dara ini, akan
tetapi mengapa dara ini sekarang menjadi seorang manusia yang begini buas dan
kejam, jauh sekali bedanya dengan dahulu ketika mereka jumpa di pasar kuda?
Dahulu, dara itu berwajah cantik manis dan berseri, agaknya selalu riang dan
sinar matanya menari-nari, bibirnya selalu tersenyum. Akan tetapi sekarang,
biarpun cantiknya masih sama, bahkan bertambah karena kelihatannya
kecantikannya makin matang, tubuhnya makin padat berisi, gerak-geriknya makin
lincah, namun di balik wajah yang cantik jelita itu terbayang sifat yang
dingin membeku, kebencian yang membayang dari pandang matanya, bibirnya
ditarik seperti orang yang kesakitan dan menderita hebat, dan perbuatannya
tadi amatlah kejam dan mengerikan. Membacok mati seorang bekas lawan yang
sudah tidak berdaya seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang yang berhati
kejam dan penuh kebencian!
Segala macam kekacauan, kejahatan dan
permusuhan di dunia ini bersumber kepada pikiran. Pikiran adalah si aku yang
berkembang karena ingatan. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan
menyusahkan ditumpuk di dalam ingatan dan menjadi pupuk bagi pikiran yang
menciptakan si aku. Si aku yang ingin mengulang kembali kesenangan yang pernah
dinikmatinya. Si aku yang ingin menghindari kesusahan yang pernah diderita.
Maka muncullah rasa khawatir, rasa takut kalau-kalau akan mengalami lagi hal
yang menyusahkan dan kalau-kalau tidak akan dapat mengalami hal yang
menyenangkan. Rasa takut ini mendorong kita untuk melakukan segala macam
kekerasan di dalam kehidupan, bersumber kepada si aku yang pandai sekali
mencari-cari akal sebagai alasan untuk melindungi diri sendiri, untuk
mempertahankan pendiriannya yang dianggap benar. Kalau si aku dirugikan, lahir
maupun batin, maka aku akan menaruh benci dan dendam, dan menggunakan alasan
bahwa yang merugikan aku itu adalah jahat dan perlu dibasmi! Kalau si aku diuntungkan,
lahir maupun batin, maka aku akan mencintanya dan membaikinya, dengan
menggunakan alasan bahwa yang menguntungkan aku itu adalah baik dan perlu
didekati.
Kita memuja dan menyembah-nyembah para dewa,
para nabi, bahkan Tuhan, karena kita yakin bahwa mereka itu menguntungkan kita,
setidaknya menguntungkan batiniah dan menimbulkan harapan, menjadi pegangan,
jelasnya mendatangkan harapan keuntungan lahir batin bagi kita, maka kita
memuja dan menyembahnya. Sebaliknya, kita membenci dan mengutuk setan dan
iblis, karena kita yakin pula, sungguhpun keyakinan ini hanya merupakan
jiplakan dari tradisi belaka, bahwa setan dan iblis atau hantu itu merugikan
kita, lahir maupun batin. Jelasnya, yang kita anggap baik, yaitu yang
menguntungkan kita lahir maupun batin, akan kita puja-puja. Sebaliknya, yang
kita anggap jahat, yaitu yang merugikan kita lahir atau batin, akan kita kutuk
dan benci. Jelas, bahwa rasa suka atau benci kita bukan karena keadaan si benda
di luar diri kita, melainkan diputuskan oleh pertimbangan kita sendiri, yaitu
merugikan atau menguntungkan. Rasa suka atau benci melahirkan anggapan kita
tentang baik dan jahat, yang menguntungkan kita adalah baik dan yang merugikan
kita adalah jahat.
Kenyataan ini sudah berlangsung ribuan tahun
di dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai alat yang “lumrah”. Kita
tidak lagi melihat kejanggalan dan kepalsuannya. Si aku ini bisa melebar dan
meluas, menjadi si kami, menjadi harta benda-ku, keluarga-ku, partai-ku, suku
bangsa-ku, bangsa-ku, negara-ku, Tuhan-ku, agama-ku dan selanjutnya. Dan
selama si aku ini menguasai, pertentangan dan kekacauan sudah pasti timbul,
karena pertentangan muncul di antara si aku dan si kamu. Seorang manusia akan
dianggap sebagai orang sejahat-jahatnya oleh pihak musuh akan tetapi manusia
ini pula akan dianggap sebagai orang sebaik-baiknya oleh pihak lawan. Seseorang
bisa dianggap sebagai “pahlawan” oleh negaranya, akan tetapi orang ini pula
akan dianggap sebagai “penjahat” oleh negara lain yang bermusuhan. Jadi
sebutan pahlawan atau penjahat itu bukan tergantung dari keadaan si orang itu
sendiri, melainkan tergantung dari negara yang bersangkutan, dirugikan atau
diuntungkankah negara itu.
Pertentangan di luar diri adalah pencerminan
dari pertentangan yang terjadi di dalam diri sendiri. Di dalam diri sendiri
terdapat kemarahan yang bertentangan dengan si aku yang ingin sabar, terdapat
cemburu yang bertentangan dengan si aku yang ingin mencinta, terdapat keadaan
apa adanya yang bertentangan dengan keadaan yang kukehendaki yang lain dari
apa adanya. Keadaannya begini, aku ingin begitu. Si aku menjadi makin subur
dipupuk oleh pikiran. Si aku adalah pikiran itu sendiri. Dan pikiran adalah
masa lalu, pikiran adalah kenangan atau ingatan masa lalu. Bebas dari masa
lalu, bebas dari pikiran, berarti bebas dari si aku tukang mengacau kehidupan
ini. Pikiran hanya baik kalau dipergunakan di dalam tugasnya yang tak dapat
dihindarkan lagi, untuk bekerja, bicara, dan segala pelaksanaan pekerjaan
sehari-hari. Namun sekali pikiran bercampur tangan memasuki perhubungan antara
manusia, akan rusaklah keadaannya.
Ceng Ceng telah diracuni oleh pikirannya
sendiri karena dia selalu teringat akan peristiwa yang menimpa dirinya. Dirinya
telah diperkosa, berarti telah dirugikan secara hebat oleh seseorang, maka
kenangan akan hal ini mendatangkan kebencian yang amat hebat dan kebencian
ini meracuni dirinya, membuat dia membenci semua manusia, terutama kaum pria!
Tentu saja dia mengerti bahwa dia telah
diselamatkan oleh Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Andaikata dua orang yang
menolongnya itu wanita, agaknya dia tidak akan segan-segan untuk menghaturkan
terima kasihnya. Akan tetapi karena dua orang penolongnya adalah pria, masih
muda-muda pula sehingga mengingatkan dia akan pemuda yang memperkosanya,
kebenciannya terhadap kaum pria lebih besar daripada rasa terima kasihnya.
Mendengar kata-kata Kian Bu dia malah menjadi gemas dan membacok mati anggauta
Pulau Neraka yang belum tewas, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan pergi dari
situ tanpa menoleh lagi kepada dua orang pemuda yang telah menyelamatkannya
tadi!
“Heiii....! Eh, Nona....!” Kian Bu berteriak,
akan tetapi Ceng Ceng tidak menjawab, menoleh pun tidak, bahkan kini dara ini
melarikan diri dengan cepat, seluruh perhatiannya telah dipusatkan ke depan
untuk mencari pemuda laknat yang telah memperkosanya!
“Heiiii....!” Kian Bu berteriak lagi.
“Sudahlah, Bu-te. Orang tidak mau melayanimu,
mengapa memaksa?” Kian Lee berkata, kemudian dengan alis berkerut pemuda ini
berkata, “Aku melihat dia itu seperti orang yang menanggung penderitaan hebat.
Sungguh kasihan dia....”
“Ehhh....? Gadis sombong dan angkuh seperti
itu, yang telah kita tolong dan kita selamatkan nyawanya dari ancaman bahaya
maut akan tetapi sepatah kata pun tidak sudi melayani kita bicara, engkau malah
menaruh kasihan kepadanya?”
“Bu-te, jangan tergesa-gesa menjatuhkan
pendapat akan seseorang yang belum kita kenal keadaannya. Gadis itu patut
dikasihani....”
Kian Bu menghela napas. “Kau memang aneh,
Lee-ko. Banyak dara lincah jenaka, yang wajahnya seperti bulan purnama selalu
berseri, yang matanya seperti bintang pagi bersinar-sinar, yang mulutnya
selalu tersenyum cerah seperti matahati pagi, engkau tidak pedulikan. Akan
tetapi satu ini, yang kejam dan dingin seperti.... seperti....”
“Cukup, Bu-te! Mari kita lanjutkan perjalanan
kita,” Kian Lee berkata singkat lalu pergi dari situ. Kian Bu membelalakkan
matanya, menggoyang pundak lalu terpaksa mengikuti kakaknya.
Bagaimana dua orang pemuda ini dapat berada di
tempat itu sehingga secara kebetulan dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Seperti
telah kita ketahui, Kian Lee dan Kian Bu berada di kota raja dan di dalam pesta
yang diadakan oleh Pangeran Liong Bin Ong, dua orang pemuda Pulau Es ini telah
bertemu dengan kakak mereka, Puteri Milana.
Mereka diajak pulang oleh Puteri Milana dan
setelah kakak beradik itu bercakap-cakap penuh kegembiraan dan keharuan,
akhirnya beberapa hari kemudian Milana mengambil keputusan untuk mengirim dua
orang adiknya ini menjumpai Jenderal Kao Liang di utara. Puteri ini maklum
betapa pihak pemberontak telah menyusun kekuatan. Tidak ada orang lain yang
lebih dapat dipercaya daripada Kian Lee dan Kian Bu untuk membawa suratnya
kepada Jenderal Kao yang dia tahu merupakan satu-satunya orang yang terkuat
dan menguasai bala tentara besar, juga amat setia kepada kepada Kaisar. Dia
lalu menulis surat untuk Jenderal Kao Liang, mengajak jenderal itu untuk
bersama-sama menumpas pemberontak, menggunakan pengaruh kedudukannya dan
menggunakan kekuatan pasukannya. Demikianlah maka pada hari itu Kian Lee dan
Kian Bu tiba di dekat Lembah Bunga Hitam, melihat keadaan dusun yang keracunan,
mendengar dari para pengungsi akan malapetaka yang menimpa dusun mereka.
Sebagai dua orang putera Pendekar Super Sakti, biarpun mereka bukan ahli-ahli
menggunakan racun, namun dengan dasar sin-kang yang amat kuat dan bersih, kedua
orang pemuda ini tidak takut menghadapi pengaruh racun dan mereka tertarik
mendengar kabar tentang pertandingan antara ahli-ahli racun di Lembah Bunga
Hitam, maka keduanya lalu memasuki lembah itu dan secara kebetulan dapat
menolong Ceng Ceng.
Setelah mereka berdua mendapat kenyataan
bahwa satu di antara dua pihak yang bertanding itu adalah gerombolan penghuni
Pulau Neraka dipimpin sendiri oleh Hek-tiauw Lo-mo, keduanya tidak suka
mencampuri lagi, apalagi melihat betapa Ceng Ceng yang mereka tolong itu tidak
mempedulikan mereka. Mereka menganggap bahwa tempat itu adalah tempat
orang-orang dari golongan sesat, juga gadis yang ditolongnya itu, maka mereka
lalu meninggalkan Lembah Bunga Hitam untuk melanjutkan perjalanannya ke utara,
ke perbatasan untuk mencari Jenderal Kao di bentengnya.
Yang tidak mengenalnya dan tidak mengetahui
keadaannya, tentu akan mengira bahwa gadis cantik yang pakaiannya kusut
rambutnya awut-awutan itu sedang menderita sakit jiwa. Akan tetapi yang tahu
akan keadaan Ceng Ceng pada saat itu, tentu akan merasa kasihan sekali.
Sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar penuh gairah hidup itu kini tampak
merah dan agak membengkak, muka yang biasanya berseri dengan kedua pipi
kemerahan dan segar, seperti setangkai bunga yang sedang mekar, kini menjadi
pucat dan layu. Bibir yang biasanya selalu kemerahan dan membasah itu, yang
siap melontarkan senyum manis, bahkan selalu kelihatan mengarah senyum, kini
kelihatan kering dan cemberut, kadang-kadang tergetar kalau tangis melanda
hatinya. Air matanya sudah mengering, sumbernya sudah hampir kehabisan karena
terlampau banyak dia menangis. Tiap kali dia teringat akan malapetaka yang
menimpanya di dalam guha itu, air matanya bercucuran dan dadanya terisak-isak
sampai sukar untuk bernapas.
Tiga hari sudah dia meninggalkan Lembah Bunga
Hitam. Lupa makan lupa tidur, terus melakukan perjalanan ke selatan tanpa
tujuan karena memang dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda laknat yang
amat dibencinya itu, pemuda yang telah memperkosanya dan sekarang tujuan
hidupnya hanya satu, yalah mencari dan mengadu nyawa dengan pemuda laknat itu!
Sebetulnya tubuhnya lemas dan lunglai, karena sudah tiga hari tiga malam dia
tidak makan tidak tidur. Jalannya tersaruk-saruk dan kadang-kadang terdengar
keluhan atau rintihan dari mulutnya.
Matahari telah naik tinggi dan panas terik
menyengat kulit. Ceng Ceng berhenti di dalam bayangan batu karang dan menyeka
keringatnya sambil mengeluh. Tubuhnya seperti merintih-rintih minta
beristirahat, namun kekerasan hatinya melarang karena dia tidak akan berhenti
sebelum bertemu dengan pemuda laknat itu!
“Nona, perlahan dulu....” Tiba-tiba terdengar
suara halus ketika dia memaksa kedua kakinya melangkah maju lagi.
Suara itu sudah cukup untuk membuat darah Ceng
Ceng seperti bergolak. Suara seorang laki-laki! Dan menahan langkahnya, tangan
kiri dikepal dan tangan kanan meraba gagang Ban-tok-kiam, siap untuk membunuh
orang! Langkah-langkah ringan dan halus menghampirinya dari belakang.
“Nona, hatiku ikut hancur menyaksikan
keadaanmu....”
Ceng Ceng bergerak cepat, membalik dan tampak
sinar terang berkelebat ketika Ban-tok-kiam telah dicabutnya. Ternyata yang
berhadapan dengan dia adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh
tahun lebih, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana
namun bersih, gerak-geriknya halus dan penuh hormat, sinar matanya lembut dan
dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh perasaan iba.
“Mampuslah kau, keparat!” Ceng Ceng menjerit
dan pedang Ban-tok-kiam sudah menyambar ke arah leher kakek itu.
“Hemmmm, sabarlah, Nona!” kakek itu mengelak
dengan gerakan halus, namun tepat sehingga pedang Ban-tok-kiam lewat di
samping tubuhnya. Ketika pedang itu menyambar lagi, tahu-tahu kakek ini, dengan
gerakan aneh yang sama sekali tidak dikenal Ceng Ceng, telah memegang
pergelangan tangan kanan Ceng Ceng sehingga dara ini merasakan lengan kanannya
lumpuh dan untung pedangnya masih belum terlepas.
“Tenanglah, Nona. Aku tidak berniat buruk. Aku
hanya akan menuturkan tentang pemuda yang telah kaukeluarkan dari kerangkeng
itu.”
“Aihhh....!” Ceng Ceng yang kini sudah dilepas
tangannya, melompat mundur dan memandang dengan muka pucat dan mata
terbelalak. “Kau mau bilang apa? Cepat katakan!” bentaknya.
Kakek itu menarik napas panjang. “Aku tidak
menyalahkan sikapmu ini, Nona, sungguhpun sikap ini sama sekali tidak ada
manfaatnya bagimu, apalagi bagi lain orang. Kita harus berani menghadapi
kenyataan, berani membuka mata melihat apa yang telah terjadi dan menimpa kita
sehingga kita tidak menjadi mata gelap oleh dendam. Marilah kita duduk di bawah
pohon itu, dan aku akan menceritakan siapa adanya pemuda yang kaubebaskan dari
kerangkeng itu dan mengapa pula dia melakukan perbuatan terkutuk itu. Maukah
Nona mendengarkan?”
Tentu saja Ceng Ceng ingin sekali mendengar.
Dia tidak akan mungkin dapat mencari pemuda itu kalau tidak diketahuinya
siapa. Dia lalu mengangguk, menyimpan pedangnya dan mengikuti kakek itu duduk
di atas batu di bawah naungan pohon sehingga hawa di tempat itu agak sejuk dan
nyaman.
“Perkenalkan, Nona. Namaku adalah Louw Ki Sun,
dan aku adalah pelayan dari guru pemuda tinggi besar itu.”
“Kakek, aku tidak mau berkenalan dengan kau.
Kalau kau tahu tentang pemuda laknat itu, lekas beritahukan kepadaku siapa
dia dan di mana aku dapat mencarinya!”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Baiklah, engkau
akan mengetahui siapa adanya pemuda itu. Sudah kukatakan tadi, aku adalah
pelayan dari suhunya, dan agar jelas bagimu dan juga jelas mengapa dia
melakukan perbuatan itu, sebaiknya kalau engkau mendengarkan semua penuturanku
dengan sabar.” Kakek yang bernama Louw Ki Sun itu lalu bercerita.
Di tengah gurun pasir yang amat luas di utara
terdapat sebuah istana yang amat aneh letaknya dan tidak ada orang yang dapat
mendatangi tempat ini karena merupakan rahasia. Pula, siapa percaya bahwa di
tengah gurun pasir terdapat sebuah istana yang megah? Istana ini di kalangan
Bangsa Mongol terkenal dengan sebutan Istana Gurun Pasir, dan pada waktu itu
tidak ada seorang pun bangsa Mongol yang berani mendekatinya karena istana itu
dihuni oleh seorang tokoh yang luar biasa, aneh, dan juga amat sakti. Penghuni
Istana Gurun Pasir itu tidak pernah meninggalkan istananya, maka tidak terkenal
di dunia ramai, istana itu sendiri adalah sebuah istana kuno, yang pada ratusan
tahun yang lalu dibangun oleh Raja Mongol untuk mengasingkan permaisurinya yang
telah “dipensiun” karena dituduh berjina dengan seorang pelayan pria. Dibangun
di tengah gurun pasir, akan tetapi anehnya, di tempat itu terdapat sumber air!
Sumber air di tengah gurun pasir, benar-benar tidak masuk akal, namun kenyataannya
demikianlah! Permaisuri yang malang ini tinggal bertahun-tahun di tempat itu
bersama para pelayannya sampai dia mati, dan turun-temurun para pelayan itu
tinggal di situ sampai lama-kelamaan jumlah mereka habis. Kini yang tinggal
hanyalah Si Dewa Bongkok, yaitu tokoh aneh penghuni istana itu, seorang kakek
yang tubuhnya besar dan pendek bongkok, bersama dua orang kakek pelayan yang
bernama Thio Sek dan Louw Ki Sun.
Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok yang sedang
berdatih di tengah gurun pasir menemukan seorang anak laki-laki yang berada
dalam keadaan hampir mati. Jelas bahwa anak itu telah tersesat dan menderita
hebat sekali selama berhari-hari di padang pasir dan merupakan suatu hal ajaib,
kalau anak itu masih dapat bertahan setelah mukanya bengkak-bengkak, matanya
melotot merah dan lidahnya terjulur ke luar, seluruh tubuhnya hitam dan
kulitnya retak-retak! Si Dewa Bongkok cepat membawa anak itu ke istana dan
berkat kepandaiannya yang tinggi, anak itu dapat diobatinya sampai sembuh.
Melihat keadaan anak itu dan kenyataan bahwa anak itu berbakat baik sekali, Si
Dewa Bongkok yang selamanya tidak pernah menerima murid itu lalu mengangkatnya
sebagai muridnya, murid tunggal.
Seperti biasa, latihan-latihan yang diberikan
oleh manusia sakti ini kepada muridnya amatiah beratnya. Pada suatu hari, Si
Dewa Bongkok mengajak muridnya ke tengah gurun pasir bagian yang paling panas
dan di situ dia melatih sin-kang kepada muridnya itu. Sampai tiga hari tiga
malam dia melatih muridnya di tempat itu, tidak tahu bahwa terjadi geger di
istananya.
“Ketika majikanku sedang melatih muridnya itu,
yang menjaga istana hanya aku dan Thio Sek,” Lauw Ki Sun menyambung ceritanya
yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ceng Ceng. “Tiba-tiba datanglah
seorang yang lihai dan yang berusaha untuk mencuri kitab-kitab pusaka dari
majikanku. Tentu saja aku melawannya. Akan tetapi celaka, kiranya orang itu
yang memiliki kepandaian tinggi diam-diam telah bersekongkol dengan Thio Sek.
Tentu saja menghadapi mereka berdua, aku kalah dan aku tidak berhasil mencegah
mereka melarikan diri sambil membawa sebuah kitab pusaka tentang racun dalam
pukulan, catatan dari majikanku. Mereka melarikan diri karena mereka takut
kalau-kalau majikanku keburu datang, dan membawa pergi kitab itu.” Kakek itu
menarik napas panjang.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Yang menjadi
pusat perhatiannya adalah pemuda laknat yang memperkosanya, maka hal-hal lain
membuat dia hanya menjadi marah karena dia tidak peduli sama sekali. “Apa
hubungannya dengan iblis laknat itu?” bentaknya.
“Sabarlah, Nona. Ketahuilah bahwa pencuri itu
kini telah menjadi Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan
rekanku pelayan itu adalah....”
“Ketua Lembah Bunga Hitam. Aku sudah
menduganya, tapi tentang pemuda itu....”
“Benar, Thio Sek telah berjuluk Hek-hwa Lo-kwi
Ketua Lembah Bunga Hltam. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil. Sampai
hari ini, secara tidak sengaja aku bertemu dengan mereka....”
“Pemuda laknat itu....” Ceng Ceng memotong.
“Pemuda itu adalah Kok Cu, murid majikanku
yang ditemukan di gurun pasir itu. Dia terpengaruh hebat oleh penderitaan
badai di lautan pasir, hanya teringat akan namanya saja, yaitu Kok Cu, tidak
tahu siapa nama keluarganya. Setelah dia tamat belajar, dia diperkenankan
meninggalkan istana untuk mencari orang tuanya, sekalian ditugaskan untuk
mencari kitab yang tercuri. Karena aku merasa bertanggung jawab akan
kehilangan kitab itu, maka diam-diam aku pun membayanginya untuk membantu.
Kebetulan sekali, di Lembah Bunga Hitam ini terjadi pertempuran dan ternyata
yang bertempur adalah dua orang pencuri itu. Agaknya, menurut penyelidikanku,
mereka telah bertengkar dan memperebutkan kitab. Mereka sama kuat dan akhirnya
mendapatkan masing-masing separuh dari kitab itu. Kini mereka saling bermusuhan
untuk merampas kitab yang separuh lagi. Kok Cu biarpun telah memiliki
kepandaian tinggi, lebih tinggi dari aku sendiri, namun dia kurang pengalaman
sehingga dapat terjebak dan terkena racun-racun yang amat jahat. Biarpun dia
telah memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga racun-racun itu tidak sampai
menewaskannya, akan tetapi.... dia seperti mabok, dia tidak sadar.... dan
ketika terjadi peristiwa di guha itu, dia.... dia sama sekali tidak mampu
menguasai dirinya, Nona.”
“Keparat! Kau tahu akan semua itu dan kau diam
saja!” Ceng Ceng sudah meloncat dan mencabut lagi Ban-tok-kiam.
Kakek itu pun meloncat dan cepat mengangkat
tangannya, “Sabarlah, Nona. Ketika aku tiba di Lembah Bunga Hitam, Kok Cu telah
tertangkap dan dimasukkan kerangkeng dalam keadaan keracunan hebat. Aku berada
di dasar sumur ketika engkau tiba, kemudian kau menolong dan melarikan
kerangkeng itu dan kau dikejar oleh Ketua Lembah Bunga Hitam dan anak buahnya.
Melihat ini, aku muncul dan menyambut mereka, mencegah mereka melakukan
pengejaran terus kepadamu, karena aku hanya mengira bahwa Nona tentu sudah
berhasil menyelamatkan Kok Cu. Siapa tahu bahwa di dalam guha telah terjadi
hal yang amat hebat itu....! Aku baru tahu setelah Kok Cu lari dari dalam guha
itu seperti orang gila saking menyesalnya....”
“Tak peduli! Di mana dia sekarang! Aku akan
membunuhnya, mencincang hancur tubuhnya!”
“Mana aku tahu, Nona? Dia telah melarikan diri
seperti orang gila, bahkan ketika aku menjumpainya, dia seperti tidak mengenalku
atau tidak mau peduli, terus lari dengan cepat meninggalkan aku. Mungkin dia ke
kota raja karena dia lari ke selatan....!”
“Aku akan mengejarnya!” Ceng Ceng berteriak
dan cepat dia lari meninggalkan kakek itu dengan pedang tetap di tangan. Louw
Ki Sun menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kemudian
melangkah perlahan-lahan kembali ke utara untuk melaporkan kepada majikannya
karena untuk bertindak sendiri terhadap Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka,
dia tidak mampu.
***
Kian Lee dan Kian Bu memasuki warung di dusun
itu. Dari penduduk dusun yang mereka lalui sepanjang perjalanan mereka, benteng
Jenderal Kao Liang tidak jauh lagi, berada di balik bukit yang melintang di
depan, di sebelah utara dusun-dusun yang mereka tanyai tentang benteng itu,
betapa Jenderal Kao amat terkenal dan dihormati serta dipuji oleh para penduduk
dusun. Begitu mendengar bahwa dua orang pemuda ini mempunyai hubungan dengan
Jenderal Kao, sikap mereka menjadi penuh hormat dan ramah tamah.
“Lee-ko, wajahmu kembali muram seperti
matahari tertutup mendung. Kenapakah, Lee-ko?”
“Bu-te, harap jangan bergurau.” Kian Lee
menegur adiknya.
Kian Bu menghela napas, akan tetapi pandang
matanya tidak pernah terlepas dari wajah kakaknya. Dia terlalu sayang kepada kakaknya
ini sehingga setiap perubahan pada wajah kakaknya tampak jelas olehnya karena
perhatiannya tak pernah lengah.
“Lee-ko, sekali ini aku tidak
bersendau-gurau. Sudah beberapa hari aku melihat perubahan wajahmu, akan
tetapi aku tidak menyinggungnya, khawatir kalau hal itu akan menambah
kekeruhan pikiranmu. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau menyusahkan sesuatu.
Alismu selalu berkecut, pandang matamu jauh dan kosong, dan engkau, bahkan
tidak lagi dapat menghadapi sendau-gurauku. Dan semua ini terjadi semenjak kita
berjumpa dengan Nona di Lembah Bunga Hitam itu.”
“Bu-te....!”
“Sekali lagi aku tidak bergurau sekali ini,
Koko. Aku melihat perubahan itu pada wajahmu.”
Kian Lee menundukkan mukanya dan menarik napas
panjang, kemudian berkata lirih, “Memang benar, Adikku. Aku selalu memikirkan
dia karena aku merasa menyesal dan kasihan sekali kepadanya.”
“Hemm, kita tidak kenal dia, Lee-ko. Pula,
melihat bahwa dia hadir di tempat menyeramkan itu, melihat pula betapa dia
membunuh orang tanpa berkedip mata, dia tentulah seorang di antara tokoh-tokoh
dunia hitam, seorang wanita sesat yang berhati kejam....”
“Tidak, Bu-te. Apakah kau lupa ketika kita
bertemu dengan dia di pasar kuda dahulu? Masih terbayang olehku betapa wajahnya
cerah dan sama sekali tidak membayangkan sinar kejam. Akan tetapi di lembah
itu.... ah, bagaikan bumi dengan langit bedanya. Inilah yang membuat aku
menyesal dan kasihan, Adikku karena aku dapat menduga bahwa pasti terjadi
sesuatu yang amat hebat dengan dia!”
Hening sejenak, tiba-tiba Kian Bu memegang
lengan kakaknya di atas meja. “Lee-ko, engkau telah jatuh cinta!”
Kian Lee merenggut lengannya dan memandang
dengan mata terbelalak. “Jangan main gila kau!” bentaknya lirih.
Kian Bu menggeleng kepalanya perlahan dan
tersenyum. “Tidak, Lee-ko. Akan tetapi kaupikir saja sendiri. Engkau kenal pun
belum dengan gadis itu, tahu namanya pun belum, akan tetapi engkau sudah
menaruh perhatian sedemikian rupa sampai engkau melamun dan kelihatan muram.
Engkau merasa sedih melihat keadaannya, apalagi namanya ini kalau bukan jatuh
cinta?”
“Jangan engkau main-main, Bu-te. Terus terang
saja aku memang amat tertarik kepada dia, merasa kasihan sekali kepadanya, akan
tetapi hal ini belum berarti bahwa aku jatuh cinta karena aku sendiri tidak
tahu bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Sudahlah, jangan kau menggodaku
dengan pembicaraan yang tidak ada gunanya ini.”
Kian Bu masih tidak mau terima dan hendak
membantah, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik dan tampak di luar
pintu warung itu para penduduk dusun hilir mudik dan nampak sibuk sekali.
Berbondong-bondong penduduk datang memasuki dusun itu, mungkin dari luar dusun
dan wajah mereka rata-rata gembira seolah-olah mereka sedang menghadapi suatu
peristiwa yang menggembirakan.
Ketika pelayan warung datang menghidangkan
bakmi yang mereka pesan, Kian Bu bertanya, “Twako, apakah ribut-ribut itu? Dan
mengapa semua orang keluar ke jalan raya?”
“Ada kabar gembira, Kongcu (Tuan Muda). Baru
saja terdapat berita bahwa rombongan panglima akan lewat di dusun ini. Tentu
saja semua penduduk di sini, bahkan penduduk dusun-dusun sekitar sini, keluar
dari rumah semua untuk menyambut panglima yang kami cinta dan hormati!”
Dua orang kakak beradik itu merasa heran
mengapa penduduk dusun begitu cinta kepada seorang panglima pasukan tentara.
Biasanya, penduduk hanya mempunyai satu perasaan saja terhadap pasukan
tentara, yaitu perasaan takut dan hormat yang timbul karena takut. Akan tetapi
cinta?
“Apakah panglima itu baik sekali terhadap
penduduk, Twako?” Kian Lee bertanya karena dia pun merasa heran sekali.
“Baik? Aih, Kongcu, beliau adalah pelindung
kami, pelindung rakyat kecil di daerah utara ini. Kalau tidak ada beliau, entah
apa jadinya dengan kami yang setiap hari selalu diganggu oleh suku bangsa liar
dan bahkan oleh tentara sendiri yang bertugas di perbatasan, yaitu sebelum
beliau berada di sini. Sekarang, kami hidup tenteram dan damai, semua berkat
beliau yang bijaksana.”
“Mengangumkan sekali!” Kian Lee berseru.
“Pernah dulu, di waktu kami di dusun-dusun
kehabisan makanan karena musim kering terlalu panjang, beliau membagi-bagikan
ransum pasukan kepada rakyat sehingga biarpun pasukannya agak memgurangi makan,
namun rakyat tertolong dari bahaya kelaparan. Mengingat kebaikannya, di waktu
panen yang berhasil baik, tanpa diminta rakyat sering mengirim hasil bumi ke
benteng sehingga selalu terdapat hubungan baik antara rakyat dan tentara yang
dipimpinnya. Memang, di dunia ini kiranya hanya dapat dihitung dengan jari
tangan pembesar sebaik Jenderal Kao Liang itu.”
“Jenderal Kao....?” Kian Bu berseru amat
kagetnya. Kiranya Jenderal Kao Liang yang dibicarakan pelayan ini! Dan mereka
berdua sedang dalam perjalanan untuk menemui jenderal itu. “Jadi diakah yang
akan disambut oleh rakyat ini?”
“Benar, kabarnya beliau hendak pergi ke kota
raja dan lewat di sini.” Pelayan itu menghentikan kata-katanya dan berlari ke
luar karena sudah terdengar suara riuh-rendah menandakan bahwa rombongan
jenderal itu telah memasuki dusun!
“Ah, bagaimana ini, Lee-ko? Kita
mengunjunginya, akan tetapi dia malah akan pergi ke kota raja!” Kian Bu
berkata kepada kakaknya.
“Mari kita melihatnya, Bu-te, dan tentu saja
kita harus memutar haluan pula, kembali ke kota raja karena kalau dia sudah
pergi ke kota raja, surat ini tidak perlu lagi. Dia tentu akan bertemu pula
dengan Enci Milana,” kata Kian Lee tenang. Keduanya lalu lari ke luar pula dari
warung itu untuk menonton rombongan Jenderal Kao yang dielu-elukan oleh rakyat
di sepanjang tepi jalan.
Ketika kedua orang kakak beradik ini keluar
dan berdiri di tepi jalan bersama para penduduk dusun yang semua memandang
sambil tersenyum ramah dan melambaikan tangah, ada yang memberi hormat, akan
tetapi semua pandang mata menyinarkan kekaguman dan penghormatan, dengan mudah
mereka berdua menduga siapakah di antara rombongan itu yang bernama Jenderai
Kao Liang.
Jenderal yang tinggi besar, bertubuh tegap
kuat seperti seekor singa tua, duduk di atas kudanya dengan tegak. Jenderal ini
diapit oleh dua orang pengawal pribadinya. Hanya dua orang pengawal pribadi
itulah anak buahnya, karena tidak ada pasukan pengiringnya yang terdiri dari
anak buahnya sendiri. Di belakangnya tampak seorang pembesar gendut, utusan
Kaisar yang ditemani oleh enam orang perwira pengawal Kaisar sendiri yang
berpakaian gemerlapan indah. Setelah ini barulah berbaris pasukan pengawal
Kaisar yang jumlahnya dua losin orang, semua berpakaian seragam dan naik kuda
yang besar-besar.
Tampak sekali perbedaan pada wajah jenderal
yang dicinta rakyat itu dengan wajah para perwira pengawal Kaisar. Pembesar
utusan Kaisar itu bersama enam orang pengawal perwira, kelihatan berseri-seri
wajahnya melihat sambutan penghuni dusun yang dilewati rombongan mereka. Dengan
tersenyum-senyum, kadang-kadang mengerling penuh gaya kepada wanita-wanita
muda yang ikut menyambut, mereka ini mengangkat dada, mengurut kumis dan
menegakkan kepala, bangga bukan main hati mereka menyaksikan penyambutan itu.
Mereka merasa diri mereka amat “penting” dan menjadi pusat perhatian dan
penyambutan rakyat.
“Lee-ko, lihat, dia begitu muram....” bisik
Kian Bu.
Memang benar demikian. Berbeda dengan utusan
Kaisar dan para perwira pengawal istana yang menyambut dan membawanya ke kota
raja untuk menghadap Kaisar yang memanggilnya, Jenderal Kao Liang kelihatan
muram wajahnya, sama sekali tidak bergembira. Wajahnya yang gagah dan angker
itu bahkan agak pucat, seolah-olah dia menghadapi hal yang amat tidak
menyenangkan hatinya. Dia tidak kelihatan gembira dan bersemangat seperti
biasanya, kini kelihatan lesu dan lemas di atas kudanya. Untuk sekedar
menerima penghormatan rakyat yang sebetulnya semua ditujukan kepadanya seorang,
jenderal ini hanya melambaikan tangan ke kanan dan kiri.
Memang Jenderal Kao sedang merasa berduka.
Hatinya sedang risau sekali. Dia sedang amat dibutuhkan di perbatasan untuk
mengadakan pembersihan terhadap pengaruh pemberontak di dalam pasukan penjaga
di perbatasan, dan semua itu harus dihadapinya sendiri secara langsung karena
dia maklum akan bahayanya pengaruh itu. Dia harus yakin benar bahwa tidak ada
kaki tangan pemberontak Kim Bouw Sin yang menyelundup. Dan dia masih pula
sedang merencanakan untuk membawa pemberontak itu ke kota raja agar diadili di
sana di samping membuat laporan lengkap kepada pemerintah. Akan tetapi
tiba-tiba Kaisar memerintahkan dia menghadap ke istana dengan segera dan dia
tidak diperkenankan membawa pasukan pengawal, kecuali dua orang pengawal
pribadinya yang juga bertugas sebagai pelayannya itu. Bahkan utusan Kaisar itu
lalu menggunakan kekuasaannya untuk mengangkat seorang panglima di benteng itu
untuk menjadi komandan sementara. Yang amat menggelisahkan hati Jenderal Kao
sama sekali bukanlah keadaan dirinya sendiri, melainkan ada dua hal, yaitu
pertama-tama Syanti Dewi yang terpaksa harus ditinggalkannya di benteng, dan
kedua adalah Kim Bouw Sin, yang masih menjadi tahanan. Dia khawatir sekali
kalau dia tidak berada di benteng itu, kaki tangan Kim Bouw Sin akan bergerak
dan membebaskan bekas pemberontak itu.
Dia tidak mempedulikan keadaan dirinya
sendiri sungguhpun dia merasa curiga akan peristiwa panggilan Kaisar ini.
Betapapun juga, ada sedikit cahaya terang baginya kalau dia mengingat bahwa di
kota raja terdapat Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, dua orang tokoh yang
ia percaya adalah orang-orang yang setia kepada negara dan dapat diandalkan
untuk menghadapi pihak pemberontak yang dia tahu secara rahasia dipimpin oleh
dua orang Pangeran Tua Liong.
Kian Lee dan Kian Bu hendak meninggalkan
warung itu setelah membayar akan tetapi ketika mereka berdua tiba di pintu
warung hampir saja mereka bertabrakan dengan tiga orang yang baru turun dari
atas kuda dan mereka bertiga itu memasuki warung dengan tergesa-gesa sehingga
hampir menabrak dua orang kakak beradik itu. Akan tetapi, tiga orang itu dapat
mengelak dengan gerakan yang gesit, kemudian tanpa mempedulikan Kian Lee dan
Kian Bu, mereka terus memasuki warung. Gerakan mereka yang amat gesit itu tentu
saja menarik perhatian dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka menengok
dan memandang. Tentu saja mereka berdua terheran-heran melihat betapa tiga
orang itu tidak duduk di atas bangku-bangku warung seperti lajimnya tamu yang
hendak makan, melainkan terus menyelonong ke dalam melalui pintu tembusan kecil.
Pelayan yang melihat mereka pun diam saja, seolah-olah hal itu tidak merupakan
hal yang aneh.
Kian Lee dan Kian Bu saling berpandangan,
merasa heran. Akan tetapi karena mereka tidak mengenal tiga orang itu, mereka
tidak mengambil perhatian lagi lalu keluar dari dalam warung. Baru beberapa
langkah mereka meninggalkan pintu warung, kembali ada dua orang yang sikapnya
mencurigakan, dengan gesit telah menyelinap memasuki warung sambil menoleh ke
kanan kiri. Ketika Kian Bu yang menaruh curiga itu memperhatikan, dua orang
ini pun terus masuk ke bagian belakang warung itu seperti halnya tiga orang
terdahulu!
“Eh, Lee-ko, dua orang itu pun masuk ke
dalam!” Kian Bu berbisik sambll menyentuh lengan kakaknya.
“Biarkanlah, Bu-te. Kita tidak perlu mencampuri
urusan orang. Yang penting kita harus membayangi rombongan Jenderal Kao,”
jawab Kian Lee yang biarpun tertarik nanun terpaksa menekan perasaannya karena
ada tugas yang lebih penting bagi mereka, yaitu membayangi Jenderal Kao yang
kelihatan berduka untuk melindungi sahabat baik dari kakak mereka itu.
Rombongan Jenderal Kao yang berkuda itu sudah
lewat jauh dan hampir keluar dari dusun itu, maka dua orang kakak beradik ini
tergesa-gesa menyusul. Tentu saja karena di situ terdapat banyak orang, mereka
tidak mau memperlihatkan kepandaian menggunakan ilmu berlari cepat, hanya
berjalan biasa secepatnya agar tidak menarik perhatian orang.
“Awas, Bu-te....!” Tiba-tiba Kian Lee berseru
ketika dari jalan simpangan, seorang penunggang kuda membalapkan kudanya.
Kuda itu besar dan baik sekali, penunggangnya
seorang pemuda tampan yang sikapnya agak ugal-ugalan sehingga seolah-olah dia
tidak peduli bahwa kudanya membalap dan akan menabrak dua orang pemuda yang
sedang berjalan di depan itu.
Tentu saja mudah sekali bagi Kian Bu dan Kian
Lee untuk bergerak ke samping dan menghindarkan diri ditabrak kuda. Terdengar
suara ketawa dari pemuda yang menunggang kuda itu, yang ternyata pada saat itu
pun sudah berhasil menyimpangkan kudanya dengan gerakan seorang ahli.
“Jahanam kau, manusia sombong!” Kian Bu
membentak dan sudah mengepal kedua tinjunya untuk mengejar dan menyerang.
“Sssttt.... jangan layani dia, Bu-te....!”
Kian Lee memegang lengan adiknya yang marah-marah itu. “Tugas kita lebih
penting daripada urusan remeh itu.”
Kian Bu bersungut-sungut, akan tetapi dia dan
kakaknya menjadi makin terheran-heran melihat betapa pemuda penunggang kuda
itu dengan sigapnya meloncat turun dari atas kudanya di depan warung, kemudian
bergegas memasuki warung itu.
“Aihh, ini terlalu aneh. Pasti ada hubungannya
dengan rombongan Jenderal Kao....” Kian Lee berbisik. “Sebaiknya kita selidiki,
akan tetapi harap kau jangan menimbulkan gara-gara, Bu-te.”
Mereka lalu menyelinap di antara banyak orang
menghampiri warung itu secara diam-diam dari belakang. Sementara itu, hari pun
mulai gelap. Dua orang kakak beradik menanti sampai keadaan menjadi sunyi,
bersembunyi tidak jauh dari warung.
“Kita terpaksa menanti sampai gelap, Bu-te.”
“Bagaimana kalau rombongan jenderal itu
meninggalkan kita terlampau jauh?”
“Tidak, mereka tentu akan berhenti di dusun
besar selatan yang telah kita lewati pagi tadi dan bermalam di sana. Malam ini
kita bisa mengejar dan menyusul mereka di sana.”
Setelah suasana menjadi sunyi dan cukup gelap,
dua orang kakak beradik ini berindap-indap menghampiri warung dan akhirnya
mereka berhasil mengintai dari balik jendela di ruangan belakang warung itu.
Ternyata bahwa enam orang itu sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan,
duduk mengelilingi sebuah meja. Melihat sikap mereka, jelas bahwa pemuda
berkuda yang hampir menabrak mereka tadi merupakan orang penting, dan agaknya
dialah yang memimpin perundingan itu. Dengan amat hati-hati dan tidak
mengeluarkan suara karena maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan,
Kian Lee dan Kian Bu mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hati kedua
orang kakak beradik ini ketika mendengar percakapan enam orang itu. Dari
percakapan itu mereka mengerti bahwa enam orang ini adalah kaki tangan Pangeran
Liong Bin Ong dan mereka ini merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap
Jenderal Kao Liang! Juga dari percakapan mereka, atas penjelasan pemuda tampan
yang kudanya hampir menabrak mereka tadi, Kian Lee dan Kian Bu mendengar betapa
panggilan Kaisar terhadap Jenderal Kao Liang juga diatur oleh Pangeran Liong
Bin Ong! Pangeran ini membujuk Kaisar untuk memanggil dan memeriksa Jenderal
Kao, karena menurut Pangeran Liong Bin Ong, Jenderal Kao kini telah menguasai seluruh
pasukan inti, maka menjadi amat berbahaya. Buktinya, jenderal itu seringkali
mengambil langkah-langkah pengamanan tanpa melapor ke kota raja lebih dulu
sehingga seluruh kekuasaan atas semua pasukan boleh dibilang berada di
tangannya. Kalau orang seperti itu sampai memberontak, tentu sukar untuk
dibendung, demikian alasan Pangeran Liong kepada Kaisar sehingga Kaisar merasa
khawatir juga, maka lalu mengutus pembesar memanggil Jenderal Kao ke kota
raja. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pangeran Liong Bin Ong yang maklum
akan kekuatan pasukan pengawal yang menjemput Jenderal Kao untuk menyiapkan
enam orang itu sebagai penculik dan pembunuh!
“Akan tetapi, Ang-taihiap!” seorang di antara
mereka membantah kepada pemuda tampan itu. “Dia dikawal oleh dua losin orang
pengawal Kaisar, enam orang perwira pengawal, dan jenderal itu sendiri kabarnya
memiliki kepandaian tinggi, belum lagi dua orang pengawal pribadinya....”
“Apakah engkau takut?” Tiba-tiba pemuda itu
membentak dan Kian Lee bersama adiknya terkejut. Pemuda itu tadinya bersikap
halus, akan tetapi ketika membentak, suaranya mengandung getaran yang amat
kuat dan orang itu pun gemetar ketakutan.
“Tidak.... tidak, Taihiap.... hanya saya ingin
berhati-hati agar jangan sampai gagal....”
“Hemm, kaukira kami begitu bodoh dan ceroboh?
Selain kita berenam, masih ada Siang Lo-mo dan teman-temannya yang akan muncul
di hutan itu. Mereka sudah menanti di sana. Tentang Jenderal Kao, serahkan saja
kepadaku.”
“Jadi kita besok pagi-pagi mengejar dan
membayangi dari belakang, setibanya di hutan di lereng bukit di selatan itu
kita serbu....”
“Kalian bantu Siang Lo-mo dan teman-temannya
menghadapi yang lain, sedangkan Jenderal Kao aku sendiri yang akan
menghadapinya. Mengerti?” Pemuda yang disebut Ang-taihiap (Pendekar Besar she
Ang) itu berkata lagi.
Kian Lee dan Kian Bu dengan hati-hati mundur
menjauhkan diri dari rumah makan. Kian Lee sengaja mengajak adiknya pergi
karena dia maklum akan watak adiknya yang keras. Tadi sudah dilihatnya wajah adiknya
berubah merah. Setelah agak jauh, Kian Bu benar saja memprotes, “Lee-ko! Sudah
jelas persekutuan busuk itu hendak berbuat jahat, mengapa tidak kita basmi
sekarang saja?”
“Ssstt, Bu-te. Urusan ini bukanlah urusan
pribadi, melainkan urusan kerajaan yang terancam pemberontakan. Mereka belum
melakukan apa-apa, bagaimana kita bisa menentang mereka? Buktinya belum ada,
maka sebaiknya kita sekarang menyusul rombongan Jenderal Kao dan melindunginya.
Kalau besok di hutan itu mereka turun tangan, barulah kita menghadapi mereka.”
Kian Bu mengangguk-angguk. “Kau benar, Lee-ko.
Juga aku ingin bertemu lagi dengan Siang Lo-mo, musuh besar kita itu. Dulu, di
Pulau Es, aku belum sempat menampar kepala botak mereka dan sekarang terbuka
kesempatan baik!”
“Bu-te, kuharap engkau berhati-hati dan jangan
memandang rendah lawan. Siang Lo-mo yang telah berani menyerbu Pulau Es
bukanlah lawan ringan, dan kulihat pemuda yang she Ang itu pun bukan orang
sembarangan. Engkau tentu mendengar kekuatan suaranya tadi.”
Kian Bu mengangguk dan kelihatan gemas.
“Orangnya muda, tampan dan gagah, akan tetapi sudah menjadi kaki tangan
pemberontak. Dan dia tadi hampir menubrukku dengan kuda. Awas dia, besok aku
akan membikin perhitungan!”
Kakak beradik itu lalu meninggalkan dusun dan
melakukan perjalanan cepat sekali mengejar rombongan Jenderal Kao Liang. Tepat
seperti yang diduga oleh Kian Lee, rombongan itu bermalam di dusun besar, di
tempat kepala dusun sendiri yang menyambut Jenderal Kao dengan penuh
penghormatan.
Siapakah pemuda tampan berkuda yang hampir
menubruk Kian Bu dan Kian Lee? Melihat shenya, tentu pembaca sudah dapat
menduga siapa orangnya. Dia memang Ang Tek Hoat, pemuda yang menjadi amat lihai
setelah dia mewarisi kitab-kitab dari para datuk Pulau Neraka yang dibawa oleh
tokoh Pulau Neraka Kong To Tek. Seperti telah dituturkan di bagian depan,
pemuda itu telah menghambakan diri kepada Pangeran Liong Bin Ong, pangeran
yang mengusahakan pemberontakan tersembunyi terhadap Kaisar, bersama adiknya,
Pangeran Liong Khi Ong. Telah kita ketahui bahwa Tek Hoat berhasil
menyelamatkan Ceng Ceng dari perahu yang terguling dan dia tidak mau mengganggu
dara itu karena maklum bahwa Ceng Ceng adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi
yang diam-diam telah merampas hatinya! Tadinya dia mengharapkan akan dapat
menemukan puteri itu melalui Ceng Ceng, akan tetapi kemudian mendongkollah
hatinya ketika mendapatkan kenyataan bahwa dara itu pun sama sekali tidak tahu
di mana adanya Syanti Dewi. Apalagi sikap Ceng Ceng amat mengganggunya. Maka,
ketika dia mengadakan pertemuan dengan Pangeran Liong Khi Ong di sungai dalam
hutan itu dan kembali ke tempat dia meninggalkan Ceng Ceng dia melihat bahwa
dara itu telah lenyap, dia pun tidak begitu mempedulikan. Agaknya lebih baik
kalau dia jauh dari dara yang galak dan berbahaya itu, pikirnya, dan dia pun
lalu mulai mencari-cari Syanti Dewi, bukan hanya memenuhi perintah Pangeran
Liong Khi Ong, akan tetapi juga untuk kepentingan hatinya sendiri karena pemuda
ini sudah jatuh hati kepada Puteri Bhutan yang lemah lembut itu!
Akan tetapi, usahanya telah gagal. Tak ada
seorang pun tahu di mana adan Syanti Dewi. Hanya dia memperoleh terangan
tentang adanya seorang pria setengah tua bersama seorang dara cantik dan asing
melakukan perjalanan ke utara. Maka dia hendak menyusul dan mencari ke utara
setelah lebih dulu dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong dan menceritakan semua
hasil pekerjaannya.
Pangeran ini malah memberi tugas yang amat
penting baginya, yaitu untuk memimpin rombongan kaki tangan pangeran itu
menghadang, menculik atau membunuh Jenderal Kao Liang yang sedang menuju ke
kota raja memenuhi panggilan Kaisar!
Demikianlah, pemuda berkuda yang mengadakan
perundingan dengan lima orang kaki tangan pemberontak itu adalah Ang Tek Hoat.
Sama sekali pemuda ini tidak menyangka bahwa gerak-geriknya sudah diketahui
oleh dua orang pemuda laln, dua orang putera dari Pulau Es yang amat lihai!
***
Jenderal Kao Liang sudah merasa tidak enak
hatinya semenjak dia meninggalkan kereta. Sebagai seorang panglima perang yang
hidupnya selalu berhadapan dengan bahaya maut, agaknya di dalam dirinya sudah
terdapat ketajaman perasaan apabila dia terancam bahaya. Maka di samping
kekecewaannya dan penyesalannya akan peristiwa yang menimpa dirinya, dipanggil
oleh Kaisar tanpa sebab dan secara tiba-tiba itu, diam-diam dia telah
mempersiapkan diri untuk menjaga dirinya baik-baik, karena dia hampir merasa
yakin bahwa di balik panggilan Kaisar ini tentu tersembunyi sesuatu yang
mengancam keselamatan dirinya.
Pagi-pagi rombongan itu meninggalkan dusun,
diantar dan ditonton oleh semua penduduk dusun itu, dan tentu saja, seperti
kebiasaan di jaman itu, bahkan kebiasaan di jaman dahulu sampai sekarang, para
pembesar setempat tidak melupakan “kewajiban” mereka untuk membekali apa-apa
yang berharga untuk pembesar utusan Kaisar yang mulia berikut seluruh perwira
dan pasukan pengawalnya, dengan harapan tentu saja bahwa jasa baik mereka ini
akan memperoleh imbalan dari atasan atau setidaknya pujian yang akan
memperkuat kedudukan mereka sebagai pemimpin dusun itu!
Akan tetapi, mereka itu sama sekali tidak
berani memberi sesuatu kepada Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya, karena
mereka sudah cukup mengenal akan watak jenderal ini yang pasti akan marah
keras kalau ada pembesar setempat memberi apa-apa kepadanya secara tidak wajar
dan tidak semestinya.
Dengan gembira, kecuali Jenderal Kao dan dua
orang pengawalnya yang maklum dan dapat merasakan kedukaan pemimpin mereka,
rombongan itu meninggalkan dusun menuju ke bukit di depan. Setelah melewati
bukit yang melintang di depan itu, mereka akan tiba di daerah yang makmur dan
ramai, di mana banyak terdapat kota dan dusun yang akan menyambut mereka dengan
penuh penghormatan dan perjalanan tidaklah begitu sukar lagi seperti di daerah
padang pasir ini. Masih teringat oleh utusan Kaisar dan para penglkutnya betapa
di kota-kota dan dusun-dusun di seberang perbukitan itu, ketika mereka
berangkat ke utara, mereka disambut dengan segala kehormatan dan keramahan. Dan
masih terasa oleh mereka akan keramahan beberapa orang pembesar setempat,
sedemikian ramahnya mereka sehingga selain hidangan makanan lezat dan bekal
perak dan emas, juga di waktu bermalam mereka disuguhi wanita-wanita cantik
untuk menemani dan menghibur mereka! Sungguh suatu pelayanan istimewa yang
dipergunakan oleh para pembesar dalam menjamu tamu-tamu agungnya, pelayanan
yang juga sudah ada semenjak jaman kuno sampai sekarang!
Hari itu panas sekali. Matahari memuntahkan
cahayanya dengan bebas tanpa penghalang. Rombongan itu bersama kuda mereka
mandi keringat mendaki perbukitan. Berkali-kali pembesar utusan Kaisar
mengeluh panjang pendek. Baju-baju bulu tebal yang mereka terima sebagai hadiah
kepala dusun dan yang indah dan mahal, yang tadi mereka pakai ketika meninggalkan
dusun itu dengan penuh kebanggaan, kini mulai dirasakan mengganggu. Pembesar
itu sudah menanggalkan baju bulunya, meletakkannya di atas pelana kuda di
depannya, bahkan membukai kancing bajunya untuk mengurangi kegerahan. Demikian
pula para perwira dan pasukan pengawal. Hanya Jenderal Kao dan dua orang
pengawalnya yang tetap saja tidak berubah. Mereka adalah perajurit-perajurit
sejati yang sudah biasa akan segala penderitaan badan, sudah biasa akan
serangan panas hebat dan dingin membeku. Biarpun muka dan leher mereka penuh
keringat, namun mereka tidak pernah mengeluh, dan menganggap hal ini wajar
saja.
“Setan keparat, panasnya!” Pembesar gendut
utusan Kaisar mengeluh dan menyeka muka dan leher dengan saputangan sutera
yang sudah basah kuyup. “Dimakan setan aku kalau pernah menderita kepanasan
seperti ini. Keparat! Hayo kita mengaso di depan sana, di lapangan rumput yang
teduh itu!” Dia menunjuk ke depan dan rombongan itu mempercepat jalannya kuda
mereka menuju ke pohon besar sehingga tempat itu cukup teduh.
Akan tetapi baru saja mereka semua turun dari
kuda di bawah pohon, tiba-tiba Jenderal Kao Liang meloncat bangun lagi dan
berseru, “Awas....!”
Semua orang terkejut dan memandang. Ternyata
tempat itu telah dikurung oleh belasan orang, dipimpin oleh seorang pemuda
tampan dan dua orang kakek aneh, yang seorang berbaju bulu tebal bermuka putih,
yang seorang lagi bertelanjang baju bermuka merah.
“Hei, kalian mau apa....?” Baru saja seorang
pengawal membentak demikian, dia sudah roboh berkelojotan karena perutnya
pecah disambar golok seorang di antara mereka! Tentu saja kejadian ini membuat
semua orang terkejut. Para pengawal segera mencabut senjata masing-masing,
enam orang perwira pengawal meneriakkan aba-aba dan pasukan itu cepat membentuk
lingkaran melindungi pembesar gendut dan Jenderal Kao. Pembesar itu berdiri
dengan muka pucat, lalu membusungkan dadanya dan berkata dengan lantang, “Heii,
kalian orang-orang gagah, dengarlah baik-baik! Aku adalah seorang utusan
istimewa dari Kaisar! Jangan kalian berani mengganggu rombongan kami karena
hal itu berarti pemberontakan!”
Terdengar suara terkekeh-kekeh yang diikuti
oleh suara ketawa semua orang yang mengurung tempat itu, kecuali Si Pemuda
Tampan. Yang terkekeh itu adalah dua orang kakek aneh tadi. Kakek bermuka
merah, bertubuh kurus kering dan bertubuh telanjang bagian atasnya sambil
terkekeh meloncat dan tahu-tahu tubuhnya melayang melalui kepala para pengawal,
dan turun di dekat pembesar utusan Kaisar.
“Memberontak? Heh-heh, memberontak!” katanya
sambil mengeluarkan sebatang pecut baja yang tadinya melingkari pinggangnya.
“Pemberontak! Tangkap mereka!” Pembesar gendut
itu berteriak, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara meledak, pecut itu
menyambar dan pembesar gendut tadi menjerit dan roboh dengan kepala hampir
remuk!
“Manusia jahat!” Jenderal Kao membentak, dia
sudah mencabut pedang dan menerjang ke depan dengan pedangnya, menyerang kakek
telanjang.
“Singg.... tarr.... cringgg....!”
Jenderal Kao terkejut dan terhuyung ke belakang. Pertemuan senjata itu membuat
lengannya tergetar hebat, tanda bahwa kakek itu memang lihai bukan main.
“Lam-thian Lo-mo, tinggalkan dia untukku!”
teriak Si Pemuda Tampan dan tubuhnya sudah melayang ke atas. Sementara itu,
pasukan pengawal sudah bergerak dan terjadilah perang kecil yang seru di antara
para pengepung dan para pengawal. Enam perwira itu pun mengamuk dengan senjata
mereka. Dua orang kakek kembar itu bukan lain adalah Siang Lo-mo yang amat
lihai. Mendengar seruan pemuda tampan yang bukan lain adalah Tek Hoat itu,
Lam-thian Lo-mo tertawa dan meninggalkan Jenderal Kao, lalu bersama saudaranya
yang berbaju bulu mereka berdua mengamuk dan merobohkan para pasukan dengan
mudahnya. Mereka segera dikurung oleh enam orang perwira pengawal.
Sementara itu, Tek Hoat telah meloncat tinggi
ke arah Jenderal Kao sambil membentak, “Jenderal Kao, kau ikut bersamaku!”
Dari kanan kiri, dua orang pengawal pribadi
jenderal itu menyambut dengan pedang mereka, menusuk dari kanan kiri ke arah
tubuh pemuda tampan yang tidak bersenjata itu. Tek Hoat mengeluarkan suara
mendengus dari hidungnya, dan dengan kedua tangan telanjang dia menyambut
datangnya dua pedang dari kanan kiri, menangkap pedang tajam itu dan sekali
dia mengerahkan tenaga, pedang-pedang itu patah! Dua orang pengawal terkejut
sekali, akan tetapi tampak dua sinar terang menyambar dan dua orang itu
menjerit dan roboh terjengkang, dada mereka tertembus oleh potongan pedang
mereka sendiri yang disambitkan oleh Tek Hoat.
Bukan main kagetnya hati Jenderal Kao
menyaksikan hal itu. Dua orang pengawal pribadinya adalah orang-orang yang
memiliki kepandaian cukup tinggi, namun mereka dirobohkan secara demikian mudah
dan aneh oleh pemuda ini.
“Siapa kau? Mengapa kau menyerang kami?”
Jenderal Kao bertanya.
Pemuda itu hanya tersenyum, tidak menjawab,
hanya melangkah maju menghampiri Jenderal Kao, sikapnya ini bahkan menimbulkan
ancaman mengerikan. Tiba-tiba terdengar seruan halus, “Kao-goanswe, tenanglah,
serahkan saja pemberontak she Ang ini kepada kami!”
Dua bayangan orang berkelebat menyambar. Yang
seorang turun di depan Jenderal Kao melindungi, yang seorang lagi langsung
menghantam dengan tangan kosong ke arah lambung Tek Hoat sambil berteriak,
“Manusia sombong, rasakan perhitunganku ini!” Pemuda yang menyerang ini bukan
lain adalah Suma Kian Bu, dan dia telah mengerahkan sin-kang memukul lambung
lawan.
“Eihhh....! Desss....!”
Tangkisan Tek Hoat membuat keduanya terpental
dan keduanya terkejut setengah mati. Kian Bu terkejut karena baru sekarang dia
bertemu dengan lawan yang demikian kuatnya, yang membuat pukulannya yang
mengandung sin-kang Hwi-yang Sin-ciang tadi membalik karena bertemu dengan
hawa pukulan yang amat kuat. Di lain pihak Tek Hoat juga terkejut karena
tangkisannya tadi membmat lengannya tergetar dan terserang oleh hawa yang amat
panas. Tahulah dia bahwa pemuda di depannya ini adalah seorang yang amat lihai.
Juga dia heran mengapa dua orang pemuda ini telah mengenal namanya. Akan tetapi
karena pada saat itu dia menghadapi tugas amat penting, yaitu menculik Jenderal
Kao, dia tidak mempedulikan hal ini.
“Siang Lo-mo, harap kalian hadapi bocah ini!”
teriaknya.
Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo meloncat
ke depan dan cambuk baja mereka meledak-ledak mengancam Kian Lee dan Kian Bu.
Dua orang kakek kembar ini tadi dalam waktu singkat telah merobohkan enam
orang perwira yang mengeroyoknya dengan amukan cambuk mereka!
“Bagus, dahulu kami tidak sempat membunuh
kalian!” teriak Kian Bu yang cepat menerjang maju menghadapi cambuk di tangan
Lam-thian Lo-mo.
“Tar-tar-tar.... wuuuuttt.... desss....!”
Lam-thian Lo-mo mengeluarkan seruan kaget.
Sambaran cambuknya tadi dua kali dapat dielakkan pemuda itu dan yang ke tiga
kalinya bahkan ditangkis oleh tangan kiri pemuda itu sedangkan tangan kanan
pemuda itu memukulnya dengan dahsyat. Ketika dia menangkis dengan tangan
kirinya, dia merasakan hawa yang amat dingin menyusup ke lengannya!
Juga Pak-thian Lo-mo berhadapan dengan Kian
Lee yang langsung mengirim pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan Swat-im
Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), ilmu khas dari Pulau Es. Pukulannya ini
membuat cambuk Pak-thian Lo-mo terpental dan kakek ini terhuyung karena
terdorong oleh hawa pukulan yang selain amat kuat juga mengandung hawa dingin
sekali.
“Pulau Es....!” Siang Lo-mo berseru hampir
berbareng.
“Dulu kalian menyerang pulau kami, sekarang
kalian membantu pemberontak. Manusia-manusia jahat!” Kian Lee membentak dan
dua orang kakak beradik ini kembali telah menyerang dengan hebatnya. Siang
Lo-mo terpaksa mengerahkan seluruh fenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi
dua orang pemuda Pulau Es itu, bahkan berteriak memanggil teman-temannya untuk
membantu mereka.
Sementara itu, Tek Hoat sudah menerjang
Jenderal Kao. Jenderal ini yang maklum akan kelihaian pemuda yang memimpin
penyerbuan itu, cepat menggerakkan pedangnya menyambut dengan serangan
dahsyat. Namun dengan amat mudahnya Tek Hoat mengelak beberapa kali, kemudian
tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan dan uap hitam menyambar. Jenderal
Kao terkejut, sudah cepat mengelak, namun maslh ada bau uap hitam itu tersedot
olehnya. Tiba-tiba dia merasa pening dan dia tidak dapat menghindarkan lagi
ketika pergelangan tangannya tercium ujung sepatu Tek Hoat yang tadi menggunakan
uap beracun. Pedang jenderal itu terlempar dan di lain saat dia telah roboh
tertotok oleh Tek Hoat yang amat lihai. Andaikata pemuda ini tidak
mempergunakan uap beracun yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Jenderal
Kao, kiranya tidaklah begitu cepat dia dapat merobohkan jenderal yang perkasa
ini. Namun Tek Hoat sudah merasa khawatir kalau-kalau tugasnya gagal ketika
melihat munculnya dua orang pemuda yang amat lihai itu, maka dia mengeluarkan
kelihaiannya menggunakan racun, atau pukulan beracun yang dapat mengeluarkan
uap hitam, satu di antara ilmu-ilmu yang dia pelajari dari kitab-kitab para
datuk Pulau Neraka. Cepat bagaikan seekor burung walet, Tek Hoat sudah
menyambar tubuh jenderal itu dan biarpun jenderal itu bertubuh tinggi besar,
namun dengan ringannya Tek Hoat dapat memanggulnya dan membawanya lari seperti
kijang melompat.
Melihat hal ini, Kian Lee dan Kian Bu terkejut
sekali. Mereka mendengar dari Milana bahwa Jenderal Kao memiliki ilmu
kepandaian tinggi, dan tadi pun mereka sudah melihat gerak-gerik jenderal itu
memang cukup hebat, akan tetapi mereka sama sekali tidak menyangka bahwa dalam
beberapa jurus saja jenderal itu telah dapat dirobohkan dan ditawan oleh pemuda
yang amat lihai itu! Mereka tentu saja hendak mengejar dan menolong jenderal
yang telah duculik, akan tetapi Siang Lo-mo dan beberapa orang pembantunya
sudah mengepung dan menyerang mereka berdua dengan hebat. Kini Siang Lo-mo
sudah ingat kepada dua orang pemuda ini. Beberapa tahun yang lalu, ketika
mereka dan beberapa orang tokoh dunia persilatan golongan sesat menyerbu Pulau
Es, dua orang pemuda ini juga membantu keluarga Pendekar Super Sakti sehingga
mereka semua dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri dari Pulau Es. Dari
pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa, pukulan khas dari Pulau Es
karena kiranya tidak ada tokoh dunia persilatan yang mampu mempergunakan
pukulan seperti itu kecuali keluarga Pulau Es, mereka dapat mengenal Kian Lee
dan Kian Bu. Maka Siang Lo-mo lalu menggerakkan seluruh kepandaian dan para
pembantunya untuk mengepung dua orang pemuda berbahaya ini.
Kian Lee dan Kian Bu juga maklum bahwa tidak
mungkin seorang di antara mereka meninggalkan gelanggang pertempuran untuk
mengejar pemuda yang menculik Jenderal Kao. Pihak pengeroyok yang dipimpin oleh
Siang Lo-mo ini cukup kuat dan berbahaya sehingga perlu dilayani oleh mereka
berdua. Kalau seorang di antara mereka pergi mengejar penculik Jenderal Kao,
berarti meninggalkan saudara terancam bahaya.
“Kalian memang pantas dibasmi habis!” Kian Bu
berteriak marah sekali dan kini gerakannya seperti seekor burung rajawali
mengamuk. Biarpun dia dan kakaknya tidak bersenjata, namun mereka memiliki
gerakan yang amat tangkas dan cepat sekali, bahkan tidak kalah cepatnya oleh
gerakan cambuk-cambuk baja di tangan Siang Lo-mo! Kian Lee dan Kian Bu mengamuk
hebat dan dalam gebrakan selanjutnya, mereka telah merobohkan empat orang
pengeroyok dan memaksa Siang Lo-mo untuk melangkah mundur sampai tiga tindak.
“Lee-ko, kita basmi mereka!” seru Kian
Bu yang sudah marah.
“Tidak, Bu-te. Mari ikut aku, kita harus
menolong Jenderal Kao!” Kian Lee berkata. Mereka menggunakan kesempatan selagi
para pengeroyok mundur karena gentar menghadapi sepak terjang mereka, untuk
meloncat cepat seperti sepasang rajawali sakti, meninggalkan lapangan
pertandingan secara berbareng.
“Wir-wirrr....!”
“Sing-sing....!”
“Siuuut....!”
Senjata-senjata rahasia yang bermacam-macam,
ada piauw, paku, jarum dan peluru baja menyambar ke arah Kian Lee dan Kian Bu.
Namun kedua orang muda itu tidak peduli, hanya melindungi tubuh mereka dengan
sin-kang, sehingga ketika senjata-senjata kecil itu mengenai tubuh belakang
mereka, senjata-senjata itu runtuh ke tanah seperti mengenai arca baja saja.
Hal itu membuat para pembantu Siang Lo-mo memandang dengan bengong dan
terbelalak kaget dan jerih.
“Hanya setan yang tahu bagaimana bisa muncul
dua bocah Pulau Es di sini!”
Pak-thian Lo-mo mengomel. “Hayo kejar mereka!”
Semua pengawal kaisar telah roboh, termasuk
pembesar utusan kaisar dan para perwira, juga dua orang pengawal pribadi
Jenderal Kao. Akan tetapi pihak Siang Lo-mo juga tinggal enam orang lagi,
delapan orang bersama mereka, dan kini mereka melakukan pengejaran. Akan tetapi
enam orang pembantu mereka mengejar dengan muka pucat dan hati jerih, apalagi
mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah orang-orang dari Pulau Es, nyali
mereka sudah terbang sebagian. Hati Siang Lo-mo menjadi lega ketika melihat
betapa dua orang muda itu mengejar ke arah jurusan yang keliru, bukan ke jurusan
di mana Tek Hoat melarikan Jenderal Kao seperti yang telah direncanakan semula.
Maka dua orang kakek ini bersama teman-temannya juga terus mengejar seenaknya,
apalagi karena memang dalam hal ilmu berlari cepat, mereka kalah jauh oleh dua
orang muda yang berlari seperti sepasang rajawali sedang terbang itu.
Kian Lee dan Kian Bu memang sudah kehilangan
jejak Tek Hoat. Penculik Jenderal Kao itu tadi berlari juga amat cepatnya,
sehingga ketika dua orang pemuda Pulau Es itu menghadapi pengeroyokan Siang
Lo-mo dan teman-temannya, Tek Hoat telah lari jauh dan lenyap. Kian Lee dan
Kian Bu mengejar tanpa arah, dan mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dibawa
oleh penculiknya menghadap kepada pemberontak, dan mengingat akan percakapan
mereka dengan Milana bahwa pemberontak secara diam-diam dipimpin oleh Pangeran
Liong, mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dilarikan oleh penculik lihai
itu ke kota raja. Karena ini, maka mereka pun melakukan pengejaran terus menuju
ke kota raja. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa Tek Hoat
membawa jenderal itu ke puncak pegunungan itu, di tempat tersembunyi di dalam
hutan yang sunyi, dan akhirnya memasuki sebuah kuil tua di hutan lebat itu.
Kian Lee dan Kian Bu mempercepat larinya
karena mereka mengambil keputusan bahwa apabila mereka tidak berhasil mengejar
penculik Jenderal Kao, mereka akan segera melaporkan hal ini kepada enci
mereka, Puteri Milana.
***
Ceng Ceng merasa betapa tubuhnya lemas, hampir
habis tenaga karena kelelahan dan juga amat laparnya. Dia memasuki hutan di
dekat puncak pegunungan kecil itu dan melihat sebuah kuil tua di tengah hutan,
dia lalu memasukinya dan menjatuhkan dirinya dengan lemas di atas lantai kuil
yang tidak terpelihara dan penuh dengan lumut karena atap di atas tempat itu
sudah berlubang sehingga air hujan dan sinar matahari dapat menerobos masuk
dan menciptakan lumut. Dia mengeluh perlahan dan memejamkan matanya. Dia tidak
mampu untuk menangis lagi. Sudah habis tangisnya, sudah terkuras kering air
matanya. Teringat dia betapa sejak peristiwa hebat yang terjadi di dalam guha
itu, sampai saat ini, dia tidak pernah makan atau minum!
Tubuhnya menggigil, gemetar dan perutnya
mengeluarkan bunyi. Dia membiarkannya saja bahkan lalu merebahkan diri. Begitu
lemas tubuhnya, pening kepalanya dan kosong perasaannya. Ketika dia memejamkan
matanya, terasa tubuhnya seperti melayang-layang. Aku kelaparan, pikirnya,
tubuhku lemas kepalaku pening. Akan tetapi betapa nikmatnya begini, betapa
nikmatnya rebah untuk tidak bangkit kembali. Betapa enaknya mati, daripada
hidup menanggung aib dan malu, menanggung derita yang amat hebat.
Tiba-tiba dia membuka matanya dan seperti ada
kekuatan baru, dia meloncat dan berdiri, mengepal tinjunya, matanya
bersinar-sinar dan muka yang pucat itu kini bersinar kemerahan seperti dibakar.
“Tidak....! Tidaaaakkk....!” Dia berteriak
dan baru sadar bahwa dia berteriak-teriak ketika mendengar gema suaranya
sendiri. Bibirnya bergerak-gerak, akan tetapi kini dia tidak berteriak lagi.
“Aku tidak boleh mati! Aku harus hidup, aku
harus mencari dia, aku harus membunuh dia, baru aku boleh mati!”
Timbul kembali semangat dan gairahnya untuk
hidup ketika di dalam himpitan kedukaan itu dia teringat akan sakit hatinya,
seolah-olah di dalam kegelapan dia melihat titik terang. Apalagi sekarang dia
memperoleh harapan baru untuk mencari pemuda laknat yang telah menghancurkan
harapan hidupnya setelah dia mendengar cerita pelayan Si Dewa Bongkok. Pemuda
itu katanya menuju ke kota raja! Jangankan hanya ke kota raja, biar pergi ke
neraka sekalipun akan dikejar dan dicarinya.
Gairah baru yang timbul itu membuat Ceng Ceng
berlari keluar dari kuil dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi membawa
seekor bangkai kelinci dan beberapa macam buah yang dipetiknya di hutan.
Kemudian dia memillh tempat yang bersih di dalam kuil tua, memanggang daging
kelinci dan mengisi perutnya yang sudah amat lapar.
Setelah perutnya kenyang, tenaganya pulih maka
mulailah dia mengantuk karena matanya pun sangat membutuhkan istirahat. Dia
membersihkan kolong meja di belakang sebuah arca Jilaihud yang besarnya
melebihi manusia itu, arca yang tidak terpelihara dan sudah berlumut karena
tertimpa hujan dan cahaya matahari. Seperti seekor kucing malas, Ceng Ceng
merebahkan diri di belakang arca dan melingkar, sebentar saja dia sudah
tertidur.
Ceng Ceng tidak tahu sama sekali akan apa yang
terjadi di luar kuil, tak lama kemudian dia tidur pulas. Dari dalam hutan, di
luar kuil itu, muncullah Ang Tek Hoat yang masih mengempit tubuh Jenderal Kao
Liang, diiringi oleh dua orang lain, yaitu seorang nenek yang berwajah kejam
dan seorang laki-laki tua berkepala gundul berpakaian pendeta berwarna kuning
yang sudah kumal. Hwesio tua bertubuh tegap itu memegang sebatang toya dan
mereka berdua mengiringkan Tek Hoat dengan wajah yang serius. Mereka ini
termasuk kaki tangan pemberontak yang diperbantukan kepada Tek Hoat di samping
Siang Lo-mo yang amat lihai itu.
Setelah tiba di depan kuil, Tek Hoat
melepaskan kempitan lengannya sehingga tubuh jenderal itu terjatuh ke atas
tanah. Jenderal Kao tidak mampu melawan lagi karena kedua kakinya telah ditotok
oleh pemuda lihai itu sehingga lumpuh dan dia hanya mampu menggerakkan tubuh
dari pinggang ke atas.
“Uhhh....!” Dengan sukar jenderal itu berhasil
bangkit duduk, memandang kepada Tek Hoat sambil tersenyum mengejek lalu
berkata, “Orang muda, engkau lihai sekali, Sayang engkau menjadi kaki tangan
pemberontak. Setelah kau berhasil menawanku, tidak lekas membunuh mau menanti
apa lagi?”
Tek Hoat tidak menjawab, hanya memandang
tajam, kemudian dia mengeluarkan dari balik jubahnya yang lebar itu sehelai
kertas putih, pit dan bak, kemudian menyodorkan alat-alat tulis itu kepada
Jenderal Kao sambil berkata, “Jenderal Kao, engkau sudah menjadi taklukan dan
tawanan kami. Akan tetapi mati atau hidupmu adalah engkau sendiri yang
menentukannya. Kami memberimu dua pilihan, yaitu engkau memilih hidup ataukah
mati.” Tek Hoat menghentikan sebentar kata-katanya dan Jenderal Kao
mendengarkan dengan sikap tidak peduli. Kemudian dia melanjutkan, “Kalau
engkau memilih hidup, tulislah pengakuan di atas kertas ini bahwa engkau
merencanakan pemberontakan dan bahwa Panglima Kim Bouw Sin telah berani
menentang usaha pemberontakanmu maka kau lalu menangkapnya. Nah, pengakuanmu
itu berarti hidup bagimu karena engkau akan kubebaskan. Kalau engkau menolak,
berarti engkau memilih mati.”
Tiba-tiba jenderal itu tertawa bergelak,
suara ketawanya bergema sampai jauh dan terdengar menyeramkan bagi Tek Hoat dan
dua orang pembantunya. Dengan sinar mata berapi dan wajah membayangkan
kegagahan, jenderal yang sudah tidak berdaya itu menjawab, “Orang muda, siapa
pun adanya engkau dan betapa lihai pun engkau, jangan harap untuk dapat
membujuk aku untuk melakukan perbuatan rendah itu dengan ancaman kematian. Aku
orang she Kao adalah seorang laki-laki sejati yang tidak gentar menghadapi
kematian. Bagiku, seribu kali lebih baik mati dalam kebenaran daripada hidup
bergelimang kehinaan. Andaikata aku memiliki sepuluh nyawa sekalipun akan kurelakan
semua daripada harus melakukan apa yang kauminta itu, apalagi nyawaku hanya
satu. Kau hendak bunuh, bunuhlah. Dunia tidak akan berubah dengan matinya
seorang manusia!”
Tek Hoat memandang kagum akan tetapi juga
mendongkol. Tugasnya adalah memaksa jenderal ini membuat surat pengakuan itu,
karena Pangeran Liong Bin Ong amat membutuhkan surat seperti itu untuk
menyatakan kebersihan dirinya dan melemparkan kekotoran pemberontak kepada
Jenderal Kao Liang sehingga dengan demikian dia akan dapat melanjutkan usaha
kotornya dengan aman. Kini, menghadapi sikap jenderal yang benar-benar amat
jantan, timbul rasa kagum di hati Tek Hoat. Akan tetapi dia teringat akan
tugasnya sendiri, teringat akan cita-citanya sendiri untuk meraih kedudukan
setinggi mungkin melalui pengabdiannya kepada Pangeran Liong, maka dia lalu
berkata dengan suara dingin, “Baiklah, engkau sendiri yang memilih mati dan
jangan kau mengira akan dapat mati dengan mudah dan enak saja.” Dia menoleh
kepada hwesio dan nenek itu sambil berkata, “Bikin api unggun yang besar. Kita
bakar dia hidup-hidup, hendak kulihat apakah dia masih begitu tenang menghadapi
kematian!” Dengan sikap ini Tek Hoat masih ingin menakut-nakuti jenderal itu
dengan harapan Jenderal Kao akan menurut. Akan tetapi jenderal itu bersikap
tetap tenang, bahkan dia tersenyum melihat dua orang itu mulai membuat api
unggun.
Melihat sikap jenderal itu, Tek Hoat menjadi
makin kagum. Dia lalu duduk di atas anak tangga kuil tua, menghadapi jenderal
yang duduk di atas tanah itu dan berkata, “Jenderal Kao, mengapa engkau
mati-matian membela Kaisar? Engkau bahkan siap mengorbankan nyawamu! Betapa
bodohnya engkau! Apakah kau tidak melihat bahwa engkau hanya diperbudak saja
oleh Kaisar dan keluarganya, oleh mereka yang duduk di atas? Engkau diperas
tenagamu, kesetiaanmu, engkau hidup di tempat terasing, setiap hari terancam
bahaya, selalu berperang dan semua itu hanya untuk mengamankan dan
menyenangkan kehidupan paraatasan yang hanya tahu berfoya-foya belaka. Betapa
bodoh untuk mengorbankan diri sendiri demi kesenangan dan kelangsungan hidup
makmur orang-orang lain!”
Jenderal Kao memandang pemuda itu sejenak,
sinar matanya tajam sekali. “Orang muda, aku tidak mengenalmu akan tetapi
engkau adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sayang
engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri sehingga engkau tidak lagi dapat
membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar, engkau tidak segan-segan
melakukan perbuatan rendah hanya untuk memenuhi keinginan dirimu yang mongejar
kesenangan belaka. Engkau tidak tahu dan tidak mengerti mengapa aku bersikap
seperti ini. Sama sekali bukan karena ingin menyenangkan dan menjaga
kelangsungan hidup makmur Kaisar dan keluarganya, melainkan demi kebenaran. Aku
seorang jenderal, seorang komandan pasukan yang tahu akan tugas dan kewajibanku
dan ini adalah benar, maka aku siap membela dengan jiwa ragaku, bukan
sekali-kali demi Kaisar, sungguhpun beliau merupakan satu di antara manusia
yang telah melepas budi kepadaku.”
“Hemm, kau keras hati, Jenderal Kao. Sayang
bahwa aku terpaksa akan membakarmu hidup-hidup. Betapa murahnya nyawamu, hanya
seharga pengakuan di atas kertas.”
“Terserah, aku siap untuk mati. Hanya kalau
boleh, sebelum mati aku ingin menyatakan terima kasih dan penghormatanku yang
terakhir kepada mereka yang telah melepas budi kepadaku ketika aku masih
hidup.”
Tek Hoat makin kagum. Jenderal ini selain
gagah perkasa, juga ternyata merupakan seorang jantan yang tidak melupakan
budi orang sampai saat terakhir. Berat baginya untuk menolak, maka dia
mengangguk.
“Aku akan bersembahyang di depan arca Jilaihud
dan menyembahyangi arwah mereka.” Sambil merangkak, menggunakan kekuatan kedua
lengannya saja jenderal itu naik anak tangga menghampiri meja besar, yaitu
meja sembahyang yang sudah butut di depan arca Jilaihud. Tek Hoat mengikutinya
dari belakang, siap dan waspada menjaga jangan sampai tawanannya ini meloloskan
diri.
Dari dalam saku baju dalamnya, jenderal itu
mengeluarkan beberapa helai gambar. Pertama-tama adalah gambar kaisar tua,
yaitu ayah Kaisar sekarang yang dianggapnya sebagai orang pertama yang telah
melimpahkan budi kepadanya dan kepada ayahnya dan kakeknya. Kemudian dia
mengeluarkan gambar-gambar kakeknya, ayahnya, dan ibunya, dan yang terakhir
sekali dia mengeluarkan sehelai gambar lain yang membuat Tek Hoat
terheran-heran. Gambar ini adalah gambar wajah seorang wanita muda remaja yang
cantik jelita. Gambar itu pun diletakkannya di atas meja, di sudut dan terpisah
dari gambar-gambar yang lain.
Ceng Ceng sudah sadar dari tidurnya ketika
mendengar suara ribut-ribut tadi. Dia mengintai dan dapat dibayangkan betapa
kaget hatinya ketika melihat bahwa yang ribut-ribut itu adalah Jenderal Kao
Liang yang menjadi tawanan dari pemuda yang amat dikenalnya, pemuda nakal yang
pernah menolongnya dari dalam sungai, Ang Tek Hoat! Dia tidak mengenal dua
orang yang lain, akan tetapi dapat menduga bahwa hwesio tua dan nenek berwajah
bengis itu tentulah pembantu-pembantu Tek Hoat, berarti kaki tangan
pemberontak! Tentu saja dia ingin sekali keluar dan menolong Jenderal Kao,
akan tetapi melihat jenderal itu lumpuh kedua kakinya, dia menahan diri. Ceng
Ceng adalah seorang gadis yang cerdik sekali, maka dia tidak menurutkan
hatinya menghadapi peristiwa itu. Dia maklum bahwa kalau dia muncul begitu
saja, tidak akan ada gunanya karena pemuda itu lihai bukan main. Ingin
menyelamatkan Jenderal Kao, jangan-jangan malah dia sendiri yang tertawan. Maka
dia menanti kesempatan yang baik dan hanya mengintai ketika Jenderal Kao mendekati
meja besar di depan arca untuk menyembahyangi leluhurnya.
Hampir saja dia menjerit ketika dia melihat
dan mengenal gambar gadis di atas meja itu. Gambar itu adalah gambar wajahnya!
Dialah yang disembahyangi oleh jenderal itu, di samping kaisar tua leluhurnya.
Mengertilah kini Ceng Ceng. Tentu jenderal itu menganggap dia sudah mati dan
mengingat betapa dahulu dia menolong jenderal itu sehingga tidak terjeblos ke
dalam sumur maut, maka jenderal itu menganggapnya sebagai penolongnya dan
selalu menyimpan gambarnya yang agaknya disuruh buat seorang ahli lukis yang
pandai. Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Ceng Ceng. Dia merasa
terharu sekali, keharuan yang membuat dia hampir nekat untuk menerjang ke
luar.
“Heiii....!” Tiba-tiba Tek Hoat berseru keras
ketika pemuda ini juga mengenal gambar Ceng Ceng. “Kiranya gambar dia....?”
Dan hal yang aneh sekall terjadi. Pemuda itu cepat membuang muka, membalikkan
dirinya dan tidak berani memandang gambar Ceng Ceng! Hal ini adalah karena
pada dasarnya, Tek Hoat adalah seorang laki-laki yang juga menjunjung tinggi
kegagahan. Dia pernah bersumpah kepada Ceng Ceng bahwa setiap kali bertemu
dengan gadis itu dia tidak akan memandangnya. Kini, begitu mellhat gambar wajah
gadis itu, otomatis dia terdorong oleh janji sumpah itu dan dia membuang muka.
Ceng Ceng yang bersembunyi di balik arca besar
itu melihat keadaan Tek Hoat dan dia mengambil keputusan untuk menerjang ke
luar menolong Jenderal Kao yang sedang berlutut terhadap gambar-gambar itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding di dekat jenderal
jebol disusul masuknya sesosok tubuh seorang pemuda yang tinggi besar.
Ceng Ceng terbelalak memandang. Mukanya pucat
seketika dan jantungnya berdebar tegang, matanya mengeluarkan sinar berapi dan
bibirnya tertarik beringas, kedua tangan dikepal, napasnya agak terengah-engah.
Tentu saja dia mengenal wajah pemuda tinggi besar ini. Pemuda laknat yang telah
memperkosanya!
Melihat munculnya seorang pemuda tinggi besar
yang asing, hwesio tua pembantu Tek Hoat yang tadi membuat api unggun cepat
menerjang dengan tongkatnya karena dia menduga bahwa tentu pemuda ini datang
untuk menolong Jenderal Kao. Serangannya dahsyat sekali, toya di tangannya
mengeluarkan suara mengiuk ketika memecahkan angin dan menyambar ke arah kepala
pemuda tinggi besar itu. Akan tetapi pemuda itu tidak mengelak, melainkan
menggerakkan lengan kirinya menangkis.
“Dukkk....!”
“Ehhhh....!” Hwesio Itu terpental dan
terhuyung sampai lima langkah, terpaksa menggunakan kedua tangan untuk
memegangi toyanya yang hampir terlepas dari pegangannya! Pemuda tinggi besar
itu menggerakkan kepala dengan sikap gagah sekali dan rambutnya yang amat
panjang, gemuk dan hitam berputar melingkari lehernya dan dia siap berdiri
melindungi Jenderal Kao yang masih berlutut dengan kedua tangan terkepal dan
mata memandang tajam ke arah tiga orang lawan itu.
Tek Hoat terkejut dan maklum bahwa dia
berhadapan dengan lawan tangguh, sambil bertolak pinggang kiri, telunjuk
kanannya menuding dan dia membentak dengan suara nyaring, “Siapa kau berani
mencampuri urusan kami?”
Akan tetapi pada saat itu, terdengar lengking
nyaring dan dari balik arca besar meloncat sesosok tubuh manusia yang langsung
menerjang dan menyerang pemuda tinggi besar itu dengan kedua tangan terbuka,
kedua tangan yang melancarkan pukulan-pukulan beracun yang amat ampuh. Dari
kuku-kuku jari tangan itu menyambar angin dahsyat dan tercium bau harum yang
aneh, tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun amat hebat.
“Wut-wut-plak-plak, bretttt....!”
Pemuda tinggi besar itu pun terkejut, maklum
bahwa dia diserang orang dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman beracun yang
amat berbahaya, maka dia sudah mengelak dan kemudian menangkis dengan
lengannya, akan tetapi tetap saja ujung dengan bajunya yang digulung di bawah
sikunya tercengkeram dan robek.
“Huh.... pemberontak hina....!” Pemuda tinggi
besar itu menghardik, suaranya nyaring dan besar, matanya bernyala memandang
wajah orang yang menyerangnya. Wajah yang hitam hanya tampak matanya saja yang
bersinar-sinar penuh kebencian. Ceng Ceng telah melumuri mukanya dengan kotoran
dan hangus hitam di belakang arca besar sebelum dia melompat ke luar tadi. Dia
melakukan hal ini karena tadinya dia ragu-ragu melihat betapa pemuda laknat itu
ternyata datang untuk menolong Jenderal Kao! Kalau saja dia tidak merasa
enggan dan malu terhadap Jenderal Kao, tentu dia tidak akan menyembunyikan
mukanya. Akan tetapi, terjadi perang di dalam hatinya. Sebagian dia harus
bersyukur dan membantu pemuda yang datang menolong Jenderal Kao, akan tetapi
sebagian lagi mengingat akan kebenciannya dia harus menyerang dan sedapat
mungkin membunuh pemuda laknat itu! Maka ketika kebenciannya yang menang, dia
menutupi mukanya agar tidak dikenal oleh Jenderal Kao.
“Mampuslah!” Ceng Ceng membentak, kemudian dia
menubruk lagi ke depan dengan menggunakan seluruh sin-kang untuk mendorong
semua racun di tubuhnya ke dalam kedua tangannya.
“Dukk! Dess..... Aahh....!” Pemuda itu
mengeluh dengan kaget ketika merasakan lengan tangannya yang menangkis menjadi
panas dan gatal, tanda bahwa dia terkena racun yang amat ampuh. Akan tetapi di
lain pihak, Ceng Ceng tidak kuat menahan tangkisan pemuda yang luar biasa kuat
tenaga sin-kangnya itu sehingga dia terbanting ke kiri dan roboh bergulingan.
Ketika dia meloncat bangun lagi, pemuda tinggi besar itu telah memondong tubuh
Jenderal Kao dengan lengan kiri.
“Hendak lari ke mana kau?” Nenek pembantu Tek
Hoat meloncat ke depan dan nenek ini sudah menyerang dengan tangan kosong yang
dibentuk seperti cengkeraman kuku garuda. Terdengar suara bersiutan ketika
kedua cakar itu menyambar-nyambar, yang satu hendak meraih dan merampas
Jenderal Kao, yang lain mencengkeram ke arah leher pemuda tinggi besar.
Namun, dengan gerakan indah dan gesit, pemuda
itu mengelak, lalu menggunakan tangan kanannya menyambar ke depan, menangkap
pergelangan tangan yang berbentuk cakar itu dan sekali sendal, tubuh nenek itu
terjungkal dan terguling-guling sampal jauh!
“Wuuuutttt....! Singggg....!”
“Aihhh....!” Pemuda tinggi besar itu cepat
meloncat dan mukanya agak berubah. Ternyata Tek Hoat telah menyerang dengan
sebatang pedang yang mendatangkan hawa mengerikan. Itulah pedang Cui-beng-kiam
yang amat hebat, pedang peninggalan dari Datuk Pulau Neraka yang amat sakti.
Karena melihat betapa pemuda tinggi besar itu ternyata lihai sekali dan
Jenderal Kao telah dipanggulnya, Tek Hoat yang tidak ingin melihat tugasnya
gagal telah mengeluarkan pedang simpanannya dan menyerang pemuda itu.
Melihat betapa pemuda tinggi besar yang
memanggul tubuh Jenderal Kao itu masih dapat mengelak dengan sigapnya, Tek Hoat
menjadi amat penasaran. Tadinya pemuda ini menganggap dirinya sebagai seorang
yang memiliki ilmu kepandaian yang tidak ada lawannya. Akan tetapi ternyata
pemuda tinggi besar ini hebat sekali kepandaiannya dan kalau sampai jenderal
itu dapat dirampasnya, Tek Hoat akan merasa malu dan kehilangan muka terhadap
dua orang pembantunya itu. Bahkan Siang Lo-mo sendiri mengakui keunggulannya
dan dua orang tokoh besar itu tidak keberatan ketika ditunjuk oleh Pangeran
Liong Bin Ong untuk “membantu” dia karena mereka sudah mengenal kelihaian Tek
Hoat. Kalau sampai kini seorang pemuda saja mampu merampas Jenderal Kao,
benar-benar dia akan merasa malu sekali.
“Jahanam, jangan harap akan dapat lolos dari
sini....!” Tek Hoat menghardik marah sekali dan tubuhnya berkelebat cepat
mengejar ke depan. Gerakannya amat ringan dan cepat.
Pemuda tinggi besar itu kembali terkejut. Tak
disangkanya bahwa pemuda tampan yang menculik jenderal itu ternyata bukan main
lihainya. Dia hanya melihat bayangan berkelebat didahului sinar pedang
Cui-beng-kiam yang mendirikan bulu roma. Pemuda tinggi besar itu maklum bahwa
serangan ini bukan main hebatnya, pedang meluncur menusuk lehernya, sedangkan
tangan kiri pemuda itu meraih untuk merampas jenderal di pundaknya.
“Haiiittt....!” Pemuda tinggi besar itu
tiba-tiba mengeluarkan suara melengking keras sekali menggetarkan hati Tek Hoat
yang cepat mengerahkan khi-kangnya dan melanjutkan serangannya. Pemuda tinggi
besar itu menggerakkan kepalanya dari rambutnya yang panjang dan yang tadi
melingkar di lehernya itu mendadak mencuat ke depan menangkis pedang.
“Plakkk!” Ujung rambut itu terus membelit
pedang seperti ekor ular yang hidup. Tek Hoat terkejut sekali, lalu merobah
cengkeraman tangan kirinya menjadi pukulan yang disertai sin-kang kuat.
“Dessss....!” Lengan kanan pemuda tinggi besar
itu menangkis dan akibatnya membuat keduanya terkejut dan terhuyung sampai lima
langkah jauhnya! Pedang yang terlibat ujung rambut terlepas. Tek Hoat menjadi
merah mukanya. Hatinya makin penasaran dan kembali dia meloncat ke depan dan
menyerang pemuda tinggi besar yang masih memanggul tubuh Jenderal Kao dengan
tangan kirinya itu.
Pedang Cui-beng-kiam berkelebat dan kembali
disambut oleh ujung rambut yang tebal dan panjang. Kini Tek Hoat menggunakan
tangan kiri mendorong dengan telapak tangan terbuka dan hawa sin-kang yang amat
dahsyat menyambar ke depan. Dia telah mengerahkan sin-kang yang dipelajarinya
dari kitab peninggalan Bu Tek Siauw-jin yang disebut Tenaga Inti Bumi.
Dahsyatnya bukan kepalang dan debu mengepul tinggi ke arah pemuda tinggi besar
itu.
“Hebat....!” Pemuda tinggi besar itu berseru
kagum, kembali tangan kanannya menangkis dengan dorongan yang sama ke depan dan
kini yang bertemu di udara hanyalah dua tenaga sakti yang tidak kelihatan, akan
tetapi yang memiliki kekuatan dahsyat.
Pada saat itu, hwesio pembantu Tek Hoat sudah
menyerang dengan toyanya, menghantam punggung pemuda tinggi besar. Tentu saja
pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini tahu akan datangnya serangan toya,
akan tetapi karena dia sedang bertanding sin-kang dengan lawannya yang amat
tangguh dia terpaksa menerima gebukan itu.
“Bukkk....!” Pemuda tinggi besar itu mengeluh
sedikit, tubuhnya tergetar lalu tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang lalu
melarikan Jernderal Kao yang masih terpondong di pundak kirinya.
“Jangan lari.... ahh....!” Tek Hoat terkejut
sekali karena tiba-tiba orang yang mukanya hitam itu telah menyerangnya dengan
kedua tangan yang mengandung hawa beracun!
Tek Hoat mengelak dengan loncatan ke samping.
Dia menjadi bingung. Jelas bahwa orang bermuka hitam ini tadi menyerang pemuda
tinggi besar ltu mati-matian, akan tetapi mengapa kini berbalik menyerangnya?
“Apakah kau gila? Siapa kau?” bentaknya dan melihat orang itu tetap
menyerangnya dengan ganas, Tek Hoat menjadi marah. Tentu saja dia tidak takut
akan serangan orang itu dan untuk memperlihatkan kelihaiannya, dia menangkis
dengan lengan kiri sambil mengerahkan tangannya.
“Desss....!” Untuk kedua kalinya, tubuh Ceng
Ceng terlempar dan terbanting sampai bergulingan. Tubuhnya sakit-sakit rasanya,
akan tetapi di lain pihak Tek Hoat terkejut merasakan lengannya panas dan
gatal-gatal seperti habis menyentuh ular berbulu yang beracun!
“Keparat, kau berani menggunakan racun....?”
Tek Hoat menghardik dan kini dia melangkah maju, pedang Cui-beng-kiam tergetar
di tangan kanannya. Melihat ini, maklumlah Ceng Ceng bahwa dia tidak akan mampu
menang menghadapi Tek Hoat yang amat lihai itu. Maka dia cepat menggosok kedua
pipinya dan meloncat berdiri.
“Lihat, siapa aku? Berani kau melanggar
sumpah memandang aku?”
Sejenak Tek Hoat terbelalak dan memandang
bingung ketika mendapat kenyataan bahwa wajah yang tersembunyi di balik
kotoran hangus itu adalah wajah seorang dara yang cantik. Akan tetapi ketika
dia melihat sehelai saputangan dikeluarkan oleh gadis itu, teringatlah dia.
“Kau....?” Serunya kaget dan heran sekali,
akan tetapi otomatis dia lalu membalikkan tubuhnya membuang muka!
Ceng Ceng mempergunakan kesempatan ini untuk
meloncat keluar dari kuil tua setelah dia menyebar tiga macam racun bubuk yang
dulu dibawanya keluar dari dalam terowongan bawah tanah. Lalu dia menggunakan
ilmunya berlari cepat, meninggalkan pemuda yang masih membelakanginya itu.
Tek Hoat adalah seorang yang amat lihai.
Biarpun matanya tidak melihat, namun telinganya dapat menangkap gerakan Ceng
Ceng dan dia tahu bahwa dara itu telah meloncat pergi. Cepat dia membalik dan
merasa menyesal mengapa dia dahulu begitu mudah bersumpah sehingga kini dia
mengalami kesukaran dari gadis liar itu.
“Lari ke mana kau?” bentaknya karena dia
mulai merasa marah, merasa tertipu dan dipermainkan oleh gadis itu yang mempergunakan
sumpahnya sebagai senjata. Akan tetapi terkejutlah dia ketika mencium bau yang
luar biasa kerasnya, dan melihat tanah di depannya mengeluarkan asap seperti
terbakar! Tahulah dia bahwa gadis itu, entah bagaimana, kini telah menjadi
seorang ahli racun yang amat berbahaya. Dia berseru keras menahan napas dan
cepat meloncat tinggi melampaui tanah yang mengandung racun itu. Dia menoleh
dan bergidik. Racun-racun itu amat hebat, selain dapat membuat batu-batu
hancur, juga ada yang mengeluarkan bau keras mujijat yang memabokkan. Maka dia
mengambil keputusan untuk membiarkan Ceng Ceng pergi dan dia lalu berlari cepat
hendak mengejar pemuda tinggi besar yang telah melarikan Jenderal Kao dan yang
tadi telah dikejar oleh dua orang pembantunya.
Kurang lebih satu li jauhnya, ketika dia
berada di luar hutan, Tek Hoat berhenti tiba-tiba dan berdiri termenung
memandang mayat dua orang yang menggelatak di atas tanah. Mayat hwesio dan
nenek pembantunya tadi! Dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal
sekali mengapa pembantu-pembantunya begitu tidak becus, sedangkan orang-orang
yang membantu Jenderal Kao adalah orang-orang pandai, seperti pemuda tinggi
besar itu, dan dua orang pemuda tampan yang telah muncul secara tidak
terduga-duga ketika dia dan para pembantunya menyerbu rombongan Jenderal Kao.
Tak lama kemudian terdengar derap kaki banyak kuda dan ternyata yang muncul
adalah rombongan Siang Lo-mo yang juga tidak berhasil merobohkan dua orang
pemuda itu. Siang Lo-mo menyesal sekali mendengar bahwa Jenderal Kao yang telah
berhasil diculik itu terampas musuh, maka bersama Tek Hoat mereka lalu menuju
ke kota raja untuk melapor kepada Pangeran Liong Bin Ong akan kegagalan mereka.
Sementara itu, pemuda tinggi besar itu berlari
cepat sekali, menyimpang dari jalan raya yang menuju ke kota raja dan menjelang
senja dia berhasil membebaskan totokan di tubuh jenderal itu. “Dari sini ke
pintu gerbang kota raja tidak jauh lagi. Engkau terluka, orang muda. Marilah
ikut bersamaku ke kota raja,” kata Jenderal Kao sambil memandang wajah yang
gagah itu dengan rasa kagum dan suka.
Pemuda itu menggeleng kepala. “Silakan
Tai-ciangkun pergi ke kota raja. Sekarang sudah aman. Kita harus berpisah di
sini.” Setelah berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuhnya dan hendak
pergi.
“Nanti dulu....!” Jenderal Kao memegang
lengan pemuda itu, “Engkau terluka, perlu perawatan....”
Pemuda itu menoleh, menggeleng kepala. “Aku
tidak apa-apa, Ciangkun, harap jangan khawatir. Yang perlu, Ciangkun harus
cepat melarikan diri ke kota raja, dan biarlah aku yang menghadang mereka yang
hendak mengejarmu.” Setelah berkata demikian, pemuda itu melangkah pergi.
“Bagaimana kau dapat pergi begitu saja setelah
menyelamatkan aku? Setidaknya beritahukan kepadaku siapa namamu!” Jenderal
Kao berseru penasaran.
Pemuda itu berhenti, menoleh dan menjawab,
“Saya mendengar dari para penghuni dusun bahwa Ciangkun adalah Jenderal Kao
yang budiman, dan terkenal, sehingga siapa pun sudah sepatutnya membantu kalau
Ciangkun berada dalam kesulitan. Adapun aku.... aku seorang kelana yang tidak
punya nama. Selamat berpisah, Tai-ciangkun!” Pemuda itu berkelebat dan lenyap
di balik pohon-pohon di dalam hutan.
Jenderal Kao termenung sejenak, menarik napas
panjang lalu terpaksa melanjutkan perjalanan ke kota raja. Dia harus melaporkan
semua pengalamannya, akan tetapi dia menyesal sekali mengapa pemuda yang amat
dikaguminya, amat menarik hatinya itu tidak mau memperkenalkan diri. Juga dia
masih terheran-heran melihat munculnya orang yang mukanya hitam, yang tadinya
menyerang mati-matian kepada pemuda penolongnya, kemudian malah membalik dan
melindunginya dari pengejaran para penculik. Benar-benar telah muncul banyak
orang aneh yang berilmu tinggi, pikirnya. Juga ketika rombongannya diserbu kaki
tangan pemberontak, muncul dua orang pemuda remaja yang amat lihai.
Mengapa tiba-tiba saja dunia penuh dengan
orang-orang muda yang berkepandaian tinggi sekali dan berwatak aneh? Harus
diakuinya pula bahwa pemuda yang menculiknya, yang masih amat muda, telah memiliki
ilmu kepandaian yang mengejutkan dan mengerikan. Melihat adanya orang-orang
seperti dua orang kakek aneh dan pemuda lihai itu berada di pihak pemberontak,
tahulah dia bahwa keadaannya sudah berbahaya dan haruslah pihak Kaisar
cepat-cepat turun tangan. Dia akan merundingkan hal ini dengan Puteri Milana,
karena hanya puteri yang sakti itulah yang dia harapkan akan dapat
memperingatkan Kaisar dan mengatur kekuatan dari dalam untuk menghancurkan
pemberontak dan kaki tangannya. Sambil melanjutkan perjalanan secepatnya,
jenderal yang gagah perkasa ini beberapa kali mengepal tinju. Sejak muda dia
mengabdikan diri kepada kerajaan dan telah mengalami banyak hal. Dia hanya
mengenal satu cara untuk mengamankan dunia, untuk mengamankan negara, yaitu
dengan kekerasan, dengan tegas menghukum yang jahat dan dengan mati-matian
membela yang benar. Maka kini hanya ada satu niat yang tercurah di dalam
perhatian hati dan pikirannya, yaitu menumpas pihak pemberontak dengan
kekerasan, membasmi mereka tanpa mengenal ampun lagi, karena hanya jalan inilah
yang dianggapnya paling tepat untuk mengamankan negara.
Betapa banyaknya orang berpendapat seperti
Jenderal Kao, yaitu bahwa keamanan dan kedamaian hanya dapat dicapai melalui
kekerasan dan dengan cara membasmi mereka yang menentang. Ada pula orang
berpendapat bahwa kedamaian hanya dapat tercapai dengan jalan anti kekerasan
dan mengajar orang-orang supaya hidup baik dan bajik.
Kedua pendapat yang kelihatannya berlawanan
ini sebetulnya sama saja, yaitu ingin merubah keadaan kehidupan manusia di
dunia yang semenjak ribuan tahun sampai sekarang selalu penuh dengan
pertentangan, kekacauan, permusuhan dan kebencian ini. Yang pertama adalah
ingin membentuk dunia yang damai dengan cara kekerasan, yang kedua ingin membentuk
dunia yang damai dengan cara lain. Kita semua lupa agaknya bahwa dunia adalah
masyarakat, dan masyarakat adalah hubungan antara manusia, yaitu kita-kita ini
juga. Merubah dunia atau merubah masyarakat tidak akan mungkin apabila
kita-kita ini, masing-masing manusia, tidak berubah lebih dulu.
Pemberontakan demi pemberontakan, revolusi
demi revolusi, sepanjang sejarah berkembang, telah terjadi di seluruh pelosok
dunia. Namun, pemberontakan itu disusul oleh pemberontakan lain, revolusi
disusul oleh revolusi lain, pembaharuan disusul oleh pembaharuan yang lain.
Setiap bentuk revolusi lahiriah hanya mendatangkan permusuhan dan pertumpahan
darah, saling bunuh-membunuh dan akhirnya hanya menanam bibit kebencian pada
pihak yang kalah, dan menanam bibit kekuasaan kepada pihak yang menang. Di
bagian yang menang timbullah perpecahan-perpecahan lagi karena memperebutkan
pahala atas jasa-jasa mereka di dalam perjuangan yang lalu. Tentu saja di
dalam perebutan ini pun terdapat yang menang dan yang kalah. Yang menang akan
menduduki puncak pimpinan, sedangkan yang kalah, yang tidak kebagian akan
menjadi penasaran dan sakit hati, akan timbul keluhan dan tuntutan akan
ketidak-adilan dan muncullah pemberontakan-pemberontakan baru dari mereka yang
merasa dikesampingkan, mereka yang merasa berhak namun tidak memperoleh
bagian.
Sumber segala kekacauan ini, segala perebutan
ini, baik perebutan kekuasaan maupun perebutan harta benda, terletak pada diri
pribadi masing-masing manusia sendiri. Maka tidak mungkin menyalahkan kepada
masyarakat karena kita sendiri yang membentuk masyarakat. Dunia akan berubah,
masyarakat akan berubah kalau diri kita masing-masing berubah! Segala macam
pemberontakan, revolusi, pembaharuan sosial, akan gagal selama diri sendiri
masing-masing tidak berubah lebih dulu. Kalau manusianya sudah berubah,
otomatis masyarakat dan dunia akan mempunyai wajah lain! Tidak sekacau dan
sekejam ini di mana kebencian dan permusuhan tampak setiap saat di manapun
juga, di mana di satu pihak orang hidup berkelebihan di lain pihak ada yang
kelaparan.
Segala macam tindakan dalam hidup akan menjadi
palsu dan rusak apabila ditunggangi oleh si aku, karena tindakan itu tak lain
tak bukan hanyalah merupakan cara bagi si aku untuk mencapai tujuannya! Dan si
aku ini amatlah cerdik dan liciknya, amatlah lihainya seperti Kauw Cee Thian Si
Raja Monyet yang terkenal di dalam cerita See-yu yang pandai berpian-hoa
(berganti rupa) sampai menjadi tujuh puluh dua macam. Biasa saja si aku ini
bersembunyi di balik istilah-istilah muluk seperti tanah air, negara dan
bangsa, bendera pusaka, Tuhan, kemerdekaan, perdamaian, kebahagiaan, dan
sebagainya yang muluk-muluk lagi. Namun kalau kita mau membuka mata melihat
sesungguhnya apa yang berkecamuk di dalam batin dan pikiran kita, akan
tampaklah oleh kita bahwa semua itu hanya dipergunakan oleh si aku untuk
mencapai tujuan yang menguntungkan bagi si aku, baik keuntungan lahiriah maupun
keuntungan batiniah. Maka segala istilah itu lalu dibubuhi kata-kata “ku”,
menjadi negaraku, bangsaku, Tuhanku, dan sebagainya yang merupakan bentuk lain
dari pada si aku sendiri! Maka muncullah pertentangan yang tak dapat
dihindarkan lagi antara negaraku dan negaramu, agamaku dan agamamu,
kebenaranku dan kebenaranmu, Tuhanku dan Tuhanmu, dan sebagainya.
Mungkin usaha seperti yang direncanakan oleh
Jenderal Kao itu akan berhasil seperti yang dibuktikan dalam sejarah, namun
hasil ini untuk sementara, dan seperti dibuktikan oleh sejarah pula,
pemberontakan-pemberontakan timbul tenggelam di jaman Pemerintah Ceng seperti
juga di jaman pemerintah-pemerintah terdahulu. Setiap pemberontakan menentang
kekuasaan yang bercokol tentu diberi nama yang indah-indah dan gagah seperti
perjuangan demi rakyat, demi bangsa, bahkan ada kalanya menarik nama Tuhan tanpa
segan-segan lagi sampai pemberontakan itu berhasil menumbangkan kekuasaan yang
ada. Akan tetapi setelah kekuasaan baru timbul, disusul oleh pemberontakan
yang lain, yang lebih seru, dengan menggunakan rakyat, bangsa atau Tuhan
sebagai topeng, namun pada hakekatnya sama saja sungguhpun mungkin
istilah-istilahnya yang berbeda sesuai dengan jamannya.
***
Jenderal Kao Liang melanjutkan perjalanannya
ke kota raja dengan hati-hati. Dia maklum bahwa pihak pemberontak tentu tidak
akan membiarkan dia lolos begitu saja dan tentu akan berusaha untuk
menangkapnya kembali. Dia tidak takut akan bahaya yang mengancam dirinya, akan
tetapi dia lebih mengkhawatirkan keadaan negara. Dia harus berusaha sekuat
tenaga agar jangan sampai tertangkap pemberontak sebelum dia tiba di kota
raja, sebelum dia menyampaikan semua pengalamannya kepada Kaisar atau
setidaknya Puteri Milana. Mengertilah jenderal ini bahwa kalau sampai dia
tertawan atau terbunuh, tentu pihak pemberontak akan memutarbalikkan
kenyataan, melaporkan kepada Kaisar bahwa dialah yang akan memberontak dan
dengan demikian kedudukan para pimpinan pemberontak di kota raja menjadi aman
dan mereka dapat menyusun kekuatan. Tidak, dia tidak boleh tertangkap kembali.
Maka jenderal ini hanya melakukan perjalanan di waktu malam, kalau siang dia
bersembunyi dan pakaian perangnya pun sudah dibuangnya dan dia hanya memakai
pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa.
Dengan cara demikian, setelah lewat dua malam,
akhirnya sampailah jenderal ini di kota raja pagi-pagi sekali, menumpang pada
seorang pedagang sayur-sayuran yang mengangkut dagangannya dengan gerobak.
Setelah masuk di kota raja, jenderal ini tidak banyak membuang waktu lagi,
langsung saja dia menuju ke istana Puteri Milana dan kepada para pengawal yang
menjaga di depan dia minta berjumpa dengan puteri itu.
Para pengawal yang mengenal jenderal ini cepat
melapor kepada majikan mereka dan tidak lama kemudian, Jenderal Kao Liang yang
disuruh menunggu di kamar tamu disambut oleh Puteri Milana, Panglima Han Wi
Kong suami puteri itu, dan dua orang pemuda tampan yang segera dikenal oleh
jenderal itu. Melihat dua orang pemuda ini, Jenderal Kao cepat berseru,
“Bukankah Ji-wi yang telah datang menolong ketika rombongan kami diserang
pemberontak?”
“Sayang kami tidak berhasil menyelamatkanmu,
Goanswe,” kata Kian Lee.
“Siang Lo-mo dan para pembantunya dapat kami
pukul mundur, akan tetapi Goanswe telah dilarikan orang,” kata Kian Bu.
“Sudahlah, kita harus bergembira bahwa
ternyata Kao-goanswe dapat menyelamatkan diri dan tiba di sini. Kao-goanswe,
mereka ini adalah adik-adikku, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu dari Pulau Es,”
kata Milana.
“Ahhh.... pantas.... kiranya
putera-putera dari Pendekar Super Sakti!” jenderal itu berseru kaget, heran
dan kagum sekali.
“Goanswe, silakan duduk.” Han Wi Kong
mempersilakan jenderal itu dan mereka lalu duduk mengitari meja. Jenderal Kao
menceritakan semua pengalamannya, didengarkan oleh mereka berempat dan Puteri
Milana mengerutkan alisnya. Setelah jenderal itu selesai bercerita, Milana
mengangguk-angguk.
“Sudah pasti sekali bahwa tentu Pangeran Tua
yang menjadi biang keladi ini semua. Agaknya dia berhasil membujuk Kaisar untuk
memanggilmu, Goanswe, dan sementara itu dia telah menaruh kaki tangannya di tengah
jalan. Untung bahwa kau bisa lolos berkat pertolongan pemuda tak terkenal itu.”
“Nanti saya akan menghadap Kaisar untuk
membuka rahasia mereka itu!” Jenderal Kao berkata penuh rasa penasaran.
“Sebaiknya jangan begitu. Masih belum
waktunya untuk menentang mereka secara terbuka karena kita belum memperoleh
bukti pemberontakannya. Biarkan saya saja yang menyampaikan semua ini kepada
Kaisar, sedangkan Goanswe sebaiknya dengan diam-diam kembali ke utara, biar
dikawal dan ditemani dua orang adikku ini. Yang penting adalah agar supaya Kim
Bouw Sin si panglima pemberontak itu jangan sampai lolos. Dia merupakan saksi
dan bukti yang amat kuat untuk membongkar pemberontakan Pangeran itu.
Kao-goanswe sendiri maklum betapa kuat kedudukan dua orang Pangeran Liong,
pengaruh mereka besar dan tentu saja Kaisar merasa segan untuk menentang
adik-adiknya itu. Tanpa bukti dan saksi yang cukup, berbahayalah menentang
mereka secara terbuka.”
“Akan tetapi kalau dibiarkan saja, makin lama
kedudukan mereka makin kuat dan amat berbahayalah bagi negara.” Jenderal itu
membantah.
“Karena itu, tugas kita adalah dua. Pertama,
dengan kekuatan pasukan yang dipimpin oleh Goanswe, kita harus menindas
pemberontakan di manapun, dan aku akan membantu dari dalam untuk membersihkan
mereka dari kota raja. Ke dua, kita harus mengumpulkan bukti dan saksi
sebanyaknya dan sekuatnya untuk disampaikan kepada Kaisar agar pembersihan
dapat dilakukan dengan sah. Maka kalau Goanswe terlalu lama di sini dan
meninggalkan pasukan, saya khawatir kalau-kalau pasukan yang di utara dapat
dipengaruhi dan dikuasai pemberontak.”
Jenderal Kao menepuk meja. “Bagus sekali!
Memang apa yang Paduka kemukakan itu tepat semua dan harus dilaksanakan.
Baiklah, hari ini juga saya akan kembali ke utara setelah saya menjumpai
keluarga saya. Memang, yang terpenting adalah agar manusia rendah Kim Bouw Sin
itu tidak sampai lolos!”
“Kedua adik saya Kian Lee dan Kian Bu akan
mengawal dan menemani Goanswe,” kata Milana sambil mempersilakan Jenderal itu
minum teh panas yang dihidangkan oleh pelayannya.
“Hati saya akan menjadi tenang kalau begitu,”
kata Sang Jenderal karena dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian dua orang
muda ini, apalagi setelah sekarang dia tahu bahwa mereka adalah putera-putera
Pendekar Super Sakti!
“Kami akan menemani Goanswe dan sehidup semati
dalam perjalanan sampai ke benteng di utara,” kata Kian Lee.
“Akan tetapi sebaiknya kita berangkat
meninggalkan kota raja malam nanti....” kata Kian Bu.
“Eh, mengapa harus menanti sampai malam?” Kian
Le berkata.
Kian Bu mengejap-ngejapkan matanya kepada
kakaknya itu, akan tetapi Kian Lee tetap tidak mengerti. “Mengapa? Katakan
saja, mengapa harus malam nanti baru berangkat? Tidak usah pakai bahasa
rahasia, kita di sini berada diantara orang sendiri,” kata Kian Lee.
“Aihh, masa Lee-ko tidak mengerti? Tidak enak
kalau harus kukatakan begitu saja.”
“Adik Kian Bu, jangan membikin kami penasaran
karena ingin tahu. Mengapa kau mengusulkan demikian?” Panglima Han Wi Kong ikut
bicara.
“Waah, kalau begitu terpaksa saya bicara akan
tetapi harap Kao-goanswe lebih dulu maafkan saya,” Kian Bu berkata.
“Eh, tentu saja.... katakanlah apa yang
terkandung di hatimu, Siauw-sicu (Orang Muda Gagah),” jenderal itu berkata
sambil tersenyum.
“Kao-goanswe baru saja tiba dari utara, baru
saja terbebas dari ancaman bahaya maut, dan baru saja hendak menjumpai dan
berkumpul dengan keluarganya di kota raja. Bagaimana kami berdua tega untuk
mendesak-desaknya agar cepat-cepat meninggalkan mereka? Maka
sebaiknya
malam nanti kita berangkat.”
Milana tersenyum, Kian Lee menjadi merah
mukanya karena marah kepada kelancangan adiknya, Han Wi Kong mengangguk-angguk
dan Jenderal Kao tertawa bergelak sambil memegang pundak Kian Bu. “Siauw-sicu,
engkau jujur dan memperhatikan kepentingan orang lain. Sungguh bagus sekali!”
“Bu-te, kau memang nakal!” Milana menegur akan
tetapi sambil tersenyum. Sedangkan Kian Lee memandang adiknya itu dengan mata
penuh teguran.
Jenderal Kao berkata, “Memang saya setuju
dengan usul itu, bukan sekali-kali karena saya ingin terlalu lama melepas rindu
terhadap keluarga. Saya sudah tua, dan berpisah dengan keluarga sudah
merupakan hal yang tidak asing lagi bagi saya. Akan tetapi memang sebaiknya
kalau malam nanti baru kita berangkat agar tidak menarik perhatian pihak
pemberontak. Biarlah mereka menyangka bahwa saya masih menjadi buronan dan
sebaiknya kalau tahu-tahu saya telah berada kembali di benteng agar mereka
tidak sempat lagi mengusahakan lolosnya Kim Bouw Sin.”
“Memang tepat sekali, Kao-goanswe. Kim Bouw
Sin merupakan saksi yang penting sekali,” Milana berkata.
“Akan tetapi ada lagi orang yang lebih penting
dan yang amat membutuhkan perlindungan saya, yang terpaksa saya tinggalkan
ketika utusan Kaisar datang.” Jenderal itu berkata. “Dia itu adalah Puteri
Bhutan, Syanti Dewi.”
“Ehhh....?” Milana berseru kaget dan heran
sekali. “Bagaimana dia yang dikabarkan hilang itu bisa berada di utara?
Menurut para penyelidikku, Syanti Dewi berhasil lolos dari kepungan
pemberontak, dikawal oleh seorang gadis perkasa, akan tetapi lalu hilang, dan
kabarnya ditolong oleh seorang nelayan tua ketika Syanti Dewi dan pengawalnya
itu hanyut di sungai.”
“Memang demikianlah,” jawab jenderal itu. “Dan
nelayan tua itu adalah Gak Bun Beng taihiap yang mengantarnya ke benteng saya.”
“Ah....?” Seruan yang keluar dari mulut Milana
agak tergetar, namun dia sudah dapat menguasai hatinya yang berdebar keras,
sedangkan suaminya, Panglima Han Wi Kong, diam saja pura-pura tidak melihat
keadaan isterinya ketika mendengar disebutnya nama Gak Bun Beng.
“Sedangkan gadis perkasa yang mengawalnya itu
adalah adik angkat Sang Puteri sendiri, yang juga telah mendahului datang ke
benteng utara akan tetapi.... dia tewas ketika menyelamatkan saya. Gak-taihiap
meninggalkan Puteri Syanti Dewi kepada saya dengan harapan untuk melindunginya
dan kalau waktunya tiba mengantarnya ke kota raja atau kembali ke Bhutan. Akan
tetapi terpaksa dia saya tinggalkan ketika utusan Kaisar tiba. Saya amat
mengkhawatirkan keadaan puteri yang sudah saya anggap seperti anak saya sendiri
itu. Nah, sekarang saya harus singgah ke rumah dulu menjenguk keluarga,
kemudian saya akan cepat kembali ke utara dan saya bergembira sekali ditemani
oleh Ji-wi Siauw-sicu yang lihai ini.”
Semua orang mengangguk setuju dan tak lama
kemudian, dengan kereta milik Milana sendiri sehingga tidak akan ada yang
berani mengganggunya. Jenderal Kao bersembunyi di dalam kereta yang membawanya
ke gedung tempat tinggal keluarganya, di ujung kota raja sebelah timur. Kian
Lee dan Kian Bu mengawal di belakang kereta dengan menunggang kuda sehingga
orang-orang yang telah mendengar bahwa mereka adalah adik-adik dari Puteri
Milana, jadi juga masih cucu dari Kaisar, menduga bahwa yang berada di dalam
kereta tentulah Puteri Milana yang mereka kagumi.
Kereta itu memasuki halaman gedung keluarga
Jenderal Kao dan setelah jenderal itu turun dan menyelinap masuk diikuti oleh
Kian Lee dan Kian Bu yang disambut dan dipersilakan menunggu di ruangan tamu,
kereta itu kembali ke istana Puteri Milana. Tentu saja terjadi pertemuan yang
amat mengharukan dan penuh dengan kegembiraan dan pelepasan rindu antara
Jenderal Kao dan keluarganya.
Sementara itu Kian Lee dan Kian Bu kembali
dulu ke istana kakak mereka untuk membuat persiapan sebagai bekal di
perjalanan. Menjelang senja, barulah mereka berdua
datang ke
gedung keluarga Jenderal Kao dan untuk menanti datangnya malam kedua orang muda
ini asyik bermain siang-ki (catur) di ruangan tamu yang luas.
Jenderal Kao keluar sebentar menemui mereka
dan mengatakan bahwa mereka akan berangkat setelah malam menjadi gelap dan
keadaan di luar menjadi sunyi. Dia sudah mengatur dengan kepala penjaga malam
itu sehingga mereka akan dapat keluar dari pintu gerbang utara tanpa banyak
halangan dan dengan diam-diam. Dua orang kakak beradik itu menyetujui,
kemudian melanjutkan permainan catur mereka.
Setelah malam mulai sunyi, tampak sesosok
bayangan manusia berkelebat cepat sekali naik ke atas genteng gedung itu dari
arah kiri. Gerakannya lincah, ringan dan cekatan dan dia berindap-indap
mengintai ke bawah gedung dari atas genteng. Bayangan hitam ini bukan lain
adalah Ceng Ceng! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini telah
berhasil lolos dari kuil setelah dia membikin Tek Hoat tidak berdaya dengan
saputangan dan sumpah pemuda itu, kemudian melarikan diri sambil menyebar
racun sehingga Tek Hoat tidak mengejarnya. Ceng Ceng lalu menuju ke kota raja
dengan hanya satu tujuan, yaitu mencari pemuda laknat itu. Di tengah perjalanan
inilah dia melihat Jenderal Kao Liang. Hatinya girang sekali karena pemuda
laknat yang menjadi musuh besarnya itu tentu mempunyai hubungan dengan
jenderal ini, bahkan yang terakhir dia melihat pemuda itu menolong Jenderal
Kao. Akan tetapi, untuk keluar begitu saja menemui jenderal ini, dia tidak
sanggup. Pertama, dia masih teringat akan kebaikan jenderal ini kepadanya,
bahkan melihat betapa dalam menghadapi kematian, jenderal ini masih teringat
kepadanya dan bersembahyang kepada arwahnya! Kedua, dia kini merasa tidak
seperti dulu lagi, selalu timbul rasa rendah diri dan malu bertemu dengan
orang-orang yang dikealnya dahulu sebagai sahabat-sahabat baik. Ke tiga,
setelah pemuda itu menolong Jenderal Kao, tentu pemuda itu menjadi sekutu
jenderal ini. Bagaimana dia dapat menjumpai jenderal ini dan menanyakan pemuda
yang hendak dibunuhnya itu? Tidak, sebaiknya dia membayangi jenderal ini yang
tentu akhirnya akan membawanya bertemu dengan pemuda laknat itu!
Demikianlah, dengan hati-hati, Ceng Ceng
membayangi Jenderal Kao dari jauh, sampai jenderal itu memasuki kota raja.
Ketika jenderal itu memasuki istana Puteri Milana, dia tidak berani ikut masuk
karena malam telah terganti pagi dan istana itu dijaga ketat. Apalagi setelah
dia memperoleh keterangan bahwa istana itu milik Puteri Milana, dia makin tidak
berani masuk! Kakeknya dahulu telah berpesan kepadanya untuk membawa Syanti
Dewi kepada Puteri Milana. Sekarang, tanpa Syanti Dewi, bahkan dengan diri yang
sudah “kotor”, bagaimana dia berani berhadapan dengan Puteri Milana yang
dipuji-puji dan dijunjung tinggi namanya oleh mendiang kakeknya? Maka dia
menanti sambil bersembunyi di luar dan ketika dia melihat kereta yang dikawal
oleh dua orang pemuda tampan yang juga telah dikenalnya, diam-diam dia
membayangi pula. Girang hatinya ketika dia dapat melihat Jenderal Kao turun
dari kereta itu memasuki gedung. Apalagi ketika dia mencari keterangan dan
mendengar bahwa gedung itu adalah tempat tinggal keluarga Jenderal Kao Liang,
dia segera menanti dan mengintai sampai datangnya malam.
Kini Ceng Ceng sudah meloncat naik ke atas
genteng gedung itu. Kini timbul tekad di hatinya bahwa kalau dia tidak bisa
menemukan pemuda laknat itu di dalam gedung Jenderal Kao, dia akan menampakkan
diri dengan menutupi sebagian mukanya dengan saputangan, kemudian menanyakan
kepada jenderal itu tentang si pemuda tinggi besar.
Akan tetapi, Ceng Ceng sama sekali tidak
menyangka bahwa gerak-geriknya telah sejak tadi diikuti oleh dua pasang mata
yang memandang dengan penuh keheranan, kecurigaan juga kegelian. Yang
memandang ini adalah Kian Lee dan Kian Bu. Mereka berdua tadi masih asyik
bermain catur di ruangan tamu dan tentu saja pendengaran mereka yang sudah
terlatih secara hebat itu segera dapat menangkap suara tidak wajar dari atas
genteng. Keduanya saling pandang, mengangguk dan di lain saat mereka telah
mengintai dari balik wuwungan, mengawasi gerak-gerik Ceng Ceng dengan heran.
Kedua orang pemuda ini tidak turun tangan karena mereka terheran-heran mengenal
wajah Ceng Ceng ketika ada sinar lampu dari bawah menyorot ke atas tepat
menimpa wajah cantik itu.
“Dia....!” Kian Lee berbisik dan jantungnya
berdebar. Sejak bertemu dengan Ceng Ceng di pasar kuda, hatinya sudah tertarik
sekali oleh kecantikan dara ini dan sekarang, gadis yang seringkali
dikenangnya itu berada di atas gedung Jenderal Kao dengan gerak-gerik
mencurigakan sekali.
“Sssttt....” Kian Bu menegur.
“Bu-te, jangan.... jangan tergesa-gesa turun
tangan.... jangan sampai keliru, kita membayanginya saja....” bisik Kian Lee.
Kian Bu menahan senyumnya. Rasakanlah,
pikirnya. Setiap menghadapi wanita cantik, sikap kakaknya ini selalu dingin.
Baru sekarang kakaknya kelihatan gugup dan tegang melihat seorang gadis cantik!
Akan tetapi dia mengangguk setuju karena dia pun tidak ingin salah tangan
sebelum tahu apa maksud kedatangan gadis yang aneh itu.
Kini Ceng Ceng yang sama sekali tidak pernah
mengira bahwa dirinya dibayangi oleh dua orang pemuda yang amat lihai,
berlutut di atas genteng dan mengintai ke bawah, lalu melayang turun dengan
amat ringannya, berindap-indap menghampiri jendela dan mengintai dari balik
jendela dengan melubangi kertas jendela. Dari lubang kecil itu dia melihat
Jenderal Kao duduk menghadapi meja bersama seorang wanita setengah tua yang
masih cantik dan lemah lembut, dan dua orang anak laki-laki, bercakap-cakap
dalam suasana yang mesra. Ceng Ceng dapat menduga bahwa tentu jenderal itu
bercakap-cakap dengan isteri dan putera-puteranya. Dia melirik ke sana-sini,
namun tidak tampak pemuda laknat yang dicarinya. Hatinya kecewa sekali.
Dia sudah terlanjur masuk, penasaran kalau
sampai tidak menemukan orang yang dicarinya. Diambilnya segulung kertas,
kertas yang telah direndam obat yang dapat menimbulkan asap beracun yang
membius orang. Dia ingin membius mereka yang berada di dalam kamar itu agar
tertidur semua baru dia akan menggeledah dan mencari. Kalau tidak berhasil
menemukan pemuda itu, baru dia akan memakai topeng dan memaksa Jenderal Kao
memberitahukan di mana adanya si laknat itu.
Akan tetapi, baru saja dia hendak membakar
kertas itu pada lampu yang tergantung di situ, tiba-tiba terdengar bentakan
Kian Lee, “Nona, apa yang hendak kaulakukan itu?”
Melihat menyambarnya dua sosok bayangan orang
yang bagaikan sepasang burung rajawali melayang dari luar itu, Ceng Ceng
terkejut bukan main. Tidak ada jalan keluar baginya untuk lari karena dua
orang pemuda lihai itu melayang dari luar, maka cepat dia mendorong daun
jendela dan terpaksa dia meloncat ke dalam di mana Jenderal Kao dan anak isterinya
berada! Saking gugupnya, lupalah dia untuk menutupi mukanya dengan saputangan
dan baru dia teringat setelah dia telah berada di dalam kamar itu dan Jenderal
Kao sudah memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat, tanda
bahwa jenderal itu telah mengenalnya!
Maka cepat dia mengeluarkan bubukan putih dari
sakunya, meremas-remasnya dengan tangan kanan dan tampaklah asap putih tebal
mengebul dan menyelimuti dirinya.
“Kau.... kau.... Nona Ceng....” Jenderal Kao
hanya dapat berkata demikian karena hatinya tergoncang hebat.
Ceng Ceng cepat menggunakan asap tebal sebagai
selimut dan melompat lari melalui jendela di seberang lain dari kamar itu.
“Bangsat, hendak lari ke mana kau?” Dua orang
putera Jenderal Kao yang berada di situ hendak meloncat mengejar.
“Jangan.... mengganggunya....! Biarkan dia
pergi....!” Jenderal Kao membentak dan dua orang pemuda yang usianya belasan
tahun itu dengan kaget menahan gerakan mereka.
Dari jendela dari mana Ceng Ceng masuk tadi
berkelebat dua sosok bayangan dan Kian Lee bersama Kian Bu sudah berada di
dalam kamar itu. Lega hati mereka melihat bahwa keluarga Jenderal Kao selamat,
maka cepat mereka berlari ke arah jendela di seberang yang sudah terbuka.
“Ji-wi Siauw-sicu (Kedua Orang Gagah Muda),
harap jangan mengejar dia....!” kembali Jenderal Kao berseru keras kepada dua
orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka kaget dan heran, lalu membalik dan
memandang kepada jenderal itu.
“Dia.... dia tadi...., dia bukan manusia
melainkan arwah! Aihhh, sungguh kasihan Nona Ceng....!” Jenderal itu lalu
menoleh kepada dua orang puteranya. “Lekas kausuruh pelayan mempersiapkan meja
sembahyang. Aku harus menyembahyangi rohnya agar tidak penasaran dan dapat
tenang....”
Dua orang putera Jenderal Kao itu, yang bernama
Kao Kok Tiong berusia enam belas tahun dan Kao Kok Han berusia tiga belas
tahun, mengangguk dan meninggalkan kamar untuk melakukan perintah ayah mereka.
Kedua orang pemuda ini, seperti juga ayah mereka, sejak kecil sudah menerima
gemblengan ilmu silat dan ilmu perang, mereka memiliki kepandaian yang lumayan
dan amat taat serta tunduk kepada ayah mereka, sikap perajurit-perajurit yang
amat baik!
“Kao-goanswe, dia bukan arwah, dia manusia
biasa,” Kian Bu berkata.
Jenderal itu menggeleng kepala dan memandang
dua orang pemuda itu, wajahnya masih pucat sekali dan pandang matanya sayu.
“Aku belum menceritakan tentang dia secara panjang lebar kepada kalian dan
kepada Puteri Milana. Akan tetapi kalau tidak ada Nona Lu Ceng atau Candra Dewi
itu, sekarang aku tentu sudah menjadi setan penasaran di dalam sumur maut.”
Ketika dua orang puteranya kembali bersama
pelayan yang membawa meja dan segala keperluan sembahyang, jenderal itu
menceritakan tentang usaha pemberontak menjebaknya di sumur maut dan betapa Lu
Ceng telah menyelamatkan nyawanya dengan pengorbanan dirinya.
“Akan tetapi, kami berdua pernah berjumpa
dengan dia, Goanswe! Bahkan kami membantu dia menghadapi segerombolan orang
liar yang merupakan ahli-ahli tentang racun di Lembah Bunga Hitam!” Kian Bu
kembali membantah. “Dan memang dia amat berubah dibandingkan dengan dahulu,
dia menjadi liar dan ganas, akan tetapi....” Dia tidak melanjutkan karena di
ujung bibirnya sudah terdapat kata-kata pujian terhadap gadis itu.
“Yang kalian jumpai tentulah orang lain,
Siauw-sicu. Tidak mungkin dia, karena aku melihat dengan mata sendiri betapa
dia terjerumus ke dalam sumur maut, bahkan Gak-taihiap yang mencoba untuk
menyelidikinya, sudah pingsan ketika baru tiba di tengah sumur.”
“Akan tetapi dia tadi....” Kian Bu mencoba
membantah.
“Yang muncul tadi jelas adalah arwahnya.
Sungguh gadis yang amat baik.... sampai mati pun masih berusaha menemui dan
melindungiku. Dia menghilang bersama asap putih, dia.... dia arwah Nona
Ceng.... akan terus berkeliaran dan penasaran kalau tidak kusembahyangi.”
“Tapi....”
Kian Lee menyentuh tangan adiknya sehingga
Kian Bu tidak banyak bicara lagi. Dengan hati tidak karuan rasanya, bingung dan
juga penasaran, Kian Lee melihat betapa jenderal itu mengeluarkan sehelai
gambar nona yang telah menarik hatinya itu, memasang gambar itu pada meja
sembahyang, kemudian dia menyalakan lilin dan berkata kepada isteri dan kedua
orang puteranya, “Kalian lihat baik-baik wajah itu. Dialah yang telah
menyelamatkan nyawaku dengan mengorbankan diri dan nyawanya sendiri. Dialah
mgndiang Nona Lu Ceng atau Nona Candra Dewi dari Bhutan.”
Sebelum jenderal itu mengajak isteri dan dua
orang puteranya bersembahyang, tiba-tiba muncul seorang penjaga yang memberi
hormat kepada jenderal itu dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang
berkeras menyatakan hendak bertemu dengan keluarga Jenderal Kao Liang.
Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan sepasang
matanya memandang penjaga itu dengan marah, “Engkau mengatakan bahwa aku berada
di sini?”
Penjaga itu cepat memberi hormat dengan
berlutut. “Tentu saja tidak, Taijin. Saya telah menegurnya bahwa malam seperti
ini bukan waktunya orang bertemu, dan saya malah mengatakan bahwa tuan rumah,
yaitu Jenderal Kao Liang, bertugas di benteng utara. Akan tetapi dia berkeras
minta bertemu dengan keluarga jenderal, katanya ada urusan yang amat penting.
Sikap orang itu mencurigakan dan andaikata paduka tidak ada di sini, tentu saya
akan mengerahkan teman-teman untuk mengusirnya dengan kekerasan. Akan tetapi
karena paduka berada di sini, saya tidak berani lancang dan terpaksa
melapor....”
Wajah yang tadinya marah itu kini berseri.
“Bagus! Kau melakukan tugasmu dengan baik. Kalau begitu, antarkan dia masuk!”
“Ayah....!” Kao Kok Tiong berseru khawatir.
“Biarkan aku yang menemuinya.”
Ayahnya menggeleng. “Orang yang datang
malam-malam begini tentu hanya mempunyai dua maksud, yaitu kalau baik tentu dia
membawa kabar yang amat penting bagiku, sebaliknya kalau buruk tentu dia
berbahaya sekali. Maka biar dia langsung ke sini dan kuhadapi sendiri.”
Kian Lee dan Kian Bu mengangguk setuju dan
menganggap sikap jenderal ini amat bijaksana. Mereka berdua pun merasa curiga
sekali karena orang yang datang bertamu malam hari begitu, apalagi dalam
keadaan yang penuh ketegangan karena kehadiran Jenderal Kao di sini adalah
suatu rahasia, memang merupakan kejadian yang aneh dan amat mencurigakan.
Mereka berdua sudah siap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka menduga
bahwa orang yang datang itu lebih banyak membawa bahaya daripada membawa
kebaikan.
Tak lama kemudian terdengar derap langkah dua
orang menuju ke kamar itu. Semua orang memandang ke pintu dengan hati tegang.
Penjaga itu muncul, memberi hormat dan melapor, “Tamu telah datang menghadap!”
Jenderal Kao memberi isyarat supaya penjaga itu mundur. Penjaga itu melangkah
keluar dan muncullah tamu yang dinanti-nanti itu.
“Aha, kiranya engkau yang datang, orang muda
yang gagah?” Jenderal Kao berseru girang sekali ketika melihat bahwa tamu yang
muncul itu bukan lain adalah pemuda tinggi besar yang pernah menolongnya dari
tangan penculiknya ketika dia hendak dibakar hidup-hidup di dalam kuil tua.
Sambil memegang lengan pemuda tinggi besar itu, Jenderal Kao menoleh kepada
kedua orang pemuda Pulau Es dan kepada anak-anak dan isterinya, “Inilah dia
pemuda gagah perkasa yang telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi yang sama
sekali tidak mau menyebutkan namanya! Mari masuk, dan duduklah.”
Pemuda tinggi besar itu kelihatan canggung dan
sungkan. Dia menjura kepada jenderal itu dan semua orang, kemudian berkata
kepada Jenderal Kao, “Harap Tai-ciangkun sudi memaafkan kedatanganku yang
mengganggu ini. Sebetulnya, terpaksa sekali aku datang mengganggu....”
“Aihhh! Engkau adalah seorang pemuda perkasa,
penolongku yang budiman, bagaimana bisa mengucapkan kata-kata mengganggu?”
“Sungguh, kalau tidak terpaksa saya tidak akan
datang ke sini, Tai-ciangkun. Kedatanganku ini sama sekali tidak ada
hubungannya dengan peristiwa yang lalu diantara kita. Akan tetapi karena aku
mendengar bahwa Tai-ciangkun adalah komandan di utara, maka aku datang untuk
minta keterangan tentang diri seorang perwira yang belasan tahun yang lalu
bertugas di sana, dan tentu dia adalah anak buah Tai-ciangkun. Aku sedang
mencari-cari orang itu, maka harap Tai-ciangkun berbaik hati untuk memberitahu
kepadaku di mana adanya orang itu.”
Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan
mengangguk. “Tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin untuk membantumu,
orang muda. Siapakah adanya orang yang kaucari itu?”
“Iiihhh....” Jerit tertahan dari isteri
jenderal ini membuat semua orang memandang kepadanya. Wanita ini sedang
memandang pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
“Kenapa kau?” Jenderal itu membentak heran.
Isterinya hanya menggeleng kepala lalu menutupi mukanya.
“Nah, orang muda, katakan siapa orang yang
kaucari itu?”
“Aku.... aku tidak tahu namanya....” Pemuda
itu menjawab gagap dan kelihatan bingung. Memang dia bingung sekali. Ketika
dia masih kecil dan tersesat di gurun pasir, dia mengalami penderitaan yang
amat mengerikan, seolah-olah melihat maut mendekati dirinya sedikit demi
sedikit sehingga berkali-kali dia pingsan dan siuman kembali, batinnya
mengalami tekanan yang amat hebat dan berat. Ketika dia ditemukan oleh suhunya,
Si Dewa Bongkok, yang diingat hanyalah namanya sendiri, bahkan she-nya (nama
keluarga)nyapun dia sudah lupa, apalagi nama ayahnya. Akan tetapi samar-samar
dia masih ingat bahwa ayahnya adalah seorang perwira dan mengingat bahwa dia
tersesat di gurun pasir utara, maka tentu ayahnya itu seorang perwira di
benteng utara.
Kao Liang memandang tajam dengan alis
berkerut, penuh iba dan penasaran.
“Orang muda yang baik, bagaimana aku bisa
membantumu kalau kau tidak tahu nama orang yang kaucari itu? Apakah dia
musuhmu?”
“Dia.... dia adalah ayahku.... akan tetapi
aku tidak tahu namanya.... hanya kuingat bahwa dia adalah seorang perwira....”
Tiba-tiba Nyonya Kao bangkit dari tempat
duduknya, wajahnya masih pucat dan dia menghampiri pemuda tinggi besar itu,
langsung bertanya dengan bibir gemetar, “Kau.... kau.... siapa namamu....?”
Tentu saja sikap dan perbuatan nyonya ini
mengherankan semua orang. Pemuda tinggi besar itu memandang Nyonya Kao dengan
ragu-ragu, kemudian menjawab lirih, “Nama saya Kok Cu....”
“Kok Cu....?” Teriakan ini keluar dari mulut
empat orang, yaitu Jenderal Kao sendiri, isterinya, dan dua orang puteranya.
“Kok Cu anakku....!” Nyonya Kao sudah
menubruk dan merangkul leher pemuda tinggi besar itu sambil menangis.
“Kok Cu, ya Tuhan.... engkau ini....?”
Jenderal Kao juga sudah mencengkeram pundak pemuda tinggi besar itu, mukanya
pucat matanya terbelalak dan bibirnya bergetar menahan keharuan hatinya.
“Twako....!” Kao Kok Tiong memegang lengan
kakak sulungnya.
“Twako...!” Kok Han juga mendekat.
Tentu saja Kok Cu, pemuda tinggi besar yang
berambut panjang terurai itu, terkejut setengah mati dan sejenak dta terlalu
bingung. Kenyataan yang dihadapinya terlalu mengejutkan dan sama sekali tidak
pernah disangka-sangkanya. Siapa menyangka bahwa pembesar gagah perkasa yang
ditolongnya di tengah perjalanan itu, yang kemudian dia ketahui Jenderal Kao
yang dijunjung tinggi seluruh rakyat di daerah utara, ternyata adalah ayah
kandungnya sendiri! Sukar untuk menerima dan mempercayai kenyataan yang amat
mengejutkan ini.
“Ayah dan ibuku....? Ah, bagaimana....?” Dia
dipeluki empat orang yang sudah menangis saking bahagia dan terharu itu.
Jenderal Kao melihat kebingungan pemuda itu.
“Mari kita semua duduk. Kok Cu, dengarlah baik-baik. Ketika engkau dan ibumu
kubawa ke utara, pada suatu hari engkau lenyap ketika sedang bermain-main di
luar benteng. Pada waktu itu terjadi badai yang amat besar, maka kami semua
mengira bahwa engkau tentu telah terseret badai dan terkubur di dalam gurun
pasir karena berhari-hari kami mengerahkan pasukan mencarimu tanpa hasil.
Ketika itu engkau baru berusia sepuluh tahun. Adikmu Kao Kok Tiong ini baru
berusia setahun, dan adikmu yang bungsu Kao Kok Han belum terlahir. Memang
ketika itu aku belum menjadi jenderal, akan tetapi sudah menjadi komandan dari
benteng kecil di utara.” Jenderal itu lalu menuturkan dengan jelas sehingga
Kok Cu baru tahu bahwa dia adalah bermarga keluarga Kao.
“Ayah...., Ibu....!” Akhirnya dia menjatuhkan
dirinya berlutut di depan kedua orang tuanya itu. Ibunya memeluknya dan
Jenderal Kao tertawa bergelak, menenggak araknya sambil menoleh kepada Kian
Lee dan Kian Bu.
“Ha-ha-ha-ha, susah dan senang memang sudah
menjadi pakaian manusia hidup! Suka dan duka bersilih ganti menjadi bumbu
manis dan pahit dalam hidup! Ji-wi Siauw-sicu, di dalam keprihatinan yang hebat
bertemu dengan anak yang hilang, bukankah ini merupakan hiburan yang amat
menggembirakan?”
“Kao-goanswe, kami berdua menghaturkan
kionghi (selamat) kepadamu!” Kian Lee berkata sambil membungkuk bersama
adiknya.
“Terima kasih, terima kasih....!”
“Mengapa kalian begitu bodoh?” Nyonya Kao yang
masih merangkul puteranya itu berkata. “Apakah kalian tidak melihat betapa
miripnya dia dengan ayahnya? Lihat saja, bentuk badannya, mulutnya, hidungnya!
Begitu melihatnya, aku sudah menduganya.... aihh, Kok Cu, kedatanganmu
menambah umur ibumu....” Wanita itu tertawa dengan air mata bercucuran.
“Ayah....” Sebutan yang amat asing ini keluar
dari bibir pemuda tinggi besar itu dengan kaku. “Siapakah dua orang sahabat
yang gagah ini?”
“Hayo kuperkenalkan! Mereka ini adalah Suma
Kian Lee dan Suma Kian Bu, dua orang pemuda sakti putera dari Pendekar Super
Sakti, Majikan Pulau Es, adik-adik dari Puteri Milana, cucu dari Kaisar....”
“Cukuplah semua kementerengan itu,
Kao-goanswe!” Kian Bu berteriak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
“Saudara Kao Kok Cu, terimalah ucapan selamat
kami!” Kian Lee berkata.
Kok Cu balas memberi hormat dan ketika ayahnya
menceritakan akan pertolongan kedua orang pemuda itu ketika ayahnya terancam
bahaya, dia pun menghaturkan terima kasihnya. Pemuda tinggi besar ini sikapnya
tenang, agak kasar karena tidak biasa berbasa-basi, bahkan hampir buta huruf,
akan tetapi memiliki pribadi yang menarik, jujur, terbuka, dan tidak
berpura-pura, sungguhpun terlalu dalam untuk diukur, seakan-akan menyimpan
rahasia yang gelap dengan sikap diamnya.
“Ibu, saya melihat persiapan sembahyang....
siapakah....”
“Hai, Kok Cu, ayahmu telah terlalu banyak
menerima budi kebaikan orang!” Jenderal Kao berkata sambil memegang tangan
puteranya dan menariknya ke depan meja sembahyang. “Kami sekeluarga sedang
menyembahyangi arwah seorang penolong yang budiman. Engkau sebagai putera
sulungku, harus mengetahui mereka yang telah melepas budi kepada kita, agar
kelak kalau ayahmu tidak mampu membalas budi mereka, engkau sebagai anak
sulungku akan selalu mengingatnya.”
Jenderal ini bersama isterinya dan tiga orang
puteranya kini mulai bersembahyang, mengacungkan hio (dupa biting) dengan
penuh hormat kepada gambar yang dipasang di meja sembahyang.
Melihat betapa gambar gadis yang amat menarik
hatinya itu disembahyangi seperti telah mati, Kian Lee merasa jantungnya
seperti ditusuk dan dia memejamkan matanya. Ketika tangan Kian Bu menyentuh
lengannya, dia sadar dan membuka mata.
“Mereka itu salah duga....” Kian Bu berbisik.
“Dia belum mati.”
Kian Lee mengangguk dan menghela napas
panjang. “Akan tetapi tidak perlu kita menyangkal dan berdebat dengan mereka....”
“Ahhh....!”
Semua orang terkejut melihat pemuda tinggi
besar, Kok Cu, yang tadinya ikut bersembahyang meloncat ke belakang seperti
diserang ular kakinya, mukanya pucat dan dia memandang kepada gambar di atas
meja sembahyang.
“Hei, kau kenapa, Kok Cu?” Jenderal Kao
menegur. Mereka telah selesai bersembahyang dan tentu saja mereka terkejut
menyaksikan sikap pemuda itu.
“Ayah, siapa.... siapa yang kita sembahyangi
ini? Gambar siapa itu?” Dia menunjuk ke arah gambar Ceng Ceng di atas meja.
“Aku belum menceritakan tentang dia kepadamu,
Kok Cu. Mari duduk, akan kuceritakan padamu. Dia bernama Lu Ceng, seorang gadis
perkasa yang telah tewas mengorbankan diri dalam usahanya menyelamatkan nyawa
ayahmu. Kalau tidak ada dia ini, kiranya hari ini engkau tidak akan dapat
bertemu dengan ayah kandungmu.” Lalu Jenderal Kao menceritakan semua peristiwa
yang terjadi di sumur maut. Setelah dia selesai bercerita, dia bertanya,
“Kenapa kau kelihatan kaget melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng?”
Kok Cu menundukkan mukanya. Hanya dia yang
tahu betapa hatinya seperti diremas-remas, seperti ditusuki jarum-jarum
beracun. Perih dan penuh penyesalan hebat, membuat dadanya sesak dan mukanya
pucat. Terbayang di depan matanya peristiwa di dalam guha, tampak jelas olehnya
betapa dia telah melakukan hal yang amat hina di luar kehendaknya, betapa di
suatu saat dia seperti telah berubah menjadi seekor binatang buas, menjadi
setan yang amat jahat. Betapapun dia melawan, dia tidak dapat mengusai nafsu
birahinya yang didorong oleh racun-racun amat hebatnya sehingga terjadilah
perbuatannya yang amat keji, memperkosa seorang dara cantik jelita dan gagah
perkasa, dara yang muncul untuk menolongnya! Dia telah membalas pertolongan
orang dengan perbuatan yang sejahat-jahatnya, sekeji-kejinya yang dapat
diderita seorang wanita, yaitu memperkosa wanita yang menjadi penolongnya itu!
Kini, hatinya lebih parah lagi ketika mendapat kenyataan bahwa dara itu pun
telah menyelamatkan nyawa ayahnya tanpa mempedulikan keselamatan nyawanya sendiri!
Manusia macam apa dia ini! Dan ayahnya adalah seorang panglima besar yang amat
gagah, seorang yang dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat di utara, ibunya
seorang wanita yang demikian lemah lembut dan halus budi pekertinya, kedua
orang adiknya pun demikian tampan dan gagah. Dia.... ah, dia lebih keji dari
binatang, lebih jahat daripada setan. Dia tidak layak menjadi putera Jenderal
Kao Liang, tidak layak berada diantara keluarga terhormat itu!
“Kok Cu, kau kenapa? Mengapa wajahmu pucat
begitu?” Ibunya bertanya.
“Kok Cu, kau tadi kelihatan kaget ketika
melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng. Mengapa?” Jenderal Kao bertanya pula.
“Ayah, Ibu.... aku terkejut karena.... karena
aku pernah bertemu dengan Nona ini....” jawabnya. “Dia.... dia belum mati,
Ayah.”
“Nah, apa kata kami tadi, Kao-goanswe? Nona
itu memang belum mati. Saudara Kao Kok Cu, ketahuilah bahwa baru saja nona itu
malah muncul di kamar ini!” Kian Bu berseru saking girangnya bahwa mereka
berdua memperoleh teman untuk menjadi saksi bahwa nona itu belum mati!
Akan tetapi dia sendiri terkejut melihat
betapa mata Kok Cu terbelalak liar dan memandang ke kanan kiri seolah-olah
pemuda itu ketakutan mendengar bahwa gadis itu tadi berada di tempat itu!
Jenderal Kao Liang menghela napas panjang.
“Aku sendiri pun kalau bisa mohon kepada Thian agar dia masih hidup! Dan
mudah-mudahan begitulah! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang dapat bertahan
hidup setelah terjerumus ke sumur maut itu? Dan andaikata benar dia hidup,
mengapa dia tadi tidak menjumpai aku? Antara dia dan aku sudah seperti ayah
dan anak sendiri. Mengapa kalau dia masih hidup, dia bersikap demikian penuh
rahasia?” Tidak ada orang yang dapat menjawabnya, dan kedua saudara Suma
terpaksa harus mengakui keanehan ini di dalam hati mereka. Akan tetapi Kok Cu
mempunyai dugaan lain. Tentu saja nona itu berubah sikapnya setelah mengalami
peristiwa terkutuk itu, setelah menderita karena kebiadabannya! Siapa tahu nona
itu telah menjadi gila karenanya!
“Kok Cu, sekarang kauceritakan pengalamanmu
semenjak kau lenyap di dalam badai,” perintah Jenderal Kao.
Seperti orang dalam mimpi karena semua
pikirannya masih hanyut terbawa lamunannya terhadap nona yang diperkosanya,
Kok Cu menceritakan pengalamannya dengan singkat, betapa dia ditolong oleh
seorang manusia sakti berjuluk Si Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun
Pasir, diambil murid dan baru sekarang diperkenankan meninggalkan istana itu.
“Selain berusaha mencari ayah dan ibu yang
sudah kulupa namanya, aku pun memikul tugas dari suhu untuk mencari kitab yang
hilang tercuri orang. Dalam pengejaran mencari kitab itulah aku tertipu dan
tertangkap di Lembah Bunga Hitam, dan aku bertemu dengan Nona Lu Ceng di
sana....” Pemuda itu menghentikan ceritanya, bulu tengkuknya meremang karena
dia teringat akan perbuatannya terhadap dara itu dan baru saja mendengar bahwa
nona itu telah memasuki rumah orang tuanya.
“Kok Cu, kalau aku tidak salah menghitung,
usiamu sudah dua puluh enam tahun sekarang. Engkau telah memiliki kepandaian
tinggi, itu bagus sekali. Aku akan mengusahakan tempat bagimu di dalam barisan,
dan setelah engkau memperoleh kedudukan, kami akan mencari jodoh untukmu.”
“Benar sekali ucapan ayahmu, Kok Cu. Aku sudah
sering bermimpi menimang-nimang seorang cucu!” ibunya menambahkan.
“Maaf Ayah, dan Ibu. Terpaksa malam ini juga
aku minta diri karena aku harus memenuhi dulu perintah Suhu. Setelah urusan ini
selesai barulah aku akan kembali ke sini dan menghabiskan sisa usiaku untuk
berbakti kepada Ayah dan Ibu.”
Ibunya hendak membantah, akan tetapi Jenderal
Kao memberi isyarat kepada isterinya, lalu berkata, “Engkau benar! Kalau
tidak ada suhumu, tentu engkau sudah tewas di padang pasir. Budi suhumu sampai
mati pun takkan dapat dibalas lunas, maka satu-satunya perintah itu harus
kaulaksanakan dengan sebaiknya sampai berhasil. Akan tetapi...., besok
pagi-pagi aku sendiri akan kembali ke utara bersama kedua orang Suma Siauw-sicu
ini. Apakah engkau tidak bisa menanti sampai besok dan kita semalam ini
bercakap-cakap di sini?”
“Maaf, Ayah. Karena harus mengikuti petunjuk
dan jejak, malam ini pun aku harus melanjutkan perjalanan mencari kembali kitab
suhu itu....”
Akhirnya ayah dan ibunya tidak dapat mencegah
lagi dan setelah memberi hormat kepada semua orang, sekali berkelebat
lenyaplah tubuh tinggi besar itu melalui jendela. Semua orang, termasuk kedua
orang kakak beradik Suma, merasa kagum sekali.
Seperti setan cepatnya, Kok Cu meninggalkan
gedung orang tuanya. Hatinya tidak karuan rasanya. Dia girang dan merasa
berbahagia sekali karena berhasil bertemu dengan ayah bunda dan adik-adiknya,
akan tetapi perasaan ini bercampur dengan perasaan menyesal dan berduka. Dia
merasa tidak patut menjadi anggauta keluarga yang mulia dan terhormat itu, dia
merasa telah mengotori nama besar dan kehormatan ayahnya dengan perbuatannya
terhadap Lu Ceng, dara yang dianggap sebagai bintang penolong keluarganya! Dan
baru saja, menurut ayahnya, Lu Ceng telah datang ke tempat orang tuanya. Hal
ini berarti bahwa gadis itu telah berada di kota raja!
Dengan pikiran melayang-layang, pemuda itu
meloncat dari genteng sebuah rumah ke genteng lain, tanpa tujuan namun hati dan
pikirannya penuh dengan bayangan Lu Ceng!
***
Ceng Ceng menangis di dalam kamar penginapan,
sampai mengguguk akan tetapi dia menutupi mukanya dengan bantal agar tidak ada
suara tangisnya keluar dari kamar itu. Makin diingat, makin hancur rasa
hatinya. Tidak mungkin dia dapat bertemu dengan Jenderal Kao yang telah
menyembahyanginya itu. Dia tidak pantas bertemu dengan jenderal gagah perkasa
itu, merasa betapa dirinya sudah kotor. Dan pula, jelas bahwa pemuda laknat
yang dicarinya tidak berada di tempat itu, tidak berada bersama Jenderal Kao.
Kalau ada, tentu tadi dia sudah melihatnya.
Ingin sekali dia mengunjungi istana Puteri
Milana yang dijunjung tinggi oleh mendiang kakeknya, siapa tahu Syanti Dewi
telah berada di situ. Akan tetapi bagaimana dia mampu bertemu muka dengan
seorang puteri yang demikian mulia? Dan dia merasa malu juga bertemu dengan
Syanti Dewi karena sekali bertemu dengan kakak angkatnya itu, tentu dia tidak
lagi dapat menyimpan rahasianya, tentu dia akan menceritakan segalanya dan hal
ini hanya berarti mati membunuh diri saking malunya.
Teringat olehnya akan nasibnya yang amat
buruk. Sejak kecil tidak melihat ayahnya, bahkan ibunya meninggalkannya menjadi
seorang anak yatim piatu di dalam asuhan kakeknya. Dan kakeknya.... “Aihh,
Kong-kong...!” Dia merintih dan tangisnya makin menjadi-jadi ketika dia
teringat kepada kakeknya yang tewas secara menyedihkan itu.
Teringat pula dia akan peristiwa yang paling
hebat, yang sekaligus menghancurkan hidupnya, peristiwa di dalam guha yang
menimbulkan dendam yang sedalam lautan, kebencian yang setinggi langit.
Hidupnya kini hanya untuk satu tujuan saja, mencari dan membunuh pemuda laknat
yang telah memperkosanya itu!
“Ahhh....!” Dia mengepal tinju dan menggigit
gigi. Dia tahu bahwa pemuda laknat itu memperkosanya di bawah pengaruh racun
yang hebat. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi kebenciannya, tidak mengurangi
dendamnya. Kalau diingat betapa dia telah berusaha menolong pemuda itu!
Menolongnya, membebaskannya dari ancaman maut, dari dalam kerangkeng, akan
tetapi pemuda itu malah membalasnya dengan perbuatan yang lebih keji daripada
kalau membunuhnya! Pemuda itu telah mendatangkan siksa dan derita hebat
sehingga dia dalam keadaan mati tidak hiduppun tidak.
Betapa dendam memainkan peran penting di dalam
kehidupan manusia, bahkan dendam mencengkeram sebagian besar dari kehidupan
manusia sehingga di seluruh pelosok dunia terjadilah pertentangan, permusuhan,
benci-membenci dan akhirnya membesar menjadi perang antara bangsa, perang
antara negara. Dendam yang menimbulkan kebencian bersumber kepada si aku. Si
aku yang dirugikan lahir maupun batin melahirkan kemarahan dan dendam,
kebencian, maka timbullah kekerasan dari dendam dan kebencian ini. Aku
diganggu dan dirugikan, keluargaku diganggu, hartaku, namaku, kedudukanku,
kepercayaanku, bangsaku, maka aku menjadi marah, dendam dan benci! Segala hal yang
tampak maupun yang tidak tampak, yang menjadi kepunyaan si aku, tidak boleh
diganggu. Kalau yang diganggu itu keluarga, harta benda, kedudukan, agama,
bangsa dan negara orang lain, biasanya kita tidak peduli. Maka si akulah yang
menjadi sumber timbulnya dendam dan kekerasan yang mengikutinya.
Di mana terjadi pertentangan dan permusuhan
yang disusul dengan bentrokan, tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pihak
yang kalah atau lebih tepat lagi, pihak yang dirugikan, tentu akan mendendam
dan selalu rindu akan kesempatan untuk membalas dendam itu. Setelah kesempatan
tiada maka terjadilah kekerasan yang lain lagi dan hal ini menimbulkan dendam
kepada pihak yang kalah, baik perorangan maupun kelompok, maupun negara. Maka
dendam-mendendam tidak habisnya di dunia ini, diantara manusia, diantara
bangsa dan negara. Jika dendam masih mencengkeram manusia tidak mungkin ada
perdamaian dalam hidup manusia. Selama dendam belum lenyap dari batin manusia,
segala macam usaha ke arah perdamaian akan sia-sia belaka. Akan tetapi, apabila
dendam dan kebencian tidak lagi bertahta di dalam batin manusia, apakah akan
ada permusuhan, apakah akan ada perang lagi? Kiranya tidak perlu orang bersusah
payah mengadakan usaha perdamaian lagi karena tidak akan ada lagi permusuhan
dan perang!
Jika dendam kebencian masih bernyala di hati
dan pikiran kita, maka segala usaha kita untuk berdamai dengan musuh yang kita
benci merupakan kepalsuan dan hanya akan menghasilkan perdamaian palsu
belaka. Hanya setelah kita bebas dari dendam kebencian, baru kita dapat hidup
damai dengan orang laln, dan tidak perlu lagi usaha perdamaian itu karena kita
tidak mempunyai musuh siapa pun, tidak mendendam maupun membenci siapa pun!
Yang penting harus disadari bahwa sumber segala dendam kebencian terletak
kepada si aku, yaitu si pikiran yang menciptakan si aku. Kita selalu ingin
merubah yang di luar, untuk disesuaikan demi kesenangan dan keenakan si aku,
kita lupa bahwa sumber segala kekacauan terletak kepada si aku. Diri sendirilah
yang harus berubah, si sumber yang harus berubah. Dan perubahan akan terjadi
apabila ada pengertian dan pengenalan diri sendiri, melihat dengan mata terbuka
akan kekotoran yang memenuhi diri sendiri. Melihat tanpa pamrih, tanpa
keinginan apa pun, tanpa ingin merubah, tanpa ingin memperbaiki, menambah atau
mengurangi. Dari penglihatan ini timbul pengertian karena penglihatan tanpa
pamrih ini merupakan kewaspadaan, menimbulkan kesadaran penuh dan otomatis akan
timbul tindakan-tindakan dari pengertian dan kesadaran itu yang akan
menimbulkan perubahan.
Sayang bahwa Ceng Ceng tidak sadar akan semua
kenyataan sederhana itu. Dia merasa sengsara, diracuni oleh dendam dan
kebencian sehingga seperti seorang yang mabok, dia kadang-kadang menangis,
kadang-kadang beringas dan beberapa kali dia hampir-hampir mengambil keputusan
nekat untuk membunuh diri!
Tiba-tiba dia bangkit duduk, tidak bergerak
dan perhatiannya tertarik oleh suara burung malam yang lapat-lapat di atas
genteng. Bagi telinga orang biasa, tentu akan menganggap bahwa itu adalah suara
burung malam tulen. Namun pendengaran Ceng Ceng yang terlatih menangkap
sesuatu yang aneh dalam suara itu, apalagi ketika dia mendengar suara
berkeresekan di atas genteng rumah penginapan, kecurigaannya timbul. Ditiupnya
lilin di dalam kamarnya, disambarnya buntalan pakaian dan pedang Ban-tok-kiam,
dibereskan kembali pakaiannya yang kusut, kemudian dia membuka jendela dan
meloncat keluar jendela, menuju ke belakang rumah penginapan dan meloncat ke
atas genteng. Dari situ tampak olehnya dua orang yang berpakaian hitam bergerak
di atas genteng bagian depan rumah itu, maka dia cepat mendekati dan
membayangi. Dua sosok bayangan itu melayang turun dengan gerakan yang ringan
sekali. Ceng Ceng mengintai dari atas dan mendengarkan percakapan singkat
mereka.
“Sudah pastikah engkau, Twako?”
“Sudah jelas dia, siapa lagi? Pangeran itu
masuk dengan menyamar sebagai pedagang sayur dan sekarang disembunyikan oleh
perwira itu di rumahnya.”
“Kalau begitu kita harus cepat menangkapnya
sebelum dia sempat menghadap istana!”
“Memang perintahnya begitu, akan tetapi kita
menunggu teman-teman yang dikirim ke sini untuk membantu kita.”
Tidak terlalu lama mereka menunggu karena
segera muncul lima orang laki-laki yang memiliki gerakan ringan dan cepat.
Setelah berbisik-bisik dan berunding, tujuh orang itu lalu berlari ke jurusan
utara. Ceng Ceng cepat mengejar dan terus membayangi tujuh orang itu tanpa
turun tangan karena dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan oleh mereka itu.
Yang jelas, mereka itu mempunyai niat buruk terhadap diri seorang pangeran. Dia
teringat akan Puteri Milana yang dipuji-puji mendiang kakeknya. Puteri Milana
juga keluarga Kaisar, maka tentu masih ada hubungan dengan Pangeran ini. Maka
sepantasnyalah kalau dia menyelidiki dan melindungi Pangeran itu.
Siapakah tujuh orang itu dan siapa pangeran
yang hendak mereka tangkap? Tujuh orang itu adalah kaki tangan Pangeran Tua
Liong Khi Ong yang menyamar sebagai orang-orang biasa dan memang banyak
terdapat kaki tangan pangeran ini berkeliaran di kota raja. Sungguhpun mereka
tidak berani banyak bergerak karena di kota raja terdapat banyak pula anak
buah Puteri Milana, namun mereka ini merupakan penyelidik-penyelidik dari
Pangeran Liong Khi Ong. Adapun pangeran yang hendak mereka tangkap adalah
Pangeran Yung Hwa.
Telah diceritakan di bagian depan bahwa
Pangeran Yung Hwa adalah pangeran putera Kaisar dari selir, seorang pemuda
berusia dua puluh tahun yang amat tampan dan halus gerak-geriknya, seorang ahli
sastra yang halus budi bahasanya dan romantis jiwanya. Pangeran Yung Hwa ini
pernah mendengar berita tentang kecantikan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan
sehingga dia tergila-gila oleh berita itu. Tidaklah mengherankan kalau seorang
seperti pangeran muda ini tergila-gila kepada seorang dara yang belum pernah
dilihat sebelumnya, tergila-gila hanya karena mendengarkan berita tentang
puteri itu! Memang jiwa seorang yang suka akan seni seperti Pangeran Yung Hwa
amat romantis, amat peka dan halus, mudah tergerak dan mudah terpesona.
Mendengar tentang Puteri Syanti Dewi yang kabarnya ahli dalam hal seni sastra,
tari dan lukis, pandai pula meniup suling dan mainkan alat tetabuhan lain,
bahkan kabarnya pandai pula menari pedang, di samping memiliki kecantikan yang
luar biasa seperti seorang dewi dari kahyangan, hatinya tergerak dan
sekaligus dia telah jatuh cinta! Karena tergila-gila dan tidak dapat pula
menahan rindunya, dia menghadap ayahnya, yaitu Kaisar, dan mengajukan
permohonan agar dia dilamarkan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu!
Akan tetapi Kaisar yang telah dipengaruhi
oleh adik tirinya, Pangeran Liong Bin Ong, berpendapat lain. Kaisar menolak
permintaan puteranya ini, bahkan melamar Puteri Bhutan itu untuk dijodohkan
dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah berusia lima puluh tahun dan sudah
mempunyai banyak selir! Mendengar ini, remuklah hati Pangeran Yung Hwa dan
dengan berani dia menulis sajak memaki-maki pamannya itu sebagai seorang tua
yang tidak tahu malu, yang mata keranjang dan lain-lain untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya. Kemudian dia lolos dari istana melarikan diri!
Pangeran Liong Khi Ong tentu saja marah sekali
kepada keponakannya ini karena sajak yang memaki-makinya itu dipasang di kuil
besar dekat istana sehingga sebentar saja banyak orang yang tahu dan dia
menjadi buah tertawaan orang. Dengan seijin Kaisar yang memang sudah mendengar
akan hal itu dan hendak menghukum puteranya, Pangeran Liong Khi Ong mengerahkan
pasukan untuk menangkap kembali Pangeran Yung Hwa yang minggat.
Di bagian depan dari cerita ini telah
diceritakan betapa Pangeran Yung Hwa yang sedang melarikan diri dalam kereta
dan dikejar oleh pasukan Pangeran Liong Khi Ong, secara kebetulan bertemu
dengan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi yang menyamar, lalu pangeran muda itu
mendapat pertolongan Gak Bun Beng sehingga lolos dari bahaya. Akan tetapi tentu
saja dia tidak pernah menduga bahwa dara cantik yang berada bersama penolongnya
itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang menjadi gara-gara semua keributan itu!
Dengan bantuan seorang pamannya, yaitu saudara
dari ibunya yang menjadi selir Kaisar, dia bersembunyi di luar kota raja.
Ketika dia mendengar dari pamannya akan gerakan pemberontakan yang agaknya
dikendalikan darl kota raja oleh kedua orang pangeran tua, Yung Hwa terkejut
sekali. Dia segera melakukan penyelidikan-penyelidikan, kemudian pada malam
hari itu, dengan bantuan pamannya dia berhasil menyelundup masuk ke kota raja
dengan niat menghadap ayahnya untuk minta ampun dan untuk menyampaikan
hasil-hasil penyelidikannya tentang gerakan pemberontakan dua orang pangeran
tua.
Pangeran Yung Hwa tidak tahu bahwa
penyeludupannya itu telah diketahui oleh kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong
yang cepat melapor kepada pangeran tua itu. Pangeran Liong Khi Ong segera
memerintahkgn tujuh orang kaki tangannya itu untuk menangkap Pangeran Yung Hwa.
Ketika Ceng Ceng melihat betapa tujuh orang
itu yang harus diakuinya memiliki gerakan yang ringan dan gesit sekali dan
diketahuinya merupakan lawan-lawan yang berat, mengepung sebuah rumah di ujung
kota, dia lalu langsung menghampiri pintu rumah itu dan mengetuknya. Dia maklum
bahwa perbuatannya itu diintai oleh tujuh orang itu dengan penuh keheranan dan
perhatian, namun dia tidak peduli dan mengetuk terus dengan kuat sampai
terdengar suara seorang laki-laki dari sebelah dalam, “Siapakah di luar?”
“Aku ingin berjumpa dengan Pangeran,” kata
Ceng Ceng.
Hening sejenak di belakang pintu itu, kemudian
penutup lubang digeser dan tampak sebuah mata mengintai dari balik lubang.
Ketika orang di balik pintu itu melihat bahwa yang mengetuk pintu hanyalah
seorang dara cantik dan sendirian pula, sinar matanya membayangkan kelegaan
hati.
“Nona, engkau siapakah dan apa maksud
kedatanganmu?”
“Biarkan aku masuk, aku ingin berjumpa dengan
Pangeran. Dia terancam bahaya dan aku ingin melindunginya.”
Sinar mata itu kelihatan terkejut dan heran,
lalu nampak ragu-ragu. Pengintai ini adalah Perwira Chi yang melindungi dan
menyembunyikan Pangeran Yung Hwa sebelum Pangeran itu sempat menghadap ayahnya
di istana Kaisar. “Bukalah sebelum terlambat,” Ceng Ceng berbisik.
“Rumah ini sudah mereka kurung!”
Perwira itu makin kaget dan cepat dia membuka
daun pintu, membiarkan Ceng Ceng menyelinap masuk dan cepat menutupkan kembali
pintunya. “Di mana dia?” Ceng Ceng bertanya. Laki-laki berusia empat puluh
tahun lebih itu mengangguk dan memberi isyarat kepada dara itu untuk
mengikutinya ke sebelah dalam rumahnya. Dalam perjalanan menuju ke ruangan
dalam ini, Ceng Ceng bertemu dengan isteri Perwira Chi dan tiga orang anaknya
yang masih kecil-kecil, berusia di bawah sepuluh tahun, dan dua orang pelayan.
Mereka kelihatan takut-takut dan memandang kepada Ceng Ceng dengan muka pucat.
Ketika Ceng Ceng mengikuti orang itu masuk ke
sebuah ruangan, seorang pemuda bangkit dari duduknya dan menyambut
kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik. Begitu berhadapan, diam-diam
Ceng Ceng harus mengakui bahwa baru sekali ini dia berjumpa dengan seorang
pemuda yang demikian tampannya! Pemuda itu usianya tentu sudah dua puluh tahun
lewat, wajahnya yang berkulit putih itu bentuknya tampan sekali, dan ada
keagungan dalam sikapnya. Wajah itu agak bundar, dengan alis hitam tebal dan
hidung mancung. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, dan
mulutnya selalu tersenyum. Bentuk tubuhnya sedang dengan sikap seorang yang
berhati tabah dan merasa lebih tinggi daripada orang lain. Pakaiannya serba
indah, sungguhpun bentuknya sederhana.
“Paman Chi, siapakah Nona ini?” Suaranya
halus sekali ketika dia mengajukan pertanyaan ini dan dari sikapnya yang agak
membungkuk dan pandang matanya, jelas bahwa dia terheran akan tetapi juga
menghormat, sehingga Ceng Ceng juga segera menjura dengan hormat mengingat
bahwa pemuda tampan ini adalah seorang pangeran!
Ceng Ceng tidak menanti perwira itu menjawab
karena dia maklum bahwa perwira itu tentu saja juga tidak mengenalnya, maka
dengan singkat dia berkata, “Apakah Paduka seorang pangeran?”
Pangeran Yung Hwa tersenyum dan Ceng Ceng
memandang kagum. Begitu tersenyum pemuda ini kelihatan makin tampan dengan
deretan giginya yang putih seperti mutiara. “Benar, Nona. Aku adalah Pangeran
Yung Hwa, dan baru padamulah aku berterus terang.”
“Saya bernama Lu Ceng, dan tadi saya melihat
ada tujuh orang yang mengurung rumah ini. Saya mendengar percakapan mereka
bahwa mereka akan menyerbu dan menangkap paduka, oleh karena itu saya sengaja
datang untuk melindungi paduka.”
Perwira itu kelihatan terkejut, mengeluarkan
suara perlahan di tenggorokannya dan mencabut pedang dari pinggangnya,
mukanya pucat dan matanya memandang ke kanan kiri. Akan tetapi Pangeran Yung
Hwa tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya yang tampan.
“Tenanglah, Paman Chi, Nona Lu, kalau boleh aku bertanya, mengapa Nona menempuh
bahaya dan bagaimana pula Nona akan melindungi aku?”
“Mendengar bahwa paduka seorang Pangeran yang
terancam bahaya, sudah sementinya kalau saya berusaha melindungi dan biarpun
sedikit, saya pernah belajar ilmu dan tidak takut menghadapi tujuh orang itu.”
“Ah, kiranya Nona adalah seorang pendekar
wanita!” Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar. “Masih
begini muda...., betapa mengagumkan! Akan tetapi.... sebaiknya kalau Nona cepat
pergi dari sini. Nona masih amat muda, kalau dalam melindungiku sampai Nona
tertimpa bencana, aku Yung Hwa selama hidupku akan menyesal.”
Ceng Ceng memandang sejenak dan ada perasaan
lembut mengelus perasaannya. Pemuda bangsawan ini benar-benar seorang pemuda
yang selain tampan dan halus, juga amat berbudi, tidak mengingat diri sendiri
saja. Betapa jauh bedanya kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda nakal dan
ceriwis yang dijumpainya tiga kali, pertama kali di pasar kuda, kedua kalinya
ketika dia terkurung oleh banyak pengeroyok di Lembah Bunga Hitam dan mereka berdua
membantunya, ketiga kalinya ketika dia melihat mereka mengejarnya di rumah
Jenderal Kao. Lebih jauh lagi bedanya kalau dibandingkan dengan Ang Tek Hoat,
pemuda jahat yang menjadi kaki tangan pemberontak itu! Dan makin jauh lagi
kalau dibandingkan dengan pemuda laknat, pemuda tinggi besar yang telah
memperkosanya!
“Harap paduka jangan khawatir, dan sebaiknya
Paduka bersembunyi di kamar ini saja. Paman, harap Paman menjaga beliau dan
keluarga Paman juga sebaiknya dikumpulkan semua di kamar ini. Biar aku sendiri
yang menghadapi kalau mereka berani masuk!” Sambil berkata demikian, Ceng Ceng
mencabut pedangnya.
“Singgg....!”
Perwira Chi berseru kaget melihat
berkelebatnya sebatang pedang yang begitu menyilaukan mata dan yang
mengandung hawa dingin menyeramkan.
“Lu-siocia (Nona Lu)....!” Pangeran Yung Hwa
berkata. “Sekali lagi kumohon kepadamu, jangan mempertaruhkan nyawa demi aku.
Aku adalah seorang laki-laki dan sudah biasa akhir-akhir ini menghadapi
ancaman bahaya. Akan tetapi kau.... tidak boleh engkau menghadapi bahaya maut
untukku, Nona!”
“Awas....! Trang-cring-cring-cring....!”
Pedang di tangan Ceng Ceng berkelebatan dan membentuk sinar bergulung-gulung
ketika menangkis datangnya puluhan batang senjata rahasia yeng
menyambar-nyambar dari atas genteng di empat penjuru.
“Kau hebat, Nona.... tapi aku tetap
khawatir....” Pangeran Yung Hwa memuji ketika menyaksikan kelihaian Ceng Ceng,
akan tetapi Perwira Chi yang sudah datang bersama anak isterinya dan dua orang
pelayan, mendesaknya agar memasuki ruangan dalam yang tidak berjendela
sehingga tidak dapat diserang dari luar. Kemudian dia menutupkan pintu ruangan
itu dan meloncat keluar dengan pedang di tangan, berdiri di dekat Ceng Ceng
sambil berkata, “Terima kasih, Lihiap. Saya bersedia membantumu dan melindungi
Beliau dengan taruhan nyawa.”
Akan tetapi diam-diam Ceng Ceng merasa
khawatir sekali. Tadi ketika dia menggunakan pedang menangkis, lengan kanannya
sampai tergetar hebat, tanda bahwa para musuh yang melepas senjata rahasia itu memiliki
tenaga yang amat kuat! Kalau tujuh orang yang pandai itu semua menyerbu ke
tempat yang sempit ini, terpaksa dia harus menggunakan racun, dan hal ini
bahkan akan membahayakan perwira ini, mungkin juga membahayakan Pangeran dan
keluarga Perwira Chi.
“Paman, harap Paman masuk saja ke dalam
ruangan dan menjaga mereka di dalam, dan jangan Paman atau siapa saja keluar
karena di depan pintu ruangan ini akan kusebari racun agar tidak ada yang dapat
masuk. Percayalah kepadaku!”
Perwira itu membelalakkan mata. Dia maklum
bahwa dara yang muda ini tentu memiliki kepandaian tinggi, dan memang hatinya
akan lebih tenang kalau dia menjaga Pangeran dan keluarganya di bawah matanya
sendiri, maka dia mengangguk dan membuka pintu, lalu meloncat ke dalam dan menutupkan
pintunya kembali. Ketika pintu terbuka sebentar itu, Ceng Ceng melihat betapa
Pangeran Yung Hwa duduk dengan tenang dan tersenyum lalu mengangguk kepadanya.
Hati dara ini makin kagum. Dalam keadaan menegangkan seperti itu, Pangeran itu
kelihatan tenang saja. Sungguh sikap yang luar biasa gagahnya bagi seorang
pangeran yang lemah.
Setelah Perwira Chi memasuki ruangan itu dan
menutupkan pintu satu-satunya dari ruangan itu, Ceng Ceng lalu mengeluarkan
bubuk racun berwarna putih dari saku bajunya. Bubuk racun itu tinggal sedikit,
dan sisa ini ditaburkan semua di depan pintu ruangan, dari pintu sampai dua
meter jauhnya sehingga siapa pun yang akan memasuki ruangan melalui pintu itu
tentu akan menginjak bubuk racun yang telah ditaburkannya dan tidak tampak itu.
Kemudian Ceng Ceng lalu meloncat keluar dan langsung dia melayang ke atas
genteng.
Baru saja tubuhnya mencelat dan hinggap di
atas genteng, dari empat penjuru dia diserang oleh tujuh orang kaki tangan
Pangeran Liong Khi Ong itu. Ceng Ceng yang sudah siap, tidak menjadi gentar
dan cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam untuk melindungi tubuhnya sedangkan
tangan kirinya menyebarkan bubuk racun merah yang juga tinggal bersisa sedikit
dan tadi sudah dipersiapkannya. Bubuk racun merah ini merupakan racun yang
memabokkan dengan keharumannya yang luar biasa, dan sungguhpun lawan tidak akan
tewas oleh racun ini, akan tetapi yang mencium baunya tentu akan roboh dan
lemas, pening dan tidak dapat bertanding lagi.
“Awas racun....!” Seorang diantara tujuh lawan
itu berseru nyaring dan cepat meloncat mundur. Kawan-kawannya juga meloncat
mundur, namun seorang diantara mereka terhuyung dan roboh di atas genteng,
setengah pingsan karena dia telah mencium racun itu!
Enam orang yang lain, seorang diantara mereka
berpakaian perwira menjadi marah dan menyerbu lagi setelah mereka menutup
hidung mereka dengan kapas yang sudah dicelup obat penawar. Melihat ini, Ceng
Ceng makin khawatir. Kiranya mereka itu pun merupakan orang-orang lihai yang
mengerti sedikit banyak tentang racun. Dan kini Ceng Ceng terdesak hebat.
Biarpun dia sudah memutar pedang Ban-tok-kiam sekuatnya dan secepatnya, namun
senjata pedang dan golok itu menekan berat sekali. Dalam belasan jurus saja dia
sudah mandi keringat. Celakanya, dorongan pukulan tangan beracun dari tangan
kirinya agaknya kurang kuat bagi enam orang lawan ini yang menangkis dengan
hawa pukulan sin-kang dari jauh sehingga tidak pernah bersentuhan tangan.
“Mampuslah....!” Ceng Ceng membentak marah,
pedangnya menusuk tiga kali yang merupakan serangkaian serangan ke arah tiga
orang lawan, sedangkan kepalanya bergerak ke kanan kiri, dan dari mulutnya
yang manis bentuknya itu meluncur air ludah yang beracun ke arah tiga orang
lawan yang lain!
“Aduhhh....!” Seorang diantara mereka, yang
memandang rendah serangan ludah itu, dengan tepat terkena percikan ludah di
lehernya dan dia berteriak-teriak sambil memegangi lehernya yang seperti
dibakar rasanya, lalu bergulingan roboh di atas genteng, tidak dapat
bertanding lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan kilat mengenal
pinggul Ceng Ceng. Dara ini mengeluh, terhuyung dan hanya berkat kecepatan
gerak pedangnya saja yang diputar melindungi diri maka dia terhlndar dari
bahaya maut ketika lima orang itu menerjang secara berbareng ketika dara itu
terhuyung.
“Trang-cring-cring-cring....!”
Ceng Ceng bergulingan di atas genteng sambil
menggerakkan pedang Ban-tok-kiam menangkisi pedang dan golok yang mengejarnya.
Banyak genteng pecah oleh gerakannya ini dan tubuhnya terus bergulingan karena
lima orang lawannya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk meloncat berdiri.
Dia terdesak benar-benar sampai bergulingan ke pinggir atas dan nyaris
terjatuh ke bawah. Terpaksa dia menghentikan gerakannya dan terus menangkisi
pedang dan golok yang bertubi-tubi menyerangnya.
Lima orang itu bukanlah orang-orang
sembarangan. Mereka adalah pengawal-pengawal kelas satu yang menjadi kaki
tangan Pangeran Liong Bin Ong, maka tentu saja mereka memiliki kepandaian yang
tinggi. Selain itu, juga mereka telah berpengalaman di dunia kang-ouw, maklum
bahwa gadis yang dikeroyoknya itu biarpun ilmu silatnya tidak terlalu hebat,
namun memiliki kepandaian tentang racun yang mengerikan, karena inilah mereka
tidak berani sembarangan menggunakan tangan kiri menyerang agar tubuh mereka
tidak bersentuhan dengan gadis beracun itu, melainkan menggunakan pedang atau
golok mereka untuk menyerang. Tendangan tadi yang mengenai pinggang Ceng Ceng,
tentu akan mencelakakan yang menendang kalau saja dia tidak memakai sepatu
kulit tebal.
“Wuuuutt-plak-plak-plak!”
Lima orang itu terkejut sekali, terhuyung ke
belakang karena sambaran angin dorongan yang amat kuat. Ketika mereka melihat
bahwa yang mendorong mereka itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka
buruk sekali, mereka terkejut dan maklumlah mereka bahwa orang ini memiliki
sin-kang yang amat hebat. Maka mereka lalu berpencar, ada yang meloncat ke atas
wuwungan yang lebih tinggi untuk bersiap-siap dengan senjata rahasia mereka.
Ceng Ceng sendiri terkejut dan cepat bangkit, menggigit bibir karena
pinggangnya terasa nyeri.
Pada saat itu, laki-laki tinggi besar bermuka
buruk itu membuka mulut dan mengeluarkan teriakan melengking yang amat dahsyat,
teriakan yang seolah-olah membuat semua atap di sekitar tempat itu tergetar,
genteng-genteng banyak yang merosot dan lima orang pengeroyok itu mengeluh,
senjata mereka terlepas dan tubuh mereka terguling di atas genteng dalam
keadaan pingsan! Ceng Ceng sendiri merasa betapa tubuhnya seperti kemasukan tenaga
yang dahsyat, telinganya seperti akan pecah rasanya, dan dia terhuyung-huyung.
Akan tetapi tiba-tiba sebuah tangan yang besar menepuk punggungnya dan dia
sadar kembali, memandang laki-laki tinggi besar itu dengan penuh kagum dan
juga serem. Wajah orang ini sungguh buruk dan menakutkan. Kulit mukanya kasar
seperti kulit punggung buaya, agak hitam kemerahan, mulutnya yang lebar
seperti tidak pernah tertutup, hidungnya besar bengkok dan matanya besar
sebelah, rambutnya riap-riapan dan panjang sedangkan sepasang mata yang besar
sebelah itu mengeluarkan sinar yang aneh. Sungguh wajah yang menakutkan
seperti wajah setan dalam dongeng!
“Kau pergilah, kenekatanmu tadi
berbahaya....” Orang itu berkata dan Ceng Ceng makin terheran-heran. Mukanya
begitu buruk menakutkan, akan tetapi suaranya halus dan kepandaiannya luar
biasa tingginya.
Sejenak Ceng Ceng termangu, kemudian secara
tiba-tiba dia menggerakkan pedangnya menyerang. Serangan kilat ini dilakukan
dengan dahsyat karena mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak dekat.
Ban-tok-kiam meluncur ke arah dada orang tinggi besar itu dan agaknya tidak ada
jalan lagi bagi orang tinggi besar untuk dapat meinghlndarkan diri dari bahaya
maut ini, apalagi karena tangan kiri Ceng Ceng yang mengerahkan tenaga beracun
mencengkeram ke arah perut dan kepalanya digerakkan sedemikian rupa sehingga
rambutnya juga menyambar ke arah kedua mata lawan. Benar-benar serangan
tiba-tiba yang amat berbahaya.
“Ahhh....!” Laki-laki bermuka buruk
mengeluarkan seruan kaget, dan hanya mengangkat tangan kirinya ke depan dan
menyambar pedang itu dari samping dan membiarkan rambut dan tangan kiri Ceng
Ceng mengenai sasaran.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati
dara ini ketika tangan kirinya bertemu dengan perut yang keras seperti baja,
membuat jari-jari tangannya tidak dapat mencengkeram bahkan terasa nyeri,
sedangkan rambutnya yang menyambar mata itu tiba-tiba membuyar ditiup oleh
mulut Si Buruk Rupa, dan pedangnya ditangkap oleh tangan lawan! Pedangnya,
Ban-tok-kiam yang ampuh, yang mengandung racun mujijat, ditangkap oleh tangan
begitu saja seolah-olah hanya sebatang pedang kayu yang tidak berbahaya! Dia
mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia, bahkan ketika laki-laki itu
menggerakkan tangan, dia tidak mampu mempertahankan dan pedangnya terlepas,
lalu dilempar di atas genteng oleh laki-laki itu.
“Apakah kau sudah gila?” laki-laki itu
menegur.
Ceng Ceng segera menjatuhkan dirinya berlutut
dan laki-laki itu mendengus heran. “Memang kusengaja untuk menguji kepandaianmu
In-kong, aku mohon kepadamu agar kau suka menerimaku sebagai murid!”
Mata yang besar sebelah itu berkedip-kedip
penuh keheranan. “Kau.... kau seorang yang aneh, Nona. Selamat tinggal....” Dia
membalikkan tubuh membelakangi Ceng Ceng yang masih berlutut.
“In-kong...., jangan pergi dulu.” Ceng Ceng
berseru dan laki-laki itu berdiri di wuwungan, membelakangi Ceng Ceng dan
bersedakap.
“Mau bicara apa lagi?” terdengar suaranya yang
halus.
“In-kong, aku ingin sekali menjadi muridmu,
belajar ilmu yang tinggi untuk kupergunakan membalas dendamku kepada seorang
pemuda laknat yang amat lihai dan selamanya aku tidak akan melupakan budimu....
In-kong....!” Namun Ceng Ceng hanya dapat bangkit berdiri dengan muka pucat dan
hati kecewa sekali karena selagi dia bicara tadi, laki-laki bermuka buruk itu
telah berkelebat dan lenyap, meninggalkannya tanpa menjawab sedikitpun juga.
Dengan kekecewaan hebat Ceng Ceng memungut pedangnya, lalu melayang turun
setelah melihat bahwa tujuh orang itu masih rebah malang melintang dengan
pingsan di atas genteng.
Ketika dia memasuki rumah dan menghampiri
pintu ruangan di mana Pangeran Yung Hwa dan sekeluarga Perwira Chi bersembunyi,
tiba-tiba pintu itu terbuka dan Pangeran Yung Hwa muncul, memandang kepadanya
dengan wajah girang sekali sambil berkata, “Ah, syukur kepada Thian bahwa kau
selamat, Nona....!”
“Haiii, jangan keluar....!” Ceng Ceng
berteriak kaget melihat Pangeran itu hendak melangkah keluar. Seruannya
terlambat, maka dia cepat meloncat seperti seekor burung walet, langsung
menubruk dan merangkul tubuh Pangeran itu yang sudah melangkahkan kakinya
sehingga mereka berdua terlempar kembali ke dalam ruangan, bergulingan seperti
saling berpelukan!
Dengan kedua dengan masih memeluknya,
Pangeran Yung Hwa membuka matanya, memandang terheran-heran. Ketika Ceng Ceng
meronta, dia melepaskan kedua lengannya. “Ah maaf....!” Muka Pangeran itu
menjadi merah sekali. Bersama Ceng Ceng dia bangkit berdiri, melihat dara itu
mengebut-ngebutkan pakaiannya.
“Akan tetapi, mengapa Nona....?”
“Pangeran, di luar pintu itu tadi kusebarkan
racun untuk menghalangi orang luar memasuki ruangan ini, dan hampir saja kau
yang menjadi korban!” Ceng Ceng mengomel, lupa bahwa dia bicara dengan seorang
putera Kaisar sehingga dia seenaknya saja menyebut “kau”!
Sepasang mata yang indah dari pangeran itu
terbelalak. “Aihh.... kiranya baru saja kau kembali setelah menyelamatkan
nyawaku, Nona Lu!” Dia memandang ke atas lalu bertanya, “Bagaimana dengan
mereka?”
“Semua pingsan,” jawab Ceng Ceng sederhana.
“Ah, sungguh hebat! Bagaimana aku dapat
membalas budimu, Nona Lu?” Yung Hwa berkata lagi sambil menjura.
“Lihiap, bagaimana baiknya sekarang?” Perwira
Chi yang masih pucat, wajahnya itu tiba-tiba bertanya.
“Kalian semua harus cepat pergi dari sini,
kalau tidak, berbahaya sekali,” jawab Ceng Ceng.
“Mari kalian semua ikut dengan aku!” Yung Hwa
berkata. “Kita harus malam ini juga masuk ke istana, barulah aman.”
“Akan tetapi....” perwira itu meragu.
“Beliau berkata benar,” Ceng Ceng memotong.
“Memang sebaiknya kalau sekarang juga kalian semua menyelamatkan diri ke dalam
istana. Kiranya tidak akan sukar bagi Pangeran Yung Hwa untuk memasuki istana.”
“Akan tetapi kalau ada pencegatan di tengah
jalan?” Perwira Chi masih meragu.
“Aku akan mengawal,” Ceng Ceng menjawab.
“Ah, budimu makin bertumpuk, Nona Lu!”
Pangeran Yung Hwa berseru terharu, akan tetapi Ceng Ceng cepat membuka pintu
dan membersihkan racun dari lantai depan pintu.
“Aku tidak yakin apakah sudah bersih betul,
sebaiknya kaubawa keluargamu meloncat sampai dua meter lebih dari pintu,
Chi-ciangkun (Perwira Chi)!” Ceng Ceng berkata.
Perwira itu mengangguk, memondong isteri dan
anak-anaknya bergantian dan membawa mereka meloncat.
“Maukah engkau membantu aku, Nona?” Yung Hwa
berkata, matanya memandang tajam penuh harapan dan penuh selidik.
Wajah Ceng Ceng menjadi merah, akan tetapi
dengan sederhana dia mengangguk dan mengeluarkan tangannya. “Kau
berpeganganlah pada tanganku, Pangeran!”
Setelah mereka saling berpegang tangan, Ceng
Ceng meloncat dan menarik tubuh pangeran itu ke atas bersamanya.
“Ahhh....!” Pangeran Yung Hwa memuji dengan
kagum dan agaknya dia lupa bahwa dia masih memegang tangan yang berkulit halus
itu, sampai Ceng Ceng dengan halus menarik tangannya.
“Mari kita berangkat dan kalau ada pencegatan
di jalan, biarkan aku menghadapi mereka akan tetapi lanjutkan perjalanan
kalian ke istana,” Ceng Ceng memesan dan berangkatlah mereka semua meninggalkan
rumah Perwira Chi menuju ke istana. Di sepanjang jalan, Pangeran Yung Hwa yang
kelihatan tenang saja tidak seperti Perwira Chi sekeluarganya yang nampak gugup
dan tegang, tiada hentinya memuji-muji kelihaian Ceng Ceng.
Tidak ada halangan sesuatu di jalan sampai
mereka tiba di pintu gerbang istana yang terjaga ketat oleh sepasukan pengawal
istana. Ketika mereka melihat Pangeran Yung Hwa yang mengepalai rombongan kecil
itu, tentu saja mereka mengenalnya dan cepat memberi hormat kepada pangeran
yang mereka kenal sebagai seorang pangeran yang baik budi dan halus itu.
“Mereka ini adalah tamuku dan malam ini kami
perlu sekali menghadap ibuku di istana,” kata Pangeran Yung Hwa kepada para
penjaga yang tidak berani melarang.
“Kalau begitu, kita berpisah di sini,” kata
Ceng Ceng. “Selamat berpisah, Pangeran dan Chi-ciangkun.”
“Eh, eh.... kau harus ikut dengan kami
memasuki istana, Lu-siocia!” pangeran itu berseru.
“Harus....?” Ceng Ceng memandang dengan sikap
angkuh dan matanya seolah-olah hendak mengatakan bahwa tidak ada seorang pun
manusia di dunia ini yang mengharuskannya berbuat sesuatu!
“Eh, maksudku....” Pangeran Yung Hwa mendekati
nona itu dan berbisik, “Harap Nona mengawal kami sampai kami aman berada di
tempat tinggal ibuku. Di dalam istana itu banyak kaki tangan pemberontak.”
Mendengar ini, Ceng Ceng mengerutkan alisnya.
Memang kalau dia lepaskan mereka di situ kemudian mereka itu tetap saja
terjatuh ke tangan musuh yang tentu menyebar anak buahnya di dalam lingkungan
istana, akan sia-sialah semua pertolongannya.
“Baiklah....!” katanya dan wajah pangeran itu
menjadi berseri, jelas bahwa dia merasa girang sekali.
Karena pangeran itu merupakan seorang tokoh
istana yang amat dikenal dan disuka oleh para penjaga, maka mereka tidak
menemui halangan. Bahkan semua penjaga yang melihat pangeran ini menjadi girang
sekali. Tersiar luas bahwa Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena kecewa tidak
diperkenankan menikah dengan Puteri Bhutan, dan kini agaknya pangeran itu
sudah dingin hatinya dan mau pulang, maka tentu saja para penjaga ikut merasa
girang. Agaknya biarpun di lingkungan bangunan istana itu terdapat banyak
kaki tangan Liong Bin Ong, namun pangeran ini belum begitu gila untuk berani
turun tangan di lingkungan istana, karena hal ini akan berbahaya sekali bagi
dirinya sendiri. Maka Pangeran Yung Hwa dan rombongannya dapat tiba di tempat
ibunya dengan selamat tanpa halangan.
Ibu pangeran itu, seorang wanita setengah
tua, selir Kaisar yang masih kelihatan cantik jelita, menyambut puteranya
dengan cucuran air mata saking girangnya. Pertemuan mengharukan antara ibu dan
anak mendatangkan rasa haru pula di hati Ceng Ceng.
“Ah, Ibu, saya sampai lupa. Ini adalah Nona Lu
Ceng, seorang pendekar wanita yang telah berkali-kali menyelamatkan nyawa
puteramu.”
Selir kaisar itu mengangkat muka memandang dan
tersenyum ramah sambil menghapus air matanya. Ceng Ceng cepat menjura dengan
hormat, lalu berkata, “Saya tidak berani mengganggu lebih lama lagi,
perkenankan saya pergi.”
“Eh, nanti dulu, Nona Lu. Mana mungkin
malam-malam begini membiarkan aku pergi? Kau bermalam di sini, besok pagi
masih belum terlambat untuk pergi.” Pangeran itu berkata dan ibunya juga
menahan sambil melangkah maju dan memegang tangan Ceng Ceng.
Dara ini merasa bingung dan sungkan, akan
tetapi sikap selir kaisar yang halus dan ramah itu membuat dia tidak berani
menolak lagi. Dia lalu diantar ke sebuah kamar dan dipersilakan mengaso,
dilayani oleh seorang pelayan wanita. Juga perwira Chi dan keluarganya sudah
diberi tempat untuk mengaso dan tidur, sedangkan Pangeran Yung Hwa dan ibunya
bercakap-cakap sampai jauh malam.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Ceng
Ceng sudah bangun dan mandi di dalam kamar mandi yang serba mewah dan indah.
Kemudian dia memasuki taman di samping kamarnya untuk menanti munculnya
Pangeran Yung Hwa karena dia ingin segera pergi dari tempat itu. Akan tetapi
baru saja dia memasuki taman, tampak pangeran itu sudah bangkit dari sebuah
bangku menyambutnya.
“Selamat pagi, Lu-siocia. Kuharap Nona dapat
beristirahat dengan cukup semalam.”
“Ah, terima kasih, Pangeran. Kebetulan sekali
karena memang saya ingin mohon diri dari sini.”
“Duduklah dulu, Nona Lu Ceng, duduklah di
bangku sini. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu.”
Terpaksa Ceng Ceng duduk di bangku berhadapan
dengan pangeran itu karena melihat sikap pangeran itu sungguh-sungguh.
“Biarpun baru saja aku berjumpa denganmu,
Nona, akan tetapi ada perasaan aneh di hatiku bahwa kita telah menjadi sahabat
yang tidak perlu menyimpan rahasia lagi. Karena itu aku ingin menceritakan
kepadamu mengapa aku sebagai seorang pangeran kaudapatkan bersembunyi di dalam
rumah perwira Chi dan mengapa pula ada usaha-usaha dari luar untuk menangkap
atau membunuh aku.”
Ceng Ceng selanjutnya tidak ingin mencampuri
urusan pangeran itu, juga tidak ingin mendengarkan ceritanya, akan tetapi
mengingat akan sikap halus ibu pangeran ini dan akan keramahan Si Pangeran
sendiri, juga karena dia merasa kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan
dan halus bersikap sederhana, tidak angkuh seperti biasanya kaum bangsawan,
merasa tidak tega untuk menolak dan dia hanya mengangguk.
“Mula-mula adalah kesalahanku sendiri. Aku
tergila-gila kepada Syanti Dewi, Puteri Bhutan.... eh, kau kenapa?” Pangeran
yang sambil bercerita selalu menatap wajah Ceng Ceng melihat betapa tiba-tiba
dara itu membelalakkan matanya dan wajah yang tadinya diam dan dingin itu
seperti mengeluarkan cahaya dan kedua pipinya kemerahan.
Namun Ceng Ceng segera dapat menguasai
hatinya yang tadi terkejut mendengar pangeran itu terang-terangan menyatakan
tergila-gila kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi. “Tidak apa-apa,
lanjutkanlah....” jawabnya.
“Akan tetapi ayahku, Sri Baginda Kaisar
menolak permintaanku untuk dilamarkan puteri itu, bahkan menjodohkan puteri
Bhutan itu dengan Paman Pangeran Liong Khi Ong yang sudah setengah abad
usianya demi politik. Hatiku sakit dan aku lalu lolos dari istana, melarikan
diri. Sikapku membikin marah Paman Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin Ong,
aku dikejar-kejar dan nyaris tewas. Aku dilindungi dan disembunyikan oleh
pamanku, saudara ibuku di luar kota raja dan di situ aku mendengar akan rencana
pemberontakan yang diatur oleh kedua orang paman Pangeran Liong itu. Bahkan
pencegatan rombongan Puteri Syanti Dewi yang diboyong itu pun kabarnya
dilakukan oleh sekutu para pemberontak. Maka aku lalu kembali ke Istana, akan
tetapi di tengah jalan aku terlihat oleh kaki tangan pemberontak dan tentu aku
sekarang telah tewas kalau tidak ada engkau yang muncul dan menyelamatkan nyawaku,
Nona Lu Ceng!”
“Sudahlah, Pangeran. Hal itu tidak perlu
dibicarakan lagi. Kakek adalah seorang bekas pengawal dahulu, maka sudah
sepatutnya kalau aku melindungi seorang pangeran yang terancam bahaya oleh
orang-orang jahat yang memberontak. Sekarang ijinkan aku memohon diri untuk
melanjutkan perjalananku.” Ceng Ceng bangkit berdiri.
“Engkau hendak ke manakah, Nona Lu?”
Ceng Ceng termenung. Dia sendiri tidak tahu
akan pergi ke mana. Akan tetapi segera terbayang olehnya pemuda tingi besar
yang memperkosanya, pemuda laknat yang menjadi musuh besarnya, “Aku.... aku
mencari seseorang....”
“Keluargamu?”
“Bukan....”
“Sahabatmu....?”
“Bukan!”
“Habis siapa dia? Biar aku akan membantumu dan
menyuruh para pengawa1 mencarinya.”
“Terima kasih, Pangeran. Ini urusan pribadi.
Aku akan pergi sekarang....”
Ceng Ceng sudah melangkah hendak pergi, akan
tetapi pangeran itu bangkit berdiri dan berkata, “Nanti dulu, Nona Lu!”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan membalikkan
tubuhnya, memandang penuh selidik. “Ada urusan apa lagi?”
“Tadi sudah kukatakan bahwa ada sesuatu yang
akan kusampaikan kepadamu.”
“Engkau sudah menceritakan semua.”
“Bukan.... bukan itu.... akan tetapi, ahh,
maafkan aku karena engkau begitu tergesa hendak pergi, terpaksa aku terus terang
saja. Nona Lu Ceng, aku.... begitu bertemu denganmu.... aku.... aku cinta
padamu, Nona!”
Ceng Ceng benar-benar terkejut bukan main,
matanya terbelalak memandang dengan mulutnya agak terbuka karena dia sama
sekali tidak pernah menyangka akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut
pangeran yang amat tampan itu!
“Maaf, Nona. Aku bersungguh-sungguh dalam hal
ini. Aku bahkan telah membicarakan dengan ibu, dan beliau sudah setuju. Nona
Lu, aku cinta padamu dan kalau Nona setuju, aku ingin meminangmu sebagai
isteriku....”
“Ahhh....!” Ceng Ceng menundukkan mukanya yang
tiba-tiba menjadi merah sekali. Selama hidupnya, baru satu kali ini ada pria
mengaku cinta secara demikian terang-terangan, bahkan sekaligus melamarnya
sebagai isterinya.
“Maafkan, Nona Lu Ceng. Memang ini tidak
semestinya, memang sepatutnya aku mengajukan pelamaran kepada orang tuamu, akan
tetapi karena aku tidak tahu di mana kau tinggal, siapa orang tuamu, dan karena
kau begitu tergesa-gesa hendak pergi, aku takut kalau-kalau kita tidak akan
saling bertemu kembali, maka aku memberanikan diri....”
Tiba-tiba Lu Ceng menangis terisak-isak
menutupi mukanya dan dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Disebutnya
orang tuanya oleh pangeran itu membuat hatinya seperti ditusuk, mengingatkan
dia akan semua nasibnya dan betapa tidak ada orang tua maupun kakeknya yang
dapat dia sandari, yang dapat menghiburnya.
“Ahh, ampunkan aku, Nona Lu. Agaknya aku telah
melukai hatimu.... akan tetapi percayalah, aku tidak bermaksud menghinamu....
semua pernyataanku keluar dari hatiku yang murni....”
Ceng Ceng mengusap air matanya, lalu
memandang. Dilihatnya pangeran itu telah menjatuhkan diri berlutut di
depannya! Seorang pangeran putera kaisar, telah berlutut di depannya! Berlutut
kepadanya! Dara ini terlalu muda untuk mengerti bahwa cinta asmara memang
dapat membuat seorang pria melakukan apa saja sehingga kalau seorang pangeran
sampai berlutut di depan dara yang dicintanya, hal itu sama sekali tidaklah
aneh! Maka dia segera meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya.
“Pangeran, harap jangan berlutut!”
Pangeran Yung Hwa bangkit berdiri dan wajahnya
berseri. “Engkau tidak marah kepadaku?”
Ceng Ceng kembali menghadapi pangeran itu,
kini memandang dengan sinar mata penuh selidik karena masih sukar baginya untuk
dapat percaya bahwa pangeran yang amat tampan ini, putera kaisar, benar-benar
jatuh cinta padanya dan meminangnya untuk menjadi isterinya!
“Tidak, aku tidak marah, hanya aku merasa
heran sekali, Pangeran.”
“Heran? Ha-ha-ha, Nona Lu! Seorang dara
seperti engkau ini, biar dewa sekalipun pantas untuk jatuh cinta, apalagi hanya
seorang pangeran puteri selir macam aku!”
Ucapan ini benar-benar mengelus rasa hati Ceng
Ceng, mengangkat harga dirinya setinggi langit. “Pangeran Yung Hwa, apakah
engkau sudah lupa lagi kepada Puteri Syanti Dewi yang kaukatakan sendiri telah
membuat engkau tergila-gila tadi?”
“Ah, dia? Aku telah insyaf setelah aku
melarikan diri keluar dari istana, Nona. Aku hanya tergila-gila kepada
bayangan, kepada gambaran belaka. Selamanya aku belum pernah bertemu dengan
Syanti Dewi, hanya tergila-gila mendengar berita orang tentang kecantikannya,
tentang kebaikannya. Akan tetapi engkau.... engkau adalah seorang dara dari
darah daging, yang hidup, bukan bayangan mati. Dan setelah aku berjumpa
denganmu, tidak ada lagi bayangan Syanti Dewi di dalam hatiku, yang ada hanya
engkau, Nona.”
Makin nyaman rasa hati Ceng Ceng mendengarkan
semua kata-kata itu. Dia seperti merasa dalam mimpi yang amat indah dan dia
memejamkan matanya karena hampir tidak percaya bahwa ini mimpi. Pangeran yang
tampan dan halus itu, yang di balik kehalusan dan kelemahannya memiliki
keberanian dan kegagahan luar biasa pula ketika menghadapi bahaya, telah jatuh
cinta padanya, meminangnya sebagai isteri!
Tubuhnya gemetar semua ketika tahu-tahu dia
merasa ada dua lengan yang memeluknya. Dari balik bulu matanya, dia melihat
bahwa Pangeran Yung Hwa telah merangkulnya dengan mesra, betapa dekat muka yang
halus tampan itu, yang kini menjadi kemerahan dan mata yang indah itu memandang
kepadanya penuh cinta kasih mesra, membuat Ceng Ceng hampir pingsan! Ketika
merasa betapa napas yang panas dari hidung pangeran itu meniup pipinya, dia
mengelak sedikit dan berbisik, “Akan tetapi, Pangeran.... aku.... aku hanya
seorang gadis perantau....”
Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya
karena kini pangeran itu telah mempererat dekapannya dan telah mencium pipinya
dengan hidung sambil membisikkan kata-kata indah di dekat telinganya,
“Ceng-moi.... bagiku engkau adalah seorang bidadari.... engkau mulia seperti
Kwan Im Pouwsat sendiri.... engkau gagah perkasa seperti pendekar wanita Hoan
Lee Hwa (dalam cerita Sie Jin Kwi) dan aku.... aku cinta padamu dengan seluruh
jiwa ragaku, Moi-moi....”
“Ahhh.... tapi.... tapi aku....” Kembali Ceng
Ceng tak mampu melanjutkan karena kini bibir pangeran itu telah menutup
mulutnya dengan ciuman yang hangat dan mesra, yang dilakukan dengan penuh
getaran batinnya. Sejenak Ceng Ceng terlena seperti pingsan dalam pelukan
pangeran itu, menerima ciuman yang melupakan segala hal itu. Tiba-tiba
terbayang wajah pemuda laknat dan teringatlah dia akan keadaan dirinya. Dia
meronta dan pangeran itu berseru kaget, tentu saja pelukannya terlepas dan dia
tidak mampu menahan gerakan Ceng Ceng yang meronta tadi.
Wajah Ceng Ceng pucat sekali, matanya menjadi
liar. “Tidak....! Tidak....! Tidak....!” Gadis itu setengah menjerit.
“Aih, Moi-moi.... kekasihku.... ada
apakah....?” Pangeran itu berseru kaget dan melangkah dekat, akan tetapi Ceng
Ceng melangkah mundur menjauhi.
“Jangan sentuh aku! Jangan....!” jeritnya.
“Aduh, Ceng-moi, kenapakah? Apakah salahku?
Aku cinta padamu....”
“Tidak boleh begitu!”
“Mengapa? Terasa olehku betapa engkau pun
membalas cintaku, Ceng-moi. Kenapa tidak boleh?”
Sepasang mata itu kembali mencucurkan air
mata karena dia teringat kembali akan keadaan dirinya yang telah ternoda, yang
telah diperkosa oleh Si Pemuda Laknat. Akan tetapi betapa mungkin dia
menceritakan hal itu kepada orang lain, apalagi kepada pangeran ini? Lebih baik
mati!
“Pangeran, ketahuilah bahwa Enci Syanti Dewi
adalah kakak angkatku. Karena itu, engkau tidak boleh cinta padaku. Nah,
selamat tinggal!” Dengan isak tertahan Ceng Ceng meloncat ke atas genteng dan
melarikan diri.
“Ceng-moi....!” Pangeran itu berseru
memanggil, namun Ceng Ceng tidak mau menoleh lagi, bahkan mempercepat
loncatannya sehingga sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Pangeran Yung
Hwa yang menjadi bengong dan pucat, sinar matanya layu kehilangan gairah hidup.
Air mata masih mengalir perlahan di kedua pipi
Ceng Ceng ketika dara ini berjalan perlahan keluar dari pintu gerbang sebelah
selatan kota raja. Hatinya diliputi bermacam perasaan. Terharu mengingat akan
cinta kasih Pangeran Yung Hwa yang dia percaya sungguh-sungguh mencintanya,
kecewa bahwa dia terpaksa tidak dapat menyambut cinta kasih pangeran itu, dan
keadaan ini selain mendatangkan duka, juga menambah sakit hatinya terhadap Si
Pemuda Laknat karena pemuda itulah yang menjadi biang keladi semua kedukaan
dan kesengsaraan hatinya. Sungguhpun dia sendiri belum tahu apakah dia juga
mencinta pangeran itu, namun kalau tidak terjadi malapetaka menimpa dirinya,
agaknya tidak akan sukar bagi dara manapun juga untuk membalas cinta kasih
seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu. Hatinya menjadi panas dan murung
mengingat pemuda tinggi besar, Si Laknat yang dicarinya itu. Ke mana dia harus
mencari? Inilah yang membuat dia murung dan kesal karena dia tidak tahu di
mana adanya musuh besar yang diburunya itu.
Dengan langkah gontai tanpa tujuan tertentu
dan pikiran melayang-layang, tanpa disadarinya lagi Ceng Ceng telah melakukan
perjalanan sehari penuh tanpa berhenti. Hari telah menjelang malam, senja yang
cepat gelap karena langit tertutup awan. Ceng Ceng tiba di luar dusun sebelah
selatan kota raja di mana terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Yung-ting.
Seperti orang kehilangan semangat, tubuhnya lemas karena sehari penuh tidak
makan atau minum, Ceng Ceng naik ke atas jembatan yang menyeberang sungai itu.
Dalam cuaca yang remang-remang, dia melihat
sebuah benda di pinggir jembatan itu, dan ketika dia mendekat, ternyata benda
itu adalah sebuah pot bunga. Benda yang tidak semestinya berada di jembatan,
dan hal ini menarik perhatiannya, membuat dia berhenti dan mengamati pot bunga
itu dengan heran. Tidak ada seorang pun manusia di jembatan itu, hanya dia
seorang diri. Terasa aneh sekali berada di jembatan besar itu seorang diri,
seperti tergantung di angkasa, dan pot bunga itu menambah keanehan suasana yang
dirasakannya. Pot bunga itu terbuat dari besi tebal, tentu berat sekali,
apalagi ditambah beratnya tanah di dalamnya. Hal ini menandakan bahwa orang
yang membawanya ke tempat ini tentu seorang yang memiliki tenaga besar. Akan
tetapi tidak tampak seorang pun manusia di situ.
“Hei, Nona cilik! Mau apa engkau longak-longok
di situ? Lekas pergi kalau tidak ingin mampus menjadi setan air!”
Suara ini terdengar dari kolong jembatan,
seperti suara setan karena tidak kelihatan bayangan orang. Kalau saja bukan
Ceng Ceng, seorang laki-laki pun tentu akan takut mendengar suara kasar itu dan
tentu akan lari terbirit-birit, menyangka bahwa yang bersuara mengancam itu
tentulah setan sungai atau setan jembatan. Akan tetapi Ceng Ceng adalah seorang
gadis yang pemberani, apalagi setelah dia pernah hidup di neraka bawah tanah
bersama subonya, Ban-tok Mo-li Ciang Si (Iblis Betina Selaksa Racun), tidak
sesuatu pun di dunia ini yang ditakutinya. Padasaat itu, hatinya sedang
mengkal dan kesal, maka begitu mendengar suara itu, mendadak saja darahnya
naik dan dia menjadi marah sekali. Ditendangnya pot bunga itu dengan kaki
kanannya sambil mengerahkan sin-kang tentunya karena dia tahu bahwa pot besi
itu amat berat. Pot besi itu terlempar keluar jembatan!
Akan tetapi, Ceng Ceng tidak mendengar suara
benda itu terjatuh ke air, seolah-olah benda itu lenyap di tengah udara begitu
saja. Selagi dia termangu-mangu dan dengan heran menjenguk dari jembatan sambil
berusaha menembus kegelapan di bawah dengan matanya, tiba-tiba terdengar suara
suitan orang dan tampaklah berkelipnya lampu dari tepi sungai. Penerangan
seperti kunang-kunang ini bergerak ke tengah sungai dan di dalam cuaca
remang-remang itu tampaklah sebuah perahu. Kembali terdengar suara orang,
suara yang kasar tadi, akan tetapi kini suara itu terdengar halus penuh
hormat!
“Kami mempersilakan Li-hiap untuk menerima
penyambutan kami dan meloncat ke perahu.”
Tentu saja Ceng Ceng tidak sudi memenuhi
permintaan ini. Biarpun dia tidak takut, akan tetapi dia tidaklah sebodoh itu,
mau saja dijebak orang yang tidak dikenalnya.
“Huhh!” Dia mendengus dan hendak pergi
melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi kakinya berhenti bergerak lagi ketika
mendengar suara orang tadi, kini penuh ejekan sungguhpun masih tetap menghormat.
“Apakah kami telah keliru? Apakah seorang
calon beng-cu (pemimpin rakyat) mengenal rasa takut? Apa sih bahayanya meloncat
dari jembatan ke perahu jika memiliki kepandaian tinggi? Harap Lihiap tidak
menduga yang bukan-bukan! Kami sengaja menyambut Lihiap dan maafkan kelancangan
kami tadi karena kami tidak menyangka bahwa calon beng-cu yang ditunggu-tunggu
dari selatan adalah seorang wanita muda!”
Bergolak darah di tubuh Ceng Ceng ketika dia
dikira takut tadi. Kemudian dia tertarik mendengar kata-kata selanjutnya.
Mengertilah dia bahwa dia disangka orang lain dan pot bunga itu merupakan
semacam tanda rahasia bagi orang yang diundang dan penyambutan undangan kiranya
adalah dengan menendang pot bunga itu! Secara tidak disengaja dia telah
menyambut undangan mereka! Siapa tahu, pemuda laknat itu berada bersama dengan
mereka! Agaknya mereka itu adalah kaum sesat seperti pernah dia mendengar
cerita kakeknya, golongan hitam atau kaum sesat yang sedang mengadakan
pemilihan pimpinan atau beng-cu dan dia dianggap seorang calon beng-cu. Pemuda
laknat itu sudah pasti merupakan seorang tokoh kaum sesat pula, maka sangat
boleh jadi dia akan menjumpainya di tempat orang-orang ini. Teringat akan
kemungkinan besar ini, tanpa meragu lagi dia lalu mengayun tubuhnya meloncat ke
bawah, ke atas perahu yang menjemputnya!
Biarpun dalam hal ilmu silat mungkin
kepandaian Ceng Ceng belum termasuk hitungan, namun gadis ini memiliki gin-kang
atau ilmu meringankan tubuh yang cukup baik, maka ketika meloncat dan hinggap
di perahu tidak menimbulkan banyak guncangan. Dua orang laki-laki tinggi besar
menyambutnya di perahu dengan sikap menghormat,
“Selamat datang, Lihiap. Terpaksa kami
menyambut secara begini karena pasukan pemerintah kini sering kali melakukan
perondaan dengan ketat. Silakan Lihiap mengaso di dalam perahu. Kami terpaksa
menyamar sebagai nelayan-nelayan biasa.”
Ceng Ceng adalah seorang dara yang memiliki
kecerdasan. Dia sudah yakin sekarang bahwa dua orang ini keliru menyambut orang
yang diharapkan kedatangannya, orang yang dianggap sebagai seorang calon
beng-cu. Maka dia pun tidak banyak cakap karena dia ingin melihat ke mana dia
akan dibawa dan mungkin sekali di tempat itu dia akan bertemu dengan musuh
besar yang dicari-carinya itu. Akan tetapi untuk mengetahui lebih banyak, dia
menegur setengah bertanya, berdasarkan kata-kata seorang di antara mereka tadi
setelah dia duduk dan perahu digerakkan dengan cepat.
“Bagaimana kalian sampai tidak menyangka?
Apakah kalian tidak memperoleh keterangan cukup tentang orang yang harus
kalian sambut?”
Seorang di antara mereka menggunakan dayung
mendayung perahu yang meluncur cepat sekali sehingga diam-diam Ceng Ceng merasa
ngeri, teringat dia akan pengalaman pahitnya dahulu ketika dia bersama Syanti
Dewi dihanyutkan perahu sehingga akhirnya perahu bertumbukan dan dia bersama
Syanti Dewi tenggelam dan hanyut sehingga terpisah sampai sekarang. Semenjak
itu, dia merasa ngeri kalau mengingatnya dan sekarang dia naik sebuah perahu
yang didayung cepat sekali, maka tentu saja hatinya menjadi tegang dan
khawatir, namun tidak ada perubahan pada wajahnya. Orang ke dua segera
menjawab, sikapnya tetap menghormat, dan agaknya dia memang suka bicara maka
dia bercerita banyak sehingga menyenangkan hati Ceng Ceng yang memang hendak
memancing keterangan dari orang lain.
“Maaf, Lihiap. Memang kami telah memperoleh
keterangan dari Pangcu, akan tetapi kami semua anggauta Tiat-ciang-pang
(Perkumpulan Tangan Besi) tidak ada yang pernah bertemu dengan kelima orang
Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina dari Sungai Loan), hanya mendengar bahwa
Lihiap berlima adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan Lihiap
sendiri sebagai orang pertama dari Loan-ngo Mo-li diundang oleh Pangcu kami
untuk memasuki sayembara perebutan kedudukan beng-cu. Tentu saja kami mengira
bahwa Loan-ngo Mo-li adalah lima orang wanita yang tidak semuda Lihiap, apalagi
Lihiap sebagai orang pertama....” Orang laki-laki tinggi besar itu tidak berani
melanjutkan kata-katanya ketika melihat Ceng Ceng memandang seperti orang
marah. Memang dara ini menjadi marah ketika dia disangka orang pertama dari
Lima Iblis Betina! Akan tetapi karena dia tahu itu, maka dia menekan
kemarahannya, hanya melangkah ke tengah perahu di mana terdapat bilik bambu
sambil berkata, “Sudahlah, aku hendak mengaso!”
Di dalam bilik perahu itu, Ceng Ceng memutar
otaknya. Jelas bahwa dia telah melibatkan diri dalam urusan kaum sesat yang
berbahaya! Akan tetapi ketika teringat kemungkinan untuk menemukan jejak musuh
besarnya, atau setidaknya dia akan dapat bertanya-tanya kepada kaum sesat yang
tentu mengenal orang itu, hatinya lega dan dia dapat tidur nyenyak di dalam
bilik perahu yang sempit itu. Pada keesokan harinya, dia terbangun oleh cahaya
matahari yang menembus celah-celah bilik. Dia membuka jendela bilik kecil dan
menggunakan tangannya mengambil air untuk mencuci muka dan tangannya, kemudian
dia keluar dari bilik. Dua orang laki-laki yang sedang mendayung perahu,
mengangkat muka dan jelas kelihatan betapa mereka tercengang dan memandang kagum.
Mereka sudah terheran-heran melihat betapa orang yang mereka jemput adalah
seorang wanita muda, dan kini mereka menjadi makin heran dan kagum sekali
melihat wajah dara, yang demikian cantik jelita, wajah yang bersinar kemerahan
ditimpa matahari pagi sehabis digosok-gosok ketika mencuci muka tadi. Di lain
pihak, Ceng Ceng merasa tak senang dipandang seperti itu, apalagi yang
memandangnya adalah dua orang laki-laki tinggi besar yang kini kelihatan
berwajah kejam, kasar dan kurang ajar!
“Kalian memandang apa?” bentaknya marah.
Suaranya melengking tinggi menggetarkan dan dua orang itu cepat-cepat
menundukkan mukanya. Seorang di antara mereka, yang kumisnya tebal sekali,
berkata, “Maaf, Lihiap. Kami hanya mempunyai bekal roti kering dan arak kasar,
kalau Lihiap suka....”
“Aku lapar! Aku ingin makan daging ikan.”
“Akan tetapi.... kami tidak membawa pancing
atau jala....”
“Bodoh! Biar aku yang menangkap ikan, kalian
yang memanggangnya nanti!” Ceng Ceng lalu duduk di pinggir perahu. “Bawa perahu
ke pinggir, di bawah pohon sana di mana tentu banyak ikannya.”
Dua orang itu tidak membantah dan benar saja,
di bawah pohon yang rindang itu terdapat banyak ikan lee-hi atau semacam itu.
Ceng Ceng memasukkan tangan kirinya ke dalam air di dekat perahu, digoyang-goyang
perlahan sehingga menarik beberapa ekor ikan besar. Setelah ikan-ikan itu
dekat, Ceng Ceng mengerahkan sin-kangnya sehingga hawa beracun di dalam
tubuhnya berkumpul di tangan, getaran-getaran hebat terjadi dan dua ekor ikan
yang terdekat terkena hawa beracun tangannya, menjadi mabok dan diam saja
ketika ditangkap oleh gadis ini! Ceng Ceng melemparkan dua ekor ikan itu ke
dalam perahu sambil berkata, “Nah, kalian panggang ikan-ikan ini! Seekor
untukku!” Setelah berkata demikian, dia meninggalkan mereka dan duduk di kepala
perahu yang sudah dijalankan lagi oleh seorang di antara mereka sedangkan
orang yang berkumis tebal sudah sibuk dengan ikan-ikan tadi. Mereka tadi
terkejut dan melongo, dan kini mereka yakin akan kelihaian gadis cantik ini!
Ceng Ceng memang sengaja memperlihatkan
kepandaiannya, kepandaian yang tidak dimengerti oleh dua orang itu, yang
mengira bahwa gadis itu menggunakan ilmu aneh untuk menangkap ikan. Mereka
sama sekali tidak tahu bahwa di hadapan mereka adalah seorang gadis beracun
yang amat berbahaya, murid tunggal dan pewaris tunggal dari Ban-tok Mo-li yang
belum ada tandingannya dalam hal ilmu tentang racun!
Hari telah siang ketika perahu itu menyentuh
tepi sungai di sebuah lembah yang penuh dengan batu-batu besar dan pohon-pohon
liar. Ketika Ceng Ceng bersama dua orang laki-laki itu meloncat ke darat dari
perahu, dia melihat banyak orang di lembah itu. Dia bersikap hati-hati dan
waspada, maklum bahwa dia berada di antara kaum sesat yang agaknya telah
berkumpul di tempat ini untuk mengadakan pemilihan seorang beng-cu, yaitu orang
yang dianggap patut untuk memimpin mereka semua.
Memang dugaannya ini, berdasarkan cerita Si
Kumis Tebal, adalah benar. Hari itu, semua tokoh kaum sesat yang tinggal di
sekitar kota raja berkumpul di lembah itu atas undangan penyelenggara pertemuan
itu, yaitu perkumpulan Tiat-ciang-pang. Perkumpulan ini merupakan perkumpulan
kaum sesat yang paling besar dan paling terkenal di sekitar daerah kota raja,
karena para anggautanya adalah golongan perampok dan pencopet! Mereka ini
menganggap diri mereka sebagai golongan sesat yang lebih “terhormat” dan lebih
tinggi daripada tingkat golongan sesat yang lain. Terutama sekali terhadap
golongan pencuri, Tiat-ciang-pang memandang rendah. Bagi mereka, pekerjaan kaum
pencuri adalah kotor dan bersifat pengecut. Pencuri mengambili barang orang
yang sedang tidur, sedang tidak berdaya dan pekerjaan ini dianggap kotor dan
hina oleh kaum pencopet dan perampok yang bergabung dalam perkumpulan
Tiat-ciang-pang! Berbeda dengan mereka, demikian pendapat mereka. Mereka adalah
para pencopet dan perampok, yang mengambil atau merampas barang orang yang
sadar, yang dapat berjaga diri yang dapat melawan. Pekerjaan mereka lebih
menunjukkan kejantanan!
Memang demikianlah sifat kita manusia pada
umumnya. Kita amat kritis terhadap orang lain karena dalam memandang orang
lain, mata kita selalu mencari cacat-cacatnya dalam segala perbuatan orang
lain. Kita amat pandai untuk menunjukkan kesalahan orang lain dan dalam menilai
orang lain, kita biasanya membutakan mata terhadap kebaikannya akan tetapi
menonjolkan cacat-cacatnya! Kita tidak pernah memandang seperti itu kepada diri
sendiri. Sebaiknya, kita membutakan mata terhadap cacat-cacat kita dan
menonjolkan kebaikan kita. Kalau toh kita terpaksa melihat kesalahan kita, kita
akan selalu siap membela diri, siap mencarikan alasan untuk membela kesalahan
kita itu agar tidak menjadi kesalahan lagi! Senjata kita untuk itu selalu
adalah pembelaan diri, bahwa kita melakukan suatu hal yang tidak baik karena
terpaksa dan sebagainya. Kita semua pada hakekatnya ingin baik, ingin menjadi
baik, ingin menjadi budiman, ingin menjadi orang yang bajik. Akan tetapi betapa
mungkin hal ini terjadi? Dalam keadaan diri kotor ingin tampak bersih, hal ini
sama sekali tidak mungkin. Segala usaha palsu akan dilaksanakan untuk menutupi
kekotorannya itu agar kelihatan bersih. Akan tetapi, ditutupi dengan apa pun,
tentu saja akan tetap tinggal kotor! Yang penting bukanlah keinginan untuk
bersih, melainkan kesadaran akan kekotoran dirinya! Kesadaran ini timbul dari
pengertian, dari pengertian ini datang bersama pengenalan diri sendiri.
Kesadaran dan pengertian akan melenyapkan kekotoran itu dan dengan lenyapnya
kekotoran, hilang pula keinginan untuk bersih. Pengertian timbul pada
kewaspadaan saat ini, pengertian adalah saat demi saat yang mendatangkan
tindakan seketika. Pengertian yang disimpan menjadilah pengetahuan yang mati,
seperti semua pengetahuan yang hanya menjadi barang lapuk di dalam gudang ingatan.
Pengertian dari kewaspadaan adalah kesadaran akan segala sesuatu di luar dan
di dalam diri kita setiap saat! Bukan aku yang mengerti, bukan aku yang
waspada, bukan aku yang sadar! Begitu ada aku di situ terdapat penilaian,
perbandingan dan pemilihan, si aku menimbulkan pengejaran akan kesenangan dan
penolakan akan yang tidak menyenangkan. Maka segala perbuatan akan bersumber
kepada si aku, maka jauh dari kebenaran.
Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) yang
merasa diri sebagai perkumpulan “orang-orang gagah” itu memiliki anggauta
kurang lebih seratus orang banyaknya, semua terdiri dari pencopet dan perampok
yang rata-rata memiliki kepandaian cukup hebat. Ketuanya adalah seorang
perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmunya yang
dinamakan Tiat-ciang-kang (Ilmu Tenaga Tangan Besi) yang membuat kedua
tangannya seperti besi kerasnya, dapat dipergunakan sebagai senjata, bahkan
menghadapi lawan yang tidak terlalu kuat, kedua tangan ketua ini dapat
dipergunakan untuk menangkis senjata tajam! Ketua Tiat-ciang-pang ini
berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) dan bernama Tong Hoat. Lembah Sungai Yung
Ting itu menjadi pusat berkumpulnya para anggauta Tiat-ciang-pang dan setelah
masuk menjadi anggauta perkumpulan ini, para pencopet dan perampok yang telah
memiliki kepandaian itu diperkenankan untuk melatih diri dengan Ilmu Tangan
Besi. Tentu saja tidak mudah memiliki ilmu ini secara sempurna karena
latihan-latihannya yang amat berat dan sebagian besar yang melatih ilmu ini
tidak kuat, atau yang dapat berhasil pun hanya sekedar dapat membuat lengan
mereka lebih kuat dan keras dari biasanya. Tidak ada yang berhasil mencapai
tingkat seperti yang dimiliki oleh ketua mereka, Tiat-ciang Tong Hoat sendiri.
Mungkin karena merasa bahwa mereka adalah kaum
sesat yang “terhormat” dan “gagah”, maka timbullah semacam keangkuhan di dalam
hati Tong Hoat, ketua perkumpulan itu, sehingga mereka memiliki pegangan atau
pendirian sebagai orang-orang “gagah” yang tidak mau tunduk kepada golongan
pemberontak yang membujuk mereka untuk bersekutu! Karena ada pertentangan dan
perpecahan di antara kaum sesat itulah, gara-gara bujukan pihak pemberontakan
yang berusaha untuk merangkul mereka, maka hari ini diadakan pertemuan yang
dipelopori oleh Tiat-ciang-pang, untuk mengadakan pemilihan beng-cu. Selain
untuk memperlihatkan kekuatannya, juga Tiat-ciang-pang ingin menyatukan
golongan sesat dan membersihkan golongan ini dari pengaruh pemberontakan dengan
jalan memilih seorang beng-cu.
Tong Hoat sendiri maklum bahwa di antara
golongan kaum sesat ini, terdapat banyak orang pandai. Karena merasa bahwa
belum tentu dia seorang diri dapat menangkan kedudukan beng-cu ini, maka dia
teringat kepada seorang tokoh yang dia tahu amat tinggi kepandaiannya, yaitu
orang pertama dari Loan-ngo Mo-li atau Lima Iblis Betina Sungai Loan. Dia
mengundang Song Lan Ci, demikian nama wanita lihai itu, dan karena pada waktu
itu terdapat banyak mata-mata, baik dari pihak pemerintah maupun dari pihak
pemberontak, maka dia menyuruh dua orang kepercayaannya menyambut dengan
tanda-tanda rahasia seperti yang telah dia janjikan dengan Song Lan Ci.
Kehadiran wanita lihai ini adalah untuk memperkuat kedudukannya, atau kalau
perlu, daripada kedudukan beng-cu jatuh ke tangan orang yang memihak
pemberontak, lebih baik jatuh ke tangan tokoh wanita ini. Dan dia merasa yakin
bahwa Song Lan Ci akan suka membantunya, mengingat bahwa di antara dia dan
wanita itu terdapat hubungan yang cukup erat! Pernah dua tahun yang lalu,
secara kebetulan dia bertemu dengan Sing Lan Ci yang sedang dikepung oleh
musuh-musuhnya, dikeroyok banyak orang dan berada dalam keadaan terdesak.
Melihat seorang wanita cantik dan gagah perkasa dikeroyok banyak orang
laki-laki, Tong Hoat segera maju membantu sehingga para pengeroyok dapat
dipukul mundur dan terjalinlah perkenalan dan persahabatan di antara mereka.
Ceng Ceng mengikuti dua orang penjemputnya
itu untuk menghadap Ketua Tiat-ciang-pang. Ketika berjalan menuju ke sebuah
pondok yang agak jauh dari tempat perhentian perahu, mereka berjalan melewati
banyak sekali orang-orang golongan sesat yang sedang menanti di sekitar tempat
itu. Ceng Ceng mencari-cari dengan matanya kalau-kalau musuh besarnya berada di
antara mereka itu. Akan tetapi dia tidak melihat munculnya, dan agaknya akan
aneh sekali kalau musuh besarnya itu, seorang pemuda tinggi besar yang tampan
dan gagah, berada di antara orang-orang ini. Orang-orang yang jorok dan
menimbulkan kengerian di hatinya. Ada di antara mereka yang sedang bermain
kartu dan bertaruhan besar sehingga tempat itu menjadi bising dengan suara
mereka. Itu adalah golongan para penjudi yang hidupnya hanya diisi dengan
kegemaran ini, berjudi dan mempertaruhkan segala miliknya. Ada pula yang
sedang minum arak sambil tertawa-tawa dan mereka ini semua sudah mabok atau
setengah mabok. Inilah golongan pemabok yang hidupnya hanya mengejar
kesenangan dibuai alam khayal ketika mabok. Golongan lain yang memisahkan diri
mereka agak aneh.
Mereka ini terdiri dari orang-orang yang
sebagian besar sudah tua dan tubuh mereka kurus, muka pucat. Mereka ini
berkelompok dan kelihatan tenang-tenang saja, akan tetapi di antara mereka itu
tampak asap bergulung-gulung ke atas seolah-olah di tempat itu terjadi
kebakaran kecil. Ceng Ceng mendengus dan cuping hidungnya bergerak-gerak ketika
dia mencium bau yang memuakkan. Tahulah dia bahwa kelompok ini adalah golongan
pecandu madat dan penggemar asap beracun semacam ini. Hidup mereka tidak ada
bedanya dengan golongan-golongan lain, mengejar kesenangan membiarkan dirinya
diayun di angkasa oleh asap madat! Ada pula golongan lain yang pakaiannya mewah
dan pesolek, sikap mereka genit dan ketika Ceng Ceng lewat, mereka itu
tersenyum-senyum, bersuit, dan ada pula yang mengeluarkan kata-kata cabul
sungguhpun mereka tidak langsung menujukan kata-kata itu kepada Ceng Ceng.
Inilah golongan hidung belang yang kerjanya setiap hari hanya memikirkan
kecabulan dan mengejar-ngejar wanita cantik.
Lengkaplah semua golongan sesat berada di
tempat itu. Maling, pencopet, perampok, pemadat, pemabok, hidung belang,
penjudi, semua berkumpul di situ dan merasa betah karena seperti berada di
antara keluarga sendiri! Ceng Ceng merasa ngeri seolah-olah dia telah memasuki
suatu masyarakat yang aneh dan asing baginya.
Pintu pondok terbuka dari dalam ketika
diketok oleh dua orang penjemput itu. Mereka masuk melewati beberapa orang
pengawal yang memandang tajam, kemudian memasuki sebuah ruangan di mana duduk
seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya masih gagah. Di
depannya duduk pula empat orang laki-laki lain yang agaknya menjadi tamunya.
Ketika dua orang pembantu Ketua Tiat-ciang-pang itu melaporkan bahwa orang yang
dijemput telah tiba, dan laki-laki itu memandang Ceng Ceng, dia mengerutkan
alisnya. Kemudian mempersilakan empat orang sekutunya itu keluar, juga dua
orang pembantunya yang menjemput Ceng Ceng disuruhnya keluar. Setelah mereka
berada berdua saja di ruangan itu, laki-laki yang bukan lain adalah
Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat itu, bangkit berdiri dan menjura ke arah Ceng Ceng.
Ceng Ceng memandang tajam, melihat bahwa setelah berdiri, laki-laki itu
bertubuh agak pendek dan gendut, namun sikapnya gagah dan berwibawa.
“Silakan duduk, Nona. Bagaimana kabarnya
dengan Loan-ngo Mo-li, terutama sekali dengan Nona Song Lan Ci?” Tong Hoat
bertanya dengan ramah.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan menggeleng
kepalanya. “Aku tidak mengenal siapa adanya Loan-ngo Mo-li atau Song Lan Ci
sekalipun.”
Mendengar jawaban ini, berubah wajah Tong Hoat
dan dia meloncat berdiri, sejenak memandang ke luar seolah-olah dia hendak
bertanya kepada dua orang pembantunya yang sudah disuruhnya keluar tadi,
kemudian dia memandang wajah Ceng Ceng penuh perhatian dan keraguan. “Nona,
apa yang kaukatakan ini? Bukankah engkau diutus oleh Nona Song....”
“Aku tidak mengenal dia!”
Tong Hoat menjadi makin curiga dan dia
memandang marah. “Kalau begitu, siapa engkau dan mengapa engkau berani
memalsukan orang yang kuundang?”
Ceng Ceng mengangkat mukanya dan memandang
dengan berani. “Siapa adanya aku, tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Aku
tidak mengenal orang-orang yang kausebut namanya tadi, juga aku tidak mempunyai
urusan dengan Tiat-ciang-pang. Aku datang ke sini karena ketika aku lewat di
jembatan, aku menendang pot bunga dan aku disambut oleh dua orangmu yang
membawa perahu. Nah, sekarang aku berada di sini dan aku bukan orang yang
kauundang. Habis, engkau mau apa?”
Mendengar ucapan Ceng Ceng dan melihat sikap
gadis itu, Tong Hoat terheran-heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa
tentu dara muda yang cantik ini bukan orang sembarangan. Kalau sampai bocor
rahasia ini dan ketahuan oleh pihak lawan bahwa dia telah keliru memanggil
orang, tentu selain akan mendatangkan ejekan dan tertawaan, juga lawan akan
melihat kelemahan Tiat-ciang-pang. Kembali dia memandang Ceng Ceng. Seorang
wanita muda yang telah berani menempuh bahaya ketika dijemput dua orang
pembantunya seperti dara ini, tentu memiliki kepandaian yang tinggi, pikirnya.
Kalau tidak demikian halnya, tentu dua orang pembantunya akan mengetahui
kekeliruan mereka dan sudah bertindak. Maka timbul pikirannya untuk menyambut
orang yang keliru dlpanggil ini sebagal seorang kawan, daripada sebagai lawan
dalam keadaan menghadapi pihak lawan yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dia
lalu tertawa dan duduk kembali.
“Ha-ha-ha, ini namanya jodoh! Memang kita
berjodoh untuk menjadi sahabat, Nona. Kuharap engkau suka memaafkan ketololan
dua orang pembantuku. Akan tetapi sungguh kami merasa mendapat kehormatan
besar memperoleh kunjungan seorang wanita gagah seperti Nona. Ketahuilah bahwa
aku adalah pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang dan satu di antara kegemaranku
adalah bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw.”
Ceng Ceng memutar otaknya. Orang ini adalah
ketua perkumpulan yang agaknya besar dan berpengaruh. Dia sudah datang ke
tempat itu, sebaiknya kalau dia bersahabat dengan ketua ini. Dengan bantuan
ketua ini, agaknya akan lebih mudah baginya untuk menyelidiki di mana adanya
musuh besarnya.
“Kalau memang engkau berniat baik, Pangcu, aku
pun datang bukan untuk mencari musuh baru. Namaku adalah Lu Ceng, dan seperti
kukatakan tadi, aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan orang-orang yang
kaundang, juga tidak ingin mencampuri urusan pemilihan bengcu di sini.”
Tong Hoat kembali tersenyum, lalu bangkit dan
menjura. “Aku merasa terhormat sekali, Nona Lu Ceng. Aku adalah Tong Hoat
yang dikenal sebagai Tiat-ciang (Si Tangan Besi), ketua dari Tiat-ciang-pang.
Sebelum kita bicara lebih jauh, sebagai tanda perkenalan dan penghormatanku,
aku mempersilakan Nona minum arak penghormatan ini!” Ketua itu menuangkan
secawan arak lalu memberikan cawan itu kepada Lu Ceng.
Ceng Ceng menerima tanpa banyak cakap, lalu
membawa cawan itu ke dekat bibirnya. Sekali cium saja mengertilah dia bahwa
arak itu dicampuri obat bius! Hatinya marah bukan main dan ingin dia
melemparkan cawan dan araknya itu ke muka ketua Tiat-ciang-pang. Akan tetapi
kemarahan ini ditahannya. Dia hendak melihat apa yang akan terjadi
selanjutnya, pula dia malah ingin memperlihatkan bahwa dia tidak takut akan
segala macam obat bius. Jangankan baru obat bius yang merupakan racun yang
lemah saja, biar minuman itu dicampuri racun yang akan menghanguskan isi perut
orang lain, dia masih akan berani meminumnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu
minum habis arak itu sekali teguk, dipandang dengan sepasang mata
bersinar-sinar oleh Tong Hoat.
“Bagus, ternyata engkau seorang yang gagah,
Nona. Agaknya engkau sudah mendengar dari kedua orangku bahwa kami di sini
menyelenggarakan pertemuan di antara golongan kami untuk memilih seorang
beng-cu....” Ketua itu menghentikan kata-katanya saking herannya melihat Ceng
Ceng sama sekali tidak kelihatan terpengaruh oleh obat bius yang biasanya amat
kuat dan manjur itu. Apalagi ketika dia melihat Ceng Ceng bangkit berdiri dan
menyambar guci arak yang istimewa itu di mana terdapat arak yang sudah
dicampuri obat bius, kemudian tanpa banyak cakap Ceng Ceng lalu menuangkan
arak dari guci ke dalam cawannya sampai dua kali dan terus meminumnya, ketua
ini memandang bengong! Satu cawan arak itu cukup untuk membius dua tiga orang
dewasa, dan tiga cawan arak itu akan berubah menjadi racun yang mematikan!
“Eh, sudah cukup arak itu, Nona....!” Dia
menegur.
“Hemm, engkau kiranya seorang tuan rumah yang
pelit!” Ceng Ceng pura-pura marah, lalu melemparkan guci itu ke atas. Guci
berputaran ke atas, lalu turun perlahan ke atas meja seperti diletakkan oleh
tangan yang tidak kelihatan, dan sedikit pun tidak ada arak yang tumpah dari
dalam guci. Tong Hoat memandang dan demonstrasi lontaran yang mempergunakan
tenaga sin-kang ini sama sekali tidak membuat dia terheran karena dia sendiri
pun agaknya akan mampu melakukannya. Akan tetapi yang membuat dia
terheran-heran adalah karena nona muda itu telah menghabiskan tiga cawan arak
bercampur obat bius dan kelihatannya masih enak-enak saja!
“Lekas, Nona Lu! Kauminumlah obat
penawar racun ini!” Dia mengeluarkan sebutir pel dari dalam bungkusan. “Lekas
sebelum terlambat....!” katanya dengan nada khawatir sekali.
Ceng Ceng memandang tajam dan tidak menerima
obat itu. Dia merasa makin heran akan sikap Ketua Tiat-ciang-pang ini. Tadi
sengaja hendak meracuninya dengan obat bius, dan sekarang bingung memberikan
obat penawarnya!
“Kenapa ribut-ribut?” bentaknya sambil
bangkit berdiri. “Bukankah kau sengaja menaruh racun ke dalam arak itu dan
ingin melihat aku roboh pingsan?”
Ketua itu makin terkejut mendengar ini.
Kiranya nona muda ini malah sudah tahu bahwa yang diminumnya adalah arak yang
bercampur racun akan tetapi toh masih diminumnya, bukan hanya satu cawan
seperti disuguhkannya, melainkan mengambil sendiri dan minum sampai tiga cawan!
Apa artinya ini?
“Nona Lu.... maafkan aku. Memang, tadinya aku
hendak mengujimu. Kalau kau mudah saja terjebak dan pulas oleh obat bius, maka
engkau bukanlah orang yang dapat kuharapkan bantuannya. Akan tetapi engkau
tidak apa-apa, dan engkau minum lagi dua cawan! Ini di luar perhitunganku dan
aku tidak ingin melihat engkau celaka karena racun. Maka kauminumlah obat
penawar ini!”
Ceng Ceng tersenyum. Kemarahannya lenyap
seketika. Kiranya ketua ini hanya ingin mengujinya! Sambil tersenyum dia
menghampiri guci tadi, menuangkannya lagi sampai tiga kali ke dalam cawannya
dan minum berturut-turut tiga kali lagi! Setelah itu, dia mengusap bibirnya
dengan saputangan, memandang ketua itu dan berkata, “Pangcu, baru enam cawan
yang dicampuri obat bius seperti ini, apa sih artinya?”
Melihat ini, Tong Hoat menjadi kagum dan
terheran-heran. Dia menjadi girang dan segera menjura dengan dalam. “Aihh,
kiranya mataku sudah lamur saking tuanya, tidak melihat Gunung Thai-san
menjulang di depan mata, tidak melihat kedatangan seorang yang memiliki
kesaktian hebat! Nona Lu, engkau benar-benar menggirangkan dan mengagumkan hatiku,
dan kami Tiat-ciang-pang akan berterima kasih sekali apabila Nona sudi membantu
kami!”
Ceng Ceng duduk kembali, lalu berkata tenang,
“Aku ingin mendengar dulu dalam hal apa aku dapat membantumu, Pangcu.”
“Membantu memperkuat kedudukanku agar kita dapat
merampas kedudukan bengcu, Nona Lu.”
“Hemm.... bagaimana mungkin aku membantu
engkau mengejar kedudukan untukku, Pangcu? Aku tidak ingin melibatkan diri
dengan urusan pribadi orang lain....”
“Jangan salah mengerti, Nona Lu. Aku tidak
haus akan kedudukan. Aku sudah menjadi pangcu dari Tiat-ciang-pang, itu pun
sudah cukup memusingkan. Siapa sudi menjadi beng-cu yang hanya akan menghadapi
banyak pekerjaan yang memusingkan belaka? Kalau aku ingin merampas kedudukan
itu hanyalah untuk menyelamatkan seluruh golongan hek-to (jalan hitam)!”
“Menyelamatkan bagaimana?”
“Agar jangan sampai mereka itu dibawa
menyeleweng!”
Hampir saja Ceng Ceng tertawa keras mendengar
ini. Pangcu ini ingin menjaga agar kaum sesat, manusia-manusia yang sudah hidup
menyeleweng itu tidak dibawa nyeleweng! Betapa lucu dan anehnya!
“Aku tidak mengerti, Pangcu. Menyeleweng
bagaimana yang kaumaksudkan?”
“Dengar baik-baik, Nona. Kaum pemberontak
diam-diam sudah merajalela di seluruh pelosok dan kini mereka itu berusaha untuk
menguasai dan mempengaruhi kaum hek-to. Biarpun kami tergolong orang-orang
dari hek-to, namun kami memiliki kehormatan. Urusan mencopet dan merampok
adalah urusan pekerjaan, akan tetapi menjadi pemberontak adalah suatu
kerendahan dan merupakan perbuatan hina! Kami dari Tiat-ciang-pang menentangnya
mati-matian. Karena tidak ingin melihat golongan hek-to diperalat oleh seorang
beng-cu yang menjadi kaki tangan pemberontakan, maka mati-matian kami hendak
mempertahankannya agar kedudukan beng-cu tidak sampai terjatuh ke tangan
seorang kaki tangan pemberontak!”
Ceng Ceng mengangguk-angguk. Mengertilah dia
kini akan persoalannya, dan diam-diam dia merasa heran dan kagum juga mengapa
seorang ketua perkumpulan kaum sesat ini memiliki jiwa patriot juga! Tentu saja
Ceng Ceng siap sedia untuk membantu kerajaan menghadapi pemberontak. Betapapun
juga, dia adalah keturunan orang-orang yang setia kepada negara!
“Baik, kalau begitu aku akan membantu,
Pangcu. Akan tetapi ingatlah baik-baik, aku bukan membantu engkau pribadi atau
membantu Tiat-ciang-pang, melainkan membantu untuk menentang kaki tangan
pemberontak! Nah, sekarang jelaskan, siapa dan pihak manakah yang menjadi kaki
tangan pemberontak di antara golongan hek-to?”
“Di antara kami kaum sesat telah terpecah
belah menjadi empat kelompok,” Ketua Tiat-ciang-pang itu menuturkan.
Selanjutnya dengan panjang lebar dia menceritakan keadaan kaum sesat yang
berkumpul di tempat itu.
Di antara empat kelompok kaum sesat itu,
kelompok pertama tentu saja adalah perkumpulan Tiat-ciang-pang diketuai oleh
Tong Hoat yang merasa bahwa perkumpulannya adalah perkumpulan
penjahat-penjahat yang berjiwa gagah dan patriotik, yang menentang usaha pihak
pemberontak untuk menarik kaum sesat sebagai sekutunya. Kelompok ke dua adalah
kelompok yang dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk menguasai dunia kaum
sesat membujuk mereka yang belum mau menggabungkan diri, dan kelompok ini
terdiri dari para pencuri, dipimpin oleh seorang maling terkenal yang berjuluk
Tangan Malaikat! Kelompok ke tiga hanya terdiri dari belasan orang bajak yang
dipimpin oleh dua orang kakak beradik she Ma dan mereka ini adalah
orang-orang yang bermuka dua atau orang-orang yang licik, yang berjanji suka
membantu pemberontak asal mereka diberi kedudukan sebagai beng-cu! Sedangkan
kelompok ke empat adalah para penjudi, ialah sisanya yang tetap tidak memihak
mana pun, bahkan menganggap bahwa urusan pemberontakan terhadap pemerintah
bukanlah urusan mereka.
Melihat perpecahan di antara kaum sesat ini
maka Tong Hoat memelopori diadakannya pertemuan pada hari itu untuk memilih
beng-cu. Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk
dapat menguasai mereka, bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri segera mengirim
utusan untuk menjamin agar pihaknya berhasil menguasai golongan hitam yang
merupakan kekuatan yang cukup besar.
Ceng Ceng mendengarkan penuturan ini dengan
penuh perhatian. Kemudian dia berkata, “Kalau begitu, seperti telah kukatakan
tadi, Pangcu, urusan antara golonganmu tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku.
Akan tetapi, kalau aku melihat bahwa kaki tangan pemberontak ingin menguasai
golonganmu untuk kepentingan pemberontakan, tentu aku akan turun tangan
menentangnya.”
Tong Hoat sudah merasa cukup puas dengan janji
ini dan tak lama kemudian dia mengajak Ceng Ceng keluar karena pertemuan akan
segera dimulai. Empat kelompok itu sudah berkumpul di sekeliling lapangan luas
di tepi sungai, dan jelas tampak bahwa kelompok terbesar adalah kelompok
Tiat-ciang-pang. Juga kelihatan bahwa empat kelompok itu masing-masing memiliki
jagoan-jagoan yang berdiri di depan kelompoknya. Di tengah-tengah lapangan
rumput yang mereka kelilingi itu terdapat sebuah bangunan panggung yang luasnya
tidak kurang dari sepuluh meter persegi. Panggung itu dijaga di bawahnya oleh
para anggauta Tiat-ciang-pang yang bertindak sebagai pengundang atau tuan
rumahnya.
Dengan gerakan ringan seperti seekor burung
garuda melayang, Tong Hoat sudah meloncat ke atas panggung. Dia menjura ke
empat penjuru, lalu berkata lantang, “Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat
tentu sudah maklum bahwa pertemuan ini diadakan untuk melakukan pemilihan
seorang beng-cu. Kita semua membutuhkan seorang beng-cu. Kita semua
membutuhkan seorang pemimpin di jaman kacau ini agar dapat mengadakan
ketertiban antara kita semua. Karena kita adalah orang-orang yang mengandalkan
kekuatan tangan kaki untuk dapat hidup, maka pemilihan beng-cu pun didasarkan
atas tingkat kekuatan tangan dan kaki. Siapa yang terpandai di antara kita,
dari golongan mana pun dia datang, berhak untuk menjadi beng-cu dan memimpin
kita semua. Kami persilakan orang gagah yang ingin memasuki pemilihan untuk
naik ke panggung.” Tong Hoat lalu menjura lagi dan melompat turun membiarkan
panggung itu kosong lagi untuk menanti munculnya para calon beng-cu.
Tak lama kemudian berkelebat dua bayangan
orang yang meloncat ke atas panggung. Ceng Ceng yang menyelinap di antara para
anggauta Tiat-ciang-pang dan mencari-cari musuhnya dengan harapan kalau-kalau
dia akan dapat menemukan pemuda laknat di antara para kaum sesat ini, melihat
bahwa yang berada di atas panggung adalah dua orang laki-laki yang usianya
tentu lebih dari lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan keduanya memiliki
sikap yang kasar seperti tukang-tukang pukul. Seorang di antara mereka
mengeluarkan setumpuk kartu dari sakunya, mengocok kartu itu sambil tersenyum
dan berkata kepada teman-temannya, “Wah, mudah-mudahan saja ada lawan yang
tebal kantong!”
Dari sikap ini Ceng Ceng sudah dapat menduga
bahwa mereka tentulah dua orang penjudi ulung. Akan tetapi orang ke dua hanya
tersenyum, kemudian dia menjura ke empat penjuru dan berkata, “Kami adalah dua
saudara seperguruan dan golongan kami paling tidak suka melihat urusan politik.
Pemerintah maupun pemberontak bukanlah sekutu kami. Di antara golongan kami,
kami berdua menjadi calon beng-cu dan kalau kami berdua berhasil menduduki
kursi bengcu, kami berdua akan mengatur agar semua kaum kita tidak mencampuri
urusan pemerintah maupun pemberontak.”
“Ho-ho, manusia-manusia sombong!” Terdengar
bentakan dan kelihatan dua sosok bayangan orang melayang ke atas panggung.
Mereka adalah dua orang kakak beradik she Ma seperti yang telah diceritakan
oleh Tong Hoat kepada Ceng Ceng. Dengan lagak sombong kedua orang she Ma yang bertubuh
tinggi kurus itu memperkenalkan diri.
“Kami dua orang kakak beradik Ma Ciang dan Ma
Kai tidak hendak menjanjikan apa-apa lebih dulu seperti dua orang sombong ini.
Kalau kami telah berhasil menjadi beng-cu, baru akan kami adakan peraturan yang
harus diturut oleh semua kawan.”
Orang ke dua dari kakak beradik Ma ini lalu
menghampiri dua orang pertama sambil membentak, “Hayo kalian turun lagi sebelum
kami paksa untuk turun!”
“Ha-ha-ha!” Penjudi yang mempermainkan
kartu-kartunya tertawa. “Kami sudah mendengar akan kelihaian kakak beradik she
Ma, tukang-tukang todong yang disegani. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa
kami takut, dan dalam memperebutkan kedudukan beng-cu, hak kami pun sama
besarnya dengan kalian atau siapa juga. Lebih baik kalian yang turun daripada
mendapat malu dan kalah oleh kami berdua, ha-ha-ha!”
“Cet-cet-cet-cettt....!” Penjudi itu tiba-tiba
menggerakkan tangan kirinya dan empat helai kartunya melayang dan menyambar
papan, di situ empat helai kartu itu menancap sampai setengahnya lebih. Semua
orang melongo dan merasa kagum juga ngeri. Ternyata hebat sekali penjudi ini.
Kartu-kartunya dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang demikian
ampuh. Mengenai papan yang keras saja menancap sampai dalam, kalau mengenai
tubuh orang tentu akan hebat akibatnya, tidak kalah oleh senjata rahasia apa
pun.
Akan tetapi Ma Ciang tertawa bergelak ketika
dia mencabut sebuah di antara empat helai kartu yang menancap di papan itu.
“Ha-ha-ha, dasar ular-ular kartu, tentu pandai bermain gila dengan
kartu-kartunya!” Dia meremas kartu itu dan terdengar bunyi seperti barang keras
patah-patah. Ternyata kartu terbuat dari besi tipis dan digambari seperti
kartu, bukan kartu kertas biasa!
Dua orang penjudi itu menjadi marah dan telah
mencabut senjata pedang mereka yang tersembunyi di balik baju, kemudian maju
menerjang. Akan tetapi kakak beradik she Ma telah siap, dengan gerakan lincah
mereka mencelat ke belakang dan mencabut golok mereka. Maka terjadilah
pertandingan mati-matian antara dua orang penjudi dan dua orang perampok itu.
Suara senjata pedang bertemu golok terdengar nyaring dan mengerikan.
Ceng Ceng menonton dan menahan napas. Hatinya
terasa tegang. Melihat pertempuran bukan merupakan tontonan aneh baginya, akan
tetapi dia melihat seorang pemuda yang muncul di antara para anggauta golongan
sesat itu dan hatinya tegang sekali ketika dia mengenal pemuda itu. Seorang
pemuda tampan yang menyelinap di antara banyak orang, hanya sebentar saja
tampak olehnya namun segera pemuda itu lenyap kembali, agaknya berdiri di
bagian belakang dan sengaja menyembunyikan diri. Pemuda itu bukan lain adalah
Ang Tek Hoat! Melihat kehadiran pemuda yang dia tahu amat lihai ini, dia dapat
menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang hebat. Ceng Ceng yang cerdik
dapat menduga bahwa tentu pemuda itu mewakili kaum pemberontak untuk menguasai
golongan sesat.
Melihat munculnya Tek Hoat, otomatis Ceng
Ceng juga menyelinap ke belakang para anggauta Tiat-ciang-pang agar pemuda itu
tidak melihatnya. Dari belakang beberapa orang dia mengintai dan mencari-cari,
namun Tek Hoat tidak kelihatan bayangannya lagi. Teriakan kesakitan membuat
Ceng Ceng menoleh dan memandang ke atas panggung. Ternyata dua orang penjudi
itu terhuyung dan terluka oleh golok kedua orang kakak beradik she Ma dan kini
dua orang perampok tunggal itu menggunakan kaki menendang lawan yang sudah
terluka. Dua orang penjudi terlempar ke bawah panggung dan cepat mereka
ditolong oleh kawan-kawan mereka yang segera mengundurkan diri karena setelah
dua orang jagoan mereka kalah, mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk
kemenangan bagi golongan mereka.
Dua orang saudara Ma masih berdiri di atas
panggung memegang golok mereka sambil tersenyum-senyum memandang ke empat
penjuru. Beberapa kali mereka mengajukan tantangan kepada calon beng-cu lain
untuk menguji kepandaian, akan tetapi tidak kelihatan ada yang meloncat naik.
Hal ini memang disengaja oleh para kaki tangan pemberontak yang dipimpin oleh
Si Tangan Malaikat setelah dia mendapat perintah dari pemuda yang mewakili
utusan Pangeran Liong Bin Ong. Tek Hoat memang amat cerdik. Kalau
orang-orangnya sendiri yang maju dan merampas kedudukan beng-cu, hal itu akan
terlalu mencolok dan kurang baik, kecuali kalau memang terpaksa. Kalau sekarang
dua orang saudara Ma yang dia tahu merupakan orang-orang bermuka dua, dapat
menjadi beng-cu, hal itu lebih baik. Mudah untuk mempengaruhi dua orang ini,
dengan jalan menyogok dengan uang. Yang penting bagi dia, atau bagi
pemberontak adalah agar kaum sesat jangan sampai dikuasai oleh Tiat-ciang-pang
yang anti pemberontak dan mempunyai kesetiaan kepada kerajaan. Oleh karena
inilah, maka dia memerintahkan agar anak buahnya, termasuk Si Tangan Malaikat,
jangan menyambut tantangan dua orang saudara Ma, bahkan boleh menyumbang suara
untuk mengangkat mereka sebagai beng-cu!
Ma Ciang dan Ma Kai yang melihat bahwa mereka
tidak disambut orang, menjadi heran dan juga girang. Ma Ciang lalu berkata
lantang, “Saudara sekalian, rekan-rekan yang terhormat! Kalau memang tidak ada
lagi calon yang merasa cukup kuat untuk mengalahkan kami, maka kami minta agar
kalian memberi suara mengangkat kami sebagai beng-cu dan wakilnya!”
“Setuju....!”
“Kita mengangkat kedua saudara Ma sebagai
beng-cu dan wakilnya!”
Keadaan menjadi ribut karena suara mereka yang
memberikan suaranya, tentu saja didukung oleh semua anak buah para pemberontak
yang menyelundup di antara mereka. Hanya golongan yang tadi kalah saja yang
diam dan hanya menonton dengan wajah muram, sedangkan golongan Tiat-ciang-pang
tidak ada seorang pun yang bersuara.
“Lu-siocia (Nona Lu), lihatlah betapa anak
buah pemberontak mendukung mereka, sedangkan dua orang itu adalah orang-orang
bermuka dua yang mudah saja dibeli. Apakah Nona tidak akan turun tangan?” bisik
Tong Hoat Ketua Tiat-ciang-pang kepada Ceng Ceng.
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. “Sudah
kukatakan bahwa aku tidak akan mencampuri urusan pemilihan beng-cu, dan aku
hanya turun tangan kalau anak buah pemberontak sendiri yang naik ke panggung,
itu pun kalau engkau tidak mampu mengatasinya, Pangcu.”
Ketua itu mengangguk. “Baiklah, aku hanya
mengharapkan bantuan Nona untuk membela negara karena aku pun bukan seorang
yang haus akan kedudukan bengcu.” Setelah berkata demikian, Tong Hoat
berteriak keras mengatasi suara gaduh mereka yang sedang menyokong suara kepada
dua orang saudara Ma.
Teriakannya ini membuat semua orang ini diam,
apalagi ketika mereka melihat Ketua Tiat-ciang-pang sudah meloncat naik ke atas
panggung.
Dua orang saudara Ma memang sudah sejak tadi
menanti munculnya jagoan dari Tiat-ciang-pang ini, maka kini mereka menghadapi
Tong Hoat sambil tersenyum. Ma Ciang berkata, “Aihh, kiranya Pangcu sendiri
sebagai tuan rumah yang memberi penghormatan kepada kami! Apakah Pang-cu dan
semua anggauta Tiat-ciang-pang tidak rela kalau kami yang terpilih menjadi
beng-cu?”
Ma Kai juga berkata, “Agaknya pangcu dari
Tiat-ciang-pang juga menginginkan kedudukan beng-cu!”
Tong Hoat memandang tajam dan suaranya
terdengar lantang oleh semua orang ketika dia menjawab, “Saya adalah pangcu
dari Tiat-ciang-pang dan saya sama sekali tidak haus akan kedudukan beng-cu.
Kalau kami mempelopori pertemuan dan mengadakan pemilihan beng-cu ini adalah
karena kami melihat adanya perpecahan di antara kami. Sekarang, Ji-wi telah
menang dari dua orang saudara dari golongan penjudi tadi. Akan tetapi, seorang
beng-cu dan wakilnya harus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup
tinggi untuk dapat diandalkan oleh golongan kita semua. Oleh karena itu,
terpaksa karena tidak ada lagi yang mau naik, saya sendiri yang akan menguji
apakah Ji-wi sudah tepat dan pantas untuk menjadi beng-cu dan wakilnya. Kalau
memang cukup kuat dan lihai, tentu saja kami juga akan setuju jika Ji-wi
diangkat menjadi pimpinan.”
“Bagus! Dengan lain kata-kata Pangcu
menantang kami berdua! Kai-te (Adik Kai), hayo kita coba kelihaian pang-cu dari
Tiat-ciang-pang ini!” Setelah berkata demikian, Ma Ciang dan Ma Kai
memutar-mutar golok mereka di atas kepala dan bergerak mengelilingi Ketua
Tiat-ciang-pang itu.
“Tidak adil! Tidak adil!” tedengar teriakan
dari para anggauta Tiat-ciang-pang.
“Dua orang mengeroyok satu orang sudah tidak
adil!”
“Apalagi kalau menggunakan golok mengeroyok
seorang bertangan kosong!”
Teriakan-teriakan ini terdengar susul-menyusul
dan disokong pula oleh golongan yang tadinya diwakili oleh dia orang penjudi.
Golongan ini memang tidak pro atau anti pemberontakan, akan tetapi melihat
Ketua Tiat-ciang-pang akan dikeroyok dua, mereka merasa tidak senang.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi malu juga, wajah
mereka merah dan sambil tertawa Ma Ciang menyimpan goloknya diturut oleh
adiknya, lalu berkata, “Baiklah, kalau pang-cu dari Tiat-ciang-pang ngeri
melihat darah, kami akan melayani dengan tangan kosong pula, kecuali kalau
Pang-cu jerih menghadapi kami bersama.” Ucapan ini pun lantang terdengar oleh
semua orang.
Tong Hoat mengerutkan alisnya, dia maklum
bahwa kedua orang ini hanya besar mulutnya belaka. Biarpun mereka menggunakan
golok, dia pun tidak takut, apalagi bertangan kosong. Melihat gerakan mereka
tadi ketika melawan dua orang jagoan pertama, dia sudah dapat menilai tingkat
mereka dan merasa pasti akan dapat mengalahkan mereka berdua, bersenjata maupun
tidak.
“Silakan Ji-wi maju, saya sudah siap
menghadapi Ji-wi maju bersama!” teriaknya.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi girang. Mereka
mengira bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini telah berhasil mereka bakar hatinya
sehingga malu untuk mundur. Sambil menggereng seperti dua ekor harimau
kelaparan, mereka menerjang ke depan, mencengkeram dan memukul.
Tong Hoat sudah siap. Tubuhnya bergerak
mengelak dan menangkis, lalu mengirim pukulan balasan.
“Dukkk! Dukkk!” Dua orang bersaudara Ma
terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Lengan mereka terasa sakit sekali
ketika beradu dengan lengan Tong Hoat yang tentu saja mengerahkan ilmunya
Tangan Besi! Namun dua orang itu bukan menjadi jera bahkan menjadi penasaran
dan marah, lalu menerjang lagi dengan lebih dahsyat, disambut dengan tenang
oleh Tong Hoat.
Lega hati Ceng Ceng menyaksikan jalannya
pertandingan itu. Dia yakin bahwa Ketua Tiat-ciang-pang yang benar-benar lihai
ilmu silatnya bertangan kosong itu akan dapat mengalahkan kedua orang lawannya
dengan mudah sehingga dia tidak perlu turun tangan membantu. Setelah melihat
munculnya Tek Hoat, dia menjadi makin ragu untuk mencampuri urusan pemilihan
beng-cu ini. Kecuali kalau Tek Hoat yang maju, jelas bahwa pihak pemberontak
ingin menguasai golongan ini dan kalau demikian halnya, dia tentu akan turun
tangan! Sekarang, melihat Tong Hoat mendesak kedua orang lawannya,
perhatiannya kembali ditujukan untuk mencari musuh besarnya dan dia mulai
bergerak perlahan mencari-cari di antara para hadirin yang banyak jumlahnya
itu.
Pertandingan di atas panggung masih berjalan
dengan seru. Dua orang saudara Ma dengan bernapsu mencoba untuk mengalahkan
Ketua Tiat-ciang-pang, akan tetapi karena memang kalah tingkat dan kalah kuat,
mereka terdesak terus dan setiap kali Tong Hoat menangkis dengan pengerahan
tenaga, mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang dan menyeringai
kesakitan, tanda bahwa dalam pertemuan lengan itu mereka jauh kalah kuat.
Betapapun kedua orang itu mengerahkan seluruh
tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, namun belum sampai lima puluh
jurus akhirnya mereka harus mengakui keunggulan Tong Hoat. Ketua
Tiat-ciang-pang ini menggunakan kekuatan tangan besinya menampar dalam
kesempatan yang terbuka dan berturut-turut mereka terlempar dari atas
panggung. Biarpun Ketua Tiat-ciang-pang yang masih mengingat akan hubungan
antara golongan tidak memukul keras sehingga mereka tidak sampai terluka parah,
namun keduanya tidak berani nekat naik lagi karena maklum bahwa mereka
bukanlah lawan Ketua Tiat-ciang-pang itu.
“Bagus! Tiat-ciang-pang mengundang orang hanya
untuk memamerkan kepandaian sendiri!” Terdengar seruan orang dan dari bawah
panggung tampak seorang laki-laki tinggi kurus meloncat naik ke panggung.
Ketika semua orang memandang, mereka berbisik-bisik dengan hati tegang karena
maklum bahwa tentu akan terjadi pertandingan yang amat hebat antara pendatang
baru yang mereka kenal baik ini menghadapi Ketua Tiat-ciang-pang. Orang tinggi
kurus ini bukan lain adalah tokoh besar golongan maling yang berjuluk Tangan
Malaikat! Kini Tangan Malaikat hendak menantang Tangan Besi, tentu saja akan
terjadi pertandingan ramai!
Sebetulnya sudah lama terdapat kebencian
antara dua golongan ini, yaitu golongan para maling dan golongan pencopet dan
perampok yang bergabung di dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang. Hal ini adalah
karena Tiat-ciang-pang memandang rendah golongan maling, bahkan tidak mau
menerima seorang pencuri sebagai anggauta, maka tentu saja golongan ini merasa
terhina dan menaruh dendam. Ketika tokoh maling yang berjuluk Tangan Malaikat
itu yang bernama Lauw Sek, datang dari selatan dan bergabung dengan golongan
maling, mereka merasa menemukan seorang jagoan dan secara tidak resmi
mengangkat Lauw Sek sebagai pimpinan mereka. Lauw Sek Si Tangan Malaikat ini
dengan mudah saja terpikat oleh kaum pemberontak, dan diam-diam Lauw Sek
membawa teman-temannya untuk bersekutu dengan kaki tangan pemberontak yang
ingin menguasai kaum sesat. Lauw Sek adalah seorang yang memiliki kepandaian
cukup tinggi maka dia berani memakai julukan Tangan Malaikat yang menyatakan
bahwa selain pandai ilmu silat, juga dia adalah seorang ahli mencopet dan
mencuri. Akan tetapi selama ini ia tidak begitu bodoh untuk mencari perkara
dengan Tiat-ciang-pang yang merupakan perkumpulan besar yang banyak
anggautanya. Sekarang, dalam pertemuan resmi ini, dimana diadakan pemilihan
beng-cu, apalagi karena didukung oleh kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, dia
menjadi berani untuk menentang dan menghadapi orang yang selama ini memang
dibenci oleh dia dan kawan-kawannya.
Kini kedua orang yang diam-diam saling
membenci itu berhadapan di atas panggung. Tong Hoat juga membenci orang ini
karena memang dia selalu memandang rendah kaum pencuri yang dianggapnya
merupakan pengecut besar, apalagi setelah dia mengetahui bahwa Tangan Malaikat
dan kawan-kawannya telah merendahkan diri untuk diperalat oleh kaum
pemberontak.
“Memang hanya kaum pengecut saja yang mau
menjadi pengkhianat,” katanya dengan pandang mata mengejek. “Kalau golongan
kita dipimpin oleh seorang pengecut dan pengkhianat, hancurlah kita semua!”
Muka Lauw Sek menjadi merah sekali karena
ucapan itu biarpun tidak langsung ditujukan kepadanya, namun jelas bahwa Ketua
Tiat-ciang-pang ini menghinanya di depan banyak orang.
“Hem, pangcu dari Tiat-ciang-pang, agaknya
menurut pandanganmu, tidak ada orang lain yang lebih pantas menjadi beng-cu
selain engkau, ya? Hendak kulihat sampai di mana tingginya kepandaianmu dan
apakah tangan besimu itu benar-benar keras seperti besi!” Setelah berkata
demikian Lauw Sek sudah maju menerjang dengan dahsyat, menggunakan kedua
tangannya yang hergerak cepat sekali sehingga tampaknya seolah-olah dia
memiliki enam buah lengan!
Tong Hoat maklum bahwa kepandaian orang ini
tidak boleh disamakan dengan dua orang saudara Ma tadi, maka dia pun cepat
menggerakkan tubuh dan kedua tangannya menangkis sambil membalas dengan pukulan
yang tidak kalah dahsyatnya.
Cepat sekali gerakan dua orang itu, yang
kelihatan hanyalah bayangan banyak tangan, kadang-kadang dikepal, kadang-kadang
terbuka, saling pukul dan saling tangkis dan terdengar suara bersiutnya hawa
pukulan kedua pihak yang agaknya memiliki kecepatan yang berimbang. Lauw Sek
yang berhati besar karena merasa mempunyai dukungan amat kuat, bernafsu sekali
untuk mengalahkan lawan, maka gerakannya cepat dan serangannya bertubi-tubi
seperti air membanjir. Sebaliknya, Tong Hoat bersikap hati-hati dan tenang,
gerakannya kokoh kuat membendung banjir serangan itu dan setiap kali
menangkis, dia mengerahkan ilmu yang diandalkannya, yaitu Tangan Besi.
Berkali-kali dua pasang lengan itu bertemu dengan dahsyat, kadang-kadang
mengeluarkan bunyi berdetak seolah-olah dua tulang yang kuat saling beradu,
namun keduanya tidak kelihatan terdorong dan agaknya sama kuatnya.
Biarpun Lauw Sek kelihatan juga kuat dan
pantas berjuluk Tangan Malaikat, karena kelihatannya dia tidak terpengaruh
oleh benturan tangan yang amat kuat dari Tong Hoat, akan tetapi sebetulnya dia
merasa betapa kedua lengannya nyeri dan makin lama makin hampir tak
tertahankan olehnya. Setiap kali bertemu dengan lengan lawan, dia merasa
seolah-olah tulang lengannya retak dan maklumlah dia bahwa biarpun dalam hal
ilmu silat, dia tidak kalah jauh oleh lawan, namun harus dia akui bahwa Tong
Hoat benar-benar memiliki lengan yang kuat dan keras seperti besi! Diam-diam
dia mengeluh dan teringatlah dia akan pesan pemuda sakti utusan Pangeran Liong
Bin Ong yang berpesan agar dia berhati-hati menghadapi tangan besi lawan, dan
pemuda yang dia tahu amat sakti itu telah meminjamkan sebuah sarung tangan
kepadanya. Sarung tangan itu dia simpan di dalam saku bajunya, karena dia
tidak mau memakainya, akan tetapi setelah sekarang memperoleh kenyataan betapa
lihainya Ketua Tiat-ciang-pang, teringatlah dia akan pesan pemuda itu dan
segera dia melompat mundur sambil tertawa. Dikeluarkannya sarung tangan
berwarna hitam itu dan dipakainya di tangan kanan. Tercium bau yang
wangi-wangi aneh memabokkan.
Tong Hoat tidak mengenal sarung tangan itu.
Dia dapat menduga bahwa tentu sarung tangan itu merupakan senjata yang ampuh,
akan tetapi karena bukan merupakan senjata tajam, dia memandang rendah.
“Hemm, apakah lenganmu telah terasa nyeri maka
engkau menggunakan sarung tangan itu?” dia mengejek.
Lauw Sek tersenyum. “Tanganmu memang keras
seperti besi, akan tetapi jangan mengira aku takut. Tangan besimu akan mencair
kalau bertemu dengan sarung tangan ini!”
Tek Hoat tentu saja tidak percaya dan dia
sudah menerjang lagi. Dia tadi sudah hampir memperoleh kemenangan karena pihak
lawan sudah terus didesaknya. Dengan pengerahan tenaga pada kedua lengannya,
dia menyerang tanpa mempedulikan sarung tangan hitam yang melindungi tangan
kanan dan sebagian dari lengan kanan Lauw Sek.
“Plak-plak! Dukkk....!”
Tong Hoat meloncat ke belakang dengan kaget
sekali, lalu menggosok-gosok lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan
bersarung tangan dari lawannya. Lengan kirinya terasa gatal-gatal dan panas
sekali! Wajahnya berubah. Tahulah dia bahwa sarung tangan itu ternyata ampuh
sekali dan tentu mengandung racun yang amat jahat!
“Kau curang....!” serunya.
“Ha-ha-ha, Pangcu. Kau takut....?” Lauw Sek
tertawa mengejek dan siap menyerangnya kembali.
“Pangcu harap mempergunakan obat dari Lihiap
ini, dilumurkan pada kedua tangan!” Tiba-tiba terdengar seruan ini dan seorang
anggauta Tiat-ciang-pang melemparkan sebuah bungkusan ke arah ketuanya.
Mendengar ini Tong Hoat menerima dengan girang dan tahulah dia bahwa nona Lu
Ceng diam-diam telah membantunya. Mengingat betapa nona itu dapat menghabiskan
beberapa cawan arak bercampur racun tanpa akibat apa-apa, dia maklum bahwa
pendekar wanita itu adalah seorang ahli racun, maka dia cepat membuka bungkusan
itu. Di dalamnya terdapat cairan kental seperti lumpur, berwarna kuning.
Cepat dia membalurkan semua obat itu pada tangan dan lengannya. Rasa gatal dan
panas pada tangan kanannya lenyap seketika, dan kedua lengannya terasa dingin.
“Majulah, siapa takut sarung tangan
beracunmu?” Dia membentak dan menyerang lagi. Terjadilah pertandingan yang
mati-matian. Lauw Sek selalu menggunakan tangan kanannya yang memakai sarung
tangan, akan tetapi kini lawannya menangkis dan menerima tanpa ragu-ragu lagi
dan setiap kali mereka bertemu lengan dan tangan, karena memang dia kalah kuat
tenaganya, dia yang merasa kedua lengannya sakit-sakit.
Seratus jurus telah lewat dan pertandingan
itu makin seru. Akan tetapi kini Lauw Sek main mundur dan selalu menghindarkan
pertemuan kedua lengan karena kedua lengannya sudah bengkak-bengkak dan nyeri
bukan main. Kesempatan baik dipergunakan oleh Tong Hoat ketika Lauw Sek yang
sudah tidak berani menangkis itu berusaha mengelak dari pukulan lawan. Tong
Hoat menggerakkan kedua kakinya, mainkan ilmu tendangan berantai dan akhirnya
Lauw Sek terkena sebuah tendangan kaki kiri yang membuat tubuhnya terlempar ke
bawah panggung!
Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut
kemenangan Tong Hoat, tidak saja dari para anggauta Tiat-ciang-pang, akan
tetapi juga dari mereka yang tadi dikalahkan oleh dua orang saudara Ma. Akan
tetapi di bawah sorak-sorai yang diselingi oleh teriakan-teriakan yang menyatakan
mengangkat Tong Hoat sebagai beng-cu itu, tampak berkelebat bayangan orang
dan tahu-tahu di depan Ketua Tiat-ciang-pang itu telah berdiri seorang pemuda
tampan yang bertubuh sedang saja dan kelihatannya tidak seperti seorang yang
lihai. Pakaian pemuda ini sederhana saja, dengan jubah atau baju luar yang
berwarna biru tua, celana kuning dan baju dalam putih. Biarpun pakaiannya
terbuat dari kain yang mahal dan baru, akan tetapi potongannya biasa dan
sederhana saja sehingga dia kelihatan hanya seperti seorang pemuda pekerja yang
sederhana dari kota. Akan tetapi rambutnya yang hitam panjang itu merupakan
kuncir yang besar mengkilap, bergantung di punggungnya, kulit mukanya putih
dan ketampanan wajahnya makin mencolok dan sinar matanya yang tajam berapi dan
bibirnya yang tersenyum simpul mengejek. Melihat pemuda ini, Ceng Ceng cepat
mendekati panggung dan memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan karena
dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
“Tiat-ciang-pangcu, apakah syaratnya bagi
seorang beng-cu yang dipilih dalam pertemuan ini?” Ang Tek Hoat bertanya,
suaranya lantang namun halus dan tenang. “Bukankah syaratnya adalah orang yang
memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita semua?”
Tong Hoat memandang pemuda itu penuh selidik,
akan tetapi dia merasa belum pernah melihat pemuda ini. Kalau pemuda ini
merupakan seorang tokoh kaum sesat di sekitar kota raja, tentu dia mengenalnya.
Maka tentu pemuda inl seorang anggauta biasa saja, atau kalau dia seorang pandai,
tentu datang dari daerah lain.
“Benar demikian, orang muda. Engkau siapakah
dan datang dari mana?”
Tek Hoat tersenyum. “Aku she Ang dan aku ingin
memasuki pemilihan beng-cu ini. Jika aku dapat mengalahkan engkau, apakah aku
dipilih menjadi beng-cu dan semua golongan hitam di daerah ini lalu tunduk
kepada semua perintahku?”
Tong Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak
mengenal pemuda ini dan siapa tahu pemuda ini adalah kaki tangan pemberontak.
Akan tetapi tentu saja dia tidak berhak melarang, dan teringat kepada Nona Lu
yang sanggup untuk menentang kaki tangan pemberontak kalau mereka hendak
menguasai golongan hitam untuk bersekutu.
“Orang muda she Ang, tentu saja siapa pun
boleh mencoba kepandaian untuk menjadi beng-cu. Akan tetapi, sekarang keadaan
negara sedang kacau, dikacau oleh usaha orang-orang yang hendak memberontak
terhadap pemerintah yang sah. Oleh karena itu, seorang beng-cu harus pula
dapat melindungi semua anggautanya agar jangan sampai terseret ke dalam
pemberontakan, karena pekerjaan itu adalah amat hina. Biarpun kita disebut
golongan hitam atau kaum sesat, namun kita masih mempunyai kehormatan untuk
tidak menjadi pengkhlanat bangsa dan negara!”
Tek Hoat tersenyum lebar. “Pangcu, saya kira
urusan itu terserah kepada beng-cu yang telah dipilih, bukan? Dialah yang akan
memutuskan tentang segala persoalan dan peraturan, dan hal itu merupakan
urusan belakang. Sekali lagi, kalau saya mampu mengalahkan pangcu, berarti saya
menjadi beng-cu?”
Tong Hoat menggeleng kepalanya. “Belum tentu,
selama maslh ada calon lain engkau harus dapat mengalahkan semua calon.”
“Itu adalah hal yang mudah. Bagaimana kalau
lawan saya sampai tewas?”
Tong Hoat mengerutkan alisnya dan timbullah
kemarahannya. Sikap pemuda ini sama sekali tidak memandang mata kepadanya,
seolah-olah sudah yakin akan kemenangannya biarpun sikap pemuda itu tenang
saja, namun kata-katanya amat memandang rendah dan membayangkan kesombongan
hebat!
“Terluka atau mati adalah resiko dalam
pertandingan silat!”
“Bagus, kalau begitu biarlah aku merobohkan
Pangcu dulu, baru merobohkan lain orang yang berani naik ke sini.”
Tentu saja ucapan ini membuat Tong Hoat marah
sekali, akan tetapi di antara para angauta Tiat-ciang-pang ada yang tertawa
geli dan menganggap pemuda itu seorang yang sudah miring otaknya karena bicara
sedemikian mudahnya hendak merobohkan pangcu mereka dan merampas kedudukan
beng-cu.
Akan tetapi Ceng Ceng memandang dengan penuh
kekhawatiran. Dia maklum bahwa nyawa Ketua Tiat-ciang-pang itu terancam bahaya
hebat, akan tetapi tentu saja dia tidak hendak mencampurinya. Yang membuat dia
khawatir adalah melihat betapa Tek Hoat kini sudah turun tangan sendiri dan
kalau sampai pemuda ini yang menjadi beng-cu, tentu saja semua kaum sesat di
daerah itu akan diseretnya menjadi kaki tangan pemberontak! Dan dia harus
menghalangi usaha pemuda ini! Dia harus biarpun sedikit memperlihatkan
kesetiaannya kepada kerajaan sebagai keturunan kakeknya, seorang bekas pengawal
yang setia! Dia harus menentang para pemberontak!
Sementara itu, Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat
sudah menerjang pemuda yang membakar hatinya itu. Serangannya dahsyat sekali,
kedua tangannya bergantian melakukan pukulan dengan disertai pengerahan
tenaga sin-kang sekuatnya, mengerahkan Ilmu Tiat-ciang yang paling kuat.
Karena marahnya, ketua ini ingin sekali pukul merobohkan pemuda sombong ini.
Pemuda ini jelas bukan anggauta golongan daerah situ, maka membunuhnya pun
bukan merupakan hal yang terlalu besar. Terhadap rekan sedaerah, dia masih
sungkan membunuh, akan tetapi pemuda yang sombong itu boleh jadi adalah kaki
tangan pemberontak, maka membunuhnya bahkan amat baik, tentu akan membikin
jerih calon lain. Dengan pikiran demikian, maka begitu menerjang maju, Tong
Hoat sudah mengeluarkan jurus yang paling hebat, bagaikan halilintar, kedua
tangannya menyambar susul-menyusul, yang kanan memukul ke arah lambung lawan,
yang kiri dengan jari terbuka mendorong ke arah dada disertai tenaga Tiat-ciang
yang dahsyat.
“Bukk! Desss!”
Dua pukulan itu dengan tepat mengenai
sasaran, akan tetapi tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergoyang. Bahkan Tong
Hoat seketika menjadi pucat mukanya ketika merasa betapa kedua tangannya
bertemu dengan tubuh yang kerasnya melebihi baja, yang membuat kedua
pukulannya membalik dan lengan tangannya seperti dibakar. Pada saat itu, Tek
Hoat menggerakkan tangan kirinya dan ujung jari-jari tangannya menyentuh dada
Ketua Tiat-ciang-pang itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun Tong Hoat
terjengkang, kedua tangannya dikembangkan, matanya melotot dan dia roboh
seperti sebatang balok, roboh di atas papan panggung dan tidak dapat bergerak
lagi!
Sejenak semua orang menahan napas. Keadaan
menjadi sunyi. Semua mata melotot terbelalak penuh kekagetan dan keheranan
melihat kepada pemuda itu. Sukar bagi mereka untuk dapat percaya betapa seorang
lihai seperti Ketua Tiat-ciang-pang itu roboh oleh seorang pemuda tak terkenal
dalam hanya satu gebrakan saja. Lebih aneh lagi karena mereka melihat betapa
pukulan kedua tangan Tiat-ciang-pangcu itu, yang terkenal memiliki Ilmu Tangan
Besi, dengan tepat mengenai dada dan lambung pemuda itu, namun bukan pemuda itu
yang roboh, melainkan Si Ketua yang lihai itu! Hanya Ceng Ceng yang sudah
mengenal kelihaian Tek Hoat, tidak menjadi heran sungguhpun dia menjadi makin
kagum dan yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Tek Hoat.
“Ilmu setan!”
“Bunuh siluman itu!”
Teriakan-teriakan ini terdengar dari mulut
para anggauta Tiat-ciang-pang dan enam orang tokoh Tiat-ciang-pang yang
merupakan pembantu-pembantu utama dari pangcu, sudah naik ke atas panggung.
Akan tetapi, orang-orang yang berdiri di sekitar panggung itu hanya melihat
pemuda itu tersenyum dan menggerakkan kedua tangannya bergantian dan....
berturut-turut enam orang itu roboh pula terjengkang di atas papan panggung
tanpa dapat bergerak lagi!
Keadaan menjadi geger. Dua orang penjudi yang
tadi dikalahkan dua orang saudara Ma, menjadi penasaran dan marah. Mereka
bersama belasan orang anggauta Tiat-ciang-pang dan sahabat-sahabat baik Tong
Hoat, sudah meloncat naik ke atas panggung dengan senjata-senjata tajam di
tangan, langsung menerjang dan mengeroyok pemuda itu.
Ceng Ceng melihat sambil tersenyum simpul. Dia
tahu bahwa semua orang itu mengantar nyawa secara percuma saja. Dan apa yang
terjadi di atas panggung memang amat mengerikan dan mengherankan semua orang
yang menonton di bawah. Pemuda itu dengan sikap tenang-tenang saja menghadapi
semua serangan orang yang menyerbu dengan senjata tajam seperti hujan menyambar
ke arah tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan para pengeroyok itu
terkejut dan bingung karena tubuh pemuda itu telah lenyap dari tengah mereka.
Tiba-tiba, seperti halilintar cepatnya Tek Hoat membagi-bagi tamparan dengan
jari-jari tangannya dan dalam waktu singkat saja lebih dari lima belas orang
sudah roboh. Tubuh mereka bergelimpangan malang-melintang memenuhi papan
panggung.
“Apakah masih ada lagi orang yang tidak mau
menerima aku sebagai beng-cu?” Pemuda itu berseru, suaranya lantang sekali,
terdengar sampai jauh di bawah panggung. “Kalau ada yang masih penasaran dan
ingin menguji kepandaian, silakan naik.”
Tentu saja semua orang kini telah yakin akan
kesaktian pemuda itu dan tidak ada yang begitu bodoh untuk mengantarkan nyawa,
bahkan suasana menjadi sunyi sekali sampai beberapa lamanya. Pemuda itu lalu
menggunakan kaki tangannya, menendangi dan melempar-lemparkan tubuh para
korbannya ke bawah panggung. Melihat orang-orang yang jumlahnya lebih dari dua
puluh itu terlempar ke atas tanah dan tidak bergerak lagi, para anggauta
Tiat-ciang-pang cepat mengadakan pemeriksaan dan terdengarlah teriakan-teriakan
tertahan ketika mereka melihat bahwa semua tubuh itu telah tidak bernyawa lagi
dan di dahi semua mayat itu tampak bekas jari tangan yang menghitam!
“Si Jari Maut....!”
Terkejutlah semua orang yang berada di situ.
Bahkan dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat sendiri juga terkejut,
tidak mengira bahwa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu adalah Si Jari
Maut yang namanya sudah dikenal lama dan ditakuti semua orang sungguhpun
jarang yang pernah melihat mukanya. Kiranya inilah orangnya! Rasa kagum dan
girang bahwa mereka kini akan dipimpin oleh seorang penjahat yang terkenal amat
lihai, membuat semua orang, bahkan termasuk anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, berseru
keras, “Hidup beng-cu kita yang baru!”
“Hidup Si Jari Maut....!”
Tek Hoat tersenyum dan mengangkat kedua
lengannya ke atas. Suasana menjadi hening dan tidak ada seorang pun yang berani
mengeluarkan suara. Setelah memandang ke empat penjuru, Tek Hoat lalu berkata
dengan suara nyaring, “Kalian telah melihat sendiri bahwa aku adalah
satu-satunya orang yang menang dalam semua pertandingan di atas panggung ini.
Oleh karena itu, apakah kalian setuju mengangkat aku sebagai beng-cu?”
“Setuju....!” Semua orang berteriak.
Akan tetapi di antara gemuruh suara yang
menyatakan setuju ini, terdengar suara melengking yang mengatasi semua suara
itu, “Tidak setuju....!”
Tentu saja suara melengking ini mengejutkan
sekali membuat semua orang terdiam dan menoleh ke kanan kiri untuk mencari
suara wanita melengking itu. Tek Hoat juga berdiri di tengah panggung dan
matanya bergerak liar ketika dia melihat sesosok bayangan orang melayang naik
ke atas panggung. Dia sudah marah sekali dan sudah siap menghadapi orang yang
hendak menentangnya itu. Akan tetapi ketika secara tiba-tiba itu dia melihat
bahwa yang meloncat naik dan kini berdiri di depannya adalah seorang gadis
cantik dan yang bukan lain adalah Ceng Ceng, wajahnya berubah dan dia
cepat-cepat memutar tubuhnya, membalik dan tidak mau berhadapan muka dengan
Ceng Ceng! Hal ini adalah karena secara otomatis dia teringat akan janji dan
sumpahnya, dan tanpa disadarinya sendiri tahu-tahu dia sudah memutar tubuh
dengan jantung berdebar tegang.
Gerakan Tek Hoat ini tentu saja melegakan dan
menyenangkan hati Ceng Ceng dan dia cepat mengeluarkan sehelai saputangan yang
memang sudah dipersiapkan, lalu berkata, “Hemm, saputanganmu telah berada di
tanganku, jangan sekali-kali kau berani memandangku!”
“Aku.... tidak akan memandangmu....” berkata
Tek Hoat yang masih dipengaruhi oleh kekagetan dan masih gugup.
Ceng Ceng adalah seorang yang amat cerdik. Dia
maklum bahwa sekarang setelah menjadi beng-cu, tentu saja Tek Hoat akan
menjagat namanya sebagai seorang gagah, bukan orang yang suka melanggar
sumpah dan janji! Akan tetapi, dia tidak boleh percaya kepada seorang seperti
pemuda ini yang tidak segan-segan merendahkan diri menjadi kaki tangan
pemberontak. Maka dia lalu berkata dengan lantang, ditujukan kepada semua
orang yang berada di bawah,
“Haiii, Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik!
Laki-laki ini yang bernama Ang Tek Hoat, dia telah bersumpah bahwa setiap kali
bertemu dengan aku, dia akan memejamkan mata atau tidak akan memandangku.
Saputangannya ini yang menjadi saksi mati! Tidakkah benar kata-kataku, hai....
Ang Tek Hoat?”
Tek Hoat tak dapat menyangkal dan terpaksa dia
menganggukkan kepalanya. “Benar dan aku sudah memenuhi janji. Nah, pergilah!”
Ceng Ceng tertawa akan tetapi menutupi
mulutnya. Dia gembira sekali karena dia memperoleh pikiran yang amat baik, yang
dianggapnya akan membuat dia mampu mencari musuh besarnya. Dia ingin menjadi
beng-cu!
“Nanti dulu, Tek Hoat! Engkau harus
menyerahkan kedudukan beng-cu kepadaku, dan kau tidak boleh membangkang!”
“Apa....? Ah, untuk apa kedudukan beng-cu
bagimu?”
“Tidak perlu kau tahu. Pendeknya, kedudukan
beng-cu harus diserahkan kepadaku. Bagaimana? Apakah kau berani tidak taat
kepadaku dan melanggar sumpahmu sebagai seorang pengecut yang menjilat ludah
sendiri?”
Diam-diam hati Tek Hoat mendongkol sekali.
Hemmm, kau tunggu saja, pikirnya. Bocah nakal. Akan tiba saatnya aku membalas
semua ini! Kalau saja saputangan itu dapat dirampasnya. Kalau saja dia bisa
melupakan janji dan sumpah itu. Dia sendiri merasa heran dan tidak mengerti
mengapa dia begitu lemah kalau menghadapi gadis ini!
“Baiklah, sesukamulah,” jawabnya.
“Harus kauumumkan kepada mereka bahwa aku
adalah beng-cu, dan engkau adalah pembantuku!” kata pula Ceng Ceng. Dia sengaja
hendak menggunakan pengaruhnya untuk dua tujuan. Pertama, dia mencegah kaum
sesat dipengaruhi pemberontak, dan ke dua, dia hendak menggunakan kedudukan
sebagai beng-cu itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari pemuda laknat,
musuh besarnya!
Tek Hoat menghela napas panjang. Sementara
ini, dia terpaksa harus tunduk kepada gadis ini. Memang, kalau dia menghendaki
tentu saja dia dapat menyerang dan merobohkan gadis ini, tidak mentaati
perintahnya. Akan tetapi, kalau hal itu dia lakukan, dan dia sangsi apakah dia
bisa melakukannya karena dia selalu merasa lemah terhadap gadis ini, dia tentu
akan dianggap sebagai seorang laki-laki pengecut yang melanggar sumpahnya
sendiri terhadap seorang gadis. Dan dalam kedudukannya sebagai seorang ketua,
hal itu tentu akan mencemarkan namanya!
“Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Aku yang
telah mengalahkan semua calon dan yang telah kalian angkat menjadi beng-cu,
mulai saat ini menyerahkan kedudukan beng-cu kepada Nona....” Tiba-tiba dia
menoleh kepada Ceng Ceng dan bertanya, “Ehh....!” Akan tetapi teringat bahwa
dia tidak boleh memandang, dia cepat membuang muka lagi sambil
bersungut-sungut dan bertanya, “Aku lupa lagi.... siapakah namamu?”
“Bodoh! Namaku Lu Ceng.”
Tek Hoat kembali berseru nyaring, “Kedudukan
beng-cu kuserahkan kepada Nona Lu Ceng dan mulai saat ini dialah yang menjadi
beng-cu, sedangkan aku menjadi wakilnya....”
“Bukan wakil melainkan hanya pembantu!” Ceng
Ceng menghardik.
“Bukan wakilnya, hanya pembantunya....!”
Tentu saja semua orang terheran-heran
menyaksikan semua ini. Seorang yang memiliki kesaktian seperti itu, yang
memiliki jari maut yang demikian mengerikan dan kepandaian yang demikian
tinggi, mengapa berubah menjadi seekor domba saja berhadapan dengan gadis ini?
Akan tetapi ada beberapa orang yang tidak
hanya terheran saja, melainkan juga penasaran sekali. Tentu ada rahasia yang
mereka tidak mengerti, yang memaksa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu
menjadi takut dan taat kepada gadis muda dan cantik itu. Tidak mungkin karena
kalah pandai, dan tentu karena sumpah dan janji yang tidak berani
dilanggarnya. Mereka itu adalah dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat.
Mereka berunding sebentar, kemudian mereka mengambil keputusan untuk membantu
Tek Hoat dan menyerang gadis yang mengacaukan semua rencana itu.
“Perempuan setan, jangan banyak lagak engkau
di sini!” teriak Si Tangan Malaikat dan bersama dua orang saudara Ma, dia
meloncat ke atas panggung, langsung menghadapi Ceng Ceng yang menyambut
kedatangan tiga orang ini dengan senyum mengejek dan diam-diam gadis murid
Ban-tok Mo-li mengerahkan ilmunya.
“Kallan sudah bosan hidup? Mampuslah!”
bentaknya dan tiga orang itu tentu saja menjadi marah, masing-masing telah
mencabut senjatanya dan hendak menyerbu. Melihat ini, Tek Hoat hanya melirik
akan tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh amat mengejutkan hatinya, dan
tentu saja juga amat mengejutkan semua orang yang melihatnya. Ketika tiga orang
itu menyerbu, tiba-tiba Ceng Ceng meludah tiga kali ke arah mereka. Serangan
aneh ini cepat dan tidak tersangka-sangka sama sekali, tiga orang kasar itu
tentu saja tidak takut menghadapi serangan ludah seorang gadis cantik seperti
Ceng Ceng, maka mereka pun tidak menunda serangan mereka dan terus maju. Akan
tetapi, tiba-tiba tiga orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan ketiganya
melepaskan senjata roboh ke atas papan dan bergulingan lalu berkelojotan dan
tak lama kemudian tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi! Mereka telah
menjadi korban ludah beracun dari Ceng Ceng, satu di antara ilmu-ilmu luar
biasa yang diperolehnya dari Ban-tok Mo-li!
Melihat ini, tahulah Tek Hoat bahwa gadis ini
benar-benar seorang yang amat ahli dalam soal racun. Dahulu ketika Ceng Ceng
muncul, gadis ini pun telah memperlihatkan kelihaiannya dengan menyebar racun
untuk menghalangi pengejaran, dan sekarang kembali telah membuktikan
kelihaiannya dalam hal racun.
Lumayan juga mempunyai teman selihai ini,
pikirnya. Pula, selain dia tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu Ceng
Ceng, hal yang amat aneh baginya, juga dia mengharapkan untuk kelak dapat
menguasai hati Syanti Dewi melalui gadis ini.
“Engkau hebat....!” katanya memuji tanpa
memandang.
“Dan aku perkenankan engkau memandangku
sekarang,” kata Ceng Ceng. “Tidak enak kalau mempunyai pembantu yang selalu
membelakangiku! Akan tetapi engkau harus taat dalam segala hal!”
Tek Hoat tersenyum geli. Lu Ceng ini
benar-benar seorang bocah, akan tetapi telah memiliki kepandaian beracun yang
demikian mengerikan, pikirnya. Dia mengangkat muka memandang dan memperoleh
kenyataan bahwa biarpun gadis ini sekarang makin manis, kecantikannya makin
matang, akan tetapi terbayang sesuatu yang amat mengerikan, sesuatu yang dingin
dan penuh kebencian! Akan tetapi anehnya, begitu memandang, timbul pula rasa
iba dan sayang di dalam hatinya terhadap gadis ini, hal yang sama sekali tidak
dimengertinya mengapa demikian!
Melihat kehebatan gadis itu, yang meludah saja
sudah dapat membunuh orang-orang pandai seperti Tangan Malaikat, semua orang
dengan suara bulat menyetujui mengangkatnya menjadi beng-cu. Bahkan mereka
menjadi girang dan bangga bukan main karena maklum bahwa mereka dipimpin oleh
dua orang yang lihai, dan otomatis kedudukan mereka menjadi kuat. Tentu saja
golongan-golongan yang mempunyal ambisi, yang pro dan anti pemberontak, yang
masih sangsi dan bingung karena mereka belum tahu benar orang macam apa adanya
gadis ini. Orang yang suka bersekutu dengan pemberontak ataukah yang
membencinya?
Sementara itu Ceng Ceng memerintahkan para
anak buah Tiat-ciang-pang untuk menyingkirkan semua jenazah. Setelah Ketua
Tiat-ciang-pang tewas, otomatis dia sebagai beng-cu pun dianggap sebagai Ketua
Tiat-ciang-pang pula, maka dia lalu mengajak Tek Hoat untuk pergi memeriksa
markas Tiat-ciang-pang untuk dijadikan pusat di mana beng-cu dan pembantunya
tinggal.
Malam hari itu, biarpun dalam keadaan
berkabung karena kematian Tong Hoat, namun para pimpinan Tiat-ciang-pang yang
masih hidup segera mengatur hidangan untuk merayakan dan menyambut beng-cu
yang berkenan tinggal di tempat mereka. Juga para tokoh golongan lain yang
termasuk kaum sesat di sekitar daerah kota raja hadir untuk memberi hormat
kepada beng-cu mereka. Ceng Ceng duduk semeja dengan Tek Hoat, dan mereka
berdua makan bersama tanpa banyak cakap, hanya kadang-kadang saja Ceng Ceng
tersenyum mengejek kalau memandang Tek Hoat.
“Engkau sekarang lihai sekali,” Tek Hoat
berkata lirih agar jangan terdengar oleh orang lain yang duduk mengelilingi
meja-meja agak jauh dari mereka berdua.
“Masih tidak selihai engkau!” jawab Ceng Ceng
jujur.
“Aku heran sekali, mengapa engkau menginginkan
kedudukan beng-cu?” Tek Hoat bertanya lagi.
“Karena aku ingin mengerahkan tenaga semua
kaum sesat ini, termasuk engkau, untuk menyelidiki dan mencarikan musuh
besarku.”
Tek Hoat mengangkat mukanya, memandang tajam.
Akan tetapi Ceng Ceng juga membalas pandang mata itu, sama tajamnya. Tek Hoat
lalu menundukkan mukanya, merasa aneh mengapa dia tidak sanggup menentang
pandang mata gadis itu terlalu lama. “Siapa....?” tanyanya lirih.
“Seorang pemuda tinggi besar, ilmu
kepandaiannya tinggi sekali, aku tidak tahu dia berada di mana, juga tidak tahu
siapa namanya.”
“Hemm...., sungguh aneh. Pemuda tinggi besar
dan lihai.... ahh....! Di dunia ini banyak sekali orang tinggi besar, dan banyak
sekali yang lihai.”
“Akan tetapi engkau pun sudah tahu siapa dia,
dia yang menyelamatkan Jenderal Kao dari tanganmu.”
“Aih, dia....!” Hampir saja Tek Hoat meloncat
dari bangkunya. “Dia itu musuh besarmu?”
“Benar.”
“Kalau dia, aku senang sekali membantumu. Aku
sendiri kalau bertemu dengan dia, ingin mematahkan batang lehernya!”
“Tidak, aku hanya menghendaki engkau dan para
anggauta mencarinya dan paling banyak menangkapnya. Aku sendiri yang harus
membunuhnya!” kata Ceng Ceng dan suaranya mengandung kemarahan dan kebencian
hebat.
Tek Hoat mengangkat mukanya memandang dengan
penuh perhatian, lalu bertanya, “Kenapa? Kenapa engkau mendendam kepadanya dan
begitu benci kepadanya?”
“Kau tidak perlu tahu!” Ceng Ceng menjawab
dengan kasar dan membentak marah.
Melihat gadis itu marah-marah, Tek Hoat
mengalihkan percakapan. “Lu Ceng, aku melihat bahwa engkau telah memiliki
kepandaian hebat, jauh bedanya dengan dahulu ketika kita saling bertemu untuk
pertama kalinya. Terutama sekali engkau hebat dalam ilmu beracun. Tentu engkau
telah bertemu dengan seorang guru yang pandai.”
Ceng Ceng mengangguk. “Aku telah mewarisi ilmu
tentang racun yang tidak ada keduanya di dunia ini. Karena itu, di samping
sumpah dan janjimu, kau pun harus tunduk kepadaku karena betapa mudahnya bagiku
untuk membunuhmu, sekarang juga. Lihat!” Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya
di atas cawan arak Tek Hoat sambil merngerahkan ilmunya. Segumpal hawa seperti
asap hitam keluar dari telapak tangannya dan ketika hawa itu menghilang, Tek
Hoat melihat betapa arak di dalam cawannya menjadi kehijauan, mengandung racun!
“Sedikit saja kauminum arakmu, kau akan mati,”
kata Ceng Ceng.
Tek Hoat mengangquk-angguk dan membuang isi
cawan itu ke atas lantai, lalu menggantikannya dengan arak baru dari guci.
“Hemm, engkau telah membuat dirimu, sampai ludahmu pun dapat membunuh. Sungguh
luar biasa!” Tek Hoat berkata memuji akan tetapi, tentu saja dia tidak merasa
jerih dan dia merasa yakin bahwa kalau terpaksa bertending, dia akan dapat
mengalahkan gadis aneh ini.
Pade saat itu, tiba-tiba terdengar suara
hiruk-pikuk di sebelah luar, dan tak lama kemudian beberapa orang bekas
pimpinan Tiat-ciang-pang menghampiri meja Ceng Ceng dan melapor. “Celaka, di
luar terdapat seorang pengacau yang amat lihai, banyak kawan kita telah
dirobohkan olehnya.”
Tek Hoat merasa tidak senang karena dia
diganggu. “Siapa dia dan mengapa dia mengacau?”
“Dia tidak mengaku namanya dan tidak mengaku
mengapa dia datang mengacau. Harap Ji-wi suka menundukkan sebelum dia
merobohkan lebih banyak kawan dan menimbulkan kerusakan.”
“Kurang ajar!” Tek Hoat bangkit berdiri dan
bersama Ceng Ceng lalu berlari keluar.
Setelah mereka tiba di luar mereka melihat
seorang laki-laki tinggi besar sedang mengamuk, dikeroyok oleh banyak orang.
Lebih dari tiga puluh orang anggauta Tiat-ciang-pang mengeroyok orang itu dan
dari jauh Tek Hoat dan Ceng Ceng melihat betapa orang itu melempar-lemparkan
para pengeroyoknya dengan amat mudahnya. Para pengeroyok itu seperti sekumpulan
semut mengeroyok seekor jangkrik yang kuat. Berkali-kali mereka dilempar ke
kanan kiri akan tetapi mereka bangkit lagi dan menerjang lagi.
“Hemm, orang itu kuat sekali,” Tek Hoat
berkata dan mempercepat larinya menghampiri.
“Tek Hoat, aku ingin dia itu ditawan saja,
jangan sampai terbunuh!” tiba-tiba Ceng Ceng berkata kepada Tek Hoat sehingga
pemuda ini menjadi heran.
“Eh, kenapa? Dia pengacau....”
“Dia lihai, aku ingin mengambilnya sebagai
pembantuku, di sampingmu....”
“Hemmm....” Tek Hoat tidak berkata apa-apa
lagi melainkan melompat dekat dan berteriak, “Semua orang mundur! Biarkan aku
menghadapi pengacau ini!”
Ceng Ceng hanya menonton ketika Tek Hoat sudah
meloncat maju. Tentu saja jantungnya berdebar dan dia memesan kepada Tek Hoat
agar pembantunya itu jangan membunuh si pengacau karena dia mengenal si
pengacau itu sebagai laki-laki tinggi besar yang pernah menolongnya! Laki-laki
bermuka buruk seperti setan yang telah menolongnya ketika dia dikeroyok oleh
para kaki tangan pemberontak di waktu dia hendak menolong Pangeran Yung Hwa.
Seperti diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng kagum melihat kepandaian orang
ini, bahkan telah diujinya dan dia berpendapat bahwa penolongnya itu merupakan
seorang sakti yang akan dapat membimbingnya agar kelak dia dapat membalas
dendamnya terhadap musuhnya yang amat lihai. Akan tetapi laki-laki bermuka
buruk, dengan kulit muka kasar seperti punggung buaya dan hitam kemerahan,
mulutnya lebar hidungnya besar, mata besar sebelah dan rambutnya riap-riapan,
laki-laki bermuka seperti setan itu telah menolak permintaannya menjadi murid.
Dan sekarang, secara tidak terduga-duga orang ini datang dan muncul sebagai
seorang pengacau. Maka dia memperoleh pikiran yang cerdik. Dia tidak berhasil
membujuk orang lihai ini agar suka menjadi gurunya, maka dia akan
mempergunakan akal!
Tek Hoat sudah meloncat ke depan dan menyerang
orang itu dengan totokan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke
arah pelipis orang itu. Serangan yang amat hebat dan dahsyat ini membuat
laki-laki tinggi besar bermuka setan itu mengeluarkan suara gerengan dahsyat,
tubuhnya bergerak ke kanan, tangan kanannya menangkis totokan dan tangan
kirinya menyampok cengkeraman ke pelipisnya dengan keras. Tek Hoat juga
mengerahkan tenaga pada kedua lengannya karena dia bermaksud membuat orang itu
terpental dan roboh ketika kedua lengan mereka beradu.
“Plakk! Duukkk!”
Keduanya terkejut dan terpental, akan tetapi
dengan cekatan keduanya telah dapat mengatur keseimbangan tubuh dengan loncatan
tinggi ke belakang. Sejenak mereka saling pandang dan Tek Hoat membentak
marah. “Siapa kau?”
Akan tetapi, orang tinggi besar itu tidak
menjawab, melainkan menoleh ke arah Ceng Ceng yang sudah mendekati pula. Pada
saat itu, Tek Hoat telah mencabut pedangnya, yaitu pedang Cui-beng-kiam yang
mengeluarkan sinar dan hawa yang menyeramkan.
“Keparat, mampuslah kau!” bentaknya
sambil menyerang.
Menghadapi serangan pedang ini, orang tinggi
besar itu terkejut, apalagi ketika dia melihat pedang Cui-beng-kiam. Agaknya
dia tahu akan pedang yang amat ampuh ini, yang memiliki pengaruh dan hawa
mujijat, maka dia mengeluh dan cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri
dari sambaran pedang. Tek Hoat merasa girang melihat kejerihan lawan. Dia
terpaksa mencabut pedang karena maklum bahwa lawannya ini bukan orang
sembarangan. Akan tetapi ketika dia hendak maju menerjang lagi, Ceng Ceng
berteriak, “Tek Hoat mundurlah! Aku akan menangkapnya!”
Teriakan ini dikeluarkan oleh Ceng Ceng karena
dia khawatir melihat serangan Tek Hoat yang mengeluarkan pedang. Dia pun
mengenal pedang yang luar biasa ampuhnya, bahkan mengandung hawa mujijat yang
lebih hebat lagi. Memang dia maklum akan kelihaian penolongnya ini, yang
menyambut Ban-tok-kiam dengan tangan kosong, mencengkeram dan merampas
pedangnya dengan mudah! Akan tetapi pedang seampuh itu di tangan Tek Hoat
adalah laln lagi karena dia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat dan
tenaga sin-kang, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Tek Hoat. Pula, dia
sengaja berteriak mengatakan hendak menangkap orang itu untuk memberi tahu
bahwa dia tidak berniat membunuhnya.
Mendengar teriakan ini, biarpun hatinya
mendongkol, terpaksa Tek Hoat meloncat mundur. Diam-diam dia mentertawakan
Ceng Ceng yang berkata hendak menangkap orang ini. Biarpun baru bergebrak
beberapa jurus saja, dia maklum bahwa orang ini memiliki kepandaian hebat,
lebih tinggi jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Ceng Ceng. Jangankan
menangkapnya hidup-hidup, untuk mencari kemenangan pun tentu sukar. Entah kalau
nona itu mempergunakan racunnya yang memang hebat.
“Engkau telah mengacau tempat ini. Aku yang
menjadi beng-cu harus menawanmu!” Ceng Ceng berseru sambil menerjang orang
tinggi besar itu dengan kedua tangannya, menotok jalan-jalan darah dengan
kecepatan dua ekor ular mematuk.
Orang itu mengeluarkan seruan aneh dan
meloncat mundur, terdengar berkata tidak jelas setengah berbisik akan tetapi
dapat dimengerti oleh Ceng Ceng. “Kau.... kau gadis aneh....!”
Sudah dua kali orang itu mengatakan sebagai
gadis aneh! Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah bertekad untuk menangkap bekas
penolongnya ini, tidak menjawab melainkan menyerang terus bertubi-tubi dengan
totokan jari-jari tangannya. Tek Hoat menonton sambil tersenyum simpul. Rasakan
kau sekarang, pikirnya. Bocah sombong kau, kalau tidak kubantu mana bisa kau
menang menghadapinya?
“Ehh....!” Tiba-tiba Tek Hoat menahan
seruannya karena terkejut ketika melihat betapa orang tinggi besar itu
terguling dan roboh tak dapat bergerak lagi karena telah menjadi lemas dan
lumpuh tertotok oleh jari-jari tangan Ceng Ceng! Hampir dia tidak dapat
mempercaya ini, akan tetapi laki-laki tinggi besar itu benar-benar telah roboh
tak berdaya dan beberapa orang anggauta Tiat-ciang-pang cepat menghampiri dan
membelenggu kedua tangannya ke belakang dengan erat atas perintah Ceng Ceng.
“Masukkan dia ke tempat tahanan di belakang
dan jaga dengan ketat. Awas, jangan sampai dia lolos dan jangan ada yang berani
mengganggunya. Besok aku akan memeriksanya!” demikian perintah Ceng Ceng kepada
anak buahnya yang segera menggotong tawanan itu dan membawanya ke sebuah gudang
di belakang rumah di mana orang tinggi besar itu dilempar ke dalam gudang itu
dan dijaga dengan ketat oleh tidak kurang dari dua puluh orang.
Sementara itu, Ceng Ceng dan Tek Hoat kembali
ke ruangan pesta perayaan, diikuti oleh bekas pimpinan Tiat-ciang-pang dan para
tamu golongan kaum sesat lainnya yang tadi ikut pula menyaksikan peristiwa
pengacauan itu. Semua orang memuji kelihaian beng-cu mereka yang dengan mudah
dapat merobohkan orang yang sedemikian lihainya.
“Heran sekali, bagaimana engkau dapat
menotoknya roboh sedemiklan mudahnya?” Tek Hoat tidak dapat menahan keheranan
hatinya, bertanya kepada Ceng Ceng ketika mereka telah duduk pula menghadapi
meja.
Ceng Ceng sendiri tadi juga agak heran karena
tidak disangkanya bahwa dia akan berhasil begitu mudahnya. Jelas bahwa
laki-laki tinggi besar itu tidak melawan dengan sungguh-sungguh sehingga mudah
saja ia merobohkan dengan pukulan hawa beracun yang lebih dulu dia pergunakan
sehingga lawannya itu terpengaruh oleh hawa beracun dan tidak sempat
menghindarkan diri lagi ketika dia menotoknya bertubi-tubi, membuatnya roboh
tak berdaya. Mendengar pertanyaan ini, dia menjawab sederhana, “Biarpun dia lihai,
akan tetapi dia tidak dapat melawan hawa beracun dari pukulanku yang membuat
dia kurobohkan dengan totokan. Hanya engkau yang agaknya masih buta, belum
melihat kelihaianku!”
Tek Hoat tidak mempedulikan ucapan itu. “Aku
masih merasa heran dan menduga-duga, dia itu siapakah dan apa perlunya
mengacau di sini? Mukanya seperti setan dan kepandaiannya pun hebat betul.
Belum pernah aku mendengar ada orang seperti dia di dunia kang-ouw.”
“Biar aku besok yang akan memeriksanya. Kau
jangan sekali-kali mengganggunya, tunggu sampai aku besok memeriksanya. Kalau
dia mau menjadi pembantuku, bekerja sama dengan kita, syukurlah. Kalau
tidak....”
“Kalau tidak, bagaimana? Kita bunuh dia?”
“Hemm.... bagaimana besok sajalah,” Ceng Ceng
sendiri bingung. Ketika dia berlutut dan memohon kepada orang itu menjadi
gurunya, orang itu menolak dan pergi begitu saja. Sekarang, setelah berhasil
menawannya, apakah dia akan berhasil pula memaksa orang itu menjadi
pembantunya untuk menangkap musuh besarnya?
Malam itu Ceng Ceng tidur dengan gelisah
sekali, diganggu mimpi buruk berkali-kali. Dia melihat di dalam mimpinya itu
pemuda laknat musuh besarnya yang menyerangnya dan hendak memperkosanya lagi,
akan tetapi wajah itu kadang-kadang berubah menjadi wajah Tek Hoat, dan
kadang-kadang berubah menjadi wajah laki-laki tawanan bermuka setan itu! Dia
terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Maklumlah Ceng Ceng bahwa
dia telah bermain-main dengan api. Dia berada di antara orang-orang jahat, dan
terutama sekali Tek Hoat adalah seorang yang amat berbahaya. Juga laki-laki
bermuka setan itu biarpun pernah menolongnya namun sikapnya begitu menakutkan
dan menyeramkan, penuh rahasia pula. Dia seolah-olah dikelilingi oleh
orang-orang yang aneh dan berbahaya. Pemuda laknat musuhnya itu, Tek Hoat dan
laki-laki tinggi besar ini. Teringatlah dia kepada Pangeran Yung Hwa dan dia
menjadi termenung. Betapa bedanya pangeran itu dengan tiga orang laki-laki!
Pangeran itu begitu tampan, begitu halus, penuh hormat, lemah-lembut dan penuh
kemesraan. Cinta kasih seorang seperti Pangeran Yung Hwa itu agaknya tidak
perlu disangsikan lagi! Sebaliknya, Tek Hoat memang tampan dan gagah, biarpun
tidak setampan Pangeran Yung Hwa namun Tek Hoat juga memiliki kepribadian yang
menarik, ketampanan dan kegagahan yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi
pemuda ini adalah seorang yang rendah, yang telah menghambakan diri kepada
pemberontak! Pemuda laknat yang memperkosanya itupun tampan dan gagah sekali,
lebih gagah daripada Tek Hoat, dengan sikap yang pendiam dan agung,
membayangkan kekerasan seperti seekor singa, kokoh kuat seperti batu karang.
Akan tetapi pemuda itu telah menjadi musuh besarnya, yang amat dibencinya, dan
dia tahu bahwa membunuh pemuda itupun belum berarti terbalas dendamnya karena
pemuda itu telah merusak hidupnya, merusak segala-galanya! Dan laki-laki yang
bermuka setan ini, sudah tua dan menakutkan, biarpun pernah menolongnya dan
berilmu tinggi, akan tetapi sikapnya begitu aneh dan penuh rahasia sehingga
sukar baginya untuk mengambil kesimpulan orang macam apakah adanya laki-laki
bermuka setan ini.
Pada keesokan harinya dia telah pergi ke
belakang, ke gudang di mana tawanan itu berada. Di luar gudang masih terjaga
oleh dua puluh orang lebih anggauta Tiat-ciang-pang, akan tetapi dia mendengar
suara orang bicara di sebelah dalam gudang atau lebih tepat lagi, suara Tek
Hoat yang agaknya marah-marah.
Cepat dia memasuki gudang itu dan dia masih
mendengar Tek Hoat berkata marah, “Kaukira aku tidak mampu memaksamu bicara? Engkau
bersembunyi di balik topeng itu!”
Mendengar ucapan ini, orang bertopeng itu
terkejut. “Ehh.... jangan....! Jangan buka topengku. Kalau dipaksa.... aku
akan mengamuk dan akan hebat akibatnya!”
Tek Hoat tertawa. “Silakan mengamuk, aku
memang ingin sekali melihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong
ini!” Tek Hoat sudah melangkah dekat, menghampiri tawanan yang masih
terbelenggu kedua tangannya ke belakang punggung dan sedang bersandar pada
dinding gudang itu. Agaknya Tek Hoat hendak melakukan sesuatu karena tangannya
sudah mendekati muka orang.
“Tek Hoat, jangan....!” Ceng Ceng
membentak dan Tek Hoat terkejut.
Pemuda ini bersungut-sungut dan ingin dia
menampar mukanya sendiri. Mengapa dia menjadi begini lemah dan penurut? Agaknya,
di dunia ini tidak akan ada orang yang mampu memerintahnya seperti ini! Dan
dia, yang memiliki kepandaian tinggi, yang dapat melakukan apa pun, tanpa Ceng
Ceng dapat menghalanginya, dia tidak berdaya dan tidak sampai hati menolak
perintah Ceng Ceng! Itulah soalnya, bukan sekali-kali hanya karena sumpahnya.
Memang dia merasa terlampau gagah untuk melanggar sumpah, akan tetapi kalau
sumpahnya itu dipergunakan Ceng Ceng untuk mempermainkannya tentu saja tidak
bisa dia terus menurut.
“Hemmm....!” Dia mendengus dan membalikkan
mukanya.
Ceng Ceng memandang wajah orang tawanan itu
dan jantungnya berdebar tegang. Benar juga kata-kata Tek Hoat. Kiranya orang
ini memakai topeng! Memakai semacam kedok yang amat tipis dan memang sukar
dibedakan dari wajah aseli kalau saja dia tadi tidak melihat orang itu bicara
dan bibir itu hampir tidak bergerak, tanda bahwa yang bergerak tentulah bibir
aselinya yang berada di balik topeng! Seketika timbul akalnya untuk memaksa
bekas penolongnya ini!
“Tek Hoat, keluarkan saputanganmu!” katanya
memerintah.
“Untuk apa....?” Tek Hoat bertanya dengan
marah karena saputangan mengingatkan dia akan sumpah dan janjinya.
“Kaututup matamu dengan saputangan itu!”
“Hemm....!” Tek Hoat makin marah.
Akan tetapi tetap saja permintaan itu dia
penuhi juga. Dia menutupkan saputangannya ke depan mata dan mengikatkan kedua
ujung saputangan di belakang kepala. Diam-diam dia tertarik juga karena ingin
tahu apa yang akan dilakukan gadis aneh ini.
Setelah melihat Tek Hoat menutupi mukanya
dengan saputangan, Ceng Ceng lalu menghampiri tawanan yang masih bersandar
dinding itu. “Nah, In-kong sekarang kita boleh bicara berdua. Pembantuku ini
sudah menutup matanya dengan saputangan sehingga tidak dapat melihat kita....
maksudku, tidak dapat melihat wajahmu.”
Suara yang halus itu terdengar kini. “Nona,
engkau benar-benar seorang gadis aneh. Apa maksudmu dengan menawan aku? Aku
tidak bersalah, hanya melihat ramai-ramai di sini, menonton dan dikeroyok oleh
orang-orang itu. Biarkan aku pergi.”
“Tidak, sebelum engkau memperlihatkan siapa
adanya engkau. Aku hendak membuka topeng yang menutupi mukamu, In-kong.”
Tentu saja Tek Hoat menjadi kaget dan heran
bukan main mendengar ucapan Ceng Ceng yang menunjukkan bahwa gadis ini telah
mengenal Si Topeng Setan itu, bahkan menyebutnya In-kong (Tuan Penolong)!
Biarpun kedua matanya tertutup, Tek Hoat memusatkan seluruh perhatiannya kepada
pendengarannya sehingga dia dapat mengikuti seluruh gerak-gerik Ceng Ceng dan
tawanan itu, bahkan tidak kalah jelasnya dari orang biasa yang memandang dengan
kedua matanya.
“Jangan....! Jangan, Nona....! Ini adalah
rahasiaku, kalau terbuka berarti aku mati! Harap kau jangan membukanya....”
Orang itu berkata, suaranya penuh permohonan dan kekhawatiran sehingga Tek
Hoat menjadi makin tertarik, makin curiga.
“Engkau pernah menolongku, tentu aku tidak
akan memaksa. Akan tetapi aku tidak akan membuka topengmu asal engkau suka
menjadi pembantu dan pelindungku, dan suka mengajarkan ilmu silatmu yang
tinggi kepadaku. Bagaimana?”
“Hemm...., baiklah. Aku berjanji.”
“Dan seorang laki-laki gagah tidak akan
melanggar janjinya.”
“Lebih baik mati daripada melanggar janji.”
Tiba-tiba Tek Hoat tertawa. “Ha-ha-ha, Lu
Ceng! Engkau membuat kami berdua laki-laki yang memiliki kepandaian menjadi
seperti lalat terjebak dalam janji-janjinya sendiri!”
“Tek Hoat, engkau dan dia ini berjanji
sendiri, aku sama sekali tidak memaksanya. Nah, kau boleh membuka
saputanganmu dan boleh memandang aku sekarang, dan kaubebaskan dia dari
belenggu itu.”
Tek Hoat menyambar saputangannya, lalu
memandang kepada laki-laki bertopeng itu dengan tertawa mengejek. “Engkau
telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kesukaran, Sobat!” Dan dengan kedua
tangannya Tek Hoat merenggut, mengerahkan sin-kangnya dan belenggu yang terbuat
dari baja itu patah-patah! Bukan main hebatnya tenaga kedua tangan Tek Hoat
dan agaknya dia sengaja mendemonstrasikannya di depan orang bertopeng itu yang
memandang dengan sikap tenang saja. Setelah belenggunya dilepaskan dia bangkit
berdiri, tinggi dan tegap.
“Sekarang kau setelah menjadi pembantuku
harus memberitahukan namamu,” Ceng Ceng berkata.
Orang itu menghela napas panjang. “Setelah
Ji-wi (Anda Berdua) tahu bahwa aku bertopeng, maka biarlah aku dinamakan
Topeng Setan.”
Ceng Ceng bertepuk tangan gembira. “Bagus! Dua
orang pembantuku hebat julukannya, yang seorang Si Jari Maut, dan seorang lagi
Si Topeng Setan! Sekarang mari kita keluar untuk mengumumkan pengangkatan
Topeng Setan sebagai pembantuku ke dua, dan kita mulai mengatur anak buah kita
agar tidak lagi terjadi bentrok diantara rekan segolongan.”
Tek Hoat dan Topeng Setan mengangguk. Ceng
Ceng bergegas keluar gudang itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Hoat
untuk berbisik kepada laki-laki tinggi besar itu, “Awas, engkau mencurigakan.
Sekali waktu akan kupatahkan batang lehermu seperti aku mematahkan belenggu
tadi.”
Topeng Setan menoleh kepada pemuda tampan itu
dan tidak menjawab apa-apa kecuali memungut bekas belenggu dari atas lantai,
kemudian dengan amat mudahnya jari tangannya mematah-matahkan rantai itu
semudah yang dilakukan oleh Tek Hoat tadi!
“Tak perlu curiga, aku hanya ingin
melindunginya, Sobat!” Si Topeng Setan berkata pula, berbisik.
Tek Hoat terkejut dan mengertilah dia bahwa
Topeng Setan tadi agaknya memang sengaja membiarkan dirinya tertawan. Buktinya,
kalau dia menghendaki, tentu dia sudah dapat membebaskan dirinya dari belenggu
itu dengan amat mudah! Makin tertariklah dia dan diam-diam dia mengharapkan
untuk dapat menarik tenaga yang amat kuat ini untuk membantu gerakan Pangeran
Liong Bin Ong.
Yang merasa amat bergembira adalah Ceng Ceng.
Dia sampai luka akan kesengsaraan hatinya melihat betapa dia kini telah
menjadi seorang “beng-cu”, mengepalai ratusan orang-orang lihai, bahkan
mempunyai dua orang pembantu dan pelindung yang amat tinggi kepandaiannya.
Kini dia merasa yakin bahwa tentu dia akan berhasil mencari musuh besarnya,
pemuda laknat yang telah memperkosanya! Di samping itu, dia akan menuntun para
kaum sesat itu agar tidak membantu para pemberontak, sebaliknya malah menentang
pemberontak. Sedangkan Tek Hoat, yang dia tahu adalah anak buah pangeran
pemberontak, setelah menjadi pembantunya akan dibujuknya agar dapat insyaf dan
kembali ke jalan benar. Betapapun juga, pemuda inilah sebetulnya yang menjadi
orang pertama, laki-laki pertama yang pernah menggerakkan perasaan mesra,
kagum dan cinta di dalam hatinya, yang kemudian berubah menjadi benci karena
pemuda yang dikagumi ini ternyata adalah kaki tangan pemberontak. Pula,
setelah mendengar pengakuan Tek Hoat akan cinta kasihnya kepada Syanti Dewi,
lenyaplah perasaan mesra di hatinya terhadap Tek Hoat. Namun andaikata pemuda
ini dapat insyaf dan kembali ke jalan benar, dia akan senang sekali melihat
kakak angkatnya itu berjodoh dengan Ang Tek Hoat. Jauh lebih baik daripada
menjadi isteri seorang pangeran tua di kota raja!
Kita tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan
pengalamannya yang baru sebagai seorang beng-cu atau ketua dari kaum sesat itu,
dan mari kita mengikuti perjalanan kakak beradik dari Pulau Es, yaitu Suma Kian
Lee dan Suma Kian Bu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan,
Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu merencanakan hendak mengawal Jenderal Kao Liang
kembali ke utara ketika pada malam hari itu muncul putera jenderal itu yang
telah hilang dan disangka mati belasan tahun yang lalu, yaitu Kok Cu, yang
kemudian pada malam hari itu juga pergi lagi meninggalkan rumah orang tuanya
dengan alasan bahwa dia harus menunaikan dulu tugas yang diperintahkan
gurunya.
Peristiwa hebat perjumpaannya dengan Ceng Ceng
yang dianggap telah mati dan bayangan gadis itu dianggap rohnya, kemudian
disusul dengan munculnya Kok Cu yang disangka sudah mati, mengguncangkan hati
Jenderal Kao dan keluarganya. Akan tetapi demi tugasnya, jenderal yang perkasa
ini sudah bersiap-siap untuk berangkat bersama Kian Lee dan Kian Bu, dengan
diam-diam akan kembali ke utara.
Akan tetapi, baru saja mereka bersiap untuk
berangkat naik kuda bertiga, tiba-tiba terdengar suara halus, “Kao-goanswe,
berhenti dulu....” Dan berkelebatlah bayangan orang. Ternyata yang datang
adalah Puteri Milana sendiri!
Tentu saja Jenderal Kao, Kian Lee dan Kian Bu
terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tanpa banyak cakap Jenderal Kao
mengajak Puteri Milana dan dua orang adiknya itu masuk ruangan dan tidak
mengijinkan anak isterinya ikut masuk, karena dia menduga bahwa kedatangan
Puteri Milana tentulah membawa hal yang amat penting. Dan memang benarlah
demikian!
Begitu dipersilakan duduk, puteri yang
wajahnya agak tegang biarpun sikapnya masih tenang itu berkata lirih,
“Jenderal, saatnya telah tiba bagi kita untuk mengambil tindakan secara
terang-terangan.”
Jenderal Kao Liang mengerutkan alisnya.
“Paduka maksudkan....?”
“Baru saja seorang penyelidikku datang
malam-malam melaporkan bahwa Panglima Kim Bouw Sin yang kautawan itu telah
dibebaskan kaki tangannya, bahkan telah menyusun kekuatan dari para pasukannya
dan kini berpusat di Teng-bun, sudah siap untuk menyerbu ke selatan!”
“Si keparat!” Jenderal itu mengepal tinjunya
dengan marah sekali. “Semua ini diatur dari sini, dan kita harus menumpas
biang keladinya!”
“Sabarlah, Goanswe. Tugas kita hanyalah
menumpas para pemberontak yang sudah terang-terangan memberontak seperti Panglima
Kim Bouw Sin. Adapun para penggerak atau penganutnya sekarang masih bermain di
belakang layar, amat sukar bagiku untuk bertindak tanpa adanya bukti-bukti yang
kuat. Kedudukan mereka kuat. Sekarang, paling perlu kita harus bergerak ke
utara. Biarlah kedua orang adikku ini lebih dulu menyelidiki ke sana dan
sedapat mungkin menyelamatkan Syanti Dewi yang berada di bentengmu.
Mudah-mudahan saja dia tidak terjatuh ke tangan pemberontak! Sedangkan engkau
dan aku sendiri mengatur pasukan dari sini setelah kita besok menghadap
Kaisar untuk melaporkan gerakan pemberontak Kim Bouw Sin itu. Akan tetapi
hati-hatilah, jangan keliru bicara menyebut nama dua orang pangeran tua. Hal
itu akan membikin marah Kaisar yang masih percaya kepada mereka sebagai adik-adiknya.”
Jenderal Kao mengangguk-angguk. Memang
kemarahannya disebabkan oleh dua hal. Pertama-tama tentu saja karena dia
ditipu, orang menggunakan Kaisar untuk memanggilnya keluar dari benteng dan
biarpun pihak pemberontak gagal membunuhnya di tengah jalan, mereka telah
berhasil membebaskan Kim Bouw Sin yang tentu saja akan menarik sebanyak mungkin
pasukan dibawah pimpinannya! Hal kedua yang membuat dia marah saking cemasnya
adalah nasib Syanti Dewi yang ditinggalkan sendirian di dalam benteng!
Kian Lee dan Kian Bu berangkat meninggalkan
kota raja setelah menerima pesan dari Puteri Milana dan Jenderal Kao. Mereka
diberi tanda-tanda pengenal sebagai pembantu Jenderal Kao dan pembantu Puteri
Milana agar tidak mengalami kesulitan di dalam perjalanan, karena dalam
keadaan kacau dan gawat itu, perjalanan ke utara tentu amat sukar dan terdapat
banyak rintangan berbahaya.
Dua orang pemuda Pulau Es ini melakukan
perjalanan dengan terpaksa. Sebetulnya mereka tidak tahu apa-apa tentang
pertentangan antara kerajaan dan pemberontak itu, dan hal itu pun tidak menarik
hati mereka. Semenjak kecil mereka berada di Pulau Es dan tidak pernah
mendengar atau tahu akan keadaan pemerintahan, maka kekacauan yang terjadi ini
hanya menjemukan hati mereka. Akan tetapi, karena ada kakak mereka, Puteri
Milana yang langsung tersangkut, mereka melakukan tugas itu sebagai perintah
kakak mereka dan hal ini tentu saja menyenangkan hati mereka karena mereka
merasa berguna bagi kakak mereka itu. Selain itu, juga sebagai dua orang muda
remaja, mereka masih haus akan pengalaman.
Di sepanjang perjalanan yang mereka lakukan
dengan cepat itu, di setiap dusun dan kota, Kian Lee selalu mengajak adiknya
untuk berputar kota lebih dulu, dan biarpun Kian Bu diam-diam maklum bahwa
kakaknya ini mencari seseorang atau setidaknya menyelidiki seseorang, dan
seseorang itu pun telah dia ketahui siapa.
Karena mereka mendapat tugas untuk
menyelamatkan Syanti Dewi yang oleh Jenderal Kao ditinggalkan di dalam
bentengnya, maka dua orang kakak beradik itu langsung menuju ke kota benteng
itu dan ketika mereka tiba di kota itu, kota yang dikelilingi benteng amat
kuatnya, mereka mendengar berita yang amat mengejutkan hati. Mereka berdua
bercampur dengan rakyat yang menjadi panik, pengungsi-pengungsi yang
kebingungan, ada yang mengungsi keluar dari kota, akan tetapi ada pula yang
malah mencari perlindungan di kota itu sehingga keadaan kota itu ramai sekali
dengan para pengungsi yang hilir mudik. Tampak tentara berseliweran di setiap
tempat dan suasana tegang terasa di dalam kota itu.
Ternyata kota benteng itu telah terjatuh ke
tangan kaum pemberontak! Setelah Jenderal Kao pergi ke kota raja, beberapa
malam kemudian timbul keributan di dalam benteng. Panglima Kim Bouw Sin
dilepaskan orang-orang lihai dari penjara, kemudian panglima itu menggunakan
pengaruhnya untuk menguasai pimpinan. Para panglima dan perwira yang
menentangnya dibunuh karena pada malam hari itu juga banyak muncul orang-orang
pandai di kota itu, juga pasukan istimewa dari kaum pemberontak tahu-tahu
telah memasuki kota. Gegerlah keadaan di situ. Pasukan yang masih setia kepada
Jenderal Kao atau kepada kerajaan tentu saja tidak sudi dikuasai pemberontak,
akan tetapi karena Jenderal Kao tidak ada dan para penglima dan perwira yang
masih setia telah dibunuh, yang masih hidup telah menakluk kepada pemberontak,
maka pasukan-pasukan itu kehilangan pegangan dan mereka lalu melarikan diri
keluar dari benteng, lari ke selatan! Mereka tidak mampu mengadakan perlawanan
tanpa ada yang memimpin mereka. Lebih dari tiga perempat jumlah pasukan yang
berada di benteng itu melarikan diri, tersebar tidak karuan di daerah selatan
dari benteng itu.
Berita ini tidak begitu diperhatikan oleh Kian
Lee dan Kian Bu, akan tetapi mereka terkejut sekali ketika mendapat keterangan
bahwa Puteri Syanti Dewi yang berada di benteng itu telah lenyap tanpa ada yang
tahu ke mana! Bahkan tidak ada yang tahu bahwa puteri itu adalah Syanti Dewi,
hanya kedua orang kakak beradik ini mendengar bahwa Jenderal Kao mempunyai
seorang anak angkat atau anak keponakan perempuan yang berada di benteng itu
dan yang ternyata lenyap tanpa ada yang tahu ketika terjadi kerlbutan di
benteng itu.
“Wah, celaka, kita harus mencarinya, Lee-ko!”
“Hemm, mencari ke mana? Kita tidak tahu dia
lari atau dilarikan ke mana.”
“Jangan-jangan dia terjatuh ke tangan
pemberontak! Bagaimana kalau kita menyerbu ke benteng dan mencarinya di sana?”
“Terlampau berbahaya, Bu-te. Penjagaan tentu
ketat sekali. Pula, mengingat akan cerita Jenderal Kao, andaikata Puteri Syanti
Dewi terjatuh ke tangan pemberotak sekalipun, agaknya dia tidak akan
diganggunya, bahkan mungkin diantarkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, calon
suaminya. Dan kita sudah menyelidiki cukup teliti, baik dari pihak yang pro pemberontak
maupun yang anti, mereka menceritakan berita yang sama bahwa puteri itu lenyap
di dalam keributan.”
“Habis, apa yang harus kita perbuat sekarang?”
“Tidak ada lain jalan, kita kembali ke kota
raja dan di sepanjang perjalanan kita harus memasang mata dan telinga,
mencari-cari barangkali puteri itu melarikan diri bersama para pengungsi.
Andaikata tidak berhasil, kita kembali dan melapor kepada Enci Milana dan
Jenderal Kao tentang keadaan di benteng ini.”
“Akan tetapi aku masih menduga bahwa agaknya
Sang Puteri ditawan oleh pemberontak. Menurut penuturan Enci Milana, Panglima
Kim yang memberontak itu kini bermarkas di kota Teng-bun, sebaiknya kalau kita
mengambil jalan melalui pusat pemberontak itu, sambil mencari-cari.”
“Baiklah, Bu-te.”
“Lee-ko, sudah jelas bahwa aku akan mencari
Puteri Syanti Dewi untuk memenuhi perintah Enci Milana, akan tetapi agaknya
yang kaucari adalah puteri lain lagi, bukan Syanti Dewi.”
“Hemmm, maksudmu....?”
“Engkau mencari adiknya, Candra Dewi atau Lu
Ceng!”
Wajah Suma Kian Lee menjadi merah. “Bu-te!
Sekarang bukan waktunya main-main!”
Melihat kakaknya marah, Kian Bu tidak berani
menggoda lebih lanjut lagi dan keduanya lalu keluar dari kota benteng itu
dengan aman karena mereka mencampurkan diri di antara rombongan para pengungsi.
Hanya mereka yang masuk kota itu yang digeledah oleh para penjaga pemberontak,
yang keluar dari situ hanya diawasi saja penuh perhatian.
Kota Teng-bun yang dimaksudkan sebagai pusat
atau markas besar para pemberontak itu terletak agak ke barat, merupakan kota
yang dikelilingi tembok benteng kokoh kuat dan terletak di lereng bukit,
dikelilingi perbukitan sehingga merupakan tempat yang sukar untuk diserbu dari
luar. Karena mereka ingin menyelidiki tempat ini kalau-kalau Syanti Dewi dibawa
oleh pemberontak ke tempat itu, kedua kakak beradik ini membelok ke barat.
Perjalanan menjadi sunyi karena arus pengungsi semua menuju terus ke selatan
atau ke utara dan timur, tidak ada yang ke barat karena semua orang menjauhi
Teng-bun yang sewaktu-waktu tentu akan menjadi medan perang.
Pada suatu hari mereka tiba di sebuah dusun
yang kelihatan aman dan tenteram, masih agak jauh dari Teng-bun. Di luar dusun
itu terdapat perkemahan tentara, yaitu pasukan yang masih setia kepada kerajaan,
dipimpin oleh seorang panglima bawahan Jernderal Kao yang mempertahankan atau
menjaga daerah itu sebagai daerah terdepan di sebelah barat, bahkan paling
depan atau paling dekat dengan Teng-bun, pusat pemberontak. Panglima Thio Luk
Cong itulah yang mengutus penyelidik Puteri Milana untuk cepat pergi ke kota
raja melapor kepada Puteri Milana tentang gerakan pemberontak yang menguasai
benteng dan yang kini berpusat di Teng-bun itu. Dia sendiri bersama pasukannya
lalu menetap di luar dusun Ang-kiok-teng itu untuk berjaga-jaga sambil menanti
bala bantuan yang pasti akan datang dari kota raja.
Ketika Kian Lee dan Kian Bu memasuki dusun
itu, penduduk dusun kelihatan tenang-tenang saja karena memang pasukan
Panglima Thio melakukan penjagaan yang ketat dan menjaga keamanan dengan baik.
Juga jumlah pasukan makin bertambah saja karena banyak pula di antara anggauta
pasukan dari benteng Jenderal Kao yang melarikan diri, tiba di tempat itu dan
segera menggabungkan diri dengan pasukan Panglima Thio Luk Cong.
“Aku lelah sekali, Lee-ko. Mari kita
beristirahat dulu di rumah penginapan.”
Kian Lee menyetujui permintaan adiknya.
Memang mereka telah melakukan perjalanan jauh yang tidak berhenti, dan tadipun
begitu memasuki dusun, Kian Lee sudah lantas melakukan kebiasaannya berputar
dusun untuk mencari.... Lu Ceng, karena benar seperti yang pernah dikatakan
Kian Bu, pemuda ini lebih mementingkan mencari Lu Ceng daripada mencari Syanti
Dewi!
Rumah penginapan di dusun itu kosong karena
memang tidak ada pengunjung datang di dusun itu. Dengan mudah mereka
memperoleh sebuah kamar. Kian Lee duduk di bangku dan Kian Bu segera merebahkan
diri di atas pembaringan sambil memijit-mijit pahanya yang terasa lelah sekali.
Pelayan penginapan itu masuk membawa teh panas
untuk tamu baru ini, membungkuk hormat sambil meletakkan poci dan cawan di atas
meja. Melihat Kian Bu rebah memijit-mijit pahanya, dengan ramah dia bertanya,
“Engkau lelah sekali, Kongcu?”
“Wah, kakiku lelah sekali....” Kian Bu
menjawab, tertarik oleh keramahan pelayan itu, tidak mempedulikan pandang mata
kakaknya yang penuh curiga.
“Kebetulan sekali, di dekat sini terdapat
seorang ahli pijat yang pandai, Kongcu. Dia seorang yang buta matanya, akan
tetapi setiap jari tangannya bermata dan dapat mencari semua kelelahan Kongcu
dan mengusirnya.”
Kian Bu tertawa. “Begitukah? Coba panggil dia
ke sini dan suruh dia mengusir kelelahan kakiku ini!”
“Baik, baik, Kongcu, kautunggu sebentar.”
Bergegas pelayan itu pergi dari kamar itu.
Setelah pelayan itu pergi, Kian Lee menegur
adiknya, “Bu-te, engkau ini ada-ada saja! Aku melihat sikap pelayan itu amat
mencurigakan seolah-olah dia terlalu memperhatikan kita.”
“Aihh, Lee-ko, aku memang lelah sekali, kalau
memang betul tukang pijat itu pandai, apa sih salahnya kalau dia menghilangkan
kelelahanku? Dan pelayan itu adalah seorang yang ramah, agaknya girang dia
karena akhirnya rumah penginapan yang sunyi dan kosong ini memperoleh tamu
juga.”
Tak lama kemudian pelayan itu sambil
tersenyum-senyum datang lagi memasuki kamar menuntun seorang kakek buta yang
usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. “Kongcu mana yangg merasa lelah
kakinya?” Kakek itu bertanya dengan suaranya yang lemah dan agak gemetar.
Pelayan itu menuntunnya mendekati pembaringan
Kian Bu. “Inilah Kongcu yang ingin kaupijat kakinya, Lo-sam!” kata Si Pelayan.
Kakek buta itu menjulurkan tangan meraba-raba.
Takut kalau kakek itu meraba yang bukan-bukan, Kian Bu lalu menangkap tangan
itu dan mendekatkannya ke arah kakinya sambil berkata, “Di sini kakiku, Lopek.”
Kakek itu meraba-raba kaki Kian Bu, melepaskan
tongkatnya ke atas lantai sambil berkata, “Hemm...., hemmm.... kasihan kedua
kakimu, Kongcu. Tentu sedikitnya telah lima hari dipergunakan untuk berjalan
kaki terus-menerus siang malam. Otot-ototnya sampai menegang dan keras begini.”
Mulailah dia memijit-mijit kaki Kian Bu dan
pemuda ini harus mengaku bahwa tukang pijit itu amat pandai memijit. Jari-jari
yang berkulit halus itu dengan lembutnya memijit-mijit dan meraba-raba tepat
pada otot-otot besar sehingga mengendurkan otot-otot yang tegang dan
melancarkan kembali jalan darah. Juga terasa enak menyenangkan. Tidak terlalu
dilebih-lebihkan ucapan pelayan tadi. Tukang pijat ini benar pandai, biarpun
matanya buta namun jari-jari tangannya seperti mempunyai mata yang dapat
mencari otot-otot kakinya.
“Lee-ko, sebaiknya engkau juga menyuruh dia
memijit kakimu. Enak dan dapat melenyapkan lelah,” Kian Bu berkata.
“Ah, aku tidak begitu lelah, Bu-te. Dipakai
beristirahat sebentar saja pun akan pulih,” jawab kakaknya.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk orang dan
ternyata Si Pelayan tadi yang masuk, diiringkan oleh seorang tentara
berpangkat perwira yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih, berkumis pendek
dan berwajah ramah.
“Maafkan kalau saya mengganggu, Ji-wi Kongcu.
Ciangkun ini datang diutus oleh panglima untuk memanggil tukang pijit!”
“Ah, bagaimana ini? Aku belum selesai
dipijit!” Suma Kian Bu berseru.
“Tidak mengapa, saya bisa menanti sebentar
sampai engkau selesai dipijit, orang muda. Komandan kami bukan seorang yang
keras, dan tentu beliau suka menunggu, apalagi karena sekarang beliau sedang
menjamu dua orang tamu yang agaknya merupakan tamu agung yang amat penting.”
Kian Lee menjadi tertarik. Dalam suasana
seperti sekarang ini, setiap peristiwa mengenai komandan pasukan yang menerima
tamu merupakan hal yang penting.
“Siapakah tamu-tamu agung, itu, Ciangkun?”
Perwira itu agaknya senang bercerita. Dia
duduk di atas bangku dan menerima suguhan teh panas dari pelayan, minum tehnya
lalu berkata, “Kami semua tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Yang
seorang laki-laki setengah tua, pakaiannya biasa saja seperti seorang petani
sederhana, akan tetapi orang ke dua adalah seorang gadis yang luar biasa
cantiknya. Biarpun pakaian gadis itu pun sederhana, akan tetapi kecantikannya
sungguh sukar dicari bandingannya....”
“Berapa kira-kira usia gadis itu dan bagaimana
perawakannya?” Tiba-tiba Kian Lee bertanya, otomatis dia tertarik sekali dan
membayangkan Ceng Ceng.
“Ah, tentu tidak akan lebih dari tujuh belas
tahun, akan tetapi sikap dan sinar matanya seperti seorang wanita yang sudah
matang dan dewasa, bentuk tubuhnya ramping, air mukanya angkuh dan agung,
pendiam....”
Jantung di dalam dada Kian Lee berdebar.
Tentu Lu Ceng gadis itu! Kian Bu juga menduga demikian dan diam-diam dia
melirik kepada kakaknya.
“Apakah komandanmu suka pijit, Ciangkun?”
tanya Kian Lee.
“Sebetulnya tidak, akan tetapi beliau
mendengar berita dari anak buah bahwa di dusun ini kedatangan seorang tukang
pijit yang pandai. Beliau tertarik dan menyuruh saya datang menjemputnya.”
Kian Bu sejak tadi diam saja, lalu berkata
kepada tukang pijit itu, “Sudah cukup, Lopek. Kau kuharap menanti di luar, aku
hendak bicara penting dengan Ciangkun ini.”
Kian Bu berteriak memanggil pelayan tanpa
memberi kesempatan kepada Kian Lee yang memandangnya dengan heran itu untuk
mengeluarkan suara, kemudian minta kepada pelayan untuk mengantar tukang pijit
itu keluar dan menanti mereka di sana. Setelah pelayan dan tukang pijit itu
keluar, baru dia berkata kepada perwira itu, “Ciangkun, terpaksa aku
menyuruhnya keluar karena apa yang akan kukatakan ini tidak enak untuk dia.
Berita bahwa dia pandai memijat itu bohong sama sekali. Pijitannya tidak enak,
dia tidak tahu tentang otot-otot dan orang yang kelelahan kalau dipijit olehnya
akan menjadi makin lelah. Komandanmu akan marah kalau dipijat oleh dia.”
“Kalau begitu, kenapa engkau membiarkan
dirimu dipijit olehnya, orang muda?”
Kian Bu tertawa. “Engkau tidak mengerti,
Ciangkun. Ketahuilah bahwa kami berdua kakak dan adik adalah keturunan tukang
pijit yang amat pandai, bahkan kakek kami dahulu biasa memijiti Kaisar dan
keluarganya! Sebagai ahli-ahli pijat, ketika kami tadi mendengar bahwa di sini
terdapat seorang tukang pijat pandai, tentu saja kami tertarik dan ingin
mengujinya. Kiranya dia hanya tukang pijit yang ngawur saja. Orang seperti itu
hendak kausuruh memijati komandanmu? Ah, engkau akan mendapat marah,
Ciangkun.”
Perwira itu memandang dengan curiga dan tidak
percaya. “Dia sudah tua, dan lagi buta, sudah pantas kalau menjadi tukang pijat
yang pandai. Akan tetapi kalian? Orang-orang muda begini.... mana bisa
memijat....?”
“Ha-ha, ucapan seperti itu, keheranan
itu sudah sering sekali kami dengar, dan orang tidak akan percaya sebelum
membuktikannya sendiri. Nah, sebaiknya kaucoba sendiri, Ciangkun. Kami tidak
membohongimu, ke sinilah, biar kaurasakan pijatan ajaib dari tanganku.”
Dengan pandang mata masih tidak percaya
perwira itu tersenyum menghampiri lalu duduk di atas pembaringan Kian Bu.
Pemuda itu lalu mulai memijati kedua pundak dan tengkuknya. Tentu saja
diam-diam dia mengerahkan sedikit tenaga Hwi-yang Sin-kang sehingga perwira
itu merasa betapa hawa yang hangat mendatangkan nikmat menyelusuri tubuhnya,
dan betapa jari-jari tangan pemuda itu dengan amat tepat menyentuh otot-ototnya
sehingga sebentar saja dia terasa keenakan, tubuhnya terasa nyaman dan kantuk
mulai menyerangnya, membuat matanya meram melek!
“Nah, bagaimana rasanya, Ciangkun?” Kian Bu
bertanya dan menghentikan pijatannya.
Perwira itu terbangun dari keadaan setengah
pulas dan terkejut. “Aih, benar hebat sekali engkau, orang muda. Pijatanmu
amat hebat dan luar biasa sekali, terasa oleh seluruh tubuh, menghilangkan
capai dan membuat aku mengantuk. Dan saudaramu ini pun mahir?”
“Kakakku ini malah lebih pandai daripada aku,
Ciangkun. Kalau engkau suka mengajak kami berdua ke sana, tentu komandanmu akan
puas sekali dan memujimu.”
Tiba-tiba sikap perwira itu berubah. Pandang
matanya tajam menyelidik ketika dia bertanya, “Orang muda, kenapa engkau ingin
sekali ikut dengan aku ke perkemahan kami?”
Sebetulnya, kalau mereka berdua memperlihatkan
surat kuasa dari Jenderal Kao dan Puteri Milana, tentu perwira itu segera akan
tunduk dan taat. Akan tetapi mereka tidak ingin sembarang orang mengenal bahwa
mereka adalah orang-orang kepercayaan Jenderal Kao atau Puteri Milana, dan
kalau tidak perlu sekali, mereka tidak akan sembarangan memperkenalkan diri.
“Ciangkun, harap kau tidak mencurigai kami
kakak dan adik,” tiba-tiba Kian Lee yang mengerti akan maksud adiknya agar
mereka dapat dibawa ke perkemahan untuk melihat apakah dara yang diceritakan
tadi benar-benar Ceng Ceng atau bukan, segera berkata meyakinkan, “Sesungguhnya
biarpun kami adalah ahli-ahli pijat, kami tidak mempergunakan kepandaian kami
untuk mencari uang. Akan tetapi.... terus terang saja, kami telah kehabisan.
Kami meninggalkan kota benteng Khi-ciang yang geger, pergi dengan tergesa-gesa
meninggalkan semua milik kami, hanya membekal uang dan pakaian seadanya. Akan
tetapi di tengah jalan, kami kehabisan uang. Tadi mendengar bahwa komandan
Ciangkun suka dipijit, adikku menawarkan diri karena tentu komandanmu suka
membayar mahal, dan belum para perwira yang membiarkan kami memijatnya, tentu
akan dapat kami mengumpulkan sedikit uang untuk bekal perjalanan.”
Perwira itu mengangguk-angguk. “Baiklah,
memang sudah kubuktikan sendiri kemampuanmu memijat. Akan tetapi, tukang pijit
buta itu pun harus kubawa agar jangan aku mendapat marah dari komandan.”
Maka berangkatiah perwira itu bersama Kian
Lee, Kian Bu, tukang pijit buta yang digandeng oleh pelayan. Karena rumah
penginapan itu sepi, Si Pelayan boleh mengantarkan si tukang pijat buta untuk
nanti sekedar mendapat persen, karena memang Si Buta itu harus ada
pengantarnya.
Demikianlah, dengan amat mudahnya mereka
memasuki benteng perkemahan pasukan yang dipimpin oleh komandan Panglima Thio
Luk Cong itu. Akan tetapi ternyata penjagaan dilakukan amat ketat dan tidak mudahlah
bagi kedua orang kakak beradik itu dapat bertemu dengan dara yang diceritakan
tadi. Bahkan tidak mudah pula bagi mereka untuk dapat bertemu dan memijat
panglima yang masih bercakap-cakap di kamar tamu dengan dua orang tamu
agungnya. Sambil menanti keluarnya Sang Panglima, mereka itu diuji dulu oleh
para perwira tinggi yang menaruh curiga.
Diam-diam Kian Bu merasa mendongkol. Dia
ingin agar mereka segera dapat bertemu dengan komandan dan terutama sekali
dengan dua orang tamu, orang setengah tua dan dara yang diceritakan tadi. Dia
tahu bahwa betapa kakaknya sudah panas dingin membayangkan bahwa gadis itu
tentulah gadis yang dicarinya, karena selain Lu Ceng siapa yang memiliki
kecantikan demikian hebat dan diterima sebagai tamu agung oleh seorang panglima?
Akan tetapi para perwira tinggi yang menyambut mereka demikian bercuriga, maka
dia lalu mendemonstrasikan kepandaiannya memijit! Seorang perwira dipijitnya,
dan tiga kali raba saja dia telah memijit dengan tepat dan perwira itu pun
tidur pulas!
Hal ini mengherankan banyak perwira. Beberapa
orang maju lagi dan kini Kian Lee terpaksa mengikuti jejak adiknya. Beberapa
kali dua orang kakak beradik ini memijit para perwira dan sebentar saja mereka
sudah tidur nyenyak di atas kursi!
Seorang perwira tinggi bertubuh kurus memasuki
ruangan yang ramai oleh gelak tawa para perwira ini. Dia adalah wakil panglima,
bernama Louw Kit Siang, seorang ahli lwee-keh yang tentu saja menjadi curiga
menyaksikan sepak-terjang dua orang “tukang pijat” muda itu. Cepat dia
melangkah maju dan berkata kepada Kian Bu, “Hemm, semuda ini sudah memiliki
kepandaian memijat yang luar biasa! Coba engkau memijati tubuhku yang
capai-capai!”
Melihat wakil panglima sendiri maju, semua
perwira menjadi gembira dan ingin menyakaikan wakil panglima itu pun kepulasan
di kursi. Louw Kit Siang duduk di atas kursi itu dan mengulurkan lengan
kanannya. “Nah, kaupijitlah lengan kananku ini.”
Lengan itu kurus tinggal tulang dan kulitnya
saja. Kian Bu cepat duduk berhadapan dengan wakil panglima itu dan memegang
lengannya. Dia makin mendongkol. Mengapa Sang Panglima dan dua orang tamunya
belum juga muncul? Melihat Si Kurus yang menantang ini, tahulah dia bahwa Si
Kurus ini memiliki sedikit kepandaian maka dia cepat mengerahkan tenaganya.
Tepat seperti diduganya, dari dengan wakil panglima itu keluar getaran tenaga
lwee-kang yang cukup kuat, yang seolah-olah hendak melawan dan menahan saluran
Hwi-yang Sin-kang yang hangat dari telapak tangannya. Louw Kit Siang terkejut
bukan main ketika dia merasa betapa dari jari tangan pemuda itu keluar hawa
yang amat hangat dan kuat, yang menerobos memasuki tubuhnya melalui lengannya.
Dia mengerahkan tenaganya menangkis dan melawan, namun sukar untuk membendung
tenaga yang hangat itu.
Mereka bersitegang dan berkutetan tanpa
diketahui orang lain kecuali Kian Lee yang memandang penuh perhatian. Akan
tetapi, akhirnya Louw Kit Siang kalah juga. Biarpun memakan waktu tiga empat
kali lebihlama daripada para perwira yang telah tertidur, akhirnya dia menguap
dan tertidur pulas di atas kursinya, diiringi suara ketawa para bawahannya!
Akan tetapi, hanya sebentar saja wakil
panglima itu tertidur. Tiba-tiba dia sudah terbangun lagi dan cepat dia
meloncat sambil mencabut pedangnya dan berteriak, “Tangkap mereka! Dua orang
ini mencurigakan, siapa tahu mereka adalah mata-mata musuh!”
Semua perwira cepat mencabut senjata dan
mengurung, sambil membangunkan mereka yang tadi tertidur pulas sehingga merasa
gelagapan dan panik, akan tetapi cepat mereka itu mencabut senjata pula dan
ikut mengepung. Kian Lee dan Kian Bu tenang-tenang saja, karena memang inilah
yang dikehendaki Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi, menimbulkan kegemparan
untuk memancing keluarnya Sang Panglima dan terutama dara itu!
“Menyerahlah kalian untuk kami tangkap!”
Panglima Louw Kit Siang membentak.
“Kami hanya mau menyerah kepada Panglima
sendiri!” Kian Bu menjawab.
“Aku sudah berada di sini!” Tiba-tiba
terdengar suara dan muncullah seorang panglima bertubuh kurus tinggi dan
berjenggot pendek, wajahnya gagah dan keras, diikuti oleh seorang laki-laki
setengah tua dan seorang dara yang cantik jelita.
Semua perwira segera mundur ketika melihat
komandan mereka keluar. Tentu saja di depan komandan mereka, para perwira ini
tidak berani berbuat sembrono dan hanya menanti perintah.
“Orang muda, siapakah kalian? Dan perlu apa
kalian hendak bertemu dengan aku?” Panglima Thio Luk Cong bertanya dan suaranya
menggeledek penuh wibawa.
Akan tetapi Kian Lee dan Kian Bu tidak
menjawab, hanya memandang kepada dara itu dengan mata terbelalak, terpesona.
Kian Lee memandang dengan penuh kekecewaan karena biarpun ada persamaan antara
dara ini dengan Ceng Ceng, namun wajahnya berbeda sekali. Jelas bahwa dara itu
bukanlah Ceng Ceng yang dicari dan diharapkannya akan dapat dia jumpai di dalam
benteng perkemahan ini. Sedangkan Kian Bu juga memandang dengan terbelalak
karena pemuda ini benar-benar terpesona oleh kecantikan dara itu. Pandang
matanya seperti melekat pada wajah itu, sukar untuk dialihkan dan jantungnya
berdebar keras, hatinya jungkir balik karena selama hidupnya di antara sekian
banyaknya dara cantik jelita yang dijumpainya, belum pernah dia melihat
seorang dara secantik ini! Seperti bidadari dari kahyangan yang baru saja
turun dari langit! Biarpun berbeda dasarnya, namun kakak beradik ini tidak
mendengar pertanyaan menggeledek dari panglima itu dan tanpa menoleh mereka
terus memandang dara itu yang agaknya merasa betapa dua orang pemuda tampan itu
memandang kepadanya maka dia lalu menundukkan mukanya dengan alis berkerut dan
kedua pipi kemerahan.
“Hei, Thio-ciangkun telah bertanya kepada
kalian!” Louw Kit Siang membentak marah.
“Oh, maaf....” Kian Lee berkata sambil
menyentuh lengan adiknya yang masih terlongong memandang dara itu. “Maaf,
Tai-ciangkun. Kami berdua kakak beradik adalah tukang-tukang pijit yang
diundang ke sini, akan tetapi entah mengapa, setelah memijiti banyak perwira,
kami hendak ditangkap.”
“Tai-ciangkun, mereka bukan tukang-tukang
pijit sembarangan. Mereka memiliki kepandaian tinggi dan tentu mereka adalah
mata-mata!”
“Ihh, orang yang ketakutan selalu mencurigai
siapa saja!” Kian Bu berkata sambil melirak-lirik ke arah dara yang masih
menundukkan mukanya itu.
“Begitukah?” Panglima Thio membentak. “Hemm,
hendak kucoba sendiri. Orang muda, cobalah engkau memijiti lenganku!”
“Boleh kalau Tai-ciangkun menghendakinya,”
Kian Bu berkata tenang. “Silakan duduk di sini.” Dia menunjuk ke arah bangku
di dekat meja dan sengaja dia duduk menghadapi ke arah dara itu agar selalu
dapat memandangnya!
Akan tetapi sebelum panglima itu melangkah
maju, orang setengah tua yang menjadi tamunya dan yang tadi berdiri dengan
tenang di belakang dara jelita itu, melangkah maju dan berkata halus,
“Biarkanlah saya yang dipijitnya, Ciangkun, karena saya pun merasa agak lelah.”
Dia lalu duduk di atas bangku dekat meja, menyingsingkan lengan bajunya,
menaruh tangan kiri di atas meja dan mengulurkan lengan kanannya kepada Kian Bu
sambil berkata, “Nah, kaupijitlah lenganku, orang muda yang baik.”
Melihat sikap orang setengah tua ini,
diam-diam Kian Bu tidak berani berbuat sembarangan. Orang tua ini biarpun
kelihatan amat sederhana dalam pakaian, sikap dan kata-katanya yang halus,
namun ada sesuatu yang mengejutkan hatinya terpancar dari sinar matanya. Dan
dia pun sudah dapat menduga bahwa seorang yang diterima sebagai seorang tamu
agung oleh komandan itu, tentulah bukan orang sembarangan pula. Maka dia tidak
berani main-main dan ingin memijit biasa saja, memijati otot-otot lengan itu
agar orang ini merasa nyaman dan hilang kelelahannya.
Akan tetapi betapa kaget hati Kian Bu ketika
dia mulai meraba dan mengerahkan tenaga memijat lengan itu, tiba-tiba ada
getaran keluar dari lengan itu, getaran yang disertai hawa sin-kang yang amat
kuat! Panaslah hati Kian Bu. Hemm, kiranya orang ini memiliki juga kepandaian.
Baiklah, kalau orang ini ingin mengadu sin-kang, dia tidak akan mundur!
Apalagi, agaknya orang ini mengawal dara itu, dan dia harus dapat memamerkan
kepandaiannya agar mendatangkan kesan kepada orang ini dan terutama bagi dara
itu yang berdiri dengan muka agak khawatir menonton adu tenaga yang tidak
nampak oleh orang iain itu.
Akan tetapi begitu Kian Bu mengerahkan tenaga
sin-kangnya yang melalui jari-jari tangannya menekan lengan orang itu, pada
saat yang sama orang itu pun mengerahkan sin-kang dan bertemulah dua tenaga
dahsyat yang tidak tampak oleh mata. Dua tenaga panas dari Hwi-yang Sin-kang,
yaitu tenaga inti api yang amat panas. Tenaga yang sama kuatnya dan sama pula
panasnya! Kian Bu terkejut dan orang itu pun kaget sekali!
Akan tetapi dasar Kian Bu seorang pemuda yang
tidak mau kalah oleh orang lain, dia lupa bahwa dia berhadapan dengan seorang
yang amat pandai, maka dia yang ingin mendemonstrasikan kepandaiannya, biarpun
tidak langsung dan melalui orang ini, kepada dara cantik jelita itu, cepat
mengerahkan seluruh sin-kangnya dan merubah hawa sin-kangnya. Kini dia
mengeluarkan ilmu sin-kang yang khas dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sin-kang
(Tenaga Inti Salju)!
Kian Lee terkejut sekali. Melihat muka dan
sikap adiknya, dia sudah dapat mengerti bahwa adiknya itu mengeluarkan ilmu
simpanan mereka ini, maka dia makin terheran dan memandang orang laki-laki
setengah tua yang nampaknya juga terkejut ketika merasakan perubahan pada
jari-jari tangan pemuda yang memijiti lengannya. Hawa sin-kang yang amat dingin
menggetar dengan dahsyatnya melalui jari-jari tangan itu.
“Uhhh....!” Terdengar suara ini dari laki-laki
setengah tua itu dan tiba-tiba wajah Kian Bu berubah saking kagetnya. Kiranya
lawannya itu kini juga mengerahkan tenaga yang sama dinginnya! Tenaga mujijat
dan dahsyat yang mampu menandingi Swat-im Sin-kang! Dan kedua tenaga itu kini
saling dorong dan saling menindih, dan perlahan-lahan Kian Bu terdesak, mukanya
makin pucat dan matanya mulai mengantuk!
“Bu-te, agaknya Locianpwe ini terlalu kuat
untukmu. Biar aku membantumu memijatnya!” Kian Lee yang mengikuti
“pertandingan” itu, dapat melihat keadaan adiknya, maka timbul kekhawatirannya
dan dia sudah mengulurkan tangannya untuk membantu.
“Cukuplah!” Laki-laki setengah tua itu
mengerahkan tenaganya dan.... kedua tangan Kian Bu seperti ditolakkan oleh
tenaga mujijat dan terlepas dari lengan orang itu yang segera bangkit
berdiri, berpaling kepada Panglima Thio Luk Cong sambil berkata, “Ciangkun,
mari kita kembali ke kamar bersama kedua orang muda ini. Saya ingin bicara
dengan mereka.”
Thio Luk Cong sendiri adalah seorang yang
memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak tahu jelas apa yang telah terjadi,
hanya menduga-duganya saja bahwa tamunya itu tentu telah menguji kepandaian
pemuda itu dan mendapatkan sesuatu yang amat penting. Maka dia mengangguk dan
berkata kepada Kian Lee dan Kian Bu, “Orang-orang muda, silakan ikut bersama
kami.”
Kian Lee dan Kian Bu mengangguk dan kini Kian
Bu yang merasa girang sekali, sungguhpun dia juga ikut merasa kecewa demi
kakaknya yang melihat bahwa dara itu bukanlah gadis yang dicari-carinya.
Mereka berlima, Panglima Thio, laki-laki setengah tua, dara cantik jelita itu,
Kian Lee dan Kian Bu, semua memasuki ruangan, diikuti pandang mata para perwira
yang terheran-heran melihat sikap panglima komandan mereka.
Setelah mereka memasuki ruangan dan pintunya
ditutup, laki-laki setengah tua itu langsung menghadapi Kian Lee dan Kian Bu
sambil bertanya, suaranya sungguh-sungguh dan pandang matanya tajam penuh
selidik, “Nah, orang-orang muda yang baik, sekarang katakan saja terus terang,
siapakah kalian sesungguhnya?”
Kian Lee sudah dibisiki oleh adiknya ketika
mereka berjalan masuk tadi betapa orang setengah tua itu mampu menghadapi
Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, maka dia menjura sambil berkata penuh
hormat, “Kami kakak beradik adalah utusan-utusan dari Jenderal Kao dan Puteri
Milana.”
“Aihhh....!” Laki-laki itu dan juga Panglima
Thio berseru kaget.
“Ah, mengapa Ji-wi tidak berterus terang saja
sehingga kami dapat menyambutnya dengan baik? Silakan duduk.... dan mari kita
bercakap-cakap dengan baik.” Panglima itu cepat berkata. Mereka lalu duduk
mengelilingi meja, dan betapa girangnya hati Kian Bu ketika melihat bahwa
duduknya tepat berhadapan dengan dara itu sehingga kini dia dapat melihat
dengan jelas betapa cantik jelitanya dara itu. Bukan main! Dia sampai menelan
ludahnya sendiri dan sukarlah baginya untuk memindahkan pandang matanya dari
mata itu, hidung dan bibir itu. Demikian luar biasa kecantikan gadis ini!
Kian Bu lalu bangkit berdiri dan menjura
kepada orang laki-laki setengah tua tadi sambil berkata, “Harap Locianpwe
maafkan saya yang lancang.”
Orang itu tersenyum dan tampaklah ketampanan
wajahnya yang tersembunyi di balik kesederhanaan dan awan kedukaan yang
menyelimuti wajahnya. “Tidak perlu bersikap sungkan, kalau tidak mengadu ilmu
tidak saling mengenal kata orang. Dan sekali mengadu ilmu, agaknya aku dapat
menduga siapa sebenarnya kalian. Kalau ada orang-orang muda yang memiliki
sin-kang seperti apa yang saya rasakan tadi, di dunia ini tentu hanya dimiliki
oleh orang-orang muda yang mempunyai nama keturunan (she) Suma. Benarkah dugaanku
ini?”
Suma Kian Bu memandang dengan mata terbelalak
heran, akan tetapi Kian Lee segera bangkit dan menjura kepada laki-laki itu.
“Dan kami berdua telah bersikap kurang hormat kepada Gak-suheng!”
Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng.
Mendengar ini, dia tertawa, bangkit berdiri dan merangkul dua orang muda itu.
“Kau anak nakal, siapa namamu, Sute?” tanyanya sambil memeluk pundak Kian Bu.
“Aih, kiranya Gak-suheng!” Kian Bu juga
berseru girang bukan main. Tentu saja sudah lama dia mendengar nama ini
disebut-sebut ayah bunda mereka, dan biarpun orang ini bukan langsung murid
ayah mereka, namun karena pernah menerima ilmu dari ayah mereka, mereka
menyebutnya suheng. “Namaku adalah Suma Kian Bu, Puteri Milana adalah kakak
kandungku, dan ini adalah kakak Suma Kian Lee, putera dari ibu Lulu.”
“Ahh....!” Panglima Thio berseru kaget sekali
mendengar Suma Kian Bu memperkenalkan diri sebagai adik kandung Puteri Milana.
“Gak-taihiap.... apakah benar bahwa kedua orang muda ini adalah.... adalah....
dari Pulau Es....?”
Gak Bun Beng mengangguk.
“Maaf.... maaf.... betapa bahagia hatiku,
dalam beberapa hari dikunjungi oleh orang-orang seperti Gak-taihiap dan Ji-wi
Siauw-taihiap dari Pulau Es! Aih, kalau Pulau Es ikut turun tangan, aku yakin
dalam waktu singkat saja semua pemberontak dapat dibasmi habis!”
Semua orang tersenyum mendengar ini, kecuali
dara cantik jelita itu.
“Ji-wi Sute, tugas apakah yang kalian
laksanakan sekarang ini sehingga kalian tiba di sini?”
“Kami ditugaskan untuk pergi ke kota benteng
Khi-ciang, selain untuk melihat keadaan karena kabarnya kota itu dirampas oleh
pemberontak, juga untuk melindungi dan menyelamatkan seorang puteri yang
bernama Syanti Dewi dan berada di benteng itu. Akan tetapi setelah kami tiba
di sana, Sang Puteri lenyap tanpa ada yang tahu ke mana. Maka kami mencari-cari
sampai ke sini, dengan maksud untuk mengunjungi Teng-bun mencari puteri
itu....”
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Tanpa
diperintah lagi, kedua orang kakak beradik itu melesat dengan cepat bersama Gak
Bun Beng. Ternyata tukang pijit buta dan pelayan rumah penginapan tadi, di
waktu keadaan ribut-ribut ketika kedua orang kakak beradik itu hendak
dikeroyok, telah menyelinap dan memasuki kamar kerja panglima! Ketika
ketahuan, mereka mengamuk, membunuh empat orang perwira dan berhasil kabur
sambil membawa catatan-catatan tentang keadaan di perkemahan itu, kekuatan
pasukan dan rencana penjagaan!
Gak Bun Beng dan dua orang sutenya cepat
melakukan pengejaran, namun dua orang mata-mata pemberontak itu telah lenyap
tanpa meninggalkan bekas. Panglima Thio cepat memerintahkan anak buahnya
untuk menggeledah rumah penginapan, akan tetapi pemilik rumah penginapan itu
hanya menyatakan bahwa pelayan itu baru bekerja di situ selama satu bulan, dan
pemijit buta itu pun baru beberapa hari berada di dusun itu sehingga tidak ada
yang mengenalnya betul. Jelas bahwa kedua orang itu adalah mata-mata
pemberontak!
Ketika memeriksa kamar kerjanya dan
mendapatkan bahwa yang dicuri adalah catatan rahasia tentang kekuatan pasukan
dan rencana penjagaan, Panglima Thio menjadi pucat wajahnya. “Jelas, ini tentu
perbuatan mata-mata pemberontak yang berilmu tinggi. Keadaan kami di sini
merupakan benteng pertama, kalau mereka tahu akan keadaan kami tentu mereka
dapat mengetahui kelemahan-kelemahan kami dan akan menghancurkan kami dengan
mudah.”
“Mereka berdua tentu lari ke Teng-bun yang
menjadi pusat pemberontak. Jangan khawatir, Ciangkun, biarlah kami pergi
menyelundup ke Teng-bun. Kami akan menyelidiki apa yang akan terjadi setelah
mereka mencuri barang-barang rahasia itu.”
Wajah panglima itu berseri. “Kalau Sam-wi
Taihiap sudi membantu, kami atas nama seluruh pasukan dan pemerintah
menghaturkan terima kasih.”
“Ji-wi Sute, sekarang juga kita menyusul
mereka, pergi menyelundup ke Teng-bun,” kata Gak Bun Beng kepada dua orang
kakak beradik itu.
“Akan tetapi, Suheng. Kami harus mencari
Puteri Syanti Dewi....” Kian Lee membantah.
“Tak perlu dicari lagi. Inilah dia!”
Dua orang kakak beradik itu terkejut bukan
main. Dara cantik jelita itu, yang bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi,
menjura sambil berkata manis. “Terima kasih atas bantuan kalian.”
Kian Bu termenung dan menatap wajah itu
dengan bengong. Setelah kakaknya menyentuh lengannya, barulah dia sadar,
menarik napas panjang meniru perbuatan kakaknya menjura dengan hormat kepada
puteri itu, lalu berkata, “Tak kusangka.... kiranya.... kiranya.... Sang
Puteri.... ah, sukurlah bahwa Anda selamat!”
Syanti Dewi membalas pandang mata pemuda yang
dianggapnya nakal dan lucu itu sambil tersenyum dan berkata singkat dengan
sikap manis, “Terima kasih.”
Hadirnya Syanti Dewi bersama Gak Bun Beng di
tempat itu bukanlah hal yang aneh. Sungguhpun Gak Bun Beng telah meninggalkan
kota Khi-ciang, yaitu kota perbentengan yang dikuasai oleh Jenderal Kao, namun
hati pendekar sakti ini tidak rela secara menyeluruh meninggalkan puteri itu
begitu saja. Dia percaya penuh alkan perlindungan Jenderal Kao kepada Syanti
Dewi, akan tetapi betapapun juga, jenderal itu adalah seorang militer yang
penuh dengan tugas-tugas berat, padahal keadaan sekarang amat berbahaya dengan
adanya pemberontakan-pemberontakan itu. Dia ingin pergi menyelidiki tentang Si
Jari Maut yang telah menodakan namanya, akan tetapi hatinya tidak tega
meninggalkan Syanti Dewi sehingga perginya tidaklah terlalu jauh dari
Khi-ciang. Setiap malam, apabila dia tidak dapat tidur pulas dan gelisah
memikirkan keadaannya, berulang kali dia menghela napas panjang. Mengapa dia
tidak dapat melupakan Puteri Bhutan itu sejenak pun? Mengapa wajah yang jelita
itu terbayang terus di depan matanya dan mengapa pula dia selalu mendengar
suara tangis dara itu, mendengar pula suara gadis itu yang mengatakan cinta
kepadanya? Mengapa setiap kali teringat akan ini, hatinya menjadi seperti
ditusuk oleh keharuan yang membuat dia ingin sekali terbang ke tempat gadis itu
untuk sekedar memandang wajahnya dan mendengar suaranya? Mengapa?
Cintakah ini? Dia tidak dapat menyangkalnya,
karena perasaan ini dahulu hanya pernah dirasakan terhadap Milana, bahkan
perasaan itu sampai sekarang masih berakar di hatinya. Belum pernah dia
merasakan sesuatu seperti ini terhadap Milana dan kedua kalinya terhadap
Puteri Bhutan itulah. Akan tetapi perasaan ini hendak selalu dibuangnya jauh-jauh,
ditolak dan disangkalnya sendiri. Tidak boleh dia begitu lemah, membiarkan
hatinya jatuh cinta kepada Syanti Dewi sungguhpun dia yakin bahwa gadis itu
patut menjadi anaknya! Usianya sudah hampir empat puluh tahun dan Syanti Dewi
belum ada dua puluh tahun! Mana mungkin?
Betapapun juga, dia harus melihat puteri itu
berada di tempat aman. Berada di kota raja atau sebaiknya berada di Bhutan, di
istana ayahnya sendiri. Kalau Syanti Dewi masih berada di benteng Khi-ciang,
berarti sewaktu-waktu puteri itu akan terancam bahaya. Karena inilah maka
ketika Panglima Kim Bouw Sin yang telah menjadi tawanan itu dibebaskan kaki
tangannya dan benteng diambil alih oleh panglima pembecontak ini dan kaki
tangannya, Gak Bun Beng yang tidak berada di tempat terlalu jauh itu segera
mendengarnya dan cepat dia menyelinap masuk ke dalam kota benteng Khi-ciang
dan kedatangannya tepat sekali karena Puteri Syanti Dewi yang ikut pula
melarikan diri belum diketahui oleh pihak musuh!
Pertemuan mengharukan terjadi ketika puteri
yang ikut berlari bersama sebagian penduduk Khi-ciang itu tiba-tiba berhadapan
dengan Gak Bun Beng.
“Paman....!” Dia menjerit dan di lain saat dia
telah menangis di dalam pelukan Bun Beng.
“Tenanglah, mari kita cepat pergi dari tempat
ini.” Bun Beng berbisik lalu mengajak puteri itu untuk cepat melarikan diri
keluar dari kota benteng itu dan lari mengungsi ke selatan sampai akhirnya
mereka tiba di dusun Ang-khok-teng, dan ketika Bun Beng mendengar bahwa
Panglima Thio, komandan dari perkemahan di luar dusun itu adalah bawahan
Jenderal Kao, dia langsung mengajak Syanti Dewi menemuinya. Panglima Thio sudah
mendengar mereka dari Jenderal Kao, maka dia menyambut Gak Bun Beng sebagai
tamu agung.
Demikianlah mengapa Gak Bun Beng dan Syanti
Dewi tahu-tahu berada di situ dan tanpa disangka-sangkanya di tempat itu dia
bertemu dengan dua orang sutenya, putera-putera dari Suma Han, Pendekar Super
Sakti penghuni Pulau Es!
“Sebaiknya kita berangkat sekarang juga. Ini
adalah tugas kalian sebagai utusan dari kota raja, akan tetapi aku akan
membantu kalian sampai berhasil. Pertama, kita mencoba untuk mencari Si Buta
itu, dan kedua kita melakukan penyelidikan tentang keadaan pemberontak di sana
agar dapat kalian bawa sebagai laporan ke kota raja.”
“Baik, Suheng, kami siap berangkat,” jawab
Kian Lee.
“Dewi, engkau tinggal di sini dulu, menanti
sampai aku kembali....”
“Tidak.... tidak, harap jangan tinggalkan aku
sendirian lagi...., biarlah aku ikut ke Teng-bun,” puteri itu menjawab sambil
memandang Bun Beng dengan sinar mata penuh permohonan. Pertemuannya dengan Bun
Beng kembali seolah-olah mendatangkan sinar kebahagiaan di hatinya. Biarpun
dia tahu bahwa pendekar sakti yang dikagumi dan dicintanya itu tidak berani
membalas cintanya karena Puteri Milana, dan biarpun selama pertemuan mereka
sampai tiba di dusun Ang-kiok-teng dia tidak pernah menyinggung soal cintanya,
namun dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya ditinggalkan atau
terpisah dari pendekar yang amat dikaguminya, dipercaya, dipuja dan dicintanya
itu.
Pandang mata yang demikian penuh permohonan,
demikian penuh arti seolah-olah pandang mata itu merupakan tanda penyerahan
jiwa raga dan segala-galanya, membuat Bun Beng menunduk dan tidak mampu
menjawab sampai lama.
“Kalau Sang Puteri ikut, kami akan.... ikut
melindunginya, Suheng,” tiba-tiba Kian Bu berkata penuh semangat. Mendengar
suara sutenya ini, tiba-tiba timbul suatu harapan di dalam hati Bun Beng.
Mengapa tidak? Dua orang sutenya ini adalah dua orang pemuda yang hebat!
Lihat, mana mungkin mencari dua orang muda
sedemikian tampan dan gagahnya? Putera-putera Pendekar Super Sakti pula, selain
tampan juga memiliki kepandaian yang amat hebat, bahkan dia sendiri tadi sudah
mengukur betapa hebatnya kepandaian Kian Bu. Sepatutnyalah kalau Syanti Dewi
berjodoh dengan seorang, diantara mereka ini, bukan dengan dia! Dan Kian Bu,
sutenya ini agaknya begitu bersemangat ingin melindungi Syanti Dewi. Siapa
tahu! Kian Bu adalah adik Milana, Kian Bu adalah cucu Kaisar, putera dari Puteri
Nirahai!
“Baik!” Tiba-tiba dia berkata sehingga Syanti
Dewi menjadi berseri-seri wajahnya dan menangkap tangan Gak Bun Beng dengan
girang, kemudian menoleh kepada Kian Bu dengan senyum lebar sambil berkata,
“Terima kasih!”
“Akan tetapi, engkau harus menyamar sebagai
pria!” kata Gak Bun Beng.
“Saya kira tidak perlu demikian, Gak-taihiap.”
tiba-tiba Panglima Thio berkata. “Menurut penyelidikan, biarpun Teng-bun telah
direbut pemberontak, namun kota itu masih terbuka bagi umum dengan adanya para
pengungsi yang keluar masuk, tentu saja rakyat juga terpecah, ada yang pro dan
ada yang kontra pemberontak. Hanya penjagaan di sana amat ketat sehingga
sukarlah bagi penyelidik kami untuk memasukinya. Semua orang laki-laki
digeledah dengan teliti, hanya wanita yang tidak mengalami penggeledahan
hebat. Kalau Sang Puteri menyamar sebagai pria, dia tentu malah akan
digeledah.”
“Wah, kalau begitu bagaimana baiknya,
Thio-ciangkun?” Bun Beng bertanya kepada panglima yang tentu lebih paham akan
bagaimana baiknya untuk memasuki tempat yang telah dikuasai oleh pemberontak.
“Hanya ada dua cara,” panglima itu menjawab.
“Pertama tentu saja menggunakan kepandaian Cu-wi yang begitu tinggi untuk
menyelundup masuk secara sembunyi di waktu malam. Ke dua, jalan yang lebih
aman lagi mengingat bahwa Sang Puteri ikut bersama Sam-wi (Anda Bertiga), masuk
secara terang-terangan di waktu siang bersama dengan para pengungsi yang lain.
Akan tetapi Sam-wi akan mengalami penggeledahan yang amat teliti, maka kalau
mengambil cara ini, surat-surat kuasa yang dibawa oleh Ji-wi Suma-taihiap
sebaiknya dititipkan dulu kepada saya. Dan diantara dua cara itu baru dapat
ditentukan oleh Sam-wi sendiri setelah melihat keadaan di sana karena tentu
saja setiap hari bisa terjadi perubahan hebat.”
Kian Lee setuju dan segera meninggalkan dua
surat kuasa dari Jenderal Kao dan dari Puteri Milana itu kepada Panglima Thio.
Kemudian berangkatlah empat orang ini menuju ke Teng-bun, yang masih cukup jauh
dari tempat itu, makan waktu perjalanan sampai dua hari. Tentu saja kalau
mereka mempergunakan ilmu berlari cepat atau naik kuda, jarak itu dapat
ditempuh tidak sampai satu hari. Akan tetapi mereka tidak berani mempergunakan
ilmu karena hal ini tentu akan menarik perhatian orang, sedangkan kalau naik kuda,
mana ada pengungsi bermewah-mewahan naik kuda?
Perjalanan dilakukan biasa saja, seperti
orang-orang lain yang banyak terdapat di jalan-jalan sekarang, karena
perjalanan antara tempat yang dikuasai pemberontak dan tempat yang masih
dikuasai pasukan pemerintah itu merupakan daerah pengungsian di mana para
pengungsi setiap harinya hilir mudik seperti anak-anak ayam ketakutan dan
mencari tempat perlindungan dari marabahaya.
Di sepanjang perjalanan di bawah terik panas
matahari dan banyak melalui lapangan tandus yang kering, amat melelahkan dan
menyiksa badan ini, yang paling bergembira adalah Suma Kian Bu! Pemuda ini
secara langsung saja sudah jatuh hati dan tergila-gila kepada Syanti Dewi! Dan
sekali ini bukan kepalang tanggung! Tidak seperti biasanya, terhadap setiap
orang gadis muda memang dia senang untuk dekat, senang untuk memandang dan
mengagumi kecantikan orang, senang untuk bicara dengan gadis manis, berkenalan
dan bersendau gurau. Akan tetapi terhadap Syanti Dewi ini Kian Bu merasakan sesuatu
yang laln terjadi dalam hatinya! Tak pernah bosan-bosannya dia memandang wajah
itu, mengikuti garis, bibir, hidung dan mata itu dengan pandang matanya,
seolah-olah dia hendak melukis semua itu dengan pandang matanya, ingin
menyentuh dan membelai segala keindahan itu dengan sinar matanya!
Ketika mereka melewati padang rumput yang
bergerak-gerak seperti ombak samudera karena banyaknya dan besarnya angin,
tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu melepaskan jubah luarnya yang lebar dan
menyerahkannya kepada Syanti Dewi sambil berkata, atas nasihat Bun Beng kini
menyebut “adik” kepada Syanti Dewi karena mereka menyamar sebagai paman, dua
orang kakak dan adik.
“Adik Syanti, kaupakailah ini. Angin terlalu
besar, agar engkau jangan masuk angin.”
Wajah gadis itu menjadi agak merah karena dia
merasa sungkan dan malu terhadap Bun Beng dengan kebaikan yang diperlihatkan
pemuda ini. Akan tetapi Bun Beng yang melihat ini semua, melihat sikap Kian Bu
semenjak mula-mula bertemu menaruh harapan besar dan sambil tersenyum dia
berkata, “Dewi, terimalah. Kakakmu yang seorang ini memang baik sekali
hatinya.”
Terpaksa Syanti Dewi menerima jubah itu,
memakainya dan kembali mingucapkan “terima kasih”. Ucapan terima kasih yang
telah diterimanya beberapa kali dari gadis ini semenjak bertemu, tidak
menyenangkan hati Kian Bu. Ucapan seperti itu mendatangkan kerenggangan dan
kekakuan dalam hubungan yang baik, karena membayangkan kesungkanan hati.
“Tidak usah berterima kasih. Bukankah kita
adalah orang-orang sendiri? Apalagi dalam perjalanan ini engkau adalah adikku,
kalau seorang kakak tidak mempedulikan adiknya, tentu malah mendatangkan
kecurigaan!”
“Betul sekali! Betapa cerdas dan telitinya
engkau, Bu-te. Tidakkah begitu, Adik Syanti? Adikku Kian Bu ini memang benar
hebat, bukan?”
Nada suara Kian Lee menggoda yang ditujukan
kepada Kian Bu, akan tetapi sekali ini Kian Bu malah melempar pandang penuh
terima kasih kepada kakaknya itu. Malam itu mereka terpaksa melewatkan malam
di dalam sebuah hutan bersama belasan orang pengungsi yang juga melakukan
perjalanan. Kian Bu cepat-cepat membuat api unggun dan mempersilakan “adiknya”
duduk menghadapi api unggun. Ketika Bun Beng dan Kian Lee menangkap dua ekor
kelinci dan seekor ayam hutan dan Bun Beng menyerahkannya kepada Syanti untuk
dipanggang, Kian Bu cepat mendahului gadis itu, menguliti bangkai-bangkai
binatang itu dan baru menyerahkannya kepada Syanti Dewi setelah dia tusuk
dengan bambu dan tinggal memegang untuk memanggangnya saja! Seolah-olah dia
hendak menghindarkan gadis itu dari pekerjaan kasar atau berat. Bun Beng makin
girang melihat perkembangan ini, sedangkan Kian Lee hanya tersenyum-senyum
saja. Apalagi ketika dilihatnya Kian Bu dengan susah payah mencarikan air untuk
gadis itu hanya karena melihat Syanti Dewi kotor tangannya sehabis makan dan
mengusap-usapkan jari tangannya pada rumput, Kian Lee tertawa sambil
membalikkan tubuh agar tidak terlihat oleh Syanti Dewi dan Kian Bu.
Malam itu, Syanti Dewi tidur bersandarkan
pohon berselimut jubah panjang pemberian Kian Bu. Bun Beng tidur terlentang.
Kian Lee juga bersandar pohon tak jauh dari situ. Kian Bu yang berkeras untuk
berjaga lebih dulu duduk sambil menjaga api agar jangan sampai padam karena
malam itu hawanya dingin sekali dan banyak nyamuknya. Hatinya girang sekali.
Dia telah menemukan seorang wanita yang memenuhi segala idaman hatinya! Akan
tetapi dia termangu dan perasaannya tertekan ketika dia teringat akan cerita
Jenderal Kao tentang gadis ini. Gadis ini adalah tunangan Pangeran Liong Khi Ong!
Tunangan seorang diantara dua pangeran pemberontak! Pangeran yang kabarnya
sudah berusia lima puluh tahun lebih itu, tua dan pemberontak pula. Mana
mungkin dara seperti ini harus terjatuh ke dalam pelukan pemberontak tua bangka
itu?
“Tidak boleh....!” Tiba-tiba dia memukul ke
arah api dengan sebatang ranting sehingga abu mengepul ke atas dan api itu
bergoyang-goyang.
“Apanya yang tidak boleh?” Syanti Dewi yang
masih belum tidur dan duduknya tidak jauh dari api, terkejut dan bertanya.
Kian Bu menoleh, mukanya merah dan sejenak
kehilangan kelincahannya karena dia sendiri terkejut bahwa suara hatinya sampai
terlontarkan melalui mulut.
“Apanya yang tidak boleh, Bu-koko?” Syanti
Dewi bertanya lagi.
“Ah, tidak apa-apa.... aku.... aku hanya
melamun, maafkan kalau mengagetkan engkau, Moi-moi.”
Syanti Dewi tersenyum sendiri, memejamkan
matanya. Pemuda ini seperti kanak-kanak. Memang masih kanak-kanak, pikirnya.
Agaknya usia pun tidak mungkin lebih tua daripada dia. Akan tetapi harus
diakuinya bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda yang tampan, dan berilmu tinggi,
juga amat baik hati terhadapnya. Sifatnya agak nakal, suka menggoda dan riang
gembira, lincah dan jenaka. Betapa jauh bedanya dengan Kian Lee, yang pendiam
dan serius, halus dan penuh hormat. Akan tetapi keduanya memiliki segi-segi
yang mengagumkan dan menyenangkan dalam sifat masing-masing. Hanya bedanya,
kalau Kian Lee menghadapinya dengan sikap menghormat dan sopan, adalah Kian Bu
jelas sekali memperlihatkan perhatian penuh dan rasa suka yang tidak
disembunyi-sembunyikan! Pandang mata Kian Bu terhadapnya demikian penuh
kekaguman, penuh rasa sayang. Kadang-kadang jantungnya terasa berdebar tegang
dan dia merasakan sesuatu yang aneh. Heran dia mengapa Gak Bun Beng agaknya
girang menyaksikan sikap Kian Bu sedemikian itu terhadap dirinya, bahkan dia
merasa betapa pendekar yang dicintanya itu seperti mendorong-dorong dan
memberi semangat kepada pemuda yang menjadi sutenya itu!
Pada keesokan harinya, mereka kembali
melakukan perjalanan. Kini perjalanan melalui pegunungan kapur yang gundul dan
panasnya bukan main matahari siang hari itu! Kedua pipi Syanti Dewi sampai
kemerah-merahan, basah dahi dan lehernya oleh keringat, hati Kian Bu merasa
tidak tega sekali. Dari pagi tadi dia sudah berusaha dengan susah payah
membuat topi caping dari bambu dan rumput alang-alang, dan kini biarpun bentuk
topi buatannya itu kasar, namun lumayan juga untuk melindungi wajah cantik
dengan kulitnya yang putih halus itu dari sengatan sinar matahari yang panas.
“Kaupakailah ini, lumayan untuk menahan sinar
matahari,” katanya sambil memberikan caping yang sudah diberi tali anyaman
rumput alang-alang itu kepada Syanti Dewi.
“Terima kasih, kau baik sekali,” kata Syanti
Dewi yang menerima topi itu dan memakainya di atas kepala. Kian Bu memandang
penuh kagum, kekaguman yang tidak disembunyikannya melihat betapa gadis ini
makin cantik dan manis saja memakai topi buatannya! Padahal topi caping itu
amat kasar dan bersahaja!
Rasak suka dan benci memang mengakibatkan
perangai yang lucu dan aneh kepada manusia. Barang siapa merasa suka akan
sesuatu, baik sesuatu itu benda mati atau hidup, baik benda tampak maupun
tidak, maka perasaan suka itu akan membuat sesuatu itu selalu kelihatan baik
dan menarik, menyenangkan! Sebaliknya, perasaan benci membuat sesuatu yang
dibencinya itu kelihatan selalu buruk dan tidak menyenangkan. Terutama sekali
rasa suka dan benci terhadap seorang manusia lain. Rasa suka membuat orang
yang disuka itu dalam keadaan cemberut, kusut dan kotor atau bagaimanapun juga
akan kelihatan makin menarik dan menyenangkan saja. Sebaliknya, rasa benci
membuat orang yang dibencinya itu dalam keadaan tersenyum atau sudah bersolek
bagaimana pun akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan! Ada kelakar yang
mengatakan bahwa bau kentut seorang yang sedang disuka adalah harum.
Sebaliknya, kalau seorang yang dibenci sedang tertawa wajar karena gembira,
dianggap mentertawakan dan mengejek!
Rasa suka dan benci ini timbul dari pikiran
yang berkeliling sekitar si pusat ialah si aku yang menciptakan prasangka dan
lain-lain perasaan yang timbul dari keinginan si aku mengulang yang
menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan. Si aku yang selalu haus
akan kesenangan, baik kesenangan lahir maupun batin, dan yang selalu ingin
menjauhkan ketidaknikmatan yang tidak menyenangkan, selalu ingin mengerahkan
segala sesuatu di dunia ini demi kesenangan dirinya dan demi menjauhkan segala
yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Karena itu timbullah suka dan benci. Suka
akan sesuatu yang menyenangkan dirinya dan benci akan segala yang tidak
menyenangkan dirinya. Jika batin kita sudah dipengaruhi oleh rasa suka dan
tidak suka, senang akan sesuatu dan benci akan sesuatu, maka tidak ada lagi
kewajaran, tidak ada lagi kebijaksanaan dan selalu bermunculan
pertentangan-pertentangan lahir batin.
Betapapun jahat dan busuknya seseorang bagi
seluruh orang lain, kalau dia baik kepada kita, tentu akan kita suka.
Sebaliknya, biar orang sedunia menyatakan bahwa seseorang itu baik dan
budiman, kalau orang itu tidak baik kepada kita, merugikan kita lahir maupun
batin, tentu akan kita benci! Jelaslah bahwa segala penilaian kita akan diri
seseorang atau akan sesuatu, suka dan benci kita bukan karena keadaan si orang
atau sesuatu itu seperti apa adanya sesungguhnya, melainkan didasari atas
untung rugi atau menyenangkan tidak menyenangkan bagi si aku, baik lahir maupun
batin. Sifat yang sudah mendarah daging pada diri kita semua inilah, yang
dikuasai oleh si aku yang sesungguhnya adalah sang pikiran dengan segala
ingatannya tentang segala pengalaman dan pengetahuan masa lalu, sifat inilah
yang membuat hidup penuh dengan pertentangan seperti sekarang ini!
Pertentangan batin maupun pertentangan lahir, karena sesungguhnya, konflik di luar
diri kita konflik antara kita dengan orang atau benda dengan siapa kita
berhubungan, hanyalah pencetusan dari konflik yang terjadi di dalam diri kita
sendiri. Batin yang penuh konflik tentu menimbulkan tindakan yang penuh
konflik, dan konflik perorangan ini makin meluas menjadi konflik antara
kelompok, antara suku, antara bangsa dan antara negara, maka terjadilah perang
di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini!
Bun Beng dan rombongannya memasuki sebuah
dusun. Melihat betapa Syanti Dewi sudah amat lelah karena kepanasan, Kian Bu
mengusulkan kepada suhengnya untuk berhenti mengaso dan membeli minuman di
sebuah warung di tengah dusun. Bun Beng menyetujuinya dan mereka masuk ke
sebuah warung, satu-satunya warung di dusun itu. Akan tetapi warung itu penuh
sesak dengan para tamu. Beberapa orang pelayan hilir-mudik dengan sibuknya
melayani para tamu yang amat banyak. Padahal ruangan warung itu cukup luas dan
bangku-bangkunya cukup banyak, akan tetapi semua telah diduduki orang. Agaknya
hari yang amat panas itu telah memaksa semua orang untuk meninggalkan jalan dan
berteduh sambil makan minum di warung itu, dan tentu saja, mereka ramai
membicarakan tentang kekacauan dan ancaman perang yang sedang terjadi di
daerah mereka itu. Mereka adalah sebagian besar para pengungsi yang
kebingungan.
Kian Lee berbisik kepada suhengnya sambil
menunjuk ke sudut yang menghadap ke luar. Di situ duduk seorang pemuda
sendirian saja menghadapi meja, sedangkan tiga bangku yang lain di sekeliling
meja itu kosong. Pemuda itu seorang diri, kelihatan tenang dan pendiam,
membawa pedang. Agaknya sikapnya dan pedangnya itu yang membuat para tamu segan
untuk minta duduk semeja dengan pemuda itu, namun pemuda yang amat tampan itu
agaknya juga tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya yang demikian bising,
bahkan dia kelihatan termenung dan tengelam dalam pikirannya sendiri.
Bun Beng mengargguk. Dalam keadaan seperti
itu, tidak mengapalah menumpang di meja orang pikirnya. Terutama sekali Syanti
Dewi memang perlu untuk beristirahat, sekedar makan dan minum sebelum
melanjutkan perjalanan ke tempat yang penuh bahaya itu. Dia melangkah lebar
menghampiri meja pemuda tampan berpedang itu, diikuti oleh Syanti Dewi, Kian
Lee dan Kian Bu.
“Maafkan kami, Sobat.” Bun Beng membungkuk dan
berkata dengan halus dan hormat. “Karena kami melihat tiga buah bangku ini
masih kosong dan kami sendiri belum memperoleh tempat duduk, bolehkah kami ikut
duduk di sini?”
Pemuda itu terkejut, mengangkat mukanya
memandang kepada empat orang itu penuh perhatian, kemudian wajahnya melembut
ketika dia memandang Syanti Dewi, dan dia bangkit berdiri membalas penghormatan
Bun Beng sambil berkata, “Silakan, memang saya sendirian dan bangku-bangku itu
kosong.”
Dia lalu duduk kembali dan selanjutnya seolah-olah
tidak tahu bahwa di depannya kini terdapat tiga orang yang duduk dan seorang
yang terpaksa berdiri karena kehabisan tempat. Yang berdiri itu adalah Kian Bu.
Dia mengalah dan berdiri saja dan dialah yang memesankan makanan mi-bakso dan
minuman teh dingin kepada pelayan.
Sejenak tadi pandang mata Kian Lee bertemu
dengan pandang mata pemuda tampan berpedang itu dan keduanya mengerutkan alis
karena merasa seperti pernah saling berjumpa, akan tetapi keduanya lupa lagi
kapan dan di mana. Bun Beng yang bermata tajam dan sudah berpengalaman itu
diam-diam juga memperhatikan pemuda di depannya. Pedang yang dibawanya itu,
biarpun sarungnya biasa saja dan baru, akan tetapi gagangnya menunjukkan bahwa
pedang itu sudah amat tua dan ada sesuatu yang menyeramkan pada gagang pedang
itu seperti halnya pedang-pedang pusaka yang ampuh. Dan sukar pula mengukur
keadaan pemuda yang pendiam dan tenang itu, akan tetapi Bun Beng diam-diam
waspada karena dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang yang memiliki
kepandaian tinggi. Diam-diam dia membandingkan pemuda ini dengan kedua orang
sutenya. Mereka bertiga sebaya, sama tampan dan gagahnya, akan tetapi tentu
saja dia tidak mengira salana sekali bahwa pemuda itu dapat memiliki kepandaian
setinggi kepandaian Kian Lee atau Kian Bu. Kiranya di dunia ini sukar dicari
orang ke tiga yang mampu mengimbangi ilmu kepandaian dua orang sutenya itu!
Tentu saja Bun Beng sekali ini salah menduga
sama sekali. Kalau saja dia tahu siapa pemuda tampan berpedang itu! Pemuda itu
bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Pemuda yang menganggapnya sebagai seorang musuh
besar yang telah mati, pemuda yang sengaja menggunakan namanya di samping Si
Jari Maut, pemuda yang dicari-carinya karena dianggap telah menodakan
namanya. Dan pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan dahsyat,
pewaris dari kitab-kitab peninggalan dua orang datuk besar Pulau Neraka, yaitu
Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Memang Tek Hoat pernah berjumpa dengan
dua orang kakak beradik itu, bahkan sudah dua kali bertemu ketika kudanya akan
menubruk Kian Bu, kemudian berjumpa lagi ketika Tek Hoat dan kawan-kawannya
menyerbu rombongan Jenderal Kao dan dua orang kakak beradik itu membela
Jenderal Kao. Akan tetapi pertemuan itu hanya sepintas lalu saja, maka kedua pihak
tidak saling mengenal lagi.
Tek Hoat sendiri begitu melihat Syanti Dewi,
tentu saja segera mengenalnya dan jantungnya sudah berdebar dengan amat
kerasnya. Biarpun puteri itu kini telah mengenakan pakaian biasa, tidak mungkin
dia dapat melupakan Sang Puteri ini. Andaikata Syanti Dewi menyamar sebagai
pria atau bagaimana pun, dia akan mengenal wanita yang telah membuatnya
tergila-gila ini. Akan tetapi, Tek Hoat juga bukan seorang bodoh yang sembrono.
Dia sudah mendengar bahwa Sang Putri itu diselamatkan oleh seorang laki-laki
setengah tua yang memiliki kepandaian luar biasa, seorang yang tidak terkenal.
Maka dia dapat menduga dengan pasti bahwa laki-laki setengah tua yang duduk di
depannya ini tentulah penolong itu, dan dia pun dapat mengenal orang pandai,
sungguhpun orang itu tidak memperlihatkan sesuatu. Selain laki-laki setengah
tua itu, dia pun menaruh curiga terhadap dua orang pemuda tampan ini, karena
gerak-gerik dua orang pemuda tampan ini jelas memperlihatkan orang-orang yang
berilmu. Maka dia tidak berani sembrono, apalagi dia pun kini telah berubah
pendiriannya mengenai diri Puteri Syanti Dewi. Dia jatuh cinta kepada puteri
ini, dan sampai bagaimana pun dia tidak akan suka menyerahkan Sang Puteri ini
kepada Pangeran Liong Khi Ong!
Maka terjadilah pertemuan itu yang amat aneh
sekali! Tek Hoat mengenal Puteri Syanti Dewi dengan baik tapi sebaliknya
puteri itu sama sekali tidak mengenalnya sebagai tukang perahu yang pernah
menolong dia dan Ceng Ceng! Bun Beng mencari orang yang memalsu namanya, yaitu
Si Jari Maut, tidak tahu bahwa orang yang dicarinya itu kini duduk di depan.
Tek Hoat tidak tahu pula bahwa laki-laki yang duduk di depannya ini adalah Gak
Bun Beng musuh besar ibunya yang disangkanya sudah mati, orang yang menurut
ibunya adalah pembunuh ayahnya, padahal ibunya telah berbohong kepadanya
karena ibunya menganggap bahwa Gak Bun Beng yang disangka sudah mati itu
adalah pemerkosa ibunya dan karenanya ayah dari dia sendiri! Dan juga ada
hubungan yang amat dekat antara Suma Kian Lee dan Tek Hoat. Seperti kita
ketahui, sesungguhnya yang dahulu memperkosa Ang Siok Bi yaitu ibu Tek Hoat
adalah mendiang Wan Keng In, (dan Wan Keng In itu adalah putera dari Lulu, ibu
Suma Kian Lee!) Betapa dekat hubungan antara orang-orang yang kini duduk semeja
itu, namun tidak diketahui oleh mereka sendiri, kecuali bahwa Tek Hoat
mengenal Syanti Dewi dengan diam-diam.
Mi-bakso yang dipesan sudah datang diantarkan
oleh pelayan, dan Bun Beng, Syanti Dewi dan Kian Lee sudah mulai makan setelah
menawarkan kepada pemuda tampan berpedang yang mengangguk sopan dan ramah.
Kian Bu terpaksa makan sambil berdiri. Tentu saja diam-diam dia merasa
mendongkol juga. Lain orang dapat beristirahat dan makan dengan enak, akan
tetapi dia harus makan sambil berdiri, kadang-kadang harus mengelak ke
sana-sini karena tempat itu penuh dengan orang yang hilir mudik! Untuk
menghindarkan diri dari bersentuhan dengan orang-orang yang hilir mudik, Kian
Bu membawa mangkok mi-baksonya itu ke sana-sini mencari tempat yang longgar sehingga
akhirnya dia berada di pintu luar karena memang meja mereka itu berada di sudut
luar ruangan.
Dari luar tampak serombongan orang datang
menghampiri warung. Melihat bahwa tamunya terus bertambah, Kian Bu makin
mendongkol. Kalau ditambah orang lagi warung itu, mana bisa dia makan dengan
sedap? Dia memandang ke kanan kiri dan tampak olehnya sebatang tonggak besar
bekas tempat penambatan kuda yang sudah roboh dan menggeletak tidak terpakai.
Dia memperoleh suatu akal yang baik. Dihampirinya balok yang besarnya sepaha
orang itu, kemudian dengan mangkok masih di tangan kiri dia menggunakan tangan
kanannya membabat sambil mengerahkan tenaga.
“Krakkk!” Tonggak atau balok besar itu patah
dan dia lalu membawa potongan balok yang panjangnya satu meter itu ke dalam
warung. Semua orang memandang dengan mata terbelalak, kagum dan kaget melihat
betapa pemuda itu, dengan mi-bakso masih penuh di mangkok yang dipegang tangan
kiri, dapat mematahkan balok itu sedemikian mudahnya dengan tangan yang
dimiringkan. Akan tetapi Kian Bu seperti tidak mempedulikan atau tidak melihat
mata orang-orang yang memandang kagum itu, sambil tersenyum dia berkata kepada
suhengnya, dan Syanti Dewi, “Aku sudah memperoleh tempat duduk!”
Setelah berkata demikian, dia menancapkan
potongan balok itu ke atas lantai, tentu saja dia memilih tempat di dekat
bangku yang diduduki Syanti Dewi. Kemudian sekali tangannya menepuk ujung
balok, kayu itu amblas ke lantai hampir separuhnya dan duduklah dia di atas
“bangku” darurat yang aneh namun cukup dapat dipakai itu sambil tersenyum dan
mulai menggerakkan sumpitnya memindahkan mi-bakso dari dalam mangkok ke dalam
mulutnya!
Banyak tamu bersorak memuji menyaksikan ini,
akan tetapi Kian Bu tidak peduli, seolah-olah mereka itu bersorak untuk hal
lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya! Dusun itu
merupakan dusun yang berbahaya dan gawat karena sudah dekat dengan Teng-bun.
Orang-orang yang berada di dusun itu adalah orang-orang penuh rahasia,
mungkin saja seseorang di situ bisa mata-mata pemberontak, bisa pula penyelidik
pemerintah. Maka kini orang-orang yang berada di situ, diam-diam menduga-duga,
golongan siapakah pemuda yang lihai itu dan teman-temannya. Sementara itu, Bun
Beng yang memperhatikan pemuda tampan di depannya, melihat betapa pemuda itu
juga memandang kepada Kian Bu dengan alis berkerut dan ada getaran sedikit
pada tangan kiri pemuda itu yang berada di atas meja. Bun Beng melihat betapa
tangan yang sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga itu membuat bekas
di atas meja kayu, bekas menghitam! Maka terkejutlah dia karena dia tahu bahwa
pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat dan waktu perasaannya terguncang
oleh perbuatan Kian Bu tadi, tanpa disengaja sedikit tenaga sin-kang pemuda
itu tersalur di tangan kirinya dan akibatnya demikian hebat!
Pada saat itu terdengar suara gaduh di pintu
depan. Kiranya rombongan baru yang tadi dilihat Kian Bu menghampiri warung,
kini sudah masuk ke dalam warung. Mereka terdiri dari empat orang, dipimpin
oleh seorang laki-laki yang perawakannya gendut pendek sehingga seperti karung
beras. Empat orang itu masing-masing membawa potongan balok seperti yang
dibawa oleh Kian Bu tadi, dan mereka tadi setelah menyaksikan perbuatan Kian
Bu, lalu menirunya. Akan tetapi mereka memotong balok dengan menggunakan golok
dan kini masing-masing memegang sepotong balok memasuki warung mencari-cari
ruangan yang masih agak longgar, kemudian mereka sibuk memasang balok-balok itu
ke atas lantai. Akan tetapi kalau tadi Kian Bu memasang balok untuk dijadikan
tempat duduk dengan sekali tepuk membuat balok itu amblas ke dalam lantai, kini
empat orang itu berkutetan dengan susah payah untuk “menanam” balok itu ke
lantai yang keras. Apalagi Si Gendut yang kelihatannya kuat itu sampai mandi peluh
dan dia memegang balok dengan kedua tangan, memeluk balok itu dan
mendorongnya ke lantai sekuat tenaga, sehingga perutnya yang gendut dengan
daging-daging menonjol berlebihan itu terguncang-guncang dan kelihatan lucu
sekali. Setelah menghabiskan tenaga, kadang-kadang mendorong balok dan
kadang-kadang menggunakan kaki untuk menginjak-injaknya ke bawah, akhirnya
empat orang itu berhasil juga “memasang” balok-balok itu sehingga menjadi
semacam tempat duduk yang doyong ke sana-sini, tidak lurus karena cara
memasangnya tadi dengan tenaga paksaan, tidak sekaligus jadi. Melihat kejadian
ini, banyak diantara para tamu tertawa geli, bahkan Syanti Dewi juga tersenyem
geli menyaksikan hal ini. Tek Hoat mengerling tajam ke arah Syanti Dewi dan
jelas bahwa dia terpesona melihat gadis ini tersenyum. Semua ini tidak
terluput darl pengawasan Bun Beng, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan
pemuda itu. Siapakah yang tidak akan terpesona melihat wajah Syanti Dewi?
Apalagi kalau dia sedang tersenyum simpul!
Akan tetapi jelas kelihatan bahwa pemuda
tampan berpedang itu nampak seperti orang gelisah atau tidak senang setelah
empat orang yang dipimpin Si Gendut itu muncul. Bun Beng juga melihat betapa
empat orang itu berkali-kali melirik ke arah pemuda itu, agaknya mempunyai
niat tertentu.
“Maaf, saya harus pergi lebih dulu. Silakan
Cu-wi (Anda Sekalian) melanjutkan makan minum,” tiba-tiba pemuda itu bangkit,
membungkuk sebagai tanda hormat, mengerling tak kentara ke arah Syanti Dewi,
kemudian meninggalkan meja itu melangkah keluar.
Akan tetapi, tiba-tiba Si Gendut pemimpin
dari empat orang tadi meloncat bangun. Gerakannya amat cepat bagi seorang
gendut seperti dia dan dia sudah menghadang pemuda itu, membuat
gerakan-gerakan dengan tangannya dan berbisik-bisik. Syanti Dewi menoleh dan
semua orang juga memandang ke arah mereka berdua itu. Kini teman-teman Si
Gendut juga sudah berdiri di belakang Si Gendut dan siap dengan golok mereka.
“Pergilah kalian!” Akhirnya terdengar pemuda
itu membentak.
“Tidak!” Si Gendut membantah, kini tidak
berbisik-bisik lagi. “Kami mentaati perintah beng-cu (ketua)....”
“Pulanglah dulu, aku sedang sibuk!”
“Maaf, kami terpaksa....”
“Setan!” Tek Hoat melangkah ke luar, lalu
menanti di luar.
Empat orang itu bergegas keluar sambil
mencabut golok mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Tek Hoat.
Pemuda ini tidak mau menghunus pedangnya, hanya mempergunakan sarung pedang
menangkis dan tangan kirinya menyambar. Dalam beberapa gebrakan saja empat
orang itu roboh terpelanting dan Si Gendut berteriak kesakitan karena perutnya
yang gendut ditonjok oleh Tek Hoat yang menggunakan gagang pedangnya. Terasa
mulas dan agaknya usus buntunya kena disodok!
Akan tetapi dari jauh datang serombongan
orang lain yang agaknya merupakan kawan-kawan Si Gendut. Melihat ini, Tek Hoat
yang tidak ingin ribut-ribut dengan mereka, sudah melompat pergi dan melarikan
diri.
Si Gendut itu pun tidak banyak ribut lagi,
segera mengajak teman-temannya yang tiga orang dan rombongan yang baru datang,
untuk pergi dengan berpencar. Mereka tidak membayar kepada tukang warung
karena memang belum sempat makan atau minum apa-apa.
Melihat ini, Bun Beng memberi tanda. Kian Lee
membayar harga makanan dan mereka berempat juga pergi dari situ. Mereka keluar
dari dusun dan melanjutkan perjalanan ke barat, menuju ke Teng-bun yang tidak
jauh lagi, hanya kurang lebih tiga puluh li dari situ.
“Kiranya dia lihai juga!” Kian Bu berkata.
“Dia malah lebih lihai daripada yang tampak,
jauh lebih lihai kalau saja diberi kesempatan. Sungguh seorarg pemuda yang
aneh, entah siapa dia dan apa yang dilakukannya di tempat ini,” kata Bun Beng.
“Aku seperti pernah melihatnya, entah di
mana....” Kian Lee berkata.
“Engkau benar, Lee-ko! Aku pun merasa pernah
bertemu dengan dia, akan tetapi lupa lagi kapan....” Kian Bu juga berkata.
“Sudahlah, kita tidak perlu berurusan dengan
dia, kita mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, dia agaknya juga hendak
menghindarkan diri dari kita,” kata Bun Beng.
Akan tetapi Bun Beng tidak tahu bahwa sama
sekali Tek Hoat tidak berniat mehghindarkan diri atau menjauhkan diri dari
mereka. Sama sekali tidak, terutama sekali karena di situ terdapat Syanti Dewi!
Siapakah orang-orang yang tadi mengeroyok Tek Hoat di depan warung dan mengapa
Tek Hoat yang jelas akan mudah saja kalau mau membasmi dan membunuh mereka,
malah melarikan diri seolah-olah segan melayani mereka?
Si Gendut dan kawan-kawannya itu adalah
orang-orang Tiat-ciang-pang yang diutus oleh beng-cu mereka! Seperti telah kita
ketahui, Ceng Ceng berhasil menjadi beng-cu dengan cara membuat Tek Hoat tidak
berdaya dengan sumpah dan janjinya. Bahkan dia memaksa Tek Hoat untuk menjadi
pembantunya bersama Si Topeng Setan yang telah ditawannya atau yang
sesungguhnya telah menyerahkan diri untuk ditawan! Diam-diam Tek Hoat mengerti
bahwa atasannya, yaitu kedua Pangeran Liong, tentu akan marah kepadanya bahwa
dalam hal mempengaruhi kaum sesat di sekitar kota raja ini dia telah gagal,
akan tetapi dia tidak dapat melakukan sesuatu terhadap Ceng Ceng. Tentu saja
bukan semata-mata karena sumpah dan janjinya, akan tetapi karena terhadap gadis
itu dia merasa lemah dan tidak tega untuk mengganggu atau memusuhinya,
lebih-lebih karena gadis ini adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang
dicintanya. Akan tetapi, ambisi pribadinya juga tidak memungkinkan dia
meninggalkan dua orang Pangeran Tua yang memberontak itu, karena dia ingin
mencapai kedudukan setinggi-tingginya melalui mereka.
Karena dia harus kembali ke kota raja, maka
dia segera minta diri kepada Ceng Ceng dengan dalih untuk mulai membantu gadis
itu mencari pemuda tinggi besar tampan dan lihai yang menjadi musuh besar Ceng
Ceng tanpa dia ketahui sebab-sebabnya itu. Karena Ceng Ceng juga maklum bahwa
dekat dengan Tek Hoat merupakan bahaya besar, bukan hanya bahaya pribadi karena
sewaktu-waktu pemuda itu dapat mengingkari janji dan sumpahnya, melainkan juga
karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membujuk kaum sesat untuk
menggabungkan diri kepada pemberontak, maka dia segera menyatakan
persetujuannya. Apalagi, kalau ada orang yang akan dapat membantunya menemukan
musuh besarnya itu, kiranya orang itu adalah Tek Hoat, karena hanya pemuda
itulah yang pernah bertemu muka dengan musuh besarnya, si pemuda laknat, yaitu
ketika pemuda laknat itu menolong Jenderal Kao dari tangan Tek Hoat. Selain
sudah mengenal muka musuh besarnya itu, juga Tek Hoat mempunyai kebencian
pribadi kepada pemuda laknat itu yang telah menghalangi usahanya menculik
Jenderal Kao.
Demikianlah, Tek Hoat meninggalkan Ceng Ceng
dan ketika dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong, dia mendengar berita akan
berhasilnya Siang Lo-mo membebaskan Panglima Kim Bouw Sin dan bahwa benteng
Teng-bun telah dikuasai. Karena saat yang dinanti-nanti telah hampir tiba, yaitu
menggerakkan pasukan dari utara menyerbu kota raja, Pangeran Liong Bin Ong
tidak begitu mempedulikan urusan kaum sesat, dan dia segera memerintahkan Tek
Hoat untuk ke utara, memimpin orang-orang lihai yang telah menjadi kaki tangan
pemberontak dan membantu Panglima Kim Bouw Sin. Bahkan Pangeran Liong Bin Ong
sendiri berkenan berangkat pula ke utara dan selain dikawal oleh pasukan
istimewa, juga Tek Hoat mengawalnya.
Setelah mengawal rombongan pangeran yang
menyamar ini memasuki kota Koan-bun di sebelah timur Teng-bun, hanya terpisah
sepuluh mil dan pangeran yang menyamar itu menyelundup ke dalam gedung
pembesar setempat, Tek Hoat lalu keluar dan berjalan-jalan sampai ke dusun itu
dalam usahanya untuk melakukan penyelidikan guna persiapan penyerbuan ke kota
raja. Di dusun inilah dia bertemu dengan rombongan Syanti Dewi, hal yang
membuat semua rencananya menjadi kacau karena dia tidak lagi dapat mencurahkan
perhatiannya kepada tugasnya membantu Pangeran Liong Bin Ong, bahkan kini
sebagian besar perhatiannya tercurah kepada diri Puteri Bhutan itu.
Inilah sebabnya mengapa dugaan Bun Beng itu
meleset jauh. Mereka boleh jadi tidak mempunyai urusan dengan pemuda tampan
berpedang itu, akan tetapi pemuda itu mempunyai urusan dengan mereka, atau
setidaknya dengan Syanti Dewi! Dan tidak mengherankan pula kalau di hari itu
juga, di luar dugaan mereka rombongan Bun Beng ini bertemu kembali dengan Tek
Hoat!
Ketika itu hari telah menjelang senja dan Bun
Beng bersama rombongannya tiba di kota Koan-bun, yaitu kota yang merupakan kota
terdekat dari Teng-bun yang menjadi benteng pertahanan dan pusat para
pemberontak. Untuk menyelidiki keadaan di Teng-bun, mereka harus bermalam dulu
di Koan-bun, karena kota ini masih termasuk kota yang bebas dari cengkeraman
pemberontak, sungguhpun orang tidak tahu lagi berapa banyak kaki tangan
pemberontak dan siapa saja mereka itu yang berada di Koan-bun. Boleh jadi
setiap orang pedagang, setiap orang buruh, adalah mata-mata pemberontak atau
kaki tangan pemerintah, tidak ada yang dapat menduganya lebih dulu. Karena
itu, suasana di Koan-bun amat menegangkan seolah-olah setiap saat akan terjadi
ledakan perang di tempat ini.
Pembesar setempat telah melakukan penjagaan
ketat dan setiap orang yang memasuki pintu gerbang kota Koan-bun mengalami
penggeledahan. Tidak aneh dan memang telah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu
bahwa pada setiap terjadi kekacauan, orang-orang yang mempunyai kedudukan dan
wewenang akan mempergunakan kesempatan di waktu keadaan keruh itu untuk
mencari keuntungan demi dirinya sendiri. Demikian pula dengan para penjaga
yang bertugas menjaga pintu gerbang. Keadaan yang “panas” itu membuka
kesempatan bagi mereka untuk bertindak seolah-olah merekalah yang paling
berkuasa di dunia ini dan mereka pulalah yang berkuasa untuk menentukan siapa
yang boleh atau tidak boleh masuk ke kota Koan-bun. Tentu saja mereka
membiarkan segala macam jenis ikan teri lewat tanpa banyak bicara lagi, akan
tetapi setiap kali ada ikan jenis kakap lewat, otomatis sikap mereka berubah dan
tanpa ada sesuatu yang menguntungkan mereka, jangan mengharap akan dapat lewat
begitu saja tanpa gangguan.
Rombongan Bun Beng segera menarik perhatian
mereka, terutama sekali karena di situ terdapat seorang nona muda yang cantik.
“Menurut peraturannya, semua yang akan
memasuki kota ini harus digeledah! Tidak terkecuali!” berkata kepala penjaga
yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat seperti orang yang kekurangan
darah, akan tetapi lagaknya seolah-olah dia bertubuh tinggi tegap menakutkan,
dadanya yang kerempeng dibusungkannya ke depan.
Melihat lagak seperti ini, otomatis Kian Bu
menjadi naik darah. “Boleh saja menggeledah kami bertiga,” katanya.
“Hemm....!” Si Kurus itu mengeluarkan suara
dari hidungnya. “Kalian berempat, mengapa hanya bertiga yang harus digeledah?
Harus keempat-empatnya....”
“Tapi dia ini wanita! Masa adikku, seorang
wanita harus digeledah oleh para penjaga pria?”
“Peraturan tetap peraturan, kalian tidak boleh
melawan!”
Makin merah muka Kian Bu. Jangankan sampai
menggeledah, baru berani menjamah sedikit saja tubuh Syanti Dewi, dia akan
mematahkan tangan laki-laki yang berani melakukannya!
“Mengapa yang baru lewat tadi tidak ada yang
digeledah? Aturan mana ini membeda-bedakan orang?” bentaknya menuding kepada
orang-orang yang telah dan sedang lewat dan yang didiamkan saja oleh penjaga
itu.
“Hemm, itu adalah urusan kami! Tidak
ada sangkut-pautnya dengan engkau!” Si Kurus membentak pula dan kini para
penjaga sudah berdatangan dan mengurung rombongan Bun Beng.
Pada saat itu, diantara banyak orang yang
mulai tertarik dan menonton, muncullah seorang pemuda yang segera menghampiri
komandan jaga dan berkata, “Mereka ini adalah sahabat-sahabatku, jangan kalian
mengganggunya.” Berkata demikian, pemuda itu mengeluarkan sekantong uang dan
memberikannya kepada si komandan.
“Ah, terima kasih.... harap Cu-wi sekalian
maafkan....” Dia mengangguk-angguk seperti seekor ayam kelaparan makan beras.
Panas rasa perut Kian Bu ketika mengenal
pemuda itu yang bukan lain adalah si pemuda tampan berpedang yang mereka
jumpai di warung bakmi tadi. Apalagi ketika ia melihat Syanti Dewi memandang
pemuda itu, membungkuk sedikit dan mengeluarkan kata-kata halus yang sudah amat
dikenalnya, “Terima kasih!” perutnya menjadi bertambah panas. Pemuda itu
mengangguk dan tersenyum kepada Syanti Dewi, untuk beberapa lama sepasang
matanya memandang dengan amat tajamnya. Dua pasang mata bertemu dan wajah
Syanti Dewi menjadi merah sekali karena tertangkap olehnya betapa sepasang mata
itu memandangnya penuh kagum dan penuh kemesraan, maka dia cepat menundukkan
mukanya.
Melihat hal ini, Kian Bu hampir tak dapat
menahan kemarahan hatinya lagi. “Siapa suruh engkau mencampuri....?” Akan
tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Kian Lee dan Bun Beng yang juga cepat
melangkah maju dan menjura kepada pemuda itu sambil berkata, “Terima kasih
atas bantuanmu, Sobat.” Dia lalu menoleh kepada Kian Bu dan Kian Lee, berkata,
“Hayo kita cepat masuk kota agar jangan sampai kehabisan kamar penginapan!”
Mendengar ini, Tek Hoat lalu menjura penuh
hormat kepada Syanti Dewi dan dengan halus berkata, “Mencari tempat penginapan
akan sukar sekali, dan kalaupun ada tidak cukup pantas untuk tempat Nona
menginap. Kalau Cu-wi sudi, saya dapat menawarkan tempat menginap....”
“Ah, terima kasih, mana kami berani membikin
repot Sicu? Biarlah kami mencari penginapan sendiri, terima kasih dan maaf!”
Bun Beng cepat menolak dengan halus karena dia maklum bahwa pemuda berpedang
ini jelas amat tertarik kepada Syanti Dewi dan kalau hal ini dibiarkan saja,
bisa timbul keributan antara pemuda itu dan Kian Bu. Di tempat seperti itu,
apalagi mengingat akan tugas mereka, sebaiknya menjauhkan keributan karena
urusan pribadi.
Sambil bersungut-sungut Kian Bu mengikuti
rombongannya pergi dari pintu gerbang itu, sedangkan pemuda berpedang itu pun
pergi ke lain jurusan. “Lagaknya, seperti dia seorang yang mempunyai uang!
Laginya, aku tidak sudi kalau harus menyogok-nyogok!” Kian Bu mengomel.
“Sute, dia telah melakukan itu untuk membantu
kita, mengapa kau marah-marah?” Bun Beng menegur, di dalam hatinya terasa geli
melihat sikap pemuda yang masih kekanak-kanakan ini.
“Bu-ko, orang itu baik, kita semestinya
berterima kasih,” Syanti Dewi juga berkata dengan suara wajar.
Kian Bu terdesak, hatinya tidak puas, akan
tetapi tentu dia tidak dapat membantah karena memang tidak ada bukti kesalahan
orang itu. Mereka lalu mulai mencari tempat penginapan. Akan tetapi, tepat
seperti yang dikatakan oleh pemuda berpedang tadi, amat sukar mencari tempat
penginapan. Semua penginapan telah penuh, bahkan rumah-rumah kosong dan
kuil-kuil telah penuh dengan orang sampai berdesak-desakan dan banyak pula
yang tidur di emper-emper depan toko dan rumah penduduk! Mereka ini adalah
para pengungsi yang tinggal di dusun-dusun sekitar kota Koan-bun. Mereka
mendengar akan ancaman perang yang sewaktu-waktu meletus, berbondong-bondong
mereka mengungsi ke kota-kota sebelah timur dan selatan, dan tentu saja kota
Koan-bun dibanjiri pengungsi karena kota ini pun merupakan kota yang terjaga
oleh pasukan dan yang mereka anggap aman karena terlindung. Memang pada jaman
itu, dusun-dusun yang tidak terjaga selalu menjadi korban pertama dari
keganasan manusia dalam perang, bukan hanya gangguan dari para serdadu pihak
musuh yang membunuh, memperkosa dan merampok, akan tetapi juga gangguan dari
gerombolan-gerombolan orang jahat yang mempergunakan kesempatan itu untuk
bersimaharajalela.
Cuaca sudah gelap, malam sudah tiba dan
rombongan Bun Beng masih juga belum memperoleh tempat penginapan. “Tidak
mengapalah, Paman,” Akhirnya Syanti Dewi berkata karena maklum bahwa mereka
bertiga itu bersusah payah mencarikan penginapan, khusus untuk dia seorang!
“Kalau memang di mana-mana penuh, mencari pun tidak ada gunanya. Malam ini kita
lewatkan di pinggir jalan juga tidak apa. Paman tahu bahwa aku bukan seorang
yang takut menghadapi kesukaran.”
Bun Beng tersenyum. Tentu saja dia tahu.
Selama melakukan perjalanan dengan Syanti Dewi ke utara, di waktu dia sakit
payah dan jalan pun tidak bisa, boleh dibilang gadis itulah yang merawatnya,
yang mengatur segalanya, bahkan setiap malam tidur di mana saja! Akan tetapi
dia tahu bahwa Kian Bu bersikeras untuk mencarikan tempat penginapan yang baik
bagi gadis itu!
“Suheng, bagaimana kalau aku memasuki sebuah
diantara gedung-gedung besar itu? Aku boleh paksa seorang diantara mereka
meminjamkan kamar untuk Adik Syanti!” Kian Bu berkata.
Bun Beng menggeleng kepala. “Jangan mencari
perkara di dalam suasana seperti ini, Sute. Biarlah kita melewatkan malam di
tepi jalan, kita pilih yang agak sunyi seperti dikatakan Dewi tadi. Malam nanti
aku akan pergi ke Teng-bun untuk menyelidiki suasana. Engkau dan kakakmu
menjaga Dewi di sini.”
Terpaksa Kian Bu menurut dan mereka lalu
memilih pinggir jalan yang agak sunyi, lalu duduk di atas tanah begitu saja.
Banyak pula para pengungsi lain yang juga seperti mereka, melewatkan malam di
pinggir jalan! Suasana makin tegang dan agaknya malam itu tentu akan terjadi
sesuatu yang hebat. Bun Beng mulai penyelidikannya dengan mendengarkan
percakapan-percakapan diantara kelompok-kelompok pengungsi tak jauh dari situ.
Bermacam-macam keterangan diperolehnya tentang kota Koan-bun ini. Ada yang
mengatakan bahwa pembesar setempat masih setia kepada pemerintah, akan tetapi
sebagian banyak pembesar lainnya sudah condong kepada pemberontak. Bahkan
kabarnya pasukan di situ pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Ada yang
mengabarkan lagi bahwa malam itu pemberontak akan melakukan serangan.
Pendeknya, bermacam-macam berita simpang-siur yang didengarnya. Dia
menceritakan semua yang didengarnya itu kepada Kian Lee, Kian Bu dan Syanti
Dewi sambil makan malam sederhana berupa roti kering yang dibawa oleh kedua
orang kakak beradik itu sebagai bekal. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng
menghentikan ceritanya dan diam-diam dia memberi isyarat kepada mereka bertiga
untuk tidak bicara, telunjuknya menuding ke arah belakangnya.
Orang itu agaknya juga seorang pengungsi,
sudah tua dan membawa bungkusan. Dia datang dan berjongkok, mengeluh panjang
pendek tak jauh dari rombongan Bun Beng. Ketika tiba-tiba rombongan itu
berhenti bicara, dia berdiri lagi dan pergi. Akan tetapi sejak itu, sering
sekali kakek ini lewat di situ, juga beberapa orang lain yang Bun Beng lihat
adalah orang-orang yang sama sehingga tahulah dia bahwa mereka telah
dimata-matai atau diawasi!
Jalan itu makin ramai, dan makin banyak saja
orang-orang yang berkelompok di tepi jalan. Agaknya mereka pun kehabisan
tempat, ataukah memang sengaja berkelompok di situ? Bun Beng mulai curiga dan
dia memperingatkan kedua orang sutenya agar waspada.
“Siapa tahu kalau-kalau mereka ini adalah
pengungsi-pengungsi palsu yang sengaja mengurung kita,” bisiknya.
“Sikat saja!” Kian Bu sudah bangkit dan
memandang marah
“Sttt, tenanglah, Bu-te!” Kian Lee
menarik tangannya sehingga dia terduduk kembali. Kian Lee maklum bahwa adiknya
itu benar-benar telah mabuk asmara dan serangan demam cinta itu membuat Kian
Bu selalu ingin menojolkan dirinya di depan gadis yang dicintanya. Diam-diam
dia mendoakan mudah-mudahan adiknya itu lebih berbahagia dalam cintanya, tidak
seperti dia, mencinta seorang gadis yang dia tidak ketahui sekarang berada di
mana! Akan tetapi karena dia sudah mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa Lu
Ceng itu adalah adik angkat dari Syanti Dewi dan hal itu tidak pernah
disinggungnya, juga tidak oleh Kian Bu yang dipesannya selama mereka berdua
melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi, maka sekarang dalam kesempatan
menanti dalam suasana tegang itu, ingin dia mencari keterangan kepada Syanti
Dewi tentang diri gadis yang dicintanya itu.
“Adik Syanti, aku.... aku ingin menanyakan
sesuatu kepadamu,” katanya berbisik agar jangan terdengar orang lain kecuali
mereka berempat.
“Apakah itu, Lee-koko?”
“Aku ingin bertanya tentang Lu Ceng atau
Candra Dewi....”
“Aihhh....!” Syanti Dewi hampir menjerit
ketika mendengar disebutnya nama Lu Ceng dan tak terasa lagi air matanya
bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Tentu saja Kian Lee dap Kian Bu
terkejut.
Gak Bun Beng menghela napas panjang. “Sute,
mengapa engkau menanyakan dia? Dia adalah adik angkat Dewi, dan sudah tewas
secara menyedihkan sekali.”
“Justeru itulah yang akan saya bicarakan,
Suheng! Adik Candra.... dia itu.... Nona Lu Ceng itu, dia belum mati!”
Sepasang mata yang lebar itu terbelalak, dan
dengan bingung Syanti Dewi menoleh kepada Bun Beng. Pendekar ini memandang Kian
Lee dengan tajam dan penuh teguran, kemudian dia berkata, “Sute, jangan bicara
yang bukan-bukan! Aku sendiri telah turun ke dalam sumur di mana dia terjerumus
untuk menyelidiki dan baru turun sebagian saja aku sudah pingsan. Dia sudah
tewas.”
“Kami juga mendengar dari Jenderal Kao Liang
bahwa dia sudah mati di dalam sumur maut, sungguhpun Jenderal Kao tidak
bercerita tentang Suheng,” kata Kian Bu. “Akan tetapi.... tenangkan hatimu,
Moi-moi.... sesungguhnya Nona Lu Ceng itu masih hidup. Kami sudah berjumpa
beberapa kali dengan dia, bahkan yang terakhir ini kami melihat dia di kota
raja!”
“Ahhh....! Be.... benarkah? Benarkah itu?”
Kian Lee lalu menceritakan pertemuannya
dengan Ceng Ceng di rumah Jenderal Kao, dan betapa gadis itu melarikan diri
tidak mau menemui mereka atau Jenderal Kao, betapa jenderal itu sekeluarganya
menyembahyangi nona itu!
“Kami yakin dia masih hidup, Adik Syanti.
Hanya entah mengapa dia tidak mau menjumpai siapa pun, seperti menyimpan
rahasia....” Kian Lee berkata dengan nada duka.
“Aahhh, benarkah itu? Benarkah dia masih
hidup....? Ahh, Paman.... semoga begitu....!” Syanti Dewi dalam kegembiraan
dan pengharapannya memegang lengan Gak Bun Beng erat-erat dan air matanya
bercucuran.
“Mudah-mudahan begitulah....! Dia seorang
gadis yang amat baik, menurut penuturanmu dan penuturan Jenderal Kao,” kata
Bun Beng sambil dengan halus menarik lengannya yang dipegang erat-erat oleh
dara itu.
“Lee-ko, mengapa engkau menanyakan dia?”
Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya sambil memandang wajah Kian Lee. Untung mereka
duduk di tepi jalan yang gelap sehingga tidak kelihatan betapa wajah pemuda itu
menjadi merah sekali. Akan tetapi Kian Bu mengerti betapa kakaknya menjadi
gugup mendengar pertanyaan ini, maka dialah yang menjawab,
“Kami mendengar dari Jenderal Kao bahwa dia
adalah adik angkatmu, maka Lee-ko mengajukan pertanyaan tadi.”
Syanti Dewi menghela napas panjang. “Dia
adalah seorang yang amat baik, dan biarpun hanya adik angkat, akan tetapi
kucinta seperti saudara kandungku sendiri. Kalau tidak ada dia, mungkin aku
tidak kuat menanggung derita ketika kami berdua melarikan diri.” Lalu dengan
suara perlahan dia menceritakan tentang pengalamannya ketika dia meninggalkan
Bhutan dan diserbu di tengah perjalanan kemudian dia bersama Ceng Ceng dan
kakeknya melarikan diri. Betapa Kakek Lu tewas dan Ceng Ceng terus mengawalnya
sampai akhirnya mereka celaka karena perahu yang ditumpanginya terguling dan
dia ditolong oleh Gak Bun Beng.
“Tadinya aku mengira dia tewas di sungai itu
karena kami berdua tenggelam dan hanyut. Akan tetapi, ternyata dia tidak tewas
di sungai dan tahu-tahu aku mendengar tentang dia di utara, tewas di sumur maut
hanya beberapa saat sebelum aku bersama Paman Gak tiba di sana. Dan sekarang,
kembali ada berita bahwa dia tidak mati.... ya Tuhan, semoga benar
demikianlah!”
“Sayang dia selalu melarikan diri....” Kian
Lee berkata lirih yang kemudian disambungnya untuk menyembunyikan perasaan
hatinya. “Kalau tidak, tentu dia sekarang sudah dapat bertemu dengan engkau,
Moi-moi.”
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara genta
yang dipukul keras sekali. Genta atau lonceng itu digantung di atas benteng penjagaan
dan kalau genta itu dipukul sedemikian rupa berarti bahwa kota itu terancam
bahaya! Keadaan menjadi geger! Dari berita mulut ke mulut, ternyata bahwa kota
itu malam-malam kedatangan pasukan asing dari utara yang berkekuatan kurang
lebih seribu orang pasukan liar dan ganas dari suku bangsa biadab. Pintu-pintu
benteng ditutup, penjagaan diperketat dan semua perajurit lari hilir mudik
dengan sibuknya. Orang-orang berlarian pulang ke rumah masing-masing,
pintu-pintu rumah ditutup namun di jalan tidak menjadi sunyi, bahkan
sebaliknya karena para pengungsi yang berada di jalan-jalan lari berserabutan
tidak karuan. Jerit-jerit tangis mulai terdengar dari mereka yang terpisah dari
keluarganya, anak-anak hilang, barang-barang hilang, dan terjadilah keributan
yang amat membingungkan. Berbondong-bondong orang berlari dan memenuhi jalan di
mana rombongan Bun Beng berada.
“Awas, siap dan jaga....!” Bun Beng berbisik
dan dia sudah mengelak ketika ada sesosok bayangan menerjangnya dengan
pukulan. Cepat dia menggerakkan tangannya dan bayangan itu roboh tanpa bersuara
karena sudah ditotoknya pingsan. Bayangan-bayangan lain datang mengurung dan
kedua orang saudara Suma juga cepat beraksi dan merobohkan beberapa orang.
Akan tetapi, mereka segera hanyut oleh banjir
manusia yang saling dorong, karena ada pasukan berkuda yang lewat di situ. Itu
adalah pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi bahaya sewaktu-waktu di pintu
gerbang, siap untuk menerjang keluar. Saking paniknya, rakyat mengira bahwa
itulah pasukan liar dan ganas yang dikabarkan datang, maka mereka tidak ingat
apa-apa lagi, satu-satunya keinginan hanya untuk lari menjauh sehingga
terjadilah dorong-mendorong dan himpit-menghimpit. Biarpun Gak Bun Beng, Suma
Kian Lee dan Suma Kian Bu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi,
namun menghadapi arus manusia yang seperti air membanjir itu, mereka kewalahan
juga. Tentu saja mereka tidak mungkin harus memukul semua orang yang tidak
berdosa itu karena orang-orang itu juga terdorong dan terdesak serta terhimpit
oleh arus manusia.
“Dewi....!”
“Moi-moi....!”
Bun Beng dan Kian Bu berusaha sekuat mungkin
untuk mencegah Syanti Dewi terseret oleh arus manusia, namun tidak mungkin
lagi. Manusia sudah berdempet-dempet, tidak ada lagi tempat untuk kaki berpijak
dan mau tidak mau mereka terbawa oleh arus manusia dan melihat betapa Syanti
Dewi makin menjauh dari mereka!
“Paman....!” Syanti Dewi menjerit, akan tetapi
jeritannya bercampur dengan jeritan-jeritan wanita dan kanak-kanak lain yang
terjepit dan terhimpit. Keadaan menjadi panik dan geger, seolah-olah dunia
sedang kiamat.
Karena keadaan gelap, maka kini topi caping
buatan Kian Bu yang dipakai oleh Syanti Dewi hampir tidak tampak lagi dan
tiba-tiba saja topi itu lenyap.
“Dewi....!”
“Moi-moi...! Moi-moi...!” Kian Bu
berteriak-teriak, memaksa dengan tenaganya untuk mendekat, akan tetapi
setibanya di tempat di mana yang terakhir kali dia melihat Syanti Dewi tadi,
gadis itu sudah tidak nampak bayangannya lagi.
Sepasukan tentara yang datang melalui jalan
itu membelah arus manusia. Karena takut para pengungsi itu saling desak memberi
jalan dan keadaan menjadi makin panik. Arus manusia yang tadinya memenuhi
jalan itu terbelah menjadi dua, semua mepet ke tepi jalan di kanan kiri. Bun
Beng terpisah dari dua orang saudara Suma, dia terpaksa terdorong ke kiri
jalan sedangkan dua orang saudara itu di seberang lain dan tak lama kemudian
Bun Beng tidak dapat melihat mereka lagi karena obor-obor yang dibawa para
perajurit tadi sudah menjauh sehingga keadaan menjadi gelap lagi. Dia merasa
khawatir sekali akan diri Syanti Dewi, namun dia maklum bahwa dalam keadaan
seperti itu, tidak mungkin mencari Syanti Dewi. Nanti kalau sudah agak reda dan
dia dapat leluasa bergerak, tentu dia akan bisa menemukan gadis itu.
Betapapun juga, Syanti Dewi bukanlah gadis lemah dan sudah cukup pandai untuk
menjaga diri sendiri. Selain itu, juga dia yakin bahwa Kian Lee dan Kian Bu
tentu juga berusaha keras untuk menemukan gadis itu kembali.
Tiba-tiba seorang wanita setengah tua yang
berada di tempat itu, tidak jauh dari teanpat dia berdiri, menjerit dan roboh.
Dia sudah sejak tadi terhimpit dan tidak dapat keluar dari himpitan manusia.
Karena tidak tahan dia menjerit dan roboh pingsan dalam keadaan masih berdiri di
antara himpitan orang-orang! Melihat ini, tentu saja semua orang berusaha
menjauhkan diri dan Bun Beng cepat mendesak ke depan, menarik dan memanggul
tubuh wanita yang pingsan dan bermuka biru itu keluar darl himpitan dan menuju
ke pinggir sekali di mana orang tidak begitu berdesakan. Orang-orang itu
berdesakan karena mereka hendak berdulu-duluan pergi dari tempat itu mencari
tempat yang lebih aman, tidak tahu bahwa di seluruh kota keadaannya sama saja,
semua orang dalam keadaan panik dan geger.
Bun Beng menurunkan tubuh wanita itu,
memeriksa sebentar lalu memijat beberapa jalan darah sehingga wanita itu
mengeluh dan siuman kembali. Akan tetapi dia tidak dapat berdiri karena
kakinya salah urat dan membengkak, terinjak banyak orang dalam himpitan tadi.
“Ouhhh.... kakiku....” keluhnya dengan muka
pucat dan menahan rasa nyeri dengan menggigit bibirnya. “Terima kasih.... atas
bantuan Tuan....”
“Kau tidak bisa jalan?” Bun Beng bertanya
kepada wanita yang berpakaian seperti pelayan itu.
Wanita itu menggeleng kepalanya.
“Di mana rumahmu? Apakah engkau juga
pengungsi?”
“Bukan, saya adalah pelayan dari gedung di
sana itu....”
“Kalau begitu, mari kuantar ke sana,” kata Bun
Beng tanpa ragu-ragu lagi dan dia lalu memondong tubuh wanita itu dan membawanya
menuju ke gedung yang ditunjuk oleh wanita pelayan itu.
“Ah, engkau sungguh amat baik, Tuan...”
Pelayan itu berkata dengan terharu. Selamanya sejak kecil dia adalah pelayan
yang melayani orang, yang dipandang rendah dan yang selalu harus menghormat
orang lain. Baru sekarang ini dia merasa diperhatikan orang, dianggap sebagai
manusia, ditolong dan orang yang gagah perkasa dan bersikap seperti seorang
bangsawan tinggi biarpun pakaiannya sederhana ini malah tidak ragu-ragu untuk
memondongnya!
“Dalam keadaan seperti ini kita harus
tolong-menolong....” Bun Beng menjawab singkat, mengerti akan perasaan hati
pelayan ini.
Dia terkejut juga ketika tiba di pekarangan
gedung itu. Sebuah gedung yang besar dan megah! Beberapa orang pelayan pria
dan wanita berlari keluar dan mereka menjadi ribut-ribut melihat pelayan
setengah tua itu dipondong orang.
“Eh, Kim-ma, engkau kenapa?”
Mereka itu cepat menyambut dan menggotong
Kim-ma ketika mendengar bahwa Kim-ma mengalami luka karena tergencet arus
manusia. Ada yang mengomel kenapa dalam suasana seperti itu Kim-ma keluar ke
jalan raya! Para pelayan itu menggotong Kim-ma ke dalam dan agaknya sudah
melupakan penolong pelayan itu. Bun Beng juga tidak peduli dan dia sudah akan
keluar lagi ketika tiba-tiba dari dalam keluar empat orang dengan langkah
tergesa-gesa.
Melihat empat orang ini, Bun Beng menjadi
heran karena tentu saja dia mengenal mereka, terutama sekali seorang di antara
mereka, yang bertubuh gendut dan di pinggangnya terdapat sebatang golok besar!
Mereka itu bukan lain adalah empat orang yang pernah ribut di dalam warung mi
dan bertempur melawan pemuda tampan berpedang.
Sementara itu, ketika Si Gendut melihat Bun
Beng, dia terkejut sekali. Tentu saja dia mengenal laki-laki setengah tua ini
yang duduk semeja dengan Tek Hoat. Si Gendut tokoh Tiat-ciang-pang ini menduga
bahwa tentu laki-laki ini pun anak buah Tek Hoat yang dia tahu telah berkhianat
terhadap beng-cu karena pemuda itu bersekongkol dengan pemberontak. Tentu
orang ini pun merupakan mata-mata pemberontak.
“Tangkap mata-mata!” bentaknya sambil mencabut
golok besarnya, diturut oleh tiga orang temannya yang segera mengurung Bun
Beng. Pendekar ini maklum bahwa dalam keadaan sekacau itu, tidak ada gunanya
ribut mulut karena memberi keterangan pun agaknya tidak akan dipercaya oleh Si
Gendut yang berangasan dan bodoh ini.
Empat orang tokoh Tiat-ciang-pang itu bersama
anak buahnya yang berjumlah lebih dua puluh orang, memang menerima tugas dari
Ceng Ceng untuk mencari pemuda laknat musuh besarnya dan sekaligus menyusul dan
menyelidiki Tek Hoat yang tidak dipercayanya. Ketika Si Gendut dan
kawan-kawannya memperoleh kenyataan bahwa Tek Hoat berhubungan dengan
pemberontak, mereka terkejut sekali. Sebagai anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang,
biarpun mereka itu terdiri dari golongan perampok dan pencopet, akan tetapi
mereka benci kepada pemberontak. Maka mereka segera menemui Tek Hoat di dalam
warung itu, menuntut hasil penyelidikan Tek Hoat tentang musuh beng-cu, dan
juga minta pertanggungan jawabnya karena pemuda itu mengadakan hubungan dengan
pemberontak! Maka seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat tidak
sudi melayani mereka dan merobohkan mereka lalu pergi.
Rombongan orang Tiat-ciang-pang ini melakukan
pengejaran dan mereka pun memasukl kota Koan-bun. Meiihat pergolakan di situ,
tanpa ragu-cagu lagi mereka lalu menghubungi Perwira Phang di gedung itu yang
mereka tahu adalah seorang yang setia kepada kerajaan, dan mereka menawarkan
tenaga bantuan mereka! Di tempat itu mereka bertemu dengan banyak orang
kang-ouw yang lihai-lihai dan tentu saja penawaran bantuan empat orang
Tiat-ciang-pang yang mewakili rombongan mereka dua puluh orang itu diterima
baik oleh Perwira Phang. Kemudian mereka disuruh mengatur anak buah mereka
untuk menyelidiki keadaan pasukan asing yang kabarnya mengurung kota Koan-bun
itu. Maka Si Gendut dan teman-temannya keluar dan bertemu dengan Bun Beng yang
mereka sangka mata-mata pemberontak dan langsung mengeroyoknya sambil berteriak
marah.
Akan tetapi tentu saja mereka ini sama sekali
bukan lawan Bun Beng. Pendekar ini membiarkan mereka menerjangnya, lalu
menyambut dengan gerakan kedua tangannya dan dalam beberapa gebrakan saja
mereka roboh terpelanting dan terjengkang. Si Gendut berteriak-teriak dan
ketika Bun Beng sudah melangkah hendak pergi dari pekarangan itu, tiba-tiba
terdengar bentakan-bentakan nyaring dan terpaksa dia berhenti dan menengok.
Terkejut jugalah dia ketika melihat di bawah penerangan lampu-lampu yang
tergantung di depan dan kanan kiri gedung itu, belasan orang yang bergerak
dengan cepat dan sigap sekali mengejarnya dan mengurungnya! Mereka itu terdiri
dari bermacam orang, semuanya laki-laki, ada yang muda dan ada yang tua,
pakaian dan sikap mereka jelas membayangkan orang-orang kang-ouw yang memiliki
kepandaian tinggi.
“Mata-mata pemberontak, menyerahlah engkau!”
bentak seorang di antara mereka yang sudah agak tua namun masih gagah sikapnya.
Bun Beng tercengang karena dia seperti pernah mengenal orang ini akan tetapi sudah
lupa lagi. Sebelum dia menjawab, dua orang di antara mereka sudah melontat
maju dan hendak menangkap kedua lengannya dari kanan kiri. Bun Beng mengerutkan
alisnya dan sekali lengannya bergerak, dua orang itu terlempar lima meter
jauhnya dan terbanting terguling-guling!
Semua orang terkejut sekali menyaksikan
kehebatan tenaga ini. “Kau melawan? Bagus, engkau sudah bosan hidup agaknya!”
Belasan orang itu lalu mencabut senjata masing-masing dan menerjang maju.
Bun Beng melihat bahwa gerakan mereka itu
tidak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak bisa disamakan dengan Si Gendut
dan teman-temannya. Dari gerakan mereka dia tahu bahwa mereka itu rata-rata
memiliki ilmu silat tinggi dan merupakan lawan yang tangguh juga kalau maju
sekaligus sedemikian banyaknya. Dia lalu meloncat dan menggunakan kecepatan
gerak tubuhnya, mencelat ke sana-sini di antara sambaran sinar senjata dan
dalam belasan jurus saja dia sudah mampu membagi tamparan sehingga empat lima
orang kehilangan senjata mereka yang terlempar ke sana-sini.
“Mundur semua....!” Tiba-tiba terdengar
suara melengking nyaring. “Dia bukan lawan kalian, biarkan aku menghadapinya!”
Suara ini nyaring sekali, jelas bahwa pembicaranya, seorang wanita, memiliki
khi-kang yang amat tinggi sehingga mengejutkan hati Bun Beng. Maklum bahwa
dia berhadapan dengan lawan lihai, dia cepat meloncat ke atas, berjungkir
balik dan turun melayang seperti seekor burung di depan sebuah patung singa
yang besar, patung batu yang berada di depan gedung itu dengan maksud bahwa di
tempat itu, dengan punggung terlindung arca besar ini, dia tidak akan dapat
dibokong musuh.
Wanita itu yang baru keluar dari gedung
dengan tangan kosong, bagaikan seekor burung walet saja telah melayang mengejar
Bun Beng dan bagaikan sehelai bulu ringannya, kedua kaki yang kecil bersepatu
indah itu hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun,
menandakan bahwa gin-kangnya sudah mendekati kesempurnaan. Bun Beng merasa
tegang dan siap sedia karena maklum bahwa lawan ini benar-benar hebat bukan
main dan dia pun merasa heran mengapa tempat ini penuh dengan orang-orang
pandai.
Kini mereka berhadapan dan sinar lampu
menerangi tempat itu, memungkinkan mereka untuk saling pandang. Seperti ada
halilintar menyambar dan tepat mengenai kedua orang itu, seketika timbul
perubahan pada wajah Bun Beng dan wanita itu. Bun Beng terbelalak, mukanya
pucat, alisnya berkerut, mulutnya ternganga dan seluruh tubuhnya berkeringat.
Dia terhuyung dan terpaksa menyandarkan diri pada arca singa itu agar tidak
roboh.
Wanita itu amat cantik biarpun usianya sudah
mendekati empat puluh tahun, sedikitnya tiga puluh lima tahun. Pakaiannya
indah, sikapnya agung, sepasang matanya seperti bintang dan bersinar tajam
sekali, gerak-geriknya gesit kuat namun halus. Akan tetapi pada saat itu, dia
pun memandang pucat, matanya terbelalak, tubuhnya menggigil.
“Kau.... kau....?” Bun Beng berhasil
mengeluarkan suara yang gemetar karena seujung rambut pun dia tidak mengira
akan berjumpa dengan wanita ini di tempat itu.
“Kau.... Gak.... Suheng.... aughh....!” Puteri
Milana memejamkan matanya sehingga air mata yang sudah memenuhi pelupuk mata
itu mengalir keluar, napasnya sesak dan lehernya seperti dicekik rasanya, dia
terhuyung, menggerakkan tangan kirinya ke leher dan tentu dia sudah roboh ke
atas tanah kalau saja Bun Beng tidak cepat menyambarnya.
“Milana.... Sumoi....!” Dia berbisik, sejenak
dia mendekap tubuh itu dengan penuh perasaan kasih sayang, dengan penuh
perasaan rindu dendam ke dadanya, seolah-olah dia hendak memasukkan tubuh itu
ke dalam tubuhnya sendiri melalui penekanan itu agar tidak terpisah lagi, air
matanya bercucuran dan dari tenggorokannya keluar bunyi aneh seperti keluhan
seekor binatang yang terluka. Akan tetapi Bun Beng segera sadar akan keadaan
Milana dan tanpa mempedulikan pandang mata terheran-heran dari semua orang
kang-ouw itu, dia memondong tubuh Milana dan melangkah ke arah gedung.
“Tahan....!” Beberapa orang kang-ouw meloncat
dan mengepung dengan pedang di tangan.
“Saudara-saudara, mundurlah! Dia adalah suheng
dari Sang Puteri!” Tiba-tiba orang tua yang pertama kali menegur Bun Beng itu
berseru keras, kemudian menghadapi Gak Bun Beng sambil menjura. “Gak-taihiap,
maafkan saya tadi yang tidak mengenal Taihiap.”
Kini Bun Beng teringat semua.
Pertemuannya dengan Milana seolah-olah membuka tabir yang selama ini menutupi
ingatannya karena dia sudah tidak mempedulikan lagi akan keadaan di
sekelilingnya, tidak mau lagi mengingat-ingat urusan yang lalu.
“Ah, engkau tentu Hoo-ciangkun, pengawal
istana, bukan? Sumoi pingsan dan dia menderita pukulan batin, harus cepat
ditolong,”
“Silakan, Taihiap....”
Pada saat itu muncullah seorang perwira dan
dia inilah Perwira Phang, pemilik gedung itu. Dia tadi pun sudah keluar dan
menyaksikan segalanya dan mendengar percakapan antara Hoo-ciangkun dengan
laki-laki gagah yang memondong Puteri Milana itu, dia pun cepat-cepat
mempersilakan Bun Beng masuk.
Dengan pengerahan sin-kangnya, Gak Bun Beng
menyalurkan hawa hangat untuk membantu Milana yang telah direbahkan di atas
pembaringan itu agar siuman kembali. Mereka hanya berdua di kamar itu karena
para orang kang-ouw tidak ada yang berani tinggal di situ, juga para pelayan
disuruh keluar oleh Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa percakapan antara
mereka setelah Milana siuman nanti tidak boleh didengar oleh lain telinga.
Milana mengeluh lirih, dan begitu membuka
matanya dia memandang ke kanan kiri sambil memanggil, “Suheng.... Gan Bun
Beng....”
“Aku di sini, Sumoi.”
Milana menengok, melihat Bun Beng mendekati
pembaringan lalu menubruk, kedua lengannya merangkul, mukanya disembunyikan ke
atas dada pria yang selamanya dicintanya ini dan dia menangis.
“Suheng, mengapa engkau menghilang selama
belasan tahun ini....?”
Bun Bong menarik napas panjang. “Sumoi, apa
kebaikannya kita saling bertemu?”
“Suheng, aku menderita selama ini....”
“Jangan mengira aku pun hidup bahagia,
Sumoi....”
Hening sejenak, hanya terdengar isak Milana di
atas dada Bun Beng. Gak Bun Beng lupa diri dan dia merangkul, mengelus rambut
yang halus itu, seperti dulu, belasan tahun yang lalu, sudah lama sekali,
ketika dia pun memeluk dan mengelus rambut itu penuh kasih sayang.
“Suheng, kau.... kau kejam....” Milana
terisak.
“Ahh, Milana, mengapa kau bisa berkata
demikian....?”
Bukankah dara kekasihnya itu yang dulu lebih
dulu menikah? Akan tetapi dia tidak tega menuduhnya demikian maka dia
melanjutkan, “Nasib kita yang kejam, Sumoi.... dan.... dan ingatlah, kau sudah
bersuami, tidak baik begini....”
“Akan tetapi aku.... aku....” Milana tidak
melanjutkan kata-katanya dan dengan halus Bun Beng melepaskan tangan mereka
yang saling rangkul itu dan melangkah mundur, aman dari jangkauan tangan
Milana dan mereka kini berdiri saling pandang, sampai lama mereka tidak
mengeluarkan kata-kata. Memang dalam saat seperti itu, kata-kata sudah tidak
ada gunanya lagi karena sinar mata mereka telah saling mengeluarkan seribu satu
macam kata-kata dan mereka sudah dapat saling menangkap isi hati masing-masing.
Mata Milana berkedip-kedip, bibirnya mulai
tsrsenyum manis dan wajahnya tidak pucat lagi. “Gak-Suheng, kau memang nakal.
Mengapa lalu membiarkan diri tenggelam dalam duka dan tidak pernah muncul lagi?
Mengapa ketika bertemu di kota raja kau lantas melarikan diri? Suheng, aku
masih Milana, sumoimu yang dulu itu....”
Bun Beng menggeleng kepalanya. “Sungguhpun
bagiku engkau masih Milana yang dulu, tak pernah berubah sampai aku mati, akan
tetapi.... tidak boleh begitu, Sumoi, suamimu....”
“Hushh, baiklah, kita tidak bicara tentang itu
sekarang ini. Belum waktunya, Suheng, apalagi aku menghadapi tugas berat
menumpas pemberontak. Kita sudah siap. Jenderal Kao sudah siap dengan pasukan
dari kota raja dan dari sisa pasukannya yang melarikan diri dari Teng-bun, dan
pertemuanku denganmu ini sungguh merupakan peristiwa mengagetkan namun juga
membahagiakan, baik bagiku pribadi maupun bagi perjuangan menumpas pemberontak
karena aku memperoleh bantuan yang luar biasa berupa tenagamu, Suheng,
dan....”
Tiba-tiba dua orang berlari memasuki kamar itu
dengan sikap tegang. Mereka itu adalah Perwira Phang pemilik gedung itu dan
Hoo-ciangkun pembantu Milana. “Celaka, rumah ini telah terkurung oleh pasukan
pemberontak!”
“Hemm, bagaimana mungkin mereka tahu? Kita
semua terdiri dari orang-orang sendiri, dan para pelayan pun tidak ada yang
keluar....”
“Ada seorang pelayan wanita tua yang terhimpit
dan kutolong tadi,” tiba-tiba Bun Beng berkata.
“Ah, Kim-ma! Benar juga!” Phang-ciangkun
membanting kakinya. “Kiranya dia telah dibeli oleh pemberontak. Tentu dia yang
membocorkan rahasia bahwa Paduka berada di sini!” katanya kepada Milana.
“Tidak perlu gelisah. Kita dapat mudah
menerjang ke luar. Akan tetapi bagaimana dengan berita pasukan asing itu?”
“Agaknya itu pasukan dari barat yang datang
melalui padang pasir di utara. Kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon sendiri.
Dan kabarnya rumah Kepala Daerah dan markas sudah pula dikurung ukan
pemberontak.”
“Hemm, sudah waktunya bagi kita untuk pergi.
Gak-suheng, kami akan segera keluar dari kota ini untuk bergabung dengan
Jenderal Kao. Harap kau suka ikut dan membantu kami.”
“Tentu saja aku suka membantu, Sumoi.
Akan tetapi aku mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu mencari Syanti
Dewi....”
“Puteri Bhutan? Kiranya engkau yang telah
menolongnya! Bukankah dia berada di Teng-bun dan aku sudah mengutus dua orang
adikku....”
“Aku sudah berjumpa dengan kedua Sute Kian Lee
dan Kian Bu, dan sebelum mereka datang aku sudah menyelamatkan puteri itu. Kami
berempat tiba di sini dan tadi di dalam keributan, Sang Puteri itu terpisah
dariku, juga kedua orang Sute. Maka aku akan mencari mereka lebih dulu....”
Terdengar suara hiruk-pikuk di luar dan
agaknya para penjaga sudah mulai diserbu pasukan pemberontak yang mengepung.
“Baiklah, waktu tidak ada lagi untuk bicara. Kami pun membutuhkan tenaga
bantuan dari dalam. Sebaiknya kalau Suheng dan dua orang adikku merupakan
tenaga bantuan dari dalam. Kalau bisa menghubungi orang-orang Tiat-ciang-pang
lebih baik, Suheng, mereka adalah bala bantuan yang lumayan bagi kita....”
“Si Gendut tadi....”
“Ya, dan masih banyak lagi. Nah, mari kita
keluar. Suheng, selamat berpisah.... dan....” Karena di situ terdapat banyak
orang, Milana tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya pandang matanya
saja yang penuh arti dapat diterima oleh Bun Beng. Jelas bagi pendekar ini
bahwa Sang Puteri menginginkan agar dia tidak pergi menyembunyikan diri lagi,
agar mereka dapat bercakap-cakap lebih lanjut. Dia mengangguk dan mereka semua
segera lari keluar setelah Puteri Milana dan para perwira menyambar
barang-barang yang berharga bagi mereka agar jangan terjatuh ke tangan
pemberontak.
Di luar terjadilah pertandingan yang berat
sebelah. Banyak sudah para penjaga, yaitu para perajurit anak buah Perwira
Hoo, roboh oleh pasukan pemberontak yang selain jumlahnya dua puluh orang
lebih, juga rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi begitu Milana,
Bun Beng dan orang-orang kang-ouw itu keluar dan menerjang, mereka mawut, roboh
dan terlempar ke sana-sini seperti pohon-pohon tumbang diterjang sekawanan
gajah mengamuk. Dengan amat mudah Milana bersama para pengikutnya merobohkan
semua pemberontak, lalu lari ke luar dan menghilang di dalam kegelapan malam.
Bun Beng juga merobohkan beberapa orang lalu meloncat dan lenyap dari situ,
jantungnya masih berdebar dan perasaan hangat masih memenuhi hatinya oleh
pertemuan yang tidak terduga-duga dengan wanita bekas kekasihnya itu.
***
Dapat dibayangkan betapa khawatir hati Kian Bu
melihat betapa Puteri Syanti Dewi kini tidak kelihatan lagi. Tadinya dia masih
dapat melihat topi caping buatannya itu yang dapat dijadikan tanda di mana
adanya Sang Puteri, akan tetapi kini tanda itu pun lenyap pula ditelan
kegelapan dan ditelan arus manusia.
“Celaka, Lee-ko, kita harus mengejarnya!”
“Tenanglah, Bu-te. Kulihat tadi dia bergerak
mengikuti arus ini, mari kita maju terus ke sana,” jawab Kian Lee.
Kian Bu menjadi tidak sabar karena cemasnya.
Dia menjadi kasar dan dengan nekat dia mendorong sana-sini di antara
orang-orang itu. Melihat sikap adiknya, Kian Lee menggeleng kepala, akan tetapi
agar jangan sampai tertinggal dan terpisah dari adiknya pula, dia pun terpaksa
menggunakan kedua tangannya untuk membuka jalan sehingga ke mana pun kedua
orang muda ini bergerak, orang-orang di depannya berteriak-teriak dan terdorong
ke kanan kiri, tidak kuat menahan dorongan tangan kedua orang muda yang amat
kuat itu.
Namun, sampai pagi kedua orang muda itu masih
belum berhasil menemukan Syanti Dewi sehingga tentu saja mereka berdua,
terutama sekali Kian Bu, menjadi sangat gelisah. Orang-orang tidaklah
berdesak-desakan seperti tadi lagi dan keduanya dapat mengaso dan duduk di tepi
jalan yang masih penuh orang hilir mudik.
“Jangan gelisah, Bu-te. Tentu Suheng juga mencarinya,
mungkin mereka berdua sudah berkumpul kembali, tinggal kita yang harus mencari
mereka.”
“Mudah-mudahan begitu, Lee-ko. Akan tetapi
hatiku khawatir sekali. Jangan-jangan hilangnya adik Syanti Dewi memang dibuat
orang. Ingat saja mereka yang mengepung kita ketika keributan itu mulai.”
Sejenak mereka mengaso, kemudian mereka
berjalan lagi. Dalam keadaan cemas dan gemas itu, Kian Bu dan Kian Lee
mendorong lagi ke kanan kiri mencari jalan. Tiba-tiba Kian Lee terkejut sekali
ketika lengan kanannya sedang mendorong orang di sebelah depan, sebuah lengan
lain menangkisnya dengan keras sekali.
“Dessss....!”
Karena tidak mengira bahwa dia akan ditangkis
orang sedemlklan hebatnya, pula karena memang dia hanya menggunakan sedikit
tenaga saja untuk mendorong, Kian Lee terdorong oleh tangkisan itu dan
terhuyung ke belakang, menabrak beberapa orang yang tentu saja menjadi
marah-marah,
“He, apa kau buta?”
“Kurang ajar, jalan begini lebar menabrak
orang!”
Banyak makian dari orang-orang yang sudah cemas
dan marah itu kepada Kian Lee yang masih terhuyung-huyung. Untuk menjaga agar
tidak sampai roboh terpelanting, Kian Lee mengeluarkan tenaganya mencengkeram
ke arah baju orang terdekat, yaitu seorang laki-laki tua bertubuh tinggi kurus
yang memanggul pikulan. Akan tetapi, tiba-tiba orang itu terhuyung ke samping
sehingga cengkeraman Kian Lee luput dan seperti tidak disengaja, pikulannya
menyambar karena tangan Kian Lee yang luput mencengkeram baju tadi.
“Plakkk!”
Kian Lee sudah dapat mengatur keseimbangan
badannya dan dia menarik tangannya sambil menyeringai. Sakit bukan main
punggung tangannya dihantam ujung pikulan tadi. Dia memandang dengan marah,
akan tetapi orang itu seperti tidak tahu apa-apa dan Kian Lee menahan
kemarahannya. Orang itu tidak bersalah, pikirnya, karena dia sendirilah yang
salah mendorong orang. Dia melirik ke depan dan melihat seorang laki-laki
tinggi besar dengan brewok kasar seperti kawat, sedang berdiri bertolak
pinggang dan memandang kepadanya dengan mata melotot. Kian Lee terkejut. Dia
maklum bahwa laki-laki brewok ini dan Si Pembawa Pikulan adalah orang-orang
pandai dan dia heran sekali mengapa di tempat itu terdapat begitu banyak orang
pandai. Dia terkejut ketika mendengar ribut-ribut di sebelah belakangnya. Ketika
dia menoleh, dia melihat Kian Bu sudah bersitegang dengan seorang yang
berpakaian sastrawan, seorang yang usianya kurang lebih empat puluh tahun,
sikapnya halus akan tetapi sinar matanya liar.
Cepat dia menghampiri adiknya yang sudah
mengepal tinju hendak menyerang sastrawan itu.
“Bu-te, jangan berkelahi!”
“Habis dia hendak membokongmu, Lee-ko. Ketika
kau terhuyung tadi, aku melihat dia menghampirimu dan tentu saja aku menangkap
tangannya agar tidak memukulmu.”
“Hemm, bocah lancang. Kalau aku memukulnya,
apakah dia masih bisa bicara denganmu?” Sastrawan itu berkata halus akan
tetapi penuh dengan ejekan.
“Sudahlah, Bu-te, mari kita pergi.” Kian Lee
menangkap tangan adiknya dan diajak pergi dari situ. Dia maklum bahwa kecemasan
hati adiknya karena kehilangan Syanti Dewi membuat adiknya itu menjadi
pemarah. Setelah pergi agak jauh Kian Lee berkata, “Mereka bertiga tadi
bukanlah orang sembarangan.”
“Aku pun menduga begitu, akan tetapi aku tidak
takut!”
Kian Lee tersenyum. “Siapa takut? Akan tetapi,
dalam keadaan kacau seperti ini tidak baik kalau mencari permusuhan. Tugas
klta belum selesai, kita belum menyelidiki sesuatu, bahkan kini kita berpisah
dari Suheng dan Syanti Dewi. Kalau kita melibatkan diri dalam perkelahian yang
tidak ada sebabnya, tentu lebih repot lagi. Hayo kita terus mencari, dekat
pintu depan gedung besar itu banyak orang-orang, siapa tahu mereka berada di
sana.”
“Minggir! Minggir!”
Orang-orang cepat minggir ketika dari dalam
pekarangan gedung itu keluar sebuah kereta berkuda, dikawal oleh selosin
tentara di depan dan selosin lagi di belakang. Kian Lee dan Kian Bu ikut
minggir, akan tetapi ketika tirai kereta tersingkap sedikit, mereka dapat
melihat Si Pemuda tampan berpedang dan seorang laki-laki tua duduk di dalamnya.
Mereka tidak tahu siapa lagi yang berada di dalam kereta itu karena tirainya
sudah tertutup kembali.
“Lee-ko....!” Tiba-tiba Kian Bu memegang
lengan kakaknya. “Kau melihat pemuda itu?”
Kian Lee mengangguk. “Dia muncul di mana-mana,
sungguh aneh.”
“Ingat sikapnya kepada Syanti? Jangan-jangan
dia yang menculiknya, jangan-jangan Syanti berada di dalam kereta itu!”
“Ah, mungkinkah itu....?”
“Mari kita mengikuti kereta itu, Lee-ko!”
Kian Lee mengangguk dan keduanya lalu
menyelinap di antara orang banyak, mengikuti kereta berkuda yang dikawal ketat
itu. Untung jalan terhalang banyak orang sehingga kereta itu tidak terlalu
cepat jalannya dan dapat diikuti terus oleh mereka yang harus menyelinap ke
kanan kiri agar jangan menabrak orang lain. Kereta itu menuju ke sebuah rumah
gedung besar sekali yang letaknya di dekat tembok benteng. Itulah rumah kepala
daerah!
Melihat kereta itu memasuki pintu gerbang
halaman gedung, dan karena semua penjaga sibuk menyambut kereta itu dengan
pengawasan ketat sehingga mereka agak lengah, Kian Lee dan Kian Bu
mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat dan memasuki kebun samping gedung
itu, terus menyelinap dan bersembunyi di antara tetumbuhan kembang di tempat
itu, perlahan-lahan mendekati gedung. Melihat besarnya gedung itu, mereka makin
bersemangat karena menyangka bahwa tentu dara yang mereka cari berada di
gedung itu, entah menjadi tamu entah menjadi tawanan. Teringat mereka ketika
pemuda tampan itu menawarkan tempat penginapan kepada Syanti Dewi. Bukan hal
tidak mungkin bahwa ketika terpisah dari mereka, Syanti Dewi tertolong oleh
pemuda berpedang itu dan dibawa ke gedung ini!
Dua orang pemuda itu tentu saja tidak pernah
menduga bahwa mereka telah memasuki tempat yang dijadikan sarang dan pertemuan
oleh para pimpinan pemberontak! Gedung itu adalah milik Kepala Daerah yang pada
saat itu telah tewas dibunuh oleh Tek Hoat, dan keluarganya semua ditahan di
dalam gedung dan dijaga. Pendeknya, tanpa ada yang mengetahuinya, Tek Hoat dan
anak buahnya telah merampas gedung ini dan dijadikan tempat pertemuan dengan
diam-diam dan tentu saja gedung Kepala Daerah itu tidak dicurigai orang.
Ketika itu, di dalam ruangan yang paling dalam
dari gedung itu, tampak beberapa orang sedang duduk berunding. Mereka ini
bukanlah orang-orang sembarangan, karena mereka merupakan puncak pimpinan para
pemberontak dan tokoh-tokoh sakti yang membantu mereka. Seorang yang
berpakaian panglima tinggi duduk memimpin perundingan itu dan mereka semua
sedang mempelajari sebuah peta gambar dengan diterangkan oleh panglima tinggi
itu. Panglima itu bukan lain adalah Panglima Kim Bouw Sin, bekas wakil Jenderal
Kao Liang yang telah memberontak dan menjadi kaki tangan nomor satu dari kedua
orang Pangeran Liong di kota raja! Di belakang panglima ini kelihatan dua orang
pengawalnya yang amat diandalkan, dan yang telah membebaskannya dari tahanan
di Teng-bun tempo hari, yaitu dua orang kakek kembar Siang Lo-mo! Dua orang
kakek kembar ini oleh Pangeran Liong Bin Ong sendiri dikirim ke Teng-bun untuk
mengepalai pembebasan Kim Bouw Sin dan selanjutnya diangkat sebagai pengawal
pribadi panglima yang amat penting bagi gerakan pemberontakan itu. Juga
terdapat beberapa orang perwira pembantu yang mulai memperoleh tugas dan
petunjuk dari Panglima Kim Bouw Sin untuk mengamati gerakan pemberontakan
mereka yang dianggap sudah matang untuk mulai digerakkan. Akan tetapi mereka
sedang bingung juga menghadapi munculnya pasukan liar secara tiba-tiba itu.
Mereka sedang merundingkan soal pasukan liar
itu ketika pengawal datang mengiringkan Tek Hoat dan orang tua yang duduk di
dalam kereta. Semua orang bangkit berdiri lalu memberi hormat dengan berlutut
sebelah kaki ketika orang tua itu masuk. Kiranya orang ini bukan lain adalah
Pangeran Liong Khi Ong, orang ke dua dari biang keladi pemberontak!
Kini lengkaplah tokoh-tokoh pemberontak
berkumpul dan berunding di situ. Panglima Kim Bouw Sin secara lengkap
melaporkan keadaan mereka kepada pangeran tua itu.
“Seribu orang pasukan liar itu menurut hasil
penyelidikan adalah pasukan dari barat dan kabarnya dipimpin oleh Raja Tambolon
sendiri yang belum kelihatan muncul. Kami masih sangsi harus mengambil tindakan
apa dan kami semua menanti keputusan dari Paduka Pangeran,” Kim Bouw Sin
berkata.
“Hemm, orang-orang liar itu menambah repot
saja,” Liong Ki Ong berkata. “Padahal menurut penyelidikan, Milana juga sudah
bergerak, bahkan wanita itu sudah meninggalkan kota raja secara diam-diam,
kabarnya mengerahkan orang-orang pandai untuk menghadapi gerakan klta. Juga
berita rahasia menyampaikan bahwa pasukan istimewa dari kota raja sudah
diberangkatkan. Hal ini harus kita selidiki dan jangan sampai kita kedahuluan
oleh mereka,” Liong Ki Ong berkata.
“Selain itu, juga Jenderal Kao Liang telah
mengirim beberapa orang penyelidik ke Koan-bun sini dan ke Teng-bun, maka kita
harus waspada,” kata pula Kim Bouw Sin. “Kabarnya, ada beberapa orang yang
mencurigakan telah berada di kota ini, akan tetapi kami telah menyebar
mata-mata sehingga Paduka tidak perlu khawatir.”
“Yang mengkhawatirkan hanyalah gerakan Puteri
Milana dan datangnya pasukan liar dari Tambolon itu,” kata Liong Khi Ong.
“Bagaimana pendapatmu, Tek Hoat?” Pangeran ini selalu mengandalkan nasehat
pembantunya yang amat lihai ini.
“Sudah jelas bahwa Puteri Mllana tentu
menggunakan tenaga orang-orang pandai dari golongan kang-ouw. Harap Paduka
jangan khawatir karena saya pun sudah mengerahkan bantuan kaum hek-to. Sayang
saya tidak dapat mengerahkan seluruh anggauta kaum sesat karena hanya sebagian
saja yang tunduk kepada saya, akan tetapi jumlah mereka cukup banyak. Sebagian
sudah saya suruh, bersiap-siap di kota raja menanti saat penyerbuan dan
sebagian lagi saya suruh bersiap-siap di sekitar Teng-bun. Adapun puteri itu
sendiri, biarpun kabarnya amat lihai, namun saya tidak jerih menghadapinya,
apalagi di sini terdapat Siang Lo-mo.”
Dua orang kakek kembar itu mengangguk-angguk.
“Dia hebat tapi kami tidak takut,” kata Pak-thian Lo-mo.
“Dengan ilmu kami yang baru, sekali ini kami
sanggup mengalahkannya,” kata pula Lam-thian Lo-mo.
“Bagus! Kalau begitu kita tidak perlu
mengkhawatirkan orang-orang kang-ouw yang membantu Puteri Milana. Akan tetapi
bagaimana dengan pasukan liar itu? Biarpun Tambolon pernah bersekutu dengan
kita, akan tetapi kedatangannya ini hanya mengacaukan rencana kita saja.
Bagaimana baiknya?”
“Pasukannya hanya seribu orang, kalau
menggempurnya sekarang saya kira tidak banyak kesukaran. Dalam waktu sehari
saja saya sanggup membasmi mereka semua, cukup mengerahkan lima ribu orang
saja!” Kim Bouw Sin berkata.
“Saya kira itu bukan merupakan siasat yang
baik, Kim-ciangkun,” kata Tek Hoat. “Dalam keadaan seperti sekarang ini,
menghadapi kekuatan kerajaan yang besar dan kuat, kita harus menyimpan tenaga,
bahkan kalau perlu menambah kekuatan kita. Tambolon datang pada saat kacau ini
tentu hanya untuk mencari kesempatan baik guna mengeduk keuntungan, maka
mengapa kita tidak bujuk saja mereka? Biarlah kita suruh mereka menyerbu dusun
Ang-kiok-teng dan menggempur pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Thio Luk
Cong dengan janji menyerahkan dusun itu kepadanya! Ini hanya untuk sementara
saja, biar anak buahnya puas merampok membunuh dan memperkosa. Selain hal ini
melemahkan kedudukan musuh, juga kita mendapatkan bantuan mereka. Kelak, apa
sih sukarnya menendang mereka keluar kalau urusan sudah selesai?”
“Bagus!” Pangeran Liong Khi Ong menepuk-nepuk
tangan. “Bagus, Tek Hoat. Akalmu ini memang hebat. Bagaimana pendapatmu,
Ciangkun?”
Liong Khi Ong bertanya sambil memandang
kepada semua orang dan Panglima Kim bersama semua perwira mengangguk-angguk.
Memang siasat itu baik sekali.
“Kalau begitu, sekarang juga hubungilah
Tambolon, Kim-ciangkun. Sebaiknya kalau engkau sendiri yang berhadapan dengan
dia agar dia percaya penuh.”
Kim Bouw Sin mengangguk lalu bersama dua
orang kakek kembar yang menjadi pengawalnya dan beberapa orang perwira
meninggalkan tempat itu. Mereka langsung menuju ke benteng dan naik ke benteng
itu mengatur siasat. Seorang kurir diutus menyerahkan surat panggilan kepada
pimpinan pasukan liar yang bertenda di luar kota itu. Tak lama kemudian
muncullah tiga orang penunggang kuda yaitu seorang komandan pasukan liar yang
dikawal oleh dua orang tinggi besar. Mereka ini dipersilakan turun di atas
jembatan gantung, lalu komandan pasukan liar yang rambutnya awut-awutan dan
dahinya diikat kain putih itu melangkah maju dengan kasar dan sombong. Dia
menoleh ke kanan kiri dan memandang rendah kepada barisan penjaga, kemudian
bertemu di tengah jembatan dengan Panglima Kim Bouw Sin. Begitu bertemu, dia
bertolak pinggang dan suaranya keras dan kasar sekali ketika dia bertanya,
“Urusan apakah yang hendak dibicarakan?” Dia mengerti bahasa Han, akan tetapi
bahasa itu diucapkan dengan kaku dan tidak memakai banyak peraturan sopan
santun.
Kim Bouw Sin mendongkol. Orang ini hanyalah
seorang perwira pasukan liar yang besarnya hanya seribu orang. Kalau dia
menghendaki, betapa mudahnya membasmi mereka habis! Dan orang ini bersikap
demikian kasar kepadanya, padahal dia adalah panglima besar barisan
pemberontak yang kelak tentu akan menjadi panglima besar dari pemerintah baru
di kerajaan! Sekarang pun dia telah mengepalai barisan yang tidak kurang dari
lima laksa orang banyaknya!
“Apakah engkau komandan dari pasukan yang
berada di luar itu?” Panglima Kim Bouw Sin bertanya.
“Benar, akulah yang diserahi pimpinan atas
pasukan maut kami itu!” jawab Si Komandan dengan bangga.
“Kalau begitu, kami persilakan Ciangkun untuk
masuk benteng agar kita dapat mengadakan perundingan.”
“Ha-ha, apa lagi yang hendak dirundingkan?
Tugasku hanya memimpin pasukan, istirahat menggempur, membasmi, menawan atau
membunuh. Kami sedang menanti perintah, begitu perintah tiba kami akan
menghancurkan dan membumihanguskan kota ini, ha-ha-ha!”
Tentu saja Kim Bouw Sin menjadi makin marah.
Kalau saja tidak ingat akan perintah Pangeran Liong Khi Ong, tentu dia sudah
menyuruh tangkap dan bunuh komandan pasukan asing ini.
“Kalau begitu, dengan siapakah kami harus
berunding?”
“Dengan pimpinan kami, dengan raja kami yang
sakti dan yang sudah siap menghancurkan kota ini.”
“Hemm, dengan Raja Tambolon? Kalau begitu, di
mana adanya beliau?”
Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan
beberapa orang penjaga di pintu benteng itu terlempar ke kanan kiri. Muncullah
tiga orang laki-laki dan seorang di antara mereka menudingkan ibu jari kiri ke
hidungnya sendiri sambil berkata, “Inilah aku Raja Tambolon!”
Kim Bouw Sin terkejut sekali dan menoleh.
Orang yang mengaku sebagai Raja Tambolon itu adalah seorang laki-laki tinggi besar
yang bermuka brewok, kelihatan kasar dan kuat, matanya terbelalak lebar penuh
kebengisan. Biarpun pada saat itu orang ini berpakaian seperti seorang petani
atau buruh kasar namun jelas betapa sikapnya keagung-agungan dan sikap ini
adalah sikap orang yang biasanya ditaati perintahnya. Orang ke dua yang berada
di sebelah kiri Raja Tambolon yang menyamar itu, adalah seorang laki-laki tua
bertubuh tinggi kurus, bersikap angkuh dan pandang matanya seperti pandang
mata seorang guru besar terhadap murid-muridnya, tangan kirinya memegang
sebatang pikulan keranjang kosong di pundak kirinya. Adapun orang ke tiga yang
berusia empat puluh tahunan, termuda di antara mereka, adalah seorang
berpakaian sastrawan miskin dan berada di belakang raja suku bangsa liar itu.
Panglima Kim Bouw Sin bermata tajam dan dapat
mengenal orang. Jelas bahwa tiga orang yang menyamar ini bukanlah orang-orang
biasa dan komandan pasukan liar di depannya itu tertawa sambil memandang
kemudian memberi hormat dengan sigapnya kepada Raja Tambolon, maka dia pun
cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil berkata, “Maafkan kami
yang tidak mengenal sehingga tidak mengadakan penyambutan!”
“Ha-ha-ha!” Raja Tambolon tertawa bergelak.
“Kami pun tidak membutuhkan sambutan melainkan diam-diam menyelinap ke dalam.
Kalian lihat betapa mudahnya kalau kami melakukan gerakan, ha-ha-ha. Engkau
tentu Kim Bouw Sin Tai-ciangkun yang terkenal itu, bukan?”
“Benar, Ong-ya. Dan kami persilakan Ong-ya
untuk masuk ke benteng dan mengadakan perundingan bagi keuntungan kita
bersama.”
“Bagus, bagus! Ha-ha-ha, Kimonga, kautarik
mundur semua pasukan. Kirim gerobak untuk mengambil ransum dari kota ini
dan.... heh-heh-heh, Tai-ciangkun, engkau tentu tidak begitu pelit untuk
memberi sekedar hiburan kepada anak buah pasukanku, bukan? Ha-ha-ha!”
“Jangan khawatir, Ong-ya,” berkata panglima
itu dan mereka lalu memasuki benteng untuk mengadakan perundingan seperti yang
telah direncanakan oleh Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong tadi.
Selagi Panglima Kim Bouw Sin yang dikawal oleh
kedua orang kakek kembar Siang Lo-mo memasuki kamar perundingan di dalam tempat
penjagaan di benteng bersama Raja Tambolon yang dikawal oleh dua orang
pengawalnya yang menyamar sebagai sastrawan dan petani itu, di gedung kepala daerah
yang telah dijadikan sarang para pimpinan pemberontak itu terjadi geger.
Ternyata bahwa tidak hanya bekas gedung Kepala
Daerah ini yang kini telah dikuasai pemberontak dan dijaga oleh pasukan yang
telah menjadi kaki tangan pemberontak, bahkan malam ketika terjadi keributan
itu, pihak pemberontak mempergunakan kesempatan itu untuk bertindak. Bukan
hanya Perwira Phang yang diserbu sehingga Puteri Milana dan yang lain-lain
terpaksa melarikan diri, juga semua perwira yang setia kepada pemerintah disergap
dan dibunuh! Pasukan dikuasai dan mereka yang melawan dibunuh, dan banyak pula
yang melarikan diri. Mereka yang menaluk masih dipergunakan berikut para
perwira mereka yang menaluk sehingga penjagaan tetap dapat dilakukan, hanya
kini dicampur dengan pasukan dari pemberontak, diawasi oleh perwira-perwira
dari pemberontak. Demikian hebatnya pengaruh pemberontak sudah mencengkeram
Koan-bun yang hanya sepuluh li jauhnya dari Teng-bun, sehingga dalam waktu
semalam saja tanpa banyak perlawanan kota benteng itu telah terjatuh ke tangan
pemberontak yang operasinya dipimpin sendiri oleh Panglima Kim Bouw Sin.
Pengambilalihan kota Koan-bun itu terjadi
diam-diam dan dengan amat mudah sehingga pasukan dari Teng-bun hanya tinggal
masuk saja melalui pintu benteng yang sudah dibuka lebar. Dan semua peristiwa
ini ditonton oleh pasukan Tambolon yang berkemah di luar kota sambil
tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi secara liar tanpa melakukan sesuatu karena
mereka menanti perintah dari pemimpin besar mereka, yaitu Raja Tambolon yang
bersama dua orang pengawalnya menyelundup masuk kota Koan-bun. Maka ketika
datang kurir dari Panglima Kim Bouw Sin, komandan pasukan Kimonga yang datang
memenuhi undangan itu tidak berani mengambil keputusan apa-apa.
Tentu saja semua peristiwa ini diketahui
dengan baik oleh Puteri Milana dan Jenderal Kao Liang. Akan tetapi mereka tidak
mau mengambil tindakan, bahkan membiarkannya saja karena merasa belum tiba
waktunya. Pada saat itu, Jenderal Kao sedang menyusun kekuatan dan diam-diam telah
melakukan persiapan-persiapan untuk menumpas pemberontak dan sekaligus membasmi
pasukan liar pimpinan Raja Tambolon yang telah muncul di tempat itu. Pasukan
Tambolon ini terdiri dari pasukan inti, pasukan pilihan dan anggautanya terdiri
dari bermacam suku bangsa, campuran dari suku bangsa Tibet, Mongol, Turki dan
ada pula orang Han bekas anggauta Pek-lian-kauw. Namun mereka itu rata-rata
adalah orang-orang yang liar dan ganas, pandai berkelahi dan berani mati.
Sementara itu, kegegeran pagi hari itu di
gedung Kepala Daerah disebabkan oleh Kian Lee dan Kian Bu. Seperti kita
ketahui, dua orang kakak beradik itu berhasil menyelundup masuk ke taman bunga
gedung itu dan diam-diam mereka menghampiri gedung dan terus saja mereka
menyelinap masuk melalui pintu belakang dan ubek-ubekan mencari Syanti Dewi!
Mereka telah menangkap pelayan sampai lima orang banyaknya yang mereka paksa
mengaku, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang tahu tentang
Syanti Dewi. Terpaksa mereka menotok pingsan para pelayan itu dan terus masuk
makin dalam dengan maksud mencari Syanti Dewi atau menyelidiki pemuda berpedang
dan orang tua yang naik kereta tadi.
Ketika mereka tiba di gudang belakang mereka
mendengar keluh-kesah dan tangis dari dalam gudang itu. Kian Bu dan Kian Lee
meloncat ke atas genteng dan mengintai. Tampaklah oleh mereka isteri kepala
daerah dan keluarganya yang dikumpulkan menjadi satu di tempat itu. Mereka
hanya saling pandang akan tetapi tidak mampu melakukan sesuatu.
“Beginilah perang.” Kian Lee berbisik. “Betapa
kejam dan jahatnya!”
Ketika mereka turun, tiba-tiba terdengar jerit
wanita tertahan dari sebuah kamar belakang dekat gudang. Kian Bu yang menyangka
bahwa suara itu mungkin suara Syanti Dewi, sudah cepat mencelat dan mengintai
dari celah jendela kamar itu, diikuti oleh Kian Lee. Apa yang tampak oleh
mereka membuat Kian Bu hampir saja mendobrak jendela kalau tidak cepat
lengannya ditangkap oleh kakaknya. Seorang laki-laki berpakaian perwira
kelihatan sedang memperkosa seorang wanita muda yang melihat pakaiannya
tentulah keluarga dari kepala daerah tadi!
“Diamlah, kalau aku mau, betapa mudahnya
membunuhmu sebagai anggauta keluarga yang melawan kami. Diam!”
Kian Lee menarik tangan Kian Bu menjauh dari
situ. Muka mereka merah sekali, sepasang mata Kian Bu mengeluarkan sinar berapi
dan sampai lama mereka duduk berlindung di belakang bangunan untuk
menenteramkan hati yang bergolak panas. Tak lama kemudian, tampak perwira tadi
keluar dari kamar itu. Kian Lee tidak dapat mencegah adiknya memungut sebuata
batu sebesar kepalan tangan dan sekali menggerakkan tangan, batu itu menyambar
dan tepat mengenai pelipis perwira itu. Tanpa sempat mengeluarkan teriakan,
perwira itu terjungkal dengan pelipis pecah dan tentu saja dia tewas seketika!
Terdengar suara aneh di dalam kamar itu dan ketika mereka cepat mengintai lagi,
mereka melihat wanita muda itu dengan tubuh telanjang bulat sudah rebah
telentang di atas lantai dan sebatang gunting menancap di antara buah dadanya
yang masih muda. Wanita itu telah membunuh diri!
“Perang.... akibat perang....” Kian Lee
mengeluh.
“Bedebah dia! Bukan akibat perang Lee-ko. Di
waktu damai sekalipun ada saja manusia keji yang melakukan perbuatan biadab
seperti ini!”
“Benar, Bu-te, akan tetapi tidaklah sebanyak
di waktu perang. Semua itu terjadi karena terbuka kesempatan, dan di waktu
perang terbuka segala macam kesempatan bagi orang-orang yang batinnya lemah
sehingga mudah ia menurutkan nafsu jahat melakukan hal-hal yang biadab seperti
ini. Engkau tentu sudah membaca tentang perang sejak dahulu kala, pembunuhan
kejam tanpa sebab tertentu, perampokan semena-mena, perkosaan yang biadab,
semua terjadi dalam perang. Di waktu damai, membunuh manusia pun akan
berurusan dengan yang berwajib, akan tetapi di waktu perang, membunuh
sebanyak-banyaknya bukan apa-apa, bahkan makin banyak makin baik, makin besar
jasanya!”
“Perang! Phuh, muak aku, Lee-ko!”
“Hemm, kau lupa apa yang menyebabkan kita
berdua berada di sini?”
“Ya, sebabnya adalah pemberontakan.”
“Perang juga!”
“Kita terseret mau tidak mau karena kita
membela Enci Milana.”
“Dan Enci Milana terseret karena hendak
membela kerajaan.”
“Dan kerajaan membela siapa?”
“Aha, membela diri sendiri tentunya, membela
kedudukannya. Pemerintah mana yang tidak akan membela kedudukannya, Bu-te?
Semua pemerintah di dunia ini, yang sedang berkuasa, tentu tidak akan rela
begitu saja kalau ditentang, dan setiap penentangnya dianggap pemberontak dan
akan dibasmi oleh pemerintah itu.”
“Hemm, siapakah pemerintah itu, Lee-ko?”
“Pemerintah? Tentu saja kaisar dan para
pembesarnya.”
“Jadi orang-orang juga, bukan? Orang-orang
yang telah memperoleh kedudukan tinggi, tentu saja mempertahankan
kedudukannya. Dan siapakah yang memberontak?”
“Yang memberontak sudah jelas adalah kedua
orang Pangeran Liong dan para pembantunya.”
“Juga orang-orang yang tidak mendapat bagian,
atau orang-orang yang tidak puas dengan kekuasaan mereka sekarang ini, dan
ketidakpuasan itu tentulah karena mereka berada di bawah, bukan? Hemm,
andaikata pemberontakan mereka berhasil, tentu mereka akan berbalik menjadi di
atas dan memperoleh kekuasaan, Lee-ko, dan merekalah yang menjadi
pembesar-pembesar wakil pemerintah.”
“Ya, dan tentu timbul pula mereka yang tidak
puas karena tidak mendapat bagian tadi, karena iri dan ingin di atas. Maka
tidak akan ada habisnyalah pemberontakan dan peperangan ini, Bu-te!”
Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya. “Manusia
memang gila!”
“Kita juga. Kita juga manusia dan kita
sekarang pun terlibat!”
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan
muncullah belasan orang perajurit. “Tangkap mata-mata!”
“Jangan sampai lolos!”
“Bunuh! Dia telah membunuh Kok-ciangkun!”
“Ada pelayan-pelayan yang pingsan!”
Kian Lee dan Kian Bu terkejut. Karena keenakan
bercakap-cakap tadi mereka kurang waspada, sehingga ketahuan oleh penjaga yang
segera mengajak teman-teman mengepung mereka. Kian Lee dan Kian Bu meloncat
dengan niat untuk melarikan diri keluar dari gedung itu. Akan tetapi para
perajurit pemberontak itu menerjang mereka dan dengan cepat kedua orang kakak
beradik itu menggerakkan kaki tangan dan enam orang perajurit berpelantingan ke
kanan kiri!
“Bu-te, lari....!” Kian Lee berseru kepada
adiknya karena dia khawatir bahwa adiknya yang suka bergurau dan suka menggoda
orang, suka berkeiahi pula itu akan memperpanjang waktu pertempuran di situ,
padahal tempat itu adalah tempat yang amat berbahaya, sarang dari para
pimpinan pemberontak. Agaknya sekali ini Kian Bu juga maklum akan bahaya, maka
dia cepat melompat mengejar kakaknya setelah kembali dia merobohkan dua orang
pengeroyok terdepan.
Sisa para perajurit pemberontak itu mengejar,
akan tetapi tentu saja mereka jauh kalah cepat oleh Kian Lee dan Kian Bu yang
sudah meloncat ke bagian belakang dari kompleks gedung besar itu. Mereka
maklum bahwa lari melalui depan amat berbahaya.
Akan tetapi, begitu tiba di halaman belakang,
mereka bertemu dengan banyak perajurit yang dipimpin oleh pemuda berpedang!
“Huh, kiranya kalian mata-mata!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Tek
Hoat.
“Dan engkau anjing pemberontak!” Kian Bu
memaki. Memang dia sudah tidak senang dan benci kepada pemuda ini semenjak
dia hampir ditabrak oleh kudanya, dan baru sekaranglah dia teringat akan pemuda
ini yang pernah menculik Jenderal Kao. “Kiranya engkau Si Penculik itu!”
Bentakan Kian Bu ini pun menyadarkan Kian Lee
dan marahlah pemuda ini. Tak disangkanya bahwa pemuda yang kelihatan sopan dan
gagah itu ternyata adalah pemuda kaki tangan pernberontak yang pernah menculik
Jenderal Kao. Kini dia pun teringat dan cepat dia menerjang maju pula bersama
Kian Bu.
Tek Hoat yang terlalu percaya kepada
kepandaiannya sendiri, biarpun dia maklum bahwa dua orang pemuda ini lihai,
memandang rendah. Apalagi dia masih belum ingat bahwa dua orang ini adalah mereka
yang dulu pernah membela Jenderal Kao. Terlalu banyak dia berhubungan dengan
orang-orang pandai dalam pekerjaannya membantu Pangeran Liong sehingga dia lupa
kepada dua orang pemuda ini. Akan tetapi begitu mendengar Kian Lee menyebutnya
penculik, dia terkejut dan mengingat-ingat. Seketika teringatlah dia akan dua
orang pemuda yang dulu pernah membantu Jenderal Kao ketika dia dan Siang Lo-mo
menyerbu rombongan jenderal itu.
“Aihh, jadi kaliankah mereka itu?” bentaknya
sambil mengerahkan kedua tangannya dengan tenaga sin-kang untuk menangkis
pukulan Kian Lee dan Kian Bu.
“Duk! Plakkk!”
“Ahhhh....!” Tubuh Tek Hoat terlempar ke
belakang dan dia merasa sambungan lengannya hampir terlepas. Demikian dahsyat
pukulan-pukulan yang ditangkisnya tadi, pukulan yang mendatangkan hawa dingin
dan tentu sudah melukai sebelah dalam dadanya melalui tangkisannya kalau dia
tidak cepat-cepat bergulingan sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melindungi tubuh sebelah dalam. Dia sudah meloncat lagi dan mencabut
Cui-beng-kiam!
Sementara itu, ketika Tek Hoat terlempar dan
bergulingan, para perajurit sudah menerjang dua orang pemuda itu, dibantu oleh
beberapa orang berpakaian preman yang merupakan kaki tangan Tek Hoat dan
bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik. Ilmu silat mereka ini tentu saja
lebih tinggi daripada para perajurit, akan tetapi dengan mudah Kian Bu dan Kian
Lee menyapu mereka seperti petani membabat rumput saja. Melihat Tek Hoat
mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan hawa menyeramkan, dua orang saudara
itu maklum bahwa itu adalah sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, maka mereka
cepat mengulur tangan menyambut serangan para perajurit bertombak dan sambil
menendangi mereka, Kian Lee dan Kian Bu berhasil merampas dua batang tombak
bergagang besi.
“Mundur semua, kurung saja mereka!” Tek Hoat
membentak marah sekali ketika melihat betapa para perajurit dan kaki tangannya
sama sekali tidak berdaya menghadapi dua orang pemuda itu. Semua perajurit
lalu mundur dan mengurung dengan senjata ditodongkan ke depan. Jumlah mereka
banyak sekali, membuat dua orang kakak beradik itu memandang khawatir.
Akan tetapi Tek Hoat tidak memberi kesempatan
kepada mereka untuk mencari jalan lari karena dia sudah mengeluarkan suara
melengking yang menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ kecuali
Kian Lee dan Kian Bu, lalu tubuhnya mencelat ke depan didahului oleh sinar
pedang Cui-beng-kiam yang menyeramkan. Pedang ini adalah pedang ciptaan
mendiang Cui-beng Koai-ong, datuk Pulau Neraka yang seperti iblis, maka
dibuatnya juga dengan cara mujijat dan entah sudah minum berapa banyak darah
manusia, sudah menghisap berapa banyak nyawa korbannya sehingga kalau
dipergunakan, pedang itu mengeluarkan hawa mujijat yang amat menyeramkan.
“Sing.... sing.... tranggg.... krek!
Krek....!”
Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali ketika
tombak rampasan mereka patah ketika bertemu dengan sinar pedang di tangan lawan
itu. Tek Hoat tersenyum mengejek dan terus menyerang dengan gencar, pedang
Cui-beng-kiam di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang dahsyat
menyambar-nyambar.
Namun dua orang lawannya itu adalah
putera-putera dari Pulau Es yang sejak kecil telah digembleng oleh orang tua
mereka yang sakti. Maka Kian Lee dan Kian Bu sedikit pun tidak menjadi gentar
biarpun mereka maklum bahwa lawan mereka ini bukan orang sembarangan melainkan
seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memegang sebatang pedang yang
ampuh dan mujijat pula. Tanpa bersepakat lebih dulu mereka sudah tahu bagaimana
caranya menghadapi lawan yang berpedang mujijat sedangkan mereka sendiri hanya
memegang potongan tombak! Cepat mereka mengeluarkan ilmu mereka dan
mengerahkan tenaga, menggunakan keringanan tubuh yang luar biasa sehingga tubuh
mereka kini bergerak mencelat ke sana sini seperti dua ekor burung walet yang
amat ringan beterbangan di antara sambaran sinar pedang Cui-beng-kiam,
kadang-kadang menggunakan tombak buntung mereka untuk menusuk dan menotok
jalan darah!
“Ahhh....!” Tek Hoat berseru kaget sekali. Dia
juga mengeluarkan kecepatannya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar
pedang, akan tetapi menghadapi pengeroyokan dua orang yang sama sekali tidak
dapat dicium oleh sinar pedangnya itu, yang mengelak ke sana-sini amat cepatnya
dan tidak pernah mau menangkis pedang dengan tombak mereka, kemudian sambil
mengelak, ujung tombak buntung mereka memasuki lowongan antara gerakan pedang
di waktu menyerang untuk melakukan penotokan jalan darah yang amat berbahaya,
perlahan-lahan Tek Hoat mulai terdesak! Hampir saja Tek Hoat yang selama ini
menganggap diri sendiri paling pandai di dunia, bahkan Siang Lo-mo sendiri
mengaku kelihaiannya, tidak percaya bahwa dia sampai bisa terdesak, padahal dia
memegang Cui-beng-kiam sedangkan dua orang lawannya hanya memegang tombak
buntung. Mana mungkin ini? Dengan penasaran dia mengeluarkan pekik
mengerikan, pekik yang mengandung khi-kang luar biasa sehingga beberapa orang
perajurit yang terlampau dekat terjungkal pingsan, kemudian dia mengeluarkan
ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong
dan Bu-tek Siauw-jin secara bergantian.
Namun sia-sia belaka. Sungguhpun Kian Lee dan
Kian Bu terkejut menyaksikan gerakan yang bermacam-macam dan kesemuanya amat
luar biasa itu, namun dengan ilmu silat mereka yang kokoh kuat dan bersih dari
Pulau Es, mereka dapat menandingi gerakan lawan dan selalu dapat mengelak
sambil mengirim tusukan-tusukan kilat. Mereka terus mendesak Tek Hoat dan
setiap kali ada perajurit atau pembantu Tek Hoat berani maju, dua orang maju,
roboh dua orang, empat orang maju roboh pula semua, bahkan pernah sekaligus
delapan orang roboh oleh dua orang pemuda lihai ini sehingga akhirnya tidak ada
lagi yang berani maju melainkan mengurung dan berteriak-teriak sambil
mengacung-acungkan tombak dan golok.
Tek Hoat menyesal sekali mengapa dua orang
pembantunya yang paling diandalkan, yaitu Pak-thian Lo-mo, pada saat itu
mengawal Panglima Kim Bouw Sin mengadakan perundingan dengan Raja Tambolon.
Kalau berada di situ, tentu dia dibantu oleh Siang Lo-mo akan dapat menawan dua
orang pemuda hebat ini.
“Bu-te, mundur ke jembatan!” Tiba-tiba Kian
Lee berseru dan tombak buntungnya diputar cepat melakukan penusukan kilat
bertubi-tubi ke arah sepasang mata lawan. Tek Hoat terkejut sekali dan karena
khawatir menghadapi serangan aneh yang amat berbahaya itu dia memutar
pedangnya di depan mukanya untuk melindungi matanya yang terus diserang oleh
ujung tombak buntung. Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang saudara Suma
untuk mundur ke jembatan yang merupakan jalan terakhir di taman belakang menuju
ke tembok yang mengurung kompleks gedung. Kalau dapat melewati jembatan sungai
buatan kecil di taman itu mereka akan dekat dengan dinding dan sekali melompat
melewati dinding tentu akan berada di luar dan mudah melarikan diri.
Akan tetapi, tiba-tiba bayangan yang amat
cepat gerakannya, bahkan seperti dilontarkan saja, melayang dari dinding itu
dan tahu-tahu telah tiba di atas jembatan itu. Semua orang terkejut
menyaksikan betapa ada orang dapat melohcat dari dinding ke jembatan bagitu
saja! Tek Hoat sendiri tidak mengenal orang ini, juga semua perajurit tidak ada
yang mengenalnya. Sebaliknya, Kian Lee dan Kian Bu juga belum pernah melihat
wanita yang buruk rupanya ini. Wajah wanita ini buruk sekali untuk ukuran
wanita, serba kasar dan serba besar dan kaku, pantasnya wajah seorang
laki-laki kasar yang tidak tampan. Rambutnya riap-riapan sudah bercampur uban
dan sekiranya buah dadanya tidak menonjol dan tampak membusung di balik bajunya
yang panjang itu tentu dia akan disangka laki-laki. Tangan kanannya memegang
sebatang tongkat akar pohon yang bentuknya seperti ular.
Beberapa lamanya nenek ini berdiri di atas
jembatan, kemudian dia mengeluarkan suara tertawa aneh dan suaranya juga besar
seperti suara laki-laki. Kemudian sekali kedua kakinya bergerak, tubuhnya
sudah mencelat ke depan dan dari atas tongkatnya bergerak menusuk ke arah
ubun-ubun Kian Lee!
“Hehhh!” Kian Lee mengelak sambil berseru
kaget, otomatis tombak buntungnya menusuk dari bawah ke arah lambung nenek
itu, seperti kilat menyambar cepatnya.
“Heiii.... kau hebat juga!” Nenek itu memekik,
tongkatnya menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya.
“Takkk!”
Tubuh nenek itu mencelat lagi, jelas bahwa
menghadapi tenaga Swat-im Sin-kang dari Kian Lee, dia terkejut dan tidak dapat
bertahan selagi tubuhnya berada di udara. Akan tetapi begitu kakinya menyentuh
tanah, dia sudah mencelat tapi ke arah Kian Bu dan tongkatnya membuat gerakan
seperti pedang menyambar ke arah leher Kian Bu dan disambung dengan tusukan ke
arah bawah pusar. Gerakan nenek ini cepat dan kuat, namun Kian Bu yang biarpun
masih muda sudah memiliki tingkat kepandaian hebat itu secara otomatis sudah
menangkis dan berbareng meloncat ke belakang, kemudian tombak buntungnya
membalas dengan serangan maut yang ditujukan ke arah hidung Si Nenek Buruk!
“Huh, luar biasa!” Nenek itu berseru, mencelat
ke belakang lalu melompat lagi ke depan, terus menyerang Kian Bu dan Kian Lee
secara bergantian. Dua orang pemuda itu kini menghadapi serangan-serangan aneh
dari wanita buruk itu dan juga dari Tek Hoat yang menjadi girang dan sudah
memutar pedangnya lagi. Karena terkejut dan bingung melihat gerakan aneh dari
wanita itu, untuk beberapa lamanya Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu terdesak
hebat.
Gerakan wanita itu memang aneh sekali.
Tubuhnya mencelat ke atas dengan kedua kaki berbareng, mencong ke kanan kiri,
depan belakang, bahkan mumbul-mumbul seperti seorang anak kecil bermain-main,
kadang-kadang sampai tinggi sekali dan menyerang dengan tongkatnya dari atas.
Menghadapi gaya serangan yang aneh seperti ini, yang belum pernah dilihatnya,
Kian Lee dan Kian Bu takjub dan terdesak. Juga Tek Hoat menjadi kagum sekali,
juga girang karena nenek yang tidak dikenalnya siapa ini datang-datang terus
membantunya, sehingga dia terbebas dari desakan dua orang muda yang amat lihai
itu.
“Bu-te, mari pergunakan pelajaran terakhir!”
tiba-tiba Kian Lee berseru kepada adiknya.
Kian Bu mengangguk dan tiba-tiba mereka
melontarkan tombak buntung itu ke depan. Kian Lee melontarkan tombaknya ke
arah Tek Hoat dan Kian Bu melontarkannya ke arah nenek buruk. Biarpun hanya
tombak buntung akan tetapi lontaran kedua orang kakak beradik ini tidak boleh
dipandang ringan. Kalau mengenai dinding tebal sekalipun, tombak buntung itu
akan dapat menembus, apalagi tubuh manusia! Tenaga yang mendorong tombak
sehingga meluncur ini adalah tenaga sakti yang membuat tombak meluncur
melebihi anak panah cepatnya.
“Cringg....!”
“Trakkk....!”
Tek Hoat dan nenek itu berhasil menangkis
tombak buntung yang menyambar mereka akan tetapi mereka merasa betapa telapak
tangan mereka yang memegang senjata menjadi panas dan nyeri sehingga mereka
terkejut sekali. Tek Hoat menjadi makin girang melihat dua orang pemuda itu “membuang”
senjata mereka, agaknya mereka sudah putus harapan dan agaknya pelajaran
terakhir adalah melontarkan tombak tadi.
“Ha-ha, itukah pelajaran terakhir kalian?”
ejeknya.
Akan tetapi dia berseru kaget dan cepat
memutar pedang dan meloncat ke belakang ketika Kian Bu sudah menerjangnya
dengan kedua tangan kosong. Dari kedua tangan pemuda itu menyambar hawa yang
amat dingin dan amat panas, yang dingin keluar dari tangan kiri, yang panas
keluar dari tangan kanan. Betapa mungkin ini? Tek Hoat sendiri telah
mempelajari ilmu-ilmu sin-kang dari kitab-kitab peninggalan kedua datuk Pulau
Neraka, bahkan dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin dia telah melatih ilmu
Tenaga Sakti Inti Bumi, akan tetapi baru sekarang dia menghadapi lawan yang
sekaligus dapat menggunakan dua pukulan yang berbeda, bahkan berlawanan tenaga
sin-kangnya, panas dan dingin! Selain kedua pukulan yang mengandung dua hawa
sakti bertentangan atau berlawanan ini, juga gerakan Kian Bu amat cepatnya,
tubuhnya meluncur ke sana-sini seperti kilat!
Melihat adiknya Sudah bergerak, Kian Lee juga
melakukan gerakan yang sama. Tubuhnya mencelat seperti kilat menyambar,
mengimbangi gerakan nenek yang aneh tadi, dan kedua tangannya menyerang dari
kanan kiri, mengeluarkan hawa panas dan dingin secara berbareng sehingga nenek
itu terkejut, berteriak keras dan mencelat mundur.
Memang itulah pelajaran terakhir yang
dimaksudkan oleh Kian Lee tadi. Sebelum mereka keluar dari Pulau Es, ayah
mereka telah menggembleng mereka secara tekun untuk mempelajari ilmu ini, ilmu
yang dikombinasikan oleh Pendekar Super Sakti, mengambil inti dari gerakan ilmu
silatnya Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Badai dan Kilat) dengan menggunakan inti
pukulan Hwi-yang Sin-ciang (Tenaga Sakti Inti Api) dan Swat-im Sin-ciang (Tangan
Sakti Inti Salju) digabung menjadi satu! Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun tidak
mungkin dapat dipelajari oleh orang yang berkaki dua maka Pendekar Super Sakti
hanya mengambil inti gerakannya saja, membuat gerakan kedua orang puteranya
itu seperti kilat cepatnya, mencelat ke sana-sini tak terduga-duga oleh lawan!
Dan karena ilmu ini harus dimainkan dengan kedua tangan yang masing-masing
merupakan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, maka dua orang pemuda itu
tadi telah membuang tombak buntung mereka.
Setelah kedua orang kakak beradik itu
mengeluarkan ilmu yang aneh dan hebat ini, mereka dapat mengimbangi lawan dan
tidak terdesak lagi sungguhpun hawa pukulan mereka yang berselang-seling panas
dan dingin itu hanya dapat mendesak lawan agak menjauh dan tidak berani
terlalu dekat, akan tetapi mereka pun tidak dapat terlalu mendesak karena
senjata kedua orang lawan mereka amat lihai.
Tek Hoat menjadi penasaran bukan main. Kembali
dia bertemu dengan “batu”! Tak disangkanya sama sekali bahwa di dunia ini terdapat
orang muda yang begini hebat, setelah dia terkejut bertemu dengan pemuda
tinggi besar yang dulu menolong Jenderal Kao, yang juga amat lihai ilmunya.
Kiranya bukan dia seorang saja yang menjadi jago muda di kolong langit ini.
Kenyataan ini sedikitnya telah menghancurleburkan kebanggaannya, membuka
matanya sehingga dia tidak akan berani lagi menganggap dirinya sebagai jago
muda nomor satu di dunia!
Sementara itu, nenek yang didesak oleh Kian
Lee yang lebih berani mendesak daripada Kian Bu karena nenek itu hanya
bersenjata tongkat, bukan pedang mujijat seperti yang dipegang oleh lawan Kian
Bu, berkali-kali mengeluarkan lengking mengerikan dan aneh, seperti suara jerit
seekor binatang yang terjepit. Tiba-tiba dia meloncat agak jauh ke belakang dan
ketika Kian Lee mengejarnya dengan gerakan kilat, tiba-tiba wanita itu tertawa
dan tangan kirinya melontarkan sebuah benda bulat ke arah pemuda ini. Kian Lee
sedang meloncat dan lontaran itu cepat sekali, maka dia tidak sempat lagi
mengelak dan sambil mengerahkan tenaga ke arah kaki kirinya dia menendang
benda hitam bulat itu.
“Darrr....!” Benda itu meledak ketika
ditendang oleh Kian Lee dan pemuda ini mengeluh, terlempar ke bawah dan darah
membasahi celana karena pahanya telah terluka oleh pecahan besi. Kiranya benda
itu adalah semacam senjata peledak yang ampuh dan karena tidak mengira sama
sekali bahwa benda itu akan meledak, maka Kian Lee menjadi kurang hati-hati dan
pahanya terkena pecahan besi sehingga kulit dan dagingnya terluka yang lumayan
parahnya.
“Lee-ko....!” Kian Bu berseru kaget sekali dan
soekali meloncat, dia telah berada di depan nenek itu, terus menyerangnya
dengan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaga. Dipukul dengan
Hwi-yang Sin-ciang berbareng dengan Swat-im Sin-ciang secara hebat itu, Si
Nenek terkejut dan biarpun dia sudah mengelak, tetap saja dia terdorong oleh
hawa pukulan sehingga dia terhuyung dengan muka pucat dan roboh. Cepat dia
bergulingankemudian meloncat ke atas lagi.
Suma Kian Bu sudah menarik kakaknya bangun,
kemudian menggandeng kakaknya itu, meloncat ke atas jembatan.
“Lepaskan aku, aku bisa membela diri. Mari
kita ke dinding itu....” kata Kian Lee sambil menyeret kaki kirinya yang sukar
digerakkan.
Melihat seorang pemuda telah terluka, para perajurit
dan pembantu Tek Hoat menjadi berani. Mereka mengejar dan beberapa orang telah
menyerang dengan tombaknya. Kian Bu menjadi marah, dia membalik, merampas
sebatang tombak dan memutap tombak itu, merobohkan enam orang sekaligus, ada
yang dikemplang tombak, ada yang ditusuk, ada yang ditendang dan ada yang
didorong oleh tangan kirinya.
“Hayo, Lee-ko....!” Dia hendak menggandeng
kakaknya lagi akan tetapi pada saat itu, seorang pembantu Tek Hoat yang
gerakannya cukup gesit dan kuat, seorang yang berjenggot dan berkumis pendek
telah menusuk dari belakang dengan tombaknya.
“Haiiittt....!” Kian Bu berseru, kaki kirinya
yang seperti bermata itu diputar ke belakang dan dengan tepat menangkis tombak
itu, kemudian dia membalik, tombak yang dipegangnya menyambar ke arah kepala
orang berkumis pendek, sedangkan pedang Si Kumis itu telah terlempar oleh
tangkisan kaki Kian Bu.
“Ouhhhh....!” Orang itu mengelak, akan tetapi
tetap saja telinga kirinya kena dihantam tombak sehingga remuk.
“Wadouuuhhh....!” Dia berloncatan sambil
memegangi telinga kirinya yang sudah tidak berdaun lagi, dan saking sakitnya
dia tidak melihat kanan kiri atas depan lagi, maka tanpa disengaja dia menabrak
dan menghalangi Tek Hoat yang sedang lari hendak mengejar Kian Lee dan Kian Bu.
Karena tiba-tiba ditabrak pembantunya sendiri yang sedang kesakitan, Tek Hoat
marah-marah dan ditendangnya pembantu yang sudah tidak berdaun telinga kiri
lagi itu.
“Ngekkk!” Pembantu itu terlempar, terbanting
dan tidak bergerak lagi.
Kian Bu dan Kian Lee sudah dikepung lagi oleh
nenek dan para perajurit dan selain Kian Bu mengamuk dengan hebat, Kian Lee
yang sudah terluka pahanya itu pun masih melawan dan setiap ada tombak
menusuknya, dia menangkis dan pemegang tombaknya terpelanting. Pada saat yang amat
berbahaya itu tampaklah berbondong-bondong bayangan orang banyak berloncatan
dari dinding belakang. Mereka itu bukan lain adalah Si Gendut anggauta
Tiat-ciang-pang bersama kawan-kawannya. Mula-mula hanya belasan orang saja yang
berloncatan masuk dan langsung saja Si Gendut dan kawan-kawannya itu menerjang
para perajurit pemberontak yang mengeroyok Kian Bu dan Kian Lee. Melihat ini,
Tek Hoat menjadi kaget dan marah, dan mengira bahwa orang-orang yang datang itu
ada yang sepandai dua orang pemuda tadi. Akan tetapi ketika mendapat kenyataan
bahwa yang datang hanya gerombolan kaum sesat dari Tiat-ciang-pang yang
dipimpin Si Gendut, dia memandang rendah dan cepat dia melakukan pengejaran
karena Kian Bu dan Kian Lee sudah tidak kelihatan di tempat itu lagi.
Kian Bu yang tadi melihat kesempatan baik
selagi keadaan kacau dengan munculnya Si Gendut dan kawan-kawannya, cepat
mengempit tubuh kakaknya dan meloncat naik ke atas dinding kebun lalu meloncat
pula turun. Banyak perajurit yang juga berloncatan naik dan melakukan
pengejaran.
“Lepaskan aku, biar aku dapat melawan!” Kian
Lee berkata.
Kian Bu yang mendapat kenyataan bahwa kakaknya
tidak terluka terlalu berat dan hanya terpincang-pincang itu, melepaskan
kakaknya. Mereka melakukan perlawanan sambil melarikan dirj menyelinap ke
tengah kota di antara rumah-rumah orang. Akan tetapi, nenek buruk itu sudah
dapat menyusul mereka dan bersama banyak perajurit dia telah mengeroyok Kian
Bu yang terpaksa berpisah dari kakaknya karena nenek itu merupakan lawan yang
tidak ringan.
“Toanio, tangkap dia hidup-hidup!” Suara Tek
Hoat ini mengejutkan Kian Bu, apalagi ketika dia menengok dan tidak dapat
melihat kakaknya lagi, hatinya menjadi panik sekali, dan dia tidak dapat
menghindarkan pukulan tongkat nenek itu yang mengenai pundaknya. Baiknya, tubuh
pemuda itu sudah secara otomatis dihuni oleh tenaga sakti yang amat hebat
sehingga tanpa pengerahan pun, tenaga saktinya melindungi pundak dan biarpun
terasa nyeri bukan main, tidak ada tulang yang patah oleh pukulan maut dari
nenek itu. Akan tetapi dia terhuyung dan menabrak pohon di pinggir rumah, dan
pada saat itu, Tek Hoat sudah meloncat dekat, tangan kiri pemuda ini
menghantam ke arah punggung Kian Bu untuk merobohkan dan menangkap pemuda ini
hidup-hidup.
“Wuuuutttt.... plakkkk!”
Tek Hoat terbelalak ketika melihat betapa
telapak tangannya bertemu dengan telapak tangan orang lain dan seluruh
tubuhnya menjadi tergetar hebat. Dia masih mengerahkan tenaga Inti Bumi ke
telapak tangannya dan mendorong, akan tetapi sedikit pun tangan itu tidak
bergeming, bahkan ketika laki-laki setengah tua yang dikenalnya sebagai
laki-laki teman kedua orang pemuda lihai tadi mendorong, dia tidak dapat
bertahan dan terhuyung ke belakang! Hebat! Ternyata laki-laki ini malah lebih
lihai dari dua orang pemuda itu, dan bukan itu saja, agaknya laki-laki ini pun
mahir menggunakan tenaga sakti Inti Bumi!
Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng.
Cepat dia menarik tangan Kian Bu dan berkata, “Mari kita pergi....!”
Kian Bu meragu, “Lee-ko....”
“Di mana dia?”
“Entah, kami berpisahan, dia terluka
pahanya....”
“Keparat!” Tek Hoat berteriak marah dan kini
menyerang Gak Bun Beng dengan pedang Cui-beng-kiam!
Bun Beng terkejut melihat pedang ini dan cepat
mengelak dengan merendahkan tubuhnya, sambil mengelak tangan kanannya
menyambar tanah pasir dan begitu tangan ini bergerak, tanah pasir yang
merupakan senjata rahasia yang amat dahsyat menyambar ke arah pedang itu,
disusul dorongan telapak tangan kirinya ke arah Tek Hoat.
“Trikk-trikk-cringgg.... aihh....!” Tek Hoat
cepat meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Hantaman tanah pasir pada
pedangnya tadi selain membuat pedangnya menyeleweng, juga tangannya yang
terkena pasir terasa sakit dan bahkan kulitnya terluka berdarah sedangkan
hantaman tangan kiri tadi biarpun tidak sampai mengenai dadanya, namun hawa
pukulannya hampir tidak kuat dia menahannya, begitu dingin seperti membekukan
isi dadanya! Dia menjadi jerih dan hanya melongo melihat kedua orang itu
melarikan diri dan lenyap di balik rumah-rumah.
“Kejar....!” Dia berseru dan menyuruh para
perajurit mengejar, sedangkan dia sendiri menghampiri nenek itu.
“Mereka hebat, dan laki-laki yang baru datang
tadi.... hemm, hanya satu orang saja di dunia ini yang memlliki kepandaian
seperti itu.” kata Si Nenek menghela napas panjang.
“Siapa?” Tek Hoat bertanya penasaran.
“Pendekar Super Sakti?”
“Memang, dan itulah anehnya. Dia bukan
Pendekar Super Sakti, akan tetapi kepandaiannya hebat, dan dua orang pemuda
itu! Hemmm, aku tidak akan heran kalau mendengar bahwa mereka adalah keluarga
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....”
“Dan Toanio (Nyonya Besar) sendiri siapakah?
Saya berterima kasih atas bantuan Toanio.”
“Hi-hi-hik, karena kau tampan sekali maka aku
membantumu! Memang kami berniat membantu pemberontakan menumbangkan pemerintah
yang sudah banyak merugikan kami, akah tetapi Suheng dan Sumoi adalah
orang-orang yang ku-koai (aneh), mereka membawa mau sendiri sehingga hanya aku
seorang yang mencoba membantumu. Aku mendengar bahwa pihak pemberontak
mempunyai seorang tangan kanan yang lihai, muda, tampan dan berjuluk Si Jari
Maut. Tentu engkau, bukan?”
Tek Hoat tersenyum. “Saya bernama Ang Tek Hoat
dan tidak salah dugaan Toanio. Marilah kita masuk ke dalam gedung itu dan kita
bicara. Toanio tidak keliru membantu kami dan akan kuperkenalkan kepada
Pangeran Liong Khi Ong yang kebetulan berada di sini.” Mereka lalu berjalan
sambil bercakap-cakap menuju ke gedung bekas kepunyaan Kepala Daerah itu.
Ke manakah perginya Kian Lee? Pemuda ini yang
merasa betapa dada kirinya sakit sekali maklum bahwa pecahan besi itu tentu
mengandung racun dari obat peledak, terasa panas, perih dan kaku. Dan dia
mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Terlalu banyak lawan, dan nenek itu, juga
pemuda berpedang itu amat lihai. Dia sendiri tentu tidak akan kuat menghadapi
mereka, dan kalau Kian Bu harus melawan sendiri, tentu berbahaya. Akan tetapi
dia pun tahu bahwa sampai mati pun Kian Bu tentu tidak akan mau
meninggalkannya. Maka dialah yang harus meninggalkan adiknya agar Kian Bu juga
pergi dari tempat berbahaya itu, tidak melanjutkan pertandingan dan akan
mencarinya.
Kesempatan ini tiba ketika dia melihat seekor
kucing bergerak memasuki sebuah pintu yang terbuka sedikit. Cepat dia menyelinap
dan tanpa diketahui oleh siapapun dia lalu membuka daun pintu itu, menyelinap
masuk, lalu memasang palang pintu dari dalam. Kemudian dia terhuyung-huyung
memasuki rumah itu yang ternyata cukup besar dan lega.
“Meong....! Meong....! Meonggg....!”
Kian Lee terbelalak melihat begitu banyaknya
kucing di dalam rumah ini! Ada lima enam ekor kucing yang bagus-bagus
merubungnya dan dia bergidik seolah-olah kucing itu adalah musuh-musuh yang
hendak mengeroyoknya. Matanya memandang ke arah binatang-binatang itu penuh
perhatian, siap untuk melawan kalau mereka menyerang!
“Meong.... meong.... meooongggg....!”
Kucing-kucing itu mengelilingi, seolah-olah terheran-heran dan menyelidikinya
sambil mengeluarkan bunyi bermeong saling sahut dan dari dalam muncullah
kucing-kucing lain. Semua indah dan cantik, bermacam-macam warna bulunya, semua
bersih terpelihara dengan leher dihias kalung yang mengeluarkan bunyi maka riuh
rendahlah suara kerincingan di kalung itu ketika kini muncul lagi belasan ekor
kucing darl dalam sehingga jumlanya ada dua puluh ekor lebih! Betapa pun
cantik dan bagus kucing-kucing gemuk itu, dengan bulu halus bersih bermacam
warna, namun bergidik juga Kian Lee melihat begini banyak kucing mengurungnya.
Menghadapi pengeroyokan orang-orang yang ganas dia tidak gentar, akan tetapi
dikelilingi begini banyak kucing, menimbulkan perasaan ngeri dan serem! Pahanya
yang sebelah kiri terasa sakit dan panas, mengucurkan darah cukup banyak dan
dia menggoyang-goyang kepalanya karena terasa pening. Lebih dua puluh pasang
mata kucing yang bersinar tajam dan aneh itu seolah-olah menyihirnya,
membuatnya pusing dan berkunang-kunang. Dia berusaha menggoyang-goyang kepala,
membuka-buka lebar matanya, akan tetapi kepalanya makin berat dan pusing, dia
terhuyung-huyung.
“Ouhhhh....” Hampir dia roboh kalau dia tidak
menangkap sebatang tiang di dalam ruangan itu, sejenak ia bersandar pada tiang.
“Heiii, Belang....! Putih....! Heiii,
Hitam.... ada apa kalian ribut-ribut di situ....?” Suara yang halus bening dan
penuh keriangan ini masih dapat menembus pendengaran Kian Lee yang mulai
terngiang-ngiang. “Hei, kucing-kucing lucu, di mana Su-kouw (Bibi Guru....?”
Lalu pandang mata Kian Lee yang sudah mulai
gelap itu melihat bayangan seorang gadis cantik yang tampak olehnya seperti
munculnya sinar terang dalam kegelapan, seolah-olah dia melihat seorang
bidadari terbang melayang dan turun dari angkasa mengulurkan tangannya untuk
menolong.
“Uuhhh....!” Dan dia pun terguling dan roboh
ke atas lantai tak sadarkan diri.
Kian Lee mengeluh dan mengerang, dia
mendapatkan dirinya teruruk sebuah rumah yang terbakar, kakinya terhimpit balok
terbakar. Seluruh tubuh terasa panas, kaki yang terhimpit balok nyeri bukan
main dan tak dapat digerakkan. Tiba-tiba hujan turun, api yang membakar
sekelilingnya padam, paha kirinya yang terhimpit balok terkena air, terasa
dingin akan tetapi rasa dingin yang menggantikan kedudukan api yang tadi
menyiksa. Rasa dingin yang menusuk-nusuk, terasa sampai di tulang paha kaki
kirinya dan lapat-tapat dia mendengar suara menghiburnya, seperti suara gadis
yang selama ini terbayang di depan matanya, suara Lu Ceng. Tercium olehnya bau
harum sedap yang lamat-lamat, dan tampak olehnya seraut wajah, cantik bukan
main, wajah Lu Ceng yang dirindukannya....!
Kian Lee membuka sedikit matanya dan ternyata
mimpinya itu menjadi kenyataan, karena benar saja dia melihat seraut wajah
cantik jelita. Dia menjadi terharu! Mengapa mimpinya menjadi kenyataan dan
mungkinkah Lu Ceng begini baik kepadanya, duduk bersimpuh di dekatnya,
menggunakan jari-jari tangan yang halus lentik menyusuti dahinya dengan
sehelai saputangan yang dibasahi, begitu lembut dan mesra! Mungkinkah gadis itu
begini baik kepadanya, dengan sepasang mata yang menyinarkan kelembutan dan
kemesraan, bibir yang tipis basah kemerahan itu membentuk senyum menggairahkan?
Keharuan membuat Kian Lee menggerakkan tangan kanannya, seperti bukan
kemauannya sendiri dia mengusap dagu dan pipi wajah cantik di depannya itu,
berbisik halus, “Engkaukah ini.... engkau....?”
Sepasang mata yang tadinya memandang lembut
dan mesra itu terbelalak keheranan, lalu bibir yang mungil itu terbuka,
terkekeh, tampak deretan gigi yang kecil rata dan putih mengkilap. “Hi-hi-hik,
kau lucu....!”
Kian Lee mengejap-ngejapkan matanya, kini
baru sadar betul. Ketika dia membuka mata dan memandang lagi, dengan kaget dia
mendapat kenyataan bahwa wajah itu bukanlah wajah Ceng Ceng, bukanlah wajah
gadis yang dirindukan, sungguhpun wajah ini juga cantik, bahkan terlalu cantik
jelita, wajah seorang gadis cilik, seperti setangkai kuncup bunga yang sudah
mulai tampak keindahannya, menjanjikan keadaan dan kecantikan luar biasa
apabila telah mekar menjadi bunga tak lama lagi!
Kian Lee cepat menggerakkan tubuhnya, bangkit
duduk. Hampir dia berteriak karena paha kirinya terasa nyeri.
“Ngeonggg....! Ngeooongggg....!”
Kian Lee terperanjat dan memandang ke kanan
kiri. Penuh kucing!
“Hushh, Belang! Hitam! Jangan nakal lho!”
Gadis itu membentak halus dan kucing-kucing itu menyingkir agak menjauh dari
Kian Lee, sedangkan gadis itu lalu membungkuk dan memondong seekor kucing
kecil berbulu putih yang amat cantik.
Kian Lee mendapatkan dirinya tadi rebah di
atas lantai, ketika dia meraba paha kirinya yang dia ingat telah terluka, dia
mendapatkan kenyataan bahwa paha di dalam pipa celananya itu telah diobati dan
dibalut orang. Dia meraba-raba, mengerahkan tenaga sin-kang ke arah paha dan
mendapat kenyataan yang menggirangkan hatinya bahwa rasa panas dari racun obat
peledak itu telah lenyap, atau telah menjadi tawar oleh obat penolaknya yang
mujarab sekali.
“Eh, di mana aku....?” Dia berkata.
Gadis itu sambil mengusap-usapkan pipinya yang
tadi diraba tangan Kian Lee kepada punggung kucing yang penuh bulu halus
memandang kepadanya dengan muka dimiringkan dan mata bersinar, wajah
berseri-seri, tersenyum menjawab nakal, “Di dalam rumah!”
“Ya, tentu. Tapi rumah siapa?”
Sepasang mata itu bergerak nakal, bibir merah
itu tersenyum dikulum sebelum menjawab, seolah-olah dia hendak mencari “akal”
untuk menjawab, kemudian keluar jaaabannya dengan mata bersinar-sinar, “Rumah
orang!”
Kian Lee tertegun sejenak, memandang gadis
cilik itu dan tiba-tiba dia tertawa. Gadis ini mengingatkan dia kepada
adiknya, Kian Bu! Betapa sama sifatnya, sama-sama nakal dan suka menggoda
orang, karena dia yakin benar bahwa jawaban-jawaban aneh itu disengaja untuk
menggoda, jelas tampak dari pandang mata gadis itu yang persis seperti pandang
mata Kian Bu kalau sedang menggodanya.
“Eh, kenapa kau ketawa-tawa? Apanya yang
lucu?” Tiba-tiba sifat gadis itu berubah, kalau tadi menahan geli
mempermainkan orang, kini penuh penasaran!
“Aku tertawa karena engkau mengingatkan aku
akan seseorang. Akan tetapi sudahlah, adik yang baik. Ini rumah siapakah?”
“Rumah bibiku, bibi guruku.”
“Jadi diakah yang mengobati kakiku yang
terluka?”
Gadis itu menggeleng. “Bukan, dia belum
datang. Yang ada hanya kucing-kucingnya yang kelaparan karena belum diberi
makan. Kalau tidak kebetulan aku datang ke sini, tentu kucing-kucing kelaparan
ini sudah menggerogoti habis daging-dagingmu ketika kau pingsan tadi.”
Kian Lee bergidik. Dara cilik ini cantik manis
sekali, akan tetapi di dalam kata-kata dan sikapnya tersembunyi sesuatu yang
menyeramkan, seperti ketika membayangkan betapa kucing-kucing kelaparan itu
akan menggerogoti daging-dagingnya!
“Kalau begitu, siapa yang mengobati kakiku?”
“Di rumah ini hanya ada kucing-kucing ini dan
aku. Kucing-kucing ini tentu tidak bisa mengobati luka di kakimu yang penuh
dengan racun obat peledak, biarpun mereka akan menggunakan lidah-lidah mereka
yang kasar untuk secara bergantian menjilati luka di kakimu itu.”
Kembali Kian Lee bergidik. Cara gadis cilik
ini menggambarkan sesuatu benar-benar membikin orang merasa ngeri.
“Kalau begitu, engkaulah yang telah
mengobatinya?” tanyanya dengan heran sekali.
“Hemm, entah siapa, kaucari saja sendiri. Yang
ada hanya aku dan kucing-kucing ini, dan kucing-kucing ini tentu saja tidak
bisa mengobati. Eh, masih ada lagi selain aku dan kucing-kucing ini, tapi aku
sangsi apakah mereka itu dapat mengobatinya.”
“Mereka siapa?” Kian Lee bertanya sambil
memandang ke kanan kiri, siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
“Mereka inilah.” Gadis cilik itu telah
melepaskan anak kucing yang tadi dipondongnya, dan tahu-tahu dia kini sudah
mengeluarkan dua ekor ular yang membuat Kian Lee terbelalak dan melongo karena
mengenal ular-ular itu sebagai dua ekor ular yang paling berbisa! Dan jelas
bahwa dua ekor ular itu bukanlah ular-ular yang telah dijinakkan atau telah
tidak mengandung bisa lagi. Dua ekor binatang menjijikkan itu mendesis-desis
dan dari desisnya saja sudah mengepulkan uap hitam yang amat berbisa! Akan
tetapi, gadis cilik itu mempermainkan dua ekor ular ltu seperti memainkan dua
helai saputangan sutera saja layaknya!
Kini Kian Lee memandang gadis itu dengan
pandang mata lain. Mengertilah dia bahwa betapapun halus dan cantik manis
tampaknya, ternyata gadis cilik itu memiliki kepandaian hebat untuk menaklukkan
ular berbisa, dan tentu dengan sendirinya ahli tentang racun, maka dapat
mengobati pahanya yang terluka dan terkena racun. Buktinya, gadis cilik ini
tadi mengatakan bahwa luka di pahanya terkena racun obat peledak!
Kian Lee lalu bangkit berdiri. Pahanya masih
agak nyeri, akan tetapi karena sudah terbebas dari racun, rasa nyeri dapat
dipertahankan dan dia dapat menggerakkan kaki kirinya seperti biasa. Lalu dia
menjura kepada gadis cilik yang sudah memondong lagi anak kucing putih
sedangkan dua ekor ular tadi entah disembunyikan di mana, mungkin di saku baju
luarnya yang panjang dan lebar itu.
“Nona, saya menghaturkan banyak terima kasih
atas pertolongan Nona yang amat besar tadi. Saya Suma Kian Lee tidak
melupakan....”
“Wah, kau she Suma?” tiba-tiba gadis ci1ik itu
membentak.
“Benar, mengapa?” Kian Lee bertanya heran,
apalagi melihat betapa sepasang mata itu kini terbelalak lebar memandangnya
seperti mata orang marah!
“Aku.... benci orang yang shenya Suma! Semua
orang she Suma adalah musuh besarku, demikian kata ayahku. Maka kalau kau she
Suma, aku menyesal telah mengobati lukamu.... akan tetapi.... hemm, kau....
tampan dan gagah, engkau tentu orang baik, maka aneh kalau kau she Suma karena
menurut Ayah, she Suma adalah she orang-orang yang jahat dan menjadi musuh
besar kami.”
Kian Lee mengerutkan alisnya. “Kalau boleh
saya bertanya, Nona....”
“Nanti dulu, aku benci caramu menyebut aku
nona! Aku sudah muak karena setiap hari orang-orang kami menyebutku nona dengan
sikap menjilat sehingga setiap kali mendengar sebutan nona, aku membayangkan
sikap orang menjilat-jilat menjemukan! Jangan panggil aku nona, baru aku mau
mendengarkan!”
Kian Lee makin heran. Bocah ini benar-benar
aneh, manis tapi menyeramkan, menarik tapi manja menggemaskan, masih bersikap
kanak-kanak akan tetapi telah memiliki ilmu demikian tinggi tentang racun!
“Baiklah, aku akan menyebut siauw-moi (adik
kecil)....”
“Iihh, kaukira aku masih bayi? Aku sudah
hampir dua belas tahun! Dan engkau pun belum begitu tua, kau pantas menjadi
kakakku. Kenapa tidak menyebut aku adik saja, jangan pakai kecil segala!”
katanya manja dan berlagak seperti telah dewasa, akan tetapi lagaknya ini malah
membayangkan bahwa gadis cilik ini memang masih mentah! Akan tetapi karena
maklum bahwa gadis cilik ini memiliki watak yang ku-koai (aneh), Kian Lee yang
merasa berterima kasih telah ditolong itu berkata, “Baik, Moi-moi. Aku ulang
lagi, kalau boleh aku bertanya, engkau ini siapakah dan siapa pula ayahmu yang
begitu membenci she Suma?”
“Namaku? Aku Kim Hwee Li.”
Kian Lee mengingat-ingat. Tidak pernah dia
mendengar nama ini dan hanya tahu bahwa nama Hwee Li ini terdengar manis
sekali.
“Dan ayahmu?”
“Tidak perlu kukatakan.”
“Kenapa?”
“Engkau tentu akan lari terbirit-birit
mendengarnya. Sudah banyak pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang kujumpai dan
kuajak berteman, kalau mendengar nama ayahku lalu lari ketakutan meninggalkan
aku. Aku tidak ingin kau pun ketakutan seperti itu dan berlari pergi setelah
kuperkenalkan namunya.”
“Ah, masa? Katakanlah, aku tidak akan lari....”
Tiba-tiba Kian Lee menghentikan kata-katanya karena pintu depan diketuk orang.
Gadis itu menjadi kaget dan kelihatan ketakutan sekali. Kini baru tampak oleh
Kian Lee betapa gadis cilik yang amat cantik jelita ini memiliki wajah yang
amat pucat, dan sekarang, dengan mata terbelalak ketakutan itu wajahnya
kelihatan makin pucat lagi.
“Celaka....!” bisiknya dan jari-jari tangannya
yang memegang lengan Kian Lee menggigil. “Kau.... kau sembunyilah di sini saja,
jangan bergerak, jangan bernapas.... jangan mengeluarkan suara.... biar aku
menghadapi Sukouw.... jangan khawatir, aku tidak akan membiarkan engkau
menjadi korban Sukouw!”
Kian Lee yang menjadi bingung karena tidak
mengerti itu hanya mengangguk, lalu dia duduk kembali, bersembunyi di balik
tiang dan dinding, akan tetapi dia mengintai ke arah pintu depan. Sedangkan
Hwe Li dengan sikap ditenang-tenangkan dan memondong kucing putih mulus,
melangkah ke arah pintu lalu membuka pintu. Daun pintu terbuka lebar dan
terdengar orang mendengus marah dan muncullah seorang kakek yang membuat Kian
Lee kini benar-benar menahan napas karena dia mengenal kakek ini sebagai kakek
raksasa yang lihai dan menyeramkan, dan tidak heranlah dia kini mengapa gadis
cilik itu demikian lihai, karena kakek yang muncul ini bukan lain adalah
Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!
Hek-tiauw Lo-mo yang masuk dengan marah itu
terbelalak kaget dan heran ketika melihat bahwa yang membukakan pintu adalah
puterinya sendiri. Dengan menudingkan telunjuk kanannya yang besar dan berkuku
panjang ke arah muka gadis cilik yang tenang-tenang saja itu, dia menghardik,
“Hwee Li! Mengapa engkau yang berada di sini? Mana bibi gurumu?”
“Bibi Guru tidak ada di rumah, Ayah. Aku kesal
Ayah tinggalkan di pondok kosong bersama anak buah yang kasar-kasar itu, maka
aku datang mengunjungi Sukouw. Akan tetapi dia pun tidak ada dan aku senang di
sini bermain-main dengan kucing-kucingnya. Ayah, biarkan aku bermain-main di
sini sendiri bersama kucing-kucing ini, kalau tidak boleh aku akan menangis
sehari semalam!”
“Wah-wah, kau memang manja dan tidak beres!
Aku perlu dengan bibi gurumu, entah ke mana perginya pelacur tak tahu malu
itu! Nah, biar engkau di sini menanti dia pulang, kalau dia pulang katakan
bahwa aku ingin bertemu dengannya. Suruh dia datang mengunjungi pondok kita.”
“Baik, Ayah. Kau baik sekali, Ayah, engkau
ayah yang baik. Terima kasih!” berkata demikian, Hwee Li mengantar ayahnya
keluar dan menutupkan kembali daun pintunya. Kemudian sambil tertawa kecil dia
berlari menghampiri Kian Lee.
Kian Lee sudah bangkit berdiri, jantungnya
masih berdebar tegang. “Dia itu ayahmu? Hemm, kiranya ayahmu Hektiauw
Lo-mo....”
Hwee Li terkejut dan memandang wajah yang
tampan itu penuh pertanyaan. “Jadi engkau sudah mengenal ayahku?”
Kian Lee mengangguk, akan tetapi tentu saja
dia tidak bisa menceritakan kepada gadis cilik yang telah menolongnya ini
bahwa dia adalah musuh ayahnya itu. Dia tidak tega mengatakan ini.
“Dan kau tidak takut kepada ayahku?”
“Tidak, mengapa takut? Dia seorang ayah yang
baik, bukan?”
Hwee Li melepaskan kucingnya dan memegang
kedua tangan Kian Lee. “Aihh, Twako, kau hebat! Engkaulah orang pertama yang
mengatakan bahwa engkau tidak takut kepada ayahku! Padahal semua orang takut.
Memang dia seorang ayah yang baik, akan tetapi.... kadang-kadang.... aku pun
takut kepadanya. Dia bisa baik, terutama kepadaku, akan tetapi bisa juga....
hemm.... amat kejam.... ah, sudahlah, tidak baik membicarakan ayah sendiri,
bukan?”
Kian Lee mengangguk, terheran-heran. Bagaimana
seorang iblis tua seperti Hek-tiauw Lo-mo dapat mempunyai seorang anak
perempuan begini cantik jelita?
“Engkau tadi tampaknya lebih ketakutan ketika
mengira bahwa yang datang adalah bibi gurumu. Mengapa? Siapakah bibi gurumu?”
“Bibi guruku ada dua orang. Twa-sukouw, bibi
guru pertama, cukup menyeramkan akan tetapi tidaklah seperti Ji-sukouw, bibi
guru ke dua yang amat mengerikan. Kalau dia yang datang dan melihatmu, aku
tidak tahu bagaimana akan bisa menyelamatkan engkau.”
“Kenapa?”
“Dia tidak akan melepaskan pemuda tampan dan
gagah seperti engkau, tentu engkau akan dilarikannya dan paling lama tiga hari
engkau akan kedapatan mati di suatu tempat.”
“Hemm, apa yang dilakukannya?”
“Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ayah pun
membenci kebiasaannya yang mengerikan itu. Setiap kali dia tentu menculik
pemuda tampan dan membunuhnya, aku tidak tahu apa yang dilakukannya, hanya
pernah aku melihat pemuda-pemuda yang dibunuhnya. Mengerikan!” Hwee Li
bergidik.
Kian Lee teringat akan nenek bertongkat yang
amat lihai itu, yang membuat pahanya terluka.
“Seperti apakah kedua orang bibi gurumu itu?”
tanyanya.
“Yang seorang buruk sekali akan tetapi yang
ke dua cantik sekali. Engkau tentu telah bertemu dengan bibiku yang cantik itu,
dan untung engkau tldak sampai dibawanya lari, hanya terkena senjatanya.
Pahamu itu terkena senjata rahasia peledak, bukan?”
Kian Lee mengangguk. “Benar, akan tetapi yang
melepasnya bukanlah seorang wanita cantik, melainkan seorang nenek buruk
sekali, nenek yang bertongkat dan....”
“Ah, dia itu Twa-sukouw!” Hwee Li berseru
heran. “Tentu dia telah mencuri senjata rahasia Ji-sukouw! Ketahuilah, ahli
pembuat senjata rahasia peledak itu adalah Ji-sukouw. Eh, Twako, kenapa kau
sampai bertanding melawan Twa-sukouw?”
“Hemm.... karena dia membantu pemberontak.”
“Pemberontak, pemberontak! Urusan kerajaan dan
pemberontak ini menjemukan hatiku, Twako! Agaknya Ayah dan kedua orang bibi
guruku melibatkan diri pula. Entah di pihak siapa Ayah berdiri, dan Twa-sukouw,
menurut penuturanmu, jelas berdiri di pihak pemberontak. Entah pula dengan
Ji-sukouw. Hem, aku jemu! Twako, mari kauantarkan aku kembali ke Pulau Neraka
saja, kau tentu kaget mendengar bahwa aku datang dari Pulau Neraka, bukan?”
“Tidak, Hwee Li. Aku tahu bahwa ayahmu adalah
Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo.”
“Eh, jadi kau sudah mengenal Ayah sebagai
Ketua Pulau Neraka?”
“Aku sudah mengenal ayahmu, akan tetapi tidak
tahu tentang bibi gurumu dan tentang dirimu baru sekarang aku mengetahuinya.
Dua tahun lebih yang lalu aku dan adikku pernah berkunjung ke Pulau Neraka dan
kau tidak ada di sana....”
“Hehh....? Benarkah? Dua tahun yang lalu....
hemm, aku masih dikurung di dalam kamar latihan, tidak boleh keluar sama
sekali dan baru setahun yang lalu aku diperbolehkan keluar oleh Ayah. Dua tahun
yang lalu....? Kakak beradik....? Wah, wah, aku sudah mendengar tentang
keributan itu! Jadi engkau dari Pulau Es?”
Kian Lee mengangguk dan Hwee Li meloncat
mundur ke belakang, memandang ketakutan. “Tentu engkau akan membunuh aku!”
“Tidak, tidak Hwee Li. Engkau gadis yang baik
sekali, mengapa aku harus membunuhmu?”
“Engkau dan adikmu itu putera-putera Pendekar
Siluman....”
“Pendekar Super Sakti!”
“To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau Es musuh
besar Ayah!”
“Tapi aku tidak memusuhimu, juga tidak
memusuhi ayahmu atau siapapun juga, Hwee Li.”
“Benarkah? Aku girang sekali kalau begitu.
Aihh, putera Pulau Es. Pantas engkau she Suma! Wah, kalau begitu, engkau harus
cepat pergi dari sini, Twako. Kalau Ayah tahu engkau putera dari Pulau Es,
tentu celaka. Dan kalau Ji-sukouw keburu datang, engkau pun tentu akan
diculiknya. Pergilah, akan tetapi, jangan kau lupa kepadaku, ya?”
Kian Lee mengangguk dan tersenyum. “Engkau
anak manis, engkau telah menyelamatkan aku, Hwee Li. Mana mungkin aku bisa
lupa kepadamu?” Kian Lee lalu berjalan ke pintu, agak terpincang. Setelah
mengintai dari belakang pintu ke luar dan tidak melihat siapa pun, dia membuka
daun pintu dan hendak melangkah keluar.
“Twako....!”
Kian Lee menoleh dan melihat gadis cilik itu
berdiri pucat, dia melangkah masuk lagi, berdiri di depan Hwee Li. Gadis ini
cantik luar biasa, sungguhpun masih belum dewasa benar sudah nampak
kecantikannya.
“Ada apakah, Hwee Li?”
“Twako, kau benar-benar.... tidak akan lupa kepadaku?”
Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Dan aku.... aku suka kepadamu, Twako!”
Kian Lee terharu, dan meraba serta mencubit
dagu yang manis itu. “Tentu saja, engkau seperti adikku sendiri!”
Mulut yang manis itu cemberut. “Aku tidak suka
menjadi adikmu!”
“Habis bagaimana?”
“Kita adalah sahabat, bukan kakak dan adik.”
“Baiklah, engkau sahabatku yang paling baik
dan manis, Hwee Li. Eh, aku lupa untuk bertanya tadi. Siapakah nama kedua orang
sukouwmu itu?” Kian Lee perlu untuk menanyakan nama mereka, terutama Si Nenek
Lihai karena nenek itu telah menjadi musuhnya, membantu pemberontak, bahkan
telah melukainya.
“Twa-sukouw berjuluk Hek-wan Kui-bo (Nenek
Setan Lutung Hitam), dan Ji-sukouw berjuluk Mauw Siauw Mo-li (Siluman Kucing).
Engkau berhati-hatilah kalau bertemu dengan mereka, Twako, terutama kalau
bertemu dengan Ji-sukouw. Dia lebih lihai dan lebih berbahaya dari Twa-sukouw.”
“Terima kasih, Hwee Li. Nah, selamat tinggal.”
“Jangan lupa kepadaku, Twako, dan sekali-kali
carilah aku.”
Kian Lee mengangguk, tersenyum lalu meloncat
keluar dari pintu, akan tetapi ketika dia membalik, tanpa disengaja dia
menginjak sesuatu yang lunak.
“Awas, Twako....!” Hwee Li mengingatkan, Kian
Lee meloncat ketika mendengar suara kucing menjerit dan kucing yang terlnjak
ekornya itu menyerangnya dengan kaki depan, mencakar, akan tetapi Kian Lee
telah leblh dulu mengelak.
“Wah, berbahaya! Semua kuku dari kucing-kucing
di sini mengandung racun berbahaya, Twako.”
“Ehh?”
“Ji-sukouw suka sekali memelihara kucing
dan.... eh, dia sendiri sifatnya seperti kucing. Semua kucing ini adalah
peliharaannya.”
Kian Lee menghela napas. Aneh-aneh orang dunia
kang-ouw ini, pikirnya. Dan setelah Ketua Pulau Neraka dan dua orang sumoinya
itu muncul, tentu akan terjadi geger. Dia mengangguk lagi dan kini melesat ke
luar, sebentar saja lenyap meninggalkan Hwee Li yang cemberut dikelilingi
kucing-kucing itu.
***
Tek Hoat yang tidak dapat menemukan
musuh-musuhnya, dua orang pemuda lihai yang telah menghilang, apalagi karena
tidak dapat menemukan kembali Syanti Dewi, menjadi jengkel dan marah sekali.
Dia menghubungi Panglima Kim Bouw Sin yang telah mengadakan perundingan dengan
Raja Tambolon dan melaporkan bahwa di kota itu penuh dengan mata-mata musuh.
Atas usulnya, pintu kota benteng itu ditutup dan pasukan-pasukan dikerahkan
untuk mengadakan penggeledahan dan perondaan untuk menangkapi mata-mata musuh,
terutama sekali tentu saja penggeledahan dari rumah ke rumah ini oleh Tek Hoat
ditujukan untuk menemukan kembali Syanti Dewi!
Pasukan Tambolon mulai bergerak di bawah
pimpinan Raja Tambolon itu sendiri, telah bersepakat dengan pihak pemberontak
untuk membantu pemberontak, dan diberi ijin untuk menyerbu dusun Ang-kiok-teng
di mana terdapat pasukan yang dipimpin oleh Thio-ciangkun, bahkan Kim Bouw Sin
menyerahkan dusun itu untuk menjadi markas dari Raja Tambolon dan pasukannya.
Tentu saja pasukan liar itu menjadi girang karena penyerbuan itu berarti
perang, kemenangan, harta, makan minum berlimpah dan terutama sekali banyak
perempuan tawanan!
Pangeran Tua Liong Khi Ong juga sudah
meninggalkan kota itu untuk memasuki kota benteng Teng-bun bersama Pangeran
Kim Bouw Sin yang menyerahkan penjagaan dan pembersihan kota Koan-bun itu
kepada seorang panglima yang mewakilinya setelah Koan-bun direbut. Juga Tek
Hoat diharuskan mengawal Pangeran Liong ke depan benteng Teng-bun, pusat
pemberontakan itu. Biarpun hatinya menyesal sekali karena dia tidak berhasil
menemukan Syanti Dewi, namun Tek Hoat tidak berani membantah, apalagi saat itu
memang merupakan saat yang penting di mana pihak pemberontak sudah siap
mengerahkan kekuatan untuk sewaktu-waktu menyerbu ke selatan, yang diawali
oleh penyerbuan pasukan liar Raja Tambolon ke dusun Ang-kiok-teng itu.
Para penduduk di kota Koan-bun kembali menjadi
panik setelah pada hari-hari kemarin dibikin geger oleh berita munculnya
pasukan liar dari Raja Tambolon. Kini mereka menjadi panik karena setiap rumah
di dalam kota itu digeledah oleh perajurit-perajurit yang dipimpin oleh
perwira-perwira yang kasar. Perang memang merupakan puncak kekejaman dari
manusia yang mengumbar hawa nafsunya yang tanpa batas itu. Setiap kesempatan di
dalam keadaan kacau oleh perang selalu dipergunakan oleh manusia untuk
memuaskan hawa nafsunya. Di dalam penggeledahan dari rumah ke rumah ini pun,
biar dalihnya adalah untuk pembersihan dan menangkapi mata-mfta musuh, akan
tetapi pelaksanaannya banyak diselewengkan oleh dorongan hawa nafsu sehingga
terjadilah hal-hal yang amat aneh dan keji. Kesempatan ini dipergunakan oleh
mereka yang berkuasa, dalam hal penggeledahan ini tentu saja para perwira yang
memimpin pasukan penggeledahan bersama anak buahnya, untuk memeras dan menindas
rakyat. Yang termasuk hartawan tentu tidak luput dari pemerasan uang.
Penyogokan atau sumbangan paksaan setengah merampok, pengambilan benda-benda
berharga yang kecil-kecil secara begitu saja. Yang tidak mampu menyogok, ada
yang dipaksa menyogok dengan menyerahkan anak gadisnya untuk sekedar
“menghibur” Sang Perwira di dalam kamar selagi anak buahnya menggeledah ke
seluruh rumah, dan tidak jarang peristiwa menyedihkan yang hanya berlangsung
beberapa lama di dalam kamar itu disusul oleh peristiwa bunuh diri oleh Si
Gadis yang dipaksa melayani Sang Perwira atau beberapa orang anggauta tentara.
Banyak pula orang yang ditangkap, dengan tuduhan mata-mata dengan fitnah
bermacam-macam hanya untuk melampiaskan kemarahan dan dendam pribadi!
Para pembantu, penyelidik dan mata-mata yang
disebar oleh Puteri Milana dan Jenderal Kao juga para anggauta Tiat-ciang-pang
yang menganggap diri sendiri sebagai pejuang-pejuang, menjadi repot juga ketika
melihat betapa banyak teman mereka telah tertawan dan pembersihan masih terus
dilakukan. Setelah main kucing-kucingan di dalam kota, menghindarkan diri dari
pengejaran para pasukan pemberontak sampai senja, akhirnya Si Gendut anak buah
Tiat-ciang-pang bersama belasan orang temannya tiba di dekat dinding benteng
yang amat tinggi, bingung karena mereka tidak memperoleh jalan keluar setelah
benteng ditutup dan dijaga dengan ketat oleh pasukan pemberontak.
Cuaca senja remang-remang dan mereka
berkelompok di dekat dinding yang sunyi itu, mencari akal bagaimana mereka
akan dapat keluar dari tempat itu.
“Kita bongkar tembok saja.”
“Ah, akan makan waktu terlalu lama.”
“Selain itu juga berisik dan tentu ketahuan
penjaga.”
“Temboknya tebal sekali, tidak mudah
membongkarnya tanpa alat lengkap.”
Selagi mereka bercakap-cakap mencari akal,
karena untuk meloncat ke atas tembok yang tinggi sekali itu adalah hal yang
tidak mungkin, tiba-tiba seorang di antara mereka memberi isyarat, “Sssttt....
ada orang....!” Bagaikan segerombolan tikus melihat ada kucing datang, belasan
orang ini menyelinap ke sana-sini dan sebentar saja mereka sudah lenyap
bersembunyi!
Si Gendut yang memimpin rombongan itu
bersembunyi bersama seorang temannya yang masih muda dan tampan bernama A
Ciang. Sambil bersembunyi mereka mengintai dan legalah hati Si Gendut ketika
melihat bahwa yang datang dari jauh itu bukanlah seorang penjaga, bahkan bukan
pula seorang pria, melainkan seorang wanita yang dari jauh kelihatan betapa
pinggangnya ramping dan lengannya lemah gemulai menggairahkan.
“Ssst, A Ciang, dia itu wanita, tentu akan
tertarik dan suka menolongmu. Kaumintalah tolong kepadanya agar dia suka
mencarikan sehelai tali yang kuat untuk kita pakai melarikan diri. Kalau kita
memasang kaitan dan melontarkan tali yang panjang ke atas dinding, kita tentu
dapat memanjat naik dan keluar dari sini,” berkata Si Gendut kepada temannya.
A Ciang mengangguk dan dia membereskan
pakaiannya, lalu keluar dari tempat persembunyiannya menanti datangnya wanita
dari depan itu. Setelah wanita itu datang dekat, A Ciang hanya melongo dan
tidak bisa bicara! Dia terpesona menyaksikan wanita itu karena setelah dekat
tampaklah seorang wanita yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi
kelihatan masih muda sekali, cantik jelita luar biasa, dengan wajah manis yang
mengandung tantangan pada sinar mata dan senyumnya, tubuhnya padat dan ramping
penuh gerak hidup, lemas dan bajunya pada bagian dada demikian ketat menempel
dadanya sehingga membayanglah sepasang buah dadanya yang menonjol. Pendeknya,
selama hidupnya belum pernah A Ciang melihat seorang wanita secantik ini!
Ketika wanita itu melihat ada seorang
laki-laki menghadangnya, dia memandang tajam dengan sepasang matanya yang
indah, kemudian tersenyum mengejek, akan tetapi pandang matanya penuh selidik
menatap wajah yang cukup bersih dan tampan dari A Ciang yang usianya baru dua
puluh lima tahun itu.
“Engkau mau apa menghadang perjalananku?”
Suara ini halus dan agak serak, seperti bisikan merayu, mulut dan bibir merah
itu bergerak genit ketika bicara.
A Ciang menelan ludahnya sebelum menjawab.
“Maaf.... Nona, saya.... saya eh, ingin minta tolong kepada Nona....”
“Minta tolong apa? Dan mengapa banyak
teman-temanmu bersembunyi dan mengintai? Apakah kalian perampok?”
Mendengar ini, A Ciang terkejut bukan main.
Wanita ini tahu bahwa banyak temannya bersembunyi di sekitar tempat itu! Juga
Si Gendut mendengar kata-kata ini maka dia lalu keluar, tubuhnya gendut seperti
seekor katak besar keluar dari sarangnya, lalu dia memberi isyarat kepada
kawan-kawannya untuk keluar karena percuma saja bersembunyi setelah wanita itu
mengetahui akan keadaan mereka. Pula, seorang wanita tentu saja tidak akan
membahayakan keadaan mereka.
“Mereka adalah kawan-kawanku....” A
Ciang berkata. Akan tetapi Si Gendut sudah maju dan menjura kepada wanita itu.
“Kouw-nio (Nona), harap suka menolong kami.
Kami harus dapat keluar dari dinding ini, kalau tidak kami akan dibunuh oleh
srigala-srigala itu. Tolonglah kami, Kouw-nio, dengan mencarikan sehelai tali
yang panjang dan kuat. Percayalah bahwa kami bukanlah orang-orang jahat,
melainkan pejuang-pejuang yang rela mempertaruhkan nyawa dan badan demi
negara....”
Wanita itu menggerakkan kedua alisnya. Manis
sekali gerakan ini, apalagi karena dia memang memiliki sepasang mata yang amat
bagus. “Jadi kalian ini mata-mata kerajaan?”
“Bukan, kami adalah orang-orang kang-ouw yang
membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak hina. Harap Nona suka membantu
kami.”
“Keluar dari tempat ini apa sih sukarnya?
Mengapa harus menggunakan tali?”
“Ah, Kouw-nio, kalau tidak menggunakan tali
lalu bagaimana? Apakah Kouw-nio mengetahui jalan keluar secara lain yang lebih
aman?” Si Gendut bertanya.
Wanita itu menggelengkan kepala.
“Aku tadi masuk ke sini juga melalui dinding
ini, tapi tanpa tali.”
Semua orang yang mendengar ini terkejut
sekali dan memandang dengan mata terbelalak. “Tanpa tali....?” Si Gendut
bertanya.
“Nona yang baik, harap Nona suka mengajari
saya agar dapat keluar dari sini sebaiknya,” kata A Ciang.
Wanita itu memandang kepada A Ciang, wajahnya
berseri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh, lalu dia tersenyum.
“Kalau kalian membutuhkan tali, tunggulah sebentar, aku akan mengambilkan untuk
kalian.” Setelah berkata demikian, wanita itu berjalan pergi dengan lenggang
yang mempesonakan semua orang, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan
khawatir hati mereka ketika melihat wanita itu berjalan menuju ke pos
penjagaan yang kelihatan agak jauh dari tempat itu.
“Mampus! Dia melapor kepada penjaga!”
“Wah, dia siluman, kita akan celaka!”
“Hushhh, harap tenang, kawan-kawan. Aku tidak
percaya orang seperti dia akan mengkhianati kita, lihat dia sudah kembali!”
kata A Ciang kepada teman-temannya dan benar saja, tampak wanita itu datang
dan membawa segulung tali!
“Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,”
kata wanita itu kepada A Ciang sambil melempar kerling dan senyum manis,
membuat jantung pemuda itu seperti hampir copot rasanya. “Nah, ini tambangnya,
bagaimana kalian akan naik?” tanya wanita itu sambil tersenyum mengejek,
agaknya merasa geli menyaksikan tingkah delapan orang ini.
Si Gendut yang paling lihai di antara mereka,
mengikatkan sepotong batu di ujung tali, kemudian dia melemparkan tali yang
mengikat batu itu sambil memegangi ujung yang lain lagi. Batu meluncur tinggi
dan melewati tembok sehingga tali itu tertarik dan menegang. Akan tetapi
jangankan dipanjati orang, baru ditarik saja, batu itu sudah jatuh lagi
melewati tembok yang tinggi sehingga terpaksa mereka menyingkir agar kepala
mereka tidak kejatuhan batu. Berkali-kali Si Gendut mencoba namun selalu batu
itu tidak dapat menyangkut sesuatu sehingga setiap kali ditarik tentu akan
jatuh kembali.
“Sayang tidak ada besi pengait....” Si Gendut
akhirnya berkata jengkel.
“Berikan padaku tali itu, biar aku yang
membawanya ke atas,” tiba-tiba wanita itu berkata.
Si Gendut meragu, akan tetapi A Ciang
mengambil tali itu dari tangan Si Gendut dan menyerahkannya kepada wanita
cantik itu. Tanpa diketahui orang lain, ketika menyerahkan tali, jari mereka
bersentuhan dan A Ciang hampir berseru kaget karena tangannya terasa tergetar
dan ada hawa hangat sekali memasuki tubuhnya melalui jari tangan yang
bersentuhan. Mukanya menjadi merah dan dia memandang kepada wanita aneh itu
yang sudah melangkah dengan lenggang yang membuat buah pinggulnya menari-nari,
menghampiri tembok benteng, kemudian mengalungkan tali di pinggangnya,
menekankan telapak kedua tangannya pada tembok itu, lalu menoleh, tersenyum
manis kepada mereka semua lalu.... mulailah dia mendaki tembok itu dengan enak,
mudah dan cepat seperti gerakan seekor cecak merayap tembok! Karena merayap
naik itu, pinggangnya bergerak-gerak, membuat kedua buah pinggulnya dari bawah
tampak melenggang-lenggok.
“Aihhh.... dia lihai sekali....!”
“Dan cantik bukan main....”
“Seperti bukan manusia....!”
“Dia seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Welas Asih)
saja....!”
“Wanita hebat!”
“Betapa bahagianya pria yang memiliki dia!”
Demikian seruan-seruan belasan orang yang
semua berdongak ke atas memandang setiap gerakan wanita itu tanpa berkedip.
Dengan amat cepatnya, tahu-tahu wanita itu telah berada di atas tembok, berdiri
sambil bertolak pinggang. Mantelnya yang berwarna merah tertiup angin berkibar
seperti bendera dan kalau saja tidak ingat bahwa mereka adalah
pelarian-pelarian yang dikejar-kejar, tentu mereka telah bertepuk tangan dan
memuji.
Wanita itu lalu melepas gulungan tali dan
memegang ujungnya dengan tangan kiri. “Panjatlah!” perintahnya.
Tentu saja semua orang merasa ragu-ragu. Gila,
pikir mereka. Masa disuruh memanjat tali yang hanya dipegang oleh tangan wanita
itu? Mana kuat?
“Talikan ujungnya....!” kata Si Gendut dengan
bisikan dari bawah. Tentu saja wanita itu tidak dapat mendengarrnya, demikian
pikir teman-teman yang lain.
“Biar aku yang memanjat lebih dulu. Dia lihai,
tentu dia kuat menahan dengan tangannya,” kata A Ciang dan dia segera memegang
ujung tali dan mulai merayap naik menggunakan kedua tangan dan kakinya. Benar
saja. Tali itu tetap menegang, sedikit pun tidak tampak wanita itu mendapat
kesulitan mempertahankan tali yang diganduli tubuh A Ciang! Melihat ini
bergegas mereka mulai memanjat naik, dan biarpun pada tali itu kini
bergantungan belasan orang, tetap saja wanita itu hanya menggunakan sebuah
tangan untuk menahan sampai semua orang berada di atas tembok!
Setelah belasan orang itu berada di atas
tembok, wanita cantik itu mengikatkan ujung tali di atas tembok dan melempar
tali ke luar sehingga tergantung di luar tembok. “Nah, turunlah!” katanya
halus sedangkan dia sendiri lalu meloncat ke bawah!
“Bukan main....!”
“Hebat sekali dia....!”
Semua orang memandang terbelalak melihat
betapa wanita cantik itu terjun ke bawah dari tempat yang demikian tingginya,
melayang seperti seekor burung saja karena dia mengembangkan kedua lengannya
dan karena sebelumnya dia menalikan kedua ujung mantelnya pada pergelangan
tangan, maka kini mantel merah itu berkembang dan melembung seperti sayap
yang menahan tenaga luncuran tubuhnya! Dengan ringan sekali wanita itu hinggap
di atas tanah, berjungkir balik tiga kali untuk mematahkan tenaga luncuran
tubuhnya yang melayang tadi. Sejenak semua orang memandang bengong, kemudian
Si Gendut mendahului teman-temannya memegang tali dan merosot turun melalui
tali itu, diikuti teman-temannya yang kini tergesa-gesa karena khawatir
ketahuan oleh para penjaga. Setelah semua orang turun, wanita itu sekali tarik
saja berhasil membikin putus ujung tali di atas tembok dan melemparkan tali
itu ke atas tanah.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan
terdengar derap kaki para penjaga yang melihat bayangan belasan orang yang
sedang melarikan diri ini.
“Lari....! Kita berpencar....!” Si Gendut
memberi komando dan mereka lari berserabutan ke pelbagai jurusan.
“Kau lari bersamaku, A Ciang!” tiba-tiba
wanita itu berkata dan memegang tangan A Ciang. Dia mengenal nama pemuda
tampan itu ketika mendengar seorang di antara mereka tadi menyebut namanya
ketika mereka berbisik-bisik ketika merosot turun melalui tali
“Mereka adalah kawan-kawanku....” A
Ciang berkata. Akan tetapi Si Gendut sudah maju dan menjura kepada wanita itu.
“Kouw-nio (Nona), harap suka menolong kami.
Kami harus dapat keluar dari dinding ini, kalau tidak kami akan dibunuh oleh
srigala-srigala itu. Tolonglah kami, Kouw-nio, dengan mencarikan sehelai tali
yang panjang dan kuat. Percayalah bahwa kami bukanlah orang-orang jahat,
melainkan pejuang-pejuang yang rela mempertaruhkan nyawa dan badan demi
negara....”
Wanita itu menggerakkan kedua alisnya. Manis
sekali gerakan ini, apalagi karena dia memang memiliki sepasang mata yang amat
bagus. “Jadi kalian ini mata-mata kerajaan?”
“Bukan, kami adalah orang-orang kang-ouw yang
membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak hina. Harap Nona suka membantu
kami.”
“Keluar dari tempat ini apa sih sukarnya?
Mengapa harus menggunakan tali?”
“Ah, Kouw-nio, kalau tidak menggunakan tali
lalu bagaimana? Apakah Kouw-nio mengetahui jalan keluar secara lain yang lebih
aman?” Si Gendut bertanya.
Wanita itu menggelengkan kepala.
“Aku tadi masuk ke sini juga melalui dinding
ini, tapi tanpa tali.”
Semua orang yang mendengar ini terkejut
sekali dan memandang dengan mata terbelalak. “Tanpa tali....?” Si Gendut
bertanya.
“Nona yang baik, harap Nona suka mengajari
saya agar dapat keluar dari sini sebaiknya,” kata A Ciang.
Wanita itu memandang kepada A Ciang, wajahnya
berseri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh, lalu dia tersenyum.
“Kalau kalian membutuhkan tali, tunggulah sebentar, aku akan mengambilkan untuk
kalian.” Setelah berkata demikian, wanita itu berjalan pergi dengan lenggang
yang mempesonakan semua orang, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan
khawatir hati mereka ketika melihat wanita itu berjalan menuju ke pos
penjagaan yang kelihatan agak jauh dari tempat itu.
“Mampus! Dia melapor kepada penjaga!”
“Wah, dia siluman, kita akan celaka!”
“Hushhh, harap tenang, kawan-kawan. Aku tidak
percaya orang seperti dia akan mengkhianati kita, lihat dia sudah kembali!”
kata A Ciang kepada teman-temannya dan benar saja, tampak wanita itu datang
dan membawa segulung tali!
“Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,”
kata wanita itu kepada A Ciang sambil melempar kerling dan senyum manis,
membuat jantung pemuda itu seperti hampir copot rasanya. “Nah, ini tambangnya,
bagaimana kalian akan naik?” tanya wanita itu sambil tersenyum mengejek,
agaknya merasa geli menyaksikan tingkah delapan orang ini.
Si Gendut yang paling lihai di antara mereka,
mengikatkan sepotong batu di ujung tali, kemudian dia melemparkan tali yang
mengikat batu itu sambil memegangi ujung yang lain lagi. Batu meluncur tinggi
dan melewati tembok sehingga tali itu tertarik dan menegang. Akan tetapi
jangankan dipanjati orang, baru ditarik saja, batu itu sudah jatuh lagi
melewati tembok yang tinggi sehingga terpaksa mereka menyingkir agar kepala
mereka tidak kejatuhan batu. Berkali-kali Si Gendut mencoba namun selalu batu
itu tidak dapat menyangkut sesuatu sehingga setiap kali ditarik tentu akan
jatuh kembali.
“Sayang tidak ada besi pengait....” Si Gendut
akhirnya berkata jengkel.
“Berikan padaku tali itu, biar aku yang
membawanya ke atas,” tiba-tiba wanita itu berkata.
Si Gendut meragu, akan tetapi A Ciang
mengambil tali itu dari tangan Si Gendut dan menyerahkannya kepada wanita
cantik itu. Tanpa diketahui orang lain, ketika menyerahkan tali, jari mereka
bersentuhan dan A Ciang hampir berseru kaget karena tangannya terasa tergetar
dan ada hawa hangat sekali memasuki tubuhnya melalui jari tangan yang
bersentuhan. Mukanya menjadi merah dan dia memandang kepada wanita aneh itu
yang sudah melangkah dengan lenggang yang membuat buah pinggulnya menari-nari,
menghampiri tembok benteng, kemudian mengalungkan tali di pinggangnya,
menekankan telapak kedua tangannya pada tembok itu, lalu menoleh, tersenyum
manis kepada mereka semua lalu.... mulailah dia mendaki tembok itu dengan enak,
mudah dan cepat seperti gerakan seekor cecak merayap tembok! Karena merayap
naik itu, pinggangnya bergerak-gerak, membuat kedua buah pinggulnya dari bawah
tampak melenggang-lenggok.
“Aihhh.... dia lihai sekali....!”
“Dan cantik bukan main....”
“Seperti bukan manusia....!”
“Dia seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Welas Asih)
saja....!”
“Wanita hebat!”
“Betapa bahagianya pria yang memiliki dia!”
Demikian seruan-seruan belasan orang yang
semua berdongak ke atas memandang setiap gerakan wanita itu tanpa berkedip.
Dengan amat cepatnya, tahu-tahu wanita itu telah berada di atas tembok, berdiri
sambil bertolak pinggang. Mantelnya yang berwarna merah tertiup angin berkibar
seperti bendera dan kalau saja tidak ingat bahwa mereka adalah
pelarian-pelarian yang dikejar-kejar, tentu mereka telah bertepuk tangan dan
memuji.
Wanita itu lalu melepas gulungan tali dan
memegang ujungnya dengan tangan kiri. “Panjatlah!” perintahnya.
Tentu saja semua orang merasa ragu-ragu. Gila,
pikir mereka. Masa disuruh memanjat tali yang hanya dipegang oleh tangan wanita
itu? Mana kuat?
“Talikan ujungnya....!” kata Si Gendut dengan
bisikan dari bawah. Tentu saja wanita itu tidak dapat mendengarrnya, demikian
pikir teman-teman yang lain.
“Biar aku yang memanjat lebih dulu. Dia lihai,
tentu dia kuat menahan dengan tangannya,” kata A Ciang dan dia segera memegang
ujung tali dan mulai merayap naik menggunakan kedua tangan dan kakinya. Benar
saja. Tali itu tetap menegang, sedikit pun tidak tampak wanita itu mendapat
kesulitan mempertahankan tali yang diganduli tubuh A Ciang! Melihat ini
bergegas mereka mulai memanjat naik, dan biarpun pada tali itu kini
bergantungan belasan orang, tetap saja wanita itu hanya menggunakan sebuah
tangan untuk menahan sampai semua orang berada di atas tembok!
Setelah belasan orang itu berada di atas
tembok, wanita cantik itu mengikatkan ujung tali di atas tembok dan melempar
tali ke luar sehingga tergantung di luar tembok. “Nah, turunlah!” katanya
halus sedangkan dia sendiri lalu meloncat ke bawah!
“Bukan main....!”
“Hebat sekali dia....!”
Semua orang memandang terbelalak melihat
betapa wanita cantik itu terjun ke bawah dari tempat yang demikian tingginya,
melayang seperti seekor burung saja karena dia mengembangkan kedua lengannya
dan karena sebelumnya dia menalikan kedua ujung mantelnya pada pergelangan
tangan, maka kini mantel merah itu berkembang dan melembung seperti sayap
yang menahan tenaga luncuran tubuhnya! Dengan ringan sekali wanita itu hinggap
di atas tanah, berjungkir balik tiga kali untuk mematahkan tenaga luncuran
tubuhnya yang melayang tadi. Sejenak semua orang memandang bengong, kemudian
Si Gendut mendahului teman-temannya memegang tali dan merosot turun melalui
tali itu, diikuti teman-temannya yang kini tergesa-gesa karena khawatir
ketahuan oleh para penjaga. Setelah semua orang turun, wanita itu sekali tarik
saja berhasil membikin putus ujung tali di atas tembok dan melemparkan tali
itu ke atas tanah.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan
terdengar derap kaki para penjaga yang melihat bayangan belasan orang yang
sedang melarikan diri ini.
“Lari....! Kita berpencar....!” Si Gendut
memberi komando dan mereka lari berserabutan ke pelbagai jurusan.
“Kau lari bersamaku, A Ciang!” tiba-tiba
wanita itu berkata dan memegang tangan A Ciang. Dia mengenal nama pemuda
tampan itu ketika mendengar seorang di antara mereka tadi menyebut namanya
ketika mereka berbisik-bisik ketika merosot turun melalui tali.
A Ciang tidak menjawab, bahkan tidak mungkin
bisa membantah lagi karena tiba-tiba dia merasa tubuhnya “diterbangkan” oleh
wanita itu. Teman-temannya juga tidak ada yang memperhatikan karena mereka
sedang sibuk mencari keselamatan masing-masing. Mereka bukanlah orang-orang
penakut yang melihat pasukan lalu lari, akan tetapi mereka adalah orang-orang
yang cerdik, maklum bahwa kalau menghadapi pasukan di dekat tembok benteng
itu, tentu akan memancing datangnya semua pasukan dan belasan orang seperti
mereka itu mana mampu menghadapi pasukan besar? Si Gendut memerintahkan agar
mereka berpencar sehingga andaikata ada yang tertangkap atau terbunuh, tidak
semua menjadi korban seperti kalau nekat melawan di tempat berbahaya itu.
Komandan pasukan menjadi marah melihat bahwa
belasan orang itu melarikan diri. Tahulah dia bahwa tentu mereka itu adalah
mata-mata musuh yang banyak terdapat di dalam benteng dan baru saja melarikan
diri. Dia lalu mendatangkan bala bantuan dan dengan lima puluh orang perajurit
dia melakukan pengejaran. Komandan pasukan itu seorang perwira muda yang
tinggi besar dan gagah, memegang pedang dan menunggang seekor kuda putih.
Para anggauta Tiat-ciang-pang makin panik
melihat bahwa mereka dikejar pasukan dan cepat mereka melarikan diri di sebuah
ladang yang penuh alang-alang liar. Juga wanita itu tadi bahkan telah
mendahului mereka, telah membawa A Ciang menyusup ke dalam alang-alang yang
tingginya sama dengan manusia. Dia menggandeng tangan A Ciang dan terus
menyusup sampai ke tengah-tengah ladang itu dan mereka seolah-olah tenggelam
di dunia tersendiri yang sunyi dan yang terdengar hanya berkelisiknya
alang-alang tertiup angin sehingga permukaannya berombak seperti air laut.
Tidak tampak dari luar mereka itu, dan hanya kalau ada yang dekat dengan
tempat itu saja mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka yang aneh.
“Ahhh, Kouw-nio....!” Terdengar suara A Ciang
gagap.
“Hemm, kenapa? Apakah kau tidak suka padaku?
Lihatlah aku ini... tidak sukakah engkau.... hem....?” Suara bisik-bisik serak
ini diakhiri dengan suara aneh seperti seekor kucing.
“....Koauw-nio.... kau cantik sekali....”
“Kau suka? Aku suka kepadamu, A Ciang, dan
kalau kau pun suka.... hemm....”
“Kouw-nio.... hemmm....!”
Tidak terdengar lagi mereka bercakap-cakap,
yang terdengar hanya berkereseknya daun alang-alang kering yang tertindas
tubuh mereka, dan tak lama kemudian terdengarlah suara aneh, suara rintihan
seperti seekor kucing, berngeong-ngeong tinggi rendah, kadang-kadang suara itu
terdengar ganas seperti marah, kadang-kadang halus lembut seperti mengerang
dan merintih. Suara ini terdengar terus-menerus sampai lama di tengah ladang
ilalang itu sehingga kalau ada orang mendengarnya, tentu mereka akan menjadi
serem.
Dan memang ada yang mendengar suara kucing
mengeong dan merintih ini, yaitu Si Gendut dan kawan-kawannya yang hampir semua
menyusup ke dalam ilalang akan tetapi berpencar. Mereka mendengar suara kucing
ini. Bahkan seorang di antara mereka berbisik kepada teman yang kebetulan
bersembunyi di dekatnya, “Keparat, di tempat begini ada kucing kawin!”
“Ihh, bagaimana kau tahu suara itu suara
kucing kawin?”
“Coba dengarkan baik-baik dan ingat kalau
malam-malam di atas genteng ada suara kucing inde-hoi, bukankah sama benar
suaranya?”
Mereka berdua kini diam, mendengarkan dan
bergidik. Memang tidak salah lagi, itulah suara kucing, suara kucing betina
yang kadang-kadang bersuara ganas seperti sedang marah, kadang-kadang halus
manja seperti merengek, kadang-kadang merintih. Menyeramkan!
Sementara itu, pasukan yang dipimpin perwira
berpedang itu telah tiba di tepi ladang ilalang yang luas itu. Kuda yang mereka
tunggangi meringkik-ringkik, dan perwira itu memandang dengan penasaran.
“Serbu ke dalam ladang!” perintahnya kepada pasukan yang tidak berkuda.
Belasan golok perajurit yang memegang perisai dan golok menyerbu ke dalam
ladang itu. Yang tampak hanya ujung topi besi mereka, ujung golok mereka
bergerak-gerak maju ke tengah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
teriakan-teriakan kesakitan dan berturut-turut robohlah enam orang perajurit,
yang lain segera mundur kembali. Mereka diserang dari bawah oleh para pelarian
yang mendekam di bawah ilalang, dan tentu saja sukar bagi mereka untuk
mempertahankan diri. Para pelarian itu mendekam dan tidak bergerak, sukar
diketahui di mana tempatnya, sedangkan para perajurit pemberontak yang mencari
itu berjalan dan bergerak, tentu saja mudah sekali diserang secara tiba-tiba.
Perwira itu agaknya mengerti akan hal ini,
maka dia pun memberi aba-aba agar sisa anak buahnya mundur dan keluar dari
ilalang itu. Sejenak dia berpikir, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan
aba-aba, “Bakar....!”
Ladang ilalang itu pun dibakarlah! Sebentar
saja api melahap ilalang kering dan makin lama makin menjalar ke tengah. Si
Gendut dan teman-temannya tentu saja terkejut sekali dan cepat mereka
melarikan diri, menyusup-nyusup ilalang menjauhi api yang mengancam mereka.
Sementara itu, suara kucing tadi masih terus terdengar seolah-olah tidak peduli
akan ancaman api yang makin ke tengah.
Tiba-tiba terdengar lengking tinggi mengerikan
dan tampaklah tubuh wanita cantik tadi meloncat ke atas dalam keadaan hampir
tidak berpakaian. Dia kini sibuk membereskan pakaiannya dan berloncatan, tidak
menjauhi pasukan mengejar seperti para pelarian yang lain, melainkan mendekati
dengan jalan memutari api. Kemudian kedua tangannya bergerak bergantian dan
terdengar ledakan-ledakan dahsyat, tanah dan batu muncrat tinggi dan disusul
asap hitam mengepul. Beberapa orang terlempar ke kanan kiri dan tidak dapat
bangkit kembali, luka-luka parah oleh pecahan ledakan dahsyat tadi. Wanita itu
dengan marahnya masih terus melempar benda bulat dan ledakan-ledakan terus
terdengar susul-menyusul. Perwira muda itu terkejut bukan main, maklum bahwa
wanita itu menggunakan senjata peledak yang berbahaya, maka tanpa ragu-ragu
lagi dia memerintahkan pasukannya untuk mundur dan berlindung. Pasukan itu
mundur dan meninggalkan dua puluh lebih perajurit yang tewas menjadi korban
senjata-senjata peledak.
Si Gendut dan teman-temannya cepat berlari ke
luar ladang ilalang, akan tetapi ketika dia berlari sampai di tengah ladang,
hampir saja dia menginjak tubuh seorang laki-laki yang roboh telentang dalam
keadaan telanjang bulat dan sudah mati. Ketika dia dan beberapa orang teman
memeriksanya, kiranya itu adalah A Ciang yang sudah menjadi mayat. Anehnya,
pemuda itu tewas dalam keadaan seperti orang tidur yang sedang mimpi indah
saja, karena wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! Beramai-ramai mereka
menggotong mayat ini setelah tergesa-gesa mengenakan kembali pakaian A Ciang
yang berada di dekat pintu, membawanya pergi melarikan diri dari ladang
ilalang, kemudian memasuki daerah pegunungan yang penuh dengan batu-batu gunung
kapur yang bentuknya aneh-aneh tanpa ada sebatang pohon pun yang dapat tumbuh
di situ. Tempat ini merupakan tempat persembunyian yang amat baik.
Dengan sedih juga terheran-heran akan kematian
A Ciang, Si Gendut dan kawan-kawannya lalu mengubur mayat itu dengan menggali
pasir gunung dan mereka pun tidak melihat lagi wanita cantik yang tadi telah
menyelamatkan mereka dengan menyerang pasukan secara hebat menggunakan
senjata-senjata mujijat yang dapat meledak.
“Mengapa A Ciang mati?” Pertanyaan ini
berkali-kali terdengar dan masih menggema di hati semua orang. Mereka
menduga-duga dan merasa heran sekali. Juga mereka makin kagum kepada wanita
cantik itu yang ternyata amat lihai, juga berterima kasih karena tanpa wanita
itu, tentu mereka tidak dapat keluar dari benteng dan tadi pun tanpa
bantuannya, mereka tentu akan tertumpas di ladang ilalang! Akan tetapi kini
wanita cantik itu tidak kelihatan lagi.
Siapakah sesungguhnya wanita yang penuh
rahasia itu? Tentu pembaca sudah dapat menduganya kalau mengingat cerita Kim
Hwee Li kepada Kian Lee. Wanita cantik ini adalah sukouwnya yang ke dua, sumoi
dari ayahnya yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li Si Kucing Liar atau Siluman Kucing!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Hek-tiauw Lo-mo Si Raksasa Bertaring
yang merampas kedudukan menjadi Ketua Pulau Neraka adalah seorang pelarian
dari Korea. Sebelum menjadi ketua Pulau Neraka, dia telah memiliki kepandaian
tinggi sekali dan kelihatannya bertambah ketika dia berhasil mencuri setengah
dari kitab tentang racun dari Istana Padang Pasir milik Si Dewa Bongkok
bersama-sama dengan Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek, bekas pelayan Si Dewa Bongkok yang
kini menjadi Ketua Lembah Hitam.
Hek-tiauw Lo-mo ini mempunyai dua orang sumoi.
Yang pertama adalah Hek-wan Kui-bo (Nenek Iblis Lutung Hitam) yang telah muncul
membantu pemberontak dan melukai Kian Lee dengan senjata peledaknya, seorang
nenek yang amat lihai. Adapun yang ke dua adalah Mauw Siauw Mo-li itulah!
Tidak ada orang mengenal nama aselinya, dia
hanya dikenal di daerah utara, di antara orang-orang Mongol dan Mancu, sebagai
Siluman Kucing atau Si Kucing Liar. Mendengar nama Kucing Liar ini,
orang-orang di daerah utara, betapapun gagahnya dia, akan merasa seram dan
ketakutan. Melihat orangnya, Si Kucing Liar ini memang sama sekali tidak
menyeramkan, sebaliknya malah, setiap orang laki-laki, tua maupun muda, kalau
dia waras otaknya dan tidak buta, sudah tentu akan mengakui akan kecantikan
Mauw Siauw Mo-li. Cantik jelita dan manis sekali dia, wajahnya bulat telur
dengan dagu kecil meruncing, tulang pipinya sedikit menonjol sehingga membuat
lekuk yang manis, dahinya melengkung halus dan putih, dihias anak rambut tipis
halus di bawah rambut hitam yang disisir ke belakang, lalu rambut yang hitam
subur dan amat panjang itu digelung dengan model indah sekali di atas kepala,
seperti gelung kaum puteri istana, merupakan hiasan kepala yang aneh akan
tetapi menarik, rambutnya dihias pula dengan kembang-kembang terbuat dari emas
dan batu kemala hijau. Alisnya hitam kecil panjang tanpa dibantu alat, memang
bagus bentuknya, dan sepasang matanya amat indah dan hidup, lebar dan bening
sekali, kadang-kadang dapat mengeluarkan sinar tajam menembus jantung,
kadang-kadang keras seperti baja dan dingin seperti salju, akan tetapi
kadang-kadang, dibarengi suara rintihan seperti kucing merayu, mata itu mengeluarkan
sinar yang halus lembut dan penuh kehangatan dan janji muluk. Bulu matanya
lentik panjang, menambah keindahan sepasang mata itu. Hidungnya sedang saja,
akan tetapi mulutnya! Banyak pria menelan ludah kalau menatap mulutnya karena
setiap gerak bibirnya mengandung janji kenikmatan dan kemesraan yang
menggairahkan. Wajah yang cantik jelita ini masih ditambah lagi oleh bentuk
tubuh yang langsing, ramping padat berisi dengan lekuk-lengkung yang penuh
kewanitaan dan kelembutan. Pendeknya, Si Kucing Liar ini memiliki tubuh yang
agaknya memang khusus diciptakan untuk membangkitkan gairah berahi kaum pria,
dan semua gerak-geriknya menunjukkan kecondongan yang khas seperti telah
dikhususkan untuk bercinta. Akan tetapi di balik semua kecantikan yang mempesonakan
ini bersembunyi sesuatu yang membuat semua orang bergidik dan merasa ngeri.
Wanita ini dapat membunuh siapa saja, kapan saja dan di mana saja tanpa
berkedip! Dan kepandaiannya sedemikian hebatnya sehingga menggetarkan semua
petualang di utara. Selain itu, yang membuat orang bergidik ngeri, adalah
kebiasaan wanita ini yang suka mengeluarkan suara seperti seekor kucing, dan
celakalah kalau terdengar suara ini. Pasti disusul dengan matinya seorang atau
lebih dalam keadaan yang mengerikan!
Siluman kucing ini sebenarnya adalah seorang
wanita yang kini menjadi setan yang haus akan belaian pria. Semenjak berusia
enam belas tahun, dia telah menjadi janda karena setelah menikah selama satu
tahun suaminya meninggal dunia! Di waktu menjanda, beberapa kali dia diambil
isteri muda oleh bermacam orang, akan tetapi semua itu telah gagal. Ada yang
mati secara aneh, ada pula yang meninggalkannya karena mengejar lain perempuan.
Semua pengalaman ini membuat dia menjadi seorang yang binal. Kemudian dia
diambil sebagai seorang peliharaan oleh seorang tokoh besar dari Korea, yaitu
guru dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang kakek yang bernafsu dan tenaganya melebihi
orang-orang muda!
Setelah menjadi kekasih kakek ini, barulah ada
yang kuat bertahan menjadi pasangan atau “suami” wanita cantik ini sampai
belasan tahun lamanya! Si kakek tidak pernah menjadi bosan karena memang
kekasihnya ini muda, kuat dan cantik jelita, penuh gairah hidup dan penuh nafsu
berapi-api. Sebaliknya, wanita itu pun merasa cukup puas karena Si Kakek
memang luar biasa, seorang yang memiliki kesaktian hebat dan yang amat
menyenangkan hatinya adalah karena dia yang disayang mulai menerima
latihan-latihan ilmu-ilmu silat yang tinggi. Demikianlah, dia menjadi kekasih
dan juga murid, menjadi sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo, bahkan
karena “suaminya” amat sayang kepadanya, dia diberi ilmu-ilmu simpanan
sehingga kepandaiannya dapat mengimbangi suhengnya dan melebihi sucinya!
Namun, suami atau guru itu akhirnya menyerah juga terhadap kekasihnya yang tak
pernah mengenal puas dalam permainan cinta nafsu itu, juga menyerah terhadap
usianya yang tinggi. Dia meninggal dunia meninggalkan tiga muridnya.
Wanita cantik jelita yang baru berusia tiga
puluh tahun itu kembali menjadi janda. Akan tetapi berbeda dengan dahulu, dia
kini adalah seorang janda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, juga
merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan yang telah “matang”, dan
celakanya, nafsunya menjadi makin menggila, dia menjadi seorang wanita yang haus
akan laki-laki dan semua kehausan itu dipuaskannya kapan saja dan di mana saja
dia bertemu dengan pria yang muda dan tampan. Tentu diculiknya pria itu,
dirayunya dan hampir tidak ada pria yang dapat bertahan terhadap rayuan
mautnya sehingga bagaikan mabok setiap pria yang dirayunya akan jatuh ke dalam
pelukannya, dibuai oleh rayuan, belain dan permainan cintanya sehingga seperti
seekor lalat yang tertangkap di sarang laba-laba, meronta-ronta namun tak dapat
lepas, dihisap sari tubuhnya perlahan-lahan sampai habis dan kering, kemudian
mati dalam keadaan masih bermimpi nikmat!
Entah sudah berapa puluh, berapa ratus atau
berapa ribu orang laki-laki yang telah menjadi korbannya. Celaka bagi Kucing
Liar ini, makin dicari makin banyak dia memeluk pria yang menjadi korbannya,
makin hauslah dia, makin tak terpuaskan dan dia masih terus mencari-cari karena
dia pun rindu akan cinta kasih seorang pria saja. Kalau saja dia berhasil
menemukan seorang pria yang dapat dijadikan teman hidup selamanya! Akan tetapi
selalu pria yang dinikmatinya itu akan menjemukan hatinya kemudian,
menimbulkan kebencian sehingga dibunuh tanpa pria itu sadar dari kenikmatan.
Ciri khas dari wanita ini adalah suara yang
keluar dari kerongkongannya, suara seperti kucing, bahkan persis kucing dan
suara ini otomatis keluar dari kerongkongannya apabila perasaannya tersentuh
dan bergelora, di waktu dia marah, bingung, senang dan terutama sekali di
waktu dia bermain cinta! Dan suara kucing inilah yang membuat dia dijuluki
orang Siluman Kucing atau Kucing Liar!
Selama bertahun-tahun ini, baik Hek-wan Kui-bo
yang merupakan nenek buruk rupa, dan Mauw Siauw Mo-li yang cantik jelita,
selalu berkeliaran di daerah utara, di antaranya gurun pasir dan pegunungan
sehingga nama mereka hanya terkenal di kalangan suku bangsa Mongol, Mancu, dan
di perbatasan Negara Korea. Dunia kang-ouw di selatan atau pedalaman tidak ada
yang mengenal nama-nama ini. Akan tetapi karena mereka berdua menerima undangan
dari suheng mereka, Hek-tiauw Lo-mo untuk datang ke Koan-bun, maka berangkatlah
mereka sendiri-sendiri ke Koan-bun. Seperti kita ketahui, nenek buruk Hek-wan
Kui-bo Si Lutung Hitam telah membantu pemberontak karena dia melihat kesempatan
untuk memperoleh keuntungan dengan mernbantu pemberontak. Adapun Mauw Siauw
Mo-li masih berkeliaran karena dia sudah mulai ketagihan karena sudah beberapa
lama tidak pernah bertemu dengan pemuda tampan. Kebetulan dia melihat
rombongan anggauta Tiat-ciang-pang yang hendak keluar dari kota itu dan dia
tertarik oleh A Ciang yang segera diincarnya sebagai korbannya malam itu.
Kini, Si Gendut dan teman-temannya melewatkan
malam itu di daerah batu gunung berkapur itu. Malam terlalu gelap bagi mereka
untuk dapat melanjutkan perjalanan mereka. Pada keesokan harinya, dari jauh
mereka melihat pasukan berkuda datang lagi ke tempat itu. Mereka segera
berunding. Kini jumlah mereka hanya tinggal lima belas orang.
“Kita tidak bisa lari,” Si Gendut berkata.
“Kalau kita melarikan diri, tentu akan tampak oleh mereka dan dikejar terus. Lebih
baik kita bersembunyi dan setelah mereka pergi, baru kita melanjutkan
perjalanan ke selatan, bergabung dengan pasukan pemerintah.”
“Ihhhh.... begitukah sikap orang-orang gagah,
hanya bersembunyi saja seperti segerombolan pengecut?” Tiba-tiba terdengar
suara halus ini. Mereka terkejut dan cepat menengok. Kiranya di belakang mereka
telah berdiri wanita cantik yang malam tadi telah memukul mundur pasukan yang
membakar ladang ilalang! Tentu saja mereka menjadi girang, akan tetapi juga
merasa ngeri karena munculnya wanita ini seperti setan saja, tidak ada yang
mengetahuinya dan tidak ada yang mendengarnya, pula, mereka juga masih bingung
memikirkan kematian A Ciang yang demikian anehnya.
“Ah, kiranya engkau yang datang, Kouw-nio?
Kami amat berterima kasih atas bantuan Kouw-nio yang demikian besar dan maafkan
kami yang tidak tahu bahwa Kouw-nio adalah seorang pendekar wanita yang
memiliki kepandaian setinggi langit,” kata Si Gendut.
Bibir yang merah itu mencibir, akan tetapi
kelihatannya tambah manis!
“Kalau kalian memang bermusuhan dengan pasukan
itu, kenapa tidak menyambut mereka dengan perlawanan?”
“Jumlah kami hanya lima belas orang, dan
mereka ada lima puluh orang lebih....”
“Lima belas orang sudah terlalu banyak
untuk menghadapi pasukan itu. Kalau kalian dapat membuat mereka terpencar
dengan jalan menyelinap di balik batu-batu ini, dan menyerang mereka dengan
tiba-tiba seperti kucing menerkam tikus, apa sih sukarnya mengalahkan mereka?
Aku pun akan berpesta membantu kalian menghadapi mereka.”
Semua, orang berseri wajahnya. “Dengan
Kouw-nio sebagai pimpinan kami, apa lagi yang kami takuti? Kami tidak takut
sekarang!” Si Gendut berkata.
“Benar, kami tidak takut kalau Kouw-nio yang
sakti membantu kami!” teriak seorang lain, yaitu yang masih muda dan yang sejak
tadi memandang ke arah dada wanita itu dengan mata seperti mata seekor anjing
melihat tulang!
Mereka lalu keluar dari tempat persembunyian
mereka, dan bersama Kucing Liar berdiri memperlihatkan diri menanti datangnya
pasukan yang dipimpin oleh perwira muda berkuda putih itu. Perwira itu tinggi
besar dan gagah, kelihatannya tangkas dan lihai.
“Kalian permainkan pasukan itu, akan tetapi
berikan perwira itu kepadaku. Biar aku yang menghadapinya!” Mauw Siauw Mo-li
berkata sambil tersenyum dan dari kerongkongannya keluar suara lirih
melengking seperti suara kucing! Mendengar ini, Si Gendut dan teman-temannya
menggigil dan merasa serem, teringat mereka akan suara kucing itu malam tadi
ketika mereka berada di dalam ladang ilalang.
“Cepat menyebar dan bersembunyi....!” Wanita
itu berkata dan begitu pasukan itu sudah mendekat, mereka menyelinap ke kanan
kiri dan bersembunyi di balik batu-batu kapur itu. Akan tetapi Kucing Liar
tidak bersembunyi, bahkan berdiri dengan dada yang sudah busung itu
dibusungkan lagi dan matanya memandang tajam kepada perwira muda yang menahan
kendali kudanya. Kuda putih itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya dan
perwira itu mengayun pedangnya, gagah bukan main.
“Haii kalian mata-mata hina! Menyerahlah
sebelum kami bunuh semua!”
Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Apakah engkau
juga mau membunuh aku, Ciangkun (Perwira) muda yang gagah perkasa?” Dia malah
melangkah maju menghampiri kuda yang meringkik-ringkik itu.
Perwira muda itu terkejut melihat bahwa di
antara para mata-mata yang dikejarnya itu terdapat seorang wanita yang begini
cantik dan menariknya. Akan tetapi karena dia maklum bahwa mata-mata pemerintah
banyak yang pandai dan merupakan orang-orang berbahaya yang harus dibasminya,
maka sambil berseru keras dia menggerakkan kudanya maju ke depan menerjang
wanita cantik itu sambil mengayun pedangnya.
Akan tetapi dengan mudah sekali Si Kucing Liar
mengelak ke kiri. Empat orang perajurit menyambutnya dengan senjata golok
mereka, menyerang dengan berbareng untuk membantu komandan mereka. Amat mudah
bagi wanita itu untuk mengelak sambil tersenyum dan kaki tangannya bergerak,
maka robohlah empat orang itu tanpa dapat bangkit kembali! Tentu saja Si
Perwira Muda terkejut sekali, kudanya diputar dan kembali pedangnya menyerang
dari atas kuda dengan dahsyat.
“Ihh, benarkah engkau kejam hendak
membunuhku?” Mauw Siauw Mo-li bertanya halus sambil terkekeh dan matanya
mengerling genit. Pedang itu bersuitan menyambar-nyambar, namun tak pernah
dapat menyentuh baju wanita itu yang mencelat ke sana-sini dengan kecepatan
seperti gerakan seekor burung walet. Tiba-tiba dia berseru, “Turunlah kau!” dan
sambil mengelak tangannya terus menyambar ke samping.
“Crotttt....!” Tangan yang berjari kecil-kecil
dan runcing halus itu masuk ke dalam perut kuda seperti ujung golok saja. Kuda
putih itu meringkik kesakitan, melonjak-lonjak dan ketika perwira itu berusaha
menenangkannya, kakinya ditarik dan robohlah dia, terjatuh dari atas kuda yang
terus melarikan diri itu.
Melihat komanklannya jatuh, delapan orang
anggauta pasukan cepat menerjang wanita itu sehingga Si Perwira sempat bangkit
kembali. Maka dikeroyoklah wanita itu dan dikepung rapat. Namun, Mauw Siauw
Mo-li hanya tersenyum-senyum saja dan tubuhnya tidak banyak bergerak,
seolah-olah menanti datangnya serangan. Hebatnya, siapa saja yang berani
mendahului menyerangnya, kalau tidak roboh tentu senjatanya terlempar karena
dengan gerakan cepat sekali kaki atau tangan wanita cantik itu sudah menangkis
tangan yang memegang pedang atau golok.
Sementara itu, Si Gendut dan kawan-kawannya
juga mulai melakukan perang kucing-kucingan dan berhasil merobohkan banyak
lawan dengan penyergapan tiba-tiba lalu menyelinap dan lari bersembunyi lagi
di belakang batu-batu yang amat banyak terdapat di tempat itu. Pasukan yang
menunggang kuda sudah turun semua dari kuda masing-masing karena makin
berbahayalah bagi mereka kalau mengejar sambil menunggang kuda.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar derap kaki
kuda dan teriakan gemuruh. Ternyata yang datang adalah pasukan terdiri dari
seratus orang, pasukan bantuan yang keluar dari kota Koan-bun karena perwira
yang cerdik itu sudah mengirim seorang utusan berkuda untuk mendatangkan bala
bantuan.
Melihat ini, paniklah para anggauta
Tiat-ciang-pang. Mereka lalu bersembunyi dan biarpun tetap melakukan perang
kucing-kucingan atau perang gerilya, namun karena para anggauta pasukan itu
kini mengejar dan mencari mereka dengan berkelompok mengandalkan banyak orang,
Si Gendut dan kawan-kawannya tidak berani sembarangan menyergap seperti tadi.
Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li dikepung dengan ketat sekali oleh banyak lawan.
Biarpun tidak merasa gentar, wanita ini menjadi lelah dan jemu juga, maka
sambil tertawa dia lalu meloncat ke belakang, melempar benda hitam ke depan.
“Darrr....!” Benda itu meledak dan belasan
orang perajurit musuh yang berdiri rapat itu roboh! Para pengeroyok dan
pengepungnya terkejut dan kacau, lari berlindung ke kanan kiri. Hanya
terdengar suara seperti kucing terpijak ekornya dan ketika mereka memandang
lagi setelah asap hitam membubung ke atas, ternyata wanita itu telah lenyap.
“Kejar mereka! Cari mereka sampai dapat.
Tangkap atau bunuh! Terutama wanita itu yang tentu menjadi pemimpin mereka!”
Perwira itu dengan hati penasaran dan marah memberi aba-aba.
Terjadilah kejar-kejaran sampai sehari penuh.
Wanita itu lenyap, dan belasan orang anggauta Tiat-ciang-pang terpaksa terus
melarikan diri dan selalu bersembunyi-sembunyi di balik batu-batu gunung
sampai akhirnya mereka terdesak di pegunungan batu kapur terakhir, dekat gurun
pasir. Kalau dikejar terus, mereka akan terpaksa lari ke arah padang pasir yang
berbahaya. Akan tetapi ketika itu, hari telah berganti malam dan baik yang
dikejar maupun yang mengejar, sudah lelah sekali sehingga masing-masing
melewatkan malam sambil beristirahat. Dapat dibayangkan betapa sengsaranya
keadaan para anggauta Tiat-ciang-pang. Mereka dikejar-kejar sehari penuh, terus
berlarian dan kini mereka mengaso tanpa ada ransum sama sekali sehingga selain
kehabisan tenaga, mereka pun lapar dan lemas. Tidak demikian dengan pasukan itu
yang tentu saja dapat makan ransum dari perlengkapan mereka.
Akan tetapi malam itu, di pihak pasukan yang
jumlahnya kini seratus orang lebih itu terjadi keributan. Komandan mereka, Si
Perwira Muda yang tadi masih tampak makan minum sambil duduk di atas
batu-batu, tiba-tiba kini lenyap! Kejadiannya amatlah aneh. Ketika itu, perwira
mereka masih tampak makan minum di dekat api unggun, wajahnya agak keruh karena
perwira ini merasa jengkel sekali tidak dapat membasmi belasan orang buruannya.
Tiba-tiba terdengar suara kucing. Di tempat yang sunyi menyeramkan itu
terdengar suara kucing, tentu saja merupakan hal yang amat aneh dan semua orang
menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dari mana datangnya suara kucing itu.
Suara itu makin keras, seolah-olah Si Kucing makin dekat di tempat itu.
“Kucing keparat!” Seorang perajurit memaki
sambil menyambar tombaknya. “Kalau kau dapat olehku, akan kusate dagingnya!”
“Haii, Lai-ciangkun ke mana?” Teriakan ini
terdengar dari seorang perajurit yang tadi duduknya tidak jauh dari perwira
itu. Semua orang memandang dan terheran-heran. Kemudian berlarian mendatangi
dan saling pandang, sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi. Perwira
muda itu lenyap! Mangkoknya yang masih berisi sayuran yang agaknya baru
dimakannya, terguling dan sepasang supitnya juga berceceran.
Semua orang mencari, akan tetapi tidak melihat
jejak perwira dan lapat-lapat dari jauh terdengar suara kucing mengeong! Untuk
mencari lebih jauh mereka tentu saja tidak berani karena tidak ada yang
memerintah mereka, dan mereka tahu betapa berbahayanya mencari di waktu malam
gelap itu, di mana sewaktu-waktu musuh dapat muncul dan menyerang mereka dari
tempat gelap. Mereka terpaksa menanti-nanti dengan hati berdebar tegang,
menanti datangnya pagi
Sementara itu, di antara batu-batu gunung
kapur, di mana Si Gendut dan kawan-kawannya bersembunyi dengan tubuh lelah,
perut lapar dan hati tegang penuh kekhawatiran, juga terjadi peristiwa yang
menegangkan. Karena pegunungan yang sunyi melengang itu tiba-tiba menjadi
menyeramkan ketika mereka semua mendengar suara kucing mengeong-ngeong! Dan
suara kucing itu makin lama makin ramai, persis seperti keadaan mereka ketika
bersembunyi di dalam ladang ilalang kemarin malam, suara kucing betina
merengek-rengek, merintih-rintih dan seperti suara kucing kalau sedang memadu
kasih di bawah terang bulan di atas genteng! Mendengar suara ini, mereka semua
menjadi secem dan otomatis mereka saling mendekati dan berkumpul di dalam
sebuah guha, bersama-sama mendengarkan suara yang menyeramkan itu. Jumlah
mereka tinggal tiga belas orang karena ada beberapa orang yang tewas di waktu
pertempuran gerilya siang tadi.
“Menyeramkan....!” Si Gendut mengomel.
“Tentu suara siluman kucing.”
“Mengingatkan aku akan kematian A Ciang.”
“Hushh, jangan sembarangan. Mungkin itu memang
kucing penduduk yang tersesat di sini.”
“Ah, mana bisa! Kucing tersesat yang
kebingungan atau ketakutan tentu suaranya satu-satu, berulang-ulang. Tapi
itu.... hemm, dengarkan.... suaranya merengek tinggi rendah, persis suara
kucing kawin!”
“Suaranya datang dari atas sana, di mana
banyak batu-batu besar....”
“Sudah,” Si Gendut akhirnya berkata untuk meredakan
ketegangan hati kawan-kawannya. “Suara apa pun adanya itu, besok pagi-pagi
sekali kita melihatnya sambil melarikan diri. Kalau besok kita tidak dapat
melarikan diri dari mereka itu, berarti kita semua akan mati konyol.”
Suara kucing itu terdengar terus-menerus
semalam suntuk, hanya kadang-kadang berhenti beberapa lama lalu diulang lagi.
Hal ini mendatangkan suasana menyeramkan sehingga tiga belas orang pelarian itu
sama sekali tidak dapat tidur dan hati mereka selalu tegang. Mereka menanti
datangnya pagi dengan tidak sabar lagi. Di tempat sesunyi itu, gelap pekat
lagi, dalam keadaan terancam pasukan musuh yang berada tidak jauh di belakang
mereka, mendengar suara kucing yang penuh rahasia itu sungguh amat menegangkan
hati dan syaraf mereka.
Pada keesokan harinya, baru saja terang tanah
dan memungkinkan mereka bergerak, tiga belas orang ini sudah menyelinap di
antara batu-batu menuju ke atas bukit terakhir yang penuh dengan batu-batu
besar itu. Suara kucing sudah tak terdengar lagi sejak tadi.
Tiba-tiba mereka berhenti dan Si Gendut
menudingkan telunjuknya ke depan, mereka semua berindap maju beberapa langkah
untuk dapat melihat dengan jelas. Di dalam keremangan pagi, tampak olehnya
seorang wanita yang pakaiannya awut-awutan setengah telanjang, sedang duduk di
atas batu besar membelakangi mereka. Rambut wanita itu hitam dan panjang
sekali, agaknya dilepas dari sanggulnya, terurai ke bawah dan kini wanita itu
sedang menyisiri rambutnya, kadang-kadang mengulet. Dipandang dari tempat itu,
dia menyerupai seekor kucing besar yang sedang mengulet-ulet dan
menjilat-jilati bulu-bulunya! Akan tetapi yang membuat tiga belas orang itu
terbelalak dengan muka pucat adalah ketika mereka melihat sebujur tubuh pria
tinggi besar telentang di dekat batu itu, telanjang bulat dan lehernya tampak
merah penuh darah, akan tetapi mulutnya seperti orang tersenyum. Persis
seperti keadaan A Ciang yang mati sambil tersenyum dan lehernya penuh
guratan-guratan seperti dicakar kucing! Mereka bergidik! Apalagi ketika melihat
bahwa tak jauh dari tempat mayat itu rebah, terdapat setumpuk pakaian perwira!
Teringat kepada A Ciang, Si Gendut menjadi
marah sekali. Jelas bahwa wanita siluman inilah yang telah membunuh A Ciang,
maka dia lalu mengajak teman-temannya untuk menerjang maju sambil berseru,
“Siluman kucing keparat!”
Dua belas orang meloncat dan menerjang,
mengepung batu besar di mana wanita itu menyisir rambutnya. Yang seorang lagi,
seorang muda dengan muka pucat, tidak ikut menyerang karena kedua lututnya
sudah menjadi lemas dan menggigil tak dapat digerakkan. Pemuda ini bukan
seorang penakut. Menghadapi musuh manusia, dia amat gagah berani tidak takut
mati. Akan tetapi dia mempunyai kelemahan, yaitu takut sekali kepada setan dan
iblis. Baru mendengar ceritanya saja, dia sudah menggigil. Apalagi sekarang
dia berhadapan dengan siluman kucing, siluman yang benar-benar! Maka dia tidak
mampu bergerak, hanya menonton sambil bersembunyi, seluruh tubuhnya menggigil.
“Hi-hi-hik!” Wanita itu terkekeh genit sambil
membalikkan tubuhnya dan bangkit berdiri di atas batu.
“Ahhh....!”
“Ohhhh....!”
“Kauw-nio....!”
Semua orang terbelalak memandang.
Wanita itu bukan lain adalah Si Wanita Cantik
yang telah menolong mereka, kini berdiri dengan tegak di atas batu, hanya
memakai pakaian dalam yang tipis dan tembus pandangan sehingga tampak bentuk
tubuhnya yang mulus dan menggairahkan, rambutnya terurai panjang sampai ke
lutut, matanya bersinar-sinar.
“Kalian memaki aku siluman kucing keparat?
Nggg....!” Kembali terdengar suara lengking dahsyat seperti pekik kucing takut
air, dan tiba-tiba mata mereka menjadi silau melihat berkelebatnya tubuh
wanita itu melayang turun dan menyambar ke arah mereka. Terdengar bunyi pekik
susul-menyusul dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu. Setiap kali
jari-jari tangan Mouw Siauw Mo-li bergerak dan kukunya yang runcing merah itu
menyambar, tentu seorang lawan roboh dan akhirnya tinggal Si Gendut yang
menjadi marah dan menyerang dengan goloknya. Namun dengan mudah Kucing Liar itu
mengelak, kemudian dari samping sambil mengelak tadi tangan kirinya menyambar
ke depan.
“Crottt....! Retttt....!”
Tubuh Si Gendut terjengkang dan dari perutnya
yang pecah oleh tusukan tangan kanan Mouw Siauw Mo-li memancar darah merah,
sedangkan lehernya penuh dengan guratan kuku tangan kiri, juga mengucurkan
darah.
Orang kurus pucat yang bersembunyi, memandang
dengan terbelalak dan hampir saja dia pingsan. Hanya terdengar suara kucing
menangis, makin lama makin lirih dan wanita itu sudah lenyap dari situ. Si
Kurus Pucat ini memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk pergi dari situ,
menyelinap di antara batu-batu, jatuh bangun dan hampir terkencing-kencing
saking takutnya, akan tetapi akhirnya dia dapat juga berlari jauh dan tujuannya
hanya satu, yaitu kembali ke selatan dan melaporkan semua itu kepada
pemimpinnya yang baru, yaitu Nona Lu atau Lu-bengcu.
Rombongan pasukan yang setelah pagi tiba kini
berani mencari-cari komandannya, kini telah tiba di tempat itu. Dapat
dibayangkan betapa geger keadaan mereka ketika menemukan komandan mereka dalam
keadaan telanjang bulat telah menjadi mayat, mayat yang tersenyum seolah-olah
ketika mati dia berada dalam keadaan yang amat menyenangkan. Dan tak jauh dari
situ terdapat mayat-mayat dua belas orang buronan yang berserakan
malang-melintang, semua terluka di leher oleh bekas-bekas cakaran seperti yang
terdapat pula di leher perwira komandan mereka. Terpaksa pasukan ini
menggotong mayat komandan mereka, kemudian kembali ke Koan-bun untuk melapor,
dan di sepanjang perjalanan, tiada hentinya mereka bicara tentang semua
keanehan itu yang muncul bersama dengan suara kucing!
Wajah Ceng Ceng menjadi merah saking marahnya
mendengar pelaporan anggauta Tiat-ciang-pang yang kurus bermuka pucat itu.
Mendengar kematian Si Gendut dan kawan-kawannya di tangan Siluman Kucing, dia
hanya menjadi heran dan penasaran. Akan tetapi mendengar akan sikap Tek Hoat
yang ternyata melanggar janjinya, tidak mencari jejak pemuda laknat musuh
besarnya dan tidak pula memenuhi untuk tidak mencampuri urusan pemberontakan,
dia menjadi marah.
“Keparat, manusia itu memang palsu dan licik!”
bentaknya sambil mengepal tinju.
“Dia memang seorang kaki tangan pemberontak,
Nona,” Si Topeng Setan yang selalu menemaninya itu berkata lirih.
“Itulah yang menjemukan! Dia menjadi wakilku
dan dia menjadi kaki tangan pemberontak, berarti menyeret namaku ke dalam
lumpur pengkhianatan pula. In-kong, kita kerahkan semua anak buah dan kita
membantu pemerintah membasmi pemberontak di utara, kita berangkat sekarang
juga!” Biarpun Si Topeng Setan telah menjadi wakilnya, namun Ceng Ceng tetap
menyebutnya In-kong (Tuan Penolong), karena selain dia masih berterima kasih,
juga sebetulnya dia menarik Si Topeng Setan ini dengan maksud untuk
mempelajari ilmunya yang tinggi dan tentu saja untuk membantunya membalas
dendamnya terhadap pemuda laknat yang dia tahu amat lihai itu.
“Akan tetapi, mengapa engkau merepotkan diri
mencampuri urusan negara, Nona? Apa artinya kekuatan kita yang terdiri dari
beberapa ratus kaum sesat ini menghadapi pemberontakan yang terdiri dari
laksaan tentara yang terlatih?”
“In-kong, apa engkau tidak mendengar laporan
tadi? Di utara sudah mulai geger, pemberontak mulai bergerak menduduki
Koan-bun. Lebih lagi, menurut pelaporan tadi, Jenderal Kao dan Puteri Milana
juga sudah mulai menyusun kekuatan untuk menumpas pemberontak. Bagaimana aku
dapat tinggal diam saja? Ketahuilah, aku adalah keturunan patriot, semenjak
dahulu nenek moyangku adalah kaum patriot yang mempertaruhkan nyawa untuk nusa
bangsa. Kakekku adalah bekas pengawal kaisar yang setia! Apakah aku harus diam
saja melihat negara dalam bahaya, terancam oleh kaum pemberontak?”
Sepasang mata Topeng Setan berkilat-kilat
tanda kagum mendengar ucapan dan melihat sikap ini. “Akan tetapi, engkau
mempunyai urusan pribadi yang lebih penting lagi, bukan?”
Ceng Ceng mengepal tinjunya. “Tentu! Urusan
pribadiku adalah urusan mati hidup, selama hidupku aku tidak akan pernah
berhenti sebelum musuh besarku itu dapat kubunuh!” Kini sepasang mata Topeng
Setan memandang dengan lesu, seolah-olah dia tidak setuju dengan sikap ini.
“Akan tetapi, dibandingkan dengan urusan negara, urusan pribadiku ini tidak ada
artinya. Maka, aku harus memimpin semua patriot, biarpun mereka itu dari golongan
sesat, untuk membantu pemerintah mengusir pemberontak dan di samping itu,
tentu saja aku juga akan mencari musuh besarku di sana!”
Topeng Setan tidak banyak cakap lagi, lalu
memanggil para anggauta Tiat-ciang-pang dan memerintahkan agar semua golongan
sesat di daerah itu dikumpulkan, dipanggil untuk diajak berangkat ke utara
membantu pemerintah. Setelah semua orang golongan sesat berkumpul, yaitu mereka
yang memang mempunyai jiwa patriot, Ceng Ceng lalu memerintahkan mereka dengan
sedikit kata-kata saja. “Pada saat seperti ini, negara membutuhkan bantuan
kita. Tunjukkanlah bahwa kalian bukan hanya manusia-manusia tidak berguna
saja, melainkan kalau keadaan menghendaki, kalian dapat menjadi patriot yang
tidak segan mengorbankan nyawa demi negara. Negara terancam bahaya kaum
pemberontak hina-dina, maka berangkatlah kalian semua ke utara dan gabungkan
diri dengan kesatuan yang anti pemberontak di sana. Contohlah perbuatan
anggauta Tiat-ciang-pang yang telah mengorbankan nyawa demi negara. Nama mereka
akan selalu dijunjung tinggi sebagai patriot, bukan sebagai manusia sesat yang
dianggap rendah.”
Ceng Ceng memang tidak mau membentuk suatu
pasukan, karena selain dia sendiri tidak tahu caranya membentuk pasukan, juga
hal itu akan lebih sukar diaturnya, bahkan dapat dicurigai kalau mereka
berangkat sebagai pasukan. Maka dia hanya menyuruh mereka masing-masing atau
merupakan kelompok-kelompok kecil untuk berangkat ke utara dan di sana
menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan yang ada. Dia sendiri lalu berangkat
bersama Topeng Setan menuju ke utara.
Seperti telah dilakukannya semenjak dia
tinggal bersama Ceng Ceng sebagai pembantunya, di sepanjang perjalanan Topeng
Setan mengajarkan teori-teori silat tinggi kepada Ceng Ceng, dan dilatih
prakteknya sewaktu mereka berhenti mengaso atau melewatkan malam. Ceng Ceng
kagum bukan main karena memang ilmu silat yang diajarkan oleh Topeng Setan
kepadanya itu amat hebat, bahkan kadang-kadang sukar baginya untuk menerima
atau menguasainya karena memang dasar ilmu silatnya sendiri yang dia pelajari
dari kakeknya tidak dapat menandingi tingkat ilmu yang diajarkan oleh Topeng
Setan. Namun, Si Topeng Setan dengan amat tekun dan sabar memberi penjelasan
kepadanya dan memberi contoh-contoh gerakannya sehingga Ceng Ceng yang memang
cerdas itu dapat segera menangkap intinya. Hanya satu hal yang membuat Ceng
Ceng penasaran dan tidak puas melakukan perjalanan dengan orang ini, yaitu
sikapnya yang penuh rahasia, topeng yang tak pernah dicopotnya, dan orangnya
yang pendiam dan jarang sekali bicara kalau tidak ditanya.
Dia tidak memaksa atau membujuk orang itu
membuka topengnya. Hal ini adalah karena sudah saling berjanji ketika Topeng
Setan itu menjadi tawanan, atau memang sengaja menyerahkan diri karena kini
Ceng Ceng maklum bahwa kalau dia menghendakinya, Topeng Setan itu akan dengan
mudah mengalahkannya dan tak mungkin dapat tertawan semudah itu. Ketika menjadi
tawanan, Ceng Ceng dan Si Topeng Setan sudah saling berjanji, yaitu Ceng Ceng
tidak akan membuka topengnya, tidak akan menanyakan rahasianya akan tetapi
orang itu pun berjanji akan menjadi pembantu Ceng Ceng dan akan mengajarkan
ilmu kepadanya. Kini, Topeng Setan sudah menjadi pembantunya, dan sudah
mengajarkan ilmu silat, berarti sudah memenuhi janji. Bagaimana dia dapat
melanggar janji untuk membuka rahasia yang agaknya amat ditutupi itu?
Betapapun juga, ketika mereka habis berlatih
dan mengaso di bawah pohon untuk berlindung dari teriknya matahari, Ceng Ceng
tidak dapat menahan keinginan tahunya dan berkata, “In-kong, aku heran sekali
mengapa orang sepandai engkau ini selalu menyembunyikan nama dan rupa,
seolah-olah ada sesuatu yang kaurahasiakan sekali. Aku sudah berjanji tidak
akan membuka topengmu, akan tetapi aku ingin sekali tahu mengapa engkau melakukan
rahasia ini, menutupi keadaan dirimu sedemikian rupa? Agaknya engkau takut
akan sesuatu atau seseorang?”
Topeng Setan yang duduk di depan Ceng Ceng,
seperti tak disadari menggenggam sebuah batu dan batu itu remuk menjadi tepung
di dalam genggaman tangannya! Kemudian dia menarik napas panjang dan
mengangguk. “Memang aku takut.”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. “Aku tidak
percaya! Sedangkan orang seperti aku saja sudah tidak mempunyai rasa takut
lagi, apalagi engkau yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi! Siapa yang
kautakuti itu?”
Sejenak Topeng Setan tidak mau menjawab, dan
Ceng Ceng tidak berani memaksa akan tetapi tak lama kemudian laki-laki itu
berkata, “Aku takut kepada diriku sendiri....”
“Ehhh....?” Ceng Ceng berseru keras, “Mengapa....?”
Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggeleng
kepala. Kemudian dia berkata, “Nona sudah banyak bertanya, bolehkah aku juga
mengajukan sebuah pertanyaan?”
“Hemmm, boleh saja, akan tetapi belum tentu
aku dapat menjawabnya pula.”
“Nona mempunyai seorang musuh besar yang
menurut Nona amat Nona benci dan Nona akan mencarinya dan tak akan berhenti
sebelum Nona dapat membunuhnya. Nona tidak tahu siapa namanya dan di mana dia
berada, suatu hal yang amat sulit, dan menurut Nona, yang pernah melihat orangnya
hanyalah Nona sendiri dan Ang Tek Hoat. Akan tetapi Tek Hoat agaknya lebih
mementingkan pemberontakan daripada mencari orang itu. Kalau aku boleh
bertanya, mengapakah Nona begitu membenci musuh besar itu? Apa yang telah
dilakukannya?”
Ceng Ceng menundukkan mukanya yang terasa
panas. Dia menekan perasaannya, kemudian mengangkat muka memandang topeng di
depannya itu, menghela napas dan menggeleng kepalanya. “Itu.... itu adalah
rahasiaku, tidak dapat aku memberitahukan kepada orang lain.”
Sejenak sunyi di situ. Keduanya seperti
tenggelam dalam lamunan masing-masing. Akhirnya Ceng Ceng yang berkata,
“Sekarang aku tidak akan bertanya-tanya lagi tentang dirimu, In-kong. Aku tahu
bahwa setiap orang mempunyai rahasianya sendiri yang tidak ingin diketahui
orang lain. Biarlah aku tinggal dalam rahasiaku dan engkau dalam rahasiamu.”
Topeng Setan mengangguk-angguk setuju.
Selanjutnya keduanya diam lagi sampai lama dan ketika Ceng Ceng perlahan-lahan
mengangkat muka memandang, dia melihat Topeng Setan menundukkan muka, matanya
terpejam dan kelihatannya berduka sekali! Melihat keadaan orang itu, timbul
rasa iba di hatinya dan dia pun lupa akan kedukaannya sendiri. Tadi pun dia
tenggelam ke dalam duka ketika pikirannya melayang-layang dan mengingat-ingat
akan semua pengalamannya, akan nasibnya yang buruk. Akan tetapi melihat
temannya begitu berduka, biarpun tidak kentara akan tetapi melihat pundak yang
turun itu, muka yang tunduk dan mata yang terpejam dia dapat menduga bahwa
Topeng Setan tenggelam ke dalam duka yang mendalam, dia lalu meloncat bangun
dan berkata, “Heii, mengapa tidur? In-kong, aku masih mendapat kesukaran
memainkan jurus yang kemarin itu. Mari kita berlatih!”
Topeng Setan terkejut, mengangkat muka dan
sepasang matanya tidak muram lagi, menjadi bersinar dan dia pun meloncat
bangun. Tak lama kemudian, kedua orang itu telah bertanding, berlatih dengan
sungguh-sungguh di tempat yang sunyi itu.
Beberapa hari kemudian, di waktu pagi mereka
tiba di luar dusun Ang-kiok-teng yang tidak jauh lagi letaknya dari Koan-bun
dan Teng-bun. Dan dari jauh mereka sudah mendengar suara perang yang amat
gaduh. Ketika mereka lari mendekat mereka melihat pertempuran yang dahsyat dan
mati-matian antara pasukan pemerintah melawan pasukan liar yang amat kuat.
Hampir rata-rata anggauta pasukan liar itu terdiri dari orang yang tinggi
besar dan kuat, ganas dan liar, gerakannya dahsyat sehingga dalam pertandingan
satu lawan satu, bahkan satu dilawan dua atau tiga orang sekalipun, pihak
pasukan pemerintah selalu kalah. Serbuan pasukan liar itu demikian kuatnya
sehingga pihak pemerintah mulai main mundur dan melarikan diri memasuki dusun
Ang-kiok-teng dikejar oleh pasukan liar.
“Ahhh.... mereka itu seperti pasukan dari
barat, pasukan Tambolon!” Ceng Ceng berseru. Dia pernah melihat pasukan liar
ketika rombongan utusan kota raja diserbu, yaitu ketika dia mengawal Puteri
Syanti Dewi, dan dia sudah banyak mendengar tentang pasukan liar yang dipimpin
oleh Raja Tambolon. Dia lalu mengajak Topeng Setan untuk berlari cepat dan
menggunakan kepandaian mereka untuk meloncati pagar dan memasuki dusun
Ang-kiok-teng untuk membantu pasukan pemerintah yang sudah tinggal seperempat
jumlahnya itu. Sorak-sorai gegap gempita terdengar ketika pintu gerbang
didobrak bobol dari luar, dan membajirlah pasukan liar itu memasuki dusun
Ang-kiok-teng.
Dugaan Ceng Ceng tadi memang tidak keliru.
Pasukan itu adalah pasukan Raja Tambolon yang memimpin sendiri pasukan itu
menyerbu dusun Ang-kiok-teng, dusun yang telah “diberikan” oleh Panglima Kim
Bouw Sin kepada Tambolon, untuk dijadikan markas dan dibolehkan untuk
diduduki, dirampas segala-galanya dan Raja Tambolon beserta pasukannya boleh
berbuat apa saja terhadap dusun itu dan seluruh penduduknya!
Panglima Thio Luk Cong yang menjadi komandan
pasukan pemerintah di front terdepan itu, memang terkejut sekali ketika
menghadapi penyerbuan pasukan liar ini. Dia telah mengerahkan kekuatan
pasukannya untuk melawan, akan tetapi ternyata pasukan liar itu hebat bukan
main dan biarpun lebih banyak jumlahnya, pasukannya tidak mampu bertahan dan
terpaksa dia menarik mundur pasukannya ke dalam dusun Ang-kiok-teng. Panglima
Thio naik ke menara dan mengatur pasukannya dari atas menara, melakukan
penjagaan-penjagaan ketat dan menyerukan agar penduduk Ang-kiok-teng tidak
menjadi panik melainkan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk membantu pasukan
melawan para penyerbu liar itu. Akan tetapi, semua usahanya percuma saja
karena tak lama kemudian, pintu gerbang dapat dibobolkan dari luar. Terjadilah
perang lagi yang kacau-balau, perang di dalam dusun itu.
Selagi Thio-ciangkun mengepal-ngepal tinjunya
dengan gemas melihat kekalahan anak buahnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dua
orang naik ke menara. Enam orang pengawal panglima itu cepat menerjang dengan
pedang mereka, akan tetapi Ceng Ceng berseru, “Tahan! Kami bukan musuh, kami
malah datang untuk melindungi komandan!”
Thio-ciangkun terkejut dan memandang penuh
curiga, terutama sekali kepada Si Topeng Setan.
“Siapa kami bukan hal penting, Ciangkun. Kami
adalah rakyat yang tidak rela melihat adanya pemberontakan dan melihat musuh
yang menyerbu dusun ini dan keadaan Ciangkun yang terancam, kami datang hendak
membantu dan melindungi.”
Thio Luk Cong memandang penuh selidik,
kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, “Terima kasih
banyak atas bantuan dan kebaikan Ji-wi....”
Pada saat itu, dari bawah menyambar dua batang
anak panah yang menuju ke arah tubuh perwira itu. “Huhhh!” Si Topeng Setan
mengeluarkan suara dari hidungnya dan ketika kedua tangannya bergerak, dua
batang anak panah itu telah ditangkapnya dan sekali dia melontarkan ke bawah,
terdengar pekik nyaring dan dua orang tinggi besar terjengkang roboh. Kiranya
pasukan liar itu telah menyerbu sampai di tempat itu! Suara makin hiruk-pikuk
dan kini diselingi suara jerit wanita dan teriakan-teriakan mengerikan dari
mereka yang menyerbu.
Di dalam dusun itu terjadilah peristiwa
mengerikan, kekejaman perang yang semenjak ribuan tahun yang lalu terulang
terus, puncak dari kemenangan nafsu atas diri manusia di mana terjadi
kekejaman-kekejaman yang sukar dapat dibayangkan di waktu damai akan dapat
dilakukan oleh manusia lain. Paaukan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon
sendiri telah menghancurkan pertahanan pasukan pemerintah yang lari
cerai-berai dan mulailah pesta kemenangan dalam perang seperti yang terjadi
di mana-mana dan di jaman apa pun. Semua kaum pria, baik yang masih anak-anak
sampai yang sudah kakek-kakek, dibunuh di tempat tanpa ampun lagi, dan pembunuhan
dilakukan dengan cara yang biadab pula. Penyiksaan-penyiksaan yang mengerikan
pada saat seperti itu mendatangkan kegembiraan luar biasa pada pihak yang
menang seolah-olah perbuatan mereka itu merupakan suatu perbuatan gagah
perkasa, tanda dari kekuasaan dan kemenangan. Kaum wanita mengalami nasib yang
lebih mengerikan lagi.
Mereka diseret, dikumpulkan di jalan raya,
ditelanjangi sama sekali, dan ibu-ibu muda dipisahkan dari anak-anak mereka,
ada yang bayinya dibunuh dan disembelih di dalam pondongan ibunya. Suara jerit
tangis, ratap dan rintih, bercampur aduk dengan suara gelak tawa. Darah
mengecat jalan raya, pintu-pintu rumah, ratap tangis membubung tinggi ke
angkasa tanpa ada yang mendengar dan mempedulikannya.
Pasukan yang merupakan gerombolan binatang
buas itu amat kejam, akan tetapi sungguh mengherankan dan mengagumkan
ketaatan mereka terhadap pimpinan. Seperti biasa, mereka membunuhi kaum pria,
merampoki harta benda, dan menangkapi serta menelanjangi semua wanita, akan
tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani mengambil harta
untuk dirinya sendiri atau memperkosa wanita yang dipilihnya sendiri! Seperti
biasa, mereka menanti sampai Raja Tambolon dan para pembantunya menentukan
pilihan masing-masing atas wanita dan harta, dan baru setelah ada komando dari
raja mereka, gerombolan liar ini akan benar-benar berpesta pora untuk diri
mereka sendiri!
Sisa pasukan pemerintah sebagian besar
melarikan diri keluar dari dusun itu melalui pintu samping dan belakang,
cerai-berai tanpa pimpinan. Ada pula sebagian lagi yang lari ke menara dan di
sini di bawah komando Thio-ciangkun melakukan perlawanan sampai titik darah
terakhir! Dan memang mereka itu tidak kuat menghadapi serbuan para pasukan itu,
biarpun di situ terdapat Ceng Ceng dan Topeng Setan yang lihai dan yang
merobohkan banyak sekali tentara pasukan liar. Akhirnya habislah semua
perajurit pemerintah dan Ceng Ceng bersama Topeng Setan terpaksa meloncat naik
ke atas menara di mana Thio-ciangkun bersama lima orang pengawal pribadinya
siap untuk membela diri.
“Jangan khawatir, Ciangkun. Aku masih
mempunyai akal untuk menghajar mereka!” kata Ceng Ceng dengan gemas, apalagi
dari ternpat tinggi itu dia dapat melihat betapa penduduk dibunuhi dan
wanita-wanita diseret dan ditelanjangi, dikumpulkan di jalan seperti
domba-domba yang hendak dijual ke pasar!
Sambil bersorak-sorak pasukan liar itu
mengepung menara. Ceng Ceng mengeluarkan sebuah bungkusan yang terisi bubuk
hitam. Sebetulnya bubuk racun ini selalu dibawanya untuk bekal sebagai senjata
yang ampuh dan tidak akan dipergunakan kalau tidak amat perlu. Akan tetapi
melihat betapa menara itu dikepung dan dia bersama Topeng Setan tidak akan
mungkin dapat menang menghadapi pasukan musuh yang begitu banyak jumlahnya, terpaksa
dia akan mempergunakan bubuk racun yang dibawanya dari neraka di bawah tanah
itu, bubuk racun buatan mendiang Ban-tok Mo-li.
Setelah menyuruh Topeng Setan, Thio-ciangkun
dan para pengawalnya mundur ke dalam menara, Ceng Ceng lalu menyebarkan racun
itu di sekeliling menara. Racun yang merupakan bubuk hitam lembut itu terbawa
angin dan tidak tampak. Akan tetapi tak lama kemudian terjadilah geger di
bawah menara! Mula-mula hanya beberapa orang saja yang berteriak-teriak sambil
menggaruki leher, muka dan tangan, bagian tubuh yang tidak tertutup, akan
tetapi makin digaruk, rasa gatal yang amat hebat, makin memasuki baju dan di
lain saat mereka itu sudah bergulingan, merintih-rintih dan menggaruki seluruh
tubuh mereka. Dan hal aneh ini disusul oleh teman-teman yang lain, sehingga
menjadi belasan orang, puluhan dan akhirnya tidak kurang dari seratus orang
anggauta pasukan liar itu bergulingan, saling tindih, bahkan mulai saling
pukul karena menjadi seperti gila oleh rasa gatal yang menyiksa tubuh mereka!
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras
dan sisa pasukan liar cepat mundur menjauhi mereka. Dari atas menara, Ceng Ceng
melihat munculnya dua orang laki-laki, yang seorang berpakaian petani dan
membawa pikulan, yang ke dua berpakaian pelajar. Mereka ini bukan lain adalah
Si Petani Maut Liauw Kui, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, keduanya adalah
pengawal-pengawal pribadi Tambolon yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Ketika mereka melihat betapa amat banyak anggauta pasukan mereka yang mendadak
bergulingan seperti orang sekarat di bawah menara, mereka cepat datang dan
memerintahkan pasukan untuk cepat menjauhkan diri dari menara. Kimonga,
komandan pasukan, kini menceritakan kepada mereka bahwa tadi terdapat seorang
gadis cantik yang menyebar sesuatu dari menara dan akibatnya seperti itulah.
“Hemm, dia menggunakan racun yang amat
berbahaya!” kata Liauw Kui.
“Kalau tidak ditolong, anak buah kita itu bisa
celaka!” kata pula Yu Ci Pok.
“Kita harus melaporkan kepada Sri Baginda!”
Kimonga berkata dengan khawatir sekali. Kalau harus kehilangan seratus orang
lebih, sungguh merupakan hal yang amat merugikan dan hebat.
“Benar, harus lapor,” dua orang pengawal Raja
Tambolon itu mengangguk, kemudian mereka pergi untuk mencari Raja Tambolon yang
sedang menikmati hasil kemenangan pasukannya itu.
“Kurung menara dari jauh, siapkan barisan anak
panah!” Kimonga lalu mengatur pengepungan sehingga menara itu dikepung ketat
oleh ratusan orang perajurit yang siap dengan gendewa dan anak panah. Sedangkan
mereka yang menjadi korban racun itu masih bergulingan dan merintih-rintih di
atas tanah di bawah menara.
Raja Tambolon sedang berdiri dan mengelus-elus
brewoknya di depan hampir dua ratus orang wanita itu. Dia tersenyum girang,
akan tetapi hatinya agak kecewa. Raja yang memiliki kepandaian tinggi ini
bukanlah scorang yang haus wanita, sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa dia
tidak pernah menikmati wanita-wanita rampasan sebagai hasil menang perang.
Akan tetapi wanita-wanita dusun itu baginya kurang menarik dan akhirnya hanya
ada seorang gadis saja yang dipilihnya. Dia menunjuk dan gadis itu lalu
didorong dan dibawa pergi oleh seorang perwira. Gadis itu dipisahkan dari yang
lain. Sungguh mengerikan melihat pemandangan di waktu itu. Wanita-wanita
bertelanjang bulat diharuskan berdiri dan ditonton oleh banyak mata pria yang
bersinar-sinar penuh nafsu berahi, yaitu mata dari para tentara pasukan liar
itu. Mereka berusaha sedapat mungkin untuk menutupi anggauta badan mereka
dengan rambut dan tangan, akan tetapi hal ini justeru menambah gairah mereka
yang memandangnya.
Setelah memilih seorang gadis saja, Tambolon
lalu memilih di antara barang-barang rampasan. Juga dia kecewa karena ternyata
penduduk dusun itu tidak dapat dibilang kaya-raya. Pada saat itu, datanglah
Liauw Kwi dan Yu Ci Pok, melaporkan tentang keadaan anak buah mereka di bawah
menara.
“Keparat! Kiranya ada orang pandai di sini!
Kenapa kalian tidak memberi hajaran kepada mereka?” bentak Tambolon marah
sekali mendengar bahwa seratus lebih orang-orangnya sekarat di bawah menara.
“Kami menanti perintah Paduka, karena yang
penting adalah bagaimana caranya menyelamatkan anak buah kita itu,” Yu Ci Pok
menjawab.
Dengan langkah lebar Tambolon lalu diantar
oleh dua orang pengawalnya itu menuju ke menara. Dia melihat betapa menara itu
telah dikurung ketat, dan melihat pula seorang gadis cantik dan seorang
laki-laki bermuka seperti setan di atas menara, melindungi Thio-ciangkun yang
berada di dalam menara.
“Gendewaku....!” Raja Tambolon berseru dan
cepat seorang perwira pembantunya menyerahkan gendewa raja itu, sebatang
gendewa yang amat berat dan kuat. Raja itu menyambar gendewanya, lalu mengambil
sebatang anak panahnya yang terbuat dari baja dan berbulu merah, lalu memasang
anak panah itu di gendewanya, menarik gendewa dan membidik ke arah Topeng Setan
yang berdiri di dekat Ceng Ceng di atas menara.
“Reeeettt.... singgg....!” Bagaikan kilat saja
anak panah itu meluncur ke arah Si Topeng Setan, karena Tambolon menganggap
bahwa laki-laki kasar tinggi besar bermuka setan itulah yang agaknya merupakan
lawan berat.
Sinar kilat itu menyambar ke arah dada Topeng
Setan. Orang ini tentu saja mengerti dari suara dan kilatan anak panah itu
bahwa serangan anak panah ini amat berbahaya, tidak seperti anak panah lain,
akan tetapi dengan tenang dia menggunakan tangannya yang dimiringkan menangkis
dari samping.
“Plakk....! Sing....!” Anak panah itu
tertangkis membalik, menyambar ke bawah dan terdengar teriakan mengerikan
disusul robohnya seorang perajurit karena lehernya tertembus anak panah rajanya
sendiri itu!
Wajah Tambolon menjadi merah, dan dia
mengangguk-angguk. “Boleh juga,” gerutunya, kemudian dia memerintahkan kepada
anak buahnya untuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya di sekeliling
menara. Setelah itu, dengan pengerahan khi-kang yang amat kuat sehingga
suaranya bergerna di seluruh tempat, dia berseru, “Haiii.... komandan pasukan
kerajaan yang berada di menara! Pasukanmu telah kami hancurkan dan menara ini
sudah kami kepung dan sewaktu-waktu dapat kami bakar habis berikut engkau dan
pengikut-pengikutmu! Akan tetapi melihat kegagahan pengikutmu, kami mengajukan
usul kepadamu! Obati perajurit-perajurit kami yang keracunan dan kami akan
memberi kesempatan kepadamu untuk melarikan diri! Kalau tidak, biarlah kami
kehilangan seratus orang perajurit, akan tetapi menara ini akan kami bakar dan
kalian di atas akan menjadi bangkai-bangkai hangus!”
Thio-ciangkun lalu berkata kepada Ceng Ceng,
“Lihiap dan Taihiap, harap kalian suka cepat melarikan diri. Ji-wi (Anda
Berdua) memiliki kepandaian, tentu dapat lolos, saya adalah seorang komandan
yang pasukannya telah hancur, seperti seorang nahkoda yan kapalnya sedang
tenggelam. Biarlah saya melawan sampai napas terakhir.”
“Tidak!” Ceng Ceng membantah. “Engkau masih
dibutuhkan oleh negara, Ciangkun, tidak ada gunanya melawan seperti membunuh
diri.” Lalu dia melangkah maju, menjenguk ke bawah dan memandang kepada
laki-laki yang tinggi besar brewokan yang dari pakaiannya saja dapat diduga
bahwa dialah rajanya atau pemimpin pasukan liar itu, kemudian dia mengeluarkan
suara nyaring, “Heii, pimpinan musuh yang berada di bawah, dengarlah! Yang
meracuni pasukan itu adalah aku! Kami setuju dengan pertukaran itu, biarlah
Thio-ciangkun dan pengawalnya keluar dari dusun ini tanpa gangguan, kemudian
aku akan menyembuhkan semua orangmu yang terkena racun!”
Tambolon terkejut dan merasa heran sekali
karena sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda cantik jelita itulah yang
lihai. “Baik!” teriaknya, kemudian menoleh kepada anak buahnya berkata, “Buka
jalan untuk Thio-ciangkun, biarkan dia pergi!”
Para perajurit itu amat takut dan taat kepada
raja mereka yang keras, maka cepat mereka membuka jalan. Ceng Ceng setengah
memaksa dan membujuk Thio-ciangkun menuruni menara itu bersama lima orang
pengawalnya yang berjalan mengelilingi komandan mereka di kanan kiri, depan dan
belakangnya, sedangkan Ceng Ceng dan Topeng Setan mengiringkan di belakang
dengan sikap tenang.
“Sediakan enam ekor kuda yang baik untuk
mereka!” Ceng Ceng berkata, sikapnya memerintah dan penuh wibawa.
Raja Tambolon kembali terkejut, lalu dia
tertawa bergelak, hatinya senang sekali! Raja ini adalah seorang kasar dan liar
yang berilmu tinggi, dan tidak ada yang disenangi di dunia ini kecuali
kegagahan dan keberanian. Kini melihat sikap Ceng Ceng, dia kagum bukan main
dan hatinya senang sekali. Biasanya, dia menganggap wanita hanya sebagai mahluk
lemah yang hanya memiliki kecantikan dan yang hanya untuk menyenangkan dan menghibur
hati pria, mahluk lemah yang biasanya paling banyak hanya menangis! Akan tetapi
kini melihat sikap Ceng Ceng, yang demikian tabah penuh keberanian dan
kegagahan, dia terkejut, heran, kagum dan senang sekali.
“Sediakan enam ekor kuda, tolol kalian semua!
Hayo cepat!” teriak Tambolon dengan keras lalu tertawa lagi bergelak.
Ceng Ceng memandang laki-laki tinggi besar
brewok itu dengan kagum. Sudah lama dia mendengar nama besar Raja Tambolon, dan
baru sekarang dia melihat orangnya. Seorang jantan aseli, seperti seekor
binatang yang liar, akan tetapi dia tahu bahwa manusia ini berhati seperti
binatang, penuh kekerasan dan kekejaman, seorang manusia yang dapat membunuhi
manusia-manusia lain dengan kedua tangan tanpa berkedip sedikit pun.
Setelah Thio-ciangkun dan lima orang
pengawalnya menunggang kuda dan meninggalkan dusun itu dengan cepat. Topeng
Setan berkata kepada Ceng Ceng, “Nona, lekas berikan obat pemunah racun dan
mari kita cepat pergi dari sini.”
Ceng Ceng mengangguk, mengeluarkan bungkusan
obat bubuk putih dan menyerahkannya kepada Tambolon sambil berkata, “Inilah
obat penawarnya. Campur dengan air, suruh mereka minum seorang seperempat cawan
kecil, tentu sembuh. Kalau tidak ditolong obat ini, mereka akan menggaruk terus
sampai kulit dan daging mereka terkupas habis!”
Tambolon menerima bungkusan itu dan ketika
Ceng Ceng dan Topeng Setan hendak pergi, Tambolon tertawa, “Tunggu dulu, tidak
semudah itu! Ha-ha-ha!”
Ceng Ceng dan Topeng Setan memandang ke
sekeliling dan ternyata mereka telah dikurung rapat oleh ratusan orang
perajurit itu!
“Hemm, Tambolon, apa artinya ini?” Ceng Ceng
membentak.
Raja Tambolon terkejut. “Eh, kau sudah tahu
siapa aku, Nona? Bagus, engkau memang hebat, bukan seorang biasa. Ingat akan
janjimu tadi, Nona. Kami telah membebaskan Thio-ciangkun, akan tetapi
orang-orangku belum sembuh, belum kausembuhkan, mana mungkin kami membiarkan
kalian lolos? Mari, kalian menjadi tamu-tamuku sambil menanti sembuhnya
orang-orangku.”
Ceng Ceng dan Topeng Setan terpaksa menerima
undangan ini. Mereka kagum akan kecerdikan Tambolon, akan tetapi juga mereka
menduga-duga apakah orang ini dapat dipercaya dan akan membebaskan mereka
berdua setelah orang-orangnya sembuh kembali.
Ceng Ceng dan Topeng Setan dipersilakan naik
ke menara dan tempat itu segera dibersihkan dan diaturlah meja besar di atas
menara karena Raja Tambolon dan dua orang pengawalnya itu hendak menjamu dua
orang ini dengan makan minum. Mengagumkan juga betapa di dalam dusun yang sudah
rusak itu, anak buah Raja Tambolon dengan mudah dan cepat dapat mempersiapkan
pesta yang cukup meriah, dengan masakan dan minuman pilihan!
Setelah makan minum dihidangkan memenuhi meja,
Tambolon mengisi cawan arak dan mengangkat cawannya mengajak dua orang tamunya
minum sambil berkata, “Mari kita minum untuk perkenalan yang amat menyenangkan
ini!” Mereka lalu minum arak dari cawan masing-masing, diikuti pula oleh dua
orang pengawal Tambolon, yaitu Si Petani dan Si Pelajar.
“Kalian berdua yang lihai ini siapakah dan dari
mana?” Tambolon bertanya.
“Namaku Lu Ceng dan dia ini berjuluk Topeng
Setan, menjadi pembantuku dan juga pengawalku,” jawab Ceng Ceng singkat.
“Nona Lu ini adalah beng-cu dari kaum sesat di
sekitar kota raja,” Si Topeng Setan menambahkan.
“Ha-ha-ha, hebat, hebat sekali!” Tambolon
tertawa bergelak. “Seorang wanita begini muda sudah memiliki kelihaian dan
menjadi beng-cu! Ha-ha-ha, siapa yang mengira? Nona Lu Ceng, bagaimana engkau
dapat mengenal namaku, padahal baru sekarang kita saling bertemu?”
“Hemm, aku sudah pernah merantau jauh ke barat
dan di Bhutan aku mendengar tentang namamu dan pasukanmu, maka begitu melihat
pasukanmu, aku dapat menduga bahwa tentu ini pasukan Raja Tambolon yang amat
terkenal itu.”
“Ha-ha-ha, kau memang cerdik! Kau pantas
menerima arak penghormatan dari Raja Tambolon!” Dengan gaya dan geraknya yang
kasar Raja Tambolon lalu mempersilakan tamu-tamunya makan. Tanpa sungkan lagi
Ceng Ceng dan Topeng Setan makan ditemani oleh Tambolon dan dua orang
pengawalnya.
Tiba-tiba seorang perajurit datang menghadap
Raja Tambolon. Dengan sikap amat hormat akan tetapi kasar perajurit itu
berkata, “Lapor! Kawan-kawan tidak sabar lagi dengan para tawanan wanita. Mohon
keputusan dan perintah Sri Baginda Raja!”
Tambolon minum arak dari cawannya dan tertawa,
“Ha-ha-ha, wah, aku sampai lupa. Bagi rata dan bergilir seperti biasa! Awas
jangan sampai berebut dan berkelahi, suruh masing-masing perwira mengadakan
undian siapa yang lebih dulu mendapat giliran. Eh, bawa pilihanku ke sini untuk
melayani makan minum!”
Perajurit itu memberi hormat dengan wajah
berseri, kemudian berlari turun dari menara. Ceng Ceng dan Topeng Setan saling
pandang, hanya setengah menduga apa yang akan terjadi dengan para tawanan
wanita. Saking tidak tahannya, Ceng Ceng berkata, “Sri Baginda, apakah yang
akan kaulakukan terhadap para tawanan wanita?”
“Ha-ha-ha, kalian ingin tahu? Mari kita lihat,
dari atas sini tentu merupakan pandangan yang amat hebat, ha-ha-ha!”
Tambolon, Ceng Ceng, Topeng Setan dan dua
orang pengawal Tambolon lalu bangkit dan berjalan ke pinggir loteng menara
sehingga mereka dapat melihat apa yang terjadi di bawah sana. Jantung Ceng Ceng
berdebar tegang, kedua telinganya menjadi panas ketika dia melihat apa yang
terjadi di sana. Kurang lebih dua ratus orang wanita yang bertelanjang bulat
berdiri dengan mata menunduk, ada yang merintih, ada yang menangis
terisak-isak, ada orang berdiri ketakutan, dirubung oleh ratusan anak buah
Tambolon yang memandang liar dan ada yang menjilat dan seperti sikap srigala
kelaparan melihat domba muda. Tak lama kemudian, terdengar perwira-perwira
bicara dan meledaklah sorak-sorai para anak buah Tambolon, kemudian terjadilah
peristiwa yang membuat Ceng Ceng hampir saja meloncat ke bawah untuk mengamuk. Seperti
srigala yang dilepaskan, para perajurit pasukan liar itu berlari-larian
menyerbu wanita-wanita itu. Terdengar jerit-jerit mengerikan diseling suara
tawa para perajurit liar dan terjadilah peristiwa yang sukar dapat dibayangkan
oleh manusia waras. Pemerkosaan begitu saja di atas jalan-jalan, di tepi jalan,
ada yang membawa wanita memasuki rumah, akan tetapi ada pula yang memperkosanya
di tempat itu juga, tidak peduli akan semua orang di sekitarnya, bahkan
ditonton, ditertawakan dan disoraki oleh teman-teman yang belum kebagian! Dua
ratus orang wanita itu tentu saja segera habis dan banyak sekali perajurit yang
terpaksa menanti giliran karena jumlah mereka lima kali lebih banyak dari
jumlah wanita tawanan. Jerit melengking, rintihan dan keluhan, ratap tangis
para wanita itu seolah-olah menusuki jantung Ceng Ceng dan terbayanglah dia
akan pengalamannya sendiri ketika dia diperkosa oleh pemuda laknat itu! Dia
memejamkan matanya, lalu tiba-tiba membalik dan lari kembali ke dekat meja
dengan muka merah seperti udang direbus, matanya mendelik memandang Tambolon
yang juga sudah kembali ke kursinya.
“Terkutuk engkau!” Ceng Ceng memaki marah.
“Mengapa kausuruh anak buahmu melakukan perbuatan terkutuk itu?”
Tadi Ceng Ceng merasa betapa lengannya
disentuh oleh Topeng Setan yang dengan halus menggelengkan kepala, mencegah dia
melakukan sesuatu. Kini Ceng Ceng maklum bahwa andaikata dia tadi tidak kuat
menahan kemarahannya dan bertindak, tentu mereka berdua akan binasa menghadapi
hampir seribu orang lawan itu!
Tambolon hanya tersenyum lebar mendengar
makian Ceng Ceng. “Duduklah, Nona, dan kau juga, Topeng Setan. Minumlah arak
ini untuk mendinginkan hatimu.”
Ceng Ceng menyambar dan menenggak araknya,
karena memang dia membutuhkan arak itu untuk menenangkan hatinya yang
bergelora menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan itu.
“Nona, pasukanku telah melakukan perjalanan
ribuan li jauhnya, perjalanan yang ditempuh dengan susah payah siang dan malam.
Mereka telah menghadapi bahaya maut entah berapa ribu kali dan kadang-kadang
sampai berbulan mereka tidak pernah melihat wajah seorang wanita. Mereka taat
sekali kepadaku dan tanpa perkenanku, mereka tidak akan berani mengganggu
seorang pun wanita. Akan tetapi, seperti juga makanan untuk perut mereka,
mereka itu membutuhkan wanita dan kalau tidak sekali-kali memenuhi kebutuhan
mereka itu, tentu mereka tidak akan taat lagi kepadaku. Wanita mana lagi yang
dapat kuberikan kepada mereka kecuali wanita tawanan yang suaminya telah tewas
dalam pertempuran?”
Sunyi menyambut kata-kata ini dan betapa pun
kejinya, Ceng Ceng dapat mengerti apa yang dimaksudkan Tambolon, akan tetapi
karena merasa ngeri membayangkan nasib ratusan orang wanita yang suaranya
masih terus mengikuti pendengarannya itu Ceng Ceng memejamkan matanya.
“Berapa lama mereka dapat bertahan diterjang
oleh demikian banyaknya anak buahmu?” Tiba-tiba Topeng Setan bertanya,
suaranya halus dan datar seolah-olah tidak menyembunyikan perasaan apa-apa.
“Ha-ha-ha, orang-orangku yang kehausan itu
mana tahu akan daya tahan mereka? Telah berbulan mereka kehausan, tentu tidak
mengenal puas dan dengan jumlah mereka yang lima enam kali lebih banyak, tidak
sampai sepekan pun wanita-wanita itu akan habis.”
“Mati?”
“Ha-ha-ha, bagaimana lagi? Lebih baik begitu
daripada satu mendapat satu, terus menjadi terikat dan akan ikut ke manapun
kami pergi, menghalangi gerakan kami.”
Topeng Setan menghela napas dan pada saat itu
Ceng Ceng memandangnya. Mereko saling pandang dan Topeng Setan berkata, “Memang
lebih baik begitu. Penderitaan mereka sebentar saja dan mereka akan segera mati
menyusul suami atau keluarga mereka.”
Ceng Ceng ingin menjerit. Wanita-wanita itu
lebih beruntung kalau dibandingkan dengan dia! Mereka itu akan segera mati
menyusul dan berkumpul dengan keluarga mereka yang tercinta. Akan tetapi dia?
Dia menanggung aib dan malu, derita batin dan penasaran. Akan tetapi sampai
sekarang pun orang yang didendamnya belum dapat dia temukan. Dan dia dijauhkan
dari orang-orang yang dia cinta. Ayah bundanya sudah tiada, kakeknya pun tewas,
sedangkan orang terakhir yang dicintanya, Syanti Dewi, pun entah berada di
mana. Tambolon dan orang-orangnya ini adalah manusia-manusia kejam, demi
kemenangan diri sendiri mereka ini bersedia melakukan kekejaman apapun juga.
Akan tetapi mereka ini lihai, jumlah mereka banyak. Dia harus berhati-hati dan
harus percaya kepada Si Topeng Setan yang dia percaya pun juga diam-diam
mencari siasat agar mereka dapat terlepas dari Tambolon dan anak buahnya.
Tiba-tiba terdengar isak wanita naik ke menara
itu. “Ah, lepaskah aku.... lepaskan aku atau bunuh saja aku....!”
Seorang perajurit muncul mendorong seorang
wanita. Ceng Ceng memandang dan melihat bahwa wanita itu adalah seorang gadis
muda yang usianya tidak akan lebih dari enam belas tahun, wajahnya cukup
cantik dan pakaiannya terlalu besar, seolah-olah bukan pakaiannya sendiri dan
dikenakan di tubuhnya dengan tergesa-gesa. Perajurit itu mendorong gadis ini
jatuh berlutut di depan Tambolon, lalu memberi hormat kepada rajanya dan pergi
ke luar.
“Ha-ha-ha, inilah dia yang kupilih. Hei,
perawan cilik, bangun dan berdirilah!”
Gadis itu mengangkat mukanya yang pucat,
rambutnya yang terlepas sanggulnya terurai, sebagian menutupi mukanya, matanya
liar ketakutan ketika memandang kepada Raja Tambolon. Dia mengeluh dan
bangkit berdiri, kedua kakinya menggigil ketakutan.
“Nah, begitu baru baik. Ha-ha-ha, sekarang
kautanggalkan pakaianmu! Hayo cepat!”
Gadis itu terbelalak, lalu menggeleng kepala
keras-keras. Tambolon bangkit dari bangkunya dan Ceng Ceng sudah mengepal
tinju. Kalau manusia ini menggunakan kekerasan di depanku, aku akan
membunuhnya, demikian dia mengambil keputusan. Akan tetapi Tambolon yang
menghampiri gadis itu, hanya memegang lengannya lalu menariknya ke pinggir loteng
menara.
“Nah, kaulihat baik-baik! Di bawah itu, setiap
orang wanita sedikitnya harus melayani enam orang perajuritku, terus-menerus
sampai beberapa hari lamanya. Engkau bernasib baik karena telah kupilih dan
hanya harus melayani aku seorang saja. Dan kau masih rewel? Nah, pilihlah.
Engkau melayani aku dengan baik, mentaati segala perintahku, ataukah engkau
memilih kulempar ke bawah sana dan menjadi perebutan banyak orang laki-laki?”
Wajah itu makin pucat, matanya terbelalak
memandang ke bawah di mana masih terjadi pemerkosaan yang mengerikan, jelas
tampak dari atas dan juga terdengar jelas rintih dan ratap tangis para wanita
itu. “Kau memilih di sana?” Gadis itu menggeleng kepala keras-keras. “Ha-ha,
jadi engkau memilih di sini dan mentaati segala perintahku?” Gadis itu
mengangguk lemah, patah semua semangat perlawanannya.
Tambolon kembali duduk di atas kursinya dan
memandang bangga kepada dua orang tamunya bahwa dia telah berhasil mematahkan
semangat perlawanan gadis tawanan itu. “Hayo kaubuka semua pakaianmu, kau
tidak pantas dengan pakaian yang terlalu besar itu!”
Gadis itu dengan muka menunduk, seperti dalam
mimpi, gerakannya otomatis, mulai menanggalkan pakaiannya.
Ceng Ceng memandang dengan dada panas.
Ternyata setelah pakaian luarnya ditanggalkan di sebelah bawah pakaian itu
tidak ada apa-apa lagi yang menutupi tubuhnya! Agaknya gadis ini tadinya
memang sudah sudah telanjang bulat seperti para wanita lain dan ketika dibawa
menghadap baru diberi pakaian luar itu. Kini dia berdiri dengan tubuh telanjang
sama sekali, menunduk dan matanya setengah dipejamkan, rambutnya terurai ke
depan dada dan punggung.
“Hayo sanggul rambutmu itu baik-baik!”
kembali Tambolon memberi perintah dan gadis itu, masih merasa ngeri dan takut
memikirkan keadaan para wanita lain di bawah sana, mentaati tanpa mengeluarkan
sepatah pun kata. Untuk menyanggul rambutnya, terpaksa dia mengangkat kedua
lengannya ke atas sehingga bentuk tubuhnya tampak senyata-nyatanya.
“Lihat, betapa indah tubuhnya, hemm.... bukan
main indahnya!” Tambolon memuji.
“Tambolon!” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru, tak
mampu menahan kemarahannya karena melihat keadaan gadis telanjang itu, dia
merasa seolah-olah dirinya sendiri yang dihina seperti itu. “Aku minta padamu
agar gadis ini....”
“Tidak, aku yang ingin menantangmu untuk
memperebutkan gadis ini, Raja Tambolon!” Tiba-tiba Topeng Setan memotong
kata-kata Ceng Ceng dan ketika gadis ini memandang kaget, dia melihat mata yang
besar sebelah itu berkedip kepadanya.
Raja Tambolon yang tadinya menikmati
pemandangan indah di depannya seperti seorang mengagumi sehelai lukisan,
terkejut dan menoleh kepada dua orang tamunya itu. “Eh, kalian mau apa?”
Topeng Setan kini bangkit berdiri, sikapnya
berwibawa dan tubuhnya seperti lebih tinggi dari biasanya ketika dia mengangkat
dada menghadap Raja Tambolon sambil berkata, suaranya tetap halus datar namun
terdengar agak kaku, “Raja Tambolon, aku menantangmu untuk memperebutkan gadis
ini. Kalau kau kalah, gadis ini menjadi milikmu dan terserah hendak kauapakan
dia, akan tetapi kalau aku menang, dia harus diserahkan kepadaku.”
“Ha-ha-ha-ha!” Tambolon menepuk-nepuk perutnya
dan tertawa berkakakan, sungguh tidak pantas kalau orang sekasar ini menjadi
raja, pikir Ceng Ceng. “Engkau baru melihat yang begini saja sudah timbul
nafsu berahimu? Ha-ha-ha! Aku sendiri muak melihatnya. Setelah aku bertemu
dengan seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa seperti Nona Lu, sikap
gadis-gadis seperti itu yang lemah dan pucat benar-benar memuakkan hatiku. Dan
engkau malah timbul gairah? Ha-ha, lucu sekali! Topeng Setan, engkau adalah
tamuku, tamu terhormat. Kalau engkau menginginkan gadis itu, nah, kauambillah
dia sekarang juga. Aku rela!”
Ceng Ceng merasa betapa jantungnya berdebar
aneh. Selama ini, dia menganggap Topeng Setan sebagai seorang laki-laki yang
aneh dan penuh rahasia, akan tetapi yang jelas amat sayang kepadanya, selalu
siap melindungi dan membelanya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa begitu.
Topeng Setan ini pernah menolongnya, dan mungkinkah seperti halnya Tek Hoat,
laki-laki bertopeng penuh rahasia ini hanya terikat oleh janji ketika tertawan
dan berjanji hendak membantunya dan mengajarkan ilmu kepadanya? Berbeda dengan
Tek Hoat yang mempunyai pandang mata penuh gairah, laki-laki bertopeng ini
selalu kelihatan pendiam dan penuh rahasia, tidak pernah membayangkan gairah
apa pun seperti mayat hidup, atau seperti arca bernyawa. Akan tetapi sekarang,
mengapa secara tiba-tiba menghendaki gadis telanjang bulat yang memang amat
menggiurkan dengan tubuhnya yang muda dan mulus itu? Apakah artinya kedipan
mata tadi? Diam-diam dia merasa kecewa kalau sampai temannya ini menerima gadis
itu sebagai hadiah dari Tambolon, dan dia yakin bahwa pandangannya terhadap
Topeng Setan pasti akan berubah sama sekali kalau laki-laki bertopeng ini mau
menerima gadis telanjang itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dia menjadi makin
terheran ketika Topeng Setan berkata, “Terima kasih, Sri Baginda. Akan tetapi
gadis ini patut diperebutkan dan saya akan merasa terhina kalau hanya diberikan
begitu saja, dia pun menjadi kurang berharga bagiku. Karena itu, saya menantang
Paduka untuk memperebutkan gadis manis ini dengan saya.”
“Ong-ya, kalau dia tidak mau, biarlah
diberikan saja kepada saya. Pilihanku tidak semuda dan semanis dia!” Tiba-tiba
Yu Ci Pok, Si Siucai Maut, seorang di antara dua orang pengawal Tambolon yang
sejak tadi tidak pernah ikut bicara, sekarang berkata lantang dan matanya
memandang ke arah Topeng Setan dengan penuh ejekan. “Pula, saya kira gadis itu
akan lebih suka kepada saya daripada kepada dia!”
Tambolon tertawa. Memang dia sudah biasa
dengan sikap para anak buahnya yang tidak banyak peraturan terhadap dia, bahkan
kadang-kadang kasar. “Heh, anak manis, kaulihat kami bertiga ini. Kau memilih
yang mana? Aku, Raja Tambolon yang gagah perkasa, ataukah pengawalku ini,
Yu-siucai yang lebih muda dan tampan, ataukah Topeng Setan itu?”
Dengan mata terbelalak seperti mata seekor
kelinci salah masuk ke dalam guha penuh harimau, dan wajahnya pucat, gadis itu
memandang mereka bertiga, dan dia menunduk tanpa berani menjawab. Mereka semua
mengerikan baginya, terutama sekali wajah Raja Tambolon yang penuh brewok,
tinggi besar dan kasar, juga wajah Topeng Setan yang amat buruk dengan tubuhnya
yang tinggi pula. Betapapun juga, wajah siucai itu sama sekali tidak menghibur
hatinya. Kalau ada jalan, agaknya baginya lebih baik mati daripada harus
menyerahkan tubuhnya kepada seorang di antara mereka bertiga.
“Hei, kaulayani kami, hayo tuangkan arak
sebelum aku mengambil keputusan tentang tantangan Si Topeng Setan, ha-ha-ha!”
Raja Tambolon berkata dan gadis itu dengan tindakan lemas menghampiri meja.
Tubuhnya menjadi lemas, akan tetapi hal ini agaknya membuat lengannya menjadi
makin lemah gemulai menggairahkan. Kedua tangannya agak gemetar ketika dia
menuangkan arak di cawan Raja Tambolon.
Ketika gadis itu menuangkan arak di dekat Raja
Tambolon, orang kasar ini sambil tertawa menggunakan jari tangannya meraba
dada gadis itu dan ketika menuangkan arak pada cawan Si Siucai, orang she Yu
ini pun meraba pinggulnya. Hanya Si Petani dan Topeng Setan yang diam saja,
dan Ceng Ceng yang melihat ini, sudah menjadi marah sekali hampir tidak dapat
menahan kemarahannya. Akan tetapi sekali lagi dia melihat Topeng Setan berkedip
kepadanya, maka dia menahan kemarahannya.
Setelah mengajak tamunya minum arak, Tambolon
lalu berkata, “Topeng Setan, sepatutnya tantanganmu itu cukup untuk menjatuhkan
hukurpan mati kepadamu! Akan tetapi melihat muka Nona Lu, biarlah kuanggap
engkau sudah mabok, mabok arak dan mabok kecantikan gadis ini. Akan tetapi
engkau hanya seorang pengawal dan aku pun sudah kehilangan gairahku terhadap
gadis ini, maka biarlah Yu-siucai yang melayanimu. Siapa di antara kalian yang
lebih unggul, nah, boleh memiliki gadis ini. Ha-ha-ha!”
Yu-siucai mengeluarkan suara tertawa mengejek
lalu meloncat berdiri dan memandang kepada Topeng Setan sambil berkata, “Sobat
baik, salahmu sendiri kau tergila-gila kepada gadis ini. Sri Baginda memberikan
engkau kepadaku untuk menerima sedikit hajaran!”
Topeng Setan juga bangkit berdiri, menarik
napas panjang dan berkata, “Sayang Sri Baginda tidak menerima tantanganku.
Memperebutkannya dengan engkau kurang menarik. Akan tetapi kau majulah dan biar
aku menerima sedikit hajaranmu itu!”
Yu-siucai adalah seorang di antara dua
pengawal jagoan dari Tambolon yang sudah terkenal kelihaiannya. Biarpun dia
tidak selihai Si Petani yang sikapnya pendiam itu, namun Tambolon sendiri sudah
mengujinya dan jarang ada orang mampu menandingi kepandaian Yu-siucai ini. Dia
adalah seorang pelarian dari perguruan tinggi Hoa-san-pai karena menyeleweng
dan setelah dia menggembleng dirinya di Pegunungan Himalaya selama sepuluh
tahun, ilmu kepandaiannya meningkat hebat dan akhirnya dia bertemu dengan
Tambolon dan menjadi pengawal raja orang-orang liar itu. Karena di waktu
mudanya dia pernah mempelajari ilmu, membaca dan menulis, maka dia menganggap
dirinya sendiri sebagai seorang sastrawan. Dan memanglah kalau dibandingkan
dengan pasukan Tambolon yang hampir semua buta huruf itu, bahkan kalau
dibandingkan dengan Tambolon sendiri, Yu Ci Pok boleh dibilang merupakan orang
yang amat pandai dalam ilmu sastra sehingga dari pakaiannya ini dia terkenal
sebagai Si Siucai Maut!
Karena merasa bahwa di dalam pemerintahan
Raja Tambolon dia adalah seorang yang nomor tiga, maka muncullah sifat-sifat
sombong di dalam hati siucai yang usianya empat puluh tahun lebih ini,
menganggap bahwa tidak ada orang lain kecuali Raja Tambolon dan Si Petani yang
akan mampu menandinginya! Sudah menjadi wataknya dia memandang rendah kepada
orang lain, dan biarpun dia tahu bahwa Topeng Setan ini pun bukan orang biasa,
namun tetap saja dia memandang ringan dan kini sambil bertolak pinggang dia
menghadapi Topeng Setan sambil berkata, “Topeng Setan, aku yakin bahwa pibu
(adu ilmu silat) antara kita ini tidak akan lebih dari sepuluh jurus!”
“Hemmm, agaknya begitulah,” jawab Topeng
Setan.
Tiba-tiba Yu-siucai membentak keras dan
tubuhnya bergerak cepat sekali, menerjang dengan serangan kilat dan dalam
jurus pertama ini kedua tangannya sudah mengirim dua kali pukulan dan kedua
kakinya menendang dua kali, semua dilakukan susul-menyusul cepat sekali dan
mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat!
“Wut-wutt.... plak! Plak!”
Dengan amat mudahnya Topeng Setan mengelak
dari tendangan dan menangkis dua kali pukulan itu dengan tangannya. Dalam
melakukan ini, tubuhnya sama sekali tidak berpindah tempat, hanya bergerak
mengelak dan menangkis tanpa meloncat ke lain tempat, bahkan juga tidak merobah
kuda-kudanya yang dilakukan dengan kedua kaki terpentang lebar.
Hal ini membuat Yu-siucai terkejut sekali,
juga Tambolon dan Si Petani sekali pandang saja maklum bahwa Topeng Setan
benar-benar tak boleh dibuat permainan. “Yu-siucai, hati-hatilah terhadap
dia!” Tiba-tiba Si Petani berkata dan ucapannya ini saja sudah membuktikan
bahwa dia bermata awas.
Ceng Ceng yang tadinya khawatir juga
menyaksikan kehebatan serangan Yu-siucai yang demikian ganas, menjadi lega
ketika melihat betapa Topeng Setan menghadapinya dengan begitu tenang dan
yakin akan kemenangannya, maka dia mulai mengalihkan perhatiannya, melirik
kepada gadis telanjang itu yang kini mundur-mundur ke pinggir loteng dengan
mata terbelalak penuh rasa khawatir. Tambolon dan Si Petani mencurahkan
perhatiannya kepada pertandingan itu dengan hati tegang, karena tentu saja
mereka berdua ini ingin mengukur sampai di mana kepandaian Topeng Setan itu.
Yu-siucai sendiri juga maklum akan kelihaian
lawan. Tangkisan dua kali tadi saja sudah membuat kedua tengannya tergetar
hebat, tanda bahwa tenaga sin-kang lawan ini tidak berada di sebelah bawah
tingkatnya, padahal dia tidak tahu apakah lawan ini sudah mengerahkan seluruh
tenaganya. Kalau belum, sukar dibayangkan betapa kuatnya lawan dan mengingat
ini, Yu-siucai cepat menerjang lagi dengan kecepatan kilat dan mengirim
pukulan-pukulan yang lebih dahsyat daripada tadi untuk mendahului lawan karena
dia masih merasa yakin akan keunggulan permainan silatnya, sungguhpun jelas
bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat.
Topeng Setan bersikap tenang sekali dan dia
menghadapi serangan-serangan lawan dengan elakan cepat dan dibantu oleh
tangkisan-tangkisan kedua tangannya yang digoreskan secara mantap dan kuat.
Bahkan dia membiarkan Yu-siucai melancarkan serangan terus-menerus sampai
sembilan jurus lamanya, selalu dielakkan dan ditangkisnya, kemudian pada jurus
ke sepuluh, dia tidak hanya menangkis melainkan membalas dengan dorongan
tangannya. Tenaga sin-kang yang amat dahsyat menyambar, membuat Yu-siucai
terdorong ke belakang dan pada saat tubuhnya condong ke belakang ini, kakinya
kena ditendang dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya terlempar dan
terbanting jatuh di depan kursi Raja Tambolon!
Menyaksikan hasil ini, Ceng Ceng menjadi
gembira dan kumat lagi sifatnya yang nakal dan jenaka, sifat yang telah lama
hampir dilupakannya semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-li kemudian ditimpa
malapetaka pemerkosaan itu. Tanpa disadarinya, dia bertepuk tangan dan berkata
memuji, “Wah, Yu-siucai sungguh mengagumkan sekali! Sepantasnya kedudukan
pengawal diganti menjadi peramal karena ramalan Yu-siucai tepat sekali,
pertempuran tadi tepat berlangsung sepuluh jurus seperti yang diramalkannya!”
Mendengar kata-kata yang jelas merupakan
ejekan ini, Yu-siucai melompat bangun, tangan kanannya bergerak cepat ke arah
pinggangnya dan tahu-tahu dia telah mengeluarkan sepasang poan-koan-pit, yaitu
senjata sepasang alat tulis yang terkenal lihai karena sepasang senjata ini
merupakan alat-alat menotok jalan darah yang berbahaya.
“Aku tadi telah bersikap kurang hati-hati,”
katanya. “Akan tetapi aku belum kalah, Topeng Setan!”
Dengan sikap mengancam dia melangkah
satu-satu dengan gerakan tegap menghampiri Topeng Setan. Tiba-tiba dia
mengeluarkan seruan keras, tubuhnya bergerak dan tampaklah sepasang sinar kilat
menyambar-nyambar dari kedua tangannya ketika senjata poan-koan-pit itu mulai
menyerang.
“Hemmm....!” Topeng Setan terpaksa mengelak ke
kanan kiri dan bahkan lalu meloncat ke belakang. Demikian cepat dan hebatnya
serangan senjata kecil itu. Dan memang inilah keistimewaan Yu-siucai dan tidak
percuma dia dijuluki Siucai Maut karena senjatanya pun sesuai dengan
julukannya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil alat tulis dari
baja dan yang dimainkannya secara hebat sekali!
“In-kong, sambut ini!” Tiba-tiba Ceng Ceng
berseru dan dia telah melontarkan sepasang sumpitnya yang tadi dipakai makan,
kepada Topeng Setan. Sumpit itu terbuat dari gading dan dapat dipakai sebagai
sepasang senjata yang lumayan daripada bertangan kosong menghadapi sepadang
poan-koan-pit yang lihai itu.
“Terima kasih!” Topeng Setan berkata sambil
menyambar sepasang sumpit yang melayang ke arahnya itu. Sebetulnya, biarpun
mepghadapi sepasang senjata di tangan Yu-siucai dengan tangan kosong, Topeng
Setan sama sekali tidak merasa jerih karena ilmu kepandaiannya masih jauh lebih
tinggi daripada lawannya. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak tahu akan hal
ini dan telah membantunya.
“Ha-ha, bagus! Dengan begitu kita sama-sama
bersenjata!” Yu-siucai tertawa girang karena tadi dia merasa malu juga harus
menyerang lawan dengan senjata, sedangkan lawannya bertangan kosong. Kini,
melihat betapa lawannya telah memegang sumpit, dia menjadi girang. Apa artinya
sepasang sumpit itu dibandingkan dengan poan-koan-pitnya? Sekali gempur saja
tentu sumpit-sumpit itu akan patah-patah! Memang dengan poan-koan-pitnya ini
Yu-siucai telah mengalahkan banyak lawan secara mengagumkan. Ketika dia akan
diterima menjadi pengawal pribadi Tambolon, dia diharuskan memperlihatkan
kelihaian poan-koan-pitnya, melawan pengeroyokan selosin orang Mongol yang
bersenjata golok besar dan tidak sampai lima puluh jurus saja semua orang
Mongol itu telah roboh tertotok oleh sepasang poan-koan-pitnya!
Kini, menghadapi Topeng Setan yang memegang
sepasang sumpit dengan tangan kanannya, seperti orang yang hendak makan,
diam-diam dia mentertawakannya, lalu poan-koan-pitnya bergerak cepat sekali,
yang kiri menotok ke arah pundak kanan, sedangkan poan-koan-pit yang kanan
membayangi gerakan senjata yang kiri ini, siap untuk mengirim totokan susulan
yang mematikan!
Topeng Setan tentu saja dapat melihat gerakan
ini dengan jelas, akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti, menggunakan
sumpitnya dengan tangan kanan untuk menerima poan-koan-pit kiri lawan yang
menotok pundak kanannya.
“Cappp!” Hebat memang gerakannya karena
sepasang sumpitnya itu berhasil “menangkap” poan-koan-pit kiri lawan itu
seperti kalau menyumpit sepotong daging saja!
Menyaksikan kecepatan dan gerakan yang tepat
ini, Yu-siucai juga kaget sekali, apalagi ketika dia mengerahkan tenaga untuk
menarik kembali poan-koan-pit itu dia memperoleh kenyataan betapa senjatanya
itu seperti telah menjadi satu dengan sepasang sumpit gading dan tidak dapat
dicabut kembali. Akan tetapi, hal ini malah membuat dia girang karena kebodohan
lawan, maka cepat sekali poan-koan-pit di tangan kanannya meluncur dan menotok
jalan darah di bawah ketiak kiri lawan.
“Cusss....!” Tepat sekali poan-koan-pit itu
mengenai bagian yang harus ditotoknya, mengenai sasaran di bawah ketiak, akan
tetapi betapa kagetnya hati siucai itu ketika merasa betapa ujung
poan-koan-pitnya itu yang mula-mula mengenai kulit daging lunak, tahu-tahu
menancap dan seperti “dihisap”, juga tidak dapat dicabutnya kembali! Kini
Yu-siucai mengerahkan tenaga pada kedua tangannya untuk merampas kembali
sepasang poan-koan-pit yang sudah tertangkap lawan itu, yang kiri terjepit
oleh sepasang sumpit lawan, sedangkan yang kanan terjepit oleh ketiak lawan.
“Pletak....!” tiba-tiba terdengar suara keras
dan poan-koan-pit yang terjepit sumpit itu patah menjadi dua.
Yu-siucai kaget bukan main, melepaskan
poan-koan-pit yang sudah patah itu, lalu menggunakan tangan kirinya untuk
membantu tangan kanan berusaha mencabut poan-koan-pit yang terjepit di ketiak.
Tiba-tiba Topeng Setan melepaskan jepitannya dan tubuh siucai itu terhuyung ke
belakang. Dengan kemarahan meluap, dia lalu menerjang lagi dengan poan-koan-pit
yang hanya tinggal sebatang itu. Topeng Setan berkata, “Hemm, masih belum
puas?” Dia membiarkan poan-koan-pit yang menusuk ke arah lehernya itu lewat dan
secepat kilat sepasang sumpitnya digerakkan menotok lutut kanan kiri lawannya.
Tanpa dapat dicegah lagi Yu-siucai jatuh berlutut!
“Hi-hik, kalah adalah soal biasa, tidak perlu
berlutut, Yu-siucai!” Ceng Ceng berkata sambil tertawa.
“Maafkan saya,” Topeng Setan berkata sambil
melempar sepasang sumpitnya ke atas meja di mana sumpit itu menancap di depan
Ceng Ceng dengan rapi.
“Keparat, engkau Tambolon manusia
curang!” Ceng Ceng menjadi marah sekali dan sudah mencabut pedang Ban-tok-kiam
dari pinggangnya. Akan tetapi segera dia dikepung oleh Lauw Kui yang bersenjata
batang pikulannya yang terbuat dari baja dan Yu Ci Pok yang kini hanya
bersenjata sebatang poan-koan-pit dan belasan orang perwira, termasuk Kimonga
komandang pasukan liar itu.
“Ha-ha-ha, Nona Lu! Tambolon adalah orang yang
perintahnya tidak boleh dibantah oleh siapapun juga, termasuk engkau! Engkau
dan temanmu itu harus membantuku, mau atau tidak.”
“Tambolon manusia keparat!” Ceng Ceng memutar
pedang Ban-tok-kiam di tangannya dan semua pengeroyoknya meloncat mundur dengan
kaget karena pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan. Akan tetapi
tiba-tiba mereka melihat nona itu terguling! Pedang yang menyeramkan itu
terlepas dari pegangannya! Mereka bersorak girang, mengira bahwa nona ini pun
menjadi korban racun bius di dalam arak merah, maka mereka cepat menubruk dan
sekejap mata saja tubuh Ceng Ceng sudah diringkus, kedua kaki tangannya dibelenggu
dan gadis ini hanya memaki-maki dan berteriak-teriak. Dua orang perwira sudah
roboh berkelojotan karena sambaran rambut dan ludahnya yang disertai tenaga
beracun! Akhirnya dua orang pengawal Tambolon itu yang menanganinya sendiri,
menotoknya sehingga dia tidak dapat menggerakkan tubuhnya dan hanya memandang
dengan mata melotot!
“Ha-ha-ha, engkau baru tahu kelihaian
Tambolon, Nona Lu. Bawa dia ke kamarku dan lempar Topeng Setan itu ke dalam
kamar, jaga baik-baik dan belenggu dia jangan sampai terlepas. Akan tetapi
perlakukan mereka itu, calon-calon pembantuku, baik-baik!”
Ceng Ceng mendongkol bukan main, dan juga
terheran-heran. Tadi, ketika dia hendak mengamuk mati-matian mempertahankan
diri dan melindungi Topeng Setan, tiba-tiba kedua kakinya ditotok orang
sehingga dia terguling tanpa dapat dipertahankannya lagi, bahkan ketika dia
roboh itu, pedang Ban-tok-kiam juga terlepas dari tangannya karena sikunya
ditotok orang. Padahal tidak ada orang lain yang dekat dengannya kecuali Si
Topeng Setan yang telah rebah pingsan di atas lantai! Apakah pembantunya itu
yang menotoknya? Ah, agaknya tidak mungkin demikian. Ataukah Raja Tambolon
sedemikian lihainya sehingga raja itu yang mengeluarkan ilmunya yang mujijat?
Akhirnya dia berhenti memaki-maki dan memutar otaknya mencari akal ketika dia
dibawa orang ke dalam sebuah kamar dan diikat di atas pembaringan, tidak dapat
bergerak dan banyak perwira menjaga di dalam dan di luar kamar itu. Dia menanti
apa yang akan terjadi terhadap dirinya sambil mengasah otak mencari akal,
sambil diam-diam dia mengkhawatirkan nasib Topeng Setan.
***
Tek Hoat terpaksa mengawal Pangeran Liong Khi
Ong yang tergesa-gesa menyelamatkan dirinya ke dalam kota Teng-bun yang
dijadikan pusat dan markas besar pemberontak karena dia merasa tidak aman
berada di luar benteng ini melihat betapa banyaknya terdapat mata-mata
pemerintah. Dia khawatir kalau-kalau sampai dia tertangkap basah sebagai puncak
pimpinan pemberontak mewakili kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong yang masih berada
di kota raja mendekati Kaisar.
Tek Hoat diam-diam merasa mendongkol bukan
main. Dia merasa heran mengapa segala hal yang dipegangnya selalu mengalami
kegagalan! Mengapa di dalam waktu singkat ini dia telah bertemu dengan begitu
banyak orang pandai yang agaknya pada saat itu semua berkumpul di utara, di
tempat yang sedang geger ini.
Yang membuat dia merasa mendongkol sekali
adalah karena dia kembali telah kehilangan jejak Puteri Syanti Dewi! Sambil
mengawal Pangeran Liong memasuki benteng Teng-bun, dia mengenangkan puteri
yang cantik dan halus lembut itu, dan ia teringat betapa halus sikap puteri itu
terhadap dirinya ketika dia dahulu sengaja menghadang perjalanan rombongan
puteri ini di dekat sungai, betapa halus puteri itu minta kepadanya agar dia
pergi karena Sang Puteri hendak turun mandi di sungai! Teringat pula olehnya
betapa Syanti Dewi juga bersikap halus sekali, jauh bedanya dengan sikap kasar
Lu Ceng ketika dia menyamar sebagai tukang perahu dan “menolong” mereka dengan
perahunya. Gara-gara kenakalan Ceng Ceng maka dia terpaksa berpisah dan
kehilangan mereka! Bahkan hampir saja kitab-kitab dalam bungkusannya lenyap di
dasar sungai karena dibuang oleh gadis galak itu.
Di kota Koan-bun, secara kebetulan sekali dia
bertemu dengan Syanti Dewi! Mula-mula bahkan melihat puteri itu di dusun
Ang-kiok-teng di dalam warung. Betapa dia ingin merampas puteri itu di waktu
itu juga. Akan tetapi sungguh tidak beruntung baginya, puteri itu disertai
tiga orang yang demikian lihainya. Dua orang pemuda itu saja sudah amat lihai,
dan dia ingat bahwa mereka adalah orang-orang yang pernah menolong Jenderal
Kao, dengan sendirinya mereka tentulah orang-orang pemerintah, mungkin
mata-mata yang memiliki kepandaian lihai. Juga orang tua itu, sungguh amat lihai
dan tidak boleh dipandang ringan sama sekali apalagi orang setengah tua itu
disebut paman oleh mereka. Di kota Koan-bun dia telah diam-diam membayangi
mereka, akan tetapi kedatangan pasukan liar dari Tambolon mengakibatkan geger,
ditambah lagi dengan gerakan orang-orang pemerintah dan pendudukan kota
Koan-bun oleh Panglima Kim Bouw Sin, membuat dia kembali kehilangan Syanti Dewi
di antara orang banyak. Dia sudah mengerahkan kaki tangannya untuk mencari di
seluruh kota Koan-bun, namun hasilnya sia-sia. Gadis bangsawan itu seperti
lenyap ditelan bumi tidak meninggalkan bekas. Hal inilah yang membuat Tek Hoat
termenung dengan hati kesal dan murung, kehilangan kegembiraan hatinya,
sungguhpun kini gerakan pemberontakan mulai maju dan hal ini berarti bahwa
cita-citanya makin mendekati kenyataan. Dia sendiri merasa heran mengapa
setelah kini bertemu dengan Syanti Dewi, dia menjadi kehilangan gairahnya
terhadap cita-citanya, bahkan hampir tidak mempedulikan lagi tentang usaha
pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Liong.
“Semua gara-gara gadis laknat si Lu Ceng itu,”
pikirnya gemas. Kalau tidak ada Lu Ceng, tentu sekarang dia masih berdekatan
dengan Syanti Dewi. Akan tetapi, dia sendiri merasa heran mengapa kalau dia
sudah bertemu dengan Lu Ceng yang nakal itu, dia seperti mati kutu, padahal
biarpun gadis itu memiliki ilmu tentang racun yang amat lihai, dia toh akan
dapat mengalahkan gadis itu dengan mudah. Ada sesuatu yang aneh terjadi kalau
dia berhadapan dengan Lu Ceng, ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia
tidak tega untuk memusuhinya!
Kini dia mengalihkan kemendongkolan hatinya
pada dua orang pemuda tampan yang menemani puteri itu, dan kepada orang
setengah tua gagah sederhana itu. Mereka itulah yang menjadi penghalang
sehingga kembali dia kehilangan Syanti Dewi. Tadinya dia hampir berhasil
menawan atau membunuh dua orang pemuda itu, dengan bantuan tiba-tiba dari
Hek-wan Kui-bo Si Nenek Hitam buruk yang muncul membantunya, bahkan seorang di
antara dua orang pemuda itu telah terluka parah. Akan tetapi, ini pun akhirnya
gagal karena pemuda yang terluka itu dapat melenyapkan diri sedangkan pemuda
yang ke dua telah ditolong oleh laki-laki setengah tua yang amat hebat ilmunya
itu! Sungguh sial! Seolah-olah segala yang dipegangnya tidak berhasil baik!
Setelah Pangeran Liong Khi Ong memasuki gedung
yang disediakan untuknya, Tek Hoat diperbolehkan mengaso dan pemuda ini
memasuki kamarnya sendiri. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan
memejamkan mata, mengenangkan semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan
ibunya. Betapa lama sudah dia meninggalkan ibunya di puncak Bukit Angsa di
lembah Huang-ho. Teringat akan ibunya, timbul rasa rindu di dalam hatinya.
Sesungguhnya, di lubuk hatinya terdapat rasa kasih sayang yang amat besar terhadap
ibu kandungnya, juga perasaan iba yang besar. Teringat dia ketika beberapa
tahun yang lalu dia meninggalkan ibunya, dia berjanji akan pulang menengok
ibunya. Kenyataannya, sudah lima enam tahun dia pergi, tidak pernah dia pulang
ke Bukit Angsa! Sungguh kasihan ibunya, hidup seorang diri, menanti-nanti
kedatangannya.
“Kau anak tidak berbakti!” Dia memaki dirinya
sendiri. “Sebetulnya engkau sudah harus pulang.”
“Tidak!” Bentaknya sambil membuka kembali
matanya. “Kalau aku pulang dalam keadaan begini saja, tentu hati ibu akan
kecewa. Tidak! Aku baru akan pulang kalau cita-citaku sudah berhasil, menjadi
raja atau pangeran atau setidaknya seorang pembesar yang berkedudukan tinggi
dan mulia di kota raja. Baru aku akan pulang menjemput ibuku dengan segala
hormat....” Dia lalu memejamkan matanya kembali, membayangkan betapa dia
menjemput ibunya dengan kereta besar dan mewah, dikawal pasukan yang gagah,
kemudian mengajak ibunya memasuki sebuah istana miliknya sendiri! Betapa
ibunya akan girang dan bangga!
Dan dari dalam istana itu menyambut keluar
mantu ibunya, Puteri Syanti Dewi yang cantik jelita! Puteri Raja Bhutan. Betapa
ibunya akan makin bangga dan dia.... ahhh! Tek Hoat bangkit dan duduk,
bertopang dagu. Dia melamun terlalu jauh, sedangkan puteri itu pun berada di
mana dia tidak tahu. Mengapa dia bermalas-malas seperti ini?
Tek Hoat cepat meloncat, berganti pakaian lalu
berlari keluar setelah memberitahukan pengawal dalam bahwa kalau Pangeran
Liong Khi Ong bertanya tentang dia agar dikatakan bahwa dia pergi
berjalan-jalan untuk memeriksa keadaan. Tek Hoat lalu memasuki kota Tek-bun
yang sudah mulai normal kembali karena Panglima Kim Bouw Sin dengan tangan besi
memaksakan keamanan dan ketenteraman di kota yang dijadikan benteng
pemberontak itu.
Penjagaan di seluruh kota amat ketat dan
pengawasan amat cermat sehingga agaknya amat sukarlah bagi mata-mata pemerintah
untuk menyusup ke dalam kota pemberontak ini tanpa diketahui. Tek Hoat yang
sudah banyak dikenal oleh para perwira yang memimpin penjagaan dan perondaan
kota sebagai tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang memiliki kepandaian amat
tinggi, berkali-kali disapa dengan hormat oleh mereka dan dibalasnya dengan
anggukan kepala tak acuh karena hatinya sedang kesal. Dia tidak ingin mencari Syanti
Dewi di kota Koan-bun lagi karena ada belasan orang kaki tangannya yang sudah
diberi tugas untuk mencari gadis itu di sana. Tiba-tiba timbul pikiran yang
aneh dalam kepalanya. Siapa tahu, yang dicarinya itu berada di Teng-bun!
Betapapun aneh dan tidak masuk akalnya, dugaan ini, akan tetapi siapa tahu! Dia
teringat betapa teman-teman puteri itu adalah orang-orang yang tinggi sekali
ilmunya, siapa tahu dia yang membawa puteri itu menyelundup ke pusat
pemberontak ini! Mulailah dia memasan mata memperhatikan keadaan
sekelilingnya.
Karena dia kini mulai memandang ke sekeliling
dengan penuh kewaspadaan, maka tiba-tiba dia dapat melihat munculnya sesosok
bayangan orang di antara kemuraman cuaca senja hari itu. Sosok bayangan tubuh
seorang nenek bertongkat, nenek yang buruk rupa, yang telah membantunya
menghadapi dua orang pemuda pengawal Syanti Dewi yang lihai. Nenek yang mengaku
berjuluk Hek-wan Kui-bo, Si Iblis Lutung Hitam! Mau apa nenek aneh itu
berkeliaran di Teng-bun? Padahal dia tahu betul bahwa nenek itu tidak mempunyai
hubungan apa-apa dengan Pangeran Liong atau para pimpinan pemberontak lainnya.
Bagaimana nenek ini dapat memasuki Teng-bun? Memang tidak begitu mengherankan
andaikata nenek ini dapat menerobos penjagaan yang ketat karena memang nenek
ini memiliki kepandaian hebat, akan tetapi, apakah kehendaknya memasuki benteng
ini?
Dengan beberapa langkah saja Tek Hoat dapat
mengejarnya. “Perlahan dulu, Hek-wan Kui-bo!”
Nenek itu terkejut bukan main, tubuhnya
membalik dan tahu-tahu ujung tongkatnya sudah menyambar ke arah jalan darah di
dada Tek Hoat dengan serangan totokan maut yang amat berbahaya.
“Siuuutttt.... plakk!” Tek Hoat terpaksa
menangkis dengan tangan yang dimiringkan karena serangan itu dahsyat dan
berbahaya sekali.
“Ihhh.... wah, kiranya engkau, orang muda yang
tampan dan gagah perkasa? Hi-hik, hampir saja engkau mampus di ujung
tongkatku!”
Merah muka Tek Hoat mendengar ini dan ia
tersenyum mengejek. Kalau saja nenek ini tidak pernah membantunya, tentu sudah
diserangnya nenek ini yang begitu memandang rendah kepadanya. “Hemm, kurasa
tidaklah begitu mudah, Kui-bo!”
Nenek itu tertawa. Makin menjijikkan mukanya
ketika dia tertawa. Muka yang kelaki-lakian dan buruk itu menjadi makin buruk
karena kini mulutnya terbuka dan kelihatan tiga buah giginya yang besar-besar
dan bergantung saling berjauhan, sehingga kelihatan seperti mulut binatang
yang bertaring.
“Aku tahu.... aku tahu, engkau adalah Si Jari
Maut, pembantu yang amat sakti dari Pangeran Liong, bukan? Masih begini muda
sudah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan.”
Tek Hoat merasa tidak suka kepada nenek ini.
Wajah buruk itu membayangkan banyak sekali kepalsuan yang mengerikan.
“Hek-wan Kui-bo, apakah maksud kedatanganmu menyelundup ke Teng-bun ini?”
“Hi-hik, engkau mencurigai aku? Aku sudah
membantu menghadapi dua orang mata-mata pemerintah yang masih muda-muda dan
juga lihai itu.”
“Dalam kedaan seperti sekarang ini, siapapun
harus dicurigai, dan kami semua tidak tahu apa maksud kedatangan seorang tokoh
seperti engkau, Kui-bo.”
“Hi-hi-hik, apa sih yang diinginkan seorang
nenek seperti aku? Laki-laki muda dan tampan? Wah, aku sudah muak dan tidak ada
lagi nafsu di tubuhku yang tua! Kekayaan? Untuk apa? Memakai segala yang indah
pun aku tidak akan dapat menjadi cantik, makan yang bagaimana mahal dan lezat
pun, gigiku yang tidak lengkap akan mendatangkan rasa yang tidak enak! Akan
tetapi kedudukan! Nah, itu! Nama besar, wah, itu masih kuperlukan. Kemuliaan
dan penghormatan! Eh, orang muda, aku ingin bertemu dengan Liong Bin Ong atau
Liong Khi Ong!”
“Mau apa?”
“Aku ingin membantu pemberontakannya dengan
janji bahwa aku kelak akan mendapatkan balas jasa yang berupa pangkat dan
kedudukan terhormat di dalam istana! Aku Hek-wan Kui-bo yang selalu dipandang
rendah, dianggap iblis, aku ingin kelak mati sebagai seorang paduka yang mulia,
ditangisi oleh rakyat senegara dan dibikin bong-pai (nisan) yang paling mewah
dan besar, disembahyangi sampai ribuan tahun!”
Tek Hoat muak mendengar ini, akan tetapi dia pun
tahu bahwa tenaga nenek ini memang amat diperlukan di waktu itu. “Hek-wan
Kui-bo, tidaklah mudah untuk bertemu dengan kedua orang pangeran itu.
Biasanya, sebelum orang diterima menjadi pembantu, dia harus memperlihatkan
kecakapannya lebih dulu, harus membuat jasa lebih dulu. Apakah jasamu terhadap
pemerintah baru yang dipimpin oleh kedua orang Pangeran Liong?”
“Hi-hi-hi-hik, jadi di sini ada pula peraturan
sogokan? Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Aku sudah siap dengan barang
sogokan yang tentu akan menggirangkan hati Pangeran Liong Khi Ong!”
Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Sogokan? Apa
maksudmu?”
“Aih-aihh.... kura-kura dalam perahu, ya?
Pura-pura tidak tahu! Siapakah di dunia ini yang tidak mengenal sogokan? Aku
mendengar bahwa seorang di antara kedua orang pangeran tua itu, seperti hampir
semua lakl-laki di dunia ini, mahluk menyebalkan, gila akan wajah cantik dan
tubuh mulus seorang perawan remaja! Nah, jasaku yang pertama untuk Pangeran
Liong Khi Ong adalah persembahanku berupa seorang dara remaja yang cantik
jelita!”
Tek Hoat menjadi makin sebal. “Hemm, Hek-wan
Kui-bo, mengingat bahwa engkau pernah membantuku, aku tidak menaruh curiga
kepadamu. Akan tetapi jangan engkau bermain gila dalam keadaan seperti ini. Tak
perlu kututupi bahwa Pangeran Liong Khi Ong sekarang memang berada di Teng-bun
dan memang beliau seorang laki-laki tua yang suka kepada wanita muda, akan
tetapi jangan harap kalau engkau dapat bertemu dengan dia hanya karena engkau
dapat mempersembahkan seorang gadis muda. Beliau sudah tidak kekurangan
penghibur berupa banyak dara-dara jelita!”
“Eh-eh, jangan engkau memandang rendah, ya?
Gadis jelita di seluruh Teng-bun ini, bahkan di seluruh daratan, belum tentu
dapat menyamai gadis yang akan kupersembahkan sebagai uang sogokan atau uang
kunci ini! Tidak ada keduanya! Bukan perawan biasa, bukan cantik sembarang
cantik. Aku adalah seorang wanita tua, aku lebih tahu tentang kecantikan
wanita daripada kalian kaum pria! Aku tahu mana kecantikan aseli, mana pulasan!
Aku sendiri dahulu di waktu muda pun cantik jelita, akan tetapi terus terang
saja, dibandingkan dengan perawan ini, aku mengaku kalah jauh!”
“Sudahlah, Hek-wan Kui-bo, harap jangan engkau
mimpi yang bukan-bukan. Tunjukkan jasamu untuk perjuangan, baru aku ada pikiran
untuk membawamu menghadap Pangeran Liong Khi Ong. Urusan kecil mengenai gadis
itu tidak perlu kausebut-sebut lagi....”
“Urusan kecil! Mulut besar! Kaubilang urusan
kecil, ya? Kau tahu, aku berani tanggung bahwa dia itu adalah keturunan raja,
dia pasti seorang puteri bangsawan tinggi, dan bukan berdarah pribumi! Kalau
Pangeran Liong melihatnya....”
Tiba-tiba perhatian Tek Hoat tertarik. Tentu
saja! Siapa lagi kalau bukan Syanti Dewi yang dimaksudkan oleh nenek ini? “Dari
mana engkau memperoleh dia itu?” tanyanya dengan suara datar sambil menekan
guncangan hatinya.
“Heh-heh, jangan kau memandang rendah, ya?
Susah payah aku membawanya dari himpitan orang-orang yang panik ketika terjadi
geger di Koan-bun, susah payah aku membujuknya dan susah payah pula aku
menyelundupkannya ke Teng-bun untuk kupersembahkan kepada Pangeran Liong Khi
Ong agar aku diterima membantunya, eh.... kau mengatakannya urusan kecil! Apa
kau berarti menantangku, orang muda?” Nenek itu sudah melintangkan tongkatnya
di depan dada, sikapnya menantang dan marah sekali.
Jantung Tek Hoat terguncang makin keras. Kalau
saja cuaca tidak menjadi makin gelap, tentu akan tampak perubahan pada
wajahnya yang tampan. Dia yakin kini bahwa yang dimaksudkan nenek iblis ini
adalah Syanti Dewi! Pantas saja disuruhnya cari di seluruh pelosok kota
Koan-bun tidak berhasil, kiranya gadis itu terjatuh ke dalam tangan nenek ini
dan diselundupkan ke Teng-bun!
“Hemmm, baiklah.... baiklah....! Aku percaya
kepadamu, akan tetapi aku harus melihat dulu orangnya untuk kunilai apakah dia
patut dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong. Engkau harus mengerti bahwa
saat ini dia dikelilingi banyak gadis cantik, maka kalau persembahanmu itu
tidak istimewa sekali, tentu beliau akan marah terganggu.”
“Boleh-boleh, kau boleh melihatnya sendiri!”
nenek itu berkata penuh keyakinan dan Tek Hoat lalu mengikuti nenek ini
berjalan menyusuri jalan raya itu. Kini nenek itu berjalan dengan
terang-terangan karena dia tidak takut lagi berjumpa dengan para penjaga yang
semua mengenal Tek Hoat bahkan menghormatinya.
Tek Hoat heran bukan main ketika mendapat
kenyataan bahwa nenek itu membawanya ke sebuah rumah gedung yang.... berdekatan
dengan gedung yang dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh Pangeran Liong Khi
Ong. Dia tahu bahwa gedung itu adalah milik seorang hartawan di kota Teng-bun.
“Eh, bagaimana kau dapat tinggal di sini,
Kui-bo? Apakah engkau masih ada hubungan dengan Coa-wangwe (Hartawan Coa)?”
Nenek itu terkekeh. “Tentu saja ada
hubungannya, masuklah!”
Mereka memasuki lewat pintu samping yang
kecil dan makin heranlah Tek Hoat karena tidak ada penjaga seorang pun di situ,
juga tidak nampak seorang pun pelayan. Nenek itu sambil terkekeh mendahului Tek
Hoat memasuki ruangan besar di tengah gedung dan terkejutlah Tek Hoat ketika
melihat semua keluarga Coa termasuk semua pelayannya duduk berjajar-jajar di
atas lantai ruangan itu, semuanya terbelenggu dan tidak mampu bergerak atau
bersuara karena mereka telah tertotok gagu semua!
“He-he-he, aku terpaksa meminjam tempat mereka
selama menanti diterimanya oleh Pangeran. Kelak belum terlambat bagiku untuk
minta maaf kepada mereka ini yang telah berjasa kepadaku, hi-hi-hik!”
“Bebaskan mereka!” Tek Hoat berkata, menahan
kemarahannya. Keluarga hartawan Coa ini adalah sahabat baik Panglima Kim Bouw
Sin dan sudah banyak menyumbang untuk usaha pemberontakan itu.
“Heh-heh, bagaimana kalau mereka melarang
kami....”
“Bebaskan, kalau engkau memang mempunyai
makaud baik dengan kami semua, Kui-bo!”
“Hi-hi-hik, kau berwibawa juga, orang muda!
Ha-ha, bebas, bebaslah....!”
Nenek itu berloncatan di antara orang-orang
itu dan tongkatnya bergerak. Demikian cepatnya tongkat itu bergerak-gerak dan
belenggu-belenggu itu beterbangan, semua orang itu terbebas dari belenggu dan
dapat bergerak kembali. Diam-diam Tek Hoat memandang gerakan ini dan harus
mengakui bahwa nenek ini benar-beinar lihai, di samping wataknya yang ku-koai
(aneh).
“Mari, mari kaulihat bidadariku....”
Tek Hoat menghampiri Coa-wangwe yang sudah bangkit
berdiri, menjura dan berkata, “Harap Coa-wangwe memaafkan perbuatan nenek yang
aneh ini dan tidak perlu ribut-ribut karena aku sendiri yang akan mengurus dan
membereskannya.”
Coa-wangwe yang sudah mengenal Tek Hoat,
mengangguk, dan Tek Hoat lalu mengikuti nenek itu memasuki sebuah kamar yang
besar dan mewah karena kamar ini adalah kamar tidur sendiri dari Coa-wangwe.
Di sudut kamar terdapat sebuah pembaringan yang terukir indah sekali, dengan
kasur dan tilam sutera yang berkembang dan dihias sulaman. Meja kecil di depan
pembaringan itu juga terukir, dan sebuah lampu penerangan tergantung dari
gantungan yang berupa burung emas!
“Lihat.... heh-heh-heh, lihat baik-baik....
pernahkah engkau melihat puteri secantik dia?” Nenek itu menuding ke arah
pembaringan di mana rebah seorang gadis dalam keadaan tidur pulas.
Tek Hoat berdiri tegang, jantungnya berdebar
penuh kegirangan dan juga ketegangan. Gadis itu tidur dengan bibir agak
tersenyum, lengan kanan tergantung sedikit di tepi pembaringan, tangan kiri di
atas perut, pakaiannya sederhana saja akan tetapi kesederhanaan pakaiannya itu
tidak menyembunyikan keagungan wajah. Puteri Bhutan itu bahkan membuat
kecantikannya makin menonjol.
Memang siapa lagi puteri itu kalau bukan
Syanti Dewi? Seperti telah kita ketahui, puteri ini terpisah dari Gak Bun Beng,
Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ketika terjadi geger di kota Koan-bun. Dia ikut
terseret oleh arus manusia yang berhimpit-himpit itu. Di dalam segala hal,
manusia selalu berebutan, selalu memikirkan kepentingan diri pribadi. Di waktu
tidak ada bahaya mengancam diri, manusia berlumba dan saling memperebutkan
harta benda, kedudukan, atau nama dan dalam perebutan ini siapa yang menghalang
di jalan akan diterjang. Demikian pula di dalam keadaan bahaya mengancam,
mereka juga berebutan, saling memperebutkan keselamatan diri masing-masing
tanpa menghiraukan orang lain, siapa yang menghalang di depan akan
diterjangnya, bahkan setiap orang akan tidak malu-malu atau ragu-ragu untuk
menggunakan mayat orang lain sebagai batu loncatan menuju ke arah keselamatan
diri sendiri!
Syanti Dewi yang tadinya masih mempunyai
harapan akan dapat tersusul oleh tiga orang temannya itu atau setidaknya oleh
seorang di antara mereka, menjadi panik juga ketika makin lama makin jauh
terseret sampai tidak dapat melihat Gak Bun Beng atau dua orang saudara Suma.
Akhirnya dia tiba di tempat yang tidak begitu penuh orang karena pasukan itu
telah lewat dan dia cepat mundur sampai mepet di tembok rumah agar tidak
terseret terus makin menjauh. Dia memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan
sepasang matanya membayangkan kekhawatiran.
“Nona yang cantik, engkau mencari siapakah?”
Tiba-tiba dia mendengar suara orang dan ketika dia menoleh, dia terkejut
melihat seorang nenek yang mukanya buruk sekali, kasar, hitam, rambutnya
riap-riapan dan memegang sebatang tongkat yang bentuknya seperti ular. Akan
tetapi karena betapa buruknya pun orang itu hanya seorang wanita tua, Syanti
Dewi menjawab, “Aku terseret arus manusia dan terpaksa berpisah dari
teman-temanku, Nek. Aku khawatir sekali, bagaimana dapat menemukan mereka
kembali dalam arus manusia sebanyak itu?”
“Aduh kasihan.... Nona tentu bukan orang
sini....”
“Bagaimana engkau bisa menduga begitu, Nek?”
“Hi-hik, aku hanya menduga-duga.... jangan
khawatir, Nona. Aku akan membantumu mencarikan teman-temanmu itu. Mari, pegang
tongkatku.”
Karena sedang panik, tentu saja uluran tangan
siapa pun untuk membantunya mencari tiga orang temannya itu merupakan hal yang
amat menggembirakan. “Terima kasih, nenek yang baik,” katanya dan tanpa
ragu-ragu lagi dia menggandeng nenek itu, bukan memegang tongkatnya, melainkan
memegang tangan kirinya.
Baru dia terkejut sekali ketika mendapat
kenyataan betapa nenek itu dapat berjalan cepat sekali, menyelinap dan menyusup
di antara orang banyak sambil menariknya, dan dengan sedikit terdorong
tangannya saja dia sudah dapat membuat banyak orang yang menghalangi jalannya
terdorong tumpang tindih sehingga terkuak jalan untuk mereka!
“Aihh, kiranya engkau lihai sekali, Nek!”
Syanti Dewi berkata.
“Hi-hi-hik, kalau Hek-wan Kui-bo tidak lihai,
siapa lagi yang lihai di dunia ini?”
Semenjak keluar dari istana Bhutan, Syanti
Dewi terus-menerus mengalami hal-hal yang luar biasa dan dia bahkan terseret-seret
ke dalam dunia persilatan di mana dia bertemu dengan banyaK tokoh persilatan
yang lihai-lihai. Oleh karena ini maka begitu melihat nenek yang lihai ini dan
mendengar julukannya yang menyeramkan, yaitu Biang Setan Lutung Hitam,
mengertilah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan seorang tokoh hitam yang
menyeramkan! Akan tetapi dengan pembawaannya yang tenang Syanti Dewi tidak
memperlihatkan sikap takut, melainkan menoleh ke kanan kiri, mencari-cari tiga
orang temannya itu. Kalau saja dia dapat melihat seorang di antara mereka! Dia
tidak akan terancam lagi oleh nenek ini! Akan tetapi dia tidak melihat seorang
pun di antara mereka, dan nenek itu sudah menariknya lagi.
“Nanti dulu, Kui-bo. Kita berhenti dan cari
mereka di sini!” Syanti Dewi berkata, menyebut “Kui-bo” seolah-olah tanpa
mengerti artinya.
“Heh-heh, hayo ikut dengan aku. Seorang dara
jelita seperti engkau ini amat berbahaya kalau berkeliaran seorang diri di
tempat ini dalam keadaan seperti sekarang ini. Apa kau lebih suka dilarikan
serdadu-serdadu dan diperkosa oleh mereka?”
Tentu saja Syanti Dewi terkejut mendengar
ini, memandang nenek itu dengan mata terbelalak dan menggeleng kepalanya.
“Heh-heh, nah, kalau begitu hayo ikut dengan aku, kucarikan tempat yang baik
untukmu. Orang seperti engkau ini pantasnya berada di dalam kamar seorang raja
atau pangeran!” Dia menarik terus sampai mereka tiba di pintu gerbang kota
Koan-bun. Tiba-tiba Syanti Dewi merasa betapa pundaknya nyeri dan tahu-tahu
tubuhnya telah menjadi lemas dan dia dipondong dan dibawa meloncat oleh nenek
itu keluar dari kota Koan-bun melalui tembok pagar yang tinggi!
Setelah nenek itu turun ke luar tembok dan
lari cepat sekali, Syanti Dewi yang tak mampu bergerak itu berkata, “Kui-bo,
lepaskan aku!”
Mereka telah berada jauh dari kota dan di
tempat sunyi. Sambil terkekeh Hek-wan Kui-bo membebaskan totokannya dan
menurunkan tubuh Syanti Dewi. Dara ini membalik, menghadapi nenek itu tanpa
sikap takut sama sekali, kemarahan berpancar dari sepasang matanya yang indah dan
dia menegur, “Hek-wan Kui-bo, katakanlah sejujurnya, engkau ini hendak
membantuku mencari teman-temanku ataukah mempunyai niat lain yang tidak baik?”
Nenek itu tersenyum dan memandang penuh
perhatian kepada dara yang berdiri di depannya. Kecantikannya yang tidak dapat
disembunyikan dengan pakaian sederhana, sikapnya yang agung dari cara dara itu
menggerakkan kepala dan cara dia memandang, dari gerak bibir dari dagunya,
semua itu tidak luput dari penilaian Hek-wan Kui-bo.
“Nona yang baik, engkau puteri dari manakah?”
Syanti Dewi terkejut, akan tetapi dengan sikap
biasa dia berkata, “Aku seorang gadis biasa yang terpisah dari keluargaku dalam
keributan dikota itu.”
“He-heh-heh, engkau tidak bisa membohongi
Hek-wan Kui-bo. Engkau tentu seorang puteri bangsawan tinggi, dari suku bangsa
lain di luar daerah.”
“Sudahlah, Kui-bo. Aku menghaturkan terima
kasih atas pertolonganmu, dan kalau engkau mempunyai keperluan lain, biarlah
aku sendiri kembali ke Koan-bun untuk mencari keluargaku yang terpisah dariku.
Syanti Dewi menjura lalu membalikkan tubuhnya
dan melangkah pergi. Akan tetapi dia melihat bayangan hitam berkelebat dan apa
yang dikhawatirkannya terjadi. Nenek itu sambil menyeringai telah berdiri di
depannya!
“Jangan tergesa-gesa, Nona manis! Sudah
kukatakan bahwa seorang dara seperti engkau sepatutnya berada di kamar seorang
raja atau pangeran dan engkau akan membantu aku berhubungan dengan Pangeran!
Haya!” Tiba-tiba nenek itu menerkamnya. Syanti Dewi yang sedikit banyak pernah
belajar ilmu silat, mencoba untuk mengelak dan memukul leher nenek itu.
“Dukkkk!” Pukulannya mengenai leher dengan
tepat akan tetapi diterima sambil tertawa saja oleh Hek-wan Kui-bo yang sudah
mengempit tubuhnya dan membawanya lari cepat sekali! Syanti Dewi memukul-mukul
sampai akhirnya nenek itu kembali menotoknya sehingga dia tidak mampu bergerak
lagi dan terpaksa memejamkan mata karena merasa ngeri dibawa lari seperti
terbang cepatnya itu.
Dengan mempergunakan ilmunya yang tinggi mudah
saja malam itu Hek-wan Kui-bo memasuki kota Teng-bun yang terjaga ketat oleh
pasukan tentara pemberontak. Seperti seekor burung gagak, dia meloncati pagar
tembok sambil mengempit tubuh Syanti Dewi, kemudian setelah menyelinap di
antara rumah-rumah penduduk, akhirnya dia memasuki pekarangan belakang gedung
Coa-wangwe.
Malam itu Coa-wangwe sekeluarga sudah tidur
pulas di kamar masing-masing. Mereka merasa aman karena Coa-wangwe adalah
seorartg yang kaya-raya dan pandai mempergunakan kekayaannya untuk memperoleh
kedudukan yang baik dalam pandangan para pimpinan pemberontak. Dia bersahabat
baik dengan panglima pernberontak Kim Bouw Sin, bahkan siang tadi dia
memperoleh kehormatan untuk menyambut tamu agung, Pangeran Liong Khi Ong yang
memasuki Teng-bun secara menyamar. Gedung itu terjaga oleh sepasukan pengawal
terdiri dari lima orang jagoan yang memiliki kepandaian tinggi dan semua pintu
dan jendela terbuat dari kayu-kayu tebal dan semua terkunci rapat.
Akan tetapi, betapa kagetnya Coa-wangwe dan
isterinya ketika tiba-tiba mereka tersentak bangun karena selimut mereka
direnggut orang. Mereka bangkit duduk dengan mata terbuka lebar dan melihat
seorang nenek tua berwajah buruk sekali telah berada di depan pembaringan
mereka. Nyonya Coa hendak menjerit, akan tetapi sinar hitam berkelebat dan
ujung tongkat itu telah menotok lehernya, membuat dia terjatuh rebah kembali
dan teriakannya tidak mengeluarkan suara! Juga tongkat itu menyambar ke arah
Coa-wangwe yang menjadi lemas. Mereka berdua lalu diikat dan urat gagu mereka
ditotok, kemudian diseret ke ruangan tengah dan dilemparkan ke sudut ruangan
di mana telah penuh dengan para pengawal, pelayan dan keluarga lain, pendeknya
Coa-wangwe suami isteri merupakan orang-orang terakhir dari seluruh penghuni
rumah itu yang menjadi tawanan, terbelenggu dan tertotok sehingga selain tidak
mampu bergerak juga tidak mampu bersuara. Coa-wangwe melihat ke arah lima
orang jagoannya dan mereka ini hanya terbelalak penuh ketakutan memandang
kepada nenek itu yang selalu terkekeh-kekeh seperti orang gila. Mereka masih
merasa ngeri karena tadi tahu-tahu ada nenek buruk muncul di depan mereka. Lima
orang pengawal dan penjaga itu sudah serentak mengepung dan menyerang dengan
golok mereka, akan tetapi nenek itu menggerakkan tongkatnya, tiga batang golok
patah, dua batang golok yang tepat mengenai punggung dan kepala nenek itu
terpental seperti menghantam balok besi dan di lain saat sinar hitam tongkat
itu berkelebat dan mereka roboh tanpa mereka ketahui bagaimana cara dan apa
sebabnya!
Syanti Dewi tidak berdaya sama sekali ketika
dia dituntun oleh nenek itu memasuki kamar Coa-wangwe yang indah dan megah. Dia
duduk di atas kursi memandang nenek itu setelah totokannya dibebaskan, dan
dengan suara halus dia bertanya, “Hek-wan Kui-bo, engkau telah merampas rumah
orang dan membawaku ke sini. Apakah sebenarnya kehendakmu?”
Kembali nenek itu tertegun. Sikap yang tenang
dan agung itu, suara yang masih seperti orang memandang rendah kepadanya, sikap
seorang ratu! Dalam keadaan terculik seperti itu, kalau lain gadis tentu akan
menangis dan minta-minta ampun, minta dibebaskan. Akan tetapi gadis ini agaknya
malah menguasai keadaan, mengajukan pertanyaan kepadanya seperti seorang dewasa
bertanya kepada seorang anak kecil yang nakal!
“Kalau aku menyembelihmu di sini, mencincang
tubuhmu sampai hancur lebur, bagaimana, heh-heh!” Nenek itu mengancam untuk
menakut-nakuti gadis itu. Dia merasa tersinggung juga bahwa dia yang begitu
hebat dan lihai sama sekali tidak ditakuti oleh gadis ini, gadis lemah ini, padahal
lima orang jagoan penjaga gedung itu jelas merasa takut dan ngeri.
Sepasang mata indah itu sama sekali tidak
berkedip, tanda bahwa ucapan yang mengandung ancaman gertakan itu sama sekali
tidak mengusik hati dara jelita itu. Bahkan bibir yang merah dan bentuknya
seperti gendewa terpentang itu membentuk senyum ketika hendak berkata,
“Hek-wan Kui-bo, entah berapa puluh kali hidupku terancam maut sehingga
kematian bagiku bukanlah hal yang menimbulkan rasa takut lagi. Aku tentu tidak
akan mampu mempertahankan diri dan melawanmu jika engkau hendak membunuhku,
akan tetapi hal itu pasti tidak akan kaulakukan.”
“Eh....? Kalau kulakukan sekarang, kau mau
apa?”
Syanti Dewi menggeleng kepalanya. “Orang
seperti engkau hanya akan melakukan sesuatu yang menguntungkan dirimu, Nenek
yang baik. Kalau engkau ingin membunuhku, tentu tidak susah-susah kau membawaku
ke sini, dan aku tidak melihat keuntungan apa-apa bagimu kalau kau
membunuhku.”
Nenek itu terbelalak, kaget dan tertawa
bergelak. “Heh-heh-khek-khek-khek! Engkau cerdas sekali! Memang aku tidak
membunuhmu, anak yang baik dan cantik! Tidak, malah engkau akan kumuliakan
hidupmu. Kautunggulah saja di sini, dan besok engkau tentu akan berada di
pangkuan seorang pangeran dan engkau akan berterima kasih kepada Hek-wan
Kui-bo, hah-ha-ha-ha!”
Sekali ini di dalam hatinya Syanti Dewi merasa
ngeri. Samar-samar dia dapat menduga bahwa tentu dia akan “dijual” oleh nenek
iblis ini kepada seorang laki-laki yang suka membayarnya, bukan dengan harta
karena pemilik gedung ini pun seorang hartawan, melainkan membelinya dengan
kedudukan. Karena itulah maka nenek ini selalu menyebut raja atau pangeran!
“Aku akan menunggu di sini, Kui-bo. Lakukanlah
apa yang kaukehendaki.” Syanti Dewi lalu menghampiri pembaringan dan duduk di
atasnya. Akan tetapi ternyata nenek yang sudah bangkotan dan kawakan itu mana
mungkin dapat dibodohi dengan sikap wajar ini? Dia terkekeh dan melangkah
maju. Syanti Dewi terkejut dan hendak meloncat menjauhi, namun dia jauh kalah
cepat. Tahu-tahu nenek itu sudah mengebutkan sehelai saputangan hitam dan
terciumlah bau yang keras oleh Syanti Dewi. Dara ini menjadi gelap mata dan
pening seketika, dan tak lama kemudian dia pun terguling roboh di atas
pembaringan dalam keadaan tak sadar atau tertidur pulas! Hek-wan Kui-bo
terkekeh dan mendorong tubuh gadis itu sehingga rebah telentang di tengah
pembaringan, kemudian tersaruk-saruk dia melangkah ke luar untuk mencari dan
menjumpai Pangeran Liong Khi Ong yang dia tahu berada di dalam kota Teng-bun itu.
Demikianlah apa yang dialami oleh Syanti Dewi
sampai nenek itu bertemu dengan Tek Hoat dan mengajak pemuda itu memasuki
gedung hartawan Coa di mana Tek Hoat dengan terkejut sekali mengenal Syanti
Dewi yang rebah miring di atas pembaringan itu!
“Syanti Dewi....!” tanpa disadarinya lagi Tek
Hoat berseru lirih, akan tetapi bagi Hek-wan Kui-bo sudah cukup keras untuk
dapat mendengarnya.
“Aih, kiranya dia puteri dari Bhutan yang
dikabarkan lenyap itu....! Ha-ha-ha, tentu Pangeran Liong Khi Ong akan senang
sekali menerima persembahanku ini....!”
Hati Tek Hoat terkejut sekali. Pemuda yang
cerdik ini mempergunakan otaknya dengan cepat. Syanti Dewi kini sudah berada
di tangannya, mana mungkin dia akan melepaskannya begitu saja kepada orang
lain? Satu-satunya jalan, nenek ini harus disingkirkan!
“Haiiittt....!” Tiba-tiba dia memekik dan
tangannya sudah menghantam dengan kecepatan kilat dan kekuatan dahsyat ke arah
ulu hati nenek itu.
“Hayaaaa....!” Nenek buruk itu adalah sumoi
dari Hek-tiauw Lo-mo, seorang yang selain memiliki kepandaian amat tinggi juga
kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja sejak tadi dia sudah siap siaga
karena di dalam hatinya dia tidak bisa percaya penuh kepada setiap orang
manusia, apalagi Tek Hoat yang dia tahu amat lihai dan baru saja dikenalnya.
Maka, betapapun hebatnya serangan dari pemuda itu, Hek-wan Kui-bo telah
menduga sebelumnya dan cepat nenek ini melempar tubuh ke belakang ketika ada
angin dahsyat menyambar, sambil menggerakkan tongkatnya menangkis.
“Wuuuttt.... krekkkk!” Ujung tongkat nenek itu
bertemu dengan lengan tangan Tek Hoat, menjadi patah dan pada saat itu juga,
dari tongkat patah itu menyambar jarum-jarum hitam beracun ke arah dada Tek
Hoat dari jarak yang amat dekat! Tidak ada kesempatan lagi bagi pemuda itu
untuk mengelak atau menangkis, maka dia menggigit bibir, mengerahkan
tenaganya sehingga semua tenaga simpanan di dalam pusarnya naik ke dalam dada
dan dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dengan menjejakkan kakinya kuat-kuat
ke atas lantai. Belasan batang jarum itu menembus bajunya dan mengenai dadanya,
namun kulit dadanya sudah menjadi seperti dilapisi baja saja sehingga
jarum-jarum itu runtuh kembali tanpa melukainya sedikit pun. Sambil menerima
jarum-jarum ini, Tek Hoat tidak tinggal diam saja, tangan kanannya meraba
pinggang dan tahu-tahu seperti main sulap saja, pedang Cui-beng-kiam telah
terhunus dan berada di tangannya. Melihat pedang yang mengeluarkan sinar
mengerikan sekali itu, Hek-wan Kui-bo mengeluarkan suara tertawa aneh, tubuhnya
mencelat ke belakang dan lenyap dari gedung itu! Nenek ini sama sekali bukan
lari karena ketakutan sungguhpun dari pertemuan ujung tongkat yang patah, lalu
runtuhnya jarum-jarumnya ditambah pedang ampuh mengerikan di tangan pemuda itu
membuat dia maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan yang luar biasa beratnya.
Dia lari pergi karena terdorong oleh kecerdikannya yang pandai mencari siasat
dalam keadaan bagaimanapun juga. Nenek ini maklum bahwa sekali Tek Hoat
berteriak, dia akan dikepung oleh tentara dan banyak orang lihai sebagai
mata-mata dan celakalah dia karena dia maklum bahwa menghadapi seorang pemuda
lihai dan cerdik seperti Tek Hoat Si Jari Maut ini, bantahan dan pembelaan
dirinya akan sia-sia belaka. Karena itulah dia cepat pergi dan lari dari situ,
bukan karena takut melainkan untuk menjalankan siasatnya!
Tek Hoat tidak mengejar nenek itu. Dia
khawatir akan keadaan Syanti Dewi yang tampaknya terus tidur dan sama sekali
tidak terbangun oleh keributan itu. Dengan satu loncatan saja dia sudah berada
di dekat pembaringan itu, dan berlutut untuk memeriksa keadaan Syanti Dewi.
Jantungnya berdebar keras melihat betapa tubuh yang menggairahkan dan wajah
yang cantik jelita itu telentang di depannya, tinggal dia mengulur tangan saja!
Dia meraba pergelangan tangan dara itu dan hatinya lega. Syanti Dewi memang
sedang tidur pulas, kepulasan yang mencurigakan. Dia dapat menduga bahwa tentu
dara ini telah dibius oleh nenek iblis itu sehingg tertidur daiam keadaan
setengah pingsan.
Seperti orang terpesona Tek Hoat berlutut dan
menatap wajah itu. Selama hidupnya belum pernah dia menjumpai seorang wanita
yang memiliki daya tarik sehebat Puteri Bhutan ini. Dan puteri ini akan
dipersembahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, Si Pangeran tua bangka yang mata
keranjang itu? Nanti dulu! Tek Hoat mendengus dan dia lalu membungkuk dan....
menyentuh pipi itu dengan ujung hidungnya dengan mesra. Tiba-tiba dia meloncat
berdiri. Dia harus cepat menyadarkan gadis ini dan mengajaknya pergi dari
tempat itu. Kalau sampai Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa Syanti Dewi
berada di Teng-bun, tentu pangeran itu akan mengerahkan segalanya untuk
mendapatkan puteri yang telah ditunangkan dengan dia itu, apalagi kalau
pangeran tua itu sudah melihat sendiri kecantikan Syanti Dewi! Tergesa-gesa Tek
Hoat lari ke belakang, mencari air dan tak lama kemudian dia sudah kembali ke
dalam kamar membawa sepanci air dingin. Dengan hati-hati dia membasahi dahi
dan tengkuk gadis itu, mengurut jalan darah di lehernya.
Tak lama kemudian usahanya berhasil. Syanti
Dewi mengeluh panjang dan Tek Hoat cepat menaruh panci air itu ke atas meja dan
memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kagum. Karena tidak sadar, Syanti
Dewi menggerakkan seluruh tubuhnya, menggeliat dan penglihatan ini membuat Tek Hoat
menelan air liurnya, apalagi ketika Syanti Dewi mengeluh dan mengerang perlahan
sambil membuka bibirnya yang merah dan mengejap-ngejapkan matanya. Kini
sadarlah Syanti Dewi dan cepat dara ini membuka matanya, teringat akan nenek
buruk seperti setan. Ketika dia melihat seorang pemuda berdiri di dekat
pembaringannya, dia berteriak dan bangkit duduk lalu meloncat turun dan
tangannya meraba-raba di balik jubahnya yang panjang, kemudian ketika tangan
itu keluar, dia sudah memegang sebatang pisau tajam yang gagangnya terhias
permata, memegangnya dengan ujungnya mengarah ulu hatinya sendiri. Pisau ini
adalah pemberian Jenderal Kao kepadanya dan sama sekali tidak disangkanya
bahwa pisau ini ternyata pada saat itu merupakan sebuah benda yang amat
berharga baginya.
“Mundur kau.... sekali saja engkau
berani merabaku, pisau ini akan menembus jantungku dan engkau hanya akan
memiliki mayatku!” Suara itu halus dan tenang dan tangan yang memegang pisau
sedikit pun tidak gemetar, sedangkan tangan kirinya depgan jari-jari halus
meruncing itu membuat gerakan seperti hendak mendorong pemuda itu untuk
mundur.
Tek Hoat terkejut sekali dan melangkah
mundur. Dia memandang penuh kekhawatiran ke arah ujung pisau yang menempel di
antara dua tonjolan dada di balik baju itu, lalu menatap wajah yang tenang dan
menggerakkan kedua tangannya ke atas sambil berkata, “Haiii.... engkau salah
duga. Aku datang untuk menolongmu....!”
“Simpan bujukanmu yang palsu!” Syanti Dewi
menghardik. “Kau kira aku takut? Nenek setan itu tentu telah menjualku
kepadamu, entah iblis dari mana adanya engkau ini!”
“Sama sekali salah. Aku telah mengusir nenek
itu dan baru saja aku menyadarkanmu dengan air dingin. Engkau tertidur karena
obat bius dan aku hendak menolongmu.”
“Laki-laki bohong! Kaukira dengan kemudaan dan
ketampananmu engkau akan dapat membujuk aku? Pergi dari sini!” Syanti Dewi
berkata lagi dan ujung pisau itu masih mengancam dan menodong dadanya sendiri
karena hanya itulah satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya dari
gangguan laki-laki ini.
“Hemm, keangkuhan seorang puteri! Dalam
keadaan begini, engkau masih angkuh dan memandang rendah orang lain. Baiklah
kalau engkau lebih suka dibawa oleh nenek itu dan dihadiahkan kepada seorang
laki-laki tua untuk menjadi permaisurinya!” Tek Hoat memutar tubuhnya. Syanti
Dewi memandang bengong dan dia menjerit ketika tiba-tiba pemuda itu memutar
tubuhnya secepat kilat, kaki pemuda itu telah menyambar dan tepat mengenai
pisau yang dipegangnya.
“Takkk.... singgg.... ceppp!” Pisau yang kena
ditendang itu terbang ke atas dan menancap di langit-langit! Tek Hoat tersenyum
mengejek dan melangkah maju.
Akan tetapi Syanti Dewi sudah dapat menguasai
dirinya, berdiri tegak dengan dagu diangkat dan memandang dengan sinar mata merendahkan
sekali. “Sudah kuduga, engkau tentu manusia buruk juga. Apa kaukira hanya
dengan pisau saja aku dapat membunuh diri? Hendak kulihat, kalau engkau berani
menggangguku, lalu aku menutup pernapasanku, atau kutusuk pelipisku dengan
jari tangan, atau kubenturkan kepalaku pada dinding, engkau akan dapat
mencegahku atau tidak!”
Tek Hoat tertegun dan menghentikan langkahnya.
Ancaman gadis itu terdengar mengerikan dan dia tahu bahwa Puteri Bhutan ini
mempunyai ilmu silat yang cukup untuk dapat melakukan ancaman-ancaman tadi
dengan hasil baik. “Engkau gadis keras kepala!” gerutunya.
“Dan engkau laki-laki rendah budi, kurang
ajar, dan keji!” Syanti Dewi membalas.
“Sekali lagi aku katakan kepadamu bahwa aku
datang untuk menolongmu, membawamu keluar dari kota ini dan....”
Tiba-tiba muka pemuda itu berubah dan dari
luar menerobos masuk nenek Hek-wan Kui-bo diikuti oleh sepasukan pengawal yang
mengiringkan Pangeran Liong Khi Ong sendiri!
“Tek Hoat, benarkah Nona ini adalah Syanti
Dewi dari Bhutan?”
Tek Hoat cepat menjura dan berkata dengan
suara berat, “Benar, Pangeran.”
“Heh-heh-heh, Pangeran Liong Khi Ong, bukankah
benar keteranganku? Aku menemukan dia untuk Paduka!” nenek itu terkekeh. Tek
Hoat mendongkol sekali dan merasa menyesal mengapa dia tadi tidak mengejar dan
membunuh saja nenek yang ternyata amat cerdik ini.
“Bagus, jasamu besar sekali, Kui-bo,” Pangeran
Liong Khi Ong berkata sambil melangkah maju dan memandang Syanti Dewi dengan
wajah berseri-seri, kemudian dia menjura dan berkata dengan suara halus dan
teratur sebagaimana layaknya seorang pangeran berhadapan dengan seorang puteri
raja, dalam hal ini seorang calon isterinya.
“Harap Sang Puteri sudi memaafkan kami bahwa
baru saat ini kami dapat berhadapan dengan Sang Puteri yang mulia. Jelas bahwa
bumi dan langit memang menghendaki perjodohan antara kita sehingga setelah
melalui berbagai rintangan akhirnya kita dapat saling berjumpa juga. Selamat
datang, Sang Puteri dan marilah kami iringkan ke tempat peristirahatan untuk
menghilangkan kekagetan dan kelelahan.”
Puteri Syanti Dewi sejak tadi memandang pria
tua itu penuh perhatian. Laki-laki itu tentu sudah lebih dari lima puluh tahun
usianya, pakaiannya mewah sekali dan dari muka dan tangannya yang terawat
rapi, bahkan ada tanda-tanda bedak di pipinya, membuktikan bahwa pangeran tua
itu adalah seorang pesolek. Pandang matanya jelas membayangkan nafsu berahi
yang besar, mata yang seperti berminyak dan mengeluarkan sinar berapi, juga
tidak malu-malu memandanginya dari atas ke bawah sehingga Syanti Dewi merasa
seolah-olah tubuhnya ditelanjangi dan digerayangi oleh pandang mata itu yang
berhenti di tempat-tempat tertentu! Dia bergidik, akan tetapi mengingat bahwa
kini dia berhadapan dengan seorang pangeran, biarpun dia tahu bahwa pangeran
ini adalah pemberontak, maka ketakutannya menipis dan harapannya timbul bahwa
seorang pangeran setidaknya adalah seorang bangsawan terpelajar sehingga tentu
tidak akan bertindak sewenang-wenang. Dia cepat berlutut dengan sebelah kaki
sebagai tanda penghormatan, berdiri lagi dan berkata sambil menundukkan
mukanya.
“Terima kasih saya haturkan atas kebaikan
Paduka Pangeran!” Dia lalu melirik ke arah Tek Hoat, kemudian ke arah Hek-wan
Kui-bo. Nenek itu tersenyum kepadanya akan tetapi pemuda itu mengerutkan
alisnya dan memandang kepadanya seperti orang marah-marah.
“Sang Puteri, silakan, mari kami antar ke
istana kami yang darurat dan seadanya di kota ini.” Pangeran itu
mempersilakan dengan tangan kanannya dengan sikap hormat.
“Baik, Pangeran, akan tetapi saya harap dapat
kiranya pisau saya di sana itu diturunkan dan dikembalikan kepada saya,”
Syanti Dewi menuding ke atas di mana pisaunya masih menancap di langit-langit
kamar itu.
“Eh, bagaimana pisau Sang Puteri bisa terbang
ke sana!” Pangeran Liong Khi Ong berseru aneh sambil menoleh kepada Tek Hoat.
“Hamba.... hamba terpaksa membuat pisau itu
terlempar dari tangan Sang Puteri karena.... karena beliau tadi hendak
menyerang hamba,” kata Tek Hoat.
“Hemm, untung Sang Puteri tidak terluka. Tek
Hoat, ambil kembali pisau itu!”
“Hi-hi-hik, Pangeran, biarlah hamba yang
mengambilnya!” Nenek itu mendahului Tek Hoat, tangan kanannya didorongkan ke
atas ke arah pisau itu. Dari telapak tangan nenek itu menyambar hawa dahsyat ke
atas, pisau itu bergoyang-goyang dan nenek itu memperkuat dorongan hawa dari
tangannya dan pisau itu akhirnya runtuh dan diterima oleh nenek itu sambil
terkekeh. Semua pengawal memandang kagum bukan main dan Tek Hoat diam-diam
juga harus mengakui bahwa nenek ini merupakan lawan yang tangguh.
“Bukan main! Engkau ternyata lihai sekali,
Kui-bo. Sungguh senang hatiku, memperoleh seorang pembantu lagi yang memiliki
kepandaian tinggi.”
“Hamba bersedia membantu Paduka sampai
berhasil segala yang Paduka cita-citakan, dan hamba hanya mengharapkan ikut
menikmati kemuliaan Paduka kelak.”
“Ha-ha-ha, tentu saja, Kui-bo. Bantulah kami
dan kelak engkau akan kuberi kedudukan yang mulia,” Pangeran itu mengulurkan
tangan dan menerima pisau itu dari tangan Hek-wan Kui-bo, lalu mengamati pisau
itu penuh perhatian. Dia menoleh kepada Syanti Dewi sambil bertanya, “Sang
Puteri, kami lihat pisau ini bukanlah buatan Bhutan, sungguhpun amat indahnya!”
“Memang bukan, Pangeran. Pisau itu adalah
pemberian seorang sahabat saya yang paling baik.” Sambil berkata demikian,
Syanti Dewi membayangkan wajah Jenderal Kao yang seolah-olah menjadi pengganti
orang tuanya ketika dia ditinggalkan oleh Gak Bun Beng di dalam benteng
jendela itu. Melihat pisau itu disimpan oleh Pangeran Liong Khi Ong di ikat
pinggangnya, dia tidak berani minta dan dia hanya berjalan keluar diiringkan
oleh pangeran itu dan semua pengawal serta kaki tangannya.
Puteri Syanti Dewi yang sekali berjumpa telah
membuat pangeran tua itu tergila-gila, segera memperoleh sebuah kamar istimewa
di dalam gedung besar yang menjadi tempat tinggal sementara dari Pangeran Liong
Khi Ong itu, dilayani oleh lima orang pelayan wanita, diberi pakaian dan
perhiasan-perhiasan indah. Akan tetapi dengan halus semua itu ditolak oleh
Syanti Dewi. Hati puteri ini masih gelisah. Dia terjatuh ke tangan pangeran
yang dahulu dicalonkan menjadi suaminya. Dahulu dia tidak berani dan tidak
dapat membantah kehendak ayahnya dan dia sudah menyerah kepada keadaan,
bahkan dia telah diboyong dari istana ayahnya. Akan tetapi sekarang lain lagi
persoalannya. Dia telah secara aneh terbebas dari ikatan itu, telah melakukan
perantauan dan mengalami hal-hal yang luar biasa, maka kini diam-diam hatinya
memberontak dan dia tidak bersedia lagi untuk menjadi isteri Pangeran Liong
Khi Ong. Burung manakah yang setelah terbang bebas lepas di udara merindukan
kurungan kembali? Teringat akan Gak Bun Beng, dia agak terhibur. Pendekar
sakti itu sudah pasti akan mencarinya dan akan menolongnya ke luar dari
kurungan baru ini.
Akan tetapi hatinya gelisah melihat betapa
tugas pertama yang diterima oleh nenek mengerikan itu adalah menjaga di luar
kamarnya! Nenek itu sambil tersenyum muncul di pintu dan berkata, “Wahai,
Puteri jelita, Nona calon pengantin yang bahagia! Bukankah semua kata-kataku
tepat belaka? Paduka telah berada di kamar seorang pangeran besar! Heh-heh,
Paduka patut berterima kasih kepada hamba dan mudah-mudahan kelak Paduka tidak
akan lupa akan jasa-jasa hamba.”
Syanti Dewi tidak menjawab dan nenek itu terkekeh
lagi. “Dan harap Paduka jangan mencoba untuk melarikan diri dari sini. Aku
sendiri yang menjaga di sini atas perintah Pangeran, hi-hi-hik!” Dan wajah yang
buruk itu lenyap dari pintu. Puteri itu menahan tangisnya, dan dia menjatuhkan
diri di atas pembaringan dengan penuh kecemasan.
***
Ceng Ceng mengerahkan tenaga dalamnya untuk
membebaskan totokan, namun sebelum dia berhasil, dia telah dibelenggu dengan
erat sehingga tidak mampu bergerak lagi. Juga Topeng Setan yang agaknya masih
di bawah pengaruh obat bius itu telah dibelenggu erat-erat. Keduanya lalu
diangkat dan didudukkan di atas kursi.
Tambolon tertawa bergelak dan minum arak
untuk memberi selamat kepada diri sendiri yang telah merobohkan gadis lihai
dengan pembantunya yang bertopeng itu, ditemani oleh Liauw Kui Si Petani Maut
dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut yang lihai, menanti sampai dua orang yang sudah
terbelenggu itu sadar, atau tepatnya menanti Topeng Setan sadar karena gadis
itu sama sekali tidak terpengaruh oleh obat bius yang terkandung di dalam arak
yang disuguhkan kepada mereka sebagai ucapan selamat jalan tadi.
Topeng Setan siuman kembali dan mengeluh,
menggerakkan kepalanya yang tadi terkulai menunduk.
“Ha-ha-ha-ha!” Tambolon tertawa nyaring,
“Betapapun lihai kalian berdua, mana mampu menandingi kecerdikan kami!”
“Tak tahu malu!” Ceng Ceng memaki sambil
memandang dengan mata berapi. “Katakan saja kecurangan, siapa bilang
kecerdikan?”
Tambolon menghirup araknya lalu melempar
cawan arak ke atas meja sambil berkata, “Ha-ha-ha, Nona manis, engkau seperti
seekor kuda betina liar yang pernah kukejar-kejar di padang rumput! Ketahuilah,
setiap muslihat yang berhasil selalu merupakan kecerdikan bagi yang menang akan
tetapi dianggap kecurangan oleh yang kalah! Kalau hendak membunuhmu, apa
sukarnya? Akan tetapi aku sayang sekali, sayang akan kecantikanmu, keliaranmu,
dan kepandaianmu, ha-haha. Kuda betina liar seperti engkau ini amat menarik,
harus kujinakkan sendiri!” Raja Tambolon yang sudah setengah mabok itu
mengusap mulutnya dengan ujung lengan bajunya, lalu dia memberi aba-aba kepada
dua orang pengawal yang berjaga di situ, “Bawa kuda betina ini ke kamarku!”
Dua orang pengawal itu memberi hormat, lalu
menghampiri Ceng Ceng yang sudah terbelenggu kaki tangannya seperti seekor
lembu hendak disembelih itu. Mereka mengulur tangan dan mengangkat tubuh Ceng
Ceng dari kanan kiri. Pada saat itu, Ceng Ceng mengerahkan tenaga sin-kangnya
karena totokan di tubuhnya tadi sudah buyar sendiri, lalu mengumpulkan hawa
beracun, mengerahkan ilmunya yang dipelajarinya dari Ban-tok Moli.
“Cuhh! Cuhh!” Dua kali dia meludah ke kanan
kiri, tepat mengenai muka kedua orang pengawal yang sedang mengangkatnya itu.
Mereka menjerit, melepaskan tubuh Ceng Ceng dan roboh bergulingan di atas
lantai sambil berteriak-teriak, mencakar-cakar muka sendiri yang terkena sudah
beracun tadi!
Raja Tambolon kaget, memerintahkan
pengawal-pengawal lain untuk menyeret pergi dua orang yang terkena sudah
beracun itu dan dia sudah mencabut sebatang pedang panjang sambil memandang
kepada Ceng Ceng dengan mata marah, “Iblis betina! Kiranya engkau benar-benar
iblis beracun! Untung ketahuan kini bahwa engkau adalah ular beracun, siluman
ular yang harus dibasmi sebelum mencelakakan kami semua!”
“Huh, mau bunuh lekas bunuh! Siapa sih yang
takut mati? Seribu kali lebih baik mati dengan gagah daripada hidup menjadi
pengecut curang macam kamu, raja liar!” Ceng Ceng memaki-maki.
Tiba-tiba Topeng Setan berkata, “Sri Baginda,
tahan dulu! Kita merupakan dua kekuatan yang kalau bersatu padu akan
mendatangkan keuntungan besar. Mengapa menjadi bentrok sendiri? Membunuh kami
berdua pun tidak ada gunanya karena Sri Baginda bersama seluruh pasukan telah
masuk perangkap dan hanya kami berdualah yang akan dapat menolong.”
Ceng Ceng merasa heran sekali mendengar
ucapan Topeng Setan itu, akan tetapi dia juga amat cerdas dan dapat menduga
bahwa tentu orang yang menjadi pembantunya, juga penolong dan sahabatnya,
boleh dibilang gurunya pula, mempunyai suatu akal yang belum dapat dia
menduganya.
“Eh, Topeng Setan!” bentaknya. “Perlu apa
bicara dengan raja biadab ini? Biar saja dia dan pasukannya tertumpas habis,
hendak kulihat bagaimana dia akan dapat membunuh kita!”
Raja Tambolon mengerutkan alisnya, tangannya
yang memegang pedang ragu-ragu.
“Sri Baginda, jangan mendengar gertakan
mereka!” Yu Ci Pok Si Siucai berkata.
“Bunuh saja, Sri Baginda. Wanita ini terlalu
berbahaya dengan kelihaian racunnya!” Liauw Kui juga berkata.
Tiba-tiba Topeng Setan tertawa bergelak. “Sayang
sekali! Sri Baginda Tambolon yang benar-benar gagah perkasa itu mempunyai
pembantu-pembantu yang tolol. Sahabatku ini seorang beng-cu, mana mungkin hanya
menggertak sambal belaka? Kalau kita berniat buruk, apa sih sukarnya meloloskan
diri?” Sambil berkata demikian, Topeng Setan menggerakkan kaki tangannya.
Terdengar suara keras dan semua belenggu itu patah-patah dan dia sudah bebas!
Dengan cepat dia lalu menghampiri Ceng Ceng dan mematah-matahkan belenggu kaki
tangan dara itu.
“Aihh, kenapa engkau tergesa-gesa?” Ceng Ceng
berkata, seolah-olah menegur Topeng Setan. “Apa kaukira aku sendiri tidak bisa
membebaskan diri? Tadinya aku masih ingin melihat apakah raja liar ini akan
dapat membunuh kita.”
“Maaf, Beng-cu. Kiranya Sri Baginda Tambolon
sudah dapat mendengar kata-kata kita yang bermaksud baik.”
Tambolon dan dua orang pembantunya kaget
setengah mati. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang ini benar-benar lihai
bukan main dan tadi agaknya hanya pura-pura saja. Jelas bahwa gadis itu tidak
terpengaruh obat bius, akan tetapi Topeng Setan itu pun agaknya hanya pura-pura
pingsan saja!
“Kepung....!” Tambolon berteriak karena
khawatir kalau-kalau dua orang ini akan mengamuk dan lolos.
“Sri Baginda, apakah masih tidak percaya
kepada kami?” Topeng Setan berkata. “Pasukanmu sengaja disuruh menduduki
dusun yang tidak ada artinya ini, karena pasukan Kim Bouw Sin sebenarnya
menganggap pasukan Paduka hanya pasukan liar yang harus dibasmi, akan tetapi
lebih dulu akan dipergunakan menentang pemerintah.”
“Bohong! Sudah lama aku berhubungan dengan
Pangeran Liong!” Tambolon berteriak.
“Paduka sungguh tidak dapat berpikir panjang.
Pangeran Liong adalah dua orang saudara pemberontak, mana mungkin mempunyai
hati setia? Seorang pemberontak adalah orang yang tidak setia kepada rajanya.
Kalau kepada rajanya sendiri, bahkan dalam hal ini kakaknya sendiri, tidak
dapat setia, apalagi terhadap Paduka yang dianggap raja bangsa liar? Selama
mereka membutuhkan, tentu saja mereka bersikap baik kepada paduka, akan tetapi
mereka akan menghancurkan pasukan Paduka begitu mereka tidak memerlukannya
lagi.”
Ceng Ceng terheran-heran mendengar semua
kata-kata Topeng Setan ini. Biasanya, pembantunya yang tak pernah dia lihat
mukanya ini jarang bicara, dan amat pendiam. Akan tetapi sekarang pandai sekali
bicara, dan mengerti tentang seluk-beluk pemerintah dan pemberontakan
agaknya.
“Hemmm.... hemmm.... orang bertopeng!
Siapakah engkau? Mari duduk dan bicara, apa yang menjadi kehendakmu.” Raja
Tambolon mempersilakan mereka duduk dan memberi tanda dengan tangannya,
sehingga semua anggauta pasukan yang sudah mengepung tempat itu mengundurkan
diri. Dia tidak khawatir terhadap dua orang lihai ini karena selain dia
sendiri dan dua orang pembantunya juga berkepandaian tinggi, juga di luar
masih ada pasukannya yang amat banyak dan tidak mungkin dua orang ini dapat
lolos. Akan tetapi dia tertarik sekali oleh kata-kata Topeng Setan tadi.
Setelah mereka duduk, Ceng Ceng yang mulai
mengerti bahwa temannya itu tentu hendak menggunakan suatu taktik yang amat
lihai, berkata mengejek, “Sri Baginda, apakah masih ada arakmu yang mengandung
racun lebih hebat daripada tadi?”
Raja Tambolon tertawa, “Ha-ha-ha, engkau
memang hebat, Nona, baik sebagai kawan maupun sebagai lawan engkau amat
mengesankan. Apa artinya arak beracun bagi seorang dewi beracun seperti
engkau? Haii, pelayan! Ambil arak wangiku dari kamar!”
Pelayan berlari-lari dan tak lama kemudian
mereka berlima kembali duduk seperti tadi, mengelilingi meja sambil minum arak wangi.
“Nah, sekarang perkenalkan dirimu dan
ceritakan maksud hatimu,” kata Tambolon.
“Semua orang mengenal saja sebagai Topeng
Setan dan Nona ini adalah Nona Lu Ceng beng-cu dari kalangan liok-lim yang
terkenal dan baru-baru ini diangkat dalam pemilihan. Kami tahu betul bahwa
pihak pemberontak hanya mempergunakan pasukan Paduka untuk memperkuat diri.
Karena melihat bahwa Paduka adalah orang gagah, maka kami lebih senang berkawan
daripada berlawan. Dengan berkawan kita dapat bersama-sama menghadapi Kim
Bouw Sin dan pasukan pemberontaknya.”
“Huh! Topeng Setan, jangan bicara yang
bukan-bukan! Kalau memang Pangeran Liong dan Panglima Kim Bouw Sin berhati
bengkok, kami pasti akan membasminya. Akan tetapi jangan mengharap kami akan
membantu Kerajaan Ceng-tiauw! Kalian agaknya adalah mata-mata Pemerintah Ceng!”
“Raja Tambolon, jangan engkau bicara
sembarangan saja!” Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. “Aku adalah seorang bengcu,
mana sudi merendahkan diri menjadi mata-mata?” Lalu dia menoleh kepada Topeng
Setan sambil berkata, “Apa kubilang tadi! Percuma saja bicara dengan
orang-orang bodoh ini, membuang-buang tenaga dan waktu saja. Biarkan saja
mereka ini hancur lebur!”
Raja Tambolon menepuk meja. “Baiklah, aku
mendengarkan! Coba katakan, mengapa engkau menduga bahwa kami ditipu oleh
pasukan pemberontak?”
“Bukan menduga saja, Sri Baginda. Beng-cu
telah menyebar banyak penyelidik dan dari para penyelidik itulah kami
mengetahui akan hal itu.”
“Nanti dulu, Topeng Setan. Kalau kalian bukan
mata-mata Pemerintah Ceng, mengapa kalian tadi membela Panglima Thio yang
mengepalai pertahanan di Ang-kiok-teng ini?” Si Siucai yang cerdik bertanya
dan kembali Tambolon timbul kecurigaannya.
“Phuihhh!” Ceng Ceng bangkit berdiri dan
menggebrak meja sehingga mangkok piring berloncatan di atas meja. “Masih tidak
percaya? Apakah hal begitu saja kalian tidak dapat menduga? Kalau kami tidak
membantu mereka, tentu mereka itu tentu akan tahu bahwa kami berada di pihak
musuh dan semua anak buah kami tentu akan celaka! Dan kalau memang kami
membantu musuh apa kaukira aku sudi memberi obat penyembuh seratus
orang-orangmu? Pendeknya, pilih satu antara dua. Percaya dan menjadi sahabat
kami, atau tidak percaya dan menjadi musuh kami!”
Tambolon mengangkat tangannya. “Sabarlah,
Nona.... eh, Beng-cu. Kalian muncul dengan tiba-tiba membuat kami bingung,
apalagi mendengar akan berita yang aneh dan mengejutkan itu.”
“Sri Baginda, kalau memang Panglima Kim Bouw
Sin dan Pangeran Liong berniat baik, mengapa pasukanmu tidak disuruh masuk ke
Koan-bun saja? Mengapa diberi dusun kecil tidak ada artinya ini? Padahal
pemusatan kekuatan pasukan mereka berada di Teng-bun! Dusun ini miskin dan
tidak mempunyai benteng yang ketat, sebaliknya Koan-bun penuh dengan harta
benda dan benteng yang kuat. Bahkan semua perbekalan untuk pasukan pemberontak
dipusatkan di Koan-bun. Nah, kalau pasukan Sri Baginda di sini dikepung dan
diserbu, bagaimana akan dapat mempertahankan diri? Maka usul kami, mari kita
bersatu, anak buah kami akan kami kerahkan sebagai penyelundup-penyelundup dan
kita serbu Koan-bun. Kalau pasukan Paduka sudah bekedudukan di benteng itu,
kita tidak takut terhadap serbuan siapa pun.”
“Bagus!” Tambolon berteriak girang. “Sungguh
pikiran yang bagus! Andaikata tidak benar Pangeran Liong memusuhi dan menipu
kami, masih bisa kami kemukakan alasan bahwa pasukanku tidak suka di dusun ini,
maka kami mengambil alih Koan-bun. Bagus! Kita bergerak malam nanti!”
“Nanti dulu, Sri Baginda....!” Liauw Kui Si
Petani Maut berkata sambil mengerutkan alisnya, “Topeng Setan, usulmu memang
baik sekali. Akan tetapi, mengapa kalian mengusulkan kerja sama menyerbu
Koan-bun ini? Kalau kalian tidak berpihak kepada Pemerintah Ceng, mengapa
kalian memusuhi Pangeran Liong dan Panglima Kim?”
Diam-diam Ceng Ceng dan Topeng Setan memuji
kecerdikan dua orang pembantu dari Raja Tambolon itu. Ceng Ceng cepat membantu
Topeng Hitam dengan jawaban yang lantang, “Kami tidak membantu siapa-siapa dan
memusuhi siapa-siapa, melainkan bergerak demi kepentingan kami sendiri, demi
kepentingan perkumpulan kami. Aku diangkat menjadi beng-cu tidak percuma, aku
hanya dapat memperlihatkan bahwa mereka tidak sia-sia memilih aku sebagai
beng-cu! Kami melihat betapa sia-sia usaha para pemberontak hendak
menggulingkan pemerintah yang terlalu kuat, dan kami melihat betapa pasukan
pemberontak telah mengumpulkan harta benda yang arnat banyak di Koan-bun dan
Teng-bun. Maka, kesempatan baik ini mengapa kami sia-siakan? Selagi para
pemberontak saling gempur, kita turun tangan mencari keuntungan di sini,
bukankah itu baik sekali?”
Topeng Setan berkata dengan nada mencela,
“Beng-cu, urusan pribadi kita mengapa harus diberitahukan orang lain?”
“Biarlah. Mereka telah menjadi sahabat kita,
bukan?” Ceng Ceng menjawab.
Raja Tambolon tertawa girang. “Baik, kita
bekerja sama. Di mana anak buah kalian?”
“Mereka tersebar di Koan-bun dan Teng-bun dan
setiap saat dapat bergerak, tinggal menanti perintah dari Beng-cu,” kata Topeng
Setan.
“Kalau begitu, pergilah seorang di antara
kalian untuk menggerakkan mereka. Malam nanti kita mengadakan persiapan dan
besok malam kita menyerbu Koan-bun,” Raja Tambolon berkata.
“Topeng
Setan, kita
pergi!” Ceng Ceng bangkit berdiri.
“Nanti dulu!” Raja Tambolon juga berdiri dan
mengangkat tangan kanannya ke atas. “Maaf, bukan karena kurang percaya,
melainkan kami harus berhati-hati. Kami hanya mau bekerja sama dan mau percaya
kalau seorang di antara kalian yang pergi melaksanakan tugas itu. Orang ke dua
tinggal di sini bersama kami!”
“Kau tetap tidak percaya?” Ceng Ceng membentak
marah.
“Harap Lu-bengcu suka beristirahat saja di
sini, biarlah saya yang menghubungi teman-teman kita. Malam nanti atau
selambat-lambatnya besok pagi saya tentu sudah kembali.”
Ceng Ceng mengangguk. Dia tahu bahwa
sahabatnya itu hendak menjalankan sesuatu yang tidak diketahuinya. Yang jelas,
siasat Si Topeng Setan itu telah mengadu domba antara Tambolon dan pasukan
pemberontak, suatu siasat yang baik sekali untuk membantu pemerintah secara
tidak langsung dan untuk mengurangi kekuatan pemberontak! Dia makin kagum
kepada pembantunya ini. Kiranya Topeng Setan juga berjiwa patriotik,
menggunakan kesempatan itu untuk berpura-pura tertawan, kemudian menjalankan
siasat bersahabat dengan mengadu domba dua kekuatan yang merupakan bahaya bagi
pemerintah.
Setelah Topeng Setan berangkat, Ceng Cang lalu
beristirahat di dalam sebuah kamar yang disediakan untuknya, hatinya girang
bahwa dengan bantuan Topeng Setan dia akan dapat melakukan sesuatu untuk
negara. Akan tetapi kalau dia teringat akan nasibnya, semua rasa girang itu
lenyap. Setelah selesai urusan ini, aku akan mengerahkan seluruh waktuku untuk
mencari Si Jahanam itu, demikian pikirnya ketika dia teringat akan musuh
besarnya, pemuda laknat itu. Dan aku akan minta bantuan Topeng Setan!
***
“Gak-suheng, kita harus mencari Lee-ko!” Kian
Bu berkata setelah dia berhasil diselamatkan oleh Gak Bun Beng dari
pengeroyokan Tek Hoat dan Hek-wan Kui-bo yang lihai.
“Dan kita harus juga mencari Dewi,” Gak Bun
Beng berkata pula.
Mereka berdua lalu berusaha mencari dua orang
itu, namun hasilnya sia-sia belaka. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Syanti
Dewi telah ditawan oleh Hek-wan Kui-bo dan dibawa lari ke Teng-bun, sedangkan
Kian Lee dirawat oleh anak perempuan dari Ketua Pulau Neraka di dalam sebuah
rumah.
Pada waktu itu, kota Koan-bun geger karena
pihak pemberontak mengadakan operasi pembersihan. Hal ini menghalangi Bun Beng
dan Kian Bu melanjutkan usaha mereka mencari Syanti Dewi dan Kian Lee. Setiap
kali bertemu dengan pasukan pemberontak yang melakukan penggeledahan di
sana-sini, mereka segera bersembunyi.
“Ah, aku khawatir sekali bahwa mereka
keduanya telah tertawan pihak pemberontak,” akhirnya Gak Bun Beng berkata
dengan suara penuh kekhawatiran. Tentu saja dia memikirkan Syanti Dewi. Kalau
sampai terjatuh ke tangan Pangeran Liong Khi Ong, tentu sukar untuk ditolong
lagi. Diam-diam dia menyesal mengapa dia begitu lengah sehingga dapat
terpisah dari gadis yang seharusnya berada di dalam perlindungannya itu.
Tiba-tiba mereka melihat dari tempat
persembunyian mereka sebuah kereta yang tertutup dan dikawal oleh pasukan
pengawal di depan, sedangkan di belakang tampak mengawal seorang pemuda. Bun
Beng dan Kian Bu segera mengenal pemuda lihai yang mereka lawan tadi.
“Ah, yang di dalam kereta itu jangan-jangan
orang yang kita cari....” Gak Bun Beng berkata.
“Kita serbu saja....?” Kian Bu berbisik.
Bun Beng yang lebih berhati-hati itu
menggeleng kepala. Dia maklum bahwa kalau mereka berdua menggunakan kekerasan
di dalam kota yang sudah tertutup itu, berarti mencari mati karena tentu
mereka akan dikeroyok oleh ratusan, bahkan ribuan orang pasukan pemberontak,
belum lagi orang-orang lihai sekali yang menjadi kaki tangan pemberontak.
“Tunggu sebentar di sini, aku ada akal!” kata
Bun Beng dan sekali berkelebat dia lenyap dari situ, membuat Kian Bu yang juga
memiliki kepandaian tinggi itu menjadi kagum. Dan tak lama kemudian, Bun Beng
sudah datang lagi membawa seorang perajurit pemberontak yang tadi menyendiri
dan berhasil ditangkap dan ditotoknya, lalu dibawanya ke belakang rumah kosong
di mana mereka bersembunyi itu.
“Hayo katakan siapa yang berada di dalam
kereta yang lewat tadi! Kalau membohong, terpaksa kubunuh engkau!” Bun Beng
menghardik dan memijat suatu urat di punggung yang mendatangkan rasa nyeri luar
biasa sehingga orang itu berkata sambil menyeringai.
“Amptan.... di dalam kereta adalah Pangeran
Liong Khi Ong dan Panglima Kim Bouw Sin....!”
Bun Beng dan Kian Bu terkejut mendengar ini.
“Mereka ke mana?”
“Ke.... ke Teng-bun....!”
Bun Beng mendorong orang itu ke samping dan
terdengar suara berdesing disusul jerit tertahan. Bun Beng menoleh dan melihat
orang itu telah tewas disambar batu kepalanya.
“Mengapa kau melakukan itu?” tanyanya dengan
alis berkerut kepada Kian Bu.
Kian Bu menarik napas panjang. “Suheng, dalam
keadaan sekacau ini terpaksa kita harus bertindak keras. Kalau tidak kubunuh
dia, tentu dalam waktu sebentar saja mereka akan mengerahkan pasukan besar untuk
mencari dan mengejar-ngejar kita. Pula, keterangan itu amat penting. Setelah
Pangeran Liong Khi Ong sendiri berada di sini dan pergi ke Teng-bun bersama
panglima pemberontak itu, sudah pasti mereka akan melakukan gerakan.”
Gak Bun Beng mengangguk. “Memang, dan hal itu
amat penting sekali untuk segera dilaporkan kepada.... Puteri Milana dan
Jenderal Kao. Akan tetapi, kita belum dapat menemukan kakakmu dan Syanti
Dewi....”
“Habis, bagaimana baiknya, Gak-suheng? Kedua
urusan itu penting!”
“Sebaiknya engkaulah yang pergi melapor
tentang Pangeran Liong dan Panglima Kim itu kepada kakakmu Puteri Milana dan
Jenderal Kao, sedangkan aku mencari Syanti Dewi dan Kian Lee di tempat
berbahaya ini.”
“Ke mana aku harus mencari mereka?”
“Kubantu engkau keluar dari pintu gerbang
selatan, dan dari situ engkau langsung ke selatan di mana terdapat sebuah
bukit. Setelah engkau mendaki bukit itu, di balik bukit terdapat hutan lebat.
Di sanalah Jenderal Kao mempersiapkan pasukannya.”
Setelah menerima petunjuk-petunjuk Gan Bun
Beng, Kian Bu bersama pendekar sakti itu lalu mencari jalan di antara
rumah-rumah penduduk menuju ke gerbang selatan. Hari telah mulai gelap sekali,
awan menutupi angkasa yang seolah-olah ingin menyembunyikan diri agar jangan
menyaksikan kebuasan manusia-manusia di dalam perang.
Penjagaan di sepanjang pagar tembok ketat
sekali. Kota Koan-bun ini merupakan benteng pertahanan pertama dari barisan
pemberontak, maka Panglima Kim Bouw Sin telah memerintahkan agar dilakukan
operasi pembersihan dan penjagaan yang amat ketat dan telah mengerahkan
sebagian pasukannya untuk mempertahankan dan menjaga Koan-bun itu. Terutama
sekali penjagaan empat pintu gerbang di empat penjuru, ada kurang lebih seratus
orang tentara menjaga di setiap pintu gerbang.
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang peronda
di bawah pagar tembok sambil menuding ke depan. Tampak ada bayangan berkelebat
di sebelah barat. Teriakan ini disusul oleh berkumpulnya puluhan orang penjaga
dan nampak anak panah berserabutan meluncur ke arah bayangan tadi yang dengan
cepat menghilang. Selagi para penjaga mencari-cari dan memperketat penjagaan
di bagian itu, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang tadi di sebelah timur.
“Tuh dia....!”
“Tangkap mata-mata!”
“Serang anak panah!”
Kembali orang-orang yang menjaga di bagian itu
berlarian ke arah tempat itu dan anak-anak panah beterbangan. Namun hanya
sebentar saja bayangan itu memperlihatkan diri karena dia sudah lenyap lagi
dan tak lama kemudian dia muncul kembali di barat. Sekali ini dia berdiri di
tempat terang di bawah lentera yang tergantung di pagar tembok. Tentu saja para
penjaga, baik yang di bawah maupun di atas benteng, segera berdatangan ke
tempat orang itu dan lebih dulu mereka menghujankan anak panah. Akan tetapi
orang itu hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya dan semua anak panah runtuh
ke sekeliling tubuhnya, menancap di atas tanah di sekitarnya!
Kini puluhan orang pasukan pemberontak
menyerbu dengan pedang, golok, atau tombak di tangan mereka. Orang itu bukan lain
adalah Gak Bun Beng yang segera menggunakan kelincahan tubuhnya untuk
berloncatan ke sana ke mari mengelak dari semua serangan dengan amat mudahnya.
Kemudian tiba-tiba dia menghilang di tempat gelap dan selagi para penjaga itu
sibuk mencarinya, dia sudah muncul lagi di tempat lain yang tampak dari situ
sehingga para penjaga ini dibikin kacau dan bingung oleh gerakannya yang amat
cepat itu, sampai akhirnya semua kekuatan pasukan penjaga di bagian selatan
dikerahkan untuk menangkap atau membunuh pengacau yang amat lihai ini. Dan
memang itulah yang dikehendaki oleh Bun Beng. Pada saat semua penjaga tertarik
perhatiannya oleh pengacauannya itu, Kian Bu memperoleh kesempatan baik sekali,
meloncat ke pintu gerbang, bagian paling rendah di antara pagar tembok itu,
merobohkan dua orang yang bertugas menjaga di situ sedangkan semua penjaga yang
lain ikut mengeroyok Bun Beng, kemudian terus naik ke pagar tembok dan dengan
mudahnya keluar dari kota Koan-bun.
Teriakan dua orang penjaga pintu gerbang yang
dirobohkan Kian Bu menarik perhatian mereka yang mengeroyok Bun Beng. Sebagian
meninggalkan pengacau ini karena terlalu banyak orang mengeroyok pun tidak ada
artinya, bahkan gerakan mereka menjadi kaku dan kacau. Sebagian dari mereka
berlari-larian ke pintu gerbang, akan tetapi mereka tidak dapat melihat siapa
yang telah merobohkan dua orang penjaga itu, sedangkan Bun Beng yang melihat
Kian Bu telah berhasil keluar dari kota, lalu menghilang pula di dalam
kegelapan malam!
Kian Bu mempergunakan kepandaiannya berlari
cepat sekali ke selatan. Untung bahwa mendung tebal telah pergi terbawa angin
ke utara, sehingga kini tampaklah sinar bulan sepotong yang dibantu oleh
beberapa buah bintang menerangi jalan kecil itu. Bukit di depan nampak seperti
seorang raksasa berdiri tegak dan Kian Bu mempercepat larinya menuju ke bukit
itu. Ternyata bahwa bukit itu tidak berapa jauh dari Koan-bun dan segera dia
dapat melewati puncaknya, lalu menurun menuju ke hutan yang hanya tampak dari
atas sebagai tempat menghitam yang mengerikan.
Akan tetapi baru saja dia tiba di luar hutan
itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan hampir saja dia jatuh
menelungkup ketika kakinya terjerat tali yang ditarik orang kanan kiri dan
bermunculanlah orang-orang dari depan kanan kiri dan mengepungnya!
“Tahan....!” Kian Bu berseru karena dapat
menduga bahwa dia telah tiba di tempat yang dituju dan mereka ini tentulah
penjaga-penjaga pasukan Jenderal Kao yang mempunyai barisan pendam di hutan
itu. “Aku datang untuk bertemu dengan Puteri Milana! Aku bukan musuh!”
Orang-orang yang sudah mengepung ketat itu
datang makin rapat, menodongkan senjata mereka ke arah pemuda itu. Seorang di
antara mereka menghardik, “Ikut dengan kami menghadap!”
Kian Bu bersikap sabar dan dengan todongan senjata
di sekelilingnya, dia digiring masuk ke dalam hutan. Beberapa orang perajurit
mendekatkan lentera sehingga mereka dapat melihat wajah Kian Bu, akan tetapi
tidak ada seorang pun mengenalnya, maka tentu saja pengepungan menjadi makin
ketat. Diam-diam Kian Bu memuji mereka ini sebagai perajurit-perajurit yang
baik, karena kalau perajurit-perajurit seperti ini yang menjaga pagar tembok
kota Koan-bun tadi, agaknya dia tidak dapat keluar demikian mudahnya.
Masuknya seorang mata-mata di tempat pemusatan
pasukan rahasia itu tentu saja merupakan hal yang amat penting. Kalau pihak
pemberontak mengetahui akan pemusatan pasukan pemerintah di tempat itu, tentu
semua rencana akan menjadi gagal. Maka begitu mendengar bahwa ada mata-mata
memasuki hutan dan telah ditangkap, Jenderal Kao sendiri besama Puteri Milana
keluar untuk melihat tawanan mata-mata itu. Ketika melihat bahwa yang disangka
mata-mata itu adalah Kian Bu, tentu saja mereka menjadi girang sekali.
“Lepaskan dia, orang sendiri!” Jenderal Kao
membentak. Para penjaga itu terkejut dan girang sekali bahwa mereka tadi tidak
lancang tangan menyerang pemuda itu yang kelihatan begitu akrab dengan
Jenderal Kao dan Puteri Milana, bahkan puteri itu sudah memegang lengannya
dengan senyum manis. Mereka lalu memberi hormat kepada Kian Bu dan pemimpin
mereka mengucapkan pernyataan maaf.
Kian Bu tertawa. “Kalian adalah
penjaga-penjaga yang amat baik.” Maka kembalilah pasukan penjaga itu ke
tempat penjagaan masing-masing dengan hati lega karena mereka tidak dimarahi,
bahkan dipuji.
Sementara itu, Kian Bu cepat diajak masuk ke
dalam pondok darurat oleh Milana dan Jenderal Kao. Tak lama kemudian pemuda
itu sudah menceritakan semua keadaan di kota Koan-bun dengan jelas. Juga
diceritakannya betapa munculnya pasukan liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon
sendiri menggegerkan kota Koan-tiun sehingga dia bersama Kian Lee terpisah dari
Bun Beng dan Syanti Dewi. Kemudian betapa Kian Lee terluka oleh senjata peledak
yang dilepas nenek buruk rupa, kemudian betapa dia pun terpisah dari Kian Lee
sampai dia ditolong oleh Gak Bun Beng.
“Gak-suheng cepat menyuruh saya datang melapor
ke sini setelah kami ketahui bahwa Pangeran Liong Khi Ong ternyata tadinya
juga berada di Koan-bun dan sekarang bersama Kim Bouw Sin telah berada di
Teng-bun.”
Milana mengerutkan alisnya. Dia khawatir
sekali mendengar bahwa adik tirinya, Suma Kian Lee, terluka dan lenyap, juga
bahwa Puteri Syanti Dewi lenyap dan kini masih dicari-cari oleh Gak Bun Beng di
Koan-bun. Akan tetapi karena dia sedang menghadapi tugas pemerintah yang lebih
penting lagi, maka dia tidak menyinggung urusan yang amat dikhawatirkannya itu
dan dia berkata kepada Jenderal Kao, “Hadirnya Pangeran Tua itu tentu merupakan
tanda bahwa mereka sudah siap untuk menyerbu ke selatan. Agaknya kedua orang
Pangeran Tua itu memecah diri, yang seorang mendampingi Kim Bouw Sin merupakan
penyerbuan dari luar, sedangkan yang seorang lagi tentu melakukan gerakan dari
dalam.”
Jenderal Kao mengangguk-angguk dan
mengusap-usap jenggotnya. “Jalan satu-satunya hanyalah menghancurkan mereka
sebelum mereka bergerak! Kalau sampai terjadi perang di selatan tentu akan
menimbulkan kerusakan hebat di kalangan rakyat. Akan tetapi, saya tahu betapa
kuatnya benteng Teng-bun, dan menurut penyelidikan saya kekuatan mereka cukup
besar, terdiri dari tiga puluh ribu orang lebih. Menyerbu Teng-bun merupakan
pekerjaan yang sulit dan tentu akan makan korban banyak perajurit.”
“Bagaimana kalau kita menyerbu Koan-bun?”
Puteri Milana mengajukan usul, tentu saja masih dipengaruhi kekhawatirannya
tentang Kian Lee dan Syanti Dewi.
“Merebut Koan-bun jauh lebih mudah, akan
tetapi tidak begitu besar manfaatnya, bahkan sisa pasukan mereka tentu akan
lari ke Teng-bun, membuat benteng itu menjadi makin kuat. Kalau saja ada jalan
untuk memecah kekuatan mereka menjadi dua....”
Jenderal Kao tidak melanjutkan kata-katanya
karena mendengar teriakan penjaga minta diperkenankan masuk. Setelah perkenan
diberikan, dua orang perajurit masuk dan memberi tahu bahwa lagi-lagi ada
seorang yang disangka mata-mata telah ditangkap dan sudah digiring ke situ.
“Hemm, sungguh aneh.... tempat kita amat
rahasia, siapa yang bisa tahu bahwa kita berada di sini?” kata jenderal itu.
“Bawa dia ke sini!”
Dua orang perajurit memberi hormat, ke luar
dan tak lama kemudian, sepasukan penjaga menggiring seorang pemuda tinggi
besar memasuki pondok itu.
“Kok Cu....!” Jenderal Kao melompat bangun
saking kaget dan girangnya melihat puteranya itu! “Lihat baik-baik!” katanya
kepada para penjaga. “Dia ini adalah Kao Kok Cu, puteraku sendiri. Hayo kalian
semua pergi dan menjaga lagi yang waspada!”
Kok Cu sudah melangkah maju dan berlutut di
depan Jenderal Kao. “Ayah....!”
Jenderal Kao mengangkat bangun puteranya dan
memandang dengan mata berseri. “Aih, ke mana saja engkau, Anakku? Cepat kau
beri hormat kepada beliau ini. Beliau adalah Puteri Milana.”
“Kiranya inilah puteramu yang dikabarkan
kembali setelah lenyap bertahun-tahun, Jenderal? Sungguh gagah dia!” Milana
berkata memuji ketika Kok Cu memberi hormat kepadanya.
“Apa kabar, Saudara Kok Cu yang gagah!” Kian
Bu berkata dan Kok Cu juga menyalam pemuda Pulau Es yang pernah dijumpai
sebentar di rumah ayahnya di kota raja.
“Ayah, maaf, agaknya tidak ada waktu untuk
bicara tentang urusan pribadi dalam saat seperti ini. Anak datang untuk
menyampaikan berita yang amat penting bagi gerakan Ayah untuk membasmi
pemberontak.”
Jenderal Kao membelalakkan matanya, lalu
menghela napas dengan perasaan gembira dan lega yang amat besar. Kiranya puteranya
ini sama sekali tidak mengecewakan sebagai puteranya! Tanpa pernah dia memberi
didikan sedikit pun, sikap puteranya ini sudah seperti seorang gagah sejati,
seorang berjiwa pahlawan, dan tentu saja dia merasa amat bangga karena ucapan
puteranya itu dikeluarkan di depan Puteri Milana, pahlawan wanita yang amat
dikaguminya itu.
“Tentu saja, Anakku,” jawabnya dengan nada
biasa padahal hatinya membesar saking bangganya. “Ceritakanlah, berita apa
yang kaubawa itu?”
“Ayah, dan Paduka Puteri.... Ang-kiok-teng
pagi hari tadi telah terjatuh ke tangan pasukan Tambolon!”
Jenderal Kao mengerutkan alisnya. Kalau hanya
itu beritanya, sama sekali tidak penting lagi. “Hemm, kami sudah mendengar
dengan jelas tentang itu, Kok Cu, Panglima Thio telah tiba di sini menceritakan
tentang terampasnya Ang-kiok-teng, dan bahkan betapa dia diselamatkan oleh
seorang gadis cantik yang lihai dan seorang laki-laki bermuka buruk seperti
setan.” Dia berhenti sebentar, termenung.
“Aku sangat tertarik akan kelihaian gadis penolongnya
itu, yang kabarnya dengan menggunakan racun merobohkan seratus orang anak buah
Tambolon. Apakah engkau juga tahu dia itu siapa, Kok Cu?” Jenderal Kao
bertanya.
“Ayah sudah mengenal dia baik-baik,” Kok Cu
berkata. “Dia adalah gadis yang gambarnya Ayah sembahyangi dahulu itu....”
“Apa....? Kaumaksudkan Nona Lu Ceng....?”
Jenderal Kao bangkit dan memegang pundak puteranya. Kalau bukan Kok Cu yang
dicengkeram pundaknya seperti itu saking kaget dan girangnya hati jenderal
raksasa ini, agaknya akan remuk tulang pundaknya!
“Benar, Ayah. Saya telah menyelidiki dengan
jelas.”
“Dan laki-laki bermuka buruk seperti setan
itu?”
“Dia disebut Topeng Setan, kabarnya menjadi
pembantu Nona Lu Ceng yang telah menjadi beng-cu orang-orang golongan hitam. Sekarang
mereka bersekutu dengan Tambolon.”
“Apa....?” jenderal itu berseru kaget.
“Akan tetapi berita yang amat penting yang
hendak anak sampaikan adalah bahwa besok malam pasukan-pasukan liar yang
dipimpin Tambolon secara serentak akan meninggalkan Ang-kiok-teng dan menyerang
Koan-bun untuk dirampasnya.”
“Heiii....?” Milana berseru kaget. Berita ini
mengejutkan dan tidak terduga-duga sama sekali.
Jenderal Kao Liang memejamkan matanya,
alisnya yang tebal berkerut-kerut dan dia berpikir-pikir. Tiba-tiba dia membuka
matanya, memandang puteranya dan suaranya memecah kesunyian, “Engkau yakin
benar akan berita ini, Kok Cu?”
“Sudah pasti, Ayah. Saya mendengar sendiri
keputusan itu keluar dari mulut Raja Tambolon dan mereka kini sedang
bersiap-siap.”
Tiba-tiba Jenderal Kao tertawa bergelak dan
memukul-mukul pahanya sendiri. “Ha-ha-ha-ha! Bodoh sekali aku, hampir saja
meragukan kebersihan hati seorang gadis pahlawan!” Lalu dia menoleh kepada
Puteri Milana sambil berkata,
“Thian telah mengirim gadis itu untuk memberi
jalan kepada kita! Tentu dia telah menggunakan siasat, bersekutu dengan
Tambolon dan mengajaknya menghantam pemberontak di Koan-bun. Entah dengan janji
dan siasat apa dia berhasil! Inilah kesempatan kita. Kita biarkan pasukan liar
dan pasukan pemberontak saling hantam, sampai salah satu hancur, kemudian kita
gunakan kesempatan selagi pihak yang menang lengah dan lelah, kita serbu
Koan-bun dan Teng-bun. Untuk membantu Koan-bun, tentu pasukan di Teng-bun akan
dikurangi dan benteng itu tidak sekuat sekarang.”
Puteri Milana mengangguk-angguk. “Siapakah dia
Nona Lu Ceng itu, Kao-goanswe?”
“Ha-ha-ha, sungguh dia hebat dan sudah
membikin aku seorang tua tertipu beberapa kali. Tadinya dia terjungkal di dalam
sumur maut ketika menolongku dari pengkhianatan Kim Bouw Sin, dia kusangka mati
dan bahkan sudah kusembahyangi! Kiranya dia benar masih hidup! Tadi kusangka
dia telah menjadi orang sesat karena selain menjadi ahli racun juga menjadi
beng-cu kaum sesat, kiranya dia masih seorang patriot yang dengan caranya
sendiri membasmi pemberontak!”
Malam ini juga Jenderal Kao dan Puteri Milana
mengatur siasat dan membagi-bagi tugas. Sepertiga jumlah pasukan akan memasang
barisan pendam di sekitar Koan-bun dan akan menanti sampai pasukan liar Tambolon
menyerbu Koan-bun, membiarkan pasukan liar dan pasukan pemberontak perang
sendiri dan Kok Cu ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin pasukan ini.
“Tunggu sampai perang itu selesai dan pihak
pemenang, baik pihak pemberontak maupun pihak Tambolon, berpesta merayakan
kemenangannya sehingga lengah, baru turun tangan serbu dan rampas Koan-bun.
Pasukan itu terdiri dari lima ribu orang perajurit pilihan, dan engkau dibantu
oleh Perwira Thio Luk Cong, bekas komandan di Ang-kiok-teng. Nah, kauatur dan rundingkan
dengan Thio-ciangkun, sedangkan urusan pribadi kita bicarakan kalau semua tugas
sudah selesai dengan baik.”
“Baik, Ayah.”
Thio Luk Cong lalu dipanggil dan bersama Kok
Cu mereka lalu keluar dari pondok itu untuk merundingkan dan mengatur pasukan
mereka yang bertugas bergerak di Koan-bun setelah membiarkan pihak pemberontak
bertempur sendiri dengan pasukan liar yang dipimpin Tambolon. Kok Cu
menyerahkan pimpinan pasukan kepada Panglima Thio karena dia sendiri merasa
tidak mampu mengatur barisan dan dia berjanji akan menyelundup lebih dulu ke
Koan-bun dan menyelidiki keadaan. Panglima Thio memberikan anak panah-anak
panah berapi kepada Kok Cu dan mereka berjanji bahwa panah berapi itulah yang
akan menjadi tanda dari Kok Cu bahwa saatnya yang tepat telah tiba bagi
pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Thio-ciangkun untuk turun tangan
menyerbu Koan-bun.
Lima ribu orang pasukan lagi bertugas untuk
memotong jalan kalau barisan pemberontak dari Teng-bun mengirim bala bantuan ke
Koan-bun, dan lima ribu orang pasukan lagi bertugas menyerbu Teng-bun. Pasukan
pertama dipimpin oleh Puteri Milana dan pasukan ini juga bertugas sebagai
pembantu pasukan yang menyerbu Teng-bun yang menjadi pusat kekuatan
pemberontak, sedangkan pasukan penyerbu Teng-bun itu dipimpin oleh Jenderal
Kao sendiri, dibantu oleh Kian Bu. Pemuda ini masih merasa gelisah memikirkan
Kian Lee yang tidak tahu berada di mana, juga Puteri Syanti Dewi yang lenyap.
Akan tetapi karena keadaan tidak mengijinkan untuk mencari, dan perang sudah
berada di depan mata, pemuda ini terpaksa menekan kekhawatirannya dengan
hiburan bahwa kakaknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan biarpun
mengalami luka di pahanya, kiranya masih akan mampu menjaga diri dengan baik.
Hanya dia gelisah memikirkan Syanti Dewi, karena kalau puteri itu terjatuh ke
tangan pemberontak, tentu celaka. Akan tetapi dia mempunyai harapan dan
kepercayaan bahwa Gak Bun Beng kiranya akan dapat mencari dan menemukan kedua
orang yang lenyap itu.
Setelah Kok Cu berunding dengan Panglima Thio
Luk Cong dan menerima pesan-pesan ayahnya, menjelang pagi dia meninggalkan
hutan itu untuk mulai dengan tugasnya, membantu Panglima Thio yang diam-diam
menggerakkan pasukannya menjadi barisan pendam di sekitar kota Koan-bun.
Tek Hoat melayani Pangeran Liong Khi Ong makan
minum. Pemuda ini kelihatannya biasa saja, akan tetapi sebenarnya hatinya
merasa risau bukan main. Semenjak dia bertemu dengan Syanti Dewi dan melihat
puteri bangsawan itu terjatuh ke tangan Pangeran Tua ini, hatinya selalu
gelisah. Dia sendiri tidak mengerti mengapa, akan tetapi dia merasa betapa
semua semangatnya lenyap, kegairahannya untuk membantu pihak pemberontak agar
dapat cepat mencapai kemenangan dan dia memperoleh kesempatan untuk meraih
kedudukan tinggi, kini menjadi dingin dan kehilangan artinya. Bahkan
kegembiraan Pangeran Liong Khi Ong yang makan minum sampai mabok ditemani oleh
panglima pemberontak Kim Bouw Sin dan dia sendiri bersama Pak-thian Lo-mo dan
Lam-thian Lo-mo tidak mendatangkan kegembiraan pula di dalam hatinya, bahkan
sebaliknya dia merasa tidak senang, sungguhpun ketidaksenangannya ini tidak
dia perlihatkan. Tanpa disadarinya sendiri, terjadi perubahan di dalam hati Tek
Hoat, dan perubahan itu terjadi di luar pengetahuannya dan hanya disebabkan
oleh kehadiran Syanti Dewi sebagai orang tawanan Pangeran Liong Khi Ong.
Memang Pangeran Liong Khi Ong gembira sekali
setelah dia dapat menawan Syanti Dewi yang ternyata luar biasa cantiknya,
melebihi semua kabar yang pernah diperolehnya tentang Puteri Bhutan yang oleh
Kaisar dijodohkan dengan dia itu. Kehadiran puteri itu secara tak terduga-duga
sampai terjatuh ke tangannya sungguh merupakan hal yang amat menguntungkan,
baik untuk pribadinya sendiri maupun untuk perjuangannya. Puteri Bhutan itu
merupakan orang penting pada waktu itu. Pertama-tama, siasat mereka
menimbulkan sakit hati Raja Bhutan dengan lenyapnya Syanti Dewi ketika diantar
ke timur telah berhasil, dan kelak, kalau perjuangan itu berhasil dan dia
bersama kakaknya menduduki tampuk pemerintahan, lalu mereka “berjasa”
menemukan kembali Puteri Bhutan yang hilang itu, berarti menanam hubungan baik
dengan Bhutan. Ketiganya, dia dapat memiliki puteri cantik jelita itu disamping
jasa-jasa baik ini!
“Eh, Kim-ciangkun, bagaimana beritanya
tentang Tambolon dengan pasukannya yang menyerbu Ang-kiok-teng?” Pangeran yang
mukanya sudah merah itu bertanya kepada Panglima Kim Bouw Sin.
Kim Bouw Sin tersenyum lebar. “Tepat seperti
yang kita rencanakan, berkat siasat Ang-taihiap yang cerdik sekali. Tambolon
dan anak buahnya itu seperti gerombolan anjing kelaparan, diberi tulang-tulang
busuk pun sudah berebutan! Kini mereka kekenyangan tulang busuk dan tidak
banyak menggonggong lagi. Tunggu beberapa hari lagi dan kalau mereka sudah
mulai lapar, kita pergunakan mereka sebagai pasukan-pasukan pelopor menyerbu ke
selatan.”
Pangerap Liong Khi Ong tertawa gembira dan
berkata sambil memandang Tek Hoat, “Untuk jasa itu kami perlu memberi selamat
kepadamu dengan secawan arak, Ang Tek Hoat.”
Kim Bouw Sin dan Pangeran Liong Khi Ong
memberi selamat dengan minum arak yang terpaksa diterima dan diikuti oleh Tek
Hoat dengan hati berat, akan tetapi Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo tidak
mengangkat cawan arak mereka. Melihat hal ini, Tek Hoat mengerutkan alisnya
akan tetapi dia diam saja. Liong Khi Ong yang melihat hal ini menjadi tidak
senang hatinya. Tek Hoat adalah pembantunya yang utama, tangan kanannya,
sedangkan dua orang kakek aneh itu kiiti merupakan pembantu-pembantu Kim Bouw
Sin.
“Eh, Ji-wi Siang Lo-mo mengapa tidak ikut
memberi selamat kepada Ang Tek Hoat yang sudah berjasa besar?”
Pak-thian Lo-mo yang mukanya putih itu tidak
menjawab, hanya menunduk dan mengerling ke arah Tek Hoat dengan pandang mata
tidak senang. Sedangkan Lam-thian Lo-mo yang lebih pandai bicara, mengangguk
hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong sambil berkata, “Siasat itu memang baik
sekali dan sudah sepatutnya kalau semua memujinya. Akan tetapi setelah apa yang
kami dengarkan dari Hek-wan Kui-bo, kami berdua menjadi agak ragu-ragu untuk
memberi selamat, sebelum Ang-sicu memberi penjelasan akan perbuatannya itu.”
Tek Hoat memandang kakek kembar itu dengan
sinar mata tajam dan mereka pun menatap wajahnya dengan penuh selidik sehingga
mereka saling pandang dengan sinar mata yang makin lama makin menjadi panas!
Api persaingan telah mulai menyala di antara para pembantu utama pimpinan
pemberontak itu!
Tek Hoat yang cerdik itu tentu saja telah
dapat menduga apa yang telah diceritakan oleh nenek buruk itu, akan tetapi
dengan cerdik dia malah sengaja menantang untuk menimbulkan kesan bahwa dia
tidak menyimpan rahasia apa-apa, dan dia bertanya, “Siang Lo-mo, di depan
Pangeran dan Kim-ciangkun, tidak perlu bicara sembunyi-sembunyi, katakan saja
mengapa kalian meragukan aku dan apa yang telah diceritakan oleh nenek iblis
itu kepada kalian mengenai diriku.”
Sepasang kakek kembar itu saling pandang dan
nampaknya mereka terheran melihat sikap pemuda itu yang sama sekali tidak
kelihatan gugup atau takut sebagaimana biasanya orang yang melakukan kesalahan.
Kemudian Lam-thian Lo-mo berkata lagi, “Kami mendengar dari Hek-wan Kui-bo
bahwa ketika engkau diajak oleh Kui-bo melihat gadis yang ditawannya, tiba-tiba
engkau menyerangnya sehingga nenek itu terpaksa melarikan diri dan cepat
melapor kepada Pangeran tentang Puteri Bhutan itu. Bukankah perbuatanmu itu
aneh sekali, Ang-sicu?”
Suasana menjadi sunyi dalam ruangan itu
setelah Lam-thian Lo-mo mengajukan pertanyaan ini. Pangeran Liong Khi Ong dan
Panglima Kim memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata jelas membayangkan
keheranan dan keinginan tahu, menuntut penjelasan. Tek Hoat telah memutar
otaknya dan kelihatan tenang saja, bahkan tersenyum ketika dia berkata kepada
kakek kembar itu, “Tentu saja ada penjelasanku untuk hal itu. Akan tetapi
sebelum aku memberi penjelasan, aku lebih dulu ingin mengetahui bagaimana
pendapat dan dugaan Siang Lo-mo tentang perbuatanku itu sehingga kalian menaruh
curiga kepadaku?”
Pertanyaan ini jelas merupakan tantangan
kepada sepasang kakek kembar untuk membuka isi hatinya di depan Pangeran Liong
dan Panglima Kim. Pak-thian Lo-mo yang tidak pandai bicara, melihat saudara
kembarnya ditantang, segera bertepuk tangan dan berkata tegas, “Ang-sicu
mendengar Kui-bo hendak mempersembahkan gadis itu kepada Pangeran lalu
menyerangnya, tentu berniat hendak memiliki sendiri dara cantik itu!”
Tek Hoat tersenyum dan memandang kepada
Lam-thian Lo-mo. “Demikiankah pendapatmu pula?”
Lam-thian Lo-mo mengangguk. “Apa lagi kalau
tidak begitu niatmu, Sicu? Karena kecantikan seorang gadis, hampir engkau
meninggalkan kesetiaanmu!”
Tek Hoat lalu menoleh kepada Pangeran Liong
dan Panglima Kim yang memandangnya tajam, lalu bertanya, “Apakah saya
diharuskan menjelaskan perbuatan saya menyerang Hek-wan Kui-bo?”
Pangeran Liong mengangguk. “Karena pertanyaan
telah diajukan, hati kami tidak akan merasa puas sebelum mendengar
penjelasanmu, Ang Tek Hoat.”
Tek Hoat lalu berkata, suaranya lantang dan
tenang, “Memang saya akui bahwa saya telah menyerang nenek iblis itu. Saya
bertemu dengan nenek itu di jalan dan hal ini saja sudah menimbulkan kecurigaan
saya, menyangka bahwa dia adalah seorang mata-mata musuh. Kemudian dia
menyatakan hendak mempersembahkan seorang gadis. Tentu saja kecurigaan saya
bertambah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, siapa tidak mencurigai nenek
iblis yang tiba-tiba saja hendak mengabdi dan mempersembahkan seorang gadis
sebagai sogokan? Dan ketika saya dibawanya masuk ke dalam gedung Coa-wangwe,
melihat Coa-wangwe sekeluarga dibelenggu, saya hampir yakin bahwa nenek iblis
itu tentulah seorang mata-mata musuh yang amat berbahaya. Coa-wangwe adalah
seorang sahabat kita yang banyak membantu perjuangan, melihat dia sekeluarga
diperlakukan seperti itu, siapa yang tidak merasa marah dan curiga? Apalagi
setelah saya melihat bahwa gadis itu bukan lain adalah Sang Puteri Syanti Dewi
yang tentu saja saya segera mengenalnya, kecurigaan saya menjadi bulat bahwa
nenek ini mempunyai niat yang jahat, maka tanpa banyak cakap lagi saya lalu
menyerangnya. Sampai detik itu pun saya masih mencurigai nenek itu, apakah hal
ini berarti aku kehilangan kesetiaan?”
Tek Hoat bicara dengan tenang dan lancar, dan
alasannya cukup meyakinkan sehingga bukan hanya Pangeran Liong dan Panglima Kim
yang mengangguk-angguk, bahkan Siang Lo-mo sendiri juga mengangguk dan
lenyaplah kecurigaan mereka.
Pangeran Liong tertawa girang. “Bagus, dengan
demikian teranglah sudah segalanya. Dan engkau tidak perlu meragukan, Tek
Hoat. Nenek itu adalah seorang tokoh besar golongan hitam, mana mungkin dia
membantu Pemerintah Ceng? Bahkan dia menyatakan bahwa suhengnya yang berjuluk
Hek-tiauw Lo-mo, yang katanya memiliki kepandaian paling tinggi di dunia ini,
juga sudah berada di kota ini dan siap membantu perjuangan kita, demikian pula
seorang sumoinya yang amat lihai berjuluk Mauw Siauw Mo-li.”
Tek Hoat mengangguk-angguk. “Kalau begitu,
saya tidak curiga lagi akan tetapi kecurigaan saya hanya karena saya setia
terhadap perjuangan, tidak seperti kecurigaan Siang Lo-mo terhadap saya yang
didasari oleh perasaan iri hati!”
“Hemm, apa maksudmu dengan kata-kata itu,
Ang-sicu?” Pak-thian Lo-mo bertanya dengan suara keren dan pandang mata tajam.
Tek Hoat tersenyum dan memandang kepada kakek
kembar itu dengan sinar mata mengejek, “Maksud saya sudah jelas! Kalian tidak
suka memberi selamat kepadaku karena iri, maka biarlah sekarang saya yang
memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!” Sambil tersenyum, Tek Hoat
membuka kedua tangannya ke arah dua buah cawan arak kosong yang terletak di
atas meja, di depan dua orang kakek kembar itu dan seperti bernyawa saja, dua
buah cawan arak kosong itu “terbang” ke arah kedua tangan Tek Hoat. Pemuda ini
cepat mengisi dua cawan arak itu dengan arak sampai penuh, kemudian mengangkat
dua cawan yang penuh arak itu dengan lengan kedua tangan dilonjorkan dan
disodorkannya kedua cawan itu ke arah Siang Lo-mo sambil berkata, “Nah,
terimalah pemberian selamat saya kepada kalian!”
“Tek Hoat dan Siang Lo-mo, jangan melakukan
kekerasan dan bertentangan antara kawan sendiri!” Pangeran Liong Khi Ong
berkata dengan khawatir.
“Saya hanya memberi selamat kepada Siang
Lo-mo, Pangeran,” Tek Hoat menjawab tenang.
Lam-thian Lo-mo tertawa, “Ha-ha-ha, harap
Paduka jangan khawatir, agaknya Ang-sicu hanya ingin menguji hamba berdua.”
Dia menoleh kepada Pak-thian Lo-mo dan berkata, “Mari kita menerima pemberian
selamat Ang-sicu.”
Dua orang kakek kembar itu lalu meluruskan
lengan dan menyambut cawan arak itu dengan tangan kanan mereka, tentu saja
mereka yang maklum bahwa pemuda itu bukannya memberi selamat secara biasa saja,
mereka telah mengerahkan sin-kang mereka, disalurkan melalui lengan sampai ke
tangan mereka ketika jari-jari tangan mereka menyentuh cawan arak.
Jari-jari tangan tiga orang itu melekat pada
dua buah cawan itu dan lengan mereka mulai tergetar hebat. Adu tenaga sin-kang
terjadi, satu melawan dua! Sepasang kakek kembar itu sudah mengenal Tek Hoat
dan maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi karena
mereka maju berdua, mereka tidak menjadi gentar dan mereka yakin bahwa
tidaklah mungkin lawan semuda itu akan dapat mengalahkan tenaga sin-kang
mereka yang tergabung.
Pangeran Liong Ki Ong dan Panglima Kim Bouw
Sin memandang dengan hati tegang akan tetapi juga gembira karena mereka memang
sering menduga-duga siapa di antara mereka yang lebih lihai, sungguhpun
terdapat kekhawatiran di dalam hati mereka bahwa adu tenaga sin-kang itu akan
berubah menjadi pertandingan sungguh-sungguh. Mereka memandang dengan hati
berdebar dan terkejutlah mereka melihat betapa arak di dalam dua cawan itu
tiba-tiba menjadi naik dan terguncang. Mereka melihat Tek Hoat tersenyum dan
agaknya pemuda itu hendak menggunakan sin-kangnya untuk membuat arak itu terus
naik dan muncrat ke arah dua orang kakek kembar. Akan tetapi, dua orang kakek
itu mengerahkan tenaga mereka dan arak itu turun kembali. Beberapa kali arak
itu naik lagi, bahkan sampai melampaui bibir cawan, dan anehnya tidak tumpah
seolah-olah arak itu menjadi beku, dan setelah dua orang kakek itu kelihatan
mengerahkan seluruh tenaga, barulah arak itu turun lagi. Mereka bersitegang
beberapa lamanya dan sepasang kakek kembar itu sudah mulai berkeringat dahi
mereka akan tetapi Tek Hoat masih tenang dan tersenyum, seolah-olah dia tidak
mengeluarkan seluruh tenaganya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa biarpun
dia dikeroyok dua, namun dia sama sekali tidak terdesak.
Melihat keadaan dua orang kakek yang menjadi
pengawal dan pembantu-pembantunya itu kelihatan terdesak dan berkeringat,
Panglima Kim hendak menghentikan adu tenaga ilmu. Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara ketawa halus seorang wanita dan tampak dua bayangan orang
berkelebat dan di situ tahu-tahu telah berdiri dua orang yang kedatangannya
seperti setan saja! Yang seorang adalah kakek yang tubuhnya tinggi besar dan
mukanya menyeramkan seperti raksasa liar, akan tetapi orang ke dua merupakan
seorang wanita yang cantik dengan pakaian mewah dan dia muncul didahului bau
harum semerbak! Sambil tersenyum wanita dan kakek raksasa itu mendekati meja.
“Aihh, suguhan arak kalau tidak diterima sungguh sayang. Biar aku mengambil
satu cawan!”
“Ha-ha, kau benar sekali, Mo-li! Engkau
secawan dan aku secawan!” Kakek raksasa itu pun berkata sambil tertawa dan
tampaklah dua buah taring di dalam mulutnya.
Mereka membuka mulut dan menyedot, dan....
arak dari dalam cawan yang sedang diperebutkan oleh Tek Hoat dan Siang Lo-mo
itu tiba-tiba bergerak naik dan keluar, terus memancar naik memasuki mulut
wanita dan kakek raksasa itu yang menelannya dengan enak sekali.
Melihat ini, Tek Hoat dan Siang Lo-mo menarik
kembali tenaga mereka. Mereka tidak merasa heran dengan perbuatan dua orang
pendatang baru itu. Karena tadi mereka saling mengadu tenaga dan mempertahankan
cawan, tentu saja dua orang yang juga memiliki sin-kang kuat itu berhasil
“mencuri” arak dari dalam kedua cawan. Andaikata mereka bertiga tidak sedang
mengadu tenaga dan mempertahankan, tidak mungkin dua orang itu akan dapat
“minum” semudah itu.
Tek Hoat dan Siang Lo-mo sudah meloncat
berdiri untuk melindungi Pangeran Liong dan Panglima Kim, sedangkan panglima
itu sendiri sudah berteriak memanggil para pengawal yang berada di luar.
Pasukan pengawal berlari masuk dan mereka terheran-heran melihat adanya dua
orang itu yang tidak mereka lihat masuknya.
“Heh-heh, harap Paduka Pangeran dan Ciangkun
tidak salah paham. Suhengku dan sumoiku sudah datang untuk menyumbangkan
tenaga!” Suara ini terdengar dari dalam, suara Nenek Hek-wan Kui-bo.
Mendengar ini, Pangeran Liong Khi Ong
mengangkat tangan menahan pasukan pengawal yang sudah mengurung dua orang itu,
lalu bertanya, “Apakah kalian yang berjuluk Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw
Mo-li?”
Kakek tinggi besar dan wanita cantik itu
menjura dengan hormat, dan kakek raksasa itulah yang menjawab, “Tepat dugaan
Paduka Pangeran Liong Khi Ong!”
“Maafkan kedatangan kami yang tidak diundang,”
kata pula Mauw Siauw Mo-li dengan suaranya yang halus, lirikan matanya
menyambar ke wajah Tek Hoat yang tampan dan senyumnya memikat.
Pangeran Liong Khi Ong terkenal sebagai
seorang yang pandai mengambil hati orang-orang pandai, maka dia ditugaskan
oleh kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong sebagai penghimpun tenaga di luar kota
raja yang ternyata berhasil baik. Bahkan Panglima Kim Bouw Sin adalah panglima
yang kena dipikat oleh pangeran ini. Kini, menghadapi dua orang pandai dan
golongan hitam itu, Pangeran Liong yang cerdik segera dapat menentukan
sikapnya. Sannbil tertawa dia lalu berkata, “Ah, sudah lama kami menanti
kedatangan kalian berdua. Silakan duduk dan terimalah ucapan selamat datang
dari kami!”
Panglima Kim Bouw Sin menyuruh
pengawal-pengawal mundur dan mereka lalu menjamu dua orang yang baru datang
itu. Mauw Siauw Mo-li segera tertarik sekali kepada Tek Hoat dan dia
mengangkat cawan araknyaa, memandang tajam penuh daya pikat kepada pemuda itu,
berkata halus sambil tersenyum dan ketika bicara bibirnya bergerak penuh
tantangan, “Saya telah mendengar nama besar pendekar muda Ang Tek Hoat dan
sungguh seperti mimpi saja rasanya dapat bertemu dan makan semeja dengan
pendekar muda Ang. Saya menghaturkan secawan arak untuk persahabatan antara
kita!”
Biarpun hatinya masih bercuriga kepada dua
orang ini, namun karena mereka sudah diterima oleh Pangeran Liong sendiri, Tek
Hoat terpaksa bersikap manis, menerima pemberian selamat itu dan mengucapkan
terima kasih. Pangeran Liong menjadi makin gembira ditemani oleh dua orang
pembantu baru ini, apalagi sikap Mauw Siauw Mo-li yang penuh daya pikat itu
membuat dia lupa bahwa sejak tadi dia sudah terlampau banyak minum arak keras.
Akhirnya pangeran itu menjadi agak mabok oleh pengaruh arak.
“Ha-ha-ha, perutku sudah kenyang.... aih, aku
ngantuk sekali, ingin tidur.... akan tetapi siapa yang mau menemaniku?”
Berkata demikian, dia bangkit dari bangkunya sambil memandang dengan penuh
ajakan kepada Mauw Siauw Mo-li yang cantik. Melihat ini, Lam-thian Lo-mo yang
mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu dan belum percaya betul kepada wanita
yang baru datang ini, cepat berkata, “Apakah Paduka lupa akan bunga segar dari
Bhutan itu?”
Berkata demikian, Lam-thian Lo-mo melirik ke
arah Tek Hoat dengan pandang mata penuh arti. Kiranya kakek bermuka merah yang
cerdik ini tidak saja ingin mencegah pangeran itu tidur bersama Mauw Siauw
Mo-li yang belum dipercayanya, akan tetapi juga ingin membuktikan bahwa Tek
Hoat memang tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Puteri Bhutan itu.
“Ha-ha-ha-ha, engkau benar sekali, Lam-thian
Lo-mo. Mengapa aku sampai terlupa? Kelak dia menjadi isteriku, sekarang pun
apa bedanya? Ha-ha-ha-ha, Mo-li, lain kali saja kita melanjutkan persahabatan
kita, ya? Silakan kalian melanjutkan pesta ini, aku mau.... mau.... menikmati
bunga segar dari Bhutan, ha-ha-ha!” Pangeran yang mabok itu bangkit dari
kursinya dan terhuyung-huyung meninggalkan ruangan itu menuju ke kamar di mana
Syanti Dewi dikeram dan dijaga oleh Hek-wan Kui-bo di luar kamarnya.
Dapat dibayangkan betapa mendongkol rasa hati
Tek Hoat. Dia mengerti akan lirikan mata Lam-thian Lo-mo dan dia menahan
kemarahan hatinya. Dalam bingungnya dia tidak tahu harus berbuat apa.
Dibayangkannya betapa Syanti Dewi meronta-ronta di bawah dekapan Pangeran
Liong Khi Ong yang memperkosanya, dan dia merasa jantungnya seperti berhenti
berdetik.
“Ang-sicu, mari kita minum arak bahagia untuk
memberi selamat kepada pangeran yang sedang berpengantin di dalam kamar bersama
Puteri Bhutan!” Lam-thian Lo-mo berkata sambil mengangkat cawan araknya.
Tek Hoat terpaksa minum araknya dengan hati
panas karena dia maklum bahwa kakek itu sengaja hendak mengejeknya. Namun Tek
Hoat adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa betapapun
tinggi kepandaiannya, dia tidak mungkin akan dapat menandingi begitu banyaknya
orang pandai. Sepasang kakek kembar itu mungkin dapat dia tandingi, biar
dibantu oleh nenek Hek-wan Kui-bo sekalipun, akan tetapi kedatangan Hek-tiauw
Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li merubah keadaan dan kalau mereka ini pun maju
menentangnya, tentu dia akan celaka.
“Hi-hik, Ang-taihiap.... pangeran itu sungguh
romantis.... hemmm, membuat orang menjadi tertarik dan timbul semangat!
Ang-taihiap, bagaimana kalau kita berdua juga mengaso dan saling menuturkan
riwayat hidup kita untuk mempererat persahabatan?”
“Ha-ha-ha, engkau sungguh mata keranjang,
Sumoi!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak.
“Aih, Suheng! Hidup satu kali kalau tidak
bersenang-senang mau apa lagi? Kalau sudah mati, kepingin pun tidak akan mampu
bergerak lagi. Betul tidak, Ang-taihiap?”
Sambil berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li
menggeser bangkunya mendekat dan tangannya meraba-raba dari bawah meja ke paha
Tek Hoat. Selagi pemuda ini bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba
terdengar suara hiruk-pikuk di luar ruangan itu dan dua orang pengawal masuk
dan memberi hormat kepada Panglima Kim Bouw Sin, lalu berkata lantang,
“Lapor! Peristiwa hebat terjadi di Koan-bun!”
Kim Bouw Sin bangkit berdiri dan matanya
terbelalak. “Lekas katakan. Apa yang terjadi di Koan-bun?”
Dengan sikap gugup pengawal itu lalu menjawab,
“Koan-bun pada saat ini sedang diserbu oleh pasukan liar Raja Tambolon dan
membutuhkan bantuan, Ciangkun.”
Berita ini amat mengejutkan. “Celaka....!”
Tek Hoat sudah meloncat dari kursinya. “Pangeran harus segera diberi tahu!”
Bagaikan kilat cepatnya tubuhnya sudah meloncat ke dalam dan tak lama kemudian
dia sudah menggedor pintu kamar Pangeran Liong Khi Ong.
“Ihh, engkau mau apa?” Nenek Hek-wan Kui-bo
menegur dan tongkatnya sudah siap untuk menyerang.
“Bodoh!” Tek Hoat membentak. “Ada laporan
penting untuk Pangeran!” Dia mengetuk pintu lagi dan pintu terbuka dari dalam.
Dengan muka merah karena setengah mabok dan juga marah Pangeran Liong Khi Ong
memperlihatkan mukanya sambil memandang marah kepada pembantunya itu.
“Ang Tek Hoat, mengapa engkau menggangguku?”
Dari pintu yang terbuka sedikit itu Tek Hoat
dapat melihat ke dalam dan ketika dia melihat Syanti Dewi duduk di atas kursi
di kamar itu dengan mata terbelalak dan muka pucat, akan tetapi hanya kelihatan
marah sedangkan pakaiannya masih lengkap, hatinya menjadi lega. Dia cepat memberi
hormat kepada Pangeran Liong Khi Ong lalu berkata, “Berita buruk sekali,
Pangeran. Baru saja datang laporan bahwa Tambolon yang curang itu telah
mengerahkan pasukannya menyerbu Koan-bun.”
Seketika rasa mabok oleh arak dan oleh
kecantikan Puteri Bhutan terbang meninggalkan benak pangeran ini. “Apa....?”
Dia sudah membuka lebar daun pintu dan berlari ke ruangan, diikuti oleh Tek
Hoat sedangkan Hek-wan Kui-bo tetap menjaga di depan pintu kamar Syanti Dewi.
Memang bagi dua orang kakak beradik Pangeran Liong, urusan pemberontakan mereka
merupakan hal terpenting bagi hidup mereka, oleh karena itu tidak mengherankan
apabila Pangeran Liong Khi Ong segera melupakan semua kesenangan pribadinya
begitu mendengar berita diserbunya Koan-bun oleh Raja Tambolon. Ketika dia tiba
di ruangan itu, Panglima Kim Bouw Sin, Siang Lo-mo, Hek-tiauw Lo-mo, dan Mauw
Siauw Mo-li sedang mendengarkan pelaporan lengkap dari pembawa berita itu.
Kemunculan pangeran ini mengharuskan Si Pengawal mengulang semua laporannya.
“Mereka datang sebagai sahabat,” pengawal itu
menutup laporannya. “Akan tetapi begitu pintu gerbang dibuka untuk membiarkan
Raja Tambolon dan para pengikutnya masuk, tiba-tiba rombongan raja liar itu
membunuhi penjaga pintu gerbang dan pasukannya yang bersembunyi dalam gelap
langsung menyerbu ke dalam kota.”
Pangeran Liong Ki Ong marah sekali mendengar
ini. “Raja biadab itu! Panglima Kim Bouw Sin, kita harus menghajar dan
menumpas mereka!”
Panglima Kim Bouw Sin segera mengumpulkan
para perwira pembantunya dan menyiapkan pasukan yang besar untuk membantu
Koan-bun dan menumpas pasukan liar Tambolon itu. Tek Hoat maklum bahwa karena
dia yang mengusulkan untuk membiarkan Tambolon dan pasukannya menetap di
Ang-kiok-teng, sudah sepatutnya kalau dia yang kini membantu dan ikut memimpin
pasukan itu. Andaikata tidak ada Syanti Dewi di situ, tentu sudah tadi dia
mengajukan diri. Kini dia berpendapat lain dan kecerdikannya membuat dia cepat
berkata kepada Panglima Kim Bouw Sin, akan tetapi tentu saja kata-katanya ini
ditujukan untuk menarik perhatian Pangeran Liong Khi Ong. “Tambolon seperti
anjing, diberi sejengkal ingin sehasta! Manusia macam dia harus dibasmi, dan
kesempatan yang amat baik ini hendaknya dipergunakan untuk menguji kesanggupan
dua orang pembantu baru kita yaitu Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.
Hal-hal aneh terjadi, maka kita harus tetap waspada dan terutama keselamatan
pangeran harus dijaga baik.”
Ucapan ini diterima baik oleh Panglima Kim
dan juga Pangeran Liong. Maka segera diputuskan bahwa pasukan besar yang akan
membantu Koan-bun itu selain dipimpin oleh para perwira, juga dibantu pula oleh
Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.
“Saya sendiri akan melakukan perondaan
dan mengatur penjagaan ketat di Teng-bun, karena dalam keadaan segawat ini,
kita harus tetap waspada dan memperkuat penjagaan,” Tek Hoat berkata pula dan
tanpa menanti persetujuan, dia sudah keluar pula dan lenyap di dalam kegelapan
malam. Pasukan besar yang diperbantukan kepada pertahanan kota Koan-bun itu
segera berangkat pada malam hari itu juga.
Sementara itu, dengan didampingi oleh Ceng
Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon, dua orang pengawalnya, yaitu Liauw Kui Si
Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai lihai, memimpin seribu orang pasukan yang
liar itu malam-malam menyerbu Koan-bun. Seperti telah diceritakan oleh para
pelapor kepada Pangeran Liong Khi Ong, Tambolon menggunakan siasat, bersama
empat orang pembantunya yaing lihai itu dia muncul di depan pintu gerbang
selatan kota Koan-bun dan berteriak minta dibukai pintu karena dia hendak
menemui komandan kota Koan-bun. Setelah kepala penjaga mengenal Raja Tambolon
ini, jembatan gantung diturunkan dan pintu gerbang dibuka, Raja Tambolon, dua
orang pengawal, Ceng Ceng dan Topeng Setan, segera menyeberangi jembatan gantung
dan secara tiba-tiba, lima orang yang berkepandaian tinggi ini menyerang
pasukan penjaga yang terdiri dari dua puluh orang lebih. Dalam waktu singkat
saja mereka itu telah merobohkan semua penjaga dan pasukan liar itu segera
menyerbu ke dalam kota. Gegerlah kota Koan-bun dan perang terjadi dengan
hebatnya dan kacau-balau karena penyerbuan yang tak terduga-duga itu membuat
pasukan-pasukan pertahanan kota Koan-bun menjadi bingung.
Kalau saja tidak datang pasukan bantuan dari
Teng-bun yang tiba di Koan-bun menjelang pagi, tentu kota Koan-bun sudah
terjatuh ke tangan pasukan Tambolon. Kedatangan pasukan besar dari Teng-bun ini
membangkitkan kembali semangat sisa pasukan pertahanan Koan-bun dan perang
dilanjutkan sampai keesokan harinya. Sebagian pasukan liar telah menduduki
separuh dari kota Koan-bun akan tetapi sebagian pula kini bertempur di luar
pintu gerbang untuk menahan serbuan pasukan pemberontak yang datang dari
Teng-bun. Perang hebat terjadi di dalam kota Koan-bun dan juga di luar kota itu.
Akan tetapi kini pasukan liar di bawah pimpinan Tambolon terjepit antara dua
pasukan yang berada di dalam dan yang datang dari luar. Karena jumlah mereka
jauh kalah banyak, maka mulailah mereka terhimpit dan korban-korban berjatuhan.
Tambolon sendiri seperti biasa dibantu oleh
dua orang pengawalnya yang setia, ikut berperang dan mengamuk ganas. Juga Ceng
Ceng dan Topeng Setan bertempur bahu-membahu, merobohkan banyak tentara
pemberontak. Diam-diam kedua orang ini merasa girang sekali melihat betapa siasat
mereka berhasil baik, bahkan bukan saja mereka dapat mengadu domba antara
pasukan-pasukan liar Tambolon dan pasukan pemberontak, juga mereka memperoleh
kesempatan ikut pula bertempur membasmi para pemberontak.
Akan tetapi kini pasukan liar Tambolon ini
mulai terdesak hebat. Yang mempertahankan diri di luar terhadap serbuan
pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun kini didesak masuk kota oleh
pasukan besar pemberontak itu. Kini semua pasukan liar yang berperang seperti
binatang-binatang buas itu telah digiring masuk ke dalam kota Koan-bun dan di
dalam kota ini terjadilah peristiwa-peristiwa mengerikan. Bukan hanya perang
antara anak buah pasukan-pasukan yang berlawanan, melainkan pasukan itu
terpecah-pecah dan terjadilah perang campuh kacau-balau yang menyeret pula
penduduk kota Koan-bun. Seluruh kota menjadi kacau dan di sana-sini terjadi
pembakaran-pembakaran. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana.
Pasukan liar itu makin terjepit. Mereka
terdiri dari orang-orang liar dan buas yang kalau sedang berperang seperti
berubah menjadi binatang-binatang buas sehingga mereka itu telah menjatuhkan
banyak sekali lawan dalam perang campuh itu. Setiap orang anggauta pasukan
Tambolon ini baru roboh kalau sedikitnya telah menjatuhkan tiga orang lawan. Akan
tetapi setelah bala bantuan dari Teng-bun tiba, jumlah mereka jauh kalah banyak
dan mulailah mereka terhimpit dan mulai pula timbul rasa panik di antara
mereka.
Ceng Ceng dan Topeng Setan masih mengamuk
dengan pedang mereka, merobohkan banyak sekali pasukan pemberontak. Akan
tetapi setelah pasukan dari Teng-bun berhasil mendesak masuk dan barisan
pemberontak ini datang seperti air banjir, mereka berdua terdesak dan terdorong
sampai saling berpisah.
Di antara kekacauan yang terjadi di Koan-bun
itu, di antara ribuan orang penduduk yang menjadi panik dan ketakutan,
terdapat seorang pemuda yang bersembunyi di atas wuwungan rumah dan menonton
perang campuh itu dengan hati tertarik sekali. Ketika dia mendengar bahwa
pasukan liar yang dipimpin Tambolon menyerbu kota Koan-bun, dia terkejut dan
merasa heran. Akan tetapi setelah menyaksikan perang hebat antara pasukan liar
ini melawan pasukan-pasukan pemberontak, hatinya menjadi girang. Pemuda ini
adalah Suma Kian Lee. Dia tidak mengerti mengapa sekutu pemberontak, pasukan
kuat dari suku bangsa liar yang dipimpin Tambolon itu menyerbu Koan-bun dan
memerangi pasukan pemberontak, sekutu mereka sendiri. Akan tetapi hal ini tentu
saja menguntungkan pemerintah, maka Kian Lee menjadi girang ketika dia menyaksikan
perang campuh kacau-balau yang terjadi di bawah itu.
Pemuda ini masih belum meninggalkan Koan-bun
karena dia ingin mencari suhengnya, adiknya dan Syanti Dewi yang terpisah
darinya. Seperti diketahui, pemuda ini menderita luka karena racun senjata rahasia
peledak yang dilepas Hek-wan Kui-bo, akan tetapi luka di pahanya itu telah
diobati oleh Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo. Kini lukanya telah sembuh
benar, akan tetapi hatinya gelisah karena dia masih belum berhasil bertemu
kembali dengan Gak Bun Beng, Suma Kian Bu, dan Syanti Dewi.
Ketika dari atas wuwungan loteng sebuah rumah
besar dia melihat perang yang kacau-balau itu menjurus ke perbuatan kejam
terhadap penduduk, baik yang dilakukan oleh kaum liar maupun oleh tentara
pemberontak yang mempergunakan kekacauan itu untuk melampiaskan nafsu-nafsu
pribadi mereka, menggarong, memperkosa, dan membunuh, Kian Lee lalu meloncat
turun dan menyelidiki dari rumah ke rumah. Sudah dua kali dia membunuh dua
orang tentara liar yang sedang memaksa dan hendak memperkosa wanita, dan dia
pun telah membunuh tiga orang tentara pemberontak yang menggarong dan mencoba
untuk membunuh pemilik rumah yang digarongnya.
Perang dilanjutkan sampai keesokan harinya,
akan tetapi kini semua pasukan liar di bawah pimpinan Tambolon itu telah
digiring masuk dan perang campuh yang berat sebelah terjadi di dalam kota
Koan-bun karena jumlah tentara Tambolon itu jauh kalah banyak.
Ceng Ceng yang terpisah dari Topeng Setan
masih menggerakkan pedangnya, merobohkan setiap orang tentara pemberontak yang
berani mendekatinya. Dia sudah lelah sekali karena sejak penyerbuan malam tadi
sampai pagi ini dia harus bertempur. Kini dia hanya menjaga diri saja sambil
beristirahat dan mencari-cari pembantunya yang tidak kelihatan lagi itu. Perang
dilanjutkan dan kini pihak pemberontak mulai melakukan pembersihan karena sisa
tentara liar itu sudah cerai-berai dan mulai main kucing-kucingan bersembunyi
di antara rumah-rumah penduduk Koan-bun. Dengan cara demikian, mereka masih
mampu melakukan perang gerilya yang tentu saja makin mengacaukan kota itu dan
membikin geger para penduduk karena tempat tinggal mereka dipergunakan sebagai
tempat persembunyian, kejar-kejaran dan saling bunuh.
Sehari itu pihak pasukan liar hanya mampu
mempertahankan diri sambil bersembunyi di sana-sini dan akhirnya, ketika malam
tiba, sisa mereka tinggal sedikit dan mereka kini hanya berani melawan kalau
ketahuan tempat sembunyi mereka dan hanya karena terpaksa saja.
Ceng Ceng makin bingung karena tidak melihat
Topeng Setan. Dia mencari-cari ke seluruh kota namun tidak berhasil karena
dia pun harus selalu menghindari pertemuan dengan pasukan-pasukan pemberontak
yang mengadakan operasi pembersihan. Dia tadi melihat bahwa pasukan
pemberontak itu dipimpin oleh seorang kakek raksasa dan seorang wanita cantik
yang amat lihai. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia
mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, raksasa lihai sekali
Ketua Pulau Neraka yang pernah dijumpainya, bahkan pernah menangkapnya di
Lembah Bunga Hitam, ayah dari Kim Hwee Li yang pernah menolong dan
membebaskannya. Ceng Ceng gentar menghadapi raksasa itu, dan pula, selain dia
amat lelah, juga dia telah merasa puas dengan siasatnya, menghancurkan
pasukan Tambolon dan merugikan besar sekali kepada pasukan pemberontak.
Ceng Ceng menjadi bingung juga karena hari
telah menjadi gelap dan hanya terjadi pertandingan-pertandingan kecil di
sana-sini antara sisa tentara Tambolon yang ketahuan tempat persembunyian
mereka melawan pasukan pemberontak yang mengadakan pembersihan. Dia masih belum
berhasil menemukan kembali Topeng Setan. Dan tadi dia melihat sinar dari anak
panah berapi meluncur tinggi di angkasa, berwarna kebiruan dan indah. Dia tidak
tahu apa artinya anak panah berapi itu yang meluncur dari tengah kota Koan-bun.
Selagi dia menyelinap di antara rumah-rumah
di dalam cuaca yang mulai gelap itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan
keras dan tahu-tahu dia telah dikepung oleh belasan orang tentara pemberontak
yang dipimpin oleh seorang wanita cantik yang memegang sebatang pedang.
“Ini dia wanita pemimpin pasukan liar itu!”
terdengar bentakan seorang perajurit.
Wanita cantik yang bukan lain adalah Mauw
Siauw Mo-li itu, memandang Ceng Ceng yang tak dapat melarikan diri lagi itu
penuh perhatian, lalu sambil tersenyum dia bertanya, “Ah, benarkah Tambolon
mempunyai pembantu secantik ini?”
“Tidak salah lagi, Kouw-nio (Nona). Kami tadi
melihat dia mengamuk di samping Tambolon dan para pembantunya. Dia lihai
sekali!” kembali terdengar suara meyakinkan dari seorang perajurit pemberontak.
Mauw Siauw Mo-li melangkah maju. “Eh,
perempuan cantik, apakah engkau selir Tambolon? Hayo katakan di mana adanya
Tambolon dan para pembantunya itu!”
Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan marah
hati Ceng Ceng mendengar kata-kata dan pertanyaan yang dianggapnya menghina
itu. “Perempuan pemberontak rendah!” Dia memaki sambil menyerang ke depan
dengan Ban-tok-kiam di tangannya.
“Sing.... wuuuuttt-tranggg....!” Bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika pedang Ban-tok-kiam di tangan Ceng Ceng
bertemu dengan pedang di tangan Mauw Siauw Mo-li. Ceng Ceng terhuyung ke
belakang, akan tetapi siluman kucing itu pun terperanjat melihat betapa ujung
pedangnya patah dan ada hawa beracun yang mengerikan keluar dari pedang di
tangan lawannya itu. Jelas bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Ceng Ceng masih
kalah oleh lawannya, akan tetapi keampuhan Ban-tok-kiam juga mengejutkan hati
Mauw Siauw Mo-li. Pada saat itu, dua orang perajurit menubruk dari kanan kiri
menggunakan golok mereka menyerang. Ceng Ceng memutar pedangnya dan terdengar
suara nyaring disusul runtuhnya dua batang golok yang menjadi buntung berikut
lengan kedua orang itu!
“Mundur kalian....!” Mauw Siauw Mo-li
berteriak nyaring dan ketika belasan orang pasukan itu mundur, dia sudah
melemparkan bola-bola hitam berturut-turut sebanyak lima buah ke arah Ceng
Ceng. Gadis ini maklum bahwa lawan menggunakan senjata rahasia yang aneh dan
belum dikenalnya, maka cepat dia menjatuhkan diri bergulingan dan untung saja
dia melakukan pengelakan secara ini, karena ketika bola-bola itu terbanting ke
atas tanah terdengar ledakan-ledakan dan tentu Ceng Ceng akan terluka kalau
saja dia tidak bergulingan di atas tanah. Ceng Ceng terkejut bukan main. Cepat dia
menggerakkan pedang menangkis sambil meloncat bangun ketika wanita itu
menubruknya dan mengirim tusukan, tusukan maut yang nyaris mengenai perutnya.
Namun berkat keampuhan Ban-tok-kiam yang membuat lawan menjadi jerih dan tidak
berani beradu pedang secara langsung, Ceng Ceng mampu meloncat tinggi dan
terus mencelat ke atas genteng lalu melarikan diri! Dia maklum akan kelihaian
wanita itu dan kalau sampai datang lebih banyak pasukan pemberontak lagi
lebih-lebih kalau sampai Hek-tiauw Lo-mo muncul, tentu dia akan celaka.
“Kejar dia....!” Mauw Siauw Mo-li berteriak
sambil meloncat naik ke atas genteng dengan gerakan yang luar biasa cepatnya.
Untung bahwa Ceng Ceng telah lebih dulu menghilang di atas genteng, kalau
tidak agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena dalam hal
gin-kang, dia pun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing itu. Mauw
Siauw Mo-li terus mencari dengan penasaran, bahkan mendatangkan pasukan lebih
banyak lagi. Biarpun pasukan bantuan dari Teng-bun berhasil mengalahkan dan
hampir membasmi habis pasukan liar Tambolon, namun pasukan pemberontak itu
sendiri kehilangan banyak sekali anggauta tentara dan kalau dia atau suhengnya
tidak mampu menangkap Tambolon dan para pembantunya, mati atau hidup, hati
Mauw Siauw Mo-li belum puas.
Ceng Ceng berlari-larian, kadang-kadang di
atas genteng, kemudian meloncat turun dan menyelinap di antara
bayangan-bayangan rumah yang gelap. Ketika dia berhenti sebentar di belakang
sebuah rumah, tiba-tiba terdengar suara bisikan, “Lu-bengcu.... mari sini....!”
Ceng Ceng terkejut, apalagi ketika mengenal
Raja Tambolon dan dua orang pembantunya yang lihai itu. Kiranya Tambolon, Liauw
Kui Si Petani Maut dan Si Siucai Yu Ci Pok bersembunyi di dalam rumah kosong
itu! Biarpun hatinya tidak suka, namun Ceng Ceng yang sedang dikejar-kejar
Mauw Siauw Mo-li dan pasukannya itu segera meloncat masuk melalui pintu kecil
di belakang rumah yang dibuka oleh Tambolon. Mereka berempat segera menutup
pintu dan memasuki rumah kosong. Ceng Ceng memandang ruangan yang diterangi
lentera itu penuh harapan, akan tetapi hatinya kecewa ketika dia tidak melihat
Topeng Setan di situ.
“Untung ada kalian di sini....” kata Ceng
Ceng. “Akan tetapi di mana adanya Topeng Setan?”
“Hemmm.... justeru kami hendak bertanya
kepadamu, Lu-bengcu. Di manakah Topeng Setan pembantumu itu?”
Mendengar suara dan melihat sikap Raja
Tambolon, Ceng Ceng terkejut, apalagi ketika melihat bahwa tiga orang itu
membuat gerakan mengurungnya, Tambolon di depannya sedangkan dua orang pembantu
raja di kanan kirinya, sikap mereka seperti orang yang marah kepadanya.
“Eh, apa maksudmu, Raja Tambolon?” Ceng Ceng
bertanya dengan sikap biasa.
“Ha-ha, engkau masih pandai berpura-pura lagi!
Sikap dan maksudku sudah jelas! Engkau telah menjebloskan kami ke dalam
perangkap. Engkau telah menyebabkan pasukan kami terbasmi habis, dan sekarang
pembantumu itu tidak tampak bayangannya dan engkau masih berpura-pura lagi,
Nona.”
Di dalam hatinya Ceng Ceng terkejut sekali.
Akan tetapi dia cerdik dan dia berkata dengan nada suara dan penasaran. “Raja
Tambolon, begitu tidak tahu terima kasihkah engkau? Apakah engkau tidak melihat
betapa aku tadi hampir celaka oleh pasukan yang dipimpin wanita lihai itu?
Kalau usaha kita tidak berhasil karena keburu datang bala bantuan dari
Teng-bun, apakah itu salahku? Mengapa engkau tidak menyalahkan pasukanmu
sendiri yang tidak becus dan kurang mampu!”
Raja Tambolon yang sudah kehilangan
segala-galanya itu masih bisa tertawa. Kemudian dia berkata, “Nona Lu Ceng,
kalau tadi kami tidak melihat betapa engkau dikejar-kejar, tentu sekarang
engkau sudah mati di tanganku! Akan tetapi jangan mengira bahwa hal itu sudah
cukup bagi kami. Tidak hadirnya Topeng Setan di sampingmu memperkuat dugaan
kami bahwa kalian telah mempermainkan kami dan karena engkaulah maka kini
pasukanku terbasmi habis. Mana bisa aku mendiamkannya saja hal ini? Tidak!
Untuk meyakinkan hatiku bahwa engkau tidak mengkhianati aku, engkau tidak boleh
lagi berpisah dari sampingku.”
Berdebar jantung Ceng Ceng mendengar ucapan
ini. Sudah cukup jelas baginya apa yang terkandung di dalam hati raja liar
ini. Akan tetapi untuk mengulur waktu sambil memutar otaknya mencari akal dia
berpura-pura tidak mengerti dan bertanya, “Maksudmu?”
“Ha-ha-ha! Pasukanku boleh terbasmi habis,
akan tetapi aku masih mempunyai dua orang sahabat dan pembantuku yang setia
ini, ditambah lagi memiliki engkau yang cantik jelita, muda lagi pintar dan
cerdik sebagai sahabat dan penghiburku, sebagai permaisuriku! Dengan adanya
kita berempat, mudah bagi kita untuk menghimpun pasukan lagi dan membangun
sebuah negara yang kuat, ha-ha-ha!”
Makin berdebar rasa jantung Ceng Ceng. Tepat
seperti telah diduganya. Akan tetapi melihat Tambolon dan dua orang pembantunya
itu menghadapi dengan sikap siap untuk menghalangi dia melarikan diri, dia
masih berkata,
“Hemm, rencanamu memang bagus sekali, akan
tetapi bagaimana dengan Topeng Setan?”
“Dia? Ha-ha-ha, kalau memang dia itu bukan
pengkhianat dan saat ini tidak bergabung kepada musuh, dia pun bisa menjadi
orang ke lima, bisa menjadi pembantuku. Akan tetapi kalau tidak muncul,
persetan dengan dia. Kita berempat sekarang juga harus kabur keluar dari kota
terkutuk ini!”
“Engkau memang manusia hina!” Tiba-tiba Ceng
Ceng membarengi makiannya itu dengan gerakan kedua tangannya yang menyebar
jarum-jarum hitam beracun yang tadi diam-diam sudah disiapkannya di kedua
tangannya.
“Ehhhh!”
“Heiitttt!”
“Hyaattt!”
Tambolon dan dua orang pembantunya itu memang
bukan orang-orang sembarangan. Mereka bertiga itu selain memiliki ilmu
kepandaian tinggi, juga sudah puluhan tahun menghadapi segala macam keadaan
sehingga tentu saja mereka sudah waspada akan akal yang dipergunakan Ceng Ceng
tadi yang mereka anggap tiada lebih sebagai akal kanak-kanak saja. Maka begitu
kedua tangan dara itu bergerak dan ada sinar hitam menyambar ke arah mereka,
tiga orang ini sudah bergerak cepat, membuang diri ke bawah dan bergulingan
sehingga serangan jarum-jarum beracun yang mendadak itu dapat mereka elakkan.
Akan tetapi kesempatan ini cukup bagi Ceng
Ceng untuk secepat kilat meloncat keluar dari rumah itu melalui jendela, terus
berloncatan ke atas genteng melarikan diri karena dia maklum bahwa menghadapi
tiga orang pandai itu dia tidak akan mampu menang.
“Ha-ha, betina liar, kau hendak lari ke mana?”
Tambolon berseru dan bersama dua orang pembantunya, dia mengejar dengan
cepat. Mereka bertiga juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang membuat gerakan
mereka cepat sekali sehingga setelah melewati empat wuwungan rumah, Ceng Ceng
yang meloncat turun telah dikurung lagi di sebelah kebun kosong yang sunyi.
“Ha-ha-ha-ha, sungguh hebat! Makin liar dan
hebat engkau melawan, akan makin manis dan mesra kalau engkau sudahterjatuh ke
dalam pelukanku, ha-ha!” Tambolon tertawa bergelak.
“Tambolon, manusia iblis! Kau hanya dapat
menguasai aku kalau aku sudah dapat menjadi mayat!” Ceng Ceng berteriak sambil
mencabut pedangnya, yaitu Ban-tok-kiam yang mengeluarkan hawa mujijat dan
menyeramkan. Dengan nekat Ceng Ceng yang maklum bahwa melarikan diri pun
percuma saja lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya yang mengandung
hawa beracun itu dengan sengit dan membabi buta.
Akan tetapi jangankan dikurung bertiga, baru
melawan seorang di antara mereka saja Ceng Ceng tidak akan mampu menang. Petani
Maut Liauw Kui menggerakkan pikulannya dan senjatanya ini saja sudah cukup
untuk menahan gulungan sinar pedang Ban-tok-kiam sehingga tidak dapat
bergerak leluasa karena selalu terhalang oleh pikulan yang digerakkan secara
lihai sekali. Sedangkan dari kanan kiri, Yu Ci Pok yang menggunakan sepasang
senjata poan-koan-pit mengancam dengan totokan-totokan cepat dan Tambolon yang
tertawa itu menggunakan kedua lengannya yang panjang berbulu untuk menerkam
tubuh Ceng Ceng!
Tentu saja Ceng Ceng menjadi sibuk sekali.
Semua kepandaiannya telah dikeluarkannya, bahkan dia telah menggunakan
pukulan tangan kiri beracun, juga menggunakan ludah yang telah menjadi beracun
karena pengerahan ilmunya, namun tiga orang lawan itu terlalu kuat baginya.
Hanya karena Tambolon menghendaki dia hidup-hidup sajalah maka dia masih belum
roboh. Kalau mereka itu ingin membunuhnya, tentu sudah sejak tadi dia tewas.
Justeru karena tahu bahwa dia akan ditangkap hidup-hidup dan dijadikan barang permainan
oleh Tambolon, Ceng Ceng merasa ngeri. Dia tidak takut mati, akan tetapi dia
menggigil penuh kengerian kalau teringat betapa dia akan diperkosa dan
dipermainkan oleh raja liar itu. Teringat akan pengalamannya ketika diperkosa
orang, Ceng Ceng ingin menjerit. Dia tidak sudi dijadikan permainan oleh
Tambolon, akan tetapi dia pun tidak ingin mati sebelum mampu membalas sakit
hatinya kepada Kok Cu, pemuda murid Si Dewa Bongkok yang telah memperkosanya.
Tidak, dia tidak ingin mati sebelum dapat berhadapan dengan Kok Cu! Akan tetapi
dia pun tidak sudi menderita perkosaan lagi, perkosaan yang lebih mengerikan
dan lebih menghina kalau dia sampai tertangkap oleh Tambolon!
“Cringgg....!” Tiba-tiba pedang Ban-tok-kiam
yang bertemu dengan pukulan Petani Maut tidak dapat dia tarik kembali,
seolah-olah melekat pada pikulan itu. Pada saat itu, ujung senjata pensil di
tangan siucai itu menyentuh jalan darah di pergelangan tangan kanannya. Ceng
Ceng menjerit dan terpaksa melepaskan pedangnya karena lengannya itu seketika
menjadi lumpuh.
“Ha-ha-ha, kuda betina liar! Apakah engkau
masih belum mau jinak?” Tambolon yang sudah menyambar pedang Ban-tok-kiam itu
kini tertawa bergelak.
Ceng Ceng mengeluarkan suara melengking
nyaring dan dengan penuh kenekatan dia menerjang dengan pukulan kedua
tangannya ke arah dada Tambolon.
“Plakk....! Dukkk!” Tubuh Ceng Ceng
terjengkang dan dia roboh bergulingan ketika pukulannya ditangkis dan tubuhnya
didorong oleh Tambolon sambil tertawa-tawa itu.
“Wah, kuda betina seperti ini harus ditudukkan
dan dijinakkan sekarang juga, kalau tidak, dia akan bertingkah terus! Liauw
Kui, Yu Ci Pok, pegang dia, biar dia merasakan dan mengenal siapa yang
berkuasa! Ha-ha-ha!” Tambolon tertawa-tawa dan dengan gerakan tenang mulai
menanggalkan jubah luarnya.
Ceng Ceng membelalakkan matanya. Dia akan
diperkosa begitu saja, dengan kedua orang itu memegangnya dan Tambolon
menggagahinya.
“Tidaaaakkk....! Jangan....!” jeritnya penuh
kengerian ketika dua orang lihai itu mendekatinya. Dia masih duduk di atas
tanah karena kepalanya agak pening ketika dia terbanting tadi.
“Hemm, engkau perawan liar memang harus
dipaksa!” Si Petani berkata dan bersama Yu Ci Pok dia menubruk ke depan.
“Plak! Plakk!”
“Eihhhh....?”
“Heiiii....!”
Liauw Kui dan Yu Ci Pok terhuyung ke belakang
dan memandang dengan mata terbelalak kepada Kian Lee yang sudah berdiri di
situ dengan sikap tenang akan tetapi mukanya merah dan alisnya berkerut,
matanya seperti bercahaya di tempat gelap itu ketika dia memandang kepada mereka.
“Raja Tambolon, kiranya selain raja
orang-orang liar engkau sendiri juga seorang manusia biadab!” Kian Lee berkata
sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka raja tinggi besar itu. Sementara
itu, Ceng Ceng yang masih terduduk tadi memandang kepada Kian Lee tanpa
mengenalnya. Dia menduga-duga siapa adanya pemuda tampan dan gagah perkasa
yang muncul secara tiba-tiba dan yang sekali menangkis membuat dua orang
pembantu Tambolon terhuyung mundur itu. Tadi Kian Lee sedang menyaksikan
kehancuran pasukan liar Tambolon yang didesak oleh pasukan-pasukan pemberontak
yang datang dari Teng-bun ketika tiba-tiba dia melihat bayangan-bayangan orang
berkelebatan cepat sekali di atas genteng. Ketika melihat seorang wanita
dikejar tiga orang, dia merasa heran apalagi melihat betapa gerakan mereka amat
cepat. Ketika mendengar percakapan mereka dan tahu bahwa tiga orang laki-laki
itu adalah Tambolon dan dua orang pembantunya, Kian Lee makin menaruh
perhatian. Akan tetapi dia baru turun tangan membantu ketika melihat dengan
hati kaget dan berdebar aneh bahwa gadis yang dikeroyok itu bukan lain adalah
Lu Ceng, saudara angkat Syanti Dewi, penolong Jenderal Kao Liang, gadis yang
telah beberapa kali dijumpainya dan yang tidak pernah meninggalkan lubuk
hatinya itu! Begitu dia mengenal Ceng Ceng, cepat dia bergerak dan menangkis
dua orang yang hendak menangkap gadis itu.
Tambolon memandang dengan matanya yang lebar
dan ganas, kemudian tertawa lagi karena dia memandang rendah kepada pemuda
yang baru muncul itu. “Liauw dan Yu, kalian bereskan bocah lancang itu, biar
aku menjinakkan sendiri betina liar ini karena kita tidak mempunyai banyak
waktu.” Sambil berkata demikian, dia sudah menubruk Ceng Ceng yang baru saja
hendak bangkit berdiri.
“Keparat!” Kian Lee membentak akan tetapi
ketika dia bergerak maju, Yu Ci Pok sudah mengirim totokan bertubi-tubi dengan
sepasang poan-koan-pit ke arah jalan-jalan darah berbahaya di depan tubuh Kian
Lee, sedangkan Liauw Kui sudah mengayun pikulannya menghantam ke arah
kepalanya. Kian Lee terpaksa mengelak dan ketika dia melirik, ternyata Ceng
Ceng sudah menyambut tubrukan itu dengan tendangan kakinya. Ditendang seperti
itu, Tambolon tertawa saja dan ketika tendangan mengenai perutnya, bukan dia
yang roboh, bahkah Ceng Ceng sendiri yang terjengkang dan terbanting telentang
di atas rumput. Sambil tertawa, Tambolon menubruk tubuh gadis yang sudah
telentang itu.
“Dessss....!”
“Auggghhh....!” Tambolon berteriak keras
sekali dan dia masih sempat menangkis dorongan tangan orang yang tiba-tiba
muncul di samping, dan ketika kedua dengan itu bertemu, Tambolon terpelanting
dan hampir roboh. Dia cepat meloncat dan menghadapi laki-laki yang baru muncul
itu. Laki-laki itu setengah tua, berpakaian sederhana dan sikapnya tenang, akan
tetapi pandang matanya membuat Tambolon bergidik karena pandang mata itu tajam
seolah-olah menembus jantungnya.
“Huh, banyak manusia lancang yang sudah bosan
hidup!” Tambolon berteriak marah sekali.
“Suheng....!” Kian Lee menjadi girang melihat
bahwa yang muncul itu adalah Gak Bun Beng. Bun Beng hanya tersenyum kepadanya,
akan tetapi dia tidak sempat bicara karena Tambolon yang marah karena
kehendaknya selalu dirintangi orang itu sudah menerjangnya dengan dahsyat.
Raja liar itu memang hebat. Dia adalah keturunan seorang Panglima Mongol yang
berilmu tinggi dan serangannya itu dibarengi dengan pekik dahsyat yang
mengandung khi-kang kuat sekali sedangkan tangannya yang memukul ke arah Bun
Beng juga mengandung pengerahan tenaga sin-kang yang amat besar.
Bun Beng sudah mendengar akan kehebatan Raja
liar ini dan kini melihat gerakan pukulan itu yang didahului oleh suara angin
pukulan bersiutan diam-diam dia menjadi kagum juga. Seorang manusia biadab yang
hidupnya liar dapat memiliki tingkat kepandaian seperti ini, sungguh
mengagumkan dan jarang ada. Maka dia pun cepat menggerakkan tangannya,
didorong ke depan untuk menyambut hantaman lawan itu. Melihat ini Tambolon
menjadi girang. Selama ini, dia terkenal dengan pukulan mautnya dan belum
pernah ada orang berani menerima pukulannya yang memiliki kekuatan ribuan
kati. Batu karang pun pecah terkena pukulannya dan hawa pukulannya dapat
membuat air di dalam sumur bergelombang! Kini lawannya yang sederhana ini
berani menyambut pukulannya, dasar mencari jalan kematian yang cepat,
pikirnya.
“Desss....!” Dua telapak tangan bertemu di
udara didahului oleh bertemunya hawa pukulan yang amat hebat dan akibatnya
membuat Tambolon terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Hampir dia tidak
dapat percaya akan kenyataan ini dan memandang dengan mata terbelalak. Orang
ini sama sekali tidak bergoyang! Mana mungkin ini? Dia menjadi penasaran
sekali, dan bagaikan seekor kerbau mengamuk, dia menyerbu lagi, kini
menggunakan kedua tangannya untuk memukul.
“Plak! Desss....!” Makin hebat pukulan
Tambolon, makin hebat pula dia terguncang ketika ditangkis, sehingga kini dia
terhuyung ke belakang sampai lima langkah!
“Darrr....! Darrr....!”
Dua buah benda meledak dan untung bahwa mereka
semua yang berada di situ adalah orang-orang pandai sehingga dapat mengelak dan
mengebut pecahan-pecahan yang menyambar ke arah mereka. Muncullah pasukan
pemberontak yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li!
“Ah, badai besar! Berlindung....!” Teriakan
Tambolon ini merupakan isyarat kepada dua orang pembantunya bahwa bahaya yang
tak terlawan datang dan mereka perlu melarikan diri. Liauw Kui dan Yu Ci Pok
yang juga menghadapi lawan berat karena pemuda tampan itu ternyata mampu
menghadapi senjata mereka dengan gerakan cepat, maklum akan teriakan pemimpin
mereka dan cepat mereka meloncat ke dalam gelap, mengikuti perginya Raja
Tambolon.
“Hi-hik, ini dia Si Perempuan Jalang!” Mauw
Siauw Mo-li membentak ketika dia melihat Ceng Ceng.
“Ha-ha-ha, cantik.... cantik....!” Hek-tiauw
Lo-mo terkekeh.
Ceng Ceng yang baru saja terlepas dari bahaya
tadi berdiri dengan muka pucat memandang kepada dua orang yang datang
menolongnya. Kini melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li dengan pasukan
pemberontak, juga munculnya Hek-tiauw Lo-mo yang sudah dia ketahui amat lihai,
menjadi putus harapan.
“Hek-tiauw Lo-mo iblis busuk!” bentaknya
sambil meloncat ke depan dan menghantam raksasa itu karena Hek-tiauw Lo-mo yang
berada paling dekat dengannya.
“Ha-ha-ha, kiranya engkau ini?” Hek-tiauw
Lo-mo tertawa, dan karena dia maklum bahwa gadis ini memiliki ilmu tentang
racun yang amat berbahaya, dia lalu mengerahkan tenaga beracun dan menangkis
sambil terus menampar.
“Plakk! Bukk....!” Tubuh Ceng Ceng terbanting
karena selain pukulannya kena ditangkis, juga pundaknya terkena tamparan
tangan beracun Ketua Pulau Neraka yang amat lihai itu.
“Hek-tiauw Lo-mo manusia keji!” Kian Lee yang
tadinya ingin mengejar Tambolon, melihat Ceng Ceng roboh terpukul, menjadi
marah sekali dan dia sudah menerjang raksasa itu dengan pukulan tangannya.
“Duk-duk-desss!” Tiga kali lengan pemuda itu
beradu dengan Hek-tiauw Lomo dan melihat betapa kakek itu ternyata kuat
sekali, Gak Bun Beng sudah meloncat maju menggantikan Kian Lee menerjang
Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi terkejut setengah mati ketika merasa betapa angin
pukulan yang keluar dari kedua tangan Gak Bun Beng menimbulkan angin besar dan
amat kuatnya.
“Sute, kauselamatkan dulu gadis itu dan
tinggalkan tempat ini....!” Bun Beng berseru.
Kian Lee meloncat ke dekat Ceng Ceng yang
masih rebah. Ketika dia mengangkat bangun gadis itu, Ceng Ceng mengeluh.
“Ah, engkau terluka, Nona. Mari kupondong
keluar dari kepungan mereka....”
Akan tetapi Ceng Ceng menggeleng kepalanya.
“Tidak usah.... aku akan melawan mereka.... sampai napas terakhir....”
“Tidak, Nona. Suhengku mampu menahan mereka,
marilah....”
Akan tetapi kembali Ceng Ceng menolak dan
tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek. “Hi-hik, percuma kau membujuk,
orang muda yang tampan. Dia sudah keracunan dan akan mampus. Engkau sungguh
hebat, muda, ganteng, dan lihai. Menyerahlah saja, dan engkau akan menikmati
kesenangan bersama aku, hi-hik!” Dari dada wanita itu lalu terdengar suara
mirip suara kucing.
Kian Lee terkejut, cepat dia meloncat berdiri
melindungi di depan Ceng Ceng yang masih duduk di atas tanah sambil memegangi
pundaknya yang tadi terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo. “Hemm, kiranya engkau yang
disebut Siluman Kucing itu?” Dia teringat akan penuturan Kim Hwee Li puteri
Ketua Pulau Neraka tentang bibi gurunya yang lihai ini, yang katanya malah
lebih lihai daripara Hek-wan Kui-bo yang 1elah melukai pahanya dengan obat
peledak. Mengertilah dia kini bahwa yang melepaskan senjata peledak sehingga
menakutkan Tambolon tadi adalah wanita ini.
Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan nampak deretan
giginya yang putih rapi dan menarik sekali. “He-hemm.... kiranya engkau sudah
mengenal aku, pemuda ganteng? Kebetulan sekali kalau begitu....”
“Sumoi, apa perlunya mengobrol? Cepat tangkap
atau bunuh mereka dan lekas kau membantuku!” Tlba-tiba Hek-tiauw Lo-mo
berteriak. Kiranya Ketua Pulau Neraka ini mulal terdesak oleh Gak Bun Beng!
Makin lama Hek-tiauw Lo-mo menjadi makin kaget dan heran melihat betapa
lawannya ini benar-benar amat hebat kepandaiannya sehingga semua ilmu
pukulannya yang beracun mampu ditangkisnya tanpa melukainya, bahkan dia yang
selalu tergetar dan terdorong oleh hawa pukulan yang kadang-kadang panas dan
kadang-kadang dingin amat luar biasa.
Mauw Siauw Mo-li lalu memberi aba-aba dan para
perajurit pemberontak serentak maju mengepung dan mengeroyok. Ceng Ceng yang
masih menyeringai kesakitan, sudah melompat berdiri dan mengamuk dengan kaki
tangannya, karena pedangnya Ban-tok-kiam telah dirampas oleh Tambolon. Biarpun
bertangan kosong, gadis ini masih hebat sekali karena dia menggunakan
pukulan-pukulan beracun, sehingga setiap orang perajurit pemberontak yang
terkena pukulannya tentu terjungkal dan tak dapat bangkit kembali. Akan tetapi
setiap kali merobohkan lawan dengan pengerahan tenaga, dara ini mengeluh lirih
dan makin lama gerakannya menjadi makin lemah.
Kian Lee yang mengamuk sambil melindungi Ceng
Ceng sedapat mungkin, Karena sebagian besar perhatiannya dicurahkan untuk
melindungi gadis itu dan dia telah berkali-kali menghalau bahaya yang mengancam
Ceng Ceng dengan merobohkan penyerang gelap dari belakang gadis itu, maka dia
masih belum mampu mengalahkan Mauw Siauw Mo-li yang memang amat lihai Itu.
Gerakan Siluman Kucing itu cepat sekali, gin-kangnya sudah mencapai tingkat
tinggi sehingga karena dia tidak berani menjauhi Ceng Ceng, maka sukar baginya
untuk dapat merobohkan wanita itu. Sedangkan Gak Bun Beng yang mulai mendesak
hebat kepada Hek-tiauw Lo-mo, juga terpaksa harus membagi tenaganya untuk
menghadapi pengeroyokan perajurit-perajurit pemberontak yang makin banyak itu.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan agak
jauh, disusul sorak-sorai dan pekik banyak sekali manusia yang agaknya datang
dari luar tembok kota. Tak lama kemudian, terdengar teriakan-teriakan di antara
perajurit pemberontak yang berlari-larian di dekat tempat itu.
“Celaka, barisan pemerintah menyerbu benteng!”
“Kita telah dikurung!”
“Kita terjebak....!”
“Mereka telah membobolkan pintu gerbang di
tiga tempat!”
Teriakan-teriakan itu terdengar dengan jelas
dan membikin panik para pengeroyok, termasuk Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw
Mo-li.
“Sumoi, apa artinya itu?” Beberapa kali ketua
Pulau Neraka itu berteriak sambil terus mundur dari desakan Bun Beng,
mengandalkan pengeroyokan puluhan orang perajurit itu.
“Entah, Suheng....!” Mauw Siauw Mo-li menjawab
bingung dan dia pun tidak begitu mendesak lagi kepada Kian Lee sehingga pemuda
ini dengan leluasa dapat membantu dan melindungi Ceng Ceng dari pengeroyokan
puluhan orang perajurit pemberontak yang sudah menjadi gelisah itu.
Suara gemuruh itu makin lama makin dekat dan
tak lama kemudian makin banyak perajurit pemberontak yang lari cerai-berai,
agaknya ketakutan.
“Hai....! Tikus-tikus bernyali kecil,
pengecut-pengecut tak tahu malu!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah. “Kenapa
kalian berlari-larian? Apa yang terjadi?” Suaranya nyaring sekali mengatasi
suara hiruk-pikuk dan dia telah meninggalkan Gak Bun Beng yang masih dikeroyok
oleh puluhan orang perajurit pemberontak.
“Barisan pemerintah menyerbu ke dalam kota
Koan-bun seperti banjir! Kita telah terjebak dan dikurung!” Seorang perwira
pemberontak menjawab dengan muka pucat.
Hek-tiauw Lo-mo terkejut sekali. Dia dan
sumoinya mencampuri urusan pemberontakan karena kebetulana saja melihat gerakan
para pemberontak dan ingin “membonceng” agar dapat memperoleh kedudukan dan
kemuliaan, maka mereka telah menawarkan diri membantu. Siapa tahu, belum
apa-apa sudah nampak gejala kegagalan pemberontakan ini, bahkan kini mereka
terhimpit di dalam kota Koan-bun.
“Sumoi, tidak lekas pergi mau tunggu apa
lagi?” teriaknya, karena Ketua Pulau Neraka ini pun jerih menghadapi Gak Bun
Beng yang memiliki kepandaian amat tinggi itu.
Akan tetapi tiba-tiba datang pasukan
pemerintah di tempat itu dan seorang pemuda tinggi besar meloncat dengan
gerakan kilat dan tahu-tahu telah berada di depan Hek-tiauw Lo-mo sambil
membentak, “Hek-tiauw Lo-mo pencuri rendah! Kiranya engkau berada di sini
pula menjadi kaki tangan pemberontak. Hayo cepat kembalikan sebagian kitab yang
kaucuri dari Istana Gurun Pasir!”
“Orang muda lancang mulut! Siapa kau....?”
“Aku adalah murid majikan Istana Gurun Pasir
yang diutus Suhu untuk merampas kembali kitab pusaka dan memberi hajaran
kepada pencurinya.”
“Bocah sombong!” Biarpun telah berkali-kali
bertemu lawan tangguh, Hek-tiauw Lo-mo masih memandang rendah orang lain dan
menghadapi pemuda tinggi besar itu dia pun memandang rendah, lalu menyerang
dengan tiba-tiba.
“Desss....!” Pukulan majikan Pulau Neraka itu
ditangkis oleh pemuda itu dan kagetlah Hek-tiauw Lo-mo ketika tangkisan itu
membuat dia terdesak ke belakang. Baru dia percaya bahwa murid Si Dewa Bongkok
ini lihai sekali. Akan tetapi tentu saja untuk mengembalikan kitab yang hanya
sebagian berada di tangannya itu dia merasa sayang. Dia masih belum berhasil
merampas sebagian dari kitab yang berada di tangan Ketua Lembah Bunga Hitam,
yaitu Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek sehingga dia belum dapat mempelajari isi kitab
dengan sempurna.
“Kok Cu....! Jahanam engkau....!” Tiba-tiba
terdengar jerit melengking dan Ceng Ceng sudah lari menghampiri pemuda tinggi
besar itu dan menyerang dengan pukulan ganas, mengerahkan seluruh tenaga
saktinya.
Kao Kok Cu, pemuda itu, terbelalak memandang
Ceng Ceng yang menyerangnya, seperti orang terpesona, sama sekali tidak
mengelak maupun menangkis.
“Bukkkk! Bukkk!”
“Nona Lu Ceng....!” Kian Lee yang menjadi
terkejut sekali sudah meninggalkan para pengeroyoknya dan berteriak memanggil
sambil meloncat ketika dia melihat Lu Ceng seperti orang gila menyerang dan
memukul Kok Cu. Pada saat itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat jauh dan
melarikan diri bersama Mauw Siauw Mo-li, dan Kok Cu hanya berdiri bengong
setelah dipukul dadanya dua kali oleh Ceng Ceng. Dara itu setelah memukul dua
kali dengan pengerahan tenaga sekuatnya, mengeluh dan terguling roboh. Untung
Kian Lee cepat menyambarnya sehingga dia tidak terbanting roboh dan pingsan di
dalam pelukan Kian Lee.
Gak Bun Beng juga sudah meloncat dekat.
Melihat wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu, pendekar ini terkejut bukan
main karena dia maklum bahwa dara itu telah menderita luka hebat akibat racun!
Dia memandang Kok Cu dengan alis berkerut dan melihat pemuda tinggi besar itu
pemimpin pasukan pemerintah dan agaknya kenal dengan Kian Lee, dia bertanya,
“Lee-sute, siapa dia ini?”
“Suheng dia adalah saudara Kao Kok Cu, putera
Jenderal Kao.”
Bu Beng mengangguk. “Ahh....!” Kemudian dia
berkata, “Sute, cepat kaubawa pergi nona ini. Dia terluka dan keracunan
hebat.”
Kok Cu yang masih berdiri bengong memandang
Ceng Ceng yang pingsan di dalam pelukan Kian Lee berkata, “Saudara Kian Lee,
kaubawalah nona ini, ikutlah perwira ini agar mendapat perawatan sebaiknya.”
Dia memerintahkan seorang perewira yang segera mengajak Kian Lee yang memondong
tubuh Ceng Ceng itu pergi meninggalkan tempat itu.
Kok Cu kini berhadapan dengan Gak Bun Beng,
keduanya saling pandang penuh selidik karena masing-masing dapat menduga akan
kelihaian mereka. Kok Cu yang mendengar Kian Lee menyebut suheng kepada
laki-laki setengah tua ini, diam-diam terkejut. Dia sudah tahu sekarang bahwa
Kian Lee dan Kian Bu adalah putera-putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es,
tentu saja ilmu kepandaian mereka hebat sekali. Dan laki-laki setengah tua yang
sederhana dan tenang ini adalah suheng mereka! Sebenarnya dia ingin sekali
berkenalan dengan orang yang berilmu tinggi ini, akan tetapi hatinya sudah
dibuat gelisah bukan main oleh pertemuan dengan Ceng Ceng, gadis penolong
ayahnya akan tetapi juga gadis yang mendendam sakit hati setinggi langit
sedalam lautan kepadanya! Gadis yang diperkosanya sewaktu dia berada dalam
keadaan tidak sadar karena pengaruh racun jahat. Dan yang menjadi biang keladi
peristiwa memalukan ini adalah Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka,
dua orang yang mencuri kitab suhunya. Merekalah yang membuat dia keracunan
hebat itu sehingga dia melakukan perbuatan keji terhadap Lu Ceng!
“Kiranya engkau adalah putera Kao-goanswe?
Sungguh menggembirakan sekali, bagaimana pasukan pemerintah bisa datang begini
tepat? Di mana ayahmu?” Gak Bun Beng bertanya.
“Semua ini adalah jasa Nona Lu Ceng itu yang
telah mengatur siasatnya....” Kok Cu berkata akan tetapi matanya memandang ke
arah larinya Hek-tiauw Lo-mo.
“Ah...., maksudmu....?” Gak Bun Beng
tercengang.
“Dia membujuk Tambolon menyerang Koan-bun dan
selagi pemberontak dan pasukan Tambolon bertempur sendiri, barisan pemerintah
bergerak, sebagian menyerbu Koan-bun, sebagian dipimpin Puteri Milana memotong
jalan dan ssbagian dipimpin Ayah menyerbu Teng-bun malam ini juga.”
“Ahhh.... sungguh hebat!” Bun Beng
memuji.
“Maaf, saya harus mengejar Hek-tiauw Lo-mo!”
Kok Cu berkata dan cepat dia meninggalkan Bun Beng dan sekali berkelebat
tubuhnya sudah lenyap dari situ, membuat Bun Beng mengikutiya dengan pandang mata
kagum sekali. Pendekar ini terheran-heran dan masih tercengang dengan jalannya
peristiwa yang begitu cepat dan tidak tersangka-sangka. Dia tadi pun seperti
juga Kian Lee, menonton dengan penuh keheranan betapa pasukan yang dipimpin
oleh Tambolon menyerbu Koan-bun dan seperti juga sutenya itu, dia menolong
banyak penduduk yang diganggu oleh tentara kedua pihak. Terheran-heran hati
pendekar ini melihat munculnya begitu banyak orang pandai. Mula-mula Tambolon
dengan dua orang pembantunya yang lihai, kemudian Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw
Siauw Mo-1i yang tidak kalah lihainya. Yang terakhir muncul pemuda putera
Jenderal Kao itu! Pemuda itu pun amat lihai, akan tetapi anehnya, mengapa Nona
Lu Ceng itu begitu melihatnya lalu menyerangnya dengan penuh kebencian? Akan
tetapi pendekar ini tidak mau memusingkan hal itu dan dia lalu membantu
pasukan pemerintah yang telah melakukan perang mati-matian melawan pasukan
pemberontak dan pertempuran terjadi di seluruh kota sampai keesokan harinya.
Kota Koan-bun mengalami perang yang luar biasa hebatnya, dimulai dari
penyerbuan pasukan liar yang dipimpin oleh Tambolon lalu dilanjutkan oleh
pasukan pemerintah yang menumpas pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun
sebagai bala bantuan. Kalau tadinya pasukan Tambolon membasmi pasukan yang
bertahan di Koan-bun, kemudian tiba giliran pasukan liar itu yang dibasmi oleh
pasukan besar pemberontak dari Teng-bun, kini pasukan pemerintah turun tangan
melakukan pukulan terakhir kepada barisan pemberontak.
Yang patut dikasihani adalah penduduk kota
Koan-bun. Sukar bagi mereka untuk mengatakan mana kawan mana lawan karena
semua anak buah pasukan selalu mengganggu mereka. Kota mereka menjadi neraka
yang penuh dengan mayat dan orang-orang luka, darah membanjir setiap tempat dan
banyak rumah yang habis terbakar.
Pertempuran-pertempuran mengerikan itu
berlangsung sampai dua hari lamanya, tentu saja menjatuhkan korban manusia di
kedua pihak yang banyak sekali. Akan tetapi akhirnya Koan-bun jatuh ke tangan
barisan pemerintah yang dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong dan Kao Kok Cu
yang sudah tidak kelihatan lagi bayangannya sejak dia melakukan pengejaran
terhadap Hek-tiauw Lo-mo untuk merampas kembali kitab suhunya yang dicuri
oleh Ketua Pulau Neraka itu.
***
Mulai malam itu, dimulai dengan penyerbuan
pasukan Tambolon ke dalam kota Koan-bun, terjadilah perang yang seru dan
dahsyat, yang mengerikan karena semenjak malam itu sampai beberapa hari
lamanya terjadilah pembunuhan dan pembantaian antara manusia, bahkan antara
bangsa sendiri sehingga puluhan ribu manusia tewas di ujung senjata tajam!
Tidak hanya di Koan-bun terjadi perang yang
hebat dan kacau-balau, akan tetapi juga di tengah jalan antara Koan-bun dan
Teng-bun, di mana barisan yang dipimpin oleh Puteri Milana melakukan pencegatan
dan barisan pemberontak yang menyerbu ke Koan-bun untuk menumpas pasukan
Tambolon itu tidak dapat kembali ke Teng-bun karena dihadang dan disergap oleh
barisan Milana ini, bahkan Sang Puteri yang melihat betapa pihak musuh amat
lemah lalu memecah barisannya, sebagian lalu menuju ke Teng-bun untuk membantu
barisan penyerbu Teng-bun yang merupakan barisan inti dipimpin sendiri oleh
Jenderal Kao Liang dibantu oleh Suma Kian Bu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan,
Pangeran Liong Khi Ong tertunda niatnya yang keji untuk memaksa Syanti Dewi
menjadi miliknya dengan jalan memperkosanya ketika tiba-tiba ada laporan bahwa
Koan-bun diserang oleh pasukan Tambolon. Gangguan ini sekaligus mengusir nafsu
berahinya dan malam itu dia tidak berani tidur, selalu berdekatan dengan
Panglima Kim Bouw Sin agar dapat mengetahui keadaan. Mereka semua mengharapkan
bahwa pasukan besar yang dikirim dari Teng-bun ke Koan-bun dan yang dibantu
oleh Hektiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li itu akan berhasil menumpas pasukan
liar Tambolon.
Akan tetapi tentu saja mereka menjadi gempar
ketika datang laporan bahwa pasukan yang menggempur Tambolon di Koan-bun itu
telah terhimpit oleh barisan pemerintah yang secara tiba-tiba saja muncul.
Bahkan kini barisan pemerintah yang amat kuat sedang menuju ke Teng-bun!
Panglima Kim Bouw Sin segera mengumpulkan
para pembantunya dan menyusun kekuatan untuk mempertahankan benteng Teng-bun.
Menjelang pagi muncullah musuh yang ditunggu-tunggu itu, disertai suara gemuruh
yang menggetarkan hati semua perajurit pemberontak yang sudah berjaga-jaga di
benteng dan di luar benteng. Panglima Kim Bouw Sin sendiri dengan beberapa
orang panglima pembantunya berdiri di atas benteng untuk meninjau keadaan.
Barisan pemerintah itu belum melakukan gerakan, dan memang Jenderal Kao Liang
menanti sampai matahari terbit! Dia ingin melakukan gertakan lebih dulu dengan
harapan untuk menggetarkan dan mengecilkan hati para perajurit pemberontak
yang dahulu adalah bekas anak buahnya. Setelah matahari timbul di ufuk timur,
Jenderal Kao Liang yang menunggang kuda ditemani oleh Suma Kian Bu, mendekati
menara di sudut tembok benteng itu, di mana terdapat panglima pemberontak Kim
Bouw Sin dan para perwira pembantunya, sedangkan Pangeran Liong Khi Ong yang berada
pula di situ menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang sebelum usaha
pemberontakan berhasil seluruhnya.
“Kim Bouw Sin pemberontak rendah!” Jenderal
Kao berseru sambil mengerahkan tenaganya sehingga suaranya terdengar oleh
mereka yang berada di menara dan juga oleh sebagian besar perajurit pemberontak
yang sudah berjaga di atas tembok benteng. “Apakah engkau masih belum insyaf
betapa pemberontakanmu telah mendekati akhir dan kehancuran? Koan-bun sudah
terjatuh kembali ke tangan kami! Pasukanmu yang ke sana malam tadi telah
terbasmi, demikian pula sekutumu Tambolon sudah dihancurkan! Lebih baik engkau
menakluk dan mengakui dosamu daripada mengorbankan nyawa ribuan perajurit yang
hanya terkena hasutanmu!”
“Keparat dia! Hujani anak panah!” Pangeran
Liong Khi Ong membentak marah sekali karena dia maklum betapa berbahayanya
suara jenderal itu terdengar oleh para perajurit, karena jenderal itu
merupakan seorang tokoh besar dalam ketentaraan yang amat disegani. Dia sudah
melihat betapa wajah para pengawal dan perajurit yang berada di menara itu
berubah pucat mendengar suara ini.
“Lepaskan anak panah!” Tiba-tiba Kim Bouw Sin
memberi aba-aba, karena dia sendiri pun marah dan merasa tidak mampu untuk
menjawab ucapan Jenderal Kao di bawah itu.
Para perajurit pasukan panah segera melakukan
perintah ini dan anak panah meluncur ke bawah seperti hujan banyaknya. Melihat
ini, Kian Bu cepat memutar pedang yang diterimanya dari Jenderal Kao dan
tampaklah segulungan sinar berkilauan yang membuat anak panah yang menyambarnya
runtuh semua. Juga Jenderal Kao telah memutar pedangnya, kemudian berkata
kepada Kian Bu. “Taihiap, kaulindungilah aku. Aku harus membalas kecurangan
mereka itu!”
Kian Bu lalu meloncat turun dari atas kudanya
dan bergerak-gerak memutar pedangnya yang kini berubah menjadi sinar
bergulung-gulung menyelimuti mereka berdua. Jenderal Kao lalu menurunkan busur
dan memasang anak panah, membidik ke atas dan tak lama kemudian terdengarlah
suara berdesing ketika sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan seperti
kilat ke arah panglima pemberontak Kim Bouw Sin yang melihat penyerangan anak
buahnya dengan penuh harapan.
“Ciangkun, awas....!” Lam-thian Lo-mo yang
selalu mendampingi panglima pemberontak ini bersama Pak-thian Lo-mo, berseru
dan cepat dia menarik tangan panglima itu sehingga tubuhnya tertarik ke
samping. Terdengar teriakan nyaring dan seorang perwira yang berdiri di
belakang panglima pemberontak ini roboh, lehernya tertembus anak panah dan dia
tewas seketika.
Jenderal Kao dan Kian Bu telah meninggalkan
tempat berbahaya itu dan mulailah perang yang amat dahsyat terjadi di
sekeliling tembok benteng kota Teng-bun. Mula-mula hujan anak panah dari kedua
pihak, kemudian setelah Panglima Kim Bouw Sin melihat bahwa kekuatan barisan
yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang itu tidak besar, kurang dari separoh
jumlah pasukannya yang berjaga di Teng-bun, dia lalu memerintahkan pasukan
untuk menyerbu ke luar, dibantu oleh barisan anak panah dan batu yang menghalau
setiap usaha musuh yang hendak naik ke tembok benteng.
Maka terjadilah perang tanding di luar pintu
gerbang benteng sebelah selatan. Memang perhitungan Kim Bouw Sin tepat. Jumlah
pasukannya jauh lebih besar dan dia hendak menggunakan kemenangan jumlah
pasukan ini untuk menggempur dan menghancurkan pasukan Jenderal Kao. Akan
tetapi Jenderal Kao Liang adalah seorang pemimpin yang banyak siasatnya. Segera
dia memberi komando melalui bunyi terompet dan pasukan-pasukannya berpencar,
sebagian lari ke pintu gerbang di timur dan sebagian lagi menyerbu melalui
sungai di barat kota Teng-bun. Melihat ini, dengan sendirinya Kim Bouw Sin
harus pula membagi bagi pasukannya dan karena gerakan Jenderal Kao yang
merubah-rubah jumlah pasukannya amat cepat, kadang-kadang di selatan hanya ada
sedikit pasukan dan agaknya mengerahkan kekuatan untuk menggempur pintu gerbang
timur, akan tetapi ketika pihak pemberontak mengerahkan tenaga menjaga di
timur, kiranya yang di selatan itulah yang lebih kuat sehingga
penjagaan-penjagaan dan pertahanan-pertahanan di benteng itu menjadi kacau dan
panik.
Akan tetapi, karena Kim Bouw Sin adalah
paglima yang tadinya menjadi pembantu Jenderal Kao, dia pun amat ahli mengatur
penjagaan sehingga dengan jumlah pasukan yang jauh kalah banyak itu, agaknya tidaklah
mudah bagi Jenderal Kao untuk menduduki kota benteng Teng-bun yang amat kuat
itu. Dua hari dua malam perang telah berlangsung dan hanya diseling waktu untuk
menyusun kekuatan di pihak masing-masing. Pada hari ke tiga, datanglah barisan
bantuan dari selatan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yang memimpin sisa
pasukannya setelah berhasil membantu pasukan yang dipimpin oleh Panglima Thio
Luk Cong yang telah merebut kembali kota Koan-bun. Tentu saja bantuan ini amat
menggirangkan hati Jenderal Kao Liang dan disusunlah kekuatan baru dan dengan
dahsyat barisan tergabung ini melakukan hantaman-hantaman yang menggetarkan dan
mengguncangkan tembok benteng kota Teng-bun berikut semangat perlawanan para
perajurit pemberontak yang memang sudah gentar ketika mendengar bahwa Jenderal
Kao Liang yang mereka takuti itu kini dibantu oleh Puteri Milana yang telah
mereka kenal pula itu.
Biarpun pihak pemberontak masih mampu
mempertahankan dirinya selama tiga hari tiga malam, namun kedudukan mereka
telah goyah, pasukan telah gelisah dan para penjaga yang mempertahankan
pintu-pintu gerbang telah kelelahan dan turun semangat. Semua ini tentu saja
diketahui baik oleh Pangeran Liong Khi Ong yang menjadi makin gelisah. Selama
sepekan ini dia tidak bisa tidur dan selalu gelisah. Dia dan kakaknya memang
merupakan orang-orang yang berambisi besar, akan tetapi sekali-kali bukan orang
peperangan, maka menyaksikan perang di depan hidungnya dia menjadi gelisah
bukan main, dan dikuasai ketakutan yang mencekam hatinya setiap saat. Demikian
takutnya dia sehingga dia melarang Tek Hoat meninggalkan dirinya. Tentu saja
Tek Hoat juga tidak berani membantu dan bahkan pemuda ini merasa girang karena
dia dapat menjaga agar pangeran ini tidak melakukan hal yang amat
dikhawatirkannya terhadap diri Syanti Dewi.
Ketika Pangeran Liong Khi Ong mendengar bahwa
pihak musuh yang masih juga belum berhasil membobol benteng Teng-bun itu
kabarnya dibantu oleh pasukan baru di bawah pimpinan Puteri Milana, dia
menjadi pucat ketakutan. Memang sejak dahulu dia merasa jerih terhadap Puteri
Milana yang dalam persaingan di istana selalu memihak lawannya, yaitu Perdana
Menteri Su. Kim Bouw Sin menenangkan hati pangeran ini dengan mengatakan bahwa
pasukan mereka tidak akan kalah, dan andaikata keadaan mendesak dan
berbahaya, pangeran itu masih dapat menyelamatkan diri dengan sebuah kereta
melalui pintu rahasia yang keluar ke dalam hutan di sebelah barat benteng.
Akan tetapi akhirnya Panglima Kim Bouw Sin
harus mengakui akan kekuatan musuh setelah pasukan yang dipimpin Puteri Milana
datang membantu Jenderal Kao Lian. Dan atas permintaannya, terpaksa Pangeran
Liong membolehkan Tek Hoat membantu Panglima Kim Bouw Sin. Mulailah Tek Hoat
terjun ke medan pertempuran bersama Siang Lo-mo. Mereka bertiga ini memang
berhasil membangkitkan semangat para perajurit pemberontak, dan kini
pertempuran secara berhadapan mulai terjadi di dua pintu gerbang. Pihak tentara
pemerintah makin mendesak dan akhirnya, pada hari ke empat, bobollah pintu
selatan diserbu oleh pasukan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Milana dibantu
oleh Suma Kian Bu. Amukan dua orang keturunan Pendekar Super Sakti itu
sedemikian hebatnya sehingga menggiriskan hati para perajurit pemberontak yang
terus mundur memasuki kota.
Siang Lo-mo yang mengamuk di pintu barat dan
timur, merobohkan banyak perajurit musuh, mendengar akan bobolnya pintu gerbang
selatan. Selagi mereka hendak lari membantu para penjaga di pintu gerbang
selatan itu, tiba-tiba ada perwira-perwira yang memanggil mereka dan ternyata bahwa
mereka dipanggil oleh Pangeran Liong Khi Ong untuk mengawal pangeran itu
keluar dari Teng-bun.
Panglima Kim Bouw Sin mengerahkan pasukan
istimewa, dengan panah api berhasil menghalau pasukan musuh yang telah
menyerbu masuk melalui pintu gerbang selatan. Melihat pasukannya banyak yang
roboh dan panik oleh hujan anak panah berapi, terpaksa Milana dan Kian Bu
menarik kembali pasukan itu keluar dari pintu gerbang dan kembali pintu gerbang
dikuasai oleh pihak pemberontak yang menutupnya dengan pintu besi yang tadi
sudah ambruk, menjaganya kuat-kuat dan memasang barisan panah di tempat itu.
Untung malam tiba sehingga pihak pasukan pemerintah menghentikan serangan dan
mundur, menghimpun kembali tenaga untuk dipakai menyerang lagi pada keesokan
harinya.
Tek Hoat kembali ke gedung tempat tinggal
Pangeran Liong Khi Ong. Tubuhnya lelah karena dia ikut bertempur sejak pagi
sampai sore. Pakaiannya berlepotan darah korban yang dirobohkannya dan pahanya
berdarah, luka sedikit oleh tombak para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya
dalam perang campuh tadi. Dia mulai merasa bosan berperang, kebosanan yang
menyerangnya sejak dia bertemu dengan Syanti Dewi. Dia merasa bahwa semua
orang, termasuk dia, menjadi alat-alat yang dipergunakan oleh beberapa orang
terutama Pangeran Liong Bin Ong dan Liong Khi Ong, untuk merebut kemuliaan di
kota raja! Biarpun dia membantu pemberontak dengan hasrat ingin memperoleh
kedudukan yang tinggi kelak, namun harus diakuinya bahwa dia pun hanya
merupakan alat dari dua orang pangeran itu, dan andaikata pemberontakan itu
berhasil kelak, sudah terbayang olehnya bahwa dia tentu hanya akan menjadi
orang bawahan dua pangeran itu, karena bukan hal yang mudah untuk mencapai
kedudukan tertinggi. Dan dia merasa pula bahwa betapapun tinggi kedudukan yang
diperolehnya kelak, kalau dia melihat Syanti Dewi menjadi barang permainan
Liong Khi Ong, hatinya tidak akan pernah mengalami kebahagiaan. Sekarang pun,
hatinya gelisah karena dia pagi tadi harus membantu perang, dan dia tidak dapat
lagi mengawasi pangeran tua mata keranjang itu. Bagaimana kalau
ketidak-hadirannya tadi membuka kesempatan bagi Pangeran Liong Khi Ong untuk
memaksa Syanti Dewi menuruti keinginannya? Sungguhpun dia tahu bahwa rasa
ketakutan hebat kiranya tidak memberi kesempatan kepada Pangeran Liong Khi Ong
untuk ingat akan nafsunya terhadap Syanti Dewi, namun tetap saja hati Tek Hoat
berdebar tegang, mukanya menjadi panas dan dia mengepal tinjunya ketika dia
menghampiri gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong yang kelihatan sunyi
itu.
Tiba-tiba dia menyelinap di balik pohon ketika
mendengar suara roda kereta. Dia mengenal kereta itu, kereta yang disediakan
untuk Pangeran Liong Khi Ong. Dan di dalam kereta itu duduk Siang Lo-mo!
Hatinya curiga. Dia pun sudah mendengar bahwa kereta itu disiapkan oleh
Panglima Kim Bouw Sin untuk Sang Pangeran, dapat dipergunakan oleh Pangeran
Liong Khi Ong untuk lari mengungsi apabila keadaan berbahaya, melalui sebuah
pintu rahasia yang menembus hutan di sebelah barat benteng. Cepat dia menggunakan
kepandaiannya untuk berlari di belakang kereta dan karena roda kereta itu
menimbulkan bunyi yang cukup keras, maka betapapun lihainya Siang Lo-mo, mereka
tidak tahu bahwa ada orang yang lari di belakang kereta, dekat sekali.
“Mengapa kita yang disuruh mengawal Pangeran,
bukan Ang Tek Hoat?” terdengar oleh Tek Hoat suara Pak-thian Lo-mo.
“Ha-ha, apakah engkau tidak dapat melihat
kenyataan? Dari penuturan Hek-wan Kui-bo saja sudah jelas bahwa pemuda sombong
itu jatuh cinta kepada puteri Bhutan itu! Tentu saja Pangeran juga tahu akan
hal ini, maka dia akan ditinggalkan di sini untuk membantu Panglima Kim
sedangkan sebaliknya kita dan Hek-wan Kui-bo yang disuruh mengawal sampai
Pangeran dan puteri Bhutan itu tiba di kota raja.”
“Untung kita!” Pak-thian Lo-mo berkata dengan
nada suara gembira. “Benteng ini tidak akan dapat dipertahankan lebih lama
lagi. Dan kita sudah akan berada di kota raja kalau benteng itu jatuh ke tangan
musuh!”
“Sstttt...., kita sudah sampai, sebaiknya
tidak bicara tentang itu,” bisik Lam-thian Lo-mo. Kereta berhenti di belakang
Istana yang gelap. Agaknya Pangeran yang hendak melarikan diri itu menghendaki
demikian dan segalanya sudah diatur sebelumnya.
Sepasang kakek kembar yang lihai itu meloncat
turun dari dalam kereta. “Kautunggu di sini sebentar!” kata Lam-thian Lo-mo
kepada kusir kereta yang berpakaian seperti perajurit dan yang duduk di bagian
depan kereta itu, memegang cambuk panjang. Kusir itu menjawab singkat, “Baik,
Locianpwe.” Memang semua perajurit yang bertugas dekat dengan Pangeran dan
Panglima Kim, mengenal dua orang kakek kembar yang lihai ini dan semua menyebut
mereka “locianpwe”. Ketika dua orang kakek itu dengan cepat lari memasuki
gedung, kusir itu duduk menanti dan memandang ke kanan kiri yang amat sunyi,
sesuai dengan kehendak pangeran agar tempat itu dikosongkan sehingga tidak ada
penjaga yang melihat keberangkatannya karena hal itu mendatangkan pengaruh
kurang baik bagi semua perajurit yang harus mempertahankan benteng itu sampai
saat terakhir.
Beberapa saat kemudian dengan sikap
tergesa-gesa tampak Pangeran Liong Khi Ong yang memakai pakaian biasa, menyamar
sebagai seorang pedagang, menggandeng tangan Syanti Dewi yang juga memakai
pakaian biasa, setengah menyeret dara itu keluar dari gedung menuju ke kereta
yang menanti di belakang gedung. Wajah Syanti Dewi kelihatan pucat dan jelas
bahwa puteri ini kelihatan marah dan tidak suka, akan tetapi dia dipaksa oleh
pangeran itu dan di belakang mereka ini berjalan Pak-thian Lo-mo, Lam-thian
Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Tidak ada orang lain lagi yang mengawal mereka.
Lam-thian Lo-mo lalu membukakan pintu kereta,
dan Pangeran Liong Khi Ong menarik tangan puteri itu untuk memasuki kereta. Di
depan pintu kereta, Syanti Dewi merenggutkan tangannya dan berkata, suaranya
tetap tenang namun penuh penyesalan dan kemarahan. “Pangeran, sungguh tidak
kusangka bahwa engkau ternyata hanya seorang pengecut yang akan melarikan diri
setelah melihat benteng ini terkepung musuh. Dan tak kusangka bahwa aku akan
dipaksa begini, seolah-olah aku berada di tangan sekelompok penjahat. Biarlah
aku ditinggalkan di sini saja, aku tidak ingin ikut dengan Pangeran ke kota
raja.”
“Aih, mana bisa, manis! Engkau adalah calon
isteriku, ke manapun harus kubawa serta. Maafkan aku, selama berada di tempat
ini aku kurang perhatian terhadap dirimu karena kita menghadapi perang. Akan
tetapi di kota raja nanti, hemm.... kita akan bersenang-senang....”
“Tidak! Kita bukan tunangan lagi! Aku dahulu
suka menuruti kehendak ayahku karena ayahku sebagai Raja di Bhutan menerima
pinangan langsung dari Kaisar Kerajaan Ceng-tiauw. Akan tetapi ternyata bahwa
engkau pangeran sekarang malah memberontak kepada Kerajaan Ceng! Tentu saja
saya tidak sudi menerima pinangan seorang pemberontak yang hina!” Sikap puteri
itu kini marah sekali dan dia berdiri tegak dengan pandang mata menghina
kepada pangeran yang berdiri dengan canggung di depannya itu.
“Pangeran, mengapa melayaninya? Semua wanita
dari tingkat apapun juga selalu cerewet!” Lam-thian Lo-mo berkata.
“Heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo, jangan lancang
begitu mulutmu memaki orang perempuan!” Hek-wan Kui-bo mencela sambil tertawa.
“Perempuan memang harus cerewet dan galak,
baru menarik, seperti mawar dengan durinya.” Pak-thian Lo-mo yang biasanya
pendiam itu kini memberi komentar. Lam-thian Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo
menyambut komentar ini dengan tertawa, dan Pangeran Liong tertawa juga.
Syanti Dewi maklum bahwa tidak ada gunanya
lagi bicara dengan pangeran ini, tidak ada gunanya memasukkan segala alasan
berdasarkan kesusilaan dan kesopanan kepada pangeran tua yang sudah bebal ini
karena dia melihat sudah bahwa tidak ada bedanya antara pangeran ini dengan
tiga orang tua seperti iblis itu. Hanya pada lahirnya saja pangeran ini halus dan
terpelajar, namun di dalam batinnya dia malah lebih parah dari orang-orang
kasar ini. Maka dia membuang muka, tidak mempedulikan lagi kepada mereka dan
memasuki kereta sendiri karena dia pikir lebih baik begitu daripada dipaksa.
Dia masih merasa beruntung bahwa keadaan perang di Teng-bun membuat pangeran
itu belum sempat mengganggunya, dia akan menghadapi apa saja yang akan menimpa
dirinya dengan tabah. Masih belum terlambat baginya untuk mempergunakan pisau
yang disembunyikan di dalam lipatan bajunya apabila saatnya tidak memberi
harapan lagi kepadanya.
Pangeran Liong Khi Ong masih tertawa ketika
dia pun masuk ke dalam kereta dan duduk di dekat Syanti Dewi. Sepasang kakek
kembar dan Hek-wan Kui-bo juga masuk dan duduk di depan mereka sebagai pengawal.
“Kusir dungu! Hayo jalan!” Lam-thian Lo-mo
membentak ke arah kusir yang duduk tegak di belakang kuda agak tinggi itu.
Sejak tadi kusir ini tidak berani menengok dan pura-pura tidak melihat atau
mendengar apa yang terjadi di depan pintu kereta tadi.
“Baik, Locianpwe!” jawabnya otomatis dengan
suaranya yang tinggi dan parau.
Kereta bergerak setelah terdengar cambuk
meledak dan melecut di atas kepala empat ekor kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik
dan tak lama kemudian kereta berjalan cepat sekali menuju ke barat.
“Locianpwe, saya belum tahu harus pergi ke
mana....” Kusir itu berkata dengan suara lirih seolah-olah dia merasa takut
terhadap para penumpangnya.
“Pangeran, harap memberitahukan jalannya,”
Lam-thian Lo-mo berkata.
“Terus saja,” kata Pangeran Liong Khi Ong,
karena hanya dia sendiri dan Panglima Kim Bouw Sin serta beberapa orang
perwira kepercayaan yang laln saja yang tahu akan tempat itu, termasuk Tek
Hoat. “Setelah tiba di pintu gerbang barat, membelok ke selatan kurang lebih
satu li.”
Kusir itu mencambuk kuda dan kereta meluncur
cepat di malam gelap itu menuju ke barat. Orang-orang yang melihat bahwa kusir
kereta itu seorang yang berpakaian perajurit, tidak ada yang menduga siapa
yang berada di dalamnya, hanya mengira bahwa penumpangnya tentulah seorang di
antara para perwira tinggi.
Setelah tiba di pintu gerbang barat yang
terjaga kuat dan membelok ke selatan, kereta memasuki sebuah kebun yang tidak
terawat dan akhirnya, di tempat yang amat sunyi ini, Pangeran Liong Khi Ong
menyuruh Siang Lo-mo membuka sebuah pintu rahasia yang tertutup rumpun ilalang
dan cara membukanya digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi di dalam
batang pohon yang berlubang. Setelah kereta itu menerobos pintu rahasia di
tembok benteng yang sunyi itu, Siang Lo-mo menutupkan kembali dari luar dan
kereta melanjutkan perjalanannya. Ternyata di sebelah luar tembok itu adalah
sebuah hutan yang lebat, gelap dan sunyi.
“Terus masuk ke dalam hutan,” Pangeran Liong
berkata. “Kita sembunyi di dalam hutan malam ini, besok pagi baru melanjutkan
perjalanan ke selatan.”
Setelah kereta tiba di dalam hutan, Siang
Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo turun dari kereta, melihat-lihat keadaan. Hutan itu
sunyi dan mereka merasa lega.
“Kita menanti sampai pagi dan tentu pihak
musuh sudah mulai menyerang benteng lagi,” kata Pangeran itu. “Perhatian
mereka akan tercurah ke benteng semua sehingga kita memperoleh kesempatan untuk
melanjutkan perjalanan dengan aman. Dari sini kita harus ke barat sampai
keluar dari hutan dan tiba di lereng bukit dan dari sana mulailah kita menuju
ke selatan.”
Kusir kereta itu turun pula dan tanpa
mengeluarkan suara dia melepaskan empat ekor kuda itu, membawanya ke tempat
yang banyak rumputnya dan membiarkan mereka makan rumput. Siang Lo-mo dan
Hek-wan Kui-bo sudah membuat api unggun dan duduk di sekeliling api sambil
bercakap-cakap.
Pangeran Liong Khi Ong dan Syanti Dewi berada
di dalam kereta. Hek-wan Kui-bo yang memandang ke kereta itu berkata lirih
sambil terkekeh, “Heh-heh, Pangeran sampai lupa dingin, tidak turun dari
kereta.”
“Nenek tua, apa engkau tidak tahu senangnya
orang berpengantinan?” Lam-thian Lo-mo juga terkekeh.
“Hi-hik, agaknya di dalam kereta itu Pangeran
merasa lebih hangat daripada di dekat api ini.” Hek-wan Kui-bo tertawa lagi.
Akan tetapi tak lama kemudian tiga orang datuk
kaum sesat itu sudah bicara dengan serius, suara mereka berbisik-bisik karena
mereka kini terlibat dalam percakapan yang amat penting bagi mereka, yaitu
tentang gerakan pemberontak yang mulai terpukul oleh barisan pemerintah.
Mereka bertiga itu, seperti juga Ang Tek Hoat, membantu pemberontakan karena
mereka hendak mengejar kedudukan dan kemuliaan di hari tua mereka. Kini,
melihat kenyataan betapa pasukan pemberontak mulai dihajar oleh barisan
pemerintah yang jauh lebih kuat, semangat mereka juga menurun. Akan tetapi
mereka masih belum kehilangan harapan selama mereka masih mengawal Pangeran
Liong Khi Ong yang mereka tahu mempunyai kedudukan mulia di kota raja. Selama
mereka masih menjadi pembantu-pembantu kedua orang Pangeran Liong, harapan
masih terbuka bagi mereka. Setidaknya sebagai pengawal-pengawal Pangeran
Liong kedudukan mereka pun sudah cukup terhormat di kota raja.
Karena senasib dan segolongan, dalam waktu
singkat Hek-wan Kui-bo dan sepasang kakek kembar itu sudah menjadi sahabat
yang akrab dan mereka bicara secara terus terang tanpa saling mencurigai
karena sudah mengenal isi hati masing-masing.
“Apa katamu?” Hek-wan Kui-bo bicara lirih
kepada Pat-thian Lo-mo. “Kalau sampai di kota raja kedua pangeran itu gagal?
Ah, kalau sudah berada di istana, mana bisa gagal? Setidaknya sebelum aku
pergi dari kota raja, banyak terbuka kesempatan untuk mengambil banyak barang
berharga dari istana dan hasil itu pun sudah lumayan untuk menutup
kegagalanku.”
“Uhh, apa artinya harta kekayaan bagi kita
yang sudah tua?” Lam-thian Lo-mo mencela.
“Kalau begitu, apa yang akan kalian lakukan
kalau ternyata usaha Pangeran Liong gagal pula di istana?” tanya nenek itu.
“Kami tidak mau mencuri barang berharga akan
tetapi kami akan membawa dia....” Lam-thian Lo-mo menggerakkan kepalanya ke
arah kereta.
“Eihh....? Puteri Bhutan?” nenek itu bertanya
dan melihat dua orang kakek itu mengangguk, dia bertanya, “Untuk apa? Apakah
kalian ini kiranya bandot-bandot tua bangka pula seperti Pangeran Liong?”
“Bodoh!” Pak-thian Lo-mo mencela. “Kami antar
dia pulang ke Bhutan dan di sana kami akan berusaha mencapai kedudukan
tinggi.”
“Aih, kiranya kalian benar-benar gila
pangkat.” Nenek itu berkata geli dan pada saat itu, terdengar jerit tertahan
dari dalam kereta.
“Hi-hi-hik, Pangeran itu sungguh tidak sabar
lagi!” Hek-wan Kui-bo terkekeh. “Apa dia hendak memaksa Puteri Bhutan di
ruangan kereta yang sempit itu?”
“Tidak....! Jangan menyentuhku!” Terdengar
suara Syanti Dewi menjerit marah. “Pangeran Liong Khi Ong, ternyata engkau
hanyalah seorang laki-laki keji dan hina. Akan tetapi jangan mengira akan dapat
menyentuhku, lihat apa yang kupegang ini! Sebelum engkau menjamahku, lebih
dulu aku akan menjadi mayat!”
Tiga orang tua lihai yang tadinya hanya
tertawa-tawa saja sambil memandang ke arah kereta, menjadi kaget juga
mendengar teriakan Syanti Dewi itu, dan mereka terbelalak makin heran dan kaget
ketika mereka melihat betapa kusir kereta yang tadinya menggunakan kain
menggosok dan membersihkan kereta itu tiba-tiba kini menghampiri pintu kereta
dan menyingkap tirai yang menutupi pintu kereta itu.
“Heiii, kusir tolol! Mau apa kau?” Hek-wan
Kui-bo membentak marah.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget
rasa hati tiga orang tua itu ketika mereka melihat kusir itu membuka pintu
kereta dengan paksa lalu meloncat ke dalam kereta. Terdengar teriakan Pangeran
Liong, teriakan mengerikan dan disusul dengan berkelebatnya bayangan kusir
tadi yang telah memondong tubuh Syanti Dewi yang meronta-ronta dan
berteriak-teriak, “Lepaskan aku!”
“Eh, kusir keparat!” Tiga orang tua itu cepat
meloncat dan mengejar ke arah kereta. Sekali bergerak, Hek-wan Kui-bo sudah
membuka pintu kereta dan mereka menjenguk ke dalam, terkejut bukan main
melihat Pangeran Liong Khi Ong sudah menggeletak tak bernyawa lagi dan di dahi
pangeran itu tampak tiga gambar jari tangan hitam.
“Si Jari Maut....!”
“Kiranya dia si jahanam itu!”
Mereka melompat dan mengejar. Ketika melihat
bayangan kusir yang memondong tubuh Syanti Dewi itu meloncat ke atas seekor
kuda sedangkan tiga ekor kuda yang lain dicambuk dan lari cerai-berai, Siang
Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo cepat mengejar.
Kusir itu memang Tek Hoat adanya. Ketika tadi
melihat kereta yang ditumpangi Siang Lo-mo menuju ke gedung Pangeran Liong,
dia membayangi dan dapat mendengar percakapan antara kedua orang kakek itu,
Tek Hoat merasa gelisah sekali. Tanpa disadarinya sendiri, urusan Syanti Dewi
telah menjadi hal yang amat penting baginya, jauh lebih penting dari urusan apa
pun, lebih penting daripada cita-citanya untuk memperoleh kedudukan mulia.
Maka setelah Sepasang Kakek Iblis itu memasuki gedung, dia cepat turun tangan
meloncat dan menyergap kusir kereta itu seperti seekor harimau menerkam domba,
menyeret kusir itu menjauhi kereta, menotoknya lumpuh dan tak dapat bersuara,
melucuti pakaiannya dan mengenakan pakaian dan topi kusir itu lalu dengan
tenang dia menggantikan tempat kusir itu. Dia tadi pernah mendengar suara kusir
itu ketika menjawab perintah Siang Lo-mo, maka dia mampu menirukan suaranya dan
untung baginya bahwa baik Pangeran Liong maupun tiga orang pengawalnya itu
tidak mengenal mukanya yang selalu dia sembunyikan agar tidak langsung menerima
sinar lampu penerangan di sepanjang perjalanan itu. Dia tidak berani turun
tangan menolong Syanti Dewi di dalam kota Teng-bun karena hal itu amatlah
berbahaya. Baru setelah kereta keluar dari kota dan berada di dalam hutan,
dia melepas-lepaskan kuda dan ketika mendengar teriakan marah Syanti Dewi,
tahulah dia bahwa saat baginya untuk turun tangan telah tiba maka secepat kilat
dia memasuki kereta, membunuh Pangeran yang mulai dibencinya sejak Syanti Dewi
terjatuh ke tangan Pangeran itu, memondong dengan paksa tubuh Syanti Dewi dan
melarikan diri dengan menunggang seekor kuda setelah dia mencambuk tiga ekor
kuda yang lain sehingga binatang-binatang itu kabur ketakutan.
“Ang Tek Hoat pengkhianat rendah!”
Lam-thian Lo-mo memaki dan bersama Pak-thian Lo-mo dia melakukan pengejaran.
“Minggirlah, biar kurobohkan dia!” Hek-wan
Kui-bo berteriak dan dua orang kakek itu masih mengejar akan tetapi berpencar
ke kanan kiri untuk memberi kesempatan kepada Hek-wan Kui-bo untuk melakukan
penyerangan.
Nenek itu sudah mengeluarkan dua buah senjata
rahasianya yang berbentuk besi bulat, lalu melontarkan dua buah benda itu ke
arah Tek Hoat yang membalapkan kudanya.
Mendengar desingan angin dari belakang, Tek
Hoat terkejut sekali. Dia sudah pernah menyaksikan Hek-wan Kui-bo menggunakan
senjata rahasianya yang dapat meledak, maka kini tahu bahwa nenek itu
menyerangnya dengan senjata dahsyat itu, dia terkejut dan cepat meloncat dari
atas punggung kuda sambil memondong tubuh Syanti Dewi, dan begitu kakinya
menyentuh tanah, dia terus bergulingan menjauh dan masih memondong tubuh dara
itu.
“Maaf, terpaksa begini, senjatanya berbahaya
sekali....” Tek Hoat berbisik.
“Dar! Darr!” Dua buah senjata rahasia itu
meledak dan mengeluarkan kilat dibarengi muncratnya pecahan-pecahan besi. Kuda
itu meringkik dan roboh terguling, perutnya pecah.
“Ahhh....!” Syanti Dewi mengeluh, ngeri
menyaksikan nasib kuda itu. Kini dia tidak meronta lagi karena menduga bahwa
pemuda ini memang sengaja membunuh Pangeran Liong dan membawanya pergi hendak
menolongnya, sungguhpun dia masih merasa sangsi apakah benar pemuda yang
menjadi kaki tangan pemberontak ini menolongnya dengan niat baik. Betapapun
juga, kiranya jauh lebih baik dan lebih ada harapan terjatuh ke tangan pemuda
yang bersikap halus ini daripada terjatuh ke tangan dua orang kakek dan nenek
iblis yang mengerikan itu.
“Nona, kautunggulah di sini, biar kuhadapi
mereka itu,” kata Tek Hoat yang telah membuang topi perajurit dan telah
menanggalkan pakaian perajurit yang tadi menutupi pakaiannya sendiri. Dengan
tenang dia lalu menanti tiga orang lawan itu yang sudah berlari mendatangi.
Kini mereka berdiri berhadapan dengan pandang
mata penuh kemarahan. Bulan di langit meluncurkan sinarnya yang lembut dan
menerobos celah-celah daun pohon sehingga kini biarpun tidak memperoleh
penerangan lentera kereta yang jauh dari mereka, empat orang itu dapat saling
memandang cukup jelas.
“Heh-heh-heh, sudah kuduga sebelumnya! Sejak
semula engkau dahulu menyerangku, aku sudah tahu bahwa engkau adalah seorang pengkhianat,
Ang Tek Hoat! Sudah kuperingatkan Pangeran, akan tetapi dia tidak percaya.
Sekarang dia percaya akan tetapi sudah terlambat!” Hek-wan Kui-bo berkata.
“Belum terlambat!” Pak-thian Lo-mo berkata.
“Kita mengirim dia menyusul Pangeran.”
“Sayang, seorang seperti engkau ini menjadi
berubah begitu bertemu dengan wanita cantik, Si Jari Maut! Engkau telah
membunuh Pangeran Liong Khi Ong, satu-satunya orang yang sudah memberi harapan
kepada kita. Sekarang kami tidak dapat pergi ke kota raja lagi, gara-gara
engkau!”
Tek Hoat tecsenyum mengejek. “Orang yang
cerdik selalu dapat melihat keadaan, akan tetapi kalian bertiga tua bangka ini
agaknya tidak dapat melihat kenyataan. Jatuhnya Koan-bun dan Teng-bun yang tak
akan dapat bertahan lama lagi berarti berakhirnya petualangan Pangeran Liong,
apakah kita masih harus mengabdi kepada kekuasaan yang sudah mendekati
keruntuhannya?”
“Engkau yang tolol!” Hek-wan Kui-bo membentak.
“Biarpun pemberontakan itu sendiri gagal, akan tetapi dengan adanya Pangeran, kita
dapat mengunjungi istana kerajaan dengan aman dan di sana terbuka banyak
kesempatan bagi kita. Akan tetapi engkau sekarang membunuhnya sehingga hancur
semua harapan dan susah payah kita!”
“Hemm, aku sudah membunuhnya dan kalian mau
apa? Apakah kalian hendak membela kematiannya?”
“Cuhhh!” Pak-thian Lo-mo meludah. “Kami tidak
akan membela siapa pun kecuali membela kepentingan kami sendiri!”
“Apa yang dikatakannya itu benar, Ang-sicu,”
Lam-thian Lo-mo berkata. “Soal engkau membunuh pangeran atau raja, tidak ada
sangkut-pautnya dengan kami. Kami bukan orang yang mengekor kepada siapa pun,
apalagi kepada Liong Khi Ong. Kalau kami membantu dia, seperti juga engkau,
hanya karena kami melihat kemungkinan baik bagi kami untuk memperoleh
kemuliaan. Akan tetapi sekarang dia kaubunuh, berarti kau merugikan kami yang
hanya dapat kaubayar sekarang juga.”
“Dengan nyawaku? Cobalah kalau kalian mampu!”
Tek Hoat menantang dengan senyum mengejek.
“Sombong engkau!” Hek-wan Kui-bo sudah marah
sekali dan hendak menyerang, akan tetapi Lam-thian Lo-mo mencegahnya dan
nenek ini yang sekarang merasa menjadi sekutu Siang Lo-mo untuk menghadapi
pemuda lihai itu tidak membantah.
“Ang Tek Hoat, jangan salah duga. Liong Khi
Ong sudah mampus, maka biarlah. Hanya karena kami juga kehilangan harapan
untuk pergi ke kota raja, maka sekarang kami minta bantuanmu. Kami hendak
mengantarkan Puteri Bhutan itu kepada ayahnya di Bhutan. Kami tentu akan
memperoleh balas jasa di Kerajaan Bhutan dan siapa tahu kami akan mendapatkan
ganti kemuliaan di sana.” Lam-thian Lo-mo berkata dengan suara bernada halus.
“Keparat, jangan minta yang bukan-bukan!”
Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi permintaan itu membuat Tek
Hoat naik darah.
“Hi-hik, percuma, Lam-thian Lo-mo. Dia ingin
mengangkangi sendiri gadis itu. Aku sudah tahu akan hal ini sejak dulu!”
Hek-wan Kui-bo berkata.
Tek Hoat melirik ke arah Syanti Dewi. Puteri
itu telah bangkit berdiri dan bersembunyi di balik pohon dan kini mengintai dan
memandang ke arahnya dengan sinar mata ketakutan.
“Apa yang kurasakan tidak ada sangkut-pautnya
dengan kalian bertiga. Pendeknya, aku tidak percaya kepada kalian dan tidak
akan menyerahkan dia kepada kalian!”
“Ang Tek Hoat, apakah engkau memilih mati
daripada menyerahkan puteri itu kepada kami?” Pak-thian Lo-mo berteriak.
“Hemm, kalian yang akan mampus di tanganku
kalau berani menentangku.”
“Bocah sombong! Engkau berani menentang kami
bertiga?” Lam-thian Lomo membentak marah.
“Perlu apa banyak cakap? Bunuh saja bocah
ini!” Hek-wan Kui-bo membentak dan dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan
tongkatnya, disusul oleh Siang Lo-mo yang merasa marah sekali terhadap bekas
rekan ini.
Ang Tek Hoat memang bersikap sombong terhadap
tiga orang tokoh hitam ini, akan tetapi dia cerdik dan dia sebenarnya tidak
memandang ringan. Dia maklum bahwa mereka bertiga adalah orang-orang yang amat
lihai dan kalau maju bersama merupakan lawan yang berat dan berbahaya. Maka
begitu melihat mereka sudah menyerang, dia pun meloncat mundur menjauhi tempat
Syanti Dewi bersembunyi, sambil mencabut pedang Cui-beng-kiam yang dipalangkan
di depan dadanya. Sinar pedang yang mengandung hawa mujijat dan menyeramkan ini
mendatangkan kengerian juga di hati tiga orang lawannya, akan tetapi karena
mereka juga merupakan tokoh-tokoh yang sudah lama malang melintang di dunia
persilatan, mereka tidak menjadi gentar dan sudah bergerak mengurung dengan
senjata di tangan. Tangan Hek-wan Kui-bo memutar-mutar tongkat sehingga di
depan tubuhnya tampak sinar hitam bergulung-gulung seperti ada kitiran besar
berputar di depan tubuhnya dan mengeluarkan suara berdesingan.
“Tar-tar-tarrr!” Senjata di tangan kedua orang
Lo-mo itu berupa sabuk atau pecut baja yang ketika digerak-gerakkan di atas
kepala mengeluarkan bunyi meledak-ledak dan ujungnya yang melecut mengenai
batangnya sendiri mengeluarkan bunga api!
Syanti Dewi yang bersembunyi di balik batang
pohon itu menonton dengan muka pucat dan mata terbelalak. Percakapan antara
empat orang itu tadi saja sudah menceritakan kepadanya orang-orang macam apa
adanya mereka itu. Kalau dia terjatuh di tangan pemuda yang bernama Ang Tek
Hoat dan yang telah berkhianat kepada bekas majikannya sendiri dan telah
membunuh Pangeran Liong Khi Ong, dia masih belum tahu apa yang akan terjadi
atas dirinya. Kalau memang pemuda itu mempunyai niat keji dan buruk terhadap
dirinya seperti yang dikatakan Hek-wan Kui-bo tadi, dia tentu akan menjaga diri
dan akan membunuh diri sebelum pemuda itu dapat menjamah tubuhnya. Sebaliknya
kalau dia terjatuh ke dalam tangan tiga orang iblis tua itu, seperti juga Tek
Hoat, dia tidak percaya bahwa mereka akan menyerahkan dia begitu saja kepada
ayahnya, Raja Bhutan. Orang-orang seperti mereka ini tentu tidak akan
segan-segan untuk memeras ayahnya, memaksa ayahnya menuruti kehendak mereka
untuk melihat puterinya selamat! Tidak, betapapun juga, kalau bisa dikatakan
ada kesempatan memilih, dia memilih terjatuh ke tangan pemuda itu yang belum
tentu akan berbuat jahat kepada dirinya.
Tek Hoat berdiri dengan sikap tenang dan
sedikit pun tidak bergerak, pedang melintang di depan dada dan tangan kiri
dengan jari terbuka di atas kepala, telunjuknya menuding langit, hanya
sepasang manik matanya saja yang bergerak ke kanan kiri untuk mengikuti
gerakan tiga orang yang menghadapinya. Hek-wan Kui-bo berdiri di depannya,
Lam-thian Lo-mo di sebelah kanannya dan Pak-thian Lo-mo di sebelah kirinya. Dia
maklum bahwa di antara tiga orang ini, kepandaian Hek-wan Kui-bo yang dapat
dianggap paling rendah sungguhpun senjata rahasia peledak dari nenek ini amat
berbahaya. Dia tahu pula bahwa senjata pecut besi di tangan kakek kembar itu
tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangannya karena senjata dua orang kakek
itu mengandung racun yang amat jahat. Hanya pedangnya, peninggalan dari iblis
Pulau Neraka, Cui-beng Koai-ong, adalah sebatang pedang mujijat yang mengandung
hawa mujijat dan inilah keunggulan senjatanya dari senjata tiga orang
lawannya.
“Taarrr.... siuuuutttt....!” Pecut yang tadi
berputaran di atas dan meledak-ledak itu kini menyambar dari kanan mengarah
kepalanya dan ujung pecut itu meluncur untuk menotok ubun-ubun kepala Tek
Hoat. Menghadapi serangan maut dari Lam-thian Lo-mo ini, cepat Tek Hoat
mengelak dengan tubuh direndahkan, akan tetapi pada saat itu, dari kiri
menyambar pecut Pak-thian Lo-mo sedangkan dari depan menyusul tongkat Hek-wan
Kui-bo yang meluncur ke arah pusarnya.
Tek Hoat meloncat, menghindarkan kakinya yang
tertotok secara bertubi oleh ujung pecut Pak-thian Lo-mo yang mengarah kedua
mata kaki dan lututnya, dan pedangnya digerakkan menangkis tongkat Hek-wan
Kui-bo. Nenek ini sudah mengenal keampuhan pedang Cui-beng-kiam, maka dia tidak
berani mengadu tenaga, melainkan hanya menarik tongkatnya dan dibalik sehingga
dalam detik lain ujung tongkat itu sudah menusuk ke arah mata Tek Hoat.
Tek Hoat menggerakkan pedang menangkis sambil
melompat mundur menghindarkan sambitan ujung pecut dari kanan. Akan tetapi
kembali dua batang pecut besi itu sudah menyambar dari atas dan bawah sedangkan
tongkat dari nenek itu pun menyerang dengan bertubi-tubi. Tek Hoat mengeluarkan
kepandaiannya, pedangnya diputar menjadi sinar bergulung-gulung melindungi
tubuhnya dan sekaligus menangkis serangan tiga buah senjata lawan, kemudian
tiba-tiba dari dalam gulungan itu mencuat sinar terang yang membuat gerakan
melengkung dan menyambar ke arah perut tiga orang lawan itu seperti seekor naga
melayang.
Tiga orang itu terkejut dan cepat mengelak ke
belakang karena sambaran pedang itu amat berbahaya, kemudian dari jarak agak
jauh pecut-pecut dari kanan kiri sudah menyambar lagi. Suara kedua senjata ini
meledak-ledak seperti petir menyambar dan bunga api berpancaran menyilaukan
mata. Namun Tek Hoat selalu dapat mengelak atau menangkis semua serangan itu,
bahkan untuk setiap serangan dia tentu mengadakan balasan yang tidak kalah
dahsyatnya.
Syanti Dewi yang menonton pertandingan itu
menjadi bengong. Bukan main hebatnya pertandingan itu, matanya sampai menjadi
silau dan berkunang. Tidak dapat lagi dia mengikuti gerakan empat orang itu,
bahkan bayangan mereka pun lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka.
Hanya kadang-kadang saja nampak kaki atau tangan yang segera lenyap lagi ke
dalam gulungan sinar senjata. Jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Dia tidak
dapat pergi dari tempat itu karena dia tidak mengenal jalan dan hutan itu amat
lebat. Ke mana dia harus pergi? Tentu akan menghadapi banyak bahaya yang lebih
besar lagi. Kalau terjatuh ke tangan orang-orang ini, dia tahu bahwa dia belum
akan menghadapi bahaya maut sungguhpun dia tidak dapat membayangkan nasib apa
yang akan dideritanya. Akan tetapi kalau dia lari dan bertemu dengan binatang
buas, tentu dia akan menjadi mangsanya, dan kalau sampai dia terjatuh ke
tangan orang-orang liar, nasibnya tentu akan lebih mengerikan lagi.
Setidaknya, empat orang itu adalah orang-orang pandai yang agaknya ingin
mencari kedudukan dan kemuliaan dengan mempergunakan dirinya.
Pertandingan itu memang hebat sekali. Tiga
orang tokoh tua itu menjadi kagum bukan main. Baru sekali itu mereka bertemu
dengan lawan seorang pemuda yang begitu lihai sehingga dikeroyok tiga oleh
mereka tidak hanya mampu bertahan sampai seratus jurus lebih, akan tetapi juga
bahkan sempat membalas dengan tidak kalah hebatnya.
Kadang-kadang bulan tertutup awan dan dalam
keadaan gelap mereka berempat melanjutkan pertandingan hanya mengandalkan
pendengaran yang tajam dan perasaan yang peka. Ketika pertandingan sudah
hampir berlangsung dua ratus jurus tanpa ada yang mengalami luka atau terdesak,
bulan bersinar kembali dengan terangnya karena awan telah menjauh.
“Kui-bo, lepas peledakmu!” Tiba-tiba Lam-thian
Lo-mo yang merasa penasaran itu berteriak dan bersama Pak-thian Lo-mo dia sudah
bertiarap di atas tanah. Hek-wan Kui-bo memenuhi permintaan kakek itu dan dia
melemparkan senjata peledaknya ke arah Tek Hoat. Pemuda itu cepat meloncat jauh
ke samping dan bergulingan sehingga ketika senjata rahasia itu meledak, dia
terhindar dari sambaran pecahan besi. Akan tetapi kembali nenek itu
melemparkan senjata dahsyat kepadanya dan terpaksa Tek Hoat meloncat tinggi
sekali. Pecahan senjata peledak itu menyerong dan hanya akan mengenai
orang-orang yang berdiri di sekitarnya, maka ketika Tek Hoat meloncat jauh ke
atas, dia pun terhindar dari pecahan besi. Akan tetapi itulah saat yang
dinanti-nanti oleh Lam-thian Lo-mo dan Pak-thian Lo-mo. Siang Lo-mo yang
memiliki kerja sama amat baik berdasarkan naluri atau getaran perasaan yang
saling berhubungan antara mereka itu, dalam waktu yang sama tanpa direncana lebih
dulu telah menggerakkan cambuk besi mereka yang meluncur ke atas, yang kanan
menyerang ke arah mata kaki Tek Hoat, yang kiri menyerang ke arah tengkuk!
Serangan yang dilakukan berbareng pada saat Tek Hoat masih meloncat ke atas dan
yang mengarah dua tempat yang berlainan itu ternyata membuat Tek Hoat terkejut
juga. Dia harus memilih salah satu dan karena penyerangan di tengkuknya
merupakan serangan maut, maka dia menggerakkan pedangnya menangkis cambuk yang
digerakkan oleh Pak-thian Lo-mo ke arah tengkuknya itu sambil sedapat mungkin
menarik kakinya yang disambar pecut Lam-thian Lo-mo. Namun gerakan ini tidak
cukup dan betisnya dihunjam ujung pecut besi sehingga celana berikut daging
betisnya robek.
“Haiiiittt....!” Tek Hoat mengerahkan
tenaganya, berjungkir balik sehingga pecut itu tidak melibatnya dan ketika
tubuhnya menukik turun, dia menyerang Lam-thian Lo-mo yang telah melukai betis
kanannya itu.
“Trang-trang.... cringgg....!” Tiga senjata
lawan menangkis pedangnya dan penyatuan kekuatan tiga orang itu membuat Tek
Hoat terpental dan terguling-guling.
Selagi Tek Hoat bergulingan itu, tiga orang
lawannya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan mereka mengejar. Hek-wan
Kui-bo yang merasa penasaran sudah menggerakkan tongkatnya menghantam dan
menusuk berkali-kali, akan tetapi Tek Hoat dapat mengelak dengan ilmunya
bergulingan yang amat cepat. Akan tetapi karena dia pun dihujani sambaran dua
ujung cambuk maka akhirnya Hek-wan Kui-bo berhasil menghantam pundaknya, nyaris
saja menpenai kepalanya.
“Bukk!” Tek Hoat merasa betapa pundaknya
seperti remuk ditimpa tongkat butut itu, dia menjadi marah dan nekat, otomatis
tangan kirinya menyambar tongkat itu dan membetot dengan pengerahan tenaga
Inti Bumi yang amat hebat kekuatannya. Hek-wan Kui-bo terkejut ketika
tiba-tiba dia terbetot ke bawah dan sebelum dia mampu melihat bahaya dan
melepaskan tongkat yang membuat tubuhnya ikut terbetot, tahu-tahu Cui-beng-kiam
telah meluncur dari bawah dan menembus perutnya sampai ke punggung!
“Aigghhhhh...!” Hek-wan Kui-bo memekik
dahsyat.
Tek Hoat mendorong tongkat dan mencabut
pedangnya sehingga tubuh nenek itu terjengkang, akan tetapi pada saat itu,
ujung cambuk di tangan Pak-thian Lo-mo telah menyambar pada saat pemuda itu
meloncat bangun dan tahu-tahu telah membelit leher pemuda itu!
Tek Hoat terkejut sekali, apalagi ketika saat
itu terdengar Lam-thian Lo-mo tertawa. “Jangan lepaskan dia, ha-ha, biar
kuhancurkan kepalanya! Tar-tar-tarrr!” Cambuk Lam-thian Lo-mo meledak-ledak dan
menyambar-nyambar kepalanya, mengarah ubun-ubun, tengkuk, dahi dan kedua
pelipls! Sibuk juga Tek Hoat memutar pedangnya menangkisi sambaran pecut besi
di tangan Lam-thian Lo-mo itu, sedangkan lehernya masih dicekik oleh cambuk
Pak-thian Lo-mo yang makin lama makin erat mencekiknya. Terasa napasnya
terhenti dan kulit lehernya berdarah! Maklumlah dia bahwa kalau dia tidak
menemukan akal, dia akan mati sekali ini. Maka untuk menghindarkan ancaman
bertubi-tubi dari ujung cambuk Lam-thian Lo-mo, dia cepat dengan tiba-tiba
merebahkan diri dan bergulingan mendekati Pak-thian Lo-mo agar cekikan cambuk
itu mengendur.
“Tarrr!” Ujung cambuk Lam-thian Lo-mo
mengenai punggungnya, untung tidak mengenai tengkuk sehingga Tek Hoat hanya
mengeluh karena rasa nyeri yang amat hebat. Dia meloncat lagi.
“Tar-tarrr!” Dua kali ujung cambuk Lam-thian
Lo-mo menggigit paha dan lambungnya, membuat celana dan bajunya robek berikut
kulit dan dagingnya. Badannya sudah berlumur darah yang bercucuran dari
punggung, leher, lambung dan paha. Pada saat itu, dengan kemarahan memuncak,
Tek Hoat mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, pekik yang membuat Syanti Dewi
jatuh terduduk dan hampir pingsan karena memang dia sudah gemetar seluruh
tubuhnya menyaksikan betapa pemuda itu telah terbelit lehernya dan dicambuki
serta berlumur darah amat mengerikan. Akan tetapi bersamaan dengan bunyi pekik
itu, tampak sinar berkelebat dan Pak-thian Lo-mo mengeluarkan teriakan yang
menggetarkan pohon-pohon di sekitar tempat itu. Tubuhnya terhuyung, cambuknya
terlepas dari tangan dan kedua tangannya mencengkeram gagang pedang
Cui-beng-kiam yang berada di dadanya karena pedang itu sendiri telah tertanam
di dadanya sampai menembus punggungnya ketika dilontarkan secara tiba-tiba dan
amat kuatnya oleh Tek Hoat tadi!
“Kau.... bunuh dia....?” Lam-thian Lo-mo
berteriak dengan suara terisak.
“Tar-tar-tar-tarrr....!” Cambuknya mengamuk
dan tubuh Tek Hoat menjadi bulan-bulanan sambaran cambuk yang ujungnya seperti
mulut ular mematuk-matuk dan membuat pakaian Tek Hoat robek-robek dan makin
banyak lagi luka-luka di tubuhnya. Akan tetapi, dengan penderitaan rasa nyeri
yang hebat itu karena semua luka mengandung racun, akhirnya Tek Hoat dapat
menangkap ujung cambuk. Ketika Lam-thian Lo-mo yang melotot marah itu
menarik-narik cambuknya, Tek Hoat melibat-libatkan ujung cambuk di tangan
kanannya dan terjadilah betot-membetot di antara mereka. Akhirnya, dengan
mengeluarkan teriakan yang merupakan lengking dahsyat, kedua orang itu
meloncat ke depan saling terjang di udara.
“Desss....!” Syanti Dewi yang menonton dari
balik batang pohon hanya melihat bayangan dua orang itu bertumbukan di udara,
kemudian dia melihat kedua orang itu terbanting roboh dan tidak bergerak lagi.
“Ahhh....!” Syanti Dewi sejenak berdiri dengan
hati penuh kengerian, ditelan kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti tempat
itu. Tidak ada suara apa-apa lagi terdengar, akan tetapi setelah keadaan di
dalam hutan itu sunyi, semua orang kecuali dia telah rebah tidak berkutik
lagi, lapat-lapat dan sayup sampai telinganya menangkap suara gemuruh dan
hiruk-pikuk dari tempat yang jauh sekali. Suasananya menjadi makin menyeramkan
karena suara yang dapat-lapat terdengar itu seperti mengandung suara tangis dan
tawa yang agaknya datang dari angkasa atau mungkin juga dari dalam bumi,
pantasnya suara yang keluar dari dalam neraka seperti yang pernah dia dengar
dongengnya.
“Ahhh.... matikah dia....?” Tak terasa lagi
Syanti Dewi berbisik dengan hati penuh kekhawatiran. Puteri Bhutan ini adalah
seorang yang berbudi mulia dan memiliki kepekaan rasa sehingga tidak mudah bagi
dia melupakan budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya. Dia tahu bahwa dia
tidak boleh mempercayai seorang seperti Ang Tek Hoat yang telah menjadi kaki
tangan pemberontak akan tetapi yang ternyata mengkhianati atasannya sendiri
itu. Akan tetapi, dia tahu pula bahwa sekali ini Ang Tek Hoat melakukan
pengkhianatan dan melawan rekan-rekannya sendiri sampai mempertaruhkan nyawa
karena hendak menolongnya! Sungguhpun dia sendiri belum dapat memastikan
apakah perbuatan pemuda itu terdorong oleh maksud menolongnya ataukah hendak
memperebutkannya, akan tetapi harus dia akui bahwa kalau tidak ada Tek Hoat,
tentu dia telah membunuh diri ketika hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi
Ong. Perasaan berterima kasih ini ditambah lagi perasaan seolah-olah Tek Hoat
bukan merupakan orang asing baginya, membuat puteri ini keluar dari tempat
persembunyiannya dan berindap-indap menghampiri pemuda itu.
Dia bergidik ketika melewati tubuh Lam-thian
Lo-mo. Kakek yang hampir telanjang, yang hanya mengenakan cawat ini, rebah
telentang, matanya melotot, mulutnya terbuka dan kepalanya pecah. Hek-wan
Kui-bo rebah menelungkup dan seluruh tubuhnya bermandi darahnya sendiri,
sedangkan tubuh Pak-thian Lo-mo juga terlentang dengan dada masih tertusuk
pedang.
Syanti Dewi bergidik ngeri, lalu memutari
mayat-mayat itu dan menghampiri Tek Hoat yang menggeletak miring dan tidak
bergerak lagi. “Ohh....” Syanti Dewi mengeluh dan merasa kasihan melihat pemuda
itu. Pakaiannya robek-robek dan penuh darah, tampak luka-luka bekas cambukan
dari kaki sampai ke lehernya yang dibelit luka yang berdarah. Ketika Syanti
Dewi melihat muka pemuda itu, dia makin cemas. Muka itu pucat sekali, seperti
muka mayat. Dengan hati berdebar dia menggerakkan tangannya, menyentuh dahi
yang pucat itu. Masih hangat! Lalu dengan jari-jari tangan gemetar dia meraba
dada. Masih ada ketukan jantungnya. Masih hidup! Hatinya lega. Pemuda ini belum
mati.
Syanti Dewi pernah merawat Gak Bun Beng ketika
pendekar itu menderita sakit, maka sedikit banyak dia telah mempunyai
pengalaman. Kini, menghadapi pemuda yang tubuhnya penuh dengan luka, mandi
darah dan pingsan itu, dia cepat memberanikan diri berlari ke arah kereta. Dia
tahu bahwa Pangeran Liong Khi Ong membawa perbekalan-perbekalan dan dia
membutuhkan arak untuk menolong Tek Hoat. Dalam ketegangannya hendak menolong
Tek Hoat, dia lupa akan Pangeran Liong Khi Ong dan begitu saja dia menyingkap
tirai kereta dan naik ke dalam kereta.
“Aiihhh....!” Syanti Dewi menjerit dan cepat
meloncat turun lagi keluar kereta. Dalam keadaan terkejut setengah mati itu,
otomatis kepandaian silat yang pernah dipelajarinya keluar, bahkan kecepatan
gerakannya bertambah! Siapa yang tidak kaget setengah mati? Ketika dia masuk
kereta tadi, tanpa disengaja kakinya menyentuh kaki mayat Pangeran Liong Khi
Ong yang mati sambil duduk di kereta dan ketika kakinya tersentuh, tubuhnya
terguling sehingga bagi Syanti Dewi yang lupa akan pangeran ini dia melihat
mayat itu hidup kembali dan menubruknya!
Dengan seluruh tubuh gemetar, Syanti Dewi
memberanikan diri menyingkap tirai, memperingatkan diri sendiri bahwa Pangeran
itu tadi telah mati! Ketika dia menyingkap tirai, dia melihat Pangeran itu
menelungkup di lantai kereta, sama sekali tidak bergerak. Syanti Dewi
bergidik, lalu dengan hati-hati dia naik ke dalam kereta, melangkahi mayat
Pangeran itu dan cepat mulai mencari-cari di bagian belakang kereta itu. Di
dalam kereta itu tidak begitu gelap seperti di luar karena lentera kereta masih
menyala. Setelah dia menemukan guci arak, dia melompat turun dan cepat berlari
menghampiri tubuh Tek Hoat yang kini sudah rebah terlentang akan tetapi
agaknya masih belum siuman dari pingsannya.
Syanti Dewi menggunakan saputangannya yang
dibasahi dengan arak untuk menekan-nekan luka-luka di tubuh Tek Hoat, selain
membersihkan luka juga agar darah yang keluar dapat berhenti. Hatinya lega
ketika melihat bahwa luka-luka itu tidak dalam, hanya kulit yang robek berikut
sedikit daging di bawahnya. Akan tetapi luka di sekeliling leher itu amat
mengerikan, seolah-olah leher itu dikerat pisau hendak disembelih. Luka ini
terjadi ketika lehernya dijerat oleh cambuk besi tadi dan darah yang mengucur
dari luka ini yang paling banyak sehingga sebentar saja saputangan Syanti Dewi
menjadi merah oleh darah.
Setelah matahari mulai bersinar, Syanti Dewi
bangkit berdiri, lalu pergi dari situ mencari-cari air. Untung tak jauh dari
situ dia menemukan sebatang anak sungai kecil yang airnya jernih sekali. Cepat
dia mengambil air, menggunakan guci arak yang sudah kosong dan kini dia dapat
mencuci luka-luka di tubuh Tek Hoat dengan jelas. Setelah dia membalut leher
yang terluka itu dengan saputangan, dia lalu menggunakan air untuk membasahi
muka dan kepala pemuda yang masih juga belum siuman itu.
Tek Hoat mengeluh lirih, lalu gelagapan.
“Hepp.... haeppp.... haeppp...!” Dia gelagapan seperti orang tenggelam di air!
“Eh, kenapa....? Kau kenapa....? Apanya yang
sakit....?” Syanti Dewi mengguncang pundak Tek Hoat ketika melihat pemuda itu
gelagapan dengan mulut megap-megap. Tanpa disengaja, Syanti Dewi mengguncang
pundak yang terluka berat karena tadi ditimpa tongkat Hek-wan Kui-bo. Tentu
saja diguncang seperti itu menjadi nyeri bukan main, pemuda yang sudah siuman
dan dapat merasakan itu berteriak mengaduh, kiut-miut rasa pundaknya.
“Add.... duuuhh-duh duhhh.... pundakku....!”
Karena masih setengah pingsan, maka Tek Hoat berteriak-teriak dan bersambat.
Kalau dia sudah sadar betul, tentu saja pemuda yang keras hati ini tidak akan
sudi bersambat, apalagi di depan gadis itu.
“Ohhh....!” Syanti Dewi cepat menarik kembali
tangannya dan melihat pundak itu. Baju di pundak juga robek dan baru sekarang
dia melihat betapa pundak itu kulitnya biru menghitam. “Maafkan aku....!”
“Maaf....? Sudah menghantam pundak masih minta
maaf? Nenek keparat....!” Tek Hoat memaki dan membuka matanya.
“Ouhhhh....!” Syanti Dewi menutup mulutnya.
“Aahhh....!” Tek Hoat membelalakkan matanya
ketika melihat siapa yang berlutut di dekatnya.
Tek Hoat cepat teringat akan keadaannya.
Segera dia bangkit duduk dan menggigit bibir karena begitu dia bangkit, dunia
di sekelilingnya seperti berpusingan dan seluruh tubuhnya sakit-sakit,
berdenyut-denyut dan menusuk-nusuk. Akan tetapi dia mempertahankan rasa nyeri
itu, memandang ke sekeliling dan baru lega hatinya ketika dia melihat mayat
Hek-wan Kui-bo, Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo berserakan tidak jauh dari
situ. Barulah dia memperhatikan dirinya sendiri, meraba lehernya yang terasa
panas dan mendapat kenyataan bahwa lehernya telah terbalut, mukanya basah kuyup
dan air masih menetes-netes dari rambutnya ke atas muka.
Jantungnya berdebar penuh kebingungan dan
hampir dia tidak percaya akan dugaannya sendiri. Dengan gagap dia bertanya
suaranya berbisik, “Kau.... kau.... yang merawatku....?”
Syanti Dewi yang masih memandang kepadanya
dengan terbelalak, takut kalau-kalau pemuda ini sudah berubah ingatannya, juga
takut kalau pemuda ini menjadi liar dan ganas seperti yang pernah disangkanya,
bergerak mundur menjauhi, tangan kanannya meraba gagang pisau yang terselip di
pinggangnya dan dia mengangguk, tangan kirinya masih memegang kain basah yang
tadi dipergunakan untuk membasahi muka dan kepala pemuda itu. Dia hanya
menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kepalanya.
Kenyataan ini merupakan pukulan hebat bagi Tek
Hoat. Gadis itu, Puteri Bhutan itu, yang membuat dia tergila-gila, yang ingin
dirampasnya dan dipaksanya menjadi isterinya, ketika dia pingsan dan tidak
berdaya, ternyata tidak membunuhnya. Padahal, alangkah mudahnya bagi puteri
itu untuk membunuhnya. Sekali tikam saja dengan pisau di pinggang itu, dia
akan tewas dan karena semua pengawal pangeran sudah tewas, hal itu berarti
kebebasan sepenuhnya bagi Syanti Dewi. Akan tetapi tidak! Puteri itu, wanita bangsawan
tinggi itu, malah merawat luka-lukanya! Kenyataan ini membuat Tek Hoat
tertawa sendiri, suara ketawa yang aneh.
Syanti Dewi mernandang dengan sinar mata tajam
penuh selidik. Wajah itu, suara ketawa itu. Dia pernah rasanya mengenal pemuda
ini! Bukan, bukan sejak menawannya dan membawanya kepada Pangeran Liong Khi
Ong, akan tetapi jauh sebelum itu, dan dalam keadaan yang lebih baik. Akan
tetapi dia lupa lagi kapan dan di mana.
Dipandang seperti itu, Tek Hoat menghentikan
suara ketawanya yang tadi keluar di luar kehendaknya, dengan gugup dia
berkata, “Aku.... aku.... bermimpi.... tenggelam ke dalam sungai.... kiranya
engkau membasahi mukaku....”
“Aihh....!” Syanti Dewi meloncat berdiri,
ucapan itu mengingatkan dia. “Engkau adalah tukang perahu itu! Ya, engkau
tukang perahu dahulu itu!” Dia mengingat-ingat, lalu berkata lagi. “Aku
mengerti sekarang! Engkau dahulu menyamar sebagai tukang perahu, pantas ada
yang menyebutmu Si Jari Maut!”
Tek Hoat berusaha untuk tersenyum, akan tetapi
mana bisa dia tersenyum kalau seluruh tubuhnya terasa sakit, dan lebih lagi
dari itu, kalau seluruh hati dan pikirannya terasa sakit? Dia begitu jahat, dan
puteri itu begitu baik! Seperti si binatang liar dan si Dewi Kahyangan! Dia
menghela napas dan memejamkan matanya. “Puteri Syanti Dewi, kau pergilah....!
Pergilah sebelum terlambat....!”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Akan tetapi
engkau.... engkau terluka parah....”
“Biarkan aku mampus, dunia takkan rugi
karenanya!” Katanya dengan hati sebal dan dia melemparkan tubuh ke belakang.
“Dukkk!” Kepalanya menimpa akar pohon dan dia
mengerang lirih, menjadi setengah pingsan lagi karena benturan kepalanya dengan
akar yang dalam keadaan biasa tentu tidak akan terasa olehnya itu, kini
terasa seolah-olah kepalanya dihantam palu godam sebesar kerbau!
“Aihhh, kasihan engkau.... pemuda yang
malang....!” Syanti Dewi sudah berlutut lagi di dekatnya dan menggunakan kain
basah itu untuk menghapus darah yang kembali mengalir di leher dan pipi, karena
benturan tadi membuat kepala yang luka oleh lecutan cambuk berdarah lagi.
“Kasihan? Engkau.... kasihan kepadaku?” Tek
Hoat bangkit duduk, tidak peduli betapa pandang matanya sendiri berkunang dan
kepalanya menjadi pening sekali. “Puteri Syanti Dewi kasihan kepadaku?
Ha-ha-ha! Semestinya engkau kasihan kepada dirimu sendiri yang sudah begitu
percaya kepada orang lain, kepada tukang perahu jahanam itu!”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya, memandang
khawatir. Tak salah lagi, pemuda ini menjadi miring otaknya karena pukulan-pukulan
yang diterimanya ketika bertanding tadi!
“Mengapa? Tukang perahu itu telah menolong aku
dan Adik Candra Dewi,” bantahnya.
“Ha-ha-ha! Betapa bodohnya! Tukang perahu itu
adalah mata-mata Pangeran Liong yang sengaja diutus untuk menyelidik dan untuk
menawan Puteri Syanti Dewi! Dan puteri itu malah percaya kepada seorang
pembantu dan tangan kanan pemberontak Liong Khi Ong!”
“Akan tetapi, engkau telah menyelamatkan aku
dari mereka, engkau malah telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang
kaki tangannya!”
Tek Hoat memandang puteri itu dengan mata
merah, tertawa dan menudingkan telunjuknya seperti orang gila. “Ha-ha-ha,
engkau puteri bodoh! Patut dikasihani! Engkau terlalu baik hati, engkau
terlalu percaya orang. Aku membunuh mereka karena ingin memperebutkan engkau!
Aku orang jahat, dan engkau.... engkau malah merawatku! Ha-ha, belum pernah aku
melihat yang segila ini. Pergilah kau.... pergi....! Sebelum aku lupa
diri....!”
Kembali Tek Hoat merebahkan dirinya dan
memejamkan mata, menggunakan jari-jari tangannya menjambak rambutnya sendiri.
“Aku keracunan.... terluka parah, tentu akan mati.... kau pergilah, kau
menjauhlah, jangan dekat-dekat.... aku kotor sekali, aku perampok, pembunuh,
tukang perkosa.... aku tidak berharga.... ahh, Ibu....!” Ucapan Tek Hoat sudah
kacau tidak karuan. Memang pemuda ini selain menderita luka-luka, juga telah
terkena racun yang hebat, racun yang berada di cambuk Siang Lo-mo. Seperti
telah diketahui, sejak Siang Lo-mo merampas kitab cacatan tentang racun dari
Ban-tok Mo-li, mereka telah menggunakan ilmu tentang racun itu untuk membuat
cambuk mereka menjadi senjata yang mengandung racun amat berbahaya. Kini,
terluka berkali-kali oleh cambuk-cambuk beracun itu, tentu saja Tek Hoat
terpengaruh dan luka-luka itu mulai membengkak dan membiru, bahkan lehernya
telah menjadi matang biru dan mengerikan sekali.
“Ah, kasihan engkau, orang muda yang
malang....!” Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut. Melihat
kesengsaraan dan penderitaan pemuda ini, hatinya menjadi tidak tega, penuh
dengan perasaan iba, maka dia tidak mempedulikan sikap pemuda itu, bahkan tanpa
takut-takut lagi dia lari mendekat, berlutut dan membasahi dahi pemuda itu
dengan air karena dahi itu amat panas sampai mengepulkan uap! Tek Hoat
merintih-rintih dan mengeluh, menyebut-nyebut ibunya karena dia seolah-olah
melihat ibunya yang marah-marah dan memaki-makinya, kemudian melihat wajah Kam
Siok, pemilik restoran di Shen-yang yang dibunuhnya, wajah Kam Siu Li, puteri
Kam Siok yang telah dikawinkan kepadanya kemudian dibunuhnya pula, wajah Liok
Si, janda Kam Siok yang genit itu, dan wajah orang-orang yang pernah
dibunuhnya, semua datang dan mengejar-ngejarnya hendak membalas dendam! Dia
lari ketakutan, kemudian dia melihat Syanti Dewi yang melayang turun dari
angkasa seperti Dewi Kwan Im Pouwsat, cantik jelita dan agung, lemah-lembut dan
ramah, mengulurkan tangan kepadanya.
“Lindungi aku.... ohh, lindungi aku....”
“Tenanglah, Tek Hoat, tenanglah....” Dewi itu
berkata halus dan menaruh tangannya ke atas dahinya. Tangan yang lembut dan
halus, sejuk dan mengusir nyeri.
“Ampunkan aku yang penuh dosa....” Dia
berbisik, meraba dan menangkap tangan halus lembut itu dan mencium tangan itu.
Syanti Dewi menarik tangannya dengan halus.
Hatinya terharu. Boleh jadi orang ini telah melakukan
penyelewengan-penyelewengan hebat, pikirnya, dan penyesalan telah menggerogoti
perasaannya sendiri. Penyesalan akan perbuatan yang berdosa merupakan hukuman
yang amat berat bagi orang itu.
“Ang Tek Hoat, engkau tadi begitu gagah kenapa
sekarang menjadi begini lemah?” Suara Syanti Dewi ini merupakan air dingin
yang mengguyur kepala Tek Hoat. Seketika dia berhenti mengeluh, membuka mata
dan pandang matanya kembali menjadi dingin, biarpun mukanya kini merah sekali
seperti dibakar. Dia bangkit duduk, menggoyang-goyang kepala sebentar seperti
hendak mengusir kepeningannya. Kemudian dia berkata, “Puteri Syanti Dewi,
terima kasih atas kebaikanmu. Engkau mulia seperti dewi, dan aku jahat seperti
iblis. Engkau pergilah dari sini, kaucari Jenderal Kao. Dia seorang gagah yang
akan menolongmu....” Tiba-tiba mata pemuda itu kelihatan beringas memandang ke
kanan. Syanti Dewi bangkit berdiri, juga menoleh dengan ketakutan, mengira
bahwa ada musuh-musuh baru yang datang.
Tampak datang beberapa orang berlarian cepat
sekali gerakan mereka, seperti sekumpulan binatang rusa yang lari sambil
berlompatan menuju ke tempat itu. Sukar bagi Syanti Dewi untuk mengenal
bayangan orang-orang yang berlari secepat itu dan kini mereka yang terdiri dari
tiga orang itu telah berdiri di situ, memandangi kereta dan mayat-mayat yang
berserakan, kemudian memandang kepada Tek Hoat dan Syanti Dewi.
“Bu-koko....!” Syanti Dewi berseru dengan lega
dan girang ketika melihat mereka dan di antara mereka itu terdapat Jenderal
Kao Liang dan Suma Kian Bu! Terutama sekali melihat Kian Bu hatinya begitu lega
sehingga tak terasa lagi dia berlari ke arah pemuda ini yang juga berlari
menghampirinya.
“Adik Syanti Dewi....!”
Dan tanpa dapat dicegah lagi, lupa akan
keadaan saking lega dan girangnya hati, Syanti Dewi membiarkan dirinya dipeluk
oleh Suma Kian Bu! Dia menangis dengan penuh keharuan dan kelegaan hati.
Yang datang adalah Jenderal Kao Liang, Kian
Bu, dan Puteri Milana. Malam tadi menjelang pagi, ketika barisan yang dipimpin
Puteri Milana tiba di depan Teng-bun untuk membantu Jenderal Kao, jenderal ini
segera mengerahkan barisan untuk menyerbu Teng-bun dengan kekuatan yang jauh
lebih besar setelah ada bantuan itu. Perang hebat terjadi akan tetapi sekali
ini, Kim Bouw Sin tidak lagi dapat bertahan. Apalagi karena dia sudah
kehilangan para pembantunya yang lihai. Tek Hoat tidak kelihatan mata
hidungnya, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah pergi mengawal Pangeran Liong
Khi Ong, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li juga tidak kelihatan
lagi. Maka setelah matahari terbit, pasukan-pasukan pemerintah berhasil
membobolkan pintu-pintu gerbang dan menyerbu masuk seperti banjir. Teng-bun tak
dapat dipertahankan lagi dan Kim Bouw Sin sendiri tewas dalam perang itu.
Tentu saja Jenderal Kao dan Milana, diikuti
oleh Kian Bu, pertama-tama menyerbu gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi
Ong untuk menangkap pangeran pemberontak itu. Akan tetapi ternyata Pangeran
itu telah melarikan diri semalam. Ketika mendengar dari para pelayan bahwa
Pangeran itu pergi membawa Puteri Bhutan, Kian Bu dan Jenderal Kao terkejut
sekali. Bersama Puteri Milana, mereka lalu secepatnya melakukan pengejaran
melalui pintu rahasia yang tentu saja dikenal oleh Jenderal Kao dan mereka
terus mengejar ke dalam hutan.
Tek Hoat membuka mata dan mengejap-ngejapkan
matanya, sejenak memandang ke arah Syanti Dewi yang menangis dalam dekapan
seorang pemuda tampan yang dia kenal sebagal seorang di antara dua orang pemuda
kakak beradik yang pernah berlawan dengannya. Dia melihat pula Jenderal Kao
dan seorang wanita cantik sekali yang amat gagah perkasa. Dia pernah melihat
wanita ini dan samar-samar teringatlah dia kepada wanita yang dulu dijumpainya
di dalam hutan ketika wanita yang amat lihai ini membunuh seekor harimau besar.
Akan tetapi dia tidak mempedulikan itu semua, matanya kini menatap Syanti Dewi,
yang dipeluk oleh pemuda itu. Hatinya menjadi panas sekali dan tanpa
mempedulikan apa-apa lagi Tek Hoat melompat dan menerjang ke arah Suma Kian Bu!
“Plakkk!” Tek Hoat terpelanting ketika dari
samping ada lengan halus yang mendorongnya dengan kekuatan yang amat dahsyat.
Kiranya wanita itu dengan sikap gagah dan pandang mata tajam menusuk
menegurnya, “Engkau mau apa?”
Tek Hoat menjadi marah sekali. Dia tidak
peduli siapa adanya wanita gagah itu, akan tetapi yang ada di dalam hatinya
hanyalah kemarahan yang amat hebat. Kemarahan yang timbul seketika pada saat
dia melihat Syanti Dewi dalam pelukan pemuda tampan itu.
“Aku mau membunuh!” bentaknya dan kemarahan
membuat dia lupa akan segala kenyerian yang menusuk-nusuk seluruh tubuh, dari
kepala sampai kaki dan dengan ganas dia sudah menerjang lagi, otomatis dia
menggunakan jurus Pat-mo Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Iblis) yang menjadi
ilmu silat tinggi pertama kali yang dilatihnya. Gerakan ilmu silat ini memang
hebat dan ganas sekali, dan sin-kang yang mendorong gerakan ilmu ini adalah
sin-kang yang mengeluarkan hawa panas.
“Aihhh....!” Puteri Milana terkejut dan
terheran-heran bukan main, cepat menggerakkan kaki tangannya dengan ilmu silat
yang sama pula. Tentu saja dia merasa heran karena gerakan pemuda ini adalah
gerakan ilmu silat rahasia dari perkumpulan Thian-liong-pang, yaitu
perkumpulan yang dahulu diketuai oleh ibunya, Puteri Nirahai (baca ceritaSepasang
Pedang Iblis). Dan ilmu silat ini adalah ciptaan ibunya itu, yang mengambil
gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-sut digabung dengan Ilmu Silat
Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) sehingga terciptalah Ilmu Silat
Tangan Kosong Pat-mo Sin-kun itu. Akan tetapi ilmu itu hanya dikenal oleh
ibunya, dia sendiri dan para bekas tokoh Thian-liong-pang saja. Bagaimana
sekarang bisa dimainkan oleh pemuda ini secara demikian baiknya?
“Hai, dari mana engkau mempelajari Pat-mo
Sin-kun?” Puteri Milana berseru makin heran karena mendapat kenyataan betapa
pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat, sungguhpun jelas bahwa pemuda ini
sudah menderita luka-luka parah dan keracunan.
Tek Hoat juga terkejut ketika melihat wanita
menghadapinya dengan Pat-mo Sin-kun yang demikian baik gerakannya, jauh lebih
baik daripada gerakannya sendiri. Maka tanpa menjawab dia lalu mengerahkan
tenaga Inti Bumi dan mendorong.
“Bress.... ihhh....!” Milana terdorong dan
terhuyung, bukan main kagetnya.
“Keparat, engkau pemberontak keji!” Kian Bu
sudah melepaskan Syanti Dewi dan melihat kakaknya terdorong itu, dia lalu
menerjang ke depan dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.
Tek Hoat yang marah dan benci kepada pemuda
yang memeluk Syanti Dewi ini, membalikkan tubuh mengerahkan tenaga sin-kangnya
dan menangkis. Keduanya mengeluarkan tenaga sekuatnya, akan tetapi Kian Bu
sama sekali tidak tahu bahwa lawannya itu telah terluka parah.
“Desss....!” Tubuh Tek Hoat terlempar,
membentur batang pohon dan roboh tergelimpang, tidak bergerak lagi! Ternyata
ketika Tek Hoat mengadu tenaga dengan Puteri Milana tadi, dia telah
mengerahkan tenaga Inti Bumi dan hal ini membuat luka-lukanya di sebelah dalam
tubuhnya menjadi lebih parah lagi. Maka begitu dia bertemu dengan Kian Bu yang
memiliki sin-kang murni dari Pulau Es, tentu saja dia tidak mampu
menandinginya dan dia terbanting dengan keras sampai pingsan.
“Ah, Bu-ko, kau membunuhnya....?” Syanti Dewi
berlari menghampiri tubuh Tek Hoat, berlutut dan memandang penuh kekhawatiran.
“Adik Syanti Dewi, dia kaki tangan
pemberontak, dia jahat....!” Kian Bu berkata dengan heran dan penasaran
melihat dara itu membela lawannya. Juga Puteri Milana memandang dengan heran
dan diam-diam dia kagum akan kecantikan Puteri Bhutan ini. Pantas saja adik
kandungnya tertarik kepada puteri ini dan sikap mereka ketika bertemu tadi
menimbulkan dugaannya bahwa adiknya itu jatuh hati kepada Syanti Dewi. Maka
kini sikap Syanti Dewi yang berlutut di dekat kaki tangan pemberontak itu
mengherankan hatinya.
“Apa artinya ini?” Dia bertanya.
“Adik Syanti, pemberontak ini dibunuh pun
sudah sepatutnya.” Kian Bu berkata lagi.
“Tidak.... tidak....! Bu-koko, engkau
tidak tahu. Dialah yang telah menolongku. Dia yang telah membunuh Pangeran
Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya. Lihat itu, mayat mereka masih
berada di sana. Kalau tidak ada Tek Hoat ini, aku tentu telah menjadi mayat
sekarang.” Syanti Dewi berkata sambil menunjuk ke arah mayat-mayat yang
bergelimpangan dan dia membayangkan betapa dia sekarang tentu telah membunuh
dirinya karena hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi Ong kalau saja tidak
ditolong oleh Tek Hoat.
“Ehh....?” Kian Bu tertegun heran.
“Dia adalah tangan kanan Pangeran Liong Khi
Ong yang terkenal sekali. Dialah yang berjuluk Si Jari Maut dan yang
mempergunakan nama Gak Bun Beng Taihiap! Dia jahat dan keji, juga menjadi kaki
tangan pemberontak. Syanti, minggirlah, orang ini harus ditangkap atau
dibunuh.” Jenderal Kao Liang juga berkata sambil melangkah maju menghampiri
Puteri Bhutan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri itu.
“Gi-hu (Ayah Angkat)....!” Syanti Dewi bangkit
dan memegang lengan jenderal tinggi besar itu. “Harap jangan bunuh dia. Dia
terluka dan menderita seperti itu karena menolong saya. Andaikata dia tidak
menolong saya, tentu dia sudah dapat melarikan diri jauh dari sini dan kalian
tidak dapat menangkapnya. Dia menolong saya dan karenanya dia terluka dan tidak
dapat lari. Kalau kalian membunuhnya, sama artinya dengan saya yang
membunuhnya. Gi-hu, epakah engkau ingin mempunyai seorang anak angkat yang
berwatak palsu tidak mengenal budi orang?”
Puteri Milana sudah melangkah maju dan berkata
kepada adiknya, “Bu-te (Adik Bu), dia betul. Kita harus merawatnya, dan aku
melihat keanehan pada dirinya. Dia mengenal ilmu rahasia Thian-liong-pang!
Mungkin pemuda ini menyimpan rahasia.”
Kian Bu masih ragu-ragu. “Akan tetapi, Enci,
menurut Kao-goanswe dia telah mempergunakan nama Gak-suheng dan merusak
namanya!”
“Hal itu pun ada rahasianya. Kita rawat dan
menahan dia sebagai seorang tawanan yang terawat baik. Betapapun juga, dia
telah berjasa dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya
yang lihai ini.”
Kian Bu tidak berani membantah lagi dan dia
lalu memanggul tubuh Tek Hoat yang lunglai dan pingsan. Kemudian mereka
kembali ke Teng-bun yang sudah diduduki oleh pasukan pemerintah. Pukulan hebat
yang dilakukan oleh pasukan di bawah pimpinan Jenderal Kao Liang dan Puteri
Milana itu sekaligus menghancurkan kekuatan pemberontak, apalagi kematian
Panglima Kim Bouw Sin dan kematian Pangeran Liong Khi Ong melemahkan semangat
perlawanan para anak buah pasukan sehingga sebagian besar di antara mereka segera
takluk dan menyerah dan hanya sedikit saja yang melarikan diri secara liar
karena takut akan hukuman yang pasti dijatuhkan kepada mereka.
***
Seperti juga kota Teng-bun, kota pemberontak
ke dua, Koan-bun, dengan mudah terjatuh ke tangan pemerintah setelah terjadi
perang yang amat hebat di dalam kota itu. Pasukan yang dipimpin oleh Panglima
Thio dan dibantu oleh putera Jenderal Kao itu telah berhasil membasmi
pemberontak yang telah kelelahan karena baru saja pasukan pemberontak
bertanding mati-matian ketika mereka menghancurkan pasukan liar Tambolon.
Apalagi di kota ini terdapat Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee yang telah berhasil
mengusir tokoh hitam lihai yang membantu pemberontak, yaitu ketua Pulau Neraka
Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya, Mauw Siauw Mo-li.
Seperti telah diceritakan di bagian depan,
Ceng Ceng roboh pingsan karena luka-lukanya akibat pukulan-pukulan yang
mengandung racun, terutama sekali pukulan yang diterimanya dari Hek-tiauw
Lo-mo, karena tangan Ketua Pulau Neraka ini mengandung racun yang amat ampuh
sehingga biarpun Ceng Ceng sendiri merupakan seorang ahli tentang racun,
namun tetap saja dia menderita luka di sebelah dalam tubuhnya yang parah.
Dengan hati penuh kekhawatiran, Suma Kian Lee memondong tubuh dara yang telah
mencuri hatinya sejak pertama kali dia melihat dara ini di pasar kuda dahulu,
mengikuti seorang perwira menuju ke sebuah gedung yang telah diduduki pasukan
pemerintah.
Setelah merebahkan tubuh yang mukanya kini
pucat agak kehijauan itu di atas pembaringan, Kian Lee cepat duduk bersila di
dekat gadis itu, meletakkan kedua tangannya di atas pundak Ceng Ceng dan
mulailah dia mengerahkan tenaga sin-kang yang amat kuat untuk membantu gadis
itu mengusir hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya. Namun dengan amat
terkejut dan heran Kian Lee merasakan betapa ada tenaga lain yang keluar
melawan pengerahan tenaganya. Dia tidak tahu bahwa tubuh dara itu telah
mengandung racun setelah dia menguasai ilmu tentang racun dari Ban-tok Mo-li
dan melatih diri, tubuhnya menjadi beracun sehingga dara itu dapat mengerahkan
hawa beracun yang amat hebat, bukan hanya di dalam pukulannya, bahkan di
ludahnya sekalipun! Adalah hawa ini yang melawan ketika dia mengerahkan
sin-kang untuk mengusir hawa beracun yang disangkanya adalah akibat
pukulan-pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Andaikata pukulan Hek-tiauw Lo-mo itu
merupakan pukulan beracun biasa saja, agaknya tidak akan mampu membuat Ceng
Ceng terluka sedemikian beratnya. Akan tetapi pukulan Hek-tiauw Lo-mo adalah
pukulan beracun yang dilatihnya dari kitab yang dapat dicurinya dari Dewa
Bongkok, dan pukulan beracun ini hebat sekali, melebihi kehebatan hawa beracun
di tubuh Ceng Ceng! Itulah sebabnya maka pemuda yang memiliki sin-kang murni
dari Pulau Es ini akan tetapi bukan seorang ahli pengobatan, menjadi gagal dan
bingung. Akan tetapi dia tidak menghentikan usahanya untuk menolong Ceng Ceng
dan masih terus saja dia mengerahkan sin-kangnya, tidak peduli bahkan ketika
dia mulai merasa betapa ada perasaan gatal-gatal menjalar masuk melalui telapak
tangannya. Dia tahu bahwa secara aneh sekali, ada hawa beracun yang menular
kepadanya, akan tetapi dia tidak mempedulikan dirinya sendiri dalam
keinginannya untuk menyembuhkan Ceng Ceng.
Setengah hari lebih Kian Lee berusaha
mati-matian untuk menyembuhkan gadis itu dengan sia-sia. Lewat tengah hari,
Ceng Ceng siuman dari pingsannya dan terkejutlah dia ketika melihat pemuda
tampan yang menolongnya itu duduk bersila, menempelkan kedua telapak tangan di
kedua pundaknya dan dari kedua telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang
hangat. Apalagi ketika dia melihat betapa kedua tangan pemuda itu menjadi agak
kehijauan, dia terkejut sekali, tahu apa yang telah terjadi dengan diri pemuda
itu.
“Jangan....! Hentikan itu....!” katanya sambil
bangkit duduk.
“Tenanglah, Nona. Aku akan berusaha untuk
mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu....”
“Jangan lakukan itu! Ah, engkau tidak tahu....
engkau mencari celaka sendiri....!” Ceng Ceng menolakkan kedua tangan pemuda
itu dan duduk di pinggir pembaringan, kepalanya terasa pening sekali dan di
dada kanan dan punggung terasa nyeri. “Engkau malah meracuni dirimu
sendiri....” katanya, suaranya agak terharu melihat tangan pemuda itu menjadi
kehijauan.
“Nona Lu, engkau terkena pukulan-pukulan
beracun, kalau tidak segera dilenyapkan hawa beracun itu, amat berbahaya.
Biarlah aku mencobanya lagi....”
“Tidak! Engkau sendiri yang akan celaka....
ah, kau tidak tahu. Racun di tubuhku telah menular kepadamu. Lihat kedua
telapak tanganmu.”
Kian Lee memandang kedua telapak tangannya.
“Tidak mengapa, yang penting engkau harus terhindar dari bahaya maut.”
Ceng Ceng memandang pemuda itu penuh
perhatian, alisnya berkerut ketika dia bertanya, “Engkau mengenalku?”
Kian Lee mengangguk. “Engkau adalah Nona Lu
Ceng, saudara angkat Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, engkau seorang dara
perkasa yang berjiwa pahlawan, engkau hampir mengorbankan nyawa sendiri ketika
menolong Jenderal Kao Liang, sekarang engkau pun terancam bahaya maut setelah
engkau berhasil mengadu domba Tambolon dengan pemberontak. Engkau seorang dara
yang hebat, Nona Lu.”
Jantung gadis ini berdebar tegang dan aneh.
Pandang mata pemuda ini mengingatkan dia akan pandang mata Pangeran Yung Hwa,
sungguhpun sikapnya tidak seperti pangeran itu yang menyatakan cintanya
terang-terangan! Pandang mata seorang pria yang mencintanya!
“Kenapa.... kenapa engkau berusaha menolongku
dengan menempuh bahaya? Kau bisa keracunan dan mati!”
Suma Kian Lee tersenyum dan menggeleng
kepala. “Aku tidak akan mati, Nona, dan andaikata mati pun kalau dapat
menyelamatkan engkau dari bahaya maut, hatiku akan puas.”
“Hemm, kau siapakah namamu?”
“Namaku Suma Kian Lee dan.... ohh, engkau
kenapa, Nona?” Dia hendak menubruk maju dan sudah mengulur tangan, akan tetapi
dia tidak berani memegang atau menyentuh tubuh itu demi kesopanan.
Ceng Ceng memegang kepalanya yang terasa
pening sekali. Dia menguatkan dirinya dan membuka matanya lagi.
“Engkau pernah kulihat.... ah, lupa lagi aku
di mana....”
“Di pasar kuda, dan kedua kalinya di waktu
engkau hendak ditangkap oleh Hek-tiauw Lo-mo....” Kian Lee berhenti sebentar
dan memandang wajah yang cantik itu penuh perhatian, karena dia teringat betapa
jauh bedanya keadaan dara itu dalam dua kali pertemuan itu. Yang pertama dara
itu kelihatan lincah jenaka dan gembira, akan tetapi yang kedua kalinya dara
itu menjadi dingin dan amat ganas. “Dan yang ketiga kalinya aku dan adikku
melihat engkau di rumah Jenderal Kao di kota raja, akan tetapi engkau terus
berlari pergi. Nona Lu, biarkan aku mengobatimu, kalau engkau sudah sembuh
baru kita bicara lagi.” Kian Lee khawatir sekali melihat wajah cantik yang
kehijauan itu.
Ceng Ceng menggeleng kepala lalu bangkit
berdiri, agak terhuyung dan dia terpaksa berpegang kepada punggung kursi.
“Tidak, tidak ada gunanya. Engkau tidak akan dapat menyembuhkan aku, tidak ada
yang dapat menyembuhkan.... biarkan aku pergi saja dari sini....”
“Heh! Siapa bilang tidak ada orang dapat
menyembuhkan? Aku belum pernah melihat penyakit yang tak dapat kusembuhkan!”
Kian Lee cepat menengok, dan dengan mata sayu
Ceng Ceng yang pandang matanya berkunang itu pun menoleh ke arah pintu.
“Sute, kau kenapa....?” Gak Bun Beng cepat
menghampiri Kian Lee, menangkap tangan pemuda itu dan memeriksanya. “Ahh, kau
keracunan!” Pendekar itu berseru kaget.
“Dia.... dia keracunan.... ketularan oleh
racun di tubuhku....” Ceng Ceng berkata lemah. “Biarkan aku pergi....” Dia
terhuyung hendak menuju ke pintu.
“Dia keracunan hebat, dan pemuda ini pun
keracunan,” kata kakek yang datang bersama Gak Bun Beng, seorang kakek yang
aneh, membawa tongkat dan pandang matanya tidak acuh. “Akan tetapi jangan
mengira aku tidak dapat menyembuhkan!” Kakek ini adalah Sin-ciang Yok-kwi Kwan
Siok. Seperti telah diketahui kakek ini adalah ahli pengobatan yang pernah
bertemu dan bahkan mengadu kepandaian dengan Gak Bun Beng yang ketika itu
sedang sakit dan melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi. Biarpun wataknya
aneh bukan main, Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti) ini adalah
seorang yang benci terhadap pemberontakan, maka begitu mendengar bahwa
Koan-bun dan Teng-bun diserbu oleh pasukan-pasukan pemerintah, dia cepat datang
dan membantu. Kebetulan dia bertemu dengan Gak Bun Beng di Koan-bun. Kehadiran
seorang ahli pengobatan tentu saja penting sekali bagi Bun Beng karena di dalam
perang terjatuh banyak korban yang perlu dengan pengobatan, apalagi dia juga
teringat gadis yang telah menderita keracunan hebat, maka dia mengajak
Sin-ciang Yok-kwi untuk menyusul Kian Lee setelah dia menyelesaikan bantuannya
terhadap serbuan tentara pemerintah.
“Yok-kwi, kalau begitu cepat obati mereka.
Nona ini adalah Nona Lu Ceng, seorang nona muda yang berjiwa pahlawan, dan
pemuda ini suteku.”
Lu Ceng menudingkan telunjuknya ke arah Gak
Bun Beng. “Engkau mengenal aku, akan tetapi siapakah kau....?”
Kian Lee seakan-akan hendak menutupi sikap
suhengnya, maka cepat dia berkata, “Nona Lu, dia ini adalah suhengku, Gak Bun
Beng.... Eh, kenapa?” Dia terkejut sekali melihat Ceng Ceng membelalakkan matanya,
memandang kepada Gak Bun Beng seperti orang melihat setan, kemudian dia
menggeleng kepala keras-keras.
“Bohong! Gak Bun Beng sudah mati....!” Dan dia
pun terguling dan tentu akan terbanting jatuh kalau tidak ditangkap oleh Kian
Lee yang selalu siap di dekatnya. Dara itu telah pingsan.
“Suheng....” Kian Lee memandang Gak Bun Beng
dan dari pandang mata ini saja cukup jelaslah bagi pendekar itu apa yang
terkandung di dalam hati sutenya itu. Hatinya merasa terharu, karena dia pun
pernah merasakan dorongan cinta kasih pertama seperti yang dialami sutenya pada
saat itu. Maka dia lalu menoleh kepada Sin-ciang Yok-kwi.
“Yok-kwi, kalau engkau tidak cepat menolong
mereka berdua ini, pandanganku terhadap kemampuanmu akan menurun!” kata Bun
Beng dengan muka sungguh-sungguh.
Sin-ciang Yok-kwi tidak menjawab, alisnya
berkerut dan kedua tangannya sudah mulai memeriksa Ceng Ceng yang direbahkan
kembali oleh Kian Lee di atas pembaringan. Makin dalam kerut di muka kakek itu
dan beberapa kali dia mengeluarkan seruan aneh. Sampai lama dia memeriksa tubuh
Ceng Ceng, kemudian dia membalik kepada Kian Lee yang duduk di pinggir
pembaringan lalu memeriksa pemuda itu, memeriksa kedua tangannya yang
menghijau sampai ke bawah siku, memeriksa detik jantungnya pula.
Kakek itu terhenyak ke atas kursi, matanya
memandang kosong melalui pintu kamar itu.
“Yok-kwi, bagaimana?” Bun Beng bertanya
dengan penuh kekhawatiran karena pada wajah tabib pandai itu nampak
kebingungan.
Yok-kwi menggeleng kepala dan menghela napas
panjang. “Baru sekali ini aku berhadapan dengan keadaan yang luar biasa
sekali!” katanya dan menoleh ke arah Ceng Ceng dengan pandang mata penuh
keheranan. “Pukulan yang diterima oleh gadis ini, pasti sudah akan mematikan
orang lain karena racun yang terkandung di dalamnya amat luar biasa. Akan
tetapi gadis ini tidak mati, bahkan di samping racun pukulan itu, di seluruh
tubuhnya terdapat hawa beracun yang membuat dia berbahaya sekali bagi orang
lain, racun yang kehijauan dan pemuda ini pun terkena racun yang terkandung di
seluruh tubuhnya itu. Luar biasa sekali! Gadis ini bisa dinamakan manusia
beracun!”
“Cukup semua keterangan itu! Yang penting,
bisakah engkau menyembuhkannya, Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok?” Bun Beng
membentak tak sabar.
Kakek itu memandang kepada Bun Beng.
“Gak-taihiap, engkau tahu bahwa aku adalah seorang tabib yang sanggup mengobati
segala macam penyakit dan luka yang beracun sekalipun. Akan tetapi mengobati
seorang manusia beracun? Sungguh tak mungkin bagiku. Pemuda ini dapat kuobati,
apalagi sutemu ini memiliki sin-kang yang murni dan amat kuat. Akan tetapi
gadis ini.... terus terang saja aku hanya mampu memberi obat penawar yang
melenyapkan rasa nyeri sehingga dia tidak akan terlalu tersiksa. Akan
tetapi.... kalau dia dapat bertahan sampai satu bulan saja sudah amat luar
biasa namanya. Mungkin dalam belasan hari saja dia sudah harus mati....”
“Tidak....!” Tiba-tiba Kian Lee yang
biasanya bersikap tenang itu berteriak. “Suheng, tidak mungkin membiarkan dia
mati....!”
Gak Bun Beng menarik napas panjang. “Sute,
bukan kitalah yang menentukan tentang hidup atau mati. Kita hanya dapat
berusaha, dan tentu saja kita harus berusaha sedapat mungkin untuk
menyembuhkan Nona Lu ini. Yok-kwi, sebagai seorang yang telah berani memakai
julukan Setan Obat, tidak malukah engkau kalau harus mengatakan bahwa engkau
tidak mengenal cara penyembuhan bagi nona ini?”
Kakek ahli obat itu memandang Bun Beng dengan
mata melotot, kelihatan marah sekali. “Gak Bun Beng, engkau terlalu mendesak
dan memandang rendah padaku!” Kemudian dia menarik napas panjang. “Di dunia
ini, hanya ada Pulau Es yang terkenal dengan ketinggian ilmu silatnya, sayang
tidak terbuka bagi semua orang dan hanya dikenal oleh orang-orang seperti
engkau dan keluarga Pulau Es sehingga Pulau Es menjadi tempat dalam dongeng,
kemudian ada tokoh yang luar biasa ilmunya tentang racun dan dia adalah Ban-tok
Mo-li akan tetapi sayang tidak ada seorang pun tahu di mana nenek iblis itu
berada, ada lagi tempat yang dikenal dalam dongeng, yaitu Istana Gurun Pasir
yang kabarnya ditempati oleh orang yang seperti dewa dan ahli pula tentang
segala macam racun. Kemudian orang ke empat adalah suhengku, yang dalam
kepandaian tentang racun dan pengobatan boleh menjadi guruku, akan tetapi
suheng yang berjuluk Yok-sian (Dewa Obat) telah meninggal, sedangkan dua orang
anaknya entah ke mana aku sendiri pun tidak tahu. Kaulihat, Gak-taihiap, di
dunia ini yang dapat mengobati Nona ini kiranya hanyalah Ban-tok Mo-li, atau
manusia dewa di Gurun Pasir, atau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, yaitu
gurumu sendiri.”
“Suheng, biar kubawa dia ke Pulau Es, minta
pertolongan ayah....” Kian Lee berkata, penuh semangat.
“Apa....? Jadi pemuda ini adalah putera
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” Yok-kwi bertanya sambil memandang dengan
mata terbelalak kagum. Ketika dia melihat Gak Bun Beng mengangguk membenarkan,
dia cepat berkata, “Ah, maaf.... maaf.... sungguh beruntung aku dapat
memperoleh kesempatan bertemu dengan puteranya, sungguhpun tidak beruntung dapat
melihat ayahnya.”
“Sute, kiranya akan terlambat kalau membawanya
ke Pulau Es,” Bun Beng berkata kepada pemuda itu. “Engkau sudah mendengar
keterangan Yok-kwi tadi bahwa Nona Lu hanya dapat bertahan selama satu bulan,
sedangkan perjalanan ke sana sedikitnya akan makan waktu satu bulan lebih.”
“Suheng, habis bagaimana baiknya? Locianpwe,
saya harap dapatlah Locianpwe menolongnya....” Kian Lee menghadapi dua orang
sakti itu dengan sikap bingung. Hal ini tidak perlu diherankan karena biarpun
Kian Lee seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian tinggi dan
biasanya berwatak tenang, namun kini melihat dara yang dicintanya terancam
bahaya maut, dia menjadi gelisah sekali.
“Harap tenang, orang muda yang gagah perkasa.
Tepat seperti yang dikatakan oleh Suhengmu tadi, kita manusia hanya dapat
berusaha, dan untuk dapat berusaha dengan baik kita perlu memiliki batin yang
tenang. Biarlah sekarang aku memberi obat penawar kepadanya agar dia terbebas
dari rasa nyeri, dan kedua tanganmu pun perlu diberi obat agar bersih dari hawa
beracun.”
“Yok-kwi, hawa beracun di kedua tangan suteku
biarlah kukeluarkan dengan sin-kang....”
“Jangan, Gak-taihiap. Engkau sudah melihat
sendiri betapa sutemu ketularan begitu dia berusaha mengobati gadis itu dengan
kekuatan sin-kang. Hawa beracun hijau ini aneh sekali dan hawa ini yang membuat
Nona Lu menjadi manusia beracun. Cara pengobatanmu dengan sin-kang tentu akan
membuat engkau ketularan pula.” Kakek itu mencegah, lalu dia membuat ramuan
obat-obatan yang aneh-aneh dan yang bahannya sebagian dicarinya sendiri di
dalam hutan.
Setelah diobati oleh Yok-kwi, diberi minum
obat dan kedua lengannya digosok, benar saja warna menghijau itu lenyap dari
kedua lengan Kian Lee. Kemudian Ceng Ceng yang masih setengah pingsan itu diberi
minum obat oleh Yok-kwi, dan dia lalu meninggalkan beberapa bungkus obat kepada
Kian Lee untuk digodok dan diberi minum kepada Ceng Ceng setiap hari. Obat itu
cukup untuk sebulan lamanya dan kakek itu lalu berkata kepada Bun Beng,
“Gak-taihiap. Aku memang harus malu kalau sampai tidak dapat menyembuhkan Nona
Lu. Karena itu, aku akan pergi mencari obat untuknya. Syukur kalau aku dapat
bertemu dengan penghuni Istana Gurun Pasir, atau Ban-tok Mo-li, atau mungkin
keponakan-keponakanku yang hilang. Kalau sampai aku tidak berhasil, biarlah
kubuang saja nama julukanku Yok-kwi.”
Gak Bun Beng terkejut dan merasa menyesal
bahwa ucapannya yang pernah dikeluarkannya itu diterima dengan sungguh-sungguh
oleh Setan Obat ini. “Ahh, Yok-kwi, aku tidak bermaksud demikian....”
Akan tetapi Yok-kwi tertawa dan menjura
kepadanya, lalu kepada Kian Lee. “Sudah demikianlah keputusan hatiku. Di
samping itu, melakukan sesuatu untuk putera Pendekar Super Sakti merupakan
suatu kehormatan dan kebahagiaan besar bagiku. Selamat tinggal, mudah-mudahan
aku tidak akan terlambat memperoleh obat itu.” Tanpa dapat dicegah lagi,
Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok pergi meninggalkan kota Koan-bun yang sudah aman
kembali dan mulai dibersihkan dari mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
Dengan penuh ketekunan Kian Lee merawat
sendiri gadis itu dan dua hari kemudian barulah Ceng Ceng siuman dari pingsan
atau setengah pingsan itu. Dia membuka mata, menoleh ke kanan kiri, kemudian
melihat Kian Lee duduk tertidur di atas kursi dekat pembaringannya, dia
bangkit duduk. Tubuhnya tidak terasa sakit lagi, ringan dan enak. Teringatlah
dia akan semua yang dialaminya, terutama sekali teringat dia akan wajah seorang
laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, laki-laki yang mengaku bernama Gak
Bun Beng! Padahal nama ayahnya adalah Gak Bun Beng. Akan tetapi ayahnya yang
telah menyia-nyiakan ibunya itu telah mati. Tentu hanya sama namanya saja,
pikirnya. Lalu dia memandang kepada pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali, dan
gagah perkasa, dan.... tentu pemuda ini mencintanya. Jantung Ceng Ceng
berdebaran aneh. Pemuda ini tentu telah merawatnya, dan menjaganya!
Sedikit gerakan Ceng Ceng itu cukup
membangunkan Kian Lee. Dia memandang dan cepat bertanya, “Engkau sudah dapat
bangun? Syukurlah, Nona....” nada suaranya girang dan penuh harapan.
“Bagaimana rasanya tubuhmu....?”
Ceng Ceng menatap wajah itu, hatinya diliputi
keharuan. “Saudara Suma Kian Lee.... bagaimana tanganmu....?”
Kian Lee mengulurkan kedua tangannya,
memandang tangannya sambil berkata, “Ah, tidak apa-apa, sudah disembuhkan
oleh Yok-kwi.”
“Berapa lamanya aku tidur.... eh, tak sadarkan
diri?”
“Ah, aku khawatir sekali, Nona Lu. Engkau
pingsan dan mengigau, mengeluh selama dua hari dua malam....” Kian Lee bergidik
kalau teringat betapa nona itu dalam pingsannya atau tidurnya selalu gelisah,
bahkan seringkali berteriak-teriak lirih seperti orang ketakutan yang
dianggapnya tentulah akibat rasa takutnya ketika hendak diperkosa oleh
Tambolon dahulu itu.
“Dua hari dua malam....? Dan selama itu....
kau terus merawat dan menjaga aku....?”
Kian Lee tersenyum. “Ah, sudah semestinya,
Nona. Habis, engkau membutuhkan perawatan, engkau telah memperoleh obat
penawar dari Yok-kwi, yang untuk sementara dapat melenyapkan rasa nyeri, akan
tetapi.... ah....,” Kian Lee tergagap mengingat bahwa sebenarnya gadis ini
masih belum sembuh sama sekali dan masih berada dalam cengkeraman maut!
“Yok-kwi Locianpwe sedang mencarikan obat
penyembuh bagimu.... eh, Nona, kau.... kau menangis?”
Ceng Ceng menundukkan mukanya dan menghapus
beberapa titik air matanya. Hatinya terharu dan seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Pemuda ini selain telah mempertaruhkan nyawa sendiri ketika berusaha menyedot
racun dari tubuhnya, juga telah merawat dan menjaganya selama dua hari dua
malam dan jelas bahwa pemuda itu agaknya tidak makan dan tidak tidur, buktinya
wajahnya pucat lesu dan tadi sampai tertidur di atas kursi! Seorang pemuda yang
begini tampan dan gagah, berbudi mulia, telah menyatakan cinta kasihnya lewat
perbuatannya, cinta kepada dia yang tidak berharga lagi! Makin diingat tentang
keadaannya, makin terharu dan sakit rasa hatinya. Pemuda-pemuda pilihan telah
jatuh cinta kepadanya. Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran putera Kaisar yang
tampan, terpelajar tinggi, halus, romantis dan jujur! Kini, seorang pemuda
yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya, tampan dan gagah perkasa!
Mereka itu jelas amat mencintanya, akan tetapi dia.... ah, dia telah menjadi
setangkai bunga yang layu, tidak berharga lagi, telah diperkosa oleh seorang
pemuda laknat, seorang pemuda biadab. Tiba-tiba dia teringat!
“Ah, di mana dia....?” Tiba-tiba Ceng
Ceng meloncat turun dari pembaringan akan tetapi cepat Kian Lee memegang
lengannya dengan halus.
“Nona, hati-hatilah. Engkau belum sembuh....
beristirahatiah dulu....”
Ceng Ceng sadar bahwa sikapnya terlalu kasar.
Dia menoleh ke kanan kiri, mencari kalau-kalau pemuda tinggi besar yang menjadi
musuhnya, pemuda yang bernama Kok Cu, pemerkosanya, berada di situ. Dia tidak
mimpi! Dia telah bertemu dua kali!
Bayangan berkelebat di pintu dan Ceng Ceng
siap untuk menyerang kalau yang datang ini adalah musuh besarnya. Akan tetapi
yang muncul di pintu adalah laki-laki setengah tua yang mengaku bernama Gak Bun
Beng. Ceng Ceng bengong dan terduduk kembali di atas pembaringan.
“Gak-suheng....” Kian Lee berkata menyambut
suhengnya.
Bun Beng tersenyum. “Ah, Nona Lu sudah sadar
kembali? Syukurlah, bagaimana rasanya tubuhmu?”
Ceng Ceng tidak menjawab. Jantungnya berdebar
keras dan dengan hati tak sabar lagi dia bertanya setelah mendengar Kian Lee
menyebut orang ini Gak-suheng. “Apakah namamu Gak Bun Beng?”
Bun Beng dengan tenang lalu menarik sebuah
bangku dan duduk menghadapi gadis yang duduk kembali di pinggir pembaringan
itu. Memang dia sudah merasa tertarik dan heran melihat sikap Ceng Ceng sebelum
jatuh pingsan ketika gadis itu mendengar namanya disebut, dan mendengar gadis
itu menyatakan bahwa yang bernama Gak Bun Beng sudah mati!
“Benar, Nona Lu Ceng. Namaku memang Gak Bun Beng.
Apakah engkau pernah mendengar namaku itu?”
“Mendengar....? Apakah engkau murid Pendekar
Super Sakti dari Pulau Es?” Ceng Ceng pernah mendengar kakeknya dulu bilang
bahwa ayahnya yang bernama Gak Bun Beng bukan orang sembarangan, melainkan
seorang pendekar sakti, murid majikan Pulau Es yang berjuluk Pendekar Super
Sakti!
Pertanyaan ini mengejutkan Bun Beng dan Kian
Lee. “Benar sekali, Nona. Dari mana Nona mengetahui namaku?”
Wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu
menjadi pucat, matanya terbelalak memandang wajah Bun Beng dan jantungnya
berdebar tidak karuan seolah-olah dia melihat setan di tengah hari. “Harap....
harap kau jangan membohongi aku....” katanya gagap. “Gak Bun Beng murid
Pendekar Super Sakti itu telah mati....! Dia adalah ayah kandungku, sudah mati,
jangan kau berani-berani memalsukan namanya!”
“Ohhh....!”
“Ahhhh....!”
Bun Beng dan Kian Lee terkejut dan saling
berpandangan.
“Aihh, Nona Lu, sadarlah.... ingatlah.... ah,
harap kau istirahat dulu....” Dengan hati penuh iba karena mengira bahwa nona
ini menjadi bingung dan berubah ingatan karena menderita keracunan, Kian Lee
sudah bangkit dari bangkunya, menghampiri Ceng Ceng dan dengan sikap lemah
lembut berusaha membujuk gadis itu untuk berbaring kembali.
“Sute, biarkan dia. Ada apa-apa di balik semua
ini.” Bun Beng berkata dan sutenya duduk kembali, memandang dengan penuh
kecemasan. Bun Beng melihat bahwa Ceng Ceng tidak bicara seperti seorang yang
hilang atau berubah ingatan, melainkan dengan sungguh-sungguh.
“Nona Lu Ceng,” katanya tenang sambil
memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Engkau adalah adik angkat
Puteri Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi, bukan?”
Ceng Ceng mengangguk, matanya masih memandang
Gak Bun Beng dengan penasaran karena mengira bahwa orang ini berani sekali
memalsukan nama ayahnya yang sudah meninggal dunia.
“Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang
dirimu.”
“Kak Syanti....? Engkau mengenalnya? Di mana
dia?”
“Tentu saja aku mengenalnya. Aku
menyelamatkannya dari air sungai....”
“Ah, sukurlah....”
“Dan dia sekarang pun telah diselamatkan dari
tangan pemberontak. Nona Lu, sepanjang pendengaranku dari cerita Syanti Dewi,
engkau sejak kecil tinggal di Bhutan. Benarkah demikian?”
Ceng Ceng mengangguk lagi. Terlalu banyak hal-hal
aneh terdengar olehnya sehingga sukar baginya untuk membuka suara.
“Jika sejak kecil engkau berada di Bhutan,
bagaimana engkau dapat mengenal nama Gak Bun Beng yang kaukatakan sebagai ayah
kandungmu?”
“Memang dia ayah kandungku! Kong-kong yang bercerita
kepadaku,” katanya kemudian.
“Pernahkah engkau bertemu dengan ayah
kandungmu itu?”
Ceng Ceng menggeleng kepala.
“Siapakah nama kakekmu?”
“Kakek adalah Lu Kiong....”
“Yang menurut cerita Syanti Dewi tewas ketika
melindungi engkau dan Syanti Dewi?” Bun Beng menyambung.
“Benar.”
“Dan nama ibumu?”
“Ibuku bernama Lu Kim Bwee....” Ceng Ceng kini
terkejut memandang Bun Beng yang meloncat berdiri dari bangkunya.
“Lu Kim Bwee....? Di mana dia sekarang?”
tanyanya penuh semangat.
“Ibuku? Dia.... dia sudah mati....”
Ceng Ceng berkata dan dia memejamkan matanya.
Teringat bahwa ayah bundanya sudah mati, juga kong-kongnya, dan dia sendiri
tertimpa malapetaka hebat, dia merasa betapa sengsara hidupnya!
“Ahhh....!” Bun Beng berseru kembali dan duduk
di atas bangkunya, menghela napas panjang. “Nona Lu, harap kau suka
menceritakan kepadaku, apa saja yang diceritakan oleh kong-kongmu itu
kepadamu, tentang orang bernama Gak Bun Beng itu.”
Hati Ceng Ceng merasa tegang. Sikap dua orang
itu, yang dia tahu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, menimbulkan dugaan
di hatinya bahwa memang ada sesuatu yang aneh, suatu rahasia mengenai keadaan
dirinya. Kakeknya jelas adalah seorang Han, bahkan menurut pengakuan kakeknya,
dahulu kakeknya adalah seorang pengawal Kaisar yang setia, maka kakeknya selalu
menanamkan kesetiaan dan kepahlawanan padanya. Akan tetapi mengapa kakeknya dan
ibunya meninggalkan tanah air dan berada di Bhutan yang begitu jauh? Tentu ada
rahasia di balik itu semua, dan dia merasa bahwa saat terbukanya rahasianya
itu hampir tiba. Maka dengan singkat namun jelas dia pun menuturkan keadaan
dirinya dan kakeknya.
“Kong-kong adalah seorang bekas pengawal
Kaisar yang mengundurkan diri dan tinggal bersamaku di Bhutan,” dia bercerita sambil
menatap wajah Bun Beng dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang mata Kian
Lee seperti melekat dan bergantung kepada bibirnya, mata yang sinarnya penuh
kemesraan dan kasih sayang! “Kong-kong bernama Lu Kiong dan ibu sudah tidak
ada. Menurut penuturan Kong-kong, ayah kandungku bernama Gak Bun Beng dan
ibuku yang bernama Lu Kim Bwee telah meninggal dunia karena merana dan berduka
ditinggal pergi oleh ayah kandungku itu.”
“Ahh.... sungguh kasihan engkau, Kim Bwee....”
Bun Beng mengeluh.
Jantunq Ceng Ceng makin berdebar tegang. Orang
ini jelas mengenal ibuku, pikirnya! Akan tetapi dia melanjutkan. “Mendengar
penuturan Kong-kong, aku lalu menyatakan hendak mencari dan menegur Ayah atas
perbuatannya terhadap Ibu, akan tetapi.... Kong-kong bilang bahwa ayahku yang
bernama Gak Bun Beng, murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu telah mati.
Nah, begitulah cerita Kong-kong kepadaku.”
“Tidak, Nona Lu Ceng. Orang yang bernama Gak
Bun Beng itu belum mati. Kakekmu dan ibumu salah sangka.... akulah orang yang
mereka maksudkan itu....”
Ceng Ceng mengeluarkan jerit tertahan dan
mukanya pucat, matanya terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng. “Kalau....
kalau begitu.... engkau.... Ayaaahh....!” Ceng Ceng sudah menubruk ke depan,
merangkul pinggang pendekar itu dan menangis tersedu-sedu.
Bun Beng membiarkan gadis itu menangis di
dadanya, kemudian baru dia berkata dengan halus, “Nona, tenanglah Nona, dan
duduklah baik-baik untuk mendengarkan penuturanku....”
“Suheng! Jadi dia.... dia ini.... puterimu....?”
Kian Lee juga bertanya.
“Tenang, Sute. Dan engkau pun boleh
mendengarkan penuturan ini karena.... ahhh, Tuhan saja yang Maha Tahu dan
mengatur segala sesuatu di dunia ini sehingga terjadi hal seperti yang kuhadapi
ini, karena engkau pun.... agaknya ada kepentingan dalam hal ini. Semoga Tuhan
memberi kekuatan kepada kita bertiga. Duduklah, Nona Ceng....”
Ceng Ceng melepaskan pelukannya, melangkah
mundur dan duduk kembali ke atas pembaringan, wajahnya pucat dan matanya
memandang penuh kekagetan dan keraguan kepada Bun Beng. “Engkau.... engkau ayah
kandungku, mengapa....” Dia tidak melanjutkan ketika melihat sinar mata penuh
iba terpancar dari mata pendekar itu, dan keheranannya bertambah. Tadi
mendengar ayah kandungnya masih menyebutnya nona, dia sudah terkejut dan
terheran sekali.
“Sayang sekali, Nona Ceng, sungguh sayang
sekali bahwa terpaksa aku mengaku bahwa aku bukan ayah kandungmu. Ah, aku akan
bersukur kepada Tuhan andaikata benar aku adalah ayah kandungmu. Aku akan
merasa bahagia dan bangga mempunyai seorang anak seperti engkau....”
Makin terbelalak mata Ceng Ceng dan jelas
bahwa kata-kata dari Bun Beng itu merupakan tikaman hebat yang membuyarkan
semua harapan dan kebahagiaannya tadi. Mukanya seperti muka mayat hidup yang
berwarna kehijauan.
“Ah, Nona.... tabahkanlah hatimu....”
Kian Lee berkata dan tanpa terasa lagi, tidak malu-malu lagi kepada suhengnya
karena dia seolah-olah tidak sadar apa vang dilakukannya, dia memegang tangan
Ceng Ceng. Gadis itu terisak, memejamkan matanya, membiarkan air matanya
bertitikan jatuh ke atas kedua pipinya dan dia menggenggam erat-erat tangan
pemuda itu, seolah-olah dia minta bantuan dan kekuatan dari Kian Lee.
Bun Beng melihat ini semua dan hatinya
tertusuk. “Kalian berdua tenanglah dan beri kesempatan kepadaku untuk
bercerita dengan tenang.”
Ceng Ceng sadar kembali, menarik tangannya,
memandang kepada Kian Lee dengan mata basah dan bersinarkan terima kasih,
kemudian menghapus air matanya, menarik napas panjang. “Hidupku selalu dirundung
kemalangan dan kekecewaan demi kekecewaan menimpa diriku. Mengapa perjumpaan
kembali dengan ayah kandung pun direnggut dari harapanku! Gak Bun Beng, kalau
benar engkau bukan ayah kandungku, setelah tadi kau menghidupkan kembali ayah
kandungku yang telah mati.... kaujelaskanlah ini semua. Demi Tuhan, kauberi
penjelasan akan semua ini!” Suaranya setengah menjerit.
Bun Beng menarik napas panjang. “Aku makin
kagum padamu, Nona. Engkau menghadapi pukulan batin yang hebat itu dengan
tabah. Kian Lee-sute, kuharap engkau pun dapat mencontoh kegagahan dan
ketabahan hati Nona ini.”
Kian Lee memandang kepada suhengnya dengan
heran, akan tetapi dia mengangguk. Dua orang muda kini menanti dengan penuh
perhatian dan suasana menjadi sunyi dan hening sekali sebelum Bun Beng mulai
bercerita.
“Dahulu di waktu aku masih muda, belasan
tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda sesat yang
melakukan banyak sekali perbuatan jahat, di antaranya memperkosa wanita, akan
tetapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali....”
“Pemuda macam itu harus dibunuh!” Ceng Ceng
berseru, marah karena dia teringat akan pemuda yang memperkosa dirinya.
Bun Beng tersenyum. Dara ini mengingatkan dia
akan watak Giam Kwi Hong, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti (baca
ceritaSepasang Pedang Iblis). Lalu dia melanjutkan. “Pemuda sesat itu
bermusuhan dengan aku, maka dia selalu menggunakan namaku dalam melakukan
perbuatannya yang sesat itu. Pada suatu hari, aku mengejar pemuda itu dan tiba
di tepi telaga, di mana terdapat sebuah pondok tempat peristirahatan seorang
gagah bernama Lu Kiong....”
“Kakekku....”
“Dan seorang gadis cantik bernama Lu Kim
Bwee....”
“Ibuku....”
“Ya, akan tetapi Lu Kim Bwee itu sesungguhnya
bukan anak kakek itu, melainkan cucunya!”
“Ahhh....!” Ceng Ceng terheran-heran dan dia
mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Lu Kiong adalah seorang bun-bu-cwan-jai (ahli
surat dan ahli silat), bekas pengawal yang setia. Ketika mendengar bahwa pemuda
sesat yang kucari-cari berada di sekitar telaga, Kakek Lu Kiong lalu membantuku
untuk mencari dan mengejar pemuda itu. Akan tetapi ketika malam itu dia dan
aku pergi berpencar melalui kanan dan kiri telaga, mengelilingi telaga mencari
pemuda sesat itu, ternyata orang jahat itu diam-diam memasuki pondok dan
memperkosa Lu Kim Bwee.”
“Ahhh....!” Ceng Ceng meloncat ke atas dan
mengepal tinjunya, penuh kemarahan. “Katakan, siapa penjahat laknat itu?”
“Dia sekarang sudah tidak ada lagi, Nona.” Bun
Beng berkata.
Ceng Ceng menjadi lemas kembali, duduk dan dua
titik air matanya meloncat keluar, teringat betapa sama nasib ibunya dan dia!
“Celakanya, penjahat itu melakukan perbuatan
biadab itu di dalam kegelapan dan dia memang sengaja melakukan hal itu dengan
memakai namaku, sehingga Kakek Lu dan Kim Bwee menuduhku! Kakek Lu menuntut
agar aku mengawini Kim Bwee. Karena aku tidak merasa melakukan perbuatan biadab
itu, aku menolak dan mereka lalu memusuhi aku. Bahkan kemudian, bekerja sama
dengan wanita-wanita lain yang telah dibuat sakit hati oleh penjahat itu yang
mengaku namaku, Lu Kim Bwee dan beberapa orang lain itu mengeroyok aku dan aku
terjatuh ke dalam jurang. Mereka tentu mengira bahwa aku telah mati, Padahal
sebenarnya tidaklah demikian kanyataannya. Aku masih hidup dan semenjak itu aku
tidak lagi bertemu dengan Lu Kim Bwee. Demikianlah, Nona. Agaknya ibumu itu,
Lu Kim Bwee, bersama kakeknya, Lu Kiong, lalu pindah ke Bhutan, mungkin untuk
menghindarkan aib karena agaknya ibumu telah mengandung sebagai akibat
perbuatan pemuda sesat itu. Engkau terlahir dan tentu saja kakekmu masih
menganggap bahwa Gak Bun Beng yang memperkosa ibumu, maka dengan sendirinya
kakekmu menceritakan bahwa ayah kandungmu adalah Gak Bun Beng. Padahal tidaklah
demikian kenyataannya.”
“Penjahat terkutuk!” Kian Lee memaki marah.
“Siapakah manusia jahat itu, Suheng?”
“Jangan kau memaki dia, Sute. Dia sudah
meninggal dunia dan tentu dia pun menyesalkan semua perbuatannya. Dia itu bukan
orang lain....”
“Siapa dia?” Ceng Ceng mendesak ketika
melihat Bun Beng meragu. “Siapa penjahat yang memperkosa ibuku dan menjadi ayah
kandungku itu?”
“Namanya adalah Wan Keng In....”
“Ya Tuhan....!” Kian Lee menjerit, mukanya
pucat.
“Eh, mengapa engkau....?” Ceng Ceng terkejut
melihat Kian Lee yang kini menundukkan muka yang disembunyikan di balik kedua
tangannya.
Melihat keadaan Kian Lee, Bun Beng menghela
napas panjang. Betapa kejam nasib mempermainkan mereka bertiga! Dia dapat
merasakan kehancuran hati Ceng Ceng tadi, dan kini kehancuran hati Kian Lee,
yang melihat kenyataan bahwa dara yang dicintanya itu ternyata adalah
keponakannya sendiri, karena Wan Keng In adalah putera ibunya dari lain ayah.
Bun Beng bangkit berdiri meninggalkan kamar itu menuju ke kamarnya sendiri,
membiarkan dua orang muda itu menghadapi kenyataan itu berdua saja.
“Saudara Kian Lee, kau kenapakah....?” Kini
Ceng Ceng memegang dengan Kian Lee dan mengguncangnya.
Kian Lee menahan napas, mengerahkan kekuatan
batinnya untuk mengatasi pukulan hebat itu, kemudian menurunkan tangan. Ceng
Ceng terkejut melihat wajah yang kini menjadi pucat, mata yang sayu dan agak
cekung itu karena memang Kian Lee menjadi agak kurus dan lemas.
“Ceng-ji, (Anak Ceng), engkau she Wan, dan
jangan menyebut aku saudara karena aku adalah pamanmu!”
“Ehhh....?”
“Ketahuilah bahwa Wan Keng In itu adalah
putera ibu kandungku, dari lain ayah. Ibuku sebelum menjadi isteri ayahku,
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, menjadi isteri orang lain she Wan dan
mempunyai anak Wan Keng In itu. Kau.... kaumaafkan aku.... Wan Ceng.... bahwa aku....
sebagai pamanmu, telah.... pernah.... jatuh cinta padamu. Nah, sudah kuakui
sekarang, agak lega hatiku. Namun.... tentu saja hal itu tak mungkin lagi....
aku adalah siok-hu-mu (pamanmu) dan engkau keponakanku....”
“Paman....!” Ceng Ceng menubruk dan mereka
berpelukan. Ceng Ceng merasa suka dan berhutang budi kepada pemuda yang halus
ini dan biarpun tahu betapa akan mudah bagi dia untuk jatuh cinta kepada
seorang pemuda seperti ini, di samping pemuda seperti Pangeran Yung Hwa. Akan
tetapi jangankan terdapat kenyataan bahwa pemuda ini adalah pamannya sendiri,
andaikata tidak demikian pun, mana mungkin dia berani membalas cinta seorang
seperti Suma Kian Lee ini? Apalagi setelah diketahuinya bahwa pemuda itu
adalah putera dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es! Dia sudah tidak
berharga lagi!
“Paman, maafkanlah saya....!” Hatinya seperti
diremas mengingat betapa dia tanpa disengaja telah menghancurkan hati pamannya
yang baik ini, mematahkan cinta kasih yang bersemi di hati pemuda ini.
“Sudahlah, Ceng Ceng, sudahlah. Tuhan
menghendaki demikian dan memang sebaiknya begini daripada menghadapi kenyataan
bahwa cintaku hanya sepihak. Bagiku sama saja, Ceng Ceng, engkau tetap seorang
keluarga dekat dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengusahakan
pengobatan bagimu. Engkau masih dalam cengkeraman bahaya maut....” Tiba-tiba
Kian Lee berhenti dan kaget karena tanpa disengaja dia telah membuka rahasia
itu.
“Jangan ragu-ragu, Siok-siok (Paman).
Dalam keadaan setengah sadar aku pun samar-samar mendengar dari kakek tukang
obat ini bahwa aku hanya dapat bertahan hidup sampai sebulan saja, bukan?”
Kian Lee mengangguk. “Akan tetapi, dia sedang
berusaha untuk mencarikan obat bagimu, Ceng Ceng. Dan aku akan pergi mencari
Ayah, karena menurut Yok-kwi, yang dapat mengobatimu hanyalah Ayah, atau
Ban-tok Mo-li....”
“Ban-tok Mo-li sudah mati.”
“Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Karena aku muridnya.”
“Ahhh!” Kian Lee terkejut dan sekarang
mengertilah dia mengapa gadis ini berubah menjadi dingin dan aneh. Kiranya
telah menjadi murid nenek iblis itu. “Kata Yok-kwi, tubuhmu mengandung racun
sehingga dia tidak mampu menyembuhkanmu. Kalau engkau murid Ban-tok Mo-li,
tentu kau dapat mengobati sendiri.”
“Tidak bisa, Siok-siok. Ilmuku belum
sedemikian tingginya dan pukulan Hek-tiauw Lo-mo amat hebat. Akan tetapi,
biarlah.... aku tidak takut menghadapi kematian.... dan pula, hidup lebih lama
lagi untuk apakah?”
“Ceng Ceng....!”
“Benar, Paman. Hidupku penuh dengan
kesengsaraan dan mahapetaka selalu datang menimpa diriku....”
“Ceng Ceng, jangan putus harapan,” Kian Lee
berkata, hatinya sendiri seperti ditusuk pisau dan dia maklum bahwa tidak akan
mudah baginya untuk menyembuhkan “lukanya” sendiri ini.
Tiba-tiba seorang perajurit penjaga muncul dan
berkata bahwa di luar ada seorang tamu yang mengaku bernama Topeng Setan dan
hendak bertemu dengan Nona Lu Ceng.
“Topeng Setan?” Kian Lee berseru kaget.
Akan tetapi Ceng Ceng tersenyum. “Dia
pembantuku, Paman.”
Dari luar terdengar suaira memanggil, “Lu-bengcu....!”
“Eh, siapakah yang berteriak itu?”
“Itulah Topeng Setan, pembantuku. Siok-siok,
ketahuilah bahwa keponakanmu yang sesat ini telah menjadi seorang beng-cu kaum
sesat di dekat kota raja dan Topeng Setan adalah pembantuku.”
Ceng Ceng lalu keluar dari kamar itu diikuti
oleh Kian Lee yang masih bengong saking herannya. Bun Beng juga keluar dari
kamarnya dan mereka bertiga lalu keluar dari gedung itu.
Topeng Setan telah berdiri di depan gedung,
dan dia menjura ketika melihat Ceng Ceng. “Harap Beng-cu maafkan saya yang
terlambat menghadap karena saya tidak tahu bahwa Beng-cu berada di sini.”
“Tidak apa. Aku telah bertemu dengan
musuh-musuh berat, terkena pukulan-pukulan dari Tambolon dan kemudian terpukul
oleh Hek-tiauw Lo-mo sehingga keracunan hebat. Topeng Setan, aku telah
ditolong oleh mereka ini. Kau harus memberi hormat, pemuda ini adalah siok-hu
Suma Kian Lee dan ini adalah....” Dia meragu ketika memandang kepada Gak Bun
Beng karena tidak tahu harus menyebut apa kepada orang yang tadinya dianggap
sebagai ayahnya itu.
“Menurut hubungan keluarga, sebut saja aku
supek-hu (uwak seperguruan).” Bun Beng membantunya sambil tersenyum.
“Dia ini supek-hu Gak Bun Beng,” Ceng Ceng
melanjutkan.
Topeng Setan menjura kepada Kian Lee dan Bun
Beng. “Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Dua Pendekar Besar) yang telah
menyelamatkan Beng-cu kami.” Kemudian Topeng Setan berkata lagi kepada Ceng
Ceng, “Karena Beng-cu menderita luka parah, marilah kita pergi mencari
obatnya.”
Ceng Ceng mengangguk. “Supek, dan Siok-hu, aku
akan pergi bersama Topeng Setan....”
“Eh, Ceng Ceng, engkau masih sakit. Kita
sedang menanti kembalinya Yok-kwi yang mencarikan obat untukmu,” Gak Bun Beng
berkata.
“Ceng Ceng, kau harap menanti di sini. Aku
akan mengusahakan sekuat tenagaku untuk mencarikan obat bagimu. Aku akan ke
Pulau Es....” kata Kian Lee.
“Tidak perlu, Supek dan Siok-siok, terima
kasih atas kebaikan kalian. Akan tetapi, kurasa lebih baik kalau aku pergi saja
dan tidak merepotkan kalian lagi.... aku.... aku.... ah, aku lebih senang
merantau....!” Ceng Ceng mengangguk kemudian pergi dari situ tanpa menoleh
lagi. Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Bun Beng dan Kian Lee.
“Harap Ji-wi tidak khawatir, saya akan
mengusahakan sampai Beng-cu kami sembuh kembali,” katanya perlahan, kemudian
dia pergi menyusul Ceng Ceng.
Kian Lee hendak mencegah, akan tetapi Bun Beng
memegang tangannya. “Sebaiknya begitu, Sute. Dan kulihat Topeng Setan itu bukan
orang sembarangan. Mungkin saja dia dapat mengusahakan kesembuhannya.”
Mereka berpandangan dan Kian Lee menunduk,
tidak menjawab, hanya mengangguk. Hatinya terasa kosong, seolah-olah
semangatnya ikut pergi terbawa oleh Ceng Ceng, gadis yang menjadi cinta
pertamanya akan tetapi yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu.
“Kita harus menyusul ke Teng-bun, melihat
keadaan di sana dan menemui Syanti Dewi dan Kian Bu sute. Kabarnya Syanti Dewi
telah diselamatkan di sana.” Bun Beng berkata lagi dan Kian Lee hanya
mengangguk sunyi.
***
“Gak-taihiap, apakah engkau tidak bertemu
dengan puteraku?” tanya Jenderal Kao Liang kepada Gak Bun Beng ketika Bun Beng
dan Kian Lee tiba di Teng-bun disambut oleh jenderal itu sendiri.
“Puteramu, Goanswe?” Bun Beng bertanya heran
karena baru sekali dia melihat putera jenderal itu, dan yang terjadi di dalam
medan pertempuran maka dia lupa lagi.
“Saudara Kok Cu telah berhasil dengan
pasukannya menyerbu Koan-bun dan membasmi pemberontak, Kao-goanswe. Akan tetapi
dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo dan mengejar Ketua Pulau Neraka itu.” Kian
Lee menjelaskan karena dia sudah mendengar dari Bun Beng tentang putera
jenderal Itu yang mengejar Hek-tiauw Lo-mo.
“Ah, anak itu terlalu berbakti kepada suhunya,
melaksanakan perintah suhunya sampai lupa kepada orang tua dan belum juga dapat
berkumpul dengan kami.” Jenderal itu menghela napas. “Dan.... apakah Ji-wi
bertemu dengan Nona Lu Ceng?”
Kian Lee merasa jantungnya tertusuk, dia
menunduk dan tidak berkata apa-apa. Bun Beng yang kini menjawab, “Nona itu
hebat sekali, Kao-goanswe! Akan tetapi dia telah pergi bersama Topeng Setan,
pembantunya, padahal dia menderita luka hebat.”
Jenderal yang hatinya penuh kegembiraan
karena pemberontakan telah terbasmi dan yang selalu bersikap polos dan terbuka
itu menghela napas dan berkata kepada Gak Bun Beng, “Gak-taihiap, lihat betapa
seorang tua seperti aku selalu menjadi kecewa karena ulah orang-orang muda!
Ataukah kekecewaanku ini terjadi karena keinginanku sendiri yang bukan-bukan
sehingga tidak tercapai? Aihhh, sampai bermimpi-mimpi olehku betapa akan
bahagianya kalau benar Nona Lu Ceng masih hidup dan kelak menjadi mantuku,
menjadi jodoh Kok Cu....!”
Mendengar pernyataan yang terang-terangan ini,
Bun Beng dan Kian Lee saling pandang. Akan tetapi karena Kian Lee melihat
bahwa suhengnya tidak berkata apa-apa mengenai hubungan keluarga antara dia
dan Ceng Ceng, dia pun tidak mau mengatakannya, pula karena ada rahasia yang
kurang baik tentang ayah kandung gadis itu. Betapapun juga dia tidak dapat
berdiam diri saja ketika teringat akan peristiwa aneh di Koan-bun antara Ceng
Ceng dan Kok Cu, maka dia berkata, “Kao-goanswe, ketika puteramu datang
memimpin pasukan menyerbu Koan-bun, dia telah bertemu pula dengan nona itu,
akan tetapi, entah mengapa.... Nona Lu Ceng telah menjadi marah-marah dan
memukul Saudara Kok Cu sampai dua kali.”
“Eihhh....?” Kenapa?” Jenderal itu berseru
kaget sekali.
“Entahlah, kami juga tidak tahu mengapa.
Mungkin saja di dalam perantauan mereka sudah pernah saling bertemu,” kata Kian
Lee.
“Pada saat itu Nona Lu Ceng baru saja
mengalami pukulan tangan beracun yang hebat. Bisa saja terjadi bahwa dia kurang
sadar lalu menganggap puteramu musuh dan memukulnya, Kao-goanswe.” Bun Beng
cepat berkata dan jenderal itu mengangguk-angguk. Hanya Kian Lee yang tahu bahwa
suhengnya itu sebetulnya juga merasa heran, dan ucapannya itu hanya untuk
menghibur belaka karena mereka berdua mendengar betapa Ceng Ceng memaki dan
menyebut nama Kok Cu sebelum memukul, yang hanya berarti bahwa Ceng Ceng
memukul dalam keadaan sadar dan telah mengenal pemuda putera jenderal yang
juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu.
“Kao-goanswe, di mana adanya Enci Milana,
kakakku? Dan di mana pula adikku Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi? Kami
mendengar bahwa mereka berada di sini.” Kini Kian Lee bertanya, merasa heran
mengapa hanya jenderal itu seorang yang menyambut dia dan suhengnya. Bun Beng
juga memandang kepada Jenderal itu dengan pandang mata penuh pertanyaan, karena
sesungguhnya sejak tadi dia pun ingin sekali tahu di mana adanya Puteri Syanti
Dewi dan Puteri Milana, dua orang yang selalu berada dekat sekali di lubuk
hatinya.
“Mereka telah berangkat ke kota raja.
Puteri Milana khawatir kalau terjadi sesuatu dengan keluarga Kaisar di istana
karena perbuatan Pangeran Liong Bin Ong, dan beliau ingin cepat-cepat
melaporkan kepada Kaisar tentang tertumpasnya pemberontakan dan juga agar
cepat dapat menangkap Pangeran Liong Bin Ong yang sebetulnya merupakan tokoh
pertama dalam pemberontakan itu. Maka beliau segera berangkat ke kota raja, sekalian
mengajak Puteri Syanti Dewi menghadap Kaisar, diikuti oleh Suma Kian Bu
taihiap. Selain itu, beliau juga membawa seorang tawanan yang amat penting,
yaitu Ang Tek Hoat bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong.”
“Ahhh, pemberontak lihai itu!” Kian Lee
berseru.
Gak Bun Beng juga teringat akan tokoh muda
pemberontak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan yang memiliki tenaga
sin-kang seperti tenaga Inti Bumi sehingga pernah mengejutkan hatinya.
“Benar,” kata Jenderal Kao Liang. “Dan dia
pulalah yang berjuluk Si Jari Maut, yang telah banyak melakukan kejahatan
dengan menggunakan namamu, Gak-taihiap.”
“Ahhh....!” Gak Bun Beng berseru heran.
“Heran sekali, mengapa orang sejahat itu tidak
dibunuh saja dan malah dibawa ke kota raja oleh Enci Milana?” Kian Lee
bertanya.
Jenderal Kao Liang menghela napas. “Kalau aku
tidak salah menduga, hal itu adalah karena cinta! Cinta memang amat kuasa
menimbulkan segala macam peristiwa hebat-hebat dan aneh-aneh di dalam dunia
ini di antara manusia.”
“Heemmm, apa maksud kata-katamu itu, Goanswe?”
Bun Beng bertanya.
“Puteri Milana, aku sendiri, dan Suma-taihiap
tadinya juga berpendapat demikian dan akan membunuh saja Ang Tek Hoat itu.
Akan tetapi anak angkatku itu, Puteri Syanti Dewi, adalah seorang wanita yang
halus budi dan mulia. Dialah yang melarang kami membunuh Tek Hoat.”
“Ahhh....!” Gak Bun Beng terkejut dan alisnya
berkerut, “Mengapa?”
“Kiranya Tek Hoat yang terluka berat dan parah
itu telah menyelamatkan Syanti Dewi dari bahaya maut dan pemuda yang
sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi itu ternyata telah
membunuh Pangeran Liong Khi Ong, sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, dan Hek-wan
Kui-bo yang lihai dalam perlawanannya membela Syanti Dewi. Mengingat akan
jasa-jasanya semua itu, bukan hanya menyelamatkan nyawa Syanti Dewi akan tetapi
juga membunuh pentolan-pentolan pemberontak itu, maka Puteri Milana lalu
memutuskan untuk menawan pemuda itu dan membawanya ke kota raja sebagai tawanan
dalam keadaan masih terluka hebat karena pukulan-pukulan maut dari Siang
Lo-mo. Apalagi menurut Puteri Milana, beliau merasa terheran-heran melihat
betapa pemuda itu pandai mainkan ilmu silat rahasia dan simpanan dari Puteri
Nirahai sehingga menduga bahwa tentu ada hubungan sesuatu antara pemuda itu
dengan Thian-liong-pang, bekas perkumpulan yang dipimpin Puteri Nirahai.”
Gak Bun Beng mengangguk-angguk. Kini dia dapat
mengerti mengapa Milana menawan pemuda itu dan dia dapat menduga pula bahwa
yang dimaksudkan oleh jenderal itu tentang cinta tadi adalah perubahan yang
terjadi pada diri pemuda pemberontak itu yang karena cinta sampai membalik dan
melawan, bahkan membunuh Pangeran Liong Khi Ong sendiri bersama tiga orang
pengawalnya yang lihai-lihai itu. Dan tidak anehlah baginya kalau Syanti Dewi
mencegah pemuda itu dibunuh. Dia sudah cukup mengenal kepribadian Syanti Dewi
yang penuh dengan kelembutan dan belas kasihan, juga penuh dengan perasaan
ingat budi.
“Kalau begitu, aku akan segera menyusul ke
kota raja, Suheng!” Kian Lee berkata. “Harap Gak-suheng suka menemani aku ke
sana.”
“Hemm.... aku tidak mempunyai kepentingan di
kota raja, Sute.” Bun Beng menjawab karena di dalam hatinya, dia sungkan,
bahkan takut untuk bertemu dengan Milana dan Syanti Dewi, maklum akan
kelemahan hati sendiri.
Jenderal Kao Liang memandang tajam dan
berkata, suaranya biasa saja akan tetapi pandang matanya bicara banyak.
“Gak-taihiap, sebelum berangkat Puteri Milana meninggalkan pesan kepada saya
untuk menyampaikan kepada Taihiap bahwa beliau ingin membicarakan suatu hal
penting dengan Taihiap setelah urusan negara selesai. Hanya itulah pesan
beliau.”
“Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat
berdua, Suheng. Apakah Suheng tidak ingin bertanya kepada Ang Tek Hoat yang
ditawan itu mengapa dia menggunakan nama Suheng untuk melakukan kejahatan?
Pula, apakah Suheng tidak ingin mengurus tentang Adik Syanti Dewi?”
Bun Beng tidak dapat mengelak lagi. Terpaksa
dia memenuhi permintaan Kian Lee dan setelah bermalam di Teng-bun pada keesokan
harinya mereka berangkat meninggalkan Teng-bun, naik kuda pilihan yang
disediakan oleh Jenderal Kao Liang untuk mereka.
***
Ang Tek Hoat rebah terlentang di atas
pembaringan, mukanya pucat sekali dan napasnya empas-empis. Semenjak dia dibawa
dari Teng-bun sampai ke kota raja, dia terus pingsan, tak sadarkan diri dan
keadaannya makin memburuk. Ramuan obat yang diminumkan kepadanya oleh
tabib-tabib tentara tidak menolong sama sekali. Akhirnya Puteri Milana yang
mendengar akan keadaan tawanan ini, menyuruh pengawal membawa pemuda yang
menderita luka-luka pukulan beracun itu ke istananya.
Puteri Milana bersama suaminya, Han Wi Kong,
yang ketika bala tentara menyerbu ke utara juga ikut memimpin pasukan
penyerbu ke Teng-bun, diikuti pula oleh Suma Kian Bu dan Puteri Syanti Dewi
telah menghadap Kaisar. Kaisar menerima mereka dengan girang sekali, terutamaa
mendengar laporan bahwa pemberontak di utara telah dibasmi dan bahwa dara
jelita itu adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dapat diselamatkan.
Ketika mendengar laporan Puteri Milana tentang Pangeran Liong Khi Ong yang
tewas sebagai pimpinan pemberontak, Kaisar hanya menggeleng kepala dan menarik
napas panjang. Akan tetapi ketika Puteri Milana melapor bahwa Pangeran Liong
Bin Ong berada di balik pemberontakan itu, Kaisar mengerutkan keningnya dan
berkata, “Liong Bin Ong tidak pernah meninggalkan Istananya di kota raja. Untuk
menentukan salah tidaknya, harus dilakukan pemeriksaan dan penelitian lebih
dulu, jangan sampai aib menimpa kerajaan.” Kemudian Kaisar menahan Syanti Dewi
sebagai tamu Istana untuk menghormat Raja Bhutan dan untuk memperlihatkan
iktikad baik kerajaan terhadap Kerajaan Bhutan, dan minta kepada Puteri Milana
untuk menanti keputusannya tentang Pangeran Liong Bin Ong, dan juga tentang
diri Puteri Syanti Dewi yang kini gagal menjadi mantu Kaisar karena matinya
Liong Khi Ong itu.
Berat hati Milana terutama hati Kian Bu,
meninggalkan Syanti Dewi di Istana Kaisar. Akan tetapi tentu saja mereka tidak
berani membantah, apalagi karena Puteri Bhutan itu diberi kebebasan untuk
saling berkunjung dengan Puteri Milana setiap saat pun.
Demikianlah, ketika Ang Tek Hoat sudahdiangkut
k e istana Puteri Milana, puteri ini dan Kian Bu memeriksa keadaannya. “Enci,
kiranya hanya ada satu jalan untuk mencoba menolongnya. Dia terpukul oleh
pukulan beracun yang hebat. Bagaimana kalau kita berdua membantunya?”
Milana mengangguk. “Memang itulah yang ingin
kulakukan. Dia telah berjasa besar dan untuk jasanya itu sudah cukup menjadi
alasan bagi kita untuk menolongnya.”
Han Wi Kong yang juga berada di situ berkata,
“Memang tepat sekali pendapat itu. Belum tentu orang yang sekali berbuat dosa,
lalu selama hidupnya menjadi orang berdosa. Apalagi dia masih amat muda.”
Bekas panglima yang gagah ini selalu bermuram
durja semenjak dia kembali dari penyerbuan di utara. Biarpun dia tidak
menyaksikan serdiri, namun dia mendengar akan pertemuan antara isterinya,
Puteri Milana dengan Gak Bun Beng, dan dia merasa berduka sekali karena dia
merasa bahwa dialah yang menjadi penghalang bagi kebahagiaan isterinya.
Memang cinta kasih mengambil jalan yang
aneh-aneh. Han Wi Kong dahulu adalah seorang panglima muda yang gagah perkasa,
yang terpaksa dipilih oleh Puteri Milana karena desakan Kaisar agar cucu ini
menikah. Han Wi Kong dipilih di antara banyak calon karena selain gagah
perkasa, juga sifat lemah-lembut dan penuh pengertian dari panglima ini
menimbulkan kepercayaan di dalam hati Milana. Memang tadinya Han Wi Kong pun
hanya tertarik sekali dan laki-laki manakah yang tidak akan tergila-gila kepada
seorang puteri seperti Milana? Akan tetapi, setelah menikah Han Wi Kong
betul-betul jatuh cinta kepada isterinya, cinta yang murni dan hanya satu
keinginan di hatinya, yaitu melihat Milana hidup bahagia. Oleh karena itu, dia
mau menerima kenyataan bahwa Milana tidak cinta kepadanya, bahkan kenyataan
pahit bahwa Milana mau menikah dengan dia hanya karena hendak memenuhi perintah
Kaisar. Karena cintanya yang murni, yang jauh lebih kuat daripada nafsu
berahi, Han Wi Kong menekan penderitaan batinnya, dia rela menderita batin dan
tidak pernah menuntut haknya sebagai seorang suami! Justeru sikap Han Wi Kong
inilah yang membuat Milana terharu dan selalu berusaha agar di depan umum
mereka merupakan suami isteri yang rukun. Dia berusaha menyenangkan hati
suaminya dengan cara lain, sungguhpun dia maklum bahwa semua itu tentu tidak
dapat mengobati kesengsaraan batin suaminya.
Han Wi Kong telah mendengar pengakuan Milana
tentang cinta kasih yang gagal dari isterinya itu, tentang Gak Bun Beng yang
semenjak pernikahan mereka itu tidak pernah terdengar lagi namanya, seolah-olah
pendekar itu telah lenyap ditelan bumi. Hatinya mulai merasa lega karena dia
ingin sekali melihat Milana dapat melupakan kekasihnya itu, dan kalau Gak Bun Beng
telah meninggal dunia atau lenyap, dia percaya lambat laun kedukaan hati
isterinya itu akan sembuh. Dia sama sekali bukan mengharapkan agar isterinya
akan dapat membalas cintanya, ha1 ini sudah tidak menjadi jangkauan harapannya
lagi. Dia melainkan ingin melihat isterinya bahagia. Maka, dapat dibayangkan
betapa duka rasa hatinya mendengar bahwa Gak Bun Beng muncul lagi dan sejak
pendekar ini muncul di kota raja, isterinya selalu gelisah dan merana. Bahkan
secara halus namun terus terang Milana pernah menyatakan kepadanya sejak Milana
melihat Bun Beng di kota raja, bahwa Milana akan pergi mencari Bun Beng sampai
dapat bertemu setelah urusan pemberontak dapat diselesaikan. Kemudian dia
mendengar akan pertemuan Bun Beng dengan Milana yang membuat isterinya pingsan
dan semenjak itu isterinya berwajah pucat dan sering termenung. Tentu saja dia
merasa makin berduka dan diam-diam dia menaruh hati benci kepada Bun Beng,
bukan membenci karena didasari iri atau cemburu, melainkan benci karena Bun
Beng dianggapnya sebagai orang yang telah merusak kehidupan dan kebahagiaan
Milana!
Demikianlah, dengan menahan perasaan gelisah
melihat isterinya kehilangan kegembiraan hidupnya, Han Wi Kong ikut menyaksikan
ketika Ang Tek Hoat dibawa ke Istananya oleh isterinya. Dia pun dapat menerima
pendapat isterinya tentang Ang Tek Hoat, apalagi ketika isterinya menceritakan
betapa pemuda bekas tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong ini mahir I1mu Silat
Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, padahal penggabungan ilmu
ini adalah merupakan ilmu simpanan dan rahasia dari Puteri Nirahai!
“Kalau begitu, mari kita mencoba untuk
menolongnya, Adik Bu. Kong-ko (Kanda Kong), harap kau suka menjaga di pintu,
jangan sampai ada yang mengganggu kami karena hal itu bisa berbahaya.”
“Baik,” Han Wi Kong menjawab. Dia sendiri pun
seorang yang berkepandaian, dan sungguhpun sin-kangnya tidak sekuat isterinya
atau Kian Bu sebagai anak-anak dari Pendekar Super Sakti, namun dia cukup
maklum akan bahayanya orang-orang yang lagi mengerahkan sin-kang untuk
menyembuhkan orang lain apabila diganggu oleh orang luar. Dia mengambil sebuah
bangku dan duduk di ambang pintu.
Puteri Milana dan Kian Bu lalu duduk di tepi
pembaringan, berslla dan meletakkan telapak tangan mereka di dada dan lambung
Tek Hoat, mengumpulkan hawa murni dan mulailah mereka mengerahkan sin-kang ke
dalam tubuh pemuda yang terluka parah di sebelah dalam tubuhnya itu.
Dari ambang pintu, Han Wi Kong duduk dan
memandang penuh kagum. Isterinya dan Kian Bu adalah keturunan dari Pendekar
Super Sakti dan Puteri Nirahai dan betapa bahaganya dia dapat disebut sebagai
suami puteri yang cantik jelita dan berilmu tinggi serta gagah perkasa ini.
Seorang pahlawan wanita sejati!
Wajah Tek Hoat tadinya pucat sekali. Lewat
satu jam setelah dua orang keturunan Pulau Es itu menyalurkan sin-kang mereka,
wajah Tek Hoat berubah, makin lama makin menghitam. Itulah tanda bahwa hawa
becacun yang mengeram di dalam tubuh mulai dapat didesak naik dan keluar. Lewat
tiga jam, warna hitam di muka Tek Hoat itu makin lama makin menipis, lalu
berubah menjadi putih pucat lagi.
Han Wi Kong melihat betapa isterinya dan adik
iparnya mulai berpeluh. Akan tetapi lewat lima jam, warna putih wajah Tek Hoat
mulai menjadi merah dan pernapasannya mulai teratur. Akhirnya terdengar pemuda
itu mengeluh dan membuka matanya. Mata itu melirik dan terbelalak seperti
orang terkejut dan keheranan melihat dua orang itu yang sedang mengobatinya.
Cepat dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk menolak dan kedua orang itu
melepaskan tangan mereka lalu melompat turun dari pembaringan, menghapus
keringat dari dahi dan leher. Milana memandang adiknya dengan senyum penuh
kagum, karena ternyata bahwa pernapasan Kian Bu tidak begitu memburu seperti
napasnya, hai ini menandakan bahwa dalam hal sin-kang, adiknya itu sedikit
lebih kuat daripada dia!
“Engkau sudah sembuh sekarang,” katanya
sambil memandang kepada Ang Tek Hoat. Pemuda ini cepat bangkit duduk,
memejamkan mata sejenak karena ketika bangkit itu matanya berkunang dan
kepalanya pening, tubuhnya lemas sekali karena sudah berhari-hari dia tidak
makan.
“Berbaringlah dulu, engkau masih lemah,” kata
pula Milana. Akan tetapi Tek Hoat tetap duduk di tepi pembaringan, lalu membuka
mata lagi memandang kepada Milana, Kian Bu, dan Han Wi Kong yang sudah masuk
ke kamar lagi bergantian.
“Pa.... paduka.... adalah Puteri Milana....!”
katanya agak gagap dan bingung, karena apa yang dilihat dan dialaminya tadi
seperti dalam mimpi saja. “Dan kau.... kau adalah seorang di antara dua pemuda
perkasa itu, mata-mata pemerintah!”
Milana memandang dengan senyum dan Kian Bu
memandang dengan tajam penuh selidik. Tidak seperti encinya, dia masih curiga
kepada bekas pembantu pemberontak yang dia tahu amat lihai ini.
“Kenapa....? Kenapa Ji-wi (Anda Berdua)
menolong dan mengobati saya?”
“Ang Tek Hoat, engkau telah membunuh Pangeran
Liong Khi Ong si pemberontak dan tiga orang pengawalnya yang lihai, untuk
menyelamatkan Syanti Dewi. Hal itu saja cukup membuat kami berpendapat bahwa
engkau bukanlah musuh lagi,” kata Milana.
“Enciku ini memang bermurah hati, akan
tetapi kalau engkau masih berpendirian untuk menjadi pemberontak, masih belum
terlambat untuk menghukummu!” Kian Bu menyambung.
Akan tetapi Tek Hoat tidak begitu memperhatikan
ucapan Kian Bu, dia menoleh ke kanan kiri, lalu bertanya, “Di mana dia? Sang
Puteri Bhutan....?” Dia lalu memandang kepada Kian Bu dengan penuh selidik,
karena dia teringat betapa puteri itu lari memeluk pemuda ini pada waktu itu.
“Dia telah selamat dan kini menjadi tamu agung
dari Kaisar,” kata Milana.
Hening sejenak. Kemudian Tek Hoat bangkit
berdiri dengan limbung, menjura kepada mereka bertiga dan berkata, “Saya Ang
Tek Hoat bukan orang yang tidak tahu terima kasih. Ji-wi telah menolong saya dan
saya menghaturkan terima kasih. Saya tidak ingin mengganggu dan merepotkan
lebih lama lagi dan sebaiknya kalau saya pergi....”
“Nanti dulu, engkau bisa celaka kalau pergi
dalam keadaan seperti ini, Ang Tek Hoat. Tubuhmu masih lemas dan lemah.” Pada saat
itu, seorang pengawal yang tadi diperintah oleh Han Wi Kong datang membawa baki
terisi semangkok obat penguat dan bubur. “Engkau minumlah obat ini dan makan
bubur ini, baru kita bicara.”
Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia
maklum bahwa perutnya kosong dan tubuhnya lemah sekali, mungkin dipakai
berjalan pun akan terguling, maka dia mengangguk, menerima mangkok obat dan
bubur itu lalu minum dan menghabiskannya dengan cepat. Biarpun tidak berapa
banyak, bubur itu menghangatkan perutnya dan tenaganya agak pulih kembali.
“Sekarang kita bicara, Tek Hoat,” kata Milana
setelah pengawal itu pergi. “Engkau berhadapan dengan Puteri Milana, dan ini
suamiku Han Wi Kong, dan adikku Suma Kian Bu....”
“Ah, kiranya dia ini adik paduka? Jadi....
jadi putera Pendekar Super Sakti?” Tek Hoat tahu bahwa Puteri Milana adalah
anak dari Pendekar Super Sakti seperti pernah diceritakan oleh ibunya.
“Benar, dan agaknya sedikit banyak engkau tahu
akan keluarga ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dari siapa engkau
mengenal kami?”
“Dari ibu, akan tetapi sudahlah.... saya
merasa heran sekali akan tetapi juga berterima kasih kepada paduka yang tidak
membunuh saya malah menolong saya. Agaknya benar cerita ibu bahwa keluarga
Pendekar Super Sakti terdiri dari orang-orang gagah dan budiman, sungguh tidak
seperti kami....”
Melihat pemuda itu merendah dan hendak pergi,
selalu memandang ke pintu seolah-olah tidak betah berada di situ terlalu lama,
Milana dapat memaklumi isi hatinya. Pemuda ini jelas adalah seorang yang
memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan, hatinya keras dan memiliki harga diri
yang tinggi. Namun entah bagaimana terjeblos ke dalam tangan para pemberontak
sehingga kini pemuda ini merasa betapa dia kotor dan tidak berharga, merasa
malu terhadap diri sendiri sehingga tidak betah berada di antara orang-orang
yang dianggapnya gagah dan budiman!
“Ang Tek Hoat, terus terang saja, kami
bukanlah orang-orang budiman dan terlalu gagah seperti yang kausebutkan tadi.
Kita sama saja, hanya kebetulan saja kami berada di pihak yang benar dan engkau
terjeblos ke dalam kesesatan. Ketika menolongmu, selain untuk balas jasamu
membunuh Pangeran pemberontak dan kaki tangannya serta menolong Syanti Dewi,
juga karena kami ingin mengajukan pertanyaan kepadamu yang kuharap engkau
akan suka menjawabnya.”
Ang Tek Hoat menatap wajah yang cantik jelita
itu, biarpun usianya lebih tua akan tetapi kecantikannya mengingatkan dia
kepada Syanti Dewi, sepasang mata yang bening dan tajam itu, kemudian menjawab,
“Asal saja pertanyaan paduka itu pantas untuk dijawab, dan dapat saya jawab,
tentu akan saya jawab,” katanya singkat.
Hemm, pemuda ini benar-benar keras hati dan
juga cerdik, pikir Milana. “Pertanyaanku yang pertama adalah pertanyaan yang
pernah kuajukan padamu ketika engkau melawanku di hutan itu. Dari mana engkau
mempelajari Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun dan siapa yang melatihmu?”
Tek Hoat sendiri sudah pernah mendengar dari
Sai-cu Lo-mo yang pernah menggemblengnya bahwa kakek sakti itu memperoleh
kepandaiannya dari Puteri Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang yang kini
menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Maka dia pun tidak merasa
heran bahwa Puteri Milana dapat mainkan ilmu silat itu dengan mahir sekali.
Karena dia tidak ingin disangka mencuri ilmu orang, maka dia menjawab
sejujurnya, “Saya pernah menerima pelajaran ilmu itu dari Suhu Sai-cu Lo-mo.”
“Aihh, kalau begitu engkau masih murid
keponakanku!” Milana berseru.
“Maaf, saya tidak berani, karena Suhu Sai-cu
Lo-mo pernah berpesan agar saya tidak mengakuinya sebagai guru. Hanya karena
paduka bertanya dan saya sudah tahu bahwa antara beliau dengan paduka ada
hubungan, maka saya berani berterus terang menyebutnya.”
Milana mengangguk-angguk. Heran sekali dia
mengapa Sai-cu Lo-mo sampai menurunkan ilmu rahasia itu kepada pemuda ini.
“Akan tetapi, dibandingkan dengan Sai-cu
Lo-mo, kepandaianmu jauh lebih tinggi.”
Ang Tek Hoat tidak mau menanggapi kata-kata
Puteri Milana itu, dan dia diam saja, menanti pertanyaan ke dua.
“Sekarang pertanyaanku ke dua, Tek Hoat. Di
beberapa tempat, engkau memakai julukan Si Jari Maut dan menggunakan nama Gak
Bun Beng. Mengapa begitu? Mengapa engkau begitu jahat dan curang, melakukan
kejahatan dengan menggunakan nama lain orang?”
Kini dengan suara ketus karena diingatkan
kepada musuh besarnya, dia menjawab, “Memang, semua perbuatan itu saya lakukan
untuk memburukkan nama Gak Bun Beng, karena jahanam itu telah membunuh ayah!
Sayang dia telah mampus, kalau tidak, tentu sudah kucari dan kubunuh dia, tidak
perlu lagi saya memburuk-burukkan nama orang yang sudah mati.”
“Ah keparat bermulut lancang!” Kian Bu sudah
bergerak hendak menerjang Tek Hoat, akan tetapi Milana memegang lengannya.
“Jangan terburu nafsu, Bu-te!”
Kian Bu teringat bahwa orang yang akan diserangnya
itu masih lemah, dan memang amat lucu untuk menyerang orang yang baru saja dia
tolong dan sembuhkan! Akan tetapi, mendengar kata-kata Tek Hoat tadi dia sudah
marah sekali. “Ang Tek Hoat, engkau sungguh kurang ajar, berani engkau memaki
suhengku dan mengatakan bahwa sudah mati. Kalau tidak ingat bahwa engkau belum
sehat benar kuhancurkan mulutmu!”
Tek Hoat terbelalak memandang Kian Bu, Milana,
dan Han Wi Kong. “Apa katamu? Dia.... dia.... masih hidup?” Tentu saja dia
merasa heran sekali. Bukankah ibunya telah dengan jelas bercerita kepadanya
bahwa musuh besar yang bernama Gak Bun Beng itu telah mati terbunuh ibunya?
“Engkau memang tukang membohong! Suheng Gak
Bun Beng masih segar bugar, bahkan pernah engkau bertemu dengan dia beberapa
kali, sudah pernah mengadu tenaga pula. Dia adalah Suheng yang melakukan
perjalanan bernama aku, Lee-ko, dan Adik Syanti Dewi.”
Mata Tek Hoat makin terbelalak dan mukanya
berubah. “Aihh.... dia....? Gak Bun Beng pembunuh ayahku? Masih hidup? Kalau
begitu....” Dia diam saja tenggelam ke dalam pikirannya yang bergelombang.
Memang tidak mungkin kalau ibunya dapat membunuh musuh dengan kepandaian
seperti itu! Bahkan laki-laki setengah tua gagah perkasa itu memiliki tenaga
sakti Inti Bumi yang amat kuat! Akan tetapi kenapa ibunya mengatakan bahwa dia
telah membunuh Gak Bun Beng. Apakah hanya namanya saja yang sama? Dia harus
memecahkan rahasia ini. Dia harus menemui laki-laki yang bernama Gak Bun Beng
itu dan memaksanya untuk mengaku apa yang telah terjadi dengan ayahnya!
“Ang Tek Hoat, benarkah ayahmu dibunuh
oleh Gak Bun Beng?” Puteri Milana bertanya sambil memandang dengan tajam penuh
selidik.
“Saya tidak perlu membohong. Ayah saya dibunuh
oleh Gak Bun Beng dan karena saya kira dia sudah mati maka saya sengaja
memburukkan nama musuh besar saya itu,” jawabnya.
“Engkau melihat sendiri bahwa ayahmu dibunuh
olehnya?” tanya lagi Puteri Milana dan diam-diam dia mengingat-ingat karena
wajah pemuda yang tampan ini mengingatkan dia akan seseorang akan tetapi dia
lupa lagi siapa. Mata itu, bibir itu, benar-benar tidak asing baginya!
“Hal itu terjadi sebelum saya lahir. Ibu yang
memberitahukan saya....”
“Ahhh....! Siapa ibumu? Dan siapa ayahmu?”
Tek Hoat menggeleng kepalanya. “Maaf, itu
merupakan rahasia saya, dan tidak dapat saya ceritakan kepada lain orang.
Biarlah saya mencari Gak Bun Beng dan bicara sendiri dengan dia. Saya mohon
kepada paduka agar suka memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan
musuh besar saya itu, kecuali.... kecuali kalau paduka hendak menghukum saya
karena pemberontakan itu.... saya tidak akan dapat melawan....”
“Enci Milana, manusia ini berhati palsu dan
curang, lagi jahat dan berbahaya sekali kalau dia dibiarkan pergi begitu saja!”
Kian Bu berkata dengan alis berkerut.
“Benar, sebaiknya dia ditahan dulu, sambil
kita menanti kedatangan Gak-taihiap,” kata Han Wi Kong.
Akan tetapi, ucapan suaminya itu dirasakan
oleh Milana seperti ujung belati menusuk jantungnya. Setiap kebaikan sikap
suaminya mengenai diri Gak Bun Beng merupakan tusukan baginya, makin baik sikap
suaminya, makin tertusuk dia karena dia maklum bahwa dia telah berdosa terhadap
suaminya ini. Maka kata-kata suaminya itu membuat dia bangkit menentang.
“Tidak, biarkan dia pergi! Pertama, dia adalah
murid Sai-cu Lo-mo, berarti masih orang sendiri. Ke dua, dia memang pernah
membantu pemberontak, akan tetapi kesesatan itu telah ditebusnya dengan
membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya, juga dengan
menolong Syanti Dewi. Tentang urusannya dengan.... Gak-suheng, biarlah dia
selesaikan sendiri dengan yang berkepentingan. Ang Tek Hoat, kalau engkau
ingin pergi, pergilah. Hanya kuharap bahwa engkau akan selalu ingat bahwa kami
tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu, maka jika menghadapi segala urusan,
jangan engkau terburu nafsu dan kami selalu siap untuk membantumu memecahkan
persoalan yang sulit.”
Sikap dan ucapan Milana ini benar-benar
mengharukan hati Tek Hoat. Selama dia meninggalkan ibunya, dia tidak pernah
menemui manusia yang bersikap tulus, jujur dan mulia terhadap dirinya. Kalau
toh ada yang bersikap baik terhadap dia, kebaikan itu hanya menutupi suatu
pamrih tertentu yang lebih merupakan penjilatan atau juga penggunaan karena
tenaganya dibutuhkan seperti halnya kaum pemberontak yang berbaik kepadanya.
Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang amat dikaguminya,
seorang wanita yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi mulia dan berwibawa.
Tanpa disadarinya sendiri, kedua kakinya menjadi lemas dan Ang Tek Hoat pemuda
yanp angkuh dan keras hati itu, yang tidak pernah mengenal takut dan tidak
pula mau tunduk kepada siapa pun kini menjatuhkan diri berlutut di depan Puteri
Milana! Dia merasa betapa dirinya adalah orang yang sudah kotor, yang
bergelimang dengan kesesatan, yang membuat dia memandang dirinya amat rendah
sekali dibandingkan dengan orang-orang gagah seperti kedua orang saudara
putera Pendekar Super Sakti itu, yang membuat dia merasa tidak berharga, akan
tetapi yang sekaligus juga memperkeras hatinya, menimbulkan keangkuhannya
sehingga sampai mati pun dia tidak akan sudi tunduk kepada “orang-orang
bersih” seperti mereka itu. Akan tetapi, sikap Milana mencairkan kekerasan dan
keangkuhannya, karena puteri ini bersikap sungguh-sungguh kepadanya, tidak memandang
rendah, bahkan sinar mata yang mengandung iba yang mendalam itu membuat dia
tunduk dan terharu. Suaranya agak tergetar ketika dia berkata, “Saya Ang Tek
Hoat sungguh kagum kepada paduka dan selama hidup saya akan memuliakan nama
paduka Puteri Milana.” Setelah berkata demikian, dia bangkit berdiri, menjura
kepada tiga orang itu dan dengan langkah lebar dia keluar dari kamar dan
gedung itu, agak terhuyung-huyung.
Milana meneriaki pengawal dan dengan singkat
memerintahkan agar pengawal itu terus membayangi dan menjaga agar pemuda itu
tidak diganggu dan diperbolehkan keluar dari kota raja tanpa halangan. Pengawal
itu memberi hormat, lalu tergesa-gesa mengejar Tek Hoat.
“Enci Milana, betapa pun juga, aku masih
menganggap dia itu seorang yang berbahaya....” Suma Kian Bu menyatakan
pendapatnya, hatinya kurang puas akan sikap encinya yahg demikian lunak
terhadap pemuda jahat itu.
Milana hanya menggeleng kepala dan menghela
napas, memegangi kepalanya. “Bu-te, aku seperti pernah mengenalnya.... dahulu....
ah, biarkan aku mengaso sambil mengingat-ingat....” Dia lalu pergi memasuki
kamarnya sendiri, meninggalkan suaminya yang kini duduk bercakap-cakap dengan
Kian Bu, membicarakan pengalaman mereka ketika pasukan pemerintah menyerbu
Koan-bun dan Teng-bun.
Di dalam kamarnya, Milana lalu mengunci pintu
dan menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kepalanya agak pening, bukan hanya
karena urusan Tek Hoat dan bukan hanya karena dia agak lelah mengerahkan tenaga
sin-kang selama lima jam untuk mengobati Tek Hoat tadi. Akan tetapi ada hal
lain yang lebih mendalam lagi, yang selama beberapa hari ini menusuk-nusuk
jantungnya. Teringat dia akan peristiwa itu, peristiwa yang takkan dapat
dilupakannya, ketika Puteri Syanti Dewi yang muda dan cantik jelita itu menegurnya
dengan hebat sewaktu mereka berdua berada di dalam kamar dan tidak ada orang
lain lagi.
“Bibi Milana, saya tidak tahu apakah nanti
Bibi akan membunuh saya atau menganggap saya kurang ajar setelah saya selesai
bicara, akan tetapi bagaimanapun juga, saya akan menanggung semua akibatnya
karena hal ini tidak mungkin saya simpan saja dan tidak dibicarakan dengan
Bibi. Sudah berada di ujung bibir saya sejak kita saling bertemu, bahkan jauh
sebelum pertemuan itu hal ini selalu berada di lubuk hati saya dan sekaranglah
tiba saatnya kita hanya berdua saja di dalam kamar ini maka saya akan keluarkan
isi hati saya.”
Melihat Puteri Bhutan yang muda remaja itu
berhadapan dengan dia di kamar itu sambil memandang dengan sepasang pipi
kemerahan seperti dibakar, mata bersinar-sinar dan bibir penuh semangat, Milana
yang selalu bersikap tenang dan sabar itu tersenyum.
“Syanti Dewi, kaukeluarkan isi hatimu dan
bicaralah dengan hati tenang agar jelas karena tidak baik membiarkan hati
dikuasai kemarahan.”
“Bibi Milana, setelah bertemu dengan engkau,
maka aku merasa kagum sekali. Engkau seorang puteri sejati, begitu gagah
perkasa, bersikap agung dan berhati mulia, akan tetapi sungguh sayang sekali
bahwa di balik kebaikan itu semua tersembunyi hati yang amat kejam terhadap
pria!”
Milana mengerutkan alisnya, akan tetapi dia
tidak menjadi marah mendengar tuduhan hebat ini. “Syanti Dewi, aku yakin bahwa
orang seperti engkau tidak mungkin mengeluarkan kata-kata seperti itu tanpa
alasan yang kuat. Jelaskanlah tuduhanmu itu dan tidak perlu menyimpan
rahasia.”
“Bibi Milana, mengapa Bibi melakukan kehidupan
yang palsu ini? Bibi mencinta pria lain, akan tetapi menikah dengan pria lain
lagi! Bibi membiarkan pria yang mencinta Bibi dan juga Bibi cinta itu hidup
sengsara selamanya, hidup tersiksa dalam duka nestapa setiap saat, padahal pria
yang sampai sekarang masih mencinta Bibi dengan seluruh tubuh dan nyawanya
itu adalah orang yang sebaik-baiknya orang, dan yang tidak ada keduanya di
dunia yang penuh dengan manusia palsu dan jahat ini!” Syanti Dewi mengeluarkan
kata-kata itu dengan cepat karena kata-kata itu sudah lama tersimpan di
hatinya, matanya berapi-api dan mukanya kemerahan. “Bibi Milana sungguh kejam
sekali! Nah, puaslah sudah hatiku mengeluarkan umpatan yang sudah lama
terkandung ini dan kalau Bibi marah dan hendak membunuhku, silakan!”
Wajah cantik Puteri Milana menjadi pucat
sekali, kemudian berubah merah, dan pucat lagi. Dia memandang Syanti Dewi
dengan mata terbelalak dan bibir gemetar, kedua tangan dikepal dan andaikata
yang bicara itu bukan Syanti Dewi, agaknya puteri ini tentu sudah menggerakkan
tangan untuk melakukan pukulan maut, dan kalau hal itu dilakukan, tentu Syanti
Dewi sudah menggeletak tak bernyawa lagi!
“Bibi marah, akan tetapi aku tidak menyesal
mengeluarkan semua ucapanku tadi, karena aku menuntut agar Bibi Milana suka
mengambil keputusan dan tidak membiarkan hidup seorang pria yang kujunjung
tinggi itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak.”
“Syanti Dewi....” suara Milana gemetar dan
serak, seperti bisikan. “Siapa.... siapa yang kaumaksudkan dengan pria
itu....?” Dia bangkit perlahan, tidak peduli betapa kedua kakinya menggigil.
“Siapa lagi kalau bukan Paman Gak Bun Beng?
Kalian saling mencinta dengan sepenuh jiwa raga, akan tetapi Bibi telah begitu
tega untuk meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, membiarkan dia merana
sepanjang hidupnya.”
“Oohhh....” Tubuh Milana menjadi lemas, dia
memejamkan matanya dan jatuh terduduk lagi di atas kursinya. Kemudian dia membuka
lagi matanya yang menjadi kemerahan dan basah air, mata. “Syanti Dewi.... dari
mana.... engkau mengetahui semua tentang kami....?”
“Paman Gak Bun Beng yang bercerita kepadaku.”
“Ahh....? Tak mungkin....!” Milana meloncat
ke depan dan memegang pundak Syanti Dewi, jari-jari tangannya yang kecil lembut
halus itu kini mencengkeram seperti cakar harimau dan Syanti Dewi menggigit
bibir menahan sakit. “Kau.... kau mencintanya!”
Ucapan Milana yang menuduh ini mendatangkan
semangat dan mengusir rasa sakit di pundaknya. Syanti Dewi juga bangkit berdiri
dan berkata dengan gagah, “Memang! Aku pernah mencintanya, Bibi. Dan
seandainya di dunia ini tidak ada Puteri Milana, tentu aku akan tetap mencinta
Gak Bun Beng sampai aku mati! Akan tetapi aku tahu bahwa cintaku sia-sia dan
aku yakin bahwa dia tidak dapat mencintaku. Cinta kasihnya hanya untukmu, Bibi
Milana! Karena itu, aku mengubur cintaku, cinta seorang wanita terhadap pria
yang semulia-mulianya orang, dan kupaksa menjadi kasih seorang anak terhadap
ayah atau seorang murid terhadap guru. Hanya engkaulah wanita pujaan hatinya
yang akan dicintanya sampai dia mati, dan dia bahkan berbahagia di dalam
kesengsaraannya asalkan engkau hidup bahagia! Betapa kejamnya engkau, Bibi
Milana!” Tanpa disadarinya lagi, air mata bercucuran dari kedua pelupuk mata
Puteri Bhutan itu.
“Ouhhhh....” Milana terisak, menggigit
bibirnya, memejamkan matanya menahan kepedihan hati yang seperti ditusuk-tusuk
rasanya. “Aihhh.... Syanti Dewi.... kau tidak tahu.... kau tidak tahu.... betapa
selama belasan tahun aku hidup dengan hati remuk-redam.... betapa aku hidup
sengsara dan merana.... yang mungkin tidak kalah pahitnya dengan
penderitaannya....” Wanita cantik itu kini menundukkan mukanya dan memejamkan
mata, menggoyang-goyang kepala untuk mengusir semua kepedihan yang
menghimpitnya.
Kini Syanti Dewi membelalakkan matanya, dan
cepat dia menghapus air matanya. Lalu dia maju berlutut di depan Milana,
memeluk pinggang puteri itu.
“Syanti....!” Milana tak dapat menahan
keharuan dan kepedihan hatinya, dia memeluk kepala Puteri Bhutan itu sambil
menangis sesenggukan. Betapa belasan tahun ini dia menahan kesengsaraannya, tak
pernah dikeluarkan sehingga kini bagaikan air bah memecah bendungannya, air
matanya mengalir membasahi kepala dan rambut Syanti Dewi. Puteri Bhutan ini
mengejap-ngejapkan matanya menahan tangis, lalu dengan sikap halus dan lemah
lembut dia mengeluarkan saputangannya, menghapus air mata dari pipi Puteri
Milana seperti orang dewasa menghibur seorang anak kecil yang sedang
menangis. Dia membiarkan Milana menangis sesenggukan sampai beberapa lamanya,
kemarahannya berubah menjadi perasaan kasihan sekali terhadap puteri gagah
perkasa ini, yang kini oleh kekuatan cinta kembali ke asalnya, seorang wanita
yang lemah dan hanya bergantung kepada tangis dan rintihan hatinya.
“Bibi Milana,” suara Syanti Dewi kini penuh
kesungguhan, penuh kedewasaan, dan penuh teguran. “Bibi Milana mengapa telah
bertindak begitu bodoh? Jelas bahwa sesungguhnya Bibi amat mencinta Paman Gak Bun
Beng, sejak dahulu sampai saat ini, akan tetapi mengapa Bibi memaksa diri
menikah dengan pria lain? Apa sebabnya tindakan yang amat bodoh ini?”
Milana sudah dapat menekan perasaannya.
Tangisnya tadi, yang baru sekali ini dapat dia curahkan keluar, sedikit banyak
melegakan hatinya. Dia mengangkat Syanti Dewi bangkit dan mengajak dara itu
duduk berdampingan di pinggir pembaringannya.
“Engkau anak baik, pertanyaanmu sungguh tidak
tepat! Engkau sendiri tahu akan keadaan wanita-wanita yang tidak kebetulan
menjadi puteri-puteri istana seperti kita ini! Apa daya kita menghadapi
perintah junjungan kita, dalam hal ini Kaisar yang menjadi kakekku dan Raja
Bhutan yang menjadi ayahmu? Engkau sendiri menerima saja ketika dijodohkan
dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah tua!”
“Aih, Bibi Milana. Keadaan saya lain lagi
dengan keadaan Bibi! Andaikata saya seperti Bibi, sudah mempunyai seorang
kekasih di Bhutan, sampai mati pun saya tidak akan sudi! Kalau saya mentaati
perintah ayah, adalah karena hati saya masih bebas dan betapa pun saya tidak
suka dikawinkan dengan orang yang belum pernah saya lihat, namun demi
kebaktian terhadap ayah, terutama terhadap negara karena ayah menyerahkan
saya demi negara, terpaksa saya menyetujuinya. Jauh bedanya dengan Bibi yang
telah mempunyai seorang pujaan hati sehebat Paman Gak! Mengapa Bibi begitu
bodoh?”
Demikianlah, percakapannya dengan Puteri
Syanti Dewi itulah yang terus menghantui hatinya. Kini Puteri Milana rebah
seorang diri di atas pembaringannya di dalam kamarnya yang tertutup,
mengenangkan semua percakapannya dengan Syanti Dewi dan baru terbuka matanya
betapa dia telah berbuat kesalahan besar terhadap Gak Bun Beng! Pernikahannya
dengan Han Wi Kong juga tidak mempunyai arti apa-apa bagi Kaisar atau kerajaan,
dan yang jelas dia telah merusak kehidupan Gak Bun Beng, merusak kebahagiaan
hiddpnya sendiri! Teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu dahulu,
belasan tahun yang lalu dan makin diingat, makin menyesallah dia karena sejak
dahulu, Bun Beng selalu bersikap baik dan penuh cinta kasih kepadanya,
sebaliknya, telah beberapa kali dia menyakiti hati kekasihnya itu! Bahkan yang
terakhir sekali, dia menuduh Gak Bun Beng sebagai seorang pria jahat dan keji,
tukang memperkosa wanita! Dan dia telah bersekutu dengan wanita-wanita lain
yang disangkanya menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng untuk membunuh pria
itu! Dan hampir saja maksud kejamnya ini terlaksana (baca ceritaSepasang
Pedang Iblis). Kemudian barulah dia tahu, baru terbuka matanya bahwa Gak Bun
Beng adalah pria yang bersih, gagah perkasa, mulia, karena si jahat itu
bukanlah Gak Bun Beng, melainkan Wan keng In!
“Ahhh.... Wan Keng In, benar dia....!”
Tiba-tiba Puteri Milana meloncat turun dari atas pembaringannya, memandang
terbelalak ke arah pintu kamarnya. Ketika dia mengenangkan masa lalu dan
terbayang wajah Wan Keng In, tiba-tiba saja dia melihat wajah Ang Tek Hoat!
Mengapa dia begitu bodoh? Wajah Ang Tek Hoat persis wajah Wan Keng In!
Han Wi Kong dan Kian Bu terkejut sekali ketika
melihat Milana memasuki kamar di mana mereka berdua bercakap-cakap itu dengan
muka berubah agak pucat. “Mana dia? Bu-te, lekas kau kejar dia! Ang Tek Hoat
itu adalah putera Wan Keng In!”
Kian Bu terkejut. Tentu saja dia telah
mendengar siapa adanya Wan Keng In yang disebut oleh encinya itu. Wan Keng In
adalah putera ibu tirinya, ibu kandung Kian Lee, anak tiri ayahnya yang telah
lama meninggal dunia dan kabarnya dahulu amat lihai akan tetapi juga
menyeleweng.
“Bagaimana kau bisa tahu, Enci?”
“Aku bodoh, telah lupa wajah Wan Keng In yang
persis benar dengan wajahnya. Lekas, Bu-te, susul dia dan suruh dia kembali,
aku akan bicara dengan dia. Kini aku tahu mengapa dia memusuhi Gak Bun Beng.”
Kian Bu cepat berlari keluar dan melakukan
pengejaran. Akan tetapi, pengawal tadi menceritakan bahwa pemuda itu telah
keluar dari pintu gerbang kota raja dan entah pergi ke mana, Kian Bu menyusul
dan mengejar sampai jauh di luar kota raja, keluar dari pintu gerbang selatan,
namun hasilnya sia-sia dan terpaksa dia kembali kepada encinya dengan tangan
hampa.
Milana merasa menyesal sekali. “Di dalam kamar
tadi, baru aku teringat. Memang tadinya aku merasa mengenal wajah Tek Hoat,
hanya sayang aku lupa bahwa wajahnya itu persis wajah Wan Keng In, kakakmu
Bu-te. Dia she Ang pula, siapa lagi dia kalau bukan anak Ang Siok Bi yang
dahulu diperkosa oleh Wan Keng In yang menyamar sebagai Gak Bun Beng? Ahh,
tentu akan terjadi hal-hal hebat kalau mereka saling bertemu!”
“Sebaiknya aku kembali ke Teng-bun atau
Koan-bun, mencari Gak-suheng dan memberitahukan hal Tek Hoat itu kepadanya
agar dia dapat berjaga-jaga, Enci!” kata Kian Bu.
“Tidak perlulah, Bu-te. Kurasa dia dapat
menghadapi pemuda itu, apalagi Tek Hoat masih lemah tubuhnya dan perlu
mengumpulkan tenaga sampai belasan hari lamanya. Pula, kita menanti datangnya
kakakmu, Kian Lee, dan yang lain-lain. Mengapa mereka belum juga datang?” Hanya
Han Wi Kong yang dapat menduga bahwa yang dimaksudkan “yang lain-lain” oleh
isterinya itu, bukan lain adalah Gak Bun Beng yang amat diharap-harapkan
kedatangannya.
Dan pada keesokan harinya, benar saja Gak Bun
Beng dan Suma Kian Lee muncul di istana Puteri Milana itu! Han Wi Kong dan
Milana bersama Kian Bu menyambut mereka dengan gembira, akan tetapi Milana
hanya sekilas saja bertemu pandang mata dengan Bun Beng, kemudian wajahnya
berubah merah sedangkan wajah Bun Beng berubah pucat dan mereka tidak bicara
apa-apa kecuali menyapa.
“Gak-suheng!”
“Sumoi....!”
Han Wi Kong maklum betapa kedua orang itu
merasa sungkan dan tidak enak, maka dia bersikap ramah sekali. “Gak-taihiap,
sudah amat lama saya mendengar nama besar Taihiap dan sungguh merupakan suatu
kehormatan besar bagi saya dapat berjumpa dengan Taihiap ini!”
Gak Bun Beng menatap wajah yang tampan dan
gagah itu, dan hatinya ikut gembira bahwa Milana ternyata menikah dengan
seorang pria yang tidak mengecewakan. “Terima kasih, Han-ciangkun, dan karena
saya adalah suheng dari isterimu, harap kau jangan menyebutku taihiap
(pendekar besar).”
Han Wi Kong tertawa dan begitu bertemu saja
dia sudah merasa suka kepada pendekar besar yang sederhana sekali ini. “Kalau
begitu, baiklah saya menyebutmu Gak-twako saja. Akan tetapi saya pun bukan lagi
menjadi seorang perwira maka jangan menyebut saya ciangkun, Gak-twako (Kakak Gak).”
“Baiklah, Han-laote (Adik Han).”
Karena sikap Han Wi Kong, maka rasa sungkan
dan tidak enak di pihak Bun Beng dan Milana perlahan-lahan berkurang dan Han
Wi Kong lalu menjamu tamu yang dihormatinya itu dengan pesta kecil. Sambil
bercakap-cakap, Han Wi Kong, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, dan Gak Bun
Beng menghadapi meja bundar dan makan minum.
Karena sedang makan, mereka tidak membicarakan
urusan penting dan setelah mereka selesai makan dan duduk di ruangan tamu,
barulah mereka bicara tentang hal-hal yang lebih penting menyangkut diri
mereka.
“Lee-ko, mengapa kau kelihatan pucat dan tidak
bersemangat?” Kian Bu bertanya dan Milana juga memandang adik ini dengan penuh
perhatian.
“Engkau kelihatan seperti orang sakit, Adik
Kian Lee,” dia juga berkata.
“Ah, tidak ada apa-apa,” jawab Kian Lee.
“Jangan-jangan karena kakimu yang terluka
dahulu itu, Lee-ko? Sekarang sudah sembuh ama, sekali, bukan?”
“Sudah, Bu-te.” Kian Lee menjawab singkat dan
ketika adiknya itu bertanya tentang pengalamannya dan ketika kakinya terluka
dan mereka terpisah, Kian Lee hanya menceritakan dengan singkat saja bahwa dia
kebetulan bertemu dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo dan mendapatkan obat sehingga
mudah sembuh.
“Heran...., heran....!” Kian Bu berkata sambil
tertawa. “Ayahnya iblis akan tetapi puterinya bidadari agaknya!”
Kini tiba giliran Bun Beng yang bertanya,
tidak langsung menghadapi Milana melainkan pertanyaannya ditujukan kepada Han
Wi Kong, “Saya mendengar bahwa ada seorang tahanan bernama Ang Tek Hoat. Apakah
benar dia berada di kota raja dan apakah dapat saya bertemu dengan dia?”
“Ahh, Gak-suheng, memang terjadi hal yang
hebat sekali dengan pemuda itu!” Milana berkata. “Dia.... dia.... itu....
putera Wan Keng In....!”
“Ehhh....?” Bun Beng demikian kagetnya
sehingga dia bangkit berdiri, lalu duduk kembali. Sementara itu Milana sudah
teringat akan peristiwa dahulu, maka dia menjadi pucat dan menunduk, tidak
mampu melanjutkan kata-katanya.
“Bu-sute, apakah yang terjadi?” tanya Bun
Beng, menoleh kepada Kian Bu.
“Gak-suheng, kami tadinya bertanya kepadanya
mengapa dia berjuluk Si Jari Maut dan menggunakan nama Suheng untuk melakukan
kejahatan. Dia menjawab bahwa Suheng telah membunuh ayahnya dan dia tidak
melanjutkan keterangannya, hanya tadinya menyangka bahwa Suheng telah mati
maka setelah mendengar bahwa Suheng masih hidup, dia menyatakan ingin bertemu
dan ingin membalas dendam kematian ayahnya.”
“Hemm...., sungguh aneh....” Bun Beng berkata.
“Akan tetapi Enci Milana lalu teringat akan
wajah Keng In....”
“Bukan mirip lagi, Suheng, melainkan persis
seperti pinang dibelah dua! Dan dia she Ang, siapa lagi kalau bukan anak Ang
Siok Bi?” Milana berkata, dan ketika Bun Beng memandangnya, mereka bertemu
pandang dara Milana menunduk, karena menyebut nama Siok Bi sama dengan
menggali kenangan lama yang membuat dia merasa berdosa sekali.
Bun Beng mengangguk-angguk. “Hemm, sekarang
aku mengerti! Pantas dia memusuhi aku....”
“Enci Milana khawatir sekali kalau sampai
terjadi sesuatu yang hebat apabila Suheng bertemu dengan dia,” kata pula Kian
Bu.
“Aku dapat mengatasinya. Ahh, sungguh
kejadian yang amat luar biasa aneh, dan sekaligus terjadi dalam waktu yang
hampir bersamaan....” Bun Beng menghela napas panjang.
“Gak-suheng, apa maksudmu?” Milana bertanya,
karena dia merasa bahwa ada sesuatu yang penting terkandung dalam ucapan
pendekar itu.
Bun Beng memandang kepada Milana, sedikit pun
tidak memperlihatkan penyesalan ketika dia bertanya, “Sumoi tentu masih ingat
kepada Lu Kim Bwee, bukan?”
Pertanyaan ini amat mengejutkan hati Milana,
karena tidak disangka-sangkanya, padahal dia selalu membayangkan dua orang
wanita, Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, dua orang wanita yang dahulu bersama dia
mengeroyok Bun Beng dan hampir saja membunuh pendekar ini (baca ceritaSepasang
Pedang Iblis).
Milana menelan ludah, memandang kepada Bun
Beng tanpa dapat menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk.
“Nah, Lu Kim Bwee itu pun ternyata mempunyai
seorang anak dari Wan Keng In, dan anaknya itu adalah Lu Ceng.”
“Ooohhh....!”
“Aihhhh....!” Kian Bu terbelalak dan menoleh
kepada Kian Lee. Melihat Kian Lee menundukkan muka, Kian Bu membungkam
mulutnya lagi, tidak berani mengeluarkan suara. Maklumlah dia sekarang mengapa
Kian Lee begitu pucat dan muram. Kiranya dara yang dia tahu telah mencuri hati
kakaknya itu ternyata adalah anak dari mendiang Wan Keng In, kakak mereka
sendiri, yang berarti bahwa Ceng Ceng adalah keponakan mereka sendiri.
Keadaan menjadi sunyi karena semua orang
tenggelam dalam lamunan masing-masing. Han Wi Kong yang pernah mendengar
cerita tentang Ang Siok Bi dan Lu Kim Bwee, yang tadinya disangka menjadi
korban kebiadaban Gak Bun Beng yang kemudian ternyata adalah perbuatan Wan Keng
In, memecahkan kesunyian itu sambil berkata, “Kiranya dua orang yang
menggemparkan itu adalah keponakan-keponakan Adik Kian Lee sendiri.”
Kian Lee mengangguk sunyi dan semua orang
masih tenggelam ke dalam keanehan yang luar biasa ini, peristiwa yang sama
sekali tidak pernah mereka sangka-sangka. Milana tidak menyangka bahwa
peristiwa ketika dia muda dahulu, yang dilakukan oleh Wan, Keng In, ternyata
berekor demikian panjang sehingga biarpun pelakunya telah tewas, ternyata
akibat kelakuannya masih terus menjadi riwayat! Dan celakanya, kalau dulu Wan
Keng In melakukan perbuatan yang mencelakakan diri Gak Bun Beng, sekarang
keturunannya juga melakukan hal yang sama, sungguhpun apa yang dilakukan oleh
Tek Hoat adalah karena pemuda itu mengira bahwa Gak Bun Beng sudah mati dan
menjadi pembunuh ayahnya.
Selagi mereka semua termenung, tiba-tiba
datang penjaga pintu yang melaporkan bahwa ada utusan dari Kaisar datang untuk
bertemu dengan Puteri Milana! Puteri Milana terkejut dan cepat menyambut.
Kiranya yang datang adalah Perdana Menteri Su sendiri, yang tentu saja cepat
disambutnya dengan penuh hormat. Han Wi Kong, Gak Bun Beng, dan kedua orang
saudara Suma ikut menyambut, dan karena perdana menteri datang sebagai utusan
Kaisar yang berarti wakil Kaisar sendiri, Milana dan yang lain-lain menyambut
dan berlutut.
Perdana Menteri Su mengenal semua yang hadir.
Dia sudah mendengar akan kedua orang adik Puteri Milana, putera-putera dari
Pendekar Super Sakti, dan dia dahulu sudah pernah bertemu dengan Gak Bun Beng.
Maka cepat dia menggerakkan tangan minta kepada mereka semua untuk bangkit
berdiri.
“Harap Cu-wi bangkit kembali dan penghormatan
Cu-wi terhadap Sri Baginda telah saya terima. Sekarang kita bicara sebagai
sahabat dan biarlah pesan Sri Baginda saya bicarakan di atas cawan-cawan arak saja
karena keputusan beliau perlu dipertimbangkan bersama.”
Puteri Milana dan yang lain-lain segera
bangkit berdiri dan mempersilakan tamu agung itu ke ruangan tamu, di mana
mereka menjamu Perdana Menteri Su dengan hormat dan ramah.
Perdana Menteri Su yang sudah tua dan setia
itu menghela napas panjang dan berkata, “Aihhh.... betapa girang dapat bertemu
dengan orang-orang gagah seperti Cu-wi, dan betapa kecewa hati membawa berita
yang tidak menyenangkan. Puteri Milana, Sri Baginda Kaisar menitah saya untuk
menyampaikan keputusan beliau tentang Pangeran Liong Bin Ong dan Puteri Syanti
Dewi.”
“Bagaimana dengan Paman Pangeran Liong Bin
Ong?” Puteri Milana bertanya.
“Sri Baginda menyatakan bahwa menurut
penyelidikan beliau, Pangeran Liong Bin Ong tidak bersalah apa-apa, dan
pemberontakan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab mendiang Pangeran Liong Khi
Ong....”
“Ahhh....!” Puteri Milana berseru, mukanya
merah dan kelihatan penasaran sekali.
“Puteri Milana, demikianlah keputusan Sri
Baginda,” Perdana Menteri Su berkata keren dan memandang wajah puteri itu
penuh arti. Sang Puteri mengangguk dan membungkuk, tidak berani berkata apa-apa
lagi sungguhpun dia maklum bahwa keputusan ini bukan hanya membuat dia
penasaran, bahkan terutama sekali membuat perdana menteri itu menjadi kecewa
dan khawatir. Mereka berdua tahu belaka bahwa Liong Khi Ong hanya merupakan
orang ke dua, hanya pembantu dari Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi dalang
pertama dari pemberontakan itu!
“Adapun mengenai diri Puteri Bhutan itu,
Puteri Syanti Dewi yang tadinya akan menikah dengan Pangeran Liong Khi Ong,
menurut keputusan Sri Baginda akan dinikahkan dengan Pangeran Yung Hwa!”
“Heiiiihh....!” Kian Bu berteriak sambil
bangkit berdiri dari tempat duduknya.
“Bu-te, duduklah! Ini perintah Sri Baginda
Kaisar!” Puteri Milana membentak adiknya, akan tetapi matanya memandang adiknya
dengan penuh duka karena puteri ini maklum bahwa adiknya itu telah jatuh cinta
kepada Syanti Dewi.
“.... ya... ya, Enci Milana....” Kian Bu duduk
kembali dan menundukkan mukanya yang berubah menjadi pucat.
“Betapapun juga, keputusan ke dua ini adalah
cukup adil dan tepat,” Perdana Menteri Su berkata sambil mengelus jenggotnya.
“Memang tadinya Pangeran Yung Hwa yang ingin berjodoh dengan Puteri Bhutan,
hanya dia terdesak dan kalah oleh mendiang Pangeran Liong Khi ong. Ikatan jodoh
ini berarti memperkuat tali hubungan antara Kerajaan Ceng dengan Kerajaan
Bhutan.”
Milana tidak menjawab karena dia maklum bahwa
perdana menteri itu tidak tahu akan rasa hati Kian Bu. Dia hanya mengangguk
saja. Tak lama kemudian, Perdana Menteri Su berpamit dan setelah dia pergi,
barulah Milana meremas cawan araknya sampai perak itu menjadi satu gumpalan!
“Sungguh celaka sekali! Pangeran Liong Bin Ong
si pemberontak besar itu dibebaskan! Tentu dia akan membuat huru-hara lagi!
Ahh, mengapa Sri Baginda tidak dapat melihat kenyataan?” Milana melirik ke arah
Kian Bu yang masih menundukkan rnukanya dan tiba-tiba dia bangkit berdiri.
“Dan Syanti Dewi.... ah, sungguh mennbikin orang penasaran....!” Milana
mengerutkan alisnya, sejenak bertukar pandang dengan Gak Bun Beng, lalu dia
minta maaf kepada Bun Beng dan meninggalkan ruangan itu memasuki kamarnya.
Kian Bu bangkit berdiri pula, tanpa berkata
apa-apa dia pun lalu setengah lari menuju ke kamarnya, diikuti oleh Kian Lee
yang kini memandang adiknya itu dengan wajah penuh kecemasan.
Tinggallah Haan Wi Kong duduk berhadapan
dengan Gak Bun Beng. Keduanya bengong dan termenung.
“Hemmm...., banyak sekali peristiwa terjadi
dalam kehidupan manusia yang berlawanan dengan apa yang dikehendakinya, bukan,
Gak-twako?”
“Ehhh....?” Bun Beng yang melamun sambil tak
sadar mengambil cawan yang telah menjadi gumpalan perak karena dicengkeram oleh
Milana tadi, membolak-balikkan benda itu di tangannya, terkejut mendengar
ucapan itu, lalu mengangkat muka memandang. “Agaknya begitulah hidup....”
“Mengapa harus begitu, Twako?” Han Wi Kong
mendesak.
“Yah, manusia tidak akan dapat melawan
nasib....” Bun Beng menarik napas panjang.
“Hemmm...., begitukah? Atau bukan sebaliknya
bahwa nasib berada di tangan manusia sendiri? Orang yang menyerah kepada nasib
adalah orang lemah, dan orang-orang lemah memang sudah sepatutnya hidup
menderita, Twako! Hanya orang yang berani menentang dan menghadapi keadaan dan
peristiwa dengan tabah, merubah nasibnya sendiri dan terbebas dari penderitaan
kelemahannya!”
Gak Bun Beng menatap wajah panglima yang
tampan dan gagah itu dengan sinar mata penuh pertanyaan, kemudian bertanya,
“Akan tetapi, keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan oleh Kaisar merupakan
keputusan mutlak dan mana mungkin dirubah....”
“Mengapa tidak mungkin? Tergantung si manusia
sendiri yang mampu atau tidak, berani atau tidak untuk merubahnya. Keadaan
tidak akan berubah selama si manusia sendiri tidak berusaha untuk merubahnya!”
Bun Beng merasa terpukul dan ucapan itu
mendatangkan kesan mendalam. Dia harus mengaku pada diri sendiri bahwa dia
merana dalam hidupnya karena dia lemah, karena dia “menerima nasib”, karena
dia lebih condong menangisi nasibnya daripada berusaha merubah keadaan itu!
Dan kedua orang adik seperguruannya, Kian Lee dan Kian Bu, juga mengalami
“nasib” yang sama dengan dia, yaitu kalau mereka tidak mau turun tangan, tidak
mau bertindak melawan “nasib” itu!
“Kata-katamu mengandung kebenaran yang patut
untuk direnungkan, Laote. Maafkan, saya harus menengok kedua orang suteku itu.”
Gak Bun Beng meninggalkan Han Wi Kong yang
tersenyum-senyum seorang diri, memasuki kamar kedua orang sutenya dan melihat
mereka itu duduk termenung di depan meja. Wajah Kian Bu pucat sekali dan Kian
Lee yang bersikap tenang itu berusaha menghibur adiknya ketika Bun Beng muncul
di depan pintu. Diam-diam Bun Beng kagum juga terhadap Kian Lee. Dia tahu
betul betapa sutenya ini juga “patah hati” karena cintanya yang gagal terhadap
Ceng Ceng, namun kini masih dapat menghibur adiknya yang mengalami hal yang
sama!
Bun Beng tersenyum, menghampiri Kian Bu dan
menepuk bahu pemuda itu. “Eh, Bu-sute, apakah engkau ini seorang banci?”
Ditanya seperti itu, Kian Bu yang sedang
termenung dan tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan itu terperanjat, dan
memandang kepada suhengnya itu dengan mata terbelalak. Kalau saja dia tidak
terlalu dihimpit duka dan kecewa, tentu wataknya yang gembira ini akan
menanggapi pertanyaan Bun Beng sebagai suatu kelakar.
“Apa maksudmu, Suheng?”
“Hanya seorang banci saja yang merenungi
nasibnya dan menangisi peristiwa yang menimpa diri. Seorang jantan akan
bertindak melawan keadaan yang tidak menyenangkan hatinya. Akan tetapi kulihat
di sini engkau termenung menangisi nasib!”
“Aih, Suheng. Apa yang dapat saya lakukan
menghadapi keputusan Kaisar? Biarpun beliau itu kakek besarku sendiri, namun
aku tetap saja rakyat!” Kian Bu berkata.
“Hemm, mengapa engkau begitu lemah? Pula,
mengapa engkau sudah menjadi patah hati? Apakah engkau sudah tahu bagaimana
perasaan hati Syanti Dewi terhadap dirimu? Kalau aku menjadi engkau....”
“Bagaimana, Suheng?” Kian Bu bertanya penuh
gairah. Dia adalah seorang pria yang baru menjelang dewasa, masih “hijau” dan
tentu saja dia memandang suhengnya ini sebagai seorang pria yang sudah
“berpengalaman” yang patut ditiru.
“Kalau aku yang menghadapi peristiwa seperti
engkau ini, aku akan menemui dia dan terus terang kunyatakan perasaan hatiku
kepadanya untuk mengetahui bagaimana tanggapannya. Kalau dia ternyata tidak
mencintaku, mengapa engkau menangisi hal kosong? Sebaliknya, kalau dia memang
cinta kepadaku seperti aku cinta kepadanya, aku akan mengajak dia lari bersama!”
Wajah Kian Bu menjadi berseri dan dia memegang
tangan suhengnya. “Terima kasih, Suheng. Aku bukan seorang banci! Aku seorang
laki-laki sejati dan akan kulaksanakan nasihatmu itu sekarang juga!” Kian Bu
meloncat keluar dari tempat itu. Kian Lee memanggilnya, namun pemuda itu sudah
pergi jauh.
“Ah, Gak-suheng, engkau bisa menimbulkan
gara-gara dengan nasihatmu itu,” Kian Lee berkata, khawatir. “Jangan-jangan
akan timbul keributan.”
“Lee-sute, yang sudah jelas, kalau didiamkan
saja, sudah terjadi keributan dalam hati Bu-sute yang mungkin akan membuat dia
merana selama hidupnya. Belum lagi diingat betapa puteri itu pun akan menjadi
sengsara. Bukankah itu sudah merupakan hal yang hebat? Sebaliknya, kalau memang
mereka saling mencinta, apa salahnya mereka berdua melarikan diri dan berjodoh?
Ingat, Puteri Nirahai juga dulu kawin lari dengan ayahmu, buktinya sekarang
mereka berbahagia.” Sampai di sini Bun Beng berhenti karena dia teringat akan
urusannya sendiri dengan Milana. Dia bisa memberi nasihat, bahkan sudah ada
contoh yang mutlak, yaitu antara Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, akan
tetapi toh dia dahulu sengaja menjauh dan tidak berani menghadapi kenyataan
bahwa dia dan Milana saling mencinta. Hal ini hanya karena dia merasa rendah
diri, sebagai keturunan penjahat, merasa tidak pantas menjadi jodoh seorang
gadis mulia seperti Puteri Milana!
Setelah berkata demikian, Bun Beng lalu
meninggalkan, Kian Lee dan pergi ke kamarnya sendiri, tidak jauh dari kamar
kakak beradik itu. Akan tetapi dia merasa gelisah, bayangan Milana terus
mengejarnya, dan timbul rasa takut di hatinya, takut dan tidak percaya kepada
diri sendiri, karena kalau terlalu lama dia berada di rumah kekasihnya ini,
terlalu sering berjumpa dengan Milana, dia khawatir kalau-kalau pertahanan
batininya akan bobol. Aku harus segera pergi dari sini, pikirnya. Tidak ada
urusanapa-apa lagi. Syanti Dewi sudah jelas akan dinikahkan dengan Yung Hwa,
dan kalau betul seperti yang diharapkannya bahwa Syanti Dewi membalas cinta
Suma Kian Bu, biarlah puteri itu hidup bahagia dengan sutenya itu. Tek Hoat
pun sudah pergi dan ternyata pemuda itu adalah puteri Wan Keng In yang kembali
mengulang perbuatan ayah kandungnya dahulu. Sebaiknya dia pergi dan menjumpai
pemuda itu agar persoalannya menjadi jelas dan dendam dapat dihapus dari dalam
dada pemuda itu. Akan tetapi dia merasa tidak enak juga kalau harus pergi
begitu saja tanpa pamit, dan dia pun harus menanti kembalinya Kian Bu untuk
melihat bagaimana jadinya dengan sutenya itu.
Kegelisahannya membuat Bun Beng tidak betah
di dalam kamarnya. Hanya sebentar dia rebahan, kemudian dia turun dan keluar
dari kamar, melalui pintu samping dia masuk ke dalam taman bunga yang luas dan
indah dari istana itu. Hari telah menjelang senja dan di dalam taman bunga itu
sunyi sekali. Bun Beng terus masuk ke dalam dan di tengah-tengah taman,
tertutup oleh pohon-pohon apel, terdapat kolam ikan emas yang lebar dan indah.
Arinya jernih sehingga ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari itu nampak
nyata, beriring-iringan dengan warna sisik, mereka yang keemasan dan berkilauan
tertimpa sinar kemerahan matahari senja. Bun Beng duduk di atas bangku batu di
dekat kolam. Air yang memancar keluar dari pinggir kolam membuat kolam itu
selalu jernih airnya dan luapan air kolam mengalir ke dalam selokan kecil yang
berliku-liku di dalam taman, mengairi kembang-kembang yang tampak mekar dengan
indahnya, seolah-olah sedang bersaing kecantikan.
“Dia hidup bahagia, dan itu sudah cukup
bagiku,” diam-diam Bun Beng mengeluh. “Kehadiranku hanya akan memungkinkan
datangnya gangguan dalam hidupnya. Suaminya amat gagah dan baik, kedudukannya
mulia dan terhormat, kekayaannya berlimpah, terpenuhilah semua syarat hidup
senang. Kalau dahulu ikut bersamaku? Tentu akan hidup serba kekurangan, bahkan
hidup di tempat asing dan miskin....” Akan tetapi, suara hatinya yang menghibur
diri bahwa orang-orang yang dicinta sudah hidup bahagia itu dibantah oleh
suara lain dalam benaknya.
“Siapa bilang dia bahagia? Dia cukup dengan
kesenangan dunia, memang. Akan tetapi apakah itu dapat mendatangkan bahagia?
Lihat, dia begitu terguncang sampai pingsan begitu bertemu dengan aku. Dan
tentang hidup miskin, mungkin saja mendatangkan bahagia karena cinta. Lihat
contohnya Puteri Nirahai dan Pendekar Super Sakti. Biar hidup di Pulau Es yang
sunyi, namun penuh madu bahagia....”
“Huh, tolol!” bentaknya sendiri kepada diri
sendiri. “Habis kau mau apa?”
“Gak-suheng....”
Bun Beng terkejut dan hampir saja dia meloncat
ke dalam kolam! Suara itu dikenalnya benar. Sampai mati pun suara itu tentu
akan terus terngiang di telinganya dan dikenalnya baik-baik. Cepat dia
membalikkan tubuhnya dan dia berdiri berhadapan dengan Milana!
“Sumoi...., mafkan aku.... aku memasuki
tamanmu tanpa permisi....” dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat
piteri itu yang berdiri tegak dan agung ternyata mencucurkan air mata!
Satu-satu butiran air mata turun seperti untaian mutiara, di sepanjang kedua
pipinya.
“Gak-suheng, sudikah kau mengampunkan aku?
Suheng, betapa aku telah menghancurkan hidupmu...., aku telah berkali-kali
berdosa kepadamu, Suheng....”
Berdebar keras rasa jantung Bun Beng dan dia
hanya menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak.... tidak demikian.... Sumoi. Apa
yang kauucapkan ini....?”
“Suheng, tidak perlu kau berpura-pura lagi.
Aku tahu betapa hidupmu menderita, sengsara dan merana karena aku. Suheng,
apakah engkau masih tidak mau mengampunkan aku? Mengampunkan pernikahan dengan
Han Wi Kong?” Pertanyaan itu diucapkan dengan suara penuh permohonan, dengan
pandang mata yang menusuk ulu hati Bun Beng.
Pendekar itu menguatkan hatinya dan dia
memaksa tersenyum. “Sumoi.... Sumoi! Milana.... mengapa engkau bertanya
demikian? Sudah sepantasnya engkau menikah dengan dia, dia seorang yang amat
baik dan aku.... aku sudah merasa cukup senang melihat engkau hidup bahagia di
sampingnya, Sumoi. Aku.... sebaiknya pergi saja....”
“Gak-suheng....!” Milana meloncat dan memegang
lengan pendekar itu. Sejenak mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan
tiba-tiba Milana terisak dan memeluk pinggang Bun Beng. “Suheng.... ah,
Suheng.... aku melihat betapa jahatnya aku.... betapa hancurnya hidupmu karena
aku.... ampunkan aku, Suheng.”
Bun Beng memejamkan matanya. Merasa betapa
tubuh orang yang paling dicintanya di dunia ini memeluk dan menempel di
tubuhnya, hampir dia tidak kuat menahan lagi dan dia pun merangkul dan
mengusap rambut yang selalu dirindukannya itu, mendekap kepala yang disayangnya
itu. Akan tetapi dia segera teringat dan cepat dia melepaskan diri dan
melangkah dua tindak ke belakang.
“Tidak.... tidak boleh begini....! Sumoi,
jangan menuruti bisikan setan!”
Milana mengangkat muka memandang, matanya
berlinangan air mata. “Gak-suheng, katakanlah terus terang, apakah engkau masih
cinta kepadaku?”
“Aku? Cinta padamu? Wahai, Milana, tidak
pernah ada sedetik pun aku berhenti mencintamu.... akan terkutuk dan
bohonglah aku kalau mengatakan tidak. Akan tetapi, semua itu sudah
terlambat.... Sumoi....”
“Tidak, Suheng. Aku siap mengikutimu ke mana
pun engkau membawaku! Aku.... aku.... ah, engkau tidak tahu betapa hidupku
selama berpisah denganmu seperti dalam neraka. Aku menderita dan kalau tidak
kuat-kuat aku bertahan, aku tentu sudah membunuh diri. Kalau sekarang engkau
menolak, kiranya tidak ada lagi pegangan bagiku, Suheng....”
“Ahhh....?” Bun Beng terkejut bukan main
mendengar kata-kata itu, merasa seperti disambar petir. “Jangan berkata yang
bukan-bukan! Engkau bahagia dengan suamimu!”
“Tidak.... tidak.... dia memang seorang yang
amat baik, akan tetapi.... aku tidak mencintanya, Suheng. Hanya engkaulah
seorang....”
“Aihhh, Sumoi, engkau menghancurkan hatiku!”
Bun Beng berteriak, terhuyung ke belakang dan menjatuhkan diri duduk di atas
bangku tadi, mukanya pucat sekali, dadanya ternyata sakit. “Kalau begitu....
sia-sia belaka semua pengorbananku.... sia-sia belaka aku menyiksa diri....
Sumoi, mengapa begitu?”
Milana lari menghampiri dan menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki Bun Beng.
“Aku sudah berdosa, Suheng. Aku mentaati
perintah Kaisar untuk kawin. Akan tetapi, baru sekarang aku melihat betapa
bodohnya hal itu, aku hanya menyiksa diri sendiri dan engkau, orang yang
kucinta. Akan tetapi sekarang kiranya masih belum terlambat, Suheng.... untuk
memperbaiki kesalahan itu, kalau.... kalau engkau masih mencintaku seperti aku
mencintamu.”
“Milana!” Bun Beng setengah membentak,
“Omongan apa yang kaukeluarkan ini? Tidak malukah engkau? Kukira aku ini orang
apa, hendak melarikan isteri orang? Apakah engkau hendak membuat dosa terhadap
suamimu yang baik?”
Milana memandang dan air mata makin deras
bercucuran, dia menggeleng kepalanya. “Dia seorang yang berbudi mulia.... aku
bahkan merusak hidupnya karena dia tahu bahwa aku masih mencintamu, tidak
dapat mencintanya. Kau tahu, Suheng? Dialah yang tadi membujuk aku agar
menemanimu.... dia telah memberi restunya.... dia yang membujuk agar aku
menyambung tali cinta kasih kita demi kebahagiaanku....”
“Tidak....!” Gak Bun Beng meloncat dan
menjauh, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil. “Tidak....! Engkau adalah
Nyonya Han Wi Kong, engkau bukan Milana lagi. Tidak boleh aku menyentuhmu,
tidak boleh sama sekali....! Duhai Milana.... Sumoi.... jangan.... jangan kita
lakukan itu.... lebih baik aku mati daripada melakukan perbuatan terkutuk itu!”
Bun Beng lalu berkelebat dan lari keluar dari taman.
“Suheng....!” Namun Bun Beng tidak menengok
dan berkelebat lenyap.
“Gak-suheng....!” Milana mengeluh dan
terguling roboh, pingsan di dekat kolam!
Han Wi Kong lari tergopoh-gopoh, dia
mengangkat tubuh isterinya, dibawa masuk ke dalam kamar. Mata panglima ini
merah dan basah. Dia merebahkan isterinya di atas pembaringan, kemudian
menulis surat, meletakkan surat di atas meja, dan memanggil pelayan, disuruh
menjaga isterinya yang masih pingsan dan disangka tidur oleh pelayan itu.
Kemudian Hari Wi Kong pergi dari istananya setelah berganti pakaian sebagai
bekas panglima, cucu mantu Kaisar dan pergi tanpa pengawal.
Sementara itu, di sudut ruangan luas di dalam
kompleks Istana Kaisar, Puteri Syanti Dewi duduk berhadapan dengan Suma Kian Bu
yang tadi diterimanya sebagai seorang tamu yang datang berkunjung kepadanya.
Para pengawal tentu saja sudah mengenal Kian Bu, bahkan tahu bahwa adik Puteri
Milana ini yang ikut mengantarkan Puteri Bhutan itu ke istana, maka tentu saja
kunjungannya diperbolehkan dan tidak ada yang berani mencurigainya. Bahkan
ketika Sang Puteri menerimanya bercakap-cakap di sudut ruangan yang luas itu,
para pengawal tidak ada yang berani mendekat dan hanya menjaga di luar pintu
ruangan.
Syanti Dewi girang sekali melihat Kian Bu dan
dia menyambut kedatangan pemuda itu dengan kata-kata, “Sungguh girang hatiku
bahwa engkau yang datang, Bu-koko. Aku sudah menanti-nanti berita dari Bibi
Milana....”
“Engkau sudah mendengar tentang keputusan
Kaisar, Adik Syanti....?”
Dara itu mengangguk dan alisnya berkerut,
pandang matanya penuh kegelisahan.
“Lalau bagaimana pendapatmu dengan keputusan
itu?”
“Aku tidak suka! Aiiih, Koko, kautolonglah,
suruh Bibi Milana menolongku.... aku tidak suka dengan pernikahan itu!”
“Akan tetapi, itu adalah keputusan Kaisar dan
Pangeran Yung Hwa tidak dapat kausamakan dengan Pangeran Liong Khi Ong. Dia
seorang pangeran muda yang tampan dan pandai, bahkan dialah yang dahulu suka
kepadamu sebelum kau dijodohkan dengan Pangeran Liong....”
“Aku tidak peduli dia tampan atau buruk,
pandai atau bodoh. Akan tetapi sekali ini, bukan ayahku yang menjodohkan aku.
Aku tidak mau, Koko.... kausampaikan permohonanku kepada Bibi Milana.... tolonglah
aku...., atau.... tolong kaucari Paman Gak Bun Beng. Dialah satu-satunya orang
yang kugantungi harapanku.”
“Kalau benar engkau tidak suka menerima
keputusan itu, Adik Syanti.... aku.... aku....” Kian Bu yang biasanya paling
pandai menggoda wanita itu kini menjadi gagap gugup, beberapa kali menelan
ludahnya dan sukar sekali kata-kata keluar dari mulutnya.
“Ada apa, Koko? Bagaimana?” Puteri Syanti Dewi
memandang dengan sepasang matanya terbelalak lebar dan begitu indahnya sehingga
Kian Bu menjadi makin bingung lagi.
“Adik Syanti.... hemmm.... ehhh, aku.... aku
bersedia untuk menolongmu.... untuk mengajak kau lari dari sini....”
“Bu-koko....! Terima kasih....! Ah, aku tahu
engkau seorang yang amat berbudi, seperti suhengmu, Paman Gak Bun Beng!” Syanti
Dewi bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Kian Bu, memegang lengan
pemuda itu penuh harapan.
Kian Bu juga bangkit berdiri. “Aku.... aku
akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Syanti Dewi, karena.... aku.... aku cinta
padamu, aku cinta padamu semenjak kita bertemu.... dan kalau kau lebih memilih
aku daripada menjadi isteri seorang pangeran, marilah kita lari....”
“Ahhhh....!” Syanti Dewi melepaskan kembali
pegangan tangannya dan melangkah mundur, lalu menunduk dan memejamkan matanya,
akan tetapi tetap saja air matanya bertitik yang cepat diusapnya. Puteri ini
lemah lembut, mudah menaruh kasihan kepada orang, juga mudah terharu, namun
dia memiliki keagungan seorang puteri raja.
“Bu-koko, harap engkau maafkan padaku. Engkau
seorang pemuda yang hebat.... ah, amat baik dan hebat, tampan dan gagah
perkasa, berbudi dan putera seorang pendekar yang sudah tersohor di seluruh
dunia, anak dari seorang mulia seperti Puteri Milana! Gadis mana yang takkan
berbahagia menerima cintamu? Akan tetapi aku.... ah, aku akan berbohong kalau
aku berpura-pura mengatakan cinta kepadamu, hanya agar engkau suka menolongku.
Tidak, aku tidak mau membohongimu demi keselamatanku, dan kelak menghancurkan
hatimu. Tidak, Bu-koko, kalau engkau menolongku dengan dasar cinta kasih
seperti itu, aku lebih baik.... menghadapi malapetaka itu seorang diri saja,
tanpa pertolonganmu.”
Wajah Kian Bu yang tadinya sudah merah karena
ada harapan ketika dia menuruti nasihat suhengnya, kini menjadi pucat sekali.
“Kau.... kau tidak.... tidak cinta padaku,
Adik Syanti?” tanyanya dengan suara serak.
Syanti Dewi menggeleng kepalanya, memandang
penuh iba. “Maafkan aku.”
“Kalau begitu engkau.... engkau tentu sudah
mencinta lain orang....?”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Memang, aku
pernah mencinta orang, yaitu suhengmu, Gak Bun Beng! Aku cinta Kepadanya, aku
memujanya karena dia seorang jantan, seorang laki-laki sejati, seorang yang
mulia hatinya. Hanya sayang dia tidak cinta kepadaku, maka aku menghapus cinta
itu. Aku tidak dan belum mencinta siapa-siapa lagi. Sudahlah, Bu-koko, aku
suka kepadamu, aku kagum dan menghormatimu, akan tetapi jangan mengharapkan
yang lebih dari itu. Kau kembalilah dan kalau engkau suka, harap sampaikan
permohonanku kepada Bibi Milana agar beliau sudi menolongku.”
Kian Bu diam sampai lama karena dia
mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan pukulan yang amat menyakitkan itu.
Kemudian dia berkata lemah, “Biarpun engkau tidak cinta kepadaku, Adik Syanti,
aku.... aku bersedia menolongmu. Mari kau kularikan keluar dari istana ini.”
“Tidak, Bu-koko. Engkau adalah cucu Kaisar,
engkau akan celaka kalau melakukan hal itu, padahal aku tidak dapat menerima
cintamu. Tidak, biar Bibi Milana saja yang menolongku dan mencarikan akal....”
“Aku menolongmu dengan ikhlas! Tadi engkau
suka kutolong....”
“Tadi lain lagi, Koko. Pulanglah, dan maafkan
aku....” Puteri Syanti Dewi bertepuk tangan memberi isyarat kepada pengawal.
“Suma-taihiap hendak pulang, antarkan keluar,” katanya penuh wibawa.
Kian Bu menunduk, lalu berjalan ke luar
seperti mayat hidup, diikuti pandang mata Syanti Dewi yang berlinang-linang
karena merasa kasihan.
Pemuda yang sebenarnya masih terlalu muda
untuk jatuh cinta ini, merasa seolah-olah dunia hampir kiamat, kehilangan
keindahannya. Bangunan-bangunan istana yang biasanya mempesonakan dan amat
dikaguminya itu, kini tidak lebih seperti onggokan-onggokan batu nisan di
kuburan yang tidak menarik sama sekali. Orang-orang yang ditemuinya di
sepanjang jalan, seolah-olah semua menyeringai dan mencemoohkannya. Syanti
Dewi ternyata tidak cinta kepadanya, seperti yang disangkanya, atau lebih
tepat, seperti yang diharapkannya. Bahkan mencinta suhengnya, Gak Bun Beng! Si
Tua! Hatinya memaki, akan tetapi kesadarannya memperingatkannya bahwa tidak
adil dan tidak tepatlah kalau dia memaki dan menyalahkan suhengnya. Gak-suheng
adalah seorang laki-laki sejati, pikirnya, tepat seperti yang dikatakan Syanti
Dewi, dan suhengnya itu tidak menerirna Syanti Dewi sehingga dara jelita ini merubah
cintanya menjadi cinta seorang anak kepada ayahnya atau seorang murid kepada
gurunya. Aih, betapa dia amat tidak berharga! Seorang yang sudah setengah tua
seperti suhengnya saja mampu merebut hati seorang dara seperti Syanti Dewi,
mengapa dia yang jauh lebih muda tidak mampu? Apakah dia kurang tampan? Kurang
gagah? Mungkin kurang jantan! Pikiran demi pikiran bergelombang dan
mengaduk-aduk hati Kian Bu ketika dia kembali ke istana encinya.
Senja telah lewat, malam mulai tiba dan Kian
Bu langsung menuju ke kamarnya, hampir tidak melihat dan tidak menjawab
penghormatan para pengawal yang berjaga di depan istana encinya itu. Ketika
dia memasuki kamarnya, langsung saja dia melempar tubuhnya ke atas
pembaringan, telentang dan menatap langit-langit kamar.
“Bu-te, bagaimana....?” Kian Lee mendekati,
duduk di tepi pembaringan dan memandang wajah adiknya yang pucat dan tidak
bersemangat itu.
Kian Bu tadi juga tidak melihat bahwa kakaknya
termenung di dalam kamar itu, kini melihat kakaknya mendekatinya, dia bangkit
dan mereka berdua duduk di tepi ranjang.
“Lee-ko.... aku menyesal sekali tentang....
Lu Ceng....” Kian Bu berkata dengan suara halus penuh iba.
Kian Lee menggeleng kepala. “Jangan pedulikan
aku, Bu-te. Bagaimana dengan engkau? Sudahkah kau....”
“Sudah, dan dia.... dia ternyata tidak cinta
kepadaku, Lee-ko....”
“Ahhh....?” Kian Lee hampir tidak percaya dan
dia menatap wajah adiknya penuh selidik.
“Dia sudah mencinta orang lain....”
“Hemmm....?”
“Dia mencinta Gak-suheng.”
“Hehhh....?” Kian Lee mengeluarkan seruan
heran dan kaget sambil meloncat turun. “Gak-suheng?”
Melihat wajah kakaknya seperti orang penasaran
dan marah, Kian Bu cepat menjelaskan. “Dia telah berterus terang bahwa dia
mencinta Gak-suheng, akan tetapi Gak-suheng tidak mencintanya sehingga dia
merubah cintanya sebagai cinta anak terhadap ayah, atau murid terhadap
guru....”
“Aahhhh.... sungguh aneh, dan Gak-suheng baru
saja pergi tanpa pamit.”
“Pergi ke mana? Mengapa tanpa pamit?”
“Entah, Enci Milana yang memberi tahu dan
kulihat mata Enci Milana merah bekas tangis, mukanya pucat dan sinar matanya
layu, mengandung kedukaan besar. Entah mengapa aku tidak tahu.”
“Hemm, mengapa timbul peristiwa-peristiwa
tidak menyenangkan di antara kita bersaudara ini?” Kian Bu menunduk dan
tertekan batinnya.
“Engkau tidak mengajak dia pergi dari istana
untuk menghindarkan pernikahan itu?” Kian Lee bertanya.
“Dia tidak mau karena katanya aku melakukan
itu karena cinta. Dia tidak dapat membalas cintaku dan dia hanya minta agar aku
menyampaikan permohonannya kepada Enci Milana supaya ditolong.”
Kian Lee merangkul adiknya. “Aih, adikku....
mengapa kita semua gagal dalam bercinta? Mengapa kita harus menghadapi
kekecewaan ini?”
“Lee-ko....”
Kakak beradik itu saling peluk dan memejamkan
mata, karena pantang bagi kedua orang pemuda gagah perkasa ini untuk
mencucurkan air mata kedukaan.
“Bu-te, kuatkan hatimu. Dan kausampaikan
nanti kepada Enci Milana bahwa aku pun terpaksa harus pergi lebih dulu,
sekarang juga.”
Kian Bu memandang muka kakaknya yang muran dan
tidak ada sinarnya itu. “Lee-ko.... kau.... kau tenggelam dalam kedukaan!”
“Tidak lagi, Bu-te, aku harus.... dan kau
juga, harus dapat mengatasi ini semua, jangan biarkan diri kita tenggelam oleh
kegagalan cinta. Aku akan pergi mencari Hek-tiauw Lo-mo, harus kubalas jahanam
itu yang telah memukul.... Ceng Ceng dengan pukulan beracun sehingga nnengancam
keselamatan nyawanya.”
“Lee-ko, aku ikut....”
“Jangan Bu-te. Sebaiknya kita berpisah dulu.
Kita masing-masing perlu untuk mengembalikan ketenangan batin.... dalam keadaan
begini aku lebih suka menyendiri dulu, Bu-te. Sebetulnya sudah tadi aku hendak
pergi, akan tetapi aku menanti kau kembali. Lihat, pakaianku sudah kusiapkan.”
Kian Lee lalu mengambil buntalan pakaiannya dan setelah menepuk-nepuk pundak
adiknya dengan mata merah karena menahan turunnya air mata, dia lalu pergi
meninggalkan Istana itu dengan cepat.
Kian Bu duduk termenung, merasa kasihan sekali
kepada kakaknya dan aneh, begitu dia merasa kasihan kepada kakaknya,
penderitaannya sendiri terlupa dan dadanya terasa ringan! Dia tidak tahu bahwa
duka timbulnya dari pikiran, dari ingatan yang membayang-bayangkan segala
kekecewaan dan segala macam hal yang terjadi dan yang tidak menyenangkan dirinya.
Begitu ingatan ini tidak ada, begitu pikiran beralih ke lain hal, maka dengan
sendirinya duka pun lenyep dan baru akan muncul lagi kalau ingatan kembali
ditujukan kepada hal-hal yang mengecewakan atau tidak menyenangkan tadi.
Jelaslah bahwa Si Pembuat Duka adalah pikiran kita sendiri. Segala peristiwa
yang terjadi adalah suatu fakta yang wajar, tidak membawa duka maupun suka, dan
suka atau duka adalah hasil permainan pikiran kita scndiri. Maka, bebas dari
pikiran berarti bebas pula dari duka! Bebas dari ingatan berarti bebas dari
masa lalu, tidak mengingat-ingat lagi hal-hal yang telah lalu atau telah
terjadi, baik hal itu menguntungkan atau merugikan diri pribadi.
Kian Bu teringat akan suhengnya yang katanya
pergi tanpa pamit, dan akan encinya yang menurut kakaknya tadi sepergi orang
yang berduka, maka dia lalu bangkit dan keluar dari kamarnya, menuju ke kamar
encinya. Pintu kamar itu tertutup dan dia mengetuknya.
“Siapa di luar?” terdengar suara Milana
setelah agak lama Kian Bu mengetuk pintu kamar itu.
“Aku, Enci Milana.”
“Oh, Bu-te. Kaumasuklah!”
Kian Bu mendorong daun pintu dan memasuki
kamar itu. Dia melihat encinya sedang rebah di atas pcmbaringan dan di bawah
sinar penerangan, dia melihat wajah encinya pucat seperti orang sakit.
“Enci Milana, kau kenapakah? Sakitkah?” Kian
Bu menghampiri dan duduk di atas bangku dekat ranjang.
Milana bangkit duduk dan menggeleng kepala
lemah. “Tidak, Bu-te. Engkau sudah kembali? Bagaimana dengan Syanti Dewi?”
Kian Bu menunduk. Tak disangkanya bahwa
encinya juga agaknya sudah tahu bahwa dia tadi pergi mengunjungi Syanti Dewi,
dan memang Milana mendengar akan hal ini dari Kian Lee.
“Dia.... dia menyampaikan pesan untuk mohon
pertolongan darimu, Enci, agar dia dapat keluar dari istana karena dia tidak
suka akan keputusan pernikahannya itu.”
Milana memandang tajam dan tentu saja dia
melihat wajah muram adiknya itu. Sampai lama mereka berdua diam saja, Milana
memandang penuh selidik sedangkan Kian Bu lebih banyak menunduk.
“Bu-te, engkau.... cinta kepada Syanti Dewi?”
Kian Bu makin menunduk, dia merasa malu dan
juga sedih. Akhirnya dia mengangguk dan berkata, “Akan tetapi dia.... dia
tidak cinta padaku.... dia mencinta orang lain....”
Milana diam-diam menarik napas panjang,
maklumlah dia siapa yang dicinta oleh Puteri Bhutan itu. “Tenangkan hatimu,
adikku. Kiraku sebaiknya begitulah, lebih baik mencinta namun tidak terbalas
dan dengan demikian menginsyafkan kita, bahwa cinta kita salah alamat, daripada
saling mencinta akan tetapi tidak dapat berjodoh. Saling mencinta akan tetapi
harus saling berpisah. Engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki
kegagahan. Ditolak cintamu oleh seorang gadis tidak perlu menurunkan semangat
dan merendahkan diri, bahkan kau harus berterima kasih dan bersyukur bahwa
Syanti Dewi bersikap jujur kepadamu.”
Kian Bu mengangguk-angguk. Sedikit nasihat itu
dirasakannya tepat sekali dan sudah merupakan obat yang manjur baginya.
“Enci Milana, aku mendengar dari Lee-ko bahwa
Gak-suheng sudah pergi. Ke manakah dia dan mengapa tidak memberitahukan Lee-ko
dan aku?”
“Entahlah.... dia sudah pergi. Kau tahu orang
aneh seperti dia....!” Milana tidak mau banyak bicara tentang Bun Beng, juga
memang dia tidak sanggup bicara banyak tentang pria itu karena hal ini hanya
akan menusuk perasaannya saja.
“Enci, Lee-ko juga sudah pergi, dia minta agar
aku memberitahukan kepadamu.”
“Ehh?” Milana terkejut, “mengapa anak itu? Ke
mana dia pergi?”
“Enci, agaknya kau tidak tahu. Sebetulnya....
Lee-ko juga mengalami patah hati.”
“Heiii? Patah hati bagaimana?”
“Dia sesungguhnya amat mencinta Ceng
Ceng, kemudian terdapat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakannya sendiri.”
“Aihhh....!” Milana terbelalak, diam-diam
perasaannya makin tertusuk. Mengapa begini kebetulan? Mereka bertiga,
anak-anak dari Pendekar Super Sakti, dalam waktu yang bersamaan semua menderita
patah hati karena cinta gagal?
“Dia bilang hendak mencari Hek-tiauw Lo-mo
yang telah melukai Ceng Ceng, hendak membalas dendam kepada kakek Pulau Neraka
itu. Karena semua sudah pergi, aku pun akan pergi sekarang juga, Enci.”
“Eh, anak nakal! Engkau pula? Hendak ke mana
kau?”
“Aku hendak menghibur hati dan pergi malam
ini juga.... mungkin aku terus kembali ke Pulau Es.... atau ke mana saja,
pokoknya jauh dari sini....”
Milana menarik napas panjang. Dia mengerti apa
yang dimaksudkan oleh adiknya ini yang setelah kekecewaannya dalam kegagalan
cintanya kini ingin secepat mungkin pergi sejauh mungkin meninggalkan wanita
yang menjadi sebab kepatahan hatinya itu.
“Kenapa tidak besok saja, Adikku....?”
“Tidak, Enci Milana. Sekarang juga aku pergi,
dan harap sampaikan maafku kepada Ci-hu (kakak ipar).... selamat tinggal,
Enci.” Dia lalu berlari ke luar untuk mengambil pakaiannya dan malam itu juga
dia pergi meninggalkan istana encinya.
Milana mengerutkan alisnya, termenung dan
membayangkan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya, mengikuti bayangan Gak
Bun Beng yang pergi dalam keadaan patah hati dan semangatnya, dan bayangan
Kian Lee dan Kian Bu yang juga mengalami kegagahan dalam cintanya. Tak terasa
lagi, puteri yang cantik jelita dan gagah perkasa ini meruntuhkan air mata,
terisak-isak menangis di atas pembaringannya.
Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu,
tiga orang laki-laki gagah perkasa itu semua patah hati dan menderita sengsara
karena wanita. Betapa banyaknya peristiwa seperti itu terjadi di dunia ini,
semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang. Sejak jaman dahulu, banyak sudah
tercatat dalam sejarah betapa laki-laki yang gagah perkasa, satria-satria dan
pahlawan-pahlawan, pendekar-pendekar sakti yang sukar menemukan tandingan,
akhirnya roboh oleh wanita! Banyak pula dalam sejarah tercatat betapa
kaisar-kaisar, raja-raja besar, panglima-panglima dan pemimpin-pemimpin
gemblengan, seorang demi seorang roboh tak berdaya di bawah telapak kaki halus
seorang wanita. Bahkan di dalam dongeng-dongeng kuno dari bahasa apa pun,
tentu terdapat peristiwa di mana para dewata yang memiliki kesaktian dan
kekuatan, dapat pula roboh karena wanita. Siapa pula yang tidak mengenal
cerita tentang manusia pertama, Adam yang juga runtuh karena bujuk rayu Hawa,
seorang wanita pula?
Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah itu
bahwa mereka, para pria yang jatuh itu, raja-raja yang kehilangan tahtanya,
pahlawan-pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya, pendekar-pendekar yang
kehilangan kegagahannya, semua jatuh karena kesalahan wanita? Wanitakah yang
bersalah sehingga kaum pria runtuh oleh kelembutan mereka?
Tidak! Kiranya tidaklah tepat kalau kita berpendapat
demikian. Wanita pun banyak yang menjadi korban karena hubungannya dengan
pria. Hampir semua wanita yang terperosok ke dalam lembah kehinaan, yang
umumnya dinamakan pelacur, tentu akan dapat menceritakan riwayat
masing-masing yang hampir semua adalah akibat dari perbuatan pria, atau menjadi
korban hubungan mereka dengan pria. Juga dalam hal mereka ini, tidak dapat
dipersalahkan kepada kaum pria.
Bukan wanita dan bukan pria yang bersalah
dengan terjadinya semua kegagalan hidup itu. Yang bersalah adalah yang disebut
cinta antara pria dan wanita, yang sesungguhnya bukankah cinta sejati,
melainkan cinta yang diciptakan oleh nafsu belaka. Cinta nafsu tentu saja
menimbulkan bermacam peristiwa, yang menimbulkan kenikmatan dan kesenangan
hebat, namun di lain saat bisa mendatangkan derita dan kedukaan yang hebat
pula. Karena cinta nafsu adalah penonjolan dari diri pribadi dalam bentuk yang
paling nyata, dan selama diri pribadi ditonjolkan, sudah pasti yang ada
hanyalah suka dan duka, nikmat dan derita!
Tiada yang senikmat cinta
sorgaloka turun ke dunia
membuai dan membius manusia!
Tiada yang selucu cinta
manusia menjadi badut-badut
dibuatnya
segala kepalsuan dilakukannya!
Tiada yang secelaka cinta
mendatangkan derita tiada taranya
dunia berubah menjadi neraka!
Akan tetapi....,
tiada yang seindah cinta sejati
dalam tawa remaja puteri
Dalam sinar matahari pagi
yang terkandung dalam tangis bayi
dalam lautan danau dan sungai
dalam semua isi langit dan bumi
dalam segala yang hidup dan mati
Cinta mulia dan suci
tetap ADA dan kekal abadi
apabila AKU TIADA lagi.
“Apa kaubilang....?” Puteri Milana
meloncat dengan kaget sekali mendengar laporan dari seorang pengawalnya dengan
muka pucat bahwa suaminya, Han Wi Kong, sedang membuat huru-hara di istana
Pangeran Liong Bin Ong dan kini sedang dikeroyok oleh para pengawal pangeran
itu.
“Hamba.... hamba dengar.... Pangeran Liong Bin
Ong telah dibunuhnya....”
Milana menahan jeritnya dan sekali berkelebat
tubuhnya sudah lenyap dari depan pengawal yang melaporkan peristiwa hebat itu.
Bagaikan bayangan siluman saja saking cepatnya, Milana berlari ke istana
Pangeran Liong Bin Ong dan ketika dia melayang naik ke atas genteng istana itu,
dia sudah mendengar suara ribut-ribut di bagian belakang istana. Cepat dia
melayang turun. Dua orang pengawal berteriak dan menghadang, akan tetapi dua
kali tangannya bergerak, dua orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri
seperti disambar petir. Milana terus lari ke dalam dan ketika dia tiba di
tempat yang luas di ruangan belakang menuju ke pintu taman, dia terkejut bukan
main. Pangeran Liong Bin Ong telah menggeletak di atas lantai dengan dada
tertusuk pedang yang dia kenal sebagai pedang suaminya! Pangeran tua itu mati
dan melihat meja yang penuh hidangan, agaknya tadi pangeran itu sedang menjamu
tamu yang agaknya suaminya itulah! Dan tak jauh dari situ dia melihat suaminya
dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pengawal, dan di antaranya terdapat
seorang kakek yang tidak berbaju. Kakek ini memegang sebatang gendewa besar dan
kelihatan lihai sekali sungguhpun melihat pakaian dan sikapnya dia itu
sepantasnyalah seorang pekerja di dapur atau tukang kebun di taman!
Han Wi Kong sudah luka-luka dan dengan gagah
berani panglima ini membela diri dengan tangan kosong. Ketika dia melihat
isterinya muncul di situ, dia terkejut sekali.
“Milana...., pergilah kau....!”
“Dess....!” Sebatang toya menghantam pundak
panglima itu ketika dia menoleh kepada isterinya. Han Wi Kong terhuyung,
kemudian dia meloncat ke arah Milana.
“Cepat.... pergi dari sini.... tiada jalan
lain aku membunuh pemberontak itu....”
“Wirrr-wirrr-wirrr....!”
“Awas panah....!” Milana menjerit kaget.
“Cep-cep-ceppp....! Aughhhh....!” Tiga batang
anak panah yang dilepas oleh kakek telanjang baju dari jarak dekat dengan
gendewanya yang besar itu telah menancap di lengan dan punggung Han Wi Kong.
Panglima itu mengeluh, terbelalak karena dua
batang anak panah yang menancap di punggung menancap dalam sekali, sedangkan
lengannya tertembus sebatang anak panah.
“Milana.... maafkan aku.... lekas pergi....
surat di atas mejaku.... kauberikan dia....” Setelah berkata demikian, Han Wi
Kong roboh terguling dan tewas di saat itu juga karena dua batang anak panah yang
menancap di punggungnya itu menembus jantung.
“Aihhhh....!” Milana terbelalak memandang
mayat suaminya sambil menutup mulut dengan punggung tangan kanan. Kemudian dia
mengangkat muka, memandang kakek telanjang itu dan para pengawal yang sudah
maju menghampiri dan mengurungnya, sepasang matanya mengeluarkan sinar
berapi-api, cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi
nyaring yang menggetarkan semua pengawal, suara lengking mengerikan yang keluar
dari mulut kecil Puteri Milana, dan tampak bayangan merah dari jubahnya yang
lebar berkelebat ke depan. Para pengawal terkejut dan mengangkat senjata, namun
terdengar suara keras dan empat orang di antara mereka terpental, terbentur
pada dinding dan tewas seketika dengan kepala pecah!
Para pengawal itu adalah orang-orang pilihan
yang sengaja dipelihara oleh Liong Bin Ong untuk mengawal dirinya. Mereka
adalah orang-orang kepercayaan pemberontak itu, maka biarpun mereka tahu akan
kelihaian Puteri Milana, mereka menganggap puteri ini sebagai musuh
majikannya. Bahkan laki-laki memegang gendewa itu adalah seorang tokoh hitam
yang bekerja di situ menyamar sebagai tukang masak, padahal dia pun merupakan
seorang pengawal dalam yang dipercaya dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Tadi sore Han Wi Kong datang secara baik-baik,
dan resminya adalah untuk mengucapkan berduka cita atas kematian Pangeran Liong
Khi Ong. Akan tetapi Liong Bin Ong yang cerdik itu menyambut ucapan dukacita
itu dengan tertawa.
“Dia mati karena ulahnya sendiri. Siapa suruh
dia memberontak terhadap pemerintah yang sah?” kata Liong Bin Ong. “Sudah
sering aku memberi nasihat, akan tetapi tidak diturutnya. Sekarang dia tewas,
itulah hukumannya, dan kita tidak perlu berdukacita!”
Untuk memperlihatkan bahwa dia “tidak ada
hubungan” dengan adiknya yang memberontak itu, Liong Bin Ong memperlihatkan
kegembiraan, bahkan dia lalu menjamu makan kepada suami Puteri Milana yang
diam-diam merupakan lawan tangguh dan musuh besarnya itu. Milana terhitung
keponakan pangeran ini, maka Han Wi Kong juga masih merupakan keluarga dekat,
yaitu mantu keponakan.
Mereka makan minum di ruangan belakang dan
dijaga oleh dua belas orang pengawal kepercayaan Pangeran Liong Bi Ong. Akan
tetapi, dengan tidak tersangka-sangka sama sekali, ketika tuan rumah dan tamu
itu sudah minum sampai setengah mabok tiba-tiba saja Han Wi Kong mencabut
pedang dan menusuk pangeran tua itu dari depan, tepat mengenai dadanya dan
Pangeran Liong Bin Ong roboh dan tewas seketika. Tentu saja peristiwa yang
tidak tersangka-sangka ini tidak dapat dicegah oleh para pengawal yang kini
menjadi marah dan mengepung serta menyerang Han Wi Kong. Keributan ini
terdengar dari luar sehingga sampai juga ke istana Puteri Milana sehingga
seorang pengawal cepat melaporkan kepada puteri itu.
Kini Milana mengamuk. Kedukaan dan kemarahan
bercampur menjadi satu membuat puteri ini menjadi luar biasa berbahayanya.
Gelang di tangan kirinya yang terbuat dari emas itu telah berlepotan darah dan
dalam waktu singkat saja, delapan orang pengawal telah roboh oleh wanita sakti
ini. Tinggal empat orang pengawal bersama kakek telanjang baju yang masih
melawannya, akan tetapi biarpun kakek itu memiliki kepandaian tinggi dan
gerakan gendewa sebagai senjatanya itu amat kuat, namun sudah dua kali dia
terhuyung kena diserempet hawa pukulan dari tangan lembut Puteri Milana.
“Serr-serr-serrr....!” Tiga batang anak panah
meluncur, dilepas oleh kakek itu dari jarak dekat.
“Bedebah....!” Milana memaki karena panah-panah
ini mengingatkan dia akan kematian suaminya. Cepat tangannya menyambar dan
tiga batang anak panah itu telah dapat disambarnya di udara, kemudian dia
memekik dan tiga batang anak panah itu dilontarkan dengan kecepatan kilat ke
arah kakek itu.
Kakek itu terkejut sekali melihat betapa
wanita itu dapat menangkap tiga batang anak panahnya dan kekagetannya inilah
yang mencelakakan dia karena ketika dia melihat berkelebatnya tiga sinar kilat
menyambarnya, dia kurang cepat mengelak sehingga sebatang di antara tiga anak
panah itu menyambar tenggorokannya.
“Arrgghhhh....!” Kakek itu mengeluarkan suara
seperti seekor babi disembelih, kemudian dia menubruk dengan nekat, menggunakan
gendewanya untuk melakukan serangan terakhir. Namun, Milana sudah meloncat ke
samping, kakinya menendang dan tubuh kakek itu roboh terjengkang, tewas
seketika. Empat orang pengawal menjadi jerih, dan hendak lari, namun tahu-tahu
ada bayangan berkelebat melewati mereka dan ketika mereka memandang, Puteri
Milana sudah berdiri di depan mereka!
“Tidak ada yang kubiarkan hidup!” Milana
membentak dan begitu dia bergerak, kaki tangannya sudah menyerang dan
berturut-turut robohlah empat orang pengawal itu. Baru puas rasa hati Milana
dan dia cepat meloncat ke dekat mayat suaminya, mencabuti tiga batang anak
panah itu lalu memanggul mayat itu dan meloncat pergi, terus melarikan diri ke
dalam istananya sendiri.
Dia merebahkan mayat suaminya di atas
pembaringan, teringat akan pesan suaminya dia menoleh ke atas meja. Benar
saja, di situ terdapat dua buah sampul surat kuning yang ketika dibacanya,
yang sebuah dialamatkan kepadanya dan yang sebuah lagi dialamatkan kepada Gak
Bun Beng! Dengan jari-jari tangan gemetar Milana membuka sampul surat
untuknya, membaca dengan muka pucat dan perlahan-lahan air matanya yang tadi
tertahan oleh kemarahan mulai menetes-netes ke atas surat yang dibacanya,
melunturkan tintanya.
Milana isteriku tercinta,
Hanya ada satu jalan bagi kita semua, juga
bagi keselamatan negara, yaitu aku harus membunuh Liong Bin Ong. Percayalah,
aku bukan melakukan bunuh diri dengan membuta, melainkan sudah kupertimbangkan
masak-masak, demi keselamatan negara dan terutama sekali demi kebahagiaan
hidupmu. Kaubawalah suratku dan berikan kepada Gak Bun Beng, dia patut menerima
cinta kasihmu.
Selamat tinggal.
Suamimu, juga sahabatmu,
Han Wi Kong
“Ahhhh....!” Milana menubruk ke pembaringan
dan berlutut sambil menangis di depan mayat suaminya. Dia maklum, dia mengerti
mengapa suaminya melakukan perbuatan ini. Suaminya sudah tahu bahwa dalam
membunuh Pangeran Liong Bin Ong, dia pasti akan tewas. Dan memang harus diakui
bahwa satu-satunya jalan untuk menghindarkan negara dari bahaya ancaman
pangeran yang palsu hatinya itu, hanyalah dengan cara membunuhnya, karena Kaisar
terlampau sayang dan terlampau percaya kepada saudaranya itu. Dan Han Wi Kong
telah sengaja melakukan itu untuk memberi kesempatan kepada dia dan Gak Bun
Beng.
“Han Wi Kong, harap kau sudi mengampunkan
aku. Di dunia ini aku tidak bisa menjadi isterimu, biarlah di dalam kehidupan
lain kelak aku akan suka menjadi apa saja untuk melayanimu.”
Tiba-tiba para pengawal berlari masuk dan
dengan terengah-engah melaporkan bahwa Perdana Menteri Su sendiri dengan para
petugas keamanan istana telah datang, dan pasukan itu mendapat perintah, untuk
menangkap Puteri Milana!
“Jangan melawan!” kata Milana dan cepat dia
menyimpan dua buah surat itu ke saku bajunya, kemudian dia menggunakan pit
untuk membuat corat-coret di atas tembok kamar suaminya karena dia sudah tidak
mempunyai waktu untuk menulis surat dengan baik-baik. Kemudian, dia cepat
mengumpulkan beberapa perhiasan dan pakaian, membuntalnya dengan kain kuning,
menyambar pedangnya dan mengikatkan pedang dan buntalan di pundak, kemudian dia
meloncat melalui jendela kemar itu ketika mendengar derap kaki banyak orang
mendatangi ke arah kamar itu.
Ketika Perdana Menteri Su dan para pasukan
memasuki kamar, pembesar ini hanya melihat mayat Han Wi Kong dan
coretan-coretan di atas tembok yang berbunyi:
“Milana akan berterima kasih sekali kepada
Perdana Menteri Su jika sudi mengurus jenazah Han Wi Kong dengan sepatutnya.
Tertanda
: Puteri Milana.
Perdana Menteri Su menggeleng-geleng kepala
dan menarik napas panjang. Biarpun dia tadi terkejut sekali mendengar akan
peristiwa pembunuhan Pangeran Liong Bin Ong, namun dia mengerti mengapa Han
Wi Kong melakukan perbuatan nekat itu dan diam-diam dia bersyukur karena
dibunuhnya Pangeran Liong Bin Ong itu terbebaslah negara dari ancaman bahaya
besar. Maka dia lalu menghampiri jenazah Han Wi Kong dan tanpa ragu-ragu lagi
pembesar tinggi yang sudah tua ini menjatuhkan diri berlutut di depan
pembaringan sebagai penghormatan dan mulutnya berkemak-kemik menghaturkan
terima kasih kepada Han Wi Kong yang disebutnya sebagai seorang pahlawan
bangsa! Mudah saja dia akan membujuk Kaisar dengan mengatakan bahwa apa yang
terjadi hanyalah pertikaian pribadi antara keluarga Milana dan Liong Bin Ong,
sehingga dengan demikian Han Wi Kong tidak akan dianggap sebagai seorang musuh
negara.
“Hei, kenapa kalian bengong saja?” Setelah dia
berdiri lagi dia membentak pasukan yang dipimpin oleh seorang panglima itu.
“Hayo lekas cari dan tangkap Puteri Milana!”
Pasukan itu lalu lari cerai-berai. Hanya
lagaknya saja Perdana Menteri Su berkata demikian, akan tetapi diam-diam dia
maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara pasukan itu yang akan berani
menyentuh ujung jubah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati.
Maka lenyaplah Puteri Milana dan berbareng
dengan menghilangnya puteri ini dari kota raja, hilang pula Puteri Syanti Dewi
dari kamarnya tanpa ada yang tahu ke mana Puteri Bhutan itu pergi. Hanya
Perdana Menteri Su yang mengangguk-angguk dan menduga bahwa pasti Puteri Milana
yang melakukan hal itu, sengaja mengajak Puteri Syanti Dewi lari dari istana
karena tidak setuju Puteri Bhutan itu dikawinkan dengan Pangeran Yung Hwa.
Perdana Menteri Su merasa heran sekali dan tidak mengerti mengapa Milana
melakukan hal itu. Maka didatanginyalah Pangeran Yung Hwa dan betapa herannya
pembesar yang bijaksana dan setia ini melihat Pangeran Yung Hwa kegirangan luar
biasa mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah melarikan diri!
“Paman Menteri, saya girang sekali, ahh, saya
bersyukur sekali bahwa dia telah pergi, karena kalau tidak, tentu aku yang akan
pergi lagi.”
“Eh, kenapa begitu, Pangeran?”
“Aku tidak suka diharuskan menikah dengan
puteri Bhutan.”
Perdana Menteri Su memandang heran dan
mengerutkan alisnya. “Ingatlah, Pangeran Muda, dahulu engkau marah-marah dan
melarikan diri dari istana karena permintaanmu untuk menikah dengan puteri
Bhutan ditolak Sri Baginda. Sekarang keinginanmu itu dituruti, engkau malah
menolak. Apa artinya ini?”
Pangeran Yung Hwa tersenyum. “Artinya, Paman,
bahwa dulu itu cintaku adalah cinta yang mentah, cinta monyet, cinta
kanak-kanak karena yang kucinta adalah bayangan seorang gadis yang muncul
karena cerita-cerita indah tentang dirinya. Dahulu aku mencinta seorang dara
yang belum pernah kulihat, cinta bayangan saja. Sekarang, saya telah tahu apa
artinya cinta, saya telah mencinta seorang dara dari darah daging, bukan
bayangan kosong belaka. Biar dia gadis biasa, aku cinta padanya dan setelah
Syanti Dewi pergi, saya pun akan pergi untuk mencari dara yang saya cinta itu.
Saya girang dapat bebas dari Puteri Bhutan!” Pangeran Yung Hwa bergembira dan
bersenandung!
Perdana Menteri Su meninggalkan pangeran itu
sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh uban. Heran dia melihat ulah orang-orang
muda dan makin kagum hati kakek itu menyaksikan kekuatan cinta yang menguasai
hampir seluruh kehidupan manusia. Tanpa cinta, matahari akan kehilangan
sinarnya, bunga-bunga akan kehilangan keharumannya dan madu akan kehilangan
manisnya! Dengan hati-hati dan cerdik, perdana menteri ini akhirnya dapat pula
meredakan kemarahan Kaisar dan mengajukan alasan-alasan masuk akal bahwa
peristiwa itu terjadi karena pertikaian pribadi antara keluarga Puteri Milana
dan Pangeran Liong Bin Ong, sama sekali tidak menyangkut urusan negara, maka
hendaknya Kaisar tidak mencampurinya. Adapun tentang kehilangan Puteri Syanti
Dewi, Perdana Menteri berjanji akan menyebar orang untuk mencarinya dan
mengusulkan bahwa seyogianya urusan perjodohan itu ditunda saja.
“Dahulu Paduka melamar Puteri Bhutan untuk
mendiang Pangeran Liong Khi Ong, dan kalau sekarang suami untuk Puteri itu
ditukar tanpa mengadakan perundingan lebih dulu dengan Kerajaan Bhutan, hamba
kira hal itu malah akan menanamkan sakit hati seolah-olah Paduka kurang
menghargai Kerajaan Bhutan. Sebaiknya dinanti sampai ada kabar tentang puteri
itu, baru mengajukan usul perubahan ikatan jodoh itu dengan Kerajaan Bhutan.”
Semua alasan yang kuat diajukan oleh Perdana
Menteri Su dan akhirnya Kaisar dapat dibujuk sehingga tidak meributkan lagi
peristiwa-peristiwa yang terjadi itu. Malah Kaisar juga tidak keberatan ketika
mendengar betapa Perdana Menteri Su mengurus jenazah Han Wi Kong dan
menguburkan jenazah itu di dalam kuburan keluarga Kaisar tingkat dua, karena
betapapun juga, Han Wi Kong adalah mantu cucu dari kaisar sendiri. Maka
terlaksanalah apa yang menjadi permohonan Milana kepada Perdana Menteri Su.
Duka timbul dari kecewa. Kecewa timbul dari
tidak tercapainya nafsu keinginan. Nafsu keinginan adalah hasrat pengejaran
terhadap sesuatu yang menyenangkan dari si aku. Si aku timbul dari pikiran. Si
aku adalah pikiran sendiri. Pikiran adalah ingatan yang mengenang masa lalu,
ingin mengejar lagi kenangan yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan.
Kebahagiaan hidup, baru mungkin ada apabila bebas dari nafsu keinginan, tidak
lagi mencari-cari, tidak lagi mengejar sesuatu seperti yang kita inginkan.
Bebas dari pikiran yang membanding-bandingkan, berambisi, berkhayal. Bebas dari
si aku. Kebebasan ini menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala
sesuatu ini adalah indah dan sempurna, tidak ada kecualinya. Yang ada hanyalah
kenyataannya, apa adanya dan ini adalah wajar dan mutlak. Bukan suka bukan pula
duka, bukan puas bukan pula kecewa, bukan nikmat dan bukan derita karena
banding-membanding dan semua kebalikan-kebalikan ini adalah permainan pikiran
yang memilih-milih sehingga timbullah konflik-konflik batin yang kemudian
meledak menjadi konflik-konflik lahir. Kebahagiaan terletak di atas segalanya
itu, di atas dan bebas dari pikiran. Kekurangan dan kekecewaan hanya diderita
oleh mereka yang tidak mengenal kecukupan. Maka hanya mereka yang tidak
membutuhkan apa-apa lagi salah yang dapat menyentuh kebahagiaan!
Hawa udara panas sekali. Terik matahari
seolah-olah hendak membakar segala sesuatu di permukaan bumi. Sinar matahari
yang langsung menimpa bumi, terpantul kembali menciptakan hawa yang gerah.
Seorang pemuda yang duduk di bawah sebatang
pohon besar dalam hutan itu membuka kancing bajunya dan meniupi leher dan
dadanya. Pemuda ini berwajah tampan dan rambutnya mengkilap hitam, dikuncir
panjang berjuntai di belakang pundak kanan. Pakaiannya sederhana, jubahnya yang
hitam kebiruan lebar dan panjang, menutupi baju dan celana sehingga membuat
dia makin kegerahan. Pemuda ini adalah Suma Kian Bu yang telah melakukan
perantauan seorang diri, pergi dari kota raja di mana hatinya untuk pertama
kali mengalami pecah berantakan akibat cinta gagal. Akan tetapi, karena dasar
wataknya memang gembira, setelah merantau sebulan lebih, luka di hatinya itu
hanya tinggal bekasnya saja, tidak terasa nyeri lagi.
“Uihhhh, panasnya....!” Dia mengeluh. Hutan
yang penuh pohon itu masih belum mampu melawan hawa panas yang datang dari
gurun. Daerah sekitar hutan itu adalah daerah pegunungan yang diselang-seling
padang rumput dan padang pasir. Tadi, sebelum memasuki hutan, Kian Bu melewati
padang pasir yang luar biasa panasnya. Matanya silau melihat sinar matahari
menimpa pasir-pasir yang berkilauan, dan terasa benar olehnya hawa yang panas
menyerangnya dari bawah. Maka ketika dia memasuki hutan itu, hawa terasa sejuk
dan nyaman sehingga dia menjatuhkan diri di bawah pohon besar itu sambil
meniupi lehernya. Tubuhnya lelah sekali dan betapa nikmatnya duduk di bawah
pohon, terlindung dari sengatan terik matahari. Angin sepoi-sepoi semilir
meniupi muka dan lehernya, membuat matanya menjadi berat dan mengantuk.
Betapa enak rasanya dilanda kantuk! Sudah
pasti bahwa tidak ada yang lebih nikmat di duia ini daripada tidur bagi orang
yang mengantuk, seperti juga makan bagi orang yang lapar dan minum bagi orang
yang haus.
“Dukk....!” Kepalanya membentur batang pohon.
“Heh-heh, pemalas!” Kian Bu mengomel sambil
tertawa ketika dia tersadar karena ketika dia melenggut tadi, kepalanya
terbanting ke belakang dan membentur batang pohon. Agaknya sudah tidak
berbekas lagi kepatahan hati pemuda yang berwatak gembira ini.
Dia bangkit berdiri, memandang ke sekeliling.
Hutan itu liar dan lebat, sunyi bukan main. Dia ingin sekali tidur barang
sejenak, akan tetapi jangan-jangan ada binatang buas dan berbisa di hutan asing
ini datang mengganggunya di waktu dia tertidur nyenyak. Maka dia lalu
berdongak ke atas dan di lain saat pemuda yang memiliki kepandaian tinggi itu
sudah melesat ke atas pohon, memilih tempat yang enak di atas cabang pohon yang
besar, duduk mepet di pangkal cabang, melingkar seperti seekor monyet dan tak
lama kemudian pemuda ini sudah tertidur pulas!
Tidur merupakan berkat bagi tubuh manusia.
Tidur dengan pikiran kosong tanpa mimpi, biar hanya sekejap saja, sudah sanggup
memulihkan kesegaran tubuh, dan tidur pulas sejam saja sudah terasa amat lama.
Sebaliknya, yang membuat tidur merupakan suatu kemalasan yang bahkan melelahkan
adalah jika pikiran bekerja terus di waktu tidur sehingga timbul mimpi-mimpi
buruk.
“Clekittt....!”
“Auwwww....!” Kian Bu terbangun dan cepat
menggaruk-garuk pinggulnya.
“Sialan.... semut merah!” gerutunya ketika dia
merogoh ke balik celananya dan jari-jari tangannya menjepit seekor semut merah.
Pinggulnya sudah bintul dan terasa gatal sekali. Kiranya semut itu menyelinap
masuk melalui pakaiannya dan entah mengapa, menggigit pinggulnya.
“Huh, tentu semut betina!” gerutunya lagi.
“Kalau jantan mana mau mencubit pinggul? Sialan!” Dia menggaruk-garuk
pinggulnya, makin digaruk makin gatal.
Tiba-tiba dia berhenti menggaruk pinggul. Ada
suara derap kaki kuda! Kiranya hutan liar ini bukannya tidak ada manusianya
seperti yang dia kira semula. Makin lama makin jelas suara derap kaki kuda
menuju ke tempat itu dan tak lama kemudian dia melihat dua orang penunggang
kuda yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat dan bertubuh tegap-tegap dan
kuat-kuat seperti tubuh orang-orang yang biasa hidup mengandalkan kekuatan
tubuhnya. Di punggung mereka terselip golok telanjang yang mengkilap tajam.
Ketika tiba di bawah pohon itu, mereka menahan kuda mereka. Dua ekor kuda itu
meringkik dan mengangkat kaki depan, hidung mereka mendengus-dengus dan mulut
mereka mengeluarkan busa.
“Sudah jelaskah bahwa dia itu mata-mata?”
tanya yang bercambang tebal.
“Tak salah lagi, dia mengejar kita dan
kepandaiannya hebat. Kita harus cepat pulang dan melaporkan ini kepada
pimpinan. Siapa tahu dia diikuti oleh pasukan musuh.”
“Baiknya kita berpencar di sini, dan kalau
kita dapat terbebas dari dia, berkumpul di dusun Ma-cin,” kata pula yang
bercambang tebal.
“Baik!”
Dua orang itu lalu berpisahan, yang seorang
membalapkan kuda membelok ke kiri, dan yang seorang lagi ke kanan. Keadaan
menjadi sunyi kembali setelah derap kaki dua ekor kuda itu menghilang dan tak
terdengar lagi. Sunyi yang menegangkan. Kian Bu duduk di atas cabang pohon,
bersembunyi di balik daun-daun lebar sambil termenung. Jelas bahwa dua orang
itu merupakan anggauta suatu kelompok atau pasukan atau gerombolan. Perkumpulan
apakah yang agaknya menguasai daerah ini? Siapa mereka itu dan siapa ketua
mereka? Dan siapa pula orang-orang yang mereka bicarakan tadi, yang disangka
mata-mata musuh? Dia menanti sampai lama karena mengira bahwa orang yang
dibicarakan mereka berdua tadi, yang katanya mengejar mereka, tentu akan
muncul pula. Akan tetapi, sampai satu jam lebih dia menanti, tidak juga tampak
ada yang datang mengejar.
“Huh, pengejar yang lambat dan bodoh seperti
itu mana akan mampu menyusul buruan?” Dia sudah mengomel karena merasa kesal
juga menanti sebegitu lamanya di atas pohon, dan merasa mendongkol karena dia
telah terganggu dari kenikmatan tidur siang terayun-ayun di cabang itu. Kini
dia harus berjaga dengan penuh ketegangan, namun yang dinanti-nanti tidak
kunjung muncul. Siapa tidak menjadi gemas?
“Uuuhhh, pengejar tolol....!” Habis
kesabarannya dan selagi dia hendak meloncat turun, tiba-tiba terdengar suara
orang bernyanyi! Sayup-sampai suaranya, akan tetapi makin lama makin jelas.
Suara seorang wanita bernyanyi. Merdu bukan main! Suara itu bening, halus dan
pulen, terbawa angin semilir memasuki telinganya mendatangkan perasaan nyaman
dan sedap! Kian Bu terbelalak heran. Suara wanita begitu merdu di hutan liar
dan sunyi ini? Jangan-jangan suara siluman itu! Yang dinantikannya adalah
seorang pengejar yang bengis, bukan seorang yang suaranya mengalahkan biduanita
yang pernah didengarnya bernyanyi di kota raja! Dan isi nyanyian itu! Dia
mendengarkan penuh perhatian.
“Pada usia delapan tahunaku mencuri pandang
di dalam cermin,dan aku sudah dapat menghitami alis mataku!
Pada usia sepuluh aku pergi ke pesta sincia
dengan baju baru berkembang bunga teratai!Pada usia dua belas aku belajar
meniup suling,hiasan kuku tak pernah lepas dari jari tanganku!Pada usia empat
belas akutak berani bertemu pria, menduga-duga akan segera dijodohkan.Pada usia
lima belas aku menangis di dalam musim bunga,dan menyembunyikan mukakudi balik
pintu taman....”
Kian Bu tertegun. Tentu saja dia mengenal
sajak nyanyian itu. Kian Bu telah diberi pelajaran sastra oleh ibunya dan
banyak sajak-sajak ciptaan sastrawansastrawan kuno hafal olehnya. Dia ingat
bahwa nyanyian itu diambil dari sajak ciptaan pujangga Li Shang Yin yang hidup
di abad ke sembilan (812-858). Li Shang Yin terkenal dengan tulisan sajaknya,
terutama sajak Tujuh Sajak Cinta dan yang dinyanyikan suara merdu itu adalah
saja ke tiga!
Kian Bu menjadi penasaran karena sampai lama
orangnya belum juga muncul. Kalau penyanyi itu berjalan kaki, tentu jalannya
lambat sekali, apalagi kalau naik kuda. Agaknya kudanya itu berjalan sambil
makan rumput di sepanjang jalan! Akan tetapi, wanita dengan suara seperti itu
tidak pantas kalau berjalan kaki atau naik kuda di hutan liar ini, pantasnya
naik kereta. Akan tetapi dia tidak mendengar suara roda kereta!
Kian Bu merayap turun dari atas pohon. Kalau
yang muncul seorang wanita bersuara semerdu ini, dia tidak perlu lagi
bersembunyi. Sebaliknya malah, dia ingin menemui wanita itu dan melihat apakah
orangnya juga seindah suaranya! Dengan tergesa-gesa dia merayap turun, lalu
meloncat ke bawah.
“Heiiitttt.... eihhhh....!” Kian Bu meloncat
ke samping menghindarkan kakinya yang hampir menginjak sebuah kepala orang!
Dia memandang dengan mata terbelalak dan tengkuknya berdiri karena merasa
serem. Kepala itu berambut panjang sudah putih semua, kepala yang kecil,
kepala seorang tua renta, seorang kakek kurus yang sedang tidur mendengkur di
bawah pohon, kepalanya berbantalkan akar pohon itu.
Kian Bu melongo. Bagaimana dan bila mana orang
ini bisa berada di bawah pohon tanpa diketahuinya? Mustahil! Kalau sudah lama,
pasti tampak oleh dua orang berkuda tadi. Kalau baru saja, bagaimana sampai dia
tidak tahu? Jangan-jangan ini bukan orang, melainkan setan, iblis hutan yang
menjaga hutan itu! Dan jangan-jangan suara merdu tadi itu pun suara peri atau
siluman yang suka menjadi perempuan cantik. Dia bergidik akan tetapi
dilawannya dengan keyakinan bahwa menurut dongeng-dongeng manapun juga, setan
dan iblis tidak muncul di siang hari! Dan sekarang masih siang. Kata yang
empunya dongeng, semua mahluk halus takut akan sinar matahari. Bukan kalau
begitu, bukan iblis! Kalau manusia, tentu luar biasa sekali kepandaian kakek
ini! Kiranya hanya orang dengan kepandaian setingkat kakaknya atau dia sendiri
yang akan mampu datang tanpa suara seperti itu! Kian Bu menjadi khawatir, dan
melihat orang itu tidur mendengkur, dia lalu melayang lagi ke atas, sembunyi di
dalam daun-daun sambil mengintai ke bawah. Kalau kakek itu berniat buruk
kepadanya, tentu sudah dilakukannya dari tadi, tidak tidur mendengkur dulu di
bawah pohon.
Kini terdengar bunyi kerincingan. Masih lirih
tanda bahwa suara itu masih jauh akan tetapi suara kerincingan itu bening
sekali. Tang-ting-tang-ting dan crang-cring-crang-cring seperti perak dipukul.
Dan kini terdengar lagi suara wanita bernyanyi, suara yang merdu tadi, kini
diiringi suara kerincingan tang-ting-tang-ting itu, seolah-olah yang-kim
(kecapi) yang hanya mempunyai dua macam nada. Suaranya yang merdu itu kini
bernada gembira dan jenaka.
“Hujan musim rontok,
hujan musim rontok!
Tiada bulan, tiada malam.
Berintik-rintik, bercucuran deras!
Lampunya padam, kasurnya dingin,
kesepian yang menjemukan.
Si Cantik Jelita berduka merana!
Angin barat semilir meniup bambu di jendela,
berhenti sebentar dan mulai lagi,
dua butir air mata seperti mutiara
bergantung di sepasang pipi dingin.
Betapa sering kakanda berjanji,
Apabila angsa liar terbang datang....
Kakanda melanggar janji,
angsa liar telah datang,
namun kakanda tidak....”
Saking kagumnya karena dia pun mengenal sajak
indah ini, Kian Bu meloncat turun lagi, lupa bahwa di bawah itu ada orang
tidur. Untung rambut putih itu tampak olehnya sehingga dia cepat berjungkir
balik dan turun di balik pohon besar. Sialan, pikirnya. Kamu mengejek aku, ya!
Dia baru, saja mengalami kegagalan cinta dan sejak tadi suara itu bernyanyi
tentang cinta gagal! Tapi kakek ini agaknya menanti yang bersuara itu.
Kian Bu menyelinap di balik batang pohon
besar, tak jauh dari situ, menanti dan siap untuk membantu kalau kakek seperti
setan ini nanti menyerang si penyanyi yang tentu saja seorang wanita.... dan
sepatutnya cantik pula. Suara seperti itu sepantasnya keluar dari bibir yang
mungil, mulut yang basah kecil dan segar! Mau dia mempertaruhkan.... kucirnya
kalau tidak begitu!
Suara berkerincing tadi makin jelas dan dari
balik tempat sembunyinya, Kian Bu memandang ke depan, sama sekali lupa dia
sudah akan kehadiran kakek yang tadi tidur mendengkur di bawah pohon. Hatinya
berdebar tegang karena ingin sekali dia melihat orang yang mempunyai suara
indah itu.
Mula-mula yang tampak adalah kuda putih kecil
seperti keledai muncul di tikungan jalan. Kuda itu mungkin keturunan keledai,
pendek dan telinganya panjang seperti telinga keledai. Leher kuda itu dipasangi
kalung yang terbuat dari kerincingan-kerincingan kecil itu sehingga selalu
mengeluarkan bunyi ketika kuda setengah keledai itu berjalan. Akan tetapi, kuda
atau keledai Kian Bu tidak peduli, yang penting adalah penunggangnya! Seorang
dara remaja yang.... aduhai! Cantik manis, jelita remaja, dengan bentuk tubuh
yang meranum, duduk seenaknya di atas punggung keledai sehingga Kian Bu
mendengar hatinya berbisik, “Aku juga mau menjadi keledai itu!” Dara itu
memegang sebatang payung yang terbuka dan payung itu bergerak-gerak terkena
angin, akan tetapi tetap dipertahankan menjaga mukanya yang manis itu dari
sengatan sinar matahari.
Seperti orang terpesona, Kian Bu lupa bahwa
dia harus bersembunyi. Tahu-tahu dia sudah melangkah keluar dari pohon besar
itu, memandang kepada dara ayu beraksi dengan payungnya di atas keledai itu
sambil tersenyum, memasang “senyum mautnya” karena kini sudah pulih kembali
Kian Bu, menjadi seperti Kian Bu yang dahulu, jenaka gembira dan paling suka
berhadapan dengan wanita jelita!
“Selamat siang, Nona. Wahai.... suaramu tadi,
nyanyianmu tadi, hebat bukan main....” Kian Bu menegur ramah.
Dara itu menahan keledainya, berhenti di
depan Kian Bu tanpa menurunkan payungnya, memandang penuh selidik, kemudian
terdengar dia bertanya, suaranya serak-serak basah tidak seperti nyanyian
yang bening tadi, akan tetapi malah terdengar makin menarik bagi “telinga
keranjang” Kian Bu.
“Apanya yang hebat? Apakah engkau mengerti
nyanyian tadi?” Agaknya dara itu menduga bahwa Kian Bu hanyalah seorang pemuda
gunung yang mencari kayu bakar di hutan itu.
“Kesemuanya hebat dan indah! Sajak ke tiga
dari Lagu Tujuh Cinta karangan Li Shang Yin di jaman Tong-tiauw itu hebat, akan
tetapi sajak Yen Sian di jaman Sung-tiauw tadi pun indah. Dan terutama
sekali.... suaramu amat merdu, Nona....”
Dara itu membelalakkan matanya, sekali lagi
tangannya bergerak, “Treppp!” Payung itu telah tertutup dan sekali pinggangnya
yang ramping dan pinggulnya yang melengkung itu bergerak, dia sudah meloncat
turun dari punggung keledai. Kian Bu makin kagum melihat gadis itu sudah
berdiri. Kiranya bentuk tubuhnya juga hebat, seperti yang diduganya, setelah
kini dara itu berdiri, akan tetapi untuk memuji tubuh orang dia tidak berani,
maka biarpun sepasang matanya memandang tubuh dara itu, mulutnya memuji
keledai, “Keledaimu putih mulus dan bentuknya mempesona!”
“Apa, keledai? Buka matamu baik-baik, sobat.
Engkau pandai mengenal sajak, akan tetapi tidak dapat mengenal binatang
keramat!”
“Hahh....?” Kian Bu baru sekarang memandang
keledai itu penuh perhatian karena disebutnya binatang keramat oleh dara itu.
Dia mendekati dan melihat dengan teliti dari moncong sampai ke ekor, dari ujung
telinga sampai ujung kaki, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang aneh pada
binatang “keramat” ini.
“Kau melihat sesuatu yang aneh?” dara itu
bertanya.
Kian Bu menggeleng kepalanya. “Ini hanya
seekor keledai biasa, hanya bulunya putih dan....”
“Engkaulah yang bodoh melebihi keledai!”
Gadis itu mencela. “Ini bukan keledai melainkan seekor kuda.”
“Hah? Kuda? Memang mukanya tidak sebodoh
keledai, akan tetapi telinganya panjang dan kakinya pendek....”
“Agaknya engkau seorang kutu buku yang hanya
tahu tentang sajak,” gadis yang amat lincah dan galak itu mengomel. “Ini
adalah keturunan dari kuda Han-hiat-po-ma (Kuda Keramat Berkeringat Darah) dan
seekor keledai. Masih keturunan yang ke tiga puluh sembilan dari kuda
tunggangan Kaisar Jenghis Khan di jaman dahulu!”
“Ahhhh....!” Kian Bu mengangguk-angguk.
“Tentu hebat sekali!”
“Tentu saja hebat!” Dara itu lalu
mengalungkan gagang payung yang bengkok itu ke sebuah di antara telinga
keledai itu dan.... telinga itu menegang dapat menahan payung!
“Ha-ha, kiranya bisa juga dipakai sebagai
tempat menyimpan payung!” Kian Bu tertawa.
“Kau menertawakan kuda keramat ini? Hemm,
dasar engkau tolol. Akan tetapi sudahlah, aku mau bertanya padamu.”
“Tanya? Tanyalah!” Kian Bu tertarik sekali.
Gadis remaja ini lincah, gembira dan jenaka, begitu bebas dan terbuka, akan
tetapi juga memperlihatkan keberanian luar biasa, tidak malu-malu seperti
kebanyakan gadis biasa.
“Aku mau bertanya, apakah engkau tadi melihat
orang lewat di sini?”
“Orang lewat? Dua orang laki-laki penunggang
kuda?”
“Ih, bukan! Siapa yang mencari laki-laki?
Cihh!”
Kian Bu tersenyum, lalu dia teringat akan
kakek yang mendengkur itu. Wah, sudah pasti kakek itu yang dicari. Gadis manis
jenaka dengan keledai aneh ini pantasnya memang berkawan dengan kakek aneh itu.
“Apakah kau mencari dia....?” Kian Bu menoleh dan menuding ke bawah pohon di
mana dia tidur tadi. “Ehhhh....? Heeee, ke mana dia....?” Kian Bu tertegun
karena di bawah pohon itu tidak ada apa-apanya, jangankan seorang kakek tidur,
seekor cacing pun tidak nampak. Kian Bu mencari-cari dengan pandang matanya, ke
kanan kiri, ke atas bawah, depan belakang, namun tidak kelihatan lagi bayangan
seorang kakek. “Wah, ke mana dia....? Apakah aku mimpi....?”
Gadis itu juga menoleh ke kanan kiri dan dia
tertawa geli melihat sikap Kian Bu yang kebingungan. Dia tertawa dengan manis
sekali, mengeluarkan suara ketawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan,
akan tetapi karena jari-jari tangan yang dipakai menutupi mulut itu merenggang,
jadi masih nampak deretan gigi putih seperti mutiara di balik belahan bibir
merah.
“Hi-hi-hik, kau mencari apa?”
“Kakek tua renta....”
“Aku juga tidak butuh kakek-kakek! Yang kucari
adalah seorang wanita!”
Kian Bu memandang dara itu. “Seorang wanita?”
“Ya, seorang wanita cantik sekali, pakaiannya
indah menyala, mukanya bundar telur, dagunya runcing, matanya seperti bintang
kejora, berkedip-kedip dan lirikannya tajam seperti gunting, hidungnya agak
terlalu mancung, pipinya merah, bibirnya lebih merah lagi dan senyumnya manis
melebihi madu lebah. Pakaiannya indah dan dari sutera mahal, jubahnya berwarna
merah muda, ikat pinggangnya kuning dan celananya biru, rambutnya digelung ke
atas seperti puteri istana. Hemm, pendeknya seorang wanita cantik dan kaya, dan
dia amat genit, genit memikat hati. Kau melihat dia?”
Kian Bu melongo. Bukan karena penuturan itu,
akan tetapi melongo mengikuti gerakan bibir yang tiada hentinya bergerak
ketika bicara panjang lebar itu. Bibir yang gerakannya menggemaskan, mencas-mencos
akan tetapi manis sehingga Kian Bu merasa seolah-olah pandang matanya melekat
pada bibir itu, bibir bawah yang mempesona itu. Gadis ini benar-benar genit
menarik, dan dia masih dapat mengatakan orang lain genit memikat! Melihat
usianya tentu tidak akan lebih dari lima belas tahun, seperti tersebut di
dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi “bocah” ini sudah pandai bicara, pandai
mainkan bibir dan gerak bola mata, bahkan sudah pandai pula menilai wanita
lain!
“Yang bagaimana sih yang disebut genit memikat
itu?” Kian Bu menggoda, akan tetapi sikapnya seolah-olah dia mengingat-ingat
barangkali dia pernah bertemu dengan wanita yang digambarkan oleh dara itu.
“Genit memikat saja kau tidak tahu? Waahh,
sungguh bocah gunung yang terbelakang kau! Genit memikat adalah.... aihhh....
bagaimana, ya?” Dara itu kelihatan tersipu, agaknya sukar juga baginya untuk
memberi penjelasan. “Pendeknya, sikap yang genit, yang centil, yang mempunyai
daya pikat, terhadap pria terutama. Masa kau tidak mengerti?”
Kian Bu yang merasa suka sekali kepada sikap
dara ini, mulai menggodanya.
“Apakah kaumaksudkan, genit memikat hati itu
seperti sikap ini?” Kian Bu lalu bergaya, meliak-liukkan tubuhnya, melerok dan
menjulurkan lidahnya seperti orang menakut-nakuti anak kecil. “Beginikah genit
memikat?”
“Hi-hi-hik!” Dara itu tertawa geli, menggeleng
kepalanya keras-keras. “Ah, sama sekali bukan!”
“Apakah begini?” Kian Bu merubah gayanya,
melotot cemberut seperti nenek-nenek marah.
“Bukan! Bukan....! Ihh, menakutkan gitu mana
bisa disebut memikat?”
“Habis bagaimana? Coba kauberi contoh biar
aku mengerti!”
Gadis itu menjadi gemas akan kebodohan pemuda
itu. “Dasar engkau tolol! Nah, dengarkan baik-baik, dan lihat baik-baik, buka
telinga dan matamu lebar-lebar. Wanita yang genit memikat itu adalah seorang
wanita yang pandai bergaya palsu, tidak wajar, seperti seorang pemain
sandiwara, kau pernah melihat wayang? Nah, dia beraksi di depan pria untuk
memikat hati pria itu, langkahnya dibuat-buat....” Gadis itu lalu melangkah hilir-mudik
di depan Kian Bu, lenggangnya dibuat-buat dan karena memang bentuk tubuhnya
ramping dan lekuk-lengkungnya penuh dan padat dalam keranumannya, belum masak
benar akan tetapi tubuhnya lunak dan lemas sekali, maka ketika dia melenggang
dengan gaya dibuat-buat itu, pinggangnya berliuk seperti batang yang-liu
tertiup angin, pinggulnya seperti dua benda hidup bergerak ke kanan kiri dan
lehernya yang panjang menoleh kanan kiri!
“Selain lenggangnya menarik, dia pun
menggerak-gerakkan bibirnya dan matanya menyambarkan kerling maut, seperti
ini....”
Kian Bu berdiri bengong, matanya terbelalak,
mulutnya ternganga sehingga kalau banyak lalat di situ mungkin mulutnya akan
kemasukan lalat tanpa disadarinya, seluruh perhatiannya terbetot dan semangatnya
terseret karena dia sudah terpikat benar-benar oleh peniruan sikap genit
memikat dari gadis itu! Kini dia mengikuti gerak bibir yang mencap-mencep,
dasar bibirnya berbentuk bagus sekali, merah membasah, yang bawah penuh
berkulit dan penuh berkulit tipis seperti mudah sekali pecah, kadang-kadang
digigit oleh giginya yang putih, dilepaskan lagi, dijebikan, pendeknya setiap
gerak bibir itu menimbulkan kemanisan tersendiri. Semua ini ditambah oleh
matanya yang bening itu mengerling penuh daya pikat sehingga Kian Bu merasa
seolah-olah disedot dan ingin dia melangkah mendekati gadis itu, seperti besi
ditarik semberani!
“Lenggang dan gerak bibir dan mata ini tentu
saja ditambah dengan sentuhan-sentuhan memikat untuk menjatuhkan hati pria,
begini contohnya....” Kini gadis yang melenggang hilir-mudik di depan Kian Bu
itu mendekat dan sambil lewat kini telunjuknya bergerak, mencubit lengan,
menowel dagu Kian Bu. Hampir saja Kian Bu tidak kuat bertahan lagi. Bau sedap
harum yang keluar dari dara itu ketika mendekat, sentuhan halus telunjuk ke
dagunya yang mengirim getaran sampai ke ujung kaki dan ubun-ubun kepalanya,
benar-benar membuat gadis itu amat menarik dan memikat. Hampir saja dia lupa
diri dan memeluk dengan gemas. Akan tetapi tentu saja ditahannya keinginan ini
dan dia makin bingung, makin melongo dan bengong terpesona.
Dara itu tertawa cekikikan dengan geli hati
ketika melihat betapa pemuda tampan itu plonga-plongo seperti seorang tolol
ketika melihat dia bergaya tadi.
“Eh, kau kenapa sih?”
Kian Bu sadar kembali dan dia
tersenyum, mengusap kepalanya seolah-olah hendak mengusir kepeningan otaknya.
“Wah, engkau hebat sekali, Nona. Eh, sebetulnya siapa sih yang kaucari itu? Dan
mengapa kau mencarinya?”
Gadis itu duduk di atas akar pohon, membiarkan
kuda keramatnya itu terlepas begitu saja. Kian Bu juga duduk di depannya dan
gadis itu memandang wajah Kian Bu penuh selidik, baru dia berkata, “Wajahmu
mendatangkan kepercayaan di hatiku, tidak seperti wajah orang-orang yang
kutemui sebelum ini.”
Kian Bu mengusap mukanya. “Wajahku kenapa
sih?”
“Wajahmu seperti orang tolol.... hi-hik, dan
orang-orang tolol merupakan orang yang boleh dipercaya, tidak seperti
orang-orang pintar yang biasanya terlalu pintar, akan tetapi kepintarannya itu
hanya untuk menipu orang lain. Eh, siapa sih namamu? Kalau belum kenal, mana
mungkin aku menceritakan keadaanku?”
“Aku Suma Kian Bu, dan kau....”
“Namaku Siang In, she Teng.”
“Teng Siang In, nama yang indah, seindah
orangnya.”
“Hi-hik!”
“Kenapa kau tertawa, Siang In?”
“Kurasa kau agaknya berdaya-upaya untuk
memuji-mujiku. Apakah engkau merupakan seorang yang genit memikat pula? Tentu
saja dari golongan laki-laki! Biasanya laki-laki memikat wanita dengan
pujian-pujian.”
“Wah, kau agaknya serba tahu saja. Siang In,
aku suka bersahabat denganmu. Engkau seorang gadis yang jujur, pandai sastra,
suaramu merdu, wajahmu cantik jelita, dan kau aneh sekali, sungguh menarik
hatiku. Sekarang ceritakan, siapa yang kaucari itu?”
“Kian Bu, entah mengapa, begitu bertemu
dengan engkau hatiku terus saja percaya penuh, seolah-olah sudah lama aku
mengenalmu. Eh, kau tadi bilang tentang orang di bawah pohon, yang kaucari-cari
tadi. Siapa dia?” Gadis itu tiba-tiba memandang dengan penuh kecurigaan ke
kanan kiri.
“Aku pun heran sekali. Tadi aku melihat
seorang kakek tua renta berada di bawah pohon, tertidur mendengkur, akan tetapi
dalam sekejap mata saja lenyap seperti setan.”
“Ihhh.... aku paling ngeri dengan segala
setan!” Gadis itu ketakutan dan menggeser duduknya lebih dekat dengan Kian Bu.
Tentu saja pemuda itu menjadi girang dan dia melanjutkan ceritanya.
“Tadi aku mengaso di atas pohon itu dan
aku tidak melihat ada orang datang dekat.... eh, tahu-tahu ada seorang kakek
tua sekali tidur di bawah pohon, mendengkur dan kakek itu rambutnya sudah putih
semua, tidak seperti manusia biasa. Aku sudah curiga karena kedatangannya yang
tiba-tiba itu tidak lumrah, dan tadi.... eh, tahu-tahu dia lenyap begitu saja.
Apa lagi kalau bukan iblis penunggu hutan ini....”
Gadis ini makin ketakutan, mepet dan memegang
lengan Kian Bu. Akan tetapi betapa kagetnya hati Kian Bu melihat wajah gadis
itu menjadi pucat sekali dan ada air mata di pipinya. Gadis itu menangis
saking takutnya! Kian Bu menjadi menyesal sekali dan cepat dia meloncat berdiri
sambil bertepuk tangan. “Ha-ha-ha, engkau kena kubohongi! Tidak ada setan tidak
ada apa-apa!”
Dara itu cemberut. “Ihh, engkau sungguh
nakal. Aku sampai hampir pingsan ketakutan. Kau bukan orang baik, kau suka
bohong, aku tidak jadi berteman denganmu kalau begitu!” Gadis itu sudah bangkit
berdiri dan hendak pergi menghampiri keledainya.
Kian Bu tertegun. Bocah ini benar aneh.
Biarpun belum matang benar, akan tetapi juga bukan kanak-kanak lagi, akan
tetapi di samping kecantikannya dan pandainya bergaya, seperti orang dewasa,
gadis ini takut kepada setan dan suka ngambek seperti anak kecil!
“Ah, Siang In, kaumaafkanlah aku. Aku hanya
main-main, masa engkau menjadi marah? Maafkan aku.”
“Aku mau maafkan kalau kau berlutut dan
menyebut aku nenek!” gadis itu berkata cemberut dan membanting-banting kaki
kanannya.
Kian Bu hampir tertawa bergelak, akan tetapi
untuk menyenangkan hati gadis remaja yang aneh itu, apa boleh buat dia lalu
berlutut, mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan sambil menyebut,
“Nenekku yang baik, kauampunkan cucumu ini!”
“Hi-hi-hik!” Gadis itu terkekeh dan Kian Bu
juga bangkit sambil tertawa-tawa. Keduanya tertawa gembira dan duduk lagi di
atas akar pohon. Aneh, Kian Bu merasa gembira sekali dan lenyaplah semua
bayangan gelap dari masa lalu. Dia kini sudah lebih matang dan hati-hati, tidak
mau gampang saja jatuh cinta. Dara ini merupakan seorang sahabat yang amat
menyenangkan.
“Siang In, sekarang kauceritakan tentang
dirimu dan mengapa engkau berada di tempat sunyi ini seorang diri dan siapa itu
wanita genit memikat yang kaucari itu.”
Setelah kini bebas dari perasaan takut akan
setan, sepasang pipi dara itu menjadi kemerahan lagi, bibirnya yang manis
merekah penuh senyum dan matanya yang jeli besinar-sinar.
“Tidak ada apa-apanya yang menarik dalam
riwayatku,” gadis itu memulai.
“Orangnya saja sudah amat menarik, apalagi
riwayatnya.” Kian Bu berkata dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa
kagumnya.
“Eh, Twako.... kau mau kan kusebut twako? Aku
tidak mempunyai kakak laki-laki, maka biarlah engkau menjadi penggantinya.
Kalau aku tidak merasa yakin bahwa engkau seorang yang baik, tentu aku curiga
melihat sikapmu terlalu manis, pujian-pujianmu terlalu muluk itu. Sikapmu
seperti laki-laki perayu wanita benar!”
“Aku hanya bilang sejujurnya, masa tidak
boleh? Aku suka akan kembang indah harum, suka melihat dara secantik engkau.
Apakah aku harus membohong mengatakan engkau gadis buruk?”
Siang In tertawa. “Akan tetapi sinar matamu
kalau memandangku.... hihhh, aku menjadi ngeri dibuatnya! Nah, aku mau
bercerita tentang diriku. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi....”
“Aduh kasihan....!”
“Akan tetapi aku mempunyai seorang enci (kakak
perempuan)....”
“Juga cantik jelita jelita seperti engkau?”
“Ihh, Twako. Engkau mata keranjang benar!”
“Lho, kenapa mata keranjang? Pertanyaan
wajar, kan? Masa aku harus bertanya apakah encimu itu tampan dan gagah, kan
menjadi banci nanti!” Mereka berdua tertawa-tawa lagi dan hutan yang biasanya
sunyi itu kini bergema suara tertawa pemuda dan dara itu.
“Tentu saja enciku yang bernama Siang Hwa amat
cantik melebihi aku yang buruk ini. Kami berdua tinggal di lerenggunung sana
itu melanjutkan usaha mendiang Ayah, menanam obat-obatan yang kami jual ke kota
dan sebagian kami bagi-bagikan kepada rakyat miskin yang membutuhkan
pertolongan obat.”
“Aih, kiranya engkau ini ahli obat, ya?
Lengkap benar kepandaianmu?”
“Lengkap apanya?”
“Coba kuhitung. Satu, engkau pandai memelihara
kuda keramat, dua, engkau pandai meniru gaya wayang dan berperan sebagai wanita
genit memikat, tiga, engkau pandai ilmu silat, dan empat, engkau pandai ilmu
pengobatan!”
“Huh, engkau hanya memuji kosong saja, kalau
kudengarkan kepalaku bisa berubah menjadi segentong besarnya. Sudah, tak perlu
memuji-muji, tapi dengarkan ceritaku. Mendiang ayahku barulah berani disebut
ahli pengobatan karena beliau itu terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan
Yok-sian....”
“Ahhh....!” Kian Bu berteriak dan meloncat
berdiri. Teringat akan setan yang amat ditakuti, Siang In juga meloncat dan
memandang ke kanan kiri.
“Ada apa?” Dia sudah memegang lengan pemuda
itu lagi.
“O, tidak ada apa-apa, aku hanya terkejut
mendengar julukan ayahmu.”
“Huh, kekagetanmu membikin aku kaget.” Mereka
duduk kembali di atas akar pohon.
“Apakah ayahmu itu Suheng dari kakek yang
berjuluk Sin-ciang Yok-kwi?”
“Eh, bagaimana engkau bisa, mengenal julukan
Susiok (Paman Guru)?”
“Wah, engkau yang kami caci-cari, ketemu
sekarang orangnya!”
“Lho, kenapa mencari-cari aku?”
Kian Bu lalu menceritakan tentang
“keponakannya” yang terluka hebat oleh pukulan beracun dan menurut keterangan
Sin-ciang Yok-kwi, seorang di antara mereka yang kiranya dapat mengobati gadis
keponakannya itu adalah keturunan Yok-sian.
“Sayang, sekarang keponakanku itu pergi entah
ke mana sehingga biarpun aku berjumpa denganmu juga percuma.”
“Dan pula, aku juga tidak bisa mengobati. Aku
hanya ahli mengenal buah, bunga, daun, dan akar obat. Yang mewarisi kepandaian
Ayah adalah Enci Siang Hwa. Bu-twako, kalau kau terus-terusan mengganggu
ceritaku, tidak akan habis-habis riwayatku.”
“Oh, teruskanlah.”
“Seperti kuceritakan tadi, kami hidup berdua
saja. Aku tukang menanam tumbuh-tumbuhan obat, mencari dan memilih bibit
bibitnya dari hutan, dan enci yang menjual hasil tanaman itu ke kota. Pada
beberapa hari yang lalu, aku sendirian saja di rumah, Enci sudah dua hari pergi
ke kota menjual obat dan belum juga pulang, padahal biasanya tidak pernah
bermalam. Lalu datang seorang wanita....”
“Genit pemikat....”
“Kok tahu?”
“Yang kaucari-cari itu tentu, siapa lagi!”
“Benar. Wanita cantik pesolek itu datang dan
karena sikapnya manis budi, dan di lereng itu kami tidak mempunyai tetangga
dan hari sudah malam, aku tidak keberatan ketika dia menyatakan hendak
bermalam. Dia pandai bicara dan ramah sekali, sampai aku lalai dibuatnya dan
pada keesokan harinya, Si Cantik Genit itu telah pergi sebelum aku bangun....”
“Wah engkau tentu pemalas dan bangunmu
kesiangan!”
“Ngaco! Siapa bilang aku pemalas? Jam lima
pagi aku sudah bangun, tidak mau keduluan ayam....”
“Makannya!”
“Ihh, kau menghina, ya? Kalau aku gembul
makan, tentu tubuhku menjadi gendut. Nih, lihat, apa aku gendut?”
“Kau ramping! Habis, tidak mau keduluan apa
oleh ayam?”
“Mandi.”
“Wah, tentu saja! Habis, ayam tidak pernah
mandi, biar kau bangun jam sembilan dan mandi jam sepuluh juga tidak akan
keduluan ayam. Sudahlah, lalu bagaimana?”
“Ya sudah habis. Wanita cantik genit
memikat itu pergi dan aku lalu melakukan pengejaran sampai di sini. Tadinya
aku mencari di pegunungan itu tidak ketemu, lalu aku pulang menanti Enci
kembali dari kota untuk melaporkan hal itu. Akan tetapi sampai lima hari Enci
tidak pulang-pulang, aku khawatir Enci mendapatkan halangan biarpun dia pandai
ilmu silat dan tidak sembarangan orang mampu mencelakainya. Aku lalu mengajak
Pek-liong pergi mencari Enci dan perempuan maling kitab itu.”
“Pek-liong (Naga Putih)....?”
“Itulah dia Pek-liong.” Dara itu menuding ke
arah keledai yang masih enak enak makan rumput. Kian Bu menahan gelinya.
Keledai kecil itu dinamakan Naga Putih!
“Wah, kasihan sekali engkau, Siang In.”
“Sudah, aku tidak minta kasihanmu, sekarang
kauceritakan riwayatmu.”
“Riwayatku? Aku orang biasa saja....”
“Tidak, engkau luar biasa. Tidak ada pemuda
gunung buta huruf yang mengenal sajak Li Shang Yin dan Yen Siang!”
“Habis, menurut penglihatanmu, aku orang apa?”
“Engkau tentu seorang pemuda kota, seorang
sastrawan lemah yang terbuai khayal, agak berfilsafat dan engkau perayu wanita
tapi tidak kurang ajar dan.... sudah, kauceritakan riwayatmu.”
“Riwayatku tidak ada apa-apanya. Namaku Suma
Kian Bu dan aku sedang merantau untuk menghibur hati dan melihat keindahan
alam, aku suka akan kesunyian maka aku berada di hutan ini. Eh, sekarang kau
hendak ke mana, Adik Siang In yang baik?”
Dara itu lupa bahwa penuturan riwayat Kian Bu
itu sama sekali tidak lengkap, karena dia sudah terpikat oleh sikap dan
pertanyaan yang ramah itu. “Aku hendak mencari enciku dan perempuan genit itu.”
“Ke mana?”
Dara itu mengerutkan alisnya. “Entahlah.
Sampai di sini aku kehilangan jejak. Di dusun seberang gurun itu ada yang
melihat Si Perempuan Genit menuju ke sini, maka aku mengejar. Kiranya bertemu
dengan engkau, dan sialnya engkau tidak melihat perempuan itu.”
“Mari kubantu engkau mencari dia dan encimu.”
“Ke mana?”
“Ke mana saja, dan karena menurut
penyelidikanmu, wanita itu lewat ke jurusan ini, kita tentu akan dapat
menemukan jejaknya lagi di luar dusun ini, asal kita dapat melewati dusun.”
“Aku pernah mencari daun-daun obat di hutan
ini dan di sebelah barat hutan ini terdapat perkampungan.”
“Bagus sekali. Kalau begitu kita mencari ke
sana. Hayo kita berangkat!”
Siang In kelihatan girang sekali. Dia
mengambil payungnya dari telinga keledai karena biar keledai itu makan rumput,
payung tadi masih saja tergantung di telinganya, kemudian menuntun keledainya.
“Kenapa tidak kautunggangi?”
“Ah, tidak. Enakan berjalan bersama engkau,
Twako. Kalau hanya aku sendiri menunggang keledai dan kau jalan, tidak enak,
ah!”
“Ditunggangi berdua pun kasihan, keledai
kecil begitu.”
“Ih, jangan memandang rendah kuda keramatku,
ya? Mau mencoba kekuatannya? Mari kau meloncat ke punggungnya,” Siang In
menantang. Karena ingin tahu, Kian Bu menurut dan naik ke punggung kuda atau
keledai itu.
“Kau maju sedikit, beri tempat untukku!”
Siang In berseru.
Kian Bu makin heran, akan tetapi dia menggeser
ke depan dan tiba-tiba dia merasa betapa bagian belakang tubuhnya bersentuhan
ketat dengan sesuatu yang lunak dan hangat. Tubuh dara itu yang sudah duduk di
belakangnya! Dia merasa geli dan bulu tengkuknya berdiri semua sehingga dia
tertawa-tawa.
“Apa cekikikan? Lihat betapa kuatnya kuda
keramatku Pek-liong agar engkau tidak menghinanya lagi. Pek-liong,
terbanglah!” Siang In mengeprak perut keledai itu dengan tumit kakinya. Dan
hampir saja Kian Bu berteriak saking kagetnya ketika tiba-tiba keledai itu
meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali! Benar-benar cepat larinya, tidak
kalah oleh kuda besar yang manapun sehingga dia melihat pohon-pohonan
berlari-lari di kanan kirinya dan telinganya mendengar desir angin! Tentu saja
Kian Bu sama sekali tidak merasa takut karena ilmunya berlari cepat tidak kalah
cepatnya dengan larinya keledai ini, dan sebetulnya dia merasa nikmat dan
senang sekali karena punggungnya beradu ketat dengan dada gadis itu ketika
keledai berlari, akan tetapi karena dia ingin dianggap sebagai “sastrawan
lemah” maka dia sengaja berteriak-teriak ketakutan.
Siang In menghentikan keledainya dan tertawa.
“Bagaimana? Kau masih berani menghina Pek-liong?” Dia melompat turun dan Kian
Bu juga merosot turun. Dilihatnya keledai itu bernapas biasa saja sehingga
diam-diam dia menjadi kagum juga.
“Wah, wah, sebentar lagi dia tentu benar-benar
terbang. Agaknya kudamu ini memang penjelmaan naga putih, Adik Siang In.”
Gadis itu gembira sekali mendengar pujian ini
dan mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bersendau-gurau dan
tertawa-tawa, kalau dilihat dari jauh seperti sepasang orang muda sedang
bertamasya saja layaknya. Betapa indahnya hidup ini bagi orang-orang muda,
maka kasihanlah orang-orang muda yang tidak mampu menikmati keindahan hidup,
bahkan terseret mencari-cari kesenangan hampa yang mengotorkan tubuh dan jiwa!
***
Dusun itu cukup besar dan ramai, menjadi
tempat perhentian mereka yang melakukan perjalanan di perbatasan utara itu.
Hari telah senja ketika Kian Bu dan Siang In tiba di dusun ini.
“Perutku lapar....” Siang In berkata sambil
menekan perutnya.
“Sama....” Kian Bu menjawab. “Mari kita cari
kedai makanan.”
Sambil menuntun Pek-liong, Kian Bu berjalan
bersama Siang In memasuki dusun dan mencari-cari. Akhirnya mereka melihat
sebuah kedai makanan dan Kian Bu segera mencancang keledai itu di luar kedai,
kemudian mereka berdua masuk ke dalam kedai makanan yang penuh dengan orang
makan minum itu. Di antara para tamu, Kian Bu mengenal dua orang penunggang
kuda yang dilihatnya dari atas pohon di hutan tadi, maka dia lalu mengajak
Siang In duduk di meja tak jauh dari mereka. Kian Bu memasang telinga dan
mendengar percakapan bisik-bisik dua orang itu. Ternyata mereka berdua “lolos”
dari kejaran mata-mata musuh dan menurut percakapan itu, kiranya mereka menduga
adanya banyak mata-mata musuh yang berkeliaran di daerah itu dan yang agaknya
menyelidiki keadaan. “Kita harus cepat lapor kepada pimpinan.” Demikian kata Si
Cambang Tebal yang segera menghentikan percakapan setelah melihat masuknya
beberapa orang tamu lagi dan duduk di dekat mereka.
Tiba-tiba mereka itu kelihatan terkejut,
bergegas bangkit, memanggli pelayan membayar makanan yang belum habis mereka
makan dan mereka berdua dengan sikap tergesa-gesa menyelinap keluar melalui
pintu samping. Melihat sikap mereka, Kian Bu menjadi terheran-heran. Dia maklum
bahwa pasti dua orang itu melihat sesuatu yang membuat mereka seperti
ketakutan, maka otomatis dia lalu menengok ke arah pintu depan.
“Aahhhh....” Dia menahan seruannya dan bengong
memandang ke luar. Melihat sikap Kian Bu dan mendengar seruan kagum ini, Siang
In juga cepat menengok dan memandang ke luar. Di luar warung, di seberang
jalan, tampaklah seorang wanita cantik sekali, berpakaian menyala, rambutnya
digelung tinggi ke atas, sedang memandang dan longak-longok mengulur leher,
agaknya ada yang sedang dicari-carinya.
“Itu dia....!” Tiba-tiba Siang In menjerit,
membuat Kian Bu tersentak kaget. Siang In meloncat dan lari ke pintu kedai
itu.
“Brussss....!” Tanpa dapat dicegah lagi, Siang
In bertumbukan dengan seorang laki-laki setengah baya yang secara tiba-tiba
masuk pintu kedai itu dan diiringkan oleh empat orang yang kelihatannya gagah
dan tegap. Karena Siang In tidak mengira ada orang masuk pada saat perhatiannya
tercurah kepada wanita cantik yang berada di seberang jalan, dan pria itu pun
agaknya tidak mengira akan ada orang lari ke luar, maka tumbukan antara mereka
tak dapat dihindarkan lagi. Siang In terpelanting dan hampir roboh. Untung
laki-laki setengah tua itu dengan gerakan cepat telah menyambar dan memegang
lengan Siang In sehingga dara ini tidak sampai terbanting jatuh.
Laki-laki setengah tua itu tersenyum dan
bertanya dengan sikap sopan dan suara halus sambil melepaskan pegangannya,
“Maafkan saya, Nona. Untung tidak sampai jatuh. Apakah ada yang sakit....?”
Siang In membelalakkan matanya dan membentak
marah, “Orang kurang ajar dari mana jalan nabrak-nabrak saja?”
Kian Bu sudah tiba di samping gadis itu,
memegang lengannya dan berkata, “Sudahlah, engkau sendiri yang kurang
hati-hati, berlari ke luar. Paman ini tidak bersalah....” Kian Bu setengah
menarik tangan Siang In dan dara ini bersungut-sungut dan setelah mengirim
lirikan marah kepada laki-laki setengah tua yang dengan tenang dan sabar
tersenyum memandang, dia lalu melanjutkan langkahnya keluar dari kedai, pandang
matanya mencari. Akan tetapi, wanita cantik tadi sudah tidak kelihatan lagi.
“Sialan! Orang buta tadi yang jadi
gara-gara sampai dia hilang lagi!”
“Eh, orang buta mana?”
“Yang menabrak aku tadi, kalau matanya tidak
buta, masa nabrak-nabrak?”
Kian Bu tersenyum. Biarpun sedang
muring-muring, gadis ini makin cantik saja!
“Sudahlah, aku sendiri juga tidak tahu siapa
yang menabrak tadi, dia atau engkau.”
“Dia! Si Buta itu! Aku harus menghajarnya!”
Dia kembali memasuki pintu dan hampir saja menabrak seorang pelayan yang
membawa baki dan sedang keluar. Untung Kian Bu sudah menarik lengannya, kalau
tidak tentu terjadi tabrakan untuk kedua kalinya dan sekali ini berbahaya
karena di atas baki terdapat bakmi kuah yang masih panas.
“Eh.... Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona),
mau ke mana? Ini pesanan kalian tadi.... dua bakmi kuah dan....”
“Kaumakan saja sendiri!” Siang In membentak
dan membalikkan tubuhnya keluar dari kedai itu. Kian Bu melemparkan mata uang
ke atas baki.
“Kami tidak jadi makan, ini uangnya,” katanya
dan terus menyusul Siang In yang sudah pergi menuntun keledainya sambil
cemberut.
“In-moi (Adik In), jangan marah ah....”
“Aku harus mencari dia! Si Tolol buta itu
menghalangiku!” Siang In cemberut dan melihat ke sana-sini mencari-cari.
“Dia siapa?”
“Si Genit!”
“Ohh....”
“Si Pemikat! Kau tidak lihat dia tadi?”
Kian Bu mengangguk. Kiranya wanita itu yang
dicari? Memang cantik, cantik sekali, akan tetapi dia belum melihat jelas
benar. Agaknya wanita yang sudah matang, tidak seperti dara ini yang masih
mentah, atau baru setengah matang, setengah dewasa setengah kanak-kanak, akan
tetapi malah amat menarik hati.
Mereka lalu mencari sampai ke setiap sudut
dusun itu akan tetapi sia-sia belaka dan akhirnya Siang In berhenti di tepi
jalan yang sunyi, duduk di atas rumput dan kelihatan marah dan kecewa sekali.
Kian Bu lalu pergi membeli sepuluh butir kue bakpauw dan mereka makan bakpauw
di tepi jalan. Lima butir bakpauw sudah cukup mengenyangkan perut, akan tetapi
mencekik tenggorokan!
Karena malam tiba, mereka lalu mencari
pondokan dan bermalam di dalam dua buah kamar sederhana di pondok dusun itu,
setelah memesan mi-bakso dan minum teh hangat kemudian mandi. Pada keesokan
harinya, agaknya Siang In sudah tidak cemberut lagi, akan tetapi pagi-pagi
sekali dia sudah menggedor pintu kamar Kian Bu dan mengajak pemuda itu
cepat-cepat berangkat melanjutkan perjalanan mencari pencuri kitab itu. Kian
Bu gelagapan, terpaksa hanya sempat mencuci muka, kemudian sarapan dan berangkatlah
mereka lagi keluar dari dusun itu sambil bertanya-tanya tentang wanita cantik
yang rambutnya digelung tinggi.
Akhirnya, jejak yang mereka temukan dan ikuti
membawa mereka ke sebuah dusun kecil di tepi sungai yang besar dan yang menjadi
tapal batas dengan daerah liar di utara. Di seberang sungai itu sudah merupakan
daerah liar yang tidak memperoleh penjagaan dari pasukan-pasukan pemerintah.
Karena itu dusun ini cukup ramai karena menjadi tempat penyeberangan para
pedagang. Banyak orang-orang suku Nomad dan liar yang menyeberang ke selatan
untuk menjual rempah-rempah dan hasil sungai dan laut, sebaliknya para pedagang
dari selatan banyak yang mengeduk keuntungan besar dengan membawa dagangan dan
menyeberang ke utara, menjual atau menukar dagangan mereka dengan suku-suku
asing di luar tapal batas.
Ketika Kian Bu dan Siang In tiba di tepi
sungai, di situ sudah sunyi. Waktu penyeberangan yang ramai adalah pagi dan
sore, dan siang hari yang panas itu di tempat itu sudah sunyi dan hanya
terdapat seorang penjaga perahu kosong yang duduk melenggut ngantuk.
“Dia tentu menyeberang. Kita menyeberang
saja,” kata Siang In.
“Bagaimana dengan Pek-liong?”
“Kita tinggal saja.”
“Aih! Ditinggalkan? Sayang dong....!”
“Bu-twako, engkau masih belum mengenal
kehebatan Pek-liong. Dia kutinggalkan akan tetapi dia bisa pulang sendiri.
Itulah satu di antara kelihaiannya. Kaulihat!” Siang In lalu melepaskan
kendali keledai itu, lalu berkata, “Pek-liong, kau pulanglah dan jaga rumah
baik-baik! Hayo!” Dia menepuk pantat kuda keledai itu tiga kali dan binatang
itu meringkik, terus lari congklang pergi dari tempat dengan cepat. Kian Bu
melongo. Benar-benar hebat binatang itu. Kelihatannya saja seekor keledai
bodoh, kiranya seekor binatang yang jinak dan cerdik!
Mereka lalu membangunkan tukang perahu yang
mengantuk. Tukang perahu kelihatan ogah-ogahan menyambut mereka.
Menyeberangkan dua orang saja merugikan dia, karena biasanya, perahunya itu
menyeberangkan sedikitnya lima belas orang penumpang. Kalau dua orang itu mau
membayar lebih.... “Sudahlah jangan khawatir, kami bayar dobel!” kata Kian Bu
tak sabar.
Akan tetapi, dibayar dobel pun masih rugi dan
dengan malas-malasan tukang perahu itu mendayung perahunya ke tengah. Belum
jauh perahu meluncur, terdengar orang-orang berteriak memanggil dan ternyata di
tepi sungai itu sudah berdiri lima orang laki-laki yang dikenal oleh Siang In
dan Kian Bu sebagai laki-laki gagah yang ditabraknya di kedai bersama empat
orang pengikutnya!
Tentu saja tukang perahu menjadi girang dan
cepat mendayung kembali perahunya ke pinggir. “Tidak usah kembali, terus
saja!” Siang In membentak.
“Aih, Nona, kasihan mereka dan saya pun ingin
penghasilan lebih,” bantah tukang perahu.
“Biarlah, In-moi. Mereka itu kelihatan
orang-orang yang baik dan sopan. Masa urusan kecil begitu saja membuat engkau
masih marah-marah terus? Kata Nenek, orang marah lekas tua!”
Siang In membanting-banting kaki, akan tetapi
tidak berani marah lagi karena tidak mau menjadi lekas tua, hal yang amat
dibuat ngeri oleh seluruh wanita di permukaan bumi ini!
Ketika lima orang itu naik ke perahu,
laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu segera
tersenyum dan menjura. “Aih, kiranya Ji-wi yang telah berada di perahu. Terima
kasih atas kerelaan Ji-wi membiarkan perahu kembali lagi untuk membawa kami,
dan harap Nona sudi memaafkan peristiwa di kedai tadi.”
Mau tidak mau Siang In harus mengakui bahwa
pria setengah tua itu benar-benar sopan dan halus budi. Maka dia pun meniru
perbuatan Kian Bu untuk membalas penghormatan mereka, dan perahu meluncur terus
ke tengah sungai karena layar telah dibentangkan dan angin bertiup keras.
Tiba-tiba tukang perahu kelihatan gugup dan
wajahnya menjadi pucat. “Celaka....” bisiknya.
Lima orang yang bersikap gagah itu bangkit
berdiri, memandang ke arah dua buah perahu kecil yang meluncur cepat mendekati
perahu mereka. “Siapa mereka?” tanya pria setengah tua yang usianya kira-kira
empat puluh tahun dan berjenggot pendek itu.
“Mereka.... mereka.... bajak sungai....”
tukang perahu berbisik. “Biasanya tidak pernah mengganggu....”
“Jangan takut!” Laki-laki berjenggot pendek
berkata tenang, kemudian bersama empat orang temannya dia berdiri di kepala
perahu, mencabut golok dan dengan golok terhunus mereka menanti dua buah perahu
yang meluncur datang itu. Sikap mereka gagah sehingga Siang In menjadi kagum.
“Kiranya mereka itu pendekar-pendekar
kang-ouw....” bisiknya kepada Kian Bu yang hanya tersenyum saja dan sudah tentu
dia pun diam-diam bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Setelah dua buah perahu yang membawa sepuluh
orang yang tinggi besar dan kelihatan berslkap ganas itu mendekat, orang
setengah tua yang berjenggot pendek itu berseru dengan suara nyaring dan
berwibawa, “Kami bukanlah pedagang yang membawa banyak uang atau barang
berharga, harap Cu-wi tidak mengganggu kami!”
Sepuluh orang itu memandang, kemudian dua
perahu itu melempar jangkar dan mereka semua lalu terjun ke air dan menyelam!
Tentu saja lima orang gagah itu memandang dengan heran, akan tetapi tukang
perahu berseru lagi, “Celaka....!”
Sebelum semua penumpang tahu mengapa tukang
perahu begitu ketakutan, tiba-tiba perahu itu bergerak dan miring, bergoncang
keras. Maka tahulah Kian Bu bahwa sepuluh orang bajak sungai itu menyelam dan
dari bawah kini berusaha menggulingkan perahu.
“Ah, bagaimana ini, Bu-twako?” Siang In sudah
memeluk Kian Bu dengan ketakutan dan menjerit setiap kali perahu miring. Gadis
ini memiliki kepandaian silat lumayan dan seorang yang pemberani, akan tetapi
karena dia tidak pandai renang, menghadapi air sungai yang bergelombang itu
dia ngeri.
Para penumpang sama sekali tidak berdaya dan
akhirnya perahu terbalik dan mereka semua terlempar ke air!
“Bu-twako....!” Siang In memeluk Kian Bu
erat-erat, membuat pemuda itu makin gelagapan. Kian Bu yang sejak kecil tinggal
di Pulau Es dan dekat dengan lautan, tentu saja pandai berenang akan tetapi dia
bukan ahli dan berenang di air laut lebih ringan daripada berenang di air
sungai, maka ketika Siang In yang gelagapan itu saking takutnya memeluknya
dengan ganas, Kian Bu juga menjadi repot sekali dan beberapa kali dia terpaksa
minum air sungai.
Ternyata bahwa lima orang gagah itu pun tidak
pandai berenang sehingga dalam waktu belasan menit saja, semua penumpang
termasuk Kian Bu ditawan dalam keadaan pingsan dan dinaikkan ke dalam dua buah
perahu kecil, terus dibawa pergi setelah kedua tangan mereka dibelenggu.
Tukang perahu menangis sambil memegangi pinggiran perahunya yang terguling.
Rugi besar-besaran di hari itu, sungguhpun untung bahwa dia tidak dibunuh para
bajak.
Ketika Kian Bu membuka matanya dan siuman, dia
telah berada di dalam sebuah kamar tahanan yang kuat dan dalam keadaan
terbelenggu kedua tangannya. Cepat dia menoleh ke kanan-kiri dan hatinya lega
ketika dia melihat Siang In masih rebah di dekatnya, juga tangan dara ini
terbelenggu dan biarpun Siang In masih pingsan, namun dara ini tidak mati.
Demikian pula dengan lima orang gagah yang terbelenggu dan sudah mulai siuman.
Kian Bu menggerakkan kedua tangannya dan
dengan jari-jari tangan dia mengurut perlahan tengkuk Siang In. Gadis itu
mengeluh lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk, memandang
kedua lengannya yang terbelenggu di depan tubuhnya.
“Aihh.... di mana kita?” Siang In bertanya
dan memandang Kian Bu, lalu menoleh kepada lima orang lain yang juga sudah
mulai siuman.
“Kita agaknya menjadi tawanan bajak-bajak
itu,” kata Kian Bu. Dia sudah memeriksa tali belenggunya dan kalau dia mau,
tentu dia akan dapat mematahkan belenggunya itu biarpun tali itu terbuat dari
otot binatang yang amat kuat. Dia melihat lima orang itu mulai
merenggut-renggut tangan mereka, namun hasilnya sia-sia. Kian Bu maklum bahwa
tidak sembarangan orang akan dapat mematahkan belenggu ini, harus menggunakan
sin-kang tingkat tinggi. Maka dia pun dapat mengukur bahwa kepandaian lima
orang itu, terutama pemimpin mereka yang berjenggot pendek, biarpun mungkin
tinggi namun sin-kang mereka belumlah begitu kuat.
“Tenang....!” Tiba-tiba Si Jenggot Pendek
berkata. “Mereka menawan kita, berarti mereka tidak akan membunuh kita.
Menggunakan kekerasan tidak ada gunanya, apalagi belenggu ini amat kuat. Kita
harus tenang dan menanti keadaan.”
Siang In juga mencoba-coba untuk mematahkan
belenggu, akan tetapi malah kulit lengannya yang menjadi nyeri. “Aih, Twako,
bagaimana ini....?” keluhnya.
“Nona, harap jangan khawatir, kami akan
melindungimu,” Si Jenggot Pendek berkata menghibur.
Siang In cemberut. “Huh, melindungi bagaimana?
Kalian sendiri pun tidak berdaya.”
Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke luar
dari terali besi di atas pintu, lalu dia memberi isyarat kepada mereka semua
untuk ikut melihat. Mereka kini bangkit semua dan memandang ke luar. Kiranya
tempat itu merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikurung pagar tembok
kuat, tampak dari tempat tahanan yang berada di tengah kampung itu. Dan semua
penduduk perkampungan itu agaknya sedang bersuka ria, sedang menghadapi suatu
pesta yang sedang mereka rayakan. Ada yang membawa kertas-kertas berwarna,
pajangan-pajangan dan orang-orang itu hilir-mudik sambil tersenyum-senyum,
akan tetapi rata-rata mereka itu mempunyai wajah bengis, dan melihat dari
pakaian mereka, baik yang perempuan maupun yang laki-laki, mereka adalah
orang-orang suku Nomad , yang berkeliaran di daerah utara, terdiri dari
campuran bermacam suku bangsa, akan tetapi sebagian besar adalah keturunan suku
bangsa Mongol.
Sepasukan orang terdiri dari dua belas orang
bersenjata golok besar datang ke tempat tahanan itu dan pintu besi dibuka dari
luar. Kemudian tujuh orang tawanan itu digiring memasuki sebuah rumah besar
dan terus ke ruangan samping rumah gedung besar itu. Di dalam sebuah ruangan
telah menanti seorang laki-laki tua yang duduk di atas kursi. Tujuh orang
tawanan itu mengira bahwa tentu mereka akan dihadapkan kepada kepala bajak yang
kejam dan bengis, dan Kian Bu yang sengaja tidak mematahkan belenggu untuk
melihat perkembangan sebelum turun tangan, sudah siap untuk mengambil
tindakan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia memandang dan mengenal orang
yang duduk di atas kursi itu. Pernah dia bertemu dengan orang ini di Koan-bun.
Orang itu berpakaian sastrawan dan dia tahu bahwa orang itu adalah pengawal
lihai dari Raja Tambolon, yaitu Yu Ci Pok yang berpakaian pelajar (siucai) di
samping pengawal lain yang berpakaian petani dan bernama Liauw Kui! Akan tetapi
perjumpaannya dengan Tambolon dan dua orang pengikutnya itu hanya sepintas
saja maka kini Yu Ci Pok Si Siucai Maut itu tidak mengenalnya dan Kian Bu juga
hanya menundukkan mukanya.
Memang tidak salah penglihatan Kian Bu orang
itu adalah Yu Ci Pok, pengawal Raja Tambolon, dan tempat itu adalah tempat
yang dijadikan sarang oleh Raja Tambolon pada saat itu! Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Raja Tambolon gagal dalam merebut Koan-bun dan di
kota itu pasukannya yang terdiri dari seribu orang malah hancur-lebur dan
terbasmi, hampir tidak ada lagi sisanya. Akan tetapi, berkat kelihaiannya, dia
dan dua orang pengawalnya berhasil menyelamatkan diri dan dia lalu lari ke
utara. Biarpun dia telah kehilangan pasukan, namun nama Raja Tambolon telah
dikenal oleh para suku Nomad, maka tentu saja kemunculannya disambut dengan
penuh penghormatan dan sebentar saja, Raja Tambolon sudah dapat mengumpulkan
kekuatan dan dia bahkan menjadi raja kecil di daerah perbatasan di seberang
sungai dan kekuasaannya meliputi daerah yang cukup luas! Adapun kedua orang
pengawalnya itu kini diangkatnya menjadi menteri-menterinya karena dia sendiri
menjadi raja kecil di situ. Para bajak sungai yang beroperasi di sepanjang
sungai itu semua ditundukkannya dan menjadi anak buahnya!
Kian Bu melirik ke depan dan melihat bahwa
sastrawan itu ditemui oleh dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua
orang penunggang kuda yang dilihatnya di hutan itu. Kiranya dua orang itu
adalah kaki tangan sastrawan pengawal Tambolon ini, pikirnya. Dia menduga bahwa
pengawal Raja Tambolon ini telah berdikari dan menjadi kepala bajak. Tidak
heran, karena memang orang itu lihai, pikirnya.
“Mereka berlima itulah!” Terdengar Si Kumis
Tebal menerangkan kepada sastrawan itu. “Jelas bahwa mereka itu adalah
orang-orang dari Bhutan!”
Siucai itu memandang penuh perhatian, lalu
membentak kepada lima orang itu. “Benarkah kalian adalah keparat-keparat dari
Bhutan?” Kerajaan Bhutan telah menjadi musuh-musuh dari Tambolon dan kaki
tangannya.
Orang setengah tua itu mengangkat dadanya dan
berkata, suaranya tabah dan memandang rendah, “Hemm, kiranya di sini pun
terdapat kaki tangan Tambolon yang merajalela! Aku tahu bahwa engkau adalah
Yu-siucai, pengawal Tambolon. Di manakah rajamu yang liar itu sekarang? Ha-ha,
aku mendengar akan kehancurannya di Koan-bun!”
Siucai itu terbelalak, memandang penuh
perhatian dan bangkit dari kursinya, mendekati orang setengah tua itu,
mengamat-amati, lalu membentak, “Keparat! Kiranya engkau Panglima Jayin dari
Bhutan?”
“Matamu masih awas, Yu-siucai!”
Siucai itu kembali duduk dan tertawa gembira,
“Ha-ha-ha, siapa kira kita dapat menawan tokoh ke dua dari Bhutan! Ah, tentu Tai-ong
akan gembira sekali melihat mukamu, Jayin!” Dia lalu menoleh kepada dua orang
itu. “Lekas kalian laporkan kepada Ong-ya bahwa lima orang tawanan dari Bhutan
itu adalah Jayin dan empat orang pembantunya! Akan tetapi hati-hati, jangan
ganggu Ong-ya yang sedang bergembira.”
Dua orang itu mengangguk dan pergi, wajah
mereka girang karena mereka telah membuat jasa besar.
Kemudian Yu-siucai memandang Kian Bu dan Siang
In. Gadis ini menundukkan mukanya, pakaiannya masih basah dan menempel ketat di
tubuhnya sehingga lekuk-lengkung tubuhnya yang ranum itu nampak nyata.
“Kalian siapa?” bentaknya.
“Maaf, Taijin (Pembesar)....” Kian Bu menjawab
cepat, mendahului Siang In. “Saya bernama Teng Bu dan ini adik saya, Teng Siang
In.... kami berdua sedang menumpang perahu.... tidak ada hubungan kami dengan
mereka ini....” Kian Bu memperlihatkan sikap ketakutan, dan diam-diam Siang In
melirik kepadanya, agak geli juga mendengar Kian Bu merubah namanya dan
mengaku sebagai kakaknya dan membonceng shenya (nama keturunan).
“Yu-siucai, dua orang ini memang hanya
kebetulan saja menumpang perahu. Harap bebaskan mereka yang tidak bersalah
apa-apa.”
“Hemm, keputusannya berada di tangan raja
kami. Dan untung bahwa kini kami sedang mengadakan pesta pernikahan raja kami,
kalau tidak, tentu kalian sudah menerima hukuman langsung.”
Panglima Jayin, tokoh Bhutan itu tertawa.
Seperti telah kita kenal, panglima ini adalah murid dari Kakek Lu Kiong, kakek
dari Ceng Ceng dan menjadi orang terkenal di Bhutan. Dia bersama empat orang
pembantunya itu bertugas untuk mencari Puteri Syanti Dewi. “Ha-ha-ha, entah
sudah berapa puluh kali aku mendengar Tambolon menikah!”
Siucai itu melompat ke depan, tangannya
menampar. “Plak-plak!” Bibir Panglima Jayin pecah dan berdarah, akan tetapi dia
masih berdiri tegak, memandang dengan mata menghina.
“Kalau bukan hari baik raja kami, aku tentu
sudah membunuhmu!”
“Pengecut!” Tiba-tiba Siang In memaki dan
matanya terbelalak memandang siucai itu. “Laki-laki macam apa engkau ini?
Beraninya menghina orang yang terbelenggu. Hih, tak tahu malu! Buang saja
pakaian pelajar itu, ganti pakaian penjahat!”
Siucai itu terkejut dan memandang kepada dara
itu dengan muka merah, dan Panglima Jayin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha,
Yu-siucai, dengarkan suara seorang dara sederhana yang jauh lebih gagah
daripada engkau. Ha-ha-ha! Terima kasih, Nona. Engkau sungguh patut dikagumi,
dan aku akan mati gembira mengenangkan seorang dara yang gagah seperti
engkau!”
Siang In tersenyum dan dia tidak takut lagi
kini. Pada saat itu, dua orang tadi datang lagi dan berkata, “Pesta sudah
dimulai, Yu-taijin diminta menghadiri pesta dan para tawanan diperbolehkan
nonton dan ikut bersenang-senang sebelum diambil keputusan hukuman mereka.
Demikian pesan Ong-ya.”
Yu-siucai mengangguk. “Hemm, kalian masih
bernasib baik. Raja kami sedang bergembira dan tidak ada nafsu melihat darah
musuh-musuhnya. Giring mereka ke sana!”
Kembali dua belas orang pasukan menggiring
tujuh orang tawanan itu menuju ke ruangan besar dan luas di mana telah
terdengar suara riuh rendah orang berpesta. Kiranya pada waktu itu, Raja
Tambolon sedang merayakan hari pernikahannya dan pesta besar dirayakan.
Ruangan yang luas itu penuh dengan para tamu, akan tetapi tamu-tamu itu terdiri
dari orang-orang yang kasar dan liar. Suasana pesta di situ kacau-balau dan
sama sekali tidak teratur dan sebagian sudah mabok. Dan hampir di setiap meja
di “hias” dengan perempuan-perempuan cantik yang bermacam-macam sikapnya. Ada
yang genit dan agaknya sudah mahir melayani orang-orang besar itu, ada yang
kelihatan berduka dan takut-takut, akan tetapi semuanya berpakaian mewah dan
berbedak tebal. Mereka ini adalah wanita-wanita rampasan yang telah dijadikan
alat hiburan secara paksa oleh Tambolon dan kaki tangannya, dan kini mereka
dikerahkan untuk menemani dan menghibur para tamu!
Siang In memandang dengan cemas, dan diam-diam
Kian Bu juga muak menyaksikan keadaan di situ. Tanpa aturan sama sekali! Ada
yang berkeliaran ke sana-sini, dan ada yang mengadu kekuatan minum sampai ada
yang muntah-muntah. Ada pula yang mengadu kekuatan pergelangan tangan,
dirubung dan disoraki dengan bising, ada pula yang sedang menggeluti seorang
wanita. Tawa dan kekeh terdengar memenuhi udara, bercampur dengan bau keringat
dan arak dan mulut busuk! Di sudut kiri terdapat para pemain musik dan para
penyanyi yang suaranya sudah mulai serak dan sumbang karena diloloh minuman
keras oleh para tamu yang merubung tempat hiburan ini, agaknya mereka yang agak
“nyeni” atau yang suka akan seni musik!
Tujuh orang tawanan itu digiring masuk terus
ke tempat Tambolon untuk menghadap raja itu. Akan tetapi Tambolon sedang sibuk
dan ketika Yu-siucai mendekatinya dan berbisik, raja itu hanya menoleh
sebentar ke arah tawanan, kemudian menggeleng kepala dan menyuruh semua
menunggu karena dia sedang sibuk menonton adu gulat yang berlangsung di
ruangan itu. Memang adu gulat merupakan tontonan dan olahraga yang amat populer
di daerah itu, dan Tambolon sendiri dahulu merupakan seorang ahli gulat nomor
satu di daerahnya. Setelah dia belajar ilmu silat tinggi, tentu saja dia
memandang rendah ilmu ini, akan tetapi dia masih suka menonton. Ramai sekali
pertandingan adu gulat di gelanggang yang disediakan khusus itu dan banyak tamu
yang suka akan tontonan ini mengepung tempat itu untuk menonton. Tambolon kini
sudah tercurah seluruh perhatiannya kepada pertandingan itu lagi setelah tadi
terganggu sebentar.
Kian Bu tetap memegang tangan Siang In
sehingga empat tangan mereka yang pergelangannya terbelenggu itu tak pernah
berpisah. Dia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tempat itu penuh orang,
hampir kesemuanya orang-orang asing dan hanya sedikit saja orang-orang Han yang
juga merupakan orang-orang kasar dari golongan hitam. Banyak pula kepala-kepala
suku yang mendapat tempat kehormatan akan tetapi juga kini bercampur menjadi
satu menonton apa saja yang disukai mereka di dalam pesta awut-awutan itu. Dari
bentuk tubuh mereka yang tegap dan tinggi besar, dengan otot-otot yang
membelit-belit seperti tali kuat, dapat dimengerti bahwa mereka itu rata-rata
adalah orang-orang kasar, tukang-tukang berkelahi yang kuat dan berani. Kian
Bu agak gentar hatinya, mengingat bahwa dia harus melindungi Siang In. Dia
melirik ke arah lima orang tawanan dari Bhutan itu, dan kebetulan Panglima
Jayin memandangnya. Mereka saling tersenyum dan Kian Bu kagum sekali. Panglima
ini benar-benar amat gagah berani dan tenang. Dia menarik Siang In, mendekati
panglima itu, lalu berbisik,
“Agaknya engkau mencari Syanti Dewi?”
Panglima Jayin terkejut sekali, terbelalak
dan mengangguk.
“Dia berada di istana kaisar, di kota raja,”
Kian Bu berbisik lagi lalu menjauh karena khawatir kalau didengar orang lain.
Panglima itu mengangguk-angguk dan kelihatan girang. Panglima yang setia ini memang
merasa girang sekali. Dia sendiri terancam bahaya, namun hal itu bukan apa-apa
baginya dan mendengar bahwa puteri yang dicarinya sudah berada di tempat aman,
di istana kaisar, tentu saja dia merasa lega dan girang.
Kini Kian Bu memperhatikan Tambolon. Raja itu
kelihatan menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar dan matanya yang
terbelalak lebar, mulut besar menyeringai dan kedua tangannya bergerak-gerak
mengikuti gerakan kedua orang pegulat yang sedang bertanding. Raja itu
kelihatan amat tertarik sehingga tidak peduli akan keramaian di sekitarnya. Di
sebelah kirinya duduk pengantin perempuan yang selalu menundukkan mukanya yang
tertutup tirai halus, dan kelihatan pengantin ini lesu dan lemas. Di belakang
agak ke samping, berdiri seorang yang memakai pakaian perang dan Kian Bu
mengenalnya sebagai pengawal Tambolon yang lihai, yaitu Si Petani Maut Liauw
Kwi! Dan di sebelah pengantin perempuan, agak jauh dan menyendiri, seperti
mengantuk dan malas, duduk seorang nenek tua yang berkulit kehitaman, memakai
pakaian sutera hitam yang hanya dilibat-libatkan di seluruh tubuhnya, dari kaki
sampai ke kepalanya. Melihat sepasang mata nenek yang mengantuk itu, sinar
mata yang tajam seperti sepasang mata ular, Kian Bu terkejut sekali. Dia
dapat mengenal orang berilmu seperti yang pernah didengar dari ayahnya. Melihat
sinar mata itu mungkin sekali nenek ini pandai ilmu sihir! Dan dugaannya
berdasarkan penuturan ayahnya memang benar. Nenek itu adalah guru dari
Tambolon, seorang yang datang dari Pegunungan Himalaya, dari daerah See-thian
(India) yang tinggi ilmu silatnya dan mahir ilmu sihir!
Jantung Kian Bu berdebar. Keadaannya sulit
dan berbahaya! Dia harus melindungi Siang In, dan terutama sekali dia harus
berhati-hati menghadapi Tambolon, Petani Maut, Yu-siucai, dan nenek itu! Di
samping itu masih ada ratusan orang liar yang kelihatan kuat-kuat. Baru dua
orang pegulat yang sedang berlaga itu saja sudah amat hebat. Tubuh mereka yang
telanjang dan hanya memakal cawat, seperti tubuh dua ekor gajah. Otot-otot
mereka menggelembung dan mengeluarkan bunyi berkerotan ketika mereka mengadu
kekuatan otot, berusaha untuk saling membanting. Sungguh dia berada di
tengah-tengah jagoan-jagoan yang tak boleh dipandang ringan!
Tiba-tiba Kian Bu tersentak kaget. Ada suara
orang mendengkur di belakangnya. Di tengah-tengah orang hiruk-pikuk
berpesta-pora ini, masih ada yang tidur mendengkur. Gila! Mendengkur? Dia
bergidik dan teringat akan sesuatu, cepat menoleh dan.... terbelalak dia
memandang kepada seorang kakek berambut putih semua yang tidur mendengkur di
atas sebuah kursi, tepat di belakangnya! Tangan kakek itu masih memegang
sebuah guci arak yang menetes-netes araknya. Agaknya dia mabok dan tertidur.
Akan tetapi Kian Bu ingat benar bahwa di belakangnya tadi tidak ada apa-apa,
tidak ada kursinya, apalagi kakek yang tertidur mendengkur. Hatinya tergetar.
Betapa lihainya kakek ini! Dan dengan hadirnya kakek ini sebagai lawan, makin
beratlah keadaannya. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Tempat ini menjadi sarang
orang-orang pandai.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai
menggegap-gempita dari mereka yang menonton adu gulat, setelah terdengar
suara berdebuk keras. Kiranya seorang di antara pegulat itu dapat dibanting
keras dan tentu saja kalah dengan tulang punggung remuk!
Tambolon agaknya menjagoi yang menang,
buktinya dia bersorak-sorak dan menjadi girang sekali.
“Si Bolohok menang! Ha-ha-ha, sudah kuduga.
Kaulihat, isteriku, jagoanku menang. Hayo minum untuk kegembiraan ini!”
Tambolon melihat pengantin wanita menggeleng kepala, akan tetapi dia memaksa,
tangan kanan memegang cawan arak, tangan kiri membuka kerudung yang menutupi
muka pengantin wanita. Kian Bu melihat wajah seorang wanita yang cantik!
“Enci Siang Hwa....!” Tiba-tiba Siang In yang
berdiri di sampingnya menjerit ketika kerudung muka pengantin wanita itu
dibuka, dan dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, lari ke arah encinya yang juga
sudah melihatnya.
“Adikku....!” Pengantin wanita juga menjerit
dan menangis.
Jarak antara mereka agak jauh dan semua orang
tercengang mendengar jerit dua orang gadis itu dan memandang bengong.
Pengantin wanita dengan kerudung terbuka, bangkit berdiri mengembangkan kedua
tangan, sedangkan dara remaja yang terbelenggu kedua tangannya itu lari
terhuyung menghampirinya sambil menangis juga.
Melihat ini, Yu Ci Pok yang sejak tadi menjaga
para tawanan, meloncat untuk menangkap Siang In. Akan tetapi, loncatannya gagal
karena dia merasa seperti ada sesuatu yang mengait kakinya sehingga dia
terperosok ke depan. Akan tetapi siucai ini memang lihai sekali, dengan
berjungkir-balik dia dapat mematahkan bantingan itu dan tubuhnya mencelat ke
depan. Dia berhasil menyambar lengan Siang In, akan tetapi karena gerakannya
tidak wajar lagi oleh gangguan hebat tadi, tidak urung dia terhuyung dan
menabrak meja di depan Tambolon sehingga meja itu terbalik dan arak serta
hidangan makan tumpah semua. Tentu saja keadaan menjadi kacau dan geger!
“Siang In....!” Pengantin wanita itu kini
memegang tangan adiknya dan mereka berpelukan, akan tetapi Tambolon yang
menjadi marah dengan gangguan itu, menarik tangan pengantinnya. Yu Ci Pok yang
merasa kaget membikin terbalik meja junjungannya, lalu menyelinap di antara
orang banyak untuk mencari orang yang telah menjegal kakinya tadi. Saking
marahnya, siucai ini lupa akan para tawanannya.
Kian Bu yang memperhatikan semua itu, kini
melihat betapa kakek yang tadi menjegal kaki Yu Ci Pok, kini dengan gerakan
cepat menghampiri lima orang Bhutan dan begitu jari-jari tangannya meraba,
belenggu-belenggu lima orang itu patah semua. Kakek itu menghampiri dia,
mengulur tangan ke arah belenggu yang mengikat kedua tangan Kian Bu dan....
kakek itu terbelalak dan mengeluarkan suara “huhh!” ketika melihat betapa
dengan amat mudahnya pemuda itu menggerakkan kedua tangan dan belenggu itu
patah-patah!
“Enci.... kenapa engkau menjadi begitu....?”
“Adikku.... aku.... aku dipaksa....”
“Bocah lancang, kau bosan hidup!” Tambolon
menjadi marah sekali dan mengangkat tangan hendak memukul Siang In. Melihat ini,
Kian Bu menjadi merah mata dan mukanya, darahnya naik dan perutnya terasa
panas. Lengkingan yang tinggi nyaring mengejutkan semua orang dan menambah
kekacauan keadaan, bahkan di antara orang-orang tinggi besar dan bertubuh kuat
itu ada yang terguling dan menutupi telinganya, ada yang menekan dadanya karena
suara melengking yang keluar dari mulut Kian Bu itu adalah pengerah khi-kang
sakti dari Pulau Es, suara yang mengandung getaran hebat sehingga dapat
memecahkan anak telinga dan melumpuhkan jantung! Dengan kemarahan meluap, Kian
Bu meloncat ke atas, melewati kepala banyak orang dan melesat ke arah Tambolon
sambil menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan
tenaga Swat-im Sin-kang sekuatnya. Tenaga Inti Salju yang amat hebat ini
mendatangkan hawa dingin yang amat luar biasa sehingga beberapa orang yang
tersentuh hawa ini menggigil kedinginan, sampai gigi mereka berkerutukan
seperti orang menderita sakit demam!
Mendengar lengking tadi, Tambolon terkejut dan
sudah mengurungkan pukulannya terhadap Siang In. Kini lebih kaget lagi melihat
seorang pemuda melayang datang dan menghantam dengan pukulan yang membawa hawa
dingin amat dahsyatnya itu.
Dari belakang raja itu, Petani Maut yang
mengenal serangan dahsyat, sudah bergerak, meloncat ke depan, tangannya masih
memegang sebuah guci arak penuh yang tadi hendak digunakan mengisi cawannya.
Guci arak yang penuh itu kini dia pergunakan untuk menyambut hantaman Kian Bu
yang dahsyat itu.
“Pyaaaarrrr....!”
Petani Maut terhuyung ke belakang dan
menggigil kedinginan. Tambolon juga terbelalak melihat betapa guci itu pecah
berkeping-keping dan araknya berhamburan ke mana-mana, sebagian menjadi
butiran-butiran es karena beku oleh hawa mujijat dari Swat-im Sin-kang!
Menyaksikan kelihaian pemuda ini, Tambolon cepat berteriak kepada para
pembantunya untuk mengepung dan mengeroyok. Gegerlah keadaan pesta itu. Kian
Bu mengamuk dikeroyok oleh banyak jagoan-jagoan kaki tangan Tambolon. Panglima
Bhutan dan empat orang pembantunya yang telah dibebaskan dari belenggu oleh
kakek berambut putih tadi, kini juga mengamuk dan berusaha untuk mencari
jalan keluar. Akan tetapi, tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh anak
buah Tambolon sehingp seperti juga Kian Bu, mengamuklah Panglima Jayin dan
empat orang pembantunya. Pertandingan hebat, mati-matian dan kacau terjadilah
di tempat itu. Medan pesta berubah menjadi medan pertempuran. Para tamu yang
sudah mabok ada yang ikut-ikut mengamuk, akan tetapi mereka ini roboh sendiri
tanpa diserang karena berdiri pun mereka ini sudah tidak mampu tegak lagi. Ada
pula tamu mabok yang enak-enak bernyanyi, ada yang memeluk wanita tanpa
mempedulikan segala keributan itu. Pendeknya, tempat itu menjadi kacau-balau
sama sekali.
Keributan menjadi makin kacau dan hebat,
ketika ada minyak mengalir di bawah bangku dan meja yang berserakan dan tak
lama kemudian minyak bakar ini disambar api yang dilepas oleh kakek berambut
putih dengan membantingkan sebuah lentera ke atas lantai yang berminyak.
Ruangan itu mulai dimakan api yang bernyala besar dan hawa menjadi panas bukan
main. Gegerlah semua orang yang sedang bertempur itu. Amukan api yang hebat
membuat mereka lupa akan pertempuran, lupa akan lawan karena api merupakan
lawan dan bahaya yang lebih hebat lagi. Larilah semua orang berserabutan menuju
ke pintu dan berjejal-jejal dalam usaha mereka untuk keluar dari pintu karena
api yang menjilat minyak itu berkobar tinggi dan sudah menjilat atap!
Melihat bahaya maut dari api yang mengamuk
ini, Tambolon cepat menoleh dan menyambar ke arah pengantinnya. Ketika
tangannya bergerak hendak menangkap lengan Teng Siang Hwa yang kini berpelukan
dengan adiknya, dalam keadaan takut dan memandang ke arah pertempuran yang
bubar oleh amukan api, Siang Hwa cepat mengelak dan gerakannya ini menyeret
adiknya sehingga mereka terhuyung dan terpisah.
“Hayo kita pergi dari ruangan ini!” Tambolon
berseru dan kembali tangannya menyambar dan sekali ini agaknya Siang Hwa tidak
akan dapat mengelak lagi.
“Dukkkk....!” Tambolon terkejut dan terhuyung.
Ketika dia memandang, ternyata seorang kakek berambut putih telah berdiri di
depannya.
Suara hiruk-pikuk terdengar dan ada bagian
atap yang roboh termakan api. Sebatang balok kayu bernyala jatuh menimpa ke
dekat mereka. Kakek itu menjadi terhalang dan tidak dapat melindungi Siang Hwa.
Akan tetapi melihat Tambolon yang melompat ke samping menghindarkan diri dari
timpaan balok sambil berusaha menubruk pengantinnya, kakek itu menggerakkan
tangan kanannya mendorong ke arah Tambolon. Itulah pukulan jarak jauh yang
dahsyat. Tambolon kembali tertahan gerakannya dan merasa ada hawa menyambar
dia lalu menangkis. Api makin membesar dan asap membuat mata Tambolon menjadi
pedas dan panas. Maka dia lalu menubruk ke depan, akan tetapi karena dia
melakukan ini dengan sebagian perhatian ditujukan kepada Si Kakek, dan matanya
juga hampir terpejam karena panas dan pedas, dia salah tubruk dan yang
tertangkap dan cepat ditotoknya itu bukannya Siang Hwa melainkan Siang In,
adik Si Pengantin Wanita. Akan tetapi Tambolon agaknya tidak peduli lagi dan
cepat dia memanggul tubuh Siang In yang lemas tertotok itu di atas pundak
kanannya dan dia meloncat dan lari dari ruangan yang terbakar itu melalui
sebuah pintu rahasia.
Api mengamuk makin ganas dan makin banyak
bagian atap ruangan itu yang ambruk. Kini mulailah penduduk perkampungan bajak
atau anak buah Tambolon itu menggunakan air untuk mencoba memadamkan api yang
mulai menjilat-jilat dan menjalar ke mana-mana. Asap hitam bergulung-gulung,
memenuhi tempat itu, menghalangi pandangan dan menyesakkan napas. Kekacauan ini
memberi kesempatan baik sekali kepada Kian Bu dan lima orang Bhutan itu untuk
melarikan diri karena semua orang lebih memperhatikan amukan api daripada para
tawanan itu. Bahkan agaknya tidak ada lagi yang peduli akan tawanan-tawanan
itu karena semua orang kini sibuk berusaha memadamkan api yang telah membakar
habis ruangan pendopo tempat pesta tadi. Dengan suara gemuruh ambruklah
ruangan pesta yang luar biasa itu, berikut bangunan-bangunan di dekatnya,
terbakar menjadi arang dan abu. Akhirnya api dapat dipadamkan setelah puas
menghabiskan tempat itu, dan tawanan telah lolos! Lenyap semua tawanan-tawanan
itu dan juga pengantin wanita.
Tambolon marah-marah, mencak-mencak karena sekali
ini dia menderita rugi besar. Sebagian bangunan gedungnya musnah, para tawanan
lolos dan pengantinnya kabur! Beberapa orang anak buahnya ada yang tewas
dimakan api, ada pula yang luka-luka. Setelah dia melemparkan tubuh Siang In
yang lumpuh itu ke atas pembaringan, dia lalu berlari ke luar dan teringatlah
dia akan gurunya, nenek dari India itu. Ke mana perginya gurunya itu? Mengapa
tidak kelihatan keluar dari ruangan yang terbakar?
Tambolon keluar dan menenangkan para tamu yang
cerai-berai itu, dan berkata, “Harap para tamu jangan pergi dulu, pesta akan
dilanjutkan di taman bunga! Kebakaran ini tidak akan menghalangi kita
bersenang-senang!” Para tamu bersorak-sorai gembira dan semua menuju ke taman
di mana mulai diatur oleh para anak buah Tambolon, sedangkan Tambolon sendiri
bersama dua orang pengawalnya menuju ke puing bekas ruangan tadi untuk mencari
nenek yang menjadi gurunya. Nenek itu amat lihai dan sakti, akan tetapi memang
sudah agak pikun. Jangan-jangan gurunya itu keenakan melamun sehingga dimakan
api, atau bisa jadi juga gurunya itu melakukan pengejaran terhadap para
tawanan dengan pembantu mereka yang lihai, yaitu pemuda tampan itu dan Si Kakek
berambut putih!
Tambolon dan dua orang pengawalnya menghadapi
tumpukan abu dan kayu-kayu yang menjadi arang, yang merupakan puing menggunung.
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh dan tumpukan debu arang dan kayu itu
berhamburan dan muncullah Si Nenek guru Tambolon itu sambil tertawa-tawa dan
dalam keadaan segar bugar, hanya kotor penuh debu. Tidak ada luka, tidak ada
yang terbakar pada tubuh nenek itu, dan sedikit pun tidak kelihatan dia
kepanasan ketika dia melangkah dan menginjak sisa-sisa api yang masih membara
itu dengan enaknya. Para anak buah Tambolon yang sejak nenek itu datang memandang
rendah nenek tua renta itu dan hanya menghormatinya karena Tambolon mengakui
sebagai gurunya, kini terbelalak memandang kagum dan ngeri. Nenek ini seperti
bukan manusia biasa tampaknya!
Tambolon cepat menyongsongnya dan bertanya,
“Subo (Ibu Guru) tidak apa-apa?”
Nenek itu tertawa, hanya mulutnya saja yang
terbuka dan memperlihatkan lubang yang dalam dan tanpa ada giginya, hanya
nampak gelap saja, tidak ada terdengar suara ketawa, “Aku sedang melamun,
tahu-tahu atap runtuh dan aku tertimpa. Mana dia si bocah tua bangka itu?”
Matanya yang kecil penuh keriput di seputarnya itu memandang ke kanan kiri,
mencari-cari. “Mana bocah gila itu? Dia selalu mengikuti dan mengganggu aku!”
“Siapakah yang Subo cari?” Tambolon bertanya.
“Siapa lagi kalau bukan See-thian Hoat-su? Aku
tahu betul bahwa tadi dia datang dan kaukira siapa yang menimbulkan kebakaran
kalau bukan dia? Sayang aku tadi sedang melamun, kalau tidak sudah kutangkap
dia!”
Tambolon terkejut mendengar nama See-thian
Hoat-su itu. Dia belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi dia tahu
bahwa See-thian Hoat-su adalah bekas suami gurunya ini. Menurut cerita gurunya
yang pernah didengarnya, gurunya itu dahulu mempunyai seorang suami, seorang
bangsa Han yang di waktu mudanya merantau ke India dan berguru kepada ayah
nenek itu untuk belajar ilmu sihir. Nenek itu pun masih muda dan mereka saling
jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri. Akan tetapi makin tua makin
tidak cocoklah mereka dan seringkali mereka bercekcok sampai bertanding ilmu.
Dalam hal ilmu silat, Si Suami lebih pandai, akan tetapi menghadapi ilmu sihir
isterinya yang lebih lihai daripadanya, See-thian Hoat-su (Ahli Sihir dari
Dunia Barat) ini merasa tobat sehingga akhirnya dia meninggalkan isterinya,
kembali ke pedalaman.
Nenek itu sendiri setelah amat terkenal dan
disebut Durganini, seolah-olah dia adalah titisan atau penjelmaan Dewi Durga,
isteri dari maha dewa yang menjadi kepala dari bangsa iblis! Tambolon berguru
kepada Durganini setelah nenek itu berpisah dari suaminya.
Tambolon teringat akan kakek rambut putih yang
dilihatnya muncul tiba-tiba di waktu keadaan kacau-balau tadi. “Ah, kakek
rambut putih itukah See-thian Hoat-su?”
“Kalau dia muncul lagi, cepat beritahu agar
dapat kucengkeram tengkuknya!” Nenek itu berkata sambil berjalan ke kamarnya
dan meneriaki pelayan agar datang membawa air, memandikannya dan mengganti
pakaiannya.
Pesta itu dilanjutkan juga pada malam
harinya. Para tamu dijamu lagi di ruangan belakang, tidak kalah meriahnya
dengan sebelum terjadi keributan, dan kini pengantin wanita telah digantikan
tempatnya oleh Siang In! Dara remaja ini tidak berdaya karena ditotok dan
dipaksa duduk bersanding dengan Tambolon di dalam ruangan itu! Pesta
berlangsung dengan penuh kegembiraan dan gila-gilaan. Setelah merasa puas
minum dan menjamu para tamunya, Tambolon yang sudah mulai mabok itu, timbul
kegembiraannya melihat bahwa dara pengganti pengantinnya itu ternyata tidak
kalah cantiknya dengan kakaknya yang telah melarikan diri! Maka sambil tersenyum
dia lalu memanggul tubuh “pengantinnya” itu dan di bawah sorak dan tawa para
tamu yang masih belum pulang, Tambolon membawa pengantinnya itu pergi dari
dalam ruangan dan terus menuju ke dalam kamar pengantin yang sudah terhias
meriah dan berbau harum karena disiram minyak wangi dan dibakari dupa wangi!
Siang In terkejut dan ketakutan, akan tetapi karena dia sudah ditotok lumpuh,
dia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terbelalak seperti seekor kelenci yang
diterkam harimau.
Tambolon sebenarnya bukanlah seorang yang
mata keranjang atau gila wanita. Akan tetapi, dia mempunyai kepercayaan bahwa
dia akan “awet muda” dan dapat menggunakan ilmunya untuk memindahkan kemurnian
seorang gadis kepada tubuhnya sehingga memperkuat tenaga mujijatnya jika dia memperoleh
seorang gadis, maka raja liar yang berilmu tinggi ini di mana-mana selalu
mencari korban seorang gadis. Dia tidak pernah jatuh cinta dan setiap kali
mendapatkan seorang perawan, setelah dipermainkannya paling lama sepekan saja
lalu “dioperkan” kepada para pembantunya untuk menyenangkan hati para
pembantunya itu. Tentu saja setelah dia menyedot hawa murni dari gadis
korbannya itu untuk memperkuat dirinya. Dia tidak pernah mempunyai isteri dan
karena kepandaiannya yang tinggi dan bantuan para kaki tangannya, amat mudah
bagi Tambolon untuk di mana saja mencari perawan untuk menjadi korbannya.
Betapapun juga, tentu saja untuk membangkitkan berahinya, dia selalu memilih
wanita yang cantik.
Ketika Siang Hwa membawa bahan-bahan obat
untuk dijual ke kota, dia bertemu dengan serombongan kaki tangan Tambolon yang
dipimpin oleh Si Petani Maut. Melihat gadis cantik ini, Petani Maut yang memang
sudah dipesan oleh Tambolon untuk mencarikan “isteri” lalu menangkapnya dan
perlawanan Siang Hwa percuma saja. Tambolon yang baru saja kehilangan
pasukannya dan sedang berusaha untuk menghimpun tenaga, lalu menggunakan
kesempatan memperoleh “isteri” baru itu untuk mengundang para pimpinan suku
bangsa liar di utara mengadakan perjamuan untuk menyenangkan hati mereka. Pesta
pernikahan itu hanyalah alasan saja, karena yang penting baginya adalah
menyenangkan hati calon-calon pembantu dan sekutunya itu dan ke dua memperoleh
korban seorang perawan baru.
Demikianlah, dengan wajah berseri sungguhpun
tadi dia marah-marah karena gangguan di dalam pesta sehingga terjadi kebakaran,
kini Tambolon memanggul tubuh Siang In. Dengan kasar dia membentak para
pelayan dan penjaga di depan kamarnya agar pergi, kemudian dia berkata kepada
Siang In, “Heh-heh, manis, sekarang kita hanya berdua saja, jangan kau
bersikap malu-malu lagi....”
“Jahanam, iblis keji, anjing babi hina dina!
Kaubunuhlah saja aku....!” Siang In memaki-maki dengan suara serak karena sudah
sehari penuh dia memaki-maki tadi. Kalau saja kaki tangannya tidak menjadi
lumpuh ditotok secara istimewa oleh Tambolon, tentu dia sudah mengamuk atau
membunuh diri.
“Heh-heh-heh, sayang kalau dibunuh, kau begini
segar dan muda!” Tambolon menendang daun pintu kamarnya terbuka, lalu melangkah
masuk ke dalam kamar.
“Heh-haaaa?” Dia terbelalak dan terheran-heran
memandang ke dalam karena di tengah kamarnya, seperti seorang dewi dari
kahyangan, berdiri seorang wanita yang cantik dan menyala pakaiannya, dengan
gelung rambut tinggi dihias emas mutiara, jubahnya merah dan pakaiannya ketat
membayangkan tubuh yang penuh tantangan, akan tetapi wanita ini berdiri sambil
bertolak pinggang, sikapnya gagah dan sebatang pedang tergantung di
punggungnya!
“Eh, Nona cantik, siapa kau....?” Tambolon
benar-benar terkejut dan kagum sekali. Wanita yang berdiri di dalam kamarnya
itu biarpun tidak semuda gadis remaja yang dipanggulnya, akan tetapi cantik
menarik dan penuh daya pikat, dengan tubuh yang sudah matang!
“Tambolon, kaubebaskan bocah itu.”
“Kenapa?” Tambolon bertanya. “Dan siapakah kau?”
“Hi-hik, kalau kau tidak keburu melarikan
diri ketika pasukanmu dihancurkan di Koan-bun, tentu engkau telah bertemu
dengan aku. Suheng Hek-tiauw Lo-mo dan aku Mauw Siauw Mo-li yang memimpin
pasukan pemberontak menghancurkan pasukan itu!”
“Ahhhh....!” Tambolon terkejut dan cepat
melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan sambil berkata,
“Manis, kautunggu sebentar di situ!” Kemudiah dia menghadapi wanita itu dan
memandang dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama
Hek-tiauw Lo-mo yang hebat dan kiranya wanita ini adalah adik seperguruan
tokoh itu.
“Jadi begitukah? Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya
menentang Tambolon?”
“Tambolon, semua itu adalah salahmu sendiri.
Mula-mula engkau membantu Pangeran Liong, seperti juga kami, akan tetapi siapa
suruh engkau berkhianat dan malah menyerang pasukan Pangeran Liong? Sehingga
terjadi saling serang dan akhirnya kita semua dihancurkan oleh pasukan
pemerintah! Sekarang kita semua telah gagal, dan kedatanganku bukan karena
urusan kegagalan itu, melainkan untuk minta Nona ini.”
Tambolon mengangguk-angguk. Memang dia telah
sadar bahwa dia telah dipancing oleh Lu Ceng dan Topeng Setan! Juga tidak baik
kalau dia harus memusuhi Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya ini. Dengan orang-orang
seperti itu jauh lebih baik bersekutu daripada bermusuhan, dan dia sedang
membutuhkan banyak tenaga bantuan untuk menghimpun kekuatan baru. Maka dia lalu
tertawa.
“Ha-ha-ha, Mauw Siauw Mo-li sungguh enak saja
bicara. Engkau tahu bahwa nona ini telah menjadi isteriku, bagaimana mungkin
akan kau minta begitu saja?” Dia lalu melanjutkan setelah menjelajahi tubuh
wanita cantik itu dengan pandang matanya. “Kalau kau hendak mengambil dia,
apakah engkau akan menggantikan dia menemaniku malam ini? Ha-ha-ha!”
Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Menemanimu saja
bukan merupakan keberatan bagiku, Tambolon. Akan tetapi aku perlu nona ini
sekarang, dan kalau kau memberikannya baik-baik, kelak masih belum terlambat
bagiku untuk berkunjung dan menemanimu beberapa malam. Akan tetapi sekarang
aku tidak ada waktu lagi, dan biarkan aku pergi membawa nona itu.”
“Kalau aku menolak?”
“Hi-hik, engkau tentu tahu bahwa kami kakak
beradik seperguruan tidak biasa dibantah!”
Tambolon tersenyum. Baginya, mendapatkan
Siang In atau tidak bukanlah merupakan hal yang amat penting. Masih banyak
perawan yang bisa didapatkan pada malam itu juga dan berapa banyak pun. Dan
sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ini amat cantik, pula kalau dia dapat bersekutu
dengan Hek-tiauw Lo-mo melalui wanita ini, hal itu akan memperkuat
kedudukannya. Akan tetapi dia adalah seorang raja, selain amat merendahkan
kalau dia harus menurut perintah wanita itu begitu saja, juga sebagai seorang
yang berilmu tinggi dia ingin sekali mencoba kepandaian wanita yaang mengaku
sebagai sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo.
“Bagus, Mauw Siauw Mo-li, aku pun ingin sekali
mencoba apakah kepandaianmu juga sehebat kecantikanmu. Sambutlah!” Tambolon
lalu meloncat ke depan mengirim serangan dengan kedua tangannya mencengkeram
ke arah pundak wanita cantik itu.
“Hemm, bagus....!” Wanita itu dengan gerakan
yang amat lincahnya sudah mengelak ke kiri. Mauw Siauw Mo-li bukan tidak tahu
bahwa raja orang liar ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, dan dia pun
tahu pula bahwa Tambolon mempunyai pembantu-pembantu yang lihai dan dia telah
memasuki sarang naga yang berbahaya. Maka sambil meloncat, dia terus mencelat
ke arah pembaringan dan di lain saat dia telah berhasil menyambar tubuh Siang
In yang dikempit oleh lengan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah
mengeluarkan sebuah benda kecil. Benda itu berbentuk dos kecil tempat yanci
(alat pemerah pipi). Melihat wanita memegang yanci, Tambolon tertawa dan tentu
saja tidak menduga apa-apa, terus menubruk ke depan. Akan tetapi wanita itu membawa
Siang In meloncat keluar kamar melalui jendela sambil menyambitkan dos kecil
itu ke arah Tambolon. Raja yang liar ini cukup cerdik. Biarpun benda itu hanya
dos kecil, namun dia menjadi curiga dan cepat melompat jauh menghindari sambil
bertiarap.
“Darrr....!” Seperti yang telah dikhawatirkan
oleh Tambolon, benda kecil yang kelihatan tidak berarti itu kiranya adalah
sebuah senjata rahasia peledak yang amat hebat kekuatannya. Meja kursi dan
pembaringan di dalam kamar itu hancur berantakan dan kalau saja Tambolon tidak
bertiarap, tentu dia dapat terluka pula. Dia menjadi kagum akan tetapi juga
marah. Wanita itu memang patut dijadikan sekutu, akan tetapi telah terlalu
menghinanya, maka dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan minta bantuan
gurunya untuk melakukan pengejaran. Karena Mouw Siauw Mo-li sudah berlari jauh
dan berlindung di kegelapan malam bersama Siang In, maka dengan hati
mendongkol Tambolon lalu mengirim pasukan untuk mengejar terus.
Siang In tadinya marah sekali ketika melihat Mauw
Siauw Mo-li, karena wanita pesolek itulah yang telah mencuri kitab catatan
peninggalan ayahnya. Akan tetapi ketika melihat wanita itu menolongnya dan
melarikannya dari kamar Tambolon, dia merasa heran dan juga bersyukur sekali,
sungguhpun dia menduga bahwa perbuatan wanita itu tentu mengandung pamrih
sesuatu. Seorang yang berwatak palsu seperti wanita ini, yang diterimanya
sebagai tamu dengan ramah kemudian malah mencuri kitab seperti maling, tidak
mungkin mengenal perbuatan baik. Di balik pertolongannya melarikan dia dari
tangan Tambolon pasti bersembunyi keinginan lain demi kepentingan dirinya
sendiri.
Mauw Siauw Mo-li membebaskan totokannya dan
Siang In kini berjalan di sampingnya di dalam kegelapan malam, melalui
pegunungan yang hanya disinari cahaya bulan muda dan bintang-bintang di langit.
“Setelah mencuri kitab, engkau ini
pura-pura menolongku ada keperluan apa?” Siang In menegur, akan tetapi tidak
menghentikan kakinya yang berjalan mengikuti wanita itu karena dia maklum bahwa
Tambolon dan anak buahnya tentu melakukan pengejaran.
“Kitab itu? Nih, kau boleh terima kembali!”
Mauw Siauw Mo-li menyerahkan kitab kuno kecil kepada Siang In. Dara ini makin
heran akan tetapi menerima kitab itu dan disimpannya di saku baju dalamnya.
Kitab itu sebetulnya tidak lagi berguna bagi dia atau kakaknya karena mereka
telah hafal akan isinya, dan mereka menyimpannya hanya sebagai barang pusaka
peninggalan ayah mereka.
“Engkau seorang yang aneh sekali. Engkau tadi
menyebutkan nama julukanmu Mauw Siauw Mo-li? Apakah artinya semua perbuatanmu
ini? Mula-mula engkau mengunjungi aku, mencuri kitab ini, sekarang engkau
bersusah payah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon lalu mengembalikan
kitab. Sebetulnya, apakah kehendakmu?”
Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, lalu
berkata, “Engkau puteri mendiang Yok-sian, sayang kalau sampai menjadi makanan
Tambolon yang rakus! Dan, eh adik kecil yang baik, siapa namamu?”
“Aku Teng Siang In.”
“Adik Siang In, sebagai keturunan orang
pandai, engkau tentu mengutamakan balas budi. Engkau tentu tahu bahwa tanpa
aku yang melarikanmu dari tangan Tambolon, saat ini engkau sudah mengalami hal
yang amat menyenangkan hati Tambolon akan tetapi yang bagi dirimu merupakan
penghinaan yang akan terasa seumur hidupmu. Engkau akan sudah diperkosa,
menderita penghinaan berkali-kali sampai kau tidak kuat menahan dan mati, dalam
keadaan hina dan mengerikan. Nah, kau mengakui adanya pertolonganku ataukah
tidak?”
Mendengar ucapan itu, Siang In membayangkan
apa yang dapat menimpa dirinya itu dan dia bergidik ngeri. Akan tetapi dia
seorang dara yang cerdik, dan setelah terbebas dari ancaman bahaya maut di
tangan Tambolon, kini dia pun tidak takut lagi menghadapi bahaya baru dan dia
menjawab, “Mo-li, lebih baik katakan saja terus terang, apa yang kau kehendaki
dari aku setelah kitab yang kaucuri ini agaknya tidak ada gunanya bagimu.”
“Hi-hik, engkau lumayan juga, engkau cerdik!
Nah, lebih baik aku berterus terang saja.” Dia berhenti di bawah pohon kecil
dan duduk di atas batu, Siang In berdiri di depannya. “Terus terang saja, aku
menderita keracunan di sebelah dalam darahku. Hal ini terjadi ketika aku
mencuri mempelajari ilmu pukulan beracun dari kitab milik suhengku. Sebelum
sempurna aku mempelajarinya, suhengku tahu akan hal itu dan dia merampas
kembali kitab itu sehingga aku tidak dapat melanjutkan latihanku. Karena tidak
ada lagi petunjuknya, hawa beracun yang sudah terkumpul itu tidak dapat
kusalurkan dan mulai meracuni diriku sendiri. Aku telah minta tolong Suheng, akan
tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi suhengku itu memang orang kejam! Dia malah
menyukurkan, bilang bahwa itu hukumannya seorang yang mencuri pelajaran orang
lain. Huh, seperti aku tidak tahu saja bahwa dia pun mencuri kitab itu dari
Dewa Bongkok! Akan tetapi untuk memaksanya, aku tidak berani karena dia lihai
sekali. Nah, aku mendengar bahwa tokoh pengobatan yang paling pandai adalah
Yok-sian, ayahmu. Sayang dia telah meninggal dunia, maka aku lalu mencuri kitab
itu. Kiranya kitab itu hanya terisi catatan tentang nama-nama dan macamnya
tetumbuhan obat, sama sekali tidak ada gunanya bagiku. Karena itu, Adik Siang
In, aku menolongmu dan ingin minta bantuanmu agar engkau suka menerangkan,
obat apa yang kiranya akan dapat menyembuhkan aku, karena engkau tentu telah
mewarisi kepandaian itu dari ayahmu.”
Siang In mengerutkan alisnya. “Sayang sekali,
kepandaian pengobatan itu diwarisi enciku, dan aku hanya mengenal bahan-bahan
obat saja. Akan tetapi, biar enciku sendiri kiranya tidak akan dapat
menyembuhkan akibat racun yang menyerang dari dalam karena latihan yang salah.
Ada suatu rahasia besar yang diketahui oleh enciku dan aku, dan karena engkau
telah menyelamatkan aku, biarlah aku membuka rahasia itu kepadamu dan mungkin
saja rahasia itu akan menjadi jalan penyembuhanmu.”
Mauw Siauw Mo-li gembira sekali mendengar ini.
“Rahasia apa itu yang akan mampu menyembuhkan aku? Lekas katakan!”
“Mendiang Ayah pernah bercerita kepadaku.
Ketika aku berusia lima tahun, Ayah sendiri pernah mencoba untuk mendapatkan
anak naga itu....”
“Anak naga? Apa maksudmu? Ceritakan yang
jelas!”
Karena merasa telah dihindarkan dari bahaya
yang mengerikan di tangan Tambolon, Siang In lalu membuka rahasia seperti yang
pernah dituturkan oleh mendiang ayahnya itu. Di sebuah telaga yang amat luas,
yaitu Telaga Sungari yang jarang didatangi manusia, di sebelah barat Pegunungan
Jang-kwan-cai, hidup seekor naga yang mungkin merupakan naga terakhir di dunia
ini. Naga itu tidak pernah keluar dari dasar telaga yang amat dalam itu, dan
hanya setiap sepuluh tahun sekali, pada permulaan musim semi, naga itu keluar
dari dalam telaga, membawa anaknya yang baru menetas untuk menerima sinar
matahari. Setiap sepuluh tahun sekali naga itu bertelur dan jarang sekali ada
telurnya yang menetas, akan tetapi kalau ada yang menetas, anaknya lalu
dibawa ke permukaan telaga untuk menghisap tenaga yang dari matahari. Nah, anak
naga yang baru menetas itu merupakan mustika yang tak ternilai harganya,
karena dapat dipergunakan untuk obat yang menyembuhkan segala macam penyakit,
terutama keracunan. Juga bagi yang tidak menderita sakit, anak naga itu
merupakan obat yang dapat membikin tubuh menjadi kuat dan kebal, dapat pula
memperkuat tenaga sin-kang.
“Sekarang aku telah berusia lima belas tahun
berarti sepuluh tahun telah lewat sejak naga itu muncul di permukaan air
Telaga Sungari. Bulan depan adalah permulaan musim semi, maka kalau engkau mau
pergi ke telaga itu dan dengan kepandaianmu engkau dapat merampas anak naga,
jangankan baru keracunan di dalam darahmu, biar engkau sudah tiga perempat mati
pun akan dapat disembuhkan.”
Mauw Siauw Mo-li tertarik sekali. “Permulaan
musim semi? Hanya kurang beberapa hari lagi....” Dia berhenti dan menatap wajah
dara itu, menajamkan pandangan untuk menembus kegelapan remang-remang itu
menyelidiki wajah Siang In. “Siang In, benarkah apa yang kauceritakan semua
itu?”
Siang In cemberut. “Mo-li, engkau tadi
menyebut-nyebut nama ayahku yang telah meninggal dunia. Apa kaukira aku sudi
untuk mencemarkan nama baik ayahku dengan cara membohongimu? Betapapun juga,
engkau telah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon, dan sudah sepatutnya
kalau kau kuberi tahu tentang anak naga itu agar engkau dapat mencari
penyembuhan untuk darahmu yang keracunan.”
“Bagus! Kalau ceritamu benar dan aku berhasil,
kelak aku akan menghaturkan terima kasih ke lembah Pek-thouw-san di mana engkau
tinggal. Akan tetapi kalau engkau membohong, aku pun akan datang ke sana dan
engkau akan menerima hukuman yang lebih mengerikan daripada kalau engkau
terjatuh ke tangan Tambolon.” Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat
dan lenyap. Siang In hanya mendengar suara lengking aneh seperti seekor kucing
terinjak ekornya dari jauh. Dia bergidik. Pantas julukannya Siluman Kucing,
pikirnya. Kemudian dia teringat bahwa dia ditinggalkan sendirian saja,
sedangkan mungkin sekali pasukan Tambolon masih melakukan pengejaran, maka dia
lalu melanjutkan perjalanan melarikan diri.
Siang In adalah seorang dara remaja yang sejak
kecil hidup tenteram di lereng Gunung Pek-thouw-san, sebuah puncak di
Pegunungan Jang-pai. Dia hidup bersama encinya, Siang Hwa dan biasanya dia
hanya pergi ke hutan-hutan di sekitar pegunungan itu mencari bahan-bahan obat
atau rempah-rempah yang banyak tumbuh di daerah itu. Kini, dia melakukan
perjalanan mencari encinya, tentu saja dia kurang pengalaman dan dia sama
sekali asing dengan daerah yang dilaluinya sekarang ini. Apalagi perjalanan
pelarian itu dilakukan di malam hari, hanya diterangi bulan muda dan
bintang-bintang, dalam keadaan gelisah karena dikejar pula, maka dia lalu
melarikan diri secara ngawur.
Sebaliknya, yang melakukan pengejaran dua
rombongan. Rombongan pertama adalah pasukan yang melakukan pengejaran terhadap
lima orang Bhutan, Kian Bu, dan Siang Hwa yang dapat melarikan diri lebih dulu
ketika terjadi kebakaran. Rombongan ke dua adalah pasukan yang mengejar Mauw
Siauw Mo-li dan Siang In. Yang pertama dipimpin oleh Si Petani Maut, sedangkan
pasukan ke dua dipimpin oleh Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Pasukan-pasukan
pengejar ini terdiri dari orang-orang Nomad yang sejak kecil hidup di daerah
itu secara berpindah-pindah, tentu saja mereka mengenal baik daerah itu dan
mereka dapat melakukan pengejaran dengan terarah dan mengepung serta memotong
jalan-jalan di daerah itu.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
pada keesokan harinya, Siang In terkejut sekali mendengar derap kaki kuda jauh
dari belakangnya. Dia sudah keluar dari daerah hutan dan berada di tanah datar
tanpa pohon, maka tidak sempat lagi baginya untuk bersembunyi, maka larilah
dara ini ke depan, secepat mungkin!
Tak lama kemudian terdengar suara hiruk-pikuk
dan para pengejar itu membalapkan kuda mereka karena mereka telah melihat
gadis yang berlari cepat itu, dan mendengar betapa derap kaki kuda makin dekat,
Siang In mempercepat larinya dan mengeluh, “Ahh.... kalau saja Pek-liong berada
di sini....” Kalau dia menunggang keledai itu, dia tidak takut biar dikejar
oleh siapapun juga karena keledainya dapat berlari lebih cepat dari kuda yang bagaimanapun.
Para pengejar makin dekat dan napas Siang In
sudah terengah-engah ketika tiba-tiba dia membelalakkan matanya dan
menghentikan larinya karena di depannya membentang luas sebatang sungai yang
amat lebar. Sungai ini adalah Sungai Yi-tung.
“Celaka....!” Siang In berseru kaget dan cepat
dia memutar tubuhnya. Belasan orang penunggang kuda mendatangi dengan cepat
dipimpin oleh Si Sastrawan! “Biar aku melawan sampai mati!” Siang In yang
maklum bahwa dia tidak dapat lari terus karena ada sungai lebar menghalang di
depannya, kini sudah berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan dia menggigit
bibir bawah dan matanya berkilat penuh kemarahan!
Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan dari
kiri dan ketika Siang In menoleh, dia melihat belasan orang lagi datang
berlarian di tepi sungai, dan mereka itu bukan lain adalah orang-orang liar
yang dipimpin oleh Si Petani Maut, yaitu para pengejar pertama yang dalam
usahanya mengejar para tawanan yang lolos telah tiba pula di tempat itu! Tentu
saja hati Siang In menjadi makin gelisah, akan tetapi dara itu telah
kehilangan rasa takut karena dia tahu bahwa melawan atau tidak, dia akan
celaka di tangan mereka, dan dia memilih mati sambil melawan daripada hidup
menjadi tawanan dan permainan dari Raja Tambolon!
“In-moi....!”
Siang In terkejut dan jantungnya berdebar
keras. Itulah suara encinya Siang Hwa!
“Cici....!” Dia cepat menoleh dan makin girang
hatinya ketika dia melihat Kian Bu bersama encinya, seorang kakek tua berambut
putih, dan lima orang tawanan itu berada di atas rakit bambu yang didayung oleh
mereka ke tepi sungai.
“Bu-koko.... kautolonglah aku....” Siang In
berteriak girang melihat munculnya pemuda itu. Dia telah salah mengira bahwa
pemuda yang pandai mengenal sajak kuno itu hanyalah seorang kutu buku yang
lemah. Dia mengerti sekarang bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi,
maka begitu bertemu dia berteriak minta tolong.
“Siauw-moi, (Adik Kecil), kau tenanglah!”
Kian Bu berkata sambil meloncat ke darat dengan gerakan yang amat lincah,
diikuti oleh kakek berambut putih yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.
Pada saat itu, hampir berbareng Si Petani Maut
Liauw Kui dan Si Sastrawan Yu Ci Pok telah tiba di situ.
“Nona, ke mana engkau hendak lari?” Yu Ci Pok
yang bertugas menawan kembali “pengantin ke dua” ini menubruk sambil meloncat
dari atas kudanya.
Siang In mencoba untuk mengelak ke kiri sambil
mengirim pukulan dengan tangan kanannya ke arah dada sastrawan itu.
“Plakk!” Pukulan dara itu yang dilakukan
dengan sekuatnya diterima oleh Si Sastrawan sambil tertawa dan sebaliknya
sastrawan itu menangkap pergelangan tangan Siang In.
“Lepaskan aku....!” Siang In meronta namun
percuma karena pegangan Yu Ci Pok itu kuat sekali.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Keparat,
Lepaskan dia!”
Yu Ci Pok cepat menengok dan melihat tubuh
pemuda tampan bekas tawanan itu melayang dengan cepat ke arahnya. Dia
terkejut, melepaskan Siang In dan menyambut Kian Bu dengan tamparan dahsyat,
mengambil kesempatan selagi pemuda itu masih melayang.
“Desss....!” Kian Bu sudah mendorong dan
mengerahkan sin-kangnya. Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh
sastrawan itu hampir roboh terjengkang kalau saja dia tidak cepat meloncat ke
belakang sambil memandang heran dan mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang
poan-koan-pit.
Sementara itu, Si Petani Maut juga sudah tiba
di situ, akan tetapi sebelum dia sempat turun tangan, terdengar suara ketawa
dan ketika dia menoleh ada tangan menampar mukanya. Untung Liauw Kui adalah
seorang berkepandaian tinggi dan merupakan pembantu utama dari Tambolon, maka
begitu mendengar ada angin menyambar, dia sudah mengelak dan cepat menengok.
Kiranya yang menamparnya tadi adalah seorang kakek berambut putih yang
menamparnya sambil tertawa-tawa!
Liauw Kui teringat bahwa kakek ini yang muncul
di dalam kekacauan pesta, maka dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu lihai
sekali. Seperti juga Tambolon sendiri, dua orang pembantu utamanya ini belum
mengenal See-thian Hoat-su bekas suami Durganini guru Tambolon. Liauw Kui sudah
cepat mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya lalu
menyerang kakek itu sambil menyerukan perintah mengepung dan mengeroyok kepada
semua anak buah kedua pasukan yang jumlahnya ada tiga puluh orang lebih itu!
Siang Hwa, Panglima Jayin dan empat orang
pembantunya sudah cepat mendayung perahu getek atau rakit bambu itu ke tengah
setelah Siang Hwa yang tadi meloncat ke darat, berhasil menarik adiknya dan
membawanya lari ke atas rakit. Sedangkan Kian Bu dan See-thian Hoat-su mengamuk
dikeroyok oleh dua orang pembantu Tambolon yang lihai dan tiga puluh orang
lebih itu. See-thian Hoat-su tidak mengeluarkan ilmu sihirnya karena kakek ini
mengira bahwa bekas isterinya, Durganini ikut pula mengejar dan mengeluarkan
ilmu sihir berarti mencari penyakit kalau nenek bekas isterinya yang merupakan
tokoh sihir itu berada di situ. Malah dia pun sudah merasa gentar, maka cepat
dia berkata, “Orang muda, mau tunggu apa lagi? Hayo lekas kembali ke rakit!”
Kakek itu sudah menyambar beberapa buah batu,
lalu dia melemparkan sebuah batu melayang lurus ke depan, tepat di permukaan
air sungai, disusul tubuhnya meloncat, menginjak batu itu sambil melempar lagi
batu ke dua ke depan, meloncat lagi dan dengan cara mengagumkan ini dia telah
tiba di atas rakit. Akan tetapi, ternyata Kian Bu juga telah berada di atas
rakit itu. Kiranya pemuda ini tadi melayang tinggi ke atas, lalu di atas
membuat jungkir balik sembilan kali sehingga tubuhnya meluncur terdorong
gerakan poksai susul-menyusul ini dan hinggap di atas rakit dengan ringan.
Siang Hwa, Siang In, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya melongo melihat
demonstrasi gin-kang istimewa yang dilakukan oleh kakek berambut putih dan
pemuda tampan itu.
Siang Hwa dan Siang In berpelukan dan
mencucurkan air mata saking girang dan terharu bahwa mereka berdua telah lolos
dari bahaya mengerikan yang mengancam diri mereka di sarang Raja Tambolon.
Akan tetapi mereka tidak memperoleh banyak kesempatan untuk bertangisan dan
saling menceritakan pengalaman lebih lama lagi karena Kakek See-thian Hoat-su
berseru, “Hayo kalian hentikan tangis-menangis itu, lihat mereka telah
mengejar kita!”
Semua orang menengok dan memang benar. Kiranya
tiga puluh lebih anak buah Tambolon itu telah mempergunakan rakit-rakit yang
banyak terdapat di tepi sungai dan melakukan pengejaran di atas enam buah rakit
yang mulai mengepung dan mencegat dari empat jurusan.
“Awas anak panah!” Kian Bu berseru sambil
meloncat berdiri. Bersama Kakek See-thian Hoat-su, pemuda Pulau Es ini dengan
tangkas menyambut anak-anak panah yang datang menyambar, menangkis dengan kaki
tangannya. Melihat ini, See-thian Hoat-su tertawa gembira.
“Ha-ha-ha, orang muda perkasa. Engkau memang
hebat!” Dan seperti berlomba dan tidak mau kalah, dia pun menangkis dan
menendang setiap anak panah yang meluncur dan menyambar di dekatnya. Kakek tua
renta itu tertawa-tawa, gembira sekali seperti seorang anak kecil bermain
perang-perangan. Akan tetapi selagi kedua orang ini sibuk menghadapi serangan anak
panah dengan menangkis, enam buah rakit itu telah mengepung dekat dan mereka
telah menyerang dengan tombak-tombak panjang.
Si kakek berambut putih menjadi makin girang.
Dia dapat menangkap sebatang tombak musuh dan sambil bersorak girang dia
meloncat ke atas sebuah rakit musuh dan mengamuk di situ. Susahnya bagi para
pelarian itu, kakek ini seperti anak kecil, tidak segera merobohkan enam orang
di atas rakit itu melainkan mempermainkan mereka dan hanya menampar dan
menendang perlahan saja untuk mempermainkan, membuat mereka berjatuhan akan
tetapi mereka masih dapat bangkit kembali dan mengeroyok lagi. Hal ini agaknya
menyenangkan hati kakek itu, seperti seekor kucing mempermainkan enam ekor
tikus, melayani mereka, membagi-bagikan tamparan sambil tertawa-tawa.
“Heiittt, wuuhh, tidak kena.... heh-heh-heh, nah, berlututlah engkau, dan
engkau rebahlah!” Demikianlah kakek itu bermain-main, membuat gemas juga hati
Kian Bu. Kalau kakek itu bersungguh-sungguh, agaknya bersama dia akan dapat
melawan dan menahan semua musuh ini. Akan tetapi kakek itu main-main dan kini
dia sibuk seorang diri menahan pengeroyokan para pengepung. Untung bahwa
Panglima Jayin dan empat orang pembantunya juga melawan dengan gagah berani,
juga Siang Hwa dan Siang In membantu sekuat tenaga mereka, sungguhpun keadaan
mereka amat repot karena dikepung dan dikeroyok.
“Awas pinggir rakit!” Kian Bu berteriak
dan cepat kakinya menendang kepala seorang musuh yang tahu-tahu muncul di
pinggir rakit. Kiranya mereka itu kini telah mengirim beberapa orang untuk
menyelam dan agaknya ingin menggulingkan rakit! Akan tetapi Panglima Jayin dan
para pembantunya juga sudah siap menjaga keselamatan rakit mereka yang mulai
bergoyang-goyang.
“Auuhhh....!” Seorang di antara pembantu
Panglima Jayin mengeluh dan tubuhnya terjungkal ke dalam air sungai karena
perutnya telah terkena sebatang senjata rahasia paku beracun yang dilepas oleh
Si Petani Maut.
“Awas senjata rahasia!” Kian Bu berteriak
lagi dan dia sudah menghadapi serangan paling dahsyat di pinggir rakit.
Berkat amukan Kian Bu yang amat tangguh, Si
Petani Maut Liauw Kui dan Sastrawan Yu Ci Pok yang tidak dapat langsung
menyerang secara dekat itu kembali menyuruh para anak buahnya mundurkan rakit.
“Lepas anak panah....!” Perintahnya dan
kembali anak-anak panah berluncuran menyerang ke perahu para pelarian itu. Kian
Bu sibuk sendiri dan tidak mungkin dia harus melindungi seluruh rakit dari
anak-anak panah itu. Panglima Jayin dan anak buahnya juga sudah memutar golok
mereka menangkisi anak-anak panah yang datang menyambar ke arah mereka. Juga
dua orang gadis itu harus berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri. Akan
tetapi tiba-tiba Siang Hwa mengeluh dan roboh di atas rakit.
“Cici....!” Siang In menubruk encinya dan
betapa kaget hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa punggung encinya
terluka hebat dan ketika dia mendekap encinya, Siang Hwa mengerang lirih.
“In-moi.... kau.... jaga dirimu....
baik-baik....” Gadis ini mengerang lalu terkulai. Sebatang paku beracun yang
dilepaskan oleh Petani Maut kembali telah memperoleh korban, memasuki
punggung Siang Hwa dan tepat mengenai jantung sehingga gadis itu tewas
seketika.
“Enci Siang Hwa....!” Siang In menjerit dan
menangis sambil memeluk encinya yang sudah menjadi mayat.
Melihat ini, Kian Bu menjadi makin gemas
kepada See-thian Hoat-su, “Kakek menjemukan! Kau membantu kami ataukah
membantu musuh?” teriaknya.
See-thian Hoat-su tertawa dan sekali kaki
tangannya bergerak, enam orang yang dipermainkannya itu terlempar semua dari
atas rakit, tenggelam dan hinggap di pinggir rakit para pelarian itu.
“Eh, oh, kenapa menangis....? Kenapa dia?”
“Enci Siang Hwa.... telah.... tewas....!”
Siang In menangis.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah enak-enak mati
mengapa ditangisi? Apa kau ingin melihat encimu hidup lagi dan menderita
seperti kita ini? Ohhhh, bocah tolol kau! Aku yang ingin sekali mampus sampai
puluhan tahun tidak juga mampus, sekarang encimu sudah enak-enak mati, membikin
aku iri saja, engkau malah menangis!”
Siang In tidak mempedulikan kata-kata aneh dan
gila-gilaan dari kakek itu, terus memeluki mayat encinya dengan hati hancur dan
dia tidak peduli lagi apakah dia terancam bahaya atau tidak, karena setelah
encinya mati, dia amat ngeri dan takut menghadapi hidup seorang diri saja di
dunia yang kejam ini. Encinya merupakan pengganti ayah bundanya, sekarang
encinya telah mati, berarti bahwa dia akan hidup seorang diri saja di dunia
yang penuh dengan kekerasan dan kesengsaraan ini.
Kakek See-thian Hoat-su, Kian Bu, Panglima
Jayin dan pembantunya yang tinggal tiga orang itu masih melakukan perlawanan
mati-matian karena para anak buah Tambolon masih terus mengepung mereka.
Andaikata pertandingan itu terjadi di atas daratan, dengan adanya See-thian
Hoat-su dan Suma Kian Bu, tentu sudah sejak tadi dua orang pengawal Tambolon
beserta puluhan orang anak buahnya itu akan roboh semua dalam waktu singkat.
Akan tetapi pertempuran terjadi di atas sungai, di atas rakit dan dikepung
dari jauh, dihujani anak panah dan senjata rahasia, maka tentu saja para
pelarian itu makin lama makin repot. Rakit mereka telah berada di tengah sungai
yang lebar itu, terlalu jauh dari tepi sehingga tidak mungkin lagi bagi mereka
untuk mendarat. Para pengeroyok sudah mengepung mereka dan biarpun di antara
para pengeroyok itu sudah sepuluh orang yang terjungkal ke dalam air, namun
Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang maklum akan kelemahan lawan di air, terus
mengepung dan berusaha menggulingkan rakit itu dengan berbagai cara.
Sementara itu, di langit atas mereka berkumpul
awan mendung menghitam tanpa diketahui oleh mereka yang sedang bertempur. Pada
waktu itu, Liauw Kui sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyerang dengan
panah api! Dia merasa penasaran sekali bahwa dengan banyak anak buah belum juga
mereka dapat mengalahkan para pelarian itu, maka timbul keinginannya untuk
menumpas musuh yang tidak bisa ditawan kembali itu. Berhamburanlah anak panah
berapi ke rakit itu dan See-thian Hoat-su berteriak-teriak marah. Akan tetapi
kakek yang lihai ini bersama Suma Kian Bu repot menangkis panah-panah ini,
demikian pula Jayin dan anak buahnya. Hanya Siang In yang tidak peduli akan itu
semua, dan kalau tidak ada Kian Bu yang selalu melindunginya, tentu gadis ini
akan menjadi korban panah berapi. Akan tetapi, biarpun mereka tidak atau belum
terkena anak panah tetapi ada panah yang menancap di rakit mereka yang mulai
terbakar!
Seorang anak buah Panglima Jayin cepat melepas
jubahnya, membasahi jubah itu dengan air sungai kemudian dia cepat memadamkan
api yang mulai membakar permukaan rakit dari bambu. Akan tetapi, karena sibuk
dengan usaha ini, dia tidak dapat melindungi dirinya sendiri dan terdengar
teriakan mengerikan ketika orang ini terkena anak panah yang menancap di
lambungnya! Orang Bhutan ini terjungkal dan jatuh ke dalam air sungai.
Pada saat itu, tiba-tiba turun hujan dengan
derasnya, seperti dituang dari langit, dibarengi dengan angin yang besar.
Amukan hujan dan angin ini sekaligus membubarkan pertempuran, karena selain
hujan yang amat deras membuat cuaca menjadi gelap sekali dan membuat mereka
sukar membuka mata, juga angin ribut membuat air sungai mulai bergelombang
yang makin lama makin dahsyat. Beberapa kali Siang In menjerit karena hampir
dia tidak dapat menahan mayat kakaknya yang akan terlempar keluar karena rakit
itu mulai berguncang dan miring ke kanan kiri. Semua orang harus berpegang
kuat-kuat pada pinggiran rakit agar tidak terlempar keluar. Ternyata hujan
sejak tadi turun di hulu Sungai Yi-tung dan kini air mulai membanjir datang, menciptakan
arus yang amat kuat dan rakit-rakit itu hanyut dan terputar-putar tanpa dapat
dikendalikan lagi.
Rakit yang membawa para pelarian itupun hanyut
terseret arus, berputaran. Kian Bu mendengar Siang In menjerit dan menangis
karena jenazah encinya tak dapat dipertahankannya lagi. Rakit itu hampir
jungkir-balik dan dia hampir saja terbawa air kalau saja dia tidak cepat-cepat
memegang pinggiran rakit. Dan karena menyelamatkan diri sendiri ini, dia
melepaskan mayat encinya yang tahu-tahu telah lenyap disambar air.
“Enci....!” Dara itu menjerit dan dengan
nekat dia hendak menyusul mayat encinya.
“In-moi, jangan....!” Di antara air hujan
deras yang membuat orang sukar membuka mata, Kian Bu melihat dara itu bangkit
berdiri. Dia lalu meloncat dan berhasil mendorong kembali Siang In sehingga
terlempar dan roboh di atas rakit, disambar lengannya oleh See-thian Hoat-su,
akan tetapi Kian Bu sendiri tergelincir di pinggir rakit dan terseret oleh air
yang mengganas.
“Bu-twako....!” Siang In menjerit akan tetapi
Kian Bu telah lenyap ditelan air sungai yang menggelora itu. Siang In
menjerit-jerit dan roboh pingsan di pelukan Kakek See-thian Hoat-su.
“In-moi.... ah, In-moi....”
Kian Bu mengeluh, kepalanya terasa pening dan
yang pertama kali teringat olehnya ketika dia siuman dari pingsannya adalah
Siang In karena ketika dia terlempar ke air sungai dia sedang berusaha
menolong gadis itu. Betapa pun kuatnya tubuh Kian Bu di dalam air yang mengamuk
itu dia sama sekali tidak berdaya. Dia terseret oleh arus, dibuat
terguling-guling, tenggelam-timbul, diangkat ke atas oleh gelombang,
dihempaskan ke bawah dan dia pingsan, tubuhnya seperti tidak bernyawa lagi
dipermainkan air Sungai Yi-tung yang mengamuk. Dan mungkin saja karena pingsan
inilah maka nyawanya tertolong. Andaikata dia tidak pingsan, tentu dia akan
melawan maut dan justeru perlawanan yang sia-sia itu membuat tubuhnya kaku dan
mungkin akan remuk-remuk terbanting-banting seperti itu. Setelah pingsan
tubuhnya menjadi lemas dan tak pernah melawan dipermainkan air dan agaknya air
sungai pun tidak bernafsu lagi menghadapi korban yang tidak mau melawan,
seperti seekor kucing tidak bernafsu lagi mempermainkan seekor tikus yang
sudah tidak dapat bergerak. Akhirnya air menjadi bosan dengan tubuh manusia
yang tak mampu bergerak lagi itu dan menyeretnya ke tepi, melontarkannya ke
pinggir sehingga separuh tubuhnya berada di atas tanah sedangkan dari pinggang
ke bawah masih di dalam air.
“Siang In.... kasihan kau....” Kembali dia
mengeluh.
“Engkau juga kasihan, muda belia yang
tampan....” Terdengar suara halus berada di dekatnya.
Kian Bu terkejut dan kesadarannya mulai
kembali. Ketika dia merasa betapa kepalanya rebah di tempat yang lunak dan
hangat, dia cepat membuka matanya dan terbelalak heran melihat sebuah wajah
yang cantik sekali berada di atasnya. Wajah yang berkulit halus, dengan
sepasang mata bening menatap mesra, dengan bibir yang merah tersenyum ramah.
Dan dia ternyata rebah di atas rumput di tepi sungai, kepalanya rebah di atas
pangkuan wanita berwajah cantik itu!
Tentu saja Kian Bu terkejut sekali dan cepat
dia bangkit duduk dan membalikkan tubuh memandang. Wanita itu cantik bukan
main dan ia mencium bau harum semerbak.
“Kau.... kau siapakah....?” Kian Bu bertanya
meragu karena dia seperti pernah melihat wanita ini.
Senyum di bibir merah itu makin melebar dan
nampaklah deretan gigi putih bersih, kemudian, hanya sekilas pandang, nampak
ujung lidah yang meruncing dan merah menjilat keluar di antara deretan gigi
atas bawah, hanya sebentar saja akan tetapi mendatangkan penglihatan yang
mengesankan.
“Namaku Hong Kui.... she Lauw.... aku melihat
engkau rebah di tepi sungai, kukira sudah mati, lalu kutarik ke sini, ternyata
engkau masih hidup. Sukurlah, Kongcu, sukur engkau masih hidup....” Suara
wanita ini merdu dan seperti orang bernyanyi saja penuh dengan nada tinggi
rendah dan kata-katanya diiringi gerak bibir mempesona dan kerling mata yang
menyambar-nyambar.
Heran sekali, melihat bibir yang
bergerak-gerak dan mata mengerling tajam itu teringatlah Kian Bu kepada Siang
In ketika dara itu berlagak meniru gerak-gerik wanita yang genit memikat.
Wanita genit memikat! Tak salah lagi, dia inilah orangnya!
“Jadi.... engkaukah ini....?” Dia meloncat
berdiri dan wanita itu memandang ke arah celananya yang basah kuyup dan
menempel ketat di tubuhnya, sambil tertawa. Kian Bu menunduk dan cepat dia
menutupkan jubahnya yang juga basah kuyup di depan tubuhnya. Sialan! Celana
yang basah kuyup itu membuat dia seperti telanjang saja.
“Engkau sudah mengenal aku, Kongcu?” wanita
itu bertanya dan memandang penuh selidik.
“Bukankah engkau yang dicari-cari oleh Teng
Siang In?” Kian Bu bertanya, diam-diam harus mengakui bahwa wanita yang sudah
matang ini benar-benar cantik menarik dan mempunyai daya pikat yang amat kuat.
“Bukankah engkau yang.... eh, mencuri kitab dari dara itu?”
Wanita yang berpakaian mewah dan indah, dengan
gelung rambutnya yang tinggi itu tersenyum lagi. Dia ini bukan lain adalah Mauw
Siauw Mo-li. Seperti telah kita ketahui, setelah mendengar dari Siang In
tentang obat anak naga di Telaga Sungari, wanita ini meninggalkan Siang In dan
melanjutkan perjalanan hendak menuju ke telaga itu. Akan tetapi dia terhalang
oleh hujan angin dan terpaksa dia mencari tempat perlindungan dan berteduh di
dalam sebuah bekas bangunan kuil tak jauh dari Sungai Yi-tung yang akan
diseberangi. Setelah hujan berhenti, dia keluar dari tempat peneduhan itu dan
secara kebetulan saja dia melihat Kian Bu terdampar di tepi sungai. Melihat
seorang pemuda yang amat tampan dan muda itu terdampar seperti telah mati, dia
merasa sayang sekali dan cepat menghampiri. Segera ditolongnya pemuda itu
ketika dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu masih hidup.
“Ah, agaknya Adik Siang In telah bercerita
kepadamu tentang kitab itu? Ah, Kongcu, kitab itu hanya kupinjam saja dan
sekarang telah kukembalikan. Apakah dia tidak bercerita kepadamu betapa aku
telah menolong dan menyelamatkannya dari tangan Tambolon? Aku yang mengajaknya
lari sebelum dia menjadi korban kejahatan Tambolon dan mengantarnya sampai dia
selamat dari kejaran mereka.”
Kian Bu lalu duduk kembali dan wanita itu
membuat api unggun. Sampai lama mereka tidak bicara, dan wanita itu sering
mengerling dan tersenyum kepadanya, sedangkan semua gerak-geriknya ketika
membuat api unggun, ketika melangkah dan melenggang, semua penuh daya pikat
dan seluruh bagian tubuh wanita itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak
penuh keindahan, dari gerak matanya, sampai ke ujung jari tangannya,
pinggungnya, kakinya, bibirnya.
“Agaknya engkau telah menolong aku pula,
Toanio....”
“Aihhh, jangan menyebut aku Toanio,
Kongcu....” wanita itu cepat memutar tubuh, mencela akan tetapi sambil
tertawa. “Setelah kita bertemu di sini dan kebetulan aku menarikmu dari air,
bukankah kita telah menjadi sahabat?”
“Engkau juga menyebut aku Kongcu (Tuan
Muda)....”
“Hi-hik, engkau sungkan benar...., biarlah
kau menyebut aku.... enci, karena aku memang lebih tua darimu dan kau.... eh,
siapa sih namamu?”
“Aku Kian Bu, Suma Kian Bu.”
“Namamu gagah, seperti orangnya. Nah, Kian Bu,
bukankah kita sekarang sudah bersahabat dan lebih akrab kalau aku menyebut
namamu saja dan kau menyebut enci kepadaku seolah-olah kita ini dua orang
bersahabat atau bersaudara?”
“Terima kasih.... Enci Hong Kui, engkau baik
sekali.”
Wanita itu kembali tersenyum dan membesarkan
api unggun. “Kau duduklah dekat api, biar tubuhmu hangat dan pakaianmu
kering.”
“Aku harus pergi mencari yang lain-lain, Enci.
Mungkin mereka pun terdampar dan selamat seperti aku.”
“Eh, yang lain-lain siapakah?”
Mereka berdua duduk berdampingan di atas
rumput, dekat api unggun. Malam itu gelap dan dingin, akan tetapi api unggun
itu hangat. Kian Bu lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia bersama Siang
Hwa, Kakek See-thian Hoat-su dan lima orang Bhutan melarikan diri dari sarang
gerombolan Tambolon. Kemudian setelah berhasil membawa pula Siang In yang
muncul di tepi sungai, mereka dikepung oleh anak buah Tambolon dan dikeroyok,
akhirnya sampai hujan angin menyerang mereka semua.
“Aku tidak tahu bagaimana dengan nasib mereka
karena aku terlempar keluar dari rakit dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku
harus segera mencari Siang In. Kasihan sekali gadis itu, sudah kehilangan
encinya yang tewas di atas rakit, kemudian dia sendiri masih terancam bahaya
maut. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan selamat, dan aku harus mencarinya
sekarang juga, Enci Hong Kui.”
Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li menggeleng
kepalanya. “Tidak akan ada gunanya, Kian Bu. Malam amat gelap, langit masih
diliputi mendung dan tidak mungkin kita dapat mencari dia di tempat gelap
begini. Kita menanti sampai besok dan aku akan membantumu mencari dia.
Sekarang, mari kau makan dulu, aku membawa bekal roti dan arak.”
Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke arah
sungai. Air masih penuh sungguhpun gelombang tidak mengamuk seperti tadi, akan
tetapi keadaannya gelap benar sehingga memang tidak mungkin untuk mencari
Siang In di sepanjang tepi sungai itu. Dia menarik napas panjang dan duduk
kembali sementara wanita itu mengeluarkan bungkusan roti dan seguci arak.
Makanan itu dibelinya dari warung di dusun yang dilewatinya tadi dan dibawa
sebagai bekal.
“Sungguh kasihan sekali Siang In....” Kian Bu
berkata ketika dia sudah duduk dan membayangkan keadaan dara yang lincah jenaka
itu.
“Eh...., apamukah dia itu? Sahabat baikmu?
Pacarmu?”
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali
mendengar pertanyaan terakhir itu, pertanyaan yang diajukan dengan suara biasa
saja.
“Oh, bukan! Kami hanya teman-teman seperjalanan
yang beberapa hari saling berjumpa dalam hutan.”
“Ah, kukira pacar atau.... calon isteri.”
“Hemm, aku masih belum bertunangan,” Kian Bu
menjawab cepat untuk menyetop percakapan mengenai hal itu.
Wanita itu memandangnya dengan kerling tajam
dan senyumnya melebar, manis sekali. Wajahnya kelihatan kemerah-merahan di
bawah sinar api unggun. “Kian Bu, kaumgkanlah. Roti ini kubeli di dusun tadi,
masih lunak. Marilah!”
“Terima kasih.” Kian Bu menerima roti dan
bersama Mauw Siauw Mo-li yang mengaku bernama Lauw Hong Kui, nama kecilnya yang
jarang dikenal orang itu, dia makan roti karena memang perutnya terasa lapar
sekali. Teringat olehnya betapa dia bersama Siang In sudah sejak ditawan tidak
makan apa-apa dan perutnya menerima roti dengan hangat.
Melihat Kian Bu menelan roti agak seret, Mauw
Siauw Mo-li tersenyum dan mengulurkan tangannya yang memegang guci arak.
“Minumlah.... arak ini pun arak baik, manis dan tidak begitu keras.”
“Mana cawan atau mangkoknya?” Kian Bu menerima
guci.
“Ih, membawa cawan di perjalanan berabe saja
dan di tempat ini mana ada mangkok? Kauminum saja dari guci itu.”
“Tapi.... tapi.... ini guci arakmu dan....”
“Aih, Kian Bu, mengapa engkau banyak sungkan?
Minum begitu saja mengapa sih?”
“Habis, bagaimana engkau nanti kalau hendak
minum?”
“Bagaimana? Ya biasa saja, dari guci.”
“Kalau begitu, kauminumlah dulu!” Kian Bu
mengembalikan guci arak, merasa sungkan kalau harus mendahului. Untuk minum
dari guci, berarti bahwa
mulut guci
akan beradu dengan mulutnya.
“Hi-hik, engkau seperti anak kecil saja.” Mauw
Siauw Mo-li diam-diam merasa girang sekali dan makin tergila-gila kepada
pemuda remaja yang tampan dan sopan ini. Dia membuka tutup guci, mencucup mulut
guci mereguk sedikit arak, kemudian menyerahkan guci itu kepada Kian Bu. “Nah,
giliranmu minum!”
Karena memang roti itu sebagian berhenti di
kerongkongannya, Kian Bu menerima guci arak dan mereguk araknya, langsung dari
mulut guci masuk ke mulutnya. Setelah dia menurunkan guci itu, Mauw Siauw Mo-li
mengambil dari tangannya dan tanpa ragu-ragu wanita itu minum lagi. Kian Bu
melihat betapa sepasang bibir yang berkulit tipis itu mengulum mulut guci dan
betapa leher yang panjang itu bergerak-gerak ketika arak memasukinya. Cepat
Kian Bu menunduk karena penglihatan itu terlalu mendebarkan jantungnya, entah
mengapa dia sendiri pun tidak mengerti.
Baru saja mereka selesai makan roti dan minum
arak, dan Kian Bu duduk membelakangi api untuk mengeringkan pakaiannya di
punggung, tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan dia bersikap waspada
sungguhpun masih kelihatan tenang saja. Dia tahu bahwa ada gerakan beberapa
orang mendekat tempat itu dari arah daratan yang penuh pohon-pohon. Mula-mula
dengan penuh harapan, timbul dugaannya bahwa itu adalah Siang In dan teman-teman
lain, akan tetapi dia tahu bahwa harapannya itu sia-sia karena kalau Siang In,
tentu sudah berseru memanggilnya, pula kalau mereka itu teman-teman, tentu
tidak berindap-indap seperti kelakuan orang-orang yang mempunyai niat buruk.
“Ssssttt, kau mendekatlah ke sini. Ada
orang-orang datang....” Mauw Siauw Mo-li berbisik dan tahulah Kian Bu bahwa
wanita ini juga memiliki pendengaran yang amat tajam. Dan wanita ini kelihatan
tenang saja, bahkan kini menambah kayu kering pada api unggun sehingga keadaan
di situ menjadi cukup terang.
“Kau mendekatlah agar aku dapat melindungimu,
Kian Bu. Mereka itu tentu orang-orang yang berniat buruk....”
Kian Bu menurut dan dia mendekati wanita itu.
Mereka masih duduk di dekat api unggun ketika orang-orang itu telah datang
mengurung dan dari sudut matanya Kian Bu melihat bahwa mereka itu adalah dua
orang pembantu Tambolon bersama sepuluh orang anak buah mereka. Dia bersikap
waspada karena maklum bahwa dua orang pembantu raja liar itu memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi juga. Munculnya dua orang pengejar ini mendatangkan dua
macam perasaan di hati Kian Bu. Dengan masih berkeliarannya mereka itu di
sini, berarti bahwa mereka belum dapat menawan kembali Siang In dan yang
lain-lain, akan tetapi juga menimbulkan keraguan apakah mereka semua yang
menjadi pelarian itu dapat menyelamatkan diri dari sungai yang mengganas.
Yang datang itu memang benar adalah sisa anak
buah Tambolon yang berhasil menyelamatkan diri dari amukan badai di Sungai
Yi-tung, dipimpin oleh Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut.
Mereka tidak berhasil menemukan para pelarian itu dan melihat api unggun dari
jauh, mereka lalu berindap-indap datang ke tempat itu. Marah hati mereka ketika
mengenal Kian Bu sebagai seorang diantara para pelarian itu, dan dua orang
pembantu Tambolon ini mengenal pula Mauw Siauw Mo-li, karena ketika Siluman
Kucing ini dahulu bersama Hek-tiauw Lo-mo memimpin pasukan pemberontak
menumpas pasukan Tambolon di Koan-bun, mereka berdua langsung berhadapan dengan
wanita ini dan suhengnya yang lihai.
“Hemm, kiranya engkau pula yang berada di
sini, Siauw Mo-li!” Liauw Kui berkata marah sambil melintangkan batang
pikulannya di depan dada. “Sudah berkali-kali engkau sengaja merintangi jalan
kami. Sesudah penyerbuan di Koan-bun, engkau melarikan pengantin raja kami,
kemudian sekarang engkau di sini bersama seorang buruan kami. Berikan dia
kepada kami.”
Mauw Siauw Mo-li tersenyum. “Kalian
orang-orang liar kaki tangan Tambolon, lebih baik lekas pergi dari sini jangan
mengganggu aku kalau kalian belum bosan hidup.” Dengan sikap tenang seenaknya
Lauw Hong Kui, wanita cantik yang merasa terganggu kesenangannya itu berkata
sambil mengorek api unggun sehingga nyalanya menjadi makin besar.
“Perempuan sombong! Kaukira aku takut
kepadamu?” Liauw Kui membentak marah sekali.
“Hi-hik, engkau sudah bosan hidup!” Mauw Siauw
Mo-li tertawa lalu berbisik kepada Kian Bu, “Engkau tunggu sebentar, aku akan
menghajar tikus-tikus busuk ini!”
Kian Bu mengangguk dan memandang dengan
terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita cantik jelita yang
telah menolongnya ini, yang mempunyai nama indah, yaitu Lauw Hong Kui, kiranya
adalah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing yang telah dia dengar namanya dari
kakaknya itu. Kiranya ini adalah sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo yang lihai! Heran
sekali dia mengapa seorang iblis seperti Hek-tiauw Lo-mo memiliki seorang sumoi
sehebat ini dan sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita yang berjuluk Mauw
Siauw Mo-li yang dikabarkan seperti iblis betina itu ternyata adalah seorang
wanita yang begitu cantik. Dan wanita ini tidak membohong ketika mengatakan
bahwa dia menyelamatkan Siang In dari tangan Tambolon, karena menurut ucapan
Liauw Kui yang marah tadi agaknya memang demikian. Kini Kian Bu duduk di dekat
api unggun dan menonton dengan hati tertarik. Lauw Hong Kui tidak tahu bahwa
dia memiliki kepandaian maka dia pun tidak akan turun tangan kalau tidak perlu
sekali, sungguhpun dia telah siap karena maklum betapa lihainya dua orang pembunuh
utama Tambolon.
“Mampuslah....!”
Tiba-tiba tangan Mauw Siauw Mo-li bergerak dan
dia telah melontarkan sebatang ranting yang ujungnya bernyala ke arah Petani
Maut. Ranting yang ujungnya terbakar itu meluncur seperti anak panah cepatnya,
menyambar ke arah dada pembantu utama Tambolon itu. Liauw Kui mendengus marah,
batang pikulannya bergerak menangkis dan ranting itu meluncur ke kiri.
Terdengar pekik mengerikan dan seorang di antara anak buah pasukan Tambolon
itu roboh dengan perut tertembus ranting tadi yang kini menjadi padam.
Siauw Mo-li tertawa dan Liauw Kui menjadi
marah bukan main. Tak disangkanya bahwa lontaran ranting itu sedemikian
kuatnya sehingga biarpun telah dapat ditangkis, namun masih dapat membunuh
seorang anak buahnya.
Lauw Hong Kui sudah meloncat berdiri dan
tangan kanannya meraba punggung. Sinar kehijauan nampak di antara cahaya api
ketika wanita ini sudah mencabut pedangnya. Melihat ini Liauw Kui sudah
berteriak keras dan menerjang maju, sambil menggerakkan senjatanya yang istimewa,
yaitu batang pikulannya.
“Singgg.... wirrr....!” Pikulan berubah
menjadi sinar bergulung ketika menyambar ke arah Siauw Mo-li, namun wanita ini
tidak menjadi gentar, cepat mengelak dan menggerakkan pedangnya untuk balas
menyerang.
“Tring-tring-tringgg....!” Berkali-kali kedua
senjata bertemu dan bunga api berhamburan. Keduanya merasa betapa tangan mereka
yang memegang senjata tergetar, maka dengan kaget mereka melangkah mundur dan
memeriksa senjata masing-masing. Setelah ternyata bahwa senjata mereka tidak
menjadi rusak, mereka bergerak lagi saling menyerang dengan marah.
Kian Bu yang menonton pertempuran itu menjadi
kagum. Ternyata bahwa Lauw Hong Kui selain cantik jelita dan memiliki daya
tarik yang amat luar biasa, juga memiliki kepandaian tinggi, ilmu pedangnya
indah dan lihai sehingga kalau saja pembantu utama Tambolon itu bukan seorang
yang berilmu, tentu tidak akan kuat bertahan menghadapi gerakan pedang yang
cepat dan aneh itu. Mereka ternyata seimbang karena senjata batang pikulan
itupun luar biasa, berputar seperti kitiran dan mengandung kekuatan yang
dahsyat. Kian Bu mengerti bahwa dalam hal tenaga, Petani Maut itu lebih kuat
dibandingkan dengan Siauw Mo-li, akan tetapi jelas bahwa wanita itu lebih cepat
gerakannya, lebih lincah dan ringan sehingga mengandalkan kelincahannya ini,
Siauw Mo-li dapat mengimbangi desakan lawan. Betapapun juga, Kian Bu maklum
bahwa kalau dilanjutkan, besar kemungkinan wanita itu akan dapat merobohkan
lawannya, sungguhpun akan tidak mudah baginya melakukan hal itu. Maka dia hanya
menonton saja dan waspada terhadap gerak-gerik Si Siucai Maut dan anak buahnya
yang juga menonton dengan penuh perhatian.
Melihat betapa setelah lewat lima puluh jurus
temannya belum juga dapat mengalahkan wanita itu, bahkan kini gulungan sinar
pedang kehijauan itu menjadi makin lebar dan makin menghimpit, Yu Ci Pok
menjadi tidak sabar.
“Iblis betina banyak tingkah!” teriaknya dan
dia sudah menerjang maju dengan sepasang poan-koan-pit di tangannya melakukan
gerakan cepat menotok secara bertubi-tubi di tujuh belas jalan darah depan
tubuh wanita lihai itu.
“Cring-cring-cring-tranggg....!” Siauw Mo-li
terhuyung ke belakang karena dia harus menghadapi serangan batang pikulan dan
sepasang poan-koan-pit yang amat lihai itu.
Melihat dua orang itu sudah menerjangnya lagi
dan sembilan orang anak buahnya itu sudah makin mendekat, Mauw Siauw Mo-li
tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa diikuti suara aneh seperti seekor kucing,
tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu ke arah gerombolan itu, tangan
kanan memutar pedang mendesak dua orang lawan yang sudah menyerangnya lagi
sambil berteriak, “Kian Bu, tiarap....!”
Terdengar bunyi ledakan keras dan empat orang
anak buah Tambolon roboh sedangkan yang lima orang lagi cepat lari cerai-berai.
Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li sendiri terdesak hebat oleh Liauw Kui dan Yu Ci
Pok. Sebuah totokan yang amat cepat menyerempet lututnya, membuat wanita ini
terhuyung dan pada saat itu, batang pikulan Liauw Kui menghantam punggungnya
yang biarpun sudah ditangkisnya dengan pedang, tetap saja masih membuat dia
terjengkang dan roboh ke atas tanah. Kini dua orang pembantu Tambolon itu
sudah menubruk ke depan dengan senjata mereka.
“Wuuuttt.... desss!” Dua orang itu berseru
kaget dan terhuyung ke belakang, karena ada tenaga dahsyat dan berhawa dingin
sekali melanda mereka dari depan.
Itulah dorongan pukulan yang mengandung hawa
sakti Swat-im Sin-kang dari Kian Bu. Pemuda ini tentu saja tidak mau membiarkan
wanita cantik yang sudah menolongnya itu tewas di tangan musuh begitu saja,
maka dia sudah meloncat ke depan dan melakukan pukulan jarak jauh tadi.
“Enci Hong Kui.... apakah engkau tidak
apa-apa? Tidak terluka....?” kata Kian Bu sambil menghampiri wanita yang masih
terduduk di atas tanah itu dan yang kini memandang kepadanya dengan mata
terbelalak lebar penuh keheranan.
“Kian Bu, awas....!” Tiba-tiba Mauw Siauw
Mo-li berseru keras.
Akan tetapi dengan tenang saja Kian Bu
membalikkan tubuhnya dan menggerakkan kedua tangan. Tentu saja tanpa
diperingatkan pun dia telah tahu bahwa dia diserang dari belakang oleh dua
orang itu.
“Plak-plak-bresss....!”
Liauw Kui dan Yu Ci Pok kembali terhuyung ke
belakang ketika penyerangan mereka disambut tangkisan dan tamparan kedua
tangan Kian Bu yang mengandung tenaga dahsyat itu, kini tidak lagi mengandung
hawa dingin, melainkan hawa panas karena pemuda itu telah mengerahkan tenaga
sakti Hwi-yang Sin-kang. Liauw Kui tertangkis batang pikulannya yang membalik
dan hampir menghantam kepalanya sendiri, sedangkan Yu Ci Pok tertampar tangan
Kian Bu yang panas, tepat mengenai lengannya, membuat dia merasa lengannya
seperti lumpuh dan panas terbakar.
Pada saat itu, Lauw Hong Kui sudah melemparkan
dua buah benda bundar lagi ke arah musuh. “Awas peledak....!” Si Petani Maut
berteriak dan bersama Yu Ci Pok dan anak buahnya dia meloncat jauh. Akan tetapi
tetap saja ada dua orang anak buahnya lagi yang roboh terguling dan maklum
bahwa mereka tidak akan mampu melawan pemuda lihai dan wanita berbahaya itu, Liauw
Kui dan Yu Ci Pok lalu melarikan diri, menghilang di kegelapan malam diikuti
anak buah mereka yang tinggal empat orang itu. Kian Bu tidak mengejar, hanya
berdiri tegak memandang ke arah mereka itu melarikan diri.
Tiba-tiba Kian Bu menunduk dan dia melihat
wanita itu telah berlutut di dekatnya, memegang tangan kanannya lalu menciumi
tangannya itu.
“Eh, engkau kenapa, Enci?” tanyanya, akan
tetapi tidak dapat menarik tangannya yang digenggam erat-erat dan dibelai oleh
wanita itu.
“Kian Bu.... kau.... tak kusangka.... aihh,
engkau hebat sekali! Kiranya engkau seorang pemuda yang sakti, sungguh mati
aku tidak menyangkanya.... kau hebat, aku kagum sekali padamu....”
“Ah, sudahlah, engkau pun lihai sekali, Enci
Hong Kui.”
Wanita itu bangkit berdiri, masih memegangi
lengan Kian Bu, dan dibawah sinar api unggun dia melihat betapa muka wanita
itu kemerahan, matanya yang indah itu agak terpejam, menyipit dan sayu
menatapnya, jari-jari tangan wanita itu merayap dari lengannya, ke atas,
membelai dadanya, pundaknya, lehernya dan mengelus pipinya, bibirnya tersenyum,
agak terbuka, agak terengah. Teringat dia akan Siang In yang pernah meniru
lagak wanita genit memikat, wanita ini yang dimaksudkan oleh dara itu dan kini
dia menghadapi sendiri gaya Mauw Siauw Mo-li yang amat memikat itu. Berdebar
rasa jantungnya, dan dia cepat menarik diri dengan halus sambil berkata,
“Kiranya engkau adalah Mauw Siauw Mo-li.... sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo?”
Siauw Mo-li tersenyum, tidak mendesak dengan
rayuannya karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki
kepandaian hebat sekali, tidak boleh dipandang ringan. Hati wanita ini sudah
terpikat. Baru sekali ini selama hidupnya dia benar-benar jatuh cinta kepada
seorang pria. Biasanya dia menganggap pria hanya sebagai barang permainannya,
untuk menyenangkan hatinya, untuk memuaskan nafsu berahinya. Entah sudah berapa
banyaknya pria yang dibunuhnya setelah dia puas mempermainkannya lalu menjadi
bosan dan membunuhnya. Biasanya, kaum prialah yang tergila-gila kepadanya.
Akan tetapi sekarang, Mauw Siauw Mo-li yang tergila-gila kepada Kian Bu,
setelah dia melihat betapa pemuda yang tampan gagah ini ternyata amat lihai,
memiliki kepandaian yang agaknya lebih tinggi daripada kepandainnya sendiri.
“Aku benci sekali kepada julukan itu, Kian Bu.
Julukan yang diberikan oleh mereka yang tidak suka kepadaku. Aku benci sekali,
apalagi kalau engkau yang menyebutnya. Bagimu aku adalah Lauw Mong Kui, wanita
biasa saja....”
Kian Bu tersenyum. “Enci Hong Kui, biarpun engkau
mengaku seorang wanita biasa saja, kenyataannya engkau adalah seorang wanita
yang luar biasa. Engkau cantik jelita, berkepandaian tinggi, sumoi dari Ketua
Pulau Neraca....”
Akan tetapi wanita itu sudah tidak
mendengarkan kata-kata selanjutnya dari Kian Bu. Demikian girang hatinya
mendengar pujian bahwa dia cantik jelita. “Benarkah, Kian Bu? Benarkah engkau
berpendapat bahwa aku cantik jelita?”
“Engkau memang cantik dan genit memikat....”
Kian Bu kembali teringat kepada Siang In. “Dan biarpun engkau sumoi Hek-tiauw
Lo-mo, ternyata engkau baik, telah menolong Siang In, dan juga telah
menolongku. Akan tetapi sekarang aku harus pergi, Enci Hong Kui. Aku harus
mencari Siang In....” Kian Bu sudah memutar tubuhnya hendak pergi dan merasa
bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik kalau dia terus berdekatan dengar
wanita ini, yang membuat jantungnya berdebar aneh. Wanita ini memiliki daya
tarik yang amat luar biasa. Tadi ketika jari-jari tangan wanita itu menjelajahi
tubuhnya, seperti ular-ular merayap, bulu tengkuknya meremang, akan tetapi di
samping kengerian ini dia pun merasakan sesuatu yang aneh, nikmat dan
membangkitkan keinginan tahunya.
“Eh, Kian Bu, nanti dulu!” Lauw Hong Kui atau
Mauw Siauw Mo-li sudah lari mengejar dan memegang lengan tangan pemuda itu.
“Kenapa kau hendak pergi sekarang? Sudah kukatakan malam amat gelap, engkau
tidak akan berhasil mencarinya, pula, di tempat ini berkeliaran orang-orangnya
Tambolon sehingga di dalam gelap amat berbahaya, dapat celaka oleh mereka.
Tunggulah sampai besok pagi, aku akan membantumu mencari dia, Kian Bu.”
“Tidak perlu, Enci. Biar aku mencari sendiri.
Engkau baik sekali dan terima kasih atas semua bantuanmu.”
“Kau nekat hendak pergi mencari gelap-gelap
begini? Kalau begitu, biar aku menemanimu.”
Tentu saja Kian Bu tidak dapat menolak atau
melarang dan mereka berdua mulai mencari-cari di sepanjang sungai itu. Akan
tetapi, karena memang cuaca amat gelap, sukar sekali mencari orang dan akhirnya
Kian Bu terpaksa menurut bujukan Hong Kui untuk beristirahat dan menanti sampai
malam lewat, baru akan melanjutkan usaha mencari Siang In dan yang lain-lain
itu. Mereka duduk di tepi sungai, membuat api unggun.
“Tidurlah, Kian Bu. Engkau baru saja mengalami
bahaya maut di sungai, mengalami pertandingan yang berat. Engkau tentu lelah
sekali, biar aku yang menjaga di sini.”
Kian Bu memang merasa lelah sekali. Dia lalu
merebahkan diri terlentang di atas rumput dekat api unggun, memandang wanita
itu yang duduk dekat api unggun sambil menambah kayu bakar ke dalam api. Hong
Kui menoleh dan mereka saling pandang. Wanita itu tersenyum. Giginya yang
berderet rapi itu berkilauan tertimpa cahaya api. Wanita cantik sekali, pikir
Kian Bu yang rebah terlentang berbantal kedua tangannya.
“Enci Hong Kui, kita baru saja saling bertemu.
Mengapa engkau begini baik kepadaku dan selain menolongku dari sungai ketika
aku pingsan, membantuku melawan anak buah Tambolon, bersikap manis dan kini
hendak membantuku mencari Siang In? Mengapa?”
Pertanyaan yang mengandung nada suara penuh
selidik ini tentu saja dapat tertangkap oleh wanita yang sudah berpengalaman
itu. Mauw Siauw Mo-li tahu pemuda macam apa adanya Kian Bu. Seorang pemuda
yang masih perjaka, yang belum berpengalaman, namun seorang yang gemblengan dan
biarpun di dalam sinar mata pemuda itu terdapat semangat kegembiraan yang
besar, namun pemuda seperti ini tidak akan mudah tunduk kepada dorongan nafsu
begitu saja. Juga tidak mungkin untuk memaksa pemuda ini seperti yang sering
dia lakukan terhadap pemuda-pemuda lain, tidak mungkin pula mempergunakan obat
bius atau obat perangsang. Satu-satunya jalan dia harus dapat menundukkan hati
pemuda ini dengan rayuannya, harus dapat menimbulkan cinta kasih di hati pemuda
ini. Dan dia dapat membayangkan betapa akan senang dan bahagia hatinya kalau
pemuda ini dapat bertekuk lutut dan dapat menjadi kekasihnya. Dia akan
melepaskan semua petualangannya, akan menghindari semua pria lain kalau saja
dia bisamendapatkan cinta kasih dari pemuda luar biasa ini. Maka dia harus
bersikap cerdik dan hati-hati.
Dapatdibayangkan betapa kaget dan heran rasa
hati Kian Bu ketika tiba-tiba dia melihat wanita cantik itu menutupi muka
dengan kedua tangan dan terisak menangis!
“Eh, Enci...., kau kenapa?” tanyanya sambil
bangkit duduk.
Hong Kui terisak lirih, mengatur
pernapasannya terengah, kemudian dia menurunkan kedua tangan. Mukanya pucat
matanya merah dan air mata menetes turun ke atas kedua pipinya. Dia menggigit
bibir seperti hendak memperkuat hatinya, kemudian baru dia berkata sambil menunduk,
“Pertanyaanmu mengingatkan aku bahwa aku hanyalah seorang calon mayat, Kian
Bu....” Air matanya bercucuran.
“Eh, apa maksudmu, Enci?” Kian Bu memandang
penuh perhatian dan teringat akan gaya Siang In ketika menirukan gerak-gerik
wanita ini. Akan tetapi sekali ini agaknya Hong Kui tidak bersandiwara, tidak
berpura-pura dan bergaya memikat.
“Tadi aku tidak berterus terang ketika
menceritakan kepadamu, Adik Kian Bu. Aku sampai mencuri kitab dari
Pek-thouw-san, kitab peninggalan ayah Adik Siang In, hanya karena terpaksa. Aku
keracunan hebat oleh latihan yang keliru, melatih ilmu dari kitab suheng
Hek-tiauw Lo-mo, dan aku tahu bahwa kalau tidak memperoleh obat yang tepat, aku
akan mati. Sekarang, melihat bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi,
maka timbul kembali harapanku, akan tetapi.... aku sangsi apakah engkau akan
sudi membantuku sehingga nyawaku dapat terhindar dari ancaman maut...., maka
aku membantumu sekuat tenagaku hanya.... hanya agar engkau menaruh kasihan
kepadaku....”
“Enci Hong Kui, mengapa kau berkata demikian?
Tanpa engkau menolongku sekalipun, kalau memang aku dapat membantu, aku tentu
takkan menolak jika engkau membutuhkan bantuanku.”
Wajah yang pucat itu menjadi agak berseri,
mata yang sayu oleh tangis itu memandang penuh harapan. “Benarkah, Kian Bu? Ah,
benarkah kau sudi menolongku? Aku.... aku adalah seorang sebatang kara, tidak
punya ayah bunda, tidak ada saudara....”
“Ada suhengmu....”
“Suhengku adalah seorang yang jahat, seorang
yang kejam, bahkan ancaman maut ini datang dari kitabnya yang kupelajari, dan
dia tidak peduli....”
“Akan tetapi masih ada Hek-wan Kui-bo.
Bukankah dia sucimu....? Ah, maaf, hampir aku lupa bahwa dia telah tewas....”
“Andaikata masih hidup pun, Suci itu lebih
jahat lagi daripada Suheng. Pendeknya, aku hidup sebatang kara di dunia ini,
dan sekarang terancam bahaya. Hanya engkau yang kuharapkan, hanya engkau yang
dapat membantuku, Kian Bu.”
“Enci Hong Kui, engkau sendiri adalah seorang
yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau hanya mencari obat saja, tanpa bantuanku
pun engkau tentu dapat melakukannya.”
“Aihhh, engkau tidak tahu. Pernah Suheng
berkata kepada puterinya, si anak nakal Hwee Li, bahwa yang akan dapat
menyembuhkan keracunan di tubuhku ini hanya anak naga di Telaga Sungari. Dan
bulan depan ini naga itu akan muncul, munculnya setiap sepuluh tahun sekali.
Nah, anak naga yang dibawa muncul di permukaan air telaga oleh induknya itulah
yang akan dapat membersihkan darah dan tubuhku dari keracunan. Akan tetapi,
tidak mudah untuk menangkap anak naga itu, Kian Bu. Dengan tenagaku sendiri
saja, agaknya tidak akan mungkin berhasil. Oleh karena itu, aku mohon
kepadamu...., sudilah engkau membantuku menangkap anak naga di Telaga Sungari
itu, yang berarti bahwa engkau akan menyelamatkan nyawaku.” Dan wanita itu
menangis sambil menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Bu!
Pemuda itu terkejut, merasa kasihan sekali
lalu membangunkan wanita itu. “Jangan begitu, Enci. Baiklah, aku akan
membantumu.”
“Terima kasih.... ohh, terima kasih....!” Lauw
Hong Kui memegang tangan Kian Bu dan mencium tangan pemuda itu. Perbuatan ini
bukan merupakan sandiwara lagi, melainkan keluar dari setulusnya hati karena
dia merasa gembira dan berbahagia sekali.
“Enci, kau aneh sekali.” Kian Bu perlahan
menarik tangannya. “Apa sih anehnya tolong-menolong antara manusia dalam hidup
ini? Bahkan kuanggap bukan pertolongan lagi namanya, melainkan sudah semestinya
kalau manusia hidup harus bantu-membantu.”
“Aku besok akan membantumu mencari Siang In
dan yang lain-lain sampai dapat, Kian Bu. Setelah itu barulah kita berangkat ke
Telaga Sungari dan mudah-mudahan saja kita akan berhasil karena urusan ini
adalah mati hidup bagiku.”
Hong Kui cerdik sekali dan dia tidak mau
terlalu mendesak, menahan kerinduan dan berahinya karena dia tidak ingin
pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini akan menjadi curiga kepadanya.
Memang dia amat membutuhkan obat seperti yang diceritakan oleh Siang In itu,
akan tetapi dia membohong bahwa dia akan mati. Yang jelas, dia merasa bahwa
kesehatannya mundur banyak dan kadang-kadang terasa nyeri di dadanya sebagai
akibat keracunan itu. Akan tetapi yang penting baginya bukanlah itu, melainkan
Kian Bu! Kalau dia dapat memperoleh pemuda yang membuatnya tergila-gila ini
sebagai suami atau kekasih, biar mati oleh racun itupun dia sudah merasa puas!
Kedua orang ini lalu beristirahat. Kian Bu
bersandar pada batang pohon, memandang ke arah tubuh Hong Kui yang rebah
terlentang di dekat api unggun dalam keadaan pulas. Cantik sekali wanita ini,
pikirnya, kagum melihat wajah yang cantik itu tertimpa sinar api unggun dan
tubuh yang menggairahkan itu menonjol di balik pakaian dari sutera, dadanya
yang penuh turun naik dalam pernapasannya. Wanita cantik yang terancam bahaya
maut. Akan tetapi benarkah itu? Perempuan ini adalah sumoi dari Hek-tiauw
Lo-mo, dan Ketua Pulau Neraka itu demikian jahatnya! Bagaimana kalau wanita ini
pun jahat seperti suhengnya dan menjalankan siasat untuk menipunya?
Kelihatannya begitu sehat dan segar, dan gerakannya ketika bertanding tadi amat
ringan dan lincah, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan. Akan tetapi,
dia bukan seorang ahli pengobatan, maka tentu saja tanda-tanda itu tidak
nampak olehnya. Betapapun juga, kepandaiannya tentang jalan darah dan hawa
murni di dalam tubuh yang dimilikinya ketika dia dilatih sin-kang, di bawah
gemblengan ayahnya, membuat dia dapat menentukan apakah seseorang mengandung
hawa beracun di dalam tubuhnya atau tidak, dengan jalan meneliti jalan darahnya
dan detik jantungnya.
Kian Bu mendekati tubuh Hong Kui. Melihat
wanita itu sudah tidur pulas, dan hal ini diketahuinya dari jalan
pernapasannya, Kian Bu lalu mengulur tangan, yang kiri meraba ulu hati Hong
Kui, yang kanan memegang pergelangan tangannya. Pemuda yang lihai namun masih
hijau ini dapat dikelabuhi oleh Hong Kui. Wanita ini amat pandai, dan tahu
bahwa untuk mengelabuhi seorang pemuda setinggi Kian Bu kepandaiannya bukanlah
hal mudah dan kalau hanya dengan memejamkan mata pura-pura tidur saja tentu
akan diketahui oleh pemuda lihai itu. Dia pun tahu bahwa bagi seorang yang
mengerti akan ilmu silat, tanda bagi seseorang apakah dia itu pulas atau tidak
dapat dilihat dari pernapasannya, karena pernapasan dari seorang yang tidak
tidur, betapapun diusahakan supaya halus dan panjang, tetap saja dikuasai oleh
kesadaran dan setiap saat dapat berubah sesuai dengan isi pikirannya yang
menguasai jantung sehingga pernapasan yang tidak dapat terlepas dari keadaan
jantung itu terpengaruh pula, pernapasan seorang yang tidur adalah wajar dan
tidak dikuasai apa-apa, paru-paru bekerja sewajarnya dan dengan sendirinya.
Pendengaran tajam seorang ahli silat yang terlatih seperti Kian Bu tentu dapat
membedakannya. Oleh karena itu, Hong Kui yang rebah terlentang dan sengaja menghimpit
bajunya di bawah tubuh sehingga bajunya tertarik ketat mencetak lekuk-lengkung
tubuhnya sehingga kelihatan amat menggairahkan, melakukan siu-lian sambil
rebah sehingga keadaannya tiada bedanya dengan orang tidur karena segala bentuk
rasa, hati dan pikiran telah terhenti dan tidak lagi mempengaruhi jantungnya,
membuat pernapasannya menjadi wajar seperti napas orang tidur!
Patut dikagumi kekuatan kemauan wanita ini.
Dapat dibayangkan betapa ketika Kian Bu mendekatinya, menempelkan telapak
tangan di antara bukit dadanya, nafsu berahinya telah terangsang dan ingin dia
merangkul leher pemuda itu dan menariknya untuk didekap dan dicumbu, akan
tetapi Hong Kui menahan diri dan tidak bergerak sama sekali.
Kian Bu sendiri adalah seorang pemuda yang
pada dasarnya memiliki sifat-sifat romantis. Dia memang tidak mempunyai niat
lain kecuali memeriksa keadaan tubuh wanita itu untuk menyelidiki apakah benar
wanita itu keracunan darah dan tubuhnya, akan tetapi ketika ujung jari
tangannya menyentuh ulu hati dan tanpa disengaja menyentuh lereng bukit dada,
jantungnya sendiri berdebar tegang sehingga ketegangannya membuat kepekaannya
berkurang dan dia tidak tahu bahwa dalam beberapa detik, jantung wanita itu
berdebar keras sekali, kemudian terhenti dan menjadi normal lagi. Ketika Kian
Bu mengerahkan sedikit sin-kang yang hangat untuk menyelidiki, dan merasa
betapa tenaganya itu bertemu dengan hawa yang tidak wajar padahal wanita itu
masih pulas, tahulah dia bahwa memang ada hawa beracun yang mujijat dan berbahaya
mengeram di dalam tubuh dan darah Lauw Hong Kui. Cepat dia melepaskan kedua
tangannya dan kembali ke tempatnya semula, yaitu bersandar pada batang pohon.
Dia tidak membohong, pikirnya lega, akan
tetapi perasaan jari tangan bersentuhan dengan bukit dada tadi selalu
mengganggu pikirannya, tak pernah dapat dilupakannya sehingga Kian Bu menjadi
gelisah dan tidak berhasil tidur sama sekali. Maka dia lalu menghampiri api
unggun, ditambahi kayu sehingga api membesar, kemudian dia duduk bersila
untuk mengatur penapasan dan menenteramkan hatinya yang diganggu dan digelitik
pengalaman tadi. Akhirnya dia dapat menenangkan dirinya dan dapat
beristirahat, tidak tahu betapa sebuah di antara sepasang mata Hong Kui
bergerak dan setengah terbuka memandang ke arahnya, dan betapa bibir bawah
yang berkulit tipis penuh dan merah segar itu bergerak-gerak aneh mengarah
senyum.
Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi
jalan. Matahari amat teriknya sehingga bumi seperti terengah-engah kehausan.
Musim panas agaknya dimulai dengan kemarahan matahari yang sudah terlalu sering
diganggu mendung dan hujan.
Sepasang mata di wajah yang buruk itu menatap
wajah cantik yang bersandar pada batang pohon dan kedua matanya terpejam itu.
Wajah cantik itu bersinar kehijauan, warna yang tidak wajar sungguhpun tidak
merusak atau mengurangi kecantikan wajah yang manis itu.
Ceng Ceng yang bersandar pada batang pohon
memejamkan matanya, mengenangkan kembali semua pengalamannya, teringat dia
akan Kian Lee, pemuda gagah tampan yang cinta kepadanya akan tetapi ternyata
adalah pamannya sendiri itu! Membayangkan wajah gagah berwibawa dari Gak Bun
Beng, supeknya yang selama ini dianggapnya sebagai ayah kandungnya yang sudah
mati. Betapa anehnya lika-liku jalan hidupnya, aneh dan penuh dengan kekecewaan
karena peristiwa yang tak tersangka-sangka olehnya. Betapa semenjak
meninggalkan Bhutan, dia bertemu dan berhubungan dengan orang-orang besar dan
pandai. Dimulai dengan pengangkatan saudara oleh Puteri Syanti Dewi, disusul
peristiwa hebat yang membuat kakeknya gugur dan membuat dia mulai memasuki
hidup baru, hidup perantauan dan petualangan yang penuh kegetiran hidup.
Pertemuannya dengan Ang Tek Hoat, dengan Jenderal Kao, dengan Ban-tok Mo-li,
sampai dengan Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hitam, dengan Hek-tiauw Lo-mo,
kemudian malapetaka yang menimpa dirinya, yang menghancurkan semua keindahan
hidupnya, pemerkosaan atas dirinya! Semua itu agaknya masih belum habis
sehingga dia terlibat dalam pemberontakan, berhasil membantu demi kehancuran
pemberontakan, dan bertemu dengan rahasia kehidupan mendiang ibunya! Dan
sekarang, dia menderita luka parah yang agaknya tidak ada lagi obatnya.
Nyawanya hanya tinggal paling lama satu bulan
lagi saja. Satu bulan! Hanya tiga puluh hari lagi, bahkan menurut Yok-kwi,
mungkin dalam belasan hari saja dia akan mati! Dan musuh besarnya,
pemerkosanya, belum juga dapat ditemukannya! Ah, mengapa nasibnya begini
buruk? Ayahnya...., ah, ibunya pun diperkosa orang, dan dia adalah anak yang
lahir dari hasil perkosaan! Mengapa mesti disesalkan? Dia seorang yang tidak
berharga, dan tinggal sebulan lagi! Mengapa hidup yang tinggal singkat itu
harus diisi dengan kedukaan? Tidak, dia harus bergembira! Dia dahulu selalu
gembira, sebelum bertemu dengan Syanti Dewi. Sekarang, hidup tinggal sebulan,
bahkan mungkin hanya beberapa hari lagi saja, dia harus bergembira.
“Hemm, sebulan lagi....!” Dia berkata sambil
membuka matanya.
Begitu membuka matanya, tampaklah Topeng Setan
yang duduk tak jauh di depannya, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh
perasaan iba dan kekhawatiran. Baru Ceng Ceng teringat bahwa dia tidak
sendirian, bahwa di situ masih ada Topeng Setan yang menjadi satu-satunya
sahabatnya di dunia ini. Manusia aneh yang berkali-kali telah menolongnya,
yang amat setia kepadanya.
“Lu-bengcu, mengapa kau kelihatan berduka
sekali?” Topeng Setan bertanya, suaranya mengandung getaran aneh, seperti
orang yang amat terharu, sungguhpun wajah yang kasar dan buruk itu tidak
membayangkan apa-apa.
Ceng Ceng menarik napas panjang, menatap wajah
buruk itu penuh perhatian sehingga beberapa lamanya mereka saling beradu
pandang mata dan akhirnya Topeng Setan menundukkan mukanya, seolah-olah tidak
kuat menatap pandang mata itu.
“Kenapa engkau tidak mau menanggalkan
topengmu dan memperkenalkan wajahmu kepadaku?” Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya dan
Topeng Setan cepat menggeleng kepalanya.
“Harap bengcu tidak memaksaku, kita telah
berjanji....”
Ceng Ceng menghela napas. “Aku tidak ingin
melanggar janji, hanya karena engkau satu-satunya sahahatku yang baik dan
karena aku ingin tahu apakah engkau ini seorang kakek tua renta, seorang
setengah tua atau seorang muda sehingga memudahkan aku untuk memanggilmu....”
“Mengapa? Bengcu sudah biasa memanggilku
Topeng Setan dan aku sudah merasa senang dengan panggilan itu....”
“Tidak pantas! Sungguh tidak pantas. Engkau
adalah penolongku, sudah berulang kali membantu dan menyelamatkan aku. Apakah
engkau seorang kakek-kakek ataukah seorang muda? Kepandaianmu demikian tingginya
sehingga sepantasnya engkau sudah sangat tua, akan tetapi....”
“Aku memang sudah tua, Bengcu....”
“Kalau begitu, biarlah kusebut engkau
Paman....”
“Terserah kepada Bengcu....”
“Dan harap Paman tidak menyebutku bengcu
(ketua), karena sekarang aku tidak mau menjadi kepala dari para perampok dan
maling itu. Apalagi dengan sebutan Lu-bengcu karena aku bukan she Lu.”
“Eh....?” Topeng Setan berseru heran.
“Aku bukan she Lu, aku she Wan.... ah, aku
sendiri baru tahu. Namaku Wan Ceng, nama terkutuk....”
Topeng Setan kelihatan kaget dan gelisah.
“Bengcu...., mengapa.... mengapa begitu? Apa yang terjadi?”
“Paman, maaf, aku tidak dapat menceritakan
kepadamu. Dan karena aku sudah menyebutmu paman, maka kauanggaplah aku
keponakanmu sendiri dan kau menyebut namaku yang biasa dipanggil Ceng Ceng.
Tentu saja kalau kau sudi....”
“Tentu saja! Dan kuharap kau jangan memikirkan
yang bukan-bukan sehingga hatimu menjadi tertindih, Ceng Ceng. Apalagi dengan
luka yang kauderita sekarang, sama sekali kau tidak boleh diganggu pikiran
yang menimbulkan duka.”
Ceng Ceng tersenyum. “Memang aku harus
begembira, Paman. Paling lama hidupku tinggal sebulan lagi, perlu apa aku
berduka?”
“Tidak! Demi Tuhan, tidak, Ceng Ceng. Engkau
memang menderita pukulan beracun, akan tetapi kau tidak mati....”
“Terima kasih, Paman. Kata-katamu menghibur
sekali, akan tetapi tidak perlu kau memberi harapan kosong. Yok-kwi adalah
seorang ahli yang pandai dan dia mengatakan bahwa aku tidak akan dapat bertahan
lebih dari satu bulan, kecuali kalau bertemu dengan manusia-manusia dewa yang
pandai seperti Pendekar Super Sakti ayah dari.... Paman.... eh, dari Suma Kian
Lee, atau dengan Si Dewa Bongkok atau.... Ban-tok Mo-li guruku sendiri yang
telah mati....”
“Ahhh....! Jadi engkau murid Ban-tok Mo-li?”
“Benar, dan hal itulah yang membuat Yok-kwi
tidak dapat menolongku. Pukulan-pukulan yang kuderita dari Hek-tiauw Lo-mo
adalah pukulan beracun yang amat dahsyat akan tetapi itupun masih dapat
disembuhkan oleh Yok-kwi, kalau saja di dalam tubuhku tidak penuh dengan racun
yang timbul karena latihan-latihan pukulan beracun yang kuterima dari mendiang
Subo Ban-tok Mo-li. Karena tubuhku mengandung hawa beracun, maka pukulan
Hek-tiauw Lo-mo bergabung dengan racun di tubuhku sendiri, maka aku tidak
dapat tertolong lagi....”
“Cukup, Ceng Ceng. Jangan kau khawatir karena
ada orang yang akan mampu menolongmu dan menyembuhkanmu.”
“Siapa....?”
“Aku sendiri!”
“Aihh.... Paman.... engkau yang telah
menolongku berkali-kali.... katakanlah sejujurnya, apakah benar engkau dapat
menyembuhkan aku?” Ceng Ceng berteriak sambil meloncat berdiri dengan mata
terbelalak dan wajahnya yang bersinar kehijauan itu membayangkan harapan besar,
kedua matanya menjadi basah karena hatinya tergoncang penuh ketegangan.
Topeng Setan mengangguk. “Duduklah, Ceng Ceng
dan tenangkan hatimu. Kebetulan sekali bahwa aku pun pernah mempelajari
tentang racun-racun yang terkandung dalam pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Coba
perkenankan aku memeriksa pundakmu yang terpukul oleh iblis tua itu.”
Dengan penuh gairah Ceng Ceng lalu duduk di
dekat Topeng Setan, membuka bajunya dan membiarkan pundaknya yang kanan
telanjang. Dia tidak melihat betapa Topeng Setan memejamkan matanya sebentar
sambil menahan napas ketika melihat dia membuka baju dan melihat pundak yang
berkulit putih halus itu. Kemudian orang aneh itu membuka matanya kembali dan
berkata, “Maafkan aku harus meraba pundakmu untuk memeriksa, Ceng Ceng.”
“Aih, Paman Topeng Setan mengapa begitu
sungkan? Aku sudah menganggap engkau sebagai pamanku sendiri.”
Topeng Setan lalu meraba pundak yang menjadi
hijau kehitaman itu. Beberapa lamanya dia meraba-raba pundak dan punggung,
menekan sana-sini dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan kaget.
“Bagaimana Paman?”
“Ah, Yok-kwi itu memang pintar sekali....”
Ceng Ceng terkejut. “Kalau begitu.... benarkah
bahwa aku.... aku akan mati dalam waktu sebulan?”
Topeng Setan menjawab cepat. “Tidak! Memang
demikian kalau tidak ada yang mengobati, akan tetapi aku akan menyembuhkanmu,
Ceng Ceng. Demi Tuhan, aku akan menyembuhkanmu, apa pun yang akan terjadi!”
Ceng Ceng merasa heran dan terharu menangkap
nada suara yang aneh dan tergetar di dalam kata-kata Topeng Setan.
“Dan memang benar sekali ketika mengatakan
bahwa racun pukulan Hek-tiauw Lo-mo bercampur dengan racun di tubuhmu yang
timbul karena latihan-latihanmu menurut pelajaran Ban-tok Mo-li. Akan tetapi
aku mengenal pukulan Hek-tiauw Lo-mo ini dan aku dapat menyembuhkan. Hanya
hawa beracun di tubuhmu yang kini telah membalik dan menyerang dirimu
sendiri.... biarpun setelah akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo lenyap engkau tidak
akan mati karenanya, akan tetapi hawa beracun itu akan membuatmu menderita dan
kiranya hanya ada satu macam obat yang akan dapat membersihkan tubuhmu sama
sekali dari cengkeraman hawa beracun itu.”
“Dan obat itu tak mungkin didapatkan....?”
Ceng Ceng bertanya, siap menghadapi hal yang paling buruk sekalipun karena
sekarang Topeng Setan sudah menyatakan sanggup melenyapkan ancaman maut dari
tubuhnya.
“Sukar sekali didapatkan, akan tetapi akan
kucoba juga. Obat itu merupakan seekor anak naga yang berada di Telaga Sungari,
yang muncul sepuluh tahun sekali. Itu pun kalau kebetulan telurnya menetas.
Sudahlah, hal itu kita bicarakan lagi nanti kalau luka pukulan Hek-tiauw Lo-mo
sudah sembuh. Akan tetapi kita harus mencari tempat sunyi untuk pengobatan ini
agar jangan terganggu orang lain.”
Mereka lalu memasuki sebuah hutan lebat dan
akhirnya mereka berdua tiba di tempat yang sunyi dan tersembunyi, di balik
sekumpulan batu-batu besar yang tertutup semak-semak belukar. Topeng Setan
minta agar Ceng Ceng membuka baju di punggungnya, menyuruh dia duduk bersila,
kemudian dia sendiri lalu duduk bersila dan bersamadhi untuk mengumpulkan
tenaga dan memusatkan panca indra.
“Kaulumpuhkan semua tenaga di dalam tubuhmu,
dan apa pun yang kulakukan kepadamu, jangan kaulawan dan jangan kaget kalau
nanti engkau muntah darah,” terdengar suara Topeng Setan berbisik dan Ceng Ceng
mengangguk, membiarkan dirinya “terbuka” dan melemaskan seluruh urat menyimpan
semua hawa tenaga di dalam tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu, pukulan seorang
biasa saja sudah cukup untuk membunuhnya! Akan tetapi tiba-tiba dia teringat
akan pengalamannya ketika Kian Lee mencoba untuk mengobatinya, maka dia
berkata, “Nanti dulu, Paman. Apakah pengobatan ini tidak berbahaya bagimu?
Paman.... Suma Kian Lee pernah mencoba untuk mengobatiku dengan sin-kang dan
hampir dia celaka karena racun di tubuhku menular kepadanya.”
“Jangan khawatir, aku akan mencegah hawa
beracun di tubuhmu mengadakan perlawanan otomatis. Nah, aku mulai!” Topeng
Setan lalu menotok jalan darah di daerah pundak yang terluka, di seputarnya,
kemudian mengurut punggung dara itu beberapa kali. Ceng Ceng merasa betapa
tubuh belakangnya menjadi panas sekali, akan tetapi dia mempertahankannya,
bahkan ketika kepalanya terasa pening, dia pun tidak menggerakkan tubuh
sedikitpun juga. Dia sudah pasrah dengan kepercayaan penuh kepada orang aneh
bertopeng buruk ini. Nyawanya sudah terancam bahaya maut, apakah artinya
bahaya lain lagi yang mungkin mengancamnya dalam cara pengobatan ini?
Kemudian gerakan jari-jari tangan yang kuat
dan mengurut-urut punggung dan pundaknya itu berhenti, lalu terasa olehnya
betapa kedua telapak tangan yang lebar, kasar dan kuat itu menempel di punggung
atas dan dekat pundak. Mula-mula hanya ada hawa hangat saja menjalar keluar
dari kedua telapak tangan itu, hawa panas yang berputaran dan berpusat di
pundaknya yang terluka. Rasa nyeri menusuk-nusuk tempat itu, akan tetapi Ceng
Ceng tetap duduk tak bergerak dan hanya beberapa tetes air mata yang meloncat
keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di sepanjang kedua pipinya saja yang
menandakan betapa gadis itu menderita rasa nyeri yang hebat!
Kedua tangan yang lebar itu kini gemetar dan
makin lama makin hebat, akhirnya menggigil dan Ceng Ceng merasakan betapa
gelombang demi gelombang hawa yang amat kuat memasuki tubuhnya dan menyerang
pundaknya yang terluka. Dia kagum sekali. Pernah dia merasakan hawa sakti yang
keluar dari tangan Suma Kian Lee, juga amat kuat dan panas akan tetapi halus
dan tidak sedahsyat tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan ini. Diam-diam
dia makin kagum dan terheran-heran. Siapakah sebenarnya orang yang amat lihai
ini? Siapa yang bersembunyi di balik topeng buruk itu dan mengapa orang ini
menyembunyikan mukanya dari dunia? Agaknya orang ini sudah mengalami pukulan
batin hebat pula, pikir Ceng Ceng dengan perasaan kasihan.
Tiba-tiba hawa yang amat kuat mendesaknya
dari pundak ke atas dan dia merasa lehernya tercekik dari dalam, membuatnya
tidak dapat bernapas lagi! Kalau saja Ceng Ceng tidak sudah menyerahkan
seluruh keselamatan nyawanya kepada Topeng Setan, kalau saja dia tidak sudah
percaya sepenuhnya lahir batin karena dia tahu bahwa nyawanya memang sudah
terancam maut, tentu dia akan meronta dan melawan. Akan tetapi, dia pasrah
dengan seluruh kepercayaannya sehingga cekikan yang dirasakan dalam tubuhnya,
yang membuatnya sama sekali tidak dapat bernapas lagi itu, tidak membuat dia
menjadi panik. Bahkan dia merasakan serta mengikuti tenaga dahsyat yang
mengalir dari bawah dan mendesak itu. Akhirnya hawa yang amat kuat itu sampai
di tenggorokannya dan tak dapat ditahan lagi dia lalu muntahkan darah kental
menghitam yang cukup banyak!
Topeng Setan melepaskan kedua tangannya dan
berkata lirih, “Sekarang kau rebahlah, Ceng Ceng. Rebah dan tidurlah, jangan
memikirkan apa-apa....”
Seperti terkena sihir, tanpa membuka matanya
Ceng Ceng lalu merebahkan diri terlentang, bajunya masih belum dipakai lagi,
kini dipegang oleh kedua tangannya dan menutupi dadanya. Rasa lemas dan lelah
luar biasa membuat Ceng Ceng seperti setengah pingsan, akan tetapi rasa nyaman
meliputi dirinya, terutama sekali karena pundaknya tidak terasa sakit lagi,
membuat dia menjadi mengantuk sekali dan tak lama kemudian gadis ini pun sudah
tidur pulas!
Ketika dia terbangun, Ceng Ceng merasakan
tubuhnya nyaman dan ringan, juga perutnya menjadi lapar sekali. Dia teringat
akan pengobatan tadi dan membuka matanya. Ternyata di luar bajunya yang
dipakai menutupi dadanya kini terdapat sehelai jubah lebar yang
menyelimutinya. Jubah Topeng Setan! Dia teringat bahwa tadi dia muntah darah,
akan tetapi ternyata sudah tidak ada bekas-bekasnya di situ, sudah dibersihkan
oleh Topeng Setan tentunya. Ceng Ceng bangkit duduk dan memakai kembali
bajunya. Sambil membawa jubah itu, dia keluar dari balik batu-batu besar dan
melihat Topeng Setan sedang memanggang sesuatu.
“Eh, kau sudah bangun? Nah, mukamu sudah merah
lagi, tanda hawa beracun itu telah lenyap. Eh, eh.... apa yang kaulakukan
ini?”
Topeng Setan cepat meloncat berdiri ketika dia
melihat Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut di depannya!
“Paman telah berkali-kali menolongku, dan
sekarang pun Paman telah memperlihatkan kebaikan kepadaku, entah bagaimana
aku akan dapat membalas budi kebaikan Paman.”
“Eh, kau.... kau.... jangan begitu!” Sekali
tarik saja, Topeng Setan telah membuat Ceng Ceng terpaksa bangkit berdiri.
“Ceng Ceng, jangan kauulangi lagi perbuatanmu
itu. Aku berusaha mengobatimu dengan hati tulus, sama sekali tidak mengandung
pamrih agar engkau berhutang diri kepadaku. Aku.... aku tidak suka engkau
bersikap demikian. Pula engkau memang sudah terbebas dari pukulan Hek-tiauw
Lo-mo, akan tetapi engkau masih dicengkeram hawa beracun dalam dirimu yang
menjadi racun jahat setelah bertemu dengan pukulan kakek iblis itu.”
Ceng Ceng mengembalikan jubah itu, duduk dekat
api tempat Topeng Setan memanggang seekor ayam hutan, menarik napas panjang lalu
berkata, “Aku tidak akan berbuat demikian lagi kalau engkau tidak suka, Paman
Topeng Setan. Akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku? Mengapa engkau
selalu menolongku, sejak aku dikeroyok orang di atas rumah di kota raja dahulu
itu? Mengapa?”
“Karena.... aku adalah pembantumu, Ceng Ceng.
Engkau bengcu dan aku pembantumu, bukan?”
“Ah, harap jangan menggunakan alasan itu,
karena aku tahu bahwa itu hanya merupakan alasan kosong yang dicari-cari.
Kepandaianmu sepuluh kali lebih tinggi daripada kepandaianku, namun engkau
merendahkan diri menjadi pembantuku! Kita semua telah berpura-pura,
bersandiwara. Kau tahu bahwa aku menjadi bengcu karena hanya ingin membantu
pemerintah agar gerombolan itu tidak dikuasai oleh Tek Hoat yang menjadi kaki tangan
pemberontak. Dan Tek Hoat bersandiwara karena dia kalah janji dan terikat
sumpah dengan aku. Akan tetapi kau.... mengapa kau selalu menolongku?”
Topeng Setan menarik napas panjang dan
membalik panggangannya. “Mungkin karena aku kasihan kepadamu, Ceng Ceng, juga
karena kagum menyaksikan jiwa kepahlawananmu. Sudahlah, mari kita makan ayam
panggang ini dan aku sudah mencari air minum.” Dia mengangkat sebuah guci
penuh air. “Engkau harus makan sampai kenyang, baru nanti kuberi petunjuk
latihan untuk membersihkan sisa hawa pukulan itu, sungguhpun racun di dalam
tubuhmu hanya dapat disembuhkan oleh obat mujijat itu.”
“Anak naga....?”
Topeng Setan mengangguk. Mereka lalu makan
daging ayam panggang yan masih mengepulkan uap itu. Gurih sedap! Makanan apa
pun akan terasa gurih, sedap dan lezat apabila perut sudah lapar dan tubuh
membutuhkan tenaga baru. Apalagi makanan daging ayam hutan panggang, ayamnya
muda dan gemuk lagi! Tak lama kemudian habislah semua daging ayam itu, dan
setelah mereka minum air jernih dari guci itu, Ceng Ceng bertanya, “Paman,
kalau obat mujijat itu berupa seekor anak naga, mana mungkin kita
menangkapnya?”
“Sebetulnya mungkin hanya sebutannya saja anak
naga! Menurut cerita dari guruku, yang berada di dasar Telaga Sungari itu
adalah seekor ular besar, semacam ular laut yang sudah pindah ke telaga dan
menjadi ular telaga. Ular ini mungkin hanya tinggal satu-satunya di dalam
dunia. Setiap sepuluh tahun sekali dia bertelur dan kalau telurnya menetas,
biasanya hal itu terjadi di permulaan musim semi, dia akan membawa anaknya yang
baru menetas itu keluar ke permukaan telaga untuk menangkap inti tenaga
matahari. Nah, permulaan musim semi adalah bulan depan, maka kita harus
berusaha untuk menangkap ular besar itu.”
“Tentu sukar dan berbahaya sekali. Dan kalau
kita gagal bagaimana, Lopek (Paman Tua)?” Ceng Ceng berhenti sebentar dan
memandang penuh selidik. “Kalau gagal memperoleh obat mujijat itu, akhirnya aku
akan mati juga?”
Topeng Setan menggeleng kepalanya. “Bahaya
pukulan Hek-tiauw Lo-mo sudah lewat. Pukulannya itu adalah pukulan
Hek-coa-tok-ciang (Pukulan Tangan Beracun Ular Hitam) yang kukenal,
dilatihnya dengan menggunakan racun ular hitam. Tidak, engkau tidak akan mati
karena racun itu, Ceng Ceng, hanya.... karena racun di tubuhmu sudah
diselewengkan oleh akibat pukulan Hek-tiauw Lo-mo, maka tanpa obat itu engkau
akan menjadi seorang manusia beracun yang banyak menderita. Akan tetapi, untuk
itu pun masih ada jalan untuk mengurangi penderitaan dan dengan sedikit demi
sedikit racun itu dapat dikurangi pengaruhnya.”
“Jalan apa, Paman?”
“Dengan latihan inti dari gerakan ilmu silat.”
“Paman, sudah sejak kecil saya berlatih
silat....”
“Aku tahu, Ceng Ceng. Akan tetapi harus kau
akui bahwa selama ini engkau mempelajari silat dengan dasar membekali diri
untuk perkelahian, bukan? Itulah maka engkau sampai terjeblos mernpelajari
ilmu dari Ban-tok Mo-li. Padahal, ilmu silat tercipta dari gerakan yang tadinya
sama sekali mempunyai dasar lain, yaitu dasar sebagai olah raga untuk menjaga
kesehatan.”
“Paman Topeng Setan, aku tidak mengerti apa
yang kaumaksudkan, aku belum pernah mendengar tentang itu.”
“Begini riwayatnya, Ceng Ceng. Engkau perlu
mengetahui riwayatnya lebih dulu sebelum melatih diri dengan ilmu itu untuk
menyehatkan tubuhmu dan sedikit demi sedikit mengusir hawa beracun dari
tubuhmu. Engkau tentu telah mendengar bahwa pencipta ilmu silat yang amat
terkenal adalah Tat Mo Couwsu. Beliau adalah seorang pendeta yang sakti dan
mulia, yang tidak hanya mengajarkan ilmu kebatinan Agama Buddha untuk menolong
manusia dari lembah kesengsaraan dan menuntun ke jalan kebajikan, juga beliau
yang menciptakan dasar-dasar gerakan yang menjadi inti dari ilmu silat,
terutama ilmu silat para pendeta Buddha, yaitu Siauw-lim-pai.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk. Soal Tat Mo
Couwsu pernah didengarnya dari kakeknya. Menurut kakeknya, Tat Mo Couwsu adalah
pencipta pertama dari ilmu silat yang menjadi sumber semua ilmu silat yang
dikenal sekarang.
“Ceritanya begini,” Topeng Setan melanjutkan
dan mulailah dia menceritakan riwayat penciptaan dasar gerakan ilmu silat oleh
pendeta kenamaan itu, didengarkan oleh Ceng Ceng dengan penuh perhatian.
Tat Mo Couwsu adalah seorang pendeta Buddha
yang hidup di dalam jaman Dinasti Liang (Tahun 506-556 M). Pada suatu hari
ketika Tat Mo Couwsu sedang berkotbah dan mengajar ilmu tentang kehidupan
kepada muridnya, dia melihat beberapa orang di antara mereka yang bertubuh
lemah terkantuk-kantuk. Mengertilah pendeta sakti itu bahwa untuk memiliki jiwa
yang sehat haruslah mempunyai tubuh yang sehat pula, maka dia lalu menciptakan
gerakan-gerakan delapan belas jurus gerakan yang semata-mata harus dilatih oleh
para pendeta lemah itu untuk memperkuat dan menyehatkan tubuh mereka. Dan
delapan belas jurus ini kemudian menjadi dasar dari semua gerakan ilmu silat
yang makin lama makin berkembang dan diolah serta ditambah oleh para ahli di
kemudian hari, setiap jurus dikembangkan menjadi empat sehingga terciptalah
ilmu silat yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Kemudian sekali tujuh puluh
dua jurus ini dikembangkan menjadi seratus tujuh puluh jurus yang menjadi
dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai sampai sekarang. Penciptanya adalah tiga
orang sakti, yaitu pendeta Chueh Goan, Li Ceng dan Pai Yu Feng, yang merangkai
tujuh puluh dua jurus yang berdasar dari pelajaran gerakan delapan belas jurus
dari Tat Mo Couwsu itu menjadi seratus tujuh puluh jurus.
“Demikianlah, ilmu silat berkembang terus
sampai terpecah-pecah menjadi bermacam cabang ilmu silat yang bertebaran di
seluruh negeri seperti sekarang ini, ada yang bercampur dengan ilmu-ilmu bela
diri dari negara lain,” Topeng Setan melanjutkan. “Akan tetapi ada ciptaan Tat
Mo Couwsu yang masih aseli, dan kini menjadi pusaka simpanan bagi para tokoh
Siauw-lim-pai. Ciptaan ini merupakan latihan singkat yang dapat menyehatkan
tubuh dan latihan inilah yang akan kuajarkan kepadamu agar dapat mengurangi
hawa beracun di tubuhmu sebelum engkau dapat memperoleh obat mujijat itu, Ceng
Ceng.”
Gadis itu menjadi girang sekali. “Terima
kasih, Lopek. Aku akan suka melatihnya dengan giat.”
“Ini bukan latihan silat, melainkan gerakan
untuk menyehatkan tubuh, maka melatihnya pun tidak boleh berlebihan, sungguhpun
kalau kurang pun tidak akan ada gunanya. Cukup dilatih dua kali sehari, pagi
dan sore di tempat terbuka. Nama ilmu olah raga ini adalah I Kin Keng (Ilmu
Mengganti Otot), terdiri dari dua belas gerakan.”
Topeng Setan lalu mulai mengajarkan I Kin Keng
kepada Ceng Ceng. Karena ilmu kuno ini mempunyai nilai yang amat tinggi bagi
kesehatan, maka sengaja pengarang sajikan di sini karena mungkin bermanfaat
sekali bagi siapa yang suka mempelajarinya.
Gerakan Pertama :Kosongkan pikiran dan satukan
perhatian. Berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang sejauh satu kaki (30
senti), muka lurus ke depan. Ujung lidah menyentuh pertemuan antara gigi atas
dan bawah. Bengkokkan kedua lengan ke samping pinggang sampai kedua tangan
melintang lurus ke depan. Pada saat membengkokkan lengan tenaganya didorong ke
bawah oleh telapak tangan, seolah-olah kedua telapak tangan menekan meja dan
siap untuk meloncat. Lakukan ini perlahan-tahan sampai tiga puluh sembilan
kali, mengendur dan menegang dalam waktu yang sama, kemudian turunkan tangan
kembali. Tarik dan tahan napas di waktu mengerahkan tenaga, dan buang napas di
waktu mengendurkan tenaga.
Gerakan ke dua :Agak dekatkan kedua kaki
sampai setengah kaki. Kepal jari-jari tangan dengan ibu jari lurus mengacung.
Gerakkan kedua kepalan tangan di depan bawah pusar, kedua ibu jari bersambung.
Lalu tarik ibu jari (menegangkan) sejauh mungkin ke atas. Tahan menegang
sejenak, lalu kendurkan dan turunkan ibu jari. Lakukan ini berulang 49 kali.
Gerakan ke tiga :Pentangkan kaki terpisah satu
kaki seperti pertama. Kedua kaki menahan kekuatan di bawah, tak pernah
mengendur. Kepal tangan dengan ibu jari di dalam kepalan dan kendurkan kedua
pundak. Lalu keraskan kepalan. Lakukan ini berulang kali mengeras dan
mengendur sampai 49 kali.
Gerakan ke empat :Rapatkan kedua kaki. Kepal
kedua tinju dengan ibu jari di dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sampai
lurus dengan pundak. Kerahkan tenaga ke depan di waktu menarik dan menahan
napas. Lalu keluarkan napas dan turunkan lengan. Ulangi sampai 39 kali.
Gerakan ke lima :Kedua kaki merapat. Angkat
kedua lengan dari samping terus ke atas dengan telapak terlentang sampai
jari-jari saling bertemu di atas kepala, sambil mengangkat tumit kaki berdiri
di atas jari kaki. Lalu kepal kedua tangan dengan kuat, kemudian turunkan lengan
dan tumit. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke enam :Pisahkan kedua kaki seperti
pertama. Buatlah kepalan biasa, ibu jarinya di luar. Angkat kedua lengan ke
samping, terlentang sampai rata dengan pundak. Kemudian bongkokkan lengan
menjadi segi tiga, permukaan tangan menghadap pundak. Lalu keraskan kepalan
tangan. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke tujuh :Rapatkan kedua kaki. Membuat
kepalan biasa, angkat kedua lengan sampai sejajar pundak ke depan. Menggunakan
tangan, tarik kedua lengan ke samping sampai sejajar pundak, kepalan
menelungkup. Lalu angkat jari kaki dan berganti-ganti berdiri di atas sebelah
tumit kaki. Ketika menurunkan jari kaki kembali keluarkan napas dan buka
kepalan. Ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke delapan :Kedua kaki masih merapat.
Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus
dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat kedua lengan, berdiri
di atas jari kaki angkat tumit. Lalu kepalkan tinju dengan keras. Kemudian
kendurkan kepalan dan turunkan tumit, ulangi sampai 49 kali.
Gerakan ke sembilan :Kedua kaki masih merapat
dan ibu jari tangan di dalam kepalan. Angkat kedua lengan ke depan akan tetapi
bengkokkan lengan setelah kepalan berada sejajar dengan perut. Lalu naikkan
kepalan, menghadap ke muka sampai lengan menjadi bentuk segi tiga. Kemudian
putar kedua kepalan ke dalam sampai menghadap ke depan dagu. Ulangi 49 kali.
Gerakan ke sepuluh :Kaki tetap merapat dan
ibu jari dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sejajar pundak. Lalu tarik kedua
kepalan melintang ke kanan kiri pundak dengan muka kepalan menghadap ke depan,
seolah-olah sedang mengangkat benda seberat setengah ton dengan siku menegang
dan kepalan mengeras. Ulangi 49 kali.
Gerakan ke sebelas :Kedua kaki merapat akan
tetapi jari membuat kepalan tangan biasa, ibu jari di luar. Kepalan mengendur
dan diangkat ke depan pusar, siku membengkok. Lalu keraskan kepalan dengan ibu
jari ditegangkan. Kemudian kendurkan ibu jari dan kepalan. Ulangi 9 kali.
Gerakan ke dua belas :Kedua kaki merapat. Ibu
jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus
dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat lengan ke depan
sejajar pundak dengan telapak terlentang, angkat pula tumit. Jangan mengerahkan
tenaga. Tahan posisi ini sejenak, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi
12 kali.
Demikianlah latihan olah raga I Kin Keng yang
diciptakan oleh Tat Mo Couwsu dan yang diajarkan oleh Topeng Setan kepada Ceng
Ceng.
“Kaulatih gerakan semua itu, ulangi dari
pertama sampai ke dua belas sebanyak tiga kali, dan lakukan setiap pagi dan
sore. Jangan lupa, setiap pengerahan tenaga dilakukan setelah napas ditarik dan
ditahan, kemudian setiap pengenduran tenaga dilakukan ketika napas
dikeluarkan.”
“Baiklah, Paman. Setelah semua ilmu silat yang
pernah kulatih selama ini, latihan I Kin Keng itu tidak berapa berat bagiku.”
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke
Telaga Sungari. Makin lama kedua orang ini makin akrab dan Ceng Ceng melatih I
Kin Keng setiap hari, sedangkan Topeng Setan setiap kali masih membantunya
dengan pengerahan sin-kang yang disalurkan dengan telapak tangan menempel di
punggung gadis itu.
Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng melatih I
Kin Keng, gadis itu melihat Topeng Setan duduk seorang diri dengan
mencoret-coret tanah, menggunakan sebatang ranting kecil sambil memandang ke
depan. Ceng Ceng tidak menegurnya karena dia sibuk sendiri dengan latihan gerak
badan itu. Setelah selesai dan menghapus keringatnya yang bercucuran, barulah dia
menghampiri Topeng Setan.
“Wah, lukisanmu itu indah sekali! Kiranya
engkau ahli pula melukis, Paman!” Ceng Ceng berseru kagum melihat lukisan
seekor kijang di atas tanah itu. Coretannya kuat dan bagus.
“Kalau sedang iseng aku suka melukis, Ceng Ceng.”
“Kalau begitu, engkau bisa membantu aku
melukis orang, Lopek!”
Topeng Setan memandang heran. “Melukis orang?
Siapa yang kaumaksudkan?” Ceng Ceng duduk di atas tanah.
“Siapa lagi kalau bukan dia! Sampai sekarang
aku belum berhasil mencarinya, karena orang lain tidak ada yang tahu bagaimana
macamnya. Kalau aku mempunyai gambarnya, tentu akan lebih mudah mencarinya
dengan bertanya-tanya kepada orang di sepanjang perjalanan. Lopek (Paman Tua),
maukah engkau menolongku lagi? Kulihat Paman pandai sekali melukis, maka tentu
Paman akan dapat melukis wajahnya!”
“Wajah siapa yang kaumaksudkan?” Topeng Setan
bertanya dan sepasang mata yang besar sebelah di balik topeng itu mengeluarkan
sinar tajam penuh selidik.
Muka Ceng Ceng berubah merah sekali, akan
tetapi dengan menekan perasaannya, dia mengangkat muka memandang dan menjawab,
“Siapa lagi kalau bukan musuh besarku. Paman, aku mempunyai seorang musuh
besar yang harus dapat kutemukan sebelum aku mati. Selama ini, aku
mencari-cari tanpa hasil, maka melihat betapa engkau pandai melukis, aku
mempunyal akal, Paman. Dengan membawa gambarnya, kiranya akan lebih mudah
bagiku untuk mencari dia dan membunuhnya!” Ceng Ceng mengeluarkan kalimat
terakhir itu dengan suara penuh kegeraman karena hatinya terasa sakit sekali,
sampai dia lupa bahwa andaikata dia sudah berhadapan dengan musuh besarnya itu
yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, belum tentu dia akan
dapat menandinginya!
“Ceng Ceng, semuda engkau ini sudah menyimpan
sakit hati dan dendam yang besar. Siapakah musuh besarmu itu?” Topeng Setan
bertanya, suaranya penuh getaran karena merasa kasihan.
“Engkau adalah satu-satunya sahabatku,
penolongku dan kuanggap sebagai ayah atau paman sendiri, maka aku memberi tahu
kepadamu, Paman. Si keparat laknat musuh besarku itu bernama Kok Cu.”
“Hemm...., Kok Cu? Dan siapa she (nama
keluarga) orang itu?”
“Aku tidak tahu, Paman. Aku hanya mendengar
dari kakek Louw Ki Sun, pelayan dari Istana Gurun Pasir bahwa orang itu
bernama Kok Cu tanpa diketahui she-nya, dan bahwa musuhku itu adalah murid
dari Dewa Bongkok majikan Istana Gurun Pasir. Sudah kuselidiki di mana-mana,
bahkan dibantu anak buah kita, akan tetapi tidak ada yang pernah mengenal nama
itu di dunia kang-ouw. Maka, kalau aku mempunyai gambar mukanya, tentu akan
lebih mudah mencari dia. Harap Paman suka membuatkan gambarnya.”
Hening sejenak. Topeng Setan menunduk dan
termenung, kemudian dia berkata, “Mana mungkin aku dapat menggambar muka
orang yang tidak pernah kulihat sendiri?”
“Tentu bisa, Paman” Ceng Ceng berkata penuh
semangat. “Mari kita mencari kertas dan alat tulisnya, nanti aku yang
menceritakan bagaimana bentuk wajahnya kepada Paman.”
Gadis itu mengajak Topeng Setan untuk membeli
sehelai kertas putih yang baik dan pensil serta tinta, kemudian di tempat sunyi
dia mulai memberi petunjuk kepada Topeng Setan tentang wajah orang yang
dimaksudkan itu. Mereka memasuki sebuah kuil kuno yang kosong dan setelah
menyapu lantainya dengan daun, Ceng Ceng mengajak Topeng Setan membuat gambar
musuh besarnya itu. Mula-mula dia minta kepada Topeng Setan untuk menggunakan
pensil dan tinta membuat bentuk muka orang di atas lantai.
“Paman, buatlah bentuk wajah yang bulat dari
seorang laki-laki muda....” katanya penuh gairah karena hatinya tegang bahwa
dia kini memperoleh jalan untuk dapat mencari musuhhya itu lebih mudah.
“Hemm, wajah bulat laki-laki muda? Berapa
usianya?” Topeng Setan bertanya, bersila dan memegang pensil bulu.
“Entahlah.... hemm, kira-kira dua puluh empat
atau dua puluh lima begitulah,” Ceng Ceng menjawab.
Topeng Setan mencelupkan pensil bulu ke dalam
bak tinta, lalu membuat coretan, melukis bentuk wajah bulat. “Begini?”
“Ah, tidak gemuk begitu, bentuk wajahnya
bulat.... atau hampir segi empat, dengan dagu agak keras berlekuk
tengahnya....” Topeng Setan memperbaiki coretannya di atas lantai.
“Nah.... nah, begitu lebih mirip.... sekarang
rambutnya. Rambutnya hitam tebal dan panjang, atasnya agak tebal disisir ke
belakang, kucirnya panjang membelit leher dan pundak.... ah, tidak menutup
telinga, Paman. Telinganya masih nampak.... yaaa, begitu lebih mirip, rambut
di pelipis kanan ini agak tebal, ya begitu....”
Topeng Setan membuat coret-coret di atas
lantai.
“Sekarang matanya, buatlah sepasang mata yang
agak lebar, alisnya tebal panjang seperti golok, ah, bukan begitu.... matanya
tidak sayu mengantuk begitu, matanya hidup dan tajam, hidungnya sedang saja
dan bibirnya membayangkan kekerasan hati.... aihhh.... mengapa berbeda....?”
Ceng Ceng memandang coretan di atas lantai itu
dengan mata disipitkan, kadang-kadang dipicingkan sebelah dan mulutnya
menggerutu, “Hemmm.... mata dan mulutnya sudah mirip, akan tetapi mengapa lain?
Seingatku tidak begitu dia.... ahh, tentu saja! Matanya yang berbeda, Paman!”
“Matanya berbeda bagaimana? Kau bilang tadi
sudah mirip.”
“Maksudku sinar matanya! Di samping tajam,
sinar matanya mengandung sorot yang ganas, seperti binatang buas....”
“Eh....? Seperti binatang buas?”
“Ya, seperti.... ah, cobalah Paman buatkan
mata seperti mata seekor harimau buas yang hendak menerkam seekor domba!”
“Aih, aneh betul mata orang itu.”
“Memang aneh, Paman. Dia seperti.... eh, dia
memang seorang yang gila pada saat itu. Mulutnya menyeringai, matanya kemerahan
dan bersinar penuh api, nah, begitu, Paman.... ya, ya.... tulang pipi dan
dagunya lebih menonjol, dia kelihatan gagah dan tampan.... eh, dan jahat
seperti seekor harimau jantan yang buas. Nah, mirip sekali. Sekarang harap
Paman lukis di atas kertas ini!” Ceng Ceng merasa gembira sekali karena
coret-coret itu memang mirip dengan Kok Cu, pemuda laknat musuh besarnya!
Topeng Setan tidak mengeluarkan kata-kata lagi
dan kini dia sibuk menyalin coretan di atas lantai itu ke atas kertas.
Jari-jari tangannya bergerak lemas dan cepat, dan tak lama kemudian selesailah
lukisan seorang pemuda tampan dan gagah setengah badan yang tak salah lagi
memang mirip sekali dengan musuh besar Ceng Ceng itu.
“Beginikah dia....?” Akhirnya Topeng Setan
bertanya lirih sambil menyerahkan lukisan itu kepada Ceng Ceng. Akan tetapi dia
terbelalak heran melihat gadis itu berdiri memandang lukisan dengan mata merah
dan berlinang air mata. Tiba-tiba Ceng Ceng melompat, merampas lukisan itu
dengan kasar dari tangan Topeng Setan.
“Plak-plak! Brettt.... reeeetttt....! Mampus
engkau, jahanam....!” Seperti orang gila, Ceng Ceng menampari kemudian
merobek-robek lukisan itu sampai hancur berkeping-keping. Kemudian Ceng Ceng
melempar kepingan-kepingan kertas itu ke atas lantai dan menginjak-injaknya
dengan kedua kakinya penuh kemarahan.
Topeng Setan terbelalak memandang ulah dara
itu dan dia memejamkan mata ketika melihat Ceng Ceng akhirnya menjatuhkan diri
duduk di atas lantai, di atas robekan kertas itu sambil menangis.
Dengan hati-hati Topeng Setan mendekati,
duduk pula di atas lantai kemudian setelah melihat tangis Ceng Ceng mereda,
dia bertanya lirih, “Ceng Ceng, benci benarkah engkau kepadanya?”
Ceng Ceng mengangkat muka memandang, matanya
merah dan air mata masih bertitik turun. “Benci? Tidak ada orang di dunia ini
yang lebih kubenci seperti dia! Aku membenci lahir batin dan aku tidak akan
dapat mati meram apabila belum dapat membunuh jahanam biadab itu!”
Hening sejenak, yang terdengar hanya isak
tertahan dari Ceng Ceng. Kemudian terdengar Topeng Setan berkata, “Betapa hebat
bencimu kepadanya, Ceng Ceng. Tentu dia telah melakukan dosa besar sekali
kepada seorang gadis semulia engkau sampai engkau menjadi begini
membencinya.” Orang tua bermuka seperti setan itu menghela napas panjang. “Apakah
yang telah diperbuatnya terhadapmu?”
Ceng Ceng menghapus air matanya. Lalu dia
menggeleng kepala. “Hal itu tidak mungkin dapat kuceritakan kepada Siapapun
juga, Paman. Pendeknya, sakit hatiku terhadap dia hanya dapat dibayar dengan
nyawa, itu pun masih kurang! Akan tetapi, dia lihai sekali, Paman, dan karena
Paman merupakan satu-satunya orang yang dapat membantu aku, maka aku berjanji
bahwa kalau aku dapat menemukan dia, aku akan menceritakan sakit hatiku itu
kepada Paman.”
“Ke mana engkau hendak mencarinya?”
“Ke mana saja, ke ujung dunia sekalipun.
Memang sisa hidupku hanya untuk mencari dia dan membalas dendam itu, Paman. Aku
akan mencari dia dan.... ahhh, apa yang telah kulakukan? Gambar itu.... ah,
gambar itu kurusak....” Ceng Ceng agaknya seperti baru teringat bahwa gambar
yang dapat menolong dia mencari musuh besarnya itu tanpa disadarinya telah
dirobek-robeknya ketika dia teringat akan sakit hatinya tadi.
“Jangan khawatir, aku dapat membuatkan lagi
untukmu, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu mencoret-coret lagi dengan alat tulisnya
di atas sehelai kertas dan setelah selesai ternyata lukisan ini malah lebih
baik daripada tadi. Ceng Ceng menjadi girang sekali, menggulung kertas lukisan
wajah musuh besarnya itu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke
Telaga Sungari.
Pada suatu pagi mereka memasuki sebuah rumah
makan di dalam dusun yang masih sunyi. Mereka membeli beberapa butir bakpao dan
makan bakpao sambil minum air teh panas. Seperti biasa, Ceng Ceng menggunakan
setiap kesempatan bertemu dusun untuk menyelidiki perihal musuh besarnya.
Maka, setelah makan dua butir bakpao besar dan minum air teh, dia
mempersilakan Topeng Setan melanjutkan sarapannya, sedangkan dia sendiri lalu
membawa gulungan kertas menghampiri dua orang yang mengukus bakpao di dekat
pintu.
“Bung, saya ingin bertanya kepadamu,” katanya
kepada seorang di antara dua tukang bakpao itu yang cepat menoleh dan memandang
heran serta kagum karena Ceng Ceng memang selalu mengagumkan pandang mata
pria di mana pun dia berada.
“Tentu saja, Nona....” Tukang bakpao yang
berusia tiga puluhan tahun itu menjawab sambil tersenyum bangga bahwa ada
seorang dara secantik itu mau menyapanya.
Ceng Ceng seperti biasa membuka gulungan
kertas itu, memperlihatkan lukisan wajah musuh besarnya sambil berkata, “Harap
kaulihat baik-baik, barangkali engkau mengenal orang ini dan tahu di mana dia
berada?”
Tukang bakpao itu menggerak-gerakkan bibirnya
sehingga kumis tebal di atas bibir itu ikut bergerak-gerak, keningnya berkerut
seolah-olah dia sedang mengasah otaknya menghadapi teka-teki yang ruwet.
“Rasanya pernah kulihat akan tetapi mungkin juga belum pernah.... ehh, nanti
kuingat-ingat dulu, Nona.... hemm....”
“Heiiii....! Subo (Ibu Guru)....!” Tiba-tiba
terdengar suara melengking merdu memanggil. “Kiranya Subo berada di sini....?”
Ceng Ceng cepat memutar tubuhnya dan melihat
seorang dara remaja berdiri di belakangnya, seorang dara tanggung yang cantik
sekali, bertolak pinggang dan sikapnya sembarangan, bahkan seperti ugal-ugalan.
Tentu saja dia mengenal anak perempuan yang menyebutnya subo itu. Kiranya dara
remaja itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Ketua Pulau Neraka,
Hek-tiauw Lo-mo! Ceng Ceng cepat memandang ke kanan kiri, gentar juga hatinya
karena khawatir kalau-kalau ayah anak ini berada di situ. Pernah dia melawan
Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata olehnya bahwa kakek iblis itu lihai bukan main
sehingga dengan mudah dia tertawan. Untung ada Hwee Li yang telah
membebaskannya setelah dia berhasil menarik hati anak perempuan itu untuk
mengajarnya tentang ilmu mengenai racun. Akan tetapi segera pandang matanya
bertemu dengan Topeng Setan yang masih makan bakpao di sudut ruangan, maka
hatinya menjadi lega kembali. Dengan adanya orang tua ini dia tidak takut lagi
kepada Hek-tiauw Lo-mo.
“Eh, engkau Hwee Li! Engkau mencari siapa dan
dengan siapa engkau di sini?” Ceng Ceng menegur setelah dara remaja itu
menghampirinya.
“Subo, aku mencari ayahku. Apakah Subo tidak
melihatnya? Ayahku sedang mengejar musuhnya dan aku ditinggal begitu saja,
maka aku menyusulnya dan mencarinya sampai di sini. Apakah Subo melihat
ayahku?”
“Tidak, Hwee Li. Aku tidak melihat ayahmu.”
“Subo sendiri mencari siapakah? Gambar siapa
yang Subo pegang itu?” Hwee Li yang lincah itu tanpa sungkan-sungkan melihat
gambar yang dipegang oleh Ceng Ceng. “Wah, gagah sekali pemuda ini, Subo.
Apakah dia pacarmu?” Biarpun dara cilik itu tidak mempunyai watak cabul
seperti bibi gurunya yang disukanya, yaitu Mauw Siauw Mo-li, namun dekat dengan
wanita genit itu dia pun sudah biasa bersikap genit dan tanpa sungkan-sungkan
lagi.
Wajah Ceng-Ceng menjadi merah sekali.
“Ihhh.... lancang mulutmu. Hayo katakan, apakah barangkali engkau tahu orang
ini di mana.”
Hwee Li memandang gambar itu penuh perhatian lalu
menggeleng kepala. “Sayang aku tidak tahu, kalau aku tahu tentu kuajak dia
berteman. Dia kelihatan gagah dan tentu merupakan kawan yang menyenangkan.”
Mendengar ucapan yang dianggapnya tidak sopan
itu Ceng Ceng menggulung gambar itu dengan kasar lalu berkata, “Sudahlah, kau
mencari ayahmu akan tetapi bermain-main di sini, mana bisa bertemu dengan dia?
Lekas pergi mencarinya di tempat lain!”
Hwee Li mengangguk. “Subo, ingat, kalau aku
sudah bertemu Ayah, kelak aku akan mencarimu untuk mulai belajar ilmu itu.”
Ceng Ceng mengangguk tak sabar. “Baik, baik,
nah, kau pergilah!” Hwee Li tersenyum-senyum lalu pergi meninggalkan warung
itu.
“Eh, Nona.... agaknya Nona kehilangan pacar?
Daripada mencari orang yang tidak ada, aku.... eh, aku pun masih membujang.”
Ceng Ceng memandang tukang bakpao berkumis itu
dengan mata bersinar. “Apa.... apa maksudmu....?”
Tukang bakpao itu mengurut kumisnya. “Nona
seorang dara cantik, tidak baik melakukan perjalanan di tempat berbahaya ini
hanya untuk mencari pacar yang hilang. Tinggallah bersamaku di sini dan aku
akan membikin Nona hidup senang dan.... aughhh!” Tukang bakpao itu tak dapat
melanjutkan teriakannya karena sebagian mukanya dari dagu sampai ke hidung
telah terbenam ke dalam uap panas dari tempat bakpao dikukus! Setelah menampar
dan mendorong orang itu sampai mukanya masuk ke dalam tempat masak bakpao yang
panas, Ceng Ceng mendengus dan membalikkan tubuhnya menghampiri Topeng Setan
yang sudah bangkit berdiri dan cepat membayar makanan lalu mereka berdua pergi
dari tempat itu yang sudah menjadi ribut karena tukang bakpao itu
merintih-rintih dengan muka bagian bawah terbakar dan melepuh!
Topeng Setan dan Ceng Ceng berjalan tanpa
bicara, dan setelah mereka keluar dari dusun itu barulah Topeng Setan bertanya,
“Ceng Ceng, siapakah anak perempuan yang muncul di warung bakpao tadi?”
“Ohh, dia? Dia adalah Kim Hwee Li, dia puteri
dari Hek-tiauw Lo-mo....”
“Hei....?” Topeng Setan terkejut bukan main.
“Hek-tiauw Lo-mo yang telah memukulmu secara keji?” Tentu saja orang tua
bermuka seperti setan ini kaget bukan main dan juga terheran-heran. “Hek-tiauw
Lo-mo memusuhimu, akan tetapi puterinya menyebutmu subo (Ibu guru). Apa
artinya semua ini?”
Ceng Ceng tersenyum dan menghela napas.
“Memang di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang amat aneh, Paman
Topeng Setan. Memang benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek iblis
yang jahat dan kejam, selain memusuhiku apabila kami saling bertemu, apalagi
akhir-akhir ini ketika dia memukulku dia adalah kaki tangan pemberontak
sedangkan aku menentang pemberontakan. Dulu, pernah aku bertanding dengan dia
dan aku kalah, menjadi tawanannya. Akan tetapi puterinya, Kim Hwee Li itu,
menolongku dan membebaskan aku dengan janji bahwa aku akan suka menjadi subonya.
Karena ingin bebas, tentu saja aku mau dan begitulah, dia membebaskan aku....”
“Akan tetapi, ayahnya sendiridemikian lihai,
mengapa dia mengangkat engkau menjadi guru?”
“Ayahnya lihai dalam ilmu silat memang, akan
tetapi dalam hal ilmu tentang racun, aku sebagai murid Ban-tok Mo-li lebih
unggul. Dia ingin belajar ilmu tentang racun dariku.”
Topeng Setan menghela napas. “Memang tidak
keliru bahwa sebagai murid Ban-tok Mo-li, engkau adalah seorang ahli yang hebat
tentang racun, Ceng Ceng. Akan tetapi, buktinya engkau malah celaka karena
tubuhmu mengandung racun, sehingga pukulan Hek-coa-tok-ciang dari Hek-tiauw
Lo-mo membuat nyawamu terancam. Ilmu tentang racun memang hanya suatu ilmu yang
tentu saja penting untuk dipelajari. Akan tetapi dalam cara
mempergunakannyalah yang penting. Kalau dipelajari untuk digunakan sebagai
ilmu pengobatan, baik sekali, sebaliknya kalau untuk mencelakakan lawan,
menjadilah ilmu hitam yang hanya dimiliki golongan sesat. Sungguh menyesal
sekali bahwa seorang seperti engkau sampai mengalami hal yang membuatmu begini
sengsara....!” Tiba-tiba Topeng Setan menghentikan kata-katanya dan berjalan
sambil menundukkan mukanya.
Ceng Ceng menoleh dan memandang dengan
terheran-heren. Dia menangkap getaran suara aneh penuh keharuan dalam kata-kata
Topeng Setan tadi dan kini makin heranlah dia ketika melihat sepasang mata yang
besar sebelah itu setengah dipejamkan dan tampak ada air membasahi bulu-bulu
mata itu. Topeng Setan menangis!
“Paman Topeng Setan, berhenti sebentar, aku
ingin bertanya sesuatu kepadamu.”
Topeng Setan berhenti dan mereka berdiri
berhadapan. “Kau mau bertanya apa?” Topeng Setan bertanya sambil menundukkan
muka.
“Paman, engkau agaknya selalu menaruh iba
kepadaku dan selalu membela dan melindungiku, akan tetapi kulihat hidupmu
sendiri merana, bahkan demikian tersiksa batinmu sampai-sampai engkau selalu
menyembunyikan diri di belakang topeng setan ini. Kenapa begitu? Engkau menaruh
kasihan kepadaku akan tetapi melupakan kesengsaraanmu sendiri. Apa yang
menyebabkannya? Kalau hal ini belum kaujelaskan, hatiku selalu akan diganggu
oleh keraguan dan keheranan, Paman.”
Topeng Setan menghela napas, kemudian dengan
suara terpaksa dia menjawab juga, “Engkau.... mengingatkan kepadaku akan
seorang wanita....”
“Ya....? Lanjutkanlah, Paman. Siapakah wanita
itu dan di mana dia sekarang?”
“Dia.... dia telah mati....”
“Ouhhh....? Maafkan, Paman....”
“Dia mati.... karena aku yang
membunuhnya....”
“Aihhh....!” Ceng Ceng terbelalak dan melihat
Topeng Setan kini berdiri membelakanginya dengan kedua pundak yang lebar itu
berguncang, tahulah dia bahwa orang tua itu menahan tangisnya dan amat
menyesali perbuatannya. Dengan hati terharu dia menghampiri dan memegang
tangan orang tua itu.
“Paman, sukar dipercaya bahwa engkau telah
membunuhnya.... padahal.... agaknya engkau mencinta wanita itu, bukan?”
Topeng Setan menahan napas menenangkan
batinnya, dia mengangguk. “Aku telah gila.... aku melakukan dosa besar dan
karena itu.... tiada jalan lain bagiku kecuali menebus dosaku itu dengan jalan
menjaga dan melindungimu, Ceng Ceng....”
“Aihh, Paman Topeng Setan. Orang seperti
engkau ini tidak mungkin melakukan perbuatan jahat. Kalau bibi itu, wanita
itu.... sampai mati olehmu, tentu dia yang bersalah.... dan jahatlah dia kalau
bibi itu tidak dapat membalas cinta kasih seorang mulia seperti Paman....”
“Cukup....! Dia baik dan suci seperti dewi....
akulah yang jahat....”
Melihat keadaan Topeng Setan amat menderita
tekanan batin, Ceng Ceng lalu menghibur dan mengalihkan percakapan.
“Sudahlah, Paman. Tidak perlu kita
membicarakan soal-soal yang lalu. Yang jelas, Paman adalah seorang yang paling
mulia bagiku....”
“Tapi engkau hidup merana, Ceng Ceng. Engkau
diracuni oleh dendam yang tak kunjung habis....”
“Ah, urusan kecil! Sekarang, yang penting
seperti kata Paman dulu, aku harus berobat sampai sembuh, kemudian aku akan
tekun belajar ilmu dari Paman, kemudian setelah kepandaianku menjadi tinggi,
apa sukarnya untuk mencari keparat itu? Sekarang, jangan dia mengganggu
perjalanan kita ke Telaga Sungari. Nah, biar belum dapat membunuh orangnya,
biar kubunuh dulu gambarnya!” Ceng Ceng lalu merobek-robek gulungan gambar dari
Kok Cu, musuh besarnya itu. “Mari kita melanjutkan perjalanan ke Sungari
mencari obat anak naga itu, Paman.”
Berangkatlah kedua orang itu dengan cepat
karena kini tidak lagi mereka berhenti untuk menyelidiki musuh besar Ceng
Ceng.
“Auhhh....!” Kian Bu merapatkan matanya
kembali ketika merasa betapa kepalanya pening berdenyut-denyut, tubuhnya
sakit-sakit semua dan dia teringat betapa dia ditelan ombak air sungai,
digulung dan dihanyutkan tanpa dapat berdaya sama sekali. Perasaan ngeri
membuat dia memejamkan kembali matanya. Akan tetapi dia tidak merasa lagi
tubuhnya dipermainkan gelombang air, bahkan dia merasa rebah di suatu tempat
yang keras, kepalanya berbantal sesuatu yang lunak dan hangat, kemudian mukanya
ada yang menyentuh, bukan air yang keras dan ganas melainkan sentuhan-sentuhan
hangat dari jari-jari tangan yang dengan lunak memijat-mijat pelipisnya.
“Bagaimana....? Pening sekalikah
kepalamu....? Akan tetapi tidak mengapa, air sudah keluar semua dari perutmu
dan memang akibatnya agak pening di kepala, atau mungkin kepalamu terbanting
kepada batu ketika hanyut....”
Kian Bu mendengarkan suara itu seperti dalam
mimpi. Suara seorang wanita, merdu dan halus, dengan nada naik turun seperti
orang bersenandung, atau seperti orang membaca sajak yang indah. Wanita? Dia
teringat dengan kaget dan membuka matanya, apalagi ketika perasaannya makin
sadar membuat dia dapat menduga bahwa kepalanya rebah di atas dua buah paha
yang lunak dan hangat, di atas pangkuan seorang wanita!
Begitu matanya terbuka, dia memejamkannya
kembali karena silau! Bukan silau oleh sinar matahari pagi saja yang cerah,
melainkan juga oleh wajah yang amat cantik, oleh sepasang mata panjang lentik,
oleh sebatang hidung kecil mancung dan sepasang bibir yang merekah manis,
perpaduan antara merahnya daging berkulit tipis dan putihnya gigi seperti
mutiara!
Kian Bu tersentak kaget ketika dia teringat
dan mengenal wajah wanita itu. Cepat dia bangkit duduk dan menegur, mukanya
merah sekali, “Aihhh.... Enci Hong Kui....?”
Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li tersenyum,
“Mengapa engkau terkejut, Kian Bu yang baik? Tadi engkau gelisah sekali dalam
tidurmu, mengeluh dan agaknya engkau mimpi terbawa air sungai, maka aku....
eh, memangku kepalamu dan memijit-mijit. Bagaimana sekarang, apakah masih
pening....?” Sikap wanita itu biasa saja dan diam-diam Kian Bu merasa terharu.
Apakah wanita cantik ini benar-benar demikian mencintanya seperti seorang kakak
perempuan mencinta adiknya? Akan tetapi.... sikapnya benar-benar terlalu mesra
dan darahnya masih berdesir ketika teringat betapa tadi rebah dengan kepala di
atas pangkuan wanita cantik itu.
“Ti.... tidak, Enci. Terima kasih. Ah, kiranya
sudah pagi, biar aku pergi....” dia teringat akan janjinya untuk membantu
wanita itu mencari obat di Telaga Sungari, maka cepat disambungnya, “Marilah
kita pergi mencari mereka....”
Lauw Hong Kui tersenyum mengangguk tanpa
menjawab dan mereka lalu bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka lalu
menyusuri sungai itu mencari-cari, akan tetapi sampai setengah hari lamanya,
mereka tidak berhasil menemukan jejak dari Siang In dan yang lain-lain,
seolah-olah rakit mereka itu telah ditelan air sungai yang ganas semalam.
Melihat wajah Kian Bu yang berduka dan
khawatir, Hong Kui segera memegang lengannya dan berkata, “Jangan kau khawatir,
Kian Bu. Aku yakin bahwa mereka itu tidak mengalami malapetaka dan masih dapat
menyelamatkan diri mereka.”
Mendengar ucapan yang nadanya
bersungguh-sungguh itu Kian Bu memandangnya dengan penuh harapan dan bertanya,
“Bagaimana engkau bisa menduga demikian, Enci?”
“Mudah saja. Malapetaka yang dapat menimpa mereka
hanya dua macam, bukan? Yang pertama adalah bahwa mereka terjatuh ke air dan
dibawa hanyut seperti keadaanmu. Yang ke dua adalah bahwa mereka terjatuh ke
tangan musuh atau terbunuh oleh mereka. Aku melihat bahwa kedua malapetaka itu
tidak menimpa diri mereka. Karena, andaikata mereka hanyut, tentu ada di antara
mereka yang terdampar ke pinggir seperti yang kau alami atau ada yang
tersangkut di daerah yang berbatu-batu tadi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda
bahwa mereka itu hanyut. Dan juga andaikata mereka itu tertawan atau terbunuh
musuh, tentu orang-orangnya Tambolon semalam tfdak mencari-cari dan menyerang
kita. Jadi aku yakin bahwa mereka itu tentu telah berhasil menyelamatkan diri
dan telah pergi dari tempat ini.”
Kian Bu menjadi girang sekali karena kini dia
pun percaya bahwa agaknya memang demikianlah. Dia merasa kasihan sekali kepada
Siang In, apalagi melihat gadis itu telah kehilangan encinya. “Ah, engkau hebat
dan cerdik sekali, Enci Hong Kui. Aku percaya keteranganmu itu.”
Hong Kui melempar senyum, mengerling,
mencubit lengan Kian Bu dan berkata dengan bibir merah mencibir, manis sekali,
“Ihhhh, engkau bisa saja memuji orang! Engkau yang tak kusangka ternyata amat
sakti, mengalahkan dua orang pembantu Tambolon secara demikian mudah, masih
memuji-muji aku yang lemah dan bodoh. Huiii.... sungguh menggemaskan!” Kembali
dia mencubit, kini yang dicubitnya adalah paha Kian Bu dan agak keras sehingga
pemuda itu berteriak kesakitan sambil tertawa-tawa.
Mereka tertawa-tawa dan Hong Kui menggandeng
tangan Kian Bu dengan sikap mesra dan manja. “Kian Bu, aku merasa berbahagia
sekali....!”
Kian Bu memandang tajam, kecurigaannya timbul
kembali. Wanita ini dijuluki orang Mauw Siauw Mo-li, biarpun cantik jelita dan
menggairahkan, namun cantiknya cantik siluman, bisa berbahaya. Jangan-jangan
wanita ini hendak menjebaknya dengan menggunakan kecantikannya. Dia harus
waspada! Pernah ayahnya secara samar-samar memperingatkan dia bahwa di antara
hal-hal yang amat berbahaya, lebih berbahaya daripada musuh yang sakti, selain
kesombongan diri, nafsu-nafsu pribadi, juga kecantikan seorang wanita.
Kecantikan seorang wanita mampu merobohkan pertahanan seorang pendekar yang
bagaimana sakti pun! Dan Mauw Siauw Mo-li ini memang cantik bukan main. Cantik jelita
dan manis, memiliki keindahan dalam segala gerak-geriknya, gerak matanya,
alisnya, bibirnya, dan gerak tubuh dari leher, pinggang, pinggul sampai
langkahnya! Bukan main! Dia harus berhati-hati sekali. Siapa tahu di balik
semua keindahan ini tersembunyi perangkap yang akan mencelakakannya.
“Kenapa engkau berbahagia, Enci?” pancingnya.
Jari-jari tangan yang menggandeng lengannya
itu makin mengetat dan mendekat. Kepala yang berambut panjang terurai sebagian
terlepas dari gelungnya yang tinggi bergerak-gerak dan tercium bau harum oleh
hidung Kian Bu.
“Aku berbahagia karena dapat bertemu dengan
seorang seperti engkau, Kian Bu. Kini bangkit kembali harapanku untuk dapat
hidup karena aku yakin, dengan bantuan seorang pendekar sakti seperti engkau,
sudah pasti anak naga keramat di Telaga Sungari itu akan berhasil kita dapatkan
sehingga racun dari tubuhku dapat dibersihkan.”
Kian Bu menghela napas panjang, hatinya lega
bahwa kecurigaannya tadi ternyata palsu. Wanita ini memang sudah sepatutnya
merasa berbahagia karena wanita ini agaknya menggantungkan harapannya
kepadanya.
“Jangan khawatir, Enci Hong Kui. Aku pasti
akan membantumu sekuat tenagaku agar engkau dapat menjadi sehat kembali.”
Wanita itu memandang dan dua butir air mata
mengalir turun. “Engkau.... engkau baik sekali....” Katanya terisak dan Kian
Bu merasakan jantungnya berdebar keras ketika jari-jari tangan yang kecil
panjang itu menyusup di antara jari-jari tangan Kian Bu. Pergeseran dan
sentuhan antara jari-jari tangan ini seolah-olah mengandung getaran dahsyat
yang memasuki tubuh Kian Bu, membuat dia merasa tubuhnya panas dingin dan
jantungnya berdebar seperti akan meledak! Tubuhnya agak menggigil dan untung
baginya, pada saat itu Hong Kui melepaskan tangannya sambil mengeluarkan suara
ketawa yang aneh akan tetapi terdengar amat merdu dan mesra dalam telinga Kian
Bu. Suara ketawa yang mirip bunyi seekor kucing yang memanggil-manggil
pasangannya di waktu malam!
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui adalah seorang
wanita yang biarpun usianya baru tiga puluh tahun, namun telah memiliki
pengalaman matang dalam hal bermain cinta dan mempermainkan seorang pria. Dia
sekali ini benar-benar terjebak ke dalam permainan dan nafsunya sendiri. Dia
jatuh cinta! Belum pernah selama hidupnya dia mengalami perasaan seperti ini
terhadap seorang pria. Biasanya, dia mempermainkan pria, seperti seekor kucing
betina kelaparan mempermainkan seekor tikus, dipermainkan lebih dulu sebelum
diganyang dan kemudian ditinggalkan bangkainya begitu saja, sama sekali tidak
diingatnya lagi. Belum pernah dia dapat bertahan lebih dari tiga hari tiga
malam mengeram seorang pria. Kebosanannya timbul dan dia akan meninggalkan
korbannya yang kebanyakan tentu dibunuhnya dulu. Akan tetapi sekali ini,
bertemu dengan Kian Bu, dia benar-benar jatuh cinta. Dia sama sekali tidak
merasa seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus, melainkan seperti
seekor kucing yang haus akan belaian manusia yang lebih kuat! Pemuda ini bukan
hanya tampan, karena ketampanan mudah didapatkan di antara orang-orang muda,
akan tetapi yang amat menarik hatinya adalah karena pemuda ini adalah seorang
yang memiliki kesaktian hebat, lebih tinggi daripadanya, dan terutama sekali
seorang perjaka tulen yang dia tahu mempunyai sifat romantis!
Di dalam kecerdikannya, Hong Kui tidak mau
menuruti nafsu berahinya. Dia bersikap hati-hati dan biarpun tadi belaiannya
membuat pemuda itu mulai tergetar, namun dia tidak mau terlalu mendesak, karena
sekali pemuda sehebat ini timbul kecurigaannya, akan berbahayalah. Dia sama
sekali tidak mungkin dapat memaksa seorang seperti Kian Bu, maka dia akan
menggunakan siasat halus dan tidak akan bermain kasar!
Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super
Sakti, dan ibunya adalah bekas Ketua Thian-liong-pang, dia adalah seorang
pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian hebat dan kegagahan luar biasa. Akan
tetapi, menghadapi seorang wanita matang seperti Lauw Hong Kui, tentu saja dia
itu hanya seorang pemuda hijau. Andaikata Mauw Siauw Mo-li mempergunakan
kekerasan dan kepandaian silatnya, tentu dalam waktu singkat saja dia akan
roboh oleh pemuda itu dan andaikata dalam rayuannya dia terlalu tergesa-gesa,
tentu pemuda perkasa itu akan menjadi curiga dan sadar. Akan tetapi, Hong Kui
terlalu cerdik dalam hal ini dan dia menjatuhkan hati Kian Bu secara
perlahan-lahan, secara cerdik sekali dan tidak kentara sehingga setelah mereka
melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, Kian Bu telah percaya penuh bahwa
wanita ini benar-benar seorang wanita yang patut dikasihani, seorang yang “baik-baik”
akan tetapi tidak kebetulan menjadi sumoi dari orang-orang jahat macam
Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka dan mendiang Hek-hwa Kuibo. Wanita ini amat
ramah, amat halus dan sopan! Dan di dalam perjalanan itu Hong Kui selalu
menonjolkan keringanan tangannya, melayani Kian Bu, dan sikapnya penuh rasa
sayang seorang kakak perempuan terhadap seorang adiknya. Maka, diam-diam Kian
Bu juga mengambil keputusan untuk mengerahkan kepandaiannya berusaha menangkap
anak naga di Telaga Sungari untuk menyembuhkan keracunan di dalam tubuh Hong
Kui.
Pada suatu siang yang amat panas mereka
mengaso di dalam hutan dan duduk di bawah sebatang pohon yang lebat daunnya.
Sambil bersenandung merdu, Hong Kui memanggang daging ayam hutan yang tadi
ditangkap oleh Kian Bu dan kini pemuda itu duduk beristirahat tidak jauh dari
tempat itu. Ketika Kian Bu sedang terlena mengantuk, tiba-tiba dia mendengar
suara Hong Kui menjerit. Dia terkejut sekali dan tubuhnya sudah bergerak
meloncat, menyambar tubuh Hong Kui yang terhuyung dan ketika dia memeluk tubuh
wanita itu ternyata Hong Kui telah pingsan!
Kian Bu terkejut bukan main, dan cepat dia
mengurut jalan darah di tengkuk wanita itu. Hong Kui membuka matanya, lalu
menjerit, “Ular.... ahh, Kian Bu, ada ular....!” matanya terbelalak dan
telunjuknya menuding ke atas pohon.
Kian Bu menengok dan hampir dia tertawa
bergelak. Seekor ular hijau kecil merayap ketakutan di antara daun-daun di
cabang pohon itu.
“Enci Hong Kui, kau kenapakah? Mengapa kau
pingsan dan ular kecil itu....”
“Aihhh.... maafkan aku, Kian Bu....” Hong Kui
menggunakan saputangan, menyusuti peluh dari dahinya yang pucat sekali. “Engkau
belum kuberi tahu.... aku.... aku paling takut melihat ular....”
Kian Bu tersenyum lebar dan memandang aneh.
Mereka sudah duduk kembali dan Hong Kui melanjutkan pekerjaannya memanggang
daging setelah beberapa kali menengok ke atas dan melihat bahwa ular itu sudah
tidak tampak lagi.
“Enci Hong Kui, engkau seorang yang memiliki
kepandaian begitu tinggi takut melihat seekor ular kecil itu? Biar ada seratus
ekor seperti itu, mana mungkin bisa mengganggu seorang lihai seperti engkau?”
“Ah, engkau tidak tahu, Kian Bu. Andaikata
aku tidak takut terhadap ular, tentu sudah sejak dahulu aku pergi mencari anak
naga di Telaga Sungari itu! Akan tetapi, aku amat takut melihat ular....”
“Enci, sungguh aneh sekali. Mengapa orang yang
lihai seperti engkau takut melihat ular?”
“Aku bukan takut, akan tetapi lebih dari
takut, aku jijik sekali dan bisa pingsan kalau melihatnya. Dan tentu saja ada
sebabnya.... ehh, malu aku untuk menceritakan pengalamanku di waktu aku baru
berusia belasan tahun itu....” Wanita itu lalu menunduk. Kedua pipinya yang
halus menjadi kemerahan, dari bawah matanya mengerling tajam ke atas dan
bibirnya menahan senyum, giginya yang putih menggigit bibir bawah. Sikap
malu-malu kucing ini kelihatan manis dan menarik sekali sehingga timbul
kelnginan tahu Kian Bu untuk mendengar cerita yang tentu aneh itu sehingga
orangnya sampai merasa malu untuk bercerita.
“Enci Hong Kui, diantara kita yang sudah
seperti kakak dan adik sendiri, mengapa engkau merasa malu? Ceritakanlah, apa
yang telah terjadi sehingga engkau yang begini lihai sampai pingsan ketakutan
melihat seekor ular kecil tadi.”
“Terjadi di waktu aku berusia kira-kira tiga
belas tahun,” wanita itu bercerita sambil menunduk dan memperhatikan daging
yang dipanggangnya. “Pada suatu hari ketika aku tertidur di dalam kamarku,
tengah malam aku terbangun dengan kaget sekali dan.... dan.... dapat
kaubayangkan betapa ngeri dan jijik serta takutku ketika aku merasa ada sesuatu
yang dingin bergerak-gerak di dalam.... celanaku, di paha....”
Kian Bu terbelalak, mulutnya ternganga
memandang wanita itu yang hanya mengangkat muka sebentar memandangnya kemudian
menunduk kembali dengan pipi yang makin kemerahan.
“Ketika aku cepat-cepat melepas pakaian....
ternyata.... benda bergerak itu adalah seekor ular hitam! Aku menjerit-jerit
dan jatuh pingsan. Nah, semenjak saat itulah setiap kali melihat ular,
terbayang kembali kengerian hatiku di waktu dahulu itu dan aku tak kuat
menahan.”
Hening sejenak. Entah mengapa, membayangkan
pengalaman wanita ini di waktu berusia belasan tahun itu, jantung Kian Bu
berdebar tegang dan beberapa kali dia menelan ludah. “Memang.... memang
mengerikan....” komentarnya pendek.
“Itulah sebabnya mengapa setelah mendengar
bahwa yang menjadi obat tubuhku hanya anak naga di Telaga Sungari, aku menjadi
ngeri dan takut. Untung aku bertemu dengan engkau, Kian Bu, yang telah begini
baik hati untuk membantu aku menangkap anak naga itu. Kalau aku sendiri harus
menangkapnya, apalagi anak naga, baru melihat seekor ular biasa saja aku sudah
akan jatuh pingsan!”
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di luar
sebuah dusun. Telaga Sungari tidak begitu jauh lagi dari situ. Ketika melihat
sebatang anak sungai yang airnya amat jernih mengalir di luar dusun itu, dan
betapa tempat itu sunyi sekali, Hong Kui berkata, “Kian Bu, aku merasa gerah
sekali. Air itu jernih, aku ingin mandi.”
“Akan tetapi tempat ini dekat dusun, Enci.
Tentu akan ada orang lewat nanti....”
Hong Kui mengerling penuh celaan. “Habis ada
engkau untuk apa?” katanya menegur sambil tersenyum. “Kaujagalah di sini
sebentar agar kalau ada orang lewat, kau minta dia jangan ke sungai dulu
sebelum aku selesai mandi. Aku tidak akan lama, asal sudah berendam sebentar
pun cukuplah untuk mengusir kegerahan dan menghilangkan debu yang menempel di
tubuh.”
“Baiklah....” Kian Bu lalu duduk di tepi
jalan, membelakangi anak sungai yang tidak begitu jauh dari jalan kecil itu.
Memang panas hawanya siang hari itu dan Kian Bu membuka kancing bajunya
menelanjangi dada agar terhembus angin lalu. Hatinya gembira. Selama melakukan
perjalanan dengan Hong Kui, dia makin tertarik dan kagum kepada wanita itu.
Gayanya yang genit memikat, persis seperti yang dulu ditirukan oleh Siang In,
akan tetapi tentu saja lebih memikat karena gerak-gerik Hong Kui tidak
dibuat-buat, memang sudah menjadi wataknya. Biarpun genit memikat, namun wanita
ini sopan dan amat baik terhadap dia, tidak pernah mengeluarkan kata-kata
cabul, apalagi melakukan sesuatu yang tidak sopan. Hanya setiap kali mereka
bersentuhan, seperti ada aliran hawa panas keluar dari tubuh wanita itu
menjalar di seluruh tubuhnya dan menggoncang jantungnya!
“Eiiihhh.... ular.... tolong.... Kian Bu....!”
Jerit ini mengejutkan Kian Bu. Sekali
meloncat dia telah mengejar ke pinggir sungai dan alangkah kaget hatinya
ketika dia melihat tubuh Hong Kui rebah miring dengan kepala masuk ke dalam
air, sedangkan seekor ular hitam yang panjangnya ada satu meter berenang
terbirit-birit meninggalkan tempat itu menyeberang anak sungai. Celaka,
pikirnya, kalau tidak cepat ditolong, Hong Kui yang pingsan dengan kepala
terbenam air itu tentu akan kehabisan napas dan tewas! Maka dia lalu meloncat
mendekati, memasuki anak sungai yang airnya hanya setinggi lututnya, kemudian
dia mengangkat tubuh Hong Kui yang lemas.
Dapat dibayangkan betapa kacau perasaan Kian
Bu ketika mengangkat tubuh yang sama sekali tidak berpakaian, yang telanjang
bulat itu! Ketika dia mengangkat tubuh polos itu, dia mencoba untuk memejamkan
mata dan tidak melihat. Akan tetapi tangannya dan lengannya menyentuh kulit
tubuh yang mulus dan hangat, dan jantungnya berdebar hampir copot dari
tempatnya! Dan dia pun tidak mungkin memejamkan mata terus karena dia harus
membawa Hong Kui ke tepi anak sungai. Tidak lupa dia menyambar pakaian wanita
itu yang tadi terletak di atas sebuah batu.
Teringat bahwa wanita itu tentu akan merasa
malu sekali kalau sadar nanti dalam keadaan polos, Kian Bu lalu cepat-cepat
mengenakan pakaian Hong Kui pada tubuh itu. Dan tentu saja untuk dapat
melakukan ini, dia harus membuka matanya, dan karena dia membuka matanya,
tentu saja dia melihat dengan jelas semua bagian tubuh yang berada di depan
hidungnya! Sekali melihat, dia tidak kuasa lagi untuk menahan matanya yang
menjelajahi semua bagian tubuh yang mulus dan menggairahkan itu. Berkali-kali
dia menelan ludah karena merasa lehernya seperti dicekik. Jari-jari tangannya
menggigil sehingga sampai lama barulah akhirnya dia berhasil mengenakan pakaian
itu pada tubuh Hong Kui, walaupun setengah memaksa kedua tangannya yang
agaknya mau mogok saja!
Begitu akhirnya Kian Bu selesai mengenakan
pakaian Hong Kui, wanita itu siuman dan mengeluh, kemudian merangkul pinggang
Kian Bu sambil merintih ketakutan, “Ular.... ular....”
Kian Bu tersenyum, merasa geli juga melihat
wanita yang dia tahu amat lihai ini menjadi begitu ketakutan seperti anak kecil
ketika bertemu ular. “Ularnya sudah pergi, Enci Hong Kui.”
Wanita itu kembali mengeluh, kemudian
tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dan melepaskan pelukannya, melihat ke arah
tubuhnya yang sudah berpakaian. “Eh.... ahhh.... aku tadi sedang mandi.... ada
ular hitam menjijikkan....”
“Kau menjerit dan aku melihat engkau pingsan
di air, Enci....”
“Dan aku....” Muka yang halus itu menjadi
merah sekali dan matanya mengerling malu-malu, sikap yang bahkan amat manis
dan menarik hati, “....aku tadi mandi.... kutanggalkan pakaianku....”
Kini Kian Bu memandang dengan muka terasa
panas. “Aku yang mengenakan kembali pakaianmu, Enci Hong Kui.”
“Aihhh.... engkau.... engkau baik sekali, Kian
Bu.”
Kian Bu yang masih hijau itu tentu saja sama
sekali tidak menduga bahwa ular-ular itu, baik yang merayap di cabang pohon
maupun di sungai, adalah ular-ular yang sengaja ditangkap oleh Hong Kui dan
dilepas di dekatnya, tidak tahu bahwa wanita ini sama sekali tidak takut
terhadap ular yang bagaimana juga pun, bahkan sejak kecil dia telah biasa
bermain-main dengan ular berbisa! Kian Bu tidak tahu bahwa wanita itu secara
halus dan cerdik sekali mulai menggoda dan memikat hatinya.
Dan memang hati Kian Bu terguncang hebat
sekali. Mula-mula hatinya sudah tergerak oleh cerita Hong Kui yang membuat dia
selalu membayangkan yang bukan-bukan, kemudian dia disuguhi pemandangan yang
amat mengesankan, melihat tubuh telanjang bulat yang menggairahkan itu,
sehingga setiap kali memandang Hong Kui, dia melihat seolah-olah wanita itu
tidak berpakaian. Penglihatan itu terus menggodanya, membuat dia selalu
terbayang akan hal yang mesra dan seringkali Kian Bu termenung. Dia tidak tahu
betapa Hong Kui seringkali tersenyum puas dan sepasang matanya kelihatan
bersinar-sinar karena wanita yang berpengalaman ini dapat menduga bahwa siasatnya
telah berhasil dan dia telah berhasil mengisi hati dan pikiran pemuda yang
dicintanya ini dengan nafsu berahi yang berkobar. Hanya berkat pendidikan yang
baik di Pulau Es saja yang membuat Kian Bu masih dapat bertahan dan selalu
menindas kobaran nafsu berahi itu. Akan tetapi, pemuda ini merasa tersiksa
sekali dan kini dia melihat setiap gerak-gerik Hong Kui sebagai sesuatu yang
amat indah dan manis membangkitkan berahinya. Apalagi memang sikap Hong Kui
tepat seperti yang dikatakan Siang In dahulu, yaitu genit memikat, baik cara
matanya memandang dan mengerling, cara bibirnya bergerak dalam berkata-kata
atau tersenyum, gerak lehernya, lengannya, pinggang dan pinggulnya ketika
berjalan, sentuhan-sentuhan halus ujung jari tangannya, harum wangi-wangian
yang keluar dari tubuhnya dan rambutnya, getaran pada suaranya yang mesra.
Bagaikan seekor laba-laba yang menjerat
seekor lalat, Hong Kui terus memperketat jeratnya dan matanya yang penuh
pengalaman itu melihat betapa lalat itu menjadi makin lemah, makin berkurang
daya tahan dan daya lawannya, sampai dia yakin benar bahwa lalat itu sudah siap
dan matang untuk dihisap darahnya. Dan malam itu, ketika mereka berdua
bermalam di sebuah rumah penginapan di dalam sebuah dusun, dia mengambil
keputusan untuk melakukan penerkaman terakhir. Dia sengaja memesan
masakan-masakan lezat dan arak wangi sampai dua guci besar. Ketika Kian Bu
menyatakan keheranannya, Hong Kui berkata sambil tersenyum manis.
“Kian Bu, hari ini kebetulan adalah hari ulang
tahunku, maka aku hendak merayakannya. Engkau tentu mau menemaniku merayakan
hari ulang tahunku, bukan?”
Wajah Kian Bu berseri. “Ah, tentu saja, Enci
Hong Kui! Dan biarlah aku mengucapkan selamat atas hari ulang tahunmu ini!”
Kian Bu menjura dan dibalas oleh Hong Kui sambil tersenyum.
“Engkau baik sekali, terima kasih. Mari kita
makan minum sekedarnya.”
Mereka duduk menghadapi meja yang penuh
hidangan, dan Hong Kui menuangkan arak wangi di dalam cawan mereka. Kian Bu
mengangkat cawan sambil berkata, “Semoga engkau panjang usia, banyak rejeki
dan berbahagia, Enci”
“Terima kasih!” Mereka mengangkat cawan lalu
minum arak itu.
“Kalau aku boleh bertanya, hari ini merupakan
ulang tahunmu yang ke berapa, Enci Hong Kui?”
Wanita itu memandang dengan mata dan mulut
berseri. “Coba kauterka, berapa kiranya umurku sekarang, Kian Bu?”
Kian Bu memandang wajah yang cerah itu. Dia
dapat menduga bahwa wanita ini tentu lebih tua daripada nampaknya, mengingat
bahwa suhengnya, Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek, dan sucinya, mendiang
Hek-wan Kui-bo, adalah seorang nenek. Akan tetapi melihat wajah yang cantik
itu, orang akan menduga bahwa wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima
tahun usianya. Dan Kian Bu yang sejak keluar dari Pulau Es sudah sangat
memperhatikan wanita, mengerti bahwa wanita paling suka mendengar dugaan orang
bahwa dia masih muda, maka sambil tersenyum dia menjawab, “Menurut dugaanku,
usiamu paling banyak dua puluh tahun, Enci.”
“Hi-hi-hik!” Hong Kui tertawa merdu sambil
menutupi mulutnya dan matanya mengerling tajam. “Masa kaukira aku semuda itu,
Kian Bu? Bukan paling banyak dua puluh tahun, melainkan dua puluh dua tahun.
Usiaku sudah dua puluh dua tahun, Kian Bu. Aihhh, tanpa kusadari aku sudah
menjadi sangat tua, bukan? Setua nenek-nenek....” Dia menarik napas panjang.
“Ah, siapa bilang engkau sudah tua, Enci? Sama
sekali tidak! Engkau masih sangat muda dan.... dan....” Kian Bu teringat bahwa
dia sudah terlanjur bicara, maka dia cepat menahan kata-katanya dan menunduk.
“Ya....? Mengapa tidak kauteruskan? Katakanlah
bahwa aku jelek dan tua.”
Kian Bu tidak dapat melanjutkan karena dari
pandang mata wanita itu, dia tahu bahwa wanita itu menertawakan dia. Hong Kui
juga tidak mau mendesak dan kembali mengisi arak ke dalam cawan Kian Bu yang
sudah kosong. Mereka makan minum dan karena pandainya Hong Kui bicara, Kian Bu
terpaksa menemaninya minum arak sampai dua guci besar itu habis memasuki perut
mereka! Malam telah gelap ketika dalam keadaan setengah mabok Kian Bu mencuci
muka dan mulut, menggosok gigi lalu memasuki kamarnya. Begitu membuka baju
karena arak membuat tubuhnya gerah dan melemparkan bajunya ke atas meja,
membuka sepatunya, dia lalu melempar tubuhnya yang hanya memakai celana itu
ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas.
Kian Bu hanyut dalam mimpi. Dia merasa seperti
sedang berlatih sin-kang di Pulau Es, di atas salju yang amat dingin. Seperti
ketika dia berlatih di waktu masih tinggal di pulau itu, dia duduk bersila di
atas salju yang lembut dan dingin itu, mengerahkan sin-kang melawan hawa
dingin sehingga uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Kemudian dia melihat ada
seekor ular bergerak perlahan berlenggak-lenggok mendekatinya dan ular itu
lalu menggelutnya. Dicobanya untuk melawan akan tetapi ular itu kuat sekali
sehingga dia terjengkang rebah terlentang. Ular besar itu menindihnya, membelit
dan menggelutnya. Tubuh ular itu licin halus dan hangat, dan ular itu
menjilat-jilat mukanya, matanya, hidungnya, bibirnya. Kemudian ular itu
mengeluarkan suara aneh, suara merintih dan mengeong seperti suara seekor
kucing! Dan dalam mimpinya, Kian Bu melihat betapa ular itu berubah menjadi
seekor kucing. Kucing putih berbulu tebal, lunak halus dan hangat, lalu kucing
itu menindih dan menggelutinya, menjilat-jilatkan lidah dan bibirnya yang basah
dan hangat itu ke pipinya dan mulutnya, sambil mengeluarkan suara lirih
mengerang.
Ketika kucing itu tidak hanya menjilat, akan
tetapi kini menggigit bibirnya dengan gigitan halus, Kian Bu terkejut dan
takut. Cepat dia meronta dan kucing itu terlempar didorongnya. Dia cepat
bangkit mengangkat tubuh atasnya dan matanya terbelalak memandang kepada tubuh
polos yang dihias rambut panjang itu. Kiranya Hong Kui telah duduk di atas
pembaringannya dan dadanya hanya tertutup rambut hitam panjang yang terurai
lepas. Kian Bu terbelalak memandang wajah yang cantik kemerahan dan sepasang
mata yang seperti mata kucing, jeli dan berkilauan aneh itu.
“Enci....” Dia berbisik dengan mata
terbelalak lebar. Hong Kui sudah menutupi dadanya dengan pakaiannya, akan
tetapi gerakan ini membuat tubuh yang menjadi setengah telanjang itu makin
menarik. Kiranya wanita itu telah memasuki kamarnya, dan hal ini tidak sukar
sama sekali bagi wanita yang lihai itu, dan telah menyalakan lampu tanpa
diketahui Kian Bu yang tadi tidur pulas.
“Kian Bu.... Kian Bu.... kasihanilah aku....”
Hong Kui lalu menubruk pemuda yang masih bengong itu dan menangis, memeluk
lehernya dan mendekapkan mukanya di dada pemuda yang telanjang itu.
“Enci.... apa.... apa artinya ini....?” Kian
Bu gelagapan.
“Artinya.... bahwa aku.... aku cinta padamu,
Kian Bu.... kaukasihanilah aku....” tangan Hong Kui terjulur ke arah lampu dan
di lain saat lampu itu pun padam. Kamar menjadi gelap sekali akan tetapi Kian
Bu tidak membutuhkan penerangan karena tubuhnya merasa betapa wanita itu
mendekap dan menciuminya penuh nafsu.
Kian Bu hanyalah seorang pemuda yang baru
menjelang dewasa. Dia masih hijau dan sebelumnya dia telah digoda secara halus
oleh Hong Kui. Tanpa disadarinya, dengan cerdik sekali Hong Kui telah
mengusahakan agar nafsu berahi pemuda remaja itu bangkit dan dia maklum akan
hasil usahanya itu ketika melihat Kian Bu seringkali melamun dan di waktu
berhadapan sering melihat pandang mata pemuda itu menjelajahi tubuhnya dari
leher turun sampai ke kaki. Kemudian, malam itu sengaja dia mengajak Kian Bu
minum banyak arak sampai setengah mabok sehingga oleh pengaruh arak, lenyap
sama sekalilah daya pertahanan batin Kian Bu dan kini pemuda itu hanyut dalam
kemesraan belaian dan bujuk rayu, terseret hanyut oleh gelombang nafsu berahi
yang dahsyat dari Hong Kui. Wanita itu merupakan guru yang amat pandai dalam
permainan cinta sehingga makin dalamlah Kian Bu tenggelam dan makin jauh dia
terhanyut sehingga semalam suntuk itu dilewatkan oleh Kian Bu sebagai suatu
malam yang amat indah dan nikmat.
Pada keesokan harinya, ketika mereka berdua
pagi-pagi sekali sudah melanjutkan perjalanan, Hong Kui telah menjadi kekasih
Kian Bu. Wanita ini telah berhasil menundukkan dan menguasai Kian Bu yang
menjadi tergila-gila, mabok oleh permainan cinta Hong Kui, dirayu oleh suara
aneh seperti kucing mengerang yang bagi Kian Bu merupakan pendengaran yang
menambah berkobarnya nafsu berahinya.
Mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandeng
tangan dan kadang-kadang mereka berhenti untuk berpelukan dan berciuman,
seolah-olah permainan cinta semalam suntuk tadi masih belum memuaskan dahaga
wanita itu yang memang tidak pernah mengenal kepuasan. Kian Bu menjadi makin
mabok. Dalam hal ilmu silat, dia jauh lebih lihai daripada Hong Kui, namun
dalam hal ilmu mengumbar nafsu berahi ini, dia merupakan seorang murid bodoh
dan mentah menghadapi Hong Kui yang amat pandai.
Demikianlah, Suma Kian Bu, pemuda perkasa
putera Pendekar Super Sakti dan Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang, jatuh
cinta dan tergila-gila ke dalam pelukan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, lupa
sama sekali bahwa wanita ini adalah seorang wanita cabul yang hidupnya
menghamba kepada nafsu berahinya. Akan tetapi di lain pihak, sebaliknya wanita
itu pun tergila-gila kepada Kian Bu. Selama hidupnya baru sekarang dia
mendapatkan seorang pria seperti pemuda ini yang selain tampan dan memiliki
kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada dia sendiri, juga merupakan seorang
pemuda yang romantis dan sebentar saja sudah hampir menandingi kelihaiannya
dalam permainan cinta! Perjalanan mereka menuju ke Telaga Sungari seringkali
tertunda karena setiap kali mereka berhenti untuk mencurahkan perasaan yang
penuh oleh hawa nafsu.
Pada suatu hari, lupa akan keadaan
sekelilingnya, dua orang itu duduk di bawah pohon yang teduh. Kian Bu duduk
dan wanita itu menyandarkan tubuh ke dadanya, mereka saling mencumbu dan Hong
Kui sudah mengeluarkan suara mengerang seperti seekor kucing manja.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.
“Kiranya Siluman Kucing dan kekasihnya berada di sini!”
Hong Kui dan Kian Bu terkejut. Cepat mereka
membetulkan letak pakaian mereka pada tubuh dan meloncat berdiri. Pertama-tama
yang muncul adalah Yu Ci Pok Si Siucai pembantu Tambolon dan yang tadi menegur
sambil tertawa mengejek. Lalu dari belakang mereka muncul pula Si Petani Liauw
Kui dan dari balik-balik pohon berlompatlah anak buah mereka, orang-orang suku
liar yang menjadi kaki tangan mereka.
Kian Bu menjadi marah sekah. Dia tidak menjadi
gentar dan mengambil keputusan untuk membasmi orang-orang ini. Dia marah
karena merasa malu bahwa tadi ada orang melihat dia bercumbu dengan Hong Kui.
Akan tetapi selagi dia hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara meledak,
kelihatan asap mengebul dan dari dalam asap itu muncul seorang nenek berpakaian
serba hitam. Terkejutlah Kian Bu karena dia mengenal nenek ini sebagai orang
yang berada di pesta Tambolon tempo hari. Nenek itu memang bukan lain adalah
Durganini, guru dari Tambolon!
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah
sekali, merasa bahwa kesenangannya terganggu. Sambil menggereng dia sudah
mengeluarkan sebuah peluru peledak dan melontarkannya ke arah nenek yang
muncul seperti itu. Akan tetapi nenek itu tertawa, menudingkan telunjuknya ke
arah senjata rahasia itu dan.... senjata rahasia itu meledak di udara!
“Aihhh....!” Hong Kui menjerit dengan kaget
sekali.
Kian Bu juga maklum bahwa nenek itu amat
lihai, maka melihat betapa kini anak buah Tambolon ternyata lebih banyak lagi,
dia berbisik, “Mari kita pergi!”
Hong Kui mengangguk, kedua tangannya sibuk
melempar-lemparkan senjata peledak ke kanan kiri dan depan, kemudian bersama
Kian Bu dia meloncat ke belakang dan merobohkan empat orang anak buah mereka,
terus menghilang pada saat senjata-senjata itu meledak dan tempat itu penuh
asap.
“Siluman Kucing, hendak lari ke mana kau?”
terdengar Si Petani membentak.
“Bresss!” Liauw Kui yang tadi melihat ke mana
berkelebatnya dua orang itu dan menerjang dengan lompatan dahsyat, bertemu
dengan hantaman Kian Bu. Dia menangkis, dan benturan tenaga dahsyat membuat Si
Petani terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia bergulingan dan cepat
meloncat ke belakang dengan kaget bukan main. Kian Bu dan Hong Kui mempergunakan
kesempatan itu untuk melompat jauh dan terus melarikan diri.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
tertawa melengking tinggi. Mendengar suara tertawa yang seolah-olah mengikuti
mereka ini, Kian Bu dan Hong Kui bergidik ngeri karena suara tertawa itu
seperti menikam-nikam jantung mereka. Kemudian terdengar suara tinggi nyaring
yang mengandung wibawa aneh, “Perempuan genit, kau tidak bisa lari lagi,
hi-hik-hik! Kakimu lumpuh tak bertenaga, kau robohlah....!”
“Enci Hong Kui....!” Kian Bu terkejut sekali
ketika melihat betapa tiba-tiba wanita kekasihnya itu terhuyung dan tentu sudah
roboh kalau saja dia tidak cepat-cepat menyambarnya dan memondongnya lalu
berlari lebih cepat lagi sambil memondong tubuh Hong Kui.
“Haiii.... pemuda remaja yang tampan....!
Berhentilah...., berhentilah...., jangan berlari lagi.... berhenti....!” Suara
yang tinggi nyaring itu melengking dan bergema, akan tetapi Kian Bu tetap saja
berlari terus, malah lebih cepat karena pemuda yang maklum bahwa nenek itu
memiliki ilmu hitam yang luar biasa, telah menulikan telinganya dan sama
sekali tidak mendengarkan suara itu melainkan berlari terus sampai akhirnya
dia memasuki sebuah hutan besar dan jauh meninggalkan para pengejarnya.
Dua buah lengan yang halus panjang itu merayap
seperti ular dan merangkul lehernya. “Kian Bu, kekasihku.... kau telah
menyelamatkan aku....” Dan Hong Kui menarik leher itu, terus menciumi Kian Bu
yang terpaksa menghentikan larinya untuk menyambut ciuman kekasihnya.
“Tempat ini sunyi dan teduh.... kita lanjutkan
yang tadi terganggu orang....” Hong Kui yang sudah turun dari pondongan itu
memeluk pinggang dan menarik Kian Bu ke atas rumput.
“Jangan, Enci. Mungkin mereka sebentar lagi
akan menyusul ke hutan ini. Kita harus lari terus sampai benar-benar terlepas
dari mereka. Nenek itu mengerikan sekali. Tadinya kukira dia sudah mampus di
waktu ruangan pesta Tambolon terbakar.”
Hong Kui menghela napas kecewa, akan tetapi
dia tidak membantah ketika Kian Bu mengajak dia terus berjalan menyusup-nyusup
hutan lebat.
“Dia memang bukan manusia!” katanya
bersungut-sungut. “Dan aku hanya pernah mendengar namanya saja, baru sekarang
aku bertemu dengan iblis tua itu. Hihh, bukan main dia! Bukan saja dapat
membikin senjata rahasia peledakku tidak berdaya, akan tetapi dari jauh dia
bisa memaksaku roboh hanya dengan suaranya! Dia adalah seorang manusia iblis
dari See-thian, dan kabarnya di Pegunungan Himalaya banyak terdapat orang-orang
ahli ilmu setan seperti dia. Namanya Durganini dan dia adalah seorang di
antara guru-guru dari Tambolon.”
“Sebetulnya tidak terlalu aneh,” Kian Bu
berkata. “Orang yang memiliki kekuatan sihir tidak sukar meledakkan senjatamu
di udara dan tadi dia menggunakan khi-kang yang mengandung kekuatan sihir
untuk merobohkanmu. Kalau kau mengerahkan sin-kang, atau kalau kau menulikan
telinga tidak mendengar suaranya, tentu dia tidak akan dapat mempengaruhimu.
Ahli sihir seperti dia itu kalau bertemu dengan Ayah tentu celaka!” tiba-tiba
Kian Bu menghentikan kata-katanya karena dia teringat bahwa tidak semestinya
dia membawa-bawa nama ayahnya, apalagi memperkenalkan ayahnya kepada Hong Kui.
Akan tetapi, pemuda int terlalu memandang
rendah Hong Kui yang luar biasa cerdiknya. Semenjak Kian Bu bertekuk lutut
oleh rayuan mautnya, dia selalu berusaha menyelidiki riwayat Kian Bu yang
benar-benar telah merampas hatinya, yang membuat dia jatuh cinta. Akan tetapi
pemuda itu selalu merahasiakan riwayatnya, dan dia hanya berhasil mengetahui
bahwa pemuda ini mempunyai she (nama keturunan) Suma. Ini saja sudah
menimbulkan dugaan karena dia melihat bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang
amat kuat dari melihat she Suma serta sikap pemuda yang ingin merahasiakan
dirinya ini sudah timbul dugaannya bahwa agaknya pemuda luar biasa ini tentu
ada hubungannya dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti yang dia tahu
bernama Han dan ber-she Suma pula. Namun dengan cerdiknya, karena melihat
pemuda itu merahasiakan riwayatnya dia pura-pura tidak menduga apa-apa.
Sekarang mendengar betapa pemuda itu memandang rendah Durganini dan mengatakan
bahwa ilmu sihir itu tidak ada artinya jika bertemu dengan ayah pemuda ini, dia
merasa yakin bahwa tentu ayah pemuda ini adalah Pendekar Super Sakti atau juga
yang disebut Pendekar Siluman karena pendekar itu memiliki ilmu sihir yang
kabarnya amat mujijat! Diam-diam hati wanita ini menjadi girang bukan main.
Kekasihnya adalah putera Pendekar Super Sakti! Kalau saja dia bisa menjadi
mantu Majikan Pulau Es, betapa akan bangga dan bahagia hatinya. Maka, dia mengambil
keputusan untuk tidak melepaskan pemuda ini dari cerigkeramannya.
Tiba-tiba Kian Bu memegang tangannya. “Ada
derap kaki kuda dari jauh menuju ke sini! Mari kita bersembunyi di sana!”
Tanpa menanti jawaban, sambil memegang lengan wanita itu, Kian Bu melompat ke
atas dan Hong Kui merasa kagum bukan main ketika tubuhnya terbawa melayang
seperti terbang. Mereka bersembunyi di dalam pohon, di cabang yang tinggi di
antara daun-daun lebat. Hong Kui merangkul dan mencium telinga Kian Bu,
hatinya bangga bukan main. Dia sendiri memiliki gin-kang yang sukar dicari
tandingannya, namun dibandingkan dengan pemuda kekasihnya ini, dia kalah jauh!
Dan pendengaran telinga pemuda itu pun tajam bukan main. Dia sendiri belum
mendengar apa-apa dan Kian Bu sudah tahu akan datangnya rombongan kuda. Setelah
berada di atas pohon, baru dia mendengar suara itu, bahkan tak lama kemudian
mereka melihat bahwa dari kiri tampak serombongan orang berkuda. Ada tujuh
belas orang berkuda dan di belakang barisan ini terdapat dua buah kereta
tertutup yang agaknya terisi muatan-muatan. Kereta pertama terhias bendera
hitam yang tidak jelas gambarnya dan kereta ke dua jelas adalah kereta penuh
dengan muatan barang.
Kian Bu menjadi lega karena melihat bahwa
mereka itu bukanlah para pengejar, bukan anak buah Tambolon seperti yang
dikhawatirkannya tadi. Ketika dia menoleh dan memandang temannya, dia melihat
wanita itu tersenyum manis.
“Eh, kenapa kau tersenyum?”
Dengan lagak genit Hong Kui mencolek dagu
Kian Bu. “Kita bersembunyi di atas kereta yang terakhir itu. Tak usah
capai-capai berjalan kaki dan tidak akan terlihat oleh Si Nenek Iblis kalau dia
mengejar kita.”
Kian Bu mengangguk. Buah pikiran yang baik
sekali. Memang atap kereta itu rata dan cukup lebar. Kalau mereka berdua rebah
di atas atap yang tertutup pinggiran atap tentu tidak kelihatan dari bawah.
Maka ketika kereta yang terakhir dan yang muat barang itu lewat, mereka
meloncat turun sambil mengerahkan gin-kang mereka sehingga ketika kedua kaki
mereka hinggap di atas atap, seperti ditahan oleh per yang halus dan tidak
menimbulkan guncangan sehingga tidak terasa sedikit pun juga oleh kusir kereta
itu. Cepat mereka berdua lalu menggulingkan tubuh rebah berdampingan di atas
atap kereta.
“Hi-hik, enak di sini....!” Hong Kui sudah
terkekeh genit, membalikkan tubuh menghadapi kekasihnya, kaki dan tangannya
sudah memeluk.
“Hishhh.... jangan di sini! Siang-siang
begini.... dan malu kalau kelihatan orang!” Kian Bu berbisik mencela sambil
bergurau, akan tetapi dia mencium pipi kekasihnya yang cemberut oleh
penolakannya itu sehingga Hong Kui tersenyum lagi. Mereka lalu rebah
menelungkup dan mengintai dari atas pinggiran atap ke depan.
Tiba-tiba terdengar suara bersuit nyaring dan
penunggang kuda terdepan berteriak kaget karena kaki kudanya terperosok ke
dalam lubang sehingga kaki depan kuda itu patah dan kudanya roboh terjungkal.
Akan tetapi, betapa kaget hati Kian Bu melihat penunggang kuda ini tidak ikut
jatuh, bahkan mencelat ke atas, berpoksai di udara dan hinggap di atas punggung
kuda penarik kereta pertama. Sungguh merupakan kepandaian yang mengagumkan.
Akan tetapi kekagumannya berubah menjadi kekagetan dan kengerian ketika dia
melihat orang itu yang melihat kudanya sekarat, dari atas kuda penarik kereta
lalu menggerakkan tangan kanannya, seperti memukul ke arah kudanya yang
sekarat. Serangkum hawa pukulan jarak jauh mendorong bubuk putih seperti kapur
yang mengeluarkan bau busuk menyambar ke arah kuda sekarat itu. Terdengar
ledakan keras dan kuda itu terbakar habis sampai menjadi abu! Tentu saja Kian
Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa rombongan ini terdiri dari
orang-orang yang demikian lihainya, bahkan belum tentu kalah lihai
dibandingkan dengan para pengejarnya, orang-orang liar dari kaki tangan
Tambolon! Dia melirik ke arah Hong Kui dan dia melihat betapa kekasihnya itu
hanya tersenyum saja seolah-olah tidak pernah terjadi kengerian seperti yang
disaksikannya tadi. Betapa tabah hati kekasihnya yang cantik ini!
Akan tetapi, perhatiannya sudah tertarik lagi
oleh munculnya beberapa belas orang dibarengi tanda-tanda suitan dan ternyata
yang muncul adalah rombongan perampok yang diketuai oleh seorang laki-laki
bercambang bauk yang bertubuh tinggi besar. Mereka itu pun kelihatan heran dan
jerih melihat betapa kuda tadi dapat terbakar habis, maka kini kepala rampok
yang agaknya setelah melihat peristiwa itu bersikap hati-hati dan lunak, lalu
berkata, suaranya parau dan keras, “Sahabat-sahabat yang lewat harap suka
menolong kami orang-orang kekurangan dengan sedikit sedekah sebagai pembagian
rejeki!”
Dari kereta pertama itu tiba-tiba terdengar
suara yang berat dan malas-malasan, “Kalian menghendaki sedekah? Nih, maju dan
terimalah!”
Kepala rampok menjadi girang, lalu meloncat
dekat kereta dan ketika dari dalam kereta itu menyambar sebuah pundi-pundi, dia
cepat menyambutnya. Pundi-pundi itu berat dan segera dibuka tali pengikatnya.
Ketika pundi-pundi terbuka dan tampak potongan-potongan emas berkilauan,
kepala rampok itu terkejut, terheran dan tentu saja menjadi girang bukan main.
Dia mengelus jenggot yang lebat, mengucak-ucak matanya kemudian tertawa dan
menjura ke arah kereta. “Aihh, kiranya kami bertemu dengan sahabat yang amat
dermawan, harap suka memaafkan kami yang telah membikin kaget....”
“Hi-hik, hendak kulihat siapa yang kaget.”
Hong Kui terkekeh dan berbisik sambil terus mengintai dan tangannya
mengelus-elus tengkuk Kian Bu penuh rasa sayang. Kian Bu tidak mengerti mengapa
kekasihnya berkata demikian, akan tetapi dia terus mengintai dan tiba-tiba dia
terbelalak saking kaget dan herannya.
Kepala rampok itu tiba-tiba mengeluarkan
seruan aneh, lalu kedua tangannya menegang kemudian saling menggaruk telapak
tangan, kemudian kedua tangan menggaruk mukanya, lehernya, dan tak lama kemudian
dia sudah berteriak-teriak dan berkelojotan di atas tanah, kedua tangan
menggaruki mukanya, mencakar mukanya berkali-kali sampai kulit mukanya robek
berdarah, akan tetapi terus digarukinya sambil menjerit-jerit. Pundi-pundi emas
itu terjatuh ke atas tanah dan ketika sebuah lengan terjulur keluar dari tenda
kereta pertama dan dengan jari-jari terbuka bergerak, tiba-tiba pundi-pundi itu
seperti tersedot dan terbang ke arah tangan itu yang segera lenyap kembali ke
balik tenda atau tirai kereta. Melihat demonstrasi tenaga sin-kang yang dahsyat
ini, tentu saja Kian Bu terkejut bukan main.
Kini anak buah perampok itu sadar bahwa kepala
mereka telah terkena racun, maka dengan marah mereka berteriak-teriak dan
menyerbu dengan pedang atau golok terhunus. Dan tujuh belas orang berkuda itu
dengan ketenangan seperti patung-patung hidup, membiarkan para perampok itu
menyerbu. Kemudian, mereka itu melontarkan bermacam bubuk racun yang beraneka
warna, ada yang putih, ada yang merah dan ada pula yang hitam. Akan tetapi
akibatnya amat mengerikan. Yang terkena bubuk putih meledak dan terbakar
hidup-hidup dan yang terkena bubuk merah berkelojotan dan menggaruki tubuh
seperti Si Kepala Rampok, sedangkan yang terkena bubuk hitam berkelojotan dan
tubuh mereka mencair dan mengeluarkan bau yang amat busuk.
Melihat pembunuhan yang amat mengerikan ini,
Kian Bu menjadi marah dan hampir saja dia meloncat turun dari atas atap kereta,
akan tetapi Hong Kui merangkul lehernya dan mencegahnya. Ketika dia hendak
membantah, sebelum ada suara keluar dari mulutnya, mulut itu sudah ditutup oleh
bibir Hong Kui sampai lama sehingga Kian Bu menjadi nanar terbuai nafsu. Hong
Kui melepaskan ciumannya dan berbisik dekat telinganya, “Mereka begitu lihai,
sedang kita masih dikejar nenek iblis, mengapa mencari bahaya?”
Mau tidak mau Kian Bu terpaksa membenarkan
pendapat kekasihnya itu. Jelas bahwa mereka ini merupakan lawan yang amat
lihai, apalagi orang yang berada di dalam kereta tadi. Sedangkan menghadapi
nenek iblis itu saja amat berbahaya, kalau ditambah mereka ini tentu dia akan
kewalahan. Dia terpaksa diam saja menonton akan tetapi merasa hatinya seperti
diremas-remas dan ada rasa malu di dalam lubuk hatinya mengapa dia mendiamkan
saja pembantaian manusia sedemikian kejamnya tanpa turun tangan sama sekali.
Sungguh amat tidak sesuai bahkan berlawanan dengan sifat pendekar yang
ditanamkan oleh ayah bundanya dalam dirinya!
Pemandangan itu amat mengerikan. Empat belas
orang perampok itu roboh semua dan kini Kian Bu melihat betapa para korban
bubuk putih terbakar menjadi abu seperti bangkai kuda tadi, yang terkena bubuk
merah menggaruk-garuk kulit daging sampai habis dan mereka mati menjadi
kerangka-kerangka karena kulit dan daging mereka habis dimakan racun merah
sedangkan yang terkena racun hitam tubuhnya mencair dan meleleh menjadi cairan
kuning yang baunya amat busuk! Hawa dari racun-racun itu ternyata amat jahat
karena pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan di dekat tempat itu menjadi layu dan
daun-daunnya menjadi kuning dan rontok.
“Lanjutkan perjalanan, Telaga Sungari tak jauh
lagi!” Tiba-tiba terdengar suara berat dan malas dari dalam kereta. Rombongan
bergerak lagi dan kini kereta yang ditumpangi Kian Bu dan Hong Kui dilarikan
cepat menyusul kereta depan dan ternyata kereta ini sekarang berada di depan
sendiri, di belakang dua orang penunggang kuda yang agaknya menjadi penunjuk
jalan, sedangkan kereta yang ditumpangi orang lihai tadi berada di belakang.
“Hi-hik, kebetulan sekali, Kian Bu. Mereka
menuju ke Telaga Sungari juga!” Hong Kui berbisik, kemudian membalikkan
tubuhnya rebah terlentang menatap langit yang indah sekali terbakar api merah
dari sinar matahari senja.
Sambil rebah dan bercumbuan tanpa mengeluarkan
suara, Kian Bu dan Hong Kui mendengarkan percakapan dua orang berkuda di depan
kereta itu dan dari percakapan kedua orang itu tahulah mereka bahwa mereka ini
adalah kelompok anggauta perkumpulan Lembah Bunga Hitam! Kiranya belasan orang
ini adalah ahli-ahli racun jagoan dari Lembah Bunga Hitam dan melakukan perjalanan
ke Telaga Sungari dipimpin sendiri oleh Hek-hwa Lo-kwi (Iblis Tua Bunga Hitam)
Thio Sek yang berada di dalam kereta itu. Kian Bu menjadi terkejut sekali.
Pantas saja orang-orang ini demikian lihai, dan kakek di dalam kereta itu
mengerikan sekali. Kiranya Ketua Lembah Bunga Hitam dengan para jagoannya!
Dari percakapan itu Kian Bu mendengar bahwa selama beberapa bulan ini Hek-hwa
Lo-kwi bersama kaki tangannya tidak tinggal di Lembah Bunga Hitam dan selalu
berpindah tempat karena mereka hendak menjauhkan diri dan bersembunyi dari
kejaran dan intaian dua orang musuh besar yang amat lihai.
“Kalau Pangcu (Ketua) sudah selesai melatih
diri dengan ilmu pukulan baru yang dirahasiakan, beliau tentu akan menghadapi
dua orang musuh besar itu dan kita tidak perlu merantau lagi,” kata yang
seorang.
Kian Bu tidak tahu siapakah dua orang musuh
besar yang dimaksudkan oleh dua orang pembicara itu. Dan Hong Kui berbisik,
“Musuh besar dari Ketua Hek-hwa-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bunga Hitam)
adalah suhengku.”
“Hek-tiauw Lo-mo?”
“Benar, mereka bermusuhan karena memperebutkan
kitab curian. Justeru karena mempelajari ilmu dari kitab curiannya itulah
tubuhku keracunan.”
Kian Bu mengangguk-angguk. Dia tidak tahu
bahwa dugaan Hong Kui itu hanya sebagian kecil saja yang benar. Memang Ketua
Lembah Bunga Hitam bermusuhan dengan Ketua Pulau Neraka, karena memperebutkan
kitab yang mereka curi dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir. Akan tetapi
yang membuat ketua ini melarikan diri dan menghindari pertandingan dengan dua
orang pengejarnya, bukanlah Hek-tiauw Lo-mo, melainkan bekas rekannya, yaitu
Louw Ki Sun, kakek pelayan Si Dewa Bongkok, dan Kok Cu, murid terkasih dari Si
Dewa Bongkok yang amat lihai. Dia tahu bahwa kedua orang itu telah menerima
tugas dari Si Dewa Bongkok untuk melakukan pengejaran dan merampas kembali
kitab yang dicurinya bersama Hek-tiauw Lo-mo. Dia tidak takut menghadapi
mereka, akan tetapi karena maklum akan kelihaian mereka, terutama murid Dewa
Bongkok, dia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi korban dan di samping
itu dia sedang melatih ilmu pukulan dahsyat yang dipelajarinya dari kitab
curian itu. Kini, melihat bahwa telah tiba musimnya anak naga keramat akan
dibawa keluar oleh induknya di permukaan Telaga Sungari, maka dia membawa anak
buahnya ke telaga itu karena dengan bantuan anak naga itu, dia akan dapat
menguasai ilmu pukulan yang dahsyat itu secara lebih cepat dengan hasil yang
amat hebat sehingga dia tidak akan takut lagi menghadapi lawan yang bagaimana
tangguhpun juga.
Malam itu terang bulan dan suasana di atas
kereta itu romantis dan indah sekali. Cahaya bulan keemasan langsung menimpa
tubuh mereka, kadang-kadang diselimuti bayangan halus pohon-pohon di kanan kiri
kereta. Kian Bu makin terpesona dan mabok melihat kulit tubuh kekasihnya yang
sengaja membuka pakaian itu bermandikan cahaya bulan dan untuk kesekian
kalinya dia tidak dapat menolak rayuan Siluman Kucing itu.
Karena maklum bahwa mereka berdekatan dengan
orang-orang pandai dan berbahaya, apalagi Ketua Lembah Bunga Hitam berada di
dalam kereta di belakang mereka, Hong Kui terpaksa harus mengerahkan seluruh
kekuatan sin-kangnya untuk menahan diri sehingga dari kerongkongannya tidak
terlontar suara kucing yang biasanya dilakukannya kalau dia sedang tenggelam
dalam permainan cinta. Dia hanya merintih lirih.
Kian Bu sudah tertidur pulas kecapaian, tidur
dengan senyum kepuasan di bibirnya, berbantalkan lengan sendiri, sedangkan
Hong Kui yang rambut dan pakaiannya masih mawut itu terlentang memandang langit
yang indah dengan mata merem-melek digulung kenikmatan ketika tiba-tiba
terdengar suara gerengan seperti seekor singa dan kereta itu dihentikan.
Hong Kui terkejut dan miringkan tubuhnya
mengangkat kepala dan memandang ke depan. Dua orang penunggang kuda sudah
berhenti dan mereka melihat datangnya seorang laki-laki berkuda. Laki-laki yang
bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menunggang seekor kuda putih yang besar
dan jubahnya yang lebar melambai-lambai ketika kudanya berlari congklang
mencegat rombongan itu.
“Eh, kenapa berhenti?” Kian Bu berbisik dan
mengangkat tangannya, merangkul dada kekasihnya.
“Ssssh....” Hong Kui memberi isyarat agar
pemuda itu tidak ribut. Kian Bu kini terbangun dan cepat dia pun membalikkan
tubuhnya, mengintai ke depan.
“Wah.... dia....?” bisiknya kaget ketika dia
mengenal penunggang kuda, laki-laki tinggi besar itu yang ternyata bukan lain
adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!
Akan tetapi kembali Hong Kui memberi isyarat
agar dia tidak bersuara, dan mereka lalu mengintai ke depan dengan lengan
saling merangkul dan mereka menelungkup di atas kereta.
“Orang she Thio, bujang hina-dina! Hayo
keluar, manusia tak tahu malu. Hayo keluar dan kembalikan kitabku yang
kaucuri!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak dengan suaranya yang nyaring dan
menggetarkan hutan itu.
Dari dalam kereta yang berada di belakang
terdengar suara tertawa bergelak, dan berbareng dengan berkelebatnya bayangan
hitam, seorang kakek tinggi kurus bermuka tengkorak dan berpakaian serba hitam
telah berdiri di depan kuda yang ditunggangi Hek-tiauw Lo-mo. Kakek tinggi
kurus bermuka tengkorak ini adalah Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek.
“Ha-ha-ha, engkau maling rendah berani memaki
orang! Kitab itu adalah milik bekas majikanku, Si Dewa Bongkok dari Istana
Gurun Pasir. Engkaulah yang menjadi maling! Aku telah meminjamkan sebagian
kitab kepadamu, dan sekarang telah kuambil kembali karena akulah yang berhak
memiliki kitab itu. Pergilah, Hek-tiauw Lo-mo, sebelum kau kutangkap sebagai
maling hina!” Hek-tiauw Lo-mo mengeluarkan suara memekik nyaring dan dari balik
pohon-pohon berserabutan keluarlah orang-orang Pulau Neraka yang tadi
bersembunyi. Jumlah mereka ada lima belas orang dan mereka merupakan
orang-orang pilihan yang mengawal ketua mereka. Semenjak Hek-tiauw Lo-mo gagal
dalam membantu para pemberontak, dia lalu kembali ke tempat di mana berkumpul
orang-orang Pulau Neraka yang telah melakukan pendaratan di daratan besar dan
pada suatu malam kitabnya yang hanya sepotong, yaitu bagian yang dapat
dirampasnya ketika dia dan Thio Sek mencuri kitab dari Dewa Bongkok, ternyata
telah dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam itu yang telah lama menanti-nanti
saat dan kesempatan itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan melakukan
penyelidikan dan pengejaran.
Kitab milik Dewa Bongkok yang dicuri oleh
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu
mujijat tentang pukulan-pukulan beracun, akan tetapi karena tadinya mereka
berebutan sehingga kitab itu terobek menjadi dua, maka isi kitab yang hanya setengah
itu tidak begitu banyak manfaatnya. Karena itu mereka berdua selalu bermusuhan
untuk merebut setengah bagian kitab yang mereka butuhkan, dan kini dengan akal
curang, selagi Hek-tiauw Lo-mo sibuk dengar mengejar kedudukan membantu
pemberontak, Ketua Lembah Bunga Hitam yang dahulunya adalah pelayan Dewa
Bongkok itu akhirnya dapat mencuri bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo dan
yang dijaga oleh para anak buahnya, yaitu orang-orang Pulau Neraka.
Kini setelah anak buahnya muncul, Hek-tiauw
Lo-mo melorncat turun dari kudanya dan menerjang Hek-hwa Lo-kwi sehingga mereka
lalu saling serang dengan dahsyatnya. Adapun anak buah Lembah Bunga Hitam
sudah bertempur melawan belasan orang Pulau Neraka. Malam yang indah di bawah
sinar bulan purnama itu kini berubah menjadi menyeramkan karena pertempuran
antara dua kelompok ahli racun yang lihai itu. Karena orang-orang Lembah Bunga
Hitam maklum bahwa orang-orang Pulau Neraka yang bermuka menyeramkan itu adalah
orang-orang yang sudah kebal tubuh mereka terhadap racun, maka mereka tidak
mau menggunakan senjata-senjata beracun mereka. Dalam pertempuran-pertempuran
yang lalu mereka sudah cukup maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka
tentang hal racun sehingga kalau mereka mengeluarkan bubuk-bubuk racun itu jangan-jangan
malah senjata makan tuan, maka kini mereka menyerbu dengan senjata tajam di
tangan dan menggunakan ilmu silat untuk mengalahkan musuh besar mereka.
Melihat perang tanding yang dahsyat itu, Hong
Kui hendak bangkit. “Suheng bisa celaka kalau tidak kubantu....”
Akan tetapi dua lengan yang kuat memeluknya
dan Kian Bu berkata, “Hek-tiauw Lo-mo adalah bekas musuhku, kalau kau membantu
dia, terpaksa aku pun akan membantu lawannya.”
“Eihhh....?”
“Karena itu sebaiknya kita jangan mencampuri mereka,
Enci.”
Hong Kui menatap wajah pemuda itu, lalu
tersenyum dan merangkul kemudian menciumi kekasihnya dengan penuh nafsu.
Dicumbu dan dibelai oleh wanita yang amat cantik jelita dan pandai memikat hati
ini, Kian Bu kembali mabok dan tenggelam sehingga selagi di bawah kereta kedua
golongan itu bertanding mati-matian, di atas atap kereta itu dua orang ini
bemain cinta tanpa mempedulikan keadaan di sekitar mereka!
“Eh, lihat ada orang....!” Tiba-tiba Kian Bu
mendorong halus tubuh Hong Kui yang menindihnya dan menuding ke kiri. Hong Kui
menengok dan benar saja. Mereka melihat sesosok bayangan manusia dengan
gerakan cepat dan ringan berloncatan lalu berindap-indap menghampiri kereta di
belakang tadi, kereta yang tadi ditumpangi Ketua Lembah Bunga Hitam. Kemudian
bayangan yang ternyata adalah seorang kakek berambut putih itu menyelinap
masuk dan tak lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah kitab.
“Dia mencuri kitab!” bisik Hong Kui dan tangam
kiri wanita ini bergerak, sebuah benda bulat melayang ke arah kereta di
belakang itu.
“Darrrr....!” Kereta itu meledak dan hancur,
akan tetapi kakek itu dapat meloncat ke samping menghindar.
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang sedang
bertanding ramai itu, cepat menengok dan melihat kakek itu, mereka terkejut
sekali.
“Dia mencuri kitab itu....!” teriak Hek-hwa
Lo-kwi dan seperti mendapat komando saja, mereka lalu meloncat ke depan. Kakek
yang mengambil kitab dari dalam kereta itu cepat melarikan diri dan dikejar
oleh dua orang datuk yang melihat betapa kitab mereka yang saling diperebutkan
itu dilarikan orang.
“Wah, jadi ramai sekarang....” kata Kian Bu
yang melihat betapa orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Lembah Bunga Hitam
menjadi bingung melihat ketua mereka berhenti bertempur dan mengejar seorang
kakek. Mereka lalu berlari pula ikut mengejar dan otomatis pertempuran pun
berhenti.
“Hayo kita nonton keramaian!” Hong Kui
terkekeh genit, menggelung rambutnya, membereskan pakaiannya dan bersama Kian
Bu dia lalu meloncat turun dari atas kereta. Sunyi di tempat itu karena tidak
ada seorang pun di situ, semua telah melakukan pengejaran. Mereka lalu berlari
cepat mengejar ke arah larinya semua orang itu, yaitu ke utara.
Kakek tua berambut putih itu cepat sekali
larinya sehingga malam lewat, belum juga dua orang datuk lihai itu dapat
menyusulnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat membebaskan diri dari dua orang
kakek yang seolah-olah menjadi bayangannya sendiri dan selalu mengikuti ke
manapun dia pergi itu. Kakek tua itu tidak berani berhenti, karena dia maklum
bahwa menghadapi pengeroyokan mereka berdua, dia tidak akan mampu menang.
Kakek tua yang rambut dan jenggotnya sudah
putih itu menjadi bingung juga dan ketika dia melihat sebuah dusun di luar
hutan dia cepat memasuki dusun itu dan tak lama kemudian dia sudah menyelinap
memasuki sebuah warung nasi yang masih sunyi karena baru dibuka dan langsung
dia bersembunyi di dalam. Pemilik warung ini hanya melihat bayangan berkelebat
dan bayangan itu lenyap sehingga dia bingung dan menggosok-gosok kedua matanya,
kemudian menggerakkan pundaknya dan menggeleng kepala karena mengira bahwa dia
tentu salah lihat.
Akan tetapi tak lama kemudian dia melihat dua
orang kakek raksasa yang wajahnya mengerikan dan sikapnya bengis muncul di
depan warungnya, pemilik warung ini menjadi terkejut dan ketakutan, yakin bahwa
dia kini berhadapan dengan siluman-siluman maka dengan tubuh gemetar dia lalu
berlutut dan bersembunyi di balik meja!
Yang muncul itu memang Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi dan memang wajah mereka amat menyeramkan. Hek-hwa Lo-kwi
kelihatan seperti tengkorak hidup, sedangkan wajah Hek-tiauw Lo-mo memang
seperti raksasa menakutkan dan mulutnya bertaring. Akan tetapi pada saat kedua
orang datuk ini tiba di depan warung, pada saat yang sama datang pula dua orang
yang begitu melihat mereka menjadi kaget sekali. Dua orang ini bukan lain
adalah Ceng Ceng dan Topeng Setan! Ketika Ceng Ceng melihat dua orang kakek
yang pernah dikenal dan dilawannya ini, dia menjadi terkejut sekali. Akan
tetapi dasar dia seorang gadis yang tidak mengenal takut, apalagi ada Topeng
Setan di situ, dia memandang rendah dua orang datuk ini dan dengan sikap angkuh
dia lalu membuang muka dan hendak memasuki warung itu karena memang dia tadi
mengajak Topeng Setan untuk mengisi perutnya yang lapar di warung itu.
Hek-tiauw Lo-mo yang sudah sangat bernafsu
untuk merampas kembali kitab yang kini telah utuh karena bagiannya dan bagian
Hek-hwa Lo-kwi sudah disatukan dan yang telah dicuri dari dalam kereta oleh
kakek berambut putih, tidak sabar lagi dan dia agaknya lupa dan tidak mengenal
lagi kepada Ceng Ceng.
Maka melihat seorang gadis cantik yang
sikapnya angkuh mendahuluinya masuk ke warung, dia lalu meloncat ke pintu dan
membentak, “Bocah hina mundurlah!”
Tentu saja seketika perut Ceng Ceng menjadi
panas mendengar sebutan “bocah hina” tadi, maka melihat Ketua Pulau Neraka itu
melangkah hendak mendahuluinya memasuki pintu, langsung saja dia memukul
dengan tangan terbuka ke arah perut kakek tinggi besar itu. Pukulan beracun,
pukulan maut!
Barulah Hek-tiauw Lo-mo terkejut ketika dia
merasa ada angin dahsyat menyambar dari pukulan, bukan hanya menunjukkan adanya
tenaga sin-kang yang cukup kuat, akan tetapi terutama sekali hawa beracun yang
hebat keluar dari telapak tangan gadis itu!
“Aihhh....!” Dia berseru dan tentu saja dia
pun cepat menangkis dan mengerahkan tenaganya karena baru sekarang dia
teringat siapa adanya wanita ini. Ceng Ceng sendiri karena merasa benci dan
mendendam kepada Hek-tiauw Lo-mo yang telah membuat nyawanya terancam maut
karena pukulan beracun Hek-coa-tok-ciang yang dijatuhkan kepadanya kini
menggunakan pukulan beracun yang mematikan untuk membalas dendam.
“Dessss....!” Dua tangan yang sama-sama
mengandung racun jahat itu saling bertemu dan akibatnya Ceng Ceng terlempar
dan hampir terjengkang kalau tidak cepat lengannya disambar oleh Topeng Setan.
Hek-tiauw Lo-mo yang hanya tergetar tangannya memandang kepada Ceng Ceng sambil
tertawa.
“Hah! Kiranya engkau belum mampus?”
Dapat dibayangkan betapa marah hati dara itu.
Dalam kemarahannya, dia sampai lupa diri dan berkata kepada Topeng Setan
dengan suara memerintah, “Paman, bunuh orang ini!”
Kelihatannya memang aneh. Orang tua bermuka
buruk itu tanpa banyak cakap lagi agaknya amat mentaati perintah Si Dara muda
jelita itu karena tanpa berkata apa-apa dia sudah menggerakkan tangan kanannya.
Tanpa menggerakkan kakinya, tempat dia berdiri terpisah dua meter dari
Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi lengan tangan kanannya yang digerakkan itu terulur
ke depan, terus memanjang dan mulur seperti karet, sampai mencapai jarak dua
meter itu dan jari tangannya langsung menyerang dengan totokan ke arah iga
Hek-tiauw Lo-mo!
Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi sangat
terkejut menyaksikan hal ini dan tahulah dia bahwa orang tua bermuka buruk ini
adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi tentu saja dia
tidak merasa gentar dan dengan mengerahkan tenaga Hek-coa-tok-ciang, yaitu
ilmu pukulan yang dilatihnya dari kitab curian, dia memapaki totokan itu dengan
telapak tangannya.
“Cuuss....! Dessss!”
Akibat pertemuan kedua tangan yang sama besar
dan sama kuatnya ini hebat sekali. Tubuh Topeng Setan tergetar, akan tetapi
tubuh Hek-tiauw Lo-mo terhuyung-huyung mundur sampai lima langkah keluar dari
pintu warung!
Melihat ini, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut
juga dan timbul kekhawatirannya. Dia memperhitungkan bahwa munculnya gadis
beracun dan laki-laki tua bertopeng setan itu tentu ada hubungannya dengan Si
Pencuri Kitab yang agaknya bersembunyi di dalam warung, maka karena yakin bahwa
orang tua bertopeng ini tentu membela Si Pencuri, secepat kilat, dia pun
menerjang maju dan menyerang Topeng Setan dengan pukulan mautnya.
Topeng Setan mengeluarkan suara seperti orang
menahan tawa, dan di lain saat dia telah dikeroyok dua oleh Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi yang lihai. Pertandingan ini berlangsung hebat sekali, sampai
bumi di sekeliling tempat pertempuran itu tergetar hebat dan angin pukulan
menyambar-nyambar dahsyat. Hebat sekali sepak-terjang Topeng Setan, dan Ceng
Ceng menonton dengan wajah khawatir akan tetapi juga takjub. Dia tahu akan
kelihaian Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, akan tetapi Topeng
Setan dapat menghadapi pengeroyokan mereka dengan tangguh dan sama sekali tidak
kelihatan terdesak. Namun, diam-diam Topeng Setan maklum bahwa biarpun dia
mampu menandingi dua orang datuk itu, akan tetapi dia pun tidak dapat mendesak
mereka, apalagi mengalahkan. Kalau pertandingan dilanjutkan, akhirnya dia yang
akan terancam bahaya karena tingkat kepandaian dua orang kakek ini memang sudah
tinggi sekali.
Tak lama kemudian, Kian Bu dan Hong Kui yang
memiliki ilmu berlari cepat lebih mahir daripada para anak buah Lembah Bunga
Hitam dan Pulau Neraka, telah dapat menyusul ke dusun itu dan tiba di depan
warung dengan sembunyi. Ketika Kian Bu melihat dua orang kakek lihai itu tidak
bertanding melawan kakek pencuri kitab melainkan bertanding melawan Topeng
Setan, dia terheran-heran. Akan tetapi ketika dia melihat Ceng Ceng berada di
situ, dia terkejut dan girang. Hampir dia membuka mulut memanggil gadis yang
ternyata masih keponakannya itu karena dia sudah mendengar bahwa Ceng Ceng
adalah keturunan dari Wan Keng In putera ibu tirinya dan kakek tiri dari Suma
Kian Lee. Akan tetapi ketika dia teringat akan Hong Kui, teringat akan
perhubungannya dengan Hong Kui, dia merasa malu dan jengah sekali, merasa
sungkan untuk bertemu dengan Ceng Ceng. Teringat akan semua perbuatannya, akan
petualangannya dalam permainan cinta yang mesra dan memabokkan selama beberapa
hari ini dengan Mauw Siauw Mo-li, dia bahkan merasa khawatir sekali kalau-kalau
sampai terlihat oleh Ceng Ceng bahwa dia datang bersama Hong Kui.
“Aku.... aku mau.... pergi kencing dulu....”
katanya kepada Hong Kui dan tanpa menanti jawaban Hong Kui yang tersenyum lebar
mendengar ini, Kian Bu lalu menyelinap pergi.
Sementara itu, ketika melihat betapa suhengnya
dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu tidak mampu mengalahkan orang bertopeng yang
amat lihai, Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran. Kebetulan sekali Kian Bu pergi
dari sisinya, maka dia lalu meloncat tinggi ke atas dan langsung dia terjun ke
pertempuran sambil mencabut pedangnya.
Topeng Setan terkejut sekali dan cepat
mengelak dari tusukan pedang sambil membalas dengan tendangan kaki berantai
yang mengancam ketiga orang pengeroyoknya. Kini Topeng Setan menjadi makin
repot.
“Perempuan hina dan pengecut!” Ceng ceng
membentak marah ketika melihat Topeng Setan dikeroyok tiga, dan dia pun lalu
menerjang dan menggerakkan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah
punggung Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkejut dan tidak berani menangkis
karena maklum bahwa pukulan itu mengandung racun, dia hanya mengelak dan
mengelebatkan pedangnya dengan cepat sehingga hampir saja pundak Ceng Ceng
terbabat pedang kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.
“Ceng Ceng mundurlah....!” Topeng Setan
berteriak karena dia khawatir akan kesehatan dara itu yang belum sembuh benar.
Pada saat itu, dari dalam warung meloncat
seorang kakek berambut putih yang langsung menyerang Ketua Lembah Bunga Hitam
tanpa mengeluarkan kata-kata. Serangannya cepat dan berat, akan tetapi
pukulannya dapat ditangkis oleh Hek-hwa Lo-kwi dan kini pertandingan menjadi
makin ramai. Ceng Ceng yang maklum bahwa luka di dalam tubuhnya bisa menjadi
makin parah kalau dia mengerahkan tenaga, kini meloncat mundur dan menonton
dengan penuh kekhawatiran karena biarpun dibantu oleh kakek berambut putih itu
masih terdesak hebat, apalagi ketika dua orang datuk itu mulai mengeluarkan
pukulan-pukulan beracun.
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li yang tadinya
membantu suhengnya mendesak Topeng Setan, membalik dan pedangnya menyerang
kakek rambut putih. Wanita ini memang cerdik sekali. Dia segera tahu bahwa di
antara dua orang lawan itu, yang amat tinggi ilmunya adalah Topeng Setan, maka
sebaiknya kalau lebih dulu merobohkan kakek rambut putih yang lebih penting dan
tidak begitu kuat, apalagi yang mencuri kitab adalah kakek rambut putih itu.
Pada saat itu, kakek rambut putih sedang terdesak hebat oleh Hek-hwa Lo-kwi,
maka ketika Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui membalik dan menyerang, dia tidak
mampu mengelak dan lambungnya tertusuk pedang!
Melihat ini Topeng Setan mengeluarkan
gerengan dahsyat yang menggetarkan tiga orang lawannya, kemudian sambil
merangkul pinggang kakek rambut putih yang terluka parah itu, dia melayani
serangan tiga orang dengan tangkisan lengan dan ujung lengan bajunya. Tentu
saja dia menjadi repot sekali dan melihat ini Ceng Ceng juga tidak mau tinggal
diam saja, terus dia terjun dan menyerang kalang-kabut untuk membantu Topeng
Setan.
Pada saat yang amat berbahaya bagi Topeng
Setan, Ceng Ceng dan kakek berambut putih itu, tiba-tiba dari dalam warung
muncul seorang nenek tua yang berkulit hitam, diiringkan oleh beberapa orang
suku liar. Mereka agaknya memasuki warung itu dari pintu belakang karena tidak
ada orang melihat mereka tadi masuk. “Heh-heh-heh, Siluman Kucing, kiranya
engkau di sini!”
Melihat munculnya nenek yang dikenalnya
sebagai guru Raja Tambolon yang luar biasa lihainya itu, Hong Kui menjadi
terkejut dan dia mengkhawatirkan kekasihnya yang sejak tadi belum juga
muncul.
“Kian Buuuu....!” Dia memekik sambil meloncat
keluar dari gelanggang pertempuran, lalu melarikan diri sambil mencari kekasihnya.
“Heh-heh-heh, kalian manusia-manusia gila,
saling perang sendiri tidak karuan. Heh-heh-heh....!”
Pada saat itu, orang-orang Pulau Neraka dan
Lembah Bunga Hitam yang melakukan pengejaran sudah tiba di situ dan melihat
nenek itu melambai-lambai lengan bajunya yang hitam, mereka itu saling serang
sendiri dengan mati-matian! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menjadi bengong
dan mereka berusaha untuk melerai orang-orangnya yang saling gempur karena
terpengaruh oleh sihir nenek hitam itu! Adapun nenek itu yang bukan lain adalah
Durgagini, sambil terkekeh lalu mengejar Hong Kwi yang sudah melarikan diri.
Dua orang datuk lihai itu hanya bingung saja,
tidak sampai terpengaruh hebat oleh sihir Si Nenek Hitam, akan tetapi mereka
hanya sadar bahwa tidak semestinya mereka saling serang, hanya mereka
seolah-olah pada saat itu terlupa akan kakek berambut putih yang telah mencuri
kitab mereka.
Topeng Setan yang melihat kesempatan baik
ini, cepat memanggul tubuh kakek berambut putih yang sudah pingsan, dan menyambar
lengan Ceng Ceng terus saja dia membawa gadis itu melarikan diri secepat
mungkin meninggalkan tempat yang berbahaya itu.
***
Sebaiknya kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang
dibawa “terbang” oleh Topeng Setan yang memondong tubuh kakek berambut putih
yang terluka parah itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Milana
bersama Puteri Syanti Dewi karena sudah terlalu lama kita tinggalkan mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu,
dengan hati hancur Puteri Milana terpaksa meninggalkan istananya dan juga
jenazah suaminya karena dia tahu bahwa pasukan pengawal diperintahkan datang
dan dipimpin oleh Perdana Menteri Su sendiri untuk menangkapnya.
Setelah menyelinap dan meloncat pergi melalui
pintu belakang istananya, puteri yang baru saja kematian suaminya ini menahan
semua perasaan marahnya, lalu menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk
mencuri masuk ke dalam istana Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian puteri
dan memasuki kamar Puteri Syanti Dewi yang malam itu masih duduk termenung di
atas pembaringannya. Puteri Bhutan ini terkejut sekali melihat bayangan
berkelebat dari jendela dan tahu-tahu dia melihat Puteri Milana sudah berdiri
di dalam kamarnya.
“Bibi Puteri Milana....!” tegurnya girang,
akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang halus itu pucat dan basah air
mata.
“Bibi.... apa yang terjadi....?” tegurnya
sambil memegang kedua dengan puteri perkasa itu.
“Lekas berkemas, kau ikut aku pergi dari sini
sekarang juga.”
Tentu saja Syanti Dewi menjadi girang bukan
main karena memang berita inilah yang dinanti-nantinya. Diam-diam dia merasa
terharu karena dia menduga bahwa tentu Kian Bu yang mengusahakan ini semua. Dia
merasa terharu betapa dia telah membikin pemuda itu patah hati, namun pemuda
yang gagah perkasa itu masih juga menyampaikan kepada Puteri Milana sehingga
dia sekarang akan dibebaskan dari tempat ini. Cepat dia berkemas dan karena dia
seorang puteri sejati, yang disebut berkemas ini malah menanggalkan pakaian
indah yang diterimanya dari Kaisar dan dia mengenakan pakaian sendiri yang
lama, juga dia menanggalkan semua perhiasan. Melihat ini Puteri Milana
diam-diam merasa kagum dan menjadi makin suka kepada Puteri Bhutan ini.
Puteri Syanti Dewi memejamkan matanya ketika
dia dipondong dan dibawa meloncat ke atas genteng, kemudian berlarian dan
berlompatan dengan cepat sekali. Dia merasa ngeri dan juga amat kagum. Baru
sekarang dia memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana, selain cantik jelita dan
agung ternyata juga merupakan pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian
sangat tinggi. Memang pantaslah kalau pendekar sakti Gak Bun Beng menjatuhkan
cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini!
Setelah mereka keluar dari daerah istana
kaisar, barulah Puteri Milana melompat turun dan menurunkan Syanti Dewi dari
pondongannya. “Sekarang kita harus pergi keluar dari kota raja, Syanti Dewi.”
“Eh, mengapa begitu? Mengapa tidak ke istana
Bibi?”
“Hemm, engkau tidak tahu apa yang telah
terjadi. Baiklah, kaudengarkan apa yang telah terjadi dengan keluargaku.”
Dengan singkat Milana lalu menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi Kong,
melakukan pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran Liong Bin Ong
karena suaminya penasaran melihat bahwa Kaisar tidak mau percaya bahwa pangeran
tua inilah yang menjadi biang keladi pemberontakan. Dan biarpun suaminya telah
berhasil membunuh pangeran pemberontak, namun suaminya sendiri tewas oleh
pengeroyokan pengawal.
“Nah, karena itu aku harus pula pergi,
Syanti, karena kalau tidak aku tentu akan ditangkap sebagai isteri seorang yang
tentu dianggap berdosa.” Ucapan ini memancing keluarnya dua buah air mata di
atas pipi Milana yang pucat itu.
“Ahhh.... Bibi....!” Syanti Dewi memeluk
Milana sambil menangis. Dua orang wanita itu berpelukan dan tidak mengucapkan
sepatah pun kata. Agaknya di dalam detik itu perasaan dan suara hati mereka
sama, yaitu keduanya teringat kepada Gak Bun Beng berhubung dengan adanya
peristiwa kematian suami Puteri Milana itu.
Tak lama kemudian, Syanti Dewi yang terlalu
halus perasaannya untuk menyinggung nama Gak Bun Beng pada saat seperti itu,
bertanya, “Sekarang ke mana Bibi hendak membawa saya?”
Milana menarik napas panjang. “Aku sendiri
belum tahu ke mana aku harus membawamu, yang jelas kita harus keluar dari kota
raja karena kita menjadi orang-orang pelarian. Akan tetapi sebelum kita
meninggalkan kota raja untuk selamanya, aku ingin sekali lagi lewat di depan
rumahku dan menengoknya.”
Syanti Dewi dapat memaklumi perasaan hati
puteri perkasa itu, apalagi karena jenazah suami puteri ini masih berada di
dalam istana dan puteri ini tidak dapat mengurus sendiri pemakaman jenazah
suaminya. Mereka lalu berjalan melalui tempat-tempat gelap dan menuju ke istana
Puteri Milana yang sudah sunyi. Akan tetapi ternyata istana itu dijaga ketat
dan tak terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi Milana ketika dia
mendengar suara para pendeta membaca liam-keng, berdoa untuk jenazah suaminya
yang berada di dalam istananya. Diam-diam dia merasa bersyukur dan maklum
bahwa Perdana Menteri Su, sahabatnya yang baik itu, telah memenuhi
permintaannya yang ditulisnya di atas tembok dan telah mengurus jenazah Han Wi
Kong dengan baik-baik.
“Mari kita pergi,” katanya kemudian kepada
Syanti Dewi yang juga memandang ke arah istana itu dengan hati terharu. Tak
disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana ini sampai
tertimpa malapetaka yang demikian hebatnya. Kesengsaraan yang dideritanya
sendiri semenjak dia meninggalkan istana ayahnya bukan apa-apa kalau dibandingkan
dengan malapetaka yang dialami oleh Puteri Milana.
Milana yang berpemandangaq tajam sekali,
biarpun dalam keadaan berduka, masih dapat melihat berkelebatnya bayangan
orang yang mengikuti mereka berdua dari jauh. Dia tidak merasa takut, akan
tetapi juga tidak peduli dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya
menuju ke benteng sebelah utara karena dia mempunyai hasrat untuk pergi
mengunjungi brang tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat adalah melalui pintu
gerbang utara.
Para pembesar militer di istana semua adalah
sahabat Milana, dan mereka amat menghormat dan kagum kepada puteri ini, maka
peristiwa yang terjadi di istana Pangeran Liong Bian Ong itu dirahasiakan oleh
mereka sehingga belum tersiar luas. Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti
Dewi tiba di pintu gerbang utara, para penjaga yang mengenal Puteri Milana
menjadi terkejut dan tentu saja dengan sikap hormat dan girang mereka
membukakan pintu untuk puteri yang terkenal dan yang mereka hormati itu
sehingga mudah saja bagi Milana dan Syanti Dewi untuk keluar dari kota raja di
waktu yang sudah amat larut lewat tengah malam itu.
Setelah agak jauh meninggalkan pintu gerbang
itu dan mereka berdua berhenti di tempat peristirahatan di pinggir jalan untuk
melewatkan malam gelap, kembali Milana melihat berkelebatnya bayangan tadi.
Diam-diam dia menjadi penasaran, akan tetapi karena bayangan itu tidak
melakukan sesuatu, dia pun hanya berjaga-jaga saja dan menyuruh Syanti Dewi
untuk mengaso.
Malam lewat dengan cepatnya dan setelah matahari
mengusir sisa kegelapan malam dan Milana hendak mengajak Syanti Dewi
melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari jauh,
“Adik Milana, tunggu dulu....!”
Milana terkejut dan merasa heran sekali. Dia
berdiri di depan Syanti Dewi, melindungi dara itu dan matanya tajam menatap
wanita yang berlari mendatangi dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita inilah yang
sejak malam tadi membayanginya dari kota raja, atau lebih tepat mulai dari
depan istananya.
Kini wanita itu telah tiba di depannya.
Milana tidak mengenalnya dan dia memandang penuh selidik. Seorang wanita yang
cantik dan bertubuh ramping sungguhpun usianya sudah sebaya dengan dia, sudah
tiga puluh tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari sepatu dan pakaiannya yang
kusut berdebu Milana dapat menduga bahwa wanita itu telah melakukan perjalanan
jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya tentu memiliki kegagahan.
Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu pun memandang Milana
dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya dia tidak ragu-ragu lagi
dan mengenal puteri itu.
“Adik Milana, girang sekali hatiku dapat
bertemu denganmu di sini. Tadinya aku sudah merasa heran dan ragu mengapa
engkau meninggalkan rumahmu seperti orang yang sedang melarikan diri.” Wanita itu
berkata.
“Maaf,” Milana menjawab dengan hati-hati. “Aku
tidak ingat lagi siapakah engkau?”
“Ah, Adik Milana, benarkah engkau sudah lupa
kepadaku? Kita adalah orang-orang senasib sependeritaan. Lupakah engkau betapa
engkau dahulu bersama aku dan Lu Kim Bwee mengeroyok seorang musuh besar
kita?”
“Lu Kim Bwee....? Aihh, engkau Ang Siok
Bi....!” Milana berseru kaget dan kini dia mengenal wanita yang baru satu kali
dijumpainya dahulu, betasan tahun yang lalu ketika dia bersama wanita ini dan
Lu Kim Bwee (ibu Ceng Ceng) mengeroyok Gak Bun Beng yang mereka anggap sebagai
orang jahat yang telah memperkosa dua orang wanita itu(baca cerita Sepasang
Pedang Iblis) . Akan tetapi dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu
adalah putera wanita ini, maka dengan pandang mata tajam Milana lalu bertanya,
“Ada keperluan apakah engkau sejak di kota raja semalam?”
“Maaf, Adik Milana, karena aku masih ragu-ragu
maka aku membayangimu dan baru pagi ini aku berani memanggilmu. Aku sengaja
mencarimu di kota raja setelah aku mendengar bahwa engkau telah meninggalkan
Teng-bun kembali ke kota raja.”
“Ah, engkau mencariku, Enci Siok Bi? Ada
keperluan apakah?”
“Adik Milana, aku ingin minta tolong kepadamu,
demi persahabatan dan persamaan nasib kita belasan tahun yang lalu.... aku
mendengar bahwa engkau telah menawan seorang bernama Ang Tek Hoat....”
“Hemm, apamukah pemuda itu?”
“Dia itu puteraku. Ah, aku sudah mendengar
bahwa dia tersesat.... bahwa dia telah membantu pemberontak.... akan tetapi
demi perkenalan kita.... kuharap engkau suka mengasihaninya dan suka
mengusahakan agar dia diampuni dan dibebaskan.” Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang
merasa amat khawatir akan keselamatan puteranya itu, telah menjatuhkan dirinya
di depan Milana, berlutut sambil menangis!
Milana cepat memegang kedua pundak wanita itu
dan mengangkat bangun. “Jangan begitu, Enci Siok Bi. Bangkitlah dan mari kita
duduk dan bicara tentang puteramu itu.”
Dengan penuh harapan Ang Siok Bi bangkit
berdiri lalu mengikuti Milana untuk duduk berhadapan di dalam tempat
peristirahatan di tepi jalan itu, sedangkan Syanti Dewi hanya mendengarkan
dari samping. Puteri Bhutan itu ikut merasa terharu karena dia tahu siapa
adanya Ang Tek Hoat, yaitu pemuda tampan dan gagah perkasa yang telah
menyelamatkan dia dari tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda perkasa yang
mengorbankan diri demi untuk menyelamatkannya itu. Pemuda yang tak mungkin
dapat dia lupakan selamanya. Dan wanita cantik dan gagah ini adalah ibunya!
Maka tentu saja dia ingin sekali mengetahui kelanjutan pertemuan yang amat
menarik dari dua orang wanita cantik yang agaknya sudah sejak dahulu saling
mengenal itu.
“Jadi Ang Tek Hoat itu adalah puteramu, Enci
Siok Bi? Bolehkah aku bertanya kepadamu, siapakah ayahnya?” Pertanyaan ini
diajukan secara langsung dan Milana memandang tajam penuh selidik sehingga Ang
Siok Bi merasa terkejut sekali, merasa seolah-olah menghadapi serangan
tusukan pedang yang langsung mengarah ulu hatinya.
“Adik Milana! Mengapa engkau menanyakan hal
itu? Apa hubungannya denganmu?”
“Hubungannya banyak sekali dan aku baru akan
suka menolong puteramu apabila engkau mengaku terus terang siapa ayahnya.”
“Betapa aneh pertanyaanmu ini! Mengapa engkau
harus bertanya lagi seolah-olah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi dan
menimpa diriku, Adik Milana? Siapa lagi ayahnya kalau bukan si jahanam Gak Bun
Beng itu?”
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati
Syanti Dewi mendengar ucapan ini, wajahnya menjadi pucat seketika akan tetapi
dia tidak mau mengeluarkan suara, hanya memandang wanita itu dengan tajam dan
mendengar penuh perhatian. Milana mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.
“Sudah kuduga demikian.... dan engkau tentu
menceritakan kepada puteramu itu bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng adalah
musuh besarmu, bukan?”
“Adik Milana, bagaimana engkau masih juga
bertanya begitu? Bukankah sudah jelas bagimu bahwa jahanam Gak Bun Beng
itu....”
“Enci Siok Bi!” Tiba-tiba Milana membentak
dengan suara keras karena hatinya marah mendengar nama Gak Bun Beng dimaki
orang. “Kau datang untuk minta tolong padaku tentang Ang Tek Hoat. Nah,
ceritakan saja jangan banyak membantah. Apa yang telah kaupesankan kepada
anakmu Ang Tek Hoat itu dan yang telah kauceritakan tentang ayahnya dan tentang
Gak Bun Beng?”
Siok Bi memandang dengan mata terbelalak,
akan tetapi karena dia ingin sekali agar puteranya dapat selamat, biarpun
hatinya penuh rasa penasaran, dia menjawab juga sejujurnya, “Aku.... aku
mengatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah.... Ang Thian Pa....”
“Hemm, pantas dia memakai she Ang, kiranya
begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin ayahmu, bukan?”
Siok Bi mengangguk. “Dan aku katakan bahwa
ayahnya itu terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi bahwa jahanam itu telah
terbunuh pula olehku. Apa salahnya dengan keterangan itu?”
Milana menggeleng kepada dan menarik napas
panjang. “Pantas kalau begitu.... aihh, sungguh kasihan sekali Gak-suheng....!
Enci Siok Bi, jadi sampai detik ini pun engkau masih mengira bahwa puteramu itu
adalah keturunan dari Gak Bun Beng, begitukah?”
“Tentu saja! Habis mengapa?”
“Engkau telah keliru, Enci! Kita semua telah
keliru pada waktu itu, belasan tahun yang lalu. Engkau, aku, dan Enci Kim Bwee
telah tertipu dan kasihan sekali Suheng Gak Bun Beng yang tidak berdosa
sedikitpun juga. Ketahuilah, Enci, yang melakukan perbuatan terkutuk atas
dirimu dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu sama sekali bukan Suheng Gak Bun
Beng....”
“Ahhh....!” Wajah Siok Bi menjadi pucat.
Biarpun dia tidak pernah mau menyangkalnya, akan tetapi melihat wajah
puteranya dia sudah merasa heran sekali karena biarpun puteranya itu tampan
akan tetapi sedikitpun juga tidak ada miripnya dengan wajah Gak Bun Beng!
“Apa.... apa maksudmu....?”
“Maksudku adalah bahwa belasan tahun yang lalu
itu kita semua salah duga. Ada orang yang menjatuhkan fitnah atas diri
Gak-suheng, yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan nama
Gak-suheng dan orang itulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk terhadap
dirimu dan diri Enci Kim Bwee. Coba kauingat baik-baik ketika peristiwa
terkutuk itu terjadi, apakah engkau melihat wajahnya?”
Siok Bi menjadi pucat sekali, mengenangkan
peristiwa itu, ketika pada malam hari di dalam kamar dia dipaksa dan diperkosa
oleh Gak Bun Beng, di tempat gelap, dan dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak
Bun Beng karena laki-laki itu mengaku demikian, dan dia percaya pula kepada
laki-laki tampan yang mengaku sebagai sahabat Gak Bun Beng.... ah, hampir dia
menjerit. Kini dia teringat akan wajah sahabat dari Gak Bun Beng itu dan wajah
puteranya mirip orang itu!
“Kita semua telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng
yang melakukan perbuatan terkutuk itu, Enci, melainkan orang itulah, dan orang
itu pula yang menjadi ayah kandung dari puteramu Tek Hoat.”
Dengan mata terbelalak dan muka pucat Ang
Siong Bi memandang Milana dan berkata dengan suara gemetar dan tergagap,
“Bagaimana.... bagaimana aku dapat percaya ceritanya ini....? Setelah belasan
tahun aku percaya demikian.... bagaimana aku bisa tahu bahwa ceritamu ini
benar, Adik Milana?”
“Engkau harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi.
Harus, kataku! Aku sendiri pun menjadi korban tipuan orang itu, sungguhpun
tidak sampai tertimpa malapetaka seperti engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi
aku pun dahulu percaya bahwa Gak-suheng adalah seorang yang amat jahat dan
melakukan perbuatan terkutuk. Oleh karena itulah maka aku dahulu suka bekerja
sama dengan engkau dan Enci Kim Bwee untuk mengeroyok Gak-suheng sampai dia
terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira bahwa dia telah mati. Sayang
bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi dengan engkau atau Enci Kim Bwee
sehingga mengakibatkan hal yang berlarut-larut sampai sekarang. Akan tetapi
ketahuilah, orang yang melakukan perbuatan keji itu masih.... anggauta
keluargaku sendiri dan.... dan dia telah mengakui segalanya di depanku dan di
depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan Keng In, putera dari ibu tiriku di
Pulau Es....”
“Ya Tuhan....!” Siok Bi mengeluh panjang.
“Dan di mana keparat itu....”
“Dia sudah tewas, Enci. Dia sudah tewas
menebus dosa-dosanya. Puteramu itu she Wan, tidak salah lagi. Wajahnya persis
wajah ayah kandungnya itu....”
“Dan kita dahulu telah membunuh Gak Bun
Beng....!”
“Tidak, Enci Siok Bi. Dan inilah celakanya.
Puteramu masih belum tahu dan kini dia hanya tahu bahwa Gak Bun Beng masih
hidup maka dia bertekad untuk mencarinya dan membunuhnya sebagai musuh besar.
Dahulu, ketika kita mengira Gak-suheng yang tergelincir ke dalam jurang itu
mati, sebetulnya dia masih hidup dan sekarang, puteramu itu tentu akan terus
memusuhinya.” Milana berhenti sebentar. “Sungguh kasihan Gak-suheng.... dahulu
Wan Keng In yang memburukkan namanya, sekarang.... puteranya juga melakukan
perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan namanya.”
“Ahhhh....! Apakah anakku telah menjadi
manusia sejahat itu? Anakku telah menjadi seorang manusia yang menyeleweng dan
jahat, Adik Milana?” Siok Bi bertanya dengan suaranya mengandung rintihan batin
tertekan.
“Tidak! Tek Hoat sama sekali bukanlah manusia
jahat!” Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan suara tegas. “Kalau dia sampai
melakukan suatu penyelewengan sebelumnya, hal itu tentu adalah pengaruh dari
keadaannya dan bekal yang dia bawa dari cerita ibunya. Dia bukan seorang
manusia jahat dan patut dikasihani.”
Siok Bi menoleh dan memandang dara yang cantik
jelita itu dengan heran. “Siapakah dia ini, Adik Milana?”
“Dia adalah Puteri Bhutan, bernama Syanti
Dewi. Dia telah diselamatkan oleh puteramu itu dan agaknya apa yang
dikatakannya itu mendekati kebenaran. Puteramu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan
jahat dan mempergunakan nama Gak-suheng yang disangkanya sudah mati dan
disangka musuh besar pembunuh ayahnya maka hendak dicemarkan nama musuh besar
yang tidak dapat dibalasnya lagi karena disangkanya sudah mati itu. Dia lalu
tersesat membantu pemberontakan. Tentu saja dosanya amat besar sekali dan dia
selayaknya di jatuhi hukuman berat. Akan tetapi pada akhir pemberontakan, dia
telah membuat jasa besar, membunuh pangeran pemberontak Liong Khi Ong dan tiga
orang kaki tangannya, mengorbankan diri sendiri sampai terluka demi
menyelamatkan Puteri Bhutan ini. Karena jasanya itulah maka dia telah
kubebaskan, dan celakanya, setelah dia mendengar bahwa Gak-suheng masih hidup,
dia bertekad untuk mencarinya dan membalas dendamnya.”
“Ahhhh....!” Siok Bi berseru kaget. “Hal itu
harus dicegah! Di mana dia sekarang, Adik Milana? Dia harus dicegah memusuhi
Gak-taihiap.... selain beliau bukan musuh kami.... juga mana mungkin anakku
mampu menandinginya?”
“Agaknya engkau tidak tahu. Puteramu itu
telah menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, Enci Siok Bi. Dia
telah dibebaskan dan aku tidak tahu ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah
yang dapat mencegahnya dan menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian
ibu dan anak. Mungkin dia masih berada di kota raja.”
“Kalau begitu aku akan mencarinya sekarang
juga!” Siok Bi berteriak, lalu lari meninggalkan dua orang puteri itu menuju ke
kota raja.
Milana menarik napas panjang dan Syanti Dewi
berkata halus, “Agaknya belasan tahun yang lalu telah terjadi hal-hal yang
amat hebat menimpa dirimu dan diri Paman Gak, Bibi.”
Milana menarik napas panjang. “Kami semua
telah melakukan dosa besar sekali terhadap Gak-suheng, dan dia semenjak dahulu
sampai saat ini pun merupakan seorang manusia yang amat mulia, gagah perkasa
dan hebat....” Puteri ini menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak
Bun Beng yang meninggalkannya, kemudian dia teringat pula akan surat
peninggalan suaminya. Jari tangannya meraba surat suaminya yang ditujukan kepada
Bun Beng dan diam-diam dia meragu apakah dia akan dapat berjumpa lagi dengan
satu-satunya pria yang dikasihinya itu.
“Sekarang kita hendak pergi ke mana, Bibi?”
Syanti Dewi yang maklum akan kedukaan yang menyelimuti wajah puteri itu,
memecahkan kesunyian dan menarik kembali Milana dari lamunannya.
“Ke mana....? Ahh, aku sendiri menjadi
bingung memikirkan keadaanmu, Syanti. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Bhutan.
Akan tetapi semua orang telah pergi.... aku pun sekarang seorang diri.
Sebetulnya aku ingin kembali ke Pulau Es, ke tempat tinggal ayah bundaku, akan
tetapi engkau....”
“Bibi Milana, kalau begitu biarlah aku
melakukan perjalanan sendiri ke barat. Aku pun bukan seorang yang lemah dan aku
berani untuk pulang seorang diri ke Bhutan. Aku tidak mau membikin repot
padamu, Bibi....”
“Hemm, jangan berkata demikian, Syanti Dewi.
Aku yang telah melarikan engkau dari istana, dan akulah yang bertanggung jawab
atas keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari jalan sebaiknya agar engkau dapat
diantar ke Bhutan dengan selamat.”
Selagi Syanti Dewi hendak membantah,
tiba-tiba dari arah kota raja tampak serombongan pasukan berkuda mendatangi.
Milana memandang dengan alis berkerut. “Apakah mereka hendak menggunakan
kekerasan?” Dia mengomel dan mengepal tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang
dengan khawatir. Dia mengkhawatirkan diri Milana karena tahu bahwa puteri itu
mengalami hal yang amat hebat dan bisa dianggap sebagai pemberontak atau orang
buruan istana.
Akan tetapi ketika pasukan yang terdiri dari
dua losin perajurit itu tiba dekat, mereka melihat bahwa pasukan itu mengawal
seorang jenderal yang tinggi besar dan gagah, yang bukan lain adalah Jenderal
Kao Liang.
“Gi-hu....!” Syanti Dewi berseru girang
memanggil ayah angkatnya itu dan jenderal itu melompat turun dan cepat
memegang kedua pundak Syanti Dewi dengan sinar mata berseri.
“Syukurlah.... aku sudah menduga bahwa engkau
tentu telah diselamatkan!”
Sementara itu Milana melangkah dekat dan
berkata dengan suara dingin, “Jenderal Kao, apakah engkau mengejar untuk
menangkap aku?”
Jenderal itu menarik napas panjang dan memberi
hormat kepada Puteri Milana. Suaranya terdengar penuh penyesalan. “Sampai
mati pun tidak ada yang dapat memaksa saya untuk menangkap Paduka. Saya telah
mendengar akan semua peristiwa di kota raja dan saya ikut menyatakan
berdukacita atas malapetaka yang menimpa keluarga dan diri Paduka. Ketika saya
mendengar dari para penjaga bahwa Paduka bersama seorang dara cantik keluar
dari gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa tentu Syanti Dewi Paduka
selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan bantuan, barangkali ada
sesuatu yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka.”
“Jenderal Kao, aku adalah seorang yang hidup
sebatang kara di kota raja, dan aku tidak membutuhkan bantuan apa-apa. Hanya
kebetulan sekali engkau datang karena aku bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia
harus diantar kembali ke Bhutan.”
“Jangan khawatir, biar para pengawalku ini
yang mengantarnya sampai ke Bhutan dengan selamat.” Jenderal itu lalu
menghadapi Syanti Dewi. “Dewi, apakah engkau ingin kembali ke Bhutan?”
Puteri itu mengangguk. “Kehadiranku di sini
hanya menimbulkan keributan saja, Gi-hu. Sebaiknya kalau aku pulang saja ke
Bhutan dan sebetulnya aku sudah memberi tahu kepada Bibi Milana bahwa aku
berani pulang sendirian, tidak perlu dikawal....”
“Ah, mana mungkin? Jangan kau khawatir,
biarpun aku terikat oleh tugasku dan tidak dapat mengantar sendiri, dua losin
pengawalku ini akan mengawalmu sampai ke Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa
engkau hendak dinikahkan dan engkau melarikan diri dari istana, tentu bisa
menanti sampai aku sempat mengantarmu sendiri. Akan tetapi sekarang tidak
mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai seorang pelarian. Nah, biar
pasukanku mengawalmu. Sebelum ada pengejaran dari kota raja, sebaiknya engkau
berangkat sekarang, anakku. Kaupakailah kudaku ini.”
Syanti Dewi merasa terharu dan dia memeluk
ayah angkatnya, menghaturkan terima kasih dan selamat tinggal. Kemudian dia
pun memeluk puteri Milana dan berbisik di dekat telinganya, “Bibi.... jangan
biarkan Paman Gak merana....” Dan sambil terisak dia lalu melompat ke atas
kudanya lalu membalapkan kuda itu, diiringkan oleh dua losin pengawal yang
sudah menerima pesan dari Jenderal Kao diiringkan oleh pandang mata Milana yang
berlinang air mata dan pandang mata Jenderal Kao yang merasa kehilangan.
Dua orang gagah ini pun lalu saling berpisah,
Milana melanjutkan perjalanan ke utara sedangkan Jenderal Kao Liang kembali ke
kota raja.
***
Dengan kecepatan seperti terbang, Topeng Setan
memanggul tubuh kakek berambut putih dan menggandeng tangan Ceng Ceng melarikan
diri dari tempat berbahaya itu dan akhirnya, setelah mendaki sebuah bukit, dia
memasuki sebuah kuil yang tua dan rusak, kuil yang terpencil di lereng bukit
itu, di daerah yang sunyi sekali.
Ketika dia menurunkan tubuh kakek itu dari
pondongannya, dia terkejut melihat keadaan kakek itu yang amat payah. Pedang
yang menusuk lambungnya itu melukai bagian penting di dalam tubuhnya dan pedang
itu mengandung racun pula.
“Ahh, bukankah dia ini pelayan Istana Gurun
Pasir?” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru ketika dia mengenal muka kakek itu,
“Benar, dia adalah Louw Ki Sun.... aku pernah bertemu dengan dia....!” Ceng
Ceng berseru lagi.
Akan tetapi Topeng Setan yang memeriksa luka
itu segera berkata, “Ceng Ceng, harap engkau suka membantu. Carikanlah air yang
jernih.... dia memerlukannya....” Suara Topeng Setan penuh permohonan dan
terdengar agak tergetar sehingga Ceng Ceng tidak banyak cakap lagi lalu
mengangguk dan berlari keluar dari kuil. Tidak mudah baginya mencari air di
tempat yang tidak dikenalnya itu dan sampai beberapa lamanya barulah akhirnya
dia berhasil mendapatkan air yang diisikan di sebuah guci yang tadi dibawanya
dari Topeng Setan. Cepat dia berlari kembali ke kuil itu.
Akan tetapi ketika dia memasuki ruangan di
mana Topeng Setan tadi merebahkan tubuh kakek tua di atas lantai, dia terkejut
sekali melihat Topeng Setan duduk termenung menyandarkan tubuhnya pada dinding
rusak itu dan kedua pipi muka bertopeng buruk itu basah oleh air mata. Topeng
Setan menangis! Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. Selama dia mengenal
Topeng Setan, orang tua ini adalah seorang yang jantan, berkepandaian tinggi,
aneh dan agaknya tidak pernah dipengaruhi oleh perasaan. Akan tetapi mengapa
sekarang menangis.
“Paman, kau.... kau.... menangis?”
Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggunakan
tangan menghapus sisa air mata di atas pipi topengnya itu, dan dengan anggukan
kepala dia menunjuk ke arah kakek berambut putih yang rebah telentang di atas
lantai. Ceng Ceng memandang dan tahulah dia bahwa kakek Louw Ki Sun itu telah
tewas.
“Ah, dia telah mati?” tanyanya sambil berlutut
dan memandang ke arah jenazah kakek itu.
Topeng Setan mengangguk. “Dia tewas karena
membantu aku melawan orang-orang lihai tadi. Dia mati karena membantuku, Ceng
Ceng.”
Diam-diam hati Ceng Ceng terharu dan juga
kagum. Orang tua bertopeng ini selain gagah perkasa dan lihai, juga ternyata
memiliki watak ingat budi sehingga kematian kakek yang membantunya itu membuat
hatinya berduka. Maka dia pun tidak banyak bicara lagi dan ikut bersembahyang
memberi hormat ketika jenazah itu dikubur di depan kuil tua dan Topeng Setan
melakukan upacara sembahyang secara sederhana sekali karena tidak terdapat
alat-alatnya. Mereka hanya berlutut di depan gundukan tanah, tepekur dan
mengheningkan cipta.
Kemudian Topeng Setan mengajak Ceng Ceng
melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari. Bulan muda telah mulai nampak
di waktu malam dan pada malam bulan purnama, beberapa hari lagi, mereka harus
sudah berada di telaga itu untuk mencoba peruntungan mereka, yaitu berusaha
menangkap anak naga yang akan dipergunakan sebagai obat bagi Ceng Ceng.
Makin dekat dengan Telaga Sungai, makin
teganglah hati Ceng Ceng. Apalagi setelah dia mulai melihat berkelebatnya
bayangan orang-orang aneh yang melakukan perjalanan menuju ke arah yang sama.
Rombongan-rombongan orang yang pakaiannya aneh-aneh, yang sikapnya ganjil dan
luat biasa, melakukan perjalanan tanpa bicara seperti serombongan orang yang
hendak berziarah ke tempat suci!
“Mereka adalah orang-orang pandai yang agaknya
juga hendak pergi ke telaga itu,” Topeng Setan berkata lirih ketika melihat
keheranan Ceng Ceng. “Sebaiknya kita jangan melakukan sesuatu yang dapat
menimbulkan keributan dengan mereka sebelum kita tiba di tempat tujuan.”
Ceng Ceng mengangguk dan timbul keraguan di
dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan dapat berhasil
memperoleh anak naga atau anak ular itu? Demikian banyaknya orang lihai yang
menghendaki binatang keramat itu. Dia sekarang menduga bahwa orang-orang
lihai, datuk-datuk kaum sesat yang dilihatnya di jalan, seperti rombongan
Tambolon, orang-orang Lembah Bunga Hitam, orang-orang Pulau Neraka, lalu Kakek
Louw Ki Sun yang tewas itu, kiranya tentu semua juga bermaksud pergi ke Telaga
Sungari untuk kepentingan yang sama pula. Kemudian orang-orang aneh yang makin
banyak menuju ke telaga ini!
Akhirnya, beberapa hari kemudian, tibalah mereka
di pinggir sebuah telaga yang amat luas. Dan tepat seperti yang telah diduga
oleh Ceng Ceng, dia melihat banyak sekali orang-orang di pinggir telaga,
bahkan ada pula yang sudah berperahu hilir mudik di atas permukaan air telaga
yang biru seperti air laut saking dalamnya itu. Telaga itu luas sekali
sehingga pantai di seberangnya tidak nampak. Karena luasnya telaga maka
biarpun di tepi telaga berkumpul banyak orang dan ada belasan buah perahu di
tengahnya, akan tetapi tempat itu masih kelihatan sepi. Para nelayan tidak
ada yang berani mencari ikan karena setiap bulan purnama, sering kali terdapat
badai dan angin besar melanda telaga itu, apalagi terang bulan di musim semi
ini yang dikaitkan dengan dongeng rakyat tentang munculnya naga siluman! Akan
tetapi sekali ini para nelayan di daerah itu tidak menjadi rugi, bahkan
memperoleh keuntungan besar karena banyak datang orang-orang yang katanya
hendak “pesiar” di Telaga Sungari dan menyewa perahu mereka. Mereka itu
demikian royal sehingga berani menyewa perahu dengan jumlah tinggi sehingga
uang sewa perahu itu saja sudah beberapa kali lipat dari hasil mencari ikan di
telaga!
Akan tetapi, agaknya orang-orang kang-ouw dan
tokoh-tokoh yang biasanya bersembunyi dan memiliki kepandaian tinggi itu
agaknya saling menjaga diri, tidak mau mencari keributan atau permusuhan
karena kedatangan mereka itu semua bermaksud untuk mencari anak naga itu.
Bahkan Ceng Ceng melihat sendiri betapa anak buah Pulau Neraka dan anak buah
Lembah Bunga Hitam yang biasanya kasar-kasar dan kejam-kejam, bahkan saling
bermusuhan itu setelah tiba di tepi telaga lalu memisahkan diri, mencari
tempat yang sunyi dan tidak kelihatan ingin memancing keributan. Memang akan
rugilah kalau sebelum anak naga itu muncul sudah membuat permusuhan lebih dulu
yang akibatnya hanya akan merugikan mereka sendiri.
Ceng Ceng dapat merasakan suasana yang amat
tegang dan panas itu. Dia maklum bahwa biar keadaannya sekarang kelihatan
tenang, namun begitu anak naga itu muncul, pasti akan terjadi perebutan yang
hebat dan dia makin meragu apakah Topeng Setan akan berhasil memperoleh anak
ular atau naga itu.
“Begitu banyak orang....” Ceng Ceng berbisik.
Topeng Setan memberi isyarat dan gadis itu
mengikuti orang tua bertopeng ini menuju ke tepi telaga yang sunyi, jauh dari
orang lain dan di sini Topeng Setan menyewa sebuah perahu kecil dari seorang
nelayan. Dia menyeret perahu itu ke tepi dan duduk di atas perahu bersama Ceng
Ceng, menjauhi semua orang, menanti malam tiba. Malam nanti adalah malam bulan purnama,
malam yang dinanti-nanti oleh semua orang dengan jantung tegang berdebar.
“Mereka adalah orang-orang yang lihai sekali,
kita harus berhati-hati Ceng Ceng. Wah, agaknya orang-orang yang selama ini
hanya bersembunyi di gunung-gunung, di guha dan di tempat terasing, yang
pekerjaannya hanya bertapa, kini keluar dari tempat pengasingan diri mereka
untuk mencari anak naga itu.”
“Ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan Ketua
Lembah Bunga Hitam itu saja sudah memiliki kelihaian yang amat hebat. Apa
kaukira ada yang lebih lihai dari mereka, Paman?”
“Hemmm, kau sungguh tidak melihat tingginya
langit dan dalamnya lautan, Ceng Ceng, karena engkau hanya mengira bahwa di
dunia ini hanya ada mereka berdua itu yang lihai. Aihhh, banyak sekali orang
berilmu di dunia ini, Ceng Ceng. Sama banyaknya dengan bintang di langit dan
sukar untuk mengatakan siapa di antara mereka yang paling pandai.”
“Aku mendengar bahwa orang paling lihai di
dunia ini adalah Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es,” kata Ceng Ceng dan diam-diam
dia ada juga sedikit rasa bangga bahwa dia masih terhitung cucu tiri dari
pendekar sakti itu.
Topeng Setan menarik napas panjang. “Mungkin
di antara para pendekar yang dikenal orang, dia tergolong tingkat teratas. Akan
tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai yang
menyembunyikan diri. Para pertapa di puncak-puncak gunung, mereka yang sudah
tidak mau lagi berurusan dengan dunia ramai, banyak sekali di antara mereka
yang tinggi sekali ilmunya, sukar diukur bagaimana tingginya....”
“Lebih tinggi dari kepandaian Pendekar Super
Sakti?” tanya Ceng Ceng tidak percaya.
“Mungkin sekali, bahkan mungkin beberapa kali
lipat! Mereka yang tidak mau lagi mempergunakan ilmunya untuk melakukan
sesuatu di dunia ramai, tidak bisa dibandingkan dengan kita, dengan mereka yang
kini datang ke sini mengandalkan ilmu untuk memperebutkan anak naga.” Topeng
Setan menghela napas panjang. “Kepandaian mereka yang tidak mau muncul di dunia
ramai itu seperti dewa.... akan tetapi mereka telah melihat bahwa kepandaian
itu tidak ada manfaatnya bagi kebahagiaan hidup manusia, dan mereka memang
benar....”
“Apakah kau mau mengatakan bahwa kepandaian
hanya mendatangkan malapetaka bagi kehidupan manusia, Paman?”
“Kenyataannya demikianlah.... akan tetapi, asal
kita selalu ingat bahwa kepandaian bukanlah untuk mengumbar nafsu.... ah,
sudahlah, itu ada orang mendekati kita, Ceng Ceng.” Topeng Setan lalu
menghentikan kata-katanya dan Ceng Ceng menengok ke kanan. Benar saja, ada
seorang pria muda dengan langkah perlahan ke arah mereka, agaknya pemuda itu
sedang menikmati pemandangan di sekitar telaga itu.
“Eh.... kau ini....? Moi-moi.... Nona
Ceng....?” Tiba-tiba pemuda itu melangkah maju menghampiri dan memandang Ceng
Ceng dengan kedua lengannya dikembangkan dan wajahnya berseri.
Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Pemuda
itu tampan sekali, tampan dan ramah, sikapnya halus dan gembira, pakaiannya
indah sekali. Maka dia makin kaget ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain
adalah Pangeran Yung Hwa! Pangeran yang pernah ditolongnya dahulu di kota raja,
pangeran yang bersikap amat manis kepadanya, yang tanpa banyak membuang waktu
langsung saja menyatakan cinta kepadanya! Pemuda bangsawan menarik hati, yang
pernah.... menciumnya tanpa dia dapat mencegahnya, pemuda yang tentu akan
mudah menjatuhkan hatinya sekiranya dia tidak sudah hancur hatinya karena
perbuatan pemuda laknat yang menjadi musuhnya.
“Ohhh.... Pangeran.... Yung Hwa....” Dia
tergagap.
“Aih, Nona.... kiranya Thian sendiri yang
menuntun aku ke telaga ini. Kiranya aku dapat bertemu dengan engkau di sini!
Betapa bahagia rasa hatiku! Kau tidak tahu, susah payah aku mencarimu, Nona,
hatiku penuh dengan kegelisahan setelah aku mendengar bahwa engkau terluka
parah ketika terjadi penumpasan pemberontak, dan hatiku bangga bukan main
mendengar akan kepahlawananmu. Ah, mukamu masih pucat.... Nona Ceng, marilah,
engkau ikut bersamaku ke kota raja. Akan kuundang semua tabib terpandai,
engkau harus diobati sampai sembuh. Katanya engkau terluka pukulan beracun....”
Ceng Ceng sampai merasa kewalahan mendengar
ucapan yang membanjir ini. Dia menoleh kepaqa Topeng Setan yang juga memandang
pemuda itu dan baru sekarang agaknya Pangeran Yung Hwa melihat Topeng Setan.
Dia terkejut melihat wajah yang buruk itu dan dia bertanya, “Dia ini.... eh,
siapakah dia, Nona Ceng?”
Sebelum Ceng Ceng sempat menjawab, Topeng
Setan sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata, “Kiranya Paduka seorang
pangeran. Saya adalah Topeng Setan, pembantu Nona Ceng ini.”
“Topeng Setan....? Nama yang aneh....!”
Pangeran Yung Hwa kelihatan serem.
“Dia yang mengobati aku, Pangeran. Dan dia
akan mencarikan obat untukku di telaga ini, bagaimana Pangeran btsa tahu bahwa
aku terluka? Dan bagaimana pula bisa sampai di tempat ini?” Ceng Ceng bertanya.
Pangeran Yung Hwa kelihatan begitu gembira
bertemu dengan Ceng Ceng, sehingga dia lalu melupakan Topeng Setan, duduk di
atas perahu dan dengan ramah dia lalu bercerita.
“Aku bertemu dengan Perdana Menteri Su,
beliau yang menceritakan semuanya kepadaku. Beliau mendengar dari Kakak Milana
tentang engkau.... ah, kasihan Kakak Milana....”
“Kenapa, Pangeran?” Ceng Ceng bertanya heran.
“Ah, kau belum mendengar apa yang terjadi di
kota raja? Ah, banyak terjadi hal yang hebat mengerikan. Kau tahu, suami Kakak
Milana, yaitu Han Wi Kong, dengan nekat telah menyerbu istana Pangeran Liong
Bin Ong dan membunuh pangeran itu, akan tetapi dia sendiri pun tewas. Kakak
Milana mengamuk, membunuh para pengawal yang menewaskan suaminya, kemudian
Kakak Milana melarikan Puteri Bhutan dari istana dan peristiwa itu tentu saja
menggegerkan istana.”
Ceng Ceng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa
Pangeran Liong Bin Ong adalah dalang pemberontakan. Diam-diam dia merasa
kasihan kepada Puteri Milana yang dikaguminya itu. Juga dia kaget mendengar
bahwa Syanti Dewi dilarikan dari istana oleh Puteri Milana.
“Lalu ke mana mereka pergi? Ke mana Puteri
Bhutan itu dibawa pergi?” tanyanya.
“Entahlah. Siapa bisa mengikuti bayangan Enci
Milana? Dia sudah terbang.... dan aku berterima kasih sekali kepadanya bahwa
dia melarikan Puteri Syanti Dewi!” Wajah yang tampan itu berseri.
“Mengapa, Pangeran?”
“Ah, engkau tidak tahu? Ceng-moi...., tidak
tahukah engkau bahwa setelah Pangeran Liong Khi Ong tewas, Kaisar lalu memutuskan
untuk menjodohkan Puteri Bhutan itu dengan aku? Nah, dapat kau bayangkan betapa
gelisah hatiku.... engkau tahu bahwa setelah bertemu dengan engkau.... aku
tidak mungkin dapat menikah dengan wanita lain.... maka keputusan Kaisar itu
membuat aku mengambil keputusan untuk minggat lagi....”
“Ah, jangan berkata begitu, Pangeran!” Ceng
Ceng menegur halus sambil melirik dengan muka merah kepada Topeng Setan yang
hanya mendengarkan tanpa memandang.
“Akan tetapi untung, sebelum aku terpaksa
minggat, puteri itu telah dilarikan oleh Enci Milana. Memang Enci Milana
adalah seorang puteri yang gagah perkasa, adil dan berbudi. Dia tahu bahwa
Syanti Dewi juga tidak setuju dengan keputusan Kaisar, kami berdua akan
dikawinkan secara paksa! Maka begitu aku mendengar tentang dirimu, bahwa
menurut Perdana Menteri Su engkau telah terluka parah dan pergi, aku segera
mencarimu ke mana-mana. Akhirnya, agaknya Thian sendiri yang menuntun aku ke
telaga ini sambil pesiar, dan benar saja aku bertemu denganmu, Ceng-moi....!”
Pangeran itu kelihatan girang bukan main.
Ceng Ceng menarik napas panjang. Tidak perlu
lagi kiranya takut diketahui oleh Topeng Setan karena pemuda bangsawan ini
dengan terang-terangan telah menyatakan perasaannya di depan sahabatnya itu.
“Pangeran Yung Hwa, sudah kukatakan dahulu bahwa tidak mungkin bagimu
melanjutkan perasaanmu yang tidak selayaknya kepadaku itu. Kenapa engkau
membuang-buang waktu mencariku, Pangeran? Tempatmu di istana, di kota raja,
bukan di tempat liar ini....”
“Hushhh, jangan berkata demikian. Sudahlah,
jangan kita bicarakan itu dulu sebelum engkau sembuh. Bagaimana? Apanya yang
terasa sakit, Ceng-moi? Mari kita mencari tabib yang pandai di kota raja....”
“Paman Topeng Setan ini adalah tabibku,
Pangeran.”
“Ouhhh....! Benarkah Paman sanggup
menyembuhkan nona ini?” Yung Hwa bertanya kepada orang tua bertopeng buruk
itu. “Kalau benar, apa pun yang Paman minta akan kupenuhi. Aku bisa membantu
Paman memperoleh kedudukan di kota raja! Ataukah harta benda? Akan kuserahkan
kepadamu, Paman, asal Paman dapat menyembuhkan Nona Ceng....”
Topeng Setan menghela napas panjang dan Ceng
Ceng yang merasa tidak enak terhadap Topeng Setan segera berkata, “Pangeran,
paman ini adalah sahabatku, sahabat baikku! Dia telah berkali-kali menolongku
dan kini pun dia berusaha mencarikan obat untukku. Untuk semua itu dia sama
sekali tidak mengharapkan apa-apa.”
“Ah, kalau begitu Paman adalah seorang
budiman. Biar aku menghaturkan terima kasih terhadap semua kebaikan Paman yang
telah dilimpahkan kepada Nona Ceng!” Dan Pangeran Yung Hwa lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan Topeng Setan! Memang pangeran ini sama sekali berbeda
sikapnya dengan pangeran-pangeran lain. Dia paling bandel dan suka memberontak
terhadap peraturan dan tradisi istana, dan dia tidak angkuh seperti layaknya
seorang pangeran, dan pandai dia bergaul dengan rakyat biasa.
Topeng Setan cepat-cepat mengangkat bangun
pangeran itu. “Ah, harap Paduka jangan merendahkan diri seperti itu, Pangeran.”
Suara Topeng Setan mengandung keharuan. “Saya berjanji akan berusaha sekuat
saya untuk menyembuhkan Nona Ceng.”
“Terima kasih.... terima kasih....! Wah,
hatiku lega sekali mendengar ini. Ceng Ceng, obat apakah yang hendak dicari di
telaga ini?”
“Obat yang juga akan diperebutkan oleh semua
orang itu, Pangeran.”
“Aihhh....?” Pangeran itu terkejut, memandang
ke pinggir telaga di mana berkumpul banyak orang dan di tengah telaga yang
sudah nampak banyak perahu hilir mudik. “Berebutan? Apa yang diperebutkan?”
“Anak naga yang akan muncul malam ini di
permukaan Telaga Sungari!” kata Ceng Ceng dengan suara lantang dan pandang mata
geli karena dia ingin menakut-nakuti pangeran ini. Sikap pangeran yang gembira
itu membangkitkan watak gadis ini yang memang lincah gembira sebelum malapetaka
kehidupan menimpa dirinya.
Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tidak menjadi
takut atau kaget, malah dia tertawa bergelak. “Lucu....! Dongeng itu? Ha-ha-ha,
sungguh lucu. Lucu dan indah. Kaulihat betapa indahnya permukaan telaga yang
biru itu, Ceng-moi. Lihat betapa air seperti terbakar oleh cahaya matahari
senja yang kemerahan. Seolah-olah permukaan telaga berubah menjadi api neraka
dan dari situ akan muncul anak naga? Ha-ha, pemandangan alam begini indah,
ditambah suasana yang begini aneh dibumbui dongeng menyeramkan, benar-benar
membuat orang menjadi gembira dan timbul gairah untuk menulis sajak!”
Ceng Ceng juga tersenyum. Kegembiraan
pangeran itu menular dan memang sukar untuk tidak merasa gembira berdekatan
dengan pemuda yang menarik hati ini. “Kalau begitu, mengapa Pangeran tidak
menulis sajak?”
“Alat tulisku berada di kereta yang menanti di
sana....” pangeran itu menuding ke kanan. “Aku datang bersama seorang kusir
dan dua orang pengawal yang kusuruh menanti di sana karena aku ingin
berjalan-jalan sendiri.... akan tetapi bertemu denganmu membangkitkan daya
ciptaku, Moi-moi. Tanpa ditulis pun rasanya sanggup aku menciptakan sajak
untukmu. Kaudengar....”
Pangeran itu berdiri menghadapi telaga yang
pada saat itu memang amat indah pemandangannya. Kemudian terdengar dia
mengucapkan kata-kata sajak berirama seperti orang bersenandung, suaranya halus
dan merdu, matanya tajam menatap ke depan seolah-olah melihat hal-hal yang tak
tampak oleh mata biasa. Mata seniman yang dapat menembus segala tabir dan
kabut rahasia yang membutakan mata sebagian besar manusia.
“Merah nyala matahari
membakar langit senjakala
di atas Telaga Sungari!
Air terbakar merah seperti neraka
sebagai isyarat
munculnya sang naga
dari dongeng rakyat jelata.
Matahari senja, langit menyala,
Telaga Sungari, kisah naga,
tidak seindah saat ini
berjumpa kekasih di tepi sungai!”
Ceng Ceng mendengarkan dengan kagum dan
terharu. Dia maklum bahwa bagaimanapun juga, pangeran yang tampan ini masih
terus menyatakan cinta kasih kepadanya!
“Bagaimana, Ceng-moi? Baikkah sajakku tadi?”
“Sajak yang indah sekali!” Tiba-tiba Topeng
Setan berkata sambil merenung ke tengah telaga.
“Sajakmu memang bagus, Pangeran,” kata Ceng
Ceng menunduk, jantungnya berdebar dan dia tidak tahu harus berkata apa di
depan pangeran yang sifatnya terbuka dan yang menyatakan perasaan hatinya
secara langsung dan terang-terangan.
“Tunggu sebentar, Ceng-moi. Aku akan menyuruh
keretaku ke sini. Indah sekali di bagian ini dan hem.... aku maklum bahwa
keindahan itu tidak akan ada artinya lagi kalau engkau tidak berada di sini.
Kautunggu sebentar, aku takkan lama....” Pangeran itu lalu bergegas pergi
hendak menyuruh kusir dan pengawalnya membawa keretanya ke tempat itu.
Sementara itu, cuaca mulai gelap dan kegelapan
itu adalah karena pertemuan antara sinar senja dari matahari dan sinar lembut
dari bulan di timur.
“Paman, mari kita pergi....” Ceng Ceng berkata
lirih setelah pangeran itu pergi jauh.
“Eh....?” Topeng Setan berkata bingung.
“Mari kita dayung perahu ke tengah telaga.
Kalau kita terlambat, jangan-jangan kita tidak akan berhasil mendapatkan anak
naga itu.... dia.... dia.... tentu akan menjadi pengganggu kalau sudah kembali
ke sini.”
Topeng Setan hanya mengangguk, tidak membantah
lalu mereka memasuki perahu kecil yang segera didayung ke tengah oleh Topeng
Setan. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi yang sudah tidak
kelihatan lagi karena gelapnya cuaca dan Ceng Ceng membayangkan betapa
pangeran itu akan mencari-cari dan akan kebingungan dan kecewa.
“Pangeran Yung Hwa itu baik sekali....”
Terdengar Topeng Setan berkata.
“Dia seperti orang gila saja....” Ceng Ceng
membantah yang lebih ditujukan kepada hatinya sendiri.
“Memang begitulah orang yang jatuh cinta, tergila-gila....”
“Sudahlah, Paman. Aku tidak mau bicara tentang
dia. Mari kita mendekati perahu-perahu itu. Agaknya ada terjadi sesuatu di
sana.”
Bulan mulai muncul di ufuk timur dan
perahu-perahu makin bertambah banyak. Agaknya semua orang kang-ouw yang ingin
menangkap anak naga sudah bersiap-siap dan sudah berada di perahu
masing-masing. Dan ketika prerahu kecil Ceng Ceng dan Topeng Setan berada di
tengah, di tempat yang ramai karena agaknya semua perahu mengharapkan munculnya
anak naga di telaga, tampaklah perahu-perahu berseliweran dan agaknya banyak
yang melagak, memamerkan kekuatan dan bersiap-siap untuk berebutan dan kalau
perlu mempergunakan kepandaian mereka untuk saling mengalahkan lawan dalam
perebutan itu!
Perahu-perahu itu ditumpangi oleh orang-orang
yang wajahnya serem-serem dan aneh-aneh. Ketika Topeng Setan mendayung
perahunya perlahan-lahan sambil memperhatikan kanan kiri, tiba-tiba sebuah
perahu besar lewat dengan laju dan perahu yang didayung cepat ini menimbulkan
gelombang yang melanda perahu-perahu kecil di sekelilingnya, termasuk perahu
yang ditumpangi Topeng Setan dan Ceng Ceng.
Perahu besar itu agaknya tidak mempedulikan
perahu-perahu lainnya dan meluncur dengan angkuhnya. Agaknya karena kurang
hati-hati, sebuah perahu kecil terlanggar ujungnya dan dengan suara keras,
perahu itu terbalik! Ceng Ceng memandang dengan penuh perhatian karena perahu
kecil yang terlanggar itu tidak jauh jaraknya dari perahunya. Penumpangnya
hanya satu orang. Orang berpakaian tosu tua yang wajahnya bengis. Orang-orang
di dalam perahu lain sudah tertawa melihat perahu terbalik ini, akan tetapi
tiba-tiba tosu itu mengeluarkan seruan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat
tinggi sekali, lalu bagaikan seekor burung garuda saja, di udara tubuhnya
membuat poksai (salto) sampai tiga kali dan dia sudah melayang ke arah perahu
besar itu.
“Tarrrr....!” Suara ledakan ini dibarengi
oleh uap yang mengepul ketika sebatang cambuk bergerak menyambar tubuh tosu
itu dari atas perahu besar. Sungguh merupakan sambaran yang amat berbahaya
karena lecutan cambuk yang dibarengi suara meledak nyaring dan kepulan uap itu
menandakan bahwa yang memegang cambuk adalah orang yang berilmu tinggi dan
bertenaga besar. Ceng Ceng terkejut karena menurut dugaannya tentu tubuh tosu
itu akan kena dihajar dan akan terjatuh ke air.
Akan tetapi, betapa kagumnya ketika tosu itu
kembali mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah membuat gerakan aneh,
seperti seekor burung walet bertemu halangan dan sudah berjungkir balik dan
berhasil mengelak lalu tubuh itu mencelat lagi ke atas, tahu-tahu tubuh itu
sudah hinggap di puncak tiang layar perahu besar itu!
“Hebat....!” Ceng Ceng memuji karena apa yang
diperlihatkan oleh tosu itu adalah suatu demonstrasi kepandaian gin-kang yang
hebat dan dia harus mengakui bahwa dia sendiri tidak mungkin meniru perbuatan
tosu itu.
Terdengar bunyi aba-aba di perahu besar dan
tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan empat batang anak panah yang besar dan
berat, yang agaknya keluar dari satu busur, meluncur ke arah tubuh tosu di
antara tiang layar itu. Akan tetapi tosu itu telah meloncat ke atas dan ketika
empat batang anak panah itu meluncur lewat, dia hinggap di atas empat batang
anak panah itu dengan menelungkup, kaki dan tangannya hinggap di atas sebatang
anak panah dan “terbanglah” dia mengikuti luncuran anak panah-anak panah itu!
Ceng Ceng sampai bengong menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian ini. Gin-kang
tosu itu benar-benar seperti seekor burung saja. Akan tetapi pemain cambuk dan
pemanah di atas perahu itu pun tak boleh dibuat main-main.
Tubuh tosu yang “menunggang” empat batang
anak panah itu kebetulan meluncur ke arah perahunya yang terbalik dan dia lalu
meloncat turun. Hampir saja tubuhnya menimpa dua buah perahu kecil lainnya.
Perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek muka hitam tinggi besar dan
perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek gemuk pendek berkepala gundul.
“Huhhhh!” Kakek tinggi besar sudah meloncat ke
atas, menjepit perahu dengan kedua kakinya dan perahunya “terbang” terbawa
oleh loncatannya sehingga tidak tertimpa tubuh tosu itu.
“Hemmm....!” Kakek gundul gemuk pendek
mengerahkan dayungnya dan.... perahunya “selulup” ke dalam air seperti seekor
ikan, kemudian muncul kembali ke depan, lima meter jauhnya dan dia tetap
mendayung perahunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu sungguhpun pakaian
dan kepala gundulnya basah kuyup!
Ceng Ceng makin kagum. Dua orang kakek itu pun
hebat sekali! Kiranya tempat ini penuh dengan orang-orang pandai, tepat seperti
yang diceritakan dan diduga oleh Topeng Setan tadi. Ceng Ceng menjadi makin
ragu-ragu. Kalau tempat ini begitu penuh orang pandai, bagaimana mungkin dia
dan Topeng Setan akan berhasil mendapatkan anak naga itu? Tentu akan
menghadapi banyak sekali halangan.
“Cluppp....!” Tubuh tosu kurus tadi terjun ke
dalam air dan lenyap. Ceng Ceng menanti-nanti, akan tetapi tidak kelihatan tosu
itu keluar dari dalam air. Dia merasa khawatir sekali dan menduga-duga, lalu
bertanya kepada Topeng Setan, “Paman, apakah dia mati?”
Topeng Setan mendengus, “Hemm, dia sudah
kembali ke perahunya.”
Ceng Ceng memandang perahu yang terbalik tadi.
Masih tetap terbalik dan kini dia yang menduga-duga apakah benar tosu itu telah
berada di bawah perahunya yang terbalik itu dan kalau benar begitu, bagaimana
Topeng Setan bisa mengetahuinya.
Sementara itu, perahu besar yang menabrak
perahu tosu tadi, masih meluncur cepat ke tengah telaga. Dari sebelah kanan
juga meluncur sebuah perahu besar lain dengan cepat. Karena keduanya tidak mau
saling mengalah, tak dapat terhindarkan lagi, ujung kedua perahu besar itu
beradu.
“Brakkkk....!” Dua buah perahu besar
terguncang hebat dan beberapa orang anak perahu terlempar keluar dari perahu
dan jatuh ke air.
Demikian hebatnya tabrakan itu sehingga tiang
perahu besar ke dua itu patah dan tumbang, jatuh menimpa ke arah sebuah perahu
kecil yang berada di sebelah kanannya, tidak kelihatan oleh Ceng Ceng yang
berada agak jauh di sebelah kiri perahu itu.
Tiang yang terbuat dari balok besar itu
menimpa perahu yang ditumpangi oleh dua orang muda, yang bukan lain adalah Kian
Bu dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui! Keduanya menjadi terkejut akan tetapi
dengan tenang mereka lalu menghindar dengan meloncat tinggi ke atas. Perahu
mereka hancur akan tetapi keduanya selamat dan dengan gerakan yang indah
sekali, sambil saling bergandeng tangan, kedua orang ini sudah melayang turun
kembali dan hinggap di atas balok tiang layar yang menimpa perahu mereka tadi,
berdiri tegak dan sedikit pun tidak terguncang. Orang-orang yang menyaksikan
ini memuji keindahan gerakan mereka. Karena semua peristiwa itu terjadi di
bawah sinar bulan purnama yang tidak terlalu terang akan tetapi juga tidak
gelap, maka kelihatan makin indah.
Perahu ke dua yang patah tiangnya itu ternyata
adalah perahu milik rombongan Pulau Neraka, sedangkan perahu besar pertama
yang menabraknya adalah perahu yang ditumpangi oleh rombongan Raja Tambolon!
Kini seorang tokoh Pulau Neraka yang keluar dari balik perahu, dengan marah
menyambitkan obor yang tadi dipegangnya ke arah perahu Raja Tambolon. Obor
meluncur seperti mustika naga ke arah perahu itu dan semua orang memandang
dengan hati tegang. Tiba-tiba jendela bilik perahu Raja Tambolon terbuka,
sebuah lengan tangan yang hitam kurus mencuat ke luar dan.... obor yang
melayang itu seperti bernyawa saja, terbang ke arah tangan itu yang sudah
menyambutnya! Maka keluarlah nenek itu, merupakan bayangan hitam yang kecil
menyeramkan karena dengan tangan kirinya dia lalu meremas-remas api obor itu begitu
saja sampai menjadi padam! Akan tetapi ketika nenek itu membuka mulutnya ini
melayanglah segumpal api yang merupakan bola api meluncur ke arah perahu Pulau
Neraka dan tepat mengenai gulungan tali layar sehingga terbakar.
Tentu saja orang-orang Pulau Neraka cepat
memadamkan api itu dan ada di antara mereka yang memaki-maki dan
mengacung-acungkan senjata. Ceng Ceng melihat bahwa nenek itu terkekeh aneh dan
dia merasa seram seperti melihat setan! Dan nenek itu memanglah Nenek
Durganini, guru Tambolon ahli sihir yang lihai dan yang tadi telah
mendemonstrasikan ilmu sihirnya.
Keadaan menjadi makin tegang. Kedua pihak,
yaitu anak buah Tambolon dan anak buah Pulau Neraka, sudah saling mengancam dan
mendayung perahu saling mendekati, agaknya tak dapat dihindarkan lagi kedua
rombongan ini akan saling gempur. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
aneh, seperti keluar dari dalam dasar telaga, suara yang dalam akan tetapi
terdengar jelas oleh semua orang.
“Itu dia....! Naga sudah muncul....!”
Tampak air bergolak dan tahu-tahu perahu yang
terbalik tadi kini membalik telentang dan Si Tosu sudah berada di dalam perahu!
Kiranya tosu aneh yang lihai inilah yang tadi bersuara dari balik perahu maka
suaranya terdengar begitu aneh. Dan otomatis ketegangan antara dua rombongan
perahu besar itu beralih menjadi ketegangan menghadapi peristiwa yang telah
mereka tunggu-tunggu. Terdengar suara air gemericik dan telaga itu
bergelombang dahsyat. Semua orang memandang dengan panik. Untung bulan purnama
bersinar terang tanpa penghalang awan sehingga permukaan telaga kelihatan
terang keemasan, akan tetapi belum kelihatan apa-apa kecuali gelombang yang
makin membesar dan perahu-perahu kecil terombang-ambing. Ceng Ceng dan Topeng
Setan juga cepat menggerakkan dayung untuk mencegah perahu mereka terguling,
sedangkan wajah Ceng Ceng menjadi tegang dan matanya terbelalak. Belum pernah
dia merasa setegang itu, jantungnya berdebar keras dan dia hampir tidak berani
berkedip karena matanya terbelalak menyapu seluruh permukaan air,
mencari-cari.
Bukan hanya mata Ceng Ceng saja yang tidak
pernah berkedip menyapu ke kanan kiri, melainkan mata semua orang yang berada
di atas perahu-perahu besar kecil itu semua terbelalak mencari-cari, seluruh
urat syaraf di tubuh menegang, dan siap untuk bergerak apabila yang
dinanti-nanti itu muncul.
Akan tetapi ketika yang ditunggu-tunggu itu
benar-benar muncul, semua orang menjadi panik, apalagi anak buah Pulau Neraka
karena di dekat perahu mereka itulah munculnya “naga” itu! Secara tiba-tiba
saja air telaga muncrat tinggi dan tampaklah sebuah kepala ular yang besar
sekali, muncul di atas permukaan air begitu saja. Sepasang mata ular itu
mencorong seperti lentera bernyala, kuning kehijauan sinarnya dan seolah-olah
ular atau naga itu hendak menyapu semua permukaan telaga dengan sinar matanya
yang mencorong. Di dekat lubang hidungnya nampak dua sungut panjang seperti
sungut ikan lee dan ketika muncul itu, lehernya “berdiri” dan dari dalam mulut
yang sedikit terbuka itu mencuat sebatang lidah putih yang bercabang dua.
Kepala ular itu sebesar karung beras dan kepala sebesar itu tentu akan dapat
dengan mudah menelan seorang manusia dewasa! Melihat kepala ular tersembul di
permukaan air dekat perahu mereka, para anak buah Pulau Neraka menjadi panik
dan mereka sudah mengangkat senjata untuk membacok ular itu kalau berani naik
lebih tinggi lagi. Akan tetapi terdengar bentakan keras dari Hek-tiauw Lo-mo
menyuruh anak buahnya minggir dan dia sendiri lalu meloncat ke pinggir
perahunya, dekat dengan ular besar itu dan tangan kirinya bergerak menyebar
bubuk putih ke arah kepala ular itu.
“Koaaaakkk....!” Terdengar suara nyaring
sekali, suara yang menggetarkan jantung semua orang ketika ular yang terkena
bubuk racun putih kepalanya itu memekik dan kepala itu menyelam sebentar. Akan
tetapi tidak lama kemudian kepala ular besar itu muncul lagi dan kedua matanya
terpejam dan berair. Ternyata racun dahsyat dari Hek-tiauw Lo-mo itu telah
membutakan mata ular sehingga binatang yang usianya tentu sudah ratusan tahun
ini menjadi marah sekali. Begitu muncul lagi, terdengar dia mengeluarkan suara
berkoak beberapa kali dan dia mengamuk. Kepala dan ekornya bergerak menghantam
sana-sini dan air telaga pun berguncang hebat seperti dilanda badai.
Perahu-perahu kecil terbanting dan banyak pula yang tersentuh sabetan ekor ular
besar itu menjadi pecah berantakan dan tenggelam. Juga kedua perahu besar itu
diombang-ambingkan, saling bertumbukan dan masih dihantam oleh ekor ular
sehingga pecah berantakan dan para penumpangnya cerai-berai banyak yang
terlempar ke dalam air! Suasana menjadi menakutkan dan semua orang menjadi
panik.
Topeng Setan dan Ceng Ceng cepat mendayung
perahunya menjauh. Ceng Ceng gemetar dan mukanya pucat sekali. Tak disangkanya
bahwa ular “naga” itu sedemikian hebatnya. Ketika mengamuk tadi, nampaklah
tubuhnya yang panjang dan besar, sebesar tubuh manusia dan panjangnya belasan
meter. Sisik tubuhnya mengkilap dan besar-besar kehijauan dan kelihatan keras
dan kuat sekali. Bagian bawah tubuhnya agak putih dan ketika ular itu membuka
moncongnya, nampak gigi yang seperti pedang, rongga mulut yang lebar dan merah
dan lidahnya yang bercabang itu keluar masuk di antara gumpalan uap menghitam
yang keluar dari dalam mulut ular itu. Anak ular yang ditunggu-tunggu tidak
kelihatan. Melihat kedahsyatan ular itu, yang begitu besar dan mengerikan, Ceng
Ceng menjadi gentar sekali. Telaga yang demikian luasnya menjadi bergelombang
ketika ular itu mengamuk. Sukar dibayangkan betapa hebat tenaganya. Mana
mungkin orang dapat menangkap anaknya yang kabarnya selalu dibawa di dalam
mulutnya? Manusia gila manakah yang akan mampu mengambil anak “naga” itu dari
dalam moncong yang demikian mengerikan dan berbahaya?
Betapapun lihainya seseorang mana mungkin
mampu melawan seekor naga yang demikian kuat dan dahsyatnya? Baru sabetan
ekornya saja sudah dapat menghancurkan perahu-perahu besar kecil! Kabarnya,
selama ratusan tahun belum pernah ada yang mampu menaklukkan naga ini,
apalagi mencuri anaknya dari dalam moncong! Akan tetapi anehnya, menurut
penuturan Topeng Setan, setiap sepuluh tahun sekali ada orang-orang kang-ouw
yang datang untuk mencobanya, sungguhpun setiap sepuluh tahun itu pasti jatuh
korban banyak orang tewas di Telaga Sungari ini! Dan sekarang, aklbat perbuatan
Hek-tiauw Lo-mo yang meracuni naga, sudah jelas akan menimbulkan korban yang
tidak sedikit. Sekarang saja yang tenggelam karena perahunya pecah sudah ada
belasan orang!
“Bodoh si Hek-tiauw Lo-mo!” Topeng Setan
berkata lirih. “Kenapa dia tergesa-gesa? Sekarang mana mungkin menangkap anak
ular itu?” Jelas bahwa Topeng Setan merasa kecewa sekali oleh perbuatan
Hek-tiauw Lo-mo itu dan Ceng Ceng dapat mengerti karena menurut cerita Topeng
Setan, naga itu biasanya akan lama berenang di permukaan telaga dan akan
mengeluarkan anaknya dari mulut agar anak naga itu dapat berenang di permukaan
air. Sekarang, karena naga itu telah menjadi buta dan terluka berat, tentu
binatang ini menjadi marah dan tidak ada harapan lagi untuk melihat dia
mengeluarkan anaknya dari dalam mulut setelah tahu bahwa ada bahaya mengancam.
“Aaiiihhh....!” Tiba-tiba Ceng Ceng
menjerit dan cepat-cepat dia berpegang pada pinggiran perahunya ketika perahu
kecil itu tiba-tiba mencelat ke atas tersundul oleh sesuatu dari bawah air.
Perahu itu mencelat ke atas, akan tetapi berkat kecekatan dan tenaga Topeng
Setan yang memegangi kedua pinggiran perahu, perahu itu tidak terbalik dan
dapat melayang turun lagi ke atas air dan mereka berdua tetap duduk di dalam
perahu dan hanya kehilangan dayung. Ceng Ceng terkejut bukan main dan hampir
dia pingsan karena kagetnya.
“Apa.... apa yang terjadi.... eiiikkkhhh....!”
Ceng Ceng menjerit lagi dengan mata terbelalak memandang ke kiri karena
tiba-tiba saja di samping perahu itu muncul moncong ular naga tadi. Uap putih
bergumpal keluar dari mulut itu dan Ceng Ceng mencium bau yang memuakkan, akan
tetapi karena dia sudah kebal terhadap racun, uap beracun itu tidak
mempengaruhi, hanya rasa takut membuat dia seperti kehilangan semangat dan
tidak mampu bergerak lagi. Ekor ular menyabet, tampak bayangan ekor ular itu
muncul di permukaan air dan secepat kilat Topeng Setan sudah menyambar pinggang
Ceng Ceng dengan lengan kanannya dan dia meloncat ke atas ketika ekor ular
raksasa itu menyabet perahu.
“Braaakkkk....!” Perahu kecil itu hancur
berkeping-keping ketika dihantam ekor ular itu. Topeng Setan sudah cepat
meloncat ke atas akan tetapi tetap saja kaki kanannya keserempet sabetan ekar
ular itu. Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk tulang seolah-olah
tulang pahanya remuk. Topeng Setan maklum bahwa sin-kangnya dapat melindungi
tulang pahanya, akan tetapi biarpun dia tidak mengalami luka dalam yang hebat,
tetap saja merasa betapa kaki kanannya itu seperti lumpuh.
“Pakai pedang pendek ini....!” Ceng Ceng yang
teringat akan bekalnya, sebatang pedang kecil yang diselipkan di pinggang,
mencabut senjata itu dan menyerahkan kepada Topeng Setan yang cepat
menyambarnya dengan tangan kiri. Dia berhasil menginjak pecahan perahu dan
selagi tubuhnya meluncur turun dan dia melihat kepala naga itu membuka
moncongnya dan siap hendak menyerang dan menelan dia dan Ceng Ceng, Topeng
Setan melihat lidah putih itu mencuat keluar. Secepat kilat tangan kirinya
menggerakkan pedang pendek Ceng Ceng. Dia sudah melihat tadi betapa tubuh dan
kepala naga itu kebal terhadap hantaman dan bacokan senjata-senjata tajam anak
buah kedua perahu itu, maka kini dengan mati-matian dia menusukkan pedangnya ke
arah lidah ular naga itu.
“Crattt.... plaaakkk!” Pedang kecil itu tepat
menancap di lidah ular, melukai lidah itu akan tetapi gerakan kepala ular itu
ke samping membuat pedang itu terlepas dari pegangan tangan kiri Topeng Setan.
Dan Topeng Setan terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya karena terdengar
pekik melengking yang dahsyat sekali dari mulut ular itu. Pekik melengking
nyaring ini terdorong oleh rasa kesakitan karena lidahnya terluka dan
mengucurkan darah, dan pada saat ular itu terpekik melengking, pandang mata
yang tajam dari Topeng Setan dapat melihat sebuah benda berkilauan mencelat
keluar dari dalam kerongkongan mulut ular naga itu. Benda itu ternyata adalah
seekor ular kecil! Itulah anak naga yang dicari-cari! Dengan lengan kanan masih
memeluk pinggang Ceng Ceng, Topeng Setan lupa akan segala bahaya dan cepat dia
menubruk ke air, di mana tadi dia melihat ular kecil itu terlempar dan tangan
kirinya menyambar. Tepat sekali dia berhasil menangkap kepala ular kecil itu!
Ular kecil meronta-ronta, tubuhnya membelit lengan kiri Topeng Setan, akan
tetapi Topeng Setan mengerahkan tenaganya dan ular kecil itu tidak mampu
melepaskan diri.
Akan tetapi pada saat itu, induk ular naga
menjadi marah sekali. Biarpun matanya sudah buta, akan tetapi nalurinya
memberi tahu bahwa anaknya berada dalam bahaya dan kepekaannya dapat membuat
dia tahu bahwa musuh yang menyakiti lidahnya berada di depan. Dia membuka
moncongnya dan menyambar ke arah Topeng Setan yang sudah berhasil menangkap
anak ular dan berusaha menghindar dan berenang, melihat moncong lebar itu
menyambar dari arah kirinya, menjadi terkejut dan dia memindahkan anak ular ke
tangan kanannya, kemudian dia menggerakkan tangan kiri dengan pengerahan tenaga
untuk menangkis karena sudah tidak keburu membalikkan badan. Karena lengan
kanan itu merangkul pinggang Ceng Ceng, tentu saja gerakan tangan kirinya
menjadi kaku.
“Plakkk....!” Topeng Setan mengeluarkan
teriakan ngeri ketika dia merasa betapa Ceng Ceng terlepas dari rangkulan.
Seketika yang teringat olehnya hanyalah keselamatan Ceng Ceng yang disangkanya
telah terampas oleh moncong ular naga, maka otomatis dia menggerakkan lengan
kiri untuk menyambar. Akan tetapi perasaan kosong dan aneh membuat dia
memandang tangan kirinya dan Topeng Setan terbelalak, mulutnya mengeluarkan
suara. “Auhhhh....” ketika dia melihat betapa tangan kiri berikut lengannya
telah lenyap! Yang tinggal hanyalah pundaknya dan seluruh lengan kirinya itu
ternyata telah buntung dicoplok ular naga tadi!
Melihat kenyataan yang mengerikan ini, hampir
saja Topeng Setan menjadi pingsan. Akan tetapi, dia menggigit bibir menahan
pukulan lahir batin yang amat hebat ini. Tidak, tekadnya. Dia tidak boleh
pingsan. Yang penting adalah Ceng Ceng! Dia cepat menengok dan melihat gadis
itu gelagapan tak jauh dari situ. Gadis itu tidak pandai berenang dan dipermainkan
air bergelombang. Cepat dia lalu berenang mendekati dan menggunakan lengan
kanan memeluk pinggang gadis itu dan mengangkatnya ke atas. Ular itu masih
digenggam di tangan kanannya.
Selagi Topeng Setan yang kini hanya
mengandalkan kedua kakinya untuk bergerak di air itu hendak berenang menjauh,
tiba-tiba kaki kirinya dipegang orang dari bawah! Topeng Setan merasa terkejut,
mengerti bahwa amatlah berbahaya kalau dia tidak dapat melepaskan cekalan
tangan orang itu. Cepat dia meronta dan menendang-nendangkan kaki kirinya,
bahkan kaki kanannya juga menendang ke bawah. Akan tetapi tetap saja cekalan
itu tidak terlepas dari kakinya. Sementara itu Ceng Ceng sudah pingsan dan
bergantung lemas dalam pelukan tangan kanannya, sedangkan anak ular itu masih membelit
lengan kanannya tanpa mampu melepaskan diri.
Tangan yang mencekal kaki Topeng Setan itu
kuat sekali dan kini berusaha menarik tubuh Topeng Setan tenggelam. Topeng
Setan meronta-ronta, namun cekalan pada pergelangan kakinya itu seperti
jepitan baja, dan tidak mungkin dapat dilepaskan dengan cara meronta dan
menendang. Sudah beberapa kali dia ditarik ke bawah sampai gelagapan. Hampir
saja dia menyerah. Akan tetapi tiba-tiba induk ular yang masih mengamuk itu
menggerakkan ekor menyabet ke arah kaki Topeng Setan. Hal ini menolongnya
karena kakinya terlepas dari jepitan dan orang yang memegang kakinya itu muncul
ke permukaan air. Kiranya orang itu adalah Si Tosu yang lihai tadi! Akan tetapi
karena induk ular naga itu masih mengamuk, Si Tosu Lihai tidak berani mendekat,
bahkan cepat-cepat berenang menjauh ketika ular naga itu bergerak ke arahnya
dengan sikap menyeramkan.
Karena merasa betapa tubuhnya makin melemah
dan ular naga itu masih mengamuk di dekatnya, maka Topeng Setan yang hanya
teringat akan keselamatan Ceng Ceng semata, melihat adanya balok tiang perahu
besar yang tadi patah dan kini ujung yang kiri masih ditumpangi oleh Kian Bu
dan Hong Kui, cepat dia menggerakkan kaklnya dan seluruh tubuhnya, mencelat ke
atas balok tiang layar itu.
Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tampak
sebuah perahu juga meloncat dan menubruk Topeng Setan. Orang yang berada di
dalam perahu itu adalah kakek tinggi besar bermuka hitam yang cepat mengulur
tangannya merampas ular kecil di dalam genggaman tangan Topeng Setan! Karena
perahu itu muncul tiba-tiba dan menubruknya, membuat dia tidak dapat mengelak
lagi, apalagi lengannya yang tinggal satu itu memeluk Ceng Ceng yang sudah
mulai siuman, maka Topeng Setan sekali ini tidak berdaya. Ular kecil di dalam tangannya
kena dirampas oleh kakek tinggi besar muka hitam itu! Dengan kemarahan meluap,
Topeng Setan masih sempat menggerakkan kakinya menendang.
“Bukkk!” Tendangannya tepat mengenai lambung
kakek itu sehingga terlempar keluar dari perahunya.
“Byuuuurrr....!” Tiba-tiba dari dalam air
muncul sebuah perahu dan kakek pendek gemuk berkepala gundul sudah
menggunakan dayungnya mengemplang kepala kakek muka hitam!
Kakek muka hitam terkejut, masih dapat
mengelak sambil menangkap dayung itu, akan tetapi ternyata kakek gundul itu
hanya menipunya karena sambil tertawa lalu tangannya meraih dan.... ular kecil
itu kembali berpindah tangan, dari tangan kakek tinggi besar bermuka hitam
terampas oleh kakek gundul.
“Keparat....!” Kakek muka hitam
menggerakkan dayung rampasannya dan menghantam ke perahu lawan.
“Brakkkk....!” Perahu itu hancur
berkeping-keping dan Si Kakek Gundul sambil tertawa lalu menyelam dan lenyap!
Sementara itu, Topeng Setan berhasil hinggap
di ujung balok tiang layar. Ceng Ceng sudah siuman dan pertama kali gadis ini
melihat lengan kiri Topeng Setan yang lenyap, hanya tinggal pundak kiri yang
berlepotan darah, hampir dia pingsan lagi.
“Paman....!” Dia menjerit dan memeluk tubuh
mandi darah itu. “Kau.... kau.... lenganmu....?”
“Tidak apa, Ceng Ceng.... tidak apa....”
Topeng Setan berkata tenang.
“Tidak apa-apa? Lenganmu buntung dan kau
bilang tidak apa-apa?” Ceng Ceng lalu cepat mengeluarkan obat bubuk yang sudah
basah semua dari dalam bajunya, mengobati pundak yang buntung itu dengan hati
penuh kengerian dan keharuan, kemudian dia merobek baju Topeng Setan dan
membalut luka yang kini darahnya sudah berhenti mengucur. Topeng Setan sama
sekali tidak mengeluh, bahkan kelihatan tersenyum di balik topengnya yang
buruk. Kian Bu dan Hong Kui yang melihat semua ini menjadi bengong. Kian Bu
merasa kagum bukan main. Betapa hebatnya orang yang bermuka buruk ini, yang
dia tahu adalah pembantu dari Ceng Ceng. Manusia muka buruk ini sudah putus
lengannya, akan tetapi masih dapat bergerak sehebat itu di dalam air, berhasil
menolong Ceng Ceng yang tadi pingsan, bahkan telah berhasil menangkap anak naga
yang kini terampas oleh kakek gundul yang menyelam dan menghilang. Melihat
keslbukan Ceng Ceng merawat luka Topeng Setan, apalagi karena dia masih merasa
malu karena terlihat berdua dengan Mauw Siauw Mo-li, maka Kian Bu tidak berani
menegur Ceng Ceng yang agaknya juga tidak melihatnya biarpun mereka berada di
satu balok tiang layar, di kedua ujungnya. Agaknya Ceng Ceng juga tidak melihat
dan mempedulikan keadaan sekelilingnya lagi karena seluruh perhatiannya
tercurah kepada keadaan Topeng Setan yang kehilangan lengan kirinya.
“Sayang anak naga itu terampas Si Kakek
Gundul....” terdengar Topeng Setan berkata.
“Peduli dengan ular itu....!” Ceng Ceng
menjawab sambil menyelesaikan pekerjaannya membalut pundak dengan hati-hati.
“Aku.... aku benci ular itu, Paman! Aku benci diriku sendiri karena aku yang
menyebabkan kau kehilangan lengan kirimu.”
“Ahhh.... jangan berkata begitu....”
Sementara itu, induk ular naga masih mengamuk
karena selain matanya buta, lidahnya terluka, juga dia kehilangan anaknya.
Amukannya di dalam air itu agaknya membuat Si Kakek Gundul tidak kuat bertahan
lama dan sudah muncul lagi ke permukaan air. Akan tetapi begitu dia muncul,
dari atas perahu besar milik Tambolon, tampak sinar hitam mencuat dan tahu-tahu
tubuh kakek gundul sudah tertangkap dalam sehelai jaring hitam yang terbuat
dari tali sutera halus yang amat kuat! Kakek gundul yang masih memegangi ular
kecil itu terkejut dan meronta-ronta, namun dia tidak berdaya ketika tubuhnya
ditarik dan diangkat naik ke atas perahu oleh Tambolon dan dua orang
pengawalnya, yaitu Si Petani dan Si Siucai. Begitu jaring dibuka, kakek gundul
mengamuk dan gerakannya dahsyat sekali. Akan tetapi tiba-tiba nenek itu
berkata, suaranya melengking tinggi dan nadanya aneh.
“Jangan keroyok, biarkan dia!”
Mendengar ini, Tambolon dan dua orang
pembantunya mundur dan nenek itu lalu berkata, “Hai, cucuku gundul.... engkau
memang anak baik sekali mau menyerahkan ular itu kepada nenekmu. Mari.... mari
sini.... berikan ular itu kepadaku....!”
Ceng Ceng yang sudah selesai membalut, kini
bersama Topeng Setan memandang ke arah perahu itu dan mereka menjadi bengong
terheran-heran melihat kakek gundul yang lihai dan yang tidak gentar dikeroyok
oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya itu kini menjatuhkan diri berlutut di
depan Si Nenek Hitam dan menyerahkan ular itu dengan kedua tangannya! Sambil
terkekeh Durganini menerima ular itu.
Begitu ular diterima, kakek gundul agaknya
sadar dan dengan teriakan dahsyat dia meloncat berdiri dan hendak menerjang
nenek itu. Akan tetapi Tambolon dan dua orang pengawalnya sudah menyambutnya
sehingga terjadilah pertandingan seru di atas perahu.
Akan tetapi kini semua perahu yang melihat
bahwa ular yang diperebutkan itu terjatuh ke tangan Si Nenek Hitam, berbondong
datang mendekati perahu besar Tambolon dan banyak sekali bayangan orang yang
gerakannya ringan dan gesit berloncatan ke atas perahu besar itu untuk merampas
ular kecil! Di antara mereka terdapat Si Tosu Lihai, Hek-tiauw Lo-mo, dan
banyak orang lagi termasuk Si Kakek Muka Hitam dan Si Kakek Gundul yang masih
bertanding melawan Tambolon. Anak buah raja liar ini menyambut dan terjadilah
perang tanding yang amat seru di atas perahu. Menghadapi pengeroyokan banyak
sekali orang pandai, Tambolon dan Si Nenek Lihai ini menjadi kewalahan juga dan
dia tidak sempat menggunakan ilmu sihirnya terhadap begitu banyak orang pandai
yang rata-rata memiliki tenaga batin amat kuat sehingga tidak mudah tunduk
kepada kekuatan ilmu sihirnya.
Selagi Topeng Setan tidak tahu apakah dia
harus pula ikut memasuki medan pertandingan itu, tiba-tiba perahu besar itu
terlempar ke atas dan terbanting lalu terbalik! Kiranya ular yang marah itu
telah mengamuk dan menyundul perahu yang sudah pecah itu sehingga terbalik dan
tentu saja semua orang lihai yang sedang enaknya bertempur semua terlampar ke
dalam air! Si Nenek Hitam yang lihai dan ahli ilmu sihir itu kehilangan kelihaiannya
karena dia tidak pandai renang, maka dengan gelagapan dia terpaksa minta
tolong dan dibantu oleh anak buah Tambolon, diseret kembali ke perahu yang
sudah terbalik. Akan tetapi dalam ketakutannya tenggelam tadi, nenek ini yang
sudah pikun lupa akan ular kecil yang dipegangnya sehingga ular kecil itu
terlepas. Anak ular yang juga panik karena sejak tadi dicengkeram tangan-tangan
panas dan kuat, dalam keadaan bingung dan panik meluncur dan berenang ke dekat
tiang layar yang ditumpangi Kian Bu, Hong Kui, Topeng Setan dan Ceng Ceng!
Melihat ini, Topeng Setan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cepat tangannya
meraih untuk menangkap anak naga itu.
“Desss....!” Topeng Setan dan Kian Bu
terkejut. Keduanya tadi secara otomatis telah mengulur tangan hendak
menangkap anak ular naga itu dan begitu tangan mereka saling bertemu, otomatis
pula keduanya menyalurkan lengan sehingga terjadilah bentrokan hebat antara
tangan mereka. Kian Bu terkejut sekali karena merasa betapa tenaga yang keluar
dari tangan Topeng Setan itu kuat bukan main, dan betapa orang yang sudah
mengalami luka buntung lengan itu masih sanggup menandingi tenaganya. Hal ini
benar-benar membuat dia penasaran dan juga kagum bukan main.
Anak ular itu berenang ke dekat Ceng Ceng.
Tentu saja Ceng Ceng tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan cepat tangannya
menyambar. Akan tetapi pada saat itu, Lauw Hong Kui Si Siluman Kucing juga
sudah menangkap pada saat yang bersamaan, tentu saja mereka lalu berebut dan
saling betot! Kasihan ular kecil itu yang dipegang kepala dan ekornya dan
dijadikan rebutan! Kian Bu memandang terbelalak. Biasanya kekasihnya itu amat
takut terhadap ular, bahkan beberapa kali pingsan melihat ular, akan tetapi
mengapa kini berani menangkap ular itu dan membetotnya. Melihat Ceng Ceng juga
sudah menangkap ular itu, dia berteriak kepada Hong Kui, “Enci, biarkan dia
mendapatkan ular itu....!”
Hong Kui terkejut dan marah. “Apa? Tidak
sudi!” Dan dengan marah dia menarik sekuatnya. Ceng Ceng tentu saja
mempertahankannya, gadis ini lebih beruntung dalam perebutan itu karena dia
tadi memegang kepala ular yang tentu saja merupakan bagian yang lebih kuat
daripada bagian ekornya.
“Prattt....!” Anak ular naga itu putus menjadi
dua dan putusnya di dekat ekor sehingga Hong Kui hanya mendapatkan bagian yang
sedikit saja, yaitu bagian ekornya! Dan karena Ceng Ceng yang mempertahankan
ular itu berada di pinggir balok dan kini tiba-tiba ular putus, tak dapat
dihindarkan lagi Ceng Ceng terjengkang dan terjatuh ke dalam air. Pada saat itu,
induk ular naga sudah tiba di atas lagi, ekornya mobat-mabit dan balok tiang
itu kena dihantam ekor yang amat kuat, pecah berantakan.
Topeng Setan yang setengah pingsan karena
penderitaannya itu melihat Ceng Ceng terjatuh ke dalam air, tahu bahwa gadis itu
terancam bahaya karena tidak pandai berenang, maka tepat pada saat balok tiang
dihantam ekor ular naga, dia sudah meloncat terjun ke air dan mengejar Ceng
Ceng, merangkulnya dan terus dibawanya gadis itu menyelam selagi ular naga
mengamuk di atas mereka. Dia maklum bahwa keadaan sudah berbahaya sekali,
tenaganya sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk melindungi Ceng Ceng dan
kalau mereka muncul lagi di permukaan air, tentu semua orang lihai itu akan
mengeroyok mereka karena ular itu, biarpun ekornya putus sedikit, masih berada
di tangan Ceng Ceng.
Karena dia maklum bahwa sekali mereka muncul,
tentu mereka akan celaka dan terutama sekali yang terpenting baginya, Ceng Ceng
akan terancam bahaya dan anak ular naga itu akan dirampas orang, maka Topeng
Setan mengambil keputusan nekat. Dia hendak membawa Ceng Ceng menyelam terus
dan berenang di bawah permukaan air menuju ke tepi telaga. Dengan sin-kangnya
yang sudah amat kuat itu, dan melawan penderitaan tubuhnya yang terluka hebat
dengan kekuatan kemauannya yang membaja, Topeng Setan lalu menyeret tubuh Ceng
Ceng yang dirangkulnya itu, mulai berenang meninggalkan tempat berbahaya itu di
mana tidak hanya ular naga raksasa yang mengamuk, akan tetapi juga banyak tokoh
lihai yang mencari-cari mereka.
Dengan pengerahan tenaga yang amat
mentakjubkan, yang sesungguhnya terdorong oleh keinginan dan kemauannya untuk
menyelamatkan Ceng Ceng, Topeng Setan berenang cepat dan hanya menggunakan
kedua kakinya dan dia berhasil menjauhi tempat itu. Kakinya yang pernah
dihantam ekor ular naga terasa nyeri bukan main, akan tetapi dia tidak mau
merasakan siksaan ini dan terus menggerakkan kedua kaki meluncur ke depan.
Dengan sin-kangnya yang sudah mencapai puncak, dia dapat “menyimpan” hawa udara
sehingga dia masih kuat bertahan. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan
Ceng Ceng. Dasar sin-kang dari gadis ini masih lemah sekali, maka kini dia
mulai kehabisan napas, meronta-ronta dan hal ini diketahui oleh Topeng Setan.
Akan tetapi, kalau dia membawa Ceng Ceng muncul ke permukaan untuk mencari
hawa segar dan bernapas, tentu akan kelihatan oleh musuh dan selanjutnya
mereka tidak mungkin dapat melarikan diri lagi, karena tentu akan
dikejar-kejar, baik di permukaan air atau di dalam air. Di antara mereka
terdapat banyak ahli bermain di air, seperti kakek gundul dan tosu itu. Maka
Topeng Setan mempererat pelukannya dan tidak membolehkan Ceng Ceng yang sudah
kehabisan napas itu untuk naik ke permukaan air. Akan tetapi dia pun maklum
bahwa kalau dibiarkan terus, gadis itu akan kehabisan napas dan akan tewas
pula, maka dia lalu mengambil keputusan nekat. Diangkatnya tubuh Ceng Ceng,
didekatkan muka gadis itu dengan mukanya. Di dalam air yang jernih itu mereka
tidak dapat saling melihat, karena sinar bulan tidak dapat menembus sedalam
itu, akan tetapi remang-remang mereka masih dapat saling melihat bayangan
mereka. Topeng Setan lalu menundukkan mukanya dan.... dia menutup mulut Ceng
Ceng dengan mulutnya sendiri!
Tentu saja Ceng Ceng terkejut bukan main,
mula-mula tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh orang tua itu. Dia sudah
pening dan telinganya mengeluarkan bunyi mengaung, dadanya seperti hendak
meledak. Rasa kaget ketika merasa betapa mulutnya dicium seperti itu oleh
Topeng Setan, membuat dia ingin menjerit dan otomatis mulutnya terbuka. Agaknya
inilah yang dikehendaki Topeng Setan. Dengan bibir masih menutup mulut Ceng
Ceng yang terengah-engah itu, dia mengeluarkan hawa “simpanan” yang masih
bersih, ditiupkannya ke dalam paru-paru Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas.
Ceng Ceng gelagapan akan tetapi dadanya
menjadi lega dan kini lenyaplah kekagetan dan kemarahan yang tadi menyelinap
di dalam hatinya. Kini dia mengerti bahwa orang tua bertopeng buruk itu, sama
sekali tidak berniat kurang ajar kepadanya. Sebaliknya malah, kembali Topeng
Setan menyelamatkannya! Dan dia tahu bahwa cara penyelamatan ini pun suatu
pengorbanan diri karena dengan memberikan hawa cadangan itu kepadanya, berarti
Topeng Setan sendiri akan cepat kehabisan napas! Keharuan memenuhi hati Ceng
Ceng dan ketika Topeng Setan melepaskan “ciumannya”, dia merangkul pinggang
kakek itu dan merapatkan tubuhnya sebagai tanda terima kasihnya. Kini Ceng Ceng
dapat bertahan dan mereka terus berenang ke suatu arah tertentu, secara
untung-untungan karena mereka tidak dapat melihat arah mana yang terdekat ke
pantai.
Setiap kali Ceng Ceng kehabisan napas, Topeng
Setan lalu “menciumnya” seperti tadi untuk memindahkan hawa murni dan sampai
tiga kali dia melakukan hal ini yang berarti menyambung napas dan umur gadis
itu. Ceng Ceng tidak meronta lagi, dan setiap kali dia dicium, dia memejamkan
matanya dan sungguh aneh, dalam keadaan tercium itu, yang amat terasa olehnya,
dia membayangkan wajah.... pemuda laknat yang telah memperkosanya! Dia sendiri
merasa heran. Dicobanya untuk membayangkan wajah Pangeran Yung Hwa, mengkhayal
bahwa pangeran yang tampan dan menarik itulah yang menciumnya, akan tetapi
tetap saja wajah pemuda laknat itu yang muncul!
Ketika akhirnya, secara kebetulan sekali,
mereka dapat mendarat di pantai terdekat, keduanya sudah kehabisan napas.
Mereka terengah-engah di pantai, dengan tubuh bawah masih terendam air dan
tubuh atas rebah di atas lumpur, dada mereka terasa seperti akan meledak,
terengah-engah seperti ikan-ikan terdampar di daratan. Akan tetapi anak ular
naga itu masih terus digenggam tangan kanan Ceng Ceng, dan tubuh ular yang
ekornya buntung itu masih membelit lengannya dengan kuat.
Sementara itu, jauh di tengah telaga,
orang-orang lihai masih terus sibuk melawan ular naga yang mengamuk dan mereka
sibuk pula berusaha mencari Topeng Setan dan Ceng Ceng. Adapun Hong Kui dan
Kian Bu yang tadi terlempar ke air ketika balok tiang layar dihantam oleh
ekor ular naga, kini sudah berhasil menyelamatkan diri ke atas sebuah pecahan
perahu. Melihat ekor ular itu yang masih berdarah, Hong Kui terus saja
memasukkannya ke dalam mulutnya dan Kian Bu merasa ngeri melihat betapa mulut
yang bentuknya indah itu, bibir yang merah basah dan yang sudah amat dikenalnya
dengan ciuman-ciumannya yang hangat dan mesra, kini mengunyah daging, tulang
dan kulit ular yang berdarah itu sampai terdengar suara berkerotakan ketika
tulang-tulang ekor ular kecil itu hancur digilas oleh gigi-gigi kecil kuat dari
Hong Kui. Sedikit pun tidak kelihatan wanita itu merasa jijik, maka kini Kian
Bu mulai mengerti bahwa Hong Kui sebenarnya sama sekali tidak takut kepada
ular! Terbukalah matanya bahwa selama ini wanita itu memang sengaja memancing
dan merayunya dan dia merasa betapa bodohnya dia. Akan tetapi biarpun kenyataan
ini membuat dia kehilangan perasaan cinta terhadap Hong Kui, namun tidak
melenyapkan rasa tertariknya. Wanita itu telah memperkenalkan kenikmatan yang
luar biasa kepadanya dan dia masih merasa sayang untuk melepaskannya! Kalau
tadinya Kian Bu hampir mengakui dan percaya bahwa dia jatuh cinta kepada Hong
Kui, semenjak peristiwa memperebutkan ular itu, dia yakin bahwa sebetulnya
tidak ada kasih di hatinya terhadap wanita ini, melainkan hanya nafsu
kesenangan karena wanita ini memang hebat dan pandai sekali menghibur dan
menyenangkan hatinya. Dan melihat Hong Kui mengunyah dan makan ekor ular itu
mentah-mentah, timbul juga rasa kasihan di hatinya karena dia maklum bahwa
wanita itu terpaksa melakukan hal ini karena khawatir kalau-kalau bagian yang
hanya sedikit itu akan terampas orang lain! Akan tetapi, yang sedikit ini pun
cukuplah karena seketika itu juga Hong Kui merasa betapa tekanan panas di
pusarnya akibat keracunan telah lenyap sama sekali begitu ekor ular itu
memasuki perutnya!
Topeng Setan sudah dapat memulihkan
pernapasannya. Pundak kirinya terasa sakit bukan main, berdenyut-denyut sampai
terasa di ubun-ubun kepalanya, juga kaki kanannya yang kena hantaman ekor ular
naga masih terasa setengah lumpuh. Lebih-lebih lagi hatinya seperti
ditusuk-tusuk kalau dia teringat akan lengan kirinya yang buntung akan tetapi
semua penderitaan lahir batinnya ini dilupakannya seketika ketika dia menoleh
kepada Ceng Ceng yang juga sudah tidak begitu terengah-engah seperti tadi.
“Cepat kaumakan ular itu. Ular inilah obat
yang akan menghilangkan semua racun yang mengancam nyawamu. Cepatlah, Ceng
Ceng.” Topeng Setan berkata.
Ceng Ceng menoleh kepadanya, mukanya pucat,
sebagian tertutup rambutnya yang terurai awut-awutan dan basah kuyup. Begitu
menoleh dia melihat lengan kiri yang buntung itu dan tiba-tiba Ceng Ceng
memandang ular di tangannya dengan wajah beringas. “Ular sialan! Ular itu telah
membuat lenganmu buntung, Paman. Aku benci ular itu!” Ceng Ceng lalu
melemparkan ular itu ke telaga!
“Aihhh.... kau.... kau gila....!” Topeng Setan
berteriak kaget sekali dan cepat dia terjun ke air dan berenang mengejar ular
itu. Untung ular itu sudah menjadi lemah dan setengah mati karena sejak tadi
kepalanya digenggam oleh Ceng Ceng dan ekornya telah buntung, maka dia tidak
menyelam dan hanya berenang lambat-lambat ke sana-sini sehingga mudah bagi
Topeng Setan untuk menangkapnya dan membawanya berenang ke pinggir. Ceng Ceng
sudah merangkak dan duduk di atas tanah yang keras di tepi telaga ketika Topeng
Setan mendarat.
“Kau harus makan daging ular ini dan
minum darahnya.” Dia berkata.
“Ular sialan itu, biarlah aku tidak berobat
lagi, Paman.”
“Kau harus!”
“Tidak....!”
“Aku akan memaksamu!”
Ceng Ceng yang pada dasarnya berhati keras
itu, mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang keras dan marah dari Topeng
Setan, lupa kalau orang itu telah kehilangan lengannya dan dia meloncat bangun
sambil mengepal kedua tangannya. “Tidak! Tidak sudi! Coba kau memaksaku kalau
berani.”
“Mengapa tidak berani? Hanya ular ini obatnya
yang akan menyelamatkan nyawamu, Ceng Ceng.” Tiba-tiba Topeng Setan menyerbu
dan Ceng Ceng berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat, dan sebuah
totokan pada pundaknya membuat dia roboh dan tak dapat bergerak lagi. Akan tetapi
sebelum dia roboh, lengan Topeng Setan sudah menahannya dan dia lalu
direbahkan dengan hati-hati di atas rumput.
“Karena kau berkeras menolak, aku terpaksa
menggunakan kekerasan ini, Ceng Ceng. Ular ini harus cepat kaupergunakan
sebagai obat, kalau sampai mereka mengejar ke sini, ular ini akan terampas dan
kau akan celaka. Maafkan aku, terpaksa aku melakukan ini padamu....”
Topeng Setan mencari sehelai daun teratai
lebar, membuatnya dengan susah payah sebagai tempat air dan sementara itu dia
menjepit leher ular dengan jari kakinya yang dilepaskan dari sepatunya yang
basah, kemudian dengan jari-jari tangannya yang panjang dia menggulung dan
menggenggam ular itu ke dalam kepalannya, dan mengerahkan tenaga menghimpitnya!
Tentu saja kepala dan tubuh ular itu menjadi hancur dan cairannya mengucur ke
dalam mangkok daun teratai itu, cairan yang terdiri dari darah dan perasan
tubuh ular itu, cairan kuning kemerahan yang dipandang dengan mata jijik oleh
Ceng Ceng.
“Cairan ini mengandung obat mujarab, akan
tetapi juga mengandung racun ular itu yang akan mematikan bagi orang biasa.
Akan tetapi karena tubuhmu sudah kebal racun, maka racun ular ini tidak akan
mengganggu, bahkan mungkin akan mendatangkan suatu keuntungan bagimu, Ceng
Ceng. Mestinya tidak dihidangkan secara begini saja, yang agak menjijikkan,
akan tetapi apa boleh buat, kita masih belum aman benar dan obat ini perlu
secepatnya kauminum.”
Ceng Ceng yang sudah lumpuh kaki tangannya itu
hanya menjawab pendek, “Aku tidak mau!”
“Maaf....!” Topeng Setan kembali menggerakkan
jari tangannya.
“Aaaahhhh!” Mulut Ceng Ceng terbuka dan tak
dapat tertutup kembali! Topeng Setan lalu menuangkan cairan itu ke dalam mulut
yang terbuka itu! Ceng Ceng mencium bau yang amat amis dan busuk, maka dia
tidak mau menelan cairan yang sudah berada di mulutnya itu.
“Maaf, terpaksa aku....!” Topeng Setan lalu
menggunakan telunjuk dan ibu jarinya untuk memencet kedua lubang hidung Ceng
Ceng. Dipencet lubang hidungnya seperti itu, Ceng Ceng tak dapat bernapas dan
gelagapan sehingga terpaksa cairan itu tertelan olehnya. Dia di “cekoki”
cairan ular yang menjijikkan itu.
Topeng Setan itu lalu membebaskan totokannya
dan Ceng Ceng bangkit duduk, meludah berkali-kali akan tetapi cairan itu telah
memasuki perutnya.
“Kaumaafkanlah aku, Ceng Ceng....”
Suara itu demikian penuh permohonan dan
penyesalan sehingga kemarahan Ceng Ceng sudah sebagian terusir pergi. Apalagi
dia ingat bahwa semua yang dilakukan oleh Topeng Setan itu semata-mata adalah
untuk menolongnya. Dan penolakannya tadi pun hanya karena berduka dan menyesal
mengapa untuk mencari ular itu Topeng Setan sampai mengorbankan lengannya.
“Mengapa kau minta maaf?” tanyanya pendek.
“Maaf bahwa aku terpaksa memaksamu minum
cairan obat itu.”
“Engkau memaksaku karena aku menolak dan
engkau melakukan itu karena engkau hendak menolongku, Paman.”
“Maaf, bahwa aku harus memencet hidungmu,
menotokmu, mencekokkan obat itu kepadamu.”
“Sudahlah, obat sudah masuk ke perutku,
mengapa diributkan lagi?”
“Dan maafkan aku.... aku terpaksa mengoper
hawa murni kepadamu secara itu....” Topeng Setan memalingkan mukanya
membelakangi Ceng Ceng, lalu bangkit berdiri dan memasuki hutan tak jauh dari
situ.
Ceng Ceng juga bangkit dan mengikutinya
memasuki hutan itu. Di bawah sebatang pohon, Topeng Setan lalu berusaha
membuat api, akan tetapi karena tangannya tinggal satu, sukarlah dia
menggosok-gosokkan kayu kering untuk membuat api.
Ceng Ceng merebut kayu kering itu dan dia lalu
membuat api dan menyalakan api unggun. Tanpa bicara keduanya duduk di dekat
api unggun itu. Topeng Setan merenung ke dalam api, sedangkan Ceng Ceng
memandang wajah yang buruk itu.
“Kenapa kau minta maaf tentang itu, Paman?
Kalau kau tidak melakukannya, tentu saat ini aku sudah menjadi mayat dengan
perut kembung penuh air.”
Topeng Setan menoleh dan mereka saling
pandang. Pengalaman hebat yang baru saja mereka alami berdua itu masih
menegangkan hati mereka. Ketika dua pasang mata itu bertemu, Topeng Setan cepat
mengelak dan menunduk. “Bagaimana.... perasaan tubuhmu sekarang, Ceng Ceng?”
Ceng Ceng juga sadar betapa dia tadi memandang
orang itu dengan sinar mata penuh kagum, penuh rasa syukur dan terima kasih,
maka dia cepat menjawab sambil merasakan keadaan tubuhnya, “Rasanya enak dan
hangat.... dan rasa muak itu lenyap, Paman.”
“Hemm.... aku yakin bahwa engkau akan sembuh
sama sekali. Engkau telah terbebas dari bahaya maut, Ceng Ceng.” Suara itu
terdengar girang.
Ceng Ceng merasa jantungnya seperti ditusuk.
“Apa artinya itu? Dan untuk nyawaku yang tidak berharga ini engkau harus
mengorbankan lengan kirimu! Ah, Paman....!”
Topeng Setan menoleh ke kiri memandang ke arah
pundaknya yang buntung. “Ah, ini? Tidak begitu hebat. Sekali waktu manusia
akan kehilangan sesuatu yang berharga di luar kehendaknya, Ceng Ceng. Kalau
dia dapat menghadapi peristiwa itu dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, maka
tidaklah terlalu menyiksa hati benar....”
Ceng Ceng memandang dengan mata terbelalak.
“Kau.... kau kehilangan lengan kiri dan tidak tersiksa hatimu karenanya?”
Topeng Setan menggeleng kepalanya. “Ceng
Ceng, segala peristiwa yang terjadi, menimpa diri kita tidak mengandung suka
maupun duka, tidak mengadung sesuatu yang ada hubungannya dengan batin. Suka
atau duka adalah permainan batin, permainan hati dan pikiran. Betapapun akan
hebatnya pikiranku menyiksa hati, tetap saja lenganku takkan dapat tumbuh
kembali. Karena itu, mengapa harus dipikir? Permainan pikiran hanya akan
menimbulkan derita batin, menimbulkan duka, menimbulkan sengsara dan menimbulkan
kebencian, dendam dan permusuhan belaka....”
Ceng Ceng makin terheran-heran. Manusia
ataukah apa yang bersembunyi di dalam topeng itu?
“Paman, setelah segala yang kaulakukan demi
aku, setelah segala budi yang berlimpah-limpah bertumpuk yang kaulakukan
untukku, setalah segala pengorbanan besar yang kauderita karena aku, maukah
engkau memenuhi permintaanku ini? Aku.... aku ingin sekali melihat wajahmu,
Paman.”
Topeng Setan kelihatan terkejut sekali,
tersentak kaget dan melangkah mundur seperti terhuyung sampai punggungnya
menabrak batang pohon di belakangnya, kepalanya digelengkan dan matanya
terbelalak menatap wajah Ceng Ceng. “Tidak....! Tidak...., jangan kauminta
itu.... kau boleh memerintahkan apa saja padaku Ceng Ceng, kau boleh menyuruh
dan minta apa saja, aku akan melaksanakan dan menuruti.... akan tetapi yang
satu ini.... jangan kau memaksa aku menanggalkan topengku....”
“Kenapa, Paman? Antara kita.... mengapa
engkau segan memperlihatkan mukamu? Kita sudah senasib sependeritaan, aku
merasa kita bukan orang lain lagi, sudah berkali-kali aku hutang budi dan
hutang nyawa kepadamu, yang sampai mati pun takkan mampu kubalas. Aku hanya
ingin melihat manusia yang paling baik dan paling mulia terhadap diriku di
dunia ini, mengapa kau menolak?”
“Aku tidak bisa membuka topeng ini, akan
terlalu mengerikan...., wajahku sangat mengerikan, jauh lebih buruk dari topeng
ini. Engkau akan menjadi ketakutan dan aku khawatir engkau akan menjadi jijik
dan muak, bahkan benci melihatku. Jangan, Ceng Ceng, jangan kau memaksa aku
membuka topeng ini. Kau boleh membukanya kalau kelak aku sudah mati....”
Ceng Ceng menundukkan mukanya, menarik napas
panjang. “Aku tidak akan memaksamu, Paman. Sungguhpun aku yakin bahwa betapapun
buruk rupamu, aku tidak akan dapat merasa takut, apalagi jijik dan muak,
apalagi membencimu. Bagaimana mungkin aku bisa membenci seorang yang telah
berkorban sedemikian hebat untukku? Aku jadi heran sekali apa yang terjadi
antara wanita yang.... kaubunuh itu dengan engkau. Kalau aku menjadi dia,
agaknya.... aku mau melakukan apa saja untuk seorang semulia engkau ini,
Paman. Apakah bibi itu melakukan hal yang amat menyakitkan hatimu?”
Topeng Setan menghela napas panjang, agaknya
lega karena Ceng Ceng tidak memaksanya membuka topeng. Dia duduk lagi bersandar
batang pohon, lalu menjawab, “Tidak, Ceng Ceng, dia seorang wanita yang amat
hebat, tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi aku.... aku telah
membunuhnya....”
“Kasihan sekali engkau, Paman....”
Topeng Setan agaknya ingin mengalihkan
percakapan karena dia lalu berkata, “Ceng Ceng, engkau sekarang sudah sembuh,
engkau tidak terancam lagi oleh racun, bahkan dengan latihan I-kin-keng yang
telah kuajarkan, semua ilmu beracun yang kaupelajari dari Ban-tok Mo-li sehingga
tubuhmu beracun akan lenyap, dan.... aku sendiri masih belum tahu akibat aneh
apa yang akan didatangkan oleh khasiat anak naga yang telah memasuki tubuhmu.
Sekarang, sebaiknya kalau kau kembali ke kota raja, kau.... kautemui Pangeran
Yung Hwa itu....”
“Eh, mengapa, Paman?” Ceng Ceng bertanya
dengan kaget sekali.
“Engkau seorang gadis yang amat baik, seorang
wanita berjiwa pahlawan, engkau sudah mengalami banyak kesukaran dan seorang
wanita seperti engkau berhak untuk hidup mulia dan bahagia. Pangeran Yung Hwa
itu, dia seorang bangsawan tinggi, putera Kaisar, dia terpelajar tinggi dan
tampan dan baik dan yang terutama sekali, dia cinta kepadamu, Ceng Ceng.
Kaupergilah kepadanya....”
Ceng Ceng menggeleng kepala keras-keras.
“Tidak! Dia boleh cinta kepadaku, akan tetapi aku.... aku tidak berharga....”
“Hemmm, jangan kau berkata begitu, Ceng Ceng.
Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak cinta kepada pangeran itu?
Aku teringat akan pemuda tampan yang berilmu tinggi, adik dari Puteri Milana,
puteri dari Pendekar Super Sakti, yang bernama Suma Kian Lee itu. Dia pun cinta
kepadamu, Ceng Ceng. Baik Pangeran Yung Hwa maupun Suma Kian Lee keduanya
adalah pemuda-pemuda pilihan yang sukar dicari tandingannya di dunia ini.
Kaukembalilah ke kota raja, kau berhak hidup bahagia. Apakah engkau mencinta
Suma Kian Lee....?”
“Tidak, Paman. Sama sekali tidak mungkin! Dia
adalah pamanku sendiri!”
“Ehhh....?” Topeng Setan kelihatan terkejut
sekali mendengar ini. “Putera Pendekar Super Sakti itu.... pamanmu?”
Ceng Ceng mengangguk dan hatinya terasa perih
ketika dia teringat kepada Kian Lee. Pemuda itu pun amat baik kepadanya, bahkan
dia tahu bahwa Kian Lee cinta kepadanya, sehingga dia dapat membayangkan betapa
hancur hati Kian Lee ketika memperoleh kenyataan-kenyataan bahwa dia adalah
keponakannya sendiri! Pemuda itu pun demikian mencintanya sehingga rela
mengorbankan dirinya sendiri ketika berusaha mengobatinya sampai kedua
tangannya keracunan.
“Rahasia itu terbuka ketika aku bertemu
dengan Paman Gak Bun Beng. Itulah sebabnya mengapa aku pernah mengatakan
kepadamu, Paman, bahwa sheku bukanlah Lu, melainkan Wan. Ayahku adalah Wan Keng
In, kakak tiri Paman Suma Kian Lee. Ayahku adalah putera tiri Pendekar Super
Sakti, dia.... ayahku itu.... dia amat jahat, Paman.” Ceng Ceng lalu
menceritakan riwayat dirinya, diceritakan semua tanpa ada yang disembunyikan
bahwa dia hidup di Bhutan dengan kakeknya yang ternyata adalah kakek buyutnya,
betapa tadinya dia mendengar dari kakeknya bahwa ayah kandungnya adalah Gak
Bun Beng yang sudah mati seperti ibunya. Betapa dia mengawal Puteri Syanti
Dewi yang menjadi kakak angkatnya itu sehingga mengalami banyak kesengsaraan,
betapa kemudian dia bertemu dengan Gak Bun Beng dan mendengar akan semua
riwayat ibunya yang diperkosa oleh Wan Keng In yang memakai nama Gak Bun Beng.
Semua diceritakannya dengan panjang lebar, didengarkan dengan mata terbelalak
dan penuh perhatian oleh Topeng Setan. Setelah mendengar semua itu, Topeng
Setan menarik napas panjang. “Akan tetapi, riwayatmu itu bahkan mengangkat
derajatmu, Ceng Ceng. Engkau adalah cucu tiri dari Pendekar Super Sakti, dan
engkau adalah adik angkat dari Puteri Bhutan, bahkan kakek buyutmu adalah
seorang bekas panglima pengawal yang setia. Engkau cukup berharga bahkan untuk
seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu sekalipun, engkau sudah terlalu
berharga. Dia amat mencintamu, Ceng Ceng, bahkan dia sampai menolak dikawinkan
dengan Puteri Syanti Dewi karena dia cinta padamu. Mari kuantar engkau
menjumpainya, Ceng Ceng....”
“Paman....! Jangan engkau berkata demikian,
Paman....!” Dan tiba-tiba Ceng Ceng menangis tersedu-sedu karena dia teringat
akan keadaan dirinya.
“Eh, eh.... Ceng Ceng, kenapa....?” Topeng
Setan bertanya, suaranya gemetar.
Ceng Ceng mengusap air matanya dan memandang
wajah bertopeng buruk itu, yang menjadi seperti wajah iblis ketika tertimpa
cahaya api unggun yang merah. “Baiklah, kau boleh mendengar semua, Paman.
Engkau sudah kuanggap seperti pamanku sendiri seperti ayah sendiri, seperti
sahabatku yang termulia di dunia ini, bahkan sebagai satu-satunya orang yang
menjadi sahabatku. Aku.... aku sama sekali tidak berharga, Paman, apalagi bagi
seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa. Aku hanya seorang yang menanti
kematian....”
“Eh, apa maksudmu?”
“Paman.... aku.... aku telah tertimpa
malapetaka yang lebih hebat daripada kematian. Aku telah ternoda, aku telah
diperkosa orang....” Dengan terengah-engah dan terputus-putus Ceng Ceng
menceritakan melapetaka hebat di dalam guha itu ketika dia diperkosa oleh
pemuda laknat itu.
“Dia kutolong, akan tetapi dia malah
memperkosa aku, Paman.... dia, si laknat itu, dia bernama Kok Cu, murid Si Dewa
Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Mendiang kakek Lauw Ki Sun yang tewas dan
jenazahnya kaukubur di depan kuil itu, dialah yang menceritakan kepadaku siapa
adanya manusia iblis itu. Kakek itu adalah pelayan dari Dewa Bongkok dan pemuda
yang merusak hidupku itu adalah murid Si Dewa Bongkok, dialah orang yang
kaugambar itu, Paman. Aku harus menemukannya, engkau harus membantu aku untuk
membalas dendam setinggi langit dan sedalam lautan ini. Aku bersumpah tidak
akan berhenti sebelum dapat membunuhnya, dan setelah aku berhasil membunuhnya,
mudah-mudahan dengan bantuanmu karena dia lihai sekali, Paman. Sesudah itu,
aku.... aku akan membunuh diri, untuk apa hidup menderita aib yang hebat
ini....?”
Topeng Setan bangkit berdiri, mengepal
tinjunya, matanya terbelalak, seluruh urat di dadanya yang telanjang karena
bajunya dirobek untuk membalut pundak kirinya, tampak dan dari kedua mata yang
terbelalak lebar itu jatuh air matanya satu demi satu, seperti butir-butir
mutiara runtuh dari untaiannya. Dadanya bergelombang dan terdengar rintihan
aneh keluar dari mulutnya yang berbibir tebal sekali itu.
Ceng Ceng memandang dengan heran. Melihat
Topeng Setan berdiri seperti iblis berdiri, dengan air mata bercucuran seperti
itu, hati Ceng Ceng seperti diremas-remas rasanya. Dia tahu bahwa orang
bertopeng ini juga amat mencintanya sehingga orang itu kini menderita pukulan
batin yang hebat setelah mendengar ceritanya. Melihat orang yang sudah buntung
lengannya karena dia itu kini menangis, Ceng Ceng memandang dengan bibir
gemetar, kemudian menggigil dan bibir itu mewek-mewek menahan tangis, akhirnya
dia menubruk dan merangkul pinggang Si Buruk Rupa itu sambil menangis
sesenggukan. Sampai mengguguk Ceng Ceng menangis, melepaskan seluruh kedukaan
dan penyesalan hatinya, menumpahkan semua rasa penasaran yang bertumpuk-tumpuk
dan dia seolah-olah memeluk gunung yang kokoh kuat, yang akan dapat
dipergunakan sebagai sandaran hidup ketika dia sendiri sudah hampir tidak kuat
menahan penderitaan yang menimpanya. Dengan lengan kanannya, Topeng Setan
memeluk dan jari-jari tanngannya mengelus kepala gadis itu penuh keharuan dan kasih
sayang.
“Paman.... Paman.... ahhh.... Paman....
hu-hu-huuuuhh....” Ceng Ceng menangis seperti anak kecil, air matanya
membasahi dada yang bidang, kuat, tegap dan berkulit putih halus, merupakan
kontras yang aneh dengan kulit wajah yang buruk itu.
“Tenanglah, Ceng Ceng. Kuatkan hatimu.... dan
hadapilah kenyataan hidup seperti ini.... jangan kau putus harapan, Ceng Ceng.
Aku.... aku bersumpah akan melindungimu dan membantumu menemukan
kebahagiaan....”
“Paman, kau bilang tadi.... kau akan meninggalkan
aku.... kau menyuruh aku pergi ke kota raja....”
“Tidak lagi, Ceng Ceng. Aku baru akan pergi
setelah melihat engkau menemui kebahagiaan hidup. Jangan khawatir, aku akan
mempertaruhkan nyawaku demi kebahagiaanmu.”
“Paman.... uhu-hu-huuuu, Paman....” Ceng Ceng
makin menjadi tangisnya karena hatinya terharu sekali mendengar ucapan yang
keluar dengan suara gemetar itu. “Paman, mengapa kau begini baik kepadaku.
Mengapa....?” Ceng Ceng mengguncang-guncang tubuh yang dipeluknya itu. “Dan
mengapa dia.... dia begitu jahat.... dia merusak hidupku.... mengapa....?”
Topeng Setan tidak menjawab, hanya
mengelus-elus rambut itu dan membiarkan Ceng Ceng menumpahkan semua rasa
penasaran hatinya. Setelah gelora perasaan itu agak mereda di hati Ceng Ceng,
Topeng Setan lalu mengajak gadis itu pergi dari situ.
“Kita harus pergi melanjutkan perjalanan.
Mereka tentu akan mengejar terus dan sebelum luka di pundakku sembuh, amat
berbahaya menghadapi lawan berat, Ceng Ceng.”
“Baik, Paman. Aku hanya menurut dan ikut
padamu.” Ceng Ceng menjawab dan dia tahu bahwa mulai saat itu, untuk segala
urusan, sampai kepada urusan mencari musuh besarnya, dia harus mengandalkan
pamannya yang buruk rupa dan penuh rahasia ini, yang kini dipercayanya setelah
dia saksikan kehebatan sepak terjangnya. Maka berangkatlah mereka meninggalkan
hutan itu menuju ke selatan karena menurut rencana Topeng Setan, mereka akan
pergi ke sebelah selatan kota raja, di markas kaum sesat yang dulu menjadi
markas kaum Tiat-ciang-pang, di mana Ceng Ceng telah diangkat menjadi bengcu
(ketua) oleh kaum sesat dan Topeng Setan bersama-sama Tek Hoat menjadi
pembantu-pembantunya. Di tempat itu mereka akan bersembunyi dan beristirahat
sampai luka di pundak Topeng Setan sembuh sama sekali.
***
Hukum karma seperti yang dikenal oleh kita
semua adalah lingkaran setan berupa roda-roda sebab akibat yang saling
berkaitan dan tiada habisnya karena semua itu digerakkan oleh pikiran manusia
yang membentuk nafsu-nafsu sebagai lanjutan dari setiap peristiwa yang terjadi
atas diri manusia sendiri. Dari suatu sebab timbullah akibat, dan akibat lain
sehingga menjadi lagi si sebab juga si akibat dan sebaliknya. Sebagai
contohnya, terjadi suatu peristiwa di mana kita dirugikan orang lahir maupun
batin. Mungkin kejadian ini pun merupakan akibat dari sebab-sebab terdahulu,
akan tetapi kita menganggapnya sebagai sebab dan peristiwa itu mendatangkan
kemarahan dan dendam sehingga tentu saja menimbulkan akibat yang terjadi dari
pihak kita, membalas dendam dan sebagainya sebagai reaksi. Reaksi dari kita
ini terhadap pihak luar yang kita anggap merugikan, kembali dapat menjadi suatu
aksi yang memancing reaksi lain dari pihak luar itu sehingga dengan demikian,
si reaksi menjadi aksi dan sebaliknya. Dengan adanya kenyataan ini, maka yang
membentuk lingkaran setan yang disebut hukum karma sesungguhnya adalah kita
sendiri, pikiran kita sendiri yang selalu siap untuk melakukan reaksi.
Sebaliknya, kalau dengan kesadaran mendalam kita menghadapi peristiwa yang
merugikan kita itu sebagai suatu peristiwa yang wajar, sebagai suatu kenyataan
yang habis sampai di situ saja, tidaklah timbul dendam, kemarahan, kebencian,
harapan atau lain macam perasaan lagi dan patahlah lingkaran setan itu! Jelas
bahwa mengingat-ingat masa lalu, baik itu setahun yang lalu, kemarin atau
semenit yang lalu, disambung dengan membayangkan masa depan, baik itu nanti,
besok atau kelak, merupakan pembentukan lingkaran setan atau hukum karma tadi.
Batin yang bebas dari masa lalu dan masa depan, akan bebas pula dari hukum
karma.
Sekali kita membiarkan diri terseret oleh
hukum karma, hidup akan terombang-ambing menjadi permainannya, yang
sesungguhnya adalah permainan dari nafsu-nafsu keinginan dan hasil pikiran
kita sendiri. Setiap peristiwa yang ter jadi tidak bersifat senang atau susah,
yang terjadi adalah suatu kenyataan sungguhpun kejadian itu sendiri tidak akan
terlepas dari keadaan yang dibentuk oleh kita sendiri. Suka atau duka akan
terjadinya peristiwa itu terletak dalam penanggapan kita. Siapa mengejar suka
tak dapat tidak pasti berkenalan dengan duka karena suka atau duka hanya
permainan dari pikiran sendiri yang menilai, membanding, memilih, membenarkan
atau menyalahkan. Kita tidak berani meninggalkan semua ini, karena kita takut
untuk menjadi “bukan apa-apa”, dan kita menganggap bahwa melepaskan semua
suka duka hidup, berarti kita akan menjadi kosong melompong, tidak berarti
apa-apa dan kita menjadi ngeri untuk kehilangan arti kita! Karena itu, dengan
membuta kita melanjutkan semua ini, melanjutkan kehidupan seperti yang
sudah-sudah, sungguhpun setiap hari kita ditimpa kesengsaraan dan menjadi
permainan konflik-konflik, dari konflik batin sendiri sampai konflik antar
manusia sampai ke perang-perang yang berkobar di seluruh pelosok dunia. Dan dipermainkan
oleh konflik dan kesengsaraan ini kita namakan hidup!
Seperti telah diceritakan di bagian depan,
Puteri Syanti Dewi yang dilarikan ke luar dari istana oleh Puteri Milana,
akhirnya bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan atas usul jenderal yang gagah
perkasa dan bijaksana ini, Puteri Syanti Dewi lalu dikawal oleh dua losin
pasukan pengawal jenderal itu. Pasukan itu lalu mengawal Syanti Dewi yang
menunggang kuda Jenderal Kao di tengah-tengah dan berangkatlah mereka
membelokkan perjalanan ke barat untuk memulai perjalanan yang amat jauh itu
ke Bhutan. Kepala atau komandan pasukan ini bernama Can Siok, seorang gagah
berusia empat puluh tahun yang telah lama menjadi seorang di antara pengawal
kepercayaan Jenderal Kao Liang, memiliki kepandaian tinggi sebagai anak murid
Hoa-san-pai dan dia mengantongi surat perintah Jenderal Kao yang akan dapat
dipergunakan sebagai “jimat” di dalam perjalanannya menuju ke Bhutan mengantar
puteri jelita itu. Pengawal Can Siok ini maklum betapa berat tugasnya mengantar
puteri itu, yang dia tahu diam-diam juga mungkin dianggap buronan oleh Kaisar,
dan tentu akan menarik hati orang-orang jahat di tengah perjalanan. Akan
tetapi, mengandalkan ketangkasan dua losin tenaga dalam pasukannya dan
mengandalkan nama Jenderal Kao Liang yang surat perintahnya dia kantongi,
pengawal ini melakukan perjalanan dengan hati tenang sungguhpun dia selalu
berhati-hati.
Dua hari kemudian, mereka berhenti di sebuah
dusun karena kemalaman. Dusun itu terletak di tepi Sungai Ta-cing yang mengalir
di sebelah selatan dan barat kota raja Peking. Setelah melapor kepada kepala
dusun setempat, kepala dusun dengan penuh kehormatan lalu memerintahkan
penginapan tunggal di dusun itu untuk mengosongkan semua kamar dan
memberikannya kepada rombongan ini.
Dusun ini berada di dekat hutan yang menjadi
markas para kaum sesat yang dipimpin oleh Ceng Ceng. Ketika rombongan ini tiba
di dusun, seorang di antara anggauta Tiat-ciang-pang yang kini telah
menggabung menjadi anak buah perkumpulan kaum sesat itu, cepat lari ke
markasnya dan memberi laporan bahwa ada sepasukan pengawal lewat dan bermalam
di dusun tepi sungai Ta-cing itu, mengantarkan seorang puteri yang menurut
kabar angin adalah Puteri Bhutan yang dikabarkan melarikan diri dari istana
Kaisar. Kabar seperti itu memang cepat sekali tersiar sehingga tidak
mengherankan kalau berita itu telah terdengar di daerah itu.
Kalau saja Ceng Ceng berada di tempat itu,
tentu dia akan girang sekali mendengar berita ini. Akan tetapi pada waktu itu,
Ceng Ceng belum kembali ke markas ini dan telah terjadi perubahan besar sekali
di pusat kaum sesat daerah kota raja ini. Baru beberapa hari yang lalu, markas
kaum sesat itu telah diambil-alih dan dikuasai oleh rombongan Pulau Neraka!
Seperti kita ketahui, Hek-tiauw Lo-mo dan anak
buahnya, orang-orang Pulau Neraka, juga berusaha menangkap anak ular naga di
Telaga Sungari dan setelah melihat bahwa mereka gagal, naga yang terluka
menyelam kembali ke dalam telaga dan anak ular itu lenyap setelah yang terakhir
berada di tangan Ceng Ceng, Hek-tiauw Lo-mo membawa anak buahnya mendarat.
Mereka melakukan perjalanan cepat dengan kuda-kuda yang telah tersedia dan
mereka langsung menuju ke sarang kaum sesat di selatan kota raja ini karena
Hek-tiauw Lo-mo sudah tahu bahwa Ceng Ceng menjadi bengcu di sarang ini. Karena
menduga bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka itu tentu akan
bersembunyi di sarang ini, maka dia telah mengejar ke sana, akan tetapi
ternyata dia dan rombongannya jauh lebih cepat tiba di tempat itu daripada Ceng
Ceng dan Topeng Setan yang melakukan perjalanan lambat berhubung dengan
lukanya Topeng Setan. Setelah tiba di sarang itu, dengan mudah saja Ketua Pulau
Neraka ini dapat menguasai para kaum sesat tanpa banyak menimbulkan korban.
Kaum sesat di tempat itu sudah terpengaruh dan tunduk begitu mendengar bahwa
kakek raksasa mengerikan itu adalah Ketua Pulau Neraka, apalagi menyaksikan
kelihaian anak buahnya. Setelah mendengar bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan
belum tiba di situ, Hek-tiauw Lo-mo lalu mengatur untuk menyambut kedatangan
dua orang itu yang diharapkan masih menyimpan anak ular naga Telaga Sungari.
Akan tetapi, malam hari itu Hek-tiauw Lo-mo
mendengar pelaporan bahwa rombongan pengawal sedang mengiringkan Puteri Bhutan
bermalam di dalam dusun yang hanya dua puluh li jauhnya dari sarang itu.
Mendengar pelaporan ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan cepat dia
memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk merampas dan menculik Puteri
Bhutan itu. Dia pernah mendengar bahwa gadis liar Ceng Ceng adalah saudara
angkat Puteri Bhutan yang menimbulkan kegemparan itu, maka kini mendengar
puteri itu lewat di dekat tempat itu, tentu saja dia tidak mau membuang
kesempatan baik ini untuk menawan Sang Puteri, karena puteri ini dapat dia
pergunakan sebagai sandera untuk memaksa Ceng Ceng menyerahkan anak naga
kepadanya! Dan selain anak naga yang amat diinginkannya itu, juga dia harus
memaksa Topeng Setan mengembalikan kitab Istana Gurun Pasir. Kitab itu yang
kini telah lengkap karena tadinya bagiannya dan bagian yang dicuri oleh Ketua
Lembah Bunga Hitam, baru-baru ini terjatuh ke tangan kakek Lauw Ki Sun, pelayan
dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir dan kakek itu setelah terluka parah
dilarikan oleh Topeng Setan, maka menurut dugaannya, pasti kitab itu kini
berada di tangan Topeng Setan! Dengan adanya anak naga dan kitab Istana Gurun
Pasir itu di tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Hek-tiauw Lo-mo akan berusaha
sekuat tenaga dan mau melakukan apapun juga untuk menangkap dan memaksa mereka
menyerahkan dua buah benda keramat itu.
Baru saja anak buah Pulau Neraka yang diutus
oleh Hek-tiauw Lo-mo berangkat untuk menangkap Puteri Bhutan yang hanya
dikawal oleh dua losin perajurit itu, tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo mendengar
suara kucing. Lirih saja suara ini yang datangnya dari atas genteng dan yang
bagi orang lain tentu akan dianggap suara kucing aseli, akan tetapi kakek
raksasa ini sudah hafal akan suara sumoinya, maka sambil tersenyum lebar dia
menggerakkan tangannya seperti orang tidak sabar dan berseru, “Sudahlah,
Sumoi, kalau sudah datang turun saja, kenapa mesti banyak lagak!”
“Suheng....!” Dari atas genteng melayang
sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali dan tahu-tahu di depan kakek
raksasa mengerikan itu berdiri Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang cantik
jelita dan kedua pipinya kemerahan, wajahnya cemerlang tertimpa sinar lampu
yang terang. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah sumoinya itu dengan kagum,
akan tetapi tiba-tiba dia meloncat bangun dari kursinya dan memandang wajah sumoinya
lebih teliti lagi. “Eh, engkau sudah sembuh....!”
Lauw Hong Kui mencibirkan bibirnya yang merah
basah itu kepada suhengnya, sikapnya manja dan mengejek. “Suheng, setelah
engkau kejam meninggalkan aku terancam bahaya maut dan darahku keracunan, apa
kaukira aku tidak mampu mencari obatnya sendiri?”
“Salahmu sendiri!” Hek-tiauw Lo-mo mengomel.
“Engkau mencuri ilmu dari kitabku....”
“Huh, kitab itu pun kitab curian,” Lauw Hong
Kui mencela.
“Jangan kurang ajar kau! Setelah kau mencuri
ilmu dari kitabku sampai darahmu keracunan, apa yang kauharapkan dariku? Hal
itu kuanggap sebagai hukuman bagimu, akan tetapi racun itu pun tidak akan
membunuhmu, maka aku diam saja.” Hek-tiauw Lo-mo memandang lebih teliti wajah
sumoinya yang berseri-seri dan kemerahan, sehat sekali. “Sudahlah, Sumoi,
sekarang katakan bagaimana engkau bisa memperoleh obat yang mencuci bersih
darahmu?”
Dengan sikap angkuh dan lagak bangga Lauw
Hong Kui bertolak pinggang dan berkata, “Suheng tidak berhasil di Telaga
Sungari, bukan? Aku sudah melihat sendiri betapa Suheng gagal, bahkan hampir
celaka oleh Nenek Durganini yang seperti iblis itu!”
“Eh, eh.... kau juga berada di sana?”
“Tentu saja! Dan berhasil!”
“Berhasil? Kau mau bilang bahwa anak naga
itu....”
Tiba-tiba tangan Hek-tiauw Lo-mo itu menyambar
dan sumoinya tidak mampu lagi mengelak karena pergelangan tangannya sudah
dipegang oleh kakek raksasa itu. Jari-jari tangan kakek itu lalu menotok
sana-sini membuat sumoinya tak dapat bergerak, lalu tangannya meraba-raba dari
ubun-ubun kepala sampai punggung dan ulu hati di antara dua tonjolan buah dada
wanita itu.
“Hemm, kau sudah sembuh sama sekali akan
tetapi kalau kau makan semua anak naga itu tentu hawanya terasa olehku. Kau
bohong, kau tidak makan semua anak naga dan entah obat apa yang telah
menyembuhkan keracunan darahmu,” kata kakek itu dan dia membebaskan kembali
sumoinya.
Setelah dapat bergerak, Mauw Siauw Mo-li
memandang suhengnya dan dengan mata berapi dia berkata penuh kemarahan,
“Suheng, kalau lain kali kau memperlakukan aku seperti tadi, aku akan
membunuhmu!”
“Heh-heh, kau harus belajar seratus tahun lagi
untuk dapat melakukan itu, anak manis. Sekarang ceritakan saja obat apa yang
telah menyembuhkanmu?”
“Apalagi kalau bukan anak naga itu? Akan
tetapi kalau aku mendapatkan semua dan telah makan seluruhnya, apa kaukira aku
demikian tolol untuk muncul di depanmu? Tentu engkau akan merampas khasiatnya
dengan cara makan dagingku dan minum darahku.”
“Ahhhh! Masa aku melakukan hal itu? Engkau adalah
sumoiku.”
“Huh, seperti aku tidak mengenalmu saja,
Suheng. Akan tetapi karena aku hanya memperoleh ekor anak naga itu dan telah
kumakan habis, andaikata engkau makan dagingku dan minum seluruh darahku pun
tidak ada manfaatnya bagimu. Suheng, sisa anak naga itu, sebagian besarnya
karena aku hanya memperoleh ekor sejengkal, telah dilarikan oleh dara liar
bersama Si Topeng Setan yang lihai.”
“Aku tahu.... hemmm....!” Tiba-tiba Hek-tiauw
Lo-mo menggerakkan tangan kirinya ke arah genteng.
“Suheng, jangan....!” Lauw Hong Kui mencegah
akan tetapi terlambat, tampak sinar berkelebat dan sebatang golok terbang yang
panjangnya hanya satu kaki meluncur ke arah bayangan seorang pemuda yang
berdiri di atas genteng. Akan tetapi dengan mudah saja pemuda itu mengulur
tangan kiri dan menangkap hui-to (golok terbang) itu pada gagangnya, lalu dia
melayang turun dan melemparkan golok kecil itu kembali ke arah Hek-tiauw Lo-mo
sambil berkata, “Lo-mo, beginikah kau menyambut tamu?”
“Hehhh!” Hek-tiauw Lo-mo mendengus dan
tangannya bergerak, jari tangannya menampar hui-to yang menyambar ke arah
dadanya.
“Krekkk!” Hui-to itu patah-patah menjadi tiga
potong dan semua potongannya, berikut gagangnya, menancap di atas lantai.
Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah pemuda yang
bukan lain adalah Suma Kian Bu itu. Dia menjadi terkejut. “Ah, kiranya engkau,
keparat!” bentaknya dan dia sudah siap untuk menyerang.
“Suheng, jangan! Dia adalah sahabatku,
sahabatku yang sangat baik!” Lauw Hong Kui meloncat di depan suhengnya, menghadang
dan melindungi Kian Bu.
“Lo-mo, kalau tidak melihat muka sumoimu dan
tidak menerima undangannya, apakah kaukira aku sudi datang mengunjungimu
sebagai tamu?” Kian Bu juga berkata dengan nada suara mengejek.
“Sumoi, apa artinya ini? Tahukah kau siapa
pemuda ini?”
“Dia adalah Suma Kian Bu yang telah membantuku
mencari anak naga.”
“Dia adalah putera dari Majikan Pulau Es,
goblok! Dan kau berkawan dengan orang yang menjadi musuhku ini?”
“Kalau dia benar putera Pendekar Super Sakti,
aku malah merasa bangga dapat menjadi.... eh, sahabat baik.”
“Minggirlah, aku akan membunuhnya!” Hek-tiauw
Lo-mo berseru marah.
“Enak saja engkau bicara, Lo-mo. Dahulu di
waktu aku masih kecil pun engkau tidak mampu membunuhku, apalagi sekarang,”
jawab Kian Bu, sedikit pun tidak menjadi takut.
“Suheng, harap jangan kau mengumbar
keganasanmu di mana-mana tanpa perhitungan!” Lauw Hong Kui mencela suhengnya.
“Lupakah Suheng bahwa Suci telah tewas dan hanya tinggal kita dua saudara? Aku
akan membantu dia kalau Suheng menyerangnya dan kita akan saling gempur
mati-matian. Begitukah yang Suheng kehendaki? Ingat, Suheng melihat sendiri
betapa banyak orang-orang berilmu telah bermunculan di Telaga Sungari,
bukankah sebaiknya kalau kita bersatu sehingga kedudukan Suheng lebih kuat
setelah Suci meninggal dunia?”
Hek-tiauw Lo-mo bukanlah seorang bodoh. Dia
meninggalkan Pulau Neraka karena tidak betah tinggal di tempat yang amat
berbahaya itu. Sumoinya yang pertama telah tewas dan sumoinya yang masih muda
ini juga amat lihai, terutama sekali senjata-senjata rahasianya yang amat
berbahaya, maka dapat dijadikan sekutu yang boleh diandalkan, apalagi mengingat
betapa akhir-akhir ini, ketika menghadapi orang-orang Lembah Bunga Hitam,
sumoinya ini juga langsung turun tangan membantunya. Dia menarik napas panjang
dan mengendurkan lagi kedua tangannya.
“Sudahlah, selama dia menjadi sahabatmu, aku
tidak akan mengganggunya.” Dan Hek-tiauw Lo-mo dengan wajah bersungut-sungut
lalu memasuki kamarnya.
Kian Bu mengerutkan alisnya. “Enci, aku tidak
suka tinggal di tempat suhengmu ini.”
“Eh, Kian Bu, kenapa engkau pun meniru watak
Suheng yang pemarah?” Dengan sikap manja Hong Kui menggandeng lengan pemuda
itu. “Ingat, kita ke sini untuk menanti munculnya Topeng Setan dan dara liar
itu, siapa tahu nasib kita baik dan anak naga itu dapat terjatuh ke tangan
kita. Jangan pedulikan dia, anggap saja engkau menjadi tamu di rumahku....”
Dengan bujuk rayu dan kegenitannya, Lauw Kui Hong akhirnya dapat mengajak Kian
Bu memasuki sebuah kamar tamu yang lengkap dan mewah. Kian Bu juga tidak
membantah lagi, akan tetapi kalau saja Hong Kui tahu apa yang terkandung di
dalam hati kekasihnya ini, tentu dia tidak akan segembira itu melayani dan
menghibur hati kekasihnya dengan segala kepandaiannya bermain cinta. Dia sama
sekali tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan di dalam hati pemuda kekasihnya
itu. Kian Bu telah menyadari kepalsuan wanita cantik ini dan dia hanya
menganggap Hong Kui sebagai seorang wanita yang amat pandai menyenangkan hati dan
menghiburnya, seorang wanita yang sengaja merayunya dan sama sekali bukan
berdasarkan cinta kasih seperti yang dahulu sering diimpikannya. Dia tahu bahwa
di antara mereka berdua yang ada hanyalah cinta jasmani belaka, dorongan nafsu
berahi yang mengasyikkan. Kalau dia mau mengikuti Hong Kui dan tinggal di rumah
Hek-tiauw Lo-mo, sesungguhnya hanya karena diam-diam dia mengambil keputusan
untuk melindungi Ceng Ceng yang masih terhitung keponakannya sendiri itu.
Ketika dia menyaksikan perebutan anak ular
naga antara Ceng Ceng dan Hong Kui, dia sudah menganjurkan kepada kekasihnya
itu untuk memberikan saja ular kecil itu kepada Ceng Ceng yang dia tahu amat
membutuhkannya. Kemudian melihat ular itu putus dan Hong Kui mendapat bagian
sedikit sedangkan selebihnya terampas oleh Ceng Ceng, diam-diam dia merasa
girang sekali akan tetapi tentu saja dia tidak menyatakannya di depan
kekasihnya.
Kemudian Hong Kui menyatakan ketidakpuasan
hatinya bahwa dia hanya dapat makan bagian ekor anak naga itu dan wanita ini
menyatakan dugaannya bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka parah itu
tentu akan kembali ke sarang kaum sesat di selatan kota raja di mana gadis itu
menjadi ketuanya. Mendengar bahwa Hong Kui hendak mengejar Ceng Ceng ke sana,
dia sengaja menyatakan persetujuannya, akan tetapi diam-diam tentu saja bersiap
untuk melindungi Ceng Ceng dan mencegah kekasihnya ini mengganggu Ceng Ceng.
Siapa kira, di tempat itu dia malah bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo, maka
tahulah dia bahwa Ceng Ceng akan terancam bahaya hebat kalau benar-benar
datang ke tempat itu. Hal ini membuat dia terpaksa menerima ajakan Hong Kui
untuk bermalam dan tinggal di gedung yang ditinggali Hek-tiauw Lo-mo itu,
menanti kalau Ceng Ceng benar datang di tempat berbahaya itu.
Sayang bahwa kedatangan mereka agak terlambat
sehingga Kian Bu tidak mendengar akan perintah Hek-tiauw Lo-mo terhadap anak
buahnya untuk menangkap Puteri Syanti Dewi yang bermalam di dusun tidak jauh
dari tempat itu. Kalau dia mendengarnya, tentu dia terkejut sekali dan akan
turun tangan mencegahnya.
Akan tetapi di dusun di mana rombongan Puteri
Syanti Dewi bermalam, terjadi hal yang sama sekali tidak diduga-duga oleh
Hek-tiauw Lo-mo, bahkan oleh rombongan itu sendiri. Siang tadi dusun itu
kedatangan rombongan yang terdiri dari orang-orang aneh dan rombongan ini tentu
akan mendatangkan geger kalau saja ada yang mengenalnya karena rombongan ini
dipimpin oleh Raja Tambolon! Seperti diketahui, Raja Tambolon yang dibantu
oleh Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Maut Yu Ci Pok, membawa anak
buahnya yang terdiri dari orang-orang liar di daerah utara, ikut memperebutkan
anak naga di Telaga Sungari, akan tetapi rombongan Raja Tambolon ini pun tidak
memperoleh hasil. Ketika melihat bahwa anak naga itu terjatuh ke tangan Ceng
Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon yang sudah mengenal dua orang itu dan
tahu bahwa nona Lu Ceng adalah bengcu dari kaum sesat di sebelah selatan kota
raja, lalu melakukan pengejaran ke tempat itu. Dia dan para pembantunya
menyamar sebagai serombongan pelancong dan karena mereka royal mengeluarkan
uang, mereka tidak menarik perhatian dan kecurigaan orang lain.
Di tengah perjalanan, rombongan ini bertemu
dengan lima orang wanita yang sudah mengenal Yu Ci Pok, maka mereka dihadapkan
kepada Tambolon dan diperkenalkan oleh Si Sastrawan Maut itu. Lima orang wanita
ini bukanlah sembarangan wanita, karena mereka itu adalah Loan-ngo Mo-li (Lima
Iblis Betina Sungai Loan) yang namanya sudah terkenal sekali di sepanjang
Sungai Loan-ho. Mendengar bahwa Loan-ngo Mo-li hendak berkunjung ke
Tiat-ciang-pang untuk mengambil-alih kekuasaan karena mendengar bahwa
perkumpulan itu dan semua perkumpulan kaum sesat kini dipimpin oleh seorang
wanita yang kabarnya menyamar sebagai Song Lan Ci, orang pertama dari
Loan-ngo Mo-li, lima orang wanita yang pekerjaannya adalah cabang atas Sungai
Loan-ho yang membawahi semua kaum bajak, Tambolon menjadi girang dan segera
mengajak lima orang wanita lihai itu untuk bekerja sama. Sungguhpun pihaknya
sendiri sudah amat kuat, dengan bantuan dua orang pengawalnya yang setia dan
terutama sekali bantuan nenek gurunya yang pikun, Durganini, namun dalam
keadaan seperti itu, di mana banyak tokoh pandai bermunculan, Tambolon merasa
lebih kuat kedudukannya kalau mempunyai banyak pembantu orang lihai. Dia
menawarkan bantuannya untuk merampas kedudukan bengcu bagi Loan-ngo Mo-li, akan
tetapi dia pun minta bantuan lima orang wanita itu untuk menghadapi
musuh-musuhnya dalam memperebutkan anak naga.
Demikianlah, rombongan yang kini bertambah
dengan lima orang wanita itu memasuki dusun, beberapa jam lebih dulu daripada
kedatangan rombongan Puteri Syanti Dewi. Secara kebetulan sekali, satu-satunya
rumah penginapan yang diminta atau diperintahkan agar dikosongkan oleh kepala
dusun karena rumah penginapan itu harus diberikan kepada rombongan Puteri
Bhutan, tadinya disewa oleh rombongan Tambolon ini! Tentu saja raja liar
Rambolon menjadi marah, akan tetapi begitu mendengar penjelasan bahwa rumah
penginapan itu akan dipergunakan untuk tempat bermalam rombongan dari kota
raja yang mengawal Puteri Bhutan, dia cepat memberi isyarat kepada para
pembantunya agar mengalah dan mereka segera pergi meninggalkan rumah
penginapan itu, mengalah bermalam di dalam sebuah kuil di luar dusun! Akan tetapi
Tambolon segera mengatur siasat untuk menangkap Puteri Bhutan, puteri dari
musuh besarnya karena dengan adanya puteri itu di tangannya, dia tentu akan
dapat memaksakan tuntutannya kepada Raja Bhutan! Apalagi karena memang puteri
itu dahulunya telah dihadang dan hendak dirampasnya namun usahanya gagal
karena Sang Puteri dapat melarikan diri.
Tambolon tidak akan dapat menjadi raja dari
para suku bangsa liar kalau saja dia tidak pandai dan cerdik. Dia bukanlah
orang kasar yang hanya mengandalkan kekuatan badan dan ilmu kepandaian
silatnya saja, akan tetapi seorang ahli siasat yang dapat bersikap cerdik dan
hati-hati. Dia maklum bahwa biarpun kekuatan rombongannya sudah lebih dari
cukup untuk menyergap dan merampas Syanti Dewi dengan kekerasan, namun dia
tidak mau melakukan hal itu, mengingat bahwa dusun ini tidak begitu jauh dari
kota raja dan kalau dia menimbulkan keributan sampai ketahuan dan terdengar
oleh kota raja, tentu pemerintah akan mengirim pasukan besar dan orang-orang
pandai untuk menangkap atau membunuhnya. Dia maklum akan kelemahannya sendiri
kalau harus menghadapi bala tentara pemerintah dan orang-orang pandai yang dia
tahu banyak membantu pemerintah.
Oleh karena itu, dia lalu minta bantuan
gurunya, nenek ahli sihir yang seperti iblis itu untuk menawan Syanti Dewi
secara halus. Nenek itu terkekeh girang. Durganini sudah terlalu tua dan sudah
pikun, biarpun dia lihai sekali, baik ilmu silat maupun tenaga saktinya,
terutama sekali ilmu sihirnya, akan tetapi karena sudah terlalu pikun,
Tambolon tidak berani melepaskan gurunya ini untuk bekerja sendiri saja,
karena kepikunannya akan dapat menggagalkan semua urusan. Oleh karena itu, dia
minta bantuan kepada sekutunya yang baru, yaitu Loan-ngo Mo-li yang dipimpin
oleh Song Lan Ci. Lima orang wanita jagoan dari Sungai Loan-ho ini berusia
rata-rata empat puluh tahun, wajah mereka membayangkan kekejaman dan kekasaran
sungguhpun mereka itu, terutama Song Lan Ci, dapat dikatakan agak cantik juga
dan mereka semua masih gadis, dalam arti kata belum ada yang menikah. Lima
orang wanita itu tentu saja menyanggupi dan pergilah mereka mengantar Durganini
yang harus digandeng itu menuju ke rumah penginapan yang telah mereka
tinggalkan tadi.
Sementara itu, Puteri Syanti Dewi yang sudah
di atas pembaringan di dalam kamar rumah penginapan itu merasa gelisah hatinya.
Biarpun ada dua puluh empat orang pengawal anak buah dan kepercayaan ayah
angkatnya, Jenderal Kao Liang, pada saat itu menjaga dan mengawalnya, namun
hatinya merasa tidak enak. Dia mengingat akan semua pengalamannya sejak
meninggalkan Bhutan dan merasa betapa lebih senang dan merasa lebih aman
ketika dia melakukan perjalanan bersama adik angkatnya, Lu Ceng atau Candra
Dewi. Entah bagaimana, dia tidak merasa senang untuk kembali ke Bhutan. Dia
merasa kehilangan karena di dalam perantauannya selama ini dia bertemu dengan
banyak orang jahat dan musuh, akan tetapi juga dengan banyak sekali orang-orang
yang amat baik kepadanya, yang tak mungkin dapat dia lupakan selama hidupnya,
Lu Ceng adik angkatnya, Jenderal Kao Liang ayah angkatnya, Gak Bun Beng yang
pernah menjatuhkan hatinya, yang sampai saat itu pun dianggap sebagai seorang
manusia yang paling mulia baginya, Suma Kian Bu yang ternyata mencintanya dan
pemuda yang remaja ini amat baik kepadanya. Kemudian Suma Kian Lee yang halus
dan sopan gerak-geriknya. Puteri Milana yang demikian gagah perkasa dan
bernasib menyedihkan. Kemudian Ang Tek Hoat, pemuda yang takkan dapat dia
lupakan, pemuda yang aneh, pemuda yang telah mengorbankan diri sendiri untuk
menolongnya, pemuda yang oleh semua orang dianggap jahat dan menjadi
pengkhianat, menjadi pemberontak ternyata malah berjasa membunuh pangeran
pemimpin pemberontak. Pemuda yang menurut cerita Puteri Milana ibu pemuda itu,
ternyata masih terhitung keluarga Pulau Es! Dia membayangkan sinar mata sayu
dan penuh derita hidup membayang dari mata pemuda itu dan teringat akan ini,
Syanti Dewi menarik napas panjang. Betapa banyaknya kedukaan di dunia ini bagi
manusia. Gak Bun Beng pendekar sakti itu pun merana karena cinta kasihnya
dengan Puteri Milana gagal. Demikian pula puteri itu merana. Dan Kian Bu patah
hati karena dia tidak dapat membalas cintanya. Dia suka kepada pemuda ini
seperti suka kepada seorang saudara, kepada seorang adik karena pemuda perkasa
itu masih amat muda.
Renungan-renungan ini membuat Puteri Syanti
Dewi merasa gelisah. Bagaimana mungkin dia dapat melupakan semua orang itu
dan kembali ke Bhutan di mana penghidupan akan menjadi lain sama sekali dan dia
harus mengubur semua wajah yang dikenalnya itu dan mulai hidup baru di Bhutan?
Kepada pria mana lagi dia akan dijodohkan oleh ayahnya demi negara? Dia merasa
ngeri memikirkan hal ini. Setelah merasakan keindahan alam luas, kenikmatan
kebebasan, kini dia menghadapi istana Bhutan seperti menghadapi sebuah
penjara! Dia akan kehilangan kebebasannya sebagai manusia, sebagai seorang
wanita biasa dan akan berada di dalam kurungan emas berupa istana megah itu
sebagai seorang puteri, sebagai alat untuk negara!
Syanti Dewi makin gelisah dan akhirnya dia
turun dari pembaringan, membuka pintu samping dan berkata kepada pengawal yang
berjaga di luar pintu bahwa dia ingin berjalan-jalan ke dalam taman bunga kecil
di samping rumah penginapan itu. Pengawal itu mengangguk dan menjaga serta mengawasi
dari jauh. Taman itu menembus ke samping rumah dan depan rumah penginapan itu
telah terjaga oleh lima orang temannya. Puteri itu selalu dalam pengawasan dan
tidak akan ada sesuatu dapat menimpanya.Angin malam semilir lembut mengusap
wajah Syanti Dewi, mengusir kegelisahannya yang tadi terselimut oleh kenangan
yang mendatangkan rasa gelisah di hati. Kewaspadaan membuat dara ini dapat
melihat dan mendengar dengan jelas keadaan di sekelilingnya dan telinganya
menangkap suara tidak wajar yang arahnya datang dari depan. Dia lalu melangkah
perlahan menuju ke depan sehingga akhirnya dia dapat menyelinap di belakang
serumpun pohon kembang dan mengintai keluar.
Dia terheran-heran melihat lima orang
pengawalnya itu semua berlutut di depan seorang nenek tua renta berpakaian
hitam yang datang bersama lima orang wanita setengah tua yang sikapnya galak.
Lebih lagi heran dan kagetnya ketika dia melihat berturut-turut semua
pengawalnya yang keseluruhannya berjumlah dua losin orang itu berdatangan dan
terdengar nenek itu berkata, suaranya agak pelo karena mulutnya sudah tidak
bergigi lagi, nadanya tinggi dan mendesis setengah berbisik, akan tetapi
terdengar jelas memasuki telinga bahkan sampai menyusup ke dalam jantung.
“Aku adalah permaisuri, kalian para pengawal
tidak cepat berlutut memberi hormat? Aku adalah Thaihouw yang sengaja datang
untuk memeriksa apakah kalian benar-benar baik dalam pengawalanmu terhadap
Puteri Bhutan.” Nenek berkulit hitam berpakaian hitam itu berkata.
Syanti Dewi sendiri belum pernah bertemu atau
melihat permaisuri Kaisar, karena ketika dia dihadapkan Kaisar, dia sama sekali
sebagai seorang puteri bangsawan yang tahu akan tata susila tidak berani
mengangkat muka dan meliarkan pandang mata, maka sekarang pun dia tidak akan
mengenal permaisuri. Akan tetapi, betapapun juga, sampai mati dia tidak akan
mau percaya bahwa nenek tua renta yang berwajah bengis menyeramkan, yang
berpakaian hitam berkulit hitam dan lebih menyerupai iblis betina daripada
manusia ini adalah permaisuri Kaisar dengan lima orang pengawalnya! Akan
tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah ketika dia melihat Can Siok,
komandan pasukan pengawalnya yang baru datang berlari keluar, menjatuhkan diri
berlutut di depan nenek itu dan berseru hormat, “Thaihouw....!” Juga semua
pengawal kini telah berlutut di depan nenek itu!
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Dia adalah
seorang puteri Bhutan. Kerajaan Bhutan adalah sebuah kerajaan di antara
Pegunungan Himalaya dan di sana banyak terdapat pertapa-pertapa dan ahli-ahli
ilmu kebatinan termasuk ahli-ahli sihir. Maka puteri ini tidak asing dengan
segala peristiwa yang tidak wajar dan berbau ilmu sihir. Begitu dia menyaksikan
keadaan di depan rumah penginapan itu, di mana dua losin orang pengawalnya
berlutut di depan seorang nenek hitam dan menganggap nenek itu permaisuri, dia
sudah dapat menduga bahwa tentu ada permainan sihir di sini.
“Heh-heh-heh, bagus sekali para pengawal yang
setia!” Nenek hitam itu terdengar berkata, suaranya berbisik mendesis seperti
suara ular. “Sekarang lekas kauambil Puteri Bhutan itu, Kaisar menghendaki
agar dia ikut dengan aku sekarang juga.”
Begitu mendengar kata-kata ini, Syanti Dewi
terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa nenek iblis itu sengaja datang hendak
menangkapnya secara halus, menggunakan ilmu sihir. Maka dia cepat pergi
meninggalkan tempat persembunyiannya itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan
kembang di dalam taman, lalu dengan jantung berdebar dia menggunakan
kepandaiannya untuk meloncati pagar taman yang tidak begitu tinggi, kemudian
dia lari menyelinap di antara rumah-rumah penghuni dusun itu. Karena tidak
mengenal jalan, dia tidak berani lari di tempat terbuka, dan dia hanya
bersembunyi di balik-balik rumah, dan berpindah ke tempat lain kalau mendengar
suara orang-orang mencarinya di tempat yang berdekatan.
Di sudut dusun itu, Syanti Dewi melihat
sebuah rumah rusak yang kosong, maka dimasukinya rumah kosong ini dan dia
bersembunyi di situ, mengintai dari balik pintu rumah yang terbuka karena daun
pintunya tinggal sebelah. Jantungnya berdebar dan kakinya menggigil. Dia tidak
lagi berani keluar dari rumah rusak itu karena takut terlihat orang dan
tertangkap.
Pagi cepat datang dan sinar matahari pagi
mulai mengusir kegelapan malam. Syanti Dewi masih berdiri mengintai di balik
daun pintu yang tinggal sebelah. Dusun itu masih sunyi dan Syanti Dewi ingin
minta tolong penduduk dusun kalau dia melihat mereka keluar. Di antara orang
banyak, tentu nenek iblis itu tidak berani berlagak, pikirnya. Akan tetapi
tiba-tiba dia menahan napas melihat munculnya seorang wanita, yaitu seorang di
antara lima wanita pengawal nenek itu malam tadi, dan wanita ini datang menuju
ke rumah rusak itu diikuti oleh lima orang pengawalnya sendiri yang kini
agaknya sudah menjadi kaki tangan mereka! Syanti Dewi maklum bahwa para
perajurit pengawalnya itu berada di bawah pengaruh sihir nenek itu, maka dari
mereka jelas dia tidak dapat mengharapkan perlindungan lagi.
Mereka datang makin dekat, hanya tinggal
belasan meter saja dari rumah rusak itu. Untuk melarikan diri tidak mungkin
karena sekali keluar dari rumah itu tentu akan terlihat oleh mereka dan lari
pun tentu percuma, akan dapat dikejar. Maka Syanti Dewi hanya bersembunyi dan
mengintai dengan menahan napas, diam-diam berdoa agar mereka itu tidak akan
memasuki rumah rusak.
“Haaaaa, kau hendak lari ke mana....?” Suara
lirih dan parau di belakangnya ini membuat Sang Puteri terkejut setengah mati.
Dia menengok dan melihat seorang kakek tua berkepala botak, tersenyum dan
matanya memandang seperti mata seorang anak nakal yang suka menggoda, kedua
lengan dibentangkan dengan sikap hendak menangkap Syanti Dewi!
Syanti Dewi terkejut dan menjadi bingung,
akan tetapi tiba-tiba kakek itu yang melihat kebingungannya, menurunkan kedua
lengannya dan bertanya halus, “Eh, Nona. Mengapa pagi-pagi sekali engkau
berada di sini seorang diri dan kelihatan ketakutan? Apakah kau hendak minggat
dari rumahmu bersama seorang pacar?”
Syanti Dewi maklum bahwa ternyata kakek ini
tidak ada hubungannya dengan para pengejarnya, dan sepanjang perantauannya dia
telah agak mengenal orang-orang pandai, maka dia pun menduga bahwa kakek ini
tentu bukan orang sembarangan, maka cepat dia menjura dan berkata, “Kakek yang
baik, aku mohon padamu, tolonglah aku.... aku sedang dikejar dan hendak
ditangkap oleh mereka itu....” Dia menuding ke arah luar rumah rusak itu.
Akan tetapi terlambat sudah. Wanita yang bukan
lain adalah seorang di antara Loan-ngo Mo-li itu telah mendengar suara Si Kakek
dan dengan langkah lebar diikuti oleh lima orang perajurit pengawal dia telah
menghampiri rumah rusak itu dan tiba-tiba saja dia muncul di depan Syanti Dewi
dan kakek itu.
Wanita yang memakai anting-anting emas besar
di kedua telinganya dan lima orang perajurit pengawal itu kelihatan girang
sekali melihat Syanti Dewi. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu tertawa dan
mengandung getaran kuat sekali, “Ha-ha-ha, kalian bengong memandang kami kakek
dan nenek mau apa sih? Berani kalian mengganggu Nenek Durganini yang sedang
indehoi dengan kekasihnya? Heh-heh!”
Betapa anehnya! Wanita Loan-ngo Mo-li yang
bertampang kejam itu dan lima orang perajurit pengawal yang telah terpengaruh
sihir dari nenek hitam guru Tambolon itu kini memandang bengong, dan wanita itu
lalu menjura kepada Syanti Dewi sambil berkata, “Harap Locianpwe maafkan,
saya kira tadi puteri yang sedang kita cari-cari....”
Syanti Dewi tentu saja juga bengong dan
bingung, akan tetapi lengannya sudah digandeng oleh kakek itu pergi
meninggalkan rumah rusak, jalan bergandengan tangan diikuti pandang mata
wanita itu yang masih terkejut dan heran. Akan tetapi, bukan main kaget dan
heran hatinya ketika melihat mengapa “nenek hitam” itu tadi dari belakang
kelihatan ramping dan muda, tidak terbongkok-bongkok melainkan jalan berlenggang
dengan bukit pinggul seorang dara muda yang bulat dan penuh! Dia menggoyang dan
mengguncang kepalanya, memejamkan mata sebentar kemudian membuka mata
memandang lagi. Kiranya “nenek” itu adalah puteri yang dicari-carinya.
“Kejar....! Tangkap mereka!” Dia berteriak
dan lima orang perajurit pengawal yang kini berubah menjadi seperti
manusia-manusia robot yang tidak mempunyai pendirian sendiri karena telah
dipengaruhi sihir Nenek Durganini itu cepat mengejar Syanti Dewi dan kakek tua,
tombak mereka ditodongkan ke depan siap untuk menyerang.
Mendengar teriakan ini yang disusul derap kaki
mengejar mereka, Syanti Dewi menjadi khawatir sekali. “Kek, mereka
mengejar....!” bisiknya.
Kakek itu terkekeh, kemudian secara tiba-tiba
dia berhenti dan membalikkan tubuhnya, telunjuk kirinya menuding ke arah lima
orang perajurit pengawal itu sambil mulutnya berkata, “Heeeiii! Kalian mengapa
main-main dengan ular? Lihat, kalian bisa digigit sendiri oleh ular di tangan
kalian!”
Syanti Dewi tentu saja menjadi heran sekali,
mengira bahwa kakek yang aneh ini mungkln sudah miring otaknya. Dikejar musuh
yang mengancam bukannya lari atau melawan malah berolok-olok seperti itu. Akan
tetapi Syanti Dewi terbelalak kaget bukan main ketika dia melihat betapa lima
orang perajurit pengawal yang kini telah menjadi hamba atau kaki tangan nenek
hitam mengerikan itu memekik ketakutan dan tombak di tangan mereka itu telah
berubah menjadi ular-ular besar yang kini membalikkan kepala mendesis-desis
hendak menyerang mereka sendiri. Syanti Dewi mengejap-ngejapkan matanya karena
tidak percaya, akan tetapi benar saja, tombak-tombak di tangan lima orang itu
telah berubah menjadi ular-ular yang menyerang mereka sendiri. Lima orang itu
terbelalak dengan muka pucat, kemudian tentu saja mereka lalu membuang
“ular-ular” itu dan lari ketakutan! Mereka adalah perajurit-perajurit pengawal
pilihan, anak buah Jenderal Kao dan merupakan perajurit yang pantang mundur
menghadapi musuh yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi melihat tombak sendiri berubah
menjadi ular-ular besar panjang yang menyerang mereka sendiri, hal ini terlalu
hebat bagi mereka dan mendatangkan rasa takut yang hebat.
“Ha-ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa dan Syanti
Dewi terpukau di tempatnya melihat betapa “ular-ular” itu setelah dibuang ke
atas tanah dan ditinggalkan para perajurit, telah kembali kepada bentuk
semula, yaitu lima batang tombak. Bukan main kagum dan girang rasa hatinya
karena kini dia maklum bahwa dia telah ditolong oleh seorang kakek ahli sihir
pula. Sungguh mengherankan sekali, pikirnya. Dia akan diculik oleh seorang
nenek ahli sihir dan ditolong oleh seorang kakek ahli sihir!
“Kakek yang baik, aku akan kaubawa ke mana?”
tanya Syanti Dewi setelah melihat betapa para pengejar itu tidak tampak lagi di
belakang mereka dan kakek itu telah membawanya keluar dari dusun itu.
“Ke tempat yang aman, di hutan depan itu. Di
sana menanti seorang muridku, mari kau kuperkenalkan dengan dia,” kata Si
Kakek yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su itu. Kakek ini pernah mengacau
di dalam pesta yang diadakan Tambolon ketika Tambolon memaksa Siang Hwa untuk
menikah dengan dia. Seperti telah diceritakan secara singkat, tokoh perantauan
yang aneh ini adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi dan mahir pula
dengan ilmu sihir dan dia adalah bekas suami dari Nenek Durganini. Seperti
telah kita ketahui, See-thian Hoat-su ini bersama Panglima Jayin perwira
pengawal Bhutan itu bersama empat orang anak buahnya, Kian Bu, Siang Hwa dan
Siang In melarikan diri dikejar oleh Pasukan Tambolon dan dikeroyok di atas
rakit sampai rakit itu terbawa hanyut oleh sungai yang mengamuk dalam badai.
Jenazah Siang Hwa yang menjadi korban hujan anak panah tidak dapat
diselamatkan dan dibawa hanyut oleh air, akan tetapi kakek ini berhasil
menyelamatkan Siang In ke darat. Karena kasihan melihat dara yang yatim piatu
dan kini bahkan kehilangan enclnya itu, juga karena melihat Siang In memiliki
tulang yang kuat dan darah yang bersih serta memiliki bakat, kakek itu lalu
mengangkat Siang In menjadi muridnya.
Biarpun sudah bercerai dari isterinya, yaitu
Nenek Durganini, namun sesungguhnya Kakek See-thian Hoat-su masih mencinta
isterinya atau bekas isterinya itu. Maka ketika dia mendengar bahwa isterinya
datang dari barat untuk membantu dan dapat dikatakan diperalat oleh muridnya
yang jahat, yaitu Tambolon, See-thian Hoat-su menjadi tak senang hati dan dia
pun lalu membayangi bekas isterinya itu untuk mencegah isterinya terseret
dalam kejahatan. Inilah sebabnya mengapa kakek itu muncul di dalam perayaan
pesta pernikahan Tambolon dan mengacau sehingga pernikahan paksaan itu gagal.
Kini, mendengar bahwa Tambolon dan bekas isterinya itu pergi ke kota raja,
diam-diam dia pun mengajak murid barunya, Teng Siang In untuk membayangi.
Melihat betapa isterinya menggunakan ilmu sihir menculik Syanti Dewi, dia
segera turun tangan menolong gadis itu dan hal ini dilakukannya bukan
sekali-kali karena dia suka mencampuri urusan orang lain melainkan semata-mata
karena dia hendak mencegah isterinya terseret oleh muridnya melakukan
perbuatan jahat. Demikian pula halnya ketika dia mengacau di dalam pesta
Tambolon. Hanya karena mengingat kepada isterinya sajalah maka kakek ini mau
campur tangan karena biasanya dia sudah tidak sudi lagi mencampuri urusan dunia
yang hanya mendatangkan pertentangan dan permusuhan.
See-thian Hoat-su yang melarikan Syanti Dewi
itu telah tiba di dalam hutan kecil itu dan langsung dia menghampiri sebuah
kuil rusak yang kosong dan sisa dindingnya sudah penuh dengan lumut hijau.
“Siang In...., muridku yang baik, kau lekas
keluarlah....!” Kakek itu berteriak dengan suara gembira.
Terdengar suara orang menjawab dari dalam kuil
tua dan Syanti Dewi ingin sekali melihat macam apa orangnya yang menjadi murid
kakek aneh ini. Kemudian dari dalam kuil itu tampak sesosok bayangan orang
melangkah keluar dan Syanti Dewi terbelalak melihat bahwa orang ini bukan lain
adalah nenek hitam berpakaian hitam yang telah menyihir para pengawalnya malam
tadi!
See-thian Hoat-su juga terkejut sekali, akan
tetapi kakek ini terkekeh dan berkata, “Isteriku yang baik, engkau sudah
menyusulku ke sini? Mana muridku?”
“Siapa isterimu? Siapa muridmu?”
“Engkau isteriku.... yang baik, yang tercinta,
yang....”
“Cukup! Kita sudah bercerai dan aku sudah
nenek-nenek, engkau sudah kakek-kakek, tidak ada gunanya merayuku lagi.”
“Ahhhh, galak amat....! Durganini, di mana
muridku?” Kakek itu bertanya dengan alis berkerut, agak khawatir juga
sungguhpun dia tahu bahwa isterinya ini tidak akan mengganggu orang begitu saja.
“Muridmu siapa?”
“Ah, jangan main-main. Tentu saja Teng Sian
In....”
“Dia? Huh, engkau lancang mulut, enak saja
mengaku murid. Dia muridku, tahu?”
“Hah....?” Kakek itu melongo dan cepat dia
menguasai keheranannya, ingat bahwa sekali dia terheran, akan mudah untuk jatuh
di bawah pengaruh sihir isterinya yang dalam hal ini lebih kuat daripada dia
itu. “Apa maksudmu?”
“Maksudku? Kaulihat dan dengar sendiri! Siang
In....! Muridku yang baik, kau keluarlah!”
“Baik, Subo!” Terdengar jawaban nyaring dan
tak lama kemudian muncullah seorang dara remaja cantik manis yang memandang
kepada kakek itu dengan senyum lebar dan kemudian memandang kepada Syanti Dewi
dengan sinar mata penuh keheranan. “Eh, Enci ini siapakah? Begini cantik jelita
seperti bidadari....!”
Begitu melihat Siang In, Syanti Dewi sudah
merasa senang sekali. Akan tetapi hatinya terlampau gelisah melihat nenek itu
sehingga dia diam saja memperhatikan kedua orang tua itu. Tak disangkanya
bahwa kakek yang menolongnya ini malah suami dari nenek itu, atau setidaknya
bekas suami!
Sementara itu, See-thian Hoat-su yang tadinya
menyangka bahwa tentu muridnya telah terjatuh ke dalam kekuasaan sihir
isterinya, begitu melihat muridnya, menjadi makin terheran-heran karena
ternyata benar olehnya bahwa muridnya itu sama sekali tidak di bawah pengaruh
sihir!
“Siang In, apa maksudmu? Mengapa engkau
mengangkat guru kepadanya?”
“Kepada siapa, Suhu? Maksudmu kepada Subo
ini?”
“Ya. Kenapa? Bukankah engkau sudah menjadi
muridku?” kakek itu menuntut.
“Karena aku menjadi murid Suhu, maka aku
adalah muridnya juga, bukan? Engkau adalah suhuku (Bapak Guru) dan dia adalah
suboku (Ibu Guru). Aku sudah mendengar bahwa Suhu telah meninggalkan Subo.
Jahat sekali itu!”
“Ihh, anak kecil kau tahu apa? Hayo kau
ikut aku pergi.”
“Tidak, Suhu. Aku mau ikut pergi dengan Suhu
kalau bersama subo. Kalau tidak, biar aku ikut Subo saja, sama-sama perempuan.”
“Wah, apa-apaan ini?” Kakek itu menggaruk
kepalanya. “Celaka sial dangkalan! Kenapa aku mengambil murid seorang
perempuan? Sekarang aku dikeroyok!”
“Bagaimana, Suhu? Kalau Suhu mau berbaik
kembali dengan Subo, aku mau ikut Suhu, kalau tidak, biar aku ikut dengan
Subo.”
Kakek itu membanting-banting kakinya. “Cari
penyakit! Dahulu, hanya dengan seorang perempuan di sampingku, hidup sudah
banyak repot, sekarang malah ada dua ekor! Cari penyakit!”
“See-thian Hoat-su, banyak lagak engkau!”
Durganini menudingkan tongkatnya. “Kalau begitu, pergilah tinggalkan kami,
jangan sampai bangkit marahku dan kukutuk engkau menjadi monyet nanti!”
“Sudahlah!” Kakek itu menghela napas panjang.
“Dasar nasibku, tua-tua cari perkara. Aku mau menurut, kita bersama lagi, akan
tetapi hanya dengan satu syarat yaitu kalian harus meninggalkan Tambolon dan
ikut dengan aku ke tempat sunyi. Jangan membikin dunia yang sudah kacau menjadi
makin kacau lagi. Bagaimana?”
“Setuju!” Siang In bersorak. “Selamanya aku
memang hidup di tempat sunyi, dahulu dengan enciku, sekarang dengan Suhu dan
Subo, tentu lebih ramai.”
“Bagaimana, Durganini?” Kakek itu menuntut.
Aneh! Nenek itu menundukkan muka seperti
seorang gadis diajak kawin, kemalu-maluan dan hanya terkekeh dan
mengangguk-angguk! Kakek itu tertawa bergelak lalu menggandeng tangan Durganini
di sebelah kanan dan tangan muridnya di sebelah kiri. “Kalau begitu, hayo kita
pergi, tunggu apa lagi?”
“Eh, nanti dulu.... Enci, mari kau ikut
bersama kami saja....!” Siang In berseru sambil menoleh kepada Syanti Dewi.
Akan tetapi Syanti Dewi yang merasa ngeri menyaksikan adegan aneh itu dan
seolah-olah menghadapi orang-orang gila, tentu saja tidak mau dan menggeleng
kepala. Dan tiba-tiba dia melihat asap hitam mengepul yang menelan tiga orang
itu lenyap dari pandangan matanya. Dia tertegun dan kagum bukan main. Kiranya
banyak benar orang-orang pandai di dunia ini.
Akan tetapi setelah kakek itu pergi, dia
teringat akan keadaan dirinya dan timbullah kekhawatirannya. Biarpun nenek itu
sudah tidak ada lagi, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana jadinya dengan dua
losin orang pengawal itu, apakah masih di bawah pengaruh sihir nenek itu
sehingga bahkan berbalik hendak menangkapnya. Teringat ini, dia mengambil
keputusan untuk pergi sendiri saja melanjutkan perjalanannya ke barat.
***
Dengan hati lega Ceng Ceng dan Topeng Setan
tiba di sarang perkumpulan di mana Ceng Ceng menjadi ketuanya itu. Mereka sudah
melihat beberapa orang anak buah menyambut kedatangan mereka dengan muka
gelisah. Karena Topeng Setan masih menderita luka parah dan tubuh membutuhkan
perawatan baik, maka dia tidak begitu memperhatikan keadaan di situ, dan Ceng
Ceng yang merasa lega hatinya bahwa akhirnya mereka tiba di tempat
persembuyian ini, segera bersama Topeng Setan memasuki rumah besar yang selama
dia berada di situ menjadi tempat tinggalnya. Heran juga dia melihat rumah itu
demikian sunyi, padahal hari sudah agak siang. Tidak nampak ada pelayan dan
penjaga menyambutnya. Mereka terus saja memasuki ruangan dalam dan tiba-tiba
keduanya tertegun ketika melihat munculnya belasan orang yang warna mukanya
aneh-aneh, mengurung ruangan itu sehingga mereka berdua terkurung di
tengah-tengah oleh orang-orang yang bersenjata itu! Kaget sekali hati Ceng
Ceng karena dia mengenal orang-orang ini sebagai anak buah Hek-tiauw Lo-mo,
yaitu orang-orang Pulau Neraka yang memiliki kepandaian tinggi.
Topeng Setan juga terkejut sekali dan
tiba-tiba muncullah dari balik pintu dalam dua orang yang sama sekali tidak
mereka sangka-sangka berada di tempat itu. Mereka adalah Hek-tiauw Lo-mo dan
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui!
Melihat wanita yang bersama dengan Kian Bu di
Telaga Sungari dan yang telah memperebutkan ular naga dengan dia, Ceng Ceng
menjadi marah, memandang dengan mata terbelalak dan dia menudingkan
telunjuknya sambil membentak, “Kalian iblis laki perempuan berada di sini mau
apa?”
“Ha-ha-ha-ha, selamat bertemu, Nona Ceng!
Selamat datang di tempat perkumpulan kami.”
“Apa maksudmu, Hek-tiauw Lo-mo?” Ceng Ceng
membentak. “Aku adalah Bengcu di tempat ini!” Ceng Ceng memberi isyarat dengan
tepuk tangannya untuk memanggil anak buahnya, akan tetapi tidak ada seorang
pun yang berani muncul.
“Ha-ha-ha-ha! Tempat ini telah menjadi
tempatku, Nona yang baik. Akan tetapi mengingat persahabatan antara kita, aku
mau mengembalikannya kepadamu dan mengampunimu kalau engkau suka menyerahkan
anak ular naga itu kepadaku.”
“Jangan mimpi! Mustika itu telah berada di
dalam perutku....”
“Tidak.... tidak...., kami tidak berhasil
mendapatkan anak naga itu....” Topeng Setan cepat berseru dengan wajah
membayangkan kekhawatiran, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tertawa lagi.
“Kau hendak membohongiku? Ha-ha, kulihat
cahaya racun sudah lenyap dari wajahnya, hal ini berarti darahnya sudah bersih.
Akan tetapi.... darah dan dagingnya masih sepenuhnya mengandung khasiat mustika
itu sebelum lewat empat puluh hari, dan kau datang menyerahkan diri padaku,
ha-ha-ha....!”
“Hek-tiauw Lo-mo, kau tidak bisa berbuat
sekeji itu!” Tiba-tiba Topeng Setan membentak marah dan tangan kanannya
dikepal keras-keras. “Engkau tidak boleh mengganggu dia!”
“Ha-ha-ha, siapa yang tidak memperbolehkan?
Engkau dengan lenganmu yang sudah buntung sebelah? Ha-ha-ha! Mari, Nona manis,
kau ikutlah dengan aku, ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo yang kegirangan melihat
munculnya orang yang ditunggu-tunggu itu menggapai kepada Ceng Ceng.
Nona ini tenang-tenang saja dan dia masih
belum mengenal bahaya. Dengan sabar dia berkata, “Hek-tiauw Lo-mo, apakah kau
benar-benar tidak mempunyai perikemanusiaan lagi? Puterimu demikian cantik dan
berbudi, akan tetapi apakah engkau begitu kejam untuk mengganggu kami? Kau
lihat, dia terluka parah dan perlu beristirahat, perlu dirawat luka-lukanya.
Dan percuma saja engkau mengganggu kami karena anak ular itu sudah kuhabiskan
semua. Biar engkau akan membunuh aku pun engkau tidak akan bisa mendapatkan
anak ular naga itu.”
“Aihh, Ceng Ceng.... kau.... kau tidak
tahu....” Topeng Setan mengeluh. “Dia memang bukan manusia, dia lebih jahat
daripada iblis, lebih keji daripada seekor binatang yang paling buas. Dia
menghendaki daging dan darahmu....”
Wajah Ceng Ceng menjadi pucat sekali dan
sambil berteriak marah dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah
Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dengan amat mudahnya Ketua Pulau Neraka itu
mengelak dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa betapa punggungnya sakit sekali dan
dia roboh pingsan. Ternyata bahwa ketika dia menyerang Hek-tiauw Lo-mo yang
tentu saja menganggap ringan ilmu silatnya, dari belakang Hong Kui telah
menotoknya.
“Kalian tidak boleh mengganggunya!” Topeng
Setan membentak dan tubuhnya mencelat ke depan dengan kecepatan kilat dan
tangannya yang tinggal sebelah itu berkelebat. Bukan main cepatnya gerakan
tangannya dan tenaga yang terkandung di dalam tangan ini juga amat besar,
mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Hong Kui terkejut dan membalik sambil
menangkis.“Bresss....!” Tubuh wanita cantik ini terlempar ke belakang menabrak
tembok dan kalau saja dia tidak memiliki kepandaian tinggi, tentu
tulang-tulangnya akan remuk. Akan tetapi dia sudah mengerahkan sin-kangnya dan
ketika tubuhnya menabrak dinding, dia sudah membulatkan tubuh dan
menggelinding di atas lantai. Wanita ini selamat, akan tetapi dia kaget dan
marah bukan main, mukanya merah, matanya melotot dan jantungnya masih berdebar
tegang karena hampir saja dia celaka dalam sekali gebrakan saja!
Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah
menerjang maju, mengerahkan tenaganya dan menggunakan Ilmu Pukulan
Hek-coa-tok-ciang yang ampuh. Pada saat itu, Topeng Setan baru saja menderita
kehilangan lengan kiri. Ketika hal itu terjadi, dia sedang bergulat dengan
maut dalam air, maka dia telah kehilangan banyak darah dan tubuhnya masih
lemah. Apalagi karena baru saja kehilangan lengan kiri, gerakannya menjadi kaku
dan canggung. Oleh karena itu, biarpun dia masih mampu menangkis beberapa
pukulan Hek-tiauw Lo-mo dan mengelak cepat ketika Mauw Siauw Mo-li juga
menerjangnya dengan penuh kemarahan, akan tetapi karena sebagian perhatiannya
juga tercurah kepada Ceng Ceng dengan penuh kegelisahan melihat dara ini rebah
terlentang dalam keadaan pingsan, maka lewat belasan jurus saja dia sudah
roboh oleh hantaman tangan kanan Hek-tiauw Lo-mo yang mengenai punggungnya.
Sekali dia roboh terhuyung, Mauw Siauw Mo-li juga menotok pundak kanannya.
Seketika Topeng Setan merasa betapa lengan kanannya setengah lumpuh dan dia
roboh terguling.
“Ceng Ceng....!” Biarpun dia sudah roboh,
Topeng Setan berusaha untuk bangkit sambil memandang ke arah Ceng Ceng dengan
penuh kekhawatiran. Dia maklum manusia macam apa adanya Hek-tiauw Lo-mo dan
membayangkan betapa dara itu akan diganyang dagingnya dan diminum darahnya
oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sangat menginginkan khasiat dari anak ular naga, dia
merasa ngeri dan khawatir sekali.
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang merasa
marah bukan main karena tadi dibuat terlempar menubruk tembok oleh Topeng
Setan, menghampiri orang aneh itu. Dia memang sudah merasa amat kagum dan heran
ketika menyaksikan sepak terjang Topeng Setan ketika terjadi perebutan anak
ular naga, kagum betapa laki-laki ini dalam keadaan terluka hebat, buntung
lengan kirinya, masih mampu merampas anak ular naga itu, bahkan mampu membawa
Ceng Ceng lari sehingga tidak dapat ditangkap oleh sekian banyaknya orang
lihai di Telaga Sungari. Kini, dia merasakan sendiri keampuhan tangan yang
tinggal sebelah itu, maka timbul keinginannya untuk melihat bagaimana macam
orangnya yang bersembunyi di balik kedok buruk itu.
“Suheng jangan bunuh dia dulu. Aku ingin
melihat wajahnya!” Dia berteriak ketika melihat Hek-tiauw Lo-mo hendak turun
tangan membunuh Topeng Setan.
“Hemm, sesukamu. Aku pun ingin melihat siapa
dia!” Hek-tiauw Lo-mo berkata sambil terkekeh girang karena dia telah berhasil
menangkap Ceng Ceng dan merobohkan Topeng Setan yang amat lihai itu.
Lauw Hong Kui membungkuk, tangan kanannya
meraih ke arah wajah Topeng Setan yang sama sekali tidak berdaya lagi itu,
jari-jari tangan yang panjang dan halus itu sudah menyentuh topeng.
“Tahan....! Enci Hong Kui, jangan kaubuka
topeng itu....!” Tiba-tiba Kian Bu yang baru muncul keluar berseru keras
mencegah perbuatan Hong Kui itu. Mendengar suara Kian Bu, Hong Kui terkejut
karena kekasihnya itu nada suaranya bersungguh-sungguh seperti orang marah.
Tentu saja dia tidak ingin membuat kekasihnya marah kepadanya. Kalau hanya
karena muka Topeng Setan dia harus menghadapi kemarahan kekasihnya yang mungkin
akan mogok melayani nafsunya, dia akan rugi sekali!
Kian Bu terkejut bukan main ketika melihat
Ceng Ceng menggeletak di atas lantai. Kalau saja dia tidak terlambat muncul,
tentu dia akan mencegah Ketua Pulau Neraka dan sumoinya itu menyerang Ceng
Ceng dan pembantunya yang setia itu. Kini dengan langkah lebar dia menghampiri,
alisnya berkerut dan dia menghadapi Hek-tiauw Lo-mo sambil berkata, “Lo-mo,
aku melarang engkau mengganggu mereka! Ketahuilah, nona ini adalah keponakanku
sendiri, dan Topeng Setan adalah pembantunya yang setia. Mereka berdua telah
membuat jasa besar dalam membantu pemerintah. Aku terpaksa akan menentangmu
kalau engkau mengganggu mereka. Enci Hong Kui, jangan engkau ikut-ikut
suhengmu!”
“Ha-ha-ha, Sumoi, matamu buta! Engkau memilih
kekasih yang menentang kita. Orang muda, engkau sombong sekali. Kaukira mudah
saja menentang Hek-tiauw Lo-mo?”
Kakek itu sudah mengepal kedua tangannya dan
terdengar suara berkerotokan. Ini merupakan tanda bahwa dia sudah marah sekali
dan ingin menurunkan tangan maut kepada Kian Bu. Sebaliknya, pemuda dari Pulau
Es itu pun memandang tajam, berdiri tegak dan siap untuk melakukan perlawanan
terhadap musuh yang dia tahu amat lihai itu.
“Tahan....! Jangan berkelahi....!” Mauw Siauw
Mo-li berseru dan meloncat di tengah-tengah melerai mereka. “Suheng! Kian Bu!
Jangan kalian berkelahi sendiri. Segala urusan dapat dirundingkan baik-baik,
mengapa harus menggunakan kekerasan saling merusak? Kalian berdua adalah
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, kalau sudah saling gempur tentu
ada seorang di antara kalian yang celaka.”
Hek-tiauw Lo-mo bukan seorang bodoh. Ucapan
sumoinya ini menyadarkannya bahwa memang amat merugikan kalau dia bermusuhan
dengan kekasih sumoinya ini. Dia tahu betapa lihainya putera Majikan Pulau Es
ini dan dalam keadaan seperti sekarang ini, sebaiknya kalau dia tidak
bermusuhan dengan pemuda yang telah dapat ditarik oleh sumoinya itu. Dan
tentang Ceng Ceng yang telah ditawannya, juga Topeng Setan, dapat saja dia
kuasai dengan jalan halus.
“Ha-ha-ha, ucapan sumoi memang tepat juga.
Orang muda, engkau mencinta dia, dan aku adalah suhengnya, sungguh tidak enak
kalau antara kita bentrok sendiri. Aku akan menjadi malu hati terhadap sumoiku
yang tinggal seorang ini!”
Kian Bu menahan senyum dan melirik ke arah
Ceng Ceng yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan dan Topeng Setan
yang juga rebah tak berdaya karena tertotok.
“Lo-mo, aku pun tidak hendak memusuhimu, akan
tetapi kalau kau mengganggu mereka, terpaksa aku harus turun tangan.”
Hek-tiauw Lo-mo menarik napas panjang. “Aih,
kau tentu mengerti betapa aku amat membutuhkan khasiat naga itu untuk
menyempurnakan ilmuku yang masih setengah matang kulatih. Dan aku harus
merampas kembali kitabku dari tangan Topeng Setan ini. Akan tetapi biarlah hal
itu kita lakukan dengan halus dan membujuknya untuk mengembalikan kitab. Adapun
tentang nona ini dengan khasiat anak naga, biar sementara waktu kita tidak usah
bicarakan dulu. Akan tetapi aku pun tidak akan membebaskan mereka sebelum
kitab itu dikembalikan kepadaku. Sumoi, kau yang bertanggung jawab kalau sampai
nona ini melarikan diri. Nah, kau boleh membawa dia ke kamar dan menjaganya.
Topeng Setan akan kumasukkan tahanan dan dijaga keras.”
Tanpa menanti jawaban, Hek-tiauw Lo-mo
menyambar tubuh Topeng Setan dan membawanya ke dalam tahanan di mana dia
memerintahkan anak buah Pulau Neraka untuk menjaganya. Lengan yang tinggal
sebelah itu dipasangi belenggu baja yang arnat kuat, demikian pula kedua
pergelangan kakinya. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar, Hek-tiauw Lo-mo
yang sudah berjanji itu tidak memperbolehkan anak buahnya membuka topeng buruk
itu.
Sementara itu, Lauw Hong Kui membujuk
kekasihnya untuk bersabar dan dia memondong tubuh Ceng Ceng yang masih pingsan
ke dalam sebuah kamar dan menjaganya. Dapat dibayangkan betapa bingung rasa
hati Kian Bu. Dia ingin sekali menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan, akan tetapi
dia maklum bahwa dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, dia tidak mungkin
seorang diri saja membebaskan mereka karena dia harus menghadapi Hek-tiauw
Lo-mo yang lihai dan banyak anak buahnya. Selain itu, juga dia merasa sungkan
untuk bermusuhan dengan kekasihnya yang dia tahu terpaksa tentu akan berpihak
kepada suhengnya. Maka dia mengandalkan cinta kasih wanita itu kepadanya untuk
dapat membujuk agar Hek-tiauw Lo-mo tidak mengganggu kedua orang tawanan itu
sebelum dia mampu menyelamatkan mereka.
Suma Kian Bu termenung di dalam kamarnya.
Hatinya gelisah sekali dan pikirannya ruwet. Batinnya sadar bahwa dia telah
tersesat, telah menuruti nafsu berahi dan membiarkan dirinya tenggelam ke dalam
kenikmatan duniawi yang sebetulnya mengandung racun-racun berbahaya. Akan
tetapi, setiap kali dia membayangkan kesenangan dan kenikmatan yang dialaminya
bersama Hong Kui, dia menjadi lumpuh dan tidak mampu meninggalkan wanita itu.
Dia merasakan dirinya seperti seekor semut yang terjatuh ke dalam secawan
madu. Manisnya madu itu memabokkan, akan tetapi telah menggulung dan membuat
dia melekat tak mampu melepaskan diri, bergulung dalam kemanisan dan
kenikmatan biarpun dia maklum bahwa keselamatannya terancam. Hendak melepaskan
diri, sayang akan kenikmatannya, hendak melanjutkan menikmati kesenangan,
sadar bahwa dia tersesat!
Tiba-tiba dia mendengar suara sesuatu di
jendela kamarnya. Daun jendela itu diketuk orang dari luar! Dia terheran-heran
mengapa dia tidak dapat mendengar ada orang mendekati jendelanya dan tahu-tahu
jendela itu diketuk dari luar! Dengan sikap waspada dan siap-siap Kian Bu
mendekati jendelanya dan membuka palangnya lalu mendorong jendela terbuka.
Betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat seorang pemuda sudah berdiri di
luar jendela dan pemuda itu tentu saja dikenalnya baik karena dia bukan lain
adalah Ang Tek Hoat!
Dengan pandang mata tajam penuh selidik Tek
Hoat memberi tanda dengan telunjuk di depan bibir agar Kian Bu tidak membuat
gaduh, kemudian dengan gerakan ringan sekali dia meloncat memasuki kamar Kian
Bu. Wajah pemuda ini masih pucat, agaknya luka-luka yang dideritanya ketika dia
dikeroyok oleh Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo yang berhasil dia robohkan dan
tewaskan itu masih belum memulihkan semua kesehatan tubuhnya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek
Hoat yang terluka hebat sekali telah diangkut ke kota raja oleh Puteri Milana
dan di sana mengalami perawatan dan pengobatan. Akan tetapi, ketika Tek Hoat
mendengar bahwa musuh besarnya, Gak Bun Beng, masih hidup, semangatnya timbul
dan biarpun kesehatannya masih belum pulih, badannya masih lemah, dia nekat
meninggalkan istana Puteri Milana untuk pergi mencari musuh besarnya itu. Juga
dia pergi dengan jantung seperti ditusuk rasanya karena dia melihat bahwa
Syanti Dewi, Puteri Bhutan yang telah merampas hatinya dan telah membuat dia
tergila-gila itu, ternyata mencinta Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti.
Dia maklum bahwa dirinya memang tidak berharga sama sekali bagi puteri itu dan
dia sudah merasa berbahagia bahwa dia telah berhasil menyelamatkan puteri yang
dicintanya dengan diam-diam itu dari bahaya.
Karena kesehatannya belum pulih, Tek Hoat
tidak pergi jauh meninggalkan kota raja dan kemudian dia teringat akan dusun
Nam-lim di mana dia membantu Ceng Ceng yang menjadi bengcu kaum sesat di sana.
Mengingat bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan meninggalkan tempat itu, Tek Hoat
lalu pergi ke sana dengan niat untuk mencari saputangannya yang membuat dia
teringat akan sumpahnya kepada Ceng Ceng, dan juga untuk beristirahat dan
memulihkan tenaganya.
Akan tetapi, ketika pagi hari itu dia tiba di
sebuah hutan tidak jauh dari Nam-lim, dia mendengar jerit seorang wanita.
Biarpun dia merasa enggan untuk mencampuri urusan orang lain, apalagi karena
tubuhnya masih lemah, namun bangkit juga rasa penasaran di dalam hatinya dan dia
cepat mengejar ke arah datangnya suara itu. Jerit tertahan yang hanya satu kali
seperti jerit wanita yang mengalami kekagetan.
Dengan bersembunyi di balik sebatang pohon
besar, Tek Hoat memandang ke depan kuil rusak di mana terdapat belasan orang
yang dikenalnya sebagai raja liar Tambolon dan dua ocang pengawalnya yang
terkenal itu bersama anak buahnya. Dan hampir Tek Hoat mengeluarkan teriakan
kaget dan marah ketika dia melihat seorang dara berdiri di tengah-tengah
pengurungan mereka, dan dara yang matanya terbelalak lebar dan mukanya pucat
karena kaget itu bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi! Tek Hoat menggosok-gosok
kedua matanya. Tak salah lagi. Puteri itu adalah Puteri Bhutan yang selama ini
tak pernah dilupakannya sedetikpun juga! Akan tetapi bagaimana puteri ini bisa
berada di dalam hutan, seorang diri di depan kuil tua dan kini dikurung oleh
Tambolon dan orang-orangnya?
Seperti kita ketahui, Puteri Bhutan ini berada
di depan kuil tua seorang diri setelah dia ditinggalkan See-thian Hoat-su yang
mengajak pergi isterinya, Durganini dan muridnya, Teng Siang In di tempat itu,
tiba-tiba datang Tambolon dan anak buahnya sehingga Syanti Dewi terkejut sekali
dan mengeluarkan suara menjerit tadi yang terdengar oleh Tek Hoat.
Setelah dia merasa yakin bahwa dara itu adalah
Puteri Syanti Dewi, Tek Hoat merasa ada hawa panas naik dari pusarnya terus
sampai membuat mukanya menjadi panas dan merah. Ada orang-orang berani
mengganggu Syanti Dewi di depan hidungnya! Sekali meloncat, tubuhnya melayang dan
tahu-tahu dia telah tiba di depan pengurungan itu, di dekat Syanti Dewi yang
menjadi girang sekali melihat pemuda ini.
“Tek Hoat....!” Dalam girangnya melihat
betapa dalam keadaan terancam bahaya mengerikan itu tiba-tiba muncul pemuda
yang pernah menolongnya dan yang tentu sekarang datang hendak menolongnya pula,
Syanti Dewi segera menyambar lengan Tek Hoat.
Merasa betapa lengannya disentuh oleh tangan
dara itu, jantung Tek Hoat berdebar keras akan tetapi dengan halus dia
melepaskan pegangan gadis itu sambil berbisik halus, “Harap paduka mundur dan
berlindung di belakang saya....”
Syanti Dewi menggigit bibirnya mendengar
betapa pemuda itu menyebut paduka dan bersikap amat menghormatinya. Dia tidak
berkata apa-apa lagi dan mundur di belakang pemuda itu, hatinya diliputi penuh
kekhawatiran karena melihat sikap Tambolon dan anak buahnya yang mengancam.
Memang Tambolon marah sekali ketika dia
melihat munculnya Tek Hoat yang seperti setan tiba-tiba saja muncul di situ.
“Ahh, bukankah engkau pemuda tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong?” bentaknya.
“Tidak perlu menggali urusan lama, yang
penting adalah sekarang ini, Tambolon. Aku melarang engkau mengganggu puteri
ini!” Tek Hoat berkata dengan suara nyaring dan yang nadanya penuh tantangan.
“Pemuda sombong!” Tiba-tiba Yu Ci Pok, Si
Siucai Maut itu membentak dan sudah menerjang ke depan dengan totokan
jari-jari tangannya yang dilakukan secara beruntun ke arah tujuh jalan darah
terpenting di tubuh bagian depan dari Tek Hoat.
“Plak-plak-plak.... desss....!” Tubuh Siucai
itu terlempar ke belakang bahkan sampai terbanting sehingga pinggulnya menimpa
tanah dan debu mengebul dari tempat yang tertimpa pantatnya.
Melihat betapa kawannya begitu mudah
dirobohkan, Liauw Kui Si Petani Maut menjadi marah. Dia berseru keras dan
pikulannya sudah menyambar-nyambar. Melihat serangan maut ini, Tek Hoat cepat
mengelak dengan lincahnya dan balas menendang dari kiri yang juga dapat
dielakkan oleh Si Petani Maut. Adapun Yu Ci Pok yang mukanya menjadi merah
sekali karena terbanting tadi, kini juga sudah meloncat bangun, mencabut
senjatanya yang ampuh, yaitu sepasang poan-koan-pit dan bersama dengan Lauw
Kui dia menyerang Tek Hoat Kalang kabut.
“Hemm...., kalian hendak bertempur? Boleh,
lihat pedang!”
Tiba-tiba kelihatan sinar pedang
bergulung-gulung mengerikan sekali. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang
Pengejar Roh) yang amat ampuh, sebatang pedang yang dahulu menjadi milik iblis
dari Pulau Neraka Cui-beng Koai-ong! Terdengar suara nyaring berkali-kali dan dua
orang pembantu Tambolon itu melompat ke belakang dengan muka pucat karena
senjata pikulan dan dug batang poan-koan-pit itu telah patah-patah terbabat
sinar pedang Cui-beng-kiam.
“Simpan pedangmu atau gadis ini akan kubunuh
lebih dulu!” Tiba-tiba Tambolon berkata tenang.
Tek Hoat terkejut, cepat dia memutar tubuhnya
dan matanya terbelalak memandang Syanti Dewi yang sudah dipegang kedua
lengannya ke belakang oleh Tambolon dan raja liar ini menempelkan pedangnya di
leher Puteri Bhutan itu. Melihat ini lemaslah seluruh tubuh Tek Hoat.
Tambolon memang seorang yang amat cerdik
sekali. Dia telah melihat betapa lihainya pemuda ini ketika Tek Hoat dengan
mudah membuat dua orang pengawalnya itu tidak berdaya hanya dalam waktu
singkat saja. Dia tahu bahwa kalau dia sendiri maju dibantu dua orang
pengawalnya dan para anak buahnya, belum tentu dia tidak akan dapat
mengalahkan Tek Hoat, akan tetapi sebelum dia dapat merobohkan pemuda perkasa
ini tentu pihaknya lebih dulu mengalami pukulan hebat, mungkin banyak
pembantunya yang akan tewas. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, apalagi
dia memang mengharapkan bantuan pemuda ini. Maka dia telah mengambil cara yang
dianggapnya paling mudah dan paling aman, yaitu mengancam Syanti Dewi.
Muka Tek Hoat menjadi merah saking marahnya
menyaksikan cara ini. “Tambolon, engkau sungguh manusia pengecut! Bebaskan
Sang Puteri dan mari kita bertanding secara jantan!”
Tambolon tersenyum mengejek. “Di antara kita
tidak ada permusuhan, perlu apa saling hantam? Pula, aku ingin bicara
denganmu, kau simpan pedangmu itu!”
“Jangan mengira aku akan dapat kau gertak,
hayo bebaskan atau aku akan mengamuk dan membunuh kalian semua!”
“Ha-ha-ha, apakah kaukira aku anak kecil, Ang
Tek Hoat? Bergeraklah dan pedangku akan memenggal leher yang halus ini!”
Tambolon mengancam dan pedangnya yang menempel di kulit leher putih halus itu
amat mengerikan. Memang Tambolon bukan melakukan perbuatan ini karena takut,
melainkan dengan perhitungan yang sudah masak. Dia telah mendengar betapa pemuda
ini, demi untuk menyelamatkan Syanti Dewi, telah berkhianat, membalik dan
membunuh Pangeran Liong Khi Ong, Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan
Kui-bo. Hal ini membuat dia merasa yakin bahwa penodongannya terhadap Syanti
Dewi sudah pasti akan berhasil baik dan membuat Tek Hoat tidak berani bergerak.
Dan memang perhitungannya ini tepat sekali. Tek Hoat merasa seolah-olah
dibelenggu kaki tangannya dan dia lalu menyimpan pedangnya.
“Tambolon, kalau engkau mengganggu
selembar rambutnya saja, aku bersumpah akan menyiksamu dan akhirnya membunuhmu
sampai engkau menyesal telah dilahirkan di dunia ini.” Ucapannya itu lirih akan
tetapi mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma. Tambolon sendiri yang
mempunyai watak kejam, bergidik mendengar sumpah itu karena dia maklum bahwa
orang macam pemuda ini tentu akan memenuhi ancamannya yang hebat itu. Pemuda
seperti ini merupakan seorang musuh yang berbahaya dan mestinya, menurut watak
dan kecerdikannya, dia harus membunuh pemuda ini sekarang juga. Akan tetapi dia
ingin memanfaatkan pemuda ini lebih dulu, karena dia mendengar pelaporan anak
buahnya tadi bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan telah tiba di dusun Nam-lim dan
celakanya telah terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo!
“Ang Tek Hoat, aku pun bersumpah tidak akan
mengganggu Puteri Bhutan ini, akan tetapi engkau harus membantuku dengan
sesuatu. Kalau engkau tidak mau melakukan itu dan gagal, terpaksa aku akan
membunuhnya dan kami sanggup menghadapi ancaman kosongmu itu!”
“Tambolon, tak perlu banyak cakap. Katakan apa
yang kau kehendaki?”
“Aku ingin agar engkau pergi ke dusun Nam-lim
dan menghadapkan Nona Lu Ceng ke sini. Atau pendeknya, aku ingin menukar puteri
ini dengan Nona Lu Ceng.”
“Tek Hoat.... jangan kaucelakakan Lu
Ceng....!” Tiba-tiba Syanti Dewi yang berdiri dengan leher tertempel pedang dan
mukanya pucat, berseru. “Biar mati aku tidak akan mencelakakan adikku itu!”
Tek Hoat memandang Tambolon dengan sinar mata
penuh selidik. “Tambolon, mengapa engkau menyuruh aku untuk urusan itu? Engkau
dengan begini banyak pembantumu, takut untuk melakukan penangkapan atas diri
Nona Lu Ceng maka engkau menyuruh aku?”
“Ha-ha-ha, jangan menduga yang bukan-bukan,
orang muda. Engkau adalah seorang di antara pembantu Lu-bengcu, bukan? Engkau
lebih mengenal keadaan di sana dan engkau tentu akan lebih mudah untuk membawa
dia ke sini. Sudahlah, kaulakukan itu atau terpaksa aku akan membunuh puteri
ini.”
“Mengapa engkau menghendaki dia?”
“Karena dia telah berhasil memperoleh anak
naga Telaga Sungari.”
Diam-diam Tek Hoat terkejut. Dia pun mendengar
tentang anak naga itu akan tetapi dia sendiri tidak mempedulikan binatang yang
dianggap keramat dan merupakan obat yang amat luar biasa itu.
“Nona Lu Ceng dan Topeng Setan telah kembali
ke Nam-lim dan mereka terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya.”
“Ahhh....?” Tek Hoat terkejut.
“Karena itu, berhati-hatilah dan jangan
sampai engkau gagal menyeret Nona Lu ke sini kalau kau ingin melihat puteri
ini selamat.”
“Baik, aku akan lakukan itu. Dan sekali lagi
ingat, jangan engkau mengganggu selembar rambut pun dari nona ini.” Setelah
berkata demikian, Tek Hoat membalikkan tubuhnya pergi dari situ.
“Tek Hoat...., jangan kaupenuhi permintaan
mereka. Jangan kauganggu adikku Lu Ceng!” Syanti Dewi masih berseru marah.
Tek Hoat membalik dan menjura. “Harap paduka
tenang saja.” Kemudian sekali berkelebat, pemuda itu sudah lenyap di balik
pohon-pohon di hutan itu.
Demikianlah, malam hari itu Tek Hoat berhasil
menyelundup ke dusun Nam-lim yang tentu saja dikenalnya dengan baik dan dia
berhasil memasuki kamar Suma Kian Bu yang gelisah tak dapat tidur memikirkan
keadaan Ceng Ceng yang menjadi tawanan itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan
kagetnya hati Kian Bu melihat munculnya Tek Hoat di tempat itu.
Setelah mereka berdiri berhadapan di dalam
kamar, Tek Hoat sejenak menatap wajah Kian Bu dengan tajam, kemudian dia
berdiri. “Apakah dunia telah terbalik? Tidak salahkah penglihatanku bahwa
putera Pendekar Super Sakti kini menjadi sekutu Hek-tiauw Lo-mo?”
Wajah Kian Bu menjadi merah bukan main. “Tek
Hoat, jangan engkau mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan! Aku di sini menjadi
tamu, bukan sekutu!”
“Bagus! Akan tetapi mengapa engkau enak-enak
saja melihat Nona Lu Ceng dijadikan tawanan olehnya?”
Jantung Kian Bu berdebar penuh rasa malu dan
ketegangan. Untung bahwa pemuda aneh ini agaknya belum tahu akan hubungannya
dengan Hong Kui, kalau tahu, dia akan merasa makin canggung dan malu lagi.
“Enak saja kau bicara, apa kaukira aku diam-diam tidak memikirkan hal itu? Akan
tetapi mereka itu kuat sekali, aku tidak berani bertindak sembrono dan
mengalami kegagalan.”
“Aku datang untuk menyelamatkan Nona Lu Ceng.
Dapatkah kau membantuku?”
“Dengan adanya engkau, tentu keadaan kita
lebih kuat. Mari kita serbu dan....”
“Tidak begitu maksudku, Kian Bu. Aku hanya
minta bantuanmu. Di mana Ceng Ceng ditahan?”
“Di dalam kamar.... Mauw Siauw Mo-li, di ujung
lorong belakang. Topeng Setan dimasukkan ke gudang belakang....”
“Aku tidak peduli dengan Topeng Setan,” kata
Tek Hoat. “Sekarang baiknya engkau mengacau dengan api. Bakarlah bagian depan
bangunan untuk memancing mereka keluar, dan aku akan menyelinap ke belakang dan
membebaskan Nona Lu Ceng.”
Kian Bu mengangguk dan setelah menerima bahan
pembuat api dari Tek Hoat yang memang telah mempersiapkannya sebelumnya, dia
lalu mengikuti Tek Hoat keluar dari kamar itu. Setelah memberi isyarat di mana
letaknya kamar Mauw Siauw Mo-li, mereka lalu berpisah dan Kian Bu cepat menuju
ke depan dan memilih tempat yang baik untuk dibakar. Dia maklum bahwa
perbuatannya ini tentu akan membuat dia dibenci oleh Mauw Siauw Mo-li, akan
tetapi dia tidak peduli. Dia tidak mencinta wanita cantik itu, hanya menikmati
pergaulan mereka, memuaskan nafsu belaka. Memang dia sudah gelisah dan mencari
akal bagaimana dapat menyelamatkan Ceng Ceng dan kemunculan Tek Hoat memang
amat kebetulan.
Tak lama kemudian, di malam yang sunyi itu,
kegelapan di dusun yang menjadi sarang bekas perkumpulan Tiat-ciang-pang
dipecahkan oleh sinar api yang bernyala tinggi dan kesunyian dipecahkan oleh
teriakan-teriakan banyak orang, “Api....! Api....! Kebakaran....!”
Seketika tempat itu menjadi geger. Para
anggauta Pulau Neraka memimpin orang-orang memadamkan api dan Hek-tiauw Lo-mo
sendiri dengan kaget dan marah mendatangi tempat kebakaran.
Tak lama kemudian muncul Mauw Siauw Mo-li dan
Suma Kian Bu. Wanita ini tadi masih menjaga Ceng Ceng di dalam kamarnya.
Ketika Suma Kian Bu datang mengetuk pintunya dan mengajaknya keluar untuk
melihat kebakaran, Lauw Hong Kui yang tadi menotok Ceng Ceng, lebih dulu
mengikat kaki tangan dara itu, baru dia pergi bersama Kian Bu keluar.
Ketika mereka tiba di luar, Hek-tiauw Lo-mo
memandang tajam kepada Kian Bu dan sumoinya, lalu membentak marah, “Sumoi, kenapa
kautinggalkan dia? Celaka, ini tentu perbuatan musuh yang menggunakan siasat
memancing harimau keluar sarang!”
Mendengar ini, Hong Kui terkejut dan bersama
suhengnya dia berlari kembali menuju ke kamarnya. Saking kaget dan khawatirnya
dia sampai tidak melihat bahwa Kian Bu tidak ikut kembali ke dalam.
“Brakkk!” Hek-tiauw Lo-mo menendang pecah
daun pintu kamar itu dan keduanya berteriak marah dan kaget melihat
pembaringan di mana tadi Ceng Ceng rebah terbelenggu telah kosong.
“Celaka....!” Lauw Hong Kui berteriak. “Dia
sudah kubelenggu!”
“Kau tolol....!” Hek-tiauw Lo-mo berseru dan
meloncat kejuar lagi, mendorong sumoinya yang menghalangi jalan. Dia kembali
ke tempat kebakaran dan mencari-cari, akan tetapi tidak melihat lagi bayangan
Suma Kian Bu.
Sambil memaki-maki penuh kemarahan, Hek-tiauw
Lo-mo cepat berlari menuju ke tempat tahanan Topeng Setan dan dia masih melihat
para penjaganya lengkap di situ karena mereka tidak berani meninggalkan
tawanan penting ini. Dan Topeng Setan sendiri masih duduk bersila dalam keadaan
terbelenggu di dalam kamar tahanan.
Kita tinggalkan dulu Hek-tiauw Lomo yang
marah-marah melihat hilangnya Ceng Ceng dan mari kita ikuti pengalaman Ceng
Ceng. Tadi ketika dia melihat Kian Bu muncul di depan kamar kemudian dia yang
sudah tertotok itu dibelenggu oleh Mauw Siauw Mo-li, melihat betapa mereka
berdua bicara dengan sikap mesra sekali, hati Ceng Ceng mendongkol bukan main.
Tak disangkanya bahwa putera Pendekar Super Sakti atau masih terhitung “paman”
tirinya itu, kini menjadi sahabat baik dari Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya.
Ketika dulu dia melihat Suma Kian Bu berdua dengan Lauw Hong Kui di Telaga
Sungari, dia masih belum menduga jelek dan mengira bahwa mereka itu secara
kebetulan saja bertemu di telaga karena keduanya sama memperebutkan anak naga.
Akan tetapi sekarang, dia menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo dan Kian Bu berada di
situ sebagai sahabat Mauw Siauw Mo-li! Hampir saja Ceng Ceng tidak dapat
mempercayai pandangan matanya sendiri. Sungguh tidak mungkin kalau pemuda
perkasa itu, yang dia tahu merupakan keturunan pahlawan dan pendekar besar,
yang bersama dengan Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee telah ikut berjuang membasmi
pemberontak, kini tiba-tiba menjadi sahabat Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw
Mo-li, bekas kaki tangan pemberontak dan orang-orang yang pantas digolongkan
dengan bangsa iblis jahat! Teringat dia akan teriakan Suma Kian Bu ketika dia
memperebutkan anak naga dengan Mauw Siauw Mo-li di atas tiang layar patah itu.
Pemuda itu berteriak, “Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu....!” Teriakan
ini ditujukan kepada Mauw Siauw Mo-li yang disebut “enci” oleh Kian Bu. Dan
teriakan itu saja sudah membuktikan bahwa Kian Bu berpihak kepadanya, minta
kepada iblis betina itu agar menyerahkan anak naga kepadanya. Akan tetapi Mauw
Siauw Mo-li tidak mau sehingga akhirnya anak ular naga itu putus ekornya.
Akan tetapi mengapa sekarang Kian Bu
seolah-olah diam saja melihat dia ditawan? Dan mengapa kelihatannya antara
Kian Bu dan iblis betina itu begitu mesra? Iblis betina itu cantik sekali
memang cantik, menarik dan genit penuh daya pikat. Diam-diam Ceng Ceng
mengeluh. Mungkinkah “paman” tirinya itu yang masih muda belia terjebak dalam
pikatan si cantik genit? Ceng Ceng gelisah bukan main, gelisah memikirkan keselamatan
Topeng Setan. Pamannya yang bertopeng buruk itu, yang telah berkorban
sedemikian rupa untuk dia, sekarang kembali berada dalam ancaman maut. Ceng
Ceng memejamkan matanya mengusir kengerian hatinya yang penuh rasa iba kepada
Topeng Setan. Luka di pundaknya karena lengannya buntung itu masih belum
sembuh dan sekarang harus menjadi tawanan orang-orang sejahat iblis. Sudah
matikah Topeng Setan? Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar
membasahi pipinya. Topeng Setan mati? Dunia tak ada artinya lagi baginya.
Karena kalau orang itu mati dia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi dan dia
tidak akan dapat menahan derita hidup akan bosan dengan hidup ini. Topeng
Setan merupakan harapan satu-satunya, seolah-olah merupakan pegangan terakhir
baginya dalam kehidupannya yang penuh derita itu. Dia sejak dahulu hanyut
dalam gelombang kesengsaraan dan baru sekarang dia mendapat pegangan yang
dapat menahan kehanyutannya, pegangan seorang yang dapat dipercayanya
sepenuhnya, yang dia yakin amat mencintanya, mungkin menganggapnya sebagai
anak sendiri. Kalau dia benar sudah mati, dia pun enggan menanggung derita
hidup sendirian saja!
Tiba-tiba jendela kamar itu terbuka dari luar,
dan sesosok bayangan yang cepat dan ringan sekali melayang masuk. Ang Tek Hoat!
Ceng Ceng memandang dengan jantung berdebar ketika melihat betapa jari-jari
tangan yang mengandung kekuatan sin-kang hebat itu mematah-matahkan belenggu
kaki tangannya, kemudian dia ditotok bebas.
“Tek Hoat....”
“Sssssttt, mereka sedang sibuk dengan api,
mari kita pergi!” Tanpa menanti jawaban dia menyambar lengan Ceng Ceng dan
mengajaknya melompat lari dan menyelinap di antara bayangan rumah-rumah di
situ lalu langsung melarikan diri secepat mungkin keluar dari dusun Nam-lim.
“Tek Hoat, berhenti dulu!” Tiba-tiba Ceng Ceng
berkata dan memegang lengan pemuda itu.
Tek Hoat berdiri dan memandang wajah gadis itu
di bawah sinar bulan yang bersinar terang di malam itu.
“Kita harus kembali!” kata Ceng Ceng dengan
suara tetap.
“Ehh....?” Tek Hoat menjadi terheran sekali.
“Susah payah aku membebaskan engkau dan melarikan diri, sekarang engkau hendak
kembali ke sana? Apa artinya ini?”
“Aku tidak boleh melarikan diri sendiri saja
sedangkan Topeng Setan masih tertawan di sana. Kita harus menolong dan
membebaskannya.”
Tek Hoat yang tidak tahu menahu akan segala
pengalaman Ceng Ceng bersama Topeng Setan, tidak tahu betapa Topeng Setan
telah kehilangan sebelah lengannya ketika membela Ceng Ceng, diam-diam menjadi
kagum sekali, mengira bahwa gadis ini mempunyai rasa setia kawan yang amat
besar.
“Ceng Ceng, kaukira mudah saja aku
membebaskanmu tadi? Kalau tidak ada bantuan Suma Kian Bu yang membakar ruangan
depan, kiranya belum tentu aku dapat membebaskanmu semudah itu dari tangan
orang macam Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya serta kaki tangannya, orang-orang
Pulau Neraka itu. Dan sekarang kalau kita kembali ke sana berarti kita akan
memasuki guha naga yang amat berbahaya. Apalagi mereka tentu telah
bersiap-siap....”
“Tidak peduli!” Ceng Ceng membentak dan
mencari-cari saputangan dari balik bajunya. Saputangan milik Tek Hoat yang
selama ini selalu dibawanya karena benda itu merupakan “jimat” baginya kalau
berhadapan dengan pemuda ini. “Ang Tek Hoat, kau berani membantah perintahku?
Kau.... kau....” Dia bingung karena saputangan itu tidak berada lagi di
kantongnya dan mendengar pemuda itu tertawa, dia memandang dan.... ternyata
saputangannya itu telah berada di tangan pemuda itu! Agaknya ketika
menolongnya tadi, Tek Hoat tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk merampas
kembali saputangannya!
“Ceng Ceng, kau tidak lagi dapat memaksaku
melakukan sesuatu.”
“Keparat, kau jahat!” Ceng Ceng membentak.
“Kalau begitu sudahlah, memang kau orang jahat dan tidak patut menjadi
temanku. Biarlah aku akan menolongnya sendiri!” Ceng Ceng hendak membalikkan
tubuhnya, akan tetapi Tek Hoat cepat menahannya.
“Nanti dulu....! Ceng Ceng, apa kau sudah
melupakan kakak angkatmu, Puteri Bhutan?”
“Syanti Dewi....? Apa maksudmu?” Ceng Ceng
terkejut dan memandang tajam.
“Dia ditawan oleh Raja Tambolon. Aku hendak
menolongnya akan tetapi Tambolon menodong leher puteri itu dan mengatakan bahwa
dia mau membebaskan Syanti Dewi asal engkau mau menyerahkan diri kepadanya
sebagai tukarnya.”
“Lalu.... lalu bagaimana maksudmu? Mengapa dia
hendak menangkap aku?”
“Hemm.... aku telah mendengar bahwa engkau
berhasil memperoleh anak naga, maka tentu dia hendak minta mustika itu darimu.
Maka, untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi, kita harus menggunakan akal.
Engkau pura-pura menjadi tawananku dan kutukarkan dengan Syanti Dewi, setelah
puteri yang lemah itu berada padaku, maka aku dapat membantumu untuk
meloloskan dia dari Tambolon.”
Ceng Ceng menjadi girang sekali bahwa dia
akan dapat menolong kakak angkatnya dan akan dapat bertemu dengan puteri yang
telah lama sekali berpisah darinya itu, akan tetapi dia menjadi bimbang karena
teringat kepada Topeng Setan yang masih menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo.
“Akan tetapi.... bagaimana dengan Paman
Topeng Setan....? Kita harus menyelamatkan dia lebih dulu....”
“Jangan khawatir, Ceng Ceng. Setelah
membantuku membakar ruangan depan memancing perhatian musuh, dia tentu akan
menolong Topeng Setan. Pula, aku yakin bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan
membunuh Topeng Setan sebelum dapat menangkapmu kembali. Engkaulah yang
dibutuhkan olehnya, bukan dia. Tentu dia dapat dipergunakan sebagai sandera.
Marilah, aku khawatir kita akan terlambat menolong Syanti Dewi!”
Mendengar ini, terpaksa Ceng Ceng mengikuti
pemuda itu menuju ke dusun di tepi Sungai Ta-cing di mana Syanti Dewi menjadi
tawanan Raja Tambolon. Untung bahwa puteri ini dianggap orang penting sekali
setelah gerombolan ini bertemu dan berjanji dengan Tek Hoat yang akan ditukar
dengan Ceng Ceng sehingga Syanti Dewi memperoleh perlakuan yang baik dan
sopan, karena kalau tidak, sukar dibayangkan bagaimana nasib puteri jelita ini
di tangan seorang biadab seperti Tambolon!
Hari masih pagi sekali dan penduduk dusun itu
masih belum bangun ketika Tek Hoat dan Ceng Ceng tiba di dusun itu. “Engkau
harus pura-pura menjadi tawananku, biar kutotok jalan darahmu. Kalau hanya
pura-pura biasa, tentu tidak akan dapat mengelabui Tambolon dan
pembantu-pembantunya yang lihai,” kata Tek Hoat. Ceng Ceng mengangguk dan Tek
Hoat lalu menotok pundak dara itu sehingga menjadi lemas dan dipanggulnya
tubuh Ceng Ceng, dibawa berloncatan ke atas genteng menuju ke tempat Tambolon
dan gerombolannya bermalam.
“Tambolon, aku sudah berhasil menangkap Nona
Lu Ceng. Hayo kaukeluarkan Puteri Syanti Dewi!” Tek Hoat berteriak ketika dia
tiba di depan rumah yang ditinggali gerombolan itu.
Tambolon dan teman-temannya memang sudah siap
menanti kedatangan pemuda ini sejak Tek Hoat pergi dengan janjinya untuk
menangkap Ceng Ceng. Tambolon sendiri yang keluar, diantar oleh dua orang
pengawalnya, mendorong Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak ketika
mendengar nama Lu Ceng disebut-sebut. Ketika dia melihat Ang Tek Hoat
memondong tubuh Ceng Ceng yang dikenalnya karena di depan rumah itu terdapat
penerangan lampu yang cukup terang sehingga dia dapat melihat wajah Ceng Ceng,
dia berteriak kaget dan girang, “Adik Candra....!”
Akan tetapi Tambolon menangkap lengannya
ketika puteri ini hendak lari menghampiri. Ceng Ceng sendiri merasa girang
bukan main dan tak terasa lagi dua butir air mata menetes turun ketika dia
melihat puteri itu bercucuran air mata memandang kepadanya. Dia mulai merasa
curiga karena Tek Hoat belum juga membebaskan totokannya.
“Tambolon, kaulemparkan Sang Puteri kepadaku
dan aku pun akan melemparkan Nona Lu Ceng kepadamu!” Tek Hoat berseru karena
dianggapnya bahwa cara inilah yang paling baik dan aman agar dia tidak
dicurigai raja liar itu.
“Hemm, pemuda sombong. Kaukira aku ini orang
macam apa? Seorang raja sekali mengeluarkan janji, tidak akan ditelannya
kembali. Nah, terimalah!” Tambolon yang tadi memegang lengan Syanti Dewi, kini
mengangkat puteri itu dan melemparkannya ke arah Tek Hoat. Pemuda ini pun
melemparkan tubuh Ceng Ceng yang masih lemas tertotok itu ke arah Tambolon.
“Adik Candra....!”
“Enci Syanti....!”
Dua orang gadis itu hanya mampu memanggil nama
masing-masing ketika mereka terlempar saling berpapasan. Tek Hoat cepat
menyambar tubuh Syanti Dewi dan didukungnya lalu dibawanya lari secepat mungkin
dari tempat berbahaya itu.
“Ang Tek Hoat.... kau harus menolong Adik
Candra....” Syanti Dewi berkata ketika melihat betapa dia dilarikan secepat
itu meninggalkan Ceng Ceng.
“Harus satu demi satu, Sang Puteri.
Menyelamatkan kalian berdua sekaligus tidak mungkin,” kata Tek Hoat yang tentu
saja membohong karena baginya, yang terpenting adalah menyelamatkan puteri yang
dicintanya ini. Dia juga suka sekali kepada Ceng Ceng dan tidak pernah dia
mempunyai pikiran jahat terhadap gadis itu, akan tetapi sekali ini dia dihadapkan
kepada dua pilihan, yaitu Ceng Ceng atau Syanti Dewi dan tentu saja dia
memberatkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh hati itu.
“Habis, bagaimana dengan Candra Dewi....?”
Syanti Dewi membantah.
“Jangan khawatir, Sang Puteri. Setelah saya
menyelamatkan paduka, tentu saya akan berusaha untuk menolongnya.”
Agak lega rasa hati Syanti Dewi, sungguhpun
dia masih mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu di tangan raja liar
Tambolon yang dia tahu amat jahat dan kejam. “Ke mana aku hendak kaubawa....?”
Kembali dia bertanya ketika melihat pemuda itu melakukan perjalanan cepat
sekali, menuju ke utara.
“Ke kota raja,” jawab Tek Hoat pendek.
Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main.
Dia baru saja dilarikan oleh Puteri Milana dari istana kaisar. Dia adalah
seorang pelarian. Bagaimana kini pemuda ini hendak membawanya kembali ke kota
raja?
“Tek Hoat....! Apa.... apa yang hendak
kaulakukan ini....?”
Melihat puteri itu memandangnya dengan
pandang mata penuh kecurigaan, ketakutan dan ketidakpercayaan, Tek Hoat yang
menghentikan larinya itu lalu menurunkannya dan dia menarik napas panjang.
“Puteri Syanti Dewi, saya memang hanya seorang pemuda bodoh, kasar dan jahat
akan tetapi.... harap paduka tenangkan hati karena saya.... saya yang sesungguhnya
seorang jahat ini, pada saat ini sama sekali tidak mempunyai niat buruk
terhadap paduka. Saya ingin membawa paduka berlindung pada Perdana Menteri Su
yang saya tahu adalah satu-satunya orang yang dapat dipercaya di kota raja, di
samping Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana. Akan tetapi, Jenderal Kao Liang
sibuk dengan urusan di luar kota raja, Puteri Milana telah pergi meninggalkan
kota raja, satu-satunya jalan hanyalah berlindung kepada Perdana Menteri Su.
Engkau akan aman di sana, Puteri. Setelah itu, barulah saya akan pergi
menolong Ceng Ceng....”
Melihat sikap pemuda itu, melihat pandang
matanya yang penuh kedukaan, jelas terbayang pada wajah yang tampan itu betapa
sakit rasa hati pemuda itu karena dia telah mencurigainya. Syanti Dewi lalu menghela
napas. “Aku yakin bahwa engkau adalah seorang yang amat gagah perkasa dan dapat
kupercaya sepenuhnya, Ang Tek Hoat. Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan ke
kota raja, dan aku menyerahkan semua nasibku ke tanganmu, juga aku mengharapkan
bantuanmu untuk keselamatan adik Candra Dewi.”
Tek Hoat menjadi lega dan girang hatinya.
Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hatinya daripada kehilangan kepercayaan
puteri yang dicintanya ini. Dia tahu bahwa dia sama sekali tidak berharga bagi
puteri jelita ini, akan tetapi setidaknya kalau dia sudah dapat melakukan
sesuatu bagi puteri ini, apalagi menyelamatkan puteri ini dari bencana,
hatinya sudah akan merasa bahagia. Akan tetapi kalau dia teringat betapa puteri
ini mencinta Suma Kian Bu, dan hal itu memang sudah sewajarnya mengingat bahwa
Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, hatinya seperti ditusuk
rasanya. Dan dia akan menegur pemuda itu karena dia melihat pemuda itu bermain
gila dengan seorang busuk seperti Mauw Siauw Mo-li, dan kalau perlu dia akan
menggunakan kekerasan untuk memperingatkan pemuda ltu agar menjadi orang
berharga untuk dicintai seorang seperti Syanti Dewi!
“Agar dapat cepat, terpaksa saya harus
memondong paduka....”
“Terserah kepadamu, Tek Hoat. Aku percaya
sepenuhnya kepadamu,” jawab Syanti Dewi dan Tek Hoat lalu memondong puteri itu
dengan hati-hati dan kembali melanjutkan perjalanan sambil berlari cepat. Bukan
main rasa bangga dan bahagia hatinya. Puteri yang dicintanya itu telah
dipondongnya! Gemetar rasa seluruh tubuhnya ketika dadanya dan tangannya
merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh yang dipondongnya, hidungnya
mencium keharuman yang membuat semangatnya melayang. Dia merasa terharu
sekali! Keharuan pertama kali yang pernah dirasakan oleh pemuda yang digembleng
oleh keadaan dan menjadi seorang yang keras ini.
Dengan mudah Tek Hoat dapat melompati pagar
tembok di sekeliling istana Perdana Menteri Su setelah dia tiba di kota raja
pada malam hari berikutnya. Ketika dia tiba di ruangan dalam, dua orang pengawal
membentaknya dan menghadangnya dengan pedang di tangan.
“Aku bukan orang jahat...., kalian tentu
mengenal puteri ini, lekas kalian laporkan kepada Perdana Menteri bahwa aku dan
puteri ingin menghadap sekarang juga....!”
Dua orang pengawal itu adalah
pengawal-pengawal setia dari Perdana Menteri Su. Mereka tentu saja mengenal
keadaan dan tahu akan hal ihwal Puteri Syanti Dewi dari Bhutan ini. Melihat
puteri itu yang kini menjadi pelarian muncul bersama seorang pemuda di tengah
ruangan istana seperti iblis saja, mereka terkejut dan seorang dari mereka
cepat berlari dan mengetuk pintu kamar Perdana Menteri Su setelah dia
memanggil lima orang pengawal lain untuk mengurung pemuda itu.
Perdana Menteri Su terkejut sekali mendengar
laporan bahwa Puteri Syanti Dewi muncul bersama seorang pemuda lihai dan hendak
menghadapnya. Cepat dia berpakaian dan keluar dari kamarnya. Ketika melihat
perdana menteri itu datang, Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi yang tadinya
beristirahat dan duduk di atas bangku, dijaga dari jauh oleh para pengawal,
cepat berdiri dan Tek Hoat memberi hormat kepada perdana menteri tua itu.
Perdana Menteri Su mengangkat tangan kanannya,
memandang Syanti Dewi lalu bertanya dengan suara serius dan pandang mata penuh
selidik kepada Tek Hoat. “Siapakah kau dan bagaimana kau dapat datang bersama
Puteri Bhutan ini di waktu tengah malam di sini?”
“Saya adalah Ang Tek Hoat....”
“Hemm.... aku sudah pernah mendengar namamu
dari Puteri Milana....” Kakek bangsawan itu mengangguk-angguk dan memberi
isyarat dengan tangannya agar para pengawal mundur dan menjaga dari jauh saja,
jangan ikut mendengarkan percakapan mereka. Perdana Menteri Su adalah seorang
yang bijaksana dan cerdas sekali. Begitu melihat Puteri Syanti Dewi dan sikap
puteri ini, maka dia dapat yakin bahwa pemuda ini bukan orang berbahaya,
apalagi setelah dia mendengar namanya, maka tidaklah perlu sekali para pengawal
menjaga keselamatannya dan agaknya yang akan disampaikan oleh pemuda ini
tentulah hal yang amat penting maka dia menyuruh para pengawal mundur.
“Ceritakan apa kepentingan kalian,” kemudian
perdana menteri itu berkata setelah dia duduk di atas sebuah bangku di depan
dua orang muda itu.
“Saya baru membebaskan Puteri Syanti Dewi dari
tangan raja liar Tambolon....”
“Ahh....? Si keparat itu berani berada di
dekat kota raja?”
Tek Hoat lalu menceritakan di mana adanya
Tambolon dan para pembantunya, yaitu di desa dekat Sungai Ta-cin di selatan
kota raja. Dia minta agar perdana menteri sudi melindungi Syanti Dewi,
sedangkan dia sendiri hendak pergi menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan pula
yang masih berada di dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo.
“Hemm, tentu saja aku akan membantu Sang
Puteri ini. Kebetulan sekali siang tadi aku bertemu dengan rombongan utusan
dari Kerajaan Bhutan. Aku akan menyerahkan Sang Puteri kepada mereka agar dapat
dikawal kembali ke Bhutan, dan aku akan menghubungi Jenderal Kao agar raja
liar Tambolon dan bekas para pembantu pemberontak itu dapat dibasmi!”
Tek Hoat menjadi girang sekali, juga Puteri
Syanti Dewi girang bukan main mendengar bahwa rombongan utusan ayahnya yang
dipimpin Panglima Pengawal Jayin sendiri sudah berada di kota raja! Tek Hoat
lalu memberi hormat kepada Perdana Menteri Su dan menghaturkan terima kasihnya,
kemudian dia memberi hormat kepada Syanti Dewi yang cepat dibalas oleh puteri
itu. Sejenak mereka berpandangan, dan Tek Hoat berkata dengan suara gemetar,
“Selamat jalan, Sang Puteri. Semoga Thian selalu melindungi paduka dengan
berkah yang berlimpah-limpah sehingga paduka akan hidup bahagia selalu.”
Terharu rasa hati Syanti Dewi. Dia sudah
tertarik sekali kepada pemuda ini sejak pemuda ini menyelamatkan dirinya dari
Pangeran Liong Khi Ong, apalagi setelah mendengar bahwa pemuda inilah yang
dahulu menyamar sebagai tukang perahu. Kini lagi-lagi pemuda itu menolongnya
dari ancaman mengerikan di tangan Tambolon. Pemuda ini dikabarkan jahat sekali,
dikabarkan menjadi kaki tangan pemberontak, akan tetapi baginya, pemuda ini
amat baik, amat gagah perkasa dan menimbulkan rasa iba di hatinya. Ingin dia
menceritakan kepada pemuda ini tentang hal ibu pemuda itu yang pernah
dijumpainya ketika Ang Siok Bi bertemu dengan Milana, dan ingin dia
menceritakan rahasia tentang diri pemuda ini. Akan tetapi dia merasa tidak
enak untuk bercerita di depan perdana menteri, juga dia masih sangsi apakah
rahasia itu setelah dibukanya tidak akan menghancurkan hati pemuda itu. Karena
ini maka siang tadi dia selalu meragu dan belum menceritakan apa yang
diketahuinya tentang pemuda ini kepada Tek Hoat. Dan sekarang telah terlambat.
Kalau dia mengajak pemuda itu bicara empat mata, tentu amat tidak baik dan akan
menimbulkan prasangka yang bukan-bukan terhadap perdana menteri.
“Terima kasih...., Tek Hoat. Aku akan selalu
ingat bahwa sudah dua kali engkau menyelamatkan aku dari bahaya yang lebih
mengerikan daripada maut. Terima kasih....”
Wajah Tek Hoat berseri sejenak mendengar ini,
kemudian dia memandang dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kemesraan,
namun hanya sekejap saja karena dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi cepat
sekali dariy istana itu. Sekali berkelebat tubuhnya sudah mencelat keluar dan
naik ke atas genteng lalu lenyap.
Perdana Menteri Su menghela napas panjang.
“Seorang pemuda yang hebat sekali kepandaiannya....” Dia lalu mengajak Sang
Puteri Syanti Dewi untuk menemui isterinya dan memberinya sebuah kamar untuk
mengaso dan memerintahkan sepasukan pengawal untuk menjaga di luar kamar puteri
itu dengan ketat. Malam itu juga dia mengabarkan kepada Panglima Jayin yang
bermalam di sebuah rumah penginapan di kota raja.
Syanti Dewi tidak dapat tidur di dalam
kamarnya. Wajah Ang Tek Hoat selalu terbayang di depan matanya, terutama
sekali wajah pemuda itu pada saat terakhir hendak meninggalkannya. Pandang
mata itu! Tidak salahkah dia? Benarkah pemuda itu menolongnya dengan
pengorbanan dirinya, sampai hampir tewas ketika melawan para pengawal Liong
Khi Ong, didasarkan rasa cinta kasih kepadanya? Ah, tidak mungkin. Tentu
karena pemuda itu mulai insyaf akan kesesatannya, setelah dia membantu
pemberontak lalu dia insyaf dan bahkan menentang pemberontak, membunuh dalang
pemberontak Pangeran Liong Khi Ong! Mengapa dia selalu terkenang kepada pemuda
itu? Sedangkan dia sama sekali tidak tersentuh hatinya ketika pemuda seperti
Suma Kian Bu menyatakan cinta kasih kepadanya? Dibandingkan dengan Ang Tek
Hoat, tentu saja Suma Kian Bu menang jauh! Pemuda itu putera Pendekar Super
Sakti, adik kandung Puteri Milana, cucu Kaisar! Akan tetapi entah bagaimana,
dia tidak mempunyai perasaan cinta terhadap pemuda yang amat tampan dan gagah
itu, yang dalam pandangannya masih seperti kanak-kanak saja, sungguhpun dia
amat suka kepada Suma Kian Bu, rasa suka yang lebih mirip rasa suka seorang
kakak kepada adiknya! Rasa sayang persaudaraan. Dan tentang cinta kasih
terhadap seorang pria, agaknya baru satu kali pernah dia alami, yaitu terhadap
Gak Bun Beng! Sungguhpun kini dia insyaf bahwa tidak mungkin dia dapat
berjodoh dengan pendekar setengah tua yang amat menarik hatinya, mengagumkan
hatinya dan yang dianggapnya sebagai sebuah puncak di Pegunungan Himalaya,
tenang dan mendalam seperti lautan, dan yang dapat dipercaya seratus prosen
itu.
Keinsyafan itu membuat dia mengubur rasa
cinta kasih itu karena dia pun maklum bahwa seorang laki-laki sehebat Gak Bun
Beng, sekali menjatuhkan cinta kasihnya, yaitu kepada Puteri Milana, selama
hidupnya tidak akan dapat mencinta seorang wanita lain, biarpun dia tahu
bahwa pendekar besar itu pun amat tertarik kepadanya dan amat mencintanya.
Keinsyafan ini membuat cinta kasihnya terhadap Gak Bun Beng menjadi cinta kasih
terhadap seorang paman, ayah atau guru yang amat dihormati dan dijunjung
tinggi, dan dia hanya mengharapkan pendekar itu akan dapat berkumpul kembali
dengan Puteri Milana karena dia akan ikut merasa gembira jika melihat pria
perkasa itu berbahagia hidupnya.
Kini, melihat Tek Hoat yang pendiam dan
kadang-kadang pandai bicara, kadang-kadang muram, kadang-kadang gembira, dia
melihat pula adanya sifat-sifat yang mendekati sifat-sifat Gak Bun Beng. Pemuda
ini menimbulkan kepercayaan besar dalam hatinya, dan pemuda ini pun
membayangkan sebagai sebongkah batu karang yang besar dan kokoh kuat, yang akan
dapat merupakan seorang pelindung yang boleh diandalkan. Juga seperti Gak Bun
Beng, pemuda ini seolah-olah hidup di dalam alam penderitaan, alam kedukaan
dan penyesalan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali,
Perdana Menteri Su sudah memanggilnya. Kemudian mengatakan bahwa perdana
menteri itu telah melakukan kontak dengan para utusan Bhutan yang dipimpin oleh
Panglima Jayin.
“Karena engkau masih merupakan seorang
pelarian istana, maka untuk mencegah timbulnya keributan, terutama sekali
untuk mencegah terjadinya pencegatan-pencegatan seperti yang terjadi ketika kau
dikawal pasukan Jenderal Kao, maka sebaiknya kalau engkau menyamar sebagai
seorang wanita biasa, Sang Puteri.”
Demikianlah, tak lama kemudian, dua orang
pengawal tua mengantarkan seorang gadis yang cantik sekali akan tetapi
berpakaian biasa seperti pakaian semua wanita sederhana, rambutnya juga
dikuncir ke belakang dan dia berjalan keluar dari istana perdana menteri
melalui pintu belakang.
Panglima Jayin yang menyambutnya di jalan,
tidak memberi hormat melainkan memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah
berseri-seri gembira hatinya dapat bertemu dengan puteri junjungannya itu.
Kemudian dia menggantikan dua orang pengawal itu, mengantarkan Sang Puteri
menuju ke sebuah rumah penginapan kecil di mana anak buahnya sudah berkumpul.
Para anak buah panglima pengawal Bhutan ini pun berpakaian seperti orang-orang
biasa dan mereka segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Syanti Dewi
ketika puteri yang cantik ini dalam pakaian wanita biasa memasuki rumah
penginapan itu diantar oleh Panglima Jayin yang kelihatan tinggi tegap dan gagah
dalam pakaian penyamarannya seperti orang biasa.
Dengan sehelai surat dari Perdana Menteri Su
di dalam sakunya, Panglima Jayin dan rombongannya dapat mengawal Sang Puteri
mengendarai sebuah kereta keluar dari kota raja tanpa ada yang berani mengganggu
dan mulailah Puteri Syanti Dewi yang kini dikawal oleh para pengawalnya sendiri
dari Bhutan itu melakukan perjalanan pulang ke Bhutan. Tanpa dapat dicegah
lagi, teringat betapa dia akan pulang ke Bhutan dan mungkin tidak akan dapat
bertemu dengan orang-orang di dunia timur ini kembali, air matanya
menetes-netes di sepanjang kedua pipinya. Dia tidak tahu jelas siapa yang
ditangisinya, akan tetapi wajah orang-orang yang selama ini baik sekali
kepadanya terbayang semua, terutama sekali wajah Gak Bun Beng, Jenderai Kao
Liang, Puteri Milana, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee, dan terutama sekali wajah
Ang Tek Hoat.
***
“Ha-ha-ha, akhirnya engkau terjatuh pula ke
dalam tanganku, nona manis. Ha-ha-ha!” Raja Tambolon tertawa gembira ketika dia
menrundong tubuh Ceng Ceng masuk ke ruangan dalam rumah yang dijadikan tempat
tinggal sementara itu, diikuti oleh Si Petani Maut Liauw Kui, Si Siucai Yu Ci
Pok, dan lima orang Loan-nga Mo-li. Nenek ahli sihir Durganini tidak nampak
sekali ini karena seperti telah diceritakan di bagian depan, nenek itu
berjumpa dengan bekas suaminya, See-thian Hoat-su dan pergi bersama kakek ini
dan Teng Sian In yang menjadi murid See-thian Hoat-su.
Ceng Ceng kini mengerti bahwa dia telah
ditinggalkan oleh Tek Hoat begitu saja! Dia telah ditipu oleh Tek Hoat dan dia
dijadikan barang tukaran dengan Syanti Dewi. Celaka pikirnya. Pemuda itu
benar-benar luar biasa jahat dan curangnya. Untuk mendapatkan Syanti Dewi,
pemuda itu telah menyelamatkannya dari tangan Hek-tiauw Lo-mo akan tetapi kiranya
bukan ditolong untuk dibebaskan, melainkan untuk diserahkan kepada Tambolon
sebagai penukar diri Syanti Dewi. Terjatuh ke tangan pemuda berhati palsu
seperti itu, tentu kakak angkatnya itu akan celaka, pikirnya penuh
kekhawatiran. Dan dia sendiri, dia baru saja terlepas dari tangan Hek-tiauw
Lo-mo kini terjatuh ke tangan Tambolon, sama saja dengan terlepas dari mulut
harimau terjatuh ke dalam cengkeraman seekor srigala!
“Tambolon, aku tahu bahwa engkau adalah
seorang laki-laki yang berjiwa dan berwatak pengecut! Kalau memang engkau yang
suka mengangkat diri menjadi raja, benar-benar seorang yang jantan, hayo
kaubebaskan aku dan kita bertanding sampai selaksa jurus sampai seorang di
antara kita menggeletak mampus!” Ceng Ceng memaki.
“Ha-ha-ha! Susah payah aku mendapatkan
dirimu, sampai-sampai aku harus mengorbankan dan kehilangan Puteri Bhutan yang
denok ayu, masa sekarang harus membebaskan kau dan bertanding lagi. Sayang
kalau sampai aku harus membunuhmu begitu saja, nona manis,” Tambolon tertawa-tawa,
akan tetapi kemudian tiba-tiba sikapnya berubah, wajahnya bengis dan dengan
kasar dia mendudukkan tubuh Ceng Ceng yang masih lemas tertotok itu ke atas
kursi di sebelahnya, memegangi pundak dara itu dan membentak.
“Hayo katakan di mana adanya anak ular naga
itu dan serahkan kepadaku!”
Hemm, kiranya untuk itu dia menangkapku dan
rela membebaskan Syanti Dewi, pikirnya. Tahulah kini Ceng Ceng bahwa dia tidak
akan dapat hidup lagi. Seperti juga Hek-tiauw Lo-mo, Tambolon ini agaknya
berkeras ingin memiliki anak naga dan karena anak naga itu telah dimakannya
habis, maka tentu seperti juga Hek-tiauw Lo-mo, raja liar ini akan membunuhnya
dan minum semua darahnya yang telah mengandung khasiat dari anak naga itu. Dia
tidak bisa mengharapkan pertolongan lagi. Kedua orang pembantunya yang boleh
diandalkan, keduanya sudah tak dapat diharapkannya lagi. Tek Hoat telah
menipunya, tak mungkin pemuda ini dapat membantunya. Dan Topeng Setan masih
berada di dalam tahanan Hek-tiauw Lo-mo, entah masih hidup atau sudah mati.
Tidak ada lagi seorang manusia yang akan mampu menyelamatkannya, maka dia lalu
menjawab, “Aku tidak tahu!” dan menutup mulut dan matanya, seperti orang
sedang bersamadhi.
“Keparat, apakah kau ingin kusiksa untuk
mengaku?” Tambolon berteriak marah.
“Ong-ya, saya mendengar bahwa gadis ini
menderita luka parah dan kalau dia mencari anak naga itu tentu untuk
mengobatinya. Setelah memperoleh anak naga itu dengan demikian susah payah, di
mana lagi disimpannya kalau tidak di dalam perutnya? Lihat, wajahnya demikian
merah dan sehat, tentu karena khasiat anak naga itu.” Tiba-tiba Si Siucai Maut
Yu Ci Pok berkata.
“Kata-kata Yu-hiante ada benarnya dan untuk
mernbuktikannya, tidak ada jalan lain kecuali memeriksa darahnya,” kata pula
Liauw Kui Si Petani Maut.
“Aha, kalian benar! Tentu telah ditelannya
anak naga itu, maka Hek-tiauw Lo-mo menangkapnya. Aku tahu kebiasaan manusia
iblis itu, suka sekali makan daging dan minum darah manusia. Daging gadis manis
ini tentu lunak dan darahnya tentu manis apalagi kalau mengandung khasiat anak
naga. Belenggu dia dan bebaskan totokannya!”
Liauw Kui dan Yu Ci Pok cepat membelenggu kaki
dan tangan Ceng Ceng pada kursi yang didudukinya dengan tali sutera yang amat
kuat, kemudian Liauw Kui membebaskan totokan pada pundak dara itu. Akan tetapi
Ceng Ceng tetap menutup mulut dan matanya, seolah-olah tidak merasakan itu
semua.
Gadis ini memang sedang memusatkan
perhatiannya. Sudah beberapa hari ini semenjak dia minum sari dari anak ular
naga itu, dia merasa sesuatu bergerak-gerak aneh di dalam perutnya, gerakan
yang disertai hawa amat panas akan tetapi kadang-kadang juga amat dingin. Akan
tetapi gerakan-gerakan itu segera menghilang maka dia melupakannya. Sekarang,
kembali perutnya bergerak-gerak dan diam-diam dia bergidik. Jangan-jangan anak
naga yang hanya diminum perasannya itu kini hidup kembali dan bergerak-gerak
di dalam perutnya! Makin lama gerakan-gerakan itu makin menghebat dan
seolah-olah ada tenaga mujijat yang hidup di dalam rongga perutnya dan yang
kini minta jalan keluar!
Ceng Ceng menjadi khawatir sekali karena
perutnya seperti hendak pecah rasanya, ditekan oleh hawa mujijat yang
berputar-putar di perutnya itu. Maka dia lalu mengerahkan sin-kangnya,
mengerahkan tenaga dari pusarnya untuk menekan dan menindih tenaga liar
mujijat itu. Akan tetapi betapa heran dan kagetnya ketika hawa liar itu malah
menyerbu ke dalam pusarnya, tak terkendalikan lagi, demikian kuatnya
bergerak-gerak di dalam pusar hendak menerobos ke atas!
Pada saat itu, Tambolon sudah mengeluarkan
sebatang jarum, hendak menusuk pergelangan lengan Ceng Ceng untuk mengeluarkan
darah gadis itu dan memeriksanya apakah benar darah gadis itu sudah lain dari
biasa dan telah mengandung khasiat mujijat dari anak ular naga. Dan Ceng Ceng
tidak tahu akan itu semua karena dia sendiri sedang berjuang melawan hawa liar
mujijat yang kini dari dalam rongga perut memasuki pusarnya dan akhirnya dia
tidak dapat menahan lagi, membuka saluran dari pusarnya sehingga hawa mujijat
itu kini menjalar di seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya terasa panas seperti
dibakar dan keringatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
“Cusss....!” Tambolon menusukkan jarumnya ke
pergelangan lengan Ceng Ceng.
“Krakkk....!” Jarum itu mendadak patah
seperti ditusukkan pada baja yang keras.
“Ahhhh....!” Tambolon terkejut bukan main dan
juga kagum karena dia mengira bahwa gadis itu telah menggunakan sin-kang yang
sedemikian kuatnya sehingga kulit lengannya mampu mematahkan jarum baja.
“Keparat, dia melawan! Totok dia agar tidak
mampu mengerahkan sin-kang!” katanya kepada Liauw Kui. Si Petani Maut ini
selain amat lihai ilmu silat dan senjata pikulannya, juga terkenal sebagai
ahli menotok jalan darah yang lihai sekali. Mendengar perintah rajanya, dia
lalu menggerakkan tangan kanannya, dua jari yaitu telunjuk dan jari tengahnya
menusuk ke arah pundak kini Ceng Ceng, di bagian jalan darah Kin-ceng-hiat.
“Takkk! Aughhh....!” Liauw Kui terhuyung ke
belakang sambil memegangi tangan kanannya. Dua batang jari tangannya seperti
akan patah-patah rasanya dan hawa panas yang amat hebat menyerangnya dari
pundak gadis itu, membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan kehilangan
tenaga!
Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran
melihat keanehan ini. Gadis itu masih duduk di atas kursi dalam keadaan
terbelenggu, dan memejamkan matanya, alisnya berkerut, semua tubuhnya
mengeluarkan hawa panas. Jelas bahwa gadis itu tidak seperti sedang
mengerahkan tenaga, akan tetapi mengapa jarum menjadi patah dan totokan Si
Petani Maut menjadi gagal?
Pada saat itu Ceng Ceng memang sudah tidak
merasakan apa-apa lagi. Telinganya seperti penuh dengan bunyi mengaung-ngaung
dan biarpun kedua matanya dipejamkan, namun dia masih melihat warna merah
serta darah yang menyilaukan, dan seluruh tubuhnya terasa nyeri semua. Celaka,
pikirnya, aku tentu keracunan hebat, akan tetapi pikiran ini hanya seperti
kilatan halilintar saja karena segera pikirannya menjadi kosong lagi dan
seluruh perhatiannya hanya tertuju pada pergerakan hebat di dalam perutnya,
pusarnya, dadanya dan semua tubuhnya, bahkan pergerakan itu sampai terasa ke
ubun-ubun kepalanya.
“Dia.... dia mempunyai ilmu yang mujijat....
ingat, dia gadis beracun!” Liauw Kui berkata dan semua orang sudah mencabut
senjatanya.
“Biar aku menotoknya dengan poan-koan-pit!”
teriak Yu Ci Pok dan cepat dia telah menggerakkan senjata pensil baja itu ke
arah punggung dan tengkuk Ceng Ceng
“Cus-cuss.... krekk-krekkk! Aihhh....!” Yu Ci
Pok meloncat ke belakang, tubuhnya tergetar dan kedua buah senjata pensil itu
patah menjadi empat potong!
“Ilmu siluman....! Biar kita keluarkan
darahnya dan kita tampung!” Berkata Tambolon. “Cepat ambilkan panci!”
Song Lan Ci, orang pertama dari Loan-ngo
Mo-li, sudah cepat lari dan minta sebuah panci kepada anak buah Tambolon,
kemudian dia datang lagi dan bersama empat orang saudaranya dia pun sudah
mencabut pedang-pedang samurai mereka.
Tambolon sudah mencabut pedangnya dan dengan
gerakan tangkas dia sudah menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah
leher Ceng Ceng karena leher itu tentu akan mengalirkan semua darah segar dari
tubuh dara itu yang akan ditadahi dengan panci. Dia akan “menyembelih” gadis
itu di atas kursinya dalam keadaan terbelenggu!
Pada saat itu, Ceng Ceng sudah berada dalam
keadaan puncak dari getaran hawa mujijat yang menguasai seluruh tubuhnya. Dia
sudah menahan-nahan diri agar tidak muntah karena keadaannya itu membuat dia
merasa mual dan ingin muntah. Akan tetapi pada saat pedang Tambolon bergerak,
dia sudah tidak dapat bertahan lagi, merasa seolah-olah nyawanya dicabut
melalui mulutnya, maka dara yang merasa bahwa dia tentu mati pada saat itu,
padahal sakit hatinya belum terbalas, pemuda laknat itu belum terdapat olehnya,
rasa penasaran membuat dia menjerit sekuatnya. Lengking yang amat hebat keluar
dari tenggorokannya, dibarengi dengan gerakan tubuhnya yang seolah-olah
hendak meronta dan melawan maut yang disangka hendak merenggut nyawanya.
“Aaaiiihhhh....!” Lengking ini diikuti dengan
keluarnya darah menghitam bergumpal-gumpal yang dimuntahkan oleh mulut Ceng
Ceng, akan tetapi hebatnya, pada saat dia menggerakkan tubuhnya, kaki tangannya
bergerak dan semua tali sutera kokoh kuat yang membelenggunya putus semua.
Bukan itu saja, dari kedua tangannya yang bergerak kalang-kabut itu keluar hawa
mujijat yang luar biasa dahsyatnya sehingga Tambolon yang sedang menusukkan
pedangnya, kena digempur hawa mujijat ini sehingga dia terlempar ke belakang.
Tidak terkecuali Si Petani Maut dan Si Siucai Maut, bersama Loan-ngo Mo-li yang
memegang samurai, terdorong oleh hawa mujijat dari gerakan kedua dengan tangan
Ceng Ceng sehingga mereka itu terlempar ke belakang dan terbanting ke atas
lantai dengan keras!
Ceng Ceng membuka matanya, merasa betapa dada
dan perutnya lega bukan main setelah dia memuntahkan darah bergumpal-gumpal
itu. Melihat betapa gerakan-gerakannya dapat mematahkan belenggu dan merobohkan
delapan orang itu, dia sendiri terheran dan terkejut, akan tetapi kecerdasannya
mengingatkan bahwa dia kini memperoleh kesempatan baik sekali. Cepat dia
meloncat keluar dan melarikan diri di dalam kegelapan malam!
Tak lama kemudian, setelah sadar dari
kekejutan yang hebat, Tambolon dan para pembantunya meloncat bangun, kemudian
mereka berteriak-teriak melakukan pengejaran, diikuti oleh anak buah mereka.
Akan tetapi Ceng Ceng telah lenyap dan selain Tambolon sendiri, juga para
pembantunya masih terkejut dan jerih menyaksikan kehebatan gadis itu.
Ceng Ceng sendiri juga terheran-heran. Dia
tidak tahu mengapa bisa terjadi seperti itu, akan tetapi karena dia seorang
gadis yang memiliki kecerdasan, dia teringat dan menduga bahwa tentu semua itu
adalah khasiat darah anak ular naga yang telah diminumnya. Agaknya baru
sekarang khasiat anak ular naga itu memperlihatkan diri, dan hasilnya memang
hebat. Hanya dia masih belum mengerti benar keadaannya dan sayang bahwa Topeng
Setan tidak berada di situ, karena kalau ada, tentu pembantunya yang serba bisa
itu akan dapat memberi keterangan. Memang dugaan Ceng Ceng tidak keliru, semua
itu adalah khasiat dari darah anak ular naga dan darah-darah hitam
bergumpal-gumpal yang keluar dari mulutnya itu adalah dari racun-racun yang
dahulu dilatih dan berada di tubuhnya. Hawa mujijat itu adalah hawa yang
dibangkitkan oleh darah anak ular itu.
Seluruh tubuh Ceng Ceng masih gemetar. Ketika
dia menyelinap di antara pohorr-pohon, tiba-tiba dua orang anak buah Tambolon
muncul dan hampir bertumbukan dengan dia di tempat gelap. Mereka sama-sama
kaget, akan tetapi dua orang anak buah Raja Tambolon itu telah mengenalnya dan
cepat mereka mengangkat golok mereka untuk menyerang sambil berteriak-teriak
memanggil teman-teman mereka.
Ceng Ceng yang masih merasa gemetar tubuhnya
dan dikuasai oleh hawa yang bergerak-gerak, merasa lemas dan tidak bersemangat
untuk melayani mereka. Setelah mengelak, dia lalu teringat akan senjatanya yang
ampuh, yaitu ludahnya.
“Cuh! Cuhh!” Dua kali dia meludah dan
tepat mengenai muka dua orang lawan itu. Akan tetapi Ceng Ceng menjadi kaget
dan bingung karena dua orang yang terkena ludah beracunnya itu sama sekali
tidak roboh, bahkan menyumpah-nyumpah marah dan menyerangnya lebih ganas lagi!
Dan karena teriakan mereka tadi, kini muncul lagi dua orang lain yang segera
mengepungnya.
Celaka, pikirnya. Kalau sampai Tambolon dan
para pembantunya datang, dia tentu celaka.
“Minggir....!” teriaknya dan kaki tangannya
bergerak menyerang. Gerakannya kacau karena Ceng Ceng merasa betapa tenaganya
sendiri lenyap ditelan oleh hawa yang masih bergerak-gerak itu seolah-olah dia
tidak mampu lagi menguasai kaki tangannya. Akan tetapi, begitu kedua tangannya
bergerak mendorong ke depan dan kanan kiri, empat orang itu memekik ngeri,
terlempar dan senjata mereka terpental, terbanting dan tidak bangun lagi karena
mereka tewas seketika!
Ceng Ceng mendengar datangnya banyak kaki
orang, maka cepat dia membalikkan tubuhnya dan lari dari situ. Begitu dia
meloncat, hampir dia berteriak kaget karena loncatannya kini seperti terbang
saja. Sekali meloncat dia sudah melayang ke atas hampir menabrak pohon!
Tubuhnya begitu ringan dan loncatannya begitu kuat sehingga dia tidak dapat
menguasai lagi tubuhnya.
“Brukkk!” Dia terbanting ke atas tanah
seperti seekor burung sedang belajar terbang. Akan tetapi Ceng Ceng merangkak
bangun dan lari lagi, sekali ini dia berhati-hati karena dia mulai maklum bahwa
di dalam tubuhnya terdapat tenaga mujijat yang liar dan tidak dapat
dikendalikan sehingga kalau dia salah menggunakannya, dia tidak mampu lagi
mengatur keseimbangan dirinya.
Akhirnya dia dapat meninggalkan tempat itu dan
tidak mendengar lagi suara para pengejarnya. Tadinya dia berniat untuk mengejar
Tek Hoat dan menolong Syanti Dewi, akan tetapi dia tidak tahu ke mana
perginya pemuda berhati palsu itu, maka dia lalu memutuskan untuk kembali saja
mencari dan menolong Topeng Setan. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa
pening bukan main dan tanpa dapat dicegahnya lagi tubuhnya terguling. Karena
gelap, dia tidak tahu bahwa dia terguling ke dalam sebuah jurang. Untung
baginya bahwa jurang itu tidak terlalu dalam, dan bahwa di luar kesadarannya,
tubuhnya seperti balon karet terisi penuh hawa yang penuh, maka biarpun dia
pingsan, ketika terguling-guling ke dalam jurang itu tubuhnya sama sekali
tidak terluka, terlindung oleh hawa mujijat itu.
***
“Kalian pengecut-pengecut hina-dina,
manusia-manusia busuk yang tak tahu malu!” maki-makian itu terdengar dari dalam
sebuah kamar tahanan yang amat kuat, berdinding tebal dan berpintu besi. “Kalau
kalian berani mengganggu seujung rambut saja dari Ceng Ceng, aku bersumpah akan
menghancurkan kepala kalian satu demi satu!”
Yang memaki-maki ini adalah Topeng Setan!
Dapat dibayangkan betapa risau hatinya kalau dia mengingat akan nasib Ceng Ceng
yang telah terjatuh ke dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kalau saja anak ular naga
itu belum diminum darahnya oleh Ceng Ceng, masih ada harapan bagi dara itu
untuk lolos dengan selamat. Akan tetapi, darah anak ular itu telah diminum Ceng
Ceng dan dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo manusia iblis itu amat membutuhkan
darah itu. Dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan ragu-ragu lagi untuk makan
daging dan minum darah Ceng Ceng untuk memperoleh khasiat darah anak ular naga
itu. Membayangkan ini, hatinya merasa ngeri dan dia berteriak-teriak dan
memaki-maki.
“Hek-tiauw Lo-mo, pencuri busuk, keparat keji
dan curang. Hayo kautandingi aku, satu lawan satu, jangan mengandalkan orang
banyak selagi aku terluka dan jangan kau berani mengganggu Ceng Ceng!”
Karena Topeng Setan selalu meronta dan memaki,
maka ketika dia roboh tadi, dia lalu dibelenggu di dalam kamar tahanan ini dan
keadaannya mengerikan sekali. Pundak kirinya yang buntung itu masih
mengeluarkan darah, buktinya bajunya di bagian pundak itu masih basah dan
merah. Kedua kakinya dibelenggu, demikian pula tangan kanannya, dengan belenggu
baja yang amat kuat dan diikatkan pada tiang-tiang di sudut kamar sehingga
tubuhnya tergantung menelungkup, terapung kurang lebih dua kaki dari lantai.
Tentu saja dia berada dalam keadaan tersiksa. Hanya satu hal yang tidak berani
dilakukan oleh para anak buah Pulau Neraka atau anak buah Hek-tiauw Lo-mo,
yaitu membuka topengnya. Hal ini adalah karena pesan dari Mauw Siauw Mo-li
sendiri yang memenuhi permintaan Suma Kian Bu. Sampai kini, para anak buah itu
tidak berani membuka topeng buruk itu, akan tetapi karena Topeng Setan selalu
memaki-maki Hek-tiauw Lo-mo, menantang-nantang dan berteriak-teriak sepanjang
malam, para anak buah yang terdiri dari orang berwatak keras dan berhati kejam
itu menjadi marah dan benci sekali! Mulailah mereka mencambuki tubuh yang sudah
tergantung menelungkup itu. Melihat Topeng Setan tidak mempedulikan siksaan
ini, dan tidak menghentikan maki-makiannya seperti yang diperintahkan oleh
para penjaga, para anak buah Hek-tiauw Lo-mo menjadi makin marah. Mereka kini
tidak hanya mencambuki, juga menyirami dengan air, menggunakan pentungan untuk
menggebuki punggung dan pinggulnya sehingga terdengar suara bak-buk-bak-buk di
samping meledaknya pecut. Hebatnya, semua cambukan dan gebukan itu seolah-olah
tidak terasa oleh Topeng Setan yang masih menantang-nantang. Karena dia
maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak berdaya,
sedangkan Ceng Ceng terancam bacana hebat, maka Topeng Setan melampiaskan
kekhawatiran dan kemarahannya dengan berteriak-teriak dan memaki-maki untuk
memancing kemarahan Hek-tiauw Lo-mo dan agar perhatian mereka semua tidak hanya
tercurah kepada Ceng Ceng yang tidak diketahuinya bagaimana nasibnya itu.
Topeng Setan tidak tahu pula akan apa yang terjadi malam tadi, hanya mendengar
teriakan kebakaran.
Kini, setelah malam lewat, sikap para anak
buah Hek-tiauw Lo-mo lebih kejam lagi. Muncul di situ Hek-tiauw Lo-mo yang
wajahnya muram dan keruh.
“Iblis laknat Hek-tiauw Lo-mo, kalau kau
berani, hayo kaulawan aku, laki-laki sama laki-laki, jangan mengganggu wanita!
Ataukah kau sudah demikian pengecut tidak berani melawan seorang laki-laki
yang sudah cacat dan terluka? Ha-ha-ha, betapa hina engkau!” Topeng Setan
memaki-maki dan meronta-ronta sehingga belenggu-belenggu tangan dan kedua
kakinya mengeluarkan bunyi berkerontangan.
“Siksa dia, akan tetapi jangan bunuh dulu!
Siksa dia sampai dia minta-minta ampun kepadaku!” bentak Hek-tiauw Lo-mo yang
berwajah keruh itu lalu meninggalkan kamar tahanan Topeng Setan. Dia datang
hanya untuk memeriksa apakah Topeng Setan masih berada di situ dan sekali
pandang saja tahulah dia bahwa Topeng Setan tidak ada sangkut pautnya dengan
terbebasnya Ceng Ceng dan larinya Suma Kian Bu. Akan tetapi dia sudah
berpesan kepada semua anak buahnya agar Topeng Setan tidak tahu akan peristiwa
lolosnya Ceng Ceng malam tadi.
Mendengar perintah dari kepala mereka, tentu
saja para penjaga itu menjadi girang sekali. Mereka memang ingin melampiaskan
kemendongkolan dan kemarahan mereka. Seorang di antara mereka yang mempunyai
banyak akal mencari cara-cara penyiksaan yang paling sadis, segera mengusulkan
untuk mencari batu besar dan menindihkan batu itu di atas punggung Topeng Setan
agar orang ini remuk punggungnya kalau tidak cepat-cepat minta ampun. Semua
orang setuju dan enam orang di antara mereka lalu keluar dan menggotong
sebongkah batu besar yang beratnya tentu lebih dari tiga ratus kati. Batu besar
itu mereka pergunakan untuk menindih punggung Topeng Setan sampai melengkung
ke bawah ketika punggungnya ditindih batu seberat itu, akan tetapi dia
mengerahkan tenaganya, pinggulnya digerakkan secara tiba-tiba dan batu besar
itu terlempar mencelat dari atas punggungnya, hampir menimpa seorang di
antara mereka yang cepat meloncat ke samping sehingga hanya sebuah bangku kayu
saja yang hancur berkeping-keping tertimpa batu itu.
“Ambil yang lebih berat lagi!” teriak seorang
di antara mereka.
Kini enam orang itu menggotong sebongkah batu
yang lebih besar. Mereka berenam adalah anggauta-anggauta Pulau Neraka yang
lihai dan bertenaga besar dan batu yang mereka gotong itu tentu lebih dari lima
ratus kati beratnya. Dengan beramai-ramai mereka kini mengangkat batu besar
itu dan menindihkannya ke atas punggung Topeng Setan.
Wajah belasan orang yang sudah biasa dengan
segala macam kekejaman itu kelihatan puas ketika melihat betapa perut Topeng
Setan hampir menyentuh lantai dan terdengar keluhan dari mulut di balik topeng
itu ketika batu besar menghimpitnya dari atas. Tangan yang tinggal sebelah itu
menegang tertahan belenggunya, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi
sedikit pun tidak ada kata-kata rintihan atau permintaan ampun dari mulut
Topeng Setan. Dia kembali mengerahkan tenaga dari pusarnya. Memang tidak mudah
karena selain dia masih menderita karena luka di pundaknya yang buntung, juga
dalam keadaan tergantung menelungkup itu, dia harus pula menggunakan tenaganya
untuk menahan agar kaki tangannya tidak terluka atau patah tulangnya. Dan dia
sudah tergantung seperti itu selama satu malam suntuk!
“Haiiittt!” Setelah beberapa kali mencoba
tanpa hasil dan ditertawakan oleh para penjaga, tiba-tiba Topeng Setan
mengeluarkan seruan ini dan kembali pinggulnya bergerak mengerahkan tenaga
dan.... batu sebesar kerbau yang amat berat itu terlempar dari punggungnya.
“Awas.... minggir....!” Mereka berteriak akan
tetapi tetap saja seorang di antara mereka kena tertimpa sehingga terlempar dan
terguling-guling dan mengalami luka-luka parah.
Hal ini tentu saja membuat para penjaga itu
menjadi makin marah dan penasaran saja. Kalau tidak ada larangan dari kepala
mereka, tentu mereka sudah menghujankan senjata untuk membunuh orang yang keras
hati dan keras kepala ini. Kembali mereka menghujankan cambuknya dan gebukan
sampai tangan mereka sendiri lecet-lecet. Namun Topeng Setan yang juga
mengalami rasa puas sudah dapat membikin marah Hek-tiauw Lo-mo dan kaki
tangannya, makin mengejek dan menantang-nantang. Karena dalam keadaan tidak
berdaya dan tidak tahu apa yang terjadi dengan Ceng Ceng, maka sedikitnya dia
sudah merasa puas dengan dapat membikin hati mereka tidak senang, dan tadi
melihat kekeruhan wajah Hek-tiauw Lo-mo, timbul harapan di dalam hatinya. Kalau
wajah Ketua Pulau Neraka itu keruh, berarti telah terjadi hal yang tidak
menyenangkan hatinya dan hal ini tentu ada hubungannya dengan Ceng Ceng!
Apakah gadis itu dapat menyelamatkan dirinya? Atau setidaknya dapat mengakali
Hek-tiauw Lo-mo sehingga untuk sementara dapat terbebas dari ancaman maut? Dan
dia melihat adanya Suma Kian Bu di tempat ini. Akan janggal dan tidak masuk
akallah kalau putera Pendekar Super Sakti itu membiarkan saja Ceng Ceng
dibunuh! Ah, dia masih dapat mengharapkan pemuda tampan itu! Harapan-harapan
ini membuat hatinya menjadi besar dan dia menantang-nantang lebih berani lagi.
“He, Hek-tiauw Lo-mo, jangan lari kau! Hayo
kaukeroyoklah aku dengan semua anak buahmu! Aku akan mematahkan batang leher
kalian satu demi satu!”
Kini para penjaga sudah tak dapat menahan
kemarahannya lagi. Tidak peduli apakah akibatnya tawanan ini akan mampus,
mereka segera mendorong sebongkah batu penggilingan tahu yang besar sekali,
batu penggilingan tahu ini beratnya ada seribu kati! Saking beratnya, mereka
tidak mampu menggotongnya dan hanya dapat mendorong batu yang bentuknya bundar
itu, kemudian dengan pengerahan tenaga belasan orang, mereka dapat mengangkat
gilingan tahu itu dan menindihkannya ke atas panggung Topeng Setan!
Sekali ini Topeng Setan tak mampu berkutik
lagi. Kedua kakinya tergantung, demikian tangan kanannya, badannya terayun dan
ditindih batu sebesar dan seberat itu. Dia merasa seolah-olah kedua kaki dan
sebelah tangannya akan copot pergelangannya. Napasnya sesak dan keringatnya
bertetesan satu-satu dan besar-besar. Semua orang bersorak dan tertawa-tawa,
ada yang menjambak rambutnya dan berkata, “Hayo kaugebrakkan lagi pantatmu yang
lihai itu agar batu ini terlempar!”
“Lihat, dia sudah empas-empis mau mampus!”
“Hati-hati, kawan, jangan sampai dia
benar-benar mampus!”
“Tidak, kalau dia sudah sekarat mau mampus
kita gulingkan batu ini dari punggungnya. Paling-paling tulang punggungnya
remuk, ha-ha-ha!”
Dapat dibayangkan betapa hebat siksaan ini
terasa oleh Topeng Setan. Menahan agar tulang-tulang kaki dan tangannya tidak
copot saja sudah amat sukarnya, apalagi melemparkan batu seberat itu dari
punggung dengan hanya tenaga gerakan pinggul. Peluh mengucur keluar dengan
derasnya dan dia hampir putus asa. Punggungnya terasa seperti akan patah.
Sendi-sendi tulangnya seperti mau copot semua. Terutama sekali sendi
pergelangan kedua kaki dan tangan kanannya, tak mungkin dapat bertahan lama.
Akan tetapi, dia tidak boleh putus asa. Dia harus tetap hidup untuk dapat
menyelamatkan dan melindungi Ceng Ceng! Otot-otot di tubuhnya mengeras, dia
ingin bertahan dengan tenaga dalamnya. Dia harus membuat tubuhnya menegang
dengan pengerahan sin-kang, menegang kaku seperti batu. Karena kalau sedikit
saja mengendur, tentu tulang kaki, tangan atau punggungnya akan patah.
Mengeluh dan minta ampun? Pantangan besar bagi seorang gagah! Lebih baik mati
dengan tubuh gepeng dan tulang remuk daripada harus minta ampun!
Dia maklum bahwa nyawanya tergantung kepada
selembar rambut. Sedang nyawanya sendiri terancam, mana bisa menolong Ceng
Ceng. Kiranya tidak ada orang di dunia ini yang akan mau dan yang dapat
menolongnya dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi ada! Yaitu gurunya! Akan
tetapi gurunya itu tidak pernah mencampuri urusan dunia!
Dalam keadaan menghadapi maut itu, Topeng
Setan teringat akan gurunya, manusia yang memiliki kepandaian tidak lumrah
manusia itu. Kalau saja dia sepandai gurunya, dalam keadaan seperti ini pun
tentu akan dapat membebaskan diri, akan dengan mudah melemparkan batu seberat
ini. Mengapa dia tidak bisa sehebat gurunya? Padahal gurunya itu pun hanya seorang
manusia yang buntung sebelah lengannya!
Tiba-tiba Topeng Setan teringat akan sesuatu,
teringat akan pesan gurunya dahulu. Pelajaran yang diberikan kepadanya di
waktu itu, pesan gurunya di waktu itu, sebelum ini memang tak pernah
diperhatikannya. Akan tetapi setelah sebelah lengannya buntung, setelah dia
terhimpit dan terancam maut, tiba-tiba dia teringat akan semua itu. Gurunya
pernah berkata kepadanya bahwa kini gurunya menemukan seorang ahli waris yang
tepat dan cocok sekali, yaitu dirinya sendiri, sehingga ilmu rahasia
perguruan yang dirahasiakan itu tidak akan musnah.
“Ilmu rahasia ini tidak dikenal oleh seluruh
tokoh persilatan di dunia, muridku,” demikian kata gurunya. “Akan tetapi
kiranya jarang ada ilmu silat dan ilmu menghimpun tenaga sin-kang yang akan
mampu menandingi ilmu rahasia kita ini. Ilmu ini telah ribuan tahun terpendam
dan baru setelah tiba di tanganku, kupelajari dan kusempurnakan. Bahkan aku
belum pernah mempergunakan ilmu ini saking hebatnya, dan karena aku memang tidak
pernah bermusuhan dengan siapa pun. Ilmu ini kunamakan Ilmu Sin-liong-hok-te
(Naga Sakti Mendekam di Atas Tanah). Engkaulah yang menjadi ahli waris ilmu
rahasia ini, muridku.” Setelah berkata demikian, gurunya mengajarkan teori ilmu
yang sakti itu.
Dahulu, dia merasa heran dan tidak mengerti,
biarpun dia tidak berani membantah gurunya, mengapa gurunya mengajarkan ilmu
itu kepadanya. Ilmu Sin-liong-hok-te itu adalah ilmu mujijat yang hanya tepat
dipelajari oleh orang yang lengannya buntung sebelah, itu pun harus lengan
kanan yang masih tinggal, seperti keadaan gurunya yang lengannya hanya sebelah
kanan itu. Akan tetapi gurunya tetap saja mengajarkannya kepadanya. Hal ini
sekarang membuat dia makin tunduk dan kagum kepada suhunya yang ternyata selain
memiliki kesaktian hebat, juga agaknya telah dapat mengetahui bahwa dia
akhirnya pun akan menjadi buntung lengan kirinya, seperti gurunya!
Dahulu, biarpun dia sudah hafal akan teorinya,
dia mengalami kesukaran hebat ketika melatihnya. Ilmu Sin-liong-hok-te itu,
sesuai dengan namanya, harus dilatih dengan tubuh menelungkup di atas tanah,
seperti naga mendekam. Dan ketika berlatih, tubuh harus kejang dan kaku dari
awal sampai akhirnya. Latihan yang amat hebat, karena membuat tubuh seluruhnya
kejang kaku itu bukan dalam waktu pendek, karena latihan itu memakan waktu
sampai setengah hari! Berbahayanya, ketika sedang melatih sin-kang berdasarkan
ilmu itu, tubuh sedikit pun tidak boleh mengendur, karena selagi mengerahkan
sin-kang seperti yang diajarkan dalam ilmu tadi, sedikit saja tubuh mengendur,
orang yang melatihnya akan dapat menjadi lumpuh kaki tangannya untuk selama
hidupnya! Inilah yang amat sukar sehingga sampai dia meninggalkan gurunya, dia
belum juga dapat menguasai ilmu itu. Selalu yang menjadi penghalang dahulu
adalah adanya lengan kirinya. Gurunya sudah berkali-kali menganjurkan agar
dalam latihan ilmu itu, dia “melupakan” lengan kirinya. Akan tetapi mana
mungkin? Karena itu dia belum juga berhasil.
Topeng Setan melamun mengenangkan masa lalu itu
sambil terus menegangkan tubuhnya untuk menahan gilingan tahu yang amat berat
dan menindih tubuhnya itu. Dan pada saat itu dia sadar! Bukankah keadaannya
pada saat itu sangat cocok untuk melatih dan menyempurnakan Ilmu
Sin-liong-hok-te yang sampai saat ini belum dikuasai itu? Kini tubuhnya juga
menelungkup dalam keadaan kaku mengang seluruhnya, biarpun tidak menelungkup
di atas lantai. Yang penting, dia pun dalam keadaan tegang terus tubuhnya,
karena kalau tidak, mengendur sedikit saja, tulang punggungnya bisa patah!
Bagus sekali, semua persyaratan terpenting dari cara melatih ilmu ini telah
terpenuhi. Lengannya tinggal yang kanan saja sehingga lengan kiri yang selalu
mengganggu penyaluran tenaga itu tidak ada lagi, dan dia harus menelungkup
dengan tubuh kaku menegang terus. Akan tetapi, tadi para penyiksanya ini selalu
mengganti penyiksaannya. Bagaimana kalau sebelum dia dapat menguasai
Sin-liong-hok-te lalu mereka menurunkan batu gilingan itu. Bisa celaka dia
karena latihannya jadi terganggu dan setengah matang! Jangan-jangan dia bisa
menjadi lumpuh kaki tangannya. Terlalu berbahaya untuk menyempurnakan ilmu
seperti itu dalam keadaan di tangan musuh seperti ini.
Akan tetapi dia tidak melihat jalan lain dan
teringat ini, tanpa disadarinya Topeng Setan mengeluh.
“Ha-ha-ha, mulai terasa sekarang, ya? Hayo kau
lekas minta ampun kepada kami, baru kami akan menurunkan batu ini agar kau
tidak sampai mampus!” Seorang di antara mereka mengejek.
Bentakan yang disertai lecutan cambuk ke arah
mukanya ini mendatangkan akal kepada Topeng Setan. “Kalian anjing-anjing
rendah! Siapa tidak kuat menahan.... uh-uhhh.... batu jahanam ini.... uhhh....”
Topeng Setan berpura-pura kepayahan. “Mari kita bertaruh.... bahwa aku akan
kuat menahannya sampai sebatang lilin putih bernyala habis.”
“Ha-ha-ha! Sebatang lilin dapat bernyala
sampai tiga empat jam. Mana kau akan kuat bertahan?”
Memang inilah yang dikehendaki oleh Topeng
Setan. Dia membutuhkan waktu berlatih kurang lebih tiga empat jam!
“Berani atau tidak bertaruh? Kalau aku dapat
bertahan sampai lilin itu padam, kalian menurunkan batu ini dan selanjutnya
jangan kalian menggangguku, biarkan Hek-tiauw Lo-mo sendiri yang berhadapan
dengan aku. Kalau aku tidak kuat bertahan, kalian boleh.... boleh menanggalkan
topengku!”
Tentu saja taruhan ini tidak usah dipikir
panjang dua kali oleh mereka. Taruhan itu sama sekali tidak merugikan mereka
dan memang mereka ingin sekali melihat bagaimana macamnya orang yang mempunyai
kekuatan dan daya tahan sedemikian hebatnya. Seorang lalu berlari cepat mencari
lilin dan menyalakan lilin itu di situ.
Topeng Setan sudah mulai dengan latihannya,
hatinya lapang karena dia yakin bahwa latihannya tidak akan diganggu. Dia
berlaku nekat, dan memang tidak ada jalan lain baginya. Dia harus berhasil
dengan latihannya, atau jika dia gagal, biarlah dia mati terhimpit batu itu.
Peluhnya makin bertetesan dari seluruh tubuhnya. Tubuhnya menjadi keras dan
kejang seperti sebatang pohon kering atau lebih lagi, seperti tiang baja.
Dengan menurutkan teori yang sudah dihafalnya
tentang latihan Sin-liong-hok-te, dia mulai mengerahkan sin-kang yang berputar
di pusarnya, hawa sin-kang ini bergerak perlahan-lahan, mula-mula didorong ke
bawah menembus semua jalan darah sampai ke ujung kedua kakinya, terasa sampai
ke jari-jari kakinya. Lalu perlahan-lahan naik ke atas, ke dada dan ketika tiba
di pundak, tenaga itu bergabung dan tersalur ke samping kanan saja karena
lengan kirinya sudah tidak ada. Inilah sukarnya bagi dia ketika dahulu latihan
ilmu mujijat ini, ketika kedua lengannya masih utuh.
Ketika lengannya masih lengkap, tenaga atau
hawa sin-kang yang merayap ke atas itu selalu sebagian menyeleweng ke lengan
kiri, sukar sekali untuk dipusatkan ke lengan kanan. Padahal di dalam ilmu
ini, kalau tenaga sakti Sin-liong-hok-te sudah sempurna, inti tenaga sakti ini
dipergunakan dalam ilmu silat tangan kosong yang khusus diciptakan untuk
seorang berlengan buntung sebelah, dengan tenaga sakti ini sebagai dasar, yaitu
Ilmu Silat Tangan Kosong Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Naga
Sakti), lengan tunggal ini bergerak sebagai kepala naga, sedangkan kaki
bergerak sebagai cakar naga.
Biarpun memakan waktu yang cukup lama,
akhirnya hawa sakti itu dapat juga membelok dan berputar pada lengan kanannya.
Kini tinggal tingkat terakhir dari latihan itu, tingkat yang paling sukar dan
berbahaya, yaitu menyalurkan hawa itu ke dalam kepala! Amat sukar dan
berbahaya sekali untuk menembus terbuka jalan darah di ubun-ubun kepala, harus
dilakukan dengan amat teliti, hati-hati dan dengan pencurahan seluruh perhatian
dan penyerahan lahir batin.
Para penjaga sudah mulai tertawa-tawa karena
lilin itu sudah terbakar selama hampir tiga jam, tinggal sedikit lagi dan
Topeng Setan sudah kelihatan amat lelah kehabisan tenaga, kehabisan keringat
dan napasnya mulai terengah-engah. Topeng Setan sadar akan hal ini. Hampir dia
tidak kuat bertahan lagi, hampir menyerah! Tenaganya telah terkuras habis,
berjam-jam terus-menerus mengerahkan tenaga agar tubuhnya meregang dan
menegang kaku, sedangkan untuk dapat menerobos jalan darah di ubun-ubun
bukanlah hal yang mudah, membutuhkan pengerahan tenaga sin-kang yang terpusat.
Mana dia kuat dan mampu? Dia berbeda dengan gurunya, dan dia masih terluka
hebat.
“Ha-ha-ha, lilinnya sudah hampir padam dan
engkau pun sudah hampir padam!” seorang penjaga mengejeknya.
“Wah-wah, mampus kau sekali ini, Topeng Setan!
Apakah lebih baik kau menyerah saja, biar kubuka topengmu dan kami turunkan
batu ini?”
“Heh-heh, dia sudah tidak mampu menjawab. Dia
sudah sekarat!”
Para penjaga yang wataknya kejam itu
memperolok-oloknya dengan bermacam-macam kata-kata mengejek dan semua ini
bahkan menimbulkan kembali semangat Topeng Setan yang tadinya sudah hampir
tenggelam. Bernyala kembali api perlawanannya yang tadi sudah hampir padam.
Dia menggeleng kepala tanda belum menyerah,
kemudian dia mengerahkan seluruh tenaganya. Tidak, dia harus nekat sampai
denyut darah terakhir. Dia tidak akan menyerah sampai mati. Dengan otak
membayangkan keselamatan Ceng Ceng dia memusatkan tenaga yang menjadi besar
kembali terdorong oleh kebulatan tekadnya, berusaha menjebol jalan darah ke
ubun-ubun sebagai tingkat terakhir dari latihan dan penguasaan ilmu mujijat
Sin-liong-hok-te. Tinggal sedikit lagi. Dia sudah merasa betapa hawa sakti
membubung ke atas, kepalanya sudah tergetar dan terasa panas. Tapi bukan main
sukarnya dan kalau pada saat itu para penjaga menurunkan batu, hal ini bahkan
akan mencelakakannya. Tenaganya sudah habis! Dia tidak kuat menembus bagian
tipis yang sedikit lagi itu. Seolah-olah terasa sudah olehnya tirai tipis yang
sudah disentuhnya. Kalau masih ada tenaganya, mendorong sedikit saja tentu
sudah akan dapat menerobos tirai itu. Akan tetapi tenaganya sudah habis!
“Wah, dia memang keras kepala! Manusia ini
menjemukan sekali!” teriak seorang penjaga.
“Biar kuhajar kepalanya agar merasa dia!”
Penjaga lain yang memegang cambuk berteriak.
“Tar-tar-tar....! Plongggg....!”
Jalan darah ke ubun-ubun itu tertembus secara
tiba-tiba dan tidak disengaja. Pada saat dia sedang bersitegang untuk menembus
tirai tipis yang tinggal sedikit itu, secara tiba-tiba cambuk melecut mengenai
ubun-ubunnya dan sentakan kaget ini membantunya sehingga merupakan bantuan
yang tak tersangka-sangka pada saat yang kritis itu. Dia berhasil!
Hampir Topeng Setan tidak dapat mempercayai
sendiri apa yang dirasakannya pada saat tirai tipis itu tertembus oleh hawa
saktinya dan semua jalan darah telah terbuka, seluruh hawa sakti di tubuhnya
telah meluncur dengan lancar dan cepatnya. Tubuhnya kini terasa nyaman,
kepalanya terasa ringan, otaknya menjadi terang dan sepasang matanya
mengeluarkan cahaya mencorong menggiriskan, seperti mata naga sakti, seperti
mata suhunya. Beban berat yang menindih punggungnya tidak terasa lagi
olehnya, yang terasa hanyalah hawa penuh yang berputar-putar cepat sekali di
seluruh tubuhnya, seolah-olah seekor naga sakti melayang-layang berputaran di
angkasa mencari korban.
Para penjaga yang tidak sadar akan perubahan
ini masih mengejek, bahkan Si Pemegang Cambuk kini mengayun cambuknya dan
mengerahkan seluruh tenaganya untuk melecut kepala yang menelungkup itu.
“Tarrr.... brolll....! Aduhhh....!”
Bukan main hebatnya akibat dari lecutan ini,
seolah-olah lecutan yang membuka bendungan besar tenaga sakti yang kini datang
membanjir dengan hebatnya. Naga sakti yang melayang-layang itu seperti
memperoleh mangsa oleh lecutan itu. Tenaga mujijat yang berputaran di tubuh
Topeng Setan itu bergerak melawan ketika melecut, dan akibatnya, Si Pemegang
Cambuk itu roboh dan mati seketika dengan tubuh membiru karena semua
urat-uratnya tergetar pecah-pecah oleh tenaganya sendiri yang membalik dengan
kuatnya. Batu penggilingan tahu yang mendidih punggung itu mencelat seperti
dilontarkan, menghantam dua orang penjaga yang menjadi remuk badannya dan
masih terus menerjang dinding batu sehingga ambrol dan berlubang besar.
Belenggu tangan kanan dan kedua kaki yang terbuat dari baja tebal itu
patah-patah semua dan jatuh berkerontangan di atas lantai! Kini Topeng Setan
berdiri di tengah kamar tahanan itu dan berteriak dengan suara menyeramkan,
“Mana Hek-tiauw Lo-mo? Bebaskan aku!”
Para penjaga lainnya memandang dengan muka
pucat dan mata terbelalak, ada yang terkencing ketakutan melihat orang bertopeng
yang berdiri tegak dengan mata mencorong seperti itu, ada yang kedua kakinya
menggigil dan tidak mampu melangkah selangkah pun untuk mengikuti
teman-temannya yang mundur melarikan diri.
“Hek-tiauw Lo-mo manusia iblis! Hayo
kaubebaskan Ceng Ceng....!” Kembali Topeng Setan berteriak.
Mendadak terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo dari
sebelah kiri, dari dinding yang masih utuh. “Topeng Setan, aku berada di sini!”
Mendengar suara musuhnya ini, dengan sekali
gerakan saja, tubuh Topeng Setan melayang ke arah dinding, tangan kanannya
mendorong dinding dan.... “braaakkkk!” dinding itu jebol dengan amat mudahnya!
Begitu dia menerobos dinding ini dan tiba di sebuah ruangan lain, dari kanan
kiri menyambar anak anak panah yang tak mungkin dielakkannya lagi. Topeng
Setan terpaksa menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga di
seluruh tubuh untuk mengebalkan tubuh. Hawa mujijat di tubuhnya itu berputar
cepat sekali dan betapa girang hati Topeng Setan ketika menyaksikan betapa
anak-anak panah itu begitu menyentuh tubuhnya, di bagian manapun, runtuh semua
dan patah-patah!
Hek-tiauw Lo-mo, Ji Song kakek gendut
pembantunya, dan Mauw Siauw Mo-li sumoinya, memandang dengan mata terbelalak.
Ketika anak panah itu habis, yang ternyata dilepas dari alat-alat rahasia,
Topeng Setan memandang ke depan dan matanya yang mencorong itu berapi-api
ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo. “Hek-tiauw Lo-mo, kalau kau tidak bebaskan
Ceng Ceng, aku akan menghancurkan kepalamu!”
Hek-tiauw Lo-mo mengangkat tangan kanannya ke
atas. “Topeng Setan, jangan bergerak kau! Sekali bergerak, nona itu akan
dibunuh oleh pembantu-pembantuku seperti yang sudah kuperintahkan. Aku akan
membebaskan gadis itu dan juga engkau asal engkau suka membantuku sekali ini.
Kalau engkau menolak, gadis itu akan kusuruh bunuh lebih dulu sebelum kami
akan menghadapimu dalam pertempuran mati-matian.”
Topeng Setan memandang tajam. Betapa
cerdiknya Ketua Pulau Neraka ini, pikirnya. Kalau iblis tua ini membawa Ceng
Ceng pada saat itu, dengan ilmunya yang mujijat telah dikuasainya kini,
agaknya dia akan mampu merampas Ceng Ceng dari tangan orang-orang ini. Akan
tetapi iblis tua yang cerdik ini menyembunyikan Ceng Ceng, dan orang macam dia
ini tentu benar-benar akan membunuh Ceng Ceng kalau dia tidak memenuhi
permintaannya.
“Kalau kau menipuku, ke mana pun kau pergi
akan kukejar sampai dapat, Hek-tiauw Lo-mo.”
“Tidak! Aku bicara sebagai seorang tokoh
kang-ouw terhadap seorang tokoh lain, dan namaku akan tercemar selama hidupku
kalau aku menipumu. Aku akan membebaskan kalian kalau engkau mau dan berhasil
membantuku.”
“Katakan, apa yang harus kulakukan!”
“Kami sedang diserbu musuh-musuh yang lihai,
dan kalau engkau bisa mengundurkan musuh-musuh itu, nah, aku Hek-tiauw Lo-mo
berjanji akan membebaskan engkau dan gadis itu.”
“Siapakah musuh-musuhmu itu?”
“Mereka adalah serombongan pengawal yang
dipimpin oleh Gak Bun Beng, Puteri Milana, dan Suma Kian Bu.”
Terkejut sekali hati Topeng Setan mendengar
ini, alisnya berkerut. Bagaimana dia berani melawan? Andaikata dia mampu
menghadapi mereka juga, bagaimana dia dapat melawan orang-orang yang dia tahu
adalah pahlawan-pahlawan dan pendekar-pendekar besar itu? Akan tetapi,
keselamatan Ceng Ceng berada di tangan Hek-tiauw Lo-mo! Topeng Setan menjadi
bingung sekali.
Bagaimana Gak Bun Beng, Milana, dan Suma Kian
Bu dapat berkumpul dan kini dikatakan oleh Hek-tiauw Lo-mo bahwa mereka
memimpin pasukan pengawal menyerbu dusun itu? Untuk mengetahui hal ini,
baiknya kita membiarkan dulu Topeng Setan yang sedang kebingungan itu dan mari
kita mengikuti pengalaman Gak Bun Beng dan Milana.
***
Seperti telah dituturkan di bagian depan,
dengan hati seperti disayat-sayat Gak Bun Beng terpaksa meninggalkan istana
Milana, bekas kekasihnya dan yang masih merupakan satu-satunya wanita yang
dicintanya di dunia ini. Perih sekali hatinya ketika dia melihat kenyataan
bahwa Milana juga masih mencinta dia! Bahwa wanita yang dicintanya itu
ternyata hidup merana, hidup sengsara di samping suaminya itu, karena Milana
tidak pernah dapat melupakan dia. Betapa akan mudahnya untuk membiarkan diri
terbenam dalam kebahagiaan bersama Milana, menuruti suara hati dan dorongan
keinginan yang ditekan-tekannya selama belasan tahun ini. Akan tetapi kalau dia
menuruti hati dan menerima uluran kasih sayang Milana, akan menjadi orang macam
apakah dia? Tidak! Ayahnya dahulu terkenal sebagai seorang datuk sesat,
berjuluk Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kelahiran dirinya pun adalah akibat
perbuatan terkutuk ayahnya itu atas pemerkosaannya terhadap ibunya. Biar
ayahnya seorang manusia iblis, dia harus menebus semua penyelewengan ayahnya
itu dengan perbuatan benar! Dan kalau dia kini menuruti nafsu hatinya, merebut
seorang wanita seperti Milana yang masih bersuami, berarti dia sama
tersesatnya dengan ayahnya. Tidak, biar hancur hatinya, biar remuk hidupnya,
dia tidak sudi melakukan hal ini dan dia telah melarikan diri dari Milana!
Akan tetapi, cintanya terhadap Milana demikian
besarnya, mengalahkan segala-galanya. Dahulu, selama belasan tahun dia telah
mampu menekan perasaannya ini, menekan hasrat hatinya untuk bersanding dengan
wanita kekasihnya. Akan tetapi, setelah kini bertemu dengan Milana, duduk
berdekatan, mendengar suaranya, bahkan mendengar pernyataan cinta kasih wanita
itu yang masih sebesar dahulu terhadap dirinya, mana dia mampu berjauhan? Dia
tidak kuat untuk berjauhan lagi. Maka seperti seorang yang sinting Gak Bun Beng
tak pernah jauh meninggalkan kota raja, bahkan kadang-kadang dia mencuri masuk,
menggunakan kepandaiannya hanya untuk menjenguk dan melihat wajah kekasihnya.
Dia cukup puas hanya dengan melihat sepintas wajah yang tak pernah meninggalkan
lubuk hatinya itu, lalu pergi lagi, akan tetapi tidak jauh, hanya dekat di luar
kota raja, bersembunyi. Gak Bun Beng adalah seorang laki-laki yang sudah
berusia tiga puluh sembilan tahun, hampir empat puluh tahun dan selama hidupnya
baru dengan Milana saja dia berdekatan dengan wanita. Dia adalah seorang
perjaka, bahkan setelah dia berpisah dengan Milana belasan tahun yang lalu, dia
tidak pernah mau memandang wanita lainnya dan seolah-olah sudah menutupkan
pintu hatinya terhadap cinta asmara antara pria dan wanita.
Segala macam bentuk nafsu keinginan lahir dari
pikiran. Daya tarik yang terkandung, dalam keindahan bentuk tubuh dan
kecantikan serta kelembutan seorang wanita terhadap pandang mata seorang pria
memang sudah sewajarnya, akan tetapi dalam daya tarik itu tidak terkandung
nafsu berahi. Kalau kita kaum pria melihat seorang wanita dan kita kagum akan
kecantikannya, kelembutan dan keluwesannya, maka hal itu hanya habis pada
tingkat kekaguman saja. Akan tetapi begitu sang pikiran masuk mencampuri,
pikiran membayangkan hal yang bukan-bukan, kenangan-kenangan yang pernah
dirasakannya atau pernah didengarnya, pernah dilihatnya, maka sang pikiran ini
lalu membayangkan betapa akan senang dan nikmatnya kalau kita dapat memiliki
wanita itu menjadi kawan bermain cinta dan sebagainya, maka lahirlah nafsu
berahi yang pada dasarnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Pikiran
adalah diri pribadi, maka segala yang direncanakan dan diperbuat oleh pikiran
selalu berpusat pada kesenangan untuk diri pribadi.
Dengan kekuatan batinnya yang memang amat
kokoh kuat, Gak Bun Beng berhasil menjauhkan diri dari nafsu berahi dan tidak
merasa terganggu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Syanti Dewi dalam kehidupannya,
dan sifat-sifat dara yang amat baik ini dengan kekuatan mujijat membuka lagi
pintu hatinya. Kalau saja dia tidak mempunyai kesetiaan sampai mati kepada
Milana, agaknya dengan amat mudahnya dia menerima uluran tangan Syanti Dewi
yang jatuh cinta kepadanya karena terdorong oleh hutang budi dan kekaguman yang
berlebihan. Dia menolak Syanti Dewi dengan bijaksana, mengingat usia mereka,
mengingat hubungan hatinya dengan Milana. Akan tetapi penolakan ini membuka
lebar-lebar kembali luka di dalam hatinya. Semua ini ditambah lagi dengan
perjumpaannya dengan Milana, lalu lebih-lebih lagi dengan pernyataan Milana
betapa wanita itu masih selalu mencintanya, betapa wanita itu merana hidupnya
karena dia!
Kini Gak Bun Beng tersiksa hebat, jauh lebih
hebat daripada dahulu kerena kini setiap detik dia digerogoti perasaan dendam
rindu kepada Milana! Inilah yang membuat dia tidak mampu lagi terpisah
jauh-jauh dari wanita yang dicintanya itu, dan penderitaan ini hendak
diperingan dengan setiap kali menjenguk wajah orang yang dicintanya. Dia tidak
tahu bahwa perbuatan itu sebenarnya bahkan memperhebat penderitaannya, seperti
seorang yang kehausan diperlihatkan air yang tidak boleh diminumnya!
Betapa terkejutnya ketika dia mendengar akan
geger yang terjadi di kota raja, yaitu tentang tewasnya Pangeran Liong Bin Ong
yang kabarnya dibunuh oleh perwira Han Wi Kong dan tentang tewasnya perwira itu
pula, kemudian tentang mengamuknya Puteri Milana dan lenyapnya Puteri Syanti
Dewi dari istana Kaisar! Tentu saja dia cepat memasuki kota raja dan melakukan
penyelidikan. Dengan muka pucat dia menghadap Perdana Menteri Su dan mendengar
semua penuturan perdana menteri itu bahwa suami Milana tewas, kemudian betapa
Milana menculik Puteri Syanti Dewi dan melarikan diri dari kota raja setelah
membunuh para pengawal Liong Bin Ong yang menewaskan suaminya!
Gak Bun Beng terkejut dan juga berduka
sekali. Kekasihnya tertimpa malapetaka yang demikian hebat tanpa dia mampu
menolongnya! Dia merasa menyesal sekali. Andaikata dia tidak meninggalkan
istana puteri itu, kiranya belum tentu suami puteri ini akan tewas dan membawa
akibat sedemikian hebatnya sehingga kini Puteri Milana menjadi seorang
pelarian dari istana! Setelah menghaturkan terima kasih kepada Perdana Menteri
Su, dia lalu berpamit dan cepat mencari Milana yang dia duga tentu hendak
mengantarkan Syanti Dewi kembali ke Bhutan.
Sementara itu, seperti telah diceritakan di
bagian depan, Milana yang membawa lari Syanti Dewi bertemu dengan Ang Siok Bi,
kemudian bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan menyerahkan Syanti Dewi kepada
dua losin pengawal jenderal itu yang dipimpin oleh kepala pengawal Can Siok
untuk dikawal sampai ke Bhutan. Puteri Milana sendiri lalu berpisah dari
Jenderal Kao Liang untuk kembali ke utara karena dia ingin pergi ke orang
tuanya, yaitu di Pulau Es.
Lemas rasanya seluruh sendi tulangnya ketika
Puteri Milana berjalan perlahan memasuki hutan itu. Berkali-kali dia menghela
napas panjang, menyesali dirinya sendiri karena dia merasa telah melakukan dosa
yang amat besar. Dia merasa seolah-olah dialah yang telah membunuh Han Wi Kong.
Dia tahu bahwa suaminya itu seperti membunuh diri, sungguhpun pembunuhan diri
yang amat terhormat dan berjasa besar bagi negara. Dan yang menjadi sebab
adalah dia. Suaminya menderita hebat sejak menikah dengan dia karena suaminya
itu benar- benar mencintanya dan dapat dibayangkan betapa perih hatinya dan
sengsara hidupnya karena semenjak menikah, sampai belasan tahun lamanya, dia
hanya menjadi isteri dalam nama saja, tidak pernah menjadi isteri dalam arti
yang sesungguhnya.
“Salahkah aku? Berdosakah aku?” Berkali-kali
dia bertanya kepada diri sendiri.
Dia dahulu diharuskan menikah oleh Kaisar dan
terpaksa dia harus memilih seorang di antara mereka. Pilihannya jatuh kepada
Han Wi Kong, akan tetapi bagaimana dia bisa mencinta orang lain kalau hatinya
sudah diserahkan sebulatnya kepada Gak Bun Beng? Han Wi Kong “membunuh diri”
karena ingin membahagiakannya, ingin membebaskannya agar dia dapat berkumpul
dengan Gak Bun Beng. Kalau sampai tujuan terakhir suaminya itu tidak
terpenuhi, sama artinya dengan membiarkan suaminya itu mati konyol, mati dengan
sia-sia.
Akan tetapi Gak Bun Beng.... Milana menarik
napas panjang ketika teringat pria yang dicintanya itu, teringat akan
pendiriannya, akan keangkuhannya. Teringat betapa Gak Bun Beng berkeras
meninggalkannya, kembali dia menarik napas panjang dan bibirnya terdengar
mengeluh lirih seperti rintihan, “Gak-suheng....”
“Sumoi....!”
Suara ini memasuki telinganya seperti
halilintar dan membuat seluruh tubuhnya tergetar. Wajah Milana menjadi pucat
sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya. Ketika melihat orang yang sedang
dikenangnya itu kini berdiri di depannya, Gak Bun Beng yang berwajah pucat dan
bermata sayu, Milana menggosok kedua matanya.
“Sumoi.... Milana, aku di sini....” Gak Bun
Beng berkata dengan suara terharu ketika melihat wanita itu seperti tak percaya
akan kehadirannya, wanita yang dicintanya, yang berpakaian kusut dan berambut
awut-awutan, berwajah pucat sekali akan tetapi yang kecantikannya baginya tak
pernah berkurang semenjak mereka masih remaja dahulu.
“Suheng.... Gak-suheng....” Milana tak
dapat lagi menahan hatinya. Wanita yang terkenal sebagai seorang pendekar
besar, seorang pahlawan dan seorang panglima yang amat gagah perkasa, yang
mampu menghadapi segala macam bahaya dengan mata tidak berkedip, yang tidak
pernah meruntuhkan air mata dan yang terkenal sebagai seorang wanita gagah
berhati baja, kini tidak lebih hanya seorang wanita yang lembut dan tangisnya
mengguguk, air matanya jatuh berderai-derai. Seperti seorang anak kecil dia
berdiri sambil menangis, tubuhnya berguncang dan kedua punggung tangannya
menggosok-gosok matanya.
“Sumoi.... tenangkan hatimu, Sumoi....” Dengan
suara gemetar Gak Bun Beng mencoba menghibur, melangkah maju dan dengan
hati-hati menyentuh kedua pundak wanita itu dengan ujung-ujung jari tangannya.
Sentuhan ini sudah cukup untuk membuka bendungan itu.
“Gak-suheng.... aihhh, Gak-suheng....!” Milana
lalu memeluk dan mendekap dada pria itu dengan mukanya, menangis
sejadi-jadinya.
“Sumoi....” Suara Bun Beng juga mengandung
isak dan dia menengadah, memejamkan kedua matanya mencegah keluarnya air
mata, dan tangan kanannya mengusap-usap rambut yang awut-awutan dan halus lemas
itu.
Sampai lama sekali mereka hanya berdiri saling
peluk. Milana menangis terisak-isak, makin lama makin mereda dan Gan Bun Beng
memeluk pundaknya dan membelai rambutnya. Setelah tangis wanita itu agak
mereda, tinggal terisak-isak saja, Bun Beng lalu dengan halus melepaskan
pelukannya, menjauhkan dirinya sambil berkata lembut, “Sumoi, aku telah
mendengar semua apa yang terjadi di kota raja. Aku menyesal sekali.... tidak dapat
membantumu sama sekali....”
Milana masih belum mampu menjawab hanya
terisak-isak dan menghapus sisa air mata dengan sehelai saputangan sutera.
“Mari kita duduk di bawah pohon itu dan
bicara, Sumoi.” Bun Beng mengajaknya dan dia mengangguk, keduanya lalu duduk
di atas akar-akar pohon yang menonjol di atas tanah. Milana menundukkan
mukanya yang menjadi agak kemerahan, mungkin karena tangisnya, isaknya masih
ada akan tetapi hanya kadang-kadang dan air matanya sudah berhenti mengucur.
Wanita perkasa ini sudah dapat menguasai dirinya lagi.
“Sumoi, aku sudah bertemu dengan Perdana
Menteri Su dan mendengar dari beliau akan semua peristiwa. Suamimu telah
membunuh Pangeran Liong Bin Ong dan dalam usaha itu dia berhasil akan tetapi
dia juga terbunuh oleh para pengawal tokoh pemberontak itu. Dan kau telah
melarikan Syanti Dewi.... eh, di mana sekarang?”
“Dia telah dikawal oleh para pengawal
Jenderal Kao, kembali ke Bhutan.” Milana lalu menceritakan dengan singkat
pertemuannya dengan Jenderal Kao. Kemudian dia menceritakan juga tentang
pertemuannya dengan Ang Siok Bi, dan menambahkan, “Ternyata benar bahwa Ang Tek
Hoat itu adalah puteranya, dan dia.... dia mencari-carimu sebagai seorang musuh
besar, Suheng.”
“Biarlah....” Gak Bun Beng menarik napas panjang,
sikapnya tidak peduli. “Sekarang engkau hendak.... ke manakah, Sumoi?” Suaranya
penuh perasaan iba dan hal ini terasa sekali oleh Milana sehingga kembali
wanita ini menggigit bibir menahan tangisnya.
“Tadinya aku hendak mencarimu, Suheng, akan
tetapi karena tidak tahu engkau berada di mana, setelah Syanti Dewi diantar
para pengawal, aku lalu hendak pergi ke Pulau Es saja. Syukur bahwa kita dapat
bertemu di sini, Suheng.”
“Kau.... kau mencariku, Sumoi?” Gak Bun Beng
memandang dengan jantung berdebar tegang. “Mengapa.... engkau mencariku?”
Wajah yang masih agak pucat itu menjadi merah
dan jari-jari tangannya gemetar ketika Milana mencari-cari ke balik bajunya,
kemudian mengeluarkan sebuah sampul surat. “Aku mencarimu untuk menyampaikan
ini, Suheng. Aku menemukan surat peninggalan suamiku ini di dalam kamarnya dan
surat ini untukmu.”
Gak Bun Beng menerima surat itu dan membaca
tulisan pada sampulnya. Memang ditujukan kepadanya, ditulis oleh tangan Han Wi
Kong dengan gaya tulisan yang kuat dan indah. Jantungnya berdebar tegang penuh
kekhawatiran dan penyesalan. Apakah yang akan dia baca dan temukan di dalam
surat ini? Apakah kata-kata kutukan dan penyesalan dari perwira gagah itu?
Karena dia dan isterinya mempunyai hubungan cinta kasih? Apakah perwira itu
menderita kesengsaraan batin karena dia? Karena isterinya mencinta dia? Hampir
dia tidak berani membuka surat itu dan dia memandang kepada Milana. Akan tetapi
wanita itu pun merunduk saja, agaknya menanti dengan penuh ketegangan.
“Sumoi, katakanlah, mengapa suamimu melakukan
perbuatan nekat itu? Seorang diri menyerbu istana dan membunuh Pangeran Liong
Bin Ong, bukankah hal itu sama artinya dengan membunuh diri?”
Ucapan itu terasa oleh Milana seperti tusukan
pada jantungnya dan tak dapat dicegahnya lagi beberapa butir air mata mengalir
turun dan karena dia menunduk, air mata itu berkumpul di ujung hidungnya
seperti sebutir mutiara besar. Milana menggeleng kepala dan mutiara itu jatuh
dari ujung hidungnya. “Aku.... aku tidak tahu....” Dia merasa lehernya seperti
dicekik, tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata.
Gak Bun Beng menarik napas, memandang sampul
surat itu lalu memberanikan hatinya, membuka sampul itu dengan jari-jari
tangan gemetar dan mengeluarkan suratnya. Dia sudah siap untuk menerima
berita yang paling buruk, siap untuk menerima celaan dan kutuk orang yang sudah
mati itu. Lalu dibacanya surat itu,
Gak Bun Beng Taihiap,
Kalau taihiap membaca surat ini, saya
tentu sudah mati. Kematian yang tidak sia-sia karena saya tentu telah berhasil
membunuh dalang pemberontak Liong Bin Ong. Terutama sekali, dengan kematian
saya, Puteri Milana menjadi bebas untuk hidup bersama satu-satunya pria yang
dicintanya, yaitu Taihiap sendiri. Percayalah, sejak dahulu sampai saat ini Puteri
Milana hanya mencinta Taihiap seorang, dan dia menjadi isteri saya hanya
namanya saja, bukan isteri dalam arti sesungguhnya. Sampai saat ini Puteri
Milana masih seorang gadis yang selalu menanti pinangan Taihiap!
Semoga bahagia,
Han Wi Kong.
Surat itu terlepas dari jari-jari tangan Gak
Bun Beng yang gemetar karena jantungnya berdebar dengan keras. “Ohhh....”
demikian keluhnya.
Mendengar keluhan ini, Milana mengangkat
mukanya memandang. Gak Bun Beng lalu menyambar kertas itu dan menyerahkan kepada
Milana sambil berkata, suaranya gemetar, “Benarkah ini....? Benarkah
ini....?” Milana
menerima surat itu dan membacanya, dipandang dengan tajam oleh Gak Bun Beng.
Perlahan-lahan kedua pipi wanita itu berubah menjadi merah sekali dan surat itu
pun terlepas dari tangannya yang menggigil.
“Benarkah, Milana....?” tanya Bun Beng,
suaranya lirih seperti berbisik.
Milana mengangkat muka memandang. Dua pasang
mata saling bertemu dan akhirnya Milana hanya mengangguk penuh kepastian.
Bun Beng meloncat berdiri. “Akan tetapi
mengapa?” teriaknya. “Milana? Engkau adalah isterinya! Mengapa engkau
menyiksanya sedemikian rupa? Belasan tahun menjadi isterinya.... hanya dalam
nama saja....? Betapa kejamnya engkau....”
Mendengar ucapan ini, Milana juga meloncat
berdiri dan memandang Bun Beng dengan mata bersinar-sinar. “Mangapa? Tentu saja
aku tidak bisa menyerahkan diri kepada lain pria! Setelah aku menyerahkan cinta
kasih dan hatiku kepadamu, suheng, bagaimana mungkin aku dapat menyerahkan
tubuhku kepada pria lain?”
“Ahh.... tapi... kalau begitu, mengapa engkau
menikah dengan dia?”
“Karena Kaisar memaksaku.”
“Kau bisa saja pergi dari istana dan mencari
aku, Milana....”
“Suheng, bukankah engkau yang telah
meninggalkan aku, pergi dariku? Aku telah merasa berdosa kepadamu dahulu, telah
tidak mempercayaimu (dalam ceritaSepasang Pedang Iblis)...., akan tetapi
aku tidak mungkin bisa menyerahkan diri kepada pria lain....”
“Milana.... sumoi, begitu besar cintamu
kepadaku....”
“Dan kau tadinya kuanggap telah melupakan aku,
Suheng. Kiranya engkau pun rela hidup merana, tak pernah menikah, karena
cintamu kepadaku....”
“Milana.... aku cinta padamu, sejak dahulu
sampai detik ini.... aku hanya merasa diriku tidak berharga untukmu. Dan
ternyata engkau.... engkau begitu setia kepadaku.... ternyata aku yang telah
menyiksa hidupmu, Milana....”
“Suheng....!” Milana mengeluh dan mereka
saling tubruk, saling rangkul karena sekarang keduanya yakin akan cinta kasih
mereka masing-masing.
“Sumoi.... Milana.... ah, Milana.... betapa
aku rindu padamu.”
“Aku pun rindu padamu, Suheng....”
Sejenak kedua orang itu lupa diri. Milana
terlena dalam pelukan Bun Beng, air matanya mengalir turun dari kedua mata yang
dipejamkan. Bun Beng mendekapnya, menciumnya, mencium lehernya, dagunya,
bibirnya, hidung dan matanya, menghisap air mata itu, air mata yang
seolah-olah menjadi air embun yang menyiram kembang di dalam hatinya yang
kehausan dan yang hampir melayu, sehingga kembang itu menjadi segar kembali.
Pada saat itu dicurahkanlah segala kerinduannya, segala cinta kasihnya
sehingga setiap bulu di tubuhnya seolah-olah bangkit dan membelai wanita itu.
Milana memejamkan matanya, merasa terayun di angkasa dengan nikmatnya. Wanita
manakah yang tidak akan merasa berbahagia bahwa dia telah menundukkan hati pria
yang dicintanya, merasa dibutuhkan, dicinta dan dipuja? Bisikan halus yang
keluar dari bibir Bun Beng di dekat telinga, bisikan yang berkali-kali
menyatakan cinta kasih yang mendalam, membuat hati Milana bangga dan bisikan
itu lebih merdu daripada nyanyian surga!
Akan tetapi tiba-tiba Milana melepaskan
dirinya dengan halus, kini dia memandang kekasihnya dengan bibir tersenyum
dan mata masih basah, dengan kedua pipi kemerahan seperti wajah seorang dara
remaja yang baru pertama kali menerima ciuman seorang pria. Bun Beng memandang
dengan terpesona.
“Jangan.... Suheng, jangan dulu...., kita
harus menghormati Han Wi Kong.... dialah yang sesungguhnya mempertemukan kita
kembali. Kita.... kita harus sabar menanti.... biarkan aku berkabung selama
setahun untuknya, Suheng.”
Gak Bun Beng tersenyum, senyum penuh kecerahan
yang baru pertama kali ini nampak di wajahnya, seolah-olah wajahnya bersinar
kembali dengan cahaya kehidupan. Dia mengangguk dan matanya memandang penuh
kelembutan, penuh kemesraan dan penuh pengertian. “Memang sebaiknya begitu,
Sumoi. Sebaiknya begitu...., betapapun juga, secara lahiriah dia adalah
suamimu dan sahabat kita yang amat baik. Setelah menanti belasan tahun
lamanya, apa artinya setahun bagi kita?”
Milana melangkah maju lagi dan memegang kedua
tangan kekasihnya. “Aku tahu bahwa engkaulah satu-satunya manusia yang
bijaksana dan mulia di dunia ini. Mulai saat ini aku merasa seolah-olah baru
hidup, suheng....”
Gak Bun Beng balas menggenggam jari-jari
tangan yang halus itu. “Bukan baru hidup melainkan hidup baru, Sumoi. Sekarang,
apakah engkau hendak melanjutkan perjalananmu ke Pulau Es?”
“Aku.... aku.... terserah kepadamu, Suheng.
Sejak saat ini, aku hanya menurut apa yang kau katakan dan kautentukan. Aku
takut kalau-kalau keputusanku sendiri akan mengakibatkan kesalahan hebat
seperti yang telah kita alami bersama dahulu. Aku menyerahkan segalanya
kepadamu, Suheng.”
Bukan main girangnya hati Gak Bun Beng.
“Kiranya lebih baik kalau kelak setahun kemudian kita bersama pergi menghadap
ke Pulau Es untuk minta doa restu dari orang-orang tua. Sekarang, lebih baik
kita mengejar perjalanan Syanti Dewi. Hatiku merasa tidak tenang kalau sampai
anak itu hanya dikawal oleh pasukan biasa. Sebaiknya waktu yang satu tahun itu
kita pergunakan untuk mengawalnya ke Bhutan.”
Milana mengangguk, lalu berkata, “Dia....
Syanti Dewi amat mencintamu, Gak-suheng....”
“Eh, bagaimana kau tahu?”
“Anak yang baik itu menceritakan segalanya
kepadaku. Dan tahukah engkau betapa dia marah-marah kepadaku dan menuntut agar
aku membahagiakan engkau. Tidakkah aneh sekali itu? Seorang anak belasan tahun
mengajarkan aku tentang cinta kasih! Dia benar-benar cinta kepadamu sehingga
aku merasa heran mengapa engkau tidak menyambut uluran hati seorang dara
secantik dia?”
“Sumoi, perlukah kautanyakan lagi hal itu?
Dengan adanya engkau, betapa mungkin aku mencinta wanita lain? Aku tahu akan
kebaikan hatinya, karena itu dia kuanggap sebagai keponakan atau anak sendiri, dan
karena itu pula kita sudah sepatutnya mengantarkan dia kembali kepada orang
tuanya di Bhutan.”
Milana tersenyum manja. “Terima kasih,
Suheng. Pernyataanmu itu makin meyakinkan hatiku betapa besar cintamu kepadaku,
dan amat membahagiakan hatiku.”
“Hemm, tidak kalah besarnya dengan
kebahagiaanku memperoleh kenyataan bahwa selama ini engkau tetap mencintaku,
Sumoi. Mari kita berangkat, aku khawatir terjadi hal-hal yang tidak baik
terhadap diri Syanti Dewi.”
Maka berangkatlah kedua orang kekasih yang
baru saling menemukan kembali setelah cinta kasih mereka terpisah selama
belasan tahun itu. Patut dikagumi Gak Bun Beng dan Milana. Keduanya masih
perawan dan perjaka, biarpun usia mereka telah mendekati empat puluh tahun, dan
mereka selama belasan tahun menekan kerinduan hati masing-masing. Kini, setelah
mereka berdua memperoleh kebebasan dan tidak ada sesuatu yang menghalangi
mereka untuk saling memiliki, seolah-olah kenikmatan itu merupakan setangkai
bunga di depan mata, tinggal mengulur tangan memetiknya saja, dan keduanya
sudah saling mencinta dan sudah saling percaya, tidak ada halangannya untuk
saling menyerahkan diri lahir batin, mereka masih mampu mengatasi dorongan
nafsu mereka dan melihat kenyataan bahwa hal itu kurang baik dan bahwa sudah
sepatutnya kalau mereka menanti saja sudah menjadi bukti betapa teguh dan kokoh
kuat dasar batin kedua orang gagah ini, yang tidak mudah dimabok oleh nafsu
berahi!
Sambil bergandeng tangan mereka pergi
meninggalkan hutan itu dan dengan kecepatan luar biasa mereka menggunakan ilmu
berlari cepat mereka menuju ke barat untuk menyusul rombongan Syanti Dewi yang
dikawal oleh dua losin orang pasukan pengawal Jenderal Kao Liang.
Ketika mereka tiba di dekat dusun yang
dijadikan markas sementara oleh Hek-tiauw Lo-mo, di tengah jalan mereka
bertemu dengan Suma Kian Bu yang memimpin sepasukan yang terdiri dari belasan
orang, yaitu pasukan yang didapatnya dari Perdana Menteri. Pemuda ini setelah
behasil membantu Tek Hoat membakar ruangan dan membiarkan Tek Hoat menolong
Ceng Ceng, lalu melarikan diri ke kota raja dan dia pun pergi menemui Perdana
Menteri Su, menceritakan dan minta bantuan untuk menolong Ceng Ceng dan Topeng
Setan. Perdana Menteri Su dengan singkat menceritakan bahwa Syanti Dewi telah
ditolong Tek Hoat dan karena semua perbuatannya itu adalah di luar tahu istana,
maka perdana menteri yang bijaksana ini hanya dapat menyuruh pengawal-pengawal
pribadinya yang berjumlah lima belas orang untuk membantu Suma Kian Bu menolong
Ceng Ceng dan Topeng Setan.
Demikianlah, di tengah jalan mereka saling
bertemu. “Enci Milana! Gak-suheng!” Kian Bu berseru dengan girang bukan main
dan dia memegangi kedua tangan suheng dan encinya itu.
“Hemmm, ke mana saja engkau selama ini, Kian
Bu?” Milana bertanya.
Ditanya demikian, Kian Bu menundukkan muka
menyembunyikan perasaan jengah dan malunya. Tentu saja tidak mungkin dia
menceritakan pengalamannya dengan Hong Kui.
“Aku hanya merantau saja, Enci, akan tetapi
ada hal yang lebih penting untuk kalian ketahui dan kebetulan sekali aku
bertemu dengan kalian. Marilah kita pergi menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan
dan di perjalanan nanti kuceritakan semua kepada Ji-wi (Kalian Berdua).”
Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana terkejut
dan segera mengikuti adik itu melanjutkan perjalanan menuju ke dusun yang
dijadikan tempat tinggal Tambolon. Kian Bu telah mendengar penuturan dari
Perdana Menteri Su betapa Ceng Ceng masih ditawan oleh Tambolon menurut cerita
Tek Hoat dan Syanti Dewi, dan bahwa Tek Hoat sedang pergi untuk menolongnya.
Sedangkan Topeng Setan ditawan Hek-tiauw Lo-mo di dusun Nam-lim.
Dengan singkat namun jelas Kian Bu
menceritakan betapa dia bertemu dengan Tek Hoat dan dia membantu Tek Hoat untuk
membebaskan Ceng Ceng, kemudian dia pergi ke kota raja untuk minta bantuan.
“Hek-tiauw Lo-mo kuat sekali kedudukannya,
apalagi di dekat dusun Nam-lim itu terdapat pula rombongan Tambolon yang
dibantu oleh banyak orang pandai, di antaranya seorang nenek yang amat lihai
dan pandai ilmu sihir. Ternyata tadinya Puteri Syanti Dewi ditawan oleh
Tambolon dan telah diselamatkan oleh Tek Hoat dengan jalan menukarnya dengan
Ceng Ceng. Menurut Perdana Menteri Su, kini puteri itu telah dikawal oleh
pasukan Bhutan sendiri, kembali ke Bhutan.” Kian Bu menghentikan ceritanya karena
dia masih merasa terluka oleh penolakan cintanya terhadap puteri itu.
“Sungguh aneh sekali! Mengapa rombongan
Hek-tiauw Lo-mo dan rombongan Tambolon masih saja berkeliaran di sini? Dan
bagaimana pula Syanti Dewi yang dikawal oleh pasukan Jenderal Kao sampai
tertawan oleh rombongan Tambolon? Bagaimana pula cara Tek Hoat menukar tawanan
itu? Ah, pemuda itu ternyata hebat! Kembali dia telah menyelamatkan Syanti Dewi
dan kini dia seorang diri hendak menolong Ceng Ceng, sungguh berbahaya baginya.
Mari kita mempercepat perjalanan dan mendahului pasukan ini,” Bun Beng
berkata. Setelah berpesan kepada pasukan itu, Kian Bu lalu bersama Milana dan
Bun Beng menggunakan ilmu berlari cepat, meninggalkan pasukan dan mendahului
pergi ke sarang Tambolon di mana kabarnya Ceng Ceng menjadi tawanan raja liar
itu.
Akan tetapi ternyata rombongan itu tidak lagi
berada di situ. Seperti kita ketahui, akibat khasiat darah anak ular naga yang
diminumnya, Ceng Ceng dapat membebaskan diri sendiri dari tangan Tambolon dan kawan-kawannya,
dan rombongan raja liar ini pun lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk
melakukan pengejaran.
Karena dusun itu kosong, maka Bun Beng lalu
mengajak Milana dan Kian Bu untuk melanjutkan perjalanan ke Nam-lim. Kedatangan
tiga orang ini dengan pasukan pengawal di belakang mereka, telah diketahui oleh
anak buah Hek-tiauw Lo-mo yang cepat melapor kepada Ketua Pulau Neraka ini,
tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi terkejut sekali dan pada saat itu dia
melihat Topeng Setan sudah dapat membebaskan diri secara menggiriskan. Maka
timbullah akalnya untuk mengadu Topeng Setan dengan rombongan Puteri Milana.
Biarpun Ceng Ceng sudah tidak berada lagi di tahanan, akan tetapi kebebasan
dara ini belum diketahui oleh Topeng Setan dan karenanya dia masih dapat menipu
Topeng Setan dan memaksanya untuk membantunya dengan mengancam Ceng Ceng yang
sebenarnya sudah tidak ada lagi di situ.
***
Demikianlah mengapa Gak Bun Beng, Milana dan
Suma Kian Bu dapat muncul di tempat itu dan kini kita kembali kepada Topeng
Setan yang dihadapkan pada dua pilihan yang amat berat baginya. Sungguh berat
baginya untuk menghadapi rombongan Puteri Milana yang dihormati dan dipandang
tinggi itu, akan tetapi apa pun akan dilakukannya demi untuk menolong
keselamatan Ceng Ceng.
“Bagaimana, Topeng Setan? Apakah engkau lebih
ingin melihat kami membunuh gadis itu kemudian engkau melawan kami
mati-matian? Jangan mengira bahwa kami takut kepadamu. Kami hanya ingin
menarikmu sebagai kawan untuk menghadapi musuh-musuh yang kuat itu, dan
percayalah, aku pasti akan membebaskan engkau dan gadis itu kelak. Mereka
telah tiba di luar dan pergilah kau mengundurkan mereka.”
“Baik, akan tetapi awaslah engkau kalau
menipuku, Lo-mo!” teriak Topeng Setan yang kini juga sudah mendengar gerakan orang
di depan rumah itu. Dia meloncat keluar dan terus ke ruangan depan dan
tiba-tiba saja dia sudah berhadapan dengan Puteri Milana, Gak Bun Beng dan
Suma Kian Bu!
“Pergilah kalian dari sini....! Ah, pergilah
segera....!” Topeng Setan berkata sambil melambai-lambaikan tangannya memberi
isyarat agar supaya mereka itu pergi dari situ.
“Topeng Setan, kami datang justeru untuk
menolong.... engkau dan Ceng Ceng....” Suma Kian Bu berkata.
“Tidak...., tidak....! Lekas kalian pergi dari
sini, lekas....!” kembali Topeng Setan berseru dengan kacau karena memang
hatinya kacau-balau tidak karuan menghadapi keadaan gawat yang mengancam
keselamatan Ceng Ceng itu.
Milana dan Gak Bun Beng hanya pernah
mendengar nama Topeng Setan, akan tetapi mereka baru sekarang melihat orangnya.
Bagi kedua orang pendekar besar ini, orang yang menyembunyikan mukanya di balik
topeng sudah menunjukkan ketidakjujuran orang itu, maka topeng itu saja sudah
mendatangkan kesan yang kurang baik bagi mereka.
“Topeng Setan atau siapa pun adanya engkau.
Mundurlah dan kami datang untuk membebaskan Ceng Ceng!”
“Tidak.... tidak.... Paduka saja mundurlah.
Dan harap jangan mencampuri urusan kami berdua dengan Hek-tiauw Lo-mo!”
Milana menjadi marah. Biarpun satu kali dia
pernah melihat Topeng Setan ini dan biarpun dia sudah mendengar bahwa orang ini
adalah pembantunya Ceng Ceng, namun sikapnya sekarang amat mencurigakan karena
agaknya membela Hek-tiauw Lo-mo.
“Manusia sombong, agaknya engkau telah
berkhianat dan memihak Hek-tiauw Lo-mo. Minggir....!” Milana maju dan mendorong
Topeng Setan agar ke pinggir akan tetapi Topeng Setan menggerakkan tangan
kanannya menangkis.
“Desss....!” Milana terlempar hampir jatuh
oleh tangkisan itu, baiknya Bun Beng cepat menyambar lengannya. Milana dan Bun
Beng terkejut bukan main. Apalagi Milana. Wanita perkasa ini tadi sudah
mengerahkan seluruh tenaganya karena dia dapat menduga bahwa Topeng Setan ini
memiliki kepandaian hebat, namun dia terlempar oleh tangkisan itu. Sungguh
hebat orang ini.
Hek-tiauw Lo-mo, pembantunya yang utama Ji
Song, dan Mauw Siauw Moli juga kaget bukan main melihat betapa Topeng Setan
dapat menangkis dan membuat puteri yang mereka segani dan takuti itu
terlempar! Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang melihat Suma Kian
Bu muncul bersama Milana dan Gak Bun Beng menjadi girang dan juga khawatir.
“Kian Bu....!” Dia berseru memanggil akan
tetapi pemuda itu sudah cepat melompat ke belakang dan menghilang karena dia
merasa malu sekali kalau sampai wanita cantik yang membuat dia mabuk dan lupa
daratan, membuat dia tenggelam dalam permainan cinta dan nafsu berahi, akan
membuka rahasia yang memalukan di depan encinya dan suhengnya.
Pada saat itu, Milana sudah menjadi marah
bukan main. “Kau mundurlah, biar aku menghadapinya,” kata Bun Beng, akan tetapi
Milana yang sudah penasaran itu membantah.
“Biar aku mencobanya sekali lagi!”
Puteri Milana sudah mengerahkan tenaga sakti
dari Pulau Es, yaitu tenaga Swat-im Sin-kang. Setelah mengerahkan tenaga
mujijat ini, tangan puteri itu kelihatan mengkilap kebiruan dan di ruangan itu
menyambar hawa yang amat dingin!
Topeng Setan maklum bahwa puteri ini memiliki
ilmu kepandaian yang amat hebat, maka dia pun terpaksa mengerahkan ilmunya
yang mujijat, yang baru saja dikuasainya, yaitu tenaga Sin-liong-hok-te.
Tubuhnya memasang kuda-kuda rendah sekali, hampir menelungkup, lengan kanannya
lurus ke depan dengan jari-jari tangan membentuk kepala ular, tubuhnya kaku
kejang dan anehnya, lengan kiri yang hanya tinggal lengan bajunya yang kosong
itu seolah-olah “hidup”, dapat bergerak-gerak lurus ke belakang dan
kopat-kapit seperti ekor naga!
“Pergi!” Milana membentak dan wanita ini sudah
mendorong dengan lengan tangannya. Hawa yang amat dingin menyambar ke arah
Topeng Setan. Pukulan yang didasari tenaga Swat-im Sin-kang ini hebat dan
dahsyat bukan main. Dengan ilmu ini yang sudah sampai di puncaknya, air pun
terkena hawa pukulan ini akan menjadi beku!
Topeng Setan memapaki dengan lengan kanannya
dalam tangkisan yang dahsyat pula.
“Desss....!” Kembali tubuh Milana terlempar ke
belakang sedangkan Topeng Setan hanya melangkah mundur dua langkah saja. Dan
kembali Gak Bun Beng yang menyambar lengan Milana. Sekali ini Milana tidak
banyak membantah ketika Bun Beng yang maju menghadapi Topeng Setan.
Hek-tiauw Lo-mo dan para pembantunya
memandang heran dan terkejut, akan tetapi juga girang bahwa “pembantu” mereka
itu dapat menolong mereka menghadapi para lawan yang tangguh itu. Diam-diam
Hek-tiauw Lo-mo memberi isyarat kepada sumoinya dan kepada para pembantu dan
anak buahnya dan diam-diam mereka itu mundur ke dalam. Mereka hendak
mempergunakan kesempatan selagi para musuh sibuk menghadapi Topeng Setan yang
hebat itu untuk meloloskan diri karena mereka merasa tidak akan menguntungkan
kalau melawan pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Puteri Milana.
Gak Bun Beng memandang tajam dan dengan penuh
keheranan. Selama hidupnya yang penuh dengan pengalaman dan pertempuran
melawan orang-orang pandai, tokoh-tokoh sesat dari seluruh dunia persilatan
belum pernah dia bertemu dengan orang yang menggunakan ilmu pukulan semacam
yang diperlihatkan Topeng Setan ini. Penghimpunan sin-kang dengan tubuh
merendah hampir menelungkup itu! Dia sendiri pernah melatih diri di bawah pimpinan
Bu-tek Siauw-jin tokoh besar di Pulau Neraka dengan sin-kang mujijat yang
dinamakan Tenaga Sakti Inti Bumi, yang juga pengerahan tenaganya dilakukan
dengan menelungkup di atas tanah, akan tetapi sungguh berbeda lagi dengan yang
diperlihatkan Topeng Setan tadi. Apalagi gerakan ilmu silat yang aneh itu,
lengan kanan seperti kepala ular dan lengan buntung diwakili lengan baju
seperti ekor naga, sungguh amat mengerikan dan hebat. Kalau sin-kang Si Topeng
Setan mampu menandingi Swat-im-sin-kang, sungguh amat luar biasa. Biarpun dia
tahu bahwa Milana belum mencapai kesempurnaan dalam latihan Swat-im Sin-kang,
namun tingkat wanita ini amat tinggi dan sukar mencari tandingannya.
“Kau agaknya berkeras hendak membela
Hek-tiauw Lo-mo!” kata Gak Bun Beng. “Terpaksa aku pun harus menggunakan
kekerasan.”
“Harap.... harap Taihiap mundur saja....”
Topeng Setan berkata dengan cemas.
“Aku tidak tahu apa yang memaksamu, akan
tetapi jelas engkau membela musuh, maka terpaksa aku akan berusaha
menyingkirkanmu!” Bun Beng kini mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang di
tangan kanannya, tenaga ini sudah dia perkuat dengan tenaga sakti Inti Bumi
sehingga lengan kanannya itu kelihatan merah membara seperti baja yang
terbakar api dan mengeluarkan uap. Hawa di sekitarnya menjadi panas sekali
sehingga para pengawal yang sudah tiba di situ, tidak berani mendekat saking
panasnya.
Topeng Setan terkejut bukan main, maklum bahwa
dia berhadapan dengan seorang yang benar-benar sakti, akan tetapi karena dia
harus melindungi keselamatan Ceng Ceng, dia tidak gentar dan kalau perlu dia
akan mempertaruhkan nyawanya. Gak Bun Beng mengeluarkan pekik melengking dan
tubuhnya sudah menerjang ke depan, menggunakan tangan kanan dengan jari terbuka
untuk menghantam. Serangkum hawa panas sekali menyambar dan Topeng Setan
terpaksa menyambutnya dengan telapak tangan kanannya, seperti tadi tubuhnya
mengambil posisi rendah dan lengan baju kirinya tergerak-gerak di belakangnya
seperti mengatur keseimbangan.
“Blarrr....!”
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti di
udara ini, terasa oleh semua orang, bahkan beberapa orang pengawal yang sudah
menonton dari jarak jauh ada yang terpental. Topeng Setan berseru keras dan
pada saat kedua tangan bertemu tadi, kakinya melangkah ke belakang, akan tetapi
tiba-tiba “ekor naga” yang berupa lengan baju kirinya itu menyambar, tubuhnya
miring.
“Pyarrr....!” Bun Beng terkejut dan masih
sempat menangkis, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan
Topeng Setan juga terhuyung ke belakang dengan muka pucat akibat pertemuan
tenaga sakti yang pertama tadi.
Topeng Setan memandang dengan mata terbelalak.
Dia maklum bahwa dia sudah berhasil menguasai Ilmu Tenaga Sakti
Sin-liong-hok-te, biarpun belum sesempurna gurunya, namun ilmu ini hebat sekali
dan menurut gurunya, jarang ada orang di dunia yang akan mampu melawannya. Akan
tetapi siapa kira, baru saja dia berkesempatan mempergunakan ilmu yang dahsyat
ini, dia telah menemui lawan yang begini hebat.
Di lain pihak, Gak Bun Beng juga memandang
dengan mata terbelalak dan jantung berdebar keras. Baru sekarang dia bertemu
dengan lawan yang hebat, yang dapat mengimbangi kepandaiannya. Seolah-olah dia
melihat tokoh-tokoh besar seperti Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua
tokoh Pulau Neraka itu, hidup lagi! Topeng Setan ini merupakan orang yang
kepandaiannya sukar ditandingi. Padahal dia sudah menggembleng dirinya dan
pukulannya tadi adalah pukulan yang didasari persatuan tenaga Hwi-yang Sin-kang
dan Inti Bumi. Kiranya di dunia ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan
saja yang akan mampu menahan pukulannya, di samping tentu saja orang sakti
seperti Pendekar Super Sakti, akan tetapi orang bertopeng ini mampu menahan
bahkan membalas dan membuat dia terhuyung.
Sejenak keduanya saling pandang dengan mata
terbelalak, seperti dua ekor ayam jago yang berlagak sebelum saling gempur,
berdiri saling pandang dan saling taksir. Tiba-tiba Bun Beng mengeluarkan suara
melengking tinggi dan pendekar sakti ini sudah bergerak menyerang. Topeng Setan
yang sudah memasang kuda-kuda Sin-liong-hok-te menyambut dan bertempurlah
kedua orang itu.
Karena dia yakin bahwa lawannya ini memang
dahsyat sekali dan tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi daripadanya, maka
Topeng Setan tidak berani mainkan lain ilmu silat kecuali yang baru saja
dikuasainya, yaitu Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat yang sejak dahulu memang
sudah dihafalnya benar akan tetapi baru sekarang dia kuasai. Pula, ilmu inilah
satu-satunya ilmu silat tinggi yang dikenalnya, yang cocok dimainkan dengan
lengan tunggal, sedangkan ilmu silatnya yang lain, dahulu dilatihnya dengan
sepasang lengan sehingga tentu sekarang menjadi canggung kalau dia mainkan
dengan lengan tunggal.
Sementara itu, menghadapi serangan-serangan
yang aneh dari lengan kanan dan “ekor” berupa lengan baju kiri itu, Gak Bun
Beng mainkan ilmu silat Kong-jiu-jip-tin (Dengan Tangan Kosong Memasuki
Barisan) sambil mengerahkan tenaga saktinya berganti-ganti kadang-kadang dengan
Hwi-yang Sin-kang, kadang-kadang dengan Swat-im Sin-kang yang amat dingin.
Akhirnya Topeng Setan harus mengakui
keunggulan Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Dan diam-diam Bun Beng juga harus
mengakui bahwa kalau saja Topeng Setan tidak sedang terluka hebat, dan kalau
saja ilmu silat aneh itu sudah dikuasainya benar, sudah terlatih matang dan
banyak dipakai menghadapi orang pandai dalam pertempuran, belum tentu dia akan
dapat menang dengan mudah! Kini Topeng Setan terhuyung dan terdesak hebat,
agaknya sebentar lagi akan roboh. Topeng Setan merasa heran sekali mengapa
Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li tidak membantunya, padahal kedua orang itu
memiliki kepandaian hebat pula dan kalau membantunya, belum tentu dia sampai
terdesak seperti ini. Ketika sebuah hantaman yang biarpun sudah ditangkisnya
membuat dia terlempar ke belakang, dia menengok dan.... dia tidak melihat
mereka. Terkejutlah dia. Celaka, pikirnya, siapa tahu dia ditipu oleh orang
Pulau Neraka itu.
“Tahan dulu....!” teriaknya ketika Gak Bun
Beng mendesak maju. Napasnya sudah terengah-engah dan keringatnya bercucuran.
“Taihiap....! Puteri....! Tolonglah.... harap jangan serbu Hek-tiauw Lo-mo
karena.... karena Ceng Ceng mereka jadikan sandera. Mereka akan membunuh Ceng
Ceng kalau saya tidak melawan Ji-wi, maka terpaksa saya melawan agar Ceng Ceng
dibebaskan....”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan,
“Paman....! Kau sudah mati-matian membelaku....! Aku telah dapat lolos,
Paman....!” Kemudian dia membalik, menghadapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana
dengan kedua tangan terkepal. “Paman Gak Bun Beng dan.... Bibi Puteri Milana!
Kalau kalian melanjutkan mendesak dan menyerang Paman Topeng Setan, terpaksa
aku akan menantang kalian!”
“Hushhh.... Ceng Ceng, jangan kurang ajar kau
terhadap mereka. Gak-taihiap, celaka, kita telah diadu domba dan ditipu oleh
Hek-tiauw Lo-mo!” kata Topeng Setan.
Akan tetapi Ceng Ceng yang kegirangan melihat
Topeng Setan tidak mati seperti dikhawatirkannya itu, sudah lari dan menubruk,
merangkulnya dengan penuh kebanggaan dan kegirangan. Lagi-lagi dalam keadaan seperti
itu, Topeng Setan telah memperlihatkan kemuliaan hatinya terhadap dia, telah
membelanya mati-matian, bahkan sampai berani melawan Gak Bun Beng yang
demikian sakti karena dia ditekan oleh Hek-tiauw Lo-mo yang mengancam hendak
membunuhnya kalau Si Buruk Rupa ini tidak melawan Gak Bun Beng. Dia baru saja
tiba dan selagi dia terheran-heran dan kebingungan menyaksikan Topeng Setan
bertanding sedemikian hebatnya dengan Gak Bun Beng, dia mendengar ucapan Topeng
Setan itu maka dia lalu berteriak dan muncul memperlihatkan diri.
“Syukur engkau telah bebas pula, Paman.
Betapa aku amat mengkhawatirkan dirimu, Paman....” katanya.
“Dan kau.... bagaimana kau dapat bebas, Ceng
Ceng?” Topeng Setan bertanya dan mereka lalu bicara dengan asyik, tanpa
mempedulikan Milana dan Gak Bun Beng yang sudah menerjang ke dalam. Akan tetapi
rumah itu sudah kosong sama sekali dan di belakang mereka berjumpa dengan Suma
Kian Bu.
“Eh, kau tadi ke mana, Bu-te?” tanya Milana
terheran-heran. Baru sekarang dia teringat bahwa adiknya ini tidak nampak
ketika mereka bertanding melawan Topeng Setan.
“Aku.... aku tadinya menyelinap ke belakang
untuk menolong Ceng Ceng, kiranya Ceng Ceng tidak ada dan mereka semua telah
melarikan diri,” jawab Suma Kian Bu yang sebenarnya menghindarkan diri dari
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui.
Mereka semua lalu mencari-cari, mengejar ke
sana-sini dan mengerahkan belasan orang pengawal, namun hasilnya sia-sia
belaka. Hek-tiauw Lo-mo dan kawan-kawannya sudah melarikan diri entah ke mana,
menggunakan kesempatan selagi Milana dan Gak Bun Beng sibuk bertempur melawan
Topeng Setan tadi. Terpaksa mereka kembali ke tempat tadi dan melihat Topeng
Setan dan Ceng Ceng masih bercakap-cakap dengan asyik sekali.
“Orang itu hebat, entah siapa dia....”
Diam-diam Gak Bun Beng berbisik kepada Milana dan wanita perkasa itu
mengangguk menyetujui.
“Tapi dia benar-benar setia, agaknya dia
mencinta Ceng Ceng....” bisiknya kembali dan biarpun tidak yakin akan hal ini,
Gak Bun Beng juga mengangguk. Baginya, tanpa melihat wajah Si Kedok itu,
bagaimana dia bisa menduga isi hati orang? Akan tetapi, dalam hal asmara memang
wanita lebih halus perasaannya.
Melihat kedatangan mereka, Ceng Ceng lalu
bertanya kepada Milana, “Bibi Puteri Milana, bagaimana dengan Syanti Dewi? Di
mana Kakak Syanti?”
Yang menjawabnya adalah Suma Kian Bu, “Menurut
penuturan Perdana Menteri Su, puteri itu kini telah dikawal oleh para utusan
Bhutan sendiri kembali ke negaranya....”
“Ah....! Kiranya dia bermain curang....!”
Ceng Ceng berseru.
“Siapa?”
“Ang Tek Hoat. Dia menolongku dari tahanan di
sini, akan tetapi dia membawaku, dan menukarkan aku dengan Enci Syanti yang
tadinya tertawan oleh Tambolon. Untung aku dapat meloloskan diri....” Dia
tidak menceritakan kepada orang lain kecuali kepada Topeng Setan tadi betapa
dia secara aneh dan tiba-tiba memiliki tenaga mujijat yang amat dahsyat itu.
Selagi mereka bercakap-cakap, datang
serombongan pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang! Begitu tiba di situ
dan melihat Ceng Ceng, jenderal ini menjadi girang sekali.
“Ceng Ceng.... ahhh, Nona yang baik....!
Ternyata benar engkau masih hidup....!” Dengan suara serak karena terharunya
dia menghampiri Ceng Ceng dan memeluknya seperti memeluk anaknya sendiri.
“Banyak yang mengatakan bahwa kau masih hidup, akan tetapi sukar bagiku untuk
percaya setelah melihat kau terjerumus ke dalam sumur maut! Aihhh, betapa
bahagia rasa hatiku dapat bertemu denganmu!”
Ceng Ceng segera memberi hormat dan hatinya
terharu sekali. Jenderal ini merupakan satu di antara orang-orang di dunia ini
yang amat baik kepadanya.
“Paman, inilah dia Paman Jenderal Kao Liang
yang sering kuceritakan kepadamu, seorang yang amat mulia hatinya!” katanya
kepada Topeng Setan memperkenalkan.
Jenderal Kao Liang terkejut sekali melihat
orang yang bertopeng seperti setan dan amat buruk, lagi lengannya
buntung sebelah itu. “Siapa.... siapa dia....?”
Gak Bun Beng yang menerangkan, “Goanswe, dia
adalah Topeng Setan yang amat terkenal, yang menjadi pembantu dan pengawal Ceng
Ceng, akan tetapi ternyata ilmu kepandaiannya hebat bukan main, saya sendiri
sampai kewalahan dibuatnya!” Dengan singkat pendekar ini menuturkan kepada
Jenderal Kao tentang peristiwa tadi. Sang Jenderal mengangguk-angguk, kagum
memandang ke arah Topeng Setan yang hanya menunduk.
“Selama orang-orang jahat itu masih
berkeliaran, negara tidak akan aman,” katanya. “Setelah kini pemberontakan
dapat terbasmi, para kaki tangan pemberontak harus dibersihkan karena jelas
bahwa mereka tidak mau insyaf dan melanjutkan kejahatan mereka. Saya akan
mengerahkan semua kekuatan untuk membasmi mereka.” Lalu kepada Ceng Ceng dia
berkata, “Harap kau suka ikut bersamaku dan singgah di rumahku karena banyak
hal yang harus kubicarakan denganmu, anak yang baik.”
Ceng Ceng menoleh kepada Topeng Setan yang
masih menunduk saja, hatinya bimbang karena dia tidak mau berpisah lagi dari
Topeng Setan, akan tetapi menolak permintaan jenderal yang amat baik hati itu
pun dia merasa tidak enak.
Melihat keraguan Ceng Ceng, jenderal yang gagah
perkasa dan berwatak jujur itu lalu tertawa dan dengan suara lantang berkata,
“Anak Ceng, biarlah disaksikan oleh para tokoh perkasa di sini, bahkan oleh
Puteri Milana yang masih terhitung bibi luarmu, aku mengundangmu untuk
membicarakan soal perjodohan! Aku ingin sekali mengambil engkau sebagai
mantuku, Ceng Ceng!”
Puteri Milana terbelalak, lalu tersenyum dan
mengangguk-angguk setuju, sedangkan Gak Bun Beng juga tersenyum. Dia sudah
mendengar bahwa putera sulung jenderal ini, yang tadinya lenyap, kini telah
pulang dan telah menjadi seorang pemuda yang amat lihai dan telah membantu
pelaksanaan penghancuran para pemberontak. Biarpun dia sendiri tidak mengenal
pemuda itu, namun melihat Jenderal Kao, seorang yang dia ketahui betul sifat
dan keadaannya, amat baiklah kalau gadis yang gagah ini menjadi mantu jenderal
itu.
Akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng berseru
keras, “Eh, Paman....! Paman Topeng Setan, kautunggu aku....!”
Semua orang menoleh dan melihat bahwa Topeng
Setan telah pergi dari situ tanpa pamit lagi. Mendengar teriakan Ceng Ceng, dia
hanya menoleh sebentar, lalu melangkah pergi lagi tanpa mengeluarkan
kata-kata.
“Paman Jenderal Kao, harap suka maafkan saya.
Biarlah lain kali saja saya pergi mengunjungi rumah Paman untuk menghaturkan terima
kasih. Paman Gak, Bibi Puteri, maafkan saya....!” Ceng Ceng lalu berlari cepat
mengejar Topeng Setan yang sudah agak jauh. Semua orang memandang ketika dara
itu berhasil menyusul Topeng Setan dan mereka berdua itu berjalan berdampingan
sambil bercakap-cakap. Sungguh pasangan yang sama sekali tidak patut dan berat
sebelah!
Jenderal Kao Liang menggosok-gosok dagunya,
mengelus jenggot dengan hati penasaran dan kecewa. “Sungguh manusia aneh Topeng
Setan itu....”
“Akan tetapi kesetiaannya terhadap dara itu
tidak perlu diragukan lagi, Kao-goanswe. Karena itu tenangkanlah hatimu, dara
itu tidak akan dibiarkan mengalami malapetaka.”
Jenderal Kao Liang dan pasukannya lalu
melanjutkan perjalanan untuk mencari dan membasmi kaki tangan bekas
pemberontak yang masih berkeliaran, sedangkan Gak Bun Beng dan Puteri Milana
melanjutkan perjalanan mereka untuk mengejar rombongan Syanti Dewi untuk
melindunginya.
“Bu-te, aku dan Gak-suheng akan mengantarnya
sampai ke Bhutan. Kau sebaiknya pulang dulu ke Pulau Es dan ceritakan semua
yang telah terjadi kepada Ayah dan Ibu dan katakan bahwa setelah mengantar
Syanti Dewi ke Bhutan, kami berdua akan pergi ke Pulau Es menghadap Ayah dan
Ibu.”
Kian Bu hanya mengangguk, akan tetapi setelah
semua orang pergi, dia tidak menuju ke Pulau Es, sebaliknya dia pun menuju ke
barat karena dia ingin mencari kakaknya, Suma Kian Lee yang tidak diketahuinya
ke mana perginya itu. Juga dia masih perlu waktu panjang untuk memulihkan
perasaannya yang terguncang karena dia malu dan menyesal akan semua
perbuatannya bersama dengan Mauw Siauw Mo-li. Kini baru dia insyaf betapa dia
telah terpikat oleh wanita yang hina, seorang datuk kaum sesat yang gila
laki-laki. Sungguh dia merasa menyesal sekali kepada dirinya sendiri yang
dianggap amat lemah dan mudah jatuh oleh kecantikan wanita.
***
Kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu
berjalan dengan tenang melalui lembah pegunungan, dikawal oleh tiga puluh enam
orang yang kelihatan gagah perkasa, kesemuanya menunggang kuda dan biarpun mereka
berpakaian seperti orang-orang biasa, bukan pakaian seragam piauwsu (pengawal
barang), namun dari cara mereka menunggang kuda, duduk dengan tegak dan kuda
mereka teratur rapi di belakang dan di depan kereta, dapat diduga bahwa
mereka itu adalah orang-orang yang biasa berbaris dengan kuda dan mengenal
disiplin. Pemimpinnya, seorang laki-laki tinggi besar dengan kumis dan jenggot
pendek rapi, kelihatan gagah sekali dan mereka melanjutkan perjalanan berkuda
itu menuju ke barat tanpa banyak kata-kata. Kereta itu sendiri amat besar,
tidak seperti kereta biasa, agaknya kereta yang khusus dibuat untuk keperluan
itu. Panjang kereta dua kali panjang kereta biasa, maka penariknya adalah
empat ekor kuda, tidak dua ekor seperti biasa kalau hanya menarik penumpang.
Di bagian paling belakang dari rombongan itu terdapat seekor kuda menarik
sebuah kereta kecil yang terisi barang-barang perbekalan mereka.
Orang-orang yang kelihatan gagah itu ternyata
dapat bekerja sama dengan cepat dan setiap kali jalan terlalu mendaki sehingga
empat ekor kuda yang menarik kereta besar itu kelihatan payah, mereka lalu
langsung meloncat turun dan beberapa orang ikut mendorrong roda kereta sehingga
kereta itu dapat mendaki dengan lancar dan perjalanan tidak perlu dihentikan. Biarpun
mereka tidak tergesa-gesa, namun perjalanan itu tidak pernah berhenti kecuali
kalau hendak makan atau bermalam di tengah perjalanan.
Pagi hari itu amat cerah. Jalan yang dilalui
rombongan itu pun datar sehingga kuda mereka berlari congklang dan kereta
bergerak lancar. Suara derap kaki kuda menimbulkan bunyi irama yang lucu dan
menggembirakan, dan barisan kuda itu akhirnya memasuki sebuah hutan kecil yang
mulai diterobos sinar matahari pagi yang membangunkan semua binatang penghuni
hutan. Beberapa ekor kelinci dan tikus lari berserabutan melintasi jalan dan
menyelinap ke balik semak-semak ketika rombongan itu tiba. Burung-burung
terbang ketakutan dari pohon-pohon di kanan kiri jalan. Kuda-kuda mereka
agaknya merasa gembira pula tiba di dalam hutan di antara pohon-pohon dan
daun-daun segar. Beberapa di antara mereka meringkik dan mendengus, agaknya bau
daun-daunan dan tanah yang sedap menimbulkan gairah dan kegembiraan mereka.
Tentu saja jauh bedanya dengan bau pengap di kota-kota dan dusun-dusun yang
penuh manusia.
Akan tetapi, selagi rombongan yang terdiri
dari tiga puluh enam orang termasuk kusir kereta dan komandan rombongan itu
menjalankan kuda dengan hati tenang gembira, tiba-tiba terdengar bunyi
berdesing dan tahu-tahu tiga batang tombak menancap di tengah jalan di depan
Si Pemimpin. Cepat pemimpin rombongan ini menahan kudanya, mengangkat tangan
kiri memberi tanda agar rombongan itu berhenti. Kemudian beberapa orang
pembantunya melarikan kuda dari belakang ke depan dan lima orang pemimpin
rombongan yang berkuda itu berjajar memenuhi jalan sambil memandang ke arah
tiga batang tombak yang masih menggetar di atas tanah itu.
Mereka menyangka bahwa tentu ada
perampok-perampok yang “bosan hidup” berani menghadang mereka. Akan tetapi ketika
dari balik pohon-pohon besar muncul seorang kakek tinggi besar bersama seorang
wanita cantik dan di belakang mereka terdapat belasan orang yang dipimpin oleh
seorang kakek gendut tinggi besar, rombongan berkuda ini menjadi terkejut
sekali. Andaikata benar mereka itu perampok, tentu bukan perampok-perampok
sembarangan. Orang-orang yang datang bersama kakek tinggi besar itu adalah
orang-orang yang berwajah menyeramkan sekali, seperti setan-setan karena wajah
mereka itu samar-samar masih membayangkan warna-warna bermacam-macam, ada yang
kehijauan dan ada yang kemerahan!
“Haii, rombongan yang melakukan perjalanan,
jangan kalian takut, kami bukan perampok. Ketahuilah, kami adalah orang-orang
Pulau Neraka dan aku adalah Hek-tiauw Lo-mo. Hayo kalian turun dari kuda,
berikan kereta itu untukku dan berikan kepada anak buahku masing-masing seekor
kuda dan kami tidak akan membunuh kalian.”
Rombongan itu belum pernah mendengar tentang
Pulau Neraka atau Hek-tiauw Lo-mo maka tentu saja mereka menjadi marah mendengar
ucapan yang bernada sombong itu. Apalagi harus menyerahkan kereta yang
dikawalnya dengan rapi, tentu saja mereka tidak sudi melaksanakan permintaan
ini.
Pemimpin rombongan lalu berkata, suaranya
tegas dan bernada keras, “Hek-tiauw Lo-mo, kami serombongan pelancong tidak
mempunyai permusuhan dengan kalian, maka harap kalian jangan mengganggu kami.
Kuda dan kereta ini kami butuhkan sekali untuk melanjutkan perjalanan kami.
Akan tetapi penolakan kami bukan berarti bahwa kami pelit. Nah, sedikit emas
dan perak ini kiranya cukup bagi kalian untuk membeli kuda!” Setelah berkata
demikian, pemimpin rombongan itu melemparkan sebuah kantung kecil ke arah
Hek-tiauw Lo-mo! Kakek ini menerimanya dan merobeknya, sehingga isinya yang
berupa potongan-potongan emas dan perak berhamburan ke atas tanah.
“Ha-ha-ha, ada orang berani memberi sedekah
kepada Hek-tiauw Lo-mo. Penghinaan ini selama hidupku belum pernah kuterima.
Ji Song, hajar mereka!” Perintahnya kepada pembantunya yang selama ini tidak
pernah ketinggalan memimpin para anak buahnya. Ji Song, kakek gendut tinggi
besar, segera berteriak memberi aba-aba dan majulah belasan orang anak buah
Pulau Neraka itu menyerbu.
Akan tetapi pemimpin rombongan itu pun memberi
aba-aba dan bagaikan perajurit-perajurit yang terlatih baik, para anak buahnya
juga meloncat dari atas kuda dan menyambut serbuan itu sehingga terjadilah
pertempuran yang seru. Akan tetapi betapa kaget hati pemimpin itu menyaksikan
kehebatan pihak lawan, terutama kakek gendut tinggi besar. Maka dia sendiri
bersama empat orang pembantunya lalu meloncat turun dan disambut oleh wanita
cantik itu sambil tertawa-tawa. Wanita cantik itu bukan lain adalah Mauw Siauw
Mo-li! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Hek-tiauw Lo-mo yang telah kehilangan
Ceng Ceng, menggunakan siasat adu domba ketika dia diserbu oleh pasukan
pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng, dan menggunakan
kesempatan selagi Topeng Setan melayani mereka, dia mengajak sumoinya itu dan
semua anak buahnya untuk meloloskan diri.
Mauw Siauw Mo-li penasaran sekali karena
kehilangan Kian Bu, pemuda yang amat memuaskan hatinya itu, sedangkan Hek-tiauw
Lo-mo penasaran karena kehilangan Ceng Ceng. Mereka terus mencari ke barat dan
di hutan itu mereka bertemu dengan rombongan berkuda itu yang hendak mereka
rampas kereta dan kudanya agar perjalanan mereka lebih lancar dan cepat.
Biarpun dikeroyok oleh lima orang pimpinan
rombongan itu, Mauw Siauw Mo-li masih melayani seenaknya saja. Untung bahwa
lima orang pemimpin rombongan itu adalah laki-laki yang gagah perkasa dan
rata-rata berwajah tampan menarik. Laki-laki muda tampan dan menarik merupakan
kelemahan Mauw Siauw Mo-li sehingga hati wanita ini tidak tega untuk membunuh
mereka. Dia hanya mempermainkan mereka, menangkis senjata mereka dengan
pedangnya yang bersinar hijau, sedangkan jari-jari tangan kirinya tidak
hentinya mencolek sana-sini di tubuh kelima orang lawannya itu sambil
mengeluarkan kata-kata pujian yang membuat lima orang itu terkejut, terheran,
akan tetapi juga menjadi muak.
“Hemm, Sumoi, apakah pada saat begini sudah
kumat lagi penyakitmu gila laki-laki? Hayo kaubunuh mereka agar lebih cepat
urusan ini beres!” teriak Hek-tiauw Lo-mo yang duduk di bawah pohon menonton
pertempuran. Dia sendiri merasa terlalu tinggi untuk melayani orang-orang yang
kepandaiannya tidak berapa tinggi itu dan dia mendongkol menyaksikan sumoinya
yang mempermainkan lima orang lawannya.
“Hi-hi-hik, baiklah, Suheng. Wah, sayang
sekali, aku terpaksa harus merobohkan kalian, orang-orang ganteng!” Mauw Siauw
Mo-li tertawa dan pedangnya lalu berubah berkelebatan menjadi gulungan sinar
hijau yang amat cepat. Lima orang lawannya terkejut sekali dan mereka pun
menggerakkan senjata mereka untuk membela diri, akan tetapi biarpun mereka
sama sekali tidak dapat menyerang dan hanya mempertahankan diri, tetap saja
mereka terhimpit dan terdesak hebat oleh sinar hijau itu dan agaknya
pertahanan mereka tidak akan berlangsung lama.
Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat
terjun ke medan pertempuran ini, didahului sinar yang seperti halilintar
menyitaukan mata.
“Cringgg.... trakkkk!”
Mauw Siauw Mo-li mengeluarkan pekik kaget
ketika pedangnya yang bersinar hijau itu disambar oleh sinar kilat itu dan
ternyata ujung pedangnya yang merupakan pedang pusaka ampuh itu telah patah!
Ketika dia yang telah meloncat mundur memandang ke depan, kiranya di depannya
telah berdiri seorang pemuda tampan gagah yang dikenalnya baik karena pemuda
ini bukan lain adalah Tek Hoat!Setelah pemuda itu menyerahkan Syanti Dewi
kepada Perdana Menteri Su, hatinya lega bukan main karena kekasih hatinya itu
telah berada dalam keadaan aman. Barulah dia teringat akan Ceng Ceng dan Topeng
Setan. Dia suka sekali kepada Ceng Ceng dan agaknya akan mudah baginya untuk
jatuh cinta kepada gadis itu andaikata tidak ada Syanti Dewi di dunia ini. Maka
setelah meninggalkan istana Perdana Menteri, dia bergegas keluar dari kota
raja dan kembali ke tempat Tambolon di sebelah selatan untuk menolong gadis
itu. Diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau dia akan terlambat. Dan
ketika dia tiba di tempat itu, ternyata bahwa Tambolon dan kawan-kawannya telah
pergi dan demikian pula Ceng Ceng, entah pergi ke mana, entah lolos ataukah
dibawa pergi oleh Tambolon. Maka ia menjadi gelisah juga dan dia cepat pergi ke
dusun Nam-lim untuk menolong Topeng Setan. Akan tetapi dusun bekas sarang kaum
sesat ini pun telah kosong!
Terpaksa dia lalu meninggalkan tempat itu dan
secepatnya dia menuju ke barat, karena dia dapat menduga bahwa tentu Syanti
Dewi akan dikawal dan dipulangkan ke Bhutan maka sebaiknya kalau dia
mengamat-amati dari jauh. Demikianlah, pada pagi hari itu dia melihat
Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li mencegat rombongan berkuda, dan melihat
orang-orang yang menjadi musuhnya ini sekarang, orang-orang yang telah
menangkap Topeng Setan dan Ceng Ceng, dia menjadi marah dan tanpa mengetahui
siapa mereka yang didesak oleh Mauw Siauw Mo-li, dia sudah mencabut
Cui-beng-kiam dan sekali tangkis dia telah mematahkan ujung pedang sinar hijau
di tangan Siluman Kucing itu.
“Eh, kau.... bocah tampan? Kau di sini....?
Kenapa kau melawan aku?” Mauw Siauw Mo-li menegur, setengah marah karena
kerusakan pedangnya, akan tetapi juga girang karena sejak dahulu dia ada hati
terhadap pemuda tampan itu yang dahulu merupakan tangan kanan dari Pangeran
Liong Khi Ong.
Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat
ke depan dan menghadapi Tek Hoat dengan alis berkerut. “Bocah lancang! Kenapa
engkau mencampuri urusanku? Hayo minggat, sebelum aku marah dan membunuhmu!”
Kalau saja Hek-tiauw Lo-mo tidak bersikap
kasar dan bicara dengan baik, agaknya Tek Hoat yang tidak mengenal rombongan
itu akan merasa sungkan untuk mencampuri dan akan pergi. Akan tetapi entah
mengapa, semenjak dia bertemu dengan Syanti Dewi dan orang-orang seperti
Milana dan lain-lain, dia merasa betapa dirinya amat rendah dan hina, betapa
dia adalah seorang pemuda yang tersesat dan jahat, betapa dia karena semua
perbuatannya yang jahat, sama sekali tidak berharga untuk berdekatan dengan
Syanti Dewi. Hal ini membuat dia merasa menyesal bukan main akan
perbuatan-perbuatannya yang sudah-sudah. Dia bukan anak penjahat, mengapa dia
telah tersesat sedemikiah jauhnya? Penyesalan inilah, terutama sekali bayangan
wajah Syanti Dewi yang lembut dan penuh welas asih, yang membuat dia merasa
tidak senang dengan orang-orang dari golongan sesat karena dia menganggap
bahwa mereka itulah yang menyeretnya ke lembah kesesatan. Kini, Hek-tiauw
Lo-mo bersikap kasar, maka dia menjadi makin marah dan mengambil keputusan
untuk melawannya dan membela rombongan yang tak dikenalnya ini.
“Hek-tiauw Lo-mo, engkau manusia sombong dan
jahat! Kaukira aku takut kepadamu?” bentaknya dan pedang Cui-beng-kiam yang
menggiriskan itu melintang di depan dadanya.
Hek-tiauw Lo-mo memang benar telah menjadi
Ketua Pulau Neraka, akan tetapi dia bukanlah asli penghuni Pulau Neraka. Dia
adalah pendatang baru yang menggunakan ilmunya untuk menaklukkan orang-orang
Pulau Neraka, maka dia tidak mengenal pedang di tangan Tek Hoat itu. Akan
tetapi Kakek Ji Song, kakek gendut gundul yang memang merupakan tokoh Pulau
Neraka asli, begitu melihat pedang di tangan Tek Hoat, seketika dia menjadi
ketakutan, gemetar dan berseru, “Cui-beng-kiam....!” Lalu dia menjauhkan diri dari
situ.
Hal ini adalah tidak aneh. Cui-beng-kiam ini
dahulunya adalah pedang milik Cui-beng Koai-ong, yaitu tokoh nomor satu dari
Pulau Neraka, yang merupakan iblis Pulau Neraka, orangnya mengerikan seperti
mayat hidup, kepandaiannya tidak lumrah manusia. Seperti kita ketahui, pedang
pusaka ini berikut kitab-kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek
Siauw-jin terjatuh ke tangan seorang tokoh Pulau Neraka lainnya, yaitu Kong To
Tek dan akhirnya terjatuh ke tangan Tek Hoat.
Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li yang
tidak mengenal pedang ini lalu bergerak menerjang pemuda itu dari kanan kiri.
Hek-tiauw Lo-mo yang dapat menduga akan kelihaian pemuda yang pernah menjadi
tangan kanan pemberontak ini, langsung mengeluarkan senjatanya yang mengerikan,
yaitu sebatang golok besar tajam yang punggungnya berbentuk gergaji! Senjata
ini terbuat dari baja pilihan sehingga mengkilap dan amat tajam, ketika
digerakkan menjadi gulungan sinar biru dan mengeluarkan suara berdesing.
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah
sekali karena kerusakan pedangnya, akan tetapi karena yang patah hanya
ujungnya sedikit, dia masih dapat menyerang dengan ganas. Dia merasa menyesal
sekali bahwa obat peledaknya yaitu senjatanya yang paling diandalkan, telah
habis dan belum memperoleh kesempatan untuk membuat lagi, maka kini dia hanya
dapat menyerang dengan pedang buntung dibantu oleh cakaran tangan kirinya
yang juga amat berbahaya.
Tek Hoat mengamuk. Kadang-kadang dia
menyeringai menahan rasa sakit. Luka-lukanya akibat pertempuran membela Syanti
Dewi di dalam hutan melawan Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo
masih belum sembuh sama sekali. Dan kini dua orang lihai yang mengeroyoknya itu
pun mengeluarkan seluruh daya upaya mereka untuk membunuhnya. Sebetulnya
suheng dan sumoi itu sama sekali tidak merasa sakit hati atas kematian Hek-wan
Kui-bo karena di antara mereka bertiga biarpun terhitung suheng dan sumoi,
akan tetapi tidak mempunyai hubungan akrab, bahkan saling mengiri dan saling
mencurigai. Kematian Hek-wan Kui-bo di tangan pemuda ini tidak mendatangkan
perasaan dendam. Akan tetapi, karena kini Tek Hoat berani menentang mereka,
maka mereka teringat akan hal itu yang sedikitnya merupakan pukulan bagi nama
mereka, maka tanpa berunding lebih dulu, keduanya kini berusaha sekuat tenaga
untuk membunuh Tek Hoat.
Tek Hoat juga maklum akan kelihaian lawan,
maka dia memutar pedangnya yang ampuh itu dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
Ilmu yang diwarisinya dari Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin memang hebat
sekali. Dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin dia telah memperoleh ilmu
menghimpun tenaga sakti, sedangkan dari kitab-kitab Cui-beng Koai-ong dia
memperoleh ilmu-ilmu pukulan beracun, ilmu pedang yang dinamakan Cui-beng
Kiam-sut dan obat perampas ingatan. Kini dia menggerakkan pedangnya berdasarkan
sin-kang yang sesungguhnya berpusat pada ilmu mujijat atau Ilmu Tenaga Sakti
Inti Bumi dan dia memainkan Cui-beng Kiam-sut yang luar biasa gerakannya itu.
Hebat bukan main pertandingan antara tiga orang
ini. Sinar pedang Cui-beng-kiam berubah menjadi gulungan sinar kilat
menyambar-nyambar menyilaukan mata, dan sinar ini dikeroyok oleh gulungan
sinar hijau dan biru! Adapun lima orang pemimpin rombongan itu kini sudah
saling gempur melawan kakek gundul Ji Song yang lihai dan teman-temannya. Akan
tetapi karena jumlah para anak buah Pulau Neraka ini kalah jauh dan karena
ternyata anggauta rombongan berkuda itu pun rata-rata memiliki kepandaian
yang cukup tinggi, maka pertandingan antara mereka itu berjalan seru dan
akhirnya pihak Pulau Neraka mulai terdesak.
Mauw Siauw Mo-li yang sudah marah kini tidak
lagi memperlihatkan sikapnya yang gila laki-laki, apalagi dia teringat akan
sucinya yang tewas oleh pemuda ini dan pedangnya yang menjadi buntung. Lebih-lebih
lagi karena dia yang mengeroyok dengan suhengnya yang dia tahu amat lihai,
selama hampir seratus jurus masih belum juga dapat mengalahkan pemuda ini. Dia
gemas dan penasaran sekali.
“Ang Tek Hoat, kau manusia khianat! Engkau
yang sudah banyak makan uang pemberontak, pada saat terakhir malah berkhianat.
Manusia tak tahu malu! Sekarang engkau agaknya hendak bermuka-muka dan
menjilat-jilat pantat Kaisar agaknya! Hi-hik, manusia rendah, pemuda yang
hina!”
Bukan main marahnya hati Tek Hoat mendengar
ini. Diingatkan akan penyelewengan dan kejahatannya adalah hal yang amat
dibencinya karena hal itu mengingatkan dia lagi akan ketidakpantasannya untuk
berdekatan dengan Syanti Dewi! Tiba-tiba dia merubah ilmu pedangnya. Biarpun
Cui-beng Kiam-sut adalah ilmu pedang iblis yang amat hebat, akan tetapi
pertahanan kedua orang itu amat ketat dan mereka mulai dapat mengikuti gerakan
dari ilmu pedang ini. Maka secara tiba-tiba dia merubah ilmu pedangnya dan
mainkan Pat-mo Kiam-sut yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo, bekas
tokoh Thian-liong-pang. Pat-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Iblis) juga
merupakan ilmu pedang golongan sesat yang amat hebat sekali, dahulu menjadi
satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari ketuanya, yaitu Puteri Nirahai
yang kini menjadi nyonya Pendekar Super Sakti. Dan perubahan mendadak ini
membuat kedua orang lawan itu terkejut, terutama sekali Lauw Hong Kui yang
memang didesak hebat oleh Tek Hoat yang marah mendengar ejekannya tadi.
Sinar kilat menyambar ke arah ulu hati Lauw
Hong Kui. Wanita hamba nafsu berahi ini memekik, cepat dia miringkan tubuhnya
dan menangkis.
“Cringgg.... trekk.... aughhh....!” Tangkisan
itu memang tepat, akan tetapi saking kuatnya Tek Hoat menggerakkan pedangnya,
kembali pedang sinar hijau dari wanita itu terbabat putus dan Cui-beng-kiam
masih sempat melukai pangkal lengan kanan wanita itu sehingga kulit dan
dagingnya terobek lebar dan darah bercucuran, pedangnya yang buntung tinggal
pendek saja itu terlepas!
Akan tetapi pada saat itu, sinar hitam
menyambar dari atas ke arah kepala Tek Hoat. Pemuda ini terkejut dan cepat
menangkis dengan Cui-beng-kiam.
“Plakkkk....!” Makin kagetlah hati Tek Hoat
karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah sehelai jala tipis yang tadi
dikepal di tangan kiri Ketua Pulau Neraka dan jala ini terbuat dari bahan yang
amat kuat, tidak dapat diputus oleh pedang pusaka. Pedang itu telah tertangkap
oleh jala! Dan golok berpunggung gergaji itu menyambar ganas ke arah lehernya!
Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li yang juga marah sekali karena lengannya
terluka parah dan pedangnya rusak, menerjang ke depan dengan hantaman tangan
kirinya dengan pengerahan sin-kang dan dia telah mempergunakan pukulan beracun
ke arah kepala Tek Hoat.
Pemuda ini maklum akan datangnya bahaya besar.
Pedangnya tak dapat digerakkan lagi karena telah tertangkap dan terbelit jala
tipis, dan andaikata dia hanya mementingkan pedangnya, tentu dia akan terkena
sambaran golok dan hantaman wanita itu. Dia teringat akan Tenaga Sakti Inti
Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin. Tiba-tiba dia
melepaskan pedangnya, melempar diri ke bawah dan menelungkup, kemudian dengan
pengerahan sin-kang sakti Inti Bumi, kedua kakinya menghantam ke atas seperti
seekor jengkerik menendang. Tendangannya yang tak tersangka-sangka dan
mengandung tenaga dahsyat itu memapaki golok.
“Dessss.... crakkk....!” Hek-tiauw Lo-mo
berteriak keras karena goloknya itu membalik sedemikian hebatnya sehingga dia
tidak mampu mempertahankan lagi dan goloknya telah menghantam pundaknya
sendiri sehingga tulang pundaknya retak dan bahunya terluka! Dengan kemarahan
meluap, dia menguyun kakinya.
“Bukkk! Plakkk!” Tek Hoat terkena tendangan
pada perutnya dan terkena hantaman tangan kiri Mauw Siauw Mo-li pada punggungnya.
Tubuhnya terlempar dan terbanting lalu bergulingan. Akan tetapi dia dapat
meloncat bangun kembali, matanya terbelalak marah dan tangan kirinya mengusap
mulutnya yang berdarah.
Hek-tiauw Lo-mo menyumpah-nyumpah. Dia telah
terluka, juga Mauw Siauw Mo-li telah terluka. Celakanya, anak buahnya terdesak
hebat dan banyak yang sudah terluka. Maka dia lalu bersuit nyaring dan
meloncat pergi bersama sumoinya. Anak buahnya maklum bahwa pimpinan mereka
juga terdesak, maka mereka lalu melarikan diri meninggalkan medan pertempuran
sambil memapah teman-teman yang terluka. Tek Hoat memandang dengan mata
terbelalak, tidak dapat mengejar karena dia maklum bahwa dia sendiri pun
terluka parah. Setelah melihat bahwa musuh-musuhnya lari pergi membawa pedang
Cui-beng-kiam yang terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, dia mengeluh, memejamkan
matanya dan terguling pingsan di dekat kereta rombongan itu.
Tek Hoat, yang memang luka-lukanya akibat
pertandingan melawan para pengawal lihai dari Pangeran Liong Khi Ong itu belum
sembuh benar, kini mengalami pukulan dan tendangan yang hebat, tentu saja
menjadi makin parah luka-luka di sebelah dalam tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa
selama sehari semalam dia tidak sadar. Ketika dia akhirnya siuman kembali, dia
merasa dirinya terguncang-guncang perlahan dan telinganya mendengar suara
bergemuruh. Dia membuka matanya. Kiranya tubuhnya memang sedang
terguncang-guncang di dalam bilik kereta yang berjalan perlahan, dan suara
gemuruh itu adalah suara roda-roda kereta melindas jalan yang tidak rata.
Cuping hidungnya kembang-kempis karena dia mencium bau harum semerbak dan
matanya mencari-cari. Kiranya di dalam bilik kecil kereta itu terdapat
peralatan rias dari wanita di atas sebuah meja kecil. Sisir, cermin, bedak dan
lain-lain. Dia bergerak hendak bangkit duduk dan mengeluh. Kiranya tubuhnya
sakit-sakit semua, terutama di dada dan punggungnya. Dia melihat betapa
luka-luka luar di lengan dan dahinya telah dibalut orang dan diobati.
Tek Hoat menjadi terheran-heran dan
menduga-duga. Tak salah lagi, tentu dia ditolong oleh rombongan itu, karena dia
juga melihat ada sebuah kereta besar dari rombongan yang diserbu oleh Hek-tiauw
Lo-mo itu. Akan tetapi siapakah orang-orang ini dan kereta siapa ini yang penuh
dengan peralatan rias seorang wanita?
Tiba-tiba kereta itu berhenti dan Tek Hoat
menyingkap tirai di jendela kereta. Kiranya mereka berhenti di dalam hutan dan
waktu itu adalah tengah hari. Dia mengira bahwa belum lama dia berada di situ,
karena pertempuran itu terjadi di pagi hari. Baru setengah hari.
Seorang yang berjenggot dan berkumis pendek,
yang dikenalnya sebagai seorang di antara para pemimpin yang mengeroyok Mauw
Siauw Mo-li, datang menjenguk dan diikuti seorang anggauta rombongan yang
membawa makanan untuk Tek Hoat.
“Aih, syukurlah bahwa engkau telah siuman
kembali, orang muda yang perkasa! Hati kami sudah gelisah melihat kau pingsan
selama sehari semalam.”
“Sehari semalam?” Tek Hoat berseru kaget.
“Bukankah baru pagi tadi aku jatuh pingsan?”
“Bukan pagi tadi, melainkan kemarin pagi,”
orang itu berkata sambil tersenyum dan memandang kagum. “Sungguh hebat engkau,
dapat menandingi orang-orang iblis itu! Terpaksa kami membawamu ke dalam
kereta karena engkau pingsan dan tentu saja kami tidak tega meninggalkan
engkau di dalam hutan itu.”
“Ah, terima kasih....!” Tek Hoat mencoba
untuk bangkit duduk lagi, akan tetapi dia menyeringai kesakitan.
“Tak usah duduk. Mengasolah dulu, orang
muda....”
“Akan tetapi.... akan tetapi, siapakah kalian
ini....?”
“Kami adalah pelancong-pelancong, rombongan
pelancong.”
“Dan ke mana kalian hendak pergi?”
“Engkau sendiri hendak ke mana, orang muda?
Kalau tidak satu tujuan dengan kami, biarlah kami mencarikan tempat di sebuah
kota atau dusun untuk kau tinggal dan beristirahat. Jangan khawatir, kami akan
meninggalkan biaya secukupnya sampai kau sembuh.”
“Terima kasih, kau baik sekali, Paman.
Aku.... aku akan ke barat....”
“Ahhh! Kalau begitu kita setujuan. Kami pun
serombongan sedang menuju ke barat. Kalau begitu, biarlah engkau mengaso di
kereta itu dan kami akan berusaha mengobatimu.”
Tek Hoat merasa girang sekali dan amat
berterima kasih. Karena dia belum kuat bangkit duduk, maka dia mengangkat
kedua tangan ke dada sambil rebah telentang, lalu berkata, “Engkau sungguh baik
sekali, Paman dan banyak terima kasih atas pertolonganmu ini.”
Orang itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Orang muda perkasa yang rendah hati! Jangan bicara tentang terima kasih dan
pertolongan, karena kalau bukan engkau yang datang menolong, agaknya saat ini
kami telah menjadi mayat-mayat yang diperebutkan binatang-binatang hutan!
Mengasolah dan biar anak buahku ini melayanimu.” Pemimpin rombongan itu lalu
pergi dan kiranya mereka semua berhenti di hutan itu untuk makan siang.
Orang yang membawa bubur dan asinan itu lalu
hendak menyuapkan makanan, akan tetapi Tek Hoat mengucapkan terima kasih dan
makan sendiri sambil rebah miring. Dia merasa berhutang budi kepada mereka ini
dan diam-diam dia harus mengakui bahwa di dunia kaum sesat kiranya tidak
berlaku hukum tolong-menolong seperti ini. Baru terbuka matanya bahwa manusia
harus saling tolong-menolong, bantu-membantu, bukan saling bermusuhan seperti
di dunia kaum sesat. Betapa tenteramnya dunia ini kalau kehidupan manusia
tidak dikotori oleh permusuhan dan kebencian!
Seorang di antara anggauta rombongan, seorang
kakek, ternyata pandai dengan ilmu pengobatan dan setiap hari Tek Hoat
diperiksa dan diberi obat minum yang pahit namun manjur juga karena dia
merasa makin tenang dan makin ringan luka-lukanya di dalam tubuh. Tentu saja
setelah dapat duduk dia pun bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk
mengobati luka-lukanya sendiri.
Setiap hari, bahkan setiap saat Tek Hoat tidak
pernah dapat melupakan Syanti Dewi. Makin dikenang, makin sakitlah hatinya,
karena dia makin melihat kenyataan bahwa dia sama sekali tidak berharga
berdekatan dengan puteri itu. Jangankan menjadi.... kekasih seperti yang selalu
mengganggu hatinya, bahkan menjadi sahabat pun tidak pantas, menjadi
pelayannya pun tidak patut. Pendeknya dia hanya akan mengotorkan puteri itu
kalau berdekatan, karena hawa di sekitar dirinya adalah kotor, hina dan
jahat! Teringat akan itu semua, dia mengeluh panjang pendek di dalam bilik
itu.
“Keparat kau, Tek Hoat....!” Dia memaki diri
sendiri sambil menjambak rambut di bilik itu, tidak peduli bahwa suara hatinya
itu keluar dari mulutnya dengan suara lirih. “Engkau manusia sesat, manusia
jahat, sejahat-jahatnya orang! Bagaimana orang macam engkau tergila-gila
kepada seorang bidadari seperti Puteri Syanti Dewi? Kau sudah gila! Seperti
seekor burung gagak merindukan seekor burung hong!”
Kadang-kadang dia memaki-maki dirinya sendiri
menyesali semua perbuatannya. Kadang-kadang dia membayangkan kecantikan Syanti
Dewi, kelembutannya, keramahannya, kemuliaan budinya, bahkan terdorong oleh
suara hatinya, dia bersenandung memuji-muji puteri yang telah menguasai
seluruh cinta kasih hatinya itu. Hampir setiap malam dia bermimpi, bertemu
dengan puteri itu dan dalam mimpinya tentu dia menyebut-nyebut namanya. Apalagi
ketika luka-lukanya membuat tubuhnya terserang demam, dalam keadaan tak sadar
dia mengigau tentang Syanti Dewi.
Berkat usahanya sendiri siulian dan menghimpun
tenaga murni, ditambah pengobatan rombongan itu, seminggu kemudian kesehatan
Tek Hoat sudah berangsur baik. Biarpun dia belum sembuh sama sekali, dan masih
lemah, akan tetapi dia sudah dapat meninggalkan kereta dan di waktu kereta
berhenti di dusun-dusun, dia dapat ikut pula turun dan bersama dengan rombongan
itu makan di warung-warung.
Hari itu mereka agak lama berhenti di dusun
yang agak besar, karena rombongan itu membeli banyak ransum. Setelah melewati
dusun itu, perjalanan akan melalui daerah pegunungan yang sunyi dan jarang
terdapat dusun yang menjual bahan makanan, maka rombongan itu memperbanyak
bekal mereka untuk keperluan di perjalanan. Tek Hoat juga membantu mereka dan
karena tenaganya belum pulih kembali, dia ditugaskan untuk menghitung dan
menimbang bahan-bahan makanan yang dibeli.
Ketika akhirnya semua beres, dan dia hendak
kembali ke kereta karena dia belum kuat naik kuda, Tek Hoat menjadi bingung.
Baru sekarang dia melihat bahwa kereta yang panjang itu ternyata terdiri dari
dua bilik. Dia hampir saja membuka pintu bilik yang berada di depan, akan
tetapi pemimpin rombongan itu memegang lengannya dan berkata, “Engkau keliru,
Taihiap.” Dia kini disebut Taihiap setelah dia memperkenalkan diri, Ang-taihiap
sebutannya. “Bilikmu adalah yang di belakang ini.”
“Ah, maaf. Akan tetapi siapakah yang berada di
bilik depan?” tanyanya.
“Tidak ada siapa-siapa, akan tetapi Taihiap
jangan membukanya. Sekali-kali harap jangan membukanya dan kami tentu saja
percaya penuh kepada Ang-taihiap.”
Tek Hoat mengangguk, akan tetapi di dalam
hatinya dia curiga sekali. Beberapa kali ingin dia membuka pintu bilik itu
kalau tidak ada orang melihatnya, akan tetapi kata-kata pimpinan rombongan itu
mengingatkannya. “....kami tentu saja percaya penuh kepada Ang-taihiap.”
Hemm, apakah dia yang sudah menyeleweng dan
tersesat itu kini juga menjadi orang yang tidak bisa dipercaya? Betapapun
curiganya, betapapun inginnya untuk membuka pintu bilik depan itu, dia
mengeraskan hati dan tidak mau membukanya! Mulai sekarang, dia harus menjadi
seorang yang menjauhi segala keburukan! Dia harus memulai hidup baru dan
menanggalkan semua kebiasaan lama yang busuk dan sesat!
Menjelang tengah hari, kereta mulai memasuki
daerah hutan yang sunyi. Akan tetapi, ketika memasuki sebuah hutan, baru saja
tiba di pinggir hutan itu, tiba-tiba rombongan ini berhenti dan kereta juga
berhenti. Tek Hoat terkejut. Kalau sekali ini terjadi pencegatan oleh
orang-orang sakti seperti yang terjadi seminggu yang lalu, sedangkan kesehatan
dan tenaganya belum pulih sama sekali, tentu mereka semua akan celaka dan dia
sama sekali tidak dapat melindungi mereka. Padahal mereka sudah begitu baik
kepadanya!
Akan tetapi tidak terdengar kegaduhan, maka
Tek Hoat lalu menyingkap tirai bilik keretanya dan memandang ke depan,
menjenguk ke luar. Di depan, tampak seorang dara remaja berdiri menghadang
rombongan itu. Tek Hoat memandang kagum. Seorang dara remaja yang amat cantik
jelita, sangat cantik dan lincah, sikapnya ramah kekanak-kanakan namun memikat
hati, tubuhnya tiada hentinya bergerak, sepasang matanya seperti sepasang
bintang senja yang berkedip-kedip dan bersinar terang, jernih dan tajam,
bibirnya yang merah itu bersungut-sungut namun bertambah manisnya. Dengan
sikap yang lucu dan jenaka, namun juga agak ugal-ugalan dara itu menggunakan
telunjuk tangan kanannya menyodok perut kepala rombongan yang agaknya sudah
mengenalnya itu. “Wah, Paman mencari penyakit, ya? Kenapa melalui jalan sini?
Di balik hutan ini terdapat rombongan orang jahat yang amat jahat, bukan
penjahat biasa melainkan gerombolan yang berilmu tinggi. Kalau rombongan
Paman ini diketahuinya, tentu celaka! Suhu sendiri merasa ngeri berhadapan
dengan gerombolan itu dan Suhu yang menyuruh aku menghadang Paman di sini untuk
memberi peringatan agar Paman menggunakan jalan lain!”
Kepala rombongan itu tersenyum, agaknya dia
sudah mengenal watak dara remaja yang jenaka itu sungguhpun sekali ini dia
membawa berita yang mengejutkan.
“Aih, Nona Teng, kita bertemu kembali di
tempat yang tak tersangka-sangka ini! Di mana Locianpwe yang menjadi gurumu itu?
Dan gerombolan apakah yang kauceritakan itu?”
“Gerombolan apa yang berbahaya kalau bukan
gerombolan yang dipimpin Raja Tambolon? Musuh besarmu, bukan? Menurut Suhu,
Tambolon selalu menjadi musuh besar orang-orang Bhutan!”
Kepala rombongan itu kelihatan kaget bukan
main, juga semua anggauta rombongan itu mengeluarkan seruan kaget.
“Celaka....!” Kepala rombongan itu berseru.
Akan tetapi Tek Hoat yang mendengarkan
percakapan itu pun terkejut bukan main. Kiranya rombongan ini adalah
orang-orang Bhutan! Dia meloncat turun dan pergi ke depan mendekati gadis ini
yang memandang kepada Tek Hoat dengan pandang mata penuh selidik.
“Taihiap, sekali ini kita dihadang gerombolan
yang lebih berbahaya lagi,” pemimpin rombongan itu berkata ketika melihat Tek Hoat
mendekati mereka.
“Paman Jayin, siapa dia yang kausebut
taihiap ini? Aku baru sekali ini melihatnya. Apa dia orang baru?” Dara remaja
itu berkata dan dengan sinar mata penuh selidik, seperti seorang pedagang kuda
yang hendak membeli seekor kuda dan menaksirnya, dia berjalan dengan gerak
penuh kelembutan dan lagak yang memikat, mengelilingi Tek Hoat
perlahan-perlahan sambil memandang dengan mata dipicingkan! Melihat sikap ini,
Tek Hoat menjadi geli di dalam hatinya. Benar-benar seorang bocah perempuan
yang bersemangat, lincah jenaka dan ugal-ugalan. Rambut yang dikepang dua itu
melambai-lambai lucu ketika kepala yang manis itu digerak-gerakkan dan
lengannya lemah gemulai sehingga pinggul yang tertutup baju panjang itu
bergerak-gerak membayang dengan lemasnya.
Rombongan itu kini berkerumun dan Tek Hoat
lalu bertanya kepada dara remaja yang bukan lain adalah Teng Siang In itu.
Seperti kita ketahui, Siang In telah diambil murid oleh See-thian Hoat-su,
kakek yang sakti bekas suami nenek iblis Durganini. Mereka berdua telah saling
berjumpa dan rujuk kembali. Akan tetapi dasar watak Durganini sudah pikun dan
sudah berubah. Mereka berdua tadinya mengajak Siang In untuk kembali ke barat,
ke Himalaya. Akan tetapi di tengah perjalanan, nenek itu banyak rewel dan
kadang-kadang timbul niat buruknya untuk mengganggu penduduk dusun yang mereka
lalui di tengah perjalanan. See-thian Hoat-su menentangnya dan kembali mereka
cekcok dan bertentangan. Akhirnya, nenek yang ilmu silatnya masih kalah tinggi
dibandingkan bekas suaminya ini ngambek dan pergi meninggalkan guru dan murid
itu.
Setelah ditinggalkan oleh Nenek Durganini,
See-thian Hoat-su menjadi kecewa dan membatalkan niatnya untuk kembali ke
Himalaya. Dia mengajak muridnya kembali ke timur, karena dia tidak akan merasa
tenang selama nenek yang pernah menjadi isterinya itu masih berkelana di timur.
Dialah yang harus mencegah kalau bekas isterinya itu menggunakan ilmu
mendatangkan kerusakan dan malapetaka kepada penduduk yang tidak berdosa.
“Adik kecil, apakah ceritamu itu benar?
Benarkah Tambolon dan kawan-kawannya sudah berada di sini?” Tek Hoat bertanya
kepada Siang In.
Kontan dara ini cemberut dan bertolak
pinggang. “Eh, kau manusia sombong, ya? Dumeh (mentang-mentang) sudah disebut
orang taihiap (pendekar besar) kau lalu merasa tua sekali, ya?”
Tentu saja Tek Hoat yang belum pernah bertemu
dengan seorang dara seperti ini menjadi melongo. “Eh, eh, kok marah? Apa
salahku?” Perwira Jayin dari Bhutan dan empat orang pembantunya yang sudah
mengenal Siang In, bahkan sudah sama-sama menjadi tawanan raja liar Tambolon,
menahan senyumnya.
Siang In memandang ke kanan kiri, kepada
rombongan itu dan dengan hidung diangkat ke atas dia menuding kepada Tek Hoat.
“Coba....! Dia masih pura-pura bertanya apa kesalahannya? Kau menyebut aku adik
kecil, apakah itu bukan menghina namanya? Sudah sebegini, masih disebut anak
kecil? Kalau aku anak kecil, apakah engkau sudah kakek-kakek?”
Semua rombongan itu tertawa dan muka Tek Hoat
menjadi merah. Akan tetapi pemuda ini tersenyum. Pada dasarnya, Tek Hoat
adalah seorang yang jenaka dan lincah gembira pula. Kalau dia berubah menjadi
pendiam adalah karena banyak hal yang menekan hatinya. Kini dia memandang
dengan mata berseri. Dara remaja ini benar-benar jenaka dan kemarahannya itu
dia tahu adalah dibuat-buat.
“Kalau begitu, biarlah aku menyebutmu nyonya
tua yang galak!” Tek Hoat menggoda. Dara itu membelalakkan matanya, kelihatan
menjadi makin cantik.
Dia lalu menarik muka seperti nenek-nenek,
tubuhnya agak membungkuk, suaranya lalu gemetar seperti seorang wanita tua
yang sudah tua sekali, dan dia menjura ke arah Tek Hoat dengan lagak seorang
nenek.
“Baiklah, kakek tua renta yang sudah pikun.
Mengapa sudah setua ini kau masih belum juga mati-mati? Apakah tidak merasa
bosan?”
Kembali rombongan itu tertawa karena suara
dan sikap dara itu persis nenek-nenek tua. Tek Hoat juga tertawa dan dia lalu
berkata, “Sudahlah, Nona. Maafkan aku. Aku hanya ingin bertanya apakah benar
Tambolon sudah tiba di sini karena belum lama ini aku masih bertemu dengan
mereka di timur.”
“Itu Suhu datang kalau kau tidak percaya,
sudah jangan tanya aku, kautanya saja kepada Suhu!”
Tek Hoat menoleh dan benar saja dari jauh
datang seorang kakek tua renta yang larinya cepat sekali. Perwira Jayin dan
para pembantunya cepat memberi hormat.
“Locianpwe, terima kasih atas peringatan
Locianpwe tentang gerombolan itu. Sekarang bagaimana baiknya? Belum lama, baru
seminggu ini kami juga telah dihadang oleh gerombolan Hek-tiauw Lo-mo dan kalau
tidak ada Ang-taihiap ini tentu kami sudah celaka semua.”
Kakek itu bukan lain adalah See-thian Hoat-su.
Dia terkejut mendengar bahwa rombongan ini seminggu yang lalu dicegat oleh
Hek-tiauw Lo-mo dan dia memandang kepada Tek Hoat dengan kagum. Seorang yang
dapat menolong rombongan ini dari gangguan Hek-tiauw Lo-mo, biarpun masih
begitu muda, tentu memiliki kepandaian yang tinggi sekali, pikirnya. Akan
tetapi sekali pandang saja, dia tahu bahwa Tek Hoat pernah mengalami luka-luka
dalam yang amat hebat, maka dia terkejut sekali.
“Ahh, engkau telah terpukul hebat sekali,
orang muda!”
Tek Hoat menjadi kagum dan dia menjura. “Sudah
berangsur baik, Locianpwe, berkat rawatan dan pengobatan rombongan ini.”
“Rombongan ini harus mengambil jalan lain. Cepat!
Jangan melalui hutan ini. Mudah-mudahan saja belum terlambat dan tidak akan
bertemu dengan mereka. Dan engkau harus diobati seeepatnya, orang muda, agar
tenagamu pulih dan kau dapat membantu kalau toh mereka masih dapat mengejar.”
Mendengar kata-kata kakek ini, pewira
pengawal Bhutan itu tidak ragu-ragu lagi dan cepat memerintahkan rombongannya
mengambil jalan berbelok ke selatan, mengambil jalan memutari bukit di depan
dan menyimpang dari jalan besar. Adapun Kakek See-thian Hoat-su lalu mengajak Tek
Hoat ke dalam bilik keretanya itu dan setelah dia menotok dan mengurut
beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, dia memanggil muridnya.
“Berikan dia obatmu penyembuh luka dalam yang
manjur itu!” kata kakek ini yang segera meninggalkan mereka untuk ikut menjaga
di bagian depan barisan itu.
“Hemm, enaknya! Sudah menghina masih minta
obat. Panggil dulu aku sebagaimana mestinya, nanti kuberi obat yang paling
manjur,” Siang In berkata dengan sikap jual mahal.
Kalau saja Tek Hoat sudah tidak melihat kesesatannya
dan mengambil keputusan untuk merubah watak dan sikapnya, tentu dia akan
menjadi marah dan akan menghina gadis ini. Akan tetapi dia tersenyum dan
mengangguk dalam. “Nona yang baik, aku minta maaf dan kauberikanlah obat itu.”
Siang In tersenyum. “Nah, begitu dong!
Sekarang engkau menjadi sahabatku, tidak usah minta pun tentu akan kuberikan
obat itu.” Dia lalu mengeluarkan sebungkus obat yang berwarna merah dan
berbentuk bulat kecil. Dia menyerahkan dua butir kepada Tek Hoat sambil
berkata, “Telan semua dan kau tidur, nanti setelah bangun baru terasa
khasiatnya.” Kemudian dia tersenyum manis dan meloncat turun dari dalam
kereta.
Tek Hoat memandang dua butir obat di telapak
tangannya itu sambil berkata seorang diri, “Betapa baiknya semua orang. Betapa
manisnya dara itu, akan tetapi mana bisa dia menandingi Syanti Dewi....?” Lalu
ditelannya dua butir obat itu dan dia pun merebahkan dirinya. Begitu memasuki
perutnya, terasa hawa panas memenuhi perut dan dadanya, kemudian seluruh tubuh
sehingga dia mengeluarkan keringat. Nyata manjur sekali obat itu dan Tek Hoat
menjadi makin kagum. Tentu saja dia tidak tahu bahwa gadis itu, Teng Siang In,
adalah puteri mendiang ahli obat Yok-sian (Dewa Obat) yang amat terkenal di
dunia kang-ouw, dewa atau ahli pengobatan yang tinggal di Lembah Pek-thouw-san.
Menjelang senja, rombongan ini telah
mengelilingi bukit dan memasuki hutan kecil. Tiba-tiba tanpa ada sebabnya,
tahu-tahu hutan di sekeliling mereka terbakar! Rombongan ini tentu saja
berhenti dan terkejut sekali. Akan tetapi See-thian Hoat-su yang berada di
depan rombongan itu berteriak, “Jangan panik! Ini hanya ilmu siluman!” Dia lalu
meloncat ke atas sebuah batu besar, bersedakap dan berteriak, “Durganini, kau
terlalu! Terpaksa aku melawanmu!”
Kakek itu bersedakap terus dan tak lama
kemudian, rombongan orang Bhutan itu melihat hujan turun secara tiba-tiba dan
api yang berkobar itu padam. Akan tetapi anehnya, mereka semua tidak tertimpa
hujan! Kiranya baik kebakaran maupun hujan itu hanyalah bayangan yang
ditimbulkan oleh kekuatan sihir yang mujijat saja!
Tak lama kemudian dari balik pohon-pohon
bermunculan banyak orang dan di depan sendiri tampak Tambolon, Si Petani Maut
Liauw Kui, Si Siucai Maut Yu Ci Pok, dan si nenek hitam Durganini yang menghadang
rombongan!
“Orang gila, kau berani melawan aku?”
Durganini memaki bekas suaminya dan dengan ganas dia melontarkan tongkatnya ke
udara. Tongkat itu berubah menjadi seekor naga yang turun menyambar ke arah
See-thian Hoat-su yang masih berdiri di atas batu. See-thian Hoat-su cepat
meloncat turun, menyambar segenggam tanah dan melontarkannya ke arah naga yang
menyerangnya dengan dahsyat itu.
“Darrr....!” Tampak kilat menyambar dan naga
itu berubah menjadi tongkat butut kembali, melayang ke tangan Durganini, akan
tetapi See-thian Hoat-su terhuyung karena memang dia kalah kuat dalam ilmu
sihir.
“Kau perempuan iblis!” Kakek itu memaki dan
tubuhnya sudah menyambar ke arah bekas isterinya untuk merampas tongkat.
Durganini memaki dengan hantaman tongkatnya, akan tetapi See-thian Hoat-su
menangkis dengan lengan kiri sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah
ubun-ubun Si Nenek Ganas. Durganini mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya
keserempet jari tangan See-thian Hoat-su sehingga dia memekik kesakitan,
terhuyung dan menudingkan tongkatnya. “Kau.... kau berani memukulku?” Teriakan
ini disertai suara tangis, persis seperti lagak seorang isteri yang marah
kepada suaminya!
Tambolon juga sudah mencabut pedangnya dan
membantu gurunya menerjang See-thian Hoat-su. Sedangkan Liauw Kui dan Yu Ci
Pok memimpin anak buah mereka menyerbu Perwira Jayin dan pasukannya. Terjadilah
pertempuran yang hebat.
“Heeeiii, bangun! Bangun kau....! Wah, celaka,
malasnya orang ini!”
Diguncang-guncang pundaknya itu, Tek Hoat
terbangun dengan kaget dan dia meloncat turun dari kereta. Kiranya yang
menggugahnya adalah Siang In. “Lekas bantu, lihat Suhu terdesak hebat oleh
nenek siluman itu dan Tambolon!”
Tek Hoat meraba pinggangnya dan baru teringat
dia ketika tangannya meraba tempat kosong, bahwa pedang yang diandalkannya,
yaitu Cui-beng-kiam, telah terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo.
“Kenapa kau sendiri tidak membantu gurumu?”
tanyanya.
“Uh, mana aku berani? Kaubantu guruku, mereka
itu lihai sekali, dan aku akan membantu Paman Jayin!” kata Siang In yang memang
belum begitu tinggi ilmu silatnya sehingga dia merasa ngeri kalau harus
membantu suhunya menghadapi orang-orang seperti Tambolon dan gurunya itu.
Tek Hoat menggerak-gerakkan kedua lengannya.
Memang lebih enak daripada kemarin. Dia menarik napas panjang, juga dadanya
tidak nyeri lagi. Dikerahkan sin-kangnya dan dengan girang dia mendapat
kenyataan bahwa keadaannya jauh lebih baik daripada yang sudah-sudah. Maka dia
lalu meloncat dan terjun ke dalam pertempuran, menyerang Tambolon dengan
pukulan dahsyat yang dilakukan dengan pengerahan sin-kangnya.
Tambolon terkejut, maklum bahwa lawannya ini
lihai sekali. Dia mengelak dan berkata, “Eh, orang muda. Lupakah kau akan
hubungan baik kita baru-baru ini? Kaubantulah kami dan engkau akan mendapat
bagian, kau takkan kecewa!”
“Manusia keparat, siapa sudi mendengar
bujukanmu?” Tek Hoat membentak dan sudah menerjang lagi, mengirim pukulan
mautnya. Tambolon menyambut dengan tangan kirinya dan membarengi dengan bacokan
pedangnya.
“Dessss....!” Tambolon terjengkang ke belakang
dan Tek Hoat terkena ujung pedang pundak kirinya, akan tetapi hanya luka kecil
saja dan dia terus mendesak Tambolon yang ternyata kalah tenaga. Akan tetapi
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Memang dia telah mampu mengerahkan sin-kangnya,
akan tetapi begitu bertemu dengan lawan yang kuat, dalam pertemuan tenaga
dahsyat tadi, biarpun dia berhasil membuat Tambolon terjengkang, akan tetapi
dadanya terasa agak nyeri. Sementara itu Tambolon sudah menubruk maju dengan
serangan pedangnya yang membabi buta. Tek Hoat mengelak dengan cepat, akan
tetapi kembali dia diam-diam mengeluh karena pengerahan gin-kangnya juga
membuat dadanya sakit. Ini menandakan bahwa luka di dadanya belum sembuh benar.
“Sut-sutt-sing.... desss!” Biarpun Tek Hoat
dapat menghindarkan diri dari sambaran pedang yang bertubi-tubi itu, akan
tetapi sebuah tendangan mengenai lambungnya dan dia terlempar, jatuh
terguling-guling. Sialnya, dia terlempar ke dekat Nenek Durganini yang sedang
bertanding melawan bekas suaminya.
“Hiyyaaahhh!” Nenek itu mengeluarkan pekik
dahsyat dan tangan kirinya bergerak ke arah leher Tek Hoat. Pemuda yang masih
bergulingan ini terkejut sekali. Ternyata kini sepuluh jari tangan nenek itu
telah mengeluarkan kuku yang panjang runcing dan ketika dia mengelak, kuku jari
tangan itu lewat dekat mukanya dan dia mencium bau yang amis, tanda bahwa
kuku-kuku itu mengandung racun yang hebat! Dia berusaha meloncat berdiri, akan
tetapi kaki kanan nenek yang memakai gelang itu menyambar.
“Desss....!” Kembali dia roboh.
See-thian Hoat-su hendak menolongnya, akan
tetapi Tambolon sudah menerjang kakek itu dengan putaran pedangnya secara
dahsyat sehingga terpaksa kakek itu mengelak ke sana-sini. Tek Hoat terus
didesak oleh Nenek Durganini, dan begitu dia bangkit, dua cakar beracun itu
menyambarnya. Tek Hoat mengelak ke sana-sini, akan tetapi tetap saja leher dan
pundaknya kena dicakar. Panas dan perih rasanya! Tek Hoat terkejut, cepat dia
melempar tubuh ke atas tanah dan ketika nenek itu menendang, dia membiarkan
dirinya ditendang.
“Desss....!” Tubuh pemuda itu bergulingan
menabrak benda keras.
“Bresss!” Ketika dilihatnya, ternyata tubuhnya
tertumbuk kepada roda kereta! Nenek itu terkekeh-kekeh dan sudah lari menghampirinya
dengan kedua tangan bergerak-gerak menyeramkan.
Tek Hoat bangkit dengan kepala pening, siap
untuk melawan mati-matian. Akan tetapi tiba-tiba pintu bilik depan kereta itu
terbuka dan sebuah tangan yang halus namun kuat mencengkeram pungung bajunya
dan menarik tubuh pemuda itu ke dalam bilik kereta yang segera ditutupkan.
Nenek itu marah-marah dan hendak mencengkeram kereta, akan tetapi pemilik
tangan halus itu menusukkan pedang menembus pintu kereta.
“Crattt! Aihhhh.... aduhhhh....!” Nenek itu
tertusuk pedang tangannya dan terasa sakit bukan main. Karena tidak
disangka-sangkanya, maka ujung pedang itu dapat melukai tangannya dan nenek
yang pikun ini segera membalikkan tubuhnya, menangis lalu mengamuk kepada
bekas suaminya, agaknya dia sudah lupa sama sekali akan Tek Hoat yang tidak
kelihatan lagi itu.
Tek Hoat membuka mata memandang dan.... dia
terbelalak, matanya melebar dan mulutnya ternganga. karena ternyata yang
menolongnya itu bukan lain adalah.... Syanti Dewi!
“Ya Tuhan.... sudah.... sudah matikah aku....?
Ataukah.... ini hanya.... mimpi....?” Tek Hoat menggosok-gosok matanya.
Syanti Dewi yang duduk di atas bangku kereta
itu memandang dengan dua titik air mata berlinang, mengulurkan tangan menyentuh
leher dan pundak itu dan terdengar suaranya halus, “Kau.... kau.... terluka
lagi....” Disentuhnya luka-luka itu dengan ujung jarinya yang halus.
“Kau.... kau.... Syanti Dewi....?” Tek Hoat
menangkap ujung tangan itu dan menciumnya. “Aku.... aku.... ah, benarkah aku
masih hidup?”
Kedua pipi puteri itu menjadi merah sekali dan
jantungnya berdebar ketika dia merasa betapa ujung jarinya diciumi dan
merasakan hembusan napas yang panas dari pemuda itu mengenai jari-jari
tangannya.
“Engkau masih hidup dan aku memang Syanti
Dewi.... aku.... akulah yang berada di bilik depan kereta ini....”
Tek Hoat menjadi girang bukan main, girang dan
juga jengah dan malu. Setiap saat dia teringat kepada puteri ini,
dicari-carinya dan dikenang, dikhawatirkannya. Siapa tahu, seminggu lamanya
dia berada di satu kereta dengan puteri ini! Dan teringatlah dia betapa dia
sering kali menggandrungi puteri ini, bersenandung memuji-muji puteri ini.
Tiba-tiba dia teringat. Pertempuran itu masih berlangsung.
“Ah, aku harus melindungimu, aku harus
membasmi mereka.... kalau tidak.... Paduka akan celaka.... kiranya mereka itu
menyerang karena Paduka berada di sini....”
“Kau.... kau masih terluka....”
Akan tetapi Tek Hoat sudah tidak peduli lagi.
Begitu melihat bahwa Syanti Dewi berada di situ, mengertilah dia mengapa
gerombolan Hek-tiauw Lo-mo menyerang rombongan ini, dan mengapa pula kini
gerombolan Tambolon juga menyerang rombongan ini. Kiranya mereka itu tahu
bahwa Sang Puteri berada di dalam kereta. Hanya dialah yang tolol, yang
goblok, sekereta sampai seminggu lamanya tidak tahu! Hatinya girang, tapi juga
khawatir, dan dia meloncat keluar dari kereta itu, cepat menutupkan pintunya
kembali seolah-olah dia hendak menyembunyikan mustika agar tidak terlihat oleh
lain orang!
Kakek See-thian Hoat-su masih dikeroyok dua
oleh Tambolon dan Durganini, kakek ini terdesak hebat, agaknya juga sudah
terluka karena pangkal lengan kirinya berdarah. Siang In masih mengamuk
membantu Perwira Jayin dan para anggauta rombongan, akan tetapi mereka pun
terdesak hebat oleh Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok,
karena memang tingkat kepandaian dua orang pembantu Tambolon ini lebih tinggi
dari mereka. Senjata pikulan dari Liauw Kui dan senjata sepasang poan-koan-pit
dari Yu Ci Pok memang berbahaya sekali, dan hanya karena Jayin yang dibantu
oleh Siang In dan empat orang perwira pembantunya itu melakukan perlawanan
gigih, maka pertandingan masih berlangsung dengan seru dan mati-matian.
Tek Hoat maklum bahwa yang boleh diandalkan
oleh rombongan ini hanyalah Kakek See-thian Hoat-su. Dia sendiri sudah terluka
parah, dan kalau kakek itu roboh, tentu yang lain akan celaka semua. Maka dia
lalu menerjang maju lagi membantu kakek itu dan kini entah bagaimana,
pertemuannya dengan Syanti Dewi seolah-olah memulihkan semua tenaganya. Ketika
dia menyerbu dan menghantam, Tambolon sampai terpental ke belakang dan
bergulingan sambil memaki-maki, bangkit berdiri lagi dan menerjang Tek Hoat
yang merasa betapa dadanya sakit akan tetapi kini dia pertahankan dengan
semangat baru. Dia harus hidup. Dia harus menang, karena kalau tidak, Syanti
Dewi akan celaka.
“Sutt.... singgg-singgg....!” Pedang di tangan
Tambolon menyambar-nyambar ganas. Tek Hoat mengelak dua kali dan dari samping
dia memukul dengan tangan miring, ke arah lambung raja liar itu. Tambolon
terkejut dan tidak sempat mengelak akan tetapi karena dia maklum bahwa pemuda
itu sudah terluka dan dalam keadaan tidak sehat sehingga tenaganya pun tidak
sepenuhnya, dia lalu berlaku nekat, menyambut hantaman itu dengan tangan
kirinya sambil mengerahkan seluruh sin-kangnya.
“Desss....!” Sekali ini hebat sekali pertemuan
tenaga sin-kang yang sama kuatnya, dan akibatnya, kembali tubuh Tambolon
terpental, mulutnya muntahkan darah segar sedangkan tubuh Tek Hoat
terguling-guling sampai beberapa kaki jauhnya dan wajah pemuda ini pucat
sekali, napasnya terengah-engah dan sesak sehingga dia menggunakan tangannya
untuk menekan dadanya.
Dengan mata mendelik Tambolon meloncat bangun,
mengusap darah dari bibirnya dengan gemas, kemudian mengangkat pedangnya sambil
lari menerjang Tek Hoat. Sementara itu, kakek See-thian Hoat-su masih belum
merobohkan Durganini karena sesungguhnya kakek ini masih merasa kasihan kepada
bekas isterinya yang dia tahu berubah jahat karena sudah pikun dan disalahgunakan
oleh muridnya, Tambolon yang penuh ambisi dan jahat itu. Ketika melihat betapa
Tek Hoat sudah tidak berdaya dan Tambolon mengejar hendak membunuhnya, dia
terkejut sekali, akan tetapi karena jaraknya agak jauh, dia maklum bahwa dia
tidak akan dapat menyelamatkan pemuda perkasa itu.
Tiba-tiba, entah dari mana datangnya,
tahu-tahu di tempat itu muncul seorang kakek berlengan tunggal yang berpunggung
bongkok! Punggungnya demikian bongkoknya sehingga ketika dia datang berjalan
cepat ke arah pertempuran, kepalanya seperti meluncur di depan saja, sedangkan
kedua kakinya seperti terseret jauh di belakang. Atau cara kakek ini berjalan
seperti setengah merangkak! Anehnya, bukan main cepatnya karena tahu-tahu dia
telah berada di situ. Hebatnya, bersama dengan kakek bongkok yang aneh ini
datang pula angin berputar yang seperti ombak dahsyatnya, dan semua orang,
termasuk Tek Hoat, Tambolon, Durganini dan See-thian Hoat-su terdorong dan
terhuyung ke belakang oleh angin dahsyat ini. Jangan ditanya lagi para anggauta
rombongan orang Bhutan dan anak buah Tambolon, mereka semua roboh jungkir balik
dan tumpang-tindih antara kawan dan lawan seperti daun-daun kering diamuk angin
puyuh.
Kakek bongkok yang berdirinya seperti mau
“tiarap” itu menggerakkan kedua lengannya seperti orang mencegah mereka
bertempur, lalu berkata, “Antara sesama manusia, mengapa saling bunuh? Tanpa
saling bunuh pun, apakah ada di antara kalian yang kelak bebas dari kematian?”
Durganini yang sudah pikun itu tidak
terpengaruh oleh ucapan aneh ini, tidak seperti See-thian Hoat-su yang sudah
berdiri tegak dan bersikap hormat. Sebaliknya Durganini malah melangkah maju
mendekati kakek bongkok itu, kedua tangannya lurus ditujukan ke arah kakek
bongkok itu sambil membentak dengan suara yang amat berpengaruh. Nenek ini
sudah mengerahkan kekuatan sihirnya!
“Tua bangka bongkok, kau yang sudah mau
mampus, hayo cepat bergulingan di atas tanah!”
“Durganini, jangan....!” See-thian Hoat-su
mencegah namun terlambat.
Semua orang di situ merasa betapa ada pengaruh
yang amat jahat dan mengerikan terbawa oleh suara dan gerakan kedua tangan
Durganini, bahkan ada di antara perajurit yang tanpa disadarinya tahu-tahu
sudah merebahkan diri di atas tanah dan bergulingan seperti orang gila! Akan
tetapi yang paling aneh adalah ketika semua orang melihat bahwa kakek bongkok
itu hanya menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas, sama sekali tidak
bergerak dan lucunya, kini Durganini tahu-tahu merebahkan diri dan bergulingan
di atas tanah dengan hebatnya!
Tek Hoat yang sudah setengah pingsan itu
melihat dengan terbelalak, akan tetapi pengerahan tenaga terakhir dengan
Tambolon tadi membuat kepalanya pening dan pandang matanya berkunang. Sebuah
tangan yang halus memegang lengannya. Dia menoleh dan kiranya Syanti Dewi yang
memegang lengannya. Puteri itu lalu menariknya perlahan-lahan dan pergi dari
situ selagi semua orang terpesona oleh peristiwa aneh tadi.
“Kau terluka parah.... sebaiknya kita
menyingkir dari tempat berbahaya ini....”
Tek Hoat menggeleng kepala. “Aku.... aku harus
melawan.... aku harus melindungimu....”
Akan tetapi Syanti Dewi memaksanya pergi,
setengah menyeretnya dan keduanya lalu menyelinap ke dalam hutan yang lebih
lebat.
Sementara itu, melihat Durganini makin lama
makin hebat bergulingan, kakek bongkok itu mengangkat tangan ke atas. “Sadarlah
semua.... bangkitlah...., dan lenyaplah semua kekuatan gelap....!”
Aneh, mereka yang bergulingan di atas tanah,
termasuk Durganini, menjadi terkejut, sadar dan terheran-heran, lalu Durganini
bangkit dengan napas terengah-engah dan wajah pucat. Kini dia memandang kepada
kakek bongkok itu dengan sinar mata ketakutan karena dia maklum bahwa kakek itu
adalah seorang yang sakti luar biasa.
“Siapa yang pernah bertemu dengan muridku?
Harap katakan, di mana muridku? Apakah ada yang melihatnya? Dia berusia
kira-kira dua puluh lima tahun, pemuda yang bertubuh tinggi besar, wajahnya
tampan dan gagah, matanya tajam seperti mata naga, sikapnya gagah seperti
seekor singa, namanya Kok Cu.... siapakah yang pernah bertemu dengan dia?”
See-thian Hoat-su dan Durganini menggeleng
kepala dan tidak ada seorang pun yang pernah mendengar tentang pemuda murid
kakek bongkok itu. See-thian Hoat-su cepat memberi hormat dan bertanya dengan
suara tergetar penuh kagum. “Kalau saya tidak keliru sangka, Locianpwe ini
adalah Yang Mulia Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir....?”
Kakek bongkok itu menghela napas dan
menggerakkan tangannya, seolah-olah tidak mempedulikan kata-kata itu.
“See-thian Hoat-su, Durganini dan Tambolon,
apakah kalian pernah bertemu dengan muridku Kok Cu itu?”
Tiga orang itu terkejut bukan main. Selama
hidup mereka, baru sekarang mereka bertemu dengan kakek tua renta itu, akan
tetapi kakek ini begitu saja menyebut mereka seolah-olah sudah lama mengenal
mereka. Otomatis mereka menggeleng kepala karena memang mereka belum pernah
bertemu dengan pemuda yang dimaksudkan kakek itu.
“Sudahlah, aku mencari di tempat lain!” kata
kakek itu dan sekali berkelebat dia sudah lenyap!
Selagi semua orang tertegun dan melongo,
tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan dari jauh di atas bukit tampaklah debu
mengepul tinggi dan datang sebuah pasukan besar dari barat yang jumlahnya tentu
tidak kurang dari seratus orang. Tambolon belum dapat mengenal pasukan itu,
maka dia sudah berteriak lagi, “Serbu!”
Dan pertandingan pun mulai lagi! Sungguh
mereka ini seperti serigala-serigala yang haus darah dan tadi pertempuran
terganggu sebentar karena munculnya kakek bongkok luar biasa itu. Durganini
kembali menyerang See-thian Hoat-su seperti sikap seorang isteri galak yang
mencemburui suaminya, tak pernah mau sudah menyerang! Karena dikeroyok dua oleh
bekas isterinya dan Tambolon, sedangkan Tek Hoat sudah tidak ada lagi untuk
membantunya, kakek ini tentu saja kembali terdesak hebat dan kewalahan. Akan
tetapi tak lama kemudian pasukan itu tiba dan bersoraklah pihak rombongan
Perwira Jayin karena ternyata bahwa pasukan itu adalah pasukan dari Bhutan yang
dikirim oleh rajanya untuk menyusul Perwira Jayin yang belum ada kabarnya dalam
mencari puteri raja. Tentu saja pertempuran menjadi berubah keadaannya dan
terpaksa Tambolon membujuk gurunya untuk lari menyingkir karena menghadapi
pasukan pilihan dari Bhutan yang terlatih baik dan yang jumlahnya jauh lebih
besar itu, tentu saja dia dan anak buahnya kewalahan dan terancam bahaya
kemusnahan. Maka berlarilah mereka, meninggalkan para korban di antara anak
buah raja liar Tambolon.
Sementara itu, Syanti Dewi yang dulu sudah
berpengalaman ketika menemani Gak Bun Beng yang juga menderita sakit payah,
kini setengah menyeret tubuh Tek Hoat yang hampir pingsan itu. Akhirnya, karena
tenaganya habis dan napasnya terengah-engah, Syanti Dewi berhenti di belakang
semak-semak yang rimbun.
“Aihh...., kau terluka lagi....” katanya sambil
menggunakan saputangannya menyeka darah yang mengucur dari luka di leher dan
pundak Tek Hoat yang pecah kembali.
“Syanti.... puteri.... saya.... saya harus
membantu teman-teman menghadapi mereka....” Tek Hoat bangkit akan tetapi
terhuyung.
“Tidak.... tidak....! Apakah kau mau bunuh
diri? Tidak, aku melarang kau pergi. Aku melarang!” Syanti Dewi memegangi
lengannya erat-erat.
Tek Hoat membalik dan menghadapi puteri itu,
memandang dengan mata terbelalak. “Paduka.... paduka peduli apa.... kalau saya
mati....?”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. “Ang Tek
Hoat, kau sudah berkali-kali menolong aku dan menyelamatkan aku dengan
pengorbanan dirimu, dan kau masih bertanya aku peduli apa? Kauanggap aku ini
orang apa? Orang yang tidak mengenal budi? Kau terluka, biar aku merawat
lukamu....”
“Paduka.... kau.... merawat lukaku....?” Tubuh
Tek Hoat menjadi lemas, kepalanya pening kembali sehingga bicaranya tidak
karuan lagi dan dia menurut saja ketika ditarik turun dan disuruh rebah di atas
rumput.
“Luka-lukamu harus dicuci bersih.... sayang
obat-obat untuk luka yang pernah kuterima dari Jenderal Kao sebagai bekal
berada di kereta....”
“Aku mempunyai obat seperti itu....” Tek Hoat
dengan mata masih terpejam meraba saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah
bungkusan. “Gunakan obat bubuk ini.... auhhh.... dadaku....”
“Kenapa dadamu? Kenapa....?” Syanti Dewi
meraba-raba dan membuka kancing baju pemuda itu untuk memeriksa. Alangkah
kagetnya ketika melihat kulit dada yang putih itu tampak tanda biru bekas pukulan
sedangkan ketika dia mencuci luka di leher dan pundak bekas cakaran kuku
Durganini, luka-luka itu kelihatan kehitaman!
“Ah, kau terluka parah....!” Dia berseru
penuh kekhawatiran.
“Tidak mengapa.... tidak mengapa, harap
paduka cepat kembali ke sana, biarlah saya mengurus diri sendiri....”
“Tek Hoat!” Tiba-tiba Syanti Dewi berkata
dengan nada suara agak keras. “Mengapa kau begini angkuh?”
Tek Hoat memandang dengan mata terbelalak.
“Saya....? Angkuh....?”
“Engkau terluka parah dan perlu ditolong,
mengapa engkau seolah-olah menolak pertolonganku? Engkau benar-benar
mengusirku agar kembali ke sana, agar tertawan oleh Tambolon?”
“Ah, tidak...., tidak.... jangan paduka salah
sangka....!”
“Engkau sungguh.... memuakkan perutku!”
Syanti Dewi bangkit berdiri dan membelakangi Tek Hoat.
Pemuda ini menjadi bengong dan dia bangkit
duduk, memandangi tubuh belakang Syanti Dewi. Dia benar-benar tidak mengerti
harus berkata dan berbuat apa. Sikap wanita ini menbingungkannya, dan dia tidak
dapat menyelaminya. Ketika dia melihat pundak puteri itu berguncang perlahan,
dia terkejut. Puteri itu menangis! Tentu merasa tersinggung dan sakit hatinya,
pantas dia dikatakan memuakkan dan memuakkan perut!
“Ahh, Puteri Syanti Dewi, harap paduka sudi
mengampuni saya.... saya sungguh tidak tahu terima kasih.... saya memang
membutuhkan bantuan dan paduka demikian rela membantu, akan tetapi saya keras
kepala, sombong dan.... memuakkan perut, maafkan saya....” Dengan kaku dia
lalu merebahkan dirinya sehingga kepalanya terbentur batu di belakangnya.
“Aduhhh....!”
Syanti Dewi cepat membalik dan berlutut.
Melihat belakang kepala Tek Hoat menjendol, dia lalu mesrggosok-gosoknya dan
mulutnya berbisik, “Kasihan.... orang muda yang malang....”
“Saya.... saya tidak muda lagi...., paduka
lebih muda....”
“Tek Hoat, aku akan marah kalau kau terus
menerus merendahkan diri, menyebut aku puteri dan paduka. Engkau mau
bersahabat ataukah tidak?” Bibir yang merah itu cemberut.
“Baikiah.... baiklah, put...., eh, Syanti
Dewi. Engkau tentu lebih muda daripada aku....”
Syanti Dewi tersenyum, agak lega karena wajah
pemuda itu tidak sepucat tadi.
“Tentu saja, kau tadi bilang tidak muda lagi,
agaknya engkau sudah kakek-kakek.”
“Aku sudah tua, sudah terlalu tua oleh dosa....”
“Sudah, jangan banyak cakap. Biarkan aku
membalut luka-lukamu dan memberi obat-obat secukupnya.” Dengan jari-jari tangan
cekatan, sedikit pun tidak jijik melihat darah membeku dan luka kehitaman yang
mengerikan, Syanti Dewi mengobati dan membalut luka-luka itu. Bukan main
nyerinya, akan tetapi Tek Hoat menggigit giginya menahan sakit.
“Orang-orang muda, apakah kalian pernah
bertemu dengan muridku?”
Tiba-tiba saja kakek bongkok itu berdiri di
dekat mereka, membuat Syanti Dewi kaget dan hampir menjerit kalau saja dia
tidak menutupi mulut dengan tangannya. Tek Hoat juga bangkit duduk dan
memandang tajam, siap melindungi Syanti Dewi yang dipeluknya dengan lengan
kiri. Ketika dia mengenal kakek bongkok yang tadi datang secara ajaib dan
secara mujijat pula melerai pertempuran, dia bertanya dengan hormat,
“Locianpwe, siapakah murid Locianpwe itu?”
“Dia pemuda gagah perkasa, tinggi besar dan
usianya dua puluh lima tahun, namanya Kok Cu....”
“Maafkan saya, Locianpwe, saya belum pernah
bertemu dengan dia....” jawab Tek Hoat sejujurnya.
Kakek itu menghela napas panjang. “Kalau
begitu, biar aku mencari di lain tempat....”
“Nanti dulu, Locianpwe!” Syanti Dewi berseru
ketika kakek itu berkelebat lenyap. Dalam sekejap mata saja kakek itu
kelihatan lagi dan Tek Hoat diam-diam kagum bukan main. Selama hidupnya baru
sekali ini dia bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian sehebat ini!
“Kau mau bicara apa, Nona?”
“Entah dia murid Locianpwe atau bukan, akan
tetapi saya pernah mendengar nama Kok Cu. Dia itu adalah Kao Kok Cu putera
sulung Jenderal Kao Liang yang dahulu kabarnya lenyap di gurun pasir, bukan?
Kalau Locianpwe mencari dia, sebaiknya ke kota raja menemui Jenderal Kao
Liang.”
“Aihhh....!” Tiba-tiba kakek bongkok itu
menepuk dahinya. “Jadi putera Jenderal Kao....?” Sepasang matanya yang
mencorong itu kini bersinar-sinar sehingga mengejutkan dan menakutkan hati
Syanti Dewi dan Tek Hoat. Mata kakek ini tidak lumrah mata manusia, mencorong
seperti mengandung api!
“Orang muda, engkau menderita keracunan yang
lumayan. Di sini aku menerima berita tentang muridku, sudah sepatutnya pula
kalau aku merubah sedikit keadaanmu agar lekas sembuh!” Kakek itu lalu
menggerakkan lengannya dan Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan
ngeri. Kakek itu berdiri kurang lebih tiga meter jauhnya dari Tek Hoat, akan
tetapi lengannya terus memanjang sampai akhirnya telapak tangannya menempel
di punggung pemuda itu, mengusap beberapa kali di punggung, leher dan pundak,
kemudian lengan itu ditarik. “Aku pergi!” terdengar suaranya akan tetapi
orangnya sudah lenyap!
Syanti Dewi bengong, menoleh ke kanan kiri
dengan bulu tengkuk meremang. Sukar dia percaya bahwa kakek tadi seorang
manusia, pantasnya sebangsa dewa atau juga siluman! Tiba-tiba Tek Hoat berseru
kaget, “Aihh.... aku sudah sembuh!”
Syanti Dewi cepat berlutut mendekati dan
ketika dia memeriksa, benar saja, warna biru kehitaman di dadanya lenyap, juga
luka-luka di leher dan pundaknya sudah tidak hitam lagi, bahkan hampir kering.
Akan tetapi tubuhnya masih lemas sehingga ketika dia bangkit berdiri, dia
terhuyung. Tek Hoat lalu berlutut. “Terima kasih, Locianpwe.”
“Akan tetapi kenapa kau kelihatan lemas
sekali, Tek Hoat?”
“Semua racun telah lenyap dari tubuh, dan
luka-lukaku tidak ada artinya lagi. Akan tetapi tenagaku belum pulih dan aku
perlu mengaso....”
Pada saat itu terdengar sorak-sorai dan
pertempuran makin menghebat, terdengar dari tempat itu. Mendengar ini, Syanti
Dewi terkejut, cepat dia menarik lengan Tek Hoat dan diajaknya terus lari
memasuki hutan yang lebat itu, makin jauh ke dalam. Kalau saja dia tahu bahwa
sorak-sorai itu adalah tanda kedatangan pasukan pembantu dari negerinya, tentu
dia tidak akan lari ketakutan.
Setelah racun yang berada di tubuhnya lenyap
semua berkat kesaktian kakek bongkok, tubuh Tek Hoat menjadi lemas sekali. Akan
tetapi Syanti Dewi terus memaksanya untuk memasuki hutan lebih dalam sehingga
pemuda ini berjalan terhuyung-huyung dipapah oleh dara itu. Hati pemuda ini
terharu bukan main. Seorang dara begitu lembut dan halus, seorang puteri
kerajaan, kini memapahnya, tersaruk-saruk menerjang semak-semak belukar yang
penuh duri sehingga kaki tangan dara itu yang tidak terlindung, luka-luka dan
lecet-lecet berdarah.
Akhirnya senja telah tiba dan biarpun di luar
hutan itu orang masih dapat melihat keadaan, akan tetapi di tengah hutan
besar yang lebat itu, di mana pohon-pohon raksasa dengan daun-daunnya yang
lebat merupakan atap yang menghalangi sinar matahari yang sudah condong ke
barat sudah amat gelap sehingga tidak mungkin melanjutkan perjalanan.
“Kita berhenti di sini....” Syanti Dewi
berkata terengah-engah, sebagian karena lelah memapah tubuh Tek Hoat, akan
tetapi terutama sekali karena tegang takut dikejar Tambolon.
Tek Hoat menjatuhkan diri terguling, rebah di
atas rumput. Syanti Dewi yang sudah lelah itu lalu membuat api unggun dan tak
lama kemudian dia sudah duduk berlutut di dekat tubuh Tek Hoat yang rebah
kelelahan.
“Dewi.... Syanti Dewi.... mengapa engkau
begini bersusah payah untukku....” Tek Hoat mengeluh, hatinya terharu sekali.
“Jangan mengucapkan kata-kata seperti itu,
Tek Hoat. Sudah berkali-kali engkau menyelamatkan aku dengan taruhan nyawamu,
apa artinya bantuanku ini selagi engkau dalam keadaan sakit?”
Hening sejenak. “Tujuh hari lamanya aku di
kereta itu.... dan selama itu engkau berada di bilik kereta depan?”
Puteri itu tersenyum dan mengangguk. Wajahnya
memang sudah kelihatan merah oleh sinar api unggun, sehingga kalau toh sepasang
pipinya berubah merah pun tidak akan kentara.
“Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau
bersembunyi?”
“Engkau tahu, Tek Hoat. Banyak pihak yang
jahat ingin menghalangiku kembali ke Bhutan. Setelah aku dilarikan oleh Bibi
Puteri Milana dari istana, aku bertemu dengan ayah angkatku, Jenderal Kao
Liang. Aku diberi dua losin orang pengawal dan di tengah jalan malah tertawan
oleh Tambolon. Setelah engkau menyelamatkan aku dan mengantarku ke rumah
Perdana Menteri Su, aku lalu ditemukan dengan Paman Panglima Jayin dari Bhutan.
Agar perjalananku aman, maka aku lalu disuruh oleh Paman Jayin agar bersembunyi
di dalam kereta besar itu, dan tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapapun
juga. Bilik belakang itu adalah tempat alat-alat keperluanku. Akan tetapi
engkau muncul pula dan karena engkau telah terluka ketika membantu kami, maka
aku memerintahkan Paman Jayin untuk menolongmu ke dalam bilik belakang. Ketika
engkau masih pingsan.... aku merawatmu. Akan tetapi engkau siuman dan aku
lalu masuk kembali ke bilik depan.”
Jantung Tek Hoat berdebar tegang ketika dia
teringat akan semua pengalamannya di dalam bilik kereta itu. “Dan aku.... aku
mengigau tentang dirimu, aku.... aku bernyanyi.... menyebut-nyebut namamu....
kau.... kau mendengar semua itu....?”
Kembali Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk.
Karena keadaan Tek Hoat itulah maka mula-mula Syanti Dewi tertarik sekali,
merasa kasihan dan timbul perasaan kasih di dalam hatinya terhadap pemuda ini.
Dalam keadaan tidak sadar pemuda ini dengan jelas menyatakan cinta kasih yang
mendalam terhadap dirinya dan hatinya merasa terharu sekali.
“Kalau begitu....” Tek Hoat tidak mampu
melanjutkan.
“Mengapa, Tek Hoat?”
“Kalau begitu aku telah melakukan dosa besar
terhadapmu, Syanti Dewi.”
“Hemm, mengapa?”
“Engkau seorang puteri yang agung, seorang
puteri kerajaan yang mulia, seorang dara yang cantik jelita dan berbudi mulia,
sedangkan aku....”
“Kau adalah penolongku berkali-kali, sejak kau
menyamar sebagai tukang perahu.”
“Tidak, aku adalah seorang yang jahat sekali,
Dewi....”
“Lagi-lagi kau merendah. Sikapmu itu sungguh
tidak menyenangkan, Tek Hoat. Penyesalan diri secara berlebihan tidak ada
gunanya sama sekali kecuali mendatangkan perasaan muak kepada orang lain. Yang
penting adalah menyadari bahwa dirinya telah bertindak keliru. Kesadaran ini
akan mendatangkan perubahan, bukan hanya penyesalan kosong belaka!”
“Maaf, akan tetapi kau.... kau sungguh tidak
tahu siapa aku?”
“Siapa bilang aku tidak tahu siapa engkau, Tek
Hoat? Aku malah mengetahui lebih banyak tentang dirimu daripada engkau sendiri!
Dulu ketika engkau hendak meninggalkan aku di istana Perdana Menteri Su, aku
tidak sempat lagi menceritakan hal ini. Sesungguhnyalah, aku lebih tahu
daripada engkau sendiri tentang dirimu.”
Tek Hoat memandang terbelalak heran. “Apa yang
kaumaksudkan, Dewi?”
Hati Syanti Dewi terharu. Pemuda itu kini
menyebutnya Dewi dan satu-satunya orang yang menyebutnya demikian hanyalah Gak
Bun Beng. Ada persamaan baginya antara pemuda ini dengan Gak Bun Beng!
“Maksudku, aku telah bertemu dengan ibumu yang
bernama Ang Siok Bi! Dan aku telah mendengar ibumu bicara dengan Bibi Puteri
Milana sehingga terbukalah rahasia yang agaknya belum kauketahui sendiri
tentang dirimu.”
Tentu saja Tek Hoat terkejut bukan main dan
bagaikan diserang ular dia bangkit duduk, tidak peduli akan tubuhnya yang
lemas sehingga hampir dia terguling. “Kau berjumpa dengan ibuku? Di mana?
Kapan? Dan apa yang dibicarakannya dengan Puteri Milana?”
Syanti Dewi tersenyum. Dia melihat gairah dan
kerinduan membayang di mata pemuda itu ketika menyebut ibunya dan giranglah
hatinya menyaksikan ini karena dia tahu bahwa pemuda ini mencinta ibunya.
“Sebelum aku menceritakan semua itu, aku ingin
tahu lebih dulu apakah engkau mengenal nama Gak Bun Beng?”
Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi muram.
“Tentu saja! Sampai mati pun aku tidak akan melupakan nama itu!”
“Dan engkau tadinya mengira dia sudah mati,
bukan?”
“Benar, akan tetapi aku girang bahwa dari
Puteri Milana aku mendengar bahwa dia masih hidup. Aku harus dapat mencarinya
dan bertemu muka dengan dia!” Kata-kata ini dikeluarkan dengan nada keras.
“Aku tahu, engkau masih menganggap dia musuh
besarmu. Untung terbuka rahasia itu sehingga aku mengetahui, karena kalau
tidak, dan engkau masih terus menganggap dia musuh besarmu.... hal itu.... akan
amat mendukakan hatiku, Tek Hoat. Ketahuilah bahwa dia itu sesungguhnya
bukanlah musuh besarmu, bahwa Gak Bun Beng adalah semulia-mulianya manusia,
seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang patut dihormati dan dikagumi....”
“Dewi! Apa maksudmu?”
“Dengarlah baik-baik apa yang kudengar dari
pembicaraan antara ibumu dan Bibi Milana. Sebelum bertemu dengan Bibi Milana,
Ibumu sendiri, Bibi Ang Siok Bi itu, juga menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh
besarnya yang sudah mati. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng belum mati, bahkan
sama sekali bukan musuh besarnya. Katakanlah dulu, Tek Hoat, apa yang
diceritakan oleh ibumu tentang ayahmu dan tentang Gak Bun Beng?”
“Ibu menyatakan bahwa ayahku bernama Ang
Thian Pa dan bahwa ayahku itu dibunuh oleh penjahat Gak Bun Beng yang juga
telah berhasil dibunuh oleh Ibu. Dan ternyata sekarang bahwa Gak Bun Beng masih
hidup....”
“Dia sama sekali bukan penjahat, melainkan
seorang pendekar besar berhati mulia! Ibumu dahulu salah duga, Tek Hoat, dan
beginilah menurut percakapan antara ibumu dan Puteri Milana. Dahulu di waktu
masih gadis, ibumu telah diperkosa oleh seorang penjahat muda yang dilakukan
dalam gelap dan penjahat muda itu mengaku bernama Gak Bun Beng karena Gak Bun
Beng adalah musuh besarnya.... eh, kenapa kau?” Syanti Dewi terkejut melihat
pemuda itu memegangi kepalanya.
“Tidak, tidak apa-apa, teruskan!” Tek Hoat
berkata. Kepalanya seperti dihantam palu godam mendengar permulaan cerita itu,
karena dia seolah-olah diejek dan disindir, teringat akan perbuatannya sendiri
yang melakukan segala kejahatan menggunakan nama Gak Bun Beng pula!
“Nah, tentu saja ibumu menganggap Gak Bun Beng
sebagai musuh besarnya dan pada suatu hari, bersama wanita-wanita lain yang
menjadi korban pemuda jahat yang menyamar sebagai Gak Bun Beng, ibumu dan
beberapa orang wanita berhasil mengeroyok Gak Bun Beng sampai pendekar itu
terjerumus ke dalam jurang yang dalam dan disangka mati. Ibumu lalu pergi dan
tak pernah muncul kembali sehingga dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng belum
tewas. Di antara para pengeroyok itu terdapat Bibi Milana. Bibi Milana akhirnya
tahu bahwa Gak Bun Beng tidak berdosa, dan penjahat yang sesungguhnya, telah
tewas menebus dosanya. Akan tetapi ibumu agaknya tidak atau belum tahu sehingga
ketika melahirkan engkau, dia hendak menanam bibit kebencian di hatimu terhadap
Gak Bun Beng yang disangka pemerkosanya.”
Dengan wajah pucat sekali Tek Hoat memandang
Syanti Dewi. Andaikata bukan puteri itu yang bercerita seperti ini, bukan
wanita yang dipujanya, dicintanya dan tentu saja dipercayanya, tentu dia akan
marah dan akan membunuh yang bercerita itu.
“Dewi.... Dewi.... demi Tuhan....! Benarkah
itu....?”
“Aku mendengar sendiri, dan perlu apa aku
membohongimu?”
“Lalu.... lalu bagaimana....? Lalu siapa orang
itu? Siapa.... pemerkosa Ibu dan.... ayahku itu....?”
“Dia bernama Wan Keng In, putera tiri dari
Pendekar Super Sakti sendiri. Jadi engkau masih cucu tiri Pendekar Super Sakti
dari Pulau Es, dan engkau bukan she Ang, karena itu she Ibumu melainkan she
Wan.”
“Dan.... dan Ang Thian Pa.... ah, bisa jadi
dialah kakekku.... bekas ketua Bu-tong-pai.... ahh, Ibuuu...!” Tek Hoat
menjerit lalu terguling dan pingsan. Tentu saja Syanti Dewi menjadi sibuk
sekali, mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan memanggil-manggil.
***
Panglima Jayin dan anak buahnya, juga pasukan
yang baru tiba dan berhasil menyelamatkan mereka, dibantu pula oleh See-thian
Hoat-su dan Teng Siang In, setelah Tambolon dan anak buahnya melarikan diri, bingung
karena Puteri Syanti Dewi dan Tek Hoat tidak berada di dalam kereta!
“Celaka, kita kena diperdaya musuh!” Jayin
berseru dan dia lalu menyebar orang-orangnya untuk mencari ke sana-sini.
“Hemmm, nenek gila itu sungguh keterlaluan.
Tidak salah lagi, tentu mereka telah berhasil menawan Sang Puteri dan pemuda
itu. Pemuda itu terluka hebat, tentu tidak mampu melawan. Awas kau, Durganini,
sekali ini aku tidak akan mengampunimu kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sang
Puteri!” See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya.
“Suhu, kenapa tidak tadi-tadi kau merobohkan
nenek itu dan baru sekarang mengancam setelah dia pergi dan berhasil menculik
Sang Puteri?” Muridnya menegur dan kakek itu hanya menunduk dan menarik napas
panjang. Harus diakuinya bahwa dia lemah terhadap bekas isterinya itu sehingga
kini mengakibatkan malapetaka.
“Betapapun juga, kita harus berusaha mencari
dan mengejar mereka,” Panglima Jayin yang merasa khawatir sekali akan
keselamatan puteri junjungannya berkata.
Tiba-tiba terdengar Siang In berseru nyaring,
“Heiii....! Kiranya kau laki-laki genit juga berada di sini....!”
Semua orang menengok dan ternyata yang muncul
adalah Suma Kian Bu! Seperti telah kita ketahui, baik Kakek See-thian Hoat-su
maupun Panglima Jayin dan empat orang pembantunya pernah berkenalan dengan Kian
Bu, bahkan sama-sama menjadi tawanan Tambolon, kemudian sama-sama melarikan
diri di atas rakit dan melawan anak buah Tambolon. Tentu saja kemunculan pemuda
perkasa ini menrgirangkan semua orang. Akan tetapi Siang In yang girang sekali
bertemu kembali dengan pemuda ini, tidak memberi kesempatan kepada orang-orang
lain untuk menyambut Kian Bu. Dia sudah lari menghampiri Kian Bu dengan
kegembiraan meluap dan tak terbendung lagi dia memegang lengan tangan Kian Bu sambil
bicara dengan asyik, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Kian Bu untuk
bernapas lagi!
Siang In teringat akan pertemuannya yang
pertama dengan Kian Bu, maka sambil tertawa cekikian menutupi mulutnya dia
menceritakan dengan suara nereces tiada hentinya tentang pengalamannya,
betapa dia menjadi murid See-thian Hoat-su dan lain sebagainya.
“Kauingat pertemuan kita dahulu? Wah, aku
sudah kangen sekali kepada Pek-liong, kudaku yang hebat itu. Kau menyebutnya
keledai, ya? Salah! Dia itu kuda, kuda peranakan keledai, jadi masih kuda juga
namanya! Dan aku sekarang sudah lebih pandai meniru gayamu dahulu itu! Hayo
kita ke sana, kuperlihatkan kepadamu!” Siang In menowel dagu Kian Bu begitu
saja di depan banyak orang lalu menarik tangan Kian Bu pergi dari situ. Semua
orang tersenyum-senyum dan See-thian Hoat-su tertawa bergelak melihat kepolosan
sikap dara remaja yang masih kekanak-kanakan itu. Wajah Kian Bu menjadi merah
sekali. Pemuda ini menyeringai dan serba salah, akan tetapi kalau dia berkeras
menolak, dia merasa tidak tega. Dara itu begitu polos, begitu jenaka dan
kekanak-kanakan sehingga di balik semua lagaknya itu tidak tersembunyi
maksud-maksud tertentu, melainkan wajar terbawa oleh kegembiraannya. Maka dia
pun membiarkan dirinya ditarik menjauhi semua orang sehingga tidak tampak lagi
oleh mereka.
“Nah, kaulihat. Bukankah begini lagak
wanita genit memikat itu?” Siang In mulai beraksi, mengitari tubuh Kian Bu,
berlagak, mengerling, tersenyum simpul, manisnya bukan main, melebihi orang yang
ditirunya sendiri, yaitu Mauw Siauw Mo-li. Dia menowel, menyodok, mencubit
dengan wajah menengadah, begitu menantang, begitu menggoda agar Kian Bu memuji
kepandaiannya. Akan tetapi, dara itu sama sekali tidak tahu bahwa yang
dihadapinya sekarang ini bukanlah Kian Bu yang dahulu lagi! Bukan Kian Bu yang
masih hijau dan kekanak-kanakan pula. Kian Bu yang sekarang adalah seorang
laki-laki bukan kanak-kanak lagi, sudah digembleng dalam buaian asmara dan
permainan cinta oleh Lauw Hong Kui si Siluman Kucing, sudah diperkenalkan
dengan madunya asmara yang memabokkan, sudah pernah menghamba kepada nafsu
berahi. Kini, melihat bibir yang manis, merah merekah itu setengah terbuka
menantang sekali, tersenyum simpul melihatkan sedikit gigi putih dan ujung
lidah, melihat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis dan mata itu
menyambar-nyambar dengan kerlingan memikat, dada yang mulai membusung itu
mengalun naik turun, pinggang yang ramping berliuk dan pinggulnya
bergerak-gerak memutar ke kanan kiri, dua kuncir rambut yang hitam panjang itu
menari-nari di belakang pinggulnya saking panjangnya, jantung Kian Bu sudah
berdebar seperti mau pecah.
“Kau.... menggemaskan....!” Dia berbisik dan
ketika dara itu dengan sikap manja dibuat-buat seperti hendak merangkul leher
dengan kedua lengan, menyentuh pundaknya, dia segera menyergap, merangkul dan
mencium mulut itu dengan bibirnya, dikecupnya dengan penuh kemesraan dan penuh
semangat, sampai lama tidak dilepaskannya.
Siang In gelagapan seperti seekor anak ayam
jatuh ke air, tak dapat bernapas dan meronta-ronta, dari kerongkongannya
keluar suara ah-ah-uh-uh karena mulutnya tersumbat, kedua kakinya
menyepak-nyepak seperti seekor kuda marah. Setelah akhirnya Kian Bu
melepaskannya, dia memandang pemuda itu dengan sepasang mata yang terbelalak
lebar, seperti mata seekor kelinci ketakutan, kemudian tangan kanannya
menyambar ke depan.
“Plak-plak-plak!” Tiga kali pipi kiri Kian Bu
ditamparnya sampai ada tapak tangan merah di atas pipi itu.
“Kau.... kau.... jahat! Kau menjijikkan....!”
Gadis itu lalu menangis dan membalikkan tubuh lagi sambil meludah cah-cih-cuh
ke kanan kiri!
Tentu saja semua orang terkejut dan
terheran-heran melihat dara itu berlari keluar dari gerombolan pohon sambil
menangis, kemudian menubruk dan merangkul gurunya sambil menangis
tersedu-sedu.
“Eh, ada apa? Apa yang terjadi?” See-thian
Hoat-su bertanya, akan tetapi gadis itu hanya membanting-banting kedua kakinya
tanpa mau memberi tahu dan terus menangis.
“Kenapa, Siang In? Dan di mana Suma Kongcu?”
tanya pula gurunya, akan tetapi gadis cilik itu hanya menggeleng-geleng kepala
dengan keras dan masih menangis, menyembunyikan mukanya di baju suhunya.
Jayin mengejar ke tempat dari mana gadis itu
tadi lari keluar, akan tetapi dia tidak melihat Kian Bu lagi. Kemudian dia
memperoleh keterangan dari seorang anak buahnya bahwa pemuda itu setelah
mendengar keterangan darinya tentang semua peristiwa yang baru terjadi, bahwa
mungkin Syanti Dewi dan Tek Hoat dilarikan oleh Tambolon dan anak buahnya
karena Tek Hoat dalam keadaan terluka hebat, lalu pergi dan mengatakan hendak
mengejar dan mencari mereka!
Jayin lalu kembali dan menceritakan hal ini
kepada See-thian Hoat-su. Setelah Siang In mendengar bahwa Kian Bu telah pergi,
barulah dia menghentikan tangisnya dan dia lalu duduk termenung-menung
menunjang dagunya, dengan mulut cemberut dan bersungut-sungut, kadang-kadang
menelan ludah.
Sementara itu, Kian Bu cepat lari dari tempat
itu. Dia merasa malu dan menyesal sekali mengapa dia sampai lupa diri dan
berbuat seperti itu terhadap seorang dara remaja seperti Siang In! Dia merasa
serba salah, maka dia pergi dari situ, bertemu dengan seorang pembantu Jayin
dan menanyakan urusan. Ketika mendengar bahwa Syanti Dewi terculik musuh, dia
terkejut dan khawatir sekali. Betapapun juga, cintanya terhadap Puteri Bhutan
itu masih melekat di kalbunya, bahkan luka oleh penolakan puteri itu masih
belum sembuh. Diam-diam dia harus mengakui bahwa luka itulah yang membuat dia
mudah tergoda oleh Lauw Hong Kui. Andaikata cinta kasihnya diterima dan
dibalas oleh Syanti Dewi, jangankan baru Hong Kui, biar ada tujuh bidadari
turun dari kahyangan untuk menggodanya, tentu dia tidak akan runtuh! Dan
godaan Hong Kui sebagai akibat patah hatinya terhadap Syanti Dewi itu
mendatangkan akibat yang hebat, membuat dia lemah menghadapi wanita sehingga
di depan Siang In tadipun dia tidak dapat menahan diri! Kini, Syanti Dewi yang
dicintanya diculik orang! Dia lalu menyusup-nyusup ke dalam hutan yang lebat
itu karena dia menduga bahwa agaknya menghadapi pasukan besar Bhutan, Tambolon
tentu membawa lari puteri itu dan bersembunyi di dalam hutan lebat ini.
Hutan itu makin lebat dan makin gelap saja.
Malam itu terpaksa Kian Bu bermalam di atas pohon besar. Pada keesokan harinya,
setelah matahari naik tinggi baru dia terbangun. Tubuhnya terlalu lelah
sehingga tidur di atas pohon itu amat nikmat, membuat dia pulas sampai hampir
siang baru terbangun oleh suara yang terdengar di bawah pohon. Ketika dia
memandang ke bawah, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Tambolon dan
nenek hitam yang lihai itu berjalan perlahan dan menengok ke kanan kiri.
“Tidak salahkah kau, Tambolon?” Terdengar
nenek itu mengomel. “Awas, akan kujewer telingamu kalau puteri itu tidak berada
di sini.”
“Tidak mungkin salah, Subo. Di dalam
keributan, puteri itu menghilang. Ka mana lagi kalau tidak ke hutan lebat ini,
dan tadi kita menemukan jejak mereka dan sedikit darah. Agaknya puteri itu lari
bersama Tek Hoat yang sudah terluka.”
“Heh, pemuda itu memang hebat!”
“Tapi sudah terluka parah, Subo. Terkena
guratan kuku Subo dua kali, mana bisa dia bertahan hidup? Dan masih terkena
pukulan dan tendangan. Andaikata dia belum mampus pun, tentu tidak akan mampu
melawan lagi.”
Mereka melanjutkan perjalanan,
menyusup-nyusup dan perlahan-lahan sambil memandang ke kanan kiri. Dua orang
itu tidak tahu betapa diam-diam Kian Bu membayangi mereka dari jauh, dengan
hati-hati sekali. Kian Bu berani bergerak kalau kedua orang itu bergerak
sehingga suara keresekan kaki mereka menginjak daun-daun kering menyembunyikan
suara berisik dari kakinya sendiri. Kalau mereka berhenti, dia pun cepat
berhenti.
Tiba-tiba nenek itu berhenti dengan mendadak.
“Aku mendengar suara orang!” bisiknya. Tambolon terkejut, memasang telinga,
akan tetapi tidak mendengar apa-apa.
“Tidak ada suara, Subo.”
“Tolol! Tadi aku mendengar, suaranya dari
belakang.”
Tambolon membalik dan memandang ke belakang.
Sunyi saja. Diam-diam dia mengomeli subonya yang dianggapnya sudah pikun. Mana
mungkin ada orang di belakang? Kalau ada tentu sudah mereka lewati dan mereka
lihat tadi.
“Tidak ada siapa-siapa, Subo. Mari kita
lanjutkan. Aku dapat menduga ke mana mereka pergi.”
“Ke mana?”
“Aku sudah mengenal betul hutan ini.
Satu-satunya sumber air di hutan ini adalah di depan, di bawah pohon pek yang
besar. Dan kalau Tek Hoat terluka parah, tentu mereka membutuhkan air. Agaknya
ke sanalah mereka.”
“Benarkah? Jangan salah, Tambolon, aku sudah
gelisah, duri-duri ini tidak enak sekali mencakar-cakar kaki!” nenek itu
mengomel lagi.
Diam-diam Kian Bu makin berhati-hati. Nenek
ini boleh jadi sudah pikun, akan tetapi ternyata masih memiliki kepekaan
seorang ahli silat tinggi yang biarpun tidak mendengar dengan telinganya,
mampu menangkap dengan kepekaannya. Kembali dia mengikuti sampai agak jauh,
makin lama makin mendalam di hutan yang amat lebat.
“Ssssttt....!” Tiba-tiba Tambolon
mengeluarkan suara desis ini. Mereka berdua mendekam dan Tambolon menuding ke
depan. Dari jauh Kian Bu melihat hal ini, maka dia cepat mendaki pohon besar,
tidak berani meloncat, khawatir kalau-kalau melanggar daun kering. Dia mendaki
tanpa mengeluarkan suara dan dari atas dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh
Tambolon. Jantungnya berdebar tegang. Tak salah lagi, wanita cantik jelita yang
menuruni jalan menurun ke arah sumber air itu, yang pakaiannya kusut dan
rambutnya awut-awutan namun masih tampak luar biasa cantiknya, adalah Syanti
Dewi yang dicari-carinya. Dara bangsawan itu menuruni jalan berbatu yang licin
sambil membawa sebuah periuk air butut dari tanah, sama sekali tidak tahu bahwa
ada bahaya mengancam di belakangnya.
Tentu saja Tambolon menjadi girang sekali
melihat Puteri Bhutan ini. Puteri ini merupakan orang yang sangat berharga
baginya, karena kalau puteri ini berada di tangannya, seolah-olah dia
memegang kekuasaan atas Raja Bhutan di dalam tangannya. Maka dia lalu berjalan
berindap-indap menuruni jalan itu, lupa kepada gurunya yang ditinggalkan begitu
saja dan Nenek Durganini yang pikun itu telah mulai melenggut dan mengantuk di
tempatnya karena dia memang sudah lelah sekali.
Bagaikan seekor harimau yang mengintai dan
mendekati calon mangsanya, Tambolon berjingkat-jingkat mendekati, kemudian
mengambil ancang-ancang dan diterkamnyalah Puteri Syanti Dewi yang sedang
mengambil air dengan periuk butut itu.
“Bresss....!”
“Aihhhh....!” Yang menjerit itu adalah Syanti
Dewi ketika tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan ketika menoleh dia
melihat Tambolon menubruknya. Akan tetapi pada saat itu dari samping juga
meloncat seorang pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu sehingga
bertemulah pemuda ini dengan Tambolon di tengah udara. Tubuh Tambolon
terbanting ke samping dan raja liar ini terkejut bukan main ketika melihat
bahwa yang menghalangihya adalah pemuda tampan yang sudah diketahuinya amat
lihai itu.
“Keparat, berani engkau menghalangiku?”
bentaknya.
“Tambolon, manusia kejam! Sekali ini aku akan
membunuhmu!” bentak Suma Kian Bu.
“Bu-koko....!” Syanti Dewi berseru girang
ketika dia mengenal pemuda itu, akan tetapi dia khawatir sekali. Cepat
diraihnya periuk yang sudah terisi air itu dan dia menjauhkan diri dari mereka
yang sudah saling serang dengan dahsyatnya itu.
“Syanti Dewi, kau larilah cepat....!” Kian Bu
berseru sambil mengelak ketika pedang Tambolon menyambarnya, dan secepat kilat
dia menghantam dengan pengerahan Swat-im Sin-kang yang amat dingin.
Tambolon terkejut, tidak berani menerima
pukulan yang dahsyat dan berhawa dingin itu, mengelak sambil menyabetkan
pedangnya dari samping, juga menggerakkan tangan kirinya mencengkeram. Namun
kembali Kian Bu dapat mengelak dengan mudah karena baginya, semua gerakan
Tambolon masih terlampau lambat. Dengan marah pemuda itu terus mainkan ilmu
silat tangan kosong yang amat tinggi mutunya. Sebagai putera tersayang dari
Puteri Nirahai, tentu saja dia banyak mewarisi ilmu-ilmu silat tangan kosong
yang banyak dikenal ibunya. Sebentar dia mainkan Sin-coa-kun (Silat Ular
Sakti), lalu dirubah dengan jurus-jurus dari Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis)
yang telah digabung dengan Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa). Dengan ilmu-ilmu
silat tinggi yang diubah-ubah ini, biarpun dia memegang pedang, Tambolon yang
kasar itu menjadi bingung dan beberapa kali dia kena ditendang dan digampar,
dan hanya mengandalkan tubuhnya yang kekar dan kebal itu saja maka dia masih
belum roboh. Akan tetapi beberapa kali tamparan tangan Kian Bu yang mengandung
Swat-im Sin-kang membuat dia menggigil dan jerihlah raja liar ini.
“Subo, tolong....! Subo....!”
Akan tetapi nenek itu tidur mendengkur dengan
mulut terbuka, giginya ompong semua sehingga ilarnya tidak ada yang menahan
lagi, mengalir turun melalui ujung bibirnya.
“Suboooo....!” Tambolon berteriak.
“Desss....!” Tubuhnya terpental dan
terguling-guling terkena tendangan Kian Bu dan raja liar ini terus sengaja
menggulingkan dirinya ke dekat subonya, tidak peduli pakaiannya menjadi kotor
semua.
“Subo.... Subo.... bangun, bangun....,
tolonglah aku!” Kini dia mengguncang-guncang tubuh subonya.
“Aaaahhhh, plak-plak! Aduh....!” Memang
sedang sialan Tambolon sekali ini. Karena terkejut dibangunkan secara keras,
Nenek Durganini terbangun dalam keadaan bingung dan tanpa memilih bulu lagi
kedua tangannya menampar sehingga kedua pipi Tambolon kena ditampar sampai
bengkak-bengkak!
“Subo, ini aku....! Itu di sana musuhku....!”
Tambolon berteriak sambil memegangi mukanya yang bengkak dan terasa nyeri
bukan main. Hampir copot giginya oleh tamparan nenek itu.
“Apa....? Heeii...., kaukah itu? Siapa?
Mana....?” Nenek itu masih bingung karena semangatnya masih tertinggal di luar
setengahnya.
“Itu dia musuh kita, Subo. Bunuhlah dia!”
Tambolon menuding.
Kini Nenek Durganini dapat melihat Kian Bu.
Timbullah kemarahannya karena dia merasa terganggu tidurnya yang amat
menyenangkan tadi, terbongkok-bongkok menghampiri Kian Bu.
“Keparat, kau berani mengganggu tidurku, ya?
Kau sudah bosan hidup barangkali?” Nenek itu menggerakkan tongkatnya.
“Wirrr.... siuuut....!” Tongkat itu
menghantam ke arah kepala Kian Bu.
Pemuda ini sudah mengerti bahwa nenek ini
amat lihai dan pandai ilmu sihir, maka dia cepat menangkis dengan lengannya
sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kiang.
“Plakkk!”
“Aihhh.... dingin.... dingin bukan main....!”
Nenek itu menggigil, kemudian dia berkemak-kemik dan melontarkan tongkatnya.
“Coba kaulawan ini, orang muda yang banyak tingkah!”
Kian Bu sudah tahu bahwa nenek ini adalah
seorang ahli sihir, maka dia sudah mengerahkan sin-kangnya. Ayahnya sendiri
adalah seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman, memiliki
kekuatan gaib, akan tetapi kekuatan gaib ayahnya itu bukanlah ilmu yang dapat
diturunkan kepada orang lain, melainkan kekuatan pembawaan yang tidak dapat
diajarkan. Namun, sebagai seorang putera pendekar sakti, tentu saja dia tahu
bahwa dengan pengerahan sin-kang dia dapat melawan pengaruh sihir. Dia sudah
mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi ternyata dia masih kalah kuat dan
terpengaruh juga. Tongkat yang dilontarkan itu tiba-tiba berubah menjadi
seekor naga hitam yang mulutnya mengeluarkan api dan matanya mencorong
menakutkan. Kalau orang lain, tentu sudah lemas dan tidak berani melawan. Akan
tetapi Kian Bu, biarpun kalah kuat dan matanya masih melihat tongkat sebagai
naga, sama sekali tidak menjadi gentar dan dia menyambut terkaman naga itu
dengan hantaman kedua tangannya yang mengandung tenaga Hwi-yang Sin-kang
(Tenaga Sakti Inti Api) di tangan kanan dan tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga
Sakti Inti Salju) di tangan kiri.
“Blarrr.... darrrr....!” Bukan main hebatnya
gabungan dua tenaga ini yang merupakan inti dari ilmu orang-orang Pulau Es.
Biarpun naga itu hahyalah jadi-jadian dan hasil ilmu sihir dari Nenek
Durganini, namun karena nenek itu tidak kuat menghadapi penggabungan tenaga
sakti itu, naga itu lenyap dan ternyata tongkat hitam itu telah terbanting ke
atas tanah dalam keadaan patah-patah!
“Aihhhh....!” Nenek itu menjerit dengan suara
tinggi sekali sehingga terdengar amat tajam seperti mengiris jantung. “Bocah
lancang...., lihat ini....!”
Kian Bu yang menjadi besar hati karena melihat
pukulannya memusnahkan ilmu sihir tadi, memandang dan inilah kesalahannya. Dia
disuruh memandang dan dia memandang, maka seketika dia terkejut sekali karena
melihat nenek itu seperti bukan lagi Nenek Durganini, melainkan Puteri
Nirahai, ibunya sendiri!
“Ibu....!” Dia berteriak, menggosok-gosok
matanya.
“Hi-hik, aku memang ibumu. Ke sinilah,
Nak....!”
Kian Bu lari menghampiri.
“Desss....!” Pemuda itu terpelanting dan
kepalanya terasa pening ketika dia menerima hantaman tangan kurus yang
bertenaga mujijat itu. Untung dia tadi dalam kagetnya karena “ibunya” memukul,
masih sempat miringkan kepalanya sehingga yang terkena hanya tengkuknya, bukan
kepalanya.
Kian Bu kaget dan bingung. Mengapa ibunya
memukulnya sedemikian rupa? Dia memandang dan masih saja ibunya yang berdiri di
situ.
“Ibu....!”
“Hayo berlutut kau!” Ibunya berkata dan Kian
Bu berlutut.
“Subo, pergunakan pedangku!” Tambolon
berteriak dan melemparkan pedangnya, diterima oleh Nenek Durganini yang oleh
Kian Bu masih kelihatan sebagai ibunya itu. Pemuda ini bingung. Mengapa
Tambolon menyebut ibunya subo?
Pada saat itu, tiba-tiba turun hujan dari atas
langit. Memang sejak tadi cuaca sudah mendung dan beberapa air hujan pertama
menimpa kepala Kian Bu.
“Cessss....!” Dingin sekali rasanya air hujan
itu menimpa kepalanya dan mata Kian Bu terbelalak. Kiranya yang disangka
“ibunya” itu adalah Nenek Durganini yang buruk dan yang kini sudah mengangkat
pedang hendak membacok kepalanya. Otomatis Kian Bu mengerahkan tenaga
Hwi-yang Sin-kang dan sambil melompat dia mengirim pukulan.
“Blarrr....!” Pedang di tangan nenek itu
terpental dan nenek itu sendiriterhuyung ke belakang. Kian Bu meloncat ke
belakang dan siap menghadapi dua orang lawannya itu. Sementara itu, hujan turun
dengan derasnya. Dan tiba-tiba nenek itu menangis.
“Aduhh.... hu-hu-hu.... celaka....
Tambolon.... Tambolon....! Mana payung? Mana payung? Wah, aku bisa masuk angin
kehujanan.... huuuuhhh, bisa kumat penyakit
tulangku....
hu-huuhhh....” Terseok-seok nenek itu lari mencari tempat untuk meneduh, di
bawah sebatang pohon besar!
Suma Kian Bu tidak memperhatikan guru dan
murid itu lagi. Dia mencari-cari dengan pandang matanya, kemudian dia lari
mengejar ke arah larinya Syanti Dewi dengan hati penuh kekhawatiran terhadap
dara bangsawan itu. Hujan masih turun dengan derasnya dan akhirnya dia melihat
sebuah kuil bobrok di tengah-tengah hutan. Cepat dia menghampiri kuil rusak itu
dan berindap-indap masuk, lalu dia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik
pilar. Apa yang dilihatnya?
Di sana, di sebelah dalam kuil tua itu,
dilihatnya Tek Hoat rebah terlentang, agaknya menderita sakit. Pundak dan
lehernya dibalut, dan Syanti Dewi dengan sikap mesra dan penuh kasih sayang
sedang memberi minum kepada pemuda itu!
“Dewi.... ah, kau bilang Tambolon dan
Durganini....? Ah.... aku harus melawan mereka.... aku harus melindungimu....”
Terdengar Tek Hoat berkata dan pemuda itu hendak bangkit.
Akan tetapi Syanti Dewi memegang pundaknya.
“Jangan, Tek Hoat, engkau baru saja sembuh, tenagamu belum pulih, mana mungkin
engkau melawan mereka? Sama dengan membunuh diri. Biarlah, kita bersembunyi di
sini. Kalau Thian menghendaki, mereka tentu tidak akan mampu menemukan kita.
Kalau memang dikehendaki bahwa kita akan mati di tangan mereka, biarlah kita
mati bersama....”
Penglihatan dan pendengarannya di waktu itu
seperti ujung pedang tajam meruncing menusuk-nusuk jantungnya. Kian Bu menjadi
makin patah hati. Kiranya Syanti Dewi menolak cintanya karena puteri itu
mencinta Tek Hoat! Dia lalu keluar lagi dan lari ke tempat tadi. Tidak! Syanti
Dewi tidak akan dapat diketemukan mereka! Tidak seorang pun di dunia ini boleh
mengganggu kebahagiaan puteri itu. Dilihatnya nenek itu masih mengeluh panjang
pendek kehujanan di bawah pohon dan Tambolon sedang duduk bersila mengumpulkan
tenaga dan luka-lukanya akibat pertandingan berturut-turut melawan orang-orang
muda yang perkasa, yaitu melawan Tek Hoat kemudian menghadapi Kian Bu tadi.
“Iblis keji, kalian harus mampus!”
Kian Bu berteriak seperti orang gila karena
dia dilanda kekecewaan, patah hati yang membuat dia marah bukan main, apalagi
dianggapnya dua orang ini mengancam keselamatan Syanti Dewi. Dengan terjangan
kilat dia membuat Nenek Durganini dan Tambolon yang tidak menduga-duga itu
terlempar ke belakang dan terguling-guling. Melihat kedahsyatan pemuda ini,
Tambolon dan Nenek Durganini menjadi jerih dan mereka lalu melarikan diri
tunggang langgang. Tadinya Tambolon hendak melawan, mengandalkan gurunya.
Akan tetapi nenek itu sudah habis semangatnya bertempur tertimpa hujan basah
kuyup, seperti batang kering tertimpa hujan, menjadi lemas dan dia hanya
mengomel panjang pendek sambil melarikan diri pontang-panting bersama muridnya,
meninggalkan hutan itu jauh-jauh sambil berteriak-teriak memanggil anak buah
mereka.
Kian Bu tidak mengejar. Sejenak pemuda yang
patah hati ini berdiri tegak seperti patung, tidak peduli akan turunnya hujan
deras yang menyiram tubuhnya. Lalu dengan langkah gontai dia bergerak,
tersaruk-saruk dan pergi tanpa tujuan tertentu. Hanya satu hal yang terasa di
dalam dadanya, hatinya tertekan hebat. Tidak dipedulikan pula kulit-kulitnya
lecet akibat pertempuran dan akibat duri-duri runcing merobek celana di
pahanya, pahanya berdarah. Dibiarkannya saja darah bercampur air hujan,
seolah-olah darah itu mengucur dari dalam hatinya. Semangatnya melayang-layang
dan dia merasa kesedihan yang luar biasa menguasai hatinya, membuat dua butir
air matanya keluar dan bercampur dengan air hujan mengalir terus ke dagunya.
Kilat menyambar-nyambar dan hujan yang turun
deras itu menimbulkan suara aneh, seperti bisikan, seperti nyanyian, mungkin
terdengar riang gembira bagi yang sedang bersuka, namun bagi Kian Bu terdengar
amat menyedihkan.
Bukanlah cinta kasih kalau menimbulkan duka
dan kecewa. Bukanlah cinta kasih kalau merupakan pengejaran nikmat dan suka.
Bukan cinta kasih kalau mengandung dendam dan benci, marah, iri dan dengki.
Hati yang patah bukanlah karena cinta, melainkan karena tidak tercapai apa yang
diinginkannya, karena kecewa, karena itu bukanlah cinta namanya yang
menimbulkan hati yang patah dan luka. Lalu apakah cinta kasih itu? Kalau
kesemuanya itu tidak ada di dalam batin, kalau kita bebas dari semua itu,
bersih dari semua itu, bukan dibebaskan atau dibersihkan, melainkan bebas
karena kesemuanya itu sudah diinsyafi benar-benar, di dalam kebebasan itulah
cinta kasih baru mungkin ada!
***
“Paman, kenapa engkau meninggalkan aku?” Ceng
Ceng menegur Topeng Setan ketika akhirnya dia dapat menyusul orang itu.
Topeng Setan diam saja, tidak menjawab,
melainkan menarik napas panjang dan melangkah terus dengan lebar. Karena
kakinya panjang langkahnya pun lebar sehingga sibuklah Ceng Ceng harus
mengimbangi kecepatannya. Satu langkah dari kaki Topeng Setan berarti dua
langkah dari Ceng Ceng, kadang-kadang malah tiga langkah karena langkahnya
kecil-kecil.
“Paman, kenapakah? Apakah Paman marah
kepadaku?” Ceng Ceng bertanya lagi, kini dengan khawatir dia memegang lengan
Topeng Setan.
Mereka sudah pergi jauh dan tiba di tempat
sunyi. Topeng Setan berhenti dan memandang Ceng Ceng, agaknya sukar untuk
mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia menjawab, “Bagaimana aku bisa marah
kepadamu, Ceng Ceng? Tidak, aku hanya ingin meninggalkanmu, karena aku insyaf
bahwa tempatmu di sanalah, bersama mereka itu. Engkau seorang gadis terhormat,
seorang gadis perkasa, engkau tidak semestinya bersama dengan aku.”
“Aih, Paman, mengapa? Bukankah selama ini
kita bersama-sama? Kita bersusah-payah bersama, menghadapi maut bersama dan
engkau.... engkau telah melakukan segala itu untukku? Mana mungkin aku dapat
kautinggalkan begitu saja. Tidak, ke mana pun engkau pergi, aku ikut, Paman.
Aku tidak mau tinggal dengan siapapun juga.”
“Eh, aku mendengar tadi kau.... kau hendak
diambil mantu oleh jenderal tadi....”
“Jenderal Kao? Ah, dia itu orang yang jujur
dan terbuka. Mungkin dia hanya berkelakar saja.”
Tiba-tiba Topeng Setan memegang lengan gadis
itu. “Ceng Ceng, tahukah kau siapa putera sulung jenderal itu?”
“Entah, aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu!
Apakah aku ini seekor anjing, kucing atau kuda saja mau dijodohkan secara
demikian mudah dengan orang yang tak pernah kulihat? Tidak, aku tidak sudi,
biarpun dia itu putera Jenderal Kao yang kuhormati dan kusayang itu. Dan aku
tidak mau berpisah dari engkau, Paman.”
“Ehh....? Aku tidak mempunyai tempat tinggal,
aku orang miskin dan perantau yang sengsara, masa engkau seorang gadis muda
akan menjadi seorang terlantar seperti aku?”
“Tidak! Mari kuajak kau ke barat, Paman. Kita
ke Bhutan. Puteri Syanti Dewi juga sudah pulang ke Bhutan, dan aku adalah adik
angkatnya. Setidaknya, di sana aku masih mempunyai rumah peninggalan kakekku.
Marilah kita ke sana, Paman....”
“Dan bagaimana dengan.... dia....?”
“Dia siapa?”
“Musuh besarmu!”
“Ohhh...., dia? Kalau aku dapat bertemu
dengan dia, kubunuh dia!”
“Kalau tidak bertemu?”
“Sudah saja, kuanggap dia sudah mampus.”
“Ceng Ceng, engkau benar-benar tidak dapat
menerima uluran cinta kasih dari Pangeran Yung Hwa?”
Ceng Ceng menggeleng kepala. “Aku sudah tidak
berharga lagi, dan sudah kuceritakan kepadamu, Paman. Aku mau hidup sendirian
saja, ah, maksudku dengan Paman kalau Paman sudi menganggap aku sebagai anak
sendiri.”
“Hemmm....”
“Bagaimana, Paman? Sukakah Paman mengantar aku
ke Bhutan?”
“Ke mana pun engkau pergi, aku akan
mengantarmu, Ceng Ceng.”
“Paman amat baik kepadaku, hanya karena aku
mengingatkan Paman akan.... wanita itu? Apakah Paman tidak dapat melupakan
dia?”
“Sampai mati pun aku tidak akan melupakan
dia, Ceng Ceng.”
“Kenapa Paman membunuhnya?”
Topeng Setan menunduk dan Ceng Ceng menyesal
telah mengajukan pertanyaan itu. “Maaf, Paman. Tak perlu dijawab pertanyaanku
itu.”
“Aku telah gila, aku telah mabok.... tidak
sadar, akan tetapi penyesalan seumur hidup terasa, Ceng Ceng....” Suara Topeng
Setan gemetar dan Ceng Ceng ikut terharu.
“Marilah kita melanjutkan perjalanan. Dunia
begini indah, mengapa kita harus mengenang yang sudah-susah?”
Di sepanjang perjalanan Ceng Ceng berusaha
untuk bersikap gembira. Dia lalu menceritakan pengalaman ketika ditawan oleh
Tambolon. “Ketika itu, aku memiliki tenaga yang amat dahsyat, Paman. Entah
mengapa, akan tetapi sekarang telah berkurang kedahsyatan tenaga itu.
Betapapun, masih jauh lebih kuat daripada sebelum itu. Paman lihat!” Ceng Ceng
menghampiri sebongkah batu dan mengayun tangannya yang halus.
“Darrr....!” Batu itu pecah berkeping-keping!
Topeng Setan mengangguk-angguk. “Itu adalah
berkat khasiat anak ular naga, Ceng Ceng. Untung sekali, engkau kehilangan
racun di seluruh tubuhmu yang kaudapat dari Ban-tok Mo-li dan sebagai gantinya
engkau memperoleh kekuatan sin-kang yang dahsyat dari khasiat anak ular naga
itu.”
“Kauajarkan aku ilmu silat agar aku kelak
dapat membantumu kalau ada musuh kuat menentang kita, dan agar aku dapat
melawan musuh besarku yang juga amat lihai itu, Paman.”
“Baik, Ceng Ceng, perlahan-lahan akan
kuajarkan segala ilmuku kepadamu.” Topeng Setan tidak mau menceritakan akan
ilmu baru yang belum lama ini dikuasainya, yaitu tenaga Sin-liong-hok-te dan
Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat.
Ketika pada suatu hari Ceng Ceng menyatakan
keheranannya melihat sinar mata Topeng Setan yang kini berbeda dari biasanya,
mencorong dan berapi, dia menjawab sederhana, “Mungkin hanya penglihatanmu
saja, Ceng Ceng, atau mungkin karena aku kehilangan lenganku.”
Biarpun dia sedang menuju ke barat, akan
tetapi Ceng Ceng tidak pernah menghentikan kebiasaannya mencari musuh besarnya
dengan cara bertanya-tanya kepada para pemilik warung atau rumah penginapan,
para pelayan yang diajaknya bercakap-cakap. Mereka melakukan perjalanan
seenaknya, bahkan kadang-kadang menyimpang untuk menikmati suatu tempat di
pegunungan yang terkenal indah pemandangannya.
Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng dan Topeng
Setan duduk makan di warung makan, kembali Ceng Ceng menggunakan kesempatan
ini untuk bertanya-tanya tentang seorang pemuda tinggi besar bernama Kok Cu,
barangkali para pelayan dan pemilik warung itu ada yang pernah melihatnya. Akan
tetapi tidak ada di antara mereka yang pernah melihatnya, dan pemilik warung
yang melihat dara cantik jelita itu demikian ramah dan tidak pemalu, berani
mengajak mereka bercakap-cakap dengan sikap manis, menjadi suka sekali dan dia
lalu bercerita bahwa ada berita bahwa besok pagi rombongan pasukan Jenderal
Kao akan lewat di dusun itu.
Ceng Ceng pura-pura tidak mengenal nama ini
sungguhpun diam-diam dia menjadi girang pula. “Siapakah jenderal itu dan
mengapa pasukannya mau lewat di sini?” tanyanya, sedangkan Topeng Setan juga
mendengarkan dengan penuh perhatian sungguhpun dia tidak ikut bicara.
“Saya sendiri pun tidak tahu jelas urusannya,
hanya mendengar berita saja,” jawab pemilik warung itu. Selanjutnya dia
menceritakan tentang berita itu karena semua orang di dusun ini mengenal baik
siapa adanya Jenderal Kao yang dahulu seringkali memimpin pasukan mengadakan
pembersihan di daerah ini dan membasmi gerombolan-gerombolan jahat pengganggu
rakyat. Menurut berita itu, karena jasa-jasanya membasmi pemberontak, Jenderal
Kao diangkat menjadi panglima perang. Akan tetapi sebelum berkedudukan di kota
raja sebagai panglima besar itu, jenderal ini lebih dulu akan mentertibkan
kembali pasukan-pasukan yang menjaga tapal batas, di samping memimpin sendiri
pembersihan dan penumpasan sisa-sisa kaki tangan pemberontak yang melarikan
diri ke pedalaman.
Selagi Ceng Ceng dan pemilik warung itu enak
mengobrol didengarkan oleh Topeng Setan, tiba-tiba terdengar derap langkah
orang dan dari luar warung itu masuklah seorang pemuda tampan yang bertubuh
jangkung. Melihat wajah pemuda ini, Ceng Ceng seketika menjadi pucat wajahnya
dan dia bangkit berdiri. Juga Topeng Setan yang melihat pemuda itu kelihatan
kaget sekali.
Muka Ceng Ceng yang pucat seketika berubah
merah sekarang, matanya terbelalak seperti mengeluarkan sinar bernyala penuh
kebencian, tangan kanannya menekan dan mencengkeram ujung meja tanpa
disadarinya. Terdengar bunyi berkerotokan dan meja itu hancur.
“Ah-ehh-ehh....!” Pemilik warung yang tadi
bercakap-cakap dengan mereka dan oleh Ceng Ceng diundang diduk semeja,
terguling dan jatuh tunggang-langgang ketika terdesak meja yang miring dan
matanya terbelalak melihat mejanya itu remuk.
“Keparat....!” Ceng Ceng mengeluarkan suara
lirih seperti menggereng dan tubuhnya sudah melesat ke pintu bagaikan kilat.
Hati siapa tidak akan marah ketika dia melihat munculnya orang yang selama ini
dicari-carinya? Pemuda yang baru masuk itu bukan lain adalah si pemuda laknat,
pemuda tinggi yang dulu telah memperkosanya! Pemuda yang telah merusak
hidupnya. Biarpun pemuda itu kini agak kurus, tidak setegap dulu, akan tetapi
dia tidak akan pangling melihat wajahnya!
Pada saat tubuh Ceng Ceng melesat ke pintu,
sesosok bayangan lain juga meluncur lebih cepat lagi. Ceng Ceng sudah menyerang
ke arah pemuda itu, serangan yang amat dahsyat. Akan tetapi tiba-tiba
tangannya yang sudah terulur ke depan itu tiba-tiba menjadi lemas dan
tubuhnya terbanting ke kiri seperti dilanda ombak yang menghantamnya dari
samping kanan. Hampir saja dia jatuh tunggang-langgang, akan tetapi bayangan
yang amat cepat dan yang menyerangnya itu kini telah menyambarnya dan
merangkulnya sehingga dia tidak terbanting jatuh. Ceng Ceng marah bukan main,
marah dan heran melihat bahwa yang menyerang dan kini merangkulnya itu bukan
lain adalah Topeng Setan sendiri!
“Eh, kau....?” Keheranan lebih menguasai
hatinya melihat kenyataan betapa orang yang paling dipercayanya, yang selama
ini membantunya, bahkan pembantunya mencarikan musuh besarnya itu, kini malah
menghalang-halanginya menyerang dan membunuh musuh besarnya itu!
“Tenanglah, tenang dan telitilah lebih dulu,
Ceng Ceng,” bisik Topeng Setan. “Lihatlah baik-baik, jangan sampai kau
kesalahan membunuh orang lain!”
“Siapa bilang aku salah lihat? Dialah orang
itu! Tak salah lagi, wajah itu sampai mati pun aku tidak akan lupa!”
“Hemm, nanti dulu. Aku pernah kausuruh
melukis orang itu, katamu usianya sudah dewasa, kurang lebih dua puluh lima
tahun. Akan tetapi pemuda itu.... hemm, masih remaja! Dan seingatku, kau bilang
bibirnya agak tebal, tidak setipis bibir pemuda ini, lihatlah dulu yang
benar....”
Ceng Ceng memandang lagi dengan penuh
perhatian ke arah pemuda itu yang tadi menjadi kaget dan heran menyaksikan
seorang wanita cantik ribut-ribut dengan seorang laki-laki yang mukanya buruk
sekali. Dan baru sekarang dia harus membenarkan pendapat Topeng Setan, karena
memang bukan pemuda remaja inilah pemuda yang memperkosanya dahulu.
“Akan tetapi dia juga tinggi, dan
wajahnya.... wajahnya....” Ceng Ceng tiba-tiba terbelalak dan tidak
melanjutkan kata-katanya ketika melihat seorang pemuda lain masuk pula, seorang
pemuda tinggi kurus yang wajahnya juga mirip sekali dengan gambar dari musuh
besarnya itu. Pemuda ini melangkah tenang ke arah meja di mana sudah duduk
pemuda pertama dan pemuda yang ke dua ini masuk bersama dengan seorang kakek
rambut putih panjang terurai yang kakinya cuma satu, akan tetapi gerakannya
gesit sekali seolah-olah kakinya tidak buntung sebelah.
“Itu.... dia....” Ceng Ceng menjadi beringas
memandang pemuda ke dua yang baru masuk. Badannya gemetar, tangannya otomatis
bergerak memukul. Topeng Setan terkejut sekali. Karena tidak
disangka-sangkanya dan gerakan gadis itu cepat sekali, kini gadis ini
benar-benar memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat, dan pukulan yang
diarahkan kepada pemuda itu dengan tangan terbuka amat dahsyatnya. Sin-kang
mujijat yang timbul dari khasiat anak ular naga itu memang ajaib sehingga
ketika Ceng Ceng mengerahkan tenaga memukul, dari tangannya yang terbuka itu
menyambar uap dan angin pukulannya mengeluarkan suara bersuitan!
“Hemmm....!” Suara ini keluar dari mulut kakek
rambut putih yang kakinya buntung sebelah. Dia menengok ke arah Ceng Ceng,
mengangkat tangan kiri ke atas dan.... bukan main anehnya, uap dan angin
pukulan dahsyat dari tangan Ceng Ceng itu menyeleweng dan “tersedot” ke arah
kakek ini dan seolah-olah amblas menghilang ke lubang lengan baju kakek itu!
Ceng Ceng menjerit kaget dan menarik kembali tangannya.
Semua orang yang menyaksikan hal ini terkejut,
tak terkecuali Topeng Setan karena dia maklum bahwa kepandaian kakek buntung
kakinya ini benar-benar amat hebatnya, sukar diukur tingginya. Dan dia tahu
pula bahwa kakek sakti ini bukan orang sembarangan, biarpun jelas bahwa Ceng
Ceng melakukan serangan maut kepada pemuda yang datang bersamanya, kakek itu
ternyata hanya memunahkan saja pukulan Ceng Ceng tanpa kekerasan sama sekali.
“Sabarlah.... kau.... salah lagi,” Topeng
Setan memegang lengan Ceng Ceng. “Lihat baik-baik, dia itu malah lebih jauh
berbeda lagi dari orang yang kugambar itu...., juga lebih muda.... jauh sekali.
Kauingatlah baik-baik....” Topeng Setan berkata berbisik-bisik.
Ceng Ceng terbelalak memandang pemuda yang
kini bersama kakek itu pun berhenti melangkah dan memandang kepadanya. Setelah
pemuda itu menoleh dan memandangnya, baru Ceng Ceng mengakui bahwa memang bukan
ini pemuda laknat musuhnya itu. Akan tetapi wajah itu....! “Tapi.... tapi....
ahhh, bagaimana ini....? Paman.... aku.... aku bingung....” dia merintih
dengan penuh kekecewaan dan rasa penasaran. Badannya menjadi limbung dan lemas,
seluruh tenaganya habis karena kecewa mendapat kenyataan bahwa dua orang pemuda
itu memang benar bukan pemuda laknat yang dicari-carinya, keringat dingin
mengalir keluar dan dia mengeluh panjang lalu jatuh pingsan!
Topeng Setan menjadi bingung tidak karuan.
Kalau Ceng Ceng pingsan terkena pukulan, dia tentu akan bersikap tenang dan
dapat menolongnya cepat-cepat. Akan tetapi dia tahu bahwa gadis ini pingsan
karena tekanan batin dan dia bukanlah seorang tabib yang dapat menyembuhkan dan
mengobati penderita itu. Dengan bingung dia merebahkan tubuh Ceng Ceng di atas
bangku panjang dan menggoyang-goyang tubuhnya.
Pada saat itu, selagi semua orang merubung
Ceng Ceng dengan bingung, muncul seorang nenek yang agaknya masih serombongan
dengan dua orang pemuda yang menimbulkan kegemparan di hati Ceng Ceng tadi,
akan tetapi yang masuknya belakangan. Melihat banyak orang merubung seorang
gadis yang pingsan, nenek ini segera mendekati.
“Aihh, kenapa ada orang menderita begini semua
orang hanya merubung saja?” Nenek itu mengomel dan tanpa banyak cakap lagi
dia lalu memondong tubuh Ceng Ceng dan membawanya ke dalam. “Apakah ada kamar
di sini?” tanyanya sambil melangkah masuk.
Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan
Ceng Ceng dan jatuh kerengkangan kini cepat menghampiri. “Ada.... ada.... mari,
silakan, Toanio,” katanya mengantar.
Topeng Setan melihat cara nenek itu memondong
dan melangkah, tahulah dia bahwa nenek itu pun bukan orang sembarangan. Dia
khawatir akan keadaan Ceng Ceng dan melangkah untuk mengejar, akan tetapi
tiba-tiba lengannya disentuh tangan orang. Ketika dia menengok, dia melihat
kakek berambut putih panjang dan berkaki satu itu berkata tenang dan halus
kepadanya.
“Jangan kau khawatir, biarkan isteriku
mengurusnya. Isteriku lebih ahli dalam hal itu. Aku ingin bicara denganmu,
Sobat.”
Topeng Setan menjadi tidak enak hati untuk
memaksa. Tidak baik memperlihatkan kecurigaan kepada orang-orang yang berniat
baik itu, apalagi dia maklum bahwa kakek dan nenek itu bukanlah orang
sembarangan. Maka dia mengangguk dan duduk di bangku terdekat, tanpa
mengeluarkan kata-kata.
Dua orang pemuda yang mukanya mirip pemuda
laknat musuh besar Ceng Ceng itu adalah putera-putera Jenderal Kao Liang yang
ikut dengan rombongan ayahnya. Mereka itu adalah Kao Kok Tiong, dan adiknya
yang bersama Kao Kok Han, biarpun masih remaja namun memang tubuh mereka
tinggi-tinggi seperti ayah mereka, dan sejak kecil putera-putera Jenderal Kao
Liarg ini tentu saja telah terdidik dan memiliki ilmu silat yang lumayan.
Adapun kakek berambut putih yang buntung sebelah kakinya itu bukan lain
adalah Si Pendekar Super Sakti, sedangkan nenek yang menolong Ceng Ceng itu
adalah isterinya yang ke dua, yaitu Nenek Lulu. Kebetulan saja suami isteri
pendekar dari Pulau Es ini bertemu dengan pasukan Jenderal Kao dalam perjalanan
mereka mencari putera mereka, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu yang sudah
terlalu lama meninggalkan Pulau Es tanpa ada beritanya. Ketika suami isteri
pendekar sakti ini sudah mendengar banyak keterangan tentang dua orang putera
mereka yang berjasa dalam membantu pemerintah membasmi pemberontak, mereka
girang sekali dan kemudian menjadi gelisah juga ketika mendengar tentang halnya
puteri mereka, yaitu Puteri Milana yang kini melarikan diri dari istana. Juga
bahwa dua orang puteranya mungkin sedang menuju ke barat pula untuk
menyelamatkan Puteri Syanti Dewi yang akan dipulangkan ke Bhutan.
Ketika suami isteri ini hendak melanjutkan
pencarian mereka, kedua orang putera Jenderal Kao Liang yang juga hendak
mendahului pasukan melihat-lihat ke dusun di depan, segera mengajak suami
isteri yang mereka hormati dan kagumi itu untuk mengadakan perjalanan bersama.
Untuk menghormati Jenderal Kao, Pendekar Super Sakti tidak keberatan maka
demikianlah, kakek dan nenek sakti ini datang ke dusun itu bersama dua orang
putera Jenderal Kao.
Topeng Setan hanya mendengarkan saja
penjelasan Pendekar Super Sakti. Pendekar yang berpemandangan tajam sekali ini
dapat menduga bahwa orang di balik topeng ini adalah seorang yang luar biasa,
yang memiliki kepandaian mujijat, kentara dari sinar matanya yang mencorong.
Akan tetapi dia dapat menduga pula bahwa orang ini sedang dilanda tekanan
batin yang amat hebat sehingga lebih senang menyembunyikan diri di balik topeng
setan itu.
Topeng Setan merasa tidak tenang dan resah
menghadapi Pendekar Super Sakti yang sinar matanya seolah-olah dapat menembus
hatinya dan menjenguk isi hatinya itu. Belum pernah dia bertemu orang yang
sinar matanya seperti ini. Gurunya memiliki sinar mata mencorong, akan tetapi
pendekar buntung kaki ini sinar matanya seperti dapat menembus segala sesuatu!
Sebentar-sebentar dia melirik ke arah dua orang kakak beradik putera-putera
Jenderal Kao Liang dan kadang-kadang dia menengok ke pintu di mana nenek tadi
memasuki kamar bersama Ceng Ceng. Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan Topeng
Setan segera meloncat berdiri. Nenek itu tersenyum dan biarpun usianya sudah
hampir enam puluh tahun, ternyata Nenek Lulu ini masih jelas membayangkan
betapa cantiknya dia di waktu mudanya.
“Apakah engkau suaminya....?” Secara langsung
nenek itu bertanya kepada Topeng Setan.
Ditanya secara langsung seperti itu, Topeng
Setan merasa seperti ditodong ujung pedang yang runcing dan dia gelagapan.
“Anu.... anu.... itu.... eh, benar.... ah,
bukan....!” Sungguh aneh sekali. Orang yang biasanya tenang dan kokoh kuat
seperti batu karang dan yang lihainya bukan kepalang itu kelihatan tergagap
menghadapi pertanyaan ini. Pendekar Super Sakti sendiri menjadi terheran-heran
dan timbul kecurigaannya. Dia dapat menduga bahwa orang di balik topeng buruk
itu masih belum tua, akan tetapi mengapa menyembunyikan mukanya di balik topeng?
Mengapa segala macam rahasia itu? Dan mengapa pula orang ini kelihatan tertekan
batinnya dan sekarang dalam menjawab pertanyaan yang mudah itu menjadi gagap?
“Jangan khawatir,” nenek itu berkata. “Dia
cuma menderita kaget dan bingung, keselamatannya tidak akan terancam,
sungguhpun menyesal sekali bahwa kandungannya gugur karena memang telah mati
beberapa hari yang lalu. Katakan saja kepada suaminya agar dia beristirahat
dan menjaga diri baik-baik, jangan biarkan terlalu lemah....”
Topeng Setan terkejut bukan main, suaranya
menggigil ketika dia memotong, “Apa.... apa.... maksud Locianpwe....?”
Pendekar Super Sakti tersenyum. Menghadapi
keadaan yang bagaimana pun, bagi kakek ini wajar dan biasa saja, dan dia selalu
tenang. “Isteriku hanya ingin mengatakan bahwa karena sesuatu hal yang tidak
kami ketahui, kandungan wanita muda itu telah gugur, akan tetapi kesehatannya
baik-baik saja. Yang penting adalah kesehatan calon ibu itu, bukan?” Nenek
Lulu tersenyum dan mengangguk.
“Ya Tuhan....!” Topeng Setan berteriak dan
kakek dan nenek itu saling pandang ketika melihat Topeng Setan melesat ke
dalam kamar itu seperti kilat cepatnya. Kecepatan Topeng Setan itu demikian
hebatnya, hampir secepat Ilmu Soan-hong-lui-kun dari kakek yang amat terkenal sukar
dicari tandingannya itu. Nenek Lulu yang melihat ini menggeleng-geleng
kepalanya saking kagum.
“Suamiku, aku berani bertaruh bahwa engkau
tentu akan menemui kesukaran jika seandainya harus bentrok dengan dia. Kulihat
kepandaiannya tidak di sebelah bawah tingkat Bun Beng. Padahal dia masih begitu
muda!”
“Engkau benar, isteriku. Heran, siapakah dia?
Mari kita lihat.”
Nenek Lulu menggeleng kepala. “Urusan mereka
mana boleh kita tahu? Biar kita menanti di sini sambil memesan makan minum.
Bukankah kita masuk ke warung ini untuk makan? Lihat, dua orang muda Kao sudah
menanti-nanti kita.” Mereka lalu menghampiri meja di mana Kao Kok Tiong dan Kao
Kok Han sudah duduk dan memandang peristiwa itu dengan penuh keheranan.
Sementara itu, dengan tubuh menggigil dan
jantung berdebar tidak karuan, Topeng Setan sudah memasuki kamar itu. “Ceng
Ceng.... ah, Ceng Ceng....!” Dia berseru.
Gadis itu sudah duduk di pinggir pembaringan,
mukanya pucat sekali memandang kepada gumpalan-gumpalan darah menghitam di atas
lantai depan pembaringan. Ketika mendengar suara Topeng Setan, dia menengok
dan memandang.
“Paman....!” Dia bangkit berdiri dan menubruk
Si Buruk Rupa itu. “Paman, aku.... aku bingung sekali.... aku.... aku....” Dia
menangis.
Topeng Setan gemetar menahan perasaan. “Ceng
Ceng, sungguh tak kusangka.... kau.... kau mengandung sampai keguguran.... ya
Tuhan....!”
“Akan tetapi aku telah tertolong, Paman.
Nenek yang baik itu menolongku, katanya keguguran ini sudah terjadi beberapa
hari dan kini tinggal keluar saja. Sekarang aku ingat.... agaknya khasiat anak
ular naga....”
“Ya Tuhan...., betapa hebat penderitaanmu,
Ceng Ceng....” Dalam suara Topeng Setan terdengar isak tertahan.
“Tidak apa, Paman. Malah kebetulan! Siapa sih
yang sudi mempunyai anak dari manusia biadab itu? Andaikata tidak gugur karena
anak ular naga itu.... andaikata aku tahu bahwa aku telah mengandung selama
beberapa bulan, tentu akan kugugurkan sendiri!”
“Ahhh, jadi kau.... kau sendiri tidak tahu
bahwa.... bahwa kau.... mengandung, Ceng Ceng?”
“Tidak, Paman. Bagaimana aku tahu?” jawab dara
ini yang memang masih bodoh dalam hal itu dan semenjak kecil tidak ada yang
memberi tahu kepadanya karena dia hidup hanya dengan kakeknya.
“Jangan khawatir.... jangan sedih.... mari kutunjukkan
padamu pemuda yang kejam dan bejat moralnya itu. Mari kuajak kau mencarinya
sampai dapat. Aku bersumpah, sampai dapat!” Topeng Setan melepaskan
rangkulannya, merobek sebagian lebar jubahnya, kemudian dia menggunakan jubah
itu untuk mengambil gumpalan-gumpalan darah di lantai sampai bersih.
Melihat ini, Ceng Ceng terkejut dan
terheran-heran. “Aihhh, Paman. Kotor itu....! Mengapa kaulakukan itu? Untuk
apa....?”
Topeng Setan membungkus rapi gumpalan darah
kental yang menghitam itu, lalu menyimpannya di dalam saku jubah, suaranya
sungguh-sungguh dan agak gemetar, “Ceng Ceng, bagaimanapun juga ini adalah
calon manusia, bukan? Dan dia sama sekali tidak berdosa, tidak ada sangkut
pautnya dengan perbuatan si jahanam keji, maka dia patut dikuburkan sebagai
calon manusia yang tidak berdosa....”
Tiba-tiba Ceng Ceng terisak, menutupi mukanya
dan berbisik, “Kau benar.... dia itu.... senasib dengan aku.... hanya aku
berhasil menjadi manusia dan dia tidak, gara-gara anak ular naga....”
“Sudahlah, Ceng Ceng. Aku bersumpah akan
mengajak engkau mencari si jahanam itu sampai dapat. Akan tetapi lebih dulu
mari kuperjumpakan engkau dengan.... keluargamu.”
“Apa....? Siapa....?” Ceng Ceng tentu saja
terkejut sekali mendengar ini.
“Pendekar Super Sakti, kakekmu, dan.... nenek
tadi adalah isterinya. Mereka berada di luar....”
“Nenek tadi....? Dia.... dia.... nenekku
sendiri....?”
“Kautanyalah sendiri kepada mereka, Ceng Ceng.
Kau berhak bertemu dengan keluargamu.”
“Tidak....! Tidak, Paman. Aku malu bertemu
dengan keluargaku, atau dengan siapa pun, sebelum.... sebelum aku bertemu
dengan si laknat itu....”
“Kalau begitu, mari kau ikut aku bersamaku,
akan kubawa engkau bertemu dengan dia, agar engkau puas dan dapat membunuhnya
sesuka hatimu!” Setelah berkata demikian, Topeng Setan memondong tubuh Ceng
Ceng yang masih lemah itu dan melesat keluar melalui jendela kamar itu.
Bagaikan seekor burung garuda, Topeng Setan
sudah melesat ke atas genteng, akan tetapi begitu dia berada di atas genteng
warung itu, tahu-tahu di depannya telah berdiri Pendekar Super Sakti dengan
sikap tenang dan sinar mata tajam!
“Hemmm, beginikah caranya orang baik-baik
pergi, seperti pencuri-pencuri saja atau seperti orang-orang yang telah
melakukan perbuatan jahat?” Dengan suara halus Pendekar Super Sakti menegur.
Topeng Setan kaget bukan main. Dia tahu bahwa
memang cara mereka pergi tanpa pamit ini amat tidak patut, dan hal ini dia
lakukan hanya untuk menghindarkan pertemuan dan pembicaraan yang
berkepanjangan. Siapa kira, Pendekar Super Sakti itu demikian hebatnya
sehingga tahu-tahu telah menghadang di atas genteng.
“Harap.... harap Locianpwe maafkan kami....
eh, maafkan saya, sesungguhnya sama sekali saya tidak bermaksud buruk....”
Ceng Ceng melorot turun dari pondongan Topeng
Setan lalu langsung menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar kaki satu itu.
“Harap Locianpwe sudi mengampuni kami kalau-kalau dianggap bersalah. Akan
tetapi, karena tergesa-gesa dengan suatu urusan pribadi yang amat penting, kami
mengambil jalan ini, karena tidak ingin mengganggu Locianpwe sekalian.
Saya.... saya berterima kasih kepada Nenek.... kepada Locianpwe yang menolong
saya tadi....”
Pendekar Super Sakti tersenyum. Kalau dia
tadi menghadang adalah karena dia merasa curiga dan dia mengira bahwa Topeng
Setan manusia aneh penuh rahasia itu hendak memaksa si gadis yang baru
keguguran itu lari, khawatir kalau-kalau manusia aneh itu menggunakan
kekerasan terhadap si wanita muda. Kini melihat bahwa wanita muda itu sendiri
yang bicara dia menjadi lega dan maklum bahwa pelarian mereka berdua itu adalah
kehendak mereka berdua. Dia mengelus jenggotnya dan tersenyum lebar. Tertarik
sekali hatinya terhadap dua orang ini yang merupakan sepasang manusia aneh
penuh rahasia!
“Sudahlah, kalau kalian tidak ingin bertemu
dan bicara dengan kami pun tidak mengapa. Akan tetapi karena aku sudah
menghadang di sini dan bertemu kalian, aku ingin bertanya apakah kalian pernah
bertemu dengan puteraku yang bernama Suma Kian Lee?”
Topeng Setan dan Ceng Ceng tentu saja tahu
siapa pemuda yang dimaksudkan itu. Topeng Setan tidak menjawab, akan tetapi
Ceng Ceng yang menjawab, “Saya sudah mengenalnya dengan baik, Locianpwe. Bahkan
dia telah pernah menolong saya.”
“Bagus! Tahukah engkau di mana dia sekarang?
Dan meninggalkan pulau dengan adiknya, Suma Kian Bu. Aku sudah mendengar bahwa
Suma Kian Bu pergi ke barat menyusul dan melindungi Syanti Dewi, akan tetapi
tidak ada yang tahu ke mana perginya Kian Lee.”
“Maaf, Locianpwe. Saya sendiri pun tidak tahu
ke mana dia. Pertemuan kami yang terakhir adalah di kota raja.”
“Hemm...., sayang....”
“Ceng Ceng, mari kita pergi.”
Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Si
Pendekar Super Sakti, kemudian menggandeng tangan gadis itu dan diajak
meloncat turun lalu pergi dari situ dengan cepatnya. Sampai lama Pendekar Super
Sakti berdiri di atas genteng, termangu-mangu, bukan hanya kecewa bahwa dia
tidak dapat mendengar tentang Kian Lee, akan tetapi juga terheran-heran melihat
dua orang muda itu.
Ceng Ceng memandang dengan terharu dan juga
terheran-heran ketika dia melihat saja Topeng Setan mengubur bungkusan
gumpalan darah itu dan menimbuninya dengan tanah. Dia melihat betapa Topeng
Setan termenung di depan gundukan tanah kecil itu, kemudian Topeng Setan
kelihatan beringas dan dengan kepalan tangannya dia menghantam batu karang di
sebelah kanannya.
“Darrr....!” Batu karang itu hancur lebur dan
debu mengepul tinggi.
“Paman....! Ada apakah, Paman?”
“Si keparat! Si jahanam keji! Aku akan
menunjukkan dia kepadamu, Ceng Ceng. Kau benar, dia harus disiksa sepuas
hatimu!”
“Paman, ke mana kita akan mencari dia? Sudah
sekian lamanya, berbulan-bulan semenjak peristiwa itu aku mencarinya, namun
sia-sia belaka.”
“Satu-satunya tempat untuk kita mencarinya
adalah di utara, di Istana Gurun Pasir, di tempat gurunya. Bukankah kau
menceritakan bahwa dia itu murid Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir? Nah,
kita ke sana!”
Sebetulnya, hati Ceng Ceng sudah mulai reda
untuk mencari pemuda itu. Hatinya sudah mulai tawar dan ingin dia beristirahat,
ingin dia hidup tenang tenteram bersama Topeng Setan, satu-satunya sahabatnya
yang setia dan dapat dipercaya itu. Akan tetapi dia pun tahu bahwa sebelum dia
bertemu dengan pemuda laknat itu, hidupnya akan selalu diselimuti mendung dan
kegelapan, dia akan selalu merasa menjadi orang yang kotor dan hina dan
ternoda. Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah pemuda laknat itu, dengan
nyawa pemuda jahanam itu!
Mulailah mereka dengan perjalanan jauh itu.
Akan tetapi karena kini setelah kandungan Ceng Ceng yang diam-diam tak
diketahuinya selalu merupakan gangguan itu telah keguguran, kesehatannya cepat
pulih kembali. Diam-diam gadis ini merasa girang juga bahwa kandungannya yang
sama sekali tidak dikehendakinya itu telah keguguran. Andaikata dia tahu bahwa
dia mengandung, tentu dia akan merasa makin tersiksa! Keparat! Benar Topeng
Setan, pemuda laknat itu benar-benar harus disiksa sampai mampus! Kesehatannya
telah pulih dan semua racun yang mengeram di tubuhnya akibat latihan dari
Ban-tok Mo-li telah bersih dari tubuhnya, berkat khasiat anak ular naga, akan
tetapi khasiat itu pun selain menggugurkan kandungannya, juga mendatangkan
kekuatan sin-kang yang cukup dahsyat, yang takkan dapat diperolehnya dalam
latihan selama sepuluh tahun!
Maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan
cepat dan setelah mereka tiba di sebelah utara kota raja, mulailah Ceng Ceng
bertemu dengan tempat-tempat yang membuat dia terkenang akan semua
pengalamannya ketika mencari Syanti Dewi dahulu itu.
“Paman, apakah engkau tahu, di mana adanya
Istana Gurun Pasir?”
Topeng Setan mengangguk. “Perjalanan itu
sukar sekali, melalui gurun pasir selama tiga hari tiga malam. Paling sukar
adalah kalau bertemu dengan badai, oleh karena itu, kita harus membawa
perbekalan cukup.”
Membayangkan kesukaran perjalanan itu, Ceng
Ceng bergidik. Entah bagaimana, kini berkurang banyak gairahnya untuk mencari
pemuda laknat itu. Kalau dulu, dia tidak akan berpikir dua kali, biar harus
menyeberangi lautan api umpamanya, akan ditempuhnya juga asal dia dapat
menemukan musuh besarnya itu. Sekarang dia agak ragu-ragu, apalagi mengingat
bahwa si pemuda laknat itu saja sudah demikian lihainya, apalagi di sana ada
gurunya dan mungkin orang-orang lain!
“Sebelum kita menyeberangi gurun pasir, aku
ingin melihat-lihat tempat-tempat yang pernah kukunjungi dulu, Paman. Lebih
dulu, aku ingin pergi menengok sumur maut di mana aku dulu ketika menolong
Jenderal Kao terjungkal, kemudian menjadi murid mendiang Ban-tok Mo-li di neraka
bawah tanah. Setelah itu, aku ingin pergi dulu ke tempat-tempat lain,
antaranya mengunjungi benteng di mana dulu Jenderal Kao tinggal.”
Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengangguk.
Agaknya bagi orang aneh ini, perintah Ceng Ceng merupakan pegangan hidupnya!
Tidak pernah dia membantah kehendak gadis itu!
Agaknya Topeng Setan mengenal betul daerah
ini, lebih kenal daripada Ceng Ceng yang baru satu kali berkunjung ke situ.
Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di sumur maut yang berada di tengah lautan
pasir itu. Sunyi senyap tempat itu dan seperti dahulu, banyak tulang berserakan
di sekitar tempat itu. Ceng Ceng mendekati sumur itu dan melongok ke bawah.
Gelap dan hitam pekat. Dia bergidik. Pantas saja dia dianggap mati oleh
Jenderal Kao setelah terjungkal ke dalam tempat seperti itu. Bulu kuduknya
berdiri ketika dia mengenangkan betapa dia terjungkal ke da1am sumur dan
diselamatkan oleh seekor ular besar.
Ceng Ceng duduk di dekat sumur, mengenangkan
segala peristiwa masa lalu. Tempat ini merupakan tempat yang bersejarah
baginya. Sunyi senyap melengang, tidak ada kehidupan tampak di sekitar mereka
berdua. Hanya pasir-pasir yang bergerak seperti berlumba lari berhembus angin
semilir.
Topeng Setan juga duduk agak jauh dari Ceng
Ceng, kelihatannya termenung seolah-olah tempat itu merupakan tempat yang
mempunyai kenangan tersendiri baginya. Ceng Ceng bangkit dan mengitari sumur
di mana terdapat tumpukan batu-batu besar. Tiba-tiba dia melihat sesuatu.
“Heiii, apa ini? Ada tulisan orang!”
Mendengar ini, Topeng Setan mengangkat
mukanya dan bangkit lalu menghampiri. Bersama-sama mereka lalu membaca
tulisan-tulisan yang agaknya belum lama dibuat orang itu.
“Kenyataan lebih pahit daripada bayangan,
lebih kejam daripada kenangan,
cinta hanya mendatangkan penderitaan!”
“Ohhh....!” Ceng Ceng berseru ketika
membaca tulisan itu.
“Hemm, ada orang laki-laki yang pernah datang
di sini, mungkin tinggal beberapa hari di sini dan menuliskan sajak-sajak
ini....” Topeng Setan berkata perlahan.
Ketika mereka memeriksa lebih teliti, kiranya
banyak diantara batu-batu yang berserakan itu bekas ditulisi yang semua bernada
keluh-kesah tentang cinta tak sampai.
“Heiii.... ini.... seperti gambarmu, Ceng
Ceng!” Tiba-tiba Topeng Setan berteriak heran.
Ceng Ceng melompat mendekat dan mereka berdua
memandang coretan wajah seorang wanita di atas permukaan batu kapur putih yang
rata itu. Coretan itu menggunakan batu kemerahan dan biarpun hanya merupakan
coretan kasar, akan tetapi mudah dilihat dan dikenal sebagai bentuk wajah Ceng
Ceng.
“Benarkah gambar ini seperti aku?” Ceng Ceng
bertanya ragu.
“Tak salah lagi, dan dia pandai benar
melukis!”
“Kalau begitu engkau mendapat saingan,
Paman!” Ceng Ceng menggoda.
“Aku....? Ah, banyak benar dia menulis....”
Topeng Setan meneliti semua tulisan yang semua membayangkan kegagalan cinta
itu.
Akan tetapi Ceng Ceng sudah duduk termenung di
depan sajak pertama. Lama ia termenung, kemudian dia berseru. “Ah, ini tentu
dia....!”
Topeng Setan kaget, menengok. “Dia?”
“Ya, siapa lagi kalau bukan dia yang kita
cari-cari!”
“Ohhh....! Tapi.... tapi....” Topeng Setan
tidak melanjutkan kata-katanya dan Ceng Ceng kembali membaca sajak itu.
Mukanya berubah merah sendiri. Kalau begitu, dia.... dia cinta padaku? Demikian
pikirnya dengan bingung dan dia membayangkan kembali, mengenangkan kembali
peristiwa di dalam guha itu. Pemuda yang gagah dan tampan itu mukanya
beringas, jelas bahwa tidak sewajarnya, seperti keracunan hebat. Pemuda itu
menubruknya di luar kesadarannya! Dan pemuda itu jatuh cinta kepadanya? Mana
mungkin!
Dugaan Ceng Ceng itu membuat dia merasa makin
bingung. Dia membenci pemuda itu dan pemuda itu mencintanya? Akan tetapi
benarkah dia membenci pemuda itu? Setiap kali mengenang peristiwa di guha
itu, dia seperti terlena, seperti terbuai, seperti.... seperti timbul
perasaan rindu ingin bertemu dengan pemuda itu! Akan tetapi perasaan halus
yang samar-samar ini segera ditutupnya dengan kemarahan dan kebencian, dengan
dendam dan sakit hati.
“Kalau begitu, kita sudah memperoleh jejaknya,
Paman! Dia tentu tidak jauh lagi dan berada di sekitar tempat ini. Dugaan Paman
benar bahwa kita harus mencari ke sini!” Ceng Ceng berteriak, jantungnya
berdebar. Aneh, debar jantungnya itu menunjukkan kegirangan! Girang bahwa dia
akan dapat membalas dendam, ataukah girang karena dia akan dapat berjumpa
dengan pemuda itu?
Mereka lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke
benteng di mana dahulu Jenderal Kao Liang tinggal dan di mana dahulu Ceng Ceng
tinggal pula. Ketika mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, mereka
mendengar berita bahwa baru setengah bulan yang lalu ketika para suku liar
merampok desa itu, datang seorang bintang penolong yang amat lihai, seorang
pemuda yang tidak dapat dilihat jelas mukanya karena pemuda itu datang
mengamuk, membasmi para perampok liar dan lenyap lagi. Akan tetapi, di waktu
malam orang melihat pemuda itu sebagai sesosok bayangan yang berjalan
sendirian di luar dusun sambil meniup suling, atau kadang-kadang juga suka bernyanyi,
menyanyikan lagu-lagu yang bernada sedih.
Mendengar ini, Ceng Ceng lalu bertanya kepada
kepada kampung terpencil itu di mana pemuda itu tinggal. “Mengapa Ji-wi (Anda
Berdua) mencari in-kong (tuan penolong) itu?”
“Kami adalah sahabatnya,” jawab Ceng Ceng.
Jawaban ini membuat Kepala Kampung cepat
menghormat mereka dan dia sendiri lalu mengantarkan mereka berdua keluar
kampung di mana terdapat sebuah gubuk di tepi sungai yang membelah padang
rumput itu. Akan tetapi pemuda itu tidak ada lagi. Yang ada hanya
bekas-bekasnya, coret-coretan yang sama dengan di sumur maut, akan tetapi di
sini terdapat juga bekas-bekas pemuda itu berlatih silat yang amat hebatnya.
Beberapa batang pohon tumbang dan hangus, dan batu-batu besar pecah
berantakan. Tempat sekitar gubuk itu seperti bekas diamuk gajah.
“Hebat.... dia hebat....” Topeng Setan
mengangguk-angguk.
Ceng Ceng memegang tangan Topeng Setan. “Sudah
kukatakan dia berilmu tinggi, Paman. Apakah kiranya engkau akan mampu
melawannya? Membantuku menghadapinya?”
“Dia siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan pemuda laknat itu!”
“Hemm.... kita lihat sajalah nanti.”
Karena jelas bahwa pemuda yang mereka cari itu
sudah pergi dari situ dan tidak ada orang tahu ke mana perginya, Ceng Ceng dan
Topeng Setan berpamit dari orang-orang dusun itu kemudian melanjutkan
perjalanan ke benteng pertahanan terakhir dari tentara kerajaan di perbatasan
itu.
Ketika Topeng Setan dan Ceng Ceng muncul di
pintu gerbang, beberapa orang penjaga yang ternyata adalah bekas anak buah Jenderal
Kao, terkejut bukan main. Mereka memandang dengan mata terbelalak ketika gadis
cantik yang muncul itu tersenyum dan berkata, “Apakah paman-paman masih ingat
kepadaku? Aku Ceng Ceng!”
Mereka yang ingat kepadanya tentu saja
terkejut sekali dan bahkan ketakutan, mengira bahwa yang datang adalah setan
atau roh gadis yang telah mati di dalam sumur maut itu. Apalagi kedatangannya
bersama dengan seorang manusia berwajah setan!
“Nona.... Nona.... bukankah dahulu sudah....
eh.... tewas di sumur maut?” Seorang penjaga tua memberanikan diri bertanya,
telunjuknya yang menuding kepada gadis itu menggigil.
Ceng Ceng tertawa. “Memang aku disangka mati,
akan tetapi untung Thian masih melindungiku dan aku tidak mati, Paman. Aku
masih hidup. Dan aku ingin mampir ke benteng ini. Siapakah yang menjadi
komandan di sini sekarang?”
“Bukan Jenderal Kao lagi, Nona....”
“Aku tahu, belum lama ini aku berjumpa dengan
Jenderal Kao di barat. Siapa yang menjadi komandan di sini?”
“Thio-goanswe (Jenderal Thio),” jawab penjaga
itu.
“Hemm, siapakah dia?”
“Dia adalah Panglima Thio Luk Cong yang kini
menggantikan kedudukan Jenderal Kao.”
“Ah, Panglima Thio Luk Cong yang dulu menjadi
komandan di Ang-kiok-teng? Aku sudah mengenalnya pula!” Ceng Ceng berseru dan
mereka berdua lalu disambut, dibawa menghadap kepada komandan benteng itu dan
Jenderal Thio yang tahu bahwa gadis ini dan pembantunya telah membantu
Jenderal Kao ketika membasmi pemberontak, segera menyambut dan menjamu mereka.
Dengan gembira mereka makan minum dan Ceng
Ceng menceritakan pengalaman-pengalamannya dahulu ketika dia menolong Jenderal
Kao dan terjerumus ke dalam sumur maut sehingga disangka mati. Dia dengan
terus terang menceritakan betapa dia ditolong oleh seekor ular besar dan oleh
Ban-tok Mo-li diangkat menjadi murid, dan betapa akhirnya dia berhasil keluar
dari neraka di bawah tanah itu. Jenderal Thio dan beberapa orang perwira tinggi
yang menemani mereka makan minum mendengarkan dengan penuh kagum.
“Sungguh aneh sekali ceritamu itu, Lihiap
(Pendekar Wanita)!” Seorang perwira muda berseru kagum. “Dan di sini juga
baru-baru ini terjadi hal yang lebih aneh lagi.... eh....” Tiba-tiba dia
menoleh kepada Jenderal Thio dengan gugup karena merasa bahwa dia telah
kelepasan bicara.
Jenderal Thio tertawa sambil
mengangguk-angguk. “Ciong-ciangkun, kita berhadapan dengan sahabat-sahabat
baik, tidak ada halangannya menceritakan keanehan itu kepada mereka ini.”
Perwira itu lalu bercerita dengan hati
gembira. Dia masih muda dan tentu saja dia amat kagum akan kecantikan dan
kegagahan Ceng Ceng dan sebagai seorang pemuda yang normal, tentu saja ingin
dia beraksi dan ingin menarik perhatian. Dan ceritanya memang aneh sekali.
Kurang lebih seminggu yang lalu, terjadi hal
yang amat mengherankan dan juga menakutkan hati para perajurit dan para perwira
di benteng itu. Di benteng itu terdapat sebuah menara yang amat tinggi, akan
tetapi menara ini sudah tua dan tidak dipergunakan lagi setelah menara-menara
baru yang lebih baik dan berada di pojok-pojok benteng dibangun, dan tidak ada
yang berani naik ke menara tua itu karena anak tangganya sudah banyak yang
runtuh dan sudah tua, berbahaya sekali naik ke sana, bahkan tidak mungkin
sampai di puncaknya karena anak tangga ke puncak itupun sudah runtuh semua.
Akan tetapi pada suatu malam terdengar suara orang meniup suling di puncak
menara itu dan kadang-kadang terdengar suara laki-laki bernyanyi dengan nada
sedih! Biarpun para perajurit adalah orang-orang yang tidak mengenal takut dan
sudah biasa menghadapi maut di medan perang, akan tetapi menghadapi keanehan
ini mereka merasa ngeri dan takut! Apalagi karena menara ini terkenal sebagai
tempat angker yang ada setannya karena dahulu pernah ada seorang perajurit
yang tewas ketika sedang berjaga di puncak menara, tewas tanpa diketahui
sebabnya. Kadang-kadang di tengah malam tampak ada bayangan berkelebat ke atas
puncak atau turun dari puncak, bayangan yang demikian cepat gerakannya,
sehingga tidak mungkin kalau bayangan manusia. Semua perajurit di benteng itu
mengira bahwa itu tentulah bayangan hantu, bayangan roh penasaran dari
perajurit yang mati berjaga itu.
“Keanehan itu terjadi setiap malam sampai tiga
hari yang lalu,” demikian perwira muda itu melanjutkan ceritanya, tersenyum
gembira penuh lagak ketika dia melihat betapa Ceng Ceng amat tertarik dan
tanpa berkedip memandang kepadanya! Tentu saja Ceng Ceng tertarik sekali oleh
cerita itu karena dia menyangka tentu bayangan itu adalah pemuda yang
dicarinya.
“Apakah sekarang dia masih berada di atas
menara?” otomatis dia bertanya.
Perwira muda itu menggeleng kepala. “Sayang,
hal itu berakhir tiga hari yang lalu. Pada tiga hari yang lalu, di benteng ini
muncul seorang kakek yang luar biasa anehnya, punggungnya bongkok sekali....”
“Ahhh....!” Ceng Ceng dan Topeng Setan
berbareng mengeluarkan seruan kaget ini karena mereka sudah menduga siapa
adanya kakek bongkok itu.
“Dia datang dan bertanya kepada kami apakah
kami melihat muridnya, seorang pemuda tinggi besar yang tampan.... dia datang
di waktu lewat senja dan pada saat itu terdengar suara melengking dari atas
menara, suara orang meniup suling dengan nada yang merawankan hati. Kami semua
ketakutan, akan tetapi kami hendak mempermainkan kakek bongkok itu. Kami
mengatakan bahwa murid yang dicarinya itu berada di atas menara!”
“Hemmm....” Topeng Setan menggeram.
“Kami tadinya hanya ingin main-main saja, akan
tetapi siapa kira. Kakek yang kelihatannya bongkok dan lemah itu tiba-tiba
menggerakkan lengan bajunya yang lebar dan.... dia terbang ke atas!”
“Terbang....?” Ceng Ceng juga tertarik sekali
dan tak disadarinya dia bertanya.
“Ya, terbang! Dia terbang ke atas puncak
menara yang amat tinggi itu! Tentu saja kami semua menjadi bengong dan
ketakutan. Kiranya kakek itu pun adalah seorang hantu yang mencari kawannya!
Suara suling itu berhenti dan tidak lama kemudian tampak dua sosok bayangan
berkelebat, melayang turun dari puncak menara itu dan lenyap entah ke mana.
Nah, sejak saat itu, tiga hari yang lalu, hantu-hantu itu tidak pernah muncul
lagi.” Perwira itu bergidik, merasa ngeri sendiri menceritakan peristiwa itu.
Keadaan menjadi sunyi senyap. Jenderal Thio
yang sudah berpengalaman luas lalu berkata, “Tentu saja cerita itu mungkin
berlebihan, Nona. Menurut pendapatku, yang berada di menara itu adalah seorang
kang-ouw yang aneh dan berilmu tinggi, dan bukan tidak mungkin bahwa kakek yang
datang itu adalah gurunya.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk. “Mungkin
sekali.... bahkan, kuyakin begitulah!”
Topeng Setan menoleh kepadanya dan Ceng Ceng
juga memandangnya. “Bagaimana pendapatmu, Paman?” Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya
kepada orang bertopeng itu.
“Huh? Oh, mungkin sekali begitulah,” akhirnya
dia berkata seperti orang baru sadar dari lamunannya.
Setelah mendengar cerita itu, Ceng Ceng
melamun. Agaknya tidak keliru lagi, tentu pemuda laknat itulah pemuda yang
bersuling, bernyanyi dan menulis sajak-sajak cinta gagal itu! Siapa lagi kalau
bukan dia? Akan tetapi sekarang pemuda itu telah berkumpul dengan gurunya, Si
Dewa Bongkok yang lihai dan tentu diajak pulang ke Istana Gurun Pasir. Jadi
tepat dugaan Topeng Setan bahwa mencari pemuda itu harus di tempat tinggal
gurunya. Akan tetapi, pemuda itu sendiri sudah begitu lihai. Apalagi kini
ditambah gurunya dan mungkin tokoh-tokoh lain di Istana Gurun Pasir. Ceng Ceng
melirik ke arah “pembantunya” yang duduk melamun sambil memegang cawan arak
karena mereka semua sudah selesai makan. Jagonya inilah yang diharapkannya,
karena kalau dia seorang diri yang harus membalas dendam, baru menghadapi pemuda
laknat itu saja tidak mungkin dia menang. Jagoannya ini makin lihai saja.
Entah bagaimana agaknya tiap hari tambah maju saja ilmu kepandaian orang ini.
Dapatkah Si Buruk Rupa ini menandingi Dewa Bongkok dan muridnya? Dapatkah Si
Buruk Rupa ini diandalkannya? Si Buruk Rupa.... ah, buruk? Belum tentu!
Pamannya ini belum tentu buruk, kalau bentuk tubuhnya sih gagah perkasa
melebihi semua pria yang pernah dilihatnya! Ah, apa pula yang dipikirkannya
ini? Ceng Ceng diam-diam memaki dirinya sendiri. Paman Topeng Setan ini sudah
seperti ayahnya sendiri, gurunya sendiri, pelindungnya yang amat setia.
Betapapun juga, mungkin karena pengaruh arak
wangi yang amat lezat suguhan Jenderal Thio, Ceng Ceng melirik ke arah Topeng
Setan, memandang dengan tajam ke arah topeng itu, menerka-nerka bagaimana
bentuk wajah di balik topeng itu. Bagaimana sih rupa di balik topeng itu?
Tiba-tiba pandang matanya seperti terasa oleh Topeng Setan. Dia menoleh dan
balas memandang. Dua pasang mata bertemu dan Ceng Ceng tersipu-sipu melengos
ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong itu.
Pada keesokan harinya mereka melanjutkan
perjalanan mereka meninggalkan benteng itu. Mereka berdua menolak ketika
Jenderal Thio menawarkan dua ekor kuda untuk mereka, akan tetapi karena
didesak-desak, akhirnya mereka menerima bekal buntalan yang terisi kain, roti
kering, dan beberapa potong uang emas dan perak. Bekal seperti ini ada perlunya
juga. Maka mereka tidak malu-malu kucing lagi untuk menerimanya, karena diberikan
dengan hati yang tulus ikhlas.
Ketika mereka tiba di dusun dekat Lembah Bunga
Hitam, di mana orang-orang golongan beracun yang dipimpin Hek-hwa Lo-kwi Thio
Sek dulu tinggal, Ceng Ceng berhenti. Hatinya terharu mengingat tempat ini.
Setelah dia keluar dari sebuah sumur, yang merupakan terowongan tembusan sumur
maut, dia tiba di tempat ini dan melihat seorang pemuda tinggi besar, tampan
dan gagah di dalam kerangkeng! Dia menuju ke sumur itu dan duduk termangu-mangu
di situ, tidak mempedulikan Topeng Setan yang memandangnya dengan sedih.
Masih terbayang oleh Ceng Ceng betapa dia
menolong pemuda itu, melarikan kerangkengnya dan bersembunyi di dalam gua. Dia
berusaha membebaskan pemuda itu dari dalam kerangkeng dan teringat dia betapa
pemuda itu berkeras melarangnya! Betapa anehnya. Pemuda itu melarangnya
membuka kerangkeng! Akan tetapi dia memaksa dan akhirnya kerangkeng terbuka
dan....
“Ahhh....!” Topeng Setan terkejut mendengar
jerit tertahan ini. Dia cepat melompat mendekat dan Ceng Ceng baru sadar betapa
dalam melamun tadi dia sampai mengeluarkan jeritan.
“Kenapa, Ceng Ceng?”
“Tidak apa-apa, Paman, aku hanya melamun dan
teringat peristiwa dahulu. Di sinilah tempatnya, Paman. Di sinilah aku menolong
pemuda laknat itu. Dia berada di sana itu, di dalam kerangkeng dan dijaga oleh
beberapa orang anak buah Lembah Bunga Hitam. Aku keluar dari sumur ini di mana
aku bersembunyi, dan aku melawan mereka, lalu aku membawa lari kerangkeng itu
di mana pemuda laknat itu masih terkurung.”
Topeng Setan mendengarkan dengan
sungguh-sungguh. Tempat itu sekarang sunyi, tidak ada seorang pun manusianya
dan pohon-pohon di situ tumbuhnya tidak sehat seperti dimakan penyakit atau
daun-daunnya dimakan ulat. Padahal itu adalah akibat dari perang racun antara
golongan Lembah Bunga Hitam dan golongan Pulau Neraka yang masing-masing
mempergunakan racun-racun jahat.
“Ceng Ceng, apakah sebelumnya engkau sudah
mengenal pemuda itu?”
“Sama sekali belum. Selama hidupku, baru satu
kali itu aku melihat dia, di dalam kerangkeng itu.”
“Hemm.... kalau begitu.... kalau begitu
mengapa engkau menolongnya? Apakah kau tahu mengapa dia di dalam kerangkeng?”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya, menyesal
mengapa dia dahulu menolong pemuda itu! “Aku tidak tahu, akan tetapi melihat dia
dikerangkeng seperti binatang itu, aku.... aku merasa kasihan. Maka aku lalu
menolongnya. Aku dikejar dan aku melarikan kerangkeng itu ke sana, jauh ke sana
di mana aku membawa kerangkeng itu bersembunyi di dalam guha.”
Topeng Setan menggeleng kepala. “Sunggguh
aneh. Engkau baru saja mengenalnya, engkau tidak tahu pula mengapa dia
dikerangkeng, dan kau sudah berani melarikannya dan menentang orang Lembah
Bunga Hitam. Apakah yang mendorongmu senekat itu sehingga kau berani menentang
bahaya untuk menolong orang yang tidak kaukenal?”
Ceng Ceng termangu, lalu mengangguk-angguk.
Terhadap Paman Topeng Setan ini, dia tidak akan menyimpan rahasia apa-apa lagi.
Semua peristiwa itu pun sudah dituturkannya. Orang ini seperti ayahnya sendiri
dan dia akan menceritakan apa pun, yang paling rahasia sekalipun.
“Pertanyaanmu aneh, akan tetapi patut
dipikirkan, Paman. Sudah kukatakan tadi bahwa mula-mula aku merasa kasihan
kepadanya, kemudian, melihat wajahnya yang tampan dan gagah aku.... eh, terus
terang saja, aku menjadi tertarik kepadanya. Dia sebetulnya gagah sekali,
Paman. Belum pernah aku melihat pria segagah dia, gagah dan tampan....”
“Tampan mana dibandingkan dengan.... Suma Kian
Lee atau Pangeran Yung Hwa misalnya?” tiba-tiba Topeng Setan bertanya.
“Hemmm.... Paman Kian Lee dan Pangeran Yung
Hwa juga tampan sekali, akan tetapi sesungguhnya, menurut pendapat hatiku,
tidak ada yang dapat melawan daya tarik pemuda itu, dia gagah dan tampan, aku
tertarik sekali, akan tetapi siapa nyana, di balik ketampanan dan kegagahannya
itu ternyata bersembunyi moral yang bejat!”
Hening sejenak dan Topeng Setan menundukkan
mukanya, agaknya berpikir-pikir. Ceng Ceng terbenam ke dalam lamunannya
sendiri. Sesaat kemudian, Topeng Setan bertanya, “Lalu bagaimana, Ceng Ceng?”
“Setelah bersembunyi di dalam guha, aku lalu
berusaha membuka kerangkengnya untuk membebaskannya, akan tetapi dia menolak
dengan keras....”
“Ehhh?” Topeng Setan terkejut. “Dia menolak?
Mengapa? Dia akan kaubebaskan dan dia menolak? Mengapa?”
“Dia menolak dengan keras ketika hendak kubuka
kerangkeng itu. Pemuda itu mukanya merah padam dan beringas menakutkan, matanya
merah dan agaknya dia berada dalam keadaan keracunan.”
“Hemmm.... lalu bagaimana?”
“Aku paksa membuka kerangkengnya. Dia terbebas
dan.... dan.... dia menubrukku, dia memeluk dan menciumiku....”
“Hemmm, bedebah....!”
“Akan tetapi dia mengeluh dan meloncat
bangun, dia memandangku dengan mata merah, seperti orang berjuang keras dengan
dirinya sendiri, meragu dan seperti hendak menyerang diri sendiri. Akhirnya dia
meloncat keluar dari dalam guha! Aku masih rebah dengan jantung berdebar dan
tubuh lemas. Pemuda itu kuat bukan main sehingga ketika ditubruknya tadi aku
sama sekali tidak mampu melawan....”
“Hem, dia lari katamu? Dia tidak mengganggumu
lagi?”
“Itulah yang tadinya kusangka. Hatiku sudah
lega. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia muncul di depan guha, lalu dia
menubrukku, aku meronta dan berusaha melawan sekuat tenaga, akan tetapi
sia-sia, dia amat kuat dan dia.... dia menggagahi aku, dia.... dia
memperkosaku.... Paman, ahhh, Paman....”
“Anjing keparat! Jahanam busuk! Kau layak
mampus!” Tiba-tiba Topeng Setan menampar kepalanya sendiri.
“Plakkk....!” Dan dia roboh terpelanting.
“Paman....!” Ceng Ceng terkejut dan menubruk.
“Eh, Paman, mengapa....? Mengapa Paman menampar kepala sendiri?”
Topeng Setan menyeringai kesakitan. Kalau saja
dia tidak mempunyai tenaga mujijat dari Sin-liong-hok-te, sebelum ilmu mujijat
ini dikuasainya, tentu dia sudah mampus sekarang terkena tangannya yang tadi
memukul untuk membunuh! Dia sadar dan berkata, “Tidak apa-apa. Saking marahku
tadi aku sampai lupa diri! Aku bersumpah, kau akan bertemu dengan dia, kau akan
berkesempatan untuk melakukan hukuman sendiri kepadanya, Ceng Ceng. Terlampau
enak baginya kalau dia mampus sebelum menerima siksaan dan hukumanmu. Aku akan
menyerahkan dia ke depan kakimu!”
“Tapi.... tapi.... bukankah itu sukar sekali,
Paman? Dia telah dibawa pulang oleh Si Dewa Bongkok, apakah Paman mampu melawan
mereka?”
“Akan kuusahakan sampai titik darah terakhir
agar engkau dapat menghukum si laknat itu, Ceng Ceng!”
“Paman.... Paman.... engkaulah orang termulia
di dunia ini!” Ceng Ceng menjatuhkan dirinya merangkul kaki Topeng Setan dan
berlutut.
Dada yang bidang itu naik turun bergelombang
ketika dia menunduk dan memandang kepala dara yang berlutut di depan kakinya
itu. Kemudian dengan halus dia membangunkan Ceng Ceng.
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan
ke Istana Gurun Pasir, Ceng Ceng.”
“Nanti dulu, Paman. Aku.... aku ingin
sekali.... menengok tempat itu. Sekali lagi....”
“Tempat apa? Di mana?”
“Guha itu....”
“Ya Tuhan!” Topeng Setan berteriak dan
memegangi kepalanya. “Kau.... kau malah ingin melihat tempat itu, tempat di
mana perbuatan terkutuk, di mana kelaknatan itu terjadi?”
“Aku ingin melihatnya sekali saja, Paman.”
Ceng Ceng mengangguk dan menunduk, malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak
menjauhi tempat itu dengan jijik, sebaliknya malah hendak menengoknya, seolah-olah
tempat itu merupakan tempat kenangan yang indah!
Topeng Setan menghela napas dan menurut saja,
mengikuti gadis itu menuju ke guha jauh di depan. Ketika tiba di depan guha,
Ceng Ceng memandang ke sekeliling, memejamkan matanya dan terbayanglah peristiwa
itu. Dia menggigit bibir dan membuka kembali matanya, lalu dia melangkah
perlahan-lahan memasuki guha besar itu.
Tiba-tiba, dia berhenti, mukanya berubah
pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan.
“Ada apa, Ceng Ceng?” Topeng Setan yang juga
berhenti itu bertanya, suara orang ini agak gemetar, agaknya Topeng Setan yang
sakti itu pun merasa serem memasuki guha ini!
“Sssttt.... Paman.... ada asap.... tentu ada
orangnya, jangan-jangan dia.... harap Paman waspada dan suka membantuku!” Ceng
Ceng berindap masuk ketika melihat ada asap mengepul dari dalam guha itu. Tidak
salah lagi, pikirnya. Dengan hati berdebar penuh ketegangan Ceng Ceng
berindap-indap memasuki bagian yang paling dalam dari guha itu dan.... ternyata
tempat itu kosong tidak ada orangnya. Hanya kelihatan ada bekas api unggun yang
masih berasap dan ada beberapa potong pakaian wanita yang agaknya habis
dicuci dan dibentangkan di situ.
Tiba-tiba Topeng Setan berbisik, “Ssssttt....
mari keluar, ada suara orang di luar!”
Mendengar ini, Ceng Ceng cepat membalik dan
mengikuti temannya itu keluar guha dan mereka cepat bersembunyi di balik sebuah
batu besar di depan guha itu. Kini Ceng Ceng juga mendengar suara itu, suara
seorang wanita, “Aihh, kelinci gemuk, kau berani datang mengantar nyawa, ya?”
Tentu saja Ceng Ceng terkejut sekali dan sudah
siap menghadapi lawan sambil melirik Topeng Setan yang kelihatan tenang-tenang
saja itu. Suara wanita itu disusul suara senandung merdu dan kini suara itu
makin dekat. Tak lama kemudian, Ceng Ceng yang mengintai dengan hati tegang
itu melihat seorang dara muda muncul dan sepasang mata Ceng Ceng terbelalak,
mulutnya tersenyum ketika dia mengenal bahwa dara itu bukan lain adalah Kim
Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo! Dara cilik itu berjalan sendirian sambil
bersenandung, wajahnya yang cantik itu kemerah-merahan dan berseri-seri, kedua
tangannya memondong seekor kelinci putih gemuk yang agaknya dia tangkap di
jalan tak jauh dari tempat itu.
“Aihhh, kiranya engkau, bocah nakal!” Ceng
Ceng yang entah mengapa dia sendiri tidak tahu menjadi lega hatinya karena
tidak bertemu dengan si pemuda laknat, kini keluar dan menegur, diikuti oleh
Topeng Setan dari belakang.
Hwee Li terkejut bukan main sampai melemparkan
kelinci ke bawah dan cepat dia menengok, sepasang matanya yang lebar jeli itu
terbelalak.
“Eh, kiranya Subo!” Teriaknya dan dia lari
menghampiri Ceng Ceng dan memegang tangan gadis itu dengan sikap manja.
“Subo, sudah terlalu lama aku menanti, mengapa Subo tidak lekas-lekas mengajarkan
ilmu tentang racun kepadaku?”
Ceng Ceng memang merasa suka kepada dara
remaja ini, bukan hanya karena dia pernah ditolong dan dibebaskan, juga karena
melihat dara ini cantik manis sekali dan berwatak polos dan periang serta
jenaka, jauh berbeda dengan ayahnya yang kejam dan jahat. Maka dirangkulnya
gadis cilik itu. “Kelak kalau aku sudah ada waktu, Hwee Li. Bagaimana engkau
bisa berada di sini? Dengan siapa? Dan apakah kau tinggal di dalam guha itu?”
Dara remaja itu cemberut, kelihatannya dia
jengkel sekali. “Ayah selalu meninggalkan aku, Subo. Aku mencari jejaknya
sampai ke sini, akan tetapi dia hilang lagi. Siapa tidak menjadi gemas
mempunyai ayah seperti dia yang tidak mempedulikan anaknya? Semua ini gara-gara
Bibi Lauw Hong Kui yang selalu menyeret Ayah ke dalam petualangan-petualangan
itu. Subo, kauajak aku, ya.... eh, siapa dia ini? Tentu jahat sekali, Subo.”
Hwee Li memandang kepada Topeng Setan dan kelihatan takut.
“Dia ini Paman Topeng Setan, tidak perlu kau
takut dan jangan mengatakan jahat karena dia adalah seorang pendekar besar,”
jawab Ceng Ceng.
Akan tetapi Hwee Li masih memandang dengan
penuh keraguan. “Seorang pendekar biasanya berwajah gagah, tidak seperti ini.
Akan tetapi karena dia memakai topeng, aku percaya bahwa di balik topeng itu
tentu tersembunyi wajah yang gagah aman, boleh aku membuka topengmu?” Dengan
sikap lincah Hwee Li menghampiri Topeng Setan dan hendak membuka topeng itu.
Tentu saja Topeng Setan melangkah mundur dan melindungi topengnya.
“Hwee Li, jangan kurang ajar kau! Mundur!”
Ceng Ceng membentak dan Hwee Li segera mundur dengan cemberut.
“Boleh jadi dia pendekar besar, akan tetapi
dia tidak adil dan penakut!” Dara remaja ini memandang kepada Topeng Setan
dengan sikap menantang.
“Hemm, Nona cilik, mengapa kau mengatakan aku
tidak adil dan penakut?” Topeng Setan bertanya.
“Engkau tidak adil karena kau bisa melihat dan
mengenal wajahku dan wajah semua orang, akan tetapi sebaliknya aku tidak bisa
melihat wajahmu. Apakah itu adil namanya? Dan biarpun Subo mengatakan kau
seorang pendekar besar, mana bisa disebut gagah dan tidak penakut kalau kau
selalu bersembunyi di belakang topeng?”
Menghadapi dara cilik yang lincah dan pandai
bicara ini, Topeng Setan kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ceng Ceng yang
melihat ini segera maju menolong pendekar itu. “Hwee Li, diam kau, jangan
cerewet. Aku tidak akan mengajakmu kalau kau cerewet!”
Wajah dara cilik itu menjadi girang sekali.
Dia cepat memegang lengan Ceng Ceng dan berkata, “Subo mau mengajakku? Ah,
terima kasih, dan aku tidak akan berani nakal dan banyak cerewet lagi!”
Ceng Ceng baru teringat bahwa dia sudah
kelepasan bicara. Mengajak bocah ini hanya akan menghambat perjalanan saja.
Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara, maka dia lalu membelokkan persoalan
dengan bertanya, “Jadi engkau sendirian di sini? Pakaian siapa di dalam guha
itu?”
Nona cilik itu tertawa, nampak deretan
giginya yang putih seperti mutiara. “Pakaianku, Subo. Tadi kucuci, sudah kotor
sih! Lalu aku merasa lapar dan.... eh, mana kelinciku yang gemuk tadi?” Dia
teringat kelincinya dan mencari-cari. Tentu saja binatang itu sudah sejak tadi
melarikan diri tidak dapat ditemukan lagi. “Wah, celaka, rugi besar aku....”
Dara remaja itu membanting kakinya jengkel.
“Kau lapar, Nona? Kami membawa bekal roti
kering dan daging dendeng kering....” kata Topeng Setan menawarkan.
“Benarkah? Wah, ternyata kau baik sekali,
Paman,” katanya melihat Topeng Setan pergi menghampiri belakang batu besar di
mana tadi dia menaruh buntalannya, dan segera kembali membawa roti kering dan
dendeng.
Setelah makan roti kering dan minum air, Hwee
Li lalu berkata, “Subo, sekarang Subo hendak mengajak aku ke mana?”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah
terlanjur berkata hendak mengajak bocah ini! “Kami berdua mempunyai urusan
yang amat penting dan juga amat berbahaya, Hwee Li. Oleh karena itu, kau
menanti saja di guha ini untuk beberapa lamanya. Setelah urusan kami selesai,
aku pasti akan menjemputmu di sini.”
“Ah, aku sudah bosan di sini sendirian saja,
Subo. Ajaklah aku seperti yang sudah Subo katakan tadi!”
Ceng Ceng merangkul pundak “muridnya” itu.
“Sungguh menyesal sekali, muridku yang baik! Kami menghadapi urusan yang
sangat penting dan kami tergesa-gesa, kalau engkau kuajak sekarang, tentu akan
memperlambat perjalanan....”
“Wah, Subo tidak perlu memikirkan hal itu. Aku
tidak akan ketinggalan biar Subo dan Paman ini menggunakan ilmu lari cepat
seperti terbang sekalipun. Pendeknya, asal Subo memperbolehkan aku ikut, Subo
tidak perlu menggandeng atau menggendongku, dan aku pasti akan dapat mengikuti
Subo, bahkan bisa pula mendahului kalau perlu!”
Topeng Setan terkejut mendengar kata-kata yang
sombong dan sikap yang jumawa itu.
“Eh, Nona cilik, jangan main-main. Benarkah
engkau akan dapat mengikuti kecepatan lari kami?”
“Mengapa tidak? Eh, apa Paman pandai
terbang?”
“Terbang?”
“Ya, terbang di angkasa.”
“Tentu saja tidak bisa!”
“Nah, kalau begitu apa sukarnya mengikuti
Paman dan Subo? Aku akan mengkuti kalian sambil terbang!”
“Hwee Li, jangan main-main kau!” Ceng Ceng
menegur. “Masa kau bisa terbang?”
Anak perempuan yang manis itu tertawa. Ceng
Ceng tidak mungkin bisa marah. Bocah ini sungguh sama sekali tidak pantas
menjadi puteri Hek-tiauw Lo-mo yang menyeramkan itu. Begini manis dan wajar.
“Subo, tentu saja aku tidak bisa terbang karena aku tidak mempunyai sayap.
Akan tetapi burungku bisa dan ke mana-mana aku naik burungku itu.”
“Eh, mana burung itu?”
“Dia galak sekali, kalau kupanggil sekarang
mungkin akan menyerang Subo dan Paman ini. Nanti kalau Subo berdua sudah pergi,
dia kupanggil dan aku akan mengikuti Subo. Bolehkah?”
Ceng Ceng kini tidak dapat menolak lagi.
“Sesukamulah. Akan tetapi engkau tidak boleh nakal dan harus menurut semua
omonganku.”
“Baik, Subo. Baik, ah, Subo manis sekali!”
Mau tidak mau Ceng Ceng tersenyum. Bocah ini
memang menyenangkan dan andaikata dia masih memiliki ilmu-ilmunya yang beracun
dari Ban-tok Mo-li pun dia tidak akan mau menurunkannya kepada bocah manis
ini, karena ilmu itu terlalu keji.
“Nah, kami akan melanjutkan perjalanan. Kalau
burungmu tidak dapat membayangi kami, sebaiknya kau kembali saja ke sini dan
dalam perjalanan pulang aku tentu akan menjemputmu di sini.”
Gadis cilik itu hanya mengangguk dan memandang
ketika subonya dan Topeng Setan melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Setelah
mereka itu pergi jauh, barulah dia bersuit menyaring dan berkali-kali. Tak
lama kemudian terdengar jawaban dari atas dan seekor burung rajawali hitam yang
amat besar menyambar turun. Hwee Li tadi tidak membohong ketika mengatakan
bahwa burungnya ini galak dan suka menyerang orang asing. Burung itu adalah
hek-tiauw (rajawali hitam) dari Pulau Neraka yang oleh ayahnya ditinggalkan
kepadanya untuk melindungi puterinya itu dan untuk mengantarnya kembali ke
Pulau Neraka kalau dikehendaki oleh Hwee Li. Akan tetapi ternyata bocah ini
tidak suka pulang ke Pulau Neraka, lebih senang berkeliaran ke mana-mana dan
mengejar-ngejar ayahnya.
Setelah mengambil pakaiannya dari dalam guha,
Hwee Li meloncat ke atas punggung rajawali hitam. “Terbanglah, hek-tiauw dan ke
sana....!” Dia menepuk leher burung itu yang segera meloncat dan membentangkan
sayapnya, terbang cepat ke atas menuju ke utara, yaitu arah yang ditunjuk oleh
nona cilik itu.
Ceng Ceng yang berlari cepat bersama Topeng
Setan mengharap agar “muridnya” itu tidak benar-benar mengejarnya.
“Heran sekali, engkau mempunyai murid seperti
dia, puteri Ketua Pulau Neraka pula. Akan tetapi memang tidak bisa dielakkan
lagi karena seperti telah kauceritakan dahulu, dia telah menolong
membebaskanmu, Ceng Ceng. Kulihat dia seorang bocah yang cerdik dan luar biasa
sekali.”
“Memang, akan tetapi sekarang aku tidak bisa
mengajak dia, tentu hanya akan menimbulkan kelambatan dan kerepotan saja.
Mudah-mudahan dia tidak benar-benar mempunyai burung dan dapat menyusul seperti
yang dibualkan.”
Hening sejenak, kemudian tiba-tiba Topeng
Setan tertawa. “Kau terlalu memandang rendah muridmu itu. Lihat!” Dia menuding
ke atas. Ceng Ceng mengangkat mukanya memandang dan benar saja, di atas mereka
kelihatan seekor burung rajawali hitam besar sedang terbang lewat dengan cepat
sekali.
“Subo....! Hiiiii!!” Hwee Li bersorak dan
melambaikan tangannya. Burung itu terbang berputar-putar dan terus mengikuti
ke arah perginya Topeng Setan dan Ceng Ceng.
“Luar biasa puteri Hek-tiauw Lo-mo itu!” Ceng
Ceng berkata. “Mudah-mudahan saja dia tidak akan membikin keributan.”
Namun ternyata Hwee Li tidak melakukan
sesuatu yang menimbulkan keributan dalam perjalanan itu. Kalau malam tiba dan
melihat subonya dan Topeng Setan beristirahat, dia pun menyuruh burungnya
turun agak jauh dari situ, lalu membebaskan burungnya dan dia sendiri lalu
menghampiri subonya, membantu subonya membuat api unggun, mencari binatang
hutan untuk dipanggang dan dimakan bersama. Keesokan harinya, setelah subonya
dan Topeng Setan berangkat, dia memanggil hek-tiauwnya dan kembali naik ke
atas punggung burung yang segera menerbangkannya mengikuti gurunya.
Akhirnya, pada suatu siang, tibalah Ceng Ceng
dan Topeng Setan di depan sebuah istana setelah melalui perjalanan melintasi
gurun pasir selama setengah hari lamanya. Sungguh aneh sekali, di tengah gurun
seperti ini, di tengah lautan pasir, terdapat sebuah bangunan besar yang begitu
megah, kelihatan sunyi sekali dan karenanya kelihatan “angker” dan keramat.
“Hati-hati, Paman....” Ceng Ceng berbisik
sambil melambaikan tangan ke atas. Hwee Li menyuruh burungnya menukik turun,
kemudian setelah dekat Ceng Ceng berkata kepada muridnya sambil mengisyaratkan
dengan tangannya, “Kau pergi agak jauh, jangan ikut turun di sini! Tunggu
sampai kami keluar!”
“Baik, Subo....!” Hwee Li menjawab dengan
suara agak mengkal karena dari atas, istana itu kelihatan aneh dan indah, dan
sebetulnya dia ingin sekali turun masuk. Akan tetapi karena dilarang subonya,
maka dia lalu menyuruh burungnya terbang tinggi di atas dan berputaran di
sekeliling istana itu.
“Mari kita masuk, Paman....” Ceng Ceng berkata
kepada Topeng Setan setelah melihat burung dan muridnya itu melayang tinggi
dan jauh. Topeng Setan mengangguk dan mengikuti gadis itu yang melangkah masuk
dengan hati-hati sekali. Istana itu kuno sekali, akan tetapi buatannya kokoh
kuat dan amat indah, terbuat dari batu-batu berwarna sehingga kelihatan aneh
dan mencolok di tengah gurun pasir yang tandus. Akan tetapi anehnya pula, di
belakang dan samping kiri istana itu terdapat tanaman-tanaman berupa
pohon-pohon dan bunga-bunga, cukup segar dan indah!
Mereka berdua memasuki gang-gang dan lorong-lorong
di dalam istana itu. Berliku-liku jalannya lorong-lorong itu, diapit-apit
tembok tinggi yang penuh ukir-ukiran, berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf
yang tidak dimengerti artinya oleh Ceng Ceng. Istana ini ternyata luar biasa
luasnya, akan tetapi sungguh mengherankan hati Ceng Ceng mengapa dia tidak
bertemu dengan seorang pun di dalamnya. Padahal istana itu mempunyai banyak
sekali kamar-kamar, ruangan-ruangan dan halaman-halaman di mana terdapat
tanaman-tanaman aneh, pohon-pohon yang tua sekali akan tetapi kate, tingginya
hanya dua tiga kaki, diatur seperti sebuah taman yang indah dan di tengahnya
terdapat kolam ikan emas dengan air memancar dari tengah-tengahnya! Dan
melihat betapa bersihnya tempat itu, terawat baik, mustahil kalau tidak ada penghuninya.
“Heran sekali, mengapa kosong, Paman? Apakah
penghuninya sedang pergi?” Ceng Ceng berbisik.
“Hemm.... mungkin begitu....” jawab Topeng
Setan, suaranya juga lirih setengah berbisik. Ceng Ceng bergidik. Topeng Setan
biasanya begitu tabah menghadapi apa pun, akan tetapi sekarang mendengar
suaranya seperti seorang yang merasa ngeri dan jerih! Apalagi dia. Dia sudah
merasa serem dan longak-longok memandang ke sana-sini.
“Sregggg....! Sregggg....!” Ceng Ceng
terperanjat sampai terloncat ketika kesunyian melengang itu tiba-tiba
dipecahkan suara yang amat nyaring ini, suara orang menyapu lantai dengan sapu
lidi. Suara itu terdengar dari halaman yang baru saja mereka lewati, halaman di
depan gedung perpustakaan, seperti yang tertulis di depan pintunya tadi.
Mendengar suara ini, giranglah hati Ceng Ceng.
Tentu itu seorang perawat atau pelayan rumah besar ini dan dapat ditanyai
tentang Kok Cu si pemuda laknat. Maka otomatis kakinya bergerak, berlari cepat
menuju ke halaman depan gedung perpustakaan itu.
Akan tetapi begitu dia tiba di tempat itu,
suara sapuan itu berhenti dan di situ kosong tidak nampak seorang pun manusia.
Hanya dia melihat onggokan daun dan debu di sudut, bekas sapuan, padahal tadi
ketika dia lewat di sini, daun-daun itu masih berserakan, Ceng Ceng berdiri
termangu-mangu dan memandang ke kanan kiri. Tampak jelas bekas goresan sapu
lidi di halaman yang cukup luas itu. Sungguh aneh bukan main! Halaman seluas
itu, bagaimana mungkin disapu dalam waktu secepat itu? Dia baru saja mendengar
suara menyapu dan terus lari menghampiri, akan tetapi tempat itu telah selesai
disapu orang dan si penyapu ajaib itu telah lenyap. Bulu tengkuknya meremang.
Hanya iblis saja yang mampu bekerja secepat ini, atau kalau manusia, tentu
memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Keadaan yang sunyi itu,
peristiwa yang amat aneh itu, menambah keseraman tempat yang demikian luas dan
kosong. Ceng Ceng terlongong dan memandang ke arah bekas tempat yang disapu.
Corat-coretan bekas sapuan itu aneh, tidak seperti biasa, melainkan malang
melintang akan tetapi sangat teratur, setiap goresan bekas sapu lidi demikian
panjang dan rata, lalu ujung-ujung goresan itu makin menipis dan lenyap akan
tetapi semua tempat bersih seolah-olah semua kotaran itu terdorong oleh tenaga
mujijat, bukan oleh lidi-lidi yang dijadikan satu menjadi sebatang sapu.
Melihat jarak goresan-goresan itu, awal dan akhir gerakannya, Ceng Ceng
terkejut karena gerakan-gerakan itu bukanlah gerakan orang menyapu biasa
sambil membongkok sedikit, melainkan gerakan orang bermain silat yang aneh!
Agaknya orang atau setan yang menyapu halaman ini tadi menyapu sambil
bersilat! Dan semua “serangan” ditujukan ke sudut halaman sehingga semua
kotoran berkumpul dan menumpuk secara tepat di tempat itu. Bukan main!
“Sreggg! Sreggg!” Ceng Ceng terloncat kaget
dan kini lebih cepat dari tadi, dia meloncat dan berlarian ke arah suara orang
menyapu di bagian depan, di halaman depan ruangan samadhi. Akan tetapi
setibanya di tempat itu, dia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang yang
cepat sekali meninggalkan lapangan yang sudah disapu itu!
Dia hendak mengejar, akan tetapi kembali sudah
terdengar suara orang menyapu, kini di sebelah kiri. Dia lari mengejar ke
tempat itu, hanya untuk mendapatkan halaman lain yang sudah bersih dan hanya
tinggal ada bekas-bekasnya saja seperti tadi. Sampai lima enam kali dia
dipermainkan suara orang menyapu ini sehingga dia merasa mendongkol bukan
main. Agaknya orang itu bukannya menyapu, melainkan sengaja mempermainkan aku,
demikian bisik hatinya yang panas. Dan dibandingkan dengan orang itu,
kepandaiannya sendiri agaknya tidak ada artinya. Akan tetapi dia tidak takut.
Kalau dia bertemu dengan pemuda laknat musuh besarnya itu di sini, dia sudah
siap untuk menghadapinya dan menyerangnya mati-matian. Dia kini telah memiliki
tenaga mujijat, khasiat anak naga itu. Di dalam perjalanan, dia sudah
memperoleh petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan sehingga kini sedikit demi
sedikit Ceng Ceng sudah mampu memanfaatkan tenaga mujijatnya itu, sungguhpun
belum seluruhnya dan belum sempurna. Menurut keterangan Topeng Setan, kalau
dia sudah mampu menguasai seauruh tenaga mujijat itu, maka di dunia ini jarang
ada yang akan mampu menandingi kekuatan sin-kangnya.
“Paman....” Dan Ceng Ceng terkejut sekali,
baru teringat sekarang bahwa sejak tadi dia meninggalkan Topeng Setan dan
sejak tadi kawannya itu tidak ada lagi di belakangnya!
“Ahh, di mana dia....?” Ceng Ceng memandang ke
kanan kiri. Dia sampai lupa kepada Topeng Setan karena dia digoda oleh tukang
sapu yang dikejarnya ke sana ke mari. Dia lalu mencari ke mana-mana, akan
tetapi istana itu luas bukan main, banyak sekali lorongnya sehingga dia sudah
lupa lagi di mana tempat dia meninggalkan kawannya itu tadi. Dia seolah-olah
telah “dipancing” untuk meninggalkan Tapeng Setan. Celaka, pikirnya, tentu
pihak musuh sengaja menggunakan siasat memecah-belah mereka berdua sehingga
tidak dapat saling menjaga dan saling menolong!
“Paman....!” Dia mulai berteriak memanggil
sambil berlari ke sana-sini, hatinya penuh ketegangan. Dia memasuki setiap
lorong, membuka setiap kamar yang amat banyak jumlahnya. Akan tetapi semua
kamar kosong. Kosong dan sunyi melengang. Dia merasa panik dan serem, bulu
tengkuknya meremang. Hari sudah mulai gelap agaknya, ataukah karena istana itu
amat tinggi maka matahari yang sudah mulai condong ke barat itu terhalang
sinarnya? Dia sendirian saja di istana yang angker ini, dan menghadapi
tempok-tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu, dia merasa dirinya amat kecil.
Dia terus lari mencari-cari dan kini hatinya
penuh rasa takut dan juga kagum. Kiranya di sebelah dalam istana ini luasnya
bukan main, seperti sebuah kota saja. Ada tamannya, ada anak sungai dengan
jembatan yang artistik, bangunan-bangunan kecil yang aneh bentuknya namun
indah.
Ceng Ceng mulai terengah-engah. Lalu dia
mengambil keputusan untuk keluar saja dari istana yang menyeramkan ini. Di luar
sana setidaknya ada muridnya, Hwee Li dan burung rajawali hitam itu. Dan di
luar dia akan menanti Topeng Setan, atau mungkin sekali Topeng Setan sudah
keluar lebih dulu karena melihat istana itu kosong dan menanti dia di luar.
Mulailah Ceng Ceng berlarian mencari jalan keluar. Akan tetapi celaka! Lorong
mana pun yang diambilnya, tidak membawanya ke luar! Jalan-jalan di situ amat
aneh, berputar-putar dan dia tidak dapat keluar, bahkan memasuki bagian-bagian
yang tadi belum pernah dilalui. Dia tersesat di dalam istana luas kosong itu!
“Paman Topeng Setan....!” Dia
berteriak-teriak karena hari makin gelap, suasananya makin menyeramkan. Akan
tetapi, teriakannya itu kini bergema dan yang terdengar kembali hanya gema
suara terakhir, “....setaaaann....!” sehingga makin meremang bulu tengkuknya.
Tengkuknya terasa dingin, seolah-olah setiap saat tengkuknya akan diraba dan
dicekik tangan setan yang dingin!
Ceng Ceng makin panik dan baru sekali ini dia
merasa takut, takut karena jalan pikirannya yang mencipta yang bukan-bukan.
Ceng Ceng adalah seorang gadis yang dalam beberapa tahun telah digembleng oleh
pengalaman-pengalaman aneh mengerikan, bahkan beberapa kali dia menghadapi
bahaya maut. Namun baru satu kali ini dia merasakan ketakutan yang lain lagi
sifatnya, rasa takut yang timbul karena menghadapi hal yang membingungkan dan
tidak dimengertinya. Lebih baik dia menghadapi seratus orang lawan yang
mengeroyoknya dan dapat dilihatnya. Sekarang ini, dia tidak dapat keluar,
seorang diri dan tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Padahal
malam agaknya mulai tiba dan cuaca menjadi makin gelap.
Ceng Ceng hampir saja menangis. Cuaca menjadi
demikian gelapnya sehingga dia tidak berani lagi berlari-larian, hanya
berjalan dengan mata terbelalak seperti mata seekor kelinci yang terkurung oleh
jebakan.
Tiba-tiba dia menahan napas. Tampak olehnya bayangan
orang di seberang jembatan di depan sana, bayangan hitam yang memegang
sebatang lilin bernyala. Cahaya lilin itu terlalu kecil sehingga dia tidak
dapat melihat wajah pemegangnya. Rasa ngeri dan takutnya lenyap. Pasti bukan
setan yang memegang lilin bernyala itu. Bayangan itu menggunakan api lilin,
menyalakan lampu-lampu minyak yang berdiri di setiap sudut. Gerakannya ketika
membuka penutup lampu, menyulut dan menutupnya kembali amat cepatnya dan api
lilin itu bergerak-gerak.
Ceng Ceng cepat menggerakkan kakinya
mengejar. Akan tetapi orang itu makin cepat pula gerakannya, meloncat ke
sana-sini, sulut sana-sini, lari ke depan, sulut lagi sana-sini, terus dikejar
oleh Ceng Ceng dan akhirnya, setelah menyalakan lampu terakhir, orang itu
meniup padam lilinnya dan lenyap!
Ceng Ceng terpaksa berhenti, memandang ke
sana ke mari. Sunyi melengang dan cahaya lampu-lampu minyak di sekitar tempat
itu yang telah disulut oleh orang aneh tadi menciptakan suasana yang makin
menyeramkan. Akan tetapi sedikitnya ancaman kegelapan sudah tidak ada lagi dan
Ceng Ceng berbesar hati. Andaikata muncul apa pun musuh atau siluman, dia masih
dapat menjaga diri di bawah sinar-sinar lampu yang muram akan tetapi cukup
terang itu.
Selagi dia termangu-mangu, tidak tahu betul
apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di sebelah kanan,
suara orang bertempur! Ceng Ceng cepat berlari ke arah suara itu, dan akhirnya
dia tiba di bawah sebuah bangunan tingkat dua. Dia melihat ke atas dan ternyata
ada dua orang bertempur saling serang dengan serunya di atas genteng bangunan
tingkat dua itu. Yang seorang adalah kakek-kakek yang bertongkat, melawan
seorang laki-laki bermantel lebar yang menutupi hampir sekujur badannya yang
tinggi besar.
Agaknya laki-laki tinggi besar itu maklum akan
kedatangan Ceng Ceng. Dia menoleh dan.... hampir saja Ceng Ceng menjerit.
Itulah dia! Laki-laki berjubah lebar itu! Si pemuda laknat, tak salah lagi!
“Keparat....!” Mulutnya mendesis dan Ceng Ceng
hendak meloncat ke atas. Akan tetapi pemuda itu yang menoleh dan melihat Ceng
Ceng, nampak terkejut lalu meloncat jauh ke depan melarikan diri, dikejar oleh
musuhnya, kakek bertongkat. Melihat ini, Ceng Ceng terus melayang ke atas
genteng dan mengejar pula ke arah kedua orang itu tadi berkejaran. Akan
tetapi, gerakan mereka cepat bukan main dan di atas genteng-genteng istana,
cuaca tidaklah seterang di bagian bawah yang sudah diterangi banyak lampu.
Ceng Ceng terpaksa berhenti ketika dia
kehilangan dua bayangan yang dikejarnya itu. Dia mengerahkan seluruh ketajaman
telinga untuk mendengarkan. Benar, di kejauhan dia mendengar lagi suara orang
bertempur. Cepat dia meloncat dan dari atas dia melihat ada satu orang
dikeroyok tiga orang. Yang dikeroyok adalah seorang yang berjubah lebar tadi,
si pemuda laknat, musuh besarnya. Karena Ceng Ceng tidak mempedulikan
lain-lainnya, hanya mencurahkan seluruh perhatian terhadap si pemuda laknat,
maka dia tidak peduli siapa yang mengeroyok itu dan dia langsung meloncat dari
atas dengan maksud menyerang musuh besarnya sambil memaki, “Hendak lari ke mana
kau?”
Orang berselubung mantel atau jubah lebar itu
menengok dan sekali ini Ceng Ceng dapat mengenal betul wajah yang gagah perkasa
itu, wajah yang dahulu di dalam guha kelihatan kemerahan dan beringas, akan
tetapi sekarang kelihatan terkejut. Orang itu mengeluarkan suara aneh di
lehernya lalu meloncat dan melarikan diri lagi, dikejar oleh tiga orang
musuhnya yang juga amat lihai dan memiliki gerakan-gerakan cepat bukan main
sehingga kembali Ceng Ceng tertinggal jauh ketika mencoba mengejarnya dan
sebentar saja sudah kehilangan bayangan mereka.
Ceng Ceng makin mendongkol. Terpaksa dia
berdiri diam di sebuah taman, sambil mendengarkan lagi. Jantungnya berdebar
tegang. Sekarang dia tidak akan keliru lagi. Tentu dialah orangnya! Selain
wajahnya yang tak mungkin dia lupakan selama hidupnya itu, juga buktinya begitu
melihat dia muncul, orang bermantel lebar itu melarikan diri. Padahal melihat
kelihaiannya menghadapi lawan-lawannya, tidak mungkin laki-laki itu takut
kepadanya. Tentu dia lari karena dia pun ingat kepadaku, pikir Ceng Ceng.
Jantungnya berdebar aneh. Ingat padaku? Dia masih ingat padaku? Ingat secara
bagaimana? Kalau dia sendiri tentu saja selama hidupnya akan teringat kepada
pemuda itu, ingat dengan hati penuh kebencian. Akan tetapi bagaimana perasaan
pemuda itu begitu melihat dan mengenalnya? Ingin sekali dia mengetahui perasaan
pemuda itu.
Kembali terdengar suara orang bertempur. Ceng
Ceng menahan kakinya yang sudah hendak berlari lagi. Tidak, dia harus cerdik
sekarang. Dia tidak boleh lari tergesa-gesa, karena hal ini akan membuat
kehadirannya ketahuan dan si laknat itu tentu akan lari lagi. Maka kini Ceng
Ceng menghampiri tempat arah datangnya suara pertempuran dengan jalan kaki,
berindap-indap dan hati-hati agar jangan sampai diketahui oleh mereka yang
sedang bertanding, terutama tentu saja oleh pemuda musuhnya itu.
Akan tetapi setelah tiba di tempat itu dan
melihat mereka tidak melarikan diri, hatinya kecewa karena yang bertanding
sekali ini bukanlah si pemuda laknat yang memakai mantel lebar tadi, melainkan
seorang kakek yang memegang sebatang sapu lidi bergagang panjang, dikeroyok
oleh dua orang kakek yang bersenjata kebutan dan yang seorang bersenjata
tasbeh. Dua orang kakek pengeroyok itu lihai sekali, akan tetapi kakek pembawa
sapu lidi itu tidak kalah lihainya. Terutama sekali gin-kangnya, amat luar
biasa sekali gerakannya, cepat seperti beterbangan sehingga pandang mata Ceng
Ceng menjadi kabur melihat kakek itu berkelebatan dan sapu lidi di tangannya
digerakkan menjadi gulungan sinar yang amat lebar mengelilingi dan menyelimuti
dirinya. Biarpun dua orang pengeroyoknya itu pun amat lihai sehingga gerakan
senjata mereka mendatangkan angin yang bersiutan, akan tetapi kakek tukang sapu
ini mampu melindungi dirinya, bahkan masih sempat pula menyumpah-nyumpah
dengan suaranya yang agak parau.
“Kurang ajar sekali! Kalian ini setan-setan
dari mana malam-malam begini berani mengacau di rumah orang?”
“Heh, pelayan rendah! Kedudukanmu hanya tukang
sapu, jangan banyak bicara kau! Hayo antarkan kami ke gedung pusaka milik Si
Bongkok kepada kami!” teriak lawannya yang bersenjata kebutan.
“Hemm, kiranya kalian ini maling-maling
tak tahu malu? Benar-benar gagah perkasa, berani datang merampok selagi tuanku
pergi. Kalau bellau berada di sini tak mungkin kalian berani datang. Dasar
pengecut!”
“Pelayan hina bermulut lancang!” bentak lawan
yang memegang tasbeh dan mereka sudah bertanding lagi makin seru.
Ceng Ceng yang sedang menonton pertempuran
hebat itu dengan hati kecewa karena dia tidak melihat si pemuda laknat yang
dikejarnya, tiba-tiba mendengar ada suara pertempuran yang lebih ramai di
balik tembok kiri. Cepat dia lalu menyelinap dan menghampiri. Ketika dia sudah
tiba di balik tembok itu, dia melihat si pemuda laknat yang memakai jubah
mantel lebar itu dikeroyok oleh lima orang yang lihai. Agaknya si pemuda itu
hanya menggunakan ujung mantelnya yang lebar untuk menghadapi pengeroyokan
lima orang lawannya yang bersenjata pedang. Akan tetapi kedatangan Ceng Ceng
yang sudah menyelinap hati-hati itu agaknya diketahuinya pula dan dia sudah
meloncat lagi, menghilang ke dalam sebuah lorong yang agak gelap. Lima orang
lawannya agaknya telah mengenal kelihaian pemuda itu maka melihat pemuda itu
memasuki lorong gelap, mereka tidak berani mengejar, takut terjebak melainkan
mengambil jalan atas dengan berloncatan ke atas genteng. Akan tetapi Ceng Ceng
tidak mempedulikan apa-apa lagi dan dia sudah mengejar secepatnya ke dalam
lorong gelap itu. Sekali ini dia tidak akan melepaskan musuh besarnya itu,
tekadnya sambil mempercepat larinya. Akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget
dan terguling di dalam lorong gelap karena ada sesuatu yang membelit kedua
kakinya. Cepat dia merenggut benda itu dan ternyata benda itu adalah sehelai
jubah lebar seperti yang dipakai oleh pemuda musuhnya tadi! Tentu saja
tergulingnya ini memperlambat pengejarannya dan ketika ia meloncat bangun
kembali, bayangan pemuda itu telah lenyap. Ceng Ceng mendongkol dan sambil
melempar mantel itu dia menyumpah-nyumpah dan melanjutkan pengejarannya
sampai keluar dari lorong gelap.
Setibanya di luar lorong itu, di dalam halaman
yang luas dan cukup terang, Ceng Ceng termangu-mangu, tidak tahu harus mengejar
ke mana karena sudah tidak nampak lagi bayangan orang yang dicarinya sedangkan
di situ terdapat banyak sekali jalan simpangan. Selagi dia kebingungan,
kembali terdengar suara orang bertanding di sebelah kiri. Cepat dia menuju ke
tempat itu, berindap-indap dan setelah melewati jembatan kecil, dia melihat
seorang kakek yang bersenjata cambuk sedang berhadapan dengan Topeng Setan!
Ceng Ceng memandang heran. Agaknya istana
yang sunyi itu hanya dihuni oleh tukang sapu yang lihai dan murid Si Dewa
Bongkok, yaitu si pemuda laknat yang memakai mantel lebar, dan malam ini istana
didatangi oleh banyak sekali orang lihai yang maksudnya tentu akan merampok
pusaka-pusaka Istana Gurun Pasir ini. Dan Topeng Setan agaknya membantu pihak
tuan rumah menghadapi rombongan perampok! Dia sendiri menjadi bingung. Pemuda
laknat musuh besarnya tinggal di istana ini, dan dia harus memusuhinya. Akan
tetapi, perampok-perampok ini, tidak mungkin dia harus bekerja sama dengan
para perampok! Jelas bahwa Topeng Setan sendiri menentang para perampok dan dia
tidak dapat menyalahkan Topeng Setan karena memang sudah sepatutnya bagi
seorang gagah untuk mencegah perbuatan jahat seperti perampokan. Akan tetapi
dia? Tak mungkin dia mau membantu musuh besarnya!
Kakek itu amat lihai menggerakkan cambuknya,
namun dia bukanlah lawan berat bagi Topeng Setan sehingga ketika ujung
cambuknya kena dicengkeram, ujung cambuk itu patah. Pemiliknya mengeluarkan
seruan kaget dan meloncat ke belakang melarikan diri. Topeng Setan bergerak
mengejarnya.
“Paman....!” Ceng Ceng berteriak.
Topeng Setan berhenti, membalikkan tubuhnya
dan berkata, “Ceng Ceng, istana ini kemasukan maling-maling, aku harus
membantu. Kau berdiamlah dulu di sini, aku hendak mengejar mereka.” Setelah
berkata demikian, Topeng Setan meloncat ke atas genteng dan lenyap, agaknya
hendak membantu si tukang sapu.
Ceng Ceng termenung, bingung. Lalu dia
cemberut. Mengapa Topeng Setan lebih mementingkan urusan istana ini, urusan
tempat tinggal musuh besarnya? Mengapa Topeng Setan tidak cepat-cepat
membantunya menangkap si pemuda laknat? Dengan hati panas dia lalu mengejar
pula.
Terdengar pertempuran hebat di lapangan yang
luas, yang terletak di belakang istana. Ceng Ceng lari menghampiri dengan
penuh harapan. Kalau dia bertemu dengan musuhnya di situ, tidak peduli Topeng
Setan membelanya menghadapi para perampok, dia tetap akan menyerang di pemuda
laknat! Dengan hati panas Ceng Ceng sudah mencabut pedangnya dan dengan pedang
di tangan dia menghampiri tempat pertempuran itu. Akan tetapi kembali hatinya
kecewa sekali. Ada sebelas orang yang lihai-lihai mengeroyok dua orang, yaitu
kakek tukang sapu dan Topeng Setan, sedangkan pemuda laknat itu tidak
kelihatan di situ! Masih ada empat orang musuh yang berdiri di luar tempat pertempuran
dan terdengar seorang diantara mereka berkata nyaring, “Mereka berdua telah
dikurung, mari kita mencari sendiri gudang pusaka!”
Empat orang anggauta gerombolan maling itu
lalu meloncat, dengan gerakan luar biasa ringannya tubuh mereka melayang ke
atas genteng. Terdengar kakek tukang sapu tertawa, “Ha-ha-ha, kalian berempat
hanya mengantar nyawa!”
Ceng Ceng tidak mengerti mengapa kakek tukang
sapu itu mentertawakan empat orang itu, tentu saja dia tidak mengira bahwa
tukang sapu itu merasa yakin bahwa murid majikannya yang tadi menghadapi para
penyerbu dan yang sekarang tidak nampak, tentu telah berlaku cerdik dan
menjaga keselamatan gudang perpustakaan sehingga empat orang itu tentu akan
tewas di tangan murid majikannya.
Kakek tukang sapu itu memang gagah berani.
Biarpun dia yang telah dibantu oleh Topeng Setan itu berada dalam keadaan
terdesak menghadapi keroyokan sebelas orang yang rata-rata memiliki ilmu
kepandaian tinggi, namun dia masih mampu mentertawakan para lawannya, sedikit
pun tidak mengenal takut.
Tiba-tiba terdengar lengking aneh di atas,
diikuti suara tertawa merdu nyaring, suara ketawa seorang gadis cilik yang
menunggang seekor rajawali hitam. Kiranya rajawali hitam dari Pulau Neraka itu
yang tadi mengeluarkan suara melengking dan kini atas dorongan dan bujukan Hwee
Li, gadis itu, si rajawali hitam raksasa menyambar ke arah empat orang anggauta
penyerbu yang tadi berlompatan di atas genteng! Empat orang itu kaget bukan
main, cepat mereka menggerakkan pedang menyerang ke atas. Akan tetapi sepasang
cakar rajawali hitam itu besar dan kuat sekali, melebihi baja kerasnya,
sehingga dua orang berteriak kaget, pedang mereka terlepas dan tangan mereka
berdarah kena dihantam cakar, orang ke tiga terpelanting kena disambar sayap
dan orang ke empat berteriak-teriak menutupi mata kanannya yang disambar ujung
sepatu Hwee Li yang tertawa-tawa! Empat orang itu cepat berloncatan turun lagi
dan Hwee Li sambil tertawa menerbangkan rajawalinya ke atas, berputaran
sambil menonton pertempuran hebat yang masih terjadi di halaman luas itu.
Pada saat itu, terdengar suara lengking
nyaring berkali-kali dan rajawali yang ditunggangi Hwee Li itu menggerakkan
sayapnya dan terbang tinggi sekali seperti terkejut atau ketakutan. Ceng Ceng
mengkhawatirkan keselamatan muridnya dan berseru, “Hwee Li, hati-hati kau....!”
Akan tetapi tiba-tiba nampak di angkasa dua
bayangan besar hitam, lalu terdengar kelepaknya sayap-sayap burung raksasa.
Kiranya dua bayangan hitam besar setelah kini tiba dekat, adalah dua ekor
rajawali putih yang besar-besar dan di atas rajawali putih yang betina duduk
seorang kakek yang berkaki satu dan berambut putih panjang riap-riapan.
“Hemm.... orang-orang yang tamak di mana-mana
menimbulkan kekacauan saja!” Terdengar kakek berkaki buntung sebelah itu
berkata dan tiba-tiba tubuhnya melayang turun dari atas punggung rajawali itu.
“Pendekar Siluman....!” Beberapa orang di
antara para penyerbu itu berseru kaget dan kini mereka semua menjadi panik
karena melihat betapa pendekar tua berkaki buntung sebelah itu ketika tiba di
bawah telah terpecah-pecah menjadi sepuluh orang kembar yang menggerakkan
tongkat secara hebat, tubuh sepuluh orang Pendekar Super Sakti itu mencelat ke
sana-sini dengan kecepatan seperti kilat karena dia menggunakan ilmunya yang
mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun!
Melihat ini, peninglah kepala semua orang itu
dan pandang mata mereka menjadi kabur.
“Lari....!” teriak seorang berpakaian
tosu yang memegang kebutan dan tanpa diperintah dua kali, lima belas orang itu
segera meningalkan ternpat itu dengan kacau-batau dan ketakukan. Padahal
mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Sejenak kakek tukang sapu itu berdiri
terbelalak memandang kepada Pendekar Super Sakti Suma Han yang berdiri dengan
tenang di depannya, kini sudah menjadi satu, tidak lagi terpecah menjadi
sepuluh orang. Kemudian kakek itu membungkuk dengan penuh hormat kepada Suma
Han dan berkata, “Kiranya Taihiap yang berjuluk Pendekar Super Sakti, tocu
(majikan pulau) dari Pulau Es. Hamba mewakili majikan hamba dan kongcu
menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap mengusir para
penjahat. Juga kepada Ji-wi berdua saya menghaturkan terima kasih,” katanya
lebih lanjut dan menjura ke arah Ceng Ceng dan Topeng Setan.
Pendekar Super Sakti mengangguk. “Pelayan yang
baik dan setia,” katanya. “Di manakah adanya tuanmu? Aku datang karena melihat
jejak puteraku, Suma Kian Lee, menuju ke tempat ini. Apakah dia bersama dengan
majikanmu?”
Tukang kebun itu kembali menjura. “Belum lama
ini majikan hamba datang bersama Suma Kongcu, kemudian majikan hamba mengajak
Suma Kongcu ke selatan setelah tiba undangan dan tantangan dari tiga orang
datuk lainnya yang mengadakan pertemuan di Yin-san, pegunungan sebelah
selatan. Kemudian datang Kongcu (Tuan Muda) murid majikan hamba dan kami berdua
diserang oleh gerombolan penjahat tadi. Untung ada Sam-wi (Anda Bertiga) yang
membantu kami.”
Tiba-tiba Ceng Ceng meloncat ke depan dan
menodongkan pedangnya kepada kakek si tukang sapu yang menjadi terkejut
sekali. “Hayo katakan, siapa kongcumu itu? Bukankah dia yang bernama Kok Cu?”
“Benar, Nona.... kenapa....?”
“Di mana dia? Lekas suruh dia keluar!”
“Eh, hamba.... hamba kira dia menjaga di
gedung pusaka, sudah pasti begitu karena dia amat cerdik, tahu bahwa para
penjahat tadi hendak menyerbu gedung pusaka.”
“Nona muda, segala urusan dapat diselesaikan
dengan baik, tanpa kekerasan.” Tiba-tiba Pendekar Super Sakti berkata dan
suaranya yang halus itu membuat Ceng Ceng meremang bulu tengkuknya.
“Maaf, Locianpwe,” katanya dan dia menyimpan
pedangnya.
“Biar saya yang mencarinya bersama orang tua
ini,” kata Topeng Setan. Tukang sapu mengangguk dan sekali berkelebat
lenyaplah keduanya itu dari halaman.
Setelah mereka pergi, Pendekar Super Sakti
memandang Ceng Ceng penuh perhatian dan bertanya, “Nona, semenjak pertemuan
kita di warung itu, tak kusangka akan bertemu lagi dengan kau di sini.
Sahabatmu yang bertopeng itu hebat sekali. Siapakah dia?”
“Dia adalah sahabat dan pelindungku,
Locianpwe. Dia adalah Paman Topeng Setan.”
“Paman? Hemm, kukira dia belum setua itu.
Tadinya kami kira dia itu suamimu. Kepandaiannya hebat. Akan tetapi mengapa
kalian sampai di Istana Gurun Pasir ini? Tidak sembarang manusia dapat sampai
di tempat berbahaya ini.”
“Saya.... saya mencari.... seorang musuh
besar saya,” kata Ceng Ceng gagap. Jantungnya berdebar dan dia merasa jerih
sekali berhadapan dengan pendekar yang hebat ini, yang juga masih terhitung
kakek tirinya! Segala sesuatunya dari pendekar ini demikian berwibawa dan amat
kuat pengaruhnya sehingga dia merasa tidak enak, takut dan sungkan.
“Hemm, jadi itukah yang kaukatakan urusan
pribadi dahulu itu? Kasihan, semuda ini sudah dicengkeram oleh dendam yang
begitu hebat....” Ucapan ini dikeluarkan oleh pendekar itu dengan lirih
seperti bicara kepada dirinya sendiri. “Dan bocah perempuan yang naik rajawali
hitam itu, siapa dia? Engkau tadi berseru kepadanya.”
“Dia.... dia itu Kim Hwee Li, puteri dari
Hek-tiauw Lo-mo....”
“Eh! Ketua Pulau Neraka?” Suma Han kelihatan
tercengang juga.
“Benar, Locianpwe, dan dia.... dia menjadi
murid saya.”
Jawaban ini tentu saja membuat Suma Han atau
Pendekar Super Sakti yang tidak tahu akan duduknya perkara menjadi
terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu, Topeng Setan dan kakek tukang sapu
sudah muncul lagi sehingga percakapan mereka terhenti.
“Dia tidak ada lagi di sini, dan di kamarnya
aku menemukan suratnya ini,” kata Topeng Setan kepada Ceng Ceng, sedangkan
kakek tukang sapu tadi hanya mengangguk membenarkan.
“Benar, Nona. Surat itu ditujukan kepada
saya,” katanya.
Ceng Ceng menerima surat itu dan membaca
huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan tergesa-gesa, mengatakan bahwa
penulisnya hendak pergi menyusul gurunya ke selatan, ke Yin-san untuk membantu
gurunya menghadapi para datuk lainnya.
“Kalau begitu, kita susul ke Yin-san!” Ceng
Ceng berteriak, penuh kekecewaan dan kemarahan.
“Akan tetapi Yin-san bukan tempat yang dekat
dari sini....” Topeng Setan berkata.
“Tidak peduli, aku harus menyusulnya!” Ceng
Ceng berkata penasaran.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas,
“Subo.... celaka, dua ekor pek-tiauw (rajawali putih) itu mengejar-ngejar
burungku! Aku terpaksa mendarat!” Dari atas menyambar turun burung rajawali
hitam dan Hwee Li cepat meloncat turun, merangkul leher burungnya dan berkata,
“Tenanglah, hek-tiauw, semua ini sahabat, kau tidak boleh nakal.” Dengan susah
payah Hwee Li menenangkan burungnya yang kelihatan marah dan gelisah melihat
orang-orang asing itu.
Tiba-tiba Hwee Li menahan jeritnya ketika
menoleh dan melihat Suma Han. Dia menudingkan telunjuknya kepada pendekar itu
dan berkata gagap, “Celaka.... aku.... aku pernah mendengar.... kau.... kau
Pendekar Super Sakti....”
Suma Han tersenyum dan mengangguk. “Anak baik,
kau puteri Ketua Pulau Neraka? Sungguh bahagia sekali ayahmu memiliki seorang
puteri seperti engkau.”
Hwee Li memainkan matanya yang jeli. “Ehh?
Kau.... kau tidak benci padaku, tidak membunuh aku....?”
Suma Han tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“....tapi rajawali putih menyerang rajawaliku.
Mereka itu tentu rajawali-rajawali dari Pulau Neraka dahulu, yang sekarang
sudah menjadi besar dan lebih tangkas daripada hek-tiauw ini.”
Suma Han bersuit panjang dan dua ekor rajawali
putih itu menyambar turun, akan tetapi mereka itu mendekam di belakang Suma
Han tanpa berani bergerak, sedangkan rajawali hitam dirangkul Hwee Li karena
kelihatan gelisah dan gemetaran.
“Memang ini dua ekor pek-tiauw dari Pulau
Neraka yang dahulu menerbangkan kedua orang puteraku dari Pulau Neraka.”
Kemudian dia menoleh kepada Ceng Ceng dan Topeng Setan. “Agaknya kita semua
mempunyai niat yang sama yaitu ke Yin-san. Aku pun hendak menyusul Kian Lee
yang pergi bersama Dewa Bongkok ke Yin-san, kalau kalian hendak ke sana, mari
pergunakan pek-tiauwku yang seekor lagi. Nona dapat boncengan dengan muridmu
ini di punggung hek-tiauw dan Saudara Topeng Setan ini boleh memakai pek-tiauw
jantan ini.”
Tentu saja Ceng Ceng dan Topeng Setan menerima
penawaran itu dengan gembira. Ceng Ceng lalu meloncat ke atas punggung
hek-tiauw bersama Hwee Li, sedangkan Topeng Setan meloncat ke punggung
pek-tiauw jantan setelah Suma Han naik ke punggung pek-tiauw betina. Suma Han
menerbangkan pek-tiauw betina itu di depan dan burung yang ditunggangi Topeng
Setan segera mengejarnya. Hwee Li yang gembira sekali memboncengkan gurunya
lalu memerintahkan rajawali hitamnya untuk mengikuti sepasang rajawali putih
itu.
Memang hebat sekali Pendekar Super Sakti.
Menunggang burung rajawali saja sudah merupakan hal yang amat mendebarkan hati
penuh ketegangan, apalagi di waktu malam! Hwee Li sudah biasa sejak kecil
menunggang burungnya, seperti menunggang kuda saja. Akan tetapi Ceng Ceng
merasa ngeri, bahkan Topeng Setan sendiri mau tidak mau kadang-kadang menahan
napas saking tegangnya. Namun Pendekar Super Sakti dengan enak saja melanjutkan
penerbangan itu dan baru pada keesokan harinya menyuruh rajawalinya menukik
turun ke atas sebuah bukit yang sunyi. Mereka memberi kesempatan kepada tiga
ekor burung rajawali untuk beristirahat, dan juga mereka mencari tempat teduh
untuk mengaso dan mengisi perut dengan roti kering yang dibawa sebagai bekal
oleh Topeng Setan dan Ceng Ceng.
Saat beristirahat, setelah makan,
dipergunakan oleh Pendekar Super Sakti untuk bersamadhi. Melihat ini, Topeng
Setan, Ceng Ceng, dan Hwee Li tidak berani mengganggu, barrkan Topeng Setan
mengajak mereka agak menjauhi di mana Topeng Setan memberi petunjuk kepada Ceng
Ceng untuk menyempurnakan penguasaan tenaga sin-kangnya, sedangkan Ceng Ceng
juga mulai mengajarkan semacam ilmu pukulan kepada Hwee Li.
Akan tetapi diam-diam Majikan Pulau Es itu
melihat betapa Topeng Setan kadang-kadang melakukan latihan yang aneh, dengan
tubuh hampir menelungkup dan begitu Topeng Setan melakukan gerak silat,
batang-batang pohon di sekelilingnya bergoncang seperti diamuk badai,
daun-daun rontok berhamburan. Pendekar Super Sakti terkejut dan maklum bahwa
Topeng Setan benar-benar merupakan seorang yang amat lihai. Dia tidak tahu
bahwa itu adalah ilmu yang paling mujijat dari Istana Gurun Pasir, yaitu Ilmu
Sin-liong-hok-te yang sedang dilatih dan disempurnakan oleh Topeng Setan, yang
akhirnya menguasai ilmu mujijat itu setelah lengan kirinya buntung. Juga
sering sekali Suma Han yang memiliki penglihatan waspada itu melihat sikap
termangu-mangu dan tenggelam dalam kedukaan hebat dari orang yang wajahnya
disembunyikan di balik topeng itu. Dia tahu bahwa Topeng Setan masih muda dan
dia makin kagum, juga makin heran karena antara Ceng Ceng dan manusia aneh ini
terselubung rahasia yang luar biasa. Akan tetapi karena dia merasa tidak ada
sangkut pautnya dengan mereka, pendekar besar yang hanya sedang mencari
puteranya ini tidak menaruh perhatian, apalagi menanyakan.
Beberapa hari kemudian, menjelang tengah hari,
tibalah mereka di atas Pegunungan Yin-san. Tiga ekor burung rajawali itu
berputaran di atas pegunungan dan tiba-tiba Hwee Li yang bermata tajam melihat
gerakan orang-orang di atas sebuah di antara puncak pegunungan itu.
“Subo, itu di sana ada orang bertempur!”
serunya.
Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk
muridnya. “Kalau begitu kita melihat ke sana. Biar mereka nanti pun mengikuti
kita kalau melihat kita turun.” Hwee Li lalu menepuk-nepuk leher rajawali
hitam yang mengerti akan perintah ini. Dia menukik turun dan melayang cepat
sekali.
Akan tetapi Suma Han atau Pendekar Super Sakti
melihat hal lain lagi yang menarik hatinya, maka rajawali yang ditungganginya
disuruhnya turun pula di tempat yang tidak jauh dari puncak di mana Hwee Li dan
Ceng Ceng melihat orang-orang bertempur itu. Karena rajawali yang ditunggangi
Topeng Setan, yaitu pek-tiauw jantan, selalu mengikuti pek-tiauw betina, maka
burung ini pun menukik turun mengikuti burung yang ditunggangi Pendekar Super
Sakti. Tak lama kemudian, Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat turun dari
punggung dua ekor rajawali itu yang segera beterbangan lagi ke atas, agaknya
maklum bahwa mereka telah bebas tugas dan hanya tinggal menanti panggilan
majikan mereka. Selama bebas tugas mereka lebih suka terbang ke atas dan
mengintai korban, yaitu binatang-binatang hutan untuk menjadi mangsa mereka.
Pendekar Super Sakti berloncatan dengan kaki
tunggalnya, menuju ke sebuah telaga kecil, diikuti oleh Topeng Setan. Baru
sekarang Topeng Setan mengerti mengapa pendekar besar itu mendarat di situ.
Kiranya di dalam telaga itu terdapat seseorang yang sedang merendam tubuhnya
di dalam air, kelihatannya sedang bersamadhi. Seorang laki-laki muda yang
tampan dan gagah. Suma Kian Lee!
Pendekar Super Sakti melangkah maju mendekati
puteranya, mengerutkan alisnya dan berkata halus, “Kian Lee, keluarlah kau
dan biar kuobati lukamu itu.”
Mendengar suara ayahnya yang diucapkan dengan
pengerahan khi-kang sehingga suara itu langsung memasuki telinganya dan menggugahnya,
Kian Lee membuka mata. Sebelum menoleh, dia sudah berbisik girang. “Ayah....!”
Lalu ia menoleh, mengambil pakaian dan mengenakan pakaiannya lalu naik ke tepi
telaga, gerakannya agak lemah dan ternyata setelah dia keluar dari air telaga
nampak tanda telapak jari kehijauan di punggungnya.
Topeng Setan terkejut sekali dan diam-diam dia
kagum. Kenapa Pendekar Super Sakti sudah tahu bahwa puteranya itu terluka
hebat? Dia sendiri sebelum melihat telapak jari di punggung itu tidak akan
mgngetahuinya. Dengan hanya mengenakan celananya, Kian Lee berlutut di depan
ayahnya.
Pendekar Super Sakti memeriksa punggung
puteranya itu. “Hemmm.... pukulan dengan dasar yang-kang akan tetapi beracun.
Tidak berbahaya akan tetapi kalau disembuhkan di sini memakan waktu lama,” kata
pendekar itu, lalu dia berloncatan dengan cepat di sekeliling tubuh puteranya,
jari tangannya menotok dan menampar di beberapa bagian tubuh pemuda itu,
kemudian dia pun duduk bersila di belakang puteranya, menempelkan tangan kirinya
ke punggung yang terpukul, menyalurkan tenaganya yang mujijat dan tak lama
kemudian, ketika dia telah melepaskan tangannya, tanda telapak tangan
kehijauan itu telah lenyap! Makin kagumlah Topeng Setan menyaksikan ini,
karena dari peristiwa ini saja dia sudah dapat membayangkan betapa hebatnya
tenaga sin-kang dari kakek buntung ini!
“Sekarang, pakai bajumu dan ceritakan dengan
singkat bagaimana kau sampai tiba di tempat ini dan terluka,” kata Pendekar
Super Sakti.
Kian Lee menceritakan bahwa sesungguhnya dia
ingin pulang ke Pulau Es, akan tetapi berputar-putar di daerah utara, katanya
hendak mencari adiknya yang terpisah darinya. Tentu saja dia tidak menceritakan
tentang sakit hati atau patah hatinya karena gagal dalam bercinta ketika dia
mendapat kenyataan bahwa Ceng Ceng yang dicintanya itu ternyata adalah
keponakannya sendiri!
“Saya bertemu dengan Locianpwe Go-bi Bu Beng
Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi)....”
“Siapa dia?”
“Orang-orang mengenal beliau sebagai Dewa
Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir....”
“Oh, dia? Lalu bagaimana?”
“Ketika beliau mendengar nama Ayah, beliau
suka sekali kepada saya dan mengajak saya ke istananya di gurun pasir. Akan
tetapi setibanya di sana, Locianpwe itu menerima undangan pertemuan para datuk
besar di Yin-san, maka beliau lalu datang ke sini dan saya yang ingin
meluaskan pengalaman lalu ikut. Beliau sudah memesan agar saya tidak
mencampuri urusan para datuk. Akan tetapi, Ayah, para datuk yang tiga orang
itu bermain curang! Mereka tidak mengadu ilmu untuk menentukan orang terpandai
seperti biasa, melainkan mengeroyok Locianpwe Go-bi Bu-beng Lojin. Tentu saja
saya tidak mau tinggal diam melihat kecurangan itu dan saya maju membantu.
Akibatnya saya terkena pukulan ini dan Locianpwe itu menasihatkan saya untuk
merendam tubuh di sini, karena hawa dingin air telaga ini akan banyak
menolong.”
“Hemmm.... dia benar. Akan tetapi kurang
dingin. Kau sudah terbebas dari hawa beracun sekarang, akan tetapi untuk
memulihkan kesehatan dan semangatmu yang kulihat melayu dan muram, sebaiknya
kau pulang dulu dan melatih diri dengan Swat-im Sin-kang di rumah.”
“Baik, Ayah!”
Pendekar Super Sakti bersuit keras dan dua
ekor burung pek-tiauw itu melayang turun. “Kaubawa pek-tiauw betina pulang ke
Pulau Es.”
“Tapi Ayah....”
“Biar aku yang akan membantunya.”
Kian Lee maklum dari tegangan suara ayahnya
bahwa dia tidak boleh menawar lagi, maka dia lalu memberi hormat, juga menjura
kepada Topeng Setan yang dia tidak mengerti bagaimana bisa datang bersama
ayahnya, kemudian dia meloncat ke atas punggung pek-tiauw betina yang segera
terbang melayang tinggi sekali. Pek-tiauw jantan mengeluarkan suara aneh,
seperti hendak menyusul, akan tetapi Pendekar Super Sakti menepuk punggungnya
dan berkata, “Kau pergilah cari majikanmu, Kian Bu!” Burung itu seperti
mengerti perintah ini, dan dia pun memekik keras dan terbang melayang,
meninggalkan angin yang membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang.
“Mari kita melihat pertemuan itu,” kata
Pendekar Super Sakti kepada Topeng Setan dan mereka bergerak cepat menuju ke
puncak gunung.
Ketika mereka tiba di puncak, mereka melihat
Dewa Bongkok sedang bertempur dengan hebatnya melawan seorang nenek yang juga
amat lihai. Ceng Ceng dan Hwee Li sudah berada di situ pula, menonton pertempuran
dari jarak agak jauh karena gerakan dua orang itu mendatangkan angin dahsyat
sekali sehingga pohon-pohon yang berdekatan pada tumbang!
Tak jauh dari situ terdapat dua orang kakek
yang duduk bersila, agaknya mereka itu terluka dan sedang mengusahakan
pengobatan dengan sin-kang. Begitu muncul di situ, terdengar suara bisikan
dekat telinga Si Pendekar Super Sakti dan Topeng Setan. “Ini adalah urusan kami
di luar tembok besar, harap kalian jangan mencampuri.”
Suma Han mengangguk-angguk, dan kagum kepada
kakek tua renta bongkok yang terkenal sebagai Si Dewa Bongkok penghuni Istana
Gurun Pasir dan yang memperkenalkan diri sendirl sebagai Orang Tua Tanpa Nama
dari Go-bi itu. Biarpun dikeroyok tiga, dan sudah melukai dua orang lawan, akan
tetapi dia sendiri pun telah lemah gerakannya, agaknya sudah mengeluarkan
tenaga terlalu banyak, dan lawannya, nenek yang bermata biru dan rambutnya
kuning emas, juga amat lihai sekali, namun toh Si Dewa Bongkok itu masih sempat
minta kepada dia dan Topeng Setan agar jangan mencampuri! Padahal, biarpun
yang mengadakan pertemuan adalah datuk-datuk di luar tembok besar, namun jelas
bahwa tiga orang di antara mereka adalah orang-orang yang menggunakan
kecurangan mengeroyok Si Dewa Bongkok.
“Kenalkah kau kepada mereka?” Suma Han
berbisik kepada Topeng Setan, karena sesungguhnya selama hidupnya dia belum
pernah bertemu dengan empat orang ini, sungguhpun pernah dia mendengar nama
Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir.
Topeng Setan mengangguk, dan hal ini tidak mengherankan
hati Suma Han karena dia maklum bahwa orang ini pun bukan orang sembarangan
dan dia melihat kini betapa gerakan Si Dewa Bongkok yang lengan kirinya juga
buntung seperti lengan kiri Topeng Setan itu mirip sekali dengan latihan yang
dilakukan oleh Topeng Setan di waktu mereka berhenti dan beristirahat dalam
perjalanan menuju ke Pegunungan Yin-san ini. Maka dia dapat menduga bahwa tentu
ada hubungan erat antara Topeng Setan dan Dewa Bongkok.
“Locianpwe, saya sendiri pun baru pernah
mendengar nama dan gambaran tentang mereka. Yang berambut pirang bermata biru,
nenek lihai itu adalah datuk dari daerah barat, sedangkan yang dua orang lagi
dan agaknya sedang bersamadhi itu, adalah datuk-datuk dari kutub utara dan
datuk pantai timur. Nama-nama mereka tidak dikenal orang, dan mereka itu
adalah datuk-datuk di luar tembok besar yang tidak pernah menyeberang tembok
besar maka tidak terkenal di pedalaman.”
Suma Han mengangguk-angguk dan memperhatikan
jalannya pertandingan. Dia terkejut karena mendapatkan kenyataan bahwa dua
orang yang sedang bertanding itu benar-benar memiliki tingkat kepandaian yang
sudah sempurna dan dia sendiri pun agaknya hanya dapat mengimbangi mereka saja.
“Dan yang gagah perkasa dikeroyok dan kini
menandingi nenek itu tentu Si Dewa Bongkok majikan dari Istana Gurun Pasir,
bukan?” tiba-tiba Suma Han bertanya sambil menoleh dan memandang Topeng Setan
dengan penuh selidik. Diteropong oleh dua mata yang amat tajam penglihatannya
seolah-olah dapat menembus topengnya, bahkan menjenguk ke dalam dadanya itu,
Topeng Setan mengangguk dan menunduk.
Pada saat itu, terdengar lengkingan keras
sekali. Suma Han dan Topeng Setan terkejut memandang. Kiranya dua orang datuk
yang tadi duduk bersila, kini sudah meloncat dan menyerang Si Dewa Bongkok dari
dua jurusan. Suma Han dan Topeng Setan mengeluarkan teriakan kaget, namun
betapa pun lihainya mereka, karena tadi mereka mengalihkan perhatian, mereka
itu terlambat dan tidak dapat turun tangan mencegah lagi. Dua orang datuk itu
sudah menyerang dari kanan kiri, dan Si Dewa Bongkok yang hanya berlengan satu
itu memutar tubuh menyambut.
“Bresss....!” Dewa Bongkok terlempar,
berputaran dan roboh.
Seperti menerima komando saja, Suma Han dan
Topeng Setan sudah meloncat ke depan, Suma Han menggunakan tongkatnya
menghadang nenek berambut pirang sedangkan Topeng Setan sudah menerjang dua
orang yang tadi secara pengecut membokong Dewa Bongkok.
“He-he-he-heiiik! Orang berkaki buntung
berambut putih.... heiiii, matamu itu.... bukankah kau Pendekar Siluman dari
Pulau Es?” bentak Si Nenek sambil mencelat mundur ketika ujung tongkat Suma Han
berkelebat.
“Dan kau seorang nenek dari barat yang amat
curang, bertiga mengeroyok seorang saja.”
“Hi-hi-hik, kau tahu apa? Kau melindungi Dewa
Bongkok?”
“Aku tidak melindungi siapa-siapa, hanya
menentang yang lalim dan curang,” jawab Suma Han dengan tenang.
“Kalau begitu mampuslah kau!” Nenek itu sudah
menerjang lagi, didahului dua sinar emas dan perak yang melayang-layang ke arah
kepala dan dada Suma Han. Pendekar Super Sakti cepat menggerakkan tongkatnya
menghalau sinar emas dan perak itu.
“Tinggg! Tinggg!” Dua buah benda itu ternyata
adalah dua buah gelang dari emas dan perak dan kini setelah kena ditangkis, dua
benda itu melayang kembali kepada pemiliknya, yang cepat menyambarnya dan
kini menggunakan dua buah gelang itu di tangannya untuk menyerang dengan
gerakan seperti kilat cepatnya dan yang nampak hanya sinar emas dan perak
berkilauan mengerikan.
Namun Pendekar Super Sakti sudah siap dengan
tongkatnya dan karena dia maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang
memiliki kesaktian hebat, Suma Han segera menggunakan ilmunya yang dahsyat,
yaitu Soan-hong-lui-kun yang membuat tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti
menyambarnya halilintar, sukar diduga perkembangan gerakannya sehingga beberapa
kali nenek itu terpekik kaget.
Memang benar seperti yang diceritakan secara
singkat oleh Topeng Setan kepada Pendekar Super Sakti tadi. Di luar tembok
besar sebelah utara Tiongkok, di luar perbatasan tanah Mongol, terdapat banyak
pertapa dan tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dan yang
paling tinggi kepandaiannya adalah empat orang datuk-datuk luar tembok besar
itu. Lima tahun sekali, empat orang ini selalu mengadakan pertemuan di tempat-tempat
sunyi, untuk saling menambah pengetahuan dan sekedar menguji hasil ciptaan
masing-masing. Akan tetapi, setelah tiga kali berturut-turut Si Dewa Bongkok
selalu unggul, tiga orang itu menjadi iri hati dan diam-diam mereka bersepakat
untuk dalam pertemuan berikutnya, merobohkan Si Dewa Bongkok, lalu mengambil
pusaka-pusakanya dan mempelajari ilmu-ilmu yang diciptakannya. Untuk itu,
mereka bertiga telah mengutus anak-anak murid mereka menyelidiki ke Istana
Gurun Pasir selagi Dewa Bongkok mereka undang ke Yin-san. Untung bahwa usaha
murid-murid mereka itu digagalkan berkat bantuan Topeng Setan dan Pendekar
Super Sakti. Dan di Yin-san, mereka ternyata berhasil merobohkan Si Dewa
bongkok dengan siasat pengeroyokan yang curang, dan baiknya dalam saat terakhir
itu muncul pula Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti.
Akan tetapi, kalau Pendekar Super Sakti dapat
mengimbangi kelihaian nenek berambut pirang yang bersenjatakan sepasang gelang
emas dan perak, adalah Topeng Setan yang sibuk sekali menghadapi pengeroyokan
dua orang datuk yang tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan
tingkat para datuk lainnya itu. Dia sendiri belum dapat menguasai
Sin-liong-hok-te secara sempurna, maka biarpun kedua lawannya itu telah terluka
oleh Si Dewa Bongkok, akan tetapi tetap saja Topeng Setan terdesak hebat dan
menjadi sibuk sekali.
Ceng Ceng yang menonton pertandingan itu,
hanya memandang terbelalak. Dia dan Hwee Li tidak berani bergerak, karena dari
tempat jauh saja sudah terasa oleh mereka sambaran hawa pukulan yang amat
mujijat dari kalangan pertempuran.
Melihat ini, Hwee Li menjadi tidak sabar lagi.
Dia bersuit keras dan burung rajawali hitamnya menyambar turun.
“Hek-tiauw, kaubantulah Paman Topeng Setan,
cakar dan patuk dua orang kakek itu, hayo cepat!” teriaknya kepada burungnya.
Hek-tiauw itu mengeluarkan suara memekik nyaring dan melayang ke atas,
kelihatannya takut-takut dan ragu-ragu untuk turun karena naluri binatang ini
agaknya memberi tahu kepadanya bahwa orang-orang yang bertanding di bawah itu
bukanlah manusia-manusia biasa.
“Hayo, hek-tiauw....!” Hwee Li
berteriak-teriak dan terpaksa burung itu menyambar ke bawah, langsung
mencengkeram ke arah kepala seorang kakek yang kepalanya gundul licin
mengkilap mengeluarkan uap dingin. Dia adalah datuk dari kutub utara dan
melihat sambaran bayangan hitam, tangan kirinya menyampok, sedangkan tangan
kanannya tetap saja menghantam ke arah Topeng Setan, dibarengi dari kiri oleh
temannya. Mereka menyerang Topeng Setan dengan persatuan tenaga seperti yang
mereka lakukan ketika merobohkan Si Dewa Bongkok tadi.
“Plak....! Bresss....!” Dalam sedetik itu
terjadi banyak hal. Rajawali hitam kena ditangkis oleh tangan yang ampuh itu,
terlempar mencelat jauh dan terbanting menabrak batang pohon lalu terjatuh
sambil mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing digebuk. Sedangkan
Topeng Setan yang tadi menangkis pukulan dari dua jurusan itu,
terhuyung-huyung kemudian roboh, dari balik topengnya mengalir darah segar yang
agaknya keluar dari dalam mulutnya. Akan tetapi dua orang kakek itu yang
terkena tangkisan Topeng Setan yang mengerahkan tenaga sakti Sin-liong-hok-te,
juga terhuyung-huyung, memuntahkan darah segar dan mereka pun terluka hebat.
“Paman....!”
“Hek-tiauw....!”
Kalau Hwee Li lari menghampiri burungnya Ceng
Ceng lari menghampiri Topeng Setan, akan tetapi dua orang kakek itu mengira
bahwa Ceng Ceng akan membela Topeng Setan dan menyerang mereka karena mereka
melihat betapa loncatan Ceng Ceng menandakan bahwa dara itu mempunyai
kepandaian istimewa. Seorang di antara mereka mengebutkan ujung bajunya.
“Prattt....!” Ceng Ceng kena disambar
ujung baju pundaknya dan dia terguling roboh pingsan di dekat Topeng Setan.
Melihat ini, Suma Han menjadi tidak senang
hatinya. Dia mengeluarkan pekik melengking yang luar biasa dahsyatnya, dan kini
tubuhnya berubah menjadi tiga orang Suma Han, dan dia bersama dua bayangannya
itu menyerang tiga orang datuk itu kalang-kabut. Nenek berambut pirang
berteriak kaget dan kesakitan, darah mengucur dari lehernya yang kena serempet
tongkat, sedangkan dua orang datuk yang sudah terluka ketika mengadu tenaga
dengan Topeng Setan, juga mundur-mundur dengan jerih. Akhirnya ketiganya
maklum bahwa dalam keadaan terluka, mereka tidak akan menang menghadapi Dewa
Bongkok dan para pembantunya yang istimewa itu, maka dengan teriakan nyaring
melampiaskan kekecewaan hati mereka, tiga orang datuk itu lalu melarikan diri.
Suma Han tidak mengejar. Dia melihat Dewa
Bongkok bersila mengatur pernapasan, Ceng Ceng pingsan di samping Topeng Setan
yang agaknya sudah tewas, dan Hwee Li merangkul burungnya yang terluka. Dia
menarik napas panjang. Di manapun juga, biar sudah menjadi tua bangka-tua
bangka dan sudah mengasingkan diri dari keramaian manusia, tetap saja manusia
merupakan mahluk-mahluk yang suka menggunakan kekerasan. Dan dia, sekali lagi
terseret pula! Melihat bahwa bagi Topeng Setan sudah tidak ada harapan lagi,
dan burung hek-tiauw itu hanya terluka ringan dan menjadi buas tidak mau
didekati orang lain kecuali nonanya, Suma Han lalu menghampiri Dewa Bongkok.
“Maafkan kelancangan saya,” bisiknya dan dia
pun duduk bersila di belakang kakek bongkok itu, menempelkan kedua telapak
tangannya di punggung yang bongkok sambil mengerahkan tenaga murni dari tubuhnya
untuk membantu kakek itu mengobati luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya.
“Terima kasih, sahabat adalah Tocu Pulau Es,
bukan?”
Suma Han mengangguk, dan keduanya lalu diam
tak bergerak lagi.
Ceng Ceng siuman, lalu ditubruknya Topeng
Setan. Dirabanya tubuh yang masih hangat itu, dipegang nadinya, diraba
dadanya. Akan tetapi tidak ada lagi tanda-tanda hidup pada tubuh tinggi tegap
itu!
“Paman....!” Dia menjerit. “Paman Topeng
Setan, jangan kautinggalkan aku, Paman....!” Dia menangis dan mengguncang-guncang
tubuh itu, tubuh satu-satunya manusia di dunia ini yang amat disayanginya,
amat baik kepadanya dan yang telah mengorbankan apa saja demi dia. Teringat
betapa orang ini telah mati, barulah terasa oleh Ceng Ceng betapa dia
kehilangan besar sekali, betapa dia sesungguhnya.... cinta sekali kepada orang
ini.
“Paman...., aku mana bisa hidup tanpa
kau....?” ratapnya dan menangis sesenggukan sambil memeluki leher mayat itu
dan meletakkan mukanya di atas punggung yang bidang itu. Tak disengajanya tangannya
meraba topeng yang kasar dan Ceng Ceng lalu sadar. Dia berlutut dan berkata
lirih, “Paman Topeng Setan, engkau telah mengorbankan segalanya untuk aku,
engkau begitu sayang dan cinta padaku, akan tetapi engkau selalu
menyembunyikan wajahmu dariku. Sekarang engkau telah mati.... hu-huuukkk....
Paman, kauperkenankanlah aku melihat wajahmu, Paman. Kau.... kaumaafkanlah
aku, Paman.... hu-hu-huuukk....” Dengan jari-jari tangan menggigil Ceng Ceng
mengulurkan tangannya meraih topeng di muka yang miring itu, kemudian dengan
amat hati-hati seolah-olah tidak ingin menyakitkan muka mayat itu, dia
menanggalkan topeng itu!
Topeng itu terbuka direnggutnya, sepasang
mata Ceng Ceng terbelalak memandang wajah yang kini terbuka, wajah yang rebah
miring itu, wajah yang tampan dan gagah, dengan alis yang tebal, hidung yang
mancung dan mulut yang membayangkan kegagahan, wajah.... si pemuda laknat yang
selama ini dikejar-kejar, dianggap musuh besarnya, yang hendak dibunuhnya
karena amat dibencinya!
“Aiiiihhhh....!” Dia menjerit, memandang
pucat, air matanya menetes turun, tangan kiri dikepal menutup mulut, matanya
terbelalak seperti tidak mau percaya, dan dikejap-kejapkannya lalu memandang
lagi lebih teliti. Akan tetapi wajah itu tetap tidak berubah, wajah yang pucat
dan tak bernyawa lagi dari si pemuda laknat, yang mengerikan karena di bawah
mulut, di atas tanah itu nampak darah merah yang dimuntahkan akibat hantamman
pukulan dahsyat dua orang lawannya.
“Aiiiihhh....!” Dia menjerit, memandang pucat,
air matanya menetes turun, tangan kiri dikepal menutup mulut.
“Ti.... tidaaaaakkk...., bukan.... ohh,
bukan....!” Ceng Ceng kembali menjerit, tubuhnya menggigil dan dia tergelimpang
setelah mengeluh panjang, roboh pingsan lagi untuk kedua kalinya di samping tubuh
Topeng Setan yang ternyata adalah si pemuda laknat, musuh besar yang dahulu
memperkosanya di dalam guha itu.
Ceng Ceng rebah terlentang di dekat tubuh
Topeng Setan. Wajahnya pucat sekali seperti mayat, kedua pipinya masih basah
air mata, tangan kanannya masih mencengkeram topeng dan mulutnya
memperlihatkan tarikan muka yang menanggung kenyerian luar biasa, menanggung
penderitaan batin yang amat hebat sehingga siapa pun yang melihat keadaannya
tentu akan merasa kasihan sekali.
Memang hebat sekali penderitaan batin dara
ini. Bertubi-tubi dia mengalami hal-hal yang amat menyakitkan hatinya,
kesengsaraan dan penderitaan lahir batin yang dideritanya semenjak dia
meninggalkan Bhutan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi ditumpuknya dalam
ingatan, menimbulkan sakit hati dan dendam kebencian.
Sesungguhnya, nasib berada di tangan kita
sendiri. Suka duka adalah buatan kita sendiri, buatan pikiran kita. Sebab
akibat tidak terpisah, dan berada di dalam genggaman tangan kita sendiri.
Adalah ingatan kita, pikiran kita yang menimbulkan kebencian terhadap sesuatu
atau seseorang di dalam hati kita.
Dari mana timbulnya kebencian? Sesuatu
terjadi atas diri kita, sesuatu yang merugikan kita, rugi lahir maupun batin.
Kerugian menimbulkan kekecewaan, menimbulkan kemarahan dan terjadilah rasa
benci kepada penyebab timbulnya kerugian itu. Dan sekali benci sudah menguasai
hati kita, hati tidak akan puas sebelum melihat yang kita benci itu terbalas
dan tertimpa malapetaka yang lebih hebat daripada yang dijatuhkannya kepada
diri kita. Pikiran yang mencacat perbuatan orang lain yang dianggap merugikan
kita inilah yang menimbulkan dendam kebencian seperti yang dialami oleh Ceng
Ceng hidupnya dan dicengkeram oleh kebencian kepada seorang setelah terjadi
peristiwa perkosaan atas dirinya di dalam guha itu. Dasar kebencian karena dia
merasa dirugikan.
Kemudian dia bertemu dengan Topeng Setan yang
telah melimpahkan banyak sekali budi kebaikan kepadanya. Hal ini pun membangun
suatu rasa sayang di dalam hatinya terhadap laki-laki bermuka buruk itu, rasa
sayang yang juga timbul dari ingatan betapa orang ini telah banyak
menguntungkannya lahir batin! Jadi sesungguhnya tidak ada bedanya antara rasa
bencinya terhadap si pemuda laknat yang dianggap merugikannya, dan rasa sayangnya
terhadap Topeng Setan yang dianggap menguntungkannya. Rasa benci dan sayangnya
itu hanyalah penonjolan dari sifat mementingkan diri pribadi. Selama kita
mementingkan diri pribadi, di dalam hidup kita pasti kita akan menjadi
bulan-bulanan dan permainan dari suka duka, puas kecewa, benci sayang, seperti
Ceng Ceng itulah! Dan muncullah penderitaan-penderitaan hidup dan
kesengsaraan-kesengsaraan.
Benci bukanlah kebalikan daripada cinta! Yaitu
cinta sejati, karena cinta yang menjadi kebalikan benci hanyalah cinta nafsu,
cinta yang timbul dari mementingkan diri pribadi. Cinta semacam ini hanya akan
bertahan selama dirinya disenangkan, dipuaskan, dan dipenuhi kehendaknya. Cinta
macam ini selalu mengandung bayangan benci sebagai kebalikannya, sehingga kalau
tidak disenangkan, tidak dipuaskan, dapat berbalik menjadi benci. Cinta sejati
tidak mempunyai sasaran seperti benci. Kalau sudah tidak ada benci di hati,
sama sekali tidak ada benci, barulah mungkin cinta yang suci ini memperlihatkan
mukanya di dalam batin kita.
Ceng Ceng yang menggeletak pingsan itu menjadi
permainan dari suka duka, dari kekecewaan melihat bahwa orang yang paling
dibencinya itu justeru adalah orang yang paling dicintanya. Dia menjadi
permainan dari pikiran sendiri, sehingga kini menderita pukulan batin yang
amat hebat, membuatnya kecewa, penasaran, dan putus harapan. Mula-mula
dilihatnya Topeng Setan satu-satunya orang yang dicintanya tewas, kemudian
melihat bahwa yang tewas itu adalah musuh besarnya! Jadi sekaligus dia
kehilangan, dua orang manusia yang dianggapnya paling penting di dunia ini,
yang dianggapnya sebagai sebab-sebab pokok mengapa dia masih suka hidup! Kini
dia kehilangan segala-galanya, maka hancur leburlah hatinya.
“Kasihan sekali kau, Nona muda....!”
Suara ini terdengar seperti datang dari langit
dari atas oleh Ceng Ceng yang mulai siuman. Tak terasa lagi air matanya
mengalir turun sebelum dia membuka matanya. Kemudian teringatlah dia akan
segala hal. Mendadak dia meloncat sambil membuka matanya, menoleh ke kanan
kiri mencari mayat si laknat tadi.
“Keparat busuk! Jahanam kau....!” Dia
memaki-maki dan menerjang ke sana-sini seperti orang gila! Dalam kemarahannya
yang hebat, yang membanjiri rongga dadanya, membuat dadanya seperti akan
meledak, Ceng Ceng mencak-mencak secara buas dan otomatis tenaga mujijat yang
didapatnya sebagai khasiat anak naga itu timbul.
“Braaaak.... braaakkkk....!” Dua batang
pohon kena dihantamnya. Pohon itu batangnya sebesar tubuh manusia, akan tetapi
hantaman tangan Ceng Ceng membuat dua batang pohon itu tumbang.
“Eh, Nona....!” Pendekar Super Sakti yang
merasa kasihan dan tadi menolong Ceng Ceng dan membuatnya sadar itu terkejut
bukan main. Tak disangkanya bahwa nona ini memiliki tenaga yang demikian
dahsyatnya.
Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah beringas dan
mengamuk dengan buasnya itu tidak mendengarkan. Dia terus mencak-mencak dengan
buasnya, dengan mata terbelalak dan mulutnya mengeluarkan keluhan-keluhan
panjang.
“Haiiiittt.... darrr! Dessss!” Dua bongkah
batu besar hancur berhamburan terkena tendangan dan pukulannya.
“Subo....!” Hwee Li menjerit dan lari
menghampiri gurunya, melihat betapa kedua kepalan tangan subonya itu berdarah.
Memang tenaga mujijat dari Ceng Ceng itu hebat
sekali, akan tetapi kulit kedua tangannya yang belum terlatih baik, belum
dapat dengan sempurna terlindung oleh tenaga mujijat, menjadi berdarah ketika
dia menghantami pohon dan batu.
Melihat berkelebatanya tubuh Hwee Li, Ceng
Ceng yang sudah buas karena seolah-olah hendak menghantam si pemuda laknat
itu, menggerakkan tangan menyerang Hwee Li!
“Plakkk.... dukkkk!” Ceng Ceng jatuh terduduk
terkena tangkisan dan totokan Pendekar Super Sakti yang menolong Hwee Li tadi,
dan sekaligus hal ini membuat Ceng Ceng sadar. Seperti linglung Ceng Ceng
memandang ke kanan kiri, mencari-cari dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar
suaranya lirih, “Paman.... Paman Topeng Setan....?”
Lalu dia teringat akan segala peristiwa tadi
dan menangislah dia, mengguguk seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua
tangannya yang berdarah sehingga air matanya bercampur dengan darah dari
tangannya, membentuk aliran merah muda menetes-netes ke bawah.
“Subo....!” Hwee Li merangkul gurunya dan juga
menangis, tidak tahu apa yang ditangiskannya, hanya karena terharu melihat
subonya begitu berduka.
Melihat dua orang wanita muda itu berpelukan
dan bertangisan, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang, lalu duduk di
atas bongkahan batu membiarkan dua orang wanita itu melanjutkan tangis mereka.
Tangis merupakan obat yang paling mujarab bagi orang-orang yang tertekan
hatinya, karena tangis dengan air matanya merupakan pelepasan dari tekanan itu.
Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang lagi. Betapa kehidupan manusia
penuh dengan kesengsaraan, penuh dengan kekerasan, penuh dengan pertentangan,
kebencian dan penderitaan hidup di waktu muda. Betapa bodohnya manusia, betapa
bodohnya dia dahulu. Kebahagiaan sudah berada di dalam diri masing-masing
manusia, keindahan terbentang luas di sekeliling manusia, namun manusia
menjadi buta, tidak melihat semua keindahan itu, tidak waspada akan kebahagiaan
itu karena mata selalu ditujukan jauh ke sana, selalu mencari-cari sehingga
yang berada di depan hidung tidak nampak lagi! Yang tidak ada selalu
dicari-cari, dirindukan, dianggap yang paling baik, paling indah, sehingga
anggapan ini membuat apa yang sudah ada kelihatan buruk, bahkan tidak kelihatan
lagi! Manusia selalu menghargai yang belum diperoleh, memandang remeh yang
sudah berada di dalam tangannya. Inilah sumber dari segala pengejaran yang tak
dapat dihindarkan lagi pasti mendatangkan pertentangan, kekecewaan dan
penderitaan. Pengejaran membuat mata buta, sehingga dalam usaha mengejar
sesuatu yang diinginkan itu, manusia tidak lagi memperhatikan jalan, tidak lagi
memperhatikan cara, bahkan segala jalan dan segala cara akan ditempuhnya demi
memperoleh yang dikejar-kejarnya itu. Inilah sumber munculnya segala bentuk
penyelewengan dan kejahatan.
Setelah melihat tangis Ceng Ceng reda,
Pendekar Super Sakti lalu berkata, mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya
dapat menembus segala suara lain dan memasuki telinga Ceng Ceng dengan getaran
pengaruh kuat sekali, “Nona, hentikan tangismu dan ingat bahwa segala sesuatu
tidak cukup hanya ditangisi belaka. Hentikan pikiranmu yang meremas-remas
perasaan hatimu, hentikan perasaan iba diri yang mencengkeram dirimu dan mari
kita bicara dengan hati terbuka.”
Ceng Ceng terkejut dan kini dia sadar
benar-benar. Didorongnya Hwee Li dengan halus, diangkatnya mukanya memandang
pendekar besar itu, lalu dia memandang ke kanan kiri. Sunyi senyap di situ,
tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga. Seperti mimpi saja semua
peristiwa yang terjadi tadi.
“Di.... mana....? Di mana mereka semua....?”
tanyanya, suaranya lirih dan lemah.
Tiga orang datuk itu? Mereka telah pergi. Dan
Go-bi Bu Beng Lojin, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir telah pergi pula,
membawa muridnya. Membawa mayat Topeng Setan atau mayat Kok Cu. Membawa musuh
besarnya, sekaligus juga mayat orang yang paling disayangnya, demikian bisik
hati Ceng Ceng. Dia terisak lalu menghela napas hanjang. Habislah
segala-galanya!
Melihat gadis itu menunduk dan tak
bergerak-gerak, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah hidup, Pendekar
Super Sakti menarik napas panjang. “Nona, sekarang bagaimana kehendakmu?
Engkau hendak ke manakah?”
Sejenak Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya
duduk di atas tanah dan memandang ke depan dengan pandang mata kosong. Ke mana?
Dia harus ke mana? Ke mana lagi kalau tidak kembali ke Bhutan? Biarlah dia akan
menghabiskan sisa hidupnya di tempat asalnya itu. Tiba-tiba saja dia merasa
rindu kepada Bhutan, rindu kepada kampung halaman di mana dia dahulu tinggal
bersama kakeknya.
“Saya akan pulang ke Bhutan....” katanya
perlahan.
Pendekar Super Sakti yang belum mengenal Ceng
Ceng, merasa heran juga mendengar jawaban ini. “Eh, jadi engkau datang dari
Bhutan? Siapakah engkau sebenarnya, Nona?”
Ingin Ceng Ceng berlutut di depan pendekar itu
dan mengaku bahwa dia masih cucu tiri pendekar itu sendiri, akan tetapi dia
menggeleng kepalanya. Tidak, tidak perlu dia memperpanjang riwayat buruk itu,
riwayat buruk dari ibunya dan sekarang pun menurun kepadanya karena riwayatnya
tidaklah lebih baik daripada keadaan ibunya. Maka dia lalu menjawab dengan
perlahan.
“Nama saya Lu Ceng dan saya adalah adik angkat
dari Puteri Bhutan. Saya ingin pulang saja, kembali ke Bhutan, Locianpwe.”
“Subo, aku ikut!” Tiba-tiba Hwee Li berkata.
Ceng Ceng memandang anak perempuan itu. “Hwee
Li, engkau akan dicari ayahmu. Sebaiknya engkau pulang saja dulu kepada ayahmu
dan mana burungmu?”
Anak itu menggeleng kepala kuat-kuat.
“Burungku terluka dan sudah kusuruh terbang pergi mencari ayah agar diobati
lukanya. Tidak, Subo. Aku tidak mau kembali kepada ayah yang tidak sayang
kepadaku. Aku mau ikut Subo ke Bhutan.”
Ada hawa hangat memasuki dada Ceng Ceng. Masih
ada orang yang suka kepadanya, yaitu Hwee Li ini! “Hwee Li, perjalanan ke
Bhutan amat jauh dan berbahaya, dan membawamu begitu saja tanpa perkenan ayahmu,
aku akan dipersalahkan....”
“Tidak, Subo. Aku yang bertanggung jawab kalau
ayah marah.”
Suma Han berkata, “Nona Ceng, anak ini memang
tidak bisa ditinggalkan seorang diri saja di sini. Biarlah dia ikut bersama
kita ke Bhutan, kelak kalau aku pulang, akan kuantar dia kepada ayahnya. Aku
tahu di mana adanya Pulau Neraka.”
“Locianpwe hendak ke Bhutan? Ah, saya tidak
berani membuat Locianpwe repot mengantarkan kami berdua....”
“Tidak ada yang mengantar, kita hanya
kebetulan saja sejalan. Aku memang ingin ke barat untuk menyusul dan mencari
Kian Bu. Ibunya sudah gelisah memikirkan anak itu karena sudah terlalu lama
merantau. Apalagi setelah Kian Lee kembali, Kian Bu harus pulang juga.”
Tentu saja Ceng Ceng tidak berani membantah,
bahkan diam-diam merasa girang karena melakukan perjalanan dengan pendekar ini
merupakan jaminan keselamatannya, dan setelah Topeng Setan tidak ada lagi, dia
dapat minta petunjuk dari pendekar ini untuk dapat menguasai tenaga mujijat
dalam dirinya.
Maka berangkatlah tiga orang itu menuruni
Pegunungan Yin-san dan terus melakukan perjalanan menuju ke barat. Dengan
adanya Hwee Li yang lincah jenaka, agak terhibur juga hati Ceng Ceng,
sungguhpun kini dia berbeda sekali dengan Ceng Ceng sebelum dia tiba di
Yin-san. Dia sekarang merupakan seorang wanita muda yang mukanya pucat,
wajahnya muram seperti bulan tertutup awan tipis.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan para
tokoh lain, maka biarlah kita lebih dulu meninggalkan Ceng Ceng yang melakukan
perjalanan ke Bhutan bersama Pendekar Super Sakti dan Hwee Li, dan mari kita
menengok pengalaman apa yang ditempuh oleh para tokoh lainnya dalam cerita ini.
Seperti telah diceritakan di bagian depan
cerita ini, ada pasukan pengawal dari Bhutan yang mengawal Puteri Syanti Dewi
secara rahasia kembali ke Bhutan. Pengawalan dilakukan secara rahasia dan Sang
Puteri bersembunyi di dalam kereta untuk mencegah terjadinya hambatan-hambatan
dan serbuan-serbuan musuh. Akan tetapi tetap saja pasukan itu mengalami
penyerbuan Tambolon dan kaki tangannya, dan secara kebetulan saja Tek Hoat yang
membantu pasukan itu dapat bertemu dengan Puteri Syanti Dewi.
Telah kita ketahui pula betapa Suma Kian Bu
tanpa setahu encinya, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, diam-diam juga melakukan
perjalanan ke barat dan dia berhasil menyelamatkan Puteri Syanti Dewi dari
ancaman Tambolon dan Durganini, akan tetapi begitu melihat kemesraan antara
puteri itu dan Tek Hoat, untuk kedua kalinya hatinya patah dan dia pergi lagi
dengan diam-diam dan dengan hati penuh duka. Dia tidak berani menghampiri
rombongan pasukan Bhutan karena di situ terdapat Teng Siang In, dara remaja
cantik jenaka yang baru saja diciumnya karena dia tidak dapat menahan diri
melihat kecantikan dara bengal yang menggodanya itu. Diam-diam putera Pendekar
Super Sakti itu pergi jauh meninggalkan hutan itu.
Teng Sian In juga tidak lama berada di situ,
lalu diajak pergi oleh gurunya, yaitu See-thian Hoat-su, kakek rambut putih
bekas suami Durganini yang lihai. Mereka berdua tidak begitu mempedulikan akan
hilangnya Puteri Syanti Dewi, karena kehadiran mereka itu sesungguhnya
semata-mata hanya ingin menghalangi sepak terjang Durganini belaka, yang
timbul dari rasa sayang di hati See-thian Hoat-su yang hendak mencegah bekas
isterinya itu melakukan hal-hal yang jahat!
Akan tetapi, Panglima Jayin dan semua pasukan
Bhutan menjadi sibuk dan bingung sekali karena tidak melihat Sang Puteri.
Selagi keadaan mereka menjadi sibuk dan bingung, tiba-tiba muncullah dua orang
yang segera disambut oleh Panglima Jayin yang telah mengenal mereka, disambut
dengan penuh penghormatan karena mereka itu bukan lain adalah Puteri Milana dan
Gak Bun Beng.
Akan tetapi ketika Puteri Milana dan Gak Bun
Beng mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan lenyap, mereka terkejut bukan main.
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Puteri Milana menegur.
Panglima Jayin lalu menceritakan tentang
penyerbuan Tambolon dan pasukannya, betapa keadaan mereka amat terancam akan
tetapi berkat bantuan Tek Hoat yang gagah perkasa, keadaan Sang Puteri masih
dapat diselamatkan. Kemudian mereka tertolong oleh pasukan dari Bhutan dan
dalam keributan perang itu, tahu-tahu Ang Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi telah
lenyap.
“Hemmm....!” Puteri Milana berkata sambil
mengerutkan alisnya dan dia bertukar pandang dengan Gak Bun Beng. “Pemuda itu
benar-benar mencurigakan sekali.”
“Kami pun berpikir demikian,” Panglima Jayin
berkata kepada Gak Bun Beng. “Agaknya kalau Sang Puteri tidak tertawan oleh
Tambolon, tentu dilarikan oleh pemuda itu.”
“Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan,”
kata Gak Bun Beng. “Kita harus menyelidiki persoalan ini, akan tetapi yang
terpenting adalah mencari jejak Sang Puteri.”
“Aku pun akan membantu mencarinya,” kata
Puteri Milana.
“Terima kasih atas segala kebaikan paduka
Puteri dan Taihiap. Tadipun telah datang adik paduka Puteri dan agaknya dia pun
sedang ikut mencari Sang Puteri Syanti Dewi.”
Mendengar ucapan Jayin ini, Milana dan Bun
Beng tercengang. “Apa? Kaumaksudkan siapa?” Milana mendesak.
“Adik paduka, tuan muda Suma Kian Bu.”
“Aih, anak itu!” Milana mengomel. “Disuruh
pulang malah mendahului ke sini....”
Gak Bun Beng lalu mengajak Milana ke sisi
untuk dapat bicara empat mata. “Moi-moi, kau tentu sudah dapat menduga bahwa
sesungguhnya adik kita itu telah jatuh cinta kepada Syanti Dewi.”
Milana mengerutkan alisnya. “Hemm, dia akan
menjadi manusia yang bodoh sekali kalau nekat mencinta seorang yang tidak
membalas perasaannya itu. Sebaiknya kita mencari mereka, mencari jejak Syanti
Dewi dan juga jejak Kian Bu. Aku khawatir mereka terkena perangkap Tambolon
yang cerdik dan keji.”
Mereka lalu menghampiri Panglima Jayin lagi
yang tengah mengatur anak buahnya untuk melanjutkan usaha pencarian mereka.
Malam sudah hampir tiba dan keadaan sudah menjadi gelap, namun usaha pencarian
itu masih belum ada hasilnya.
“Sukar mencari di malam gelap. Akan tetapi
harus menyebar anak buah membawa obor dan mencari terus,” kata Milana. “Kami
berdua sendiri akan mencari mereka besok pagi. Mereka harus ditemukan, kalau
tidak aku khawatir akan terjadi apa-apa atas diri Puteri Syanti Dewi.”
Selagi mereka mengadakan perundingan,
tiba-tiba datang penjaga berlarian melapor bahwa dari jauh mendatangi sepasukan
berkuda yang besar jumlahnya. Tentu saja keadaan menjadi panik seketika.
Pasukan itu sedang disebar melakukan usaha mencari Puteri Syanti Dewi, maka
kini Panglima Jayin memerintahkan para pembantunya untuk cepat memanggil
kembali mereka, siap menghadapi penyerbuan musuh. Terdengarlah
terompet-terompet tanduk ditiup memanggil para perajurit.
Akan tetapi, ketika pasukan yang baru datang
itu tiba, segera ternyata bahwa mereka itu sama sekali bukanlah pihak musuh,
melainkan pasukan besar yang mengawal Raja Bhutan sendiri yang menjadi tidak
sabar setelah mendengar bahwa puterinya itu telah dapat ditemukan dan dikawal
pulang sudah tiba di perbatasan Bhutan. Pasukan raja itu terdiri dari
pengawal-pengawal pilihan, dan juga Raja diiringkan oleh belasan orang pendeta
hwesio yang bertugas di istana Bhutan. Adapun pasukan itu dipimpin sendiri oleh
Panglima Sangita yang sudah tua.
Tentu saja Panglima Jayin tergopoh-gopoh
menyambut rajanya, diikuti oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng. Ketika kedua
orang pendekar ini diperkenalkan oleh Jayin sebagai puteri cucu Kaisar dan
pendekar besar yang telah menyelamatkan Syanti Dewi, Raja Bhutan menjadi
girang sekali dan berkenalan dengan kedua orang lihai itu. Akan tetapi ketika
Jayin membuat laporan panjang lebar tentang bagaimana dia berhasil mengawal
Sang Puteri sampai di situ, lalu terjadi keributan karena serbuan Tambolon dan
pasukannya, kemudian betapa Sang Puteri lenyap bersama Ang Tek Hoat, Sri
Baginda menjadi marah sekali. Mereka semua menyangka bahwa tentu pemuda aneh
itulah yang sudah melarikan Sang Puteri.
“Kerahkan semua tenaga! Sebar di daerah ini
dan cari mereka sampai dapat!” Sri Baginda mengeluarkan perintah dengan hati
kecewa sekali karena tadinya dia sudah merasa girang akan dapat menyambut
kembali puterinya yang hilang. Kemudian Sri Baginda mengajak Puteri Milana dan
Gak Bun Beng untuk beristirahat dan dijamu di dalam kemahnya.
Akan tetapi dengan halus Milana dan Bun Beng
menolak, dan menyatakan bahwa mereka sayang datang terlambat sehingga tidak
sempat melindungi Sang Puteri dan bahwa mereka pun akan membantu untuk menemukan
kembali Sang Puteri yang hilang. Sri Baginda merasa berterima kasih sekali dan
dua orang itu pun lalu mengundurkan diri dan mulailah mencari-cari jejak Sang
Puteri, dan juga jejak Suma Kian Bu seperti yang diceritakan oleh Jayin betapa
pemuda itu pun malah sudah mendahului mereka tiba di tempat itu.
Ke manakah perginya Tek Hoat dan Puteri Syanti
Dewi? Seperti telah kita ketahui, dalam keadaan terluka parah, di tengah-tengah
medan pertandingan yang kacau-balau, Syanti Dewi yang mengkhawatirkan keadaan
Tek Hoat lalu diam-diam setengah menyeret tubuh pemuda ini menyembunyikan diri
di dalam hutan. Dia maklum bahwa Tambolon hendak menangkapnya, maka tentu saja
tidak sudi dia menjadi tawanan Tambolon lagi dan dia harus melarikan diri dari
tempat berbahaya itu. Akan tetapi, dia tidak tega meninggalkan pemuda yang
mati-matian membelanya dan yang menderita luka hebat itu, maka betapa pun
sukarnya, akhirnya dia berhasil juga membawa dan menyeret pemuda itu memasuki
hutan lebat.
Seperti telah diceritakan di bagian depan,
untung sekali bagi Tek Hoat yang menderlta luka-luka dalam akibat pukulan
beracun, dia bertemu dengan Si Dewa Bongkok dan diobati sehingga seketika dia
sembuh sama sekali, hanya tinggal memulihkan tenaganya saja. Dan yang terakhir
puteri itu bersama Tek Hoat berada di dalam sebuah kuil rusak yang berada di
tengah hutan lebat, di mana Syanti Dewi merawat Tek Hoat yang sudah sembuh
hanya perlu beristirahat saja untuk memulihkan tenaganya. Tentu saja Tek Hoat
tidak tahu betapa nyawa dia dan Syanti Dewi telah tertolong oleh Suma Kian Bu
yang berhasil mengusir Tambolon dan Durganini, sedangkan Syanti Dewi juga tidak
mau menceritakan tentang Kian Bu kepada pemuda itu.
Sebetulnya, Tek Hoat menderita pukulan yang
amat hebat, pukulan lahir batin. Lahirnya, dia telah bertubi-tubi menerima
pukulan-pukulan beracun dari lawan-lawan tangguh, akan tetapi dengan
kemujijatan dan keampuhan tangan Dewa Bongkok, semua lukanya sudah sembuh dan
racun yang menguasai tubuhnya pun sudah lenyap. Hanya pukulan batin yang
dideritanya ketika dia mendengar cerita Syanti Dewi tentang Gak Bun Beng,
membuat tubuhnya lemas, pikirannya bingung, kesadarannya tergoncang hebat dan
hatinya merasa kecewa penuh penyesalan. Betapa dia tidak akan menyesal
mengingat bahwa dia telah melakukan segala kekejaman itu untuk memburukkan nama
musuh besarnya, Gak Bun Beng, dan kini dia mendengar bahwa Gak Bun Beng itu
bukan musuhnya? Hampir saja dia berputus asa, apalagi kalau teringat betapa
dia telah melakukan penyelewengan-penyelewengan hebat di dalam hidupnya, dia
merasa tidak patut untuk bersanding dengan Puteri Syanti Dewi, apalagi
mencintanya.
Betapapun juga, sikap yang amat manis,
perawatan yang dilakukan dengan kesungguhan hati oleh puteri itu, meluluhkan
semua kekerasan hati Tek Hoat akan tetapi sekaligus juga mengobati luka di
batinnya. Kalau saja gadis ini bukan puteri Raja Bhutan! Betapa akan bahagianya
hidup menjadi suami puteri ini. Akan tetapi, dia seorang pemuda jahat, Si Jari
Maut, orang yang rendah dan hina dan jahat, mana mungkin saling cinta dengan
seorang dara seperti Syanti Dewi? Tidak! Hal itu berarti akan menyeret
setangkai bunga yang indah bersih ke dalam lumpur! Dan belum tentu cerita
tentang Gak Bun Beng itu benar. Sebelum dia mendengar sendiri dari ibunya....
Sudah beberapa hari mereka bersembunyi di
dalam kuil tua itu. Dan tenaga Tek Hoat sudah mulai pulih kembali. Pada pagi
hari itu, Syanti Dewi memasuki kuil membawa beberapa tangkai bunga hutan
berwarna kuning. Melihat dara itu memasuki kuil, dilatarbelakangi sinar
matahari pagi yang menerobos masuk melalui genteng-genteng kuil yang pecah, Tek
Hoat terbelalak dan memandang seperti orang terkena sihir. Dara itu nampak
segar, jelas bahwa puteri itu baru saja mencuci dan menggosok mukanya dengan
air sumber di belakang kuil, kedua pipinya kemerahan dan masih agak basah,
rambutnya masih agak awut-awutan dengan anak rambut halus berjuntai dan
melintang di sekitar pelipis dan dahinya, sepasang matanya bening dan
berkilauan, bibirnya keaihatan basah dan merah sekali, penuh dan tersenyum
ditahan, nampak lesung pipit di ujung bibir kiri dan sedikit lekuk di dagunya
menambah daya tarik. Seperti bidadari pagi yang turun melalui tangga sinar
matahari!
“Hi-hikk....” Syanti Dewi menutupi mulutnya.
“Tek Hoat, kau kenapa? Apakah kau masih dalam mimpi?” Puteri itu menegur
sambil tersenyum. “Kau memandang aku seperti selama hidup baru sekali ini
kita saling bertemu.”
Tek Hoat tersadar, menarik napas panjang akan
tetapi tidak mampu melepaskan pandang matanya yang melekat pada wajah itu.
“Kau.... kau cantik jelita luar biasa, Dewi....” katanya dengan sejujurnya.
Warna merah menjalar naik dari leher yang
berkulit putih halus itu, terus menjalar ke pipi dan akhirnya seluruh muka
puteri itu menjadi kemerahan.
“Ihh! Kau memang perayu!” celanya sambil jalan
menghampiri. “Kau sekarang sudah kelihatan sehat, Tek Hoat. Mukamu sudah
merah, tidak pucat lagi seperti kemarin.”
Tek Hoat tersenyum dan turun dari atas jerami
kering yang ditumpuknya di situ dan selama ini dijadikan tempat tidurnya,
sedangkan tempat tidur Sang Puteri berada di sebelah dalam sehingga dia dapat
menjaganya. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dalam gerakan silat sehingga
terdengar suara angin menyambar-nyambar dahsyat. “Aku memang sudah sembuh,
berkat perawatanmu yang amat teliti, Dewi. Ah, betapa besar budimu dan entah
bagaimana aku akan dapat membalasnya. Kalau dalam kehidupan sekarang aku tidak
akan mampu membalasmu, biarlah dalam kehidupanku yang lain kelak, aku akan
menjilma menjadi anjing atau kuda untuk mengabdi kepadamu.”
Syanti Dewi tertawa dan menutup mulutnya.
“Wah, lagu lama itu! Apakah kau percaya bahwa di dalam kehidupanmu yang lain
kelak engkau akan menjelma menjadi anjing atau kuda? Bagaimana kalau kau
menjelma menjadi.... tikus misalnya? Bagaimana kau akan mengabdi kepadaku
dalam bentuk tikus?”
“Wah, ini.... repot kalau jadi tikus!” Tek
Hoat menggaruk belakang telinganya karena bingung. “Binatang itu hanya pandai
merusak!”
“Kalau begitu, lebih baik jangan janji apa-apa.
Tek Hoat, kau tidak perlu berpikir yang bukan-bukan. Engkau sudah berkali-kali
menolong dan menyelamatkan aku, bahkan dengan pengorbanan dirimu sampai hampir
tewas. Engkau sekarang baru saja sembuh dari luka-luka yang kau derita justeru
ketika engkau menolongku, dan sekarang engkau bicara tentang budi?”
Tek Hoat menghela napas dan menatap wajah yang
jelita itu dengan pandang mata mesra. “Dewi, betapapun juga aku hanyalah
seorang....”
“Cucu dari Pendekar Super Sakti!”
“Hemm.... kalau betul cerita itu, dan itu pun
hanya cucu tiri dan putera seorang penjahat pemerkosa! Sedangkan engkau....
seorang puteri raja, puteri bangsawan luhur dan agung....”
“Tek Hoat, apakah semua yang keluar dari
mulutmu dalam kereta dahulu itu, yang keluar di waktu kau dalam keadaan tidak
sadar sehingga tidak mungkin kau buat-buat, apakah semua itu palsu belaka....”
“Aihh, tidak....!”
“Kalau begitu, apakah cinta kasih itu mengenal
tingkat, mengenal kedudukan, mengenal kaya miskin?”
“Aku cinta padamu! Hal ini tidak dapat
kusangkal lagi, Dewi. Aku cinta padamu dan aku rela mati untukmu, akan tetapi
kau....”
Syanti Dewi menarik napas panjang dan
membalikkan tubuhnya. “Sudahlah, aku tidak senang kalau kau bersikap seperti
ini. Kau mandilah sana, aku akan mencari buah di sebelah kanan kuil....” Dan
puteri itu lalu berlari kecil meninggalkan Tek Hoat yang termenung sejenak,
kemudian pemuda ini pun keluar dari kuil melalui pintu belakang, menuju ke
sumber air di belakang kuil. Setelah membersihkan diri dia kembali ke dalam
kuil.
“Dewi.... pujaan hatiku....” Tiba-tiba dia
terbelalak kaget. Ketika dia memasuki kuil, dia melihat bayangan wanita dan
mengira dia Syanti Dewi, akan tetapi ketika dia menegur dengan mesra dan wanita
itu membalik, ternyata wanita itu sama sekali bukan Syanti Dewi, melainkan
Puteri Milana!
Sang Puteri perkasa ini memandangnya dengan
marah! Memang marahlah hati Puteri Milana. Dia baru saja mendengar dari Bun
Beng bahwa adiknya, Suma Kian Bu, jatuh cinta kepada Syanti Dewi. Sebagai
seorang kakak perempuan, tentu saja dia mengharapkan agar adiknya bahagia dan
benar-benar kelak dapat mempersunting Syanti Dewi yang dianggapnya memang sudah
cukup patut menjadi isteri adiknya itu. Akan tetapi di hutan ini dia mendengar
bahwa Syanti Dewi dilarikan oleh Tek Hoat. Dia sudah tahu pemuda macam apa
adanya Tek Hoat, yang pernah menjadi kaki tangan pemberontak, bahkan yang telah
merusak nama Gak Bun Beng dengan perbuatan-perbuatan jahat dan menggunakan nama
Si Jari Maut alias Gak Bun Beng. Kini, dia menemukan mereka dan begitu pemuda
itu masuk, dia mendengar Tek Hoat mengeluarkan kata-kata seperti itu yang tentu
ditujukan kepada Syanti Dewi yang sedang keluar memetik buah-buahan. Tentu saja
Milana menjadi marah bukan main, marah dan cemburu demi adiknya!
“Keparat, engkau memang manusia busuk!” Puteri
Milana memaki dan memandang tajam.
Tek Hoat adalah seorang yang berhati keras
pula. Dia sudah merasa bahwa dia memang bukan orang baik-baik, akan tetapi dia
tidak mau merendah karena kenyataan itu, dan dia tidak mau orang lain
menekan-nekan soal itu yang amat menyakitkan hatinya.
“Sang Puteri, kalau sudah tahu aku seorang
manusia busuk, kenapa paduka datang ke sini? Aku tidak mengundangmu.”
“Jahanam, kau keturunan Wan Keng In, malah
lebih jahat daripada ayahmu! Manusia macam kau memang tidak patut dikasihani
lagi!”
“Kalau paduka berpendapat begitu, dan mau
membunuhku, silakan, aku pun tidak takut terhadap siapa pun, dan tidak takut
untuk mati!” Tek Hoat menjawab sambil melangkah keluar dari dalam kuil yang
sempit. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu
tinggi, maka dia harus mencari tempat yang lebih luas.
Ucapan Tek Hoat itu diterima oleh Milana yang
sedang marah mengingat betapa pemuda ini menculik puteri yang dicinta adiknya,
sebagai suatu tantangan, maka dengan cepat dia meloncat keluar pula dan
langsung menerjang Tek Hoat dengan pukulan yang amat dahsyat.
“Plak.... desss....!” Keduanya terhuyung ke
belakang. Milana terkejut. Tangkisan pemuda itu benar-benar amat hebat, dan
tingkat tenaga pemuda itu tidak di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Hal ini
membuat dia makin penasaran dan wanita perkasa ini sudah menerjang dengan
hebat sekali, gerakannya cepat laksana burung walet dan dahsyat seperti seekor
naga betina mengamuk.
“Manusia busuk....!” Milana berteriak keras
saking penasaran karena belasan jurus kemudian belum juga dia memperoleh
kemenangan, maka dia lalu mengerahkan Swat-im Sin-kang, yaitu Tenaga Sakti
Inti Salju dari Pulau Es dan dengan pengerahan tenaga mujijat ini dia
menghantam.
Jurus yang dilakukan oleh Milana ini memang
dahsyat sekali sehingga tidak dapat dielakkan lagi, maka terpaksa Tek Hot
menangkisnya kembali dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang dilatihnya dari
kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka.
“Bresss....!” Kembali keduanya terpental. Tek
Hoat agak menggigil karena merasa betapa hawa dingin menyusup ke dadanya, namun
dengan pengerahan sin-kang, dia berhasil mengusirnya, sedangkan Milana
terhuyung-huyung saking hebatnya getaran yang menyambut pukulan dahsyatnya.
Jelas bahwa dalam pertemuan tenaga hebat ini, keadaan Puteri Milana kalah
unggul!
“Sumoi, minggirlah!” Tiba-tiba terdengar
suara Gak Bun Beng. Pendekar ini tentu saja marah sekali melihat Tek Hoat
bertanding dengan kekasihnya, dan pertandingan itu saja sudah meyakinkan
hatinya bahwa tentu Tek Hoat telah menculik Syanti Dewi, kalau tidak tentu
Milana tidak akan menyerangnya.
Sementara itu, ketika Tek Hoat melihat Gak
Bun Beng, kebenciannya yang telah ditanamkan oleh ibunya sejak kecil, timbul
kembali. Sejak kecil dia sudah yakin benar bahwa Gak Bun Beng inilah musuh
besarnya, pembunuh ayahnya! Biarpun akhir-akhir ini dia mendengar hal yang
sama sekali berbeda dari keterangan Syanti Dewi, namun dia masih belum dapat
menerima sepenuhnya dan kini melihat Gak Bun Beng membela Milana menghadapinya,
timbul kebenciannya dan wajahnya berubah beringas!
“Bagus, memang saat inilah yang
kutunggu-tunggu!” Tek Hoat menggereng dan dia segera menerjang ke depan
dengan kedua lengan didorongkan, telapak tangan terbuka dan dari kedua
lengannya itu menyambar hawa pukulan Inti Bumi yang amat dahsyat ke arah Bun
Beng.
Bun Beng pernah mengenal hawa pukulan dari
kedua tangan Tek Hoat, maka dia pun tidak berani memandang rendah. Dia lalu
mengerahkan tenaga Inti Bumi dan kedua tenaga Swat-im Sin-kang dan Hui-yang
Sin-kang, tiga tenaga mujijat digabung menjadi satu, disalurkan kepada dua
lengannya dan dia pun menangkis.
“Blarrr....!” Dua tenaga mujijat yang jauh
lebih kuat daripada ketika Tek Hoat melawan Milana tadi bertemu dan akibatnya
tubuh Tek Hoat terjengkang, sedangkan Bun Beng hanya melangkah mundur dua
tindak. Dalam keadaan biasa pun tingkat Tek Hoat masih belum mampu menandingi
tingkat Bun Beng, apalagi dalam keadaan baru saja sembuh dari luka-luka hebat.
Akan tetapi Tek Hoat yang merasa dadanya sesak
itu sudah meloncat bangkit kembali dengan mata mendelik saking marahnya. Pada
saat itu, terdengar seruan nyaring, “Paman Gak Bun Beng....!”
Bun Beng menoleh dan berseru girang,
“Dewi....!” Syanti Dewi menjatuhkan buah-buah yang dibawanya, lalu
berlari-larian sambil air matanya bercucuran akan tetapi mulutnya tersenyum
lebar menghampiri Bun Beng yang saking girangnya melihat puteri itu selamat
juga sudah menyambut dengan kedua lengan terbuka.
“Paman....!” Syanti Dewi menubruk dan mereka
berangkulan, Syanti Dewi terisak di atas dada Bun Beng dan pendekar ini
mengusap-usap rambut kepala Sang Puteri. Rasa gembira yang spontan memang tak
dapat dipikirkan lebih dulu sehingga Bun Beng dan Syanti Dewi lupa bahwa di
situ terdapat dua orang lain yang memandang pertemuan mesra dan bahagia ini
dengan hati.... mendongkol! Puteri Milana sudah maklum betapa Syanti Dewi
pernah jatuh cinta kepada Gak Bun Beng, maka terasa agak panas juga perutnya
melihat kekasihnya berpelukan itu, sedangkan Tek Hoat tentu saja merasa
dadanya seperti dibakar, apalagi melihat bahwa yang dipeluk oleh puteri yang
dicintanya itu adalah musuh besarnya! Kalau Milana diam saja melihat adegan itu
karena dia pun maklum bahwa tidak ada apa-apa yang tidak wajar dalam pertemuan
antara dua orang itu, sebaliknya Tek Hoat tak dapat menahan kemarahannya.
“Gak Bun Beng manusia pengecut! Hayo kau
lawan aku!”
Mendengar ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan
melepaskan pelukannya, menoleh dan memandang Tek Hoat dengan mata terbelalak.
“Tek Hoat, jangan gila kau....!”
Akan tetapi kata-kata Syanti Dewi ini seperti
merupakan minyak yang menyiram api kemarahan di hati Tek Hoat, karena
dianggapnya Syanti Dewi membela dan memihak kepada Gak Bun Beng. Maka begitu
melihat Syanti Dewi sudah terlepas dari Bun Beng, serta merta dia menyerang
dengan dahsyat dan ganas.
Tentu saja Bun Beng yang telah waspada itu
cepat meloncat mundur, akan tetapi Tek Hoat terus mengejar dan menyerangnya
dengan dahsyat seperti seekor kerbau gila mengamuk sehingga mau tidak mau Bun
Beng terpaksa harus melayaninya dan mereka pun saling pukul dan saling
tangkis!
“Paman Gak.... jangan bunuh dia.... jangan
lukai dia.... dia telah menyelamatkan aku dari bahaya....” Syanti Dewi
berteriak-teriak dan kelihatan gelisah sekali melihat pertempuran antara dua
orang itu.
Milana memandang tajam kepada Syanti Dewi dan
naluri kewanitaannya membuat dia melihat sesuatu yang menusuk ulu hatinya.
Kiranya Puteri Bhutan ini jatuh cinta kepada Tek Hoat, pikirnya. Kenyataan ini
amat pahit baginya karena dia maklum bahwa adiknya tidak mempunyai harapan.
Dan kabenciannya kepada Tek Hoat mereda ketika mendengar pengakuan Syanti Dewi
bahwa pemuda itu tidak menculiknya, bahkan malah menolongnya.
Demikian pula Gak Bun Beng segera meloncat ke
belakang. “Orang muda, tahan dulu!”
“Lebih baik mati!” Tek Hoat yang masih marah
itu tidak peduli, melihat Gak Bun Beng meloncat mundur dia pun segera menerjang
lagi dan mendesak dengan pukulan-pukulan maut. Terpaksa Bun Beng melayaninya
dengan bingung.
Andaikata tidak ada seruan-seruan yang meminta
kepadanya agar jangan melukai Tek Hoat, tentu Bun Beng dapat merobohkan
lawannya dengan pukulan-pukulan sakti, akan tetapi kini Bun Beng tidak mau
melakukan hal itu, hanya menjaga diri, menangkis atau mengelak tanpa membalas.
Tentu saja dia mulai menjadi kewalahan karena pemuda itu telah menjadi nekat
dan agaknya hendak mengadu nyawa. Memang Tek Hoat telah menjadi nekat. Tadinyapun
dia sudah merasa tidak berharga berdekatan dengan puteri yang dicintanya, kini
munculnya dua orang pendekar hebat itu membuat dia merasa makin tidak berharga
lagi, ditambah panasnya hati menyaksikan wanita yang dicintanya berpelukan
demikian bahagia dengan orang yang dibencinya.
Ketika pertandingan itu masih berlangsung
dengan serunya, datang pasukan yang dipimpin oleh Jayin, yang mendengar bahwa
Sang Puteri telah ditemukan. Jayin dan pasukannya menjadi bingung melihat dua
orang itu bertanding, akan tetapi atas isyarat Puteri Syanti Dewi, mereka
mundur lagi dan tidak berani mencampuri. Berkali-kali Syanti Dewi minta kepada
Tek Hoat untuk menyudahi serangannya, namun pemuda yang sudah nekat ini seperti
tidak mendengar suaranya.
Melihat ini, diam-diam Puteri Milana melolos
sabuknya dan pada saat untuk ke sekian kalinya Tek Hoat mengadu tenaga dengan
Bun Beng dan pendekar ini menggunakan tenaga saktinya untuk membuat kedua
tangan pemuda itu melekat pada tangannya, tiba-tiba Milana menggerakkan
sabuknya dan sabuk itu seperti hidup membelit-belit dan mengikat tubuh dan
kedua tangannya sehingga Tek Hoat tidak mampu bergerak lagi.
“Lepaskan aku dan kita bertempur sampai mati!
Atau bunuh saja aku!” Tek Hoat meronta-ronta. “Gak Bun Beng manusia busuk!
Engkau yang telah membuat ibuku menderita selama hidupnya! Terkutuk
engkau....!”
Syanti Dewi menubruk dan memegang kedua lengan
Tek Hoat. “Tek Hoat, ingat. Siapa aku? Aku minta kau diam dan mendengarkan
penjelasan. Ke manakah perginya sifatmu yang baik itu? Apakah kau ingin membuat
aku berduka, Tek Hoat?”
Pemuda itu memandang wajah Sang Puteri,
mukanya menjadi pucat, dua titik air mata meloncat turun dan dia menunduk.
“Dewi....” Dia memejamkan matanya dan menggigit bibirnya.
Mereka kini duduk di dalam kuil, sedangkan
Jayin dan pasukannya menanti di luar. Dengan sabar dan tenang Gak Bun Beng
bercerita kepada Tek Hoat yang telah dilepas ikatannya dan lengannya dipegang
oleh Syanti Dewi. Pegangan puteri ini sebetulnya malah lebih kuat daripada ikatan
sabuk Puteri Milana, karena Tek Hoat menjadi jinak dan tidak mengamuk lagi. Dia
menunduk dan mendengarkan penuturan Gak Bun Beng dengan hati tidak karuan
rasanya.
Setelah Gak Bun Beng menceritakan bahwa dia
bukanlah musuhnya seperti yang diduga oleh Ang Siok Bi, ibunya, Milana juga
lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ang Siok Bi dan betapa ibunya
kini pun sudah insyaf akan kekeliruannya yang amat besar dan mendatangkan
akibat yang hebat itu.
“Akan tetapi.... masa ibuku begitu bodoh
sehingga mudah saja ditipu oleh penjahat yang bernama Wan Keng In itu....?”
Tek Hoat membantah dengan ragu-ragu.
“Tek Hoat, kaulihat aku!” Puteri Milana
tiba-tiba berkata. “Kau sedikit banyak sudah mengenal aku, bukan? Apakah aku
seorang yang mudah ditipu? Dan aku masih terhitung saudara tiri dari Wan Keng
In, juga aku adalah masih sumoi dari Gak-suheng. Akan tetapi toh aku juga
tertipu seperti ibumu sehingga aku sendiri, bersama ibumu dan wanita lain yang
juga menjadi korban Wan Keng In, kami mengeroyok Gak-suheng sehingga Gak-suheng
terjerumus ke dalam jurang dan disangka mati oleh ibumu. Ibumu lalu pergi dan
tak pernah muncul kembali, tak pernah bertemu dengan kami sehingga belum juga
tahu akan kekeliruan sangka itu. Sampai engkau muncul dan melakukan tindakan
yang menjadi akibat fitnah itu.”
“Tek Hoat, sudah kukatakan kepadamu bahwa
Paman Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berhati mulia, tidak mungkin
melakukan kekejaman seperti itu. Kau telah salah sangka dan ibumu pun
demikian....” kata Syanti Dewi.
Tiba-tiba Tek Hoat menutupi mukanya, lalu
menjambak-jambak rambutnya. “Dan aku.... aku telah.... menodai namanya....,
persis seperti yang dilakukan oleh ayahku yang jahanam itu!” Dia bangkit dan
melotot. “Aku tidak layak hidup! Dewi, aku tidak layak hidup, apalagi
berdekatan denganmu.”
“Tek Hoat....!” Melihat pemuda itu seperti
orang beringas, Syanti Dewi menubruknya. “Tek Hoat, jangan.... jangan
nekat.... kau.... adalah sebaik-baiknya orang bagiku....”
“Tidak, Dewi. Aku orang jahat....” Dia masih
meronta.
Bun Beng bangkit dan memegang kedua pundak
pemuda itu, mengguncangnya dan berkata dengan nada keras, “Tek Hoat, beginikah
sikap seorang jantan? Begini pengecutkah engkau sehingga kau menjadi putus
harapan? Semua orang di dunia ini pasti pernah melakukan penyelewengan.
Siapakah di antara kita yang tidak pernah keliru dalam tindakan dalam hidup
kita? Yang penting adalah menyadari kesalahan itu, karena hanya kesadaran
saja yang akan mendatangkan perubahan. Bersikaplah gagah, tenagamu yang muda
masih dibutuhkan oleh manusia dan dunia, dan terutama sekali, kau lihat,
Puteri Syanti Dewi amat membutuhkanmu.”
Tek Hoat terbelalak memandang kepada Gak Bun
Beng, kemudian menoleh ke arah Syanti Dewi, dan lemaslah seluruh tubuhnya. Dia
mengangguk-angguk, menarik napas panjang. “Baiklah.... baiklah...., aku
menyerah dan menurut.... akan tetapi aku harus mendengar sendiri keterangan itu
dari ibuku....”
Bagaikan seekor harimau yang telah berubah
menjadi seekor domba jinak, Tek Hoat menurut saja diajak keluar menemui Jayin
dan pasukannya, dan dia tidak pernah membantah ketika diajak oleh Syanti Dewi
untuk menemui ayahnya yang menanti dengan cemas di dalam perkemahannya di
hutan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
rombongan ini tiba di perkemahan Raja Bhutan. Mendengar bahwa puterinya telah
ditemukan dalam keadaan selamat, Raja Bhutan menjadi girang dan tergopoh-gopoh
dia keluar dari tendanya menyambut sendiri.
Syanti Dewi menjerit dan lari menghampiri
ayahnya. Mereka berpelukan dan Syanti Dewi tidak kuasa mengeluarkan kata-kata,
sedangkan Sri Baginda juga mengusap air matanya dan mengelus-elus kepala
puterinya, mendekapnya ketat seolah-olah takut kehilangan puterinya lagi.
Setelah mendengar penuturan Panglima Jayin
bahwa tiga orang dari timur itu, ialah Puteri Milana, Gak Bun Beng, dan Ang Tek
Hoat telah banyak berjasa dalam menyelamatkan Puteri Syanti Dewi, Sri Baginda
Kerajaan Bhutan berterima kasih sekali. Dengan wajah berseri dia menghaturkan
terima kasih dan mengundang mereka bertiga untuk berkunjung dan menjadi tamu
kehormatan di Kerajaan Bhutan. Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Raja
Bhutan yang amat berterima kasih itu, Gak Bun Beng dan Puteri Milana merasa
sungkan untuk menolak, sedangkan Tek Hoat yang hanya tunduk kepada pandang
mata Puteri Syanti Dewi juga tidak banyak cakap lagi.
Pada keesokan harinya, berangkatlah rombongan
Raja Bhutan ini, hendak kembali ke kota raja, diiringkan oleh tiga orang tamu
itu. Gak Bun Beng dan Puteri Milana saling bemufakat untuk singgah beberapa
hari di kota raja Bhutan dan kemudian melanjutkan usaha mereka mencari Kian Bu
yang lenyap jejaknya itu, kemudian setelah dapat bertemu dengan adik itu,
bersama-sama akan pergi menghadap ke Pulau Es.
Akan tetapi, jauh di luar dugaan mereka dan
dugaan Raja Bhutan sendiri, perjalanan yang diliputi kegembiraan karena Sang
Puteri telah bertemu dengan ayahnya itu ternyata menghadapi ancaman yang
hebat! Rombongan yang megah ini sedang bergerak perlahan dan tidak tergesa-gesa
melalui sebuah daerah terbuka, dan Raja Bhutan yang berkuda di sebelah
puterinya itu, tiba-tiba terkejut melihat datangnya seorang perajurit yang
berlari-larian dari depan dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di tengah
jalan menghadang rombongan itu!
Mula-mula Panglima Jayin yang menghampiri dan
marah-marah menegur perajurit Bhutan yang membawa tombak itu, akan tetapi
begitu mendengar pelaporan perajurit yang ternyata merupakan seorang kurir
atau utusan dari komandan pasukan penjaga kota raja, Panglima Jayin terkejut
sekali dan membawa kurir itu menghadap Sri Baginda sendiri.
“Mohon paduka mengampunkan hamba yang datang
mengganggu tanpa dipanggil,” utusan itu berlutut dan menjawab pertanyaan Sri
Baginda. “Hamba diutus oleh komandan untuk mengabarkan bahwa kota raja kini
sedang dikurung oleh pasukan-pasukan besar dari para kepala suku liar dan
dipimpin sendiri oleh Tambolon. Jumlah pasukan mereka besar sekali dan kota
raja telah dikurung sehingga rombongan paduka hendaknya tidak melanjutkan
perjalanan ke sana karena pintu masuk telah dikurung semua oleh pihak musuh.”
“Hemm, Si Tambolon keparat!” Sri Baginda
berseru marah. “Apa kehendaknya sekali ini?”
“Maaf, Sri Baginda. Dengan terang-terangan
Tambolon menyatakan bahwa dia menuntut agar Sang Puteri diserahkan kepadanya.”
“Ayah.... kedatanganku ternyata hanya
mendatangkan malapetaka saja....!” Syanti Dewi berseru kaget.
“Hemm, jangan kau berkata demikian, anakku.
Jayin, hentikan rombongan dan kumpulkan semua panglima dan perwira, juga undang
tiga orang tamu agung kita untuk diajak berunding.”
Rombongan berhenti dan perkemahan didirikan di
tempat itu. Kemudian Raja Bhutan mengadakan perundingan dengan para
panglimanya, juga dihadiri oleh Puteri Syanti Dewi, Puteri Milana, Gak Bun Beng
dan Tek Hoat.
Dengan wajah serius Sri Baginda membicarakan
ancaman bahaya yang mengepung Bhutan itu, kemudian berkata kepada tiga orang
tamunya, “Untuk menyelamatkan kerajaan, kami sangat mengharapkan bantuan Anda
bertiga.”
“Bibi Milana, Paman Gak Bun Beng, saya harap Bibi
dan Paman dapat membantu Ayah,” Syanti Dewi juga berkata dengan suara khawatir
melihat ayahnya begitu gelisah.
Puteri Milana adalah seorang yang ahli dalam
hal perang, maka dengan tenang dia lalu bertanya kepada Panglima Jayin,
“Menurut pelaporan, berapakah kira-kira jumlah para pengepung dan bagaimana
keadaan kekuatan para penjaga di kota raja?”
“Menurut pelaporan, para pengepungan berjumlah
banyak sekali dan sudah menduduki empat penjuru menutup pintu-pintu gerbang
yang menghubungkan kota raja dengan daerah luar,” jawab Panglima Jayin. “Sayang
bahwa Panglima Sangita juga berada di sini mengawal Sri Baginda sehingga para
pasukan di kota raja kehilangan panglima tertinggi. Oleh karena itu, biarlah
saya akan berusaha menyelundup ke kota raja agar dapat memimpin pasukan di
sebelah dalam.”
“Usul itu tepat,” kata Panglima Sangita yang
tua. “Biarpun pasukan yang sekarang mengawal Sri Baginda tidak besar, namun ini
merupakan pasukan pengawal istimewa. Dengan menggempur mereka dari luar dan
dalam, biarpun jumlah pasukan kita kalah besar, akan tetapi tentu akan dapat
mengacaukan mereka.”
“Kalau menurut pendapat saya, yang terpenting
adalah menjamin keselamatan keluarga Sri Baginda dan pertahanan kota raja.”
Puteri Milana berkata dengan tenang. “Kehadiran Sri Baginda di kota raja amat
diperlukan, karena hal itu tentu akan menambah semangat para pasukan. Maka,
jika usul saya dapat diterima, kita harus mengusahakan agar Sri Baginda dan
Puteri Syanti Dewi dapat diselundupkan masuk ke dalam kota raja sehingga dapat
memperbesar semangat pasukan.”
“Akan tetapi, hal itu tentu akan terlalu
berbahaya bagi keselamatan Sri Baginda!” Panglima Sangita membantah dengan
nada khawatir.
“Tidak lebih berbahaya daripada berada di
luar kota dan hanya dikawal oleh pasukan sebanyak ini,” Gak Bun Beng berkata.
“Baiknya pihak musuh belum tahu bahwa Sri Baginda dan Sang Puteri berada di
luar kota raja, kalau tahu, saya kira mereka sekarang pun sudah mengerahkan
barisan untuk mengepung dan menyerbu. Tanpa adanya benteng yang melindungi,
menghadapi pasukan musuh yang jauh lebih besar sungguh berbahaya sekali. Saya
setuju sekali dengan usul Puteri Milana untuk menyelundupkan Sri Baginda dan
Puteri Syanti Dewi memasuki kota raja.”
Panglima Jayin dan Panglima Sangita hanya
saling pandang dengan ragu-ragu, karena mereka tahu betapa berbahaya menerobos
kepungan musuh mengantar Sri Baginda memasuki kota raja yang terkepung itu.
Akan tetapi Sri Baginda yang kelihatan termenung itu segera dipeluk oleh
puterinya dan berkata, “Ayahanda harus menaruh kepercayaan yang sepenuhnya
kepada Bibi Puteri Milana dan Paman Gak Bun Beng. Mereka adalah
manusia-manusia luar biasa yang saya percaya dapat melakukan apapun juga.”
Sri Baginda menghela napas panjang. “Baiklah,
kami hanya mengandalkan bantuan Anda bertiga untuk membantu kami.” Dia tidak
melewatkan Tek Hoat karena dia pun sudah mendengar bahwa pemuda itu memiliki
ilmu kepandaian yang amat luar biasa pula. “Bagaimana sebaiknya diatur hal ini,
Puteri Milana?”
Puteri Milana mengerutkan alisnya dan
memejamkan mata, membayangkan keadaan kota raja Bhutan yang terkepung musuh
yang dipimpin oleh Tambolon, raja liar itu. Dia belum tahu bagaimana letak dan
keadaan kota raja Bhutan, maka sukarlah dia membayangkan cara bertahan yang paling
baik. Akhirnya dia berkata, “Kita menanti sampai malam ini, dan saya sendiri
bersama Gak-suheng dan Panglima Jayin akan menyelundupkan paduka dan Puteri
Syanti Dewi ke dalam kota raja. Adapun pasukan pengawal dipimpin oleh Panglima
Sangita dan Tek Hoat diam-diam melakukan pengawalan sambil bersembunyi. Syukur
kalau penyelundupan ke dalam kota raja itu tidak ketahuan musuh. Andaikata
sampai ketahuan, pasukan pengawal harus cepat menyerbu dan membikin kacau
untuk memecah perhatian musuh sehingga memudahkan kita masuk ke kota raja.”
“Akan tetapi setiap pintu gerbang sudah
dikepung musuh, bagaimana kita dapat masuk?” Sri Baginda menyatakan
kekhawatirannya.
“Paduka akan saya pondong, dan biarlah Puteri
Syanti Dewi dipondong oleh Sumoi dan kami bawa paduka berdua meloncat tembok
benteng.”
“Wah, begitu tingginya....?” Sri Baginda
terkejut.
“Ayah, percayalah kepada Paman Gak dan Bibi
Milana. Mereka memiliki kepandaian seperti dewa,” kata Syanti Dewi gembira,
sedikit pun tidak merasa takut. “Dan dengan adanya pengawalan pasukan yang
dipimpin oleh Tek Hoat, kita boleh berbesar hati, Ayah. Kita pasti dapat
memasuki kota raja dengan selamat.”
Tek Hoat tadinya ingin mengajukan keberatan
karena dia tidak ingin mencampuri urusan Kerajaan Bhutan, apalagi setelah dia
kini melihat kenyataan bahwa sungguh tidak mungkin baginya untuk melanjutkan
cinta kasihnya terhadap seorang puteri seperti Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan
yang tercinta dan berkedudukan amat tinggi. Kalau menurut keinginan hatinya,
dia ingin mencari ibunya, ingin kembali kepada ibunya dan mendengar sendiri
dari ibunya tentang riwayat ibunya yang sebenarnya. Akan tetapi, mendengar
ucapan Syanti Dewi dan terutama sekali ketika mereka bertemu pandang, Tek Hoat
tidak mungkin dapat menolak dan dia hanya berkata, “Hamba akan membela dengan
taruhan nyawa hamba.”
“Akan tetapi engkau tidak boleh nekat, Tek
Hoat,” Milana berkata mendengar ucapan pemuda itu. “Engkau sudah pernah
memimpin pasukan ketika terjadi keributan di utara, maka aku percaya bahwa
engkau tentu akan dapat membantu Panglima Sangita mengatur pasukan pengawal itu
menjadi barisan terpendam dan hanya bergerak kalau perlu saja. Menyerbu
mati-matian padahal jumlah musuh jauh lebih banyak hanya merupakan perbuatan
nekat yang konyol.”
Tek Hoat tidak menjawab, akan tetapi
mengangguk.
Maka bersiaplah mereka dan setelah malam tiba,
berangkatlah lima orang itu berindap-indap melalui tempat-tempat gelap menuju
ke kota raja yang masih agak jauh letaknya dari tempat itu. Sangita dan Tek Hoat
memimpin pasukan yang disebar dan melakukan pengawalan rahasia dari kanan kiri
dan belakang dan Tek Hoat sendiri mendahului perjalanan untuk mengadakan
penyelidikan tentang keadaan penjagaan musuh yang mengepung kota raja.
Setelah Milana dan Gak Bun Beng yang mengawal
raja dan puteri, ditemani Panglima Jayin tiba dekat dengan tembok kota raja,
Tek Hoat menyambut mereka dengan laporan bahwa menurut penyelidikannya, tidak
mungkin melakukan penyelundupan dekat pintu gerbang yang sudah dikurung ketat
dan di setiap tempat dekat pintu gerbang musuh sudah memasang barisan yang
terdiri dari regu anak panah danbahkan regu alat-alat peledak yang tentu akan
membahayakan keselamatan raja dan puterinya.
“Akan tetapi di sepanjang tembok benteng di
selatan, melalui sungai yang curam, pengepungan tidaklah begitu ketat karena
daerah itu amat terjal dan sukar sehingga selain melelahkan bagi musuh juga
agaknya mereka anggap tidak penting. Saya kira hanya melalui tembok selatan
itulah penyelundupan dapat dilakukan dengan lebih aman.”
Puteri Milana mengangguk-angguk. “Tek Hoat,
bagus sekali laporanmu ini. Kau cepat mengerahkan barisan pendam di sekitar
tembok selatan dan kaulihat saja. Kalau kau melihat kami dalam kesukaran, baru
kau boleh menggerakkan pasukan untuk mengacau musuh dan membagi perhatian
serta kekuatan mereka. Kalau tidak perlu, jangan sekali-kali bergerak.”
“Baik,” kata Tek Hoat dan dia memandang ke
arah Puteri Syanti Dewi yang seperti juga Sri Baginda dan yang lain telah
menyamar sebagai orang-orang biasa. Sejenak, di bawah sinar bintang-bintang di
angkasa yang samar-samar, mereka saling pandang, kemudian Syanti Dewi lalu
digendong oleh Milana dan Raja digendong oleh Gak Bun Beng.
Tembok benteng itu bertingkat-tingkat, dan di
tingkat paling atas terdapat penjaga-penjaga yang selalu siap dengan anak panah
mereka. Sedangkan tembok di bagian selatan ini terlindung oleh sebatang sungai
yang amat curam, dan karena sukarnya tempat ini, maka pasukan anak buah
Tambolon yang mengurung kota raja hanya menjaga di tepi-tepi sungai sambil
bersembunyi. Oleh karena itu, maka dengan mudah Gak Bun Beng dan Milana yang
menggendong raja dan puterinya menyusup dan menuruni sungai yang curam itu
mendekati tembok, diikuti oleh Panglima Jayin yang berkepandaian tinggi itu.
Akhirnya mereka tiba juga di dekat tembok dan dengan bingung Panglima Jayin
memandang ke atas. Tembok benteng itu demikian tingginya, bagaimana mungkin
membawa Raja dan puteri naik ke atasnya tanpa diketahui oleh pihak musuh? Dia
sendiri tidak akan sanggup untuk meloncat ke bagian tembok yang paling rendah
saja, apalagi sampai ke tingkat paling tinggi.
Sunyi sekali tampaknya di sekeliling tempat
itu, akan tetapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana maklum bahwa di belakang
mereka, di sungai curam yang kelihatan gelap dan sunyi itu, tentu terdapat
pihak musuh yang siap menyerbu dan menyerang mereka dengan anak panah kalau
sampai kehadiran mereka diketahui.
“Sumoi, biar aku membawa Sri Baginda naik
lebih dulu dan kau melindungi aku dari belakang. Kalau dilakukan secara
berbareng, tentu tidak dapat kita melakukan perlindungan dengan sempurna.”
“Memang aku pun berpikir begitu, Suheng. Nah,
aku sudah siap. Syanti Dewi, kau bersembunyi dulu di sini bersama Panglima
Jayin sementara kami menyelamatkan ayahmu ke dalam benteng.”
Panglima Jayin lalu mengajak Syanti Dewi untuk
bersembunyi di dalam rumpun alang-alang agak menjauh dari tempat itu. Dari
tempat persembunyian ini mereka mengintai dengan hati berdebar penuh
ketegangan.
“Sudah siap, Sumoi?”
“Sudah, Suheng,” kata Milana sambil mencabut
keluar pedangnya.
Tak lama kemudian Gak Bun Beng yang
menggendong Raja Bhutan meloncat ke atas tembok pertama, disusul oleh Milana
yang memegang pedang. Bayangan mereka nampak seperti dua ekor burung terbang
dan dengan penuh kagum Jayin dan Syanti Dewi melihat betapa mereka telah
berhasil hinggap dan berdiri di atas tembok pertama. Dengan sigap seperti dua
ekor kucing saja, dua orang sakti itu kembali bergerak meloncat ke atas ke
tembok tingkat dua.
Tiba-tiba kelihatan sinar api dari atas tembok
tingkat empat dan terdengar ribut-ribut para penjaga yang telah melihat
bayangan mereka dan tentu saja para penjaga itu mengira bahwa mereka adalah
pihak musuh yang hendak menyelundup masuk. Terdengar tanda bahaya dipukul dan
di atas benteng muncul kepala banyak orang yang menjenguk ke bawah.
Keributan ini agaknya terlihat oleh pihak
musuh. Segera tampak kesibukan di luar tembok dan anak-anak panah mulai
meluncur secara gencar dari luar tembok, ditujukan kepada dua bayangan itu
karena pihak pengepung maklum bahwa ada orang yang akan menyelundup ke dalam
benteng.
“Hati-hati, Suheng. Aku menjaga serangan dari
belakang!” Milana berseru dan pedangnya sudah diputar cepat dan semua anak
panah yang menyerang dari pihak musuh dapat ditangkisnya dengan mudah.
Sedangkan Bun Beng sendiri juga sudah cepat menggerakkan kedua lengan bajunya
untuk menangkis anak panah yang sudah datang pula dari atas dan depan, yaitu
dari pihak penjaga Bhutan! Mereka diserang dari depan dan belakang!
“Sumoi, cepat meloncat ke tingkat tiga!” Bun
Beng berseru dan dengan pengerahan tenaga gin-kangnya, dia sudah melayang ke
atas diikuti oleh Milana yang memutar pedangnya.
“Trang-tranggg....!”
Bun Beng berhasil tiba di atas tembok tingkat
tiga dengan Raja Bhutan di gendongannya. Milana tetap menjaga di belakangnya
dan karena kini datangnya anak panah dari bawah amat lebat, puteri ini sibuk
juga mclindungi Raja yang berada di punggung Bun Beng.
“Haiii.... para penjaga! Yang datang adalah
raja kalian!” Bun Beng berteriak ke atas akan tetapi karena di tingkat paling
atas itu para penjaga gempar dan bising, maka teriakan Bun Bung ini tidak
terdengar nyata dan dari atas kini datang pula serangan anak panah dan batu!
Dengan tangkas Bun Beng menangkisi semua
senjata itu, dan Raja Bhutan sendiri menyumpah-nyumpah. “Betapa tololnya
mereka!” dia memaki.
“Mereka tidak tahu bahwa paduka yang datang,
Sri Baginda. Biarlah saya merayap ke atas, harap paduka berpegang kuat-kuat.”
“Naiklah, Suheng. Aku akan melindungimu dari
belakang.” Milana berkata. “Cepat, karena serangan dari bawah makin gencar dan
aku melihat mereka itu sudah keluar dari tempat persembunyian mereka.”
Gak Bun Beng tidak berani meloncat ke tingkat
paling atas, karena selain tingkat itu tinggi, juga di situ sudah siap para
penjaga yang tentu akan menyerang dengan membuta dan hal ini amat berbahaya.
Maka dia lalu menggunakan sin-kangnya, dan mulailah pendekar ini memanjat
tembok itu seperti seekor cecak! Puteri Milana dengan pedang di tangan tetap
melindunginya dan menangkisi semua senjata yang meluncur dari bawah, sedangkan
para penjaga di atas menjadi bingung dan tidak dapat melihat Bun Beng yang
merayap mepet di tembok. Dari atas mereka itu hanya menyerang Puteri Milana
sehingga Sang Puteri harus memperlihatkan kehebatan permainan pedangnya yang
menangkisi hujan anak panah yang datang dari bawah dan atas.
Ketika tiba di tingkat paling atas benteng
itu, Gak Bun Beng menghadapi ujung-ujung tombak dan pedang yang sudah nampak
dari bawah! Karena suara hiruk-pikuk para penjaga di atas dan teriakan-teriakan
para musuh di bawah, maka seruan Raja Bhutan sendiri tidak terdengar oleh para
penjaga.
Pada saat itu terdengarlah bentakan-bentakan
nyaring dari bawah. Puteri Milana terkejut ketika melihat ada bayangan orang
yang meloncat ke atas tembok tingkat pertama dengan gerakan yang ringan dan
gesit seskali, terus orang itu berloncatan ke tingkat dua dan agaknya hendak
mengejar Gak Bun Beng. Karena dia dihujani anak panah dari atas dan bawah, dia
tidak dapat mencegah orang itu yang kini dengan loncatan-loncatan cepat telah
mengejar Bun Beng yang masih merayap sambil menggendong Raja Bhutan! Akhirnya
Puteri Milana dapat juga memukul runtuh semua anak panah dan cepat dia pun meloncat
ke arah bayangan itu. Namun terlambat, karena bayangan orang kurus itu telah
melayang ke arah Gak Bun Beng yang masih merayap seperti cecak sambil berseru,
“Bunuh Raja Bhutan!”
Bun Beng terkejut, maklum bahwa ada lawan
menyerangnya sambil meloncat ke udara, serangan yang ditujukan kepada tubuh
Sang Raja di atas punggungnya. Maka dia pun cepat menoleh dan pada saat itu dia
mendengar teriakan Milana, “Suheng, lemparkan beliau ke sini!”
Bun Beng maklum akan bahaya serangan orang
yang agaknya cukup lihai itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memegang kedua
lengan Raja Bhutan yang merangkul lehernya, melepaskan rangkulan dan
melemparkan tubuh Raja ke arah Milana. Raja itu tentu saja terkejut sekali dan
mengeluarkan keluhan panjang, karena kalau tubuhnya sampai terjatuh ke bawah
sana, tentu akan hancur lebur. Akan tetapi, sepasang lengan yang kecil kuat,
dengan tangan yang halus, menerima tubuhnya dengan mudah dan tahu-tahu dia
sudah berdiri di atas tembok tingkat tiga, dipegangi oleh Puteri Milana. Tubuh
Raja menggigil. “Harap paduka tenang....” Milana berkata dan pedangnya
menyampok beberapa batang anak panah.
Sementara itu, orang kurus yang menyerang
tadi telah disambut oleh dorongan tangan Bun Beng.
“Desss....!” Begitu tangan mereka bertemu,
orang itu terpental dan terdengar dia mengeluarkan lengking kematian yang
mengerikan ketika tubuhnya terlempar ke
bawah yang
gelap dan amat dalam itu. Bun Beng terpaksa melanjutkan usahanya merayap ke
atas. Dia dipapaki tombak dan pedang namun dengan mudah dia menangkis semua
senjata itu sehingga runtuh dan dia cepat berseru, “Kami adalah orang-orang
sendiri! Kami menghantar Sri Baginda naik ke benteng, harap bantu beliau
naik!”
Mendengar ini, barulah terkejut para penjaga.
Tadinya mereka juga terheran-heran melihat ada orang berani naik ke benteng
seperti itu dan melihat betapa yang berusaha naik itu diserang oleh anak panah
musuh juga.
Gak Bun Beng lalu meloncat turun lagi untuk
menjemput Sri Baginda dan kini dari atas benteng dihujankan senjata ke arah
musuh yang menyerang dari bawah. Hujan anak panah ini membuat serangan dari
bawah mereda dan dengan mudah Bun Beng membawa Sri Baginda ke atas tembok yang
disambut dengan sorak girang oleh para penjaga.
Milana sudah meloncat turun, disusul oleh Bun
Beng yang sudah berhasil menyelamatkan Raja Bhutan. Kini Syanti Dewi dipondong
oleh Milana, dan dilindungi oleh Gak Bun Beng yang membantu Jayin naik pula ke
tembok benteng. Berkat perlindungan Bun Beng, semua anak panah dari bawah dapat
diruntuhkan dan akhirnya mereka semua berhasil tiba di atas benteng dengan
selamat. Sorak sorai gemuruh menyambut kedatangan Raja, puteri dan Panglima
Jayin di atas benteng dan bangkitlah semangat semua perajurit Bhutan, apalagi
setelah menyaksikan kelihaian Puteri Milana dan Gak Bun Beng.
Malam itu juga Sri Baginda lalu mengajak dua
orang tamu agungnya itu berunding, dan pimpinan bala tentara diserahkan
kepada Puteri Milana yang memang ahli dalam soal perang. Panglima Jayin
menjadi pembantunya dan Milana lalu mengatur bagaimana penjagaan harus
dilakukan menghadapi pengepungan pihak musuh. Dia juga minta kepada Panglima
Jayin agar melepas mata-mata dan penyelidik untuk mengetahui keadaan musuh, di
bagian mana adanya pengepungan yang paling kuat dan di mana pula yang paling
lemah, berapa banyak adanya kekuatan musuh dibandingkan dengan kekuatan
sendiri.
Kerajaan Bhutan adalah sebuah kerajaan yang
beragama Buddha, maka banyak pendeta Buddha yang bertugas di istana. Mereka
ini oleh Milana dimanfaatkan untuk menghibur para penduduk kota raja, dan juga
semua laki-laki yang berada di kota raja diharuskan ikut pula menjadi tentara
suka rela, sedangkan yang wanita diharuskan mengatur agar ransum yang terdapat
di kota raja dapat dihemat pemakaiannya. Pendeknya, segala persiapan untuk
menghadapi musuh yang telah mengurung benteng kota raja dipersiapkan dengan
teliti oleh Puteri Milana dan diatur malam hari itu juga.
Ternyata berita bahwa Raja Bhutan dan
puterinya secara luar biasa malam tadi dapat menyelundup ke dalam kota raja,
terdengar pula oleh Tambolon yang kehilangan seorang pembantu cakap yang
semalam tewas ketika berusaha menghalangi Bun Beng dan raja liar ini menjadi
marah bukan main. Dia sendiri lalu memimpin pasukan-pasukannya, mendekati pintu
gerbang utama dan berteriak-teriak menantang perang kalau Raja Bhutan tidak mau
menyerahkan puterinya. Tentu saja Sang Puteri itu hanya untuk menjadi alasan
saja, sedangkan tentu saja Tambolon sebetulnya ingin menguasai Bhutan!
Dari atas menara benteng, Puteri Milana dan
Gak Bun Beng, juga Panglima Jayin dan para panglima lain, memandang ke bawah.
Mereka melihat bahwa Tambolon masih disertai dua orang pembantunya yang setia,
yaitu Si Petani Maut Liauw Ki, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, di samping ada
pula di situ Hek-tiauw Lo-mo. Dan biarpun tidak nampak, Milana dan Gak Bun Bung
dapat menduga bahwa tentu guru dari Tambolon, Nenek Durganini yang akhir-akhir
ini selalu muncul membantu muridnya, ada pula di antara barisan musuh itu.
Karena pihak musuh menantang untuk mengadakan
perang terbuka di luar tembok kota raja, tentu saja pihak Kerajaan Bhutan
tidak dapat menolak, maka Gak Bun Beng sendiri bersama Panglima Jayin dan
beberapa orang panglima memimpin pasukan keluar dari pintu gerbang untuk
menyambut musuh. Puteri Milana yang memimpin pertahanan itu tetap berada di
menara benteng untuk melihat keadaan dan mengatur kendali gerakan barisan
Bhutan dari tempat tinggi itu.
Beberapa orang Panglima Kerajaan Bhutan maju
berkuda, disambut oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Dalam puluhan jurus saja para
Panglima Bhutan ini roboh dari kuda mereka. Panglima Jayin dengan marah,
setelah mendapat perkenan Gak Bun Beng, maju sendiri. Dia menangkan beberapa
orang panglima musuh, akan tetapi ketika berhadapan dengan Lauw Ki Si Petani Maut,
baru bertempur dua puluh jurus saja pundaknya sudah terpukul pikulan dan kalau
dia tidak cepat mengundurkan diri tentu akan tewas pula!
Bun Beng menjadi penasaran dan marah. Majulah
pendekar ini dan segera dia dikeroyok dua oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Akan
tetapi, dengan mudah saja Bun Beng mempermainkan mereka. Bahkan ketika
Hek-tiauw Lo-mo yang kini tahu-tahu sudah bergabung dan membantu Tambolon itu
maju pula mengeroyok, tetap saja Gak Bun Beng mengamuk hebat dan membuat
Hek-tiauw Lo-mo sendiri terdesak hebat. Ketua Pulau Neraka itu terkejut bukan
main. Apalagi ketika beberapa kali dia mengadu tenaga, dia memperoleh kenyataan
betapa pendekar ini memiliki tenaga Hui-yang Sin-kang, Swat-im Sin-kang dan
juga tenaga mujijat Inti Bumi!
“Kau siapakah?” bentaknya berulang-ulang.
Sudah banyak dia bertemu lawan lihai, akan tetapi baru sekarang dia melihat
seorang yang memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Pulau Neraka sedemikian
sempurnanya, seolah-olah Pendekar Super Sakti sendiri!
“Hemm, Hek-tiauw Lo-mo. Engkau merendahkan
nama Pulau Neraka dengan menjadi antek dari Tambolon si pemberontak!” Gak Bun
Beng berseru sambil menangkap sambaran pikulan yang dipukulkan oleh Liauw Ki,
kemudian sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara “krakkk!” dan pikulan
itu pun patah-patah. Tentu saja Liauw Kui menjadi pucat dan meloncat mundur.
“Namaku adalah Gak Bun Beng.”
Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Pernah dia mendengar
nama ini. “Apamukah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”
“Beliau boleh dibilang adalah guruku!” Bun
Beng memutar tubuh dan dorongan telapak tangannya membuat Yu Ci Pok terpental
dan terhuyung-huyung.
Pada saat itu, Milana yang melihat Bun Beng
dikeroyok dan melihat betapa sudah tiba saatnya memberi perintah menyerbu,
mengisyaratkan kepada peniup terompet tanduk binatang. Terdengarlah perintah
penyerbuan ini dan dipimpin oleh Jayin yang terluka pundaknya, menyerbulah
bala tentara Bhutan dan terjadilah perang campuh yang hebat.
Gak Bun Beng kini bertanding dengan hebat
melawan Hek-tiauw Lo-mo. Tidak ada orang dari kedua pihak yang berani mendekati
dua orang ini, karena sambaran hawa pukulan dari tangan mereka sedemikian
hebatnya sehingga dalam jarak dua meter saja orang yang terkena hawa pukulan
bisa roboh dan tewas.
Hek-tiauw Lo-mo mainkan sebatang tombak tulang
ikan yang ampuh, akan tetapi dengan tenang Gak Bun Beng yang masih bertangan
kosong itu menghadapinya. Tombak tulang ikan itu ditangkisnya begitu saja
dengan kedua tangannya dan dalam pertandingan mati-matian selama lima puluh jurus
lebih, akhirnya Bun Beng berhasil memukul tombak itu sehingga patah menjadi
empat potong!
“Keparat!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah dan
dia mencabut senjatanya yang lebih mengerikan lagi, yaitu sebatang golok
gergaji yang amat tebal dan berat. Dengan penasaran dia menyerang mati-matian,
namun Gak Bun Beng dapat menghindarkan diri dengan gesit dan tubuhnya
berkelebatan di antara gulungan sinar golok.
“Mampuslah!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lomo
berseru, tangan kirinya terbuka dan segumpal uap tipis menyambar. Bun Beng
terkejut karena tahu-tahu dirinya telah tertutup oleh sehelai jala tipis sekali
yang ternyata amat kuat karena betapa pun dia meronta, dia tidak mampu
membebaskan diri dari jala tipis itu.
“Ha-ha-ha, baru kau tahu kelihaian Hek-tiauw
Lo-mo!” Ketua Pulau Neraka itu tertawa, goloknya bergerak menyambar.
“Haiiit....!” Gak Bun Beng mengeluarkan pekik
dahsyat, tubuhnya bergulingan dan Hek-tiauw Lo-mo tidak kuat mempertahankan
tali jalanya yang ikut terbawa bergulingan. Kembali Gak Bun Beng mengeluarkan
lengking panjang, terdengar suara keras dan.... jala itu putus-putus semua dan
si pendekar sakti meloncat keluar dari dalam jala.
Hek-tiauw Lo-mo terbelalak. Hampir dia tidak
percaya bahwa ada orang yang mampu membebaskan diri dari jalanya. Dia tidak
tahu bahwa Gak Bun Beng sudah memiliki tingkat yang amat tinggi dalam
pengerahan tenaga sakti. Tadi pendekar ini mengerahkan seluruh tenaganya dengan
tenaga Hui-yang Sin-kang (Tenaga Inti Api) yang amat panas dan ternyata jala
itu kalah oleh hawa panas yang mujijat ini sehingga dapat dibikin putus.
Dengan marah Gak Bun Beng meloncat dan
menerjang, kedua tangannya bergerak dengan pukulan yang didasari dua tenaga
yang berlawanan, yaitu tenaga Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang.
“Trakkk....!” Golok gergaji itu pun patah
terpukul telapak tangan kanan Bun Beng dan pada saat itu, tangan kiri Hek-tiauw
Lo-mo melakukan pukulan dengan ilmu keji Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular
Hitam). Inilah kesalahan Hek-tiauw Lo-mo. Kalau dia mempergunakan ilmu keji
ini terhadap lawan lain, biasanya dia berhasil baik, dan bahkan Ceng Ceng
pernah menderita hebat oleh pukulan keji ini. Akan tetapi dia berhadapan
dengan Gak Bun Beng, seorang pendekar sakti yang selain telah memiliki
kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, juga memiliki pengalaman yang luas,
maka Bun Beng cepat menerima pukulan itu dengan telapak tangan sambil
mengerahkan Swat-im Sin-kang.
Ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat
dingin ini selain kuat juga amat baik untuk menghadapi pukulan-pukulan lawan
yang beracun, karena hawa beracun membeku begitu bertemu dengan Tenaga Inti
Salju ini.
“Desss....!” Hek-tiauw Lo-mo memekik dan
tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Pada saat
itu, Tambolon menerjang maju dengan pedangnya disertai dua orang pembantunya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar tiupan
terompet dari atas menara, tanda bahwa pasukan Bhutan harus mundur dan masuk
kembali ke dalam benteng. Mendengar ini, Gak Bun Beng terkejut dan cepat dia
pun mengatur pasukan itu bersama Jayin untuk mundur, meninggalkan pasukan
musuh yang mengejar sambil bersorak-sorak. Akhirnya semua pasukan dapat
ditarik ke dalam benteng dan pintu gerbang segera ditutup rapat dan penjagaan
dilakukan ketat, anak panah dan batu-batu dihujankan keluar sehingga pihak
musuh yang mengejar terpaksa mundur kembali.
Bun Beng segera menemui Puteri Milana. Puteri
ini merasa agak gelisah karena ternyata bahwa pihak lawan amat kuat. Tadi dia
menarik pasukan karena selagi pasukan induk berperang di luar, di empat penjuru
benteng pihak musuh berusaha menyerbu. Maka terpaksa dia menarik pasukan dan
memperkuat penjagaan sehingga usaha penyerbuan dari empat penjuru dapat
digagalkan dengan menghujankan anak panah dan batu-batu. Ketika dicacahkan,
dalam perang tadi ada seperempat bagian pasukan yang tewas atau tertawan
musuh. Biarpun pihak musuh juga banyak kehilangan pasukan, akan tetapi tetap
saja jumlah mereka masih amat banyak, dan Tambolon tentu masih dapat
mendatangkan bala bantuan dari luar, sedangkan pihak Bhutan sudah terkurung dan
tidak dapat mengharapkan bantuan dari mana pun karena Kerajaan Ceng di timur
terlalu jauh letaknya, sedangkan negara-negara tetangga tidak ada yang mau
mencampuri urusan itu. Sayang bahwa Kerajaln Bhutan tidak pernah berhubungan
terlalu baik dengan Tibet, kalau tidak, tentu Tibet dapat membantu mereka.
“Besok harus ada penentuan,” Puteri Milana
berkata ketika mereka berunding. “Kalau dibiarkan musuh mengepung lebih lama,
tentu mereka akan dapat memperkuat keadaan, mendatangkan bala bantuan dan hal
itu akan berbahaya sekali. Yang penting, Tambolon harus dapat ditewaskan.
Dialah yang menjadi biang keladi. Kalau tidak ada orang yang mempunyai wibawa
dan pengaruh besar di antara suku-suku bangsa petualang itu, pasti persatuan
mereka akan membuyar.”
“Akan tetapi, kekuatan pasukan kita kalah
banyak, Gak Bun Beng berkata.
“Karena itu, besok kita harus mengerahkan
semua tenaga dan besok kita memberi isyarat kepada Panglima Sangita dan Tek
Hoat agar mereka menyergap dan memecah kekuatan dan perhatian musuh.”
“Bagaimana dengan siasat kita semula yang
telah kita bicarakan dengan Tek Hoat?” Bun Beng mengingatkan kepada kekasihnya
dan juga sumoinya itu.
Milana tersenyum. “Malam nanti, menjelang
pagi, siasat itu boleh dilaksanakan. Dan pagi-pagi sekali, selagi mereka
kacau-balau, kita menyerbu. Mudah-mudahan saja sergapan selagi mereka kacau itu
akan mampu menghancurkan jumlah mereka yang lebih besar.”
Malam itu sunyi. Pihak musuh memang beberapa
kali mencoba untuk menerobos melalui berbagai jurusan, namun karena penjagaan
dilakukan ketat sekali, semua usaha mereka gagal dan banyak di antara mereka
yang menjadi korban anak panah dan batu-batu yang disambitkan dari atas. Mereka
berusaha melepas anak panah berapi ke dalam kota raja melalui tembok benteng,
akan tetapi tembok itu terlalu tinggi dan usaha membakar kota raja itu dapat
digagalkan oleh regu-regu pemadam kebakaran yang memang sudah dipersiapkan oleh
pihak Bhutan sebelumnya.
Malam itu, para pimpinan di Bhutan tidak ada
yang tidur, hanya mengaso sambil duduk di tempat masing-masing. Lewat tengah
malam, menjelang pagi, Puteri Milana dan Gak Bun Beng keluar dari kamar dan dua
orang sakti ini lalu mementang gendewa. Terdengar tali gendewa menjepret dan tampaklah
beberapa kali sinar kemerahan meluncur di angkasa seperti bintang-bintang
pindah tempat. Itulah isyarat yang mereka berikan kepada Tek Hoat dan
pasukannya untuk mulai dengan siasat mereka, untuk turun tangan.
Sesudah itu mereka menanti. Tidak lama
kemudian, menjelang pagi, mulailah terdengar keributan di bawah sana, di luar
tempok kota raja dan mulailah nampak api besar bernyala-nyala dan asap di dalam
sinar api merah membubung ke angkasa. Makin lama makin banyaklah api yang
mengamuk, kemudian terdengar teriakan-teriakan dan suara perang di antara api
dan di waktu menjelang pagi itu. Pasukan pengawal istimewa yang dipimpin oleh
Tek Hoat dan Sangita telah mulai bergerak!
Puterl Milana tersenyum memandang keluar.
“Pemuda itu memang hebat,” bisiknya lirih akan tetapi cukup terdengar oleh Bun
Beng.
“Tidak mengecewakan menjadi cucu tiri
Suhu....” kata pula Bun Beng dan mereka bersiap-siap bersama para penglima
untuk menyerbu ke luar bersama pasukan mereka begitu saatnya tiba.
***
Kita tinggalkan dahulu kota raja Bhutan yang
dikepung musuh, yaitu pasukan yang terdiri dari suku-suku bangsa Nomad yang
dapat dibujuk oleh Tambolon sehingga terkumpul menjadi barisan yang amat besar
jumlahnya dan yang mengancam keselamatan Kerajaan Bhutan, dan mari kita
mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang mengalami pukulan batin di Pegunungan
Yin-san itu.
Setelah terbukanya topeng yang menutupi muka
Topeng Setan, yang telah tidak bernyawa dan sekaligus membuka rahasia pendekar
itu bahwa Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadanya yang telah
berkorban untuknya, yang dipercaya dan disayangnya itu bukan lain adalah Kok Cu
pemuda laknat yang memperkosanya, yang dibencinya dan yang hendak dibunuhnya,
maka seketika lenyaplah segala arti kehidupan bagi Ceng Ceng. Musuh besar yang
paling dibencinya itu ternyata juga merupakan penolong yang paling
disayangnya, dan kini telah mati! Baru terasa olehnya betapa selama ini dia
hidup berdasarkan hati benci dan sayang. Dan begitu orang yang dibenci dan
disayangnya mati, mati pula dasar hidupnya. Ceng Ceng menjadi seorang yang
seolah-olah tidak bersemangat lagi, seperti boneka hidup!
Keinginannya hanya satu, kalau boleh dinamakan
keinginan, yaitu kembali ke tempat asalnya, di mana dia dibesarkan dan
untuk.... mati di tempat itu, di pegunungan luar kota raja Bhutan, bekas tempat
tinggal kakeknya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan,
perjalanannya ini disertai oleh Kim Hwee Li, gadis cilik yang nekat minta
menjadi muridnya dan ditemani pula oleh Pendekar Siluman atau Pendekar Super
Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Sungguh merupakan kelompok yang aneh sekali!
Seorang pendekar besar yang namanya mengguncangkan dunia persilatan, yang
namanya saja sudah cukup membuat orang-orang jahat menjadi gentar dan
tokoh-tokoh kang-ouw menjadi kagum, kini melakukan perjalanan bersama seorang
gadis yang sudah lenyap gairah hidupnya, dan seorang anak perempuan yang
lincah, bengal, puteri dari seorang datuk sesat yang amat kejam, yaitu Ketua
Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.
Karena ditemani oleh Pendekar Super Sakti,
perjalanan ke barat daya itu berjalan lancar dan tidak ada yang berani
mengganggu mereka. Kadang-kadang, kalau melalui daerah berbahaya, Suma Han
menggandeng tangan kedua orang gadis itu dan membawa mereka berjalan seperti
terbang berloncatan melewati jurang-jurang dalam dan lebar sehingga diam-diam
Ceng Ceng yang seperti boneka hidup itu menjadi kagum bukan main, sedangkan
Hwee Li bersorak-sorak girang kalau mendapatkan dirinya dapat pula “terbang”
tanpa duduk di atas punggung rajawalinya.
Perjalanan itu lancar dan cepat. Dan pada
suatu hari tibalah mereka di suatu daerah padang rumput yang sudah dekat dengan
kota raja Bhutan, karena daerah ini sebetulnya sudah termasuk wilayah Bhutan,
dekat dengan perbatasan di timur. Dan pada sore harinya, di tepi daerah padang
rumput ini, tibalah mereka di sebuah perkampungan suku bangsa Nomad yang
mengembala ternak. Mereka ini adalah peternak-peternak Nomad yang selalu
berpindah tempat dan selalu hidup di dekat padang-padang rumput di mana mereka
dapat membiarkan ternak kambing mereka makan sekenyangnya.
Untung bagi Pendekar Super Sakti dan dua orang
gadis itu bahwa yang berada di perkampungan peternak itu adalah suku bangsa
yang tidak liar dan yang suka hidup damai. Maka mereka bertiga diterima oleh
mereka sebagai tamu-tamu dan dipersilakan duduk ikut makan minum bersama
mereka.
Ternyata malam itu suku bangsa peternak Nomad
ini sedang mengadakan keramaian untuk merayakan pahlawan-pahlawan mereka yang
menang perang. Tentu saja Pendekar Super Sakti tidak tahu bahwa kepala suku
bangsa ini bersama puluhan anak buahnya, terbujuk pula oleh Tambolon dan ikut
menggabungkan diri untuk memerangi Bhutan! Dan malam hari itu, suku bangsa ini
merayakan kemenangan para pahlawan mereka yang kabarnya telah mengepung kota
raja Bhutan dan yang dianggapnya sebagai suatu kemenangan gemilang.
Sukarnya, di antara suku bangsa ini, hanya ada
beberapa orang saja yang dapat berbahasa Han, itu pun tidak lengkap sehingga
sukar sekali bagi Suma Han dan dua orang gadis itu untuk bicara dengan mereka.
Dengan bahasa tangan yang serba tidak lengkap, tiga orang tamu ini hanya dapat
menangkap bahwa suku bangsa itu sedang merayakan pesta “menang perang”, akan
tetapi tidak jelas perang dengan siapa dan di mana! Akan tetapi, Suma Han yang
tidak mau mencampuri urusan mereka dan merasa sudah untung diterima sebagai
tamu, tidak ingin menyelidiki lebih lanjut dan ikut pula berpesta makan minum
sekenyangnya.
Hwee Li yang bengal itu tidak mau tinggal
diam. Setelah kenyang makan minum, melihat kegembiraan suku bangsa itu, dia
meninggalkan dua orang teman seperjalanannya untuk menonton keramaian.
Bermacam-macam pertunjukan diadakan. Ada pertunjukan adu gulat, ada pula adu
domba, tari-tarian, nyanyian dan lain-lain. Akan tetapi yang paling menarik
hati Hwee Li adalah pertunjukan yang dilakukan oleh seorang yang agaknya
berasal dari India, memakai sorban kuning dan orang ini meniup sebatang suling
mengiringi gerakan seekor ular cobra yang meliak-liukkan tubuhnya seperti
seorang penari yang genit. Para penonton merasa ngeri karena maklum akan
bahayanya gigitan ular cobra yang amat beracun ini maka mereka menonton agak
menjauh dan tempat pertunjukan ini pun berada di sudut perkampungan, dekat
pintu pagar yang mengitari perkampungan itu.
Tentu saja Kim Hwee Li tertarik sekali karena
gadis cilik ini memang sejak kecil biasa bermain-main dengan segala macam ular,
dari yang kecil sampai yang paling besar, dari yang jinak sampai yang paling
buas dan beracun. Yang membuat dia terheran dan geli hatinya adalah suara
suling yang ditiup oleh orang bersorban itu. Suara suling itu melengking tidak
pernah ada putusnya, seolah-olah orang itu tidak pernah menarik napas, dan
lucunya, lenggak-lenggok ular itu tepat dengan irama suling seolah-olah ular
itu mengerti pula akan lagu yang ditiup melalui suling.
Karena amat tertarik, tanpa disadarinya, Hwee
Li melangkah dekat, bahkan memasuki lingkaran penonton yang berjongkok agak
jauh. Beberapa orang berseru dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Hwee Li,
akan tetapi jelas bahwa nadanya melarang gadis itu mendekat. Mereka itu
kelihatan khawatir, akan tetapi Hwee Li menoleh kepada mereka, tersenyum dan
mengangkat tangan memberi isyarat agar mereka tidak mengkhawatirkan dia. Lalu
dia pun berjongkok di dekat orang bersorban sambil mengawasi gerak-gerik ular
itu.
Orang India bersorban itu menggunakan tangan
kirinya untuk memberi isyarat mengusir Hwee Li sedangkan tangan kanannya tetap
memegang dan mempermainkan lubang-lubang suling yang ditiupnya. Akan tetapi
Hwee Li yang sudah tertarik sekali dan timbul rasa gembiranya bertemu “kawan
lama”, yaitu seekor ular berbisa seperti cobra itu, sama sekali tidak
mempedulikan orang India itu. Bahkan kini Hwee Li menggerak-gerakkan kedua lengannya
yang kecil panjang, digerak-gerakkan dengan amat lemasnya seperti dua ekor
ular menari-nari! Tangannya dibentuk seperti kepala ular dan lengannya
seperti badan ular, melenggak-lenggok dan meliuk-liuk amat lemasnya.
Para penonton yang mula-mula merasa khawatir,
kini menjadi geli dan tertarik, bahkan ada yang memuji karena memang indah
sekali gerakan kedua lengan tangan Hwee Li, seolah-olah gadis cilik itu
seorang penari ular yang amat pandai. Akan tetapi seruan-seruan pujian menjadi
seruan-seruan keheranan bercampur kekhawatiran ketika mendadak ular cobra itu
kini meninggalkan keranjang, meninggalkan orang India dan menghampiri Hwee Li
sambil menari-nari, matanya mencorong dan mulutnya mendesis-desis, lehernya
mekar makin lebar.
Orang bersorban itu terbelalak, matanya
melotot saking heran dan penasaran melihat betapa ularnya, ular yang
dipeliharanya bertahun-tahun dan selalu taat kepada sulingnya itu sekarang
mendadak saja meninggalkan dia dan suara sulingnya tidak lagi mempengaruhinya.
Dia menjadi penasaran, sulingnya ditiup makin kuat sehingga lehernya
menggembung besar seperti leher cobra itu, matanya melotot karena dia menahan
napas terlalu lama.
Benar saja, ular itu terkejut dan menengok,
lalu bergerak kembali ke tukang suling.
“Trak-trak.... cek-cek-cek....!” Tiba-tiba
Hwee Li membunyikan jari-jari tangannya dengan jalan menjentrekkan jari tengah
dan ibu jarinya, disusul suara lidah dan bibirnya dan suara itu membuat si ular
cobra kembali menengok kepadanya. Terjadilah “adu kekuatan” antara suara
suling dan suara jari tangan dan mulut Hwee Li, saling menarik ular itu yang
kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi akhirnya ular itu bergerak ke arah Hwee Li,
lalu lehernya ditangkap tangan Hwee Li dan ular itu dengan sikap manja lalu melingkarkan
tubuhnya pada tangan gadis cantik itu, lidahnya menjilat-jilat dan nampaknya
jinak bukan main!
Orang bersorban itu bukan orang bodoh. Dia
tahu bahwa gadis cilik ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang “pawang
ular” yang hebat, maka dia menghentikan tiupan sulingnya, bangkit berdiri dan
menjura ke arah Hwee Li sebagai penghormatan, kemudian menyodorkan keranjang
ular, agaknya minta agar Hwee Li mengembalikan ular itu kepadanya. Para
penonton juga menjadi kagum, ada yang bertepuk tangan dan tempat itu menjadi
berisik sekali karena semua oreng membicarakan kelihaian gadis cilik ini dan
menduga-duga siapa adanya pawang ular cilik yang hebat ini.
Akan tetapi Hwee Li memandang kepada orang
bersorban itu dengan sinar mata tidak senang dan menghina, apalagi ketika
melihat banyak di antara penonton memberi mata uang dan barang-barang hadiah
lain kepada Si Pemilik Ular itu. Dia membiarkan ular cobra itu melingkar di
lengan dan lehernya, kemudian dia berkata, “Kau orang yang kejam dan tak tahu
malu, menggunakan ular untuk mencari uang! Kau menyiksa ular ini dengan
sulingmu, memaksanya menari-nari agar kau mendapatkan uang. Huh, tak tahu
malu!”
Setelah berkata demikian, Hwee Li lalu
meninggalkannya sambil membawa pergi ular cobra itu. Tentu saja orang bersorban
menjadi marah. Dia sudah pernah merantau ke timur dan sedikit-sedikit dia
dapat juga berbahasa Han.
“Nona, tunggu....! Kaukembalikan ularku!”
katanya marah.
Hwee Li berhenti melangkah dan membalikkan
tubuhnya. “Apa? Siapa bilang ini ularmu? Dia tentu ular yang bebas dan kau
tangkap lalu kau paksa mencarikan uang untukmu!”
“Kembalikan!” Orang India itu membentak.
“Tidak!” Hwee Li juga membentak dan kini dia
lalu melepaskan ular itu dan menggebahnya dengan suara tertentu. Ular itu
terkejut dan menghilang di dalam semak-semak yang tebal.
“Kurang ajar!” Orang bersorban itu marah
sekali, lalu dia mengeluarkan seekor ular dari dalam saku bajunya. Ular ini
kecil saja, sebesar kelingking dan panjangnya hanya satu jengkal, kulitnya
belang-belang merah hitam. Dengan ular ini di tangan, jari-jari tangannya yang
coklat panjang menjepit leher ular, orang bersorban itu menyerang Hwee Li!
Gadis cilik ini tersenyum mengejek, membiarkan ular itu menggigit lengannya,
kemudian dengan gerakan cepat dia menotok pergelangan tangan orang India itu.
Dia adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo, tentu saja lihai sekali dan totokannya
membuat tangan orang India itu menjadi lumpuh, jepitan jarinya pada leher ular
terlepas dan ular kecil itu membalik dan menggigit ibu jari tangannya.
Orang India itu menjerit, membuang ularnya dan
dia berjingkrak-jingkrak sambil memegangi ibu jari tangannya yang tergigit
ular beracun itu. Adapun Hwee Li dengan tenang saja mengobati luka di
lengannya. Dia sudah kebal terhadap gigitan ular yang bagaimana beracun pun,
karena di Pulau Neraka adalah pusat segala macam ular beracun maka dia pun
hanya mengobati lukanya saja, bukan memunahkan racunnya yang tidak akan
mengganggunya sedikitpun juga. Akan tetapi, orang India itu ketakutan setengah
mati karena dia maklum bahwa gigitan ular kecil itu amat berbahaya dan dia
tidak tahu bagaimana caranya mengobatinya.
Para penonton menjadi ikut sibuk karena
terjadinya hal yang tidak mereka sangka itu. Karena tidak mengerti bahasanya,
maka para penonton yang tadi melihat orang India itu lebih dulu menyerang,
tidak ada yang menyalahkan si gadis cilik, apalagi melihat gadis cilik itu pun
terkena gigitan ular kecil. Hanya yang membuat mereka terheran-heran, kalau
gadis cilik itu tenang-tenang saja, mengapa orang India ini menjadi begitu
ketakutan dan kini berjingkrakan sambil menangis?
Tiba-tiba di antara penonton muncul seorang
gadis remaja yang menerobos masuk. Dia amat cantik jelita, sukar dikatakan
siapa yang lebih cantik antara dia dan Hwee Li, karena keduanya memiliki
kecantikan khas masing-masing, hanya gadis ini lebih dewasa daripada Hwee Li.
Gadis ini dengan alis berkerut memandang kepada Hwee Li, kemudian menghampiri
orang India itu, mengeluarkan sebungkus obat dan dengan cekatan dia
menggunakan sebuah pisau kecil merobek ibu jari itu, mengeluarkan darahnya
dan membubuhkan obat ke ibu jari itu, kemudian membalutnya dengan robekan baju
orang India itu sendiri. Dan orang India itu berhenti menangis, agaknya luka
beracun itu seketika menjadi sembuh. Orang India itu lalu menjura dengan dalam
sampai tubuhnya hampir terlipat menjadi dua kepada nona yang tanpa banyak
bicara telah mengobatinya itu.
Kini, nona itu berdiri menghadapi Hwee Li,
sambil bertolak pinggang, sikapnya galak bukan main seperti seorang guru
memarahi muridnya! “Kau sungguh bocah yang kejam dan perlu dihajar!” Nona itu
menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hwee Li. “Masih sekecil ini sudah
main-main dengan ular berbisa dan melukai orang! Kalau sudah besar kelak tentu
akan menjadi iblis betina!”
Hwee Li tentu saja tidak takut. Dia
meruncingkan bibirnya. Lincah dan manis sekali, akan tetapi juga membayangkan
kebengalannya. “Phuih, sombongnya! Baru bisa menyembuhkan gigitan ular begitu
saja lagaknya sombong seolah-olah telah menjadi Kwan Im Pouwsat! Padahal kau
ini tentu hanya Nona penjual obat yang biasa berteriak-teriak di pasar-pasar.
Apa sih anehnya?”
Nona muda itu bukan lain adalah Teng Siang In.
Sebagai anak dari mendiang Yok-sian Si Dewa Obat, tentu saja dia adalah
seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Setelah menjadi murid See-thian
Hoat-su, di sepanjang perjalanan kalau melihat tumbuh-tumbuhan yang mengandung
obat mujarab, dia tidak dapat menahan diri untuk tidak mengambilnya dan dia
lalu mengumpulkan bahan-bahan obat yang penting-penting di antaranya obat
penawar luka-luka berbisa. Maka dengan mudah dia mampu mengobati orang India
itu.
Seperti kita ketahui, Siang In juga memiliki
watak lincah jenaka dan galak, maka kini berhadapan dengan Hwee Li yang bengal,
diejek sebagap penjual obat di pasar, Siang In menjadi marah sekali. Biarpun
dia belum sempat digembleng oleh See-thian Hoat-su, namun dia pernah belajar
ilmu silat bersama kakaknya, maka kini dia cepat menyerang Hwee Li.
Akan tetapi, biarpun dia lebih muda, Hwee Li
puteri Ketua Pulau Neraka itu jauh lebih lihai. Dengan gesit dia mengelak dan
balas menyerang. Terjadilah perkelahian di antara dua orang gadis cilik yang
sama-sama cantik jelita ini, dan kejadian ini amat menarik hati dan
menggembirakan hati para suku bangsa liar yang memang menganggap perkelahian
sebagai tontonan yang mengasyikan, apalagi kalau dilakukan oleh dua orang gadis
yang demikian cantiknya.
Setelah saling serang selama belasan jurus,
Siang In mulai terdesak dan sudah beberapa kali dia menerima tamparan tangan
Hwee Li. Dia menjadi marah sekali dan mulailah Siang In yang galak itu
memaki-maki. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan yang gesit dan tahu-tahu
Ceng Ceng sudah tiba di tempat perkelahian itu. Semua orang makin kagum dan
gembira melihat datangnya seorang gadis dewasa yang amat cantik dan gagah
perkasa, yang dengan mudah melerai dua orang gadis muda yang sedang berkelahi
mati-matian itu, hanya dengan menengahi dan menangkis pukulan-pukulan mereka.
“Berhenti, jangan berkelahi!” Gadis yang
bukan lain adalah Ceng Ceng itu berseru. “Hwee Li, mundur kau!”
“Subo, dia kurang ajar!” Hwee Li berkata.
“Mentang-mentang dia menjadi tukang obat di pasar, dia sombong dan dia yang
lebih dulu menyerangku.”
“Bocah setan!” Siang In yang beberapa kali
kena ditampar Hwee Li masih marah-marah sekali. “Muridnya setan gurunya tentu
iblis!” Dia kini malah memaki Ceng Ceng untuk melampiaskan kemendongkolan
hatinya karena dia tadi ditampari dan belum sempat membalas sudah dipisahkan.
“Hemm, apakah kau tukang obat yang pandai?”
Ceng Ceng menghampiri sambil mengerutkan alisnya, tidak senang mendengar
maki-makian gadis cantik itu.
Pertanyaan yang sewajarnya ini oleh Siang In
dianggap penghinaan pula, maka dia lalu menjawab, “Aku tukang obat atau bukan,
setidaknya lebih bersih daripada kalian guru dan murid iblis pengganggu
orang!” Dan Siang In langsung lalu menerjang dan memukul Ceng Ceng.
Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berwatak
keras, dan pada saat itu dia sedang dilanda kedukaan hebat. Maka melihat sikap
Siang In dia sudah menjadi marah sekali.
“Bocah lancang dan sombong! Coba kauobati ini
kalau bisa!” Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya.
“Plakkk....! Oughhh....!” Siang In
terpelanting dan roboh, pundaknya kena dipukul oleh Ceng Ceng. Biarpun tubuh
Ceng Ceng sudah bersih dari hawa beracun berkat anak naga, akan tetapi gadis
ini tentu saja masih menguasai pukulan beracunnya dan Siang In tentu saja tidak
kuat menahan pukulan beracun ini dan dia roboh.
“Eh, Siang In, kau kenapa....?” Tiba-tiba
seorang kakek tua renta memasuki tempat itu dan para penonton menjadi makin
tegang. Kakek itu memeriksa pundak Siang In dan dia mengerutkan alisnya, lalu
bangkit menghadapi Ceng Ceng.
“Hemmm.... agaknya aku pernah bertemu dengan
engkau, Nona yang bertangan kejam. Sungguh kejam kau menjatuhkan pukulan
beracun kepada muridku. Hayo kau keluarkan obat penawarnya, jangan sampai aku
orang tua menjadi hilang sabar kepadamu,” kata kakek itu yang bukan lain
adalah See-thian Hoat-su.
“Subo, dia ini tentu pembual yang suka menjual
obat di pasar-pasar, inilah macamnya tabib palsu yang beroperasi di
pasar-pasar. Jangan layani dia!” Hwee Li mengejek.
Ceng Ceng memandang kakek itu. “Muridmu yang
lancang, mencampuri urusan muridku dan lebih dulu menyerang muridku,
mengandalkan kepandaian mengobati. Sekarang biarlah dia atau engkau mengobati
luka bekas tanganku itu. Hwee Li, mari kita pergi!”
Akan tetapi baru saja Ceng Ceng dan Hwee Li
membalikkan tubuhnya, terdengar kakek itu berseru, “Tahan dulu! Lihat, apakah
kalian mampu menahan serangan jubahku ini!”
Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya,
siap menghadapi kakek itu yang disangkanya akan menyerang mereka. Akan tetapi
mereka melihat kakek itu menanggalkan jubahnya, melemparkan jubah itu ke arah
mereka dan.... Ceng Ceng dan Hwee Li terkejut bukan main ketika jubah itu
tiba-tiba menjadi “hidup” dan telah menyerang mereka kalang-kabut, menghantam
mereka dengan lengan jubah seolah-olah digerakkan oleh setan!
“Hiiiiiihhh...., tolongggg, Subo....!” Hwee Li
menjerit-jerit dan berusaha mengelak ke sana-sini dengan perasaan tegang dan
seram. Akan tetapi Ceng Ceng sendiri pun kalang-kabut oleh amukan jubah itu!
Para penonton kini makin menjauh karena orang Nomad sederhana ini amat percaya
tahyul dan kini melihat sehelai jubah dapat mengamuk, mereka tentu saja menjadi
ketakutan.
Ceng Ceng sendiri selama hidupnya belum pernah
mengalami hal seperti ini. Mukanya yang memang sudah muram itu menjadi makin
pucat, matanya terbelalak dan beberapa kali dia bergidik dan merasa ngeri.
Jubah itu benar-benar telah menjadi “hidup”! Biarpun dia pandai dan tenaganya
juga amat kuat, tentu saja dia kewalahan melawan sehelai jubah yang hidup!
Dipukul betapa keras pun, tentu saja jubah itu tidak merasakan apa-apa
sebaliknya tamparan-tamparan ujung lengan jubah itu mendatangkan rasa panas.
“Hiiiihhhh.... tolongg.... takuttt....
Locianpwe.... tolong, Locianpweee....!” Hwee Li menjerit-jerit dikejar oleh
jubah itu yang menampari pinggulnya sampai terasa panas dan pedas.
Tiba-tiba muncul Pendekar Super Sakti yang
tahu-tahu sudah berdiri di situ dengan sikap tenang. “Hemmm, menggunakan ilmu
menggoda anak-anak perempuan, sungguh merupakan watak kekanak-kanakan saja!”
Dengan tongkatnya Pendekar Super Sakti menuding dan.... jubah itu seperti
ketakutan, seperti seorang kanak-kanak yang ketakutan, dan lari kepada
ayahnya. Jubah yang seperti hidupp itu kini “memasuki” lagi tubuh dan kedua
lengan See-thian Hoat-su dan telah dipakainya kembali.
Sejenak kedua orang itu saling pandang. Ceng
Ceng yang masih pucat dan Hwee Li yang masih gemetaran itu memandang dari
tempat jauh, sedangkan Siang In juga sudah bangkit duduk dan menonton.
Orang-orang yang tadinya menjauhkan diri, kini berani lagi agak mendekat akan
tetapi tetap saja agak jauh dan mereka berjongkok untuk menonton apa yang
selanjutnya akan terjadi.
Sampai lama kedua orang tua itu saling
pandang. Kemudian See-thian Hoat-su tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha, hampir tak
dapat aku percaya. Benarkah aku berhadapan dengan Pendekar Super Sakti, tocu
dari Pulau Es yang juga terkenal sebagai Pendekar Siluman yang tersohor itu?”
Pendekar Super Sakti belum pernah mengenal
kakek ini, juga belum pernah mendengar namanya, maka dengan tenang dan sikap
sederhana dia menjawab, “Saya memang datang dari Pulau Es.”
“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Kalau dicari sampai
mati pun belum tentu dapat jumpa! Pendekar Siluman, kabarnya engkau disamping
memiliki kepandaian silat yang tak terkalahkan, juga amat kuat di dalam ilmu
sihir. Nah, aku See-thian Hoat-su memang paling suka main-main dengan ilmu
sihir, maka pertemuan ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Mari kita main-main
untuk melihat siapa yang lebih kuat di antara kita.”
“See-thian Hoat-su, kita bukan anak kecil lagi.
Perlu apa kita bersikap seperti anak kecil yang suka pamer? Kalau ada persoalan
di antara kita, apakah tidak lebih baik kita selesaikan secara damai?” Suma Han
berkata.
“Ha-ha-ha, justeru tidak ada persoalan! Ada
pun kecil tidak berarti, dan aku tadi pun hanya main-main saja dengan mereka.”
Tiba-tiba pandang mata See-thian Hoat-su mengeluarkan sinar mencorong yang
aneh. “Pendekar Siluman, kulihat tongkatmu itu bukan sembarangan tongkat,
lihat dia pandai terbang....!”
Pendekar Super Sakti menghela napas panjang.
“Sesukamulah, Hoat-su.” Dan dia membiarkan tongkatnya terlepas dari tangannya
dan sekali See-thian Hoat-su menggerakkan tangannya, tongkat itu benar-benar
melayang di udara, diantara mereka. Pendekar Super Sakti hanya bersedakap dan
bersikap tenang saja. Semua orang yang menonton menjadi melongo saking
herannya, melihat tongkat butut itu melayang-layang di antara dua orang kakek
itu, seolah-olah tongkat itu adalah sebuah benda hidup.
“Pendekar Siluman, lihat tongkatmu menjadi
harimau yang akan menelanmu sendiri, ha-ha-ha!” Terdengar suara See-thian
Hoat-su. Dia bicara sambil tertawa-tawa, seperti orang berkelakar saja, akan
tetapi di dalam suaranya itu terkandung kekuatan mujijat yang amat berwibawa.
Semua orang yang berada di situ menjadi pucat
mukanya dan melotot penuh rasa ngeri dan takut ketika melihat betapa tongkat
yang tadinya melayang-layang dan bergerak-gerak seperti hidup itu tiba-tiba
kini telah berubah menjadi seekor harimau yang amat besar dan yang menggereng
dengan suara menggetarkan tempat itu dan harimau itu meringis, memperlihatkan
taringnya dan seperti hendak menyerang kakek berkaki buntung sebelah itu.
“Kau keliru, Hoat-su. Tongkatku itu tidak
menjadi harimau, melainkan menjadi seekor naga yang hendak menyerangmu!”
Pendekar Super Sakti berkata, suaranya halus tenang namun juga mengandung
wibawa yang amat kuat.
Para penonton kini menjadi makin ketakutan,
ada yang menggigil dan tidak dapat bangkit berdiri, kedua kaki mereka menggigil
dan mata mereka makin lebar terbelalak ketika melihat betapa harimau besar itu
tiba-tiba saja berubah menjadi seekor naga yang amat buas dan yang bersikap
marah hendak menyerang Kakek See-thian Hoat-su!
See-thian Hoat-su menggerak-gerakkan kedua
tanganya di udara dan bentuk naga itu berubah lagi menjadi bentuk harimau, akan
tetapi tidak lama, karena segera berubah lagi menjadi bentuk naga seperti yang
dikatakan oleh Pendekar Siluman tadi. Terjadilah adu tenaga sihir yang amat
aneh dan orang-orang yang menonton di situ makin lama menjadi makin ketakutan.
Siapa yang tidak akan merasa ngeri melihat tongkat butut itu berubah-ubah
bentuknya antara bentuk harimau dan bentuk naga, bahkan kadang-kadeng
“pertandingan” itu sedemikian hebatnya sehingga ada kalanya tongkat itu berubah
menjadi seekor harimau yang tubuh bagian belakangnya berbentuk naga, atau
seekor naga yang tubuh belakangnya berbentuk harimau! Tentu saja semua orang
menjadi ketakutan dan mereka makin lama makin mundur menjauhi dua orang kakek
yang mereka anggap siluman-siluman itu.
Setelah mengadu kekuatan sihir beberapa
lamanya, akhirnya See-thian Hoat-su terpaksa mengakui keunggulan Pendekar
Super Sakti ketika tongkat itu sepenuhnya berubah menjadi seekor naga yang
beterbangan dan mengancam kepala kakek dari barat itu.
“Hebat engkau, Pendekar Siluman. Biar aku
mengakui keunggulanmu!” katanya sambil menghentikan pengerahan tenaga
mujijat.
Suma Han mengangkat tangannya dan “naga” itu
terbang kembali ke tangannya dan berubah lagi menjadi sebatang tongkat.
“See-thian Hoat-su, engkau sudah tua sekali
akan tetapi masih suka main-main seperti seorang anak-anak saja.” Pendekar
Super Sakti menegur.
“Ha-ha-ha-ha, memang orang tua bukan lain
hanyalah anak-anak yang tubuhnya besar. Anak-anak suka bermain-main dengan
barang-barang mainan, orang-orang tua juga suka bermain-main dengan pikiran dan
nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Tidak begitukah?”
Suma Han tersenyum. “Engkau benar, Hoat-su.
Harap engkau orang tua suka memaafkan kalau dua orang temanku yang muda itu
tadi melakukan kesalahan terhadapmu.” Suma Han menuding ke arah Ceng Ceng dan
Hwee Li, akan tetapi dia tersenyum melihat Hwee Li dan nona cantik murid kakek
itu ternyata sudah duduk berdekatan dan bicara dengan asyik dan dalam suasana
bersahabat! Memang demikianlah. Hwee Li dan Siang In yang keduanya memiliki
watak yang hampir sama, ternyata sudah bersahabat, bahkan Hwee Li telah
setengah memaksa subonya untuk mengobati Siang In. Tentu saja tidak ada lagi
persoalan di antara mereka, bahkan mereka lalu bersahabat.
“Bagaimanakah Majikan Pulau Es yang berada
jauh di utara bisa tersesat sampai ke tempat ini?” Kakek See-thian Hoat-su yang
tidak biasa bersikap hormat terhadap siapapun juga itu bertanya.
“Aku sedang mencari puteraku, Hoat-su.
Barangkali engkau melihatnya. Dia bernama Suma Kian Bu....”
“Heee, Siang In. Bukankah kau mengenal
seorang pemuda yang bernama Kian Bu?” tiba-tiba kakek itu memanggil muridnya.
Mendengar disebutnya nama itu, Siang In memandang kepada gurunya dengan kedua
pipi berubah merah sekali. Akan tetapi dia meninggalkan Hwee Li dan mendekati
gurunya, memandang kepada Pendekar Super Sakti dengan penuh selidik.
“Tentu saja aku mengenal dia, Suhu,” jawabnya.
“Bagus!” Suma Han berseru girang. “Di mana kau
terakhir ini bertemu dengan dia, Nona?”
“Nanti dulu,” Siang In menjawab, “Sipakah
Locianpwe yang aneh ini mengapa bertanya tentang dia?”
“Ha-ha-ha, bocah tolol. Yang berdiri di
depanmu ini adalah Pendekar Siluman dari Pulau Es, ayah dari pemuda itu.”
Siang In terkejut sekali dan cepat dia menjura
dengan hormat. “Maafkan saya....”
Pendekar Super Sakti tersenyum. Seorang dara
yang cantik jenaka dan pantas menjadi murid seorang sakti seperti See-thian
Hoat-su, pikirnya.
“Aku hanya ingin tahu di mana engkau bertemu
dengan dia akhir-akhir ini, Nona?” Dia mengulang pertanyaannya.
“Di dalam hutan.... ketika terjadi pencegatan
yang dilakukan gerombolan Tambolon terhadap rombongan pengawal Puteri
Bhutan.” Gadis itu lalu bercerita, akan tetapi tentu saja dia tidak
menceritakan betapa dia telah dicium oleh pemuda itu!
Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya.
“Kalau menurut perkiraanmu, ke mana sekarang perginya anakku yang suka
bertualang itu, Nona?”
“Dia agaknya diam-diam mengawal Sang Puteri
Bhutan, dan tentu sekarang telah berada di tapal batas Bhutan dan....” Siang In
menoleh ke kanan kiri, melihat banyak orang anggauta suku bangsa penggembala
itu menonton, dia lalu berkedip dan mendekati Pendekar Super Sakti, berbisik,
“Mereka ini adalah suku bangsa yang terbujuk oleh Tambolon, sekarang Tambolon
sedang memerangi Bhutan dan saya berani bertaruh bahwa putera Locianpwe itu
sedang ikut perang membela Bhutan.”
Melihat Siang In tadi mendekati Suma Han dan
berbisik-bisik, Ceng Ceng yang menaruh curiga lalu mendekat pula. Dia terkejut
mendengar bahwa Bhutan diserang oleh Tambolon, maka dia pun lalu berkata
kepada Pendekar Super Sakti, “Kalau begitu, saya harus cepat ke sana untuk
membantu....”
See-thian Hoat-su tertawa. “Ha-ha-ha, kami
guru dan anak tidak mau mencari keributan, kami mempunyai urusan pribadi
sendiri, maka maafkan kami yang harus pergi sekarang. Hayo, Siang In!” Dia
memegang tangan muridnya dan pergi dengan cepat. Siang In melambaikan tangan
kepada mereka terutama kepada Hwee Li yang dibalas pula oleh Hwee Li.
Setelah guru dan murid itu pergi, Pendekar
Super Sakti berkata kepada Ceng Ceng, “Kita harus berhati-hati dan jangan
sembrono, Nona. Lebih baik kita mendekati pimpinan suku bangsa ini dan mencari
keterangan dari mereka.”
Baru saja dia berkata demikian, para penonton
yang merasa kagum kepada pendekar kaki buntung ini yang tadi telah
memperhatikan kehebatan ilmu sihirnya sehingga mereka yang menonton menjadi
kagum dan juga takut, kini bergerak minggir dan memberi jalan dengan sikap
hormat kepada tiga orang yang berpakaian jubah lebar dan lebih mewah daripada
pakaian mereka semua. Kiranya mereka ini adalah tiga orang pimpinan suku bangsa
itu yang mendengar akan kehebatan ilmu sihir dari kakek berkaki buntung
sebelah, juga kehebatan seorang dara muda yang mengalahkan orang India ahli
bermain ular. Dengan sikap ramah tiga orang kepala suku itu lalu mengundang
Pendekar Super Sakti dan dua orang dara cantik itu sebagai tamu kehormatan.
Kesempatan ini tentu saja disambut dengan baik oleh Pendekar Super Sakti.
Mereka lalu diajak memasuki perkemahan dan dijamu dengan masakan-masakan yang
terbuat dari daging domba, menerima minuman yang bagi mereka merupakan minuman
khas dan mewah, yaitu susu domba.
Melalui seorang penerjemah, Pendekar Super
Sakti, Ceng Ceng dan Hwee Li mendengar penuturan mereka bahwa memang benar
mereka itu merupakan suku bangsa yang berpihak kepada Raja Tambolon yang kini
sedang memerangi Bhutan.
“Kami membutuhkan bantuan orang-orang pandai
seperti Anda,” kata kepala suku tertua sambil memandang Suma Han penuh
perhatian. “Karena di pihak tentara Bhutan terdapat pemimpin-pemimpin yang amat
pandai, bahkan seorang panglima wanita berada di sana memimpin pasukan
pertahanan Bhutan. Kabarnya panglima wanita itu adalah puteri Kerajaan Ceng yang
amat lihai. Dia dibantu oleh seorang laki-laki setengah tua yang luar biasa
tinggi ilmunya, juga terdapat seorang pemuda yang luar biasa.”
Mendengar ini, Pendekar Super Sakti
menduga-duga dengan hati girang. Panglima wanita Kerajaan Ceng itu siapa lagi
kalau bukan Milana, anaknya sendiri? Dan pemuda lihai itu tentulah Suma Kian
Bu.
“Baiklah, kami akan melihat-lihat peperangan
itu kalau kalian suka membawa kami ke sana,” katanya dengan girang.
Kepala suku itu menjadi girang dan pada
keesokan harinya, berangkatlah serombongan orang laki-laki muda dari suku
bangsa itu yang dipilih sebagai tenaga-tenaga bantuan untuk pasukan Raja
Tambolon yang sedang sibuk mengurung kota raja Bhutan. Pendekar Super Sakti dan
dua orang gadis itu ikut bersama mereka menuju ke medan peperangan. Karena suku
bangsa liar itu sudah mengenal jalan dengan baik, maka perjalanan dapat
dilakukan dengan amat cepatnya, dengan memotong jalan melalui pegunungan,
menunggang kuda-kuda yang sudah terlatih baik.
Akan tetapi, sebelum mereka tiba di perkemahan
yang didirikan oleh barisan pengurung kota raja Bhutan, ketika rombongan
mereka tiba di lapangan terbuka, mereka terkejut sekali mendengar bunyi
melengking tinggi dari atas, apalagi ketika mereka memandang dan melihat seekor
burung rajawali yang besar dan berbulu hitam menyambar turun sambil
mengeluarkan bunyi melengking keras. Bubarlah pasukan itu dan pemimpin mereka
lalu mementang gendewa, membidik ke arah rajawali.
“Jangan panah....!” Pendekar Super Sakti
berseru, namun terlambat, anak panah itu telah meluncur ke arah burung.
“Hek-tiauw, awas panah....!” Hwee Li yang
sudah mengenal burungnya itu berseru keras.
Namun penyerangan itu terlalu ringan bagi
rajawali hitam. Dengan mudahnya dia menyampok anak panah itu dengan kakinya,
kemudian dia menukik dan hendak menyerang ke arah kepala suku yang memanahnya
tadi.
Akan tetapi, dengan sekali bergerak, Pendekar
Super Sakti telah mencelat dari atas kudanya, memapaki rajawali hitam yang
menyambar turun itu.
“Plak! Desss....!” Rajawali terpental dan
terdengar teriakan kaget dari atas punggungnya. Kiranya ada orang yang
menunggang rajawali itu.
“Ayah....!” Hwee Li berteriak ketika mengenal
orang itu. Sedangkan Hek-tiauw Lo-mo juga terkejut mendengar suara anaknya. Dia
tadi amat kaget ketika serangkum hawa yang kuat keluar dari tangan Pendekar
Super Sakti, membuat burungnya terpental. Maka kini melihat puterinya berada di
situ, dia menjadi girang dan juga heran dan setelah menyuruh burung
rajawalinya turun, dia pun meloncat ke atas tanah.
“Ayah....! Kau sungguh terlalu, Ayah, selalu
meninggalkan aku!” Hwee Li berseru dengan wajah bersungut-sungut. Sementara
itu, rombongan suku bangsa liar itu terbelalak dengan muka pucat. Tentu orang
ini bukan manusia, pikir mereka, melainkan dewa yang tinggal di langit dan kini
turun menunggang burung raksasa untuk menghukum. Maka dua puluh lebih
orang-orang yang tidak pernah takut menghadapi lawan manusia itu kini
menjatuhkan diri berlutut! Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tidak mempedulikan
mereka, juga tidak mempedulikan puterinya setelah sekilas pandang melihat
puterinya sehat-sehat saja, melainkan dia memandang dengan penuh perhatian
kepada kakek yang sebelah kakinya buntung dan yang tadi membuat rajawalinya
terpental. Sampai lama kedua orang ini berdiri saling pandang karena Suma Han
juga sudah meloncat turun dari kudanya setelah tadi menyelamatkan pimpinan
rombongan yang diserang rajawali hitam. Sedangkan Hwee Li sudah lari ke dekat
burung rajawalinya itu dan merangkul lehernya.
“Aih, hek-tiauw, kau sudah sembuh....?”
katanya sambil membelai kepala burung rajawali itu yang mengeluarkan suara
menguik seperti seekor anjing yang dibelai majikannya. Hal ini membuat semua
orang suku bangsa liar itu menjadi bengong dan makin ketakutan. Kiranya
rombongan tiga orang yang hendak membantu mereka itu adalah golongan dewa!
“Kau.... kau.... tak salah lagi! Kau tentu
Pendekar Siluman Suma Han, Majikan Pulau Es!” Akhirnya Hek-tiauw Lo-mo berseru
keras, dengan sedikit keraguan masih menempel di dalam suaranya.
“Hek-tiauw Lo-mo, engkau seharusnya berada di
Pulau Neraka yang telah kaurampas dan kuasai,” kata Suma Han, nada suaranya
keras dan berwibawa. “Tahukah engkau tempat apa yang kaurampas dan kuasai itu?
Tempat pembuangan dan siapa sudah menetap di sana tidak boleh pergi lagi dari
pulau itu, karena kepergiannya berarti hanya menyebar malapetaka. Kembalilah
kau ke Pulau Neraka.”
“Ha-ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa
bergelak. “Sudah puluhan tahun aku ingin sekali bertemu dengan Pendekar Siluman
sebelum aku mati dan selalu tidak pernah ada kesempatan. Siapa tahu sekarang
bertemu di sini, sungguh girang sekali hatiku. Ingin aku merasakan sendiri
kehebatan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang namanya menggetarkan
kolong langit.” Setelah berkata demikian, Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua
lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan dari kedua tangannya mengepul uap
hitam! Agaknya karena maklum akan kelihaian Suma Han, kakek ketua Pulau Neraka
ini telah mengerahkan ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan
bagaikan badai mengamuk dia lalu menerjang Pendekar Super Sakti.
“Wuuuutttt.... syuuuuttt....!” Angin yang
dahsyat menyambar, membuat pasir dan debu beterbangan saking hebatnya serangan
yang dilakukan oleh kakek ini. Rombongan suku bangsa liar itu terkejut dan
ketakutan, cepat mereka mundur dan berusaha menenangkan kuda mereka yang
meringkik ketakutan dan meronta berusaha melarikan diri.
“Hemmm....!” Suma Han mengeluarkan seruan dan
tubuhnya sudah mencelat ke kiri dengan gerak loncat Soan-hong-lui-kun
menghindarkan serangan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi kakek Pulau Neraka ini
sudah menyerang lagi, menubruk seperti seekor singa kelaparan dengan kedua
tangan terpentang dan jari-jarinya membentuk cakar singa. Kembali Suma Han
menggunakan kecepatan gerakan kaki tunggalnya, membiarkan lawan menubruk
tempat kosong.
“Ayaaaah.... jangan....!” Hwee Li berteriak.
“Ssssttt, Hwee Li, jangan mencampuri urusan
orang tua!” Ceng Ceng berseru mencegah muridnya karena dia tahu betapa
berbahayanya kalau muridnya itu mendekati dua orang sakti yang sedang
bertanding itu. Dia maklum akan kelihaian dan bahayanya Hek-tiauw Lo-mo,
bahkan dia pernah terluka parah oleh tokoh Pulau Neraka itu. Maka kini,
berhadapan dengan Majikan Pulau Es, Ketua Pulau Neraka itu bertemu lawan dan
tentu pertandingan itu akan hebat dan berbahaya sekali.
Hwee Li tidak berani bersuara lagi,
lebih-lebih melihat burung rajawali hitam itu menjadi gelisah dan dia tahu
bahwa kalau dia melepaskan burung itu, tentu burung itu akan membantu ayahnya
dan mengeroyok Pendekar Super Sakti. Maka dia yang tidak ingin melihat pendekar
yang dia tahu amat baik hati itu dikeroyok, lalu merangkul leher burungnya dan
menenangkannya, seperti rombongan itu menenangkan kuda masing-masing.
“Haaaihhh.... waaahhhh!” Hek-tiauw Lo-mo masih
menyerang terus dengan dahsyat dan bertubi-tubi sampai dua puluh empat jurus
dia menerjang terus menerus dan sambung menyambung tanpa memberi kesempatan
sedikit pun kepada lawannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Suma Han
terdesak. Sama sekali tidak, melainkan pendekar itu memang hanya mengelak
saja, mengandalkan gerakan Soan-hong-lui-kun yang kecepatan gerakannya tidak
ada keduanya di dunia. Pukulan-pukulan Hek-coa-tok-ciang membuat di sekeliling
dua orang itu tampak uap hitam berhamburan dan bau amis memenuhi udara.
“Hemm, kau sungguh tak tahu diri, Hek-tiauw
Lo-mo!” terdengar seruan Pendekar Super Sakti dan tiba-tiba saja tubuhnya
lenyap dari depan mata lawan, tahu-tahu dari belakang lawan tangannya melayang
dan membalas serangan-serangan itu. Hek-tiauw Lo-mo terkejut, membalik sambil
menangkis, namun tubuh lawannya berkelebat dengan kecepatan yang luar biasa dan
sudah lenyap lagi, tahu-tahu menyerang dari kanan. Dia cepat mengelak dan
demikianlah, Hek-tiauw Lo-mo kini hanya mengelak dan menangkis karena tubuh
lawannya bergerak terlalu cepat sehingga sukar dia ikuti dengan pandang mata!
“Pendekar Siluman, jangan menggunakan ilmu
siluman, hayo hadapi aku secara jantan!” teriaknya marah dan juga jerih.
“Hek-tiauw Lo-mo, apa yang kaumaksudkan
dengan cara jantan?”
“Heiiit!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan sinar
hitam tipis menyambar ke arah berkelebatnya bayangan Pendekar Super Sakti yang
menunda serangan-serangannya karena melayani lawan bicara.
“Plakkk!” Jala itu kena sambaran hawa pukulan
tangan kiri Pendekar Super Sakti dan.... robek seperti terbakar. Itulah pukulan
Hui-yang Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga benda pusaka yang
tahan api itu masih tidak mampu bertahan menghadapi pukulan itu.
“Keparat!” Hek-tiauw Lo-mo makin marah dan dia
kini menghantam sambil berteriak, “Hadapi pukulanku ini!”
“Hemm....!” Pendekar Super Sakti berdiri
tegak, mengempit tongkatnya sehingga dia hanya berdiri dengan satu kaki, kedua
tangannya menerima hantaman kedua tangan lawan.
“Desss....!” Tubuh Pendekar Super Sakti yang
hanya ditopang oleh sebelah kaki seperti seekor burung bangau berdiri dengan
satu kaki itu bergoyang-goyang, seperti batang padi tertiup angin, akan tetapi
tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar dan terbanting roboh lalu bergulingan. Ketika
dia meloncat bangkit lagi, matanya menjadi merah, mukanya pucat dan dia
mengusap sedikit darah yang mengalir keluar di ujung bibirnya! Sejenak dia
memandang penuh kebencian, penuh kemarahan, akan tetapi juga penuh takjub akan
kehebatan lawan yang sudah bertahun-tahun dianggapnya sebagai musuhnya yang
nomor satu di dunia ini.
Sejenak mereka berpandangan dari jarak lima
meter, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menunduk, membungkuk lalu membentak, “Pendekar
Siluman, kausambutlah ini kalau memang kau jantan....!” Lalu tubuh Ketua Pulau
Neraka itu bergerak lari ke depan dengan kepala di depan, seperti seekor kerbau
menyerang dengan tanduknya. Kepalanya menuju ke arah perut Pendekar Super
Sakti. Pendekar ini terkejut sekali melihat kenekatan lawan, akan tetapi dia
tidak bergerak menyingkir, bahkan lalu menerima serudukan nekat itu dengan
perutnya yang kecil.
“Cappp....!” Kepala Hek-tiauw Lo-mo
seolah-olah memasuki rongga perut Pendekar Super Sakti, tubuh kakek Pulau
Neraka ini kaku seperti sebatang kayu sehingga kakinya lurus ke belakang.
Tiba-tiba kedua tangannya bergerak menghantam ke arah kedua pundak Pendekar
Super Sakti, akan tetapi pendekar ini sudah menggerakkan dulu kedua tangannya
menyambut hantaman itu!
“Plakkk!” Dua pasang telapak tangan itu
bertemu dan melekat.
“Locianpwe, jangan bunuh ayahku....!”
Tiba-tiba Hwee Li yang masih merangkul rajawali hitam itu berseru nyaring.
Sejenak Pendekar Super Sakti mengerling ke
arah bocah itu, kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan bunyi melengking
nyaring yang membuat semua kuda rombongan suku bangsa liar itu meringkik
ketakutan dan membuat rajawali hitam juga meronta-ronta ketakutan. Berbareng
dengan pekik melengking ini, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar ke arah puterinya
dan terbanting jatuh.
“Aduhhh....!” Tak tertahankan lagi Ketua Pulau
Neraka ini mengeluh, kemudian menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan,
sekilas memandang ke arah lawan yang masih berdiri tegak dan tenang, kemudian
secepat kilat dia menyambar pinggang Hwee Li, meloncat ke atas punggung
rajawali hitam yang segera menggerakkan sayapnya terbang dari tempat itu.
“Hwee Li....!” Ceng Ceng berseru kaget.
“Ayah, lepaskan aku....! Aku mau ikut
Subo....!” Hwee Li meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari
rangkulan ayahnya dan tak lama kemudian burung itu sudah terbang tinggi dan
lapat-lapat terdengar tangis Hwee Li.
“Ohh....” Ceng Ceng mengeluh.
“Dia diajak pulang ayahnya, perlu apa
disesalkan? Dan anak itu memang perlu berdekatan dengan ayahnya. Agaknya hanya
anaknya saja yang akan mampu merubahnya,” kata Pendekar Super Sakti. Ceng Ceng
diam saja dan memang peristiwa ini hanya sebentar saja menggores hatinya yang
sudah menjadi layu.
Kini pimpinan rombongan, diikuti oleh semua
anak buahnya berlutut di depan Pendekar Super Sakti.
“Pendekar besar.... siapakah yang datang
menunggang burung dewa tadi? Apakah dia itu dewa atau golongan iblis?” tanya
pimpinan rombongan yang paling pandai berbahasa Han daripada yang lain.
Suma Han tersenyum. “Kalau dikatakan bahwa
dia itu iblis memang lebih cocok,” jawabnya.
“Ahhh, kalau begitu paduka adalah seorang
dewa!” Ucapan ini disusul oleh sikap yang amat menghormat, mereka berlutut dan
menyembah-nyembah.
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,”
kata Suma Han.
Gembira karena mereka merasa dibantu oleh
dewa, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Bhutan yang
sedang dikurung oleh pasukan-pasukan Tambolon.
Puteri Milana, Gak Bun Beng, Panglima Jayin
dan para panglima lainnya malam itu mengadakan perundingan. Bentrokan dengan
pihak musuh secara terbuka, ternyata tidak menguntungkan mereka. Biarpun
dalam perang pertama kali itu kalau dihitung jatuhnya korban, mereka dapat
dikata menang karena jumlah musuh yang menjadi korban jauh lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah tentara mereka, akan tetapi robohnya para korban di
pihak mereka itu berarti berkurangnya jumlah mereka sehingga pertahanan mereka
menjadi makin lemah, sedangkan pihak musuh yang mengurung di luar tentu saja
dapat menyusun kembali kekuatan dengan mendatangkan bala bantuan dari luar!
Mereka semua merasa bingung dan kehabisan
akal. Akan tetapi Puteri Milana yang sudah biasa dengan siasat perang, dalam
keadaan segawat itu tidak menjadi putus asa dan dia berkata, “Kalau
mengandalkan perang terbuka, jumlah kita yang belum tentu ada separuh jumlah
mereka tentu akan menderita kerugian. Maka sebaiknya kita menggunakan siasat,
menyerang mereka dari luar.”
“Menyerang mereka dari luar?” tanya Jayin
bingung. “Apa yang paduka maksudkan?”
“Sepasukan pengawal pilihan yang dipimpin
oleh Sangita dan Tek Hoat telah menanti saat baik di luar dan mereka tentu akan
bergerak setelah kita beri tanda lagi. Kalau kita menyelundupkan
pasukan-pasukan keluar, kemudian menyerang mereka dari berbagai jurusan, tentu
mereka akan menjadi kacau-balau. Benteng kita cukup kuat, dan tidak perlu
dijaga terlalu banyak tentara. Kalau banyak terjadi penyerangan oleh pihak
kita dari luar, tentu mereka menyangka bahwa penyerang-penyerang dari luar itu
merupakan bala bantuan yang datang dari berbagai pihak dan hal ini pasti akan
melemahkan semangat mereka. Barisan yang dipimpin Tambolon bukan merupakan
suatu suku bangsa yang bersatu, melainkan dari banyak suku bangsa. Sekali
semangat mereka dipatahkan, mereka tentu akan cerai-berai.”
Semua orang tidak ada yang dapat membantah
siasat yang dikemukakan oleh Milana.
“Biar aku memimpin pasukan menyelundup dan
menerobos keluar dari kepungan musuh,” kata Bun Beng.
Milana mengangguk. “Memang penerobosan keluar
ini saya percayakan kepadamu, Gak-suheng. Kita memilih bagian yang paling
lemah dijaga musuh, yaitu di bagian barat karena kini bagian selatan
diperkuat, kemudian setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, harus dapat
berpencar menjadi pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh perwira
masing-masing, kemudian mencari tempat persembunyian yang baik di empat
penjuru dan mengadakan serangan-serangan gangguan di waktu malam agar pihak
musuh tak dapat beristirahat dan mengalami kekacauan.”
Puteri Milana lalu mengemukakan rencana
siasatnya, didengarkan penuh perhatian oleh para pembantunya. Sampai lewat
tengah malam mereka berunding dan mengantar persiapan karena menurut rencana
mereka, pada malam itu juga, menjelang pagi sehingga keadaan para penjaga pihak
musuh sedang lelah-lelahnya, mereka akan melakukan penyelundupan atau
penerobosan keluar itu.
Semua pasukan yang jumlahnya empat ribu orang,
yang kemudian akan dipecah menjadi empat kelompok, sudah siap di pintu gerbang
barat, menanti saat dibukanya pintu gerbang dan menanti isyarat yang akan
diberikan oleh Sang Puteri Milana sendiri. Pasukan itu dipimpin oleh Gak Bun
Beng yang berpakaian biasa, bahkan banyak sekali, sebagian besar di antara anak
buah pasukan, mengenakan pakaian biasa seperti yang telah diatur dalam rencana
siasat Puteri Milana sehingga oleh pihak musuh akan disangka bahwa
pasukan-pasukan itu adalah bala bantuan dari luar.
Akan tetapi sebelum isyarat diberikan oleh
Puteri Milana, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar tembok. Penjaga segera
datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar tembok benteng, di sebelah timur
terjadi kekacauan di pihak musuh dan nampak api berkobar seperti terjadi
kebakaran besar dan terdengar teriakan-teriakan dan tanda-tanda persiapan dan
perang!
Peristiwa yang sama sekali tidak
disangka-sangka ini membuat Puteri Milana terpaksa menunda gerakan penerobosan
itu. “Kita harus tahu lebih dulu apa artinya peristiwa itu,” katanya kepada Gak
Bun Beng. “Penerobosan dapat ditunda sampai besok malam.... aku khawatir
kalau-kalau Tek Hoat melakukan sesuatu di luar rencana.”
Semua orang berkumpul di atas benteng dan
memandang ke tempat terjadinya kebakaran dan melihat perang yang hanya mereka
ketahui dari suaranya saja. Akan tetapi tak lama kemudian, sinar matahari pagi
menerangi keadaan di bawah dan tak jauh dari tembok benteng, pandang mata Bun
Beng dan Milana melihat seorang laki-laki yang dikepung dan dikeroyok oleh
banyak tentara musuh. Biarpun dari atas menara masih agak jauh tempat
pertempuran itu, dan orang-orang yang bertempur itu kelihatan kecil-kecil saja,
namun melihat gerakan silat orang yang dikepung di tengah-tengah itu membuat
Bun Beng terkejut bukan main.
“Dia Tek Hoat....!” serunya.
“Eh, benarkah?” tanya Milana.
“Aku tidak lupa gerakan silatnya!”
“Hemm, seperti yang kukhawatirkan. Anak itu
lancang sekali.”
“Dan terlalu berani. Lihat, mungkin semua
pasukannya sudah terbasmi habis. Yang bertanding tinggal dia seorang diri. Aku
harus menolongnya. Milana, harap kauperintahkan penjaga pintu gerbang untuk
siap menolongku masuk...., aku harus menolongnya.”
“Tapi....”
“Tidak ada tapi....”
“Gak-taihiap, itu terlalu berbahaya.” Sri
Baginda yang juga ikut pula meninjau keadaan keributan di bawah itu berkata,
“Lebih baik suruh sepasukan pengawal untuk keluar membantunya.”
“Kita tidak boleh kehilangan banyak anggauta
pasukan, Sri Baginda. Saya dapat menolong dia. Sumoi, aku pergi!” Dengan
cekatan Gak Bun Beng lalu meloncat turun dari atas menara itu ke tembok tingkat
yang lebih rendah, kemudian terus dia berloncatan dengan gerakan
berjungkir-balik, cepat sekali sehingga sukar bagi mata biasa untuk mengikuti
gerakan tubuhnya yang seolah-olah terbang itu dan tak lama kemudian dia telah
tiba di atas tanah di luar tembok benteng. Terdengar teriakan-teriakan dan
anak-anak panah meluncur dari berbagai jurusan. Akan tetapi Puteri Milana yang
mengikuti gerakan kekasihnya dengan penuh perhatian itu telah memerintahkan
barisan panah untuk menyerang dan melindungi Bun Beng yang meruntuhkan semua
anak panah dengan gerakan kedua lengannya, kemudian pendekar ini terus
berloncatan maju ke arah Tek Hoat yang dikepung oleh banyak musuh. Puteri
Milana sendiri cepat turun dan mengatur pasukan penjaga pintu gerbang untuk
bersiap-siap melindungi Bun Beng dan Tek Hoat kalau mereka nanti sudah mundur
sampai di pintu gerbang.
Dugaan Bun Beng memang tepat sekali. Menjelang
pagi itu, atau lebih tepat lewat tengah malam, Tek Hoat memimpin pasukannya
untuk membakar perkemahan Tambolon dan mengamuk. Mula-mula Panglima Sangita
tidak setuju akan niat pemuda itu.
“Kita harus menanti isyarat dari Puteri
Milana,” kata panglima itu. “Sungguh tidak baik kalau bertindak sendiri tanpa
menanti perintah atasan.”
“Ciangkun, keadaan musuh makin kuat saja dan
pihak musuh dengan mudah dapat memperkuat kedudukan dengan mendatangkan bala
bantuan dari suku-suku bangsa liar. Akan tetapi kota raja terkurung dan dari
mana diharapkan bantuan? Jalan satu-satunya hanyalah mengacaukan keadaan
mereka, menyerbu di tengah malam selagi mereka tidak menyangka, melakukan
pembakaran perkemahan mereka sebanyaknya dan kita menyergap di dalam
kegelapan malam. Pembakaran-pembakaran yang kita lakukan merupakan pertanda
bagi para pasukan kota raja untuk bertindak pula. Aku tidak tahan kalau harus
berdiam diri menyaksikan kota raja dikurung dan diancam bahaya.” Demikian Tek
Hoat bicara penuh semangat, didengarkan oleh semua pasukan yang segera menyatakan
persetujuan dah kegembiraan mereka. Pasukan pengawal itu adalah pasukan
pilihan yang gagah perkasa, maka mereka pun merasa gelisah harus bersembunyi
dan diam saja menyaksikan kota raja dikepung musuh. Akhirnya Sangita, yang juga
merupakan seorang panglima setia dan gagah perkasa, menyetujui dan setelah
lewat tengah malam, bergeraklah mereka menyerbu dan membakar perkemahan pihak
musuh.
Tentu saja pasukan Tambolon menjadi terkejut.
Datangnya serbuan itu amat tidak mereka sangka dan sepak-terjang Tek Hoat dan
Sangita bersama pasukannya amat hebat, sehingga mereka kalang kabut dan banyak
terjatuh korban di pihak musuh. Perang mati-matian dan hebat sekali di dalam
gelap terjadilah, namun tentu saja pihak penyerbu lebih untung karena mereka
sudah memperhitungkan segala-galanya, sedangkan pihak pasukan Tambolon yang
terkejut dan panik itu tidak tahu sampai di mana kekuatan pihak penyerbu
sehingga banyak di antara mereka yang saling serang antara kawan sendiri.
Akan tetapi, Tambolon yang menjadi marah oleh
gangguan dari luar ini, sudah mengumpulkan pasukan besar dan mengurung hutan
itu sehingga pasukan pengawal pimpinan Sangita dan Tek Hoat itu kini tidak
mempunyai jalan mundur lagi. Terpaksa mereka mengamuk dengan mati-matian dan
biarpun mereka telah merobohkan banyak sekali jumlah lawan, setiap orang
perajurit paling sedikit membunuh lima orang musuh namun setelah pagi tiba
mereka terkurung, terhimpit dan mulailah mereka berjatuhan satu demi satu
karena kelelahan dan terlalu banyak musuh yang mengeroyok. Sangita yang sudah
tua mengamuk dengan sepasang goloknya seperti seekor singa tua. Entah berapa
puluh orang musuh menjadi korban sepasang goloknya, akan tetapi akhirnya dia
pun roboh di bawah serangan puluhan senjata sehingga tubuhnya menjadi hancur
lebur, kematian yang amat gagah dari seorang perajurit, akan tetapi juga
kematian yang amat menyedihkan.
Serbuan dan pembakaran yang dilakukan oleh
Tek Hoat dan pasukannya ini benar-benar berhasil baik, selain membunuh banyak
sekali musuh, juga membikin mereka panik, kacau dan menurun semangat mereka.
Akan tetapi, pasukan itu sendiri pun terbasmi, roboh satu demi satu sampai
akhirnya tinggal Tek Hoat sendiri yang masih mengamuk. Tak terhitung banyaknya
lawan yang roboh oleh pemuda perkasa ini. Pedang rampasan di tangannya sudah
menjadi merah sampai ke gagangnya oleh darah musuh, akan tetapi dia sendiri pun
tidak terhindar dari luka-luka yang dideritanya karena hujan senjata musuh.
Dengan pakaian compang-camping, tubuh luka-luka dan berlumuran darah sendiri
bercampur dengan darah lawan, pemuda ini masih mengamuk hebat ketika Bun Beng
muncul. Betapapun gagahnya pemuda ini, menghadapi jumlah musuh yang amat
banyak, yang roboh sepuluh datang dua puluh, yang seperti gelombang samudera
hebatnya, dapat dipastikan bahwa melihat dari luka-lukanya, tak lama lagi Tek
Hoat tentu akan roboh pula seperti Sangita kalau pertandingan itu dilanjutkan.
“Plak-plak-desss....!” Enam orang di antara
para pengeroyok Tek Hoat terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir ketika
Gak Bun Beng menyerbu.
Tek Hoat mengerling ke arah Bun Beng dan
melanjutkan amukannya dengan pedang rampasannya.
“Tek Hoat, mari kita mundur ke pintu
gerbang....!” Bun Beng berteriak sambil bergerak merobohkan dua orang
pengeroyok lagi.
“Tidak!” Tek Hoat menjawab tegas. “Semua anak
buahku telah tewas, aku harus melawan sampai titik darah terakhir membela
mereka!” Pedangnya yang tadinya sudah agak lemah gerakannya karena kelelahan
itu seperti memperoleh tenaga baru, berkelebat dan berubah menjadi sinar
bergulung-gulung yang sekaligus merobohkan enam orang lawan!
“Tidak ada gunanya, musuh terlampau
banyak....” Bun Beng membujuk.
“Kalau kau takut, kembalilah!” Tek Hoat
berteriak marah.
Bun Bcng menarik napas panjang. Pemuda ini berhati
keras sekali dan membujuknya tidak akan ada gunanya. Akan tetapi membiarkan
dia mati pun sayang sekali. Pemuda ini gagah perkasa dan tidak memalukan
menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti, dan biarpun pernah melakukan
penyelewengan, namun pemuda inilah yang kelak akan dapat menjunjung tinggi nama
ayahnya yang tersesat.
“Kalau begitu biarlah kita mati
bersama!” Gak Bun Beng berkata dan dia pun mengamuk di dekat Tek Hoat. Hatinya
lega melihat pemuda itu tidak menaruh kecurigaan kepadanya dan bahwa pemuda itu
sudah lelah sekali, hampir kehabisan tenaga dan menjadi lemah karena
luka-lukanya yang amat banyak itu. Diam-diam dia merasa terharu dan dapat
menyelami hati pemuda ini. Tentu pemuda ini merasa malu dan menyesal akan semua
penyelewengannya dan kini hendak menebus semua itu dengan darah dan nyawanya!
Dia bertempur makin dekat dengan Tek Hoat dan pada saat Tek Hoat lengah karena
harus menghadapi serbuan dari depan dan kanan kiri, tiba-tiba Gak Bun Beng
menggunakan totokan satu jari dengan pengerahan tenaga sin-kangnya yang amat
kuat. Biarpun Tek Hoat memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi, dalam keadaan
lengah tak mungkin dia akan dapat menahan totokan dahsyat ini. Dia mengeluh,
tubuhnya lemas dan pedangnya terlepas dari tangannya. Bun Beng menyambar
tubuhnya terus dipanggulnya, menyambar pedang lalu meloncat ke belakang. Pedang
itu diputar sedemikian rupa sehingga setiap senjata lawan yang menyerangnya
tentu patah-patah, dan banyak pula musuh roboh. Kehebatan pendekar ini membuat
jerih para perajurit musuh.
“Tangkap dia! Kejar! Kurung....!” Tambolon
berteriak sambil berlari cepat mengejar, dan kini dia sendiri ikut menyerang.
Akan tetapi, tangkisan pedang itu yang digerakkan oleh lengan tangan Bun Beng
yang luar biasa kuatnya, membuat golok besar di tangan Tambolon menyeleweng.
Raja liar ini terkejut dan jerih, akan tetapi dia masih memimpin orang-orangnya
untuk mengepung dan selalu mengejar apabila Bun Beng meloncat makin mendekati
pintu gerbang.
“Hujani anak panah!” Tambolon berteriak.
Teriakan ini melegakan hati Bun Beng. Dia
tidak khawatir akan keroyokan anak panah dan sambil berlari mendekati pintu
gerbang, dia memutar pedangnya. Semua anak panah runtuh dan dia terus berlari,
dikejar oleh Tambolon dan anak buahnya sampai ke pintu gerbang.
Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dan terdengar
aba-aba yang nyaring dari Puteri Milana, maka hujanlah anak panah dan batu dari
atas benteng, juga Puteri Milana sendiri menyambut kedatangan Gak Bun Beng itu
dengan pedang di tangan melindunginya. Akhirnya pendekar itu berhasil memasuki
pintu gerbang sambil memondong Tek Hoat, dan pintu gerbang ditutup kembali,
tentara Tambolon dipaksa mundur oleh hujan anak panah dari atas benteng.
Puteri Milana girang sekali dan di depan Sri
Baginda dia memuji-muji Tek Hoat. Serbuan pemuda itu dengan pasukannya secara
nekat, membunuh banyak musuh dan menurunkan semangat mereka, benar-benar amat
menguntungkan karena di dalam keributan tadi, Puteri Milana dapat melaksanakan
siasatnya dengan baik sekali, berhasil menyelundupkan keluar empat ribu orang
pasukan, hanya ada sedikit perubahan, yaitu Gak Bun Beng terpaksa tidak ikut
karena pendekar ini tadi menyelamatkan Tek Hoat. Tempatnya diwakili oleh
Panglima Jayin yang sudah berhasil membawa keluar pasukannya, kemudian
memecahnya menjadi empat bagian dan mereka berpencar ke empat penjuru,
bersembunyi di hutan-hutan sambil menanti isyarat selanjutnya.
Puteri Syanti Dewi yang mendengar akan keadaan
Tek Hoat, cepat berlari ke luar dan sambil menangis melihat tubuh pemuda itu
penuh luka yang berlumuran darah, dia lalu memaksa ayahnya untuk mengijinkan
dia sendiri merawat pemuda yang disebutnya sebagai penolongnya dan penyelamat
nyawanya. Sri Baginda maklum akan keadaan hati puterinya, dan karena dia
sendiri pun kagum dan suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa, yang dengan
semangat luar biasa membela Bhutan, bahkan dengan rela hampir mengorbankan
nyawanya. Seluruh prajurit Bhutan membicarakan kegagahan Tek Hoat ini dan
memuji-muji.
Pihak musuh benar-benar mengalami kerugian
hebat sekali. Pembakaran-pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya
mengakibatkan kebakaran besar dan baru dapat dipadamkan setelah malam terganti
pagi sampai hampir siang. Hampir semua peralatan dan ransum perang rusak oleh
kebakaran itu. Banyak pula yang tewas oleh penyerbuan tiba-tiba itu, banyak
juga yang terluka oleh amukan api. Yang lebih merugikan lagi, peristiwa itu
mendatangkan rasa panik di antara mereka sehingga menurunkan semangat juang
mereka sungguhpun Tambolon sendiri sudah berusaha membangunkan semangat mereka
dan mengatakan bahwa setelah mengumpulkan kekuatan dan mendatangkan bala
bantuan yang akan memakan waktu satu minggu, mereka akan melakukan serangan
besar dan menduduki kota raja Bhutan!
Dengan berdiri di atas panggung sehingga
tampak oleh para pimpinan suku dan para pembantunya, Tambolon mengajak
gurunya, Nenek Durganini yang baru muncul, berkata dengan lantang, “Kita memang
telah disergap di waktu malam dan mengalami sedikit kerugian. Akan tetapi tunggu
sampai satu minggu, kita akan melakukan pembalasan! Jangan khawatir, di dalam
tembok benteng itu terdapat harta berlimpahan, dan wanita-wanita yang cantik
untuk kalian semua. Dan jangan takut menghadapi Puteri Mancu dan para
pembantunya, karena sekarang kita dibantu oleh guruku sendiri yang menguasai
ilmu gaib.”
Durganini terkekeh, kedua tangannya
bergerak-gerak, mulutnya ternganga dan semua orang memandang takjub dan ngeri
ketika dari kedua tangan dan dari mulut nenek itu keluar api berkobar-kobar! Tak
lama kemudian nenek itu “menelan” kembali semua api itu dan Tambolon berkata,
“Lihat betapa guruku akan dapat membakar seluruh kota raja Bhutan dengan api
mujijat dari mulutnya. Dan dapat pula menutup matahari menimbulkan kegelapan!”
Nenek itu lalu mengangkat kedua lengan ke
atas, berkemak-kemik diikuti oleh semua mata orang-orang yang menonton dari
bawah. Dan mulailah cuaca menjadi gelap, makin lama makin gelap. Semua orang
menjadi panik, ada yang menjerit-jerit dan ada yang berlutut dan minta-minta
ampun kepada nenek yang memiliki ilmu seperti dewa itu! Nenek itu menyudahi
permainan sihirnya dan dengan cara ini, Tambolon berusaha membangkitkan
kembali semangat para pembantunya yang terdiri dari bermacam suku bangsa liar
itu.
***
Perawatan yang penuh ketekunan dan kemesraan
dari Syanti Dewi membuat hati Tek Hoat menjadi terharu sekali. Berkat
pengobatan dari Gak Bun Beng dan Puteri Milana yang pandai, dalam waktu tiga
hari saja sembuhlah Tek Hoat.
“Dewi.... aku.... sungguh berhutang budi padamu....”
Pagi hari itu Tek Hoat yang sudah duduk di atas pembaringan, berkata dengan
suara tergetar karena terharu. Pagi-pagi sekali dia sudah mandi dan merasa
tubuhnya segar, kesehatannya sudah pulih kembali, dan sepagi itu, Syanti Dewi
sudah memasuki kamarnya membawa sarapan dan minuman panas.
“Jangan berkata demikian, Tek Hoat. Engkau
tahu bahwa aku melakukan semua ini dengan hati tulus ikhlas, dengan rela dan
tidak ada budi di antara kita....”
“Dewi, baru memperbolehkan aku menyebut
namamu saja sudah merupakan kehormatan tiada taranya bagiku. Engkau seorang
puteri raja, sedangkan aku.... aku....”
“Engkau seorang pahlawan Bhutan! Semua
perajurit dan rakyat menyanjungmu atas pembelaanmu terhadap Bhutan, Tek Hoat.
Dan aku belum mengucapkan terima kasih atas jasamu.” Syanti Dewi tersenyum dan
Tek Hoat memandang silau.
“Tidak, Dewi...., ketahuilah bahwa dahulu
aku....”
“Sudah kauceritakan padaku, Tek Hoat. Engkau
penjahat keji katamu. Akan tetapi aku tidak peduli apa adanya engkau
dahulu.... yang penting bagiku adalah apa adanya engkau sekarang ini, Tek
Hoat. Bagiku.... engkaulah satu-satunya pria yang paling mulia, paling gagah,
paling rendah hati.... dan di kereta itu.... kalau saja semua yang kudengar
dari mulutmu itu benar....”
“Tentu saja benar! Aku cinta padamu, demi
Tuhan.... aku cinta padamu, akan tetapi aku pun tahu akan keadaan diriku.
Tidak! Kau terlalu agung dan aku terlalu rendah.... mencium ujung sepatumu pun
masih terlalu terhormat bagiku....”
“Ihh, jangan berkata demikian, Tek Hoat....
perih hatiku mendengarnya. Aku tidak ingin melihat engkau merendah, karena....
engkaulah satu-satunya pria....” Syanti Dewi menundukkan mukanya dan kedua
pipinya menjadi merah sekali.
Tek Hoat membelalakkan matanya. Dia sudah
merasakan kemesraan dan getaran cinta kasih puteri ini, akan tetapi selalu
dibantahnya sendiri karena dianggapnya tidak masuk akal.
“....ya....? Lalu bagaimana...., Dewi?” Suara
Tek Hoat gemetar dan jantungnya berdebar seperti akan meledak.
“....engkau satu-satunya pria yang....
kucinta, Tek Hoat....”
“Ahhh....!” Tek Hoat meloncat ke dekat
jendela, membelakangi Syanti Dewi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk
menyembunyikan dua butir air mata yang meloncat keluar.
“Tek Hoat....! Ada apakah....?” Syanti Dewi mengejar
dan memegang lengan pemuda itu.
Tek Hoat membalik, mereka saling berpegang
tangan, saling pandang dan melihat dua butir air mata di bawah mata pemuda itu,
Syanti Dewi tersenyum lalu tertarik menangis!
“Kau.... kau menangis....?” bisiknya di antara
isaknya.
Tek Hoat mengangguk, menggigit bibir sendiri
lalu berbisik, “Tangis bahagia.... akan tetapi mungkinkah ini....?”
Syanti Dewi tidak menjawab melainkan kedua
lengannya lalu merangkul leher Tek Hoat dan dia membenamkan mukanya di dada
pemuda itu yang memeluknya, memeluknya dengan ketat seolah-olah dia hendak
menanamkan tubuh puteri itu di dalam dadanya dan mereka tidak akan terpisah
lagi, agar tubuh puteri itu menjadi satu dengan tubuhnya.
Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti
itu, saling peluk dan tidak bergerak, dengan seluruh tubuh mengalirkan
getaran-getaran kasih yang hanya dapat dirasakan oleh mereka berdua. Mereka
lupa akan segala hal, bahkan Tek Hoat yang mempunyai pendengaran terlatih itu
tidak mendengar ketika ada orang memasuki kamar itu. Suara berdehem dari Sri
Baginda mengejutkan mereka. Tek Hoat melepaskan rangkulannya, lalu menjatuhkan
diri berlutut sambil memejamkan mata, sadar akan dosanya, sedangkan Syanti
Dewi berlari dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.
“Ayah.... kami.... kami saling mencinta....”
bisik Syanti Dewi seolah-olah hendak melindungi kekasihnya.
Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengelus
jenggotnya. “Aku sudah menduganya dan aku girang mendengar ini, Anakku. Dia
memang pantas menjadi pelindungmu selama hidup dan engkau, Tek Hoat. Sadarkah
engkau betapa engkau telah kejatuhan bulan, menerima kurnia yang tak terbilang
besarnya karena telah menjadi pilihan hati Syanti Dewi?”
“Hamba.... hamba.... akan mempertaruhkan
nyawa untuk melindunginya dan membikin dia bahagia....” kata Tek Hoat lirih.
Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengerutkan
alisnya. “Engkau telah memperlihatkan pembelaanmu terhadap kerajaan, akan
tetapi hendaknya engkau ingat bahwa kini kota raja kita masih terkurung musuh,
dan selama bahaya ini belum dapat dihalau, pantaskah kalau kita memikirkan
tentang urusan dan kesenangan pribadi?”
Tek Hoat terkejut bukan main, dan mukanya
menjadi merah sekali. Dia menyadari sepenuhnya betapa marah sebetulnya hati
orang tua ini melihat puterinya bermain asmara sedangkan negara masih terancam
bahaya.
“Harap paduka mengampunkan hamba.... sekarang
juga hamba akan menyerbu ke luar!” Tek Hoat memberi hormat dan cepat bangkit
lalu berlari keluar dari kamarnya.
“Tek Hoat...!” Syanti Dewi menjerit.
“Orang muda, rundingkan segalanya dengan
Puteri Milana!” Sri Baginda juga berteriak kemudian dia merangkul puterinya
dan berbisik, “Dia gagah perkasa, kita lihat saja apakah dia patut menjadi
mantu Kerajaan Bhutan, Anakku.”
Sementara itu, Tek Hoat sudah berlari ke dalam
ruangan besar di mana Milana, Gak Bun Beng dan panglima lainnya telah hadir
dan sedang mengadakan perundingan. Kedatangan Tek Hoat diterima gembira oleh
Milana dan Bun Beng.
“Ah, kau sudah sehat kembali, Tek Hoat? Bagus!
Memang kami amat membutuhkan bantuanmu, dan malam nanti kita harus bergerak.”
Tek Hoat lalu duduk dan ikut mendengarkan
rencana siasat yang diatur oleh Puteri Milana. Diam-diam dia merasa makin
kagum kepada puteri ini dan berdebar jantungnya kalau dia teringat akan cerita
tentang dirinya. Ayahnya, manusia iblis yang memperkosa ibunya, adalah kakak
tiri dari puteri ini!
“Panglima Jayin sudah mengatur pasukan yang
berhasil menerobos keluar itu, mengambil kedudukan di empat penjuru dan sudah
mempelajari kedudukan musuh. Dengan penyergapan dari empat penjuru, musuh tentu
dapat dibikin kacau dan biarpun jumlah kita kalah banyak, akan tetapi kita
menang semangat dan menang perhitungan. Malam nanti cuaca amat gelap dan
dingin, sedangkan bala bantuan dari para musuh belum tiba. Gak-suheng akan
membawa pasukan, menyerbu keluar melalui pintu gerbang timur, dan Tek Hoat
memimpin pasukan menyerbu keluar melalui pintu gerbang selatan. Aku sendiri
akan memimpin pasukan inti kemudian menyerbu keluar melalui pintu gerbang utara
yang menjadi pusat barisan musuh. Serbuan kalian harus diarahkan ke utara dan
selagi perang berlangsung, kita akan memberi tanda kepada pasukan-pasukan yang
dipimpin oleh Panglima Jayin agar bergerak dari luar dan menyerang bagian
belakang pihak musuh.”
Setelah membagi-bagi tugas, maka bersiaplah
mereka dengan pasukan masing-masing, dibantu oleh para perwira tinggi dan para
pendeta Buddha yang memiliki kepandaian silat. Memang sudah diperhitungkan oleh
Puteri Milana. Malam itu gelap karena tidak ada bulan, bahkan bintang-bintang
di langit hanya nampak sedikit karena tertutup oleh awan. Hawa udara amat
dinginnya sehingga para penjaga pihak musuh terkantuk-kantuk di udara terbuka.
Lewat tengah malam, menjelang pagi di waktu
hawa sedang dingin-dinginnya dan semua orang sedang mengantuk-ngantuknya,
tiba-tiba terdengar bunyi terompet melengking nyaring di pintu gerbang selatan.
Pintu gerbang terbuka dan menyerbulah pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat,
menyerbu ke tempat pihak musuh yang sudah diketahui sebelumnya. Tentu saja
pihak musuh menjadi panik karena baru saja terbangun dari tidur dan tahu-tahu
perkemahan mereka dibakar lawan. Dengan pakaian tidak karuan, bahkan ada yang
masih telanjang dan setengah telanjang, mereka berlarian keluar dari
perkemahan, untuk menghadapi amukan pasukan Bhutan yang berada dalam keadaan
segar dan bersemangat. Pula, pertempuran yang terjadi di tempat gelap itu
dilakukan dengan baik sekali oleh pasukan Bhutan. Mereka mengenal teman-teman sendiri
melalui isyarat bentakan “houw” yang berarti “harimau” sehingga biarpun
bertanding di dalam gelap, mereka dapat saling mengenal kawan sendiri dan dapat
bekerja sama dengan baik. Teriakan-teriakan “houw” terdengar di mana-mana
disusul pekik kebingungan dan robohnya para anggauta tentara musuh yang tentu
saja menjadi panik dan ada yang saling serang di antara kawan sendiri di dalam
gelap.
Pada saat yang hampir bersamaan, di pintu
gerbang timur, pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng juga mengadakan
penyerbuan yang sama, dan pasukan ini menggunakan isyarat bentakan “liong”
(naga) untuk saling mengenal kawan sendiri dalam pertempuran keroyokan dalam
gelap itu. Seperti juga Tek Hoat yang memimpin pasukannya dengan penuh
keberanian dan yang sepak-terjangnya menggiriskan hati musuh, demikian juga
Gak Bun Beng mengamuk seperti seekor naga sakti.
Selagi pihak musuh yang panik mulai dapat
diatur oleh Tambolon dan para pembantunya, tiba-tiba di udara yang gelap
kelihatan sinar merah meluncur di angkasa. Empat kali sinar merah itu meluncur
dan tiba-tiba terdengar bunyi terompet, tambur dan sorak-sorai dari mana-mana,
dari empat penjuru dan menyerbulah pasukan-pasukan yang bersembunyi di dalam
hutan-hutan, yaitu pasukan-pasukan yang tiga hari yang lalu telah menyelundup
keluar di bawah pimpinan Panglima Jayin. Kejadian ini benar-benar mengejutkan
hati Tambolon karena tahu-tahu barisannya diserang dari belakang dan di empat
penjuru pula!
Pelepas anak panah api merah sebagai isyarat
itu adalah Puteri Milana sendiri yang kini memimpin pasukan inti yang paling
besar jumlahnya, keluar dari pintu gerbang utara disertai bunyi terompet,
tambur dan sorak-sorai bergemuruh, lalu menyerbu keluar. Maka kacau-balaulah
pasukan musuh karena seolah-olah mereka menghadapi lawan dari depan,
belakang, kanan dan kiri! Apalagi pihak Bhutan menyerang di malam gelap,
dengan gerakan begitu teratur sehingga pihak Tambolon menyangka bahwa bala
bantuan untuk Bhutan datang dari empat penjuru.
Memang siasat yang dilaksanakan oleh Puteri
Milana itu hebat sekali. Semacam perang gerilya yang diperhitungkan dengan
masak-masak sehingga biarpun jumlah tentara Bhutan jauh lebih kecil, namun
sekali pukul ini membuat pasukan-pasukan Tambolon yang jauh lebih banyak itu
menjadi kacau-balau dan kocar-kacir. Hal ini adalah karena Tambolon terlalu
mengandalkan jumlah besar pasukannya, akan tetapi pasukan-pasukan itu terdiri
dari bermacam suku bangsa sehingga tentu saja tidak ada persatuan yang kompak.
Mereka ini hanya mengandalkan keberanian dan tenaga kasar saja, maka
menghadapi siasat yang cerdik itu mereka menjadi panik dan banyak di antara
mereka yang menjadi korban dalam perang yang terjadi di malam gelap, hanya
diterangi oleh berkobarnya api yang membakar perkemahan-perkemahan mereka.
Akan tetapi, Tambolon dan para pembantunya
dengan nekat melakukan perlawanan mati-matian sehingga pertempuran itu
berlangsung sampai hari menjadi terang. Kini nampaklah pertempuran itu dan di
mana-mana mayat anggauta pasukan-pasukan Tambolon berserakan, api masih
berkobar dan pihak musuh yang tadinya mengepung di selatan telah dapat didesak
oleh Tek Hoat sehingga mereka mundur ke arah timur kota raja di mana mereka
menggabungkan diri dengan pasukan di timur yang juga mengalami hantaman dahsyat
dari pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng dan pasukan yang menyerbu dari
luar. Kini pasukan “harimau” yang dipimpin Tek Hoat, bergabung dengan sisa
pasukan yang menyerbu dari belakang musuh, bersatu dengan pasukan timur dan
terjadilah perang yang amat besar di mana Tek Hoat dan Gak Bun Beng berkelahi
bahu-membahu dan sepak-terjang dua orang ini memang hebat sekali, menggiriskan
pihak lawan. Biarpun mereka tidak memegang senjata, namun kedua tangan dan kaki
mereka merupakan senjata-senjata yang amat ampuhnya.
Pada saat perang sedang hebat-hebatnya,
tiba-tiba saja udara menjadi gelap, makin lama makin gelap sehingga
menggelisahkan pasukan Bhutan, apalagi karena agaknya pihak musuh tidak
merasakan kegelapan itu.
“Ini tidak wajar! Perbuatan sihir....!”
Beberapa orang pendeta Buddha yang membantu pasukan Kerajaan Bhutan berseru
dan mereka itu segera duduk bersila untuk melawan pengaruh sihir itu. Namun,
pengaruh itu terlampau kuat sehingga mereka tidak mampu menandinginya dan kini
bahkan banyak anak buah pasukan Bhutan yang merasa ngeri karena mereka melihat
awan hitam bergulung-gulung dan dari awan itu muncul naga-naga yang
menyemburkan api! Tentu saja perasaan ngeri dan takut itu membuat mereka kurang
waspada dan banyak di antara mereka yang roboh oleh babatan senjata lawan.
Gak Bun Beng dan Tek Hoat juga merasakan
pengaruh mujijat ini. “Celaka, agaknya musuh menggunakan ilmu hitam!” kata Bun
Beng yang sudah berpengalaman, namun dia merasa tidak berdaya karena dia tidak
menguasai ilmu itu.
“Tentu nenek iblis Durganini!” Tek Hoat
berseru. “Gak-taihiap, biar aku mencari nenek iblis itu. Kalau dia dapat
dibinasakan, tentu lenyap pengaruh mujijat ini!” Sebelum Bun Beng menjawab,
pemuda yang perkasa ini sudah melompat dan merobohkan setiap orang penghalang.
Bun Beng merasa khawatir karena maklum betapa lihainya nenek yang kabarnya
adalah guru dari Tambolon dan memiliki kepandaian yang amat hebat itu, maka dia
pun lalu mengejar bayangan Tek Hoat yang mengamuk dan menuju ke utara.
Dugaan Tek Hoat memang tepat. Melihat keadaan
pasukannya kocar-kacir dan terancam kemusnahan, Tambolon menjadi bingung dan
jengkel karena tidak melihat gurunya. Maka dia lalu mencari sendiri dan melihat
nenek yang pikun itu masih enak-enak tidur mendengkur di dalam perkemahan, dia
setengah menyeret gurunya itu untuk disuruh membantu.
Nenek yang terganggu tidurnya itu mengomel,
akan tetapi dia memenuhi permintaan muridnya, mengerahkan kekuatan ilmu
hitamnya dan menciptakan awan hitam yang mengandung banyak naga siluman sehingga
pihak musuh menjadi panik dan ketakutan. Akan tetapi, selagi nenek ini berdiri
dengan kedua lengan bersilang di depan dada, di depannya mengepul seikat dupa
yang dibakar, mulutnya berkemak-kemik dan asap hio membubung tinggi menciptakan
pemandangan yang aneh itu, tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki satu.
Kakek ini bukan lain adalah Pendekar Super
Sakti Suma Han yang datang bersama Ceng Ceng dan rombongan penggembala liar
yang hendak membantu “perjuangan” Raja Tambolon. Kebetulan sekali begitu
memasuki daerah pertempuran, Pendekar Super Sakti melihat gejala yang tidak
wajar yang ditimbulkan oleh ilmu sihir Nenek Durganini. Tentu saja Suma Han
terkejut bukan main.
“Nona, kautunggu dulu di sini....” katanya dan
sebelum Ceng Ceng sempat menjawab kakek berkaki satu itu sudah berkelebat dan
lenyap di antara banyak orang yang sedang bertanding.
Ceng Ceng berdiri bengong dan tentu saja dia
segera membantu pasukan Bhutan yang dikenalnya dari pakaiannya. Melihat gadis
asing ini tahu-tahu mengamuk dan membantu mereka para perajurit Bhutan menjadi
girang dan mereka bertanding dengan penuh semangat.
Dengan kecepatan kilat karena gerak Ilmu
Soan-hong-lui-kun, Pendekar Super Sakti kini tiba di depan Nenek Durganini yang
masih mengerahkan ilmunya. Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya, tidak
senang melihat nenek itu menggunakan ilmu hitam dalam perang. Maka dia lalu
menggerakkan tangan kirinya, didorongkan ke depan, ke arah dupa yang
mengepulkan asap itu.
“Blaaarrr....!” Tampak sinar kilat dan tempat
dupa itu hancur berantakan, apinya berhamburan dan seketika itu juga lenyaplah
awan gelap yang mengandung naga-naga siluman.
Nenek Durganini terkejut bukan main dan cepat
dia memandang ke depan. Ketika dia melihat seorang laki-laki berusia kurang
dari enam puluh tahun, berkaki satu, berdiri tegak bersandar pada tongkat
bututnya, laki-laki yang memiliki sepasang mata yang tajam dan seperti dua buah
bintang amat berwibawa, dia menjadi marah.
“Heh-heh, manusia lancang. Berani engkau
menentang Durganini? Lihat betapa api neraka membasmi orang-orang Bhutan!”
Nenek itu menudingkan telunjuknya ke atas dan dari telunjuknya itu menyambar
kilat ke atas yang berubah menjadi api berkobar dan api ini mengejar
orang-orang Bhutan yang tentu saja lari ketakutan karena ada lidah-lidah api
yang “hidup” mengejar-ngejar mereka.
“Hemm, mengapa engkau begitu kejam?” Suma Han
berseru dan menggerakkan tangannya ke atas. “Apa artinya api menghadapi air?”
Tiba-tiba saja dari atas turun hujan lebat dan padamlah lidah-lidah api itu!
Orang-orang Bhutan tidak melihat mengapa awan gelap yang mengandung naga-naga
siluman tadi lenyap, tidak mengerti pula mengapa ada hujan turun memadamkan
lidah-lidah api, akan tetapi hal ini membuat mereka bergembira dan
bersorak-sorailah mereka. Suara sorak-sorai yang menggegap-gempita itu membuat
Nenek Durganini menjadi makin marah karena dia merasa seolah-olah dia yang
ditertawai!
“Keparat, siapa kau?” tanyanya kepada Suma
Han sambil mengerahkan tenaga di dalam pandang matanya untuk menguasai orang
yang kakinya buntung sebelah itu.
“Namaku Suma Han,” jawab Pendekar Super Sakti
dengan tenang dan dia pun menentang pandang mata itu dengan sikap tenang dan
penuh kesabaran.
Nenek yang berpakaian serba hitam itu
mengeluarkan suara melengking tinggi. “Engkau berani menentang Durganini,
berarti engkau sudah bosan hidup!” Sambil berkata demikian, dia melontarkan
tongkat hitamnya ke atas dan tongkat itu berubah menjadi Nenek Durganini ke dua
yang menerjang ke depan dengan kedua tangan membentuk cakar harimau. Suma Han
memandang tajam lalu melontarkan tongkatnya pula yang juga berubah menjadi
bayangan dirinya. Maka bertempurlah dua bayangan itu dengan hebatnya di udara!
Orang-orang yang sedang bertanding di tempat itu, baik anak buah Tambolon
maupun orang-orang Bhutan, berhenti bertempur karena mereka melihat peristiwa
yang amat luar biasa itu. Mereka melihat nenek berpakaian hitam itu berdiri
berhadapan dalam jarak enam tujuh meter dari seorang kakek berkaki satu.
Keduanya berdiri tidak bergerak, akan tetapi
di atas.... udara, di antara mereka, nampak dua batang tongkat bergerak sendiri
dan saling serang seolah-olah kedua batang tongkat itu bernyawa!
Suma Han menjadi terkejut dan kagum. Tahulah
dia bahwa dia bertemu dengan seorang ahli sihir yang amat kuat tenaga
batinnya, maka maklumlah dia bahwa kalau hanya mengandalkan kekuatan sihir,
mungkin dia akan kalah. Akan tetapi sebelum dia bergerak untuk menggunakan
kepandaian silatnya, tiba-tiba muncul See-thian Hoat-su dan gadis remaja yang
menjadi muridnya itu.
“Pendekar Siluman, dia itu isteriku, harap kau
maafkan dia!” kata kakek ini yang sudah meloncat ke dekat Nenek Durganini.
Nenek itu memang kalah dalam hal ilmu silat terhadap bekas suaminya ini, dan
karena dia sedang mencurahkan seluruh tenaga sihirnya untuk menghadapi kakek
berkaki tunggal yang ternyata merupakan lawan yang tangguh dalam ilmu sihir,
maka dia tidak mampu melawan lagi ketika bekas suaminya itu menotoknya dan dia
roboh lalu dipanggul oleh bekas suaminya itu.
Suma Han sudah menarik kembali tongkatnya.
See-thian Hoat-su tertawa dan berkata kepadanya, “Kalau tidak ada engkau yang
membantu, sukar aku menundukkan isteriku yang binal. Terima kasih dan sampai
jumpa, Pendekar Siluman!” See-thian Hoat-su lalu memegang tangan muridnya.
“Hayo kita pergi, Siang In.”
“Ouhhh.... Suhu, aku ingin ikut main-main
dalam keramaian ini. Bukkk!” kakinya menyambar dan tepat menendang pantat
seorang anak buah Tambolon sehingga orang itu berjingkrak-jingkrak dan
mengaduh-aduh karena tulang di antara pinggulnya remuk terkena tendangan Siang
In. Kemudian dara ini meloncat dengan elakan manis, ketika seorang lawan
menusuknya dengan tombak, lalu membalik dan menuding ke arah orang itu.
“Eihhh, mengapa engkau memegang ular?”
Orang itu tiba-tiba terbelalak karena tombak
di tangannya itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor ular! Sebelum dia sadar
bahwa dia menjadi permainan seorang gadis yang baru saja mempelajari ilmu
sihir, Siang In sambil tertawa sudah menampar kepalanya. Dia berusaha
mengelak, akan tetapi tetap saja jari-jari tangan yang kecil halus itu
mengenai pelipisnya, membuat dia berputaran tujuh keliling dan dunia menjadi
gelap baginya.
Seorang lain dengan golok di tangan
menyerangnya marah sekali. “Hei, lihat, siapa aku? Aku adalah ibumu!” Siang In
berteriak dan orang itu menahan goloknya, terbelalak memandangnya karena bagi
pandang matanya, gadis remaja cantik itu tiba-tiba berubah menjadi ibunya yang
telah mati beberapa tahun yang lalu.
“Dukkk!” Orang yang sedang bengong terlongong
itu tentu saja tidak dapat mengelak lagi ketika kepalan tangan Siang In
menonjok lambungnya. Dia terpelanting dan memegangi perutnya yang menjadi
mulas, agaknya usus buntunya yang terkena hantaman kepalan tangan yang kecil
namun kuat itu. Melihat hasil ilmu sihir yang baru saja dipelajari dari gurunya
itu, Siang In menjadi gembira bukan main sehingga dia menjadi kurang waspada.
“Bocah setan, mau lari ke mana kau?” Tiba-tiba
ada dua buah lengan yang panjang, kuat dan berbulu meringkusnya dari belakang.
Siang In berusaha meronta, namun orang itu kuat sekali sehingga usahanya
sia-sia belaka. Rasa takut membuat dia kehilangan kekuatan sihir yang baru saja
dilatihnya itu. Akan tetapi dasar Siang In seorang yang cerdik, biarpun dia
tahu bahwa ilmu sihirnya takkan dapat menolongnya, dia tidak menjadi khawatir,
bahkan dia lalu tersenyum manis sekali dan mengangkat mukanya sehingga mukanya
dapat terlihat oleh orang tinggi besar yang meringkusnya. Orang itu menunduk
dan terpesona oleh kecantikan wajah yang tersenyum luar biasa manisnya itu.
“Aihh.... kamu benar jantan dan kuat
sekali.... akan tetapi pelukanmu terlalu kuat.... menyakitkan....” kata Siang
In dengan lagak yang amat genit karena dia telah meniru lagak Si Siluman
Kucing atau Mauw Siauw Mo-li seperti yang pernah dia demonstrasikan kepada Suma
Kian Bu. Mulutnya tersenyum agak terbuka, matanya mengerling tajam penuh daya
pikat dan biarpun dia menyandarkan kepalanya di dada orang itu, diam-diam dia
melangkah maju. Laki-laki itu benar-benar terpesona dan otomatis dia
melonggarkan ringkusannya. Daya tarik yang keluar dari sikap dan kecantikan
wajah Siang In kiranya tidak kalah hebat dan kuatnya daripada ilmu sihirnya,
maka orang itu seperti kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu betapa tiba-tiba
kaki Siang In yang kecil itu membuat gerakan menyepak seperti seekor kuda ke
belakang.
“Bukkk.... aughhhh.... adouuuuhhh....”
Laki-laki itu mendekap bawah perutnya yang kena dihantam tumit kaki Siang In
dan mengaduh-aduh setengah berjongkok. Siang In mengayun kakinya lagi
menendang, mengenai dagunya dan orang itu roboh terjengkang, akan tetapi masih
memegangi alat kelaminnya yang kena disepak dan yang rasanya kiut-miut menusuk
tulang, terasa sampai ke ubun-ubun!
“Bocah nakal, hayo kita pergi!” See-thian
Hoat-su kini berhasil memegang pergelangan tangan muridnya dan membawanya
loncat berkelebat dan lenyap dari situ membawa murid dan bekas isterinya.
Pendekar Super Sakti menggeleng-geleng kepala
sambil tersenyum menyaksikan keadaan kakek, bekas isterinya, dan muridnya itu.
Dia tidak lagi bergerak, akan tetapi mereka yang bertempur di sekelilingnya
tidak ada yang berani mengganggunya.
Sementara itu, Ceng Ceng yang tentu saja
mempunyai rasa setia kawan dengan Bhutan, sudah mengamuk sampai terpisah agak
jauh dari Pendekar Super Sakti, dan dia pun tidak tahu apa yang telah terjadi
antara Pendekar Super Sakti dengan Nenek Durganini, karena pihak musuh sudah
mengepungnya ketika melihat betapa lihainya dara ini yang telah merobohkan
banyak lawan.
Tiba-tiba terjadi keributan tak jauh dari
situ. Ketika Ceng Ceng menengok, dia melihat Tek Hoat yang juga mengamuk dan
merobohkan setiap orang anak buah Tambolon yang berdekatan dengannya. Begitu
melihat pemuda ini, timbul kemarahan hebat di hati Ceng Ceng. Teringat dia
betapa dia oleh pemuda ini diserahkan kepada Tambolon sebagai penukar Syanti
Dewi, betapa dia telah ditipu oleh Tek Hoat.
“Jahanam keparat!” Dia memaki dan meninggalkan
musuh-musuhnya, lalu lari dan tiba-tiba saja dia menyerang Tek Hoat.
Serangan itu demikian dahsyatnya karena
kemarahan di hati Ceng Ceng secara otomatis menggerakkan tenaga sin-kang
mujijat di dalam tubuhnya yang timbul dari khasiat anak ular naga. Angin
pukulan yang amat hebat menyambar dan Tek Hoat menjadi terkejut bukan main
karena ketika dia menangkis, dia masih terhuyung ke belakang! Akan tetapi
ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya adalah Ceng Ceng, dia memandang
rendah dan juga menjadi marah.
“Hemm, kiranya engkau telah diperalat oleh Si
Keparat Tambolon pula?” teriaknya dan melihat Ceng Ceng menyerang lagi, dia
cepat mengelak dan balas menyerang! Diam-diam Tek Hoat terkejut melihat
kemajuan hebat dalam gerakan Ceng Ceng. Dia tidak tahu bahwa selama ini Ceng
Ceng telah menerima petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan dan telah memiliki
sin-kang mujijat dari anak ular naga. Maka terjadilah pertandingan yang amat
seru dan para perajurit kedua pihak tidak ada yang berani mendekati karena
gerakan dua orang itu mendatangkan hawa pukulan yang bersiutan dan dari jauh
saja mereka hampir tidak dapat menahan.
Betapapun juga, tingkat kepandaian Tek Hoat
masih jauh di atas tingkat Ceng Ceng, dan mulailah Tek Hoat mendesaknya. Akan
tetapi, semenjak dahulu, ada perasaan aneh di dalam hati pemuda ini terhadap
Ceng Ceng, rasa suka yang aneh, maka sekarang pun dia merasa tidak tega untuk
merobohkan Ceng Ceng. “Ceng Ceng, kau mundurlah dan jangan tolol membela
Tambolon!” beberapa kali Tek Hoat berseru kepadanya.
Ceng Ceng maklum bahwa Tek Hoat membela Bhutan
dan salah menduga dia menjadi kaki tangan Tambolon. Akan tetapi dia tidak
peduli. Dengan Tek Hoat dia mempunyai urusan pribadi yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan Bhutan atau Tambolon, dan dia tidak mau membela diri
dari tuduhan itu. Dia tidak takut mati, bahkan kalau dia tidak dapat menangkap
Tek Hoat, biarlah dia mati menyusul Topeng Setan. Coba kalau ada Topeng Setan
di sisinya, Tek Hoat ini tentu tidak berani banyak lagak terhadap dirinya!
Teringat akan Topeng Setan, hatinya berduka sekali dan dia menjadi makin nekat!
Tek Hoat merasa kewalahan juga ketika Ceng
Ceng menyerangnya lebih hebat dan lebih nekat, seolah-olah dara itu tidak
mempedulikan keselamatan dirinya sendiri. “Ceng Ceng, jangan bodoh kau,
mundurlah! Kalau tidak, terpaksa aku akan membunuhmu!”
“Sombong, keparat keji! Siapa takut mampus?”
Ceng Ceng membentak marah sekali, lalu menerjang seperti seekor singa betina
menghantam kepala Tek Hoat dengan tangan kanannya.
“Plakkk....!” Tek Hoat cepat menyambar
pergelangan tangan Ceng Ceng dan ketika tangan kiri Ceng Ceng menampar, dia
cepat menangkis sedemikian kuatnya sehingga pasangan kuda-kuda kaki Ceng Ceng
tergempur dan saat itu digunakan oleh Tek Hoat yang masih memegang pergelangan
tangan Ceng Ceng dengan tangan kirinya untuk menghantamkan tangan kanannya
yang terbuka dan yang mengandung penyaluran sin-kang Inti Bumi ke arah kepala
Ceng Ceng. Hantaman ini kalau mengenai kepala dara itu tentu akan
menghancurkannya dan membinasakan, karena tenaga yang terkandung amat
kuatnya, cukup kuat untuk membikin remuk batu karang.
“Tek Hoat, jangan....!”
Seruan Gak Bun Beng ini dibarengi dengan
dorongan tangan kiri sehingga ada hawa pukulan menyentuh punggung Tek Hoat.
Pemuda ini terkejut sekali, dan sekaligus dia pun sadar akan apa yang akan dilakukannya
terhadap dara yang sebetulnya amat disukanya itu, bahkan andaikata di dunia ini
tidak ada Syanti Dewi, besar sekali kemungkinannya dia akan jatuh cinta kepada
Ceng Ceng. Dan sekarang, karena desakan Ceng Ceng yang sudah nekat, hampir saja
dia membunuh gadis ini! Dia cepat meloncat mundur dan melepaskan pegangannya
sehingga Ceng Ceng terhuyung-huyung.
“Tek Hoat, apakah kau sudah gila?” Gak
Bun Beng membentaknya. “Tidak tahukah engkau, Ceng Ceng, bahwa kalian
sebetulnya adalah saudara-saudara seayah?”
Akan tetapi ucapan itu hampir tidak kedengaran
karena pada saat itu Ceng Ceng sudah memaki-maki Tek Hoat, “Manusia sombong,
manusia curang dan jahat. Kalau.... kalau Paman Topeng Setan tidak mati....
kalau dia ada.... kau tidak akan berani menjual lagak....!” Dan segera dara ini
menangis terisak-isak karena teringat kepada Topeng Setan yang begitu baik,
yang jauh sekali bedanya dengan Tek Hoat ini!
Akan tetapi Tek Hoat mendengar ucapan Gak Bun
Beng tadi dan dia berseru, “Apa....? Dia.... Ceng Ceng ini.... saudaraku
sendiri?”
Mendengar ini, Ceng Ceng terbelalak, lalu
berjebi. “Huh, aku saudaramu? Siapa bilang? Tak sudi aku mempunyai saudara
macam engkau!”
“Ceng Ceng, jangan kau berkata demikian. Tek
Hoat ini pun putera dari ayah kandungmu, Wan Keng In, hanya bedanya, kalau
ibumu adalah Lu Kim Bwee, ibu Tek Hoat adalah Ang Siok Bi. Kalian masih kakak
beradik, seayah.”
Tek Hoat menjadi bengong. “Pantas....”
bisiknya lirih. “Pantas aku mempunyai perasaan yang aneh terhadap dia.... aku
suka sekali padanya....”
“Hah, kau suka dan baru saja engkau hendak
membunuhku?” Ceng Ceng berseru marah. “Kakak macam apakah kau ini?”
“Ceng Ceng...., maafkan aku.... karena engkau
begitu nekat dan kepandaianmu hebat sekali sehingga amat berbahaya....”
“Sudahlah, nanti kita bicara. Musuh masih
banyak,” kata Gak Bun Beng yang sudah cepat melerai mereka. “Ceng Ceng,
bagaimana kau bisa tiba di sini?”
“Saya datang bersama Locianpwe Pendekar Super
Sakti.”
“Ahhh....?” Gak Bun Beng terkejut dan berseru
girang. “Di mana beliau?” Ketika Ceng Ceng menunjuk dengan jarinya ke arah
perginya Pendekar Super Sakti, Bun Beng cepat pergi untuk mencari gurunya
sambil berkata, “Tek Hoat, kau harus melindungi adikmu itu.”
Setelah Gak Bun Beng pergi, dua orang muda itu
saling pandang, Tek Hoat tersenyum dan wajahnya berseri karena sungguh girang
hatinya mendengar bahwa gadis yang amat disukanya ini ternyata adalah adiknya!
Akan tetapi Ceng Ceng tetap cemberut, masih panas hatinya teringat betapa tadi
hampir saja dia dibunuh oleh Tek Hoat.
“Ceng Ceng, engkau.... engkau adikku....”
“Huh, belum tentu! Ibu kita berlainan, siapa
tahu kalau-kalau aku yang lahir lebih dulu daripada engkau. Mungkin aku malah
encimu!”
“Adik atau enci, pokoknya kita bersaudara,
dan aku girang sekali. Eh, Ceng Ceng, aku tahu bahwa sejak kecil engkau di
Bhutan, mari kita berlomba untuk membunuh Tambolon!”
Ceng Ceng hanya mengangguk karena untuk
membunuh musuh besar itu, tentu saja dia tidak dapat membantah.
“Hayo ikut dengan aku!” Tek Hoat cepat
merobohkan dua orang sambil meloncat, diikuti oleh Ceng Ceng yang juga membuka
jalan sambil merobohkan anak buah Tambolon. Mereka mencari-cari dan akhirnya
mereka melihat Tambolon sedang mengamuk, dikeroyok oleh Panglima Jayin dan
beberapa orang perwira Bhutan, akan tetapi mereka ini terdesak hebat oleh
Tambolon yang mengamuk dengan kemarahan meluap-luap karena gurunya telah
dilarikan oleh Kakek See-thian Hoat-su dan pasukannya telah kocar-kacir. Raja
liar ini menggunakan senjata golok gagang panjang dan sepak-terjangnya dahsyat
sekali.
“Ciangkun, minggirlah, biar kami berdua yang
akan menghadapinya!” Tek Hoat berseru dan melihat pemuda ini, Panglima Jayin
menjadi girang dan memerintahkan para pembantunya untuk mundur. Akan tetapi dia
melihat Ceng Ceng dan dengan girang sekali dia berseru, “Sumoi....!” Seperti
kita ketahui, Panglima Jayin ini adalah murid dari mendiang kakek Lu Kiong dan
sejak dahulu dia memanggil Ceng Ceng sumoi.
“Suheng, biarlah aku menghadapi raja liar
itu.” Ceng Ceng berkata sambil melompat ke depan. Panglima Jayin tentu saja
meragu dan khawatir sekali karena dia tahu bahwa tingkat kepandaian sumoinya
ini tidak jauh dengan tingkatnya, bahkan dia masih lebih tinggi sedikit. Akan
tetapi melihat loncatan Ceng Ceng yang seperti burung walet terbang itu, dia
terkejut dan girang, maklum bahwa sumoinya itu tidak boleh dibandingkan dengan
sumoinya di waktu belum meninggalkan Bhutan dahulu.
Melihat majunya Tek Hoat dan Ceng Ceng,
Tambolon terkejut bukan main karena dia maklum akan kelihaian pemuda itu, dan
teringat betapa dahulu nona ini pernah membebaskan diri dengan memperlihatkan
tenaga mujijat, dia pun maklum bahwa nona yang telah memperoleh khasiat dari
anak ular naga ini telah memiliki tenaga sakti yang juga amat hebat. Akan tetapi
karena dia sendiri percaya penuh akan dirinya sendiri, juga agar tidak
menurunkan semangat anak buahnya, dia tertawa bergelak dan sekali tangan
kanannya bergerak, terdengar bunyi “karakk!” dan gagang goloknya yang panjang
itu telah dipatahkannya sehingga berubah menjadi sebatang golok gagang biasa.
Kemudian tangan kirinya meraba pinggangnya. “Singgg....!” tercabutlah sebatang
pedang yang mengeluarkan sinar yang mujijat dan menyeramkan.
“Ha-ha-ha, bocah perempuan setan! Engkau akan
mampus di ujung pedangmu sendiri!”
Ceng Ceng terkejut dan marah ketika mengenal
Ban-tok-kiam, yaitu pedang pemberian Ban-tok Mo-li yang telah dirampas dari
tangannya oleh raja liar itu.
“Tambolon keparat! Aku harus membunuhmu!”
Ceng Ceng yang sudah nekat itu menubruk ke depan dengan tangan kosong, mengirim
pukulan yang dahsyat. Tambolon menggerakkan pedang itu memapaki.
“Ceng Ceng, hati-hatilah....!” Tek Hoat
mengkhawatirkan keselamatan gadis yang nekat itu dan cepat dia pun mengirim
pukulan dahsyat ke arah Tambolon. Raja liar ini terpaksa menggunakan goloknya
menyambut serangan Tek Hoat.
Tentu saja Ceng Ceng tidak membiarkan dirinya
dimakan pedangnya sendiri begitu saja, tubuhnya sudah cepat mengelak dan dari
bawah kakinya menyambar ganas ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang
pedang. Akan tetapi Tambolon dapat menarik tangannya dan pada saat itu, Tek
Hoat yang sudah mengelak pula telah menghantam dengan pukulan jarak jauh.
“Desss....!” Tambolon terpaksa menerima hawa
pukulan itu dengan bahunya dan dia terhuyung. Bukan main kagetnya dan kini dia
menggerakkan pedang dan golok itu, diputar-putar sehingga tampaklah dua sinar
saling membelit dan bergulung-gulung mengelilingi tubuhnya.
“Taihiap, pakailah ini! Sumoi, pakailah
senjata ini!” Tiba-tiba terdengar Panglima Jayin berseru dan dua batang pedang
melayang ke arah Tek Hoat dan Ceng Ceng yang cepat menyambarnya. Ceng Ceng
girang melihat pedang di tangannya karena dia mengenal pedang mendiang
kakeknya yang dihadiahkan kepada suhengnya itu, sedangkan pedang yang
diberikan kepada Tek Hoat itu pun merupakan pedang pusaka Bhutan karena pedang
itu adalah pedang kebesaran tanda pangkat Jayin yang diterimanya dari rajanya.
Biarpun kedua pedang itu tidak dapat dibandingkan dengan Ban-tok-kiam yang
mujijat dan beracun, akan tetapi keduanya terhitung pedang pusaka yang terbuat
dari baja pilihan.
Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat,
Tek Hoat dan Ceng Ceng cukup cerdik untuk mengenal keampuhan pedang
Ban-tok-kiam maka mereka tidak mau mengadu pedang mereka dengan Ban-tok-kiam,
akan tetapi ketika golok di tangan kanan Tambolon menyambar, seperti telah
bersepakat lebih dahulu, pemuda dan gadis itu menggerakkan pedang yang
menggunting dari kanan kiri.
“Krekkk!” Patahlah golok itu dan Tambolon
terpaksa meloncat mundur sambil memutar Ban-tok-kiam di tangan kirinya.
Ceng Ceng meloncat dan mengejar, diikuti oleh
Tek Hoat. Keduanya mengurung dan menghimpit sehingga biarpun tangannya
memegang pedang yang ampuh, tetap saja Tambolon terdesak hebat dan mulai merasa
cemas.
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring
dan muncullah dua orang lawan tangguh, yaitu Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci
Pok Si Siucai Maut, dua orang pengawal pribadi dari Tambolon. Si Petani Maut
telah memutar batang pikulannya dan Yu Ci Pok sudah menggerakkan siang-koan-pit
secara hebat.
Melihat hal ini, tentu saja Jayin dan
teman-temannya tidak tinggal diam, akan tetapi mereka didahului oleh bentakan
halus nyaring, “Harap kalian minggir!”
Panglima Jayin terkejut dan girang mengenal
Puteri Milana. Kiranya panglima yang memimpin seluruh pertahanan Bhutan itu
sendiri yang berkenan turun tangan menghadapi dua orang lihai ini.
“Bibi Milana....!” Ceng Ceng berseru girang
melihat Milana.
Milana yang sudah menggerakkan pedangnya menyambut
sinar pikulan dan siang-koan-pit itu, tersenyum kepada Ceng Ceng. “Engkau
membantu saudaramu? Bagus!”
Tek Hoat juga girang melihat puteri ini,
karena hal itu hanya menandakan bahwa pasukan mereka telah menang. Kalau tidak,
tentu puteri ini tidak sempat turun tangan sendiri.
“Ceng Ceng, kaubantulah Sang Puteri!” katanya.
“Hushh, Sang Puteri itu adalah bibi kita,
tolol. Ayah kita adalah juga kakak tirinya.” Ceng Ceng menegur, akan tetapi dia
tetap mendesak Tambolon.
“Kepala batu! Aku tidak suka kaubantu! Aku
ingin menghadapi Tambolon sendiri!” Tek Hoat berseru karena dia maklum bahwa
betapapun juga, masih amat berbahaya bagi Ceng Ceng untuk menghadapi Tambolon
yang amat lihai itu.
Puteri Milana mengerti akan isi hati Tek Hoat,
maka melihat bahwa pemuda itu cukup tangguh untuk menghadapi Tambolon, dia
berkata, “Ceng Ceng, kaubantulah aku. Aku sudah lelah.”
Mendengar ini, tentu saja Ceng Ceng meloncat
seperti kilat dan dia sudah menerjang Yu Ci Pok dan mendesak siucai ini dengan
gerakan pedangnya yang mengandung tenaga mujijat sehingga tangkisan siucai itu
membuat tangannya tergetar dan siucai itu pun terkejut bukan main.
Pertandingan terpecah menjadi tiga dan kini
tempat itu dikurung oleh pasukan Bhutan yang ingin menonton pertandingan
hebat ini, juga Jayin dan teman-temannya ikut pula menonton karena kini pihak
musuh sudah kocar-kacir dan kemenangan sudah di depan mata. Keadaan tidak
berbahaya lagi maka “tontonan” yang demikian hebatnya tidak akan mereka
lepaskan begitu saja.
Tanpa diketahui orang lain, Milana berbisik
kepada Ceng Ceng, “Jangan robohkan lawan, biar mereka semua ini dirobohkan oleh
saudaramu yang akan menjadi calon mantu Raja Bhutan.”
Mendengar ini, sepasang mata Ceng Ceng
terbelalak, jantungnya berdebar dan diam-diam dia merasa terharu sekali. Kakak
angkatnya, Puteri Syanti Dewi akan menjadi isteri Tek Hoat! Dan Tek Hoat adalah
saudaranya, satu ayah! Dia tidak mampu menjawab, hanya mengangguk dan bersama
Puteri Milana dia melayani lawannya seperti main-main saja. Kalau mereka mau,
apalagi Puteri Milana yang menghadapi Si Petani Maut, tentu dengan amat
mudahnya mereka mengalahkan lawan mereka itu.
Yang bertanding secara sungguh-sungguh dan
mati-matian adalah Tek Hoat. Hebat sekali pemuda ini menyerang dan mendesak
Raja Liar Tambolon. Raja liar ini pun mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya karena dia maklum bahwa dia tersudut dan tidak dapat melarikan
diri lagi. Jalan satu-satunya hanya mempertahankan diri sampai saat terakhir
dan kalau mungkin membunuh musuh sebanyaknya. Akan tetapi pemuda ini terlalu
tangguh baginya.
Setelah bertanding hampir seratus jurus,
Tambolon makin terdesak dan mukanya sudah basah oleh keringat. Baiknya dia
memiliki pedang Ban-tok-kiam, karena kalau tidak demikian, tentu sudah tadi dia
roboh oleh pemuda yang luar biasa ilmu silatnya ini. Tiba-tiba ketika kakinya
menendang, ujung kakinya dapat menyerempet paha Tek Hoat dan pemuda itu
terguling jatuh. Semua orang menjerit, kecuali Puteri Milana yang
berpemandangan tajam dan yang melayani Si Petani Maut sambil menonton!
Tambolon mengeluarkan suara gerengan seperti
seekor harimau marah, pedang Ban-tok-kiam menyambar ketika dia menubruk lawan
yang sudah roboh di tanah itu. Akan tetapi tiba-tiba kaki Tek Hoat bergerak dan
hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar.
“Bresss....!” Tambolon memekik kaget dan
kesakitan, pedang Ban-tok-kiam terlempar jauh dan dia terdorong sampai
bergulingan. Kiranya Tek Hoat yang sengaja menjatuhkan diri itu telah
menggunakan kekuatan Inti Bumi yang paling ampuh, yang diambilnya dari tenaga
bumi ketika dia rebah, dan kakinya telah menyerang dengan kekuatan luar biasa,
yang kiri menendang pergelangan tangan lawan sehingga pedang Ban-tok-kiam
terlempar, kaki kanan menendang ke arah dada dan biarpun sudah ditangkis oleh
tangan kiri Tambolon, tetap saja tubuh raja yang tinggi besar seperti raksasa
itu terlempar dan bergulingan.
Tek Hoat sudah meloncat dan mengejar.
Tambolon mengeluarkan senjata jala yang ketika digerakkan berubah seperti uap,
akan tetapi Tek Hoat yang sudah mengenal senjata ini tidak menjadi gentar.
Bahkan dengan sengaja dia memapaki jala itu dengan pedangnya. Tambolon menjadi
girang, jalanya berhasil menangkap dan membelit pedang. Dia menyangka bahwa
seperti biasa, tentu pemuda itu akan berusaha menarik kembali pedangnya. Akan
tetapi Tek Hoat memang sengaja membiarkan pedangnya terampas dan secepat
kilat, dia melepaskan gagang pedang dan menggunakan kedua tangannya untuk
menyerang dengan pukulan tangan terbuka yang mengandung tenaga Inti Bumi, yang
kiri ke arah pusar sedangkan yang kanan ke arah pelipis.
Tambolon terkejut, berusaha menangkis dan
memang berhasil menangkis pukulan ke pusarnya, akan tetapi tangan kanan Tek
Hoat sudah menyambar pelipisnya.
“Desss....!” Tambolon terpelanting dan roboh
dengan mata mendelik, tubuhnya kaku dan dia tewas seketika!
Jayin dan para pembantunya bersorak. Panglima
ini cepat menyambar pedang, memenggal kepala Tambolon yang dipasangnya di atas
tombak dan diangkat tinggi-tinggi ke atas agar kelihatan oleh semua orang dan
untuk melenyapkan semangat tentara musuh.
“Tek Hoat, kaubantulah kami!” Puteri Milana
berseru.
Hoat memandang dengan terheran-heran melihat
betapa Puteti Milana yang dia tahu amat lihai itu dan Ceng Ceng belum juga
mampu merobohkan Si Petani Maut dan Si Siucai Maut. Dia memekik keras dan
dengan tangan kosong dia menerjang Si Petani Maut Liauw Kui yang memang sudah
jerih sekali karena dia bukan tidak tahu betapa Puteri Milana
mempermainkannya, menyambut terjangan Tek Hoat dengan pikulannya. Namun, dengan
mudah Tek Hoat menangkap batang pikulan itu, dengan pengerahan tenaga dia
memaksa batang pikulan itu membalik dan robohlah Si Petani Maut, batang
pikulan memasuki perutnya menembus ke punggung.
Tek Hoat yang sudah beringas seperti harimau
yang haus darah itu lalu menubruk ke arah Siucai Maut sambil berseru, “Ceng
Ceng minggirlah!”
Yu Ci Pok menyambut dengan totokan dua
senjata siang-koan-pit, akan tetapi Tek Hoat yang sudah melindungi tubuhnya
dengan kekuatan tenaga sakti Inti Bumi dan menghentikan jalan darah di bagian
yang tertotok, menerima dua totokan itu dan membarengi dengan gerakan jari
tangannya dipergunakan seperti sebatang pedang menusuk ke depan.
“Craattt!” Jari-jari tangan kanannya memasuki
dada Yu Ci Pok seperti sebatang pedang dan robohlah pengawal ke dua dari
Tambolon ini, berkelojotan dan tewas.
Puteri Milana dan Ceng Ceng bertepuk tangan
memuji, kemudian mereka bertiga terus mengamuk sehingga pihak musuh makin kacau
dan akhirnya larilah sisa pasukan dari suku-suku bangsa liar itu, apalagi
setelah mereka semua mendengar bahwa Raja Tambolon telah tewas. Berakhirlah
perang itu dengan kemenangan gemilang di pihak Bhutan. Panglima Jayin mengarak
Tek Hoat sebagai seorang pahlawan gagah perkasa karena dia sendiri telah
menyaksikan betapa pemuda yang gagah perkasa ini telah berhasil membunuh
Tambolon yang demikian lihainya, berarti bahwa pemuda ini memang telah membuat
jasa besar sekali dan patut diperlakukan sebagai seorang pahlawan yang dengan
setia telah membela Kerajaan Bhutan.
Gak Bun Beng yang telah bertemu dengan
Pendekar Super Sakti, cepat berlutut di medan perang itu, memberi hormat
dengan hati terharu karena dia tadinya sudah tidak mengira akan dapat bertemu
dengan pendekar sakti yang dianggap sebagai gurunya ini.
Sejenak Pendekar Super Sakti juga menunduk dan
memandang, kemudian mengangguk-angguk dan bertanya, “Bun Beng, aku sudah
mendengar bahwa Kerajaan Bhutan dibantu oleh engkau dan Milana. Di mana
sekarang dia?”
“Sumoi Milana sedang memimpin pasukan untuk
membasmi barisan pemberontak, Suhu. Bagaimana keadaan Suhu dan Subo di Pulau
Es? Mudah-mudahan dalam keadaan sehat.”
“Kami baik-baik saja, Bun Beng. Aku
meninggalkan Pulau Es untuk pergi menyusul dan mencari kedua orang sutemu.
Kian Lee telah kujumpai dan sudah kusuruh pujang, akan tetapi Kian Bu masih
kucari-cari. Apakah engkau melihat dia?”
Bun Beng menggeleng kepala. “Teecu pernah
bersama dengan Sute Kian Bu ketika membantu pemerintah menghadapi para pemberontak
yang dipimpin oleh dua orang Pangeran Liong, akan tetapi setelah itu, Sute
Kian Bu pergi meninggalkan kota raja, kemudian terdengar beritanya ketika dia
menolong Puteri Syanti Dewi dari penghadangan Tambolon dan Durganini, lalu dia
pergi lagi tanpa ada yang mengetahui ke mana, Suhu.”
“Hemmm, mari kita mencari Milana, mungkin dia
tahu tentang adiknya itu.”
Bun Beng hanya mengangguk, tidak berani
menceritakan betapa sejak dari kota raja, kekasihnya itu melakukan perjalanan
bersama dia dan tentu saja pengetahuan Milana tentang Kian Bu tidak ada bedanya
dengan apa yang telah dia ketahui. Bahkan dia masih merasa sungkan dan
khawatir kalau-kalau pendekar sakti ini tidak akan senang hatinya mendengar
akan keputusan mereka berdua untuk hidup bersama setelah Milana menjadi janda.
Tentu saja orang tua sakti ini tidak tahu bahwa puterinya itu sebetulnya telah
menjadi janda yang masih perawan!
Ketika mereka tiba di tempat pertempuran di
mana Milana yang dibantu oleh Ceng Ceng dan Tek Hoat mengamuk, pertempuran
telah selesai dan musuh telah terbasmi, yang melarikan diri dikejar oleh
pasukan-pasukan Bhutan.
“Ayah....!” Milana lari menyambut Pendekar
Super Sakti dan di lain saat dia telah memeluk orang tua itu, air mata puteri
yang perkasa ini membasahi baju di dada ayahnya.
Pendekar Super Sakti mengelus rambut
puterinya penuh kasih sayang. “Milana...., mana suamimu?”
Mendengar pertanyaan yang seolah-olah
merupakan sebatang pedang yang langsung menikam ulu hatinya, Milana mengguguk
tangisnya. Akhirnya dapat juga dia menjawab lirih, “....dia.... dia telah
tewas....”
Pendekar Super Sakti Suma Han adalah seorang
manusia yang sudah dapat mengatasi segala perasaan, maka dia biasa saja
mendengar berita hebat ini, hanya bertanya, “Bagaimana terjadinya hal itu?”
“Ayah, marilah kita memasuki kota raja dan
bicara di sana dengan jelas.”
Pada saat itu, Raja Bhutan sendiri keluar
menyambut dan dengan penuh kehormatan semua tamu agung yang sudah berjasa
membantu Bhutan, terutama Tek Hoat, diarak masuk ke kota raja. Pendekar
Siluman tidak menolak karena dia ingin mendengar cerita Milana tentang Kian Bu
dan tentang Han Wi Kong, mantunya yang dikabarkan tewas itu.
Semua orang di kota raja menyambut para tamu
agung, terutama sekali mereka menyanjung-nyanjung Puteri Milana dan Tek Hoat.
Bahkan Tek Hoat sekaligus telah dikenal oleh mereka sebagai calon mantu raja!
Istana telah cepat sekali mempersiapkan
penyambutan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Syanti Dewi sehingga ketika
rombongan pemenang ini memasuki kota raja dan tiba di depan istana, tempat ini
telah dihias dengan meriah dan penari-penari serta musik menyambut mereka.
Pertemuan yang amat menggembirakan, semua
orang tersenyum dan tertawa, semua wajah berseri-seri dan semua mata
bersinar-sinar. Akan tetapi, suasana menjadi sangat mengharukan ketika tanpa
disangka-sangkanya Puteri Syanti Dewi melihat Ceng Ceng di antara rombongan
itu. Puteri ini terbelalak seperti mimpi saja dia melihat adik angkatnya,
kemudian kedua orang cantik itu menjerit dan saling menubruk.
“Candra....!”
“Enci Syanti....!”
Mereka berangkulan dan menangis, saling
berciuman karena semenjak berpisah di tengah malapetaka ketika perahu mereka
terguling, baru satu kali ini mereka dapat saling bertemu kembali dan pertemuan
ini terjadi di Bhutan! Sungguh merupakan hal yang aneh dan tidak
tersangka-sangka oleh Syanti Dewi. Betapa hebat pengalaman mereka semenjak
saling berpisah. Dan betapa cepatnya waktu berlalu karena begitu saling
bertemu dan berpelukan, mereka merasa seolah-olah baru kemarin saja mereka
saling berpisah.
Saling bergandeng tangan karena tidak sempat
bicara di depan banyak orang, Syanti Dewi dan Ceng Ceng bersama semua
rombongan itu memasuki istana di mana Raja Bhutan mengadakan penyambutan dengan
pesta untuk merayakan kemenangan yang gemilang itu.
Rakyat dan para perajurit semua juga berpesta
pora merayakan kemenangan itu. Suasana Kerajaan Bhutan gembira bukan main,
sungguhpun harus diakui bahwa banyak pula yang menangis dan dilanda kedukaan hebat
karena kematian suami, anak atau ayah yang menjadi perajurit Bhutan dan gugur
dalam perang itu. Akan tetapi suara tangis mereka tenggelam dan hanyut oleh
arus kegembiraan dari kota raja yang merayakan kemenangan.
Demikianlah adanya perang dan akibat-akibatnya!
Di mana pun di bagian dunia ini, dan di jaman apa pun! Para korban perang yang
membantu terlaksananya kemenangan, terlupa oleh yang merayakan kemenangan, oleh
yang mengecap keuntungan dalam kemenangan perang. Kalaupun para korban itu
diingat oleh mereka, hal ini hanya sekilas saja, sekedar hiburan bagi keluarga
si korban, atau lebih tepat, sebagai penonjolan dari yang merayakan kemenangan
bahwa mereka itu tidak melupakan para korban, sungguhpun yang dikatakan tidak
lupa itu hanya untuk satu kali setahun, dan itu pun hanya beberapa menit saja,
lalu tidak diperdulikan lagi sama sekali sampai saatnya diperingati! Perang
merupakan bukti betapa busuknya si aku mementingkan diri pribadi, secara keji
mempergunakan manusia-manusia lain, kalau perlu mengorbankan laksaan nyawa
manusia lain, demi untuk mencapai cita-cita yang tak lain tak bukan hanyalah
merupakan pengejaran sesuatu yang menguntungkan diri pribadi lahir maupun
batin. Perang merupakan bukti pula betapa bodohnya manusia, dipermainkan oleh
slogan-slogan kosong, seperti sekelompok ikan memperebutkan umpan tidak tahu
bahwa di dalam umpan tersembunyi maut!
Di dalam kesempatan berpesta-pora ini,
Pendekar Super Sakti mendengar semua penuturan Milana tentang Suma Kian Lee dan
Suma Kian Bu. Tanpa menyembunyikan sesuatu, Milana menuturkan tentang kepatahan
hati dua orang pemuda Pulau Es itu.
“Aku kasihan sekali kepada mereka, Ayah. Kian
Lee jatuh cinta kepada Ceng Ceng, dan ternyata kemudian bahwa Ceng Ceng adalah
keponakan sendiri karena gadis itu adalah putera Wan Keng In dan Lu Kim Bwee.”
Pendekar Super Sakti Suma Han memandang ke
arah Ceng Ceng yang duduk menyendiri dengan wajah muram. Dia teringat akan
pertemuannya dengan gadis itu, mula-mula di rumah makan ketika dia dan
isterinya Lulu tiba di tempat itu dalam usaha mereka mencari putera mereka.
Kiranya gadis yang kemudian melakukan perjalanan bersamanya itu adalah puteri
Wan Keng In! Dengan demikian, Lulu telah menolong cucunya sendiri di dalam
rumah makan itu! Lalu dia teringat akan Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti
menghela napas panjang. Ternyata buah perbuatan Wan Keng In masih terasa
sampai sekarang!
“Tidak perlu dikasihani, Milana. Kalau dia
melihat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakan sendiri, mengapa dia harus
patah hati? Dan bagaimana dengan Kian Bu?”
“Bu-te lebih parah lagi, Ayah. Dia jatuh hati
kepada Syanti Dewi, akan tetapi agaknya Puteri Bhutan itu tidak membalas
cintanya karena puteri itu agaknya jatuh hati kepada Tek Hoat.” Puteri Milana
mengerling dan Suma Han juga melihat betapa mesra puteri itu di dalam pesta
melayani Tek Hoat yang duduk di samping Raja Bhutan dan permaisuri!
“Hemm, cinta yang menuntut balasan, kalau
tidak dibalas lalu patah hati bukanlah cinta namanya....” Suma Han berkata
lirih seperti kepada diri sendiri. “Kepatahan hati itu adalah salahnya
sendiri, timbul dari iba diri. Di mana kiranya dia sekarang?”
“Aku tidak tahu, Ayah.”
“Biarlah, aku akan mencarinya. Dan engkau
sendiri, Milana. Bagaimana engkau bisa berada di sini tanpa suamimu? Dan apa
artinya ucapanmu bahwa suamimu telah tewas?”
Puteri Milana menekan perasaannya agar jangan
sampai dia menangis di dalam pesta itu. Kemudian, dengan hati-hati dan lirih
berceritalah dia tentang keadaannya dengan Han Wi Kong, betapa mereka itu
menikah tanpa cinta kasih di pihaknya, hanya untuk memenuhi kehendak Kaisar,
dan betapa Han Wi Kong telah bersikap jantan dan tidak memaksa dia memenuhi
kewajiban sebagai isteri. Kemudian tentang perbuatan Han Wi Kong yang membunuh
Pangeran Liong Bin Ong sebagai tindakan “bunuh diri” untuk memberi kesempatan
kepadanya berkumpul kembali dengan orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng,
dan tentang surat-surat Han Wi Kong yang sengaja ditinggalkan untuk dia dan Bun
Beng.
Mendengarkan semua ini, Suma Han memejamkan
kedua matanya dengan alis berkerut. Milana sudah siap untuk mendengar teguran
dan kemarahan ayahnya, akan tetapi setelah Suma Han membuka kembali matanya,
pendekar bijaksana itu berkata perlahan, “Nasib manusia berada di dalam tangannya
sendiri, tergantung dari sepak-terjangnya sendiri dalam kehidupan. Semua
pengalamanmu itu hanya menjadi bukti bahwa apa pun yang kita lakukan di dalam
kehidupan ini, Milana, haruslah kita lakukan dengan cinta kasih di dalam hati.
Tanpa cinta kasih, maka semua perbuatan itu hanya akan menimbulkan pertentangan
dan kedukaan belaka, seperti perbuatanmu menikah dengan Han Wi Kong, dan
perbuatanmu bersama Bun Beng yang saling berpisah mematahkan ikatan perasaan
antara kalian. Jadi sekarang, engkau dan Bun Beng....”
Milana menundukkan mukanya yang menjadi merah
sekali. “Kami telah bersepakat untuk menghadap ke Pulau Es mohon restu dan
ijin dari Ayah dan Ibu, dan karena saya telah menjadi buronan di kota raja,
maka kami berdua akan pergi mengasingkan diri, entah ke mana, saya hanya akan
menurut dan ikut dengan Gak-suheng....”
Suma Han mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya
kalau kalian lebih dulu menghadap ibumu. Nah, biarlah sekarang juga aku pergi,
Milana. Aku akan mencari Suma Kian Bu.” Sebelum Puteri Milana menjawab, tampak
tubuh ayahnya berkelebat dan lenyaplah pendekar itu dari tempat itu,
seolah-olah menghilang begitu saja di tengah-tengah orang banyak yang sedang
berpesta. Milana maklum akan sifat ayahnya yang aneh, maka dia cepat menghadap
Raja Bhutan dan mintakan maaf bahwa ayahnya telah pergi tanpa pamit karena
ayahnya mempunyai urusan pribadi yang penting. Semua orang terkejut dan kagum,
akan tetapi hanya mengangguk-angguk dan merasa serem melihat ada orang dapat
lenyap begitu saja di tengah-tengah mereka, seperti siluman! Tak lama kemudian,
nampak Puteri Milana dan Gak Bun Beng duduk berdua menghadapi meja dan
bercakap-cakap dengan mesra, berbisik-bisik karena puteri itu menceritakan
kepada kekasihnya tentang reaksi ayahnya ketika mendengar pengakuannya
tentang mereka. Legalah hati Bun Beng karena tadipun, dari meja lain, dia
melihat berkelebatnya gurunya itu lenyap, membuat dia khawatir sekali dan
menduga bahwa pendekar itu pergi dengan marah. Kiranya tidak demikian, maka
tentu saja hatinya merasa lega.
Semua orang di dalam pesta itu
bergembira-ria, tenggelam dalam kebahagiaan masing-masing sehingga tentu saja
melupakan orang lain. Tek Hoat yang dihujani sanjungan dan kini dilayani
dengan mesra dan dengan terbuka oleh Syanti Dewi, di depan Raja dan Permaisuri
Bhutan yang memandang sambil tersenyum penuh arti, tentu saja merasa bahagia
sekali. Demikian pula Syanti Dewi yang melihat betapa pria yang dicinta dan
dipilihnya itu kini telah kembali dalam keadaan selamat, sebagai seorang pahlawan
pula, tentu saja menjadi sangat gembira sehingga dia pun lupa akan keadaan
orang lain.
Semua orang bergembira-ria, kecuali Ceng Ceng.
Sebaliknya, dara ini menjadi sedih sekali karena kebahagiaan orang-orang itu
mengingatkan dia akan nasib dirinya. Teringat akan Topeng Setan, satu-satunya
manusia yang dicinta, dan teringat akan Kok Cu, satu-satunya manusia yang
dibencinya, ternyata kedua orang itu adalah sama, dan kini mati! Padahal, dua
orang itulah yang membuat dia tadinya masih ada gairah untuk hidup di dunia
yang penuh duka ini. Topeng Setan menghiburnya dan kebaikan hati Topeng Setan
membuat dia jatuh cinta kepada orang yang selalu menyembunyikan wajahnya di
balik topeng yang amat buruk itu. Dia jatuh cinta bukan karena wajahnya,
melainkan karena kebaikan yang dilimpahkan kepadanya oleh pendekar sakti itu
sehingga kehadiran Topeng Setan di dalam jalan hidupnya itu menimbulkan gairah
hidup yang baru. Adapun Kok Cu yang dimusuhinya dan dibencinya karena pemuda
itu telah memperkosanya, merupakan pula suatu dorongan sehingga dia tidak
ingin mati dulu sebelum dan dapat membalas dendamnya. Dengan cara yang amat
berlainan, bahkan dengan berlawanan, dua nama itu telah membuat dia
bersemangat untuk hidup. Akan tetapi, seperti halilintar datangnya, terbukalah
kenyataan bahwa yang amat dicintanya adalah orang yang amat dibencinya,
sebaliknya pula yang amat dibencinya itu ternyata adalah orang yang dicintanya,
dan kini keduanya, yang sesungguhnya satu orang juga, telah mati! Apalagi yang
menahannya untuk hidup di dunia penuh duka kecewa ini? Lebih baik mati saja dan
rasanya mati akan jauh lebih menyenangkan daripada hidup!
Betapa banyaknya manusia di dunia ini hidup
dalam duka dan kesengsaraan batin sehingga dunia ini dianggapnya sebagai tempat
yang amat buruk, sebagai neraka yang amat menyiksa. Seperti juga Ceng Ceng,
kita manusia selalu dirundung duka yang seribu satu macam sebabnya sehingga
kita selalu haus akan kebahagiaan, selalu haus akan kesenangan dan selalu
merasa bahwa di dunia ini, hanya kita sendirilah yang paling sengsara sedangkan
orang-orang lain semua jauh lebih bahagia daripada kita.
Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah
demikian kenyataannya. Selama kita memperhatikan keadaan orang lain,
membanding-bandingkan dengan keadaan kita, akan timbul rasa kecewa dan iri,
memupuk rasa iba diri. Dan kita lupa, seperti juga Ceng Ceng, bahwa justeru
kekecewaan dan kedukaan itu datang karena keinginan kita mencari yang lebih
baik dan lebih menyenangkan itulah! Kita selalu menolak apa yang ada, selalu
menolak kenyataan yang terjadi, membutakan mata terhadap kenyataan yang tidak
menyenangkan dan mengejar-ngejar bayangan yang dianggap akan menyenangkan.
Padahal, kenyataan seperti apa adanya tidak mengandung suka maupun duka.
Kenyataan apa adanya adalah kebenaran! Adapun senang atau susah bukanlah
bagian dari kenyataan itu, melainkan merupakan permainan dan pikiran kita
sendiri, yang selalu menonjolkan dirinya pribadi, yang selalu akan senang kalau
diuntungkan lahir maupun batin, dan selalu susah, kalau dirugikan lahir maupun
batin. Pikiranlah biang keladi susah dan senang. Pikiranlah sumber segala duka
dan sengsara! Dan ini merupakan suatu kenyataan, nampak dengan jelas sekali
asal kita mau membuka mata dan memandang kenyataan tanpa dipengaruhi oleh
segala macam pendapat, prasangka dan kesimpulan yang juga merupakan permainan
dari pikiran pula.
Ceng Ceng tenggelam ke dalam lamunan yang
menyedihkan. Namun dia hendak merahasiakan semua ini, demi kebahagiaan Syanti
Dewi. Dia tidak ingin mengganggu kebahagiaan kakak angkatnya itu, maka ketika
Syanti Dewi teringat kepadanya dan mendatanginya, lalu menarik tangannya
diajak duduk bersama satu meja dengan keluarga raja, juga bersama Puteri Milana
dan Gak Bun Beng yang sudah diminta pula oleh Syanti Dewi, Ceng Ceng tidak
menolak dan berusaha menyelimuti kedukaan hatinya dengan senyum manis.
Ketika Raja mengumumkan pertunanqan Tek Hoat
yang masih mengaku she Ang itu dengan Puteri Syanti Dewi, semua orang
menyambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, juga Ceng Ceng segera
menghampiri kakak angkatnya, dipeluknya dan diciuminya Syanti Dewi sambil
mengucapkan selamat. Kedua orang wanita cantik ini mengusap air mata keharuan
dan Ceng Ceng lalu menghampiri Tek Hoat sambil menjura dan berkata, “Kionghi
(selamat), semoga engkau akan menjadi suami kakak angkatku yang baik.”
Tek Hoat tersenyum, menyatakan terima
kasihnya dan berkata, “Ceng Ceng, kita adalah saudara seayah, maka kita semua
ternyata bukanlah orang-orang lain, bukan? Harap kaumaafkan segala kesalahanku
yang lalu terhadapmu.”
Ceng Ceng tidak menjawab, hanya di dalam
hatinya dia masih mengkhawatirkan apakah kakak angkatnya akan bahagia kelak
menjadi isteri Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang yang licik dan curang,
dan jahat. Betapapun juga, dia tidak mengatakan apa-apa karena dia segera
teringat akan laki-laki yang tak pernah dapat dilupakannya, biarpun telah mati
itu. Topeng Setan atau Kok Cu itu, seperti juga Tek Hoat, baik atau jahatkah?
Kalau dia teringat akan Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya di dalam guha,
maka jelas bahwa pemuda itu amat jahat, bahkan merupakan orang yang telah
menghancurkan hidupnya, menghancurkan harapannya. Sebaliknya, kalau dia
teringat akan Topeng Setan, jelaslah bahwa orang itu amat baik, terlalu baik
malah, telah melimpahkan budi kebaikan kepadanya, telah mengorbankan lengannya,
bahkan beberapa kali hampir mengorbankan nyawa untuknya. Jadi baikkah orang
itu? Atau jahatkah?
Ceng Ceng termenung. Baik atau jahat ternyata
tergantung daripada penilaian kita sendiri, dan penilaian kita pun didasarkan
atas kepentingan diri pribadi. Buktinya, kalau dia mengingat Kok Cu yang telah
merugikan dia, maka otomatis dia menganggapnya jahat sekali. Dan kalau dia
mengingat Topeng Setan yang telah menguntungkan dia, maka otomatis dia
menganggapnya baik sekali. Padahal keduanya itu adalah orang yang sama! Tentu
demikian pula dengan Tek Hoat. Siapa pun orangnya yang merasa dirugikan oleh
Tek Hoat, tentu akan menganggapnya jahat, sebaliknya Syanti Dewi yang tentu
telah menerima budi kebaikan dari Tek Hoat seperti dia menerimanya dari Topeng
Setan, tentu saja menganggap Tek Hoat sebaik-baiknya manusia!
Ceng Ceng menghela napas panjang. Kenyataan
yang membuka matanya lahir batin ini membuat dia menjadi muak akan kepalsuan
manusia, akan kepalsuan dirinya sendiri. Setiap orang selalu menginginkan yang
menguntungkan dan menyenangkan bagi dirinya sendiri saja, dan menolak yang
merugikan atau tidak menyenangkan, maka timbullah suka dan tidak suka,
timbullah cinta dan benci, timbullah puas, dan kecewa dan kesemuanya itu tentu
saja mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan.
Syanti Dewi yang sedang tenggelam dalam
kegembiraan itu kini mulai memperhatikan Ceng Ceng. Biarpun adik angkatnya
itu kelihatan tersenyum-senyum dan ikut pula berpesta, namun wajahnya pucat dan
matanya muram, jelas kelihatan oleh Syanti Dewi betapa kegembiraan Ceng Ceng
hanyalah pura-pura belaka untuk menyembunyikan kedukaan yang amat besar.
Perang hebat terjadi di dalam batin Ceng Ceng.
Di satu pihak dia menderita pukulan batin yang membuatnya amat berduka teringat
kepada Topeng Setan, ditambah menyaksikan kemesraan antara Tek Hoat dan Syanti
Dewi, dan pada lahirnya dia memaksa diri untuk ikut bergembira. Arak yang manis
diminumnya terasa pahit, semua hidangan yang lezat terasa seperti racun di
lidahnya. Dia berusaha menahan-nahan diri, akan tetapi makin diingat makin
hebatlah tekanan yang menghimpit batinnya. Akhirnya dia mengeluh dan roboh
terguling dari tempat duduknya.
“Adik Candra....!” Syanti Dewi menjerit.
“Ceng Ceng, kau kenapa....?” Tek Hoat juga
berseru dan cepat pemuda ini melompat dan memondong tubuh Ceng Ceng yang
pingsan, dibawanya masuk bersama Syanti Dewi dan diikuti pula oleh Puteri
Milana dan Gak Bun Beng.
Puteri Milana
dan Gak Bun Beng cepat memeriksa keadaan Ceng Ceng, dan keduanya saling
pandang, lalu Puteri Milana berkata kepada Syanti Dewi, “Biarkan dia
beristirahat. Dia mengalami tekanan batin....” lalu dia bersama Bun Beng keluar
dari dalam kamar itu, diikuti pula oleh Tek Hoat yang membiarkan Syanti Dewi
sendiri menemani Ceng Ceng yang masih rebah pingsan.
Sri Baginda sendiri juga berkenan menengok,
dan Sri Baginda lalu bertanya kepada calon mantunya apa yang terjadi dengan
diri Ceng Ceng, adik angkat puterinya itu. Dengan halus Tek Hoat melaporkan
bahwa Ceng Ceng kelelahan dan perlu beristirahat. Sedangkan Milana sendiri
berkata lirih kepada Bun Beng, “Heran sekali apa yang menyebabkan dia begltu
tertekan batinnya?”
“Dan aku pun heran ke mana perginya Topeng
Setan yang dulu selalu menemaninya? Sayang Suhu tidak bercerita apa-apa
sehingga kita tidak tahu bagaimana Ceng Ceng sampai berpisah dari Topeng Setan
dan tahu-tahu datang bersama Suhu.”
Mereka menduga-duga, akan tetapi tidak dapat
mengerti apa sebabnya dara itu sampai menderita pukulan batin demikian
hebatnya, yang dapat mereka ketahui dari pemeriksaan mereka tadi. Untuk
menghormati perayaan kemenangan itu, Milana, Bun Beng, dan Tek Hoat sendiri
melanjutkan kehadiran mereka dalam perayaan sungguhpun hati mereka tidak dapat
melupakan keadaan Ceng Ceng. Hanya Syanti Dewi saja yang tidak muncul lagi
karena puteri ini menjaga sendiri adik angkatnya dengan hati gelisah.
Malam itu pesta dilanjutkan dengan meriah.
Beberapa kali secara bergantian, Tek Hoat, Milana, dan Bun Beng menengok
keadaan Ceng Ceng yang masih saja rebah seperti tidur pulas dalam keadaan
tidak sadar. Bun Beng menyalurkan tenaga sin-kang yang kuat dan halus untuk
membantu gadis dan memperkuat jantungnya, kemudian dia pun keluar sambil
memesan kepada Syanti Dewi bahwa apabila Ceng Ceng sadar, biarkan gadis itu
menangis sepuasnya karena keadaan Ceng Ceng itu hanya akan terbebas dari
bencana kalau gadis itu dapat menangis atau menyalurkan beban yang menekan
batinnya dengan menceritakan kepada orang lain yang dipercayanya. Syanti Dewi
mengangguk dengan air mata berlinang.
Dalam keadaan tidur atau setengah pingsan itu
Ceng Ceng mengigau, tubuhnya mulai panas. Syanti Dewi memperhatikan dengan
gelisah dan menjadi bingung melihat sikap Ceng Ceng dalam igauannya.
Kadang-kadang gadis itu memaki-maki nama “Kok Cu”, dan kadang-kadang dia
memanggil-manggil “Topeng Setan” dengan mesranya. Menjelang tengah malam, Ceng
Ceng membuka mata dan tiba-tiba meloncat bangun sambil menjerit, “Kau telah
mati....!” Akan tetapi karena tubuhnya lemah dan kepalanya pening, hampir saja
dia terguling kalau tidak cepat-cepat dirangkul oleh Syanti Dewi.
“Candra.... adikku.... ingatlah, aku
siapa....?” Syanti Dewi yang merangkul itu berbisik dengan suara parau dan air
matanya mengalir di kedua pipinya.
Sejenak sepasang mata Ceng Ceng yang muram itu
menatap wajah Syanti Dewi seperti yang tidak mengenalnya, tatapan pandang mata
yang kosong seolah-olah di balik sinar mata muram itu tidak ada semangatnya lagi.
Syanti Dewi merasa seperti ditusuk jantungnya melihat tatapan pandang mata
ini.
“Candra Dewi.... adikku.... kau.... kau
kenapa....?” Dia merangkul lagi, menciumi pipi yang pucat seperti mayat itu.
Akhirnya Ceng Ceng sadar. “Enci Syanti....!”
Dia merintih dan menangislah Ceng Ceng dalam pelukan Syanti Dewi, menangis
sesenggukan akhirnya mengguguk dan air matanya mengalir seperti air bah
membobol bendungannya. Syanti Dewi juga menangis, akan tetapi menangis dengan
hati lega karena dia teringat akan pesan Bun Beng bahwa tangis akan membebaskan
Ceng Ceng dari ancaman bahaya. Maka dia merangkul dan membiarkan Ceng Ceng
menangis sepuasnya. Setelah agak reda tangis adik angkatnya itu, dia lalu
mengambil saputangannya dan menyusuti air mata Ceng Ceng dari pipinya,
menyusuti muka yang pucat itu.
“Adikku.... adikku yang baik, kenapa kau
begini berduka? Ceritakanlah kepada encimu ini dan aku bersumpah demi langit
dan bumi, aku akan membantumu dengan seluruh kekuasaanku untuk melenyapkan
ganjalan hatimu, Candra.”
“Ohh, Enci Syanti....” Ceng Ceng kembali
menyembunyikan mukanya di pundak puteri itu. Bagaimana dia akan dapat
menceritakan persoalannya itu kepada orang lain?
“Ceritakanlah, Adikku....”
Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya
menggelengkan kepala tanpa menghentikan tangisnya.
“Aihh, Candra. Kaukira aku ini siapa? Aku
adalah kakakmu, tahukah kau? Lupakah engkau betapa kita bersama-sama
meninggalkan Bhutan dan mengalami segala macam peristiwa hebat? Dan sekarang
setelah kita bersama dapat pulang dan berkumpul lagi di sini, engkau menjadi
begini. Lebih hebat lagi, agaknya engkau sudah tidak percaya lagi kepada
kakakmu ini....”
“Enci Syanti....! Jangan kau berkata
begitu.... jangan....” Ceng Ceng terisak, suaranya seperti orang merintih.
“Kalau begitu, kauceritakanlah semua
kedukaanmu itu kepadaku. Kita ini selain saudara angkat, juga senasib
sependeritaan, kalau engkau bahagia, aku pun ikut gembira, kalau engkau
sengsara, aku pun ikut berduka. Bagaimana mungkin aku akan dapat menikmati
kebahagiaanku sekarang ini kalau melihat engkau sengsara, Adikku?”
Ceng Ceng memejamkan matanya. Memang tidak
salah ucapan kakak angkatnya ini. Dahulu dia mempunyai kakeknya akan tetapi
kini sudah tidak ada. Kemudian di dunia ini ada Topeng Setan yang dianggapnya
satu-satunya orang yang paling baik dan dekat dengannya. Topeng Setan pun sudah
tidak ada. Dan Syanti Dewi yang tadinya sudah terpisah dari dia dan disangkanya
sudah tewas atau tertawan musuh, kini sudah kembali dan berkumpul dengan dia.
Memang satu-satunya orang yang paling dekat dengan dia hanya Puteri Bhutan
inilah.
Dia menarik napas panjang dan melepaskan
rangkulannya. “Baiklah, Enci Syanti. Mari kita duduk dan dengariah ceritaku.”
Dua orang wanita muda yang cantik jelita itu
duduk di atas pembaringan, saling berhadapan dan mulailah Ceng Ceng bercerita.
Dia ingin menyingkat ceritanya yang amat panjang itu, hanya mengemukakan
hal-hal yang membuat dia merana dan sengsara seperti yang diderita sekarang
ini.
“Ketika kita saling terpisah karena perahu
terguling....” Ceng Ceng berhenti karena teringat betapa peristiwa itu terjadi
gara-gara Tek Hoat yang kini menjadi calon suami puteri itu!
Syanti Dewi agaknya dapat meraba perasaan hati
adik angkatnya, maka dia tersenyum dan berbisik, “Lanjutkanlah....”
“Aku berjumpa dengan seorang pemuda yang
tertawan musuh-musuhnya dan berada dalam sebuah kerangkeng. Karena kasihan
kepadanya, aku melarikan dia dengan kerangkengnya, membawanya ke sebuah guha
dan di situ aku membuka kerangkeng dan membebaskannya....” Ceng Ceng berhenti
lagi. Seperti tampak di depan matanya semua peristiwa itu, betapa pemuda itu
dengan berkeras minta agar supaya dia tidak membebaskannya! Agaknya pemuda
itu tahu bahwa dia keracunan dan akan terjadi hal yang hebat kalau sampai dia
dibebaskan dari dalam kerangkeng!
“Lalu bagaimana, Adikku?” Syanti Dewi mulai
tertarik oleh cerita yang dipersingkat ini.
“Setelah aku membebaskan dia.... lalu dia
itu.... dia lihai sekali, dia merobohkan aku dengan totokan....”
“Ahhh....!”
“Kemudian.... kemudian.... dia
memperkosaku....!” Ceng Ceng menutupi mukanya dengan kedua tangannya
seolah-olah tidak ingin melihat peristiwa yang kembali membayang di depan
matanya.
“Ehhh....!” Syanti Dewi terbelalak, otomatis
pandang matanya menjelahi tubuh adiknya kemudian dia bangkit berdiri di depan
pembaringan, kedua tangannya dikepal dan sepasang matanya bernyala-nyala.
“Dia.... dia memperkosamu? Adikku, katakan siapa jahanam itu! Aku akan menyuruh
Tek Hoat mencarinya sampai dapat dan aku tidak akan mau menikah dengan dia
sebelum dia dapat menyeret jahanam itu di depan kakimu! Aku juga akan mohon
bantuan Paman Gak Bun Beng! Hayo katakan, siapa jahanam itu!”
Ceng Ceng menurunkan kedua tangannya,
memandang puteri yang marah-marah itu dengan muka pucat, kemudian dia memegang
kedua tangan puteri itu dengan perasaan berterima kasih sekali. “Enci Syanti,
ceritaku belum habis....”
Syanti Dewi duduk kembali di atas pembaringan.
“Apakah bukan peristiwa terkutuk itu yang membuatmu berduka? Kalau karena sakit
hati itu, biar aku akan mengerahkan segala kemampuanku untuk membantumu
membekuk jahanam itu!”
Ceng Ceng menggeleng kepalanya dengan lemas,
pandang matanya muram dan sayu, lalu dia berkata, “Aku akan melanjutkan,
dengarlah, Enci Syanti. Seperti dapat kaumaklumi, aku menaruh dendam kepada
orang itu dan selama ini tiada hentinya aku mencari-cari dia untuk membalas
sakit hatiku. Dalam perantauanku ini, aku bertemu dengan seorang lain, yaitu
Topeng Setan.”
“Hemm, aku sudah mendengar tentang dia, yang
kabarnya selalu membantumu dan merupakan seorang manusia ajaib dan lihai sekali
yang bersembunyi di balik topengnya.”
“Benar. Dia adalah seorang manusia yang amat
baik kepadaku, Enci, telah berulang kali menyelamatkan nyawaku, bahkan dia....
dia.... telah berkorban dengan lengan kirinya menjadi buntung ketika
menolongku. Aku berhutang nyawa kepadanya, berhutang budi dan sudah sepatutnya
kalau dia kuanggap sebagai manusia yang paling mulia di dunia ini....”
“Tentu saja! Aku pun tadinya mengalami hal
seperti engkau itu dan aku sampai kini selalu menganggap Paman Gak Bun Beng
sebagai seorang manusia yang paling mulia di dunia ini, tentu saja sesudah
orang tuaku dan.... Tek Hoat.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk. “Dan kemudian....
belum lama ini...., aku mendapat kenyataan yang menghancurkan seluruh
perasaanku, yang membuat aku hampir gila, sebuah kenyataan yang amat hebat,
Enci Syanti....” dan Ceng Ceng tak dapat menahan air matanya lagi.
Syanti Dewi memegang kedua tangan adik
angkatnya. “Kenyataan apakah, Candra? Cepat kau beritahukan kepadaku.”
“Kenyataan bahwa Topeng Setan, orang yang
paling kumuliakan dan karenanya paling kucinta.... ketika topengnya
terbuka.... ternyata dia.... dia.... adalah.... pemuda yang memperkosa aku
dahulu....”
“Aihhhh....!” Syanti Dewi setengah menjerit
dan kembali dia meloncat berdiri, mukanya menjadi pucat dan pandang matanya
penuh rasa iba, lalu mulutnya komat-kamit seperti berdoa akan tetapi terdengar
bisiknya. “....jadi kau.... membenci dan sekaligus mencinta orang yang
sama....? Dan dia itu.... musuhmu dan sekaligus sahabatmu, pemerkosamu dan
sekaligus penolongmu....? Aihhh, bagaimana ini....?”
Seperti dalam mimpi, suaranya lirih dan datar,
terdengar Ceng Ceng berkata membela, “Akan tetapi.... ketika dia
memperkosaku.... dia dalam keadaan tidak sadar karena keracunan.... dan dia
sudah berusaha mencegah aku membuka kerangkengnya....”
Mendengar ini, Syanti Dewi mengangguk-angguk,
kemudian merangkul adik angkatnya itu dan berkata dengan suara serius, “Dengar
baik-baik, Candra. Sekarang jawablah aku. Engkau sekarang ini, setelah semua
itu terjadi, setelah semua itu lewat dan lupakan semua itu, sekarang jawablah,
apakah engkau sekarang ini membencinya ataukah mencintanya?”
Ceng Ceng tertunduk lesu dan sampai lama tidak
menjawab.
Syanti Dewi mencium kedua pipinya. “Sadarlah,
Adikku. Tak perlu membiarkan diri tenggelam ke dalam peristiwa yang lalu.
Katakanlah kepadaku. Bencikah kau kepadanya? Ataukah engkau cinta kepadanya?”
Ceng Ceng menggeleng kepada. “Entahlah, Enci
Syanti. Aku tidak tahu. Dia demikian baik kepadaku, mungkin tanpa dia aku sudah
mati, tak mungkin lagi bertemu denganmu. Dia mengorbankan segalanya untukku,
bahkan lengannya putus sebelah karena aku.... akan tetapi.... dia.... dia yang
memperkosaku.”
Syanti Dewi memandang Ceng Ceng sambil
tersenyum. Sampai lama dia menatap wajah yang menunduk itu, kemudian dia
memegang kedua pundak adik angkatnya, lalu memegang dagu yang meruncing itu
dan tersenyum lebarlah Puteri Bhutan itu. “Adikku yang manis, kau cantik
sekali! Tahukah kau apa yang tampak olehku? Jelas terbayang di wajahmu,
Adikku, dan aku tidak akan salah lihat bahwa engkau cinta kepadanya.”
“Ehhh....?” Ceng Ceng terkejut sekali dan
memandang tajam kepada kakak angkatnya itu, akan tetapi dia menundukkan
mukanya lagi dan wajahnya makin muram.
“Candra.... adikku yang cantik, mengapa kau
khawatir? Engkau terlalu memandang rendah kepada kakakmu ini. Apa kaukira aku
akan diam saja setelah melihat kenyataan bahwa engkau mencinta pria itu?
Jangan kau khawatir, biar kusuruh sekarang juga Tek Hoat, agar dia mencari dia
sampai ketemu.”
Ceng Ceng menghela napas panjang, terdengar
dia mengeluh. “Aihh, Enci Syanti, sia-sia saja segala perhatianmu kepadaku,
karena dia...., dia sudah mati....” Dan air mata mengalir turun lagi dari kedua
mata Ceng Ceng.
“Heiiii....?” Kini Syanti Dewi yang memandang
dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat. Kemudian dia menubruk, merangkul
Ceng Ceng dan kini puteri itulah yang menangis tersedu-sedu. Dan anehnya,
melihat kakak angkatnya menangis begitu sedih, Ceng Ceng merasa terhibur
hatinya, atau setidaknya dia melupakan kesedihannya sendiri, bahkan kini dia
yang berusaha menghibur Syanti Dewi!
“Sudahlah, Enci Syanti, sudahlah...., ditangisi
pun sia-sia....!”
Memang aneh sekali, akan tetapi telah menjadi
kenyataan bahwa kedukaan seseorang akan berkurang, menjadi ringan, atau
setidaknya terhibur melihat kedukaan orang lain! Kenyataan ini pahit sekali,
membayangkan dengan jelas bahwa kedukaan timbul dari rasa iba kepada diri
sendiri, maka rasa iba itu menjadi berkurang kalau melihat orang lain juga
menderita, apalagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar daripada
penderitaannya sendiri. Rasa iba diri ini adalah penonjolan daripada si aku
yang selalu ingin menguasai batin manusia maka terjadilah kesengsaraan dan
kedukaan yang memenuhi kehidupan kita. Perlu sekali untuk disadari benar-benar
bahwa kesengsaraan dan kedukaan bersumber kepada pikiran kita sendiri, yang
membentuk si aku, karena pikiran kita sendirilah yang menimbulkan
pertentangan-pertentangan di dalam batin dengan selalu menginginkan hal-hal
lain daripada kenyataannya yang ada, selalu menginginkan yang dianggapnya
menyenangkan sehingga apa yang ada, yaitu kenyataan setiap saat yang
dihadapinya, selalu tidak diamatinya benar-benar dan dianggapnya tidak
menyenangkan. Semua ini adalah permainan pikiran kita sendiri setiap saat dan
demikianlah pikiran kita menguasai kehidupan kita setiap hari! Mata kita baru
akan terbuka, keindahan setiap saat yang terkandung dalam setiap peristiwa baru
akan tampak apabila pikiran atau si aku tidak mencampurinya! Cinta kasih yang
murni dan suci, terhadap apapun juga, baru ada apabila pikiran atau si aku
tidak memegang kendali!
“Adik Candra...., betapa hebat penderitaanmu.
Sungguh aku berdosa besar kepadamu, Adikku, aku bergembira, berbahagia,
bersenang-senang tanpa memikirkan bahwa engkau sesungguhnya sedang menderita
kedukaan hebat....”
“Sudahlah, Enci Syanti. Engkau tidak bersalah
apa-apa. Engkau tidak mengetahuinya dan tidak perlu pula Enci berduka karena
keadaanku. Lanjutkanlah kegembiraanmu, Enci, engkau berhak untuk hidup
berbahagia. Setidaknya, mengingat bahwa engkau akan berjodoh dengan seorang
yang masih seayah denganku, membuat aku bersukur. Aku sendiri.... ah, hidup
tidak ada artinya lagi, aku.... aku bermaksud.... akan pergi lagi dari sini
besok....”
“Ehhh.... ke mana....?”
“Entahlah. Mungkin kembali ke bekas tempat
tinggal Kakek, atau.... entah ke mana aku sendiri belum bisa memastikan....”
“Jangan, Candra....! Setidaknya, kau
tinggallah di sini sampai hari pernikahanku.”
Ceng Ceng menggeleng kepalanya dan menghapus
sisa air matanya. “Tidak, Enci. Kehadiranku yang penuh kepahitan hanya akan
mengganggu kebahagiaanmu saja. Aku sudah mengambil keputusan untuk pergi besok,
pagi-pagi dari sini. Kau tidak boleh dan tidak bisa menahanku, Enci
Syanti....”
“Candra....!” Syanti Dewi merangkul dan
kembali kedua orang kakak beradik yang dipermainkan nasib sehingga keadaan
mereka kini seperti bumi dan langlt itu saling bertangis-tangisan.
Malam itu juga Syanti Dewi pergi menemui Tek
Hoat yang dimintanya agar sebagai saudara seayah, suka membujuk Ceng Ceng. Tek
Hoat terkejut sekali ketika mendengar semua penuturan kekasihnya itu tentang
Ceng Ceng dan Topeng Setan. Tak pernah disangka seujung rambut pun bahwa
Topeng Setan adalah musuh besar yang selalu dicari-cari Ceng Ceng itu, dan baru
sekarang dia tahu bahwa adiknya seayah itu, adik tirinya, telah menjadi korban
perkosaan Topeng Setan sendiri yang kini kabarnya telah tewas! Tergopoh-gopoh
dia menemui Ceng Ceng di kamar gadis itu.
“Kau tidak boleh pergi....!” begitu memasuki
kamar itu Tek Hoat berseru.
Ceng Ceng yang tadi duduk termenung itu, kini
meloncat bangun. Mukanya yang tadinya pucat menjadi agak merah karena perasaan
marah menyelinap dalam hatinya. Dia berdiri menentang wajah pemuda itu dan
menjawab dengan ketus, “Ada hak apa engkau melarang aku pergi?”
“Ada hak apa? Hemm, lupakah kau bahwa aku ini
kakakmu, bahwa kita ini seayah? Kau tidak boleh pergi dalam keadaan begini!”
“Dalam keadaan bagaimana?”
“Kau mengalami kedukaan, kau bisa jatuh sakit
di jalan. Dan sudah menjadi kewajibanku sebagai saudara untuk menjaga dan
melindungimu, aku akan berusaha untuk menggembirakan hatimu, menghiburmu....”
“Dengan sikapmu yang keras dan selalu
memusuhiku itu? Hemm, Tek Hoat, agaknya engkau mengandalkan kepandaianmu dan
mengandalkan kedudukanmu sekarang, maka kau hendak memaksaku. Kaukira aku mau
tunduk begitu saja? Kau boleh bunuh aku sekarang juga, aku tetap hendak pergi
besok pagi. Ingin kulihat kau bisa berbuat apa!” Ceng Ceng menantang, berdiri
dengan kedua tangan dikepal.
“Kau.... kau keras kepala!” Tek Hoat menegur,
kedua tangannya juga dikepal. Mereka berhadapan seperti dua orang musuh
bebuyutan (musuh besar turun-temurun) yang hendak mengadu nyawa. Akhirnya
setelah beberapa lama mereka saling pandang dengan sinar mata berapi, Tek Hoat
menurunkan kembali tangannya dan menarik napas panjang. Kemudian dia berkata
lirih setelah menghela napas lagi.
“Ceng Ceng, engkau tidak tahu.... biarlah
selagi masih ada kesempatan aku akan mengaku semuanya kepadamu. Semenjak kita
saling berjumpa dahulu, ketika aku menolongmu dari air sungai, timbul rasa
suka yang aneh dan mendalam di dalam hatiku terhadap dirimu. Coba
kauingat-ingat, kalau tidak begitu, mana mungkin aku membiarkan engkau
menguasai aku hanya dengan sumpah dan saputangan, bahkan aku rela pula
menghambakan diri menjadi pembantumu ketika kau diangkat menjadi bengcu!
Andaikata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi yang lebih dulu telah menjatuhkan
hatiku, yang telah kucinta sejak pertemuan pertama, agaknya.... aku tidak akan
ragu lagi bahwa aku tentu akan jatuh cinta kepadamu. Sejak dahulu ada getaran perasaan
yang mengikat hatiku kepadamu, tidak tahu bahwa sesungguhnya engkau masih
sedarah dengan aku. Engkau adikku.... di dunia ini hanya ada seorang adik
bagiku....”
“Hemm, kakak macam apa engkau ini yang selalu
bersikap keras kepadaku.” Akan tetapi suara teguran Ceng Ceng itu mengandung
getaran keharuan karena memang dia terharu sekali mendengar pengakuan Tek Hoat
itu. Teringat dia betapa dahulupun hampir saja dia jatuh cinta kepada pemuda
ini dan di sudut hatinya memang selalu ada rasa suka terhadap Tek Hoat seperti
yang diakui pula oleh pemuda itu. Ternyata pertalian darah itulah yang
menimbulkan getaran itu.
“Memang, kita sama-sama keras kepala, Adikku.
Agaknya inilah yang diwariskan oleh mendiang ayah kita yang kabarnya amat
jahat itu. Kita berdua adalah keturunan orang yang jahat.... akan tetapi hanya
aku yang mewarisi kejahatannya, sedangkan engkau adalah seorang gadis yang
gagah perkasa dan berbudi mulia. Akan tetapi kenapa justeru engkau yang
menderita kesengsaraan sedangkan aku berenang dalam kebahagiaan? Tidak! Engkau
tidak boleh menderita kalau aku berbahagia. Adikku, Ceng Ceng.... aku minta,
aku mohon kepadamu, jangan kau pergi, Adikku....” Terdorong oleh rasa harunya,
Tek Hoat pemuda yang berhati baja itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan
kaki Ceng Ceng!
“Tek Hoat....” Ceng Ceng juga berlutut dan
seperti digerakkan oleh tenaga gaib, kedua orang saudara tiri seayah ini saling
rangkul dan untuk beberapa lamanya Ceng Ceng menangis di atas dada saudaranya.
Akan tetapi kekerasan hatinya timbul pula dan
dia lalu bangkit berdiri, menyusut air matanya. “Tek Hoat, aku pun tidak
pernah dapat membencimu. Terima kasih atas kebaikanmu kepadaku. Akan tetapi
engkau tentu tahu, dalam keadaan seperti sekarang ini, aku membutuhkan
ketenangan dan keheningan, aku harus pergi menyendiri, entah ke mana.
Percayalah, kalau aku tidak mati, dan kalau luka di hati ini sudah tidak parah
lagi, engkaulah satu-satunya orang yang akan kucari sebagai keluargaku.”Tek
Hoat menghela napas panjang dan juga bangkit berdiri. Dia telah mengenal
bagaimana sifat Ceng Ceng yang amat keras. Seperti baja yang tak dapat ditekuk
lagi. “Kalau begitu, aku hanya dapat ikut prihatin
dan akan selalu mendoakan, Adikku.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali Ceng Ceng berangkat pergi sebelum ada yang bangun dari tidurnya. Tentu
saja dengan mudah dara ini keluar dari istana, juga dengan mudah keluar dari
pintu gerbang sebelah timur karena para perajurit yang menjaga semua mengenal
adik angkat Puteri Bhutan ini. Dengan muka pucat dan pandang mata kosong Ceng
Ceng keluar dari pintu gerbang tanpa menengok lagi, langsung saja dia
melanjutkan perjalanan dengan langkah-langkah perlahanmaju ke depan tanpa
tujuan karena pikirannya kosong dan semangatnya seperti telah terbang
meninggalkan tubuhnya.
Belum jauh dia meninggalkan pintu gerbang
timur, tiba-tiba ada suara memanggilnya, “Sumoi....!”
Ceng Ceng menghentikan langkahnya dan berdiri
lesu tanpa menoleh karena dia mengenal suara itu, suara Panglima Jayin, yang juga
merupakan suhengnya karena panglima ini pernah berguru kepada kakeknya.
Ketika Jayin tiba di depannya, Ceng Ceng
berkata lesu, “Suheng, harap kau jangan ikut-ikut menahanku karena sudah bulat
tekadku untuk pergi dan tak seorang pun boleh menahanku.”
“Sumoi, aku sama sekali tidak akan menahan dan
mencampuri urusan pribadimu. Aku menyusulmu karena aku diutus oleh Sang Puteri
Syanti Dewi. Beliau mengutus aku mengejarmu dan memanggilmu kembali karena
tadi malam ada seorang tamu yang datang ke istana mencarimu. Akan tetapi karena
hari telah malam, terpaksa kusuruh tamu itu bermalam di gedung tamu dan
menunggu sampai pagi. Baru pagi tadi aku menghadap Sang Puteri untuk
menyampaikan permintaan tamu yang hendak menjumpaimu itu. Akan tetapi
pagi-pagi sekali engkau sudah pergi, maka Sang Puteri mengutus aku untuk
menyusul dan memanggilmu kembali ke Istana.”
“Suheng, aku tidak ingin bertemu dengan
siapapun juga. Engkau kembalilah dan katakan kepada Enci Syanti Dewi bahwa aku
tidak mau menemui siapa pun.”
“Akan tetapi, Sumoi.... engkau tidak tahu
siapa tamu itu!” Suara panglima ini tergetar karena dia pun sudah mendengar
akan keadaan sumoinya itu dari Puteri Syanti Dewi. “Dia telah datang menyusul
bersamaku. Inilah dia orangnya!”
Akan tetapi Ceng Ceng tidak mempedulikan
kata-kata ini dan dia terus melanjutkan langkahnya. Siapa pun orangnya yang
datang mencarinya, dia tidak ingin melihat dan menemuinya. Tanpa menoleh
sedikit pun, Ceng Ceng melangkah terus, sama sekali tidak mempedulikan.
Baru beberapa langkah dia ber jalan, tiba-tiba
terdengar suara, “....bengcu....!”
Ceng Ceng berhenti seperti disambar petir dan
dia berdiri tegak, mukanya pucat, kedua kakinya menggigil dan dia tidak percaya
akan pendengarannya sendiri. Dia tidak berani menoleh, karena tentu
pendengarannya yang menipunya dan kalau dia menoleh, dia akan kecewa. Tak
mungkin! Tapi suara yang didengarnya tadi amat dikenalnya, terlalu dikenalnya
malah, karena suara itu adalah suara Topeng Setan!
“Bengcu....!” Suara itu memanggil lagi, kini
terdengar tergetar.
Untuk kedua kalinya Ceng Ceng tersentak
kaget. Dia menoleh dan.... “Ouhhhhhh....!” dia menutupi mulut dengan punggung
tangan kiri, menahan jeritnya. Betapa kagetnya ketika dia melihat laki-laki
yang berlutut di depannya itu, laki-laki yang melihat pakaian dan lengan
kirinya, jelas adalah Topeng Setan, akan tetapi melihat wajahnya yang tidak
tertutup topeng itu, wajah yang tampan dan gagah sekali sungguhpun pada saat
itu kelihatan pucat dan dicekam perasaan khawatir, adalah wajah Kok Cu, pemuda
yang telah memperkosanya.
“Kau....? Kau....?” Hati Ceng Ceng menjerit,
akan tetapi bibirnya hanya bergerak-gerak dan mulutnya terbuka tanpa ada suara
yang keluar, kemudian terdorong oleh kedua kakinya yang tiba-tiba menjadi
lemas seperti lumpuh dan kekejutan yang meremas hatinya, Ceng Ceng menjatuhkan
diri berlutut dan menubruk orang itu sambil merintih dan menangis.
“Kau.... kau.... masih hidup...., ohhh, kau
masih hidup....?” berulang-ulang dia berbisik seperti dalam mimpi ketika dia
mendekapkan mukanya di atas dada yang bidang itu.
“Suhu menolong dan menyembuhkan aku....” bisik
Topeng Setan atau Kok Cu itu.
“....ahhh.... hu-hu-huukk.... aku.... aku
girang sekali.... aku.... aku cinta padamu, Pam....” Ceng Ceng tiba-tiba menghentikan
kata-katanya, tidak melanjutkan sebutan “paman” tadi karena dia segera
teringat dan cepat dia mengangkat mukanya. Begitu melihat wajah tampan itu,
dia berseru, “Ohhhh....!” dan merenggutkan tubuhnya menjauh.
Sementara itu, begitu Ceng Ceng tadi merangkul
“tamu” itu, Panglima Jayin sudah melangkah pergi dan memberi isyarat kepada
para penjaga untuk pergi menjauh, memasuki pintu gerbang dan membiarkan kedua
orang itu bicara dengan leluasa. Senyum penuh rasa syukur membayang di wajah
panglima gagah itu.
“Aku bukan Topeng Setan lagi....” Pemuda itu
berkata. “Aku adalah Kao Kok Cu, aku adalah si pemuda laknat dan aku datang
untuk menerima hukuman, Ceng Ceng. Semenjak peristiwa terkutuk yang terjadi di
guha, aku selalu dikejar oleh dosa dan penyesalan. Apalagi ketika aku mendengar
bahwa engkau adalah penyelamat nyawa Ayah, aku makin menyesal, maka untuk
menebus dosa dan untuk membalas budimu terhadap Ayah, aku lalu menjadi Topeng
Setan yang selalu melindungi dan membelamu. Sekarang, rahasiaku telah
kauketahui, maka aku datang untuk menerima hukuman. Kalau kau hendak
membunuhku, lakukanlah, aku tidak akan menyesal mati di tanganmu, Ceng Ceng,
karena aku akan mati di tangan seorang yang paling kucinta di dunia ini, yang
paling kuhormati, kukagumi dan kujunjung tinggi.”
Ceng Ceng yang masih meinggigil seluruh
tubuhnya itu, mengeluh dan dia kembali menubruk, merangkul karena memang
perasaan bahagia melihat “Topeng Setan” masih hidup mengusir semua perasaan
lain. “Paman.... Paman.... melihat engkau masih hidup, aku.... ah, betapa
bahagia rasa hatiku.” Dia berkata dan kembali dia lupa akan wajah tampan itu,
merasa bahwa dia berada dalam pelukan Topeng Setan. “Melihat engkau mati, baru
aku tahu bahwa aku cinta padamu, Paman, dan aku tidak ingin lagi terpisah
darimu....”
“Ceng Ceng, jangan menyebutku Paman....
engkau isteriku sayang.... engkau sudah kuanggap isteriku semenjak aku
mengenakan topeng.... betapa bahagia hatiku mendapat pengakuan cintamu....”
Ceng Ceng merangkul dan menatap wajah itu, wajah
tanpa topeng yang ternyata amat tampan gagah. Wajah yang semenjak peristiwa di
guha itu tak pernah dapat dilupakannya! Kok Cu yang melihat wajah jelita basah
air mata itu, tergerak hatinya, penuh keharuan, penuh iba dan penuh kemesraan
cinta, maka dia menunduk dan di lain saat dia sudah mencium mulut yang setengah
terbuka itu, menciumnya dengan seluruh perasaan kasih sayang yang terluap dari
lubuk hatinya, melalui bibirnya.
Sejenak Ceng Ceng terlena dan memejamkan
mata, otomatis perasaan bahagia dan kasih sayang dari hatinya membuat kedua
lengannya melingkari leher pemuda itu dan bibirnya pun bergerak menyambut. Akan
tetapi tiba-tiba terbayang peristiwa di dalam guha. Mulutnya yang melekat
pada mulut Kok Cu meronta, matanya terbelalak dan dia merenggutkan dirinya. Kok
Cu memandangnya dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.
“Plak! Plakk!” Dua kali kedua tangan Ceng Ceng
bergerak dan nampaklah garis-garis merah di kedua pipi Kok Cu yang pucat.
Pemuda itu tersenyum. “Terima kasih dan pukulan-pukulanmu
baik sekali, merupakan obat yang akan menyembuhkan penyesalanku. Kaupukullah
lagi, Ceng Ceng. Sudah kukatakan bahwa aku siap menebusnya dengan kematian
sekalipun....”
“Ouhhh.... tidak.... tidak....!” Ceng Ceng
kembali merangkul, kini dia memandangi wajah yang tampan itu dan jari-jari
kedua tangannya mengelus dan membelai bekas tamparannya di kedua pipi pemuda
itu. “Tidak.... kau.... kau adalah orang satu-satunya di dunia ini yang
kucinta.... kau adalah Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadaku....”
“Akan tetapi aku juga pemuda laknat yang telah
memperkosamu, Ceng Ceng.”
“Tidak.... tidak....! Ketika itu, engkau dalam
pengaruh racun.... peristiwa itu adalah kesalahanku sendiri, engkau sudah
berusaha mencegah aku membebasanmu dari kerangkeng.... dan engkau sudah
berusaha sekuat tenaga mencegah, akan tetapi racun itu lebih kuat.... tidak,
engkau tidak bersalah....”
Wajah yang tampan gagah itu berseri. Tiba-tiba
Kok Cu berdiri dan dengan satu tangannya yang luar biasa kuatnya itu, sekali
angkat dia sudah mengangkat Ceng Ceng sehingga gadis ini berdiri pula. Wajah
yang tampan itu menjadi kemerahan, matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan.
“Kalau begitu.... kau mengampuni
aku....?”
“Tidak ada ampun karena kau tidak bersalah.”
“Aku berdosa dan aku mengharapkan ampunmu,
Ceng Ceng.”
“Kalau begitu, aku mengampunimu, Pam.... eh,
Koko (Kakanda)....”
“Dan kau tidak membenci lagi kepada Kok Cu?”
Sambil merangkul leher pemuda itu, dan matanya
masih mengalirkan air mata, Ceng Ceng tersenyum dan menggeleng kepala.
“Sebaliknya malah, aku mencinta orang yang bernama Kok Cu.”
“Moi-moi....!”
“Koko....!”
Kembali mereka berdekapan dan sekali ini
ketika Kok Cu mencium Ceng Ceng, dara itu menyambut dan membalasnya dengan
penuh kemesraan. Dekapan dan ciuman itu seolah-olah menjadi tempat pencurahan
seluruh perasaan mereka, rasa cinta, rasa rindu, dan semua kebahagiaan yang
terasa di hati masing-masing sehingga mereka seolah-olah tidak ingin saling
melepaskan lagi.
“Ceng Ceng, Moi-moi.... betapa bahagia
hatiku.... ketahuilah, aku datang bersama Ayah, selain menyusulmu, juga Ayah
membawa tugas dari Kaisar untuk menyampaikan selamat kepada Kerajaan Bhutan,
juga untuk menyatakan keampunan Kaisar terhadap Puteri Milana. Selain itu.... juga
Ayah akan meminangmu secara resmi.... marilah, sayang, mari kita kembali ke
istana Bhutan....”
Tiba-tiba Ceng Ceng melepaskan dirinya dari
rangkulan lengan kanan kekasihnya, dan sambil tersenyum di antara air matanya,
dengan kedua pipi merah, dia menggeleng. “Tidak.... aku tidak mau kembali....”
Dan dia pun membalikkan tubuhnya dan lari.
“Eh, Ceng Ceng....!” Kok Cu mengejar dan kalau
saja dia mau tentu dengan mudah dia dapat menyusul larinya gadis itu. Akan
tetapi melihat kekasihnya itu lari sambil tersenyum, dia sengaja mengejar dari
belakang dan berteriak, “Kenapa kau tidak mau?”
“Aku malu....!” Ceng Ceng berlari terus,
memasuki sebuah hutan kecil.
Akhirnya, Ceng Ceng memperlambat larinya dan
membiarkan dirinya disusul, ditangkap dan dipeluk di bawah sebatang pohon
besar. Dia menyerah dan menyambut ketika pemuda itu kembali menciuminya
sampai keduanya gelagapan kehabisan napas. Akhirnya mereka duduk di bawah
pohon, di atas rumput tebal dan hijau.
“Ceng-moi, kenapa kau malu?”
“Aku tidak ingin kembali ke sana, tidak
ingin.... sementara ini menemui orang-orang lain, aku khawatir kebahagiaanku
akan terganggu. Aku ingin berdua saja denganmu, Koko, kalau bisa, berdua saja
di dunia ini, tidak akan saling terpisah lagi.... Koko, ah, Koko.... aku masih
belum percaya.... apakah aku tidak sedang mimpi....?”
“Ceng-moi, kau kekasihku, kau pujaan hatiku,
kau isteriku.... apakah ini mimpi?” Dia mencium dan menggigit leher Ceng Ceng
sampai dara itu terpekik halus. “Aku sendiri pun hampir tidak percaya bahwa
engkau dapat mengampuni aku, apalagi mencintaku! Aku selalu merasa ngeri untuk
menghadapi pertemuan ini.... tidak ada kengerian yang lebih hebat daripada
melihat engkau membenci aku.... bayangkan saja betapa sengsara hatiku sebagai
Topeng Setan ketika engkau menyatakan betapa hebatnya kebencianmu kepada Kok
Cu....”
Sambil menyandarkan kepalanya di atas dada
yang bidang itu, dan memainkan jari-jari tangan kanan Kok Cu yang dia tarik ke
atas dadanya, Ceng Ceng berkata, suaranya manja. “Siapa sih yang membenci Kok
Cu? Aku membencinya karena dia.... menghilang saja setelah peristiwa itu....!
Aku benci karena dia tidak muncul lagi, padahal dia kuharap-harapkan....
padahal hatiku sudah jatuh cinta begitu aku melihat dia di dalam kerangkeng
itu....!”
“Tapi kau.... kau mencinta Topeng Setan!” Kok
Cu menggoda.
Ceng Ceng menarik lengan baju kiri yang kosong
itu dan mencium lengan baju itu. “Mengapa tidak? Topeng Setan telah mengobankan
lengannya, bahkan beberapa kali hampir berkorban nyawa untukku. Aku mencinta
Topeng Setan karena budinya, tanpa mempedulikan bagaimana macamnya wajah di
balik topeng, tanpa mempedulikan usianya, akan tetapi aku mencinta Kok Cu
karena pribadinya, karena tatapan sinar matanya, karena.... karena memang aku
cinta dan sebabnya aku tidak tahu!”
“Hemm...., kalau begitu engkau mencinta dua
orang! Hayo, katakan, siapa yang lebih kaucinta, Kok Cu atau Topeng Setan?”
pemuda itu menuntut, pura-pura cemberut.
Ceng Ceng membalikkan tubuhnya, tertawa geli.
“Kau cemburu? Hi-hik, lucunya! Kau cemburu kepada siapa?”
Dengan muka dibuat seperti marah Kok Cu
berkata, “Tentu saja kepada Topeng Setan! Hayo katakan, kau lebih mencinta Kok
Cu atau Topeng Setan?”
“Ya ampun.... tentu saja aku lebih mencinta
Kok Cu!”
Tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan sebuah topeng
dan sekali bergerak, topeng itu telah dipakai di mukanya dan berubahlah ia
menjadi Topeng Setan, suaranya pun agak berubah karena terhalang topeng.
“Bagus, Ceng Ceng....! Jadi cintamu kepadaku palsu, ya? Jadi kau lebih cinta kepada
pemuda laknat itu daripada kepadaku?”
Sambil menahan gelinya, Ceng Ceng berkata,
“Siapa bilang, Paman? Aku cinta padamu, Paman Topeng Setan!”
Kok Cu membuang topengnya dan sambil memegang
dagu yang runcing itu, dijepit antara telunjuk dan ibu jarinya, mengangkat muka
Ceng Ceng menengadah, dia menghardik, “Perempuan tamak! Sebetulnya kau lebih
mencinta yang mana?”
“Aku cinta keduanya, dan cintaku itu kini
menjadi satu, tiada bandingannya lagi, dan.... ehmmm....” Ceng Ceng tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena mulutnya telah ditutup oleh sepasang bibir yang
seolah-olah tidak akan ada puasnya itu. Dia memejamkan matanya, menyambut
dengan hati terbuka dan penuh penyerahan.
Angin semilir di atas mereka, membuat
daun-daun pohon berkeresekan saling sentuh seperti saling berbisik
membicarakan pertemuan asyik-masyuk penuh kemesraan di bawah pohon besar itu.
Bagi Ceng Ceng dan Kok Cu, waktu dan segala sesuatu lenyap, bahkan diri
pribadi juga lenyap, yang ada hanyalah kebahagiaan dan keindahan. Hidup adalah
bahagia, hidup adalah indah. Hanya sayang sekali, hanya sewaktu-waktu saja,
hanya selewat saja, dalam keadaan seperti yang dialami oleh Ceng Ceng dan Kok
Cu, kita mengenal kebahagiaan dan keindahan itu. Selebihnya, waktu dalam hidup
kita penuh dengan pertentangan, penuh dengan kebencian, iri hati, angkara
murka yang kesemuanya itu hanya pasti mendatangkan kesengsaraan belaka.
Adakah yang lebih indah daripada cinta?
Sayang, betapa cinta oleh kita telah dipecah-belah, ditafsirkan menurut kecondongan
hati yang menyenangkan sehingga timbul bermacam pendapat dan kesimpulan. Cinta
bukanlah sex semata, bukanlah kewajiban semata, bukanlah pengorbanan semata,
bukanlah pemberian atau permintaan semata. Kesemuanya itu terdapat dalam cinta
dan cinta mencakup segala karena cinta hanya terisi keindahan. Cinta tidak
mengenal perbedaan suku, tidak mengenal perbedaan ras, tidak mengenal perbedaan
bangsa, tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal kaya atau miskin, pintar
atau bodoh, tidak mengenal tingkat tinggi atau rendah. Cinta tidak mengenal
kebencian, tidak mengenal permusuhan, tidak mementingkan diri pribadi. Cinta
adalah kebahagiaan. Tanpa cinta matahari akan kehilangan sinarnya, bunga
kehilangan keharumannya, dan manusia kehilangan kemanusiaannya. Oleh karena
itu, segala macam gerak perbuatan tanpa dasar cinta kasih yang kita adalah
palsu belaka. Adapun yang kita lakukan di dunia ini barulah benar dan suci
apabila didasari oleh cinta kasih di dalam hati sanubari kita.
Demikianlah, cerita Kisah Sepasang Rajawali
ini berhenti sampai di sini, akan tetapi tentu saja bukan berarti telah
berakhir, karena sesungguhnya tidak ada keakhiran dalam kehidupan manusia.
Harapan pengarang, di samping fungsinya sebagai penghibur hati yang kesepian,
semoga cerita ini mengandung hal-hal yang ada manfaatnya bagi para pembaca.
Sebagai penutup, pengarang mengajak siapa saja yang berminat untuk
bertanya-tanya dan menyelidiki diri sendiri, yaitu : Adakah cinta kasih itu di
dalam lubuk hati kita? Kalau tidak ada, mari kita selidiki sebabnya agar sebab
itu dapat lenyap sehingga sinar cinta kasih akan dapat menembus dan menerangi
lahir batin kita. Sampai jumpa di dalam karangan berikutnya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment