SEPASANGWALETMERAH
oleh Teguh S.
1
Bulan bersinar penuh, menampakkan wajah bulat indah
keemasan. Angin bertiup lembut membawa butir-butir embun yang menitik dari
pucuk-pucuk daun pepohonan yang meliuk-liuk seperti menari. Malam semakin indah
manakala binatang-binatang malam mulai menembang dengan suara-suara mereka yang
merdu.
Namun keindahan itu mendadak pecah oleh suara-suara teriakan
disertai denting senjata beradu. Suara-suara itu ternyata datang dari sebuah
bukit batu yang berdiri gagah menyerupai sebuah batok kelapa terbelah. Di
tempat itu terlihat kilatan-kilatan cahaya putih keperakan menyambar-nyambar di
bawah siraman cahaya bulan.
Trang! Trang!
Denting senjata beradu makin sering terdengar.
Pijaran-pijaran bunga api berpencaran ke segala penjuru. Tiba-tiba dua orang
yang saling mengadu senjata itu melompat ke belakang sejauh dua tombak,
bersamaan dengan terdengarnya suara tawa terbahak-bahak
"Kakang Jaka, rupanya kita kedatangan tamu kurang ajar
malam ini," kata salah seorang dari mereka. Orang itu bertubuh kecil
ramping mengenakan pakaian ketat berwarna serba merah.
Dari suaranya dapat dipastikan kalau dia adalah seorang
wanita. Sementara yang diajak bicara melangkah perlahan ke depan. Tampak jelas
wajahnya yang begitu tampan, berkeringat. Sinar matanya tajam menyorot lurus ke
depan.
Pakaiannya ketat dan serba merah
pula.
"Tentu maksudnya sama dengan tamu-tamu yan lain. Bersiaplah, Adik
Wulan," sahut pemuda itu yang dipanggil
Jaka.
"Ha ha
ha...!"
Suara tawa itu kembali menggelegar. Kedua muda-mudi itu
sudah berdiri berdampingan dengan senjata tombak pendek bermata dua menyilang
di depan dada. Semakin lama suara tawa itu semakin memekakkan telinga. Angin
pun mendadak bergemuruh disertai batu-batu kerikil berlompatan. Jelas sekali
kalau suara tawa itu dibarengi pengerahan tenaga dalam.
Rupanya dua orang muda ini sama sekali tidak gentar dengan
kedatangan suara tawa itu. Mereka seperti tidak terpengaruh, bahkan tetap
berdiri tegak dengan mata menatap lurus ke depan.
"Tapak Geni!" tiba-tiba Jaka berteriak lantang.
Dengan cepat mereka mendorong tangan kanan masing-masing ke
depan Seketika dari telapak tangan kanan yang terbuka, meluncur deras seberkas
sinar merah yang kemudian menghantam sebongkah batu besar.
Blar...!
Batu sebesar rumah itu pun hancur berkeping-keping
menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat Pada saat yang sama, melesat sebuah
bayangan hitam dari bongkahan batu yang hancur.
Debu mengepul pekat menghalangi sinar bulan menembus
permukaan bumi. Bayangan hitam itu berputar beberapa kali di udara sebelum
mendarat manis di tanah berumput tebal. Jaka dan Wulan sudah menarik tangan
kanannya kembali. Mereka masih berdiri tegak dengan mata tajam memandang tubuh
hitam yang telah berdiri sekitar sepuluh langkah di depan.
"Sudah kuduga, dia pasti si Gila Jubah Hitam," gumam Jaka begitu
mengenali sosok tubuh itu.
Si Gila
Jubah Hitam, adalah tokoh sakti yang tidak jelas golongannya. Tingkahnya yang
mirip orang gila sering membuat bingung tokoh-tokoh rimba persilatan, baik dari
gotongan hitam maupun putih.
"He he he..., tidak percuma bertahuntahun kalian
mengurung diri di Bukit Batok," si Gila Jubah Hitam terkekeh sambil
menggaruk-garuk rambutnya yang panjang dan kusut.
Kalau dilihat dari wajah, pakaian, dan tubuhnya orang pasti
menyangka si Gila Jubah Hitam ini seorang kakek-kakek. Padahal dia masih
berusia tiga puluh tahun. Hanya karena tidak pernah mengurus diri, jadi
kelihatan seperti berumur tujuh puluhan
"Mau apa kau datang ke sini?" tanya Jaka. Matanya tetap
tajam menatap si Gila Jubah Hitam.
"Hanya mengunjungi kalian. Tidak boleh?"
Jaka memandang adiknya yang berdiri di sampingnya. Memang
sulit diduga niat dan keinginan orang itu. Dalam sekejap saja bisa berubah.
Jaka kembali mengalihkan pandangan pada laki-laki aneh yang kini telah duduk di
atas rerumputan. Dari kantung kulit yang selalu dibawanya, dikeluarkan seguci
arak.
"Kalian punya makanan?" tiba-tiba si Gila Jubah
Hitam bertanya. Sikapnya acuh, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal
mereka tadi sempat mengadu ilmu, meskipun hanya satu jurus saja.
"Mana ada makanan
di sini?" Wulan jadi geli juga. Rasa tegang yang
menyelimuti dadanya berangsur-angsur berkurang.
"Lho, kalian selama bertahun-tahun di sini makan
apa?" si Gila Jubah Hitam seperti kebingungan. Kembali tangannya
garuk-garuk kepala.
"Apa saja, asal bisa dimakan," sahut Wulan.
"Kau punya
apa saja?"
Sekelebatan Wulan melihat seekor rusa yang kemalaman di
jalan. Secepat kilat tangannya bergerak, lalu seberkas cahaya keperakan pun
meluncur deras. Tak pelak lagi, rusa gemuk itu terjungkal langsung mati. Jaka
tersenyum akan ketangkasan adiknya melempar bintang perak yang menjadi andalan
senjata rahasia mereka berdua.
"Itu!" sahut Wulan menunjuk rusa
yang mati dengan leher tertembus bintang bersegi delapan dari perak.
"He he he....!" si Gila Jubah Hitam terkekeh, lalu
berdiri.
Wulan hampir saja tertawa melihat tingkahnya yang seperti
anak kecil mendapat mainan. Dengan berjingkrak kegirangan dihampirinya rusa
yang tergeletak itu. Sambil menari-nari dan bernyanyi-nyanyi tidak karuan, si
Gila itu mengangkat rusa gemuk bagai mengangkat sekantung kapas.
Si Gila Jubah Hitam kembali ke tempatnya semula seraya
menjatuhkan rusa itu di depannya. Dia kembali duduk dan meminum arak langsung
dari guci. Dengan lengan baju, disekanya mulut yang basah oleh arak.
Orang aneh itu mencabut bintang bersegi delapan yang
menancap di leher rusa, lalu dengan cepat dilemparkannya kembali pada Wulan.
Tangkas sekali gadis itu menangkap senjata rahasia miliknya. Dimasukannya
kembali senjata itu ke dalam kantung yang tersembunyi di balik baju, setelah
sebelumnya dibersihkan dari noda darah.
"Aku senang sekali rusa ini dimasak wanita cantik yang
baik hati," kata si Gila menatap Wulan.
Wulan memandang Jaka. Kakaknya hanya tersenyum dan
menganggukkan kepala. Jaka tahu betul tabiat orang aneh ini. Dia akan selalu
baik kalau ada yang membuatnya baik lebih dulu.
Wulan
menghampiri laki-laki aneh itu, lalu dikeluarkan sebilah pisau dari lipatan
bajunya. Kini rusa malang itu mulai dikulitinya. Sementara Jaka mengumpulkan
ranting dan membuat api. Sebentar saja rusa itu telah terpanggang di atas api
"He he he...," si Gila terkekeh senang. Perutnya
mendadak lapar sekali mencium bau harum daging panggang.
Laki-laki aneh itu menggeser duduknya mendekati rusa
panggang yang masih di atas api. Hidungnya kembang kempis mencium bau harum
yang lezat. Tangannya menjulur hendak mencuil daging rusa, tapi Wulan telah
terlebih dulu menepisnya.
"Nanti, belum matang!" rungut Wulan, persis seorang ibu pada anaknya.
"Aku sudah lapar, boleh mencicipi sedikit saja," rengek si
Gila Jubah Hitam.
"Kubilang nanti! Kita pesta samasama!"
"Pesta...! Kau
bilang kita akan pesta?" mata si Gila Jubah Hitam seketika
berbinar-binar.
"Iya,
kenapa?"
"Wah, wah!
Nasibku memang mujur malam Ini. Datang membuat ribut, malah ditawari pesta. Maafkan aku," Si Gila Jubah Hitam mendadak murung.
"Sudahlah, yang penting malam ini kita akan pesta dan gembira!" Jaka
menimpali.
"He he he..., kalian memang baik!" orang aneh itu
terkekeh lagi.
Wulan tersenyum dan mengerling pada kakaknya. Jaka cepat memahami
arti kerlingan itu, dan segera bangkit beranjak dari situ.
"Mau ke mana kakakmu?" tanya si Gila Jubah Hitam.
"Mengambil arak," sahut Wulan terus membalik-balik
rusa panggangnya.
"Arak..?! Wah, jadi kita benar-benar pesta?"
Wulan mengangguk dan
tersenyum manis. Si Gila Jubah Hitam kembali
berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Mulutnya tidak
henti-hentinya bernyanyi. Tawa Wulan tidak tertahankan lagi. Sementara Jaka
telah kembali dengan lima guci arak di pelukan tangannya. Si Gila Jubah Hitam
makin gembira. Apalagi Jaka juga membawa gelas perak indah sebagai pelengkap
pesta mereka.
* *
*
Laki-laki aneh yang dikenal sebagai si Gila Jubah Hitam kini
tengah duduk bersandar di pohon. Dibiarkan saja perutnya yang kekenyangan itu
terbuka. Jaka dan Wulan duduk tidak jauh dari situ. Wulan sejak tadi
tersenyum-senyum melihat tingkah polah si Gila Jubah Hitam yang selalu
memancing tawa itu.
Nafsu makan si Gila ini juga luar biasa. Setengah badan rusa
gemuk Itu, dihabiskannya sendiri. Sedangkan Wulan dan Jaka saja hanya makan
sekedarnya. Sengaja mereka makan berlambat-lambat untuk mengimbangi makan laki-laki
aneh itu.
"Sudah berapa orang yang datang ke sini?" tanya Si
Gila Jubah Hitam tiba-tiba.
Suaranya
terdengar teperti bergumam. "Maksudmu?" tanya Jaka sambil memandang adiknya.
"Aku yakin, aku bukan orang
pertama yang datang ke Bukit Batok ini," gumam si Gila Jubah Hitam tidak menghiraukan pertanyaan Jaka.
"Memang bukan. Aku dan adikku
sudah sepuluh tahun tinggal di sini," sahut Jaka seenaknya.
"Bukan
kalian, tapi yang lain!"
"O... maksudmu orang-orang yang...," Jaka tidak
melanjutkan kata-katanya.
"Iya, mereka yang gila pusaka!"
sambung si Gila sambil membenahi letak bajunya.
"Aku tidak
mengerti, kenapa mereka mengira kami yang menyimpan benda pusaka itu," kata Wulan seperti
mengeluh.
"Jadi kalian tidak menyimpannya?"
tanya si Gila Jubah Hitam.
"Jangankan menyimpan, melihat bentuknya pun belum pernah! Dengar namanya saja baru-baru ini,"
sahut Wulan.
Si Gila menatap
Wulan tajam.
"Kau pasti tidak percaya!" dengus Wulan agak Jengkel.
"Entahlah. Yang jelas aku tidak
peduli dengan benda pusaka macam itu," sahut si Gila Jubah Hitam.
"Lantas,
kenapa kau ke sini?" tanya
Jaka. Si Gila Jubah Hitam tak
menjawab. Hanya kepalanya yang terdongak menengadah. Ada kemurungan terpencar
dari sinar matanya yang cekung. Desah nafasnya berat, lalu perlahan-lahan
kepalanya tertunduk. Sepertinya sedang mengenang sesuatu sehingga wajahnya
kelihatan murung.
Kedua anak muda itu saling berpandangan. Mereka benar-benar
tidak mengerti dengan perubahan yang tiba-tiba pada si Gila Jubah Hitam
Beberapa saat mereka hanya berdiam diri saja. Jaka mengalihkan pandangannya
kembali pada laki-laki aneh itu. Wulan juga mengarahkan pandangannya ke sana.
Si Gila Jubah Hitam masih tertunduk, diam. "Ada yang menyusahkanmu?"
tanya Wulan lembut
Kembali si Gila Jubah Hitam mendesah berat. Pelan-pelan
kepalanya terangkat. Matanya langsung tertumbuk pada wajah Wulan. Gadis ini
tersentak melihat butir-butir air bening menetes dari sudut mata laki-laki aneh
ini. Wulan menggeser duduknya lebih dekat
"Kau menangis, kenapa?" tanya Wulan pelan dan lembut
"Oh, ah!
Tidak..., tidak !" si Gila Jubah Hitam gugup. Cepat-cepat diseka air matanya dengan
lengan baju.
"Aku menangkap kesedihan di wajahmu. Kalau kau percaya
pada kami, ungkapkanlah! Mungkin kami bisa membantu mengatasi
kesedihanmu," lebih lembut suara Wulan.
"Aku tidak yakin kalian akan
menemukan," parau suara si Gila Jubah Hitam.
Wulan dan Jaka saling berpandangan. Belum dapat mengerti maksudnya. Mereka segera menggeser
duduknya agar lebih dekat lagi pada orang aneh ini
"Kalau kau
bersedia mengatakannya, kami berjanji akan membantu
kesulitanmu," kata Jaka seraya meletakkan tangannya ke punggung laki-laki
itu.
"Persoalan yang kalian hadapi sekarang, lebih berat
daripada persoalanku. Aku tidak ingin menambah beban buat kalian lagi. Dosaku
akan semakin besar dan menumpuk," lirih suara si Gila Jubah Hitam.
"Kami tidak punya persoalan apaapa. Kami mengasingkan
diri ke Bukit Batok ini karena ingin memperdalam ilmu-ilmu yang kami
miliki," kata Wulan meyakinkan.
"Jangan bohongi diri kalian sendiri! Kalian tengah
berhadapan dengan tokohtokoh rimba persilatan yang gila benda pusaka! Mereka
menyangka kalian yang menyimpan benda itu. Atau paling tidak, mengetahui di
mana letak
penyimpanannya."
Kembali sepasang anak muda itu saling berpandangan. Memang
dalam beberapa hari ini sudah empat orang yang datang mencari benda pusaka Cupu
Manik Tunjung Biru. Empat orang yang hanya memiliki kepandaian tanggung itu,
tentu saja harus rela melepaskan nyawa mereka di tangan sepasang anak muda ini.
Di kalangan rimba persilatan, sepasang anak muda ini dikenal sebagai Sepasang
Walet Merah.
Kemunculan si Gila Jubah Hitam di Bukit Batok ini memang
sedikit menambah persoalan baru bagi Sepasang Walet Merah. Entah ada
hubungannya dengan Cupu Manik Tunjung Biru atau tidak, tetapi yang jelas saat
ini tokoh-tokoh rimba persilatan tengah geger ingin mendapatkan benda pusaka
itu.
Tidak jelas bersumber dari mulut
siapa, kini Sepasang Walet Merah menjadi sasaran buruan. Tokoh-tokoh rimba persilatan menduga sepasang anak muda
inilah yang paling tahu tentang benda itu. Padahal yang menjadi buruan tidak
tahu sama sekali tentang benda itu. Mengapa orang-orang menyangka kalau
Sepasang Walet Merah yang menyimpannya?
"Dari mana kau dengar kabar bohong itu?" tanya
Jaka.
"Semua orang rimba persilatan sudah tahu, dan mereka
pasti mengatakan kalau mereka tahu sendiri," sahut si Gila Jubah Hitam.
"Dan kau juga akan mengatakan begitu? Juga menyangka
kalau kami menyimpan benda yang kami sendiri tidak tahu sama sekali? Iya?"
desak Jaka agak sewot juga.
"He he he...," tiba-tiba si Gila kumat lagi
edannya.
"Mereka
semua mengatakan aku gila. Padahal, siapa sebenarnya yang gila?" si Gila
Jubah Hitam memberi pertanyaan yang cukup sulit.
"Baiklah! Aku tidak peduli apakah kau, mereka, atau
kami yang gila. Aku hanya ingin tahu, untuk apa kau datang ke sini, kenapa
tiba-tiba kau sedih, dan untuk apa datang memberi kabar tidak enak?" Jaka
memberondong pertanyaan.
"Banyak amat?! Yang mana harus aku jawab lebih
dulu?" si Gila Jubah Hitam bingung.
"Terserah!"
jawab Jaka.
Si Gila menggaruk-garuk kepalanya. Mulutnya komat-kamit
mengulangi pertanyaan-pertanyaan Jaka tadi. Wulan yang memperhatikannya tidak
dapat menahan geli. Mendadak saja perutnya mules karena menahan tawa.
"Kebanyakan, ah! Aku akan pergi!" dengus si Gila.
"Hey...,!"
Jaka terkejut.
Tapi laki-laki aneh itu telah lebih cepat menghilang. Tokoh
satu ini memang boleh juga tingkat kepandaiannya. Dalam keadaan duduk saja
masih bisa mencelat dengan cepat. Jaka yang masih sempat mengetahui arah
perginya, akan mengejar. Tetapi Wulan telah lebih cepat mencegahnya.
"Sudahlah, Kakang. Satu saat nanti kita pasti
tahu," kata Wulan lembut.
"Aku masih penasaran. Adik Wulan," sahut Jaka.
"Aku juga, tapi tidak ada gunanya mendesak. Bisa-bisa dia berbalik
memusuhi kita."
"Memang |
sulit |
juga |
menghadapi |
orang seperti |
itu," |
Jaka |
mengangkat |
bahunya.
"He he
he...!"
Tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara tawa. Tidak
salah lagi kalau suara itu milik si Gila Jubah Hitam. Sepasang Walet Merah
paham betul dengan suaranya.
"Terima kasih, kalian telah berbaik
hati mengundangku pesta. Lain waktu kita jumpa lagi, sobat!"
Jaka yang akan membuka mulut untuk menjawab, jadi
mengurungkan niatnya. Wulan telah lebih cepat menepuk pundaknya. Dan memang
suara itu tidak terdengar lagi. Si Gila Jubah Hitam benarbenar telah pergi
meninggalkan Bukit Batok. Hebat juga pengerahan tenaga dalam orang aneh itu.
Dia dapat mengirimkan suara dari jarak yang cukup jauh.
"Aku rasa sebaiknya kita mendahului mereka." kata
Jaka.
"Jadi, kita turun
kembali merambah rimba persilatan?" nada suara Wulan seperti tidak setuju.
"Terpaksa," desah Jaka sambil
mengangkat bahunya
"Yaaah, lagi pula
kita memperdalam ilmu silat memang untuk menjaga dan
mempersiapkan diri. Mungkin sudah
waktunya," pelan suara Wulan.
"Kita
berangkat besok saat fajar."
"Baiklah."
* * *
Fajar baru saja menyingsing. Dua ekor kuda hitam berlari
menuruni lereng Bukit Batok. Penunggangnya Sepasang Walet Merah. Wulan
memperlambat lari kudanya ketika mencapai kaki bukit.
"Sebaiknya kita lebih cepat lagi
meninggalkan bukit ini, Adik Wulan," ujar Jaka.
"Untuk
apa ? Toh tidak ada yang
harus diburu."
Jaka mengangkat bahunya. Benar juga kata Wulan tadi. Mereka
memang tidak sedang memburu seseorang. Jadi untuk apa harus cepat-cepat? Dan
lagi, dengan berjalan seperti ini tidak akan menarik perhatian orang.
"Semalaman aku berpikir," kata Jaka agak bergumam.
"Tentang
apa?" tanya Wulan.
"Tentang
Cupu Manik Tunjung Biru."
"Apa
yang kau pikirkan dari benda
itu?"
"Aku berpikir sebaiknya kita mencari keterangan tentang
benda itu." "Maksudmu?"
"Yaaah, kita harus tahu jenis benda apa, untuk apa, dan
kenapa orang-orang sampai menginginkannya? Tidak mungkin mereka berani
mempertaruhkan nyawa untuk sebuah benda kalau tidak bermanfaat sama
sekali!" Jaka mengemukakan pikirannya.
"Si Gila Jubah Hitam mengatakan
kalau benda itu merupakan benda pusaka. Jelas banyak kegunaannya," Wulan menimpali.
"Kau tahu
benda apa itu?"
"Kalau aku tahu, kau pun pasti tahu, Kakang."
"Susah juga, ya. Kita sendiri tidak
tahu, tapi orang menyangka lain."
"Itulah
hidup."
Mereka tertawa bersama, tapi tidak tahu apa yang
ditertawakan. Namun mendadak tawa mereka berhenti. Seketika itu juga, mereka
menarik tali kekang kudanya. Belum sempat menarik napas, mendadak secercah
sinar keemasan meluncur deras ke arah mereka.
"Awas,
Kakang...!" teriak Wulan.
Dengan sigap Jaka melompat dari kudanya melesat ke udara
sambil bersalto dua kali. Sinar keemasan Itu lewat di bawah kakinya, dan hampir
menyambar Wulan. Untung gadis itu tak kalah sigap dengan Jaka. Dia melompat
cepat dari kudanya.
Sepasang Walet Merah dengan manis mendarat di atas tanah dan
berdiri tegak berdampingan. Hampir bersamaan, mereka mencabut tombak yang kedua
ujungnya bermata tajam.
Kembali dua berkas sinar keemasan meluncur deras ke arah
mereka. Tapi Sepasang Walet Merah sama sekati tidak bergeming. Dan ketika dua
sinar keemasan itu hampir menyentuh tubuh, dengan cepat masing-masing
menggerakkan tongkatnya.
Trak! Trak!
Dua sinar itu meluruk ke tanah. Tampak sebentuk bunga
anggrek dari bahan logam keemasan menggeletak di ujung kaki mereka.
"Dewi Anggrek Emas," desis Wulan mengenali senjata
itu.
Belum lagi selesai kata-kata terucap, tiba-tiba di depan
mereka muncul seorang wanita cantik. Dia mengenakan baju berwarna kuning
keemasan. Pada rambutnya yang panjang terkepang, terselip bunga anggrek
berwarna kuning emas. Wanita itu adalah Dewi Anggrek Emas. Tangannya
menggenggam setangkai bunga anggrek yang sangat besar.
"Panjang jodoh kita bisa bertemu di sini," suara
Dewi Anggrek Emas terdengar lembut mempesona. Kedua matanya yang bulat indah
tidak lepas menatap wajah
Jaka.
"Apa yang kau inginkan. Dewi
Anggrek Emas? Mengapa kau menghadang jalan kami?" tanya Wulan
ketus. Dia benci melihat pandangan mata itu terhadap kakaknya.
"Sepuluh tahun tidak bertemu, rasa rindu sekali. Apakah
perasaanmu sama denganku, Jaka?" Dewi Anggrek Emas tidak menghiraukan
pertanyaan Wulan.
"Tentu
saja aku rindu," sahut Jaka.
"Kakang!"
bentak Wulan kesal.
Jaka menatap adiknya yang kelihatan sewot. Dia paham betul
kalau Wulan membenci wanita itu. Rasa benci itu memang dapat dimaklumi. Sebab,
meskipun Dewi Anggrek Emas memiliki wajah cantik dan bentuk tubuh indah, namun
tingkah lakunya liar. Segala macam cara selalu digunakannya untuk menjerat
pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsunya.
Dewi Anggrek Emas sampai sekarang masih penasaran karena
belum juga dapat menundukkan Jaka. Hatinya belum puas kalau pemuda tampan itu
belum lunduk di bawah kakinya. Hanya saja yang jadi ganjalan utamanya adalah
Wulan.
"Dewi Anggrek Emas! Kalau kau
tidak ada keperluan penting, sebaiknya
angkat kaki dari sini!" bentak Wulan
penuh kebencian.
"Justru aku datang memang sengaja mencari kalian,"
sahut Dewi Anggrek Emas.
"Kau pasti sama seperti yang lain. Menyangka kami
memiliki benda keparat itu!" dengus Wulan.
"Sebaiknya kalian serahkan saja benda pusaka itu
padaku. Bukankah dengan demikian kalian akan selamat?" Dewi Anggrek Emas
mengerling genit pada Jaka.
"Kami tidak tahu di mana benda itu! Jelas?!"
lantang suara Wulan.
"Benar begitu, Jaka?" tanya Dewi
Anggrek Emas dengan suara dibuat selembut mungkin.
"Mungkin," sahut Jaka sambil mengangkat bahunya.
Dia senang membuat wanita ini jadi penasaran. Jaka tahu betul kalau Dewi
Anggrek Emas selalu menginginkan dirinya. Maka setiap bertemu, Jaka selalu
mempermainkannya dengan halus.
"Dan itu berarti benda pusaka ada pada kalian,
bukan?"
"Tanyakan saja sendiri pada Wulan," kata Jaka.
Wulan jadi gemas melihat sikap kakaknya yang seperti memberi
angin pada wanita liar itu. Rasanya ingin memaki-maki, namun saat ini bukanlah
waktu yang tepat. Wulan jadi tambah geregetan melihat Jaka tersenyumsenyum. Di
tangannya tidak lagi tergenggam tombak bermata dua. Senjata itu sejak tadi
sudah diselipkan di pinggangnya.
"Kalau benar benda itu ada padaku, kau mau apa?"
gemas Wulan menantang.
Dewi Anggrek Emas hanya tertawa saja.
"Nenek jelek, rebut benda pusaka itu dari
tanganku!" teriak Wulan mengejek. "Kadal buduk! Kurobek
mulutmu!" geram Dewi Anggrek Emas. Muka dan telinganya merah saat itu juga
ketika dipanggil nenek jelek.
Secepat kilat Dewi Anggrek Emas melompat sambil mengibaskan
bunga anggrek raksasa yang menjadi senjata kebanggaannya. Wulan yang sudah muak
sejak tadi langsung menggeser kakinya ke samping. Dan tombak bermata dua pun
digerakkan dengan cepat ke atas.
Trang!
Dua senjata beradu sangat keras sehingga menimbulkan pijaran
bunga api. Dewi Anggrek Emas lantas melesatkan tubuhnya dan berputar satu kali
tanpa menjejak tanah lebih dulu, lalu kembali menyerang dari atas.
Wulan segera
memutar tombak pendeknya seolah-olah memayungi kepalanya dari gempuran lawan.
Namun tanpa diduga sama sekali, Dewi Anggrek Emas mengegos ke samping, lalu
kakinya melayang deras ke iga Tawan.
"Ih!" Wulan tersentak. Buru-buru digerakkan tangannya menangkis kaki yang mengarah ke iganya, sambil
memiringkan tubuh sedikit.
Dewi Anggrek Emas tidak ingin mengambil resiko. Cepat
ditarik kakinya kembali dan dijejakkan di tanah. Namun baru saja kakinya sampai
di tanah, Wulan menyerangnya dengan satu tombak mengarah dada.
Tidak ada pilihan lain bagi Dewi Anggrek Emas. Ditangkis tombak pendek itu dengan senjatanya yang berbentuk
bunga anggrek raksasa.
Trang!
Kembali dua senjata beradu keras.
Seketika tangan Wulan seperti kesemutan. Bergegas ditarik pulang senjatanya.
Demikian juga yang dialami Dewi
Anggrek Emas. Jari-jari tangannya menjadi kaku. Hampir saja senjatanya
lepas kalau tidak segera dipindahkannya ke tangan kiri.
Pertarungan yang baru berlangsung dua jurus itu mendapat
perhatian serius dari Jaka. Diam-diam dikaguminya kemajuan Wulan. Dua kali adu
senjata, dua kali pula Wulan hampir melontarkan senjata lawan. Kelihatannya
selama sepuluh tahun ini, Dewi Anggrek Emas tidak mengalami perubahan. Baru dua
jurus saja, Jaka telah dapat menilainya
"Kenapa
berhenti, takut?" ejek Wulan.
"Sepuluh orang sepertimu, aku tidak akan mundur setapak
pun!" dengus Dewi Anggrek Emas.
"Bersiaplah! Terima jurus 'Mata
geledek'ku!"
Selesai berkata demikian, Wulan menggerakkan kakinya
menyusur tanah dengan cepat. Tombaknya dibolakbalikkan cepat ke depan. Dua
ujung tombak yang bermata tajam mengarah ke dada lawan.
Dewi Anggrek Emas menyambut
serangan itu dengan jurus 'Anggrek Maut' itu diputar-putar bagai baling-baling.
Tubuhnya meliuk-liuk bagai karet.
"Lihat kaki!" teriak Wulan keras dan tiba-tiba.
Secepat itu pula ujung tombaknya mengibas ke kaki lawan.
Dewi Anggrek Emas menggeser kakinya segera, tetapi ternyata terpedaya. Serangan
Wulan yang mengarah ke kaki hanya tipuan saja. Sedangkan dalam waktu yang
hampir bersamaan, kaki kanannya naik cepat dan menyambar pinggang.
"Setan!" dengus Dewi Anggrek Emas kaget.
Cepat-cepat Dewi Anggrek Emas mengarahkan senjatanya untuk melindungi
pinggangnya. Tapi lagi-lagi tertipu. Ternyata kaki Wulan tidak sampai menyambar
pinggang. Justru pada saat kaki itu bergerak, Wulan membarengi dengan memutar
tombaknya ke atas.
Kali ini Dewi Anggrek Emas tidak bisa lagi mengelak Tombak
itu sangat cepat menyambar ke lehernya. Mau tidak mau Dewi Anggrek Emas
menangkis dengan tangan kirinya yang masih bebas.
"Akh!" Dewi anggrek emas memekik tertahan.
Dengan cepat dia melompat
sejauh dua tombak ke belakang. Tangan kirinya sobek cukup lebar. Darah segar
mengucur deras. Dewi Anggrek Emas segera menotok jalan darah di tangan yang
luka itu. Sekejap saja darah berhenti mengalir
* * *
36
Dewi Anggrek Emas memandang sengit pada lawannya. Giginya
terkatup rapat dengan geraham bergemeletuk menahan geram. Dia hampir tidak
percaya kalau Wulan memperoleh kemajuan begitu pesat. Jurus-jurusnya makin
berbahaya. Gerakannya sangat cepat, sukar diduga arah dan tujuannya.
Sementara Jaka yang sejak tadi mengawasi dengan seksama
pertarungan itu, tersenyum-senyum melihat Dewi Anggrek Emas mendapat luka.
Diacungkan ibu jarinya saat Wulan menoleh dengan bibir tersungging senyum.
"Jangan besar kepala dulu, Wulan. Aku belum kalah,"
desis Dewi Anggrek Emas dongkol.
"Kau ingin adu kesaktian?" Wulan menantang.
"Bersiaplah!
Terima jurus 'Anggrek Seribu'ku!"
Dewi Anggrek Emas memasukkan senjata bunga anggrek
raksasanya ke balik ikat pinggang. Kemudian direntangkan kedua belah tangannya ke
samping. Dengan diiringi jerit melengking, secara cepat kedua tangannya
bergerak. Seketika benda-benda yang memancarkan sinar keemasan bertebaran deras
ke arah Wulan.
"Hait..!"
Wulan berjumpalitan menghindari serbuan anggrek emas yang
dilontarkan Dewi Anggrek Emas. Senjata yang berbentuk bunga anggrek berwarna
emas itu datang bagai hujan tumpah dari langit. Begitu derasnya sehingga Wulan
agak kerepotan menghindarinya.
Trang! Trang!
Trang!
Beberapa
kali tombak bermata dua beradu menahan serangan anggrekanggrek emas yang datang
tanpa henti. Bahkan kini Dewi Anggrek Emas menggerakkan kakinya dengan cepat
seperti ingin memutari tubuh Wulan.
Wulan sadar betul melihat keadaan ini. Tanpa menunggu waktu
lagi, tombak bermata dua itu pun diputar-putar bagai baling-baling. Dewi
Anggrek Emas sangat terkejut melihat tubuh Wulan seperti hilang di balik
gulungan sinar keperakan. Dengan hati panas diliputi penasaran yang tinggi,
Dewi Anggrek Emas makin mempercepat gerakan sambil melontarkan senjata
andalannya.
"Habiskan semua senjatamu, Nenek Sihir!" teriak
Wulan mengejek.
"Phuih!"Dewi Anggrek Emas makin geram hatinya
mendengar ejekan itu.
Dewi Anggrek
Emas semakin cepat bergerak memutari tubuh Wulan. Senjata anggreknya menyebar
dari segala penjuru. Namun sampai sejauh itu belum ada satu pun yang dapat
menembus benteng pertahanan Wulan. Sinar keperakan yang menyelimuti tubuh gadis
itu sulit ditembus. Dewi Anggrek Emas makin geram.
Tiba-tiba Dewi Anggrek Emas menjerit melengking, lalu
tubuhnya melompat tinggi ke udara. Tangannya bergerak cepat melontarkan senjata
andalannya dari udara.
"Setan!" dengus Wulan terkejut dengan perubahan
serangan yang tibatiba.
Anggrek-anggrek emas itu datang sangat cepat dari atas
kepalanya Wulan
Bdak mungkin merobah lagi
pertahanannya Bagian atas memang lowong, dan tidak ada pilihan lain. Segera
Wulan menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Anggrek-anggrek emas itu
meluruk deras menancap di tanah beberapa jengkal saja dari tubuh Wulan.
"Mampus kau!" jerit Dewi Anggrek Emas.
Setelah berkata demikian, dengan cepat Dewi Anggrek Emas
meluruk ke bawah sambil tidak henti melontarkan senjatanya. Seperti bermata
saja, senjata itu mengejar ke mana saja Wulan menghindari sambil bergulingan.
Wulan tidak punya kesempatan lagi menggunakan tombaknya.
"Pakai ujung tombakmu, Wulan. Pinjam tenaga!"
tiba-tiba Jaka berteriak keras.
"Baik,
Kakang!" balas Wulan.
Tanpa menunggu lagi, Wulan menekan ujung tongkatnya ke
tanah. Ketika sebuah senjata meluncur deras ke arahnya, dengan cepat Wulan
membalikkan tombaknya. Sebelah ujung tombaknya menutuk senjata bunga anggrek
itu. Kemudian dengan meminjam tenaga dari tongkatnya, Wulan langsung melompat
ke angkasa.
"Curang!" sungut Dewi Anggrek Emas.
Manis sekali kaki Wulan mendarat di tanah. Senjata tombak
bermata dua kembali menyilang di depan dada. Sesaat Wulan memberikan kerlingan
mata pada Jaka, yang kemudian dibalas dengan senyuman. Sedangkan Dewi Anggrek
Emas kelihatan bersungut-sungut setelah lawannya mampu menandingi jurus
'Anggrek Seribu' nya tanpa mendapat celaka sedikit pun
"Jaka, hadapi aku!" bentak Dewi Anggrek Eams sengit.
"Tidak perlu manis. Adikku pun sudah cukup,"
tenang dan lembut Jaka menyahuti.
Tetapi kelembutan suara Jaka justru menyakitkan di telinga
Dewi Anggrek Emas. Jelas, kata-kata yang diucapkan tenang itu mengandung nada
ejekan serta meremehkan dirinya. Dewi Anggrek Emas makin dongkol saja.
"Bagaimana, Nenek Sihir?
Menyerah?" tantang Wulan.
"Phuih!" tambah geram hati Dewi Anggrek Emas
"Jaka, jangan salahkan aku kalau adikmu yang masih bau kencur ini mati di
tanganku!"
"Apa tidak
sebaliknya?" ejek Wulan.
"Tikus
busuk! Terima seranganku!" Seketika saja Dewi Anggrek Emas mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Lalu dengan gerakan perlahan, tangannya diturunkan hingga sejajar dengat ketiak.
"Hati-hati,
Wulan. Dia mengeluarkan ajian 'Wisanggeni'," kata Jaka
memperingatkan. "Lawan dengan 'Bayu
Segara'!"
"Baik,
Kakang," sahut Wulan.
Segera saja Wulan menekuk kaki kanannya ke depan. Sedangkan
kaki kirinya ditarik ke belakang agak menyamping. Kemudian tangan kirinya
dipentang lurus ke depan, lalu tangan kanannya ditempelkan di siku kiri.
"Aji 'Wisanggeni'...!" teriak Dewi
Anggrek Emas melengking.
Seketika tubuhya
mencelat bagai anak panah lepas dari busur. Pada saat yang bersamaan kaki Wulan
bergerak cepat menyusur tanah. Tangannya merentang ke samping, lalu dengan
cepat dikebut ke depan.
Pada saat yang sama, Dewi Anggrek Emas telah mendorong kedua
tangannya ke depan pula. Maka kedua pasang tangan itu pun beradu keras hingga
menimbulkan suara ledakan dahsyat. Tubuh Dewi Anggrek Emas terjengkang ke
belakang dua depa. Sedangkan Wulan melentingkan tubuhnya ke angkasa. Dua kali
berputar di udara, kemudian dengan cepat meluruk bagai seekor elang menerkam
mangsa, terarah ke kepala Dewi Anggrek Emas.
Dewi Anggrek Emas yang terjengkang
itu belum dapat menguasai diri. Dia terkejut sekali karena Wulan telah
menyerang kembali dari atas kepalanya.
"Setan!"
umpat Dewi Anggrek Emas.
Tanpa pikir panjang lagi, disambutnya serangan Wulan yang
mendadak. Kembali dua pasang telapak tangan beradu. Begitu dahsyatnya serangan
itu sampai-sampai kaki Dewi Anggrek Emas melesak masuk ke tanah hingga sebatas
lutut Wulan kembali melenting berputar dua kali di udara, lalu dengan lincah
mendarat ke tanah.
"Hoek!" Dewi Anggrek Emas
memuntahkan darah kental kehitaman.
Wajah wanita itu mendadak merah. Betapa malunya Dewi Anggrek
Emas karena dapat dikalahkan oleh seorang gadis yang dulu menjadi bulan-bulanan
dirinya. Setelah menyeka mulutnya, Dewi Anggrek Emas mengerahkan tenaga
dalamnya. Dan....
"Hait..!"
Tubuh Dewi Anggrek Emas terlonjak ke atas. Kakinya telah
keluar dari tanah. Kini tubuhnya melesat ke udara dan membuat putaran tiga kali
sebelum menjejak tanah. Tubuhnya sedikit limbung ketika kakinya sampai di
tanah. Dari mulutnya kembali memuntahkan kental kehitaman. Matanya menjadi
perih berkunang-kunang.
"Kau terluka dalam, Dewi Anggrek Emas. Perlu waktu satu
bulan untuk memulihkan kekuatanmu," kata Wulan
kalem.
"Bocah setan! Aku tidak akan
melupakan penghinaan ini. Satu saat kelak, akan kubalas kau!" dengus Dewi
Anggrek Emas dendam.
"Aku rasa dalam
satu bulan belum tentu kau dapat memulihkan tenaga dalammu," Jaka menimpali.
Dewi Anggrek Emas mendengus. Dia baru tahu kalau aji 'Bayu
Segara' yang dilepaskan Wulan dapat menyedot setengah lebih tenaga dalam yang
dimilikinya. Memang bukan sedikit waktu yang dibutuhkan untuk memulihkannya
Aji 'Bayu
Segara' memang tidak kelihatan akibatnya secara langsung Tapi siapa saja yang
terkena ajian itu, dapat dipastikan lebih dari setengah tenaga dalamnya akan
tersedot. Dan lagi jurusjurus serta ilmu-ilmu kesaktiannya juga akan berkurang
kehebatannya Tidak nyata secara fisik, tapi mampu membuat mental seorang tokoh
jadi frustasi.
"Tunggu pembalasanku, Wulan!" teriak Dewi Anggrek Emas.
Setelah berkata demikian, Dewi Anggrek Emas segera melompat
pergi. Tetapi tanpa diduga sekali, lompatannya jadi lambat dan pendek seperti
orang sedang belajar ilmu olah kanuragan. Dia benar-benar lupa kalau setengah
kekuatan tenaga dalamnya telah tersedot. Melihat kenyataan ini, Dewi Anggrek
Emas menjadi geram setengah mati. Matanya merah menyala menatap Wulan yang
hanya tersenyum-senyum.
"Jangan gunakan tenaga dalam, bisa mati lemas
nanti," kata Jaka kalem.
"Huh!" Dewi Anggrek Emas
bersungut-sungut.
Hatinya
benar-benar tidak dapat melupakan penghinaan ini. Dendam terbalut rapat di
dasar hatinya. Sambil menggerutu jengkel, Dewi Anggrek Emas melangkah pergi
tanpa berani lagi menggunakan tenaga dalamnya.
"Kau tidak apa-apa, Wulan?" tanya Jaka ketika Dewi
Anggrek Emas sudah
tidak kelihatan lagu
"Tidak,"
sahut Wulan cepat.
"Tapi kau harus semadi sebentar untuk memulihkan
tenagamu. Barangkali ada sedikit pengaruh aji 'Wisanggeni' di jalan
darahmu," kata Jaka penuh perhatian.
Wulan tersenyum, lalu duduk bersimpuh di bawah pohon yang
berumput tebal. Segera diambilnya sikap bersemadi, memusatkan seluruh perhatian
dan semua indranya dari hubungan dengan dunia fana. Disatukan diri dan jiwanya
kepada Sang Pencipta. Perlahanlahan Wulan merasakan tubuhnya kian ringan,
darahnya mengalir tenang. Hawa sejuk mulai merembes masuk ke seluruh jaringan
syarafnya.
Hawa sejuk nyaman
perlahan-lahaan berganti menjadi panas. Semakin lama panas yang menyambar ke seluruh tubuhnya semakin menyengat. Keringat mulai menitik di kening dan
seputar lehernya. Selanjutnya tubuh Wulan bagai terserang demam. Dan....
"Hoek!" Wulan memuntahkan darah merah kental dari
mulutnya dua kali.
Berangsur-angsur seluruh jiwa dan raganya kembali tenang.
Wajah yang memerah pun kembali pulih seperti semula. Cerah bagai bayi tanpa
dosa. Perlahan-lahan Wulan membuka matanya yang bulat bening seperti
bertaburkan bintang berkilauan. Dengan lengan baju diseka mulutnya Segera Wulan
bangkit berdiri. Matanya langsung tertuju pada Jaka yang duduk bersandar di
bawah pohon rindang. Kakaknya itu pun tengah memperhatikannya dengan bibir tersenyum.
"Sudah?" tanya Jaka setelah Wulan mendekat.
Wulan mengangguk.
"Kau terkena aji 'Wisanggeni' tadi," kata Jaka
sambil bangkit dari duduknya. "Bagaimana kau tahu?" tanya Wulan.
Kakinya terus melangkah mendekati kuda yang setia menunggu sambil merumput.
"Aku melihat noda merah pada
telapak tanganmu," sahut Jaka seraya melompat ringan ke atas punggung kuda.
Wulan segera naik ke punggung kudanya sendiri. Sikapnya
tenang, setenang air sungai mengalir. Digebah kudanya perlahan agar berjalan
lambatlambat saja Jaka juga menyentak tali kekang kudanya. Dua ekor kuda dengan
penunggang Sepasang Walet Merah itu berjalan perlahan.
"Kalau saja aji 'Bayu Segara' mu sudah sempurna, pasti
perempuan itu akan mati tanpa luka," kata Jaka setengah bergumam.
"Yah, seharusnya aku menyempurnakannya dulu baru turun
bukit lagi," desah Wulan.
"Kau bisa melakukannya dalam
perjalanan."
"Apa
mungkin?"
"Kenapa tidak? Setiap lawan yang terkena aji 'Bayu
Segara' akan menitipkan sebagian tenaga dalamnya padamu. Dengan demikian kau
tidak perlu susahsusah bersemedi menyempurnakan tenaga dalam. Enak, kan?"
"Kau lupa, Wulan. Aji 'Bayu Segara' hanya cocok dimiliki
wanita. Sedangkan aku melatih padanannya yang dapat menunjang ajianmu itu.
Namanya, aji
'Tirta Segara'."
"Maaf, aku lupa," Wulan tersipu. "Kita
dipersiapkan eyang resi untuk menjadi Sepasang Walet Merah. Jadi apa yang kita
miliki ini saling menunjang. Memang tidak ada salahnya kalau dilakukan
sendiri-sendiri. Tapi akan lebih sempurna jika dilakukan bersama-sama dalam
satu jiwa."
"Itu kan
pesan Eyang Resi, Kakang."
"Iya, aku hanya memperingatkan saja kok." Wulan
mendadak tercenung. Dia ingat dengan kata-kata yang diucapkan guru mereka
sebelum meninggal. Semua yang telah diturunkan dan dikuasai kakak beradik ini
akan lebih sempurna jika memakan jantung burung walet merah yang hanya ada
sepasang saja di dunia ini. Dan sepasang jantung itu telah disimpan eyang resi
dalam satu tempat. Sayang beliau belum sempat menyebutkan, dimana jantung
sepasang walet merah Ku disimpan.
"Kakang..,"
kata Wulan.
"Ada
apa?" tanya Jaka.
"Kau Ingat pesan terakhir Eyang Resi?" Wulan balik bertanya.
"Pesan
apa?" Jaka belum mengerti.
"Coba kau ingat-ingat dulu," kata Wulan seolah-olah memberi
teka-teki.
Jaka mengerutkan keningnya. Terlalu banyak pesan yang
dibenkan guru mereka sebelum meninggal.
Jaka mencoba
untuk mengingat satu per satu. Menduduk dia tersentak ketika teringat salah satu
pesan yang hampir terlupakan. Hanya satu kalimat saja, dan kelihatannya tidak
begitu penting.
"Aku rasa ini ada hubungannya
dengan tokoh-tokoh rimba persilatan yang tengah mencari-cari kita," kata
Wulan.
"Mungkin juga," gumam Jaka.
Keningnya masih
berkerut
* *
*
Hari sudah menjelang senja. Matahari bersiap-siap pergi
tidur. Di atas pepohonan, burung-burung nampak sibuk kembali ke sarangnya.
Sedangkan di bawahnya, terlihat dua ekor kuda yang tengah ditunggangi Sepasang
Walet Merah. Mereka terus berjalan menyusuri lereng Bukit Batok. Tidak jauh
dari situ, terlihat sebuah desa yang mulai kelihatan sepi. Desa yang
satu-satunya terdekat dengan lereng bukit ini dinamakan Desa
Batok.
Suasana sepi itu
tiba-tiba pecah oleh teriakan keras disusul dengan munculnya sesosok tubuh menjebol atap sebuah
rumah. Sosok tubuh berpakaian ketat serba putih itu bersalto beberapa
kali. Di sebuah dahan pohon sosok itu hinggap dengan manis. Matanya memandang
sebentar pada rumah yang baru saja dijebolnya, lalu kembali mendarat di tanah.
Gerakannya ringan, menandakan orang itu memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Sepasang Walet Merah segera menghentikan langkah kudanya.
Serentak mereka melompat turun dan menuntun kuda mendekati sebuah pohon di
pinggir jalan utama desa itu. Wulan mengamati rumah yang ternyata sebuah
penginapan. Tatapannya lalu beralih pada orang berpakaian ketat serba putih
yang berdiri tegang menghadap ke pintu rumah penginapan.
"Sarmapala," desah Wulan mengenali orang itu.
Brak!
Tiba-tiba saja pintu rumah penginapan itu hancur berantakan. Kemudian disusul berkelebatnya
seberkas cahaya merah meluncur deras ke arah Sarmapala. Dalam waktu yang
bersamaan, Sarmapala melompat ke udara. Sinar merah itu lewat di bawah kakinya,
lalu tepat menghantam pohon yang berada di belakang laki-laki muda itu.
Seketika pohon itu meledak dan tumbang. Sarmapala kembali mendarat manis di
tanah.
"Klabang Hijau, ke luar kau! Jangan seperti tikus
bersembunyi di parit!" bentak Sarmapala keras.
"He he he....
Sungguh besar nyalimu, Sarmapala. Tapi lebih besar bualanmu daripada besarnya gunung," terdengar suara keras dari dalam penginapan.
"Nyalimu yang seperti liur! Kalau jantan, ke
luar!" balas Sarmapala dengan tajam.
Belum lagi selesai bibir Sarmapala berkata, tiba-tiba
berkelebat sebuah bayangan hijau ke luar dari pintu rumah penginapan yang
hancur berantakan. Sekejap saja di depan Sarmapala sudah berdiri seorang
laki-laki tua bertubuh bungkuk dengan tongkat hijau di tangannya. Bajunya yang
menyerupai jubah, seluruhnya berwarna hijau. Bahkan wajah dan tangannya pun
berwarna hijau. Dia kini tengah memandang Sarmapala dengan tajam.
"Sarmapala bisa mati di tangan
Klabang Hijau." desis Jaka ketika melihat laki-laki tua berdiri dengan tiba-tiba di depan Sarmapala.
"Kau akan membantu Sarmapala,
Kakang?" tanya Wulan
"Tidak," Sahut Jaka tegas.
Seperti apapun bahayanya
Sarmapala, tidak bakalan Jaka
membantu. Dia tidak pernah menyukai laki-laki itu yang selalu saja menginginkan
Wulan menerima cintanya, meskipun Sarmapala seorang pendekar digdaya yang
berhati lurus.
Jaka masih ingat ketika Sarmapala
mempermalukannya di depan orang banyak.
Saat itu tubuh Jaka dibuat babak belur hanya karena salah pengertian yang
sepele. Meskipun dulu hidup bergelandang dan mengemis, tapi Jaka tidak pernah
melakukan perbuatan yang merugikan orang lain.
Waktu itu, Sarmapala masih remaja, sama seperti dirinya yang
masih berusia sekitar lima belas tahun. Dia anak seorang pembesar kerajaan yang
sangat dihormati dan disegani. Suatu saat, di pusat kerajaan sedang diadakan
pesta besar-besaran menyambut datangnya peringatan Dasawarsa Kerajaan. Dalam
keadaan seluruh penduduk bersenang-senang, tiba-tiba
terjadi ribut-ribut
Keributan itu berawal dari seorang wanita setengah baya yang
kecopetan. Kebetulan Jaka yang waktu itu masih bergelandang berada dekat dengan
kejadian itu. Semua orang langsung menuduhnya mencopet wanita setengah baya
itu. Sarmapala yang saat itu juga berada di sana bersama sejumlah prajurit,
segera bertindak tanpa bertanya lebih dulu. Tentu saja, Jaka yang hanya seorang
gelandangan dan awam terhadap ilmu kanuragan, menjadi babak belur. Untunglah
seorang kakek tua cepat menolongnya dan membawanya dari tempat itu. Kakek yang
bernama Eyang Resi Suralaga lalu mengangkat Jaka sebagai anak sekaligus murid
bersama cucu kakek itu yang bernama Wulan. Kejadian itu tidak terlupakan bagi
Jaka hingga saat ini.
"Kakang...,"
Wulan mencolek lengan
Jaka.
"Oh!" Jaka tersentak dari
lamunannya.
"Kita di sini terus, Kakang?" tanya Wulan
"Sebentar, biarkan mereka selesai dulu dengan urusannya, baru kita
lanjutkan perjalanan," jawab Jaka.
Wulan tidak membantah. Dia cukup mengerti perasaan Jaka saat
ini. Wulan pun tahu peristiwa yang sekitar dua puluh tahun yang lalu. Saat itu
dia masih berusia sekitar lima tahun. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana
kedaan Jaka waktu itu. Tetapi Wulan tidak menyalahkan Jaka ataupun Sarmapala.
Baginya hal itu hanya salah pengertian saja. Lain halnya dengan Jaka. Rupanya
dia mengingatnya sebagai sesuatu yang tidak patut dilupakan. Dan itu memang hak
seseorang, dan Wulan tidak ingin mencampurinya.
Sementara itu Sarmapala sudah bertarung melawan Klabang
Hijau. Jaka yang selalu memperhatikan dengan serius, sudah bisa menghitung
kalau pertarungan itu sudah berjalan hampir lima jurus. Dan kelihatannya
Sarmapala sudah sangat terdesak sekali.
Kepandaian Klabang Hijau memang jauh di atas Sarmapala.
Hanya saja sikap Sarmapala yang congkak dan tinggi hati membuatnya enggan
mengakui keunggulan lawan. Hidupnya yang serba kecukupan dan dikelilingi para
pengawal, membuatnya selalu memandang rendah pada siapa. Rupanya ini berlanjut
sampai dewasa. Lebih-lebih sekarang menjabat sebagai Kepala Pasukan Kerajaan,
semakin jelas sikap congkaknya. Namun demikian, Sarmapala selalu berjalan dalam
alur yang lurus.
Kini Sarmapala telah mengeluarkan jurus-jurus ilmu pedang
andalannya. Sementara Klabang Hijau kelihatan masih melayaninya
setengah-setengah. Bahkan sampai lewat tiga puluh jurus, Klabang Hijau belum
sekali pun membalas setiap serangan Sarmapala. Dia hanya berkelit menghindar,
sambil terkekeh tidak hentihentinya Hal ini membuat Sarmapala semakin gusar dan
panas hatinya.
"Klabang Hijau, jangan hanya berkelit saja! Serang aku!"
teriak Sarmapala jengkel karena merasa diremehkan.
"He he he.... Aku tidak pemah berurusan dengan pihak kerajaan.
Bahkan selamanya aku tidak ingin berurusan!" sahut Klabang Hijau.
"Jangan katakan aku kejam kalau
pedangku menembus jantungmu!" dengus Sarmapala.
"Silakan,
kalau kau mampu."
Mendengar tantangan ini, Sarmapala makin geram hatinya. Dia
pun segera memperhebat serangan-serangannya Pedang pusaka warisan Ayahandanya,
berkelebat cepat mengarah ke bagianbagian tubuh lawan. Rasa penasaran di dalam hatinya
semakin menebal. Tetapi sampai sejauh ini, pedangnya belum sedikit pun
menyentuh ujung jubah orang tua itu. Hingga pada suatu saat...
"Tahan...!"
seru Klabang Hijau keras.
"Celaka!" sentak Jaka dan Wulan hampir berbarengan.
Apa yang dilakukan Klabang Hijau?
* *
*
3
Tiba-tiba saja Klabang Hijau melesat ke udara. Setelah
berputar satu kali, dalam keadaan masih di atas, disentakkan tangan kanannya
Sepasang Walet Merah tahu betul kalau Klabang Hijau tengah mengeluarkan jurus
'Kala Wisa' yang sangat berbahaya.
Tidak semua tokoh mampu menandingi jurus 'Kala Wisa'
termasuk Sarmapala yang hanya mengandalkan ilmu kanuragan dan sedikit menguasai
ilmu kesaktian lainnya. Dapat dipastikan jika 'Kala Wisa' menghantam Sarmapala,
dia pasti tewas seketika dengan tubuh membiru. Pukulan jarak jauh 'Kala Wisa'
memiliki gelombang racun yang sangat mematikan.
Cras!
Pada detik yang sangat kritis dan mendebarkan itu, tiba-tiba
saja sebuah bayangan berkelebat cepat memapak serangan Klabang Hijau.
"Setan belang! Siapa berani mencampuri urusanku?!"
umpat Klabang Hijau gusar, karena serangannya patah di tengah jalan.
'Tidak kusangka, nama
besar Klabang Hijau ternyata hanya untuk menakutnakuti bocah kemarin sore," terdengar
suara serak dan parau.
Semua mata langsung tertuju pada arah suara tadi. Tampak
seorang perempuan tua berambut putih seluruhnya, berdiri di atas batu besar
sebesar kerbau. Orang mengenalinya dari sabuk hitam yang melilit pinggangnya.
Namanya, Nenek Sumbing.
"Tidak ada gunanya kalian mengadu nyawa di sini,"
kata Nenek Sumbing lagi. Suaranya tetap terdengar serak dan parau.
"Ha ha
ha..., ternyata mulutnya yang somplak mampu juga memberi nasehat,"
Sarmapala tertawa mengejek.
Nenek Sumbing hanya tersenyum. Bibirnya yang telah sobek
bagian atas semakin jelek dipandang. Senyuman itu juga lebih mirip seringaian.
Gigi-giginya yang hitam mencuat ke luar.
"Kau datang ke desa ini tentunya bermaksud ke Bukit
Batok. Aku rasa langkahmu hanya untuk mengantar nyawa saja, anak muda,"
tenang Nenek Sumbing berkata.
Merah padam wajah Sarmapala ketika mendengar ucapan Nenek
Sumbing yang bernada tenang itu, namun membuat panas telinga. Jelas kalau
perempuan tua itu meremehkan dirinya.
"Nenek jelek! Semua orang tahu kalau Cupu Manik Tunjung
Biru milik siapa saja yang berhasil mendapatkannya. Pusaka itu bukan hanya
milik kalian kaum rimba persilatan!" kata Sarmapala keras dengan nada
gusar.
Kata-kata yang diucapkan lantang dan keras, membuat Sepasang Walet
Merah yang sejak tadi mengamati mereka, menjadi tersentak kaget. Ternyata
berita tentang pusaka Cupu Manik Tunjung Biru sudah tersebar begitu luas. Bukan
hanya tokoh-tokoh rimba persilatan saja yang ingin memilikinya, tetapi
orang-orang kerajaan seperti Sarmapala ini pun juga tertarik.
"Rasanya tidak ada gunanya berdebat di sini. Kalau kau
punya nyali, kita dapat saling mengadu nyawa nanti di Goa Larangan Bukit
Batok," kata Nenek Sumbing seraya mencelat tinggi dan lenyap di antara
rumah-rumah penduduk.
"Perhitungan kita belum selesai, Klabang Hijau,"
Sarmapala langsung menatap Klabang Hijau. Dia tidak peduli lagi dengan Nenek
Sumbing yang entah sudah pergi ke mana.
"He he
he...," Klabang Hijau terkekeh, kemudian dibalikkan tubuhnya, lalu
melangkah.
"Hey, tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum
salah satu di antara kita mati!" teriak Sarmapala lantang. "Percuma
aku melayanimu. Buangbuang tenaga saja," dengus Klabang Hijau terus saja
berlalu.
Dengan kemarahan memuncak, Sarmapala berteriak nyaring
sambil melompat membabatkan pedangnya. Namun ketika mata pedangnya hampir
menyentuh tubuh Klabang Hijau, sekejap saja sasarannya telah melompat tinggi
dan telah hinggap di atas genteng rumah penginapan.
"Kutunggu kau di Goa Larangan
Bukit Batok," kata Klabang Hijau sambil melompat dan hilang di antara
pepohonan.
"Pengecut!"
umpat Sarmapala geram. Sambil bersungut-sungut, dihampiri kudanya yang
ditambatkan di depan rumah penginapan. Setelah melompat ringan ke punggung kuda
putih tunggangannya, kuda itu pun melesat bagai anak panah lepas dari busur
ketika digebah tali kekangnya.
Sepasang Walet Merah yang sejak tadi memperhatikan, hanya
diam saja melihat kejadian itu. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Sebentar
saja keadaan di depan rumah penginapan kembali sunyi lengang. Sementara senja
telah semakin merayap menjelang malam.
Suasana gelap mulai menyelimuti desa
itu.
"Mereka pasti menuju makam Eyang Resi," gumam
Jaka.
Wulan hanya memandang Jaka tanpa bicara.
"Kau dengar kata-kata Nenek
Sumbing tadi, Wulan?" tanya
Jaka.
"Ya,"
sahut Wulan.
"Mereka menyangka Cupu Manik Tunjung Biru ada di Goa Larangan
Bukit Batok. Dan kau tahu di dalam goa itu Eyang Resi Suralaga dimakamkan.
Apakah kita hanya berdiam diri
saja?"
"Aku tidak rela makam eyang
diobrak-abrik tangan-tangan kotor!" dengus Wulan geram.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka melompat ke punggung kuda
masingmasing. Secepat kilat digebah kuda tunggangan mereka, kembali ke Bukit
Batok. Sepasang Walet Merah kini semakin yakin bahwa benda pusaka yang tengah
diperebutkan dan dicari-cari tokohtokoh rimba persilatan adalah milik Eyang Resi
Suralaga.
Benda pusaka yang bernama Cupu Manik Tunjung Biru kini jadi
rebutan setelah pemiliknya meninggal dunia. Eyang Resi Suralaga memang tidak
pernah cerita panjang lebar mengenai hal itu. Tetapi kata-kata terakhirnya yang
merupakan teka-teki, kini hampir terungkap. Bahkan sekarang jadi permasalahan
serius.
Sepasang
Walet Merah belum tahu, apa manfaat pusaka itu bagi orang lain. Mereka sampai
rela mengadu nyawa hanya untuk memperebutkan sebuah cupu yang belum ketahuan
bentuk dan khasiatnya.
Bagi Sepasang Walet Merah cupu
itu sangat bermanfaat. Tapi bagi orang lain? Ini yang menjadi pertanyaan.
* *
*
Bukit Batok tampak berdiri angkuh terselimut kabut tebal
yang bergerak tertiup angin. Bukit yang semula tidak dikenal, kini mendadak
jadi pusat perhatian. Setiap hari selalu saja ada yang pergi ke sana. Tujuan
mereka hanya satu. Cupu Manik Tunjung Biru.
Kini Goa
Larangan Bukit Batok ramai oleh tokoh-tokoh rimba persilatan baik dari golongan
putih maupun hitam. Mereka datang sendiri-sendiri, dan ada pula yang bersama
murid-muridnya. Bahkan terlihat pula serombongan prajurit-prajurit kerajaan
yang dibagi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin seorang punggawa
atau pembesar kerajaan.
Walaupun maksud memiliki Cupu Manik Tunjung Biru berlainan,
tapi yang jelas orang-orang dari segala penjuru telah berdatangan ke Bukit
batok. Tempat itu kini seperti akan diadakan pesta saja. Bahkan ada beberapa
kelompok orang yang hanya memiliki kepandaian paspasan ikut hadir. Mereka
rata-rata hanya ingin melihat saja tokoh-tokoh tingkat tinggi saling bertarung
untuk memperebutkan benda yang bukan miliknya.
"Tidak kusangka, Cupu Manik
Tunjung Biru punya daya tarik luar
biasa," gumam seorang pemuda sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pemuda itu bertubuh kurus jangkung. Sepasang matanya bulat
cekung, masuk ke dalam di antara dua pipinya yang kempot. Namun masih juga
terlihat garis garis ketampanannya dengan kulit yang kuning langsat. Pakaiannya
rapih perlente bagai seorang pangeran. Disampingnya berdiri seorang pemuda dengan
bentuk tubuh dan wajah yang sama. Pakaiannya pun persis sama. Sulit membedakan
kalau mereka berdampingan bersama. Mereka dikenal dengan julukan si Setan
Kembar.
"Kau lihat, Adik Sencaki. Pihak
kerajaan ternyata berminat juga dengan Cupu Manik Tunjung Biru,"
kata pemuda itu lagi yang bernama Sencaka.
"Ya, mereka datang secara terbuka," sahut Sencaki.
Matanya meneliti keadaan sekitar. Sepertinya tempat ini tidak ada lagi tempat
untuk bersembunyi.
Di balik pepohonan, batu-batu, bahkan di pucuk-pucuk pohon
sudah dihuni tokoh-tokoh rimba persilatan yang selalu mengincar kesempatan
untuk menembus Goa Larangan.
Tiba-tiba mata Sencaki yang tajam menangkap sepasang anak
muda berpakaian serba merah tengah duduk di atas punggung kuda. Memang agak
jauh dari tempat ini, tapi jelas kalau mereka tengah mengawasi keadaan
sekitarnya. "Bukankah itu Sepasang Walet
Merah?" Sencaki seperti bertanya pada diri sendiri.
"Benar. Rupanya kau melihat juga," sahut Sencaka.
"Kelihatannya
mereka tenang-tenang saja, Kakang," kata Sencaki tidak mengalihkan perhatian pada Sepasang Walet Mwrah.
"Mungkin cupu itu telah berada di tangannya,"
sahut Sencaka menebak.
"Kalau begitu, untuk apa kita berada di sini? Bukankah
lebih baik merebut cupu itu dari tangan mereka?'
"Jangan terburu nafsu. Lihat dulu
perkembangan. Biarkan orang-orang dungu itu saling bunuh! Dengan
demikian, rintangan kita
berkurang."
Sencaki
mengangguk-anggukan kepalanya. Matanya tetap tidak berkedip mengawasi Sepasang
Walet Merah yang berada di puncak bukit. Dari puncak itu memang bisa terlihat
jelas keadaan di sekitar Goa Larangan.
"Aku yakin
Sepasang Walet Merah tidak rela tempat ini dijadikan ajang
pertempuran," gumam Sencaki.
"Mereka juga harus berpikir dua kali untuk langsung
turun tangan. Kau lihat saja di situ. Ada Nenek Sumbing, Klabang Hijau,
Pendekar Mata Elang, dan hampir seluruh tokoh sakti tumplek di tempat ini.
Kita sendiri belum tentu mampu
menandingi salah satu di antara mereka."
"Jadi, menurutmu bagaimana,
Kakang?"
"Diam di sini sambil mengamati perkembangan. Dan kau
jangan lepas mengawasi setiap gerak Sepasang Walet Merah."
Sencaki
mengangguk-anggukan kepalanya. Dia mengerti maksud kakak kembarnya ini. Dalam
keadaan seperti ini, memang bukan tenaga dan kesaktian yang diperlukan, tapi
kelicikan dan kecerdikan lah yang bermain. Siapa yang lebih cerdik, dia yang
berhasil mendapatkan Cupu Manik Tunjung Biru.
Tapi bukan si Setan Kembar saja yang punya pikiran seperti
itu. Tidak jauh dari mereka, juga terlihat lima orang bertubuh kekar dengan
golok tersampir di punggung. Mereka lebih di kenal dengan sebutan Lima Golok
Neraka.
"Rasanya aku sudah tidak sabar lagi," gumam salah
seorang dari Lima Golok Neraka yang mengenakan baju berwarna kuning.
"Sabar, Baga Kuning. Kita datang ke sini untuk
mendapatkan Cupu Manik Tunjung Biru. Bukan untuk mengantarkan nyawa
sia-sia!" kata seorang lagi yang mengenakan baju biru.
Memang kelima orang itu dapat
dikenal namanya dari pakaian yang dikenakan. Warna yang berbeda merupakan ciri khas dari nama mereka.
"Lalu sampai kapan kita harus
menunggu? Rasanya tanganku sudah
gatal," sembur Baga Ungu.
"Ingat, Baga Ungu, Baga Kuning, dan kalian semua.
Keadaan seperti ini sudah kita duga sebelumnya. Dan cara yang terbaik bukan
dengan jalan adu otot dan ilmu kesaktian, tapi!" kata Baga Biru sambil
telunjuknya diketuk-ketukan ke keningnya sendiri. Memang, adik-adiknya sudah
tidak sabaran lagi untuk mendapatkan benda pusaka itu.
"Lalu bagaimana menurut pikiranmu?" tanya Baga
Putih.
Baga Biru tidak segera menjawab. Dia sendiri tengah
memikirkan cara terbaik agar dapat memenangkan persaingan ini tanpa terlalu
menguras tenaga. Masalahnya, yang datang ke Bukit Batok ini bukanlah orang-orang
sembarangan. Mereka rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Jadi tidak
mungkin menghadapi mereka semua dengan mengandalkan ilmu olah kanuragan dan
kesaktian.
Langkah yang terpenting sekarang adalah dapat menjaga emosi,
dan mencari yang tepat tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Tentu saja hal ini membutuhkan kerja otak yang berat.
Kecerdikan lebih berperan untuk memenangkan persaingan ini.
Pada saat Baga Biru memeras otak, tiba-tiba terdengar
ribut-ribut yang disusul suara jerit kematian. Tampak satu pasukan berseragam
prajurit kerajaan porakporanda bagai diterjang banteng liar yang mengamuk.
Beberapa mayat terlihat bergelimpangan dengan dada tertembus batang panah.
"Ada
apa?" tanya Baga Biru.
"Ada orang gila membantai prajurit kerajaan,"
sahut Baga Kuning.
Mata Baga Biru membeliak melihat anak-anak panah datang
bagai hujan membantai para prajurit itu. Bukan hanya satu kelompok pasukan saja
yang mengalami hal ini Kelompok-kelompok lain pun ikut kacau dengan datangnya
hujan panah secara tiba-tiba itu. Jerit melengking disertai tumbangnya beberapa
tubuh manusia mewarnai keadaan Bukit
Batok.
Semua orang yang ada di situ langsung memusatkan perhatian
pada kejadian yang datang secara tiba-tiba itu. Terlihat beberapa prajurit yang
masih hidup berusaha menyelamatkan diri. Namun karena derasnya anak panah yang
datang, seperti tak ada kesempatan lagi buat mereka untuk meloloskan diri. Satu
dua anak panah dapat mereka hindari, tapi anak panah berikutnya berhasil
menembus tubuh mereka.
Malang benar nasib mereka. Siapakah orang yang begitu tega
dan kejam membantai puluhan orang tanpa diberi kesempatan sedikit pun untuk
balas menyerang? Anak-anak panah itu bagai datang dari segala penjuru. Hanya
mata yang telah terlatih baik saja yang dapat melihat kalau anak panah itu
datang dari satu arah.
Kini jeritan kematian
yang menyayat itu sebentar saja sudah tidak terdengar lagi. Yang ada hanya tubuh-tubuh
bergelimpangan tidak tentu arah. Darah membanjiri rerumputan. Bau anyir darah
mulai tercium dibawa angin.
* *
*
"Ha ha ha...,
mampus kalian semua anjing-anjing Pasirwatu!" terdengar suara menggelegar bersamaan dengan
berhentinya hujan panah.
Terlihat seorang laki-laki muda dengan tubuh tinggi tegap
berdiri di atas sebuah batu besar yang bertumpuktumpuk. Di tangan kanannya
tergenggam sebuah busur. Sedangkan di pinggangnya tergantung sebuah kantong
anak panah yang telah kosong. Pongah sekali lagaknya sambil berdiri
membelakangi matahari.
Matanya tajam memandangi mayatmayat prajurit Kerajaan
Pasirwatu. Mendadak dibuangnya busur, dan dengan gerakan lincah, kedua
tangannya mencabut tombak pendek bermata tiga yang terselip di pinggang. Dialah
Rakawigirang.
Rakawigirang membantai habis prajurit Pasirwatu memang ada
alasannya. Lima tahun lalu putri Kerajaan Pasirwatu pernah disayembarakan.
Ternyata pemuda bernama Rakawigirang ini ikut pula dalam sayembara itu. Tapi
dia dapat dikalahkan oleh putri yang disayembarakan itu. Memang putri itu
seorang yang digdaya. Rupanya dari peristiwa itu Rakawigirang memendam dendam.
"Siapa yang akan membela anjinganjing Pasirwatu? Tunjukkan muka!" teriak Rakawigirang pongah
menantang.
"Rakawigirang, tingkahmu sungguh menjijikan!"
suara balasan terdengar menggeram, disusul munculnya seorang laki-laki muda
berpakaian ketat serba putih.
"O, rupanya masih ada juga tikus busuk Pasirwatu," Rakawigirang tersenyum sinis melihat Sarmapala muncul.
Sarmapala, salah seorang abdi utama dengan jabatan kepala
pasukan prajurit Kerajaan Pasirwatu. Hatinya murka melihat pembantaian brutal
yang dilakukan Rakawigirang. Lebih-lebih katakata yang terlontar dari mulut
Rakawigirang sangat menyakitkan
telinga.
"Kurobek mulutmu, Rakawigirang!" geram Sarmapala.
"Majulah! Keluarkan senjatamu!" tantang Rakawigirang.
"Menghadapimu tidak perlu
menggunakan senjata!"
Rakawigirang segera menyelipkan kembali dua tombak bermata
tiga ke pinggangnya, lalu melesat ke udara dan bersalto dua kali. Dengan manis
kakinya menjejak tanah sejauh lima langkah di depan Sarmapala.
"Kau datang ke sini tentu ingin mencari Cupu Manik Tunjung Biru,
bukan? Nah, sebelum itu hadapi aku
dulu!" kata Rakawigirang pongah.
"Bersiaplah!" dengus Sarmapala
enggan bertele-tele.
Bibirnya belum lagi kering mengucapkan kata-kata itu,
Sarmapala langsung membuka jurus-jurus tangan kosong. Sedangkan Rakawigirang
tampak berdiri tenang dengan mata tajam mengawasi setiap kembangan jurus tangan
kosong Sarmapala. Bibirnya tersungging senyuman tipis. Dia sudah tidak aneh
lagi menghadapi jurus-jurus itu, karena telah pernah berhadapan sewaktu melawan
putri Rasmala dari Kerajaan
Pasirwatu lima tahun lalu. Tentu
saja Sarmapala juga mendapatkan sumber yang sama.
Seandainya putri sombong itu ada di sini, belum tentu dapat
mengalahkan Rakawigirang lagi. Selama lima tahun Rakawigirang memperdalam
ilmuilmunya. Apalagi kini dia mempelajari ilmu baru yang lebih dahsyat dan
dapat diandalkan.
"Tahan
serangan!" teriak Sarmapala tiba-tiba.
Bersamaan dengan itu, kaki Sarmapala bergerak cepat melompat
menerjang Rakawigirang Masih dalam posisi di atas tanah, digerakkan kakinya
dengan cepat ke arah bagian-bagian tubuh lawan.
Rakawigirang yang sudah mengetahui gerakan-gerakan itu
sebelumnya, hanya memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri dan ke kanan menghindari
sabetan kaki lawan yang beruntun. Tidak sedikit pun digeser kakinya.
Serangan pertama Sarmapala gagal total. Segera dibukanya
serangan baru dengan jurus kedua. Kali ini tubuh Sarmapala dimiringkan ke
kanan. Sebelah kakinya menekuk. Dengan cepat, tangan kanannya menyambar kepala
lawan.
Pembahan serangan yang cepat dan mendadak itu tidak diduga
sebelumnya oleh Rakawigirang. Dia kaget, lalu cepatcepat menundukkan kepala.
Tapi tanpa diduga sama sekali, kaki kanan Sarmapala yang tertekuk bergerak
cepat menendang ke depan.
"Setan!"
dengus Rakawigirang sengit.
Jarak mereka begitu
dekat dan tidak mungkin Rakawigirang mengelak. Terpaksa diayunkan tangannya memapak
tendangan itu.
Buk!
Benturan keras terjadi antara tangan dan kaki. Seketika itu
juga Rakawigirang melompat dua kali ke belakang. Bibirnya meringis menahan
sakit yang amat sangat pada tangannya.
"Babi buntung,
keluarkan senjatamu!" umpat Rakawigirang sambil meringis.
Untung tulang tangannya tidak patah. Hanya memar sedikit.
"Sudah kubilang, menghadapimu
tidak perlu menggunakan senjata," sahut Sarmapala dingin.
"Setan! Jangan
menyesal kalau kau mati di ujung senjataku!" geram Rakawigirang sambil mencabut tongkat pendek berujung tiga dari pinggangnya.
"Ha ha ha..., anak kecil pun tidak akan gentar melihat mainanmu!"
ejek
Sarmapala.
"Hiyaaa...!"
Rakawigirang tidak lagi bisa menahan amarahnya. Langsung saja dia melompat dengan dua senjata di tangan terhunus ke depan.
Sarmapala melesat tinggi ke udara
menghindari terjangan yang bagai banteng mengamuk itu. Ujung senjata
Rakawigirang meleset beberapa rambut
di bawah kaki Sarmapala. Dua kali dia bersalto di udara, lalu mendarat di
belakang Rakawigirang.
"Mampus
kau!" bentak Rakawigirang. Dengan cepat tubuhnya berputar.
Satu ujung tombak itu mengancam perut sedangkan tombak lainnya mengarah ke
leher. Sarmapala yang baru saja mendarat ke tanah, segera melenting ke belakang
beberapa tombak menghindari serangan yang
begitu cepat
"Setan!" dengus Sarmapala. "Lima tahun begitu pesat kemajuannya."
Belum lagi Sarmapala bernapas sedikit, telah datang lagi
serangan selanjutnya. Sarmapala hanya bisa berkelit dan melompat menghindari
setiap serangan lawan. Namun sampai lewat lima jurus, Rakawigirang belum
menyentuhkan ujung senjatanya ke tubuh Sarmapala. Gerakan Sarmapala benar-benar
cepat berkelit menghindari setiap serangan beruntun lagi berbahaya.
Namun setelah lewat sepuluh jurus, kelihatan Sarmapala mulai
terdesak. Beberapa kali harus jatuh bangun menghindari senjata lawan yang
nyaris menikam tubuhnya. Rakawigirang benarbenar tidak memberi kesempatan pada
lawan untuk bernapas. Dia mendesak terus dengan jurus-jurus mautnya.
Bret!
Tiba-tiba saja ujung senjata Rakawigirang berhasil merobek
baju Sarmapala. Bukan main terkejutnya pemuda itu. Cepat-cepat dia melompat
tinggi ke udara, dan menarik pedangnya. "Bagus! Aku sungkan membunuh lawan
tanpa memegang senjata!" seru Rakawigirang.
Sebenarnya Sarmapala enggan menggunakan senjata. Tetapi
karena serangan-serangan lawan sangat berbahaya, terpaksa dikeluarkan juga
senjatanya. Mau tidak mau dia harus menahan malu karena telah meremehkan lawan
tadi.
Kini pertarungan mulai berjalan seimbang. Sarmapala tidak
lagi harus jatuh bangun menghindari serangan. Bahkan kini serangan-serangannya
kelihatan mengganas. Sebentar saja telah dua puluh jurus terlewati. Namun
sejauh ini belum ada yang kelihatan terdesak.
"Awas
kepala!" teriak Sarmapala tibatiba. Dengan cepat disabetkan pedangnya ke
arah kepala lawan. Begitu cepatnya sabetan pedang Sarmapala membuat
Rakawigirang tidak punya pilihan lain. Dengan cepat pula diangkatnya satu
senjatanya untuk melindungi kepala.
Trang!
Dua senjata beradu keras sehingga menimbulkan pijaran bunga
api. Tangan Rakawigirang pun sampai-sampai bergetar hebat. Belum lagi hilang
rasa kagetnya, tiba-tiba saja Sarmapala memutar pedangnya dan....
Bret!
"Akh!" Rakawigirang memekik tertahan.
Darah mengucur dari perut yang sobek tergores ujung pedang
Sarmapala. Cepat-cepat Rakawigirang melompat dua depa ke belakang. Dia meringis
menahan perih yang menyayat perutnya. Darah terus merembes membasahi bajunya.
"Setan!"
geram Rakawigirang sengit.
"Melawan Gusti Putri saja kau tak mampu, apalagi melawan aku...?"
Sarmapala mengejek.
Rakawigirang mendengus geram.
Setelah menotok beberapa jalan darah sekitar perutnya, dia kembali menyerang
dengan ganas. Sarmapala kini tidak sungkan-sungkan lagi. Ditandinginya
Rakawigirang dengan jurus-jurus pedang mautnya. Pertarungan kembali berlangsung
seru.
Tepat pada jurus yang kelima puluh, Sarmapala merubah
jurusnya. Ditarik pedangnya ke samping, seakan-akan memberikan kebebasan lawan
untuk menikam tubuhnya yang kosong. Hal ini dimanfaatkan oleh Rakawigirang yang
sudah kalap dibalut amarah.
Dengan cepat ditusukan kedua senjatanya ke arah perut dan
dada. Semua orang melihat pasti akan menyangka Sarmapala sengaja bunuh diri
dengan membuka jurus pertahanannya. Namun apa yang terjadi selanjutnya?
Trang! Trang!
Tepat pada saat ujung-ujung senjata Rakawigirang hampir
mencapai sasaran, mendadak Sarmapala mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Dalam
keadaan doyong ke belakang itu, tangan Sarmapala yang semula terentang,
riba-riba bergerak cepat mengarahkan pedangnya dari bawah ke atas.
"Akh"
pekik Rakawigirang terkejut
Rakawigirang tidak mungkin menarik senjatanya lagi. Dengan
bebas Sarmapala memapak Dua senjata tombak pendek bermata cabang tiga itu pun
terpental ke udara. Belum lagi hilang rasa kagetnya, secepat kilat Sarmapala
membuat setengah putaran pada pedangnya. Dan....
"Aaaa...!" Rakawigirang menjerit melengking
Ujung pedang
Sarmapala berhasil menembus tepat dada Rakawigirang hingga tembus ke punggung.
Sambil mendengus, Sarmapala mengayunkan kakinya menendang tubuh lawan yang
telah tertembus pedang. Rakawigirang pun terlontar ke belakang bersamaan dengan
tertariknya pedang keluar dari tubuhnya. Darah segar menyembur dari tubuh
Rakawigirang.
Rakawigirang menggeletak tidak
bernyawa lagi. Sarmapala berdiri tegak menatap tubuh lawannya yang telah
menjadi mayat. Setelah membersihkan mata pedang dari noda darah, dimasukkannya
pedang itu ke sarungnya di punggung.
* *
*
4
Sarmapala melangkah ringan. Matanya mengamati ke sekeliling.
Dia tahu benar kalau di sekitarnya bersembunyi tokoh-tokoh rimba persilatan baik
dari golongan hitam maupun putih. Dan tentunya mereka telah menyaksikan
pertarungan tadi. Tapi sepertinya Sarmapala tidak peduli. Langkahnya terus
terayun menuju ke Goa Larangan.
Tetapi bani saja kakinya melangkah sekitar tiga tombak,
tiba-tiba di depannya meluncur sebuah bayangan berwarna hijau, yang kemudian
berhenti di depannya. Ternyata bayangan itu adalah Klabang Hijau yang telah
berdiri angker dengan sikap menantang.
"Belum saatnya kau melangkah ke sana, anak setan,"
kata Klabang Hijau dingin.
"Hm,
rupanya Klabang Hijau masih juga penasaran," gumam Sarmapala.
"Aku belum puas kalau belum
mematahkan lehermu!"
"Silakan
kalau kau mampu."
"Bersiaplah untuk mati, anak setan! Arwah cucuku yang
kau nodai belum puas kalau kau belum mampus di
tanganku!"
Setelah berkata demikian, Klabang Hijau segera mengerahkan
aji 'Kala Wisa'. Sarmapala yakin kalau lawannya kali ini tidak main-main lagi
untuk menggunakan kesaktiannya. Makanya dia pun tidak menganggap remeh, segera
disiapkan aji 'Guntur Geni', ajian yang cukup dahsyat.
Dua orang memiliki persoalan pribadi sudah siap-siap dengan
ilmu kesaktian masing-masing. Dan sebenarnya Klabang Hijau ke Bukit Batok ini
hanya untuk menemui Sarmapala. Klabang Hijau tahu betul kalau manusia satu ini
sangat gila akan benda-benda pusaka yang memiliki kekuatan tinggi. Selain itu,
Sarmapala juga gemar mempelajari ilmuilmu kesaktian. Tidak heran kalau dia
selalu meninggalkan tugas-tugasnya sebagai kepala pasukan kerajaan hanya karena
ingin memenuhi ambisinya.
Klabang Hijau tidak pernah tertarik dengan Cupu Manik
Tunjung Biru. Dia tahu kalau benda pusaka itu milik Eyang Resi Suralaga yang
mangkat beberapa tahun lalu. Klabang Hijau pun tahu kalau mendiang tokoh tua
itu memiliki cucu perempuan dan seorang murid laki-laki yang diangkat menjadi
cucunya. Jadi sudah pasti kalau Cupu Manik Tunjung Biru harus jatuh ketangan
cucu-cucunya sebagai pewaris yang sah.
"Aji 'Kala
Wisa'!"
"Aji 'Guntur
Geni'!"
Dua teriakan keras terdengar hampir bersamaan waktunya,
disusul dengan melesatnya dua tubuh lengkap dengan kesaktian masing-masing.
Klabang Hijau meluncur deras dengan kedua telapak tangan terbuka ke depan.
Sedangkan Sarmapala melompat dengan kedua tangan terkepal ke depan. Hingga pada
satu titik di udara, dua pasang
tangan bertemu.
Biar!
Ledakan keras terjadi diikuti berpencarnya bunga api yang
berwarnawarni ke segala arah. Dia bergulingan
beberapa tombak.
Sementara itu Sarmapala tidak kalah jauhnya terpental.
Punggungnya sampai menghantam sebuah batu besar hingga hancur berkeping-keping.
Debu mengepul dari batu yang hancur itu. Sarmapala menggeletak di antara
batu-batuan yang berserakan terlanggar tubuhnya. Dari mulut, hidung, dan
telinga keluar darah kental kehitaman. Pelan-pelan dia berusaha bangkit
berdiri. Tetapi baru saja bangun sedikit, dari mulutnya kembali memuntahkan
darah kental kehitaman. Sarmapala berusaha duduk, dan segera mengambil sikap
bersemedi.
Lain halnya dengan
Klabang Hijau. Setelah bergulingan di tanah beberapa kali, dengan cepat dia langsung
mengambil posisi bersemedi. Dari sudut bibirnya juga mengalir darah kental
kehitaman. Namun keadaannya tidak separah Sarmapala.
Dengan menyalurkan hawa mumi ke seluruh tubuh, tidak lama
kemudian tenaga Klabang Hijau telah pulih kembali. Masih dalam posisi bersila,
tubuhnya terangkat naik dan bergerak ke depan menghampiri Sarmapala yang telah
membuka matanya.
"Edan!" dengus Sarmapala ketika lawannya sudah kembali menyerang dengan posisi bersila.
Dengan cepat ditarik tangan kirinya ke atas, lalu
perlahan-lahan turun, tangan kanannya menyilang di dada dengan telapak tangan
terbuka. Perlahan-lahan tubuhnya juga terangkat naik.
Wush!
Klabang Hijau mengebut dua tangannya ke depan ketika
jaraknya dengan Sarmapala sudah dekat. Dan bersamaan dengan itu, Sarmapala mendorong
dua telapak tangannya ke depan. Kembali dua pasang telapak tangan bertema Namun
kali ini tidak diiring dengan ledakan. Mereka samasama mendorong rapat Tubuh
mereka juga berada sejauh batang anak panah di atas tanah.
Perubahan mulai terlihat pada wajah kedua orang itu. Tegang
sekali. Asap putih mengepul dari telapak tangan yang menyatu rapat. Dua tubuh
yang masih mengambang di atas tanah itu perlahanlahan bergerak berputar.
Semakin lama putaran itu semakin cepat. Yang terlihat kini hanya berupa bayangan
berputar pada satu titik.
"Aaaa...!" tiba-tiba terdengar teriakan memilukan.
Sejurus kemudian, tampak satu tubuh terpental dari lingkaran
yang berputar cepat. Ternyata itu adalah tubuh Sarmapala. Dia
menggelepar-gelepar sebentar, lalu diam tak bergerak lagi.
Seluruh tubuhnya hangus bagai terbakar.
Sementara Klabang Hijau telah duduk di tanah masih dengan
sikap bersemedi. Kedua tangannya menyatu rapat di depan dada. Terlihat dari
pergelangan tangan hingga telapak berwarna merah bagai darah. Agak lama dia
bersemedi, sampai berangsur-angsur warna merah di tangannya memudar, dan hilang
sana sekali. Klabang Hijau membuka matanya, lalu menarik napas dalam-dalam
sebentar, dan bangkit berdiri. Matanya sempat melihat mayat Sarmapala yang
hangus menggeletak di tanah.
"Sungguh hebat aji
'Guntur Geri'," gumam Klabang Hijau memuji kesaktian lawannya yang telah
tewas.
* *
*
Malam baru saja
menjelang. Udara dingin menyelimuti seluruh puncak Bukit Batok. Kabut tebal datang bergulunggulung sedikit menghalangi
pemandangan. Namun semua itu tidak menghalangi tokoh-tokoh rimba persilatan
untuk tetap tinggal di sana. Sementara lolongan anjing hutan semakin ramai
terdengar saling sambut. Beberapa ekor bahkan telah menghampiri mayat-mayat
yang bergelimpangan di sekitar Goa Larangan.
Pesta pora anjing-anjing liar itu tidak luput dari perhatian
Sepasang Walet Merah yang masih berdiri di puncak tertinggi bukit ini. Sepuluh
tahun mereka tinggal di Bukit Batok, setiap jengkal tanah dapat mereka hafal
dengan baik. Mereka dapat memandang dengan leluasa di bawahnya hingga dapat
tahu siapa-siapa saja yang datang ke tempat itu dengan tujuan yang sama,
mencari Cupu Manik Tunjung Biru.
"Kematian yang sia-sia," gumam
Wulan lirih.
"Hanya
orang tolol yang membuang nyawa percuma."
Sepasang Walet Merah terkejut mendengar suara yang datang
tiba-tiba dari belakang. Tampak seorang laki-laki berpakaian kumuh berdiri
dengan tangan membawa guci arak. Wulan langsung tersenyum mengetahui orang yang
ada di depannya itu.
"Kau datang lagi, Gila Jubah Hitam?" lembut suara
Wulan.
"Ya. Aku datang
untuk menyaksikan orang-orang tolol memperebutkan pepesan kosong," sahut si Gila Jubah Hitam.
Kata-katanya belum lagi hilang ditelan angin, wajah si Gila Jubah
Hitam kembali kelihatan murung. Matanya yang cekung menatap Wulan sayu.
"Aku senang jika kalian tidak lagi memanggilki dengan
sebutan si Gila Jubah Hitam," lirih suaranya
"Lantas, kami harus memanggilmu
apa?" tanya Jaka.
"Sebenarnya
namaku Atmaya." "Atmaya...?!" hampir bersamaan Jaka dan Wulan
berseru kaget
"Kenapa kalian kaget?" tanya si Gila Jubah Hitam
atau Atmaya.
"Bagaimana mungkin kami tidak kaget? Eyang Resi Suralaga sering
menyebut-nyebut namamu," kata Jaka.
"Benar begitu?" tanya Atmaya tidak percaya.
"Kau lihat aku berbohong?" Jaka malah balik bertanya.
"Bohong atau tidak, itu urusanmu. Aku hanya ingin tahu
si Suralaga bicara apa saja tentang aku?"
"Kau jangan sembarangan menyebut Eyang Resi dengan
namanya saja!" dengus Wulan gusar. Dia tidak senang kakeknya seperti tidak
dihormati.
"He he he..., rupanya kau tidak senang aku menyebut
namanya saja," Atmaya dapat mengetahui perasaan Wulan.
"Kakek Atmaya, sebenarnya ada hubungan apa antara kau dengan eyang
resi?" tanya Jaka mencoba mendinginkan suasana.
"Pertanyaanku belum dijawab, kau sudah bertanya
lagi!" Atmaya seolah-olah bersungut kesal.
"Baiklah," Jaka mengalah. "Eyang resi sering
menyebut namamu, tapi beliau tidak pernah bercerita tentang dirimu yang
sebenarnya. Beliau hanya beri pesan agar kami mencarimu setelah penyelesaian
dan penyempurnaan semua ilmu."
"Untuk apa dia menyuruh kalian mencariku?" tanya Atmaya.
"Aku sendiri
tidak tahu," sahut Jaka.
Atmaya memandang
Wulan.
"Aku tahu, tapi jawab dulu
pertanyaan Kakang Jaka," kata Wulan mengerti arti pandangan Atmaya.
"He he he..., kau memang mirip dengan ibumu. Cantik dan
cerdik!"
Atmaya terkekeh.
"Kau tahu ibuku?" Wulan kaget
campur penasaran.
Memang tidak pernah disangka kalau Atmaya atau si Gila Jubah
Hitam tahu banyak tentang diri Wulan. Tentu saja gadis ini makin penasaran
ingin mengetahui orang tua ini sebenarnya. Tampaknya dia tahu banyak tentang
Eyang Resi Suralaga dan dirinya.
"Aku tahu siapa ibumu. Wanita cantik, cerdas, dan
pandai dalam segala hal. Tidak heran kalau banyak pemuda yang ingin mempersuntingnya,"
Atmaya seperti sedang mengenang masa lalu.
Wulan semakin heran dengan kebenaran ucapan Atmaya. Meskipun
ibunya meninggal ketika dia berusia tiga tahun, tapi Wulan kenal betul dengan
ibunya. Ibunya meninggal karena menjadi korban musuh-musuh suaminya. Malang
sekali nasibnya. Wulan tidak menyalahkan ayahnya yang memang seorang pendekar.
Pendekar mana pun pasti punya banyak musuh,
"Sayang
aku terlambat datang waktu itu. Aku hanya mendapatkan ibumu telah meninggal.
Sedangkan kau sendiri dibawa Suralaga ke Bukit Batok ini. Aku tidak dapat
berbuat apa-apa lagi karena memang dia lebih berhak merawatmu daripada
aku," lanjut Atmaya.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya
Wulan. Suara terdengar bergetar.
"Meskipun Suralaga lebih tua umurnya dari aku, tapi dalam urutan keluarga dia adik misanku," lanjut
Atmaya
"Jadi...," Wulan tidak bisa berkatakata lagi.
pandangnya laki-laki yang berdiri di depannya setengah tidak percaya.
"Ya.
Kau adalah cucuku, Wulan."
"Kakek...!"
Wulan
langsung menubruk Atmaya dan memeluknya. Tidak dapat lagi ditahannya air mata
haru. Sedangkan Atmaya tampak berkaca-kaca matanya. Bagi Wulan pertemuan itu
benar-benar mengharukan dan tiba-tiba sekali. Jaka hanya dapat menatap dengan
pandangan kosong, seperti sedang mimpi saja.
Cukup lama mereka saling berpelukan menumpahkan rasa. yang
terpendam dalam dada Pelan-pelan Atmaya melepaskan pelukan gadis itu. Matanya
masih berkaca-kaca memandang wajah Wulan yang bersimbah air mata. Dengan tangan
bergetar, diusapnya air mata di wajah gadis itu.
"Kenapa baru
sekarang kakek datang ke sini?" tanya Wulan setelah tenang
kembali.
"Aku sudah janji pada Suralaga untuk tidak
menganggumu," sahut Atmaya.
"Menggangguku? Apa maksud kakek?" tanya Wulan tidak
mengerti.
"Semua peristiwa menyedihkan itu berawal dari ulahku.
Aku telah menyebar kabar yang sebenarnya sangat rahasia. Aku menyesal dan
merasa berdosa. Ketika aku berniat merawatmu, Suralaga tidak mengijinkan. Tapi
aku berjanji akan datang lagi sampai kau selesai mewarisi seluruh ilmu-ilmu
Suralaga Aku hanya bisa memberimu rahasia tentang cupu." "Rahasia
tentang cupu? Lalu, rahasia yang kakek sebar?" tanya Jaka.
"Ya mengenai cupu itu," sahut
Atmaya.
"Cupu? Maksud kakek, Cupu Manik Tunjung Biru?"
desak Jaka lagi.
"Benar. Cupu itu sebenarnya ada padaku dan kusimpan di
suatu tempat. Tapi aku mengatakan kalau benda itu dipegang ayahmu," sahut
Atmaya memandang Wulan.
"Kenapa kakek berbuat demikian?"
tanya Wulan sedikit menyesalkan.
"Aku sakit hati pada ayahmu. Beliau telah membuatku
malu di depan keluarga sehingga aku diusir dari keluarga besar," sebentar
Atmaya terdiam. Setelah menarik napas panjang, dilanjutkannya lagi.
"Sebenarnya memang salahku juga. Aku mencuri pedang pusaka miliknya dan
kusembunyikan. Ternyata perbuatanku dilihat oleh si Suralaga. Aku ditantang
oleh ayahmu. Kami lalu bertarung dan aku kalah. Tapi itu tidak berarti pedang
pusakanya kukembalikan. Setelah aku mengabarkan kabar bohong tentang cupu itu
pada orang-orang, baru aku sadar bahwa jiwa ayahmu terancam oleh orangorang
yang gila benda pusaka. Aku pun berniat akan mengembalikan pedang milik ayahmu,
tapi terlambat"
Beberapa saat kemudian keadaan menjadi sunyi. Pundak Atmaya berguncang-guncang menahan isak tangis
penyesalan.
"Kalau saja pedang itu kukembalikan pada ayahmu tentu
dia tidak akan terbunuh," kata Atmaya lagi. "Ah, sudahlah. Semuanya
telah berlalu. Semua sudah takdir Yang Maha Kuasa, Kek," lembut suara
Wulan.
"Kau tidak dendam padaku, Wulan?" Atmaya memandang
sayu pada Wulan.
"Untuk
apa? Tinggal kau satusatunya kakekku sekarang. Lagi pula semua yang telah
terjadi tidak perlu dijadikan dendam yang tidak akan pernah berkesudahan."
Atmaya tidak dapat menahan harunya. Langsung dipeluknya
Wulan dengan perasaan haru yang dalam. Betapa besar jiwa gadis ini. Setelah
pelukan itu lepas, Wulan mengajak Atmaya dan Jaka duduk di bawah pohon. Mereka
duduk melingkar tanpa membuat api unggun. Padahal udara di puncak Bukit Batok
dingin menusuk pada malam hari. Tapi buat tokoh rimba persilatan seperti
mereka, dengan mudah saja mengusir hawa dingin lewat penyaluran hawa murni ke
seluruh tubuh.
"Aku tidak
menyangka kalau mereka masih menginginkan Cupu Manik
Tunjung Biru," kata Atmaya agak bergumam setelah lama terdiam.
"Sebenarnya apa sih istimewanya
cupu itu, Kek?" tanya Wulan.
Atmaya menatap Wulan dan Jaka bergantian. Bibirnya
tersungging senyuman. Wulan heran jugal melihat wajah kakek itu mendadak jadi
cerah lagi. Memang aneh si Gila Jubah Hitam ini, sehingga orang yang diajak
bicara sering kali mengerutkan kening.
"Kakek akan menjelaskannya, bukan?" desak Jaka.
"Apa Suralaga tidak pernah memberitahu kalian berdua?" Atmaya balik bertanya.
Sepasang Walet Merah menggeleng bersamaan.
"Edan! Rupanya dia lebih gila daripada aku!" rungut Atmaya.
Lagi-lagi Wulan dan Jaka saling
berpandangan. Sulit sekali memperoleh keterangan dari laki-laki aneh ini.
Persoalan yang dibicarakan, selalu saja dibolak-balik. Ada rahasia apa yang
sebenarnya dibalik Cupu Manik Tunjung Biru, sehingga tokoh-tokoh rimba persilatan
nekad mengadu nyawa untuk memperebutkannya?
* * *
Malam terus merambat bertambah larut. Suasana puncak Bukit
Batok sebenarnya sunyi senyap. Tapi seakanakan suara anjing-anjing liar yang
berpesta menikmati mayat-mayat di sekitar Goa Larangan, terus merusak suasana
itu. Angin yang berhembus agak kencang, menyebarkan bau anyir darah. Mencekam
sekali seperti mengandung hawa kemahan.
Wulan masih tetap duduk bersimpuh di depan Atmaya. Jaka yang
duduk di samping gadis itu, tidak berkedip mengamati Atmaya. Wajah laki-laki
yang diam membisu itu, seperti tengah memikirkan sesuatu. Desahan napasnya
terdengar keras dan tiba-tiba. Kemudian perlahan-lahan kepalanya terangkat
menengadah. Secara mendadak digelengkan kepalanya sambil menyemburkan ludah
dengan keras.
"Akh!"
Seketika itu juga Sepasang Walet Merah terkejut mendengar
keluhan tertahan, disusul dengan suara benda berat jatuh ke semak-semak. Jaka
segera melompat ke arah datangnya suara
keluhan pendek tadi
"Bawa dia ke sini!" seru Atmaya berat penuh
wibawa.
Jaka yang belum hilang rasa terkejutnya, mendapatkan seorang
lakilaki muda terkapar di semak-semak Segera diseretnya tubuh orang itu ke
depan Atmaya. Kelihatannya orang itu masih bernapas, dengan setemplokan ludah
kental menempel di keningnya Rupanya semburan ludah Atmaya tadi disertai
pengerahan tenaga dalam. Sungguh luar biasa, Atmaya Dia cepat tahu kalau di
sekitar sini ada orang yang mengintai. Padahal Sepasang Walet Merah tidak
mendengar apa-apa tadi.
"Bangun!" dengus Atmaya sambil mengetuk jidat
orang yang terkapar di depannya.
Seketika itu juga orang itu bangun. Tiba-tiba saja ludah
yang menempel di jidat orang itu langsung hilang, dan lengket menepel di ujung
ranting kering yang dipegang Atmaya. Aneh.
"Ampun, Ki, jangan bunuh aku," kata orang itu segera
berlutut di depan Atmaya
"Siapa yang menyuruhmu mematamataiku?" tanya
Atmaya dingin suaranya
Jaka memperhatikan laki-laki yang kelihatan masih muda dan
sebaya dengan dirinya. Dia sendiri heran dengan sikap orang itu yang seperti
ketakutan di depan Atmaya. Padahal, kalau dilihat dari cara mengintip tadi,
sepertinya dia memiliki kepandaian yang lumayan. Sampaisampai sepasang Walet
Merah tidak mengetahui kehadirannya
"Kau datang ke sini bersama gurumu, heh?" tegas
dan berat suara Atmaya.
"I...,
akh!"
Belum lagi orang itu mengucapkan satu kata, tiba-tiba
tubuhnya terjungkal. Di keningnya menancap sebuah paku emas. Wulan dan Jaka
serentak melompat dan bersiaga dengan tombak pendek bermata dua pada
ujung-ujungnya. Sedangkan Atmaya masih tetap duduk bersila di tempatnya. Dia
seperti tidak terpengaruh sama sekali.
"Paku Emas...," gumam Atmaya dengan mata
menatap lurus pada paku emas yang tertancap pada kening orang itu.
Sret! Sret!
Dua kilatan sinar kuning melesat
cepat ke arah Atmaya. Dengan sigap, digerakkan tangan kanannya. Dan...
Tap! Tap!
Seketika itu di jari-jari tangan Atmaya sudah terselip dua
batang paku emas Secepat kilat Atmaya menggerakkan tangannya, dan kembali sinar
kuning melesat ke arah yang berlawanan menuju serangan gelap tadi.
"Aaaakh...!"
Terdengar dua kali
teriakan kesakitan saling susul. Kemudian terlihat dua sosok tubuh terguling, tersuruk dari semaksemak. Masing-masing keningnya tertancap
sebuah paku emas.
"Hm..., hanya cunguk busuk!"
gumam Atmaya agak mendengus.
"Siapa mereka, Kakang?" tanya Wulan.
"Orang-orang partai Paku Emas,"
jawab Jaka setengah berbisik
"Kau tahu
mereka?"
"Ya. Dari senjata yang digunakan. Eyang resi pernah
cerita padaku tentang
partai itu."
Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika Eyang Resi
Suralaga menceritakan seseorang atau sebuah partai, tentulah ada maksudnya.
Paling tidak mereka yang diceritakan punya tingkatan kepandaian yang cukup
tinggi dan punya nama dalam rimba persilatan.
Ketika Wulan akan membuka mulutnya lagi tiba-tiba beberapa
sinar kuning kembali meluncur deras ke arah mereka dan Atmaya. Jelas di sekitar
sini tidak hanya tiga orang saja dari partai Paku Emas. Selain mereka yang
telah tewas tadi masih ada beberapa orang yang mengintai. Bahkan kemungkinan
guru mereka juga hadir di sini.
Tring! Tring!
Sepasang Walet Merah menangkis serangan-serangan itu dengan
memutarmutar tombak pendek senjata andalan mereka. Paku-paku emas yang
mengancam jiwa, rontok di tengah jalan tersapu senjata Sepasang Walet Merah.
Sementara itu Atmaya hanya melompat-lompat berkelit
menghindari serangan beruntun yang datang bagai hujan. Paku-paku itu datang
saling susul tidak hentinya mengancam tubuh si Gila Jubah Hitam.
"Hanya beginikah tikus-tikus yang kau bawa, Jenggala?" Atmaya berkata
nyaring mengejek
Setelah berkata demikian, tangannya bergerak cepat Dan
tiba-tiba saja beberapa paku emas berbalik arah, disusul dengan terdengar jerit
kematian. Beberapa tubuh terjungkal dari semak-semak dan balik pohon.
"Gunakan 'Sapuan Badai', Adik Wulan!" seru Jaka ketika
melihat Atmaya berhasil merobohkan beberapa orang lagi dengan senjata lawannya
pula.
"Baik, Kakang!" sahut Wulan. Seketika itu juga
Sepasang Walet Merah melompat dan berpegangan tangan. Tombak mereka berputar
bagai balingbaling. Bagai terjadi angin topan saja, paku-paku yang berkelebatan
mengancam jiwa mereka tertiup keras dan berbalik arah mengarah ke pemiliknya.
Kembali terdengar jerit melengking disusul dengan robohnya beberapa orang dari
semaksemak. Senjata makan tuan.
Deru
angin dari ajian Sepasang Walet
Merah terus bekerja dan semakin
dahsyat Pohon-pohon kecil mulai melayang tercabut sampai ke akar-akarnya.
Batubatu kerikil berterbangan tersapu angin dari jurus 'Sapuan Badai' milik
Sepasang Walet Merah. Bahkan kini pohon-pohon besar mulai tumbang. Kembali
jerit kematian dan kepanikan yang menyayat
"He he he..., bagus, bagus!" Atmaya terkekeh
gembira.
Dengan sikap tenang dia berdiri sambil melipat tangannya di
dada. Sepertinya tidak terpengaruh sama sekali dengan jurus 'Sapuan Badai'
Suara Atmaya terdengar terus terkekeh. Gilanya seperti kumat lagi
Namun angin badai tidak bertahan lama ketika tiba-tiba saja
dua berkas sinar kuning berhasil menembus badai buatan itu. Dua sinar kuning
itu mengarah deras ke kepala Sepasang Walet Merah.
"Awas, Kakang!" teriak Wulan langsung melompat sambil melepaskan pegangan tangannya pada Jaka.
Seketika itu juga Jaka melompat ke arah yang berlawanan. Dua
sinar kuning meluruk cepat mengenai sasaran kosong dan hanya menghantam sebuah
pohon besar. Terdengar suara ledakan yang dahsyat. Ternyata berasal dari pohon
yang hancur berkeping-keping dihantam dua sinar kuning tadi.
"Tidak percuma kalian menguras ilmu si tua bangka
Suralaga. Sayang, kalian harus lebih banyak membuka mata dan telinga,"
terdengar suara menggema yang disertai pengerahan tenaga dalam.
Sepasang Walet Merah kembali melompat dan berdiri
berdampingan. Mata mereka melayang mengamati ke sekitarnya yang gelap
diselimuti kabut tebal. Suara itu seperti datang dari segala arah. Jelas,
sumber suara itu milik orang yang cukup tinggi ilmunya. Dia dapat
memperdengarkan suara tanpa diketahui di mana orangnya. Sepasang Walet Merah
memang telah menyadari sejak semula kalau yang datang ke Bukit Batok adalah
orang-orang yang berilmu cukup tinggi.
"Muncullah,
Jenggala. Aku tidak suka main petak umpet macam anak kecil!" seru Atmaya atau si Gila Jubah Hitam. Suaranya pun dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup
sempurna.
"Ha ha ha...!" kembali terdengar suara. Kali ini
suara tawa keras disertai pengerahan tenaga dalam yang kuat. Suara itu terdengar
menggelegar dan menyakitkan telinga.
Saat setelah suara tawa itu berhenti, dari sebuah batu besar
muncul sesosok tubuh berpakaian serba kuning yang ketat. Pada bagian dadanya
tersulam gambar sebuah paku dari benang emas yang indah. Dia berambut panjang yang
digulung ke atas. Beberapa helai dibiarkan meriap sampai bahu.
Wulan agak
tersekat juga ketika melihat wajah orang itu. Tak disangka sama sekali kalau
wajah itu begitu tampan dengan kulit putih bersih. Dua bola matanya bening
bagai bayi baru lahir. Bibirnya merah seperti bibir seorang gadis, dengan
senyum tersungging. Tubuhnya pun ramping, namun
"Dia kah yang bernama Jenggala?"
Wulan bertanya dalam hati.
* *
*
119
Jenggala. Wajah yang tampan itu tenang saja berdiri sekitar
lima tombak di depan mereka. Sungguh tidak sesuai sekali dengan namanya. Wulan
dibuat tak berkedip menatap laki-laki muda itu. Pikir Wulan, nama Jenggala
adalah seorang laki-laki tua renta dengan wajah yang buruk. Ternyata dugaannya
meleset Yang berdiri di depannya adalah seorang pemuda dengan pandangan mata
mempesona serta senyum memikat setiap gadis yang meliriknya.
"Oh!" Wulan tersentak ketika Jaka menyenggol sikunya dengan keras.
"Jangan terpesona dengan
ketampanannya," bisik Jaka sambil
menekan suaranya.
Seketika wajah Wulan memerah. Malu. Ternyata sejak tadi Jaka
memperhatikannya Wulan jadi salah tingkah setelah kepergok tengah mengagumi
ketampanan seorang pria. Apalagi suara Jaka tadi seperti ditekan dengan maksud
mengingatkan Wulan agar jangan terlalu terbawa perasaannya sendiri.
"Jenggala, apa maksudmu datang ke sini?" tanya
Atmaya setelah lama saling berdiam diri.
"Huh! Kau
sendiri, ada apa muncul di sini?" Jenggala balas bertanya tanpa menjawab.
"Urusanku di sini tidak ada sangkut pautnya
denganmu!" dengus Atmaya
"Kalau begitu, menyingkirlah! Aku ada perlu sedikit
dengan Sepasang Walet Merah!"
"Kutu busuk! Pongah sekali lagakmu!" rungut Atmaya sambil menghentakkan kakinya ke tanah dengan
kesal.
"Mungkin aku pongah, tapi tidak bejat sepertimu!" sinis suara
Jenggala.
Sambil menggeram berat, si Gila Jubah Hitam langsung
menggerakkan tangan kanannya. Dengan seketika dari telapak tangannya yang
terbuka, meluncur seberkas sinar merah ke arah Jenggala. Si Gila Jubah Hitam
rupanya tidak sungkansungkan lagi mengerahkan kesaktiannya.
"Uts!" Jenggala melompat ke atas menghindari sinar merah yang meluncur
deras mengancam nyawanya.
Sinar merah itu terus meluncur, lalu menghantam pohon di
belakang Jenggala.
Akibatnya memang tidak langsung.
Perlahan-lahan daun-daun pohon itu berguguran. Pengaruh sinar merah itu terus
bekerja, sedikit demi sedikit mulai kelihatan hasilnya. Batang pohon mulai
hangus seluruhnya, kemudian luruh hancur jadi debu. Sungguh hebat ilmu 'Arang
Geni' yang dilepaskan si Gila Jubah Hitam.
Tanpa memberi kesempatan, si Gila Jubah Hitam segera
menyerang kembali lawannya yang masih berada di udara. Mau tidak mau Jenggala
bersalto di udara menghindari sinar-sinar merah itu. Baru saja kakinya sampai
di tanah, kembali dia harus melesat ke udara sambil jungkir balik beberapa
kali. Sinar-sinar merah itu terus mengancam jiwanya.
"Setan!"
umpat Jenggala geram.
Seketika itu juga dilontarkan pakupaku emas andalannya ke
arah si Gila Jubah Hitam atau Atmaya. Kini gantian si Gila Jubah Hitam yang
harus jumpalitan menghindari paku-paku emas, sambil melancarkan ajian 'Arang
Geni'. Sinarsinar merah dan kuning saling berkelebat di tengah kegelapan malam
yang pekat oleh selimut kabut tebal.
Sepasang Walet Merah hanya terpaku saja melihat pemandangan
yang indah namun mengancam nyawa itu. Sinar-sinar merah dan kuning yang
berseliweran itu kadang-kadang berbenturan hingga nienimbulkan percikan
bunga-bunga api berwarna kebiru-biruan.
Sedikit demi sedikit jarak mereka
makin dekat saja. Namun sinar-sinar yang indah tapi mengandung maut itu semakin
jarang terlihat. Selanjutnya yang terlihat hanya kelebatan-kelebatan dua tubuh
yang saling balas menyerang mempergunakan jurus-jurus silat yang cukup tinggi.
"Tampaknya pertarungan ini akan berjalan lama,"
gumam Jaka seperti bicara sendiri.
"Kau menyangka begitu, Kakang?" tanya Wulan tanpa mengalihkan pandangannya pada pertarungan itu.
"Ya. Mereka tokoh-tokoh sakti yang sudah cukup punya
nama dalam rimba persilatan. Aku yakin tingkat kepandaian mereka
seimbang," sahut Jaka sambil menjatuhkan diri, duduk di rerumputan.
Wulan menoleh sebentar, lalu ikut duduk di samping Jaka.
Kembali pandangan terarah pada pertarungan itu. Bagi Wulan dan Jaka ini adalah
kesempatan buat mereka menyaksikan pertarungan dua tokoh sakti yang sudah cukup
punya nama dengan jurus-jurus silat cukup tinggi. Tiba-tiba Wulan tersentak ketika Atmaya merubah jurusnya.
"Kakang, bukankah itu jurus 'Kelelawar Sakti'," tanya Wulan
disela-sela keterkejutannya.
"Benar. Rupanya Kakek Atmaya dan Eyang Suralaga
memiliki ilmu yang sama," sahut Jaka yang juga mengenali jurus itu.
"Sungguh dahsyat jurus 'Kelelawar Sakti', sayang eyang resi tidak
mengajarkannya padaku," gumam Wulan.
"Kau sudah memiliki padanannya, Wulan," kata Jaka menangkap nada
kekecewaan pada Wulan.
"Tapi, apakah jurus 'Pukulan Batara Karang"
sehebat dan sedahsyat jurus
'Kelelawar Sakti'?"
"Dua
jurus itu memiliki kehebatan dan kelemahan sendiri-sendiri. Tapi jika keduanya
dipadukan dengan satu kerjasama yang serasi, sangat sulit dicari
tandingannya," Jaka menjelaskan.
"Kalau begitu, Eyang Resi pasti
menurunkan jurus 'Kelelawar Sakti'
padamu?" tanya Wulan.
"Benar,"
sahut Jaka
"Kenapa kita tidak berlatih
kerjasamanya, Kakang?"
"Tanpa berlatih pun, jika kita gunakan secara
bersama-sama sudah merupakan satu kesatuan jurus yang ampuh."
Wulan
menganggguk-anggukan kepalanya. Namun dalam hati masih belum mengerti dengan
sikap eyang resi yang tidak pernah bercerita tentang kedahsyatan jurus-jurus
yang dipelajarinya bila dipadukan dengan jurus-jurus yang dimiliki Jaka. Memang
dalam beberapa jurus, mereka dapat bekerjasama secara kompak. Tapi sepertinya
masih banyak yang belum diketahui Wulan. Sedangkan Jaka seperti tahu banyak
tentang jurus-jurus yang diberikan Eyang Resi Suralaga.
Apakah Eyang Resi hanya memilih Jaka untuk mengetahui banyak
tentang jurus-jurus itu? Kalau memang demikian, berarti Eyang Resi Suralaga
bersikap pilih kasih! Memberikan teka-teki padanya, tapi kuncinya diberikan
kepada Jaka. Sungguh tidak adil! Benak Wulan terus berkecamuk.
Sementara itu pertarungan antara Atmaya dan Jenggala terus
berlangsung semakin seru. Dua puluh jurus telah berlalu dengan cepat, tapi
belum ada tanda-tanda yang terdesak. Kelihatannya mereka masih seimbang, entah
sampai berapa jurus lagi. Sepasang Walet Merah tidak berkedip mengamati setiap
gerakan juris yang mereka keluarkan.
Walaupun mata Wulan
tertuju pada pertarungan itu, tapi benaknya teras bertanya-tanya tentang sikap Eyang Resi
Suralaga yang dirasanya tidak adil
* * *
Ketika lewat lima puluh jurus, mendadak Jenggala melompat
mundur sejauh lima lompatan katak. Keringat telah membasahi sekujur tubuhnya.
Wajahnya yang tampan kelihatan memerah. Dengus napasnya memburu.
Sedangkan keadaan Atmaya tidak jauh berbeda dengan,
lawannya. Baju kumal yang dikenakannya telah basah oleh keringat. Garis-garis
wajahnya terlihat menegang. Selama malang melintang di rimba persilatan, baru
kali ini Atmaya mendapat lawan yang tangguh. Kali ini dia benar-benar serius
menghadapi lawannya hingga menghabiskan lima puluh jurus.
"Aku akui kau
hebat Atmaya Tapi belum cukup untuk memiliki Cupu Manik Tunjung Biru," kata Jenggala dengan tenang.
"He he he...,
cupu itu memang bukan hakku, dan bukan pula hakmu," sahut
Atmaya terkekeh.
"Cupu itu milik semua orang, maka aku berhak pula
memilikinya!" dengus
Jenggala.
"Aku yakin, kau tidak bisa
menggunakannya," sinis penuh ejekan
suara Atmaya.
Jenggala hanya mendengus saja. Memang secara jujur, dia
belum tahu kegunaan cupu itu. Tapi dari kabar yang tersiar, di dalam cupu itu
terukir tulisan tentang jurus-jurus sakti. Di dalam cupu itu pun terdapat
jantung Walet Merah yang berkhasiat untuk menolak berbagai racun yang terganas
sekali pun. Secara alamiah, tubuh orang yang memakan jantung itu akan timbul
hawa murni secara terus menerus dan teratur. Tidak mustahil kekuatan tenaga
dalam akan berlipat ganda.
Goresan tulisan yang terdapat dalam Cupu Manik Tunjung Biru
adalah jurusjurus sakti Walet Merah. Semua yang terdapat pada Cupu Manik
Tunjung Biru sebenarnya yang berhak memilikinya hanya Sepasang Walet Merah.
Jadi secara langsung mereka adalah ahli waris dari ilmu Walet Merah. Eyang Resi
Suralaga sendiri, dulu telah mempersiapkan jurusjurus dasar Walet Merah untuk
Wulan dan Jaka Untuk lebih menguasai dan menyempurnakan jurus-jurus itu, mereka
harus menemukannya pada Cupu Manik Tunjang Biru. Jika kelak terlaksana, tidak
mustahil mereka menjadi sepasang pendekar yang tangguh dan sulit dicari
tandingannya.
Sementara itu Jenggala telah bersiapsiap dengan jurus
andalannya. Kedua kakinya terpentang lebar ke samping Tangan kirinya terkepal
ke atas, dan tangan kanan terbuka di depan dada. Atmaya paham betul kalau
Jenggala hendak mengeluarkan jurus 'Tapak
Karang Waja'.
"Aku tidak boleh main-main," Usik Atmaya dalam
hati.
Segera saja
digeser sebelah kaki kanannya ke depan agak menyamping.
Kemudian kaki kirinya ditekuk
sehingga lututnya hampir menyentuh tanah. Sedangkan kedua tangannya terbuka
menyilang di dada.
"Jurus 'Naga Wisa'!" sentak Wulan
mengenali jurus yang diperagakan Atmaya.
Memang yang diperagakan Atmaya adalah jurus andalan yang
sangat ampuh dan berbahaya. Jari-jari tangannya membiru, mengandung racun yang
mematikan. Lebih dahsyat lagi kalau seluruh tubuh Atmaya telah timbul
sisik-sisik seperti seekor naga. Ini berarti dia telah sampai pada tingkat
terakhir jurus 'Naga Wisa'.
Apa yang dibayangkan Wulan memang kenyataan. Seluruh tubuh
Atmaya perlahan-lahan muncul
sisik-sisik yang berkilauan. Jari-jari tangan seluruhnya sudah membiru. Lebih
menakutkan lagi, kedua bola mata Atmaya merah menyala bagai bola api yang siap
membakar apa saja. Bahkan dari mulutnya menjulur lidah yang bercabang.
"Gawat!" Jenggala pasti mati!" desis Wulan.
Wulan tahu betul kehebatan jurus 'Naga Wisa' karena jurus
itu pernah dipelajarinya dari Eyang Resi Suralaga meski belum sampai tingkat
terakhir. Gadis ini baru menguasai tingkat kelima. Sedangkan jurus 'Naga Wisa'
ada sepuluh tingkatan. Gambaran mengenai jurus-jurus selanjutnya itu, sudah
diketahuinya karena Eyang Resi Suralaga sudah memperlihatkan semuanya
"Kau cemas?" Jaka berbisik melihat Wulan seperti
gelisah,
"Ah, tidak!" sahut Wulan gugup.
Cepat-cepat dia bersikap wajar.
Jaka semakin yakin kalau Wulan sudah terpikat dengan
ketampanan Jenggala. Memang tidak bisa dipungkiri kalau sebenarnya Jaka
cemburu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hubungannya dengan Wulan hanya
sebatas seperti kakak beradik saja, meskipun satu sama lain telah sama-sama
tahu kalau mereka bukanlah saudara.
Kembali Sepasang Walet Merah memusatkan perhatian pada kedua
tokoh yang sudah siap dengan jurus andalan masing-masing. Atmaya kini berdiri
tegak dengan bola mata merah menyala mengarah pada Jenggala yang telah siap
dengan jurus 'Tapak Karang Waja'
"Aku tidak peduli setan apa yang merasuk dalam tubuhmu,
Atmaya," desis Jenggala. "Malam ini kau harus mampus oleh 'Tapak
Karang Waja'!"
Selesai berkata, Jenggala langsung menarik turun tangan
kirinya. Dengan satu teriakan keras, kakinya terangkat lalu dijejakkan ke tanah
dengan kuat Dalam sekejap saja, tubuh Jenggala sudah meluncur deras ke arah
Atmaya.
"Mampus kau, Atmaya!" teriak
Jenggala lantang.
"Aaaargh...!"
Atmaya menggeram dahsyat
Sungguh sangat sukar dipercaya, Atmaya sedikit pun tidak
merobah posisinya. Dia tetap berdiri tegar walaupun Jenggala telah menyerang
dengan mengerahkan jurus andalannya Dan pada detik selanjutnya...
Blarr!!!
"Aaaargh...!"
"Aaaakh...!"
Suara ledakan dahsyat saling susul bersama jerit melengking
dan geraman keras ketika kedua telapak tangan Jenggala membentur dada Atmaya.
Seketika dua tubuh terpental keras ke belakang.
Badan Jenggala membentur pohon besar hingga hancur. Tidak
berhenti di situ, beberapa pohon tumbang terhantam tubuh yang terus meluncur
itu Luncuran tubuh Jenggala baru berhenti ketika jatuh bergulingan di tanah,
lalu menghantam batu sebesar kerbau hingga hancur berantakan. Jenggala
menggeletak dengan darah kental keluar dari mulutnya. "Kakek...!"
jerit Wulan histeris.
Memang, nasib yang dialami si Gila Jubah Hitam tidak jauh
berbeda Tubuhnya terpental jauh ke belakang membentur dinding bukit cadas yang
keras. Dinding batu cadas itu hancur dan menimbulkan getaran yang amat kuat
bagai terjadi gempa. Atmaya, atau si Gila Jubah Hitam menggelatak di antara
reruntuhan batubatu cadas. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah segar.
"Kakek...," rintih Wulan menghambur ke arah si
Gila Jubah Hitam. Gadis Ini semakin yakin kalau laki-laki itu memang kakeknya.
Jurus-jurus yang dimiliki sangat mirip dengan Eyang Resi Suralaga.
Ketika Wulan akan menubruk, tangan Atmaya bergerak lemah
mencegah. Wulan berhenti. Matanya menatap cemas terhadap keadaan kakeknya.
Seluruh tubuh laki-laki itu penuh sisik keperakan. Dadanya bergerak pelan dan
tersengal. Di dadanya juga terlihat ada tanda dua tapak tangan berwarna merah
kehitaman. "Jangan dekat, Wulan. Kau belum sempurna menguasai jurus 'Naga
Wisa'. Sangat berbahaya bagimu," lemah suara Atmaya.
"Kek...," suara Wulan tersekat di tenggorokan.
"Cupu Manik Tunjung Biru milikmu dan Jaka. Di dalamnya
banyak tersimpan jurus-jurus maut yang harus kalian kuasai penuh sebagai
Sepasang Walet Merah. Dua jantung yang ada di dalamnya harus kalian makan. Aku
yakin, ketak kalian akan menjadi sepasang pendekar yang sulit dicari
tandingannya," semakin lemah suara Atmaya. Sinar matanya pun semakin
redup.
Wulan tak kuasa lagi membendung air matanya. Sementara Jaka
hanya berdiri saja di samping gadis itu yang berlutut di sisi tubuh Atmaya
"Hanya satu
pesanku, jadilah kalian sepasang pendekar yang berada di jalan lurus. Kalian tidak boleh berpisah satu sama lain. Aku senang jika kalian
menurunkan ilmu pada anak cucu kalian, juga cucu-cucu buyutku. Wulan..., kau
bersedia meluluskan permintaanku, juga permintaan Suralaga?"
Mulut Wulan seperti terkunci. Dia hanya memandang pada Jaka
yang telah berlutut juga. Memang sulit untuk meluluskan permintaan terakhir
itu. Di antara mereka berdua sudah terjalin tali persaudaraan yang erat. Hal
ini sulit bagi Wulan yang telah menganggap Jaka sebagai kakaknya. Entah bagi
Jaka.
"Aku akan mati tersenyum jika kalian mau
berjanji," kata-kata Atmaya makin melemah. Beberapa kali dia
terbatuk-batuk dan diiringi dengan darah yang muncrat dari mulutnya.
Tidak ada pilihan lain bagi Wulan kecuali mengangguk Jaka
pun ikut menganggukkan kepalan ketika Atmaya memandang lemah kepadanya.
Laki-laki kumal itu tersenyum bahagia.
"Jika
aku mati, timbuni saja dengan batu-batu. Jangan kalian sentuh tubuhku.
Sangat berbahaya. Racun yang berada
di seluruh tubuhku akan mematikan kalian
seketika! Se... lamat..., ting...,
gal!"
"Kek...!"
Wulan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Atmaya atau si Gila
Jubah Hitam telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Bibirnya menyungging
senyum. Sesaat keadaan menjadi sunyi lengang. Bahu Wulan terguncang-guncang,
menangis terisak. Sedangkan Jaka hanya tertunduk dengan hati terbalut duka dan
berbagai perasaan lainnya. Pesan terakhir Atmaya sangat persis dengan pesan
Eyang Resi Suralaga sebelum meninggal.
"Jenggala, kubunuh kau!" geram
Wulan tiba-tiba!
"Wulan...!"
Jaka tidak
bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegah gadis itu yang tiba-tiba kalap. Wulan
telah melompat cepat sambil menghunus tombak pendek bermata dua. Ketika sampai
di tubuh Jenggala, langsung senjata andalannya berkelebat cepat.
Tetapi apa yang terjadi? Wulan langsung mundur ketika ujung
senjatanya menyentuh jasad Jenggala. Hanya terkena ujungnya saja, jasad itu
segera hancur jadi debu. Benar-benar dahsyat jurus 'Naga Wisa'. Jasad Jenggala
kini menjadi tepung dalam seketika. Baru kali ini Wulan menyaksikan keampuhan
jurus 'Naga Wisa' yang sesungguhnya.
"Wulan...."
Wulan menoleh. Matanya basah oleh air bening yang merembang
di kelopak matanya yang bulat indah. Jaka mengambil senjata di tangan Wulan,
dan diselipkan di pinggang gadis itu. Pandangan matanya lembut lurus ke arah
bola mata Wulan. Sesaat mereka hanya terdiam saling pandang.
"Sebaiknya kita kubur dulu jenazah Kakek Atmaya,"
bisik Jaka lembut.
Wulan menoleh ke arah jasad
Atmaya. Hatinya sedih melihat satusatunya keluarga terakhir telah
meninggal dunia. Sepertinya baru sedetik mereka bertemu. Dan kini harus berpisah
untuk selama-lamanya. Maut kembali memisahkan Wulan dari orang-orang
yang
dicintainya
* *
*
Pagi baru saja menjelang. Matahari mengukir dirinya dengan
sinar kemerahan menyapu lembut mengusir kabut. Burungburung membangunkan
teman-temannya untuk mencari makan entah di mana. Di samping tumpukkan batu,
Wulan masih berdiri mematung membayangkan kenangan-kenangan manis yang telah
dialaminya. Sedangkan Jaka masih setia menunggu di samping gadis itu. Sudah
cukup lama mereka saling berdiam diri. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
"Wulan...," bisik Jaka tiba-tiba sambil menepuk
pundak Wulan lembut.
Wulan mengangkat kepalanya dan tersentak kaget. Tiba-tiba
saja di depan mereka telah duduk bersila seorang pemuda berambut panjang.
Laki-laki muda itu hanya mengenakan rompi dengan pedang bergagang kepala burung
tersampir di punggungnya. Dialah
Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga, atau Pendekar Rajawali Sakti juga mengangkat
kepalanya pelan-pelan. Jarak mereka tidak terlalu jauh, hanya sekitar dua
tombak lebih. Secara serentak,
Sepasang Walet Merah telah
menggenggam tombaknya masing-masing yang masih terselip di pinggang. Kehadiran
Rangga yang tidak diketahui sama sekali, membuat Sepasang Walet Merah cepat
waspada.
"Maaf, mungkin kehadiranku
membuat kalian terkejut," kata Rangga lembut disertai senyum terkembang.
"Kau datang ke
sini tentunya ingin mencari Cupu Manik Tunjung Biru, bukan?" Wulan langsung menuduh.
"Benda atau makanan itu?" tanya
Rangga sambil berdiri.
"Jangan berlagak bodoh!" sentak
Wulan sengit
"Kehadiranmu tanpa kami ketahui sudah menandakan kalau
kau bukan orang sembarangan. Tentunya maksud dan tujuanmu sama seperti yang
lain," ucap Jaka masih dapat bersikap sabar dan lunak.
"Maaf," ucap Rangga sedikit hormat "Aku di
sini memang telah sejak malam tadi"
"Nah, jelas sekarang! Kau mengintai kami dan mengira
kami menyimpan cupu itu!" ucap Wulan ketus. "Ayo, Kakang. Orang ini
jelas-jelas menginginkan Cupu Manik Tunjung Biru!"
"Tunggu, Wulan!" Jaka cepat-cepat mencegah tangan Wulan yang akan
menarik senjatanya.
"Apakah kehadiranku di sini
mengganggu?" tanya Rangga.
"Maaf atas kekasaran sikap adikku," ucap Jaka
sudah dapat menuai kalau
Rangga tidak bermaksud buruk.
"Kalau boleh tahu, siapa namamu dan bermaksud apa datang ke Bukit Batok
ini?"
"Namaku Rangga. Aku datang ke sini secara kebetulan
saja. Sebenarnya aku hanya ingin lewat saja. Tetapi ketika aku melihat begitu
banyak orang dan mayat bergelimpangan, lalu aku singgah sebentar," Rangga
menjelaskan secara jujur. "Apa kedatanganku mengganggu?"
"Jangan percaya kata-katanya, Kakang!" kembali ketus
suara Wulan.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar suara tanpa
persahabatan itu. Bisa dimakluminya sikap gadis cantik ini. Semalam dia telah
tahu permasalahannya yang sedang terjadi. Itulah sebabnya, mengapa tidak
dilanjutkan perjalanannya. Hati nuraninya merasa tergerak ingin membantu
sepasang anak muda yang tengah dilanda bahaya ini.
Rangga sama sekali tidak menyalahkan sikap Wulan yang terlalu
emosi itu. Tapi Rangga kagum dengan
sikap Jaka yang lebih sabar dan tenang dalam menghadapi persoalan. Benar-benar
sikap seorang ksatria sejati
Baru saja Rangga ingin membuka mulutnya, tiba-tiba terdengar
suara tawa mengikik, yang disusul dengan kelebatan bayangan Dan detik itu juga
muncul seorang perempuan tua berambut putih. Pada bibir bagian atasnya terdapat
luka panjang sehingga giginya yang hitam
terlihat mencuat
"Nenek Sumbing," desis Jaka
mengenali perempuan tua itu.
Wulan sedikit terkejut dengan kedatangan perempuan tua itu yang
secara tiba-tiba di Bukit Batok ini.
Memang telah diduga sebelumnya, tapi tak disangka harus begini cepat berhadapan dengan tokoh tua yang
sulit diukur tingkat kepandaiannya.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba saja muncul
seorang laki-laki tua berpakaian serba hijau. Dari warna pakaiannya, jelas
kalau dia adalah Klabang Hijau. Kemunculannya didasari oleh rasa penasaran
melihat Nenek Sumbing yang telah berhasil menggagalkan aji 'Kala Wisa' ketika
Klabang Hijau berhadapan dengan Sarmapala di depan penginapan.
Klabang Hijau yang gemar mencari lawan untuk mengadu
kesaktian, seperti merasa ditantang dengan kata-kata Nenek Sumbing waktu itu.
Makanya setelah dilampiaskan dendamnya pada Sarmapala, dia tidak segera pergi.
Ditunggu saat yang tepat untuk bertemu nenek jelek ini. Dan inilah saat yang
tepat ketika dia melihat Nenek Sumbing muncul di Bukit Batok.
"He he he..., kita bertemu lagi, nenek usil,"
Klabang Hijau terkekeh.
"Huh! Aku tidak ada urusan denganmu!" dengus Nenek Sumbing.
"Siapa bilang? Kau telah berani
mencampuri urusanku, berarti kau sudah berani menantangku!" jawab Klabang
Hijau.
Nenek Sumbing segera teringat kejadian di depan rumah
penginapan. Baru disadari kalau sikapnya telah membuat persoalan baru bagi
Klabang Hijau. Dia tahu tabiat tokoh tua yang aneh ini. Kegemarannya adalah
berkelana hanya untuk mengukur tingkat kepandaiannya saja. Memang diakui,
sampai detik ini belum ada seorang pun yang mampu mengalahkannya.
Klabang Hijau sendiri tidak peduli dengan kemelut yang
terjadi dalam rimba persilatan. Baginya seorang lawan lebih menarik perhatian
daripada segala macam tetek bengek persoalan dunia. Dia tidak peduli dengan
cupu yang tengah diperebutkan. Dia ke sini hanya ingin bertarung dengan Nenek
Sumbing. Itu saja. Wataknya memang hampir sama dengan si Gila Jubah Hitam. Dia
tidak bisa dimasukkan dalam salah satu golongan.
"Sekarang aku menagih
tantanganmu, Nenek Sumbing!" tegas nada suara Klabang Hijau.
"Hh...!" Nenek Sumbing mendesah panjang
Sebenarnya, tidak ada setitik pun niatan di hatinya untuk mencari perkara
dengan Klabang Hijau. Tapi sekarang dihadapkan pada salah satu pilihan yang
amat sulit Terpaksa harus dihadapinya
Klabang Hijau lebih dulu, dan
menangguhkan mencari Cupu Manik
Tunjung Biru.
* *
*
6
Klabang Hijau memutar-mutar tongkatnya yang berwarna hijau.
Tidak pakai basa-basi lagi, segera dikeluarkannya jurus 'Tongkat Sakti Membelah
Badai'. Putaran tongkat yang cepat menimbulkan suara menderu. Hawa panas mulai
menyebar ke sekitarnya. Semakin lama semakin menyengat
Sementara Nenek Sumbang masih terdiri tegak menatap tajam
putaran tongkat itu. Tampaknya tidak gentar dan terpengaruh oleh hawa panas
yang semakin menyengat. Padahal daun-daun pepohonan di sekitarnya sampai
berguguran hingga berwarna kuning kering.
"Jangan gunakan hawa murni," bisik Rangga.
Sepasang Walet Merah telah menyalurkan hawa murni menjadi
terkejut mendengarnya. Segera saja mereka
hentikan penyaluran hawa murni itu.
"Ke sinilah. Pegang tanganku!" bisik Rangga lagi.
Jaka yang sejak semula sudah menduga kalau Rangga tidak
bermaksud buruk, langsung menarik tangan Wulan dan membawanya mendekati Rangga.
Cepat dipegangnya tangan Pendekar
Rajawali Sakti. Seketika tubuh Jaka
teraliri hawa dingin yang nyaman, sehingga udara panas yang menyengat hilang
begitu saja.
"Pegang tanganku, sebelum kau terkena akibatnya!" perintah Rangga
pada Wulan.
'Tidak apa-apa, Adik Wulan. Kau akan selamat," lembut suara Jaka
Wulan masih kelihatan ragu-ragu. Tapi udara panas kian
menyengat kulit, membuatnya harus melangkah juga ke samping kanan Pendekar
Rajawali Sakti. Lebih-lebih ketika melihat Jaka segar setelah tangannya
menggenggam tangan Rangga
Tiga orang itu akhirnya saling berpegangan tangan. Sekejap
saja hawa panas yang menyengat di tubuh Wulan berganti menjadi sejuk dan
nyaman. Hati Wulan kini malah menjadi malu sendiri karena telah menyangka buruk
pada Rangga. Mendadak saja tangan Wulan malah menjadi dingin karena digenggam
terus oleh seorang laki-laki tampan. Baru kali ini tangannya digenggam
sedemikian rupa sehingga mendadak saja dadanya berdetak keras tidak beraturan.
Ganggaman seorang laki-laki tampan lagi asing yang menggetarkan itu.
Selama hidupnya, laki-laki yang dekat hanya Jaka. Tidak
heran kalau dia jadi salah tingkah ketika tangannya digenggam laki-laki lain.
Wulan bagaikan sekuntum bunga yang belum pernah terjamah oleh tangan iseng
manusia. Dia bagaikan bunga yang belum tahu bentuknya kumbang. Gadis itu pun
memejamkan matanya untuk menghilangkan segala macam perasaan yang berkecamuk
dalam dadanya.
Sementara itu Klabang Hijau semakin hebat memutar
tongkatnya. Putaran itu membentuk sinar hijau yang melingkar dan mengeluarkan
kilat yang menyambarnyambar. Seperti bermata saja, ujung kilat itu menyambar
tubuh Nenek Sumbing Tentu saja hal ini membuat si nenek tua berlompatan ke sana
kemari, menghindari sambaran kilat.
"Setan! Terima
sabuk saktiku!" umpat Nenek Sumbing merasa kewalahan
menghadapi serangan Klabang Hijau.
Selesai dengan kata-katanya, Nenek Sumbing melepaskan sabuk
hitamnya. Dengan seketika dikebutkan sabuk itu beberapa kali. Suara menggelegar
bagai guntur terdengar memekakkan telinga. Ujung sabuk hitam itu selalu
menghalau arah kilat yang menyambar ke arahnya.
"Hiya...!" Nenek Sumbing tiba-tiba
menjerit tinggi.
Seketika itu juga tubuhnya melesat tinggi ke angkasa sambil
berjungkir balik tiga kali. Tubuh itu langsung meluncur cepat ke bawah, tepat
ke arah kepala Klabang Hijau. Bersamaan dengan itu, tangannya bergerak cepat
mengecutkan sabuk hitamnya.
Trak!
Ujung sabuk menembus lingkaran hijau yang menutupi seluruh
tubuh Klabang Hijau. Hal ini membuat serangan Klabang Hijau menjadi berantakan.
Dalam sekejap lingkaran yang menyelimuti tubuhnya buyar. Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh Nenek Sumbing. Dengan cepat diayunkan kakinya ke arah dada
lawan.
"Uts!"
Klabang Hijau langsung menyabet kaki itu dengan tongkatnya.
Namun secepat kilat Nenek Sumbing menarik kakinya. Dengan gerakan yang tak
terduga Nenek Sumbing mengebutkan sabuknya ke kepala lawan. Untunglah Klabang
Hijau cepat menarik kepalanya ke belakang, sehingga ujung sabuk lewat di depan
mukanya
Pertarungan terus berlangsung
berganti-ganti jurus, saling sambung tanpa henti. Tampaknya dalam jurus-jurus
awal mereka masih kelihatan seimbang.
Pada saat yang sama, Jaka mengalihkan pandangannya ke Goa
Larangan. Matanya tiba-tiba saja
mendelik ketika melihat lima orang sedang mendekati mulut goa.
"Wulan...,"
bisik Jaka.
"Aku sudah tahu. Ayo kita halangi," potong Wulan
cepat.
Tanpa banyak bicara lagi, Sepasang Walet Merah segera
melepaskan genggamannya pada Rangga, langsung melompat cepat ke arah Goa
Larangan. Mereka tidak lagi menghiraukan pertarungan dua tokoh sakti itu.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti seperti acuh saja terhadap Sepasang Walet
Merah. Dia dengan seksama memperhatikan setiap pertarungan itu.
"Berhenti!"
teriak Wulan melengking.
Teriakan yang disertai
tenaga dalam, membuat terkejut lima orang yang berpakaian dengan warna berbeda itu.
Mereka adalah Lima Golok Neraka.
Mereka semakin terkejut ketika melihat Sepasang Walet Merah
tiba-tiba saja telah meluruk dan berdiri di depan mulut goa. Di tangan mereka
telah tergenggam senjata tombak bermata dua.
* *
*
"Sungguh beruntung sekali bertemu langsung dengan
kalian," kata Baga Biru, salah satu dari Lima Golok Neraka yang tertua.
"Huh! Kalian
orang-orang tidak tahu diri! Datang hanya untuk merusak peristirahatan orang!"
dengus Wulan.
"Kalau begitu, serahkan saja Cupu
Manik Tunjung Biru pada kami,"
kata
Baga Biru lagi.
"Langkahi dulu mayat kami!" seru Wulan menantang.
Baga Biru menjentikan dua jarinya. Seketika itu juga empat
orang lainnya serentak mencabut senjata masing-masing yang berupa golok besar
dengan sebelah sisinya bergerigi. Senjata-senjata itu berkilatan tertimpa sinar
matahari. Baga
Kuning dan Baga Ungu menggeser
posisinya berada di sebelah kiri Baga Biru. Sedangkan Baga Merah dan Baga Putih
mengambil tempat di kanannya.
"Hati-hati, Wulan. Tampaknya mereka punya kepandaian
cukup tinggi," bisik Jaka. Jika dilihat dari cara mereka mengambil posisi
saja, sudah terlihat kalau ilmu peringan tubuh mereka tidak rendah. Kaki-kaki
mereka seperti tidak bergerak, tapi tiba-tiba saja telah siap dengan posisi
masing-masing.
Wulan tidak bersuara. Matanya tajam menatap pada lima orang
yang sudah siap dengan senjata di tangan. Sedikit pun hatinya tidak merasa
gentar. Setinggi apa pun tingkat kepandaian lawan, harus dipertahankan hak
miliknya sampai titik darah penghabisan.
"Hiyaaat...!" tiba-tiba Wulan memekik keras.
Seketika itu juga tombaknya berpindah ke tangan kiri, sedang
tangan kanannya bergerak cepat Cahaya
keperakan berkelebat keluar dari tangan kanan Wulan. Ternyata gadis itu telah
menyerang lebih dulu dengan
melemparkan bintang-bintang besi bersegi delapan.
Cring! Cring!
Cring!
Lima Golok Neraka mengebutngebutkan senjatanya menangkis
bintangbintang besi yang meluncur cepat mengancam jiwa. Wulan terus menghujani
lima orang itu dengan senjata rahasianya. Namun sampai sejauh ini, tak satu pun
senjata itu menyentuh kulit lawan. Semuanya rontok di tengah jalan.
"Hanya sampai di sinikah kepandaian murid
Suralaga?" Baga Biru mengejek.
"Kurobek mulutmu,
bangsat'" Wulan seperti kalap mendengar ejekan yang membawa-bawa nama Eyang Resi
Suralaga.
Setelah berkata demikian, Wulan langsung mencelat menerjang Baga Biru.
Ujung tombaknya berkelebat mengancam leher.
Trang!
Baga Biru menangkis serangan itu dengan mengayunkan
goloknya. Wulan mencelat lagi ke belakang sejauh satu batang tombak. Tangannya
terasa kesemutan ketika ujung tombaknya berbenturan dengan golok Baga Biru.
Padahal dia menyerang dengan mengerahkan tenaga dalam.
Itu baru satu dari Lima Golok Neraka. Bagaimana jika
semuanya bergabung bersatu padu? Ada sedikit rasa gentar terselip di hati Wulan.
Dia sadar kalau lawannya mempunyai tingkat kepandaian yang jauh di atasnya.
Ternyata hal ini pun dirasakan oleh Jaka. Segera dia melompat menghampiri
Wulan.
"Kita hadapi bersama. Adik Wulan Tahan emosimu,"
kata Jaka setengah berbisik.
Tanpa banyak bicara lagi, Wulan segera memegang tangan Jaka.
Mereka langsung mengerahkan jurus 'Tapak Geni'. Melihat Sepasang Walet Merah
telah siap akan menyerang lagi, Baga Biru memberi isyarat pada yang lain.
Serentak mereka merapat dan menyatukan ujung-ujung golok.
"Tapak Geni...!" Wulan dan Jaka berteriak bersamaan.
Seketika itu juga mereka mendorong tangan ke depan. Dari
telapak tangan mereka meluncur sinar merah ke arah Lima Golok Neraka.
Dalam waktu yang bersamaan, dari ujung-ujung golok yang
menyatu, keluar seberkas sinar bagai kilat. Pada satu titik, kedua sinar itu
saling bertemu. Ledakan keras pun tetjadi disertai percikan bunga api. Belum
tuntas suara ledakan keras tadi, kembali Sepasang Walet Merah mengerahkan
ajiannya. Lima Golok Neraka pun tak kalah sigap untuk menyambut serangan itu.
Suara ledakan kembali terdengar beruntun. Lima Golok Neraka
mulai bergerak maju sambil terus menyatukan ujung goloknya. Semakin lama jarak
mereka semakin dekat saja. Ketika jarak mereka hanya tinggal setengah tombak
lagi, tiba-tiba Baga Biru melepaskan diri seraya mengibaskan goloknya.
"Awas!" teriak Jaka sambil melepaskan pegangannya pada tangan Wulan.
Sepasang Walet Merah melompat ke samping menghindari tebasan
golok Baga Biru. Tanpa diduga sama sekali, Baga Biru melompat ke arah Jaka
seraya menebaskan goloknya. Jaka yang belum siap benar, sedapat mungkin
menangkis serangan itu yang mengancam iganya dengan tombak pendek bermata dua.
Trang!
Serangan cepat Baga Biru memang berhasil dipatahkan, tetapi
dengan cepat Baga Biru melayangkan kakinya.
Buk!
Tanpa dapat dihindari
lagi, kaki itu bersarang telak di dada Jaka. Tubuh Jaka terdorong ke belakang
sejauh dua tombak. Baga Biru tidak memberi kesempatan lawannya untuk bernapas. Dia
langsung melompat sambil berteriak nyaring.
Jaka yang masih sempoyongan dengan dada sesak, terkejut
mendapati lawannya sudah kembali menyerang Tapi belum sempat dia berbuat
sesuatu, tibatiba...
Cras!
Ujung tombak Baga Biru menggores dada Jaka. Darah segar
keluar deras dari luka yang dalam dan memanjang. Kembali Baga Biru mengirimkan
satu tendangan keras. Buk! Tendangan itu tepat bersarang di luka yang diderita
Jaka.
"Akh!"
Jaka memekik pendek dan tertahan. Tubuhnya tersuruk ke belakang dan membentur
pohon. Jaka meluruk roboh di tanah. Darah semakin mengalir deras dari dadanya
yang terluka. Dalam keadaan kritis, Jaka masih berusaha untuk bangkit. Matanya
berkunang-kunang. Bibirnya meringis menahan sakit yang amat sangat. Seluruh
tulang dadanya terasa remuk.
"Kakang...!" Wulan memekik cemas melihat keadaan
Jaka yang kritis.
Dengan dada penuh diliputi berbagai perasaan, gadis itu
berlari ke arah Jaka yang tertunduk bersandar di pohon. Tampaknya dia sudah
tidak sanggup lagi untuk dapat berdiri. Napasnya satu dua. Wulan langsung
menubruk tubuh Jaka dan memeluknya.
"Kakang...," suara Wulan tercekat. Dilepaskan
pelukannya sambil matanya nanar melihat darah membasahi tubuh
Jaka.
Cepat-cepat Wulan menotok beberapa bagian tubuh Jaka untuk
membekukan aliran darah. Seketika darah itu tidak mengalir. Wulan membuka ikat
kepalanya dan membalut luka Jaka yang cukup lebar. Selesai menolong Jaka, dia
berdiri membalikkan tubuh menghadapi Lima Golok Neraka.
"Kubunuh
kalian!" pekik Wulan mengkelap.
Selesai mengatakan itu, Wulan langsung berteriak nyaring.
Tubuhnya yang ramping berkelebat cepat bagai seekor burung walet Diterjangnya
Lima Golok Neraka seraya mengarahkan dua ujung tombaknya ke bagian-bagian tubuh
lawan yang mematikan.
Wulan bertarung bagai singa
betina terluka. Tidak dipedulikannya lagi lawan yang jauh lebih tinggi tingkat
kepandaiannya. Rasa marah dan dendam membalut seluruh perasaan takut gadis ini,
sehingga tidak dapat berpikir jernih lagi. Serangan-serangannya memang hebat,
tapi kurang terkontrol. Lima Golok Neraka dengan mudah dapat menghindari setiap
serangan Wulan yang gencar.
* *
*
Baga Biru yang
mengetahui Wulan yang tak terkontrol itu, dengan tenang
selalu dapat mengantisipasinya. Bibirnya tersenyum ketika tahu beberapa kelemahan pada setiap serangan Wulan
yang beruntun. Dia pun mencari-cari kesempatan yang baik untuk menjatuhkan
lawan sambil membuatnya malu.
Baga Biru memberi isyarat kepada yang lain untuk terus
bertahan sambil mendesak Wulan. Empat orang itu mengangguk sambil
tersenyum-senyum. Wulan tidak sadar kalau Lima Golok Neraka mempunyai rencana
kotor terhadapnya. Dia terus saja menyerang membabi buta.
"Hup!" Baga Biru menurunkan tangan kanannya setelah melempar
golok ke tangan kirinya.
Wulan yang sibuk menghadang empat golok, tidak
memperhatikan Baga Biru. Tiba-tiba saja tangan kanan Baga Biru menepuk bokong
gadis itu.
"Auw!"
Wulan memekik kaget
"Ha ha ha...!" Lima Golok Neraka tertawa terbahak-bahak
bersama-sama.
Wajah Wulan seketika
merah padam. Sambil mendengus geram, tangannya
bergerak cepat menerjang leher Baga Biru.
Namun terjangan tangan yang
menggenggam tongkat itu hanya dilayani dengan mengegoskan kepala sedikit ke
samping. Bahkan tangan kanan Baga Biru menjulur ke depan.
"Setan!" maki Wulan sambil melompat mundur. Tangan
Baga Biru hampir saja menyentuh buah dadanya. Laki-laki itu makin tertawa-tawa
liar. Bola matanya jalang penuh nafsu memandang paras Wulan yang cantik.
"Serahkan saja
Cupu Manik Tunjung Biru, dan kau akan senang bila jadi istriku," kata Baga Biru.
"Phuih!" Wulan semakin geram hatinya.
Lima Golok Neraka kembali tertawa gelak. Mereka melangkah maju
mendekati Wulan. Dada mereka bergolak penuh nafsu. Liur mereka seperti tak
tertahan memandangi kecantikan Wulan. Mendadak mereka melompat serempak Wulan
menjadi bingung. Sedapat mungkin diputarnya tombak pendek bermata dua untuk
melindungi dirinya.
Trang! Trang!
"Akh!" Wulan menjerit tertahan. Tangannya bergetar kesemutan ketika tombak pendeknya beradu dengan
golok mereka.
Pada saat yang tepar, ujung golok Baga Biru berkelebat
cepat.
Bret...! Bagian dada baju Wulan
sobek, sehingga kulit bukitnya yang putih, terbuka. Dua bukit kembar terlihat
akan mencuat hendak keluar.
Wulan
memekik kaget bukan main. Buru-buru ditutupinya bagian yang terbuka itu dengan
tangannya. Wajahnya semakin merah karena marah campur malu. Baga Biru yang
sempat melihat kemulusan kulit dua bulat kembar itu, semakin bernafsu.
Perhatiannya terhadap Cupu Manik Tunjung Biru terasa hilang seketika. Kini dia
hanya terpusat pada gadis cantik yang sudah tidak berdaya di depannya.
"He he he...," Baga Biru terkekeh.
Liurnya menetes menahan gejolak
birahi.
"Kubunuh
kalian!" geram Wulan.
Baga Biru tidak peduli. Kakinya melangkah maju mendekati
Wulan yang sibukmemegangi sobekan baju di dadanya. Dengan kalap gadis itu
menerjang Baga Biru. Tapi laki-laki ini hanya memiringkan sedikit tubuhnya,
sehingga tusukan tombak pendek Wulan hanya lewat menyambar tempat kosong.
Bahkan tangan kiri Baga Biru berhasil menjambret bahu gadis itu.
Bret!
"Akh!"
lagi lagi Wulan memekik.
Kini bahunya terbuka lebar sampai ke punggung. Keadaan Wulan
benar-benar tidak menguntungkan saat ini. Sebagian tubuhnya kini telah terbuka
lebar. Kulit tubuhnya yang putih mulus terlihat leluasa membangkitkan gairah
lima lakilaki yang menatapnya liar penuh nafsu.
Baga Biru sudah tidak bisa lagi menahan gejolak nafsunya.
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, dia melompat menerjang. Wulan yang
sudah tak berdaya hanya bisa mendelik, serta repot berusaha menutupi tubuhnya.
Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba....
"Akh...!" tubuh Baga Biru yang
hampir mencapai Wulan, tiba-tiba saja terjengkang ke belakang.
Empat orang lainnya hanya ternganga. Di depan Wulan kini
berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi dengan pedang di punggung Laki-laki
muda itu tidak lain dari Rangga, atau Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga...,"
Wulan mendesah.
"Menyingkirlah. Bawa saudaramu ke tempat yang
aman," kata Rangga pelan, namun tegas suaranya.
Sementara
itu Baga Biru terlempar sejauh dua batang tombak ke belakang telah berdiri
kembali. Mukanya merah padam karena ada orang yang berani menghalangi
maksudnya. Dengan cepat dia melompat menerjang Rangga.
Rangga hanya memiringkan sedikit tubuhnya menghindari
tebasan golok Baga Biru. Kemudian tangan kirinya bergerak cepat menotok
pergelangan tangan lawan. Baga Biru terperanjat, cepat-cepat ditarik tangannya
sambil berputar mengarahkan mata goloknya ke perut Rangga.
Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti hanya mengegos sedikit
Tangan kanannya segera bergerak menotok kembali pergelangan tangan lawan. Makin
kalap saja Baga Biru. Dua serangannya gagal total, bahkan dua kali pula hampir
terkena totokan pada jalan darah di pergelangan tangannya.
"Serang, anjing keparat ini!" teriak Baga Biru keras.
Seketika itu juga empat orang saudaranya segera bergerak
mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Golok mereka berkelebatan menyerang ke
bagian-bagian tubuh yang mematikan. Pendekar Rajawali
Sakti hanya mengegoskan tubuhnya ke
kiri dan ke kanan menghindari setiap tebasan golok lawan.
Semakin lama serangan Lima Golok Neraka semakin dahsyat
mematikan. Menyadari lawannya bukan hanya sekedar nama kosong belaka. Rangga
mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali'. Kini gerakan tubuhnya semakin cepat. Kedua
tangannya bergerak mencari sasaran. Kesepuluh jari tangannya menjadi keras
bagai baja.
Pendekar Rajawali Sakti menarik kepalanya ke belakang ketika
golok Baga Kuning mengarah ke lehernya. Secepat kilat dinaikkan tangan kiri,
dan disentilnya ujung golok yang berada tepat di depan lehernya.
Tring!
Baga Kuning
kaget bukan main. Tangannya bergetar hebat bagai terkena sengatan ribuan
kalajengking. Cepat-cepat ditarik pulang senjatanya. Baga Kuning segera mundur
dua tindak ke belakang.
Seluruh tangan kanannya seperti
mati, sulit digerakan.
Satu demi satu Pendekar Rajawali Sakti menyentil ujung-ujung
golok lawannya. Mereka semua langsung melompat mundur karena seperti tersengat
tangan mereka. Merah Padam wajah Lima Golok Neraka. Segera dipindahkan golok
mereka ke tangan kiri. Bagi mereka, tangan kanan atau kiri sama aktifnya.
"Aku masih mau
memaafkan kalian. Nah, pergilah. Benda itu bukan milik
kalian," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Kutu busuk! Jangan sok jadi pahlawan, kau!" bentak Baga Biru
berang.
"Aku peringatkan sekali lagi. Pergilah kalian sebelum
aku jatuhkan tangan maut pada kalian!" dingin suara Rangga.
"Seraaang...!" Baga Biru berteriak lantang.
Serempak Lima Golok Neraka berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Saku. Namun serangan yang mendadak dan cepat itu hanya menemui
tempat kosong saja. Rangga telah lebih dulu menjejak kakinya dan melesat ke
atas dengan menggunakan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'.
Tentu saja hal ini membuat kelima penyerangnya kebingungan.
Dan di tengah-tengah kebingungan itu, tiba-tiba saja Rangga menggerakan
tangannya dengan cepat.
Plak! Plak!
Lima kali tangan Rangga menempeleng kepala mereka. Lima
Golok Neraka bergulingan di tanah. Rangga masih memberikan kelonggaran bagi
lawannya dengan tidak mengerahkan seluruh kekuatan. Hanya saja kepala Lima
Golok Neraka dibuat benjol sebesar telur ayam.
"Setan!" dengus Baga Biru sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba
menghilangkan rasa pening.
Baga Biru cepat melejit ke atas ketika rasa pening di kepalanya hilang.
Diayunkan goloknya dengan cepat
disertai pengerahan tenaga dalam yang penuh. Pendekar Rajawali Sakti tidak
sedikit pun berkelit Dia seperti menanti datangnya golok itu. Dan ketika ujung
golok hampir mencapai tubuhnya, dengan cepat dijepitnya ujung golok itu dengan
dua jari tangannya.
"Trek!"
Baga Biru hanya melompong melihat goloknya patah dengan mudah oleh
Pendekar Rajawali Sakti. Belum lagi
hilang rasa bingungnya, tiba-tiba sebelah tangan Rangga berkelebat cepat. Baga
Biru tidak mampu lagi berkelit. Lehernya terbabat tangan Pendekar Rajawali
Sakti, dan disusul dengan tendangan telak menghantam dadanya.
Baga Biru tidak mampu lagi bersuara. Tubuhnya melayang deras
ke tanah tanpa kepala lagi. Tangan Pendekar Rajawali Sakti yang setajam pedang
telah memisahkan kepala dari badannya. Empat orang lainnya hanya bisa melongo
menyaksikan Baga Biru menggeletak tanpa kepala lagi.
"Siapa di antara kalian yang ingin menyusul?"
keras dan lantang suara Rangga.
Empat orang dari Lima Golok Neraka saling berpandangan. Di
wajah mereka tergambar jelas rasa kengerian yang amat sangat Buru-buru mereka
menggotong tubuh Baga Biru yang sudah tidak memiliki kepala lagi. Tiga orang
menggotong badan, seorang lagi membawa kepala Baga- Biru. Bergegas mereka
meninggalkan Bukit Batok.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti masih melayang tegak lurus
di angkasa, dan perlahan-lahan turun kembali. Ketika kakinya sampai di tanah,
segera dihampirinya Wulan yang tengah merawat luka-luka Jaka. Gadis itu menoleh
ketika merasa di dekatnya ada orang lain.
"Bagaimana
lukanya?" tanya Rangga.
"Aku masih tidak tahu. Dia masih belum sadar
juga," sahut Wulan lirih.
"Bawa saudaramu ke goa itu. Biar aku yang jaga di
luar," kata Rangga. "Goa Larangan...?!" Wulan terkejut
"Iya. Kenapa?" Rangga heran.
"Apa kau tidak tahu kalau goa itu sekarang jadi pusat
perhatian semua
orang?"
Rangga hanya mengerutkan keningnya. Dia semakin paham dengan
apa yang tengah terjadi di Bukit Batok ini. Rupanya orang-orang yang berkumpul
di tempat ini menduga kalau Cupu Manik Tunjung Biru ada di dalam Goa Larangan.
Rangga menatap mulut goa yang tampak hitam gelap. Tiba-tiba matanya menyipit.
Dilihatnya sebuah titik cahaya di dalam kegelapan goa itu. Cahaya itu terlihat
jauh di relung goa.
"Cahaya Cupu Manik Tunjung Biru kah itu?" tanya
Rangga dalam hati.
Mendadak saja cahaya itu hilang dari pandangan matanya.
Rangga menoleh ke arah Wulan, lalu jongkok di samping tubuh Jaka yang masih
belum siuman. Dadanya tampak bergerak lemah, menandakan masih hidup. Rangga
menempelkan telapak tangannya di dada yang bergerak lemah itu.
"Racun...,"
desis Rangga kaget.
"Apa?!"
Wulan semakin cemas.
"Dia harus
cepat ditolong "
Wulan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Didiamkan saja ketika
Rangga menyobek baju bagian dada Jaka. Selanjutnya kedua tangan Rangga menempel
di dada yang bidang itu. Perlahan-lahan kedua tangan Rangga bergetar. Sebentar
kemudian, asap putih mengepul dari tangan yang menempel di dada itu.
"Buka
balutannya," kata Rangga.
Wulan segera membuka kain pembalut luka Jaka. Tampak darah
yang menghitam seperti mendidih, meleleh keluar dari luka yang lebar dan
panjang Dari mulut Jaka juga mengalir darah kehitaman. Rangga menyalurkan hawa
murni melalui kedua telapak tangannya ke seluruh tubuh Jaka. Dicobanya untuk
mengeluarkan racun yang bersarang di dalam tubuh salah seorang dari Sepasang Walet
Merah.
Sedikit demi sedikit darah yang
keluar berubah merah segar. Rangga melepaskan tangannya setelah
darah yang mengandung racun tuntas.
"Bisa
minta kain bajumu sedikit?" pinta Rangga. Tanpa membantah lagi, Wulan
lantas menyobek bajunya. Tidak dipedulikan lagi sebagian tubuhnya yang terbuka.
Pikirannya hanya terpusat pada keselamatan Jaka. Rangga membalut luka di dada
Jaka dengan kain sobekan baju Wulan. Kemudian diangkatnya tubuh Jaka dan dibawa
ke rimbunan pepohonan. Wulan mengikuti sambil mengikat cabikan-cabikan bajunya.
Yang penting tubuhnya tidak terlalu lebar terbuka.
* *
*
7
Tanpa ragu-ragu lagi Wulan menceritakan semua tentang Cupu
Manik Tunjung Biru yang diketahuinya. Wulan merasa yakin kalau Pendekar
Rajawali Sakti tidak seperti tokoh-tokoh lain yang datang hanya untuk merebut
benda yang bukan miliknya.
Rangga mendengarkannya dengan serius. Sedikit pun dia tidak
bersuara sampai Wulan selesai dengan ceritanya. Bahkan sampai lama Wulan
terdiam, masih juga belum membuka mulut.
Wulan memandang Jaka yang kelihatan tidur pulas di
sampingnya. Hanya sebentar Jaka sadar tadi, lalu merasa lelah dan mengantuk.
Sampai sekarang Jaka belum juga bangun. Wulan kembali teringat pesan terakhir
Eyang Resi Suralaga dan Kakek Atmaya.
"Kau tunggu di sini, Wulan," kata
Rangga
tiba-tiba seraya bangit berdiri. "Kau akan ke mana?" tanya Wulan
"Ke Goa Larangan," sahut Rangga.
"Aku akan mencoba
masuk ke dalam goa itu, Wulan," ujar
Rangga sambil
berbalik menghadap ke muka goa.
"Rangga...!" teriak Wulan
mencemaskan
kepergian Rangga yang nekat ingin masuk ke goa itu. Sebab banyak pihak lain
yang tidak akan membiarkan Rangga masuk begitu saja!
"Mengambil Cupu Manik Tunjung Biru. Jangan khawatir, cupu itu akan menjadi milik kalian berdua."
"Aku
tidak yakin benda itu ada di sana," Wulan setengah bergumam.
"Kau bilang,
selama ini tinggal di goa itu. Berarti Eyang Resi Suralaga juga
tinggal di sana. Aku yakin beliau pasti menyimpan benda itu di sana juga."
"Aku kenal betul
Goa Larangan, tapi aku belum pernah melihat benda itu.
Namanya saja baru dengar sekarangsekarang ini," polos sekali
Wulan berkata.
"Tidak ada salahnya kan aku ke
sana?"
"Mereka tidak akan membiarkanmu masuk ke goa itu."
"Aku akan coba." Rangga segera
melangkah, tapi...,
"Rangga..," suara Wulan agak tersekat di
tenggorokan.
Rangga
berbalik. Dilihatnya Wulan telah berdiri. Tampak bagian atas bajunya terbuka.
Kulit dada yang putih terlihat jelas seakan dua bukit kembarnya ingin keluar.
Darah muda Pendekar Rajawali Sakti sedikit bergetar melihat pemandangan itu.
Cepat-cepat dialihkan perhatiannya ke arah lain.
Wulan menangkap sikap Rangga, jadi merasa canggung dan serba
salah. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menutupi dadanya yang terbuka.
Hanya tangannya saja yang sibuk agar kemulusan tubuhnya sedikit tidak terlihat
oleh orang lain. Keadaanlah yang membuatnya menahan malu.
"Aku tidak tahu harus berkata apa. Budimu terlalu besar
bagi kami berdua," pelan suara Wulan.
"Ah, sudahlah. Aku senang jika dapat mengembalikan cupu
itu padamu," sahut Rangga.
Wulan ingin berkata lagi, tapi Rangga telah lebih cepat
menghilang dari hadapannya. Cepat sekali Rangga pergi, sampai-sampai gadis itu
tidak melihat arahnya pergi. Wulan menarik napas panjang, lalu kembali duduk di
samping Jaka yang terbaring lelap.
Mata Wulan merayapi wajah Jaka yang tampak lelap.
Seolah-olah baru disadarinya kalau laki-laki yang selama sekian tahun selalu
bersama-sama bukan saudaranya. Wulan seperti baru pertama kali melihat wajah
Jaka yang tampan, yang selama ini lepas dan perhatiannya. Rasanya tidak
berlebihan kalau dua kakeknya menginginkan Wulan dan Jaka menjadi sepasang
pendekar suami istri.
"Jaka...," Wulan mendesah ketika
melihat kelopak mata Jaka bergerak-gerak.
Jaka menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu perlahan-lahan
membuka matanya. Yang pertama kali dilihatnya adalah wajah Wulan yang duduk di
sampingnya. Pelan-pelan dia berusaha bangun. Tubuhnya memang masih terasa
lemah, tapi kesegaran mulai merambat ke seluruh tubuhnya. Jaka duduk bersandar
di pohon.
"Wulan...!" Jaka tersentak kaget ketika melihat
keadaan Wulan yang sobek-sobek bajunya "Kau.... Kenapa begini?"
"Aku..., aku tidak apa-apa. Hanya bajuku saja yang
rusak," sahut Wulan.
"Seorang pendekar telah
menolong kita." "Pendekar...?"
"Iya. Dia menamakannya Pendekar
Rajawali Sakti"
Jaka berusaha mengingat-ingat. Rasanya tidak pernah dengar
nama itu.
Namun begitu, dalam hatinya
mengucapkan terima kasih pada pendekar yang telah menolong mereka.
"Dia yang tadi pagi bersama kita," kata Wulan
seolah-olah mengingatkan
"O..., Itu," Jaka jadi teringat dengan laki-laki
muda yang sebaya dengannya. Ternyata matahatinya tidak salah menilai.
"Dia juga yang menyembuhkanmu dari racun Lima Golok
Neraka," sambung Wulan.
Jaka langsung menatap Wulan. Dirasakan ada nada-nada aneh
pada suara Wulan. Laki-laki itu memang masih muda dan tampan. Ilmunya pun
sangat tinggi. Buktinya, dengan mudah Lima Golok Neraka dapat dikalahkannya.
Tidak aneh kalau Wulan seperti terpikat karenanya. Secara jujur, Jaka cemburu
juga. Namun dia tidak berusaha memperlihatkan cemburunya pada Wulan. Memang
sulit bagi mereka untuk menghilangkan perasaan saudara yang telah tertanam
sejak lama.
"Aku sudah ceritakan semuanya pada pendekar itu. Kau
tidak keberatan, kan?" kata Wulan
"Oh, tidak," sahut Jaka. "Asal kau tidak
ceritakan tentang permintaan Eyang
Resi dan
Kakek Atmaya yang terakhir." "Juga itu."
"Apa...?"
Jaka kaget bukan main.
"Tapi ditangagapinya dengan baik . Katanya kita memang
cocok untuk...," Wulan tidak melanjutkan ucapannya. Kepalanya tertunduk,
tidak sanggup lagi meneruskan kata-kata yang hanya karangannya sendiri. Dia
sebenarnya hanya ingin tahu perasaan Jaka saja.
"Wulaa..," Jaka meletakkan tangannya ke pundak
gadis itu yang terbuka.
Seketika aliran darah Jaka seperti terhenti. Baru kali ini
dia menyentuh pundak Wulan tanpa penghalang. Sangat halus kulit pundak itu.
Rasanya Jaka seperti sulit bernapas. Debar jantungnya pun kian cepat berdetak.
Perlahan-lahan Wulan mengangkat kepalanya. Pandangannya
langsung tertuju pada satu titik perasaan yang sukar diungkapkan. Seketika
dirasakan ada sesuatu yang lain pada dirinya. Dia tidak mengerti perasaan apa
yang tengah melanda dirinya. Yang jelas, debar jantungnya jadi semakin kuat
saja.
Tangan Jaka yang berada di pundak Wulan, perlahan-lahan
merayap naik. Lalu dengan lembut jari-jari tangannya mengusap pipi yang halus
bagai sutra. Wulan membiarkan saja ketika tangan itu secara perlahan-lahan
menarik kepalanya. Dia malah memejamkan matanya ketika desah napas Jaka
mengusap kulit
wajahnya. Begitu hangat dan lembut
Seketika itu juga, Wulan seperti terserang demam luar biasa
ketika bibir Jaka menyentuh bibirnya dengan lembut Jaka merasakan seluruh tubuh
Wulan menggigil. Cepat-cepat dilepaskan bibirnya yang memagut tadi. Sungguh
mati, Jaka tidak tahu kenapa Wulan demikian
"Wulan, kau kenapa?" tanya Jaka seperti orang bodoh.
"Aku...," Wulan tidak sanggup berkata-kata lagi. Wajahnya
menyemburat merah. Kepalanya kembali tertunduk.
"Maafkan aku, Wulan. Tidak seharusnya aku berbuat seperti ini
padamu," pelan suara Jaka.
Wulan mengangkat kepalanya. Mereka kembali saling pandang.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Wulan jadi seperti takut kehilangan Jaka. Apakah
ini yang dinamakan cinta? Begitu cepatkah cinta itu datang?
"Kita akan selalu bersama kan,
Kakang?" lirih suara Wulan.
"Tentu,"
sahut Jaka tersenyum
Tanpa berpikir banyak,
Wulan segera menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Jaka. Sesaat mereka saling berpelukan
tanpa berkata-kata lagi. Kini hanya hati dan debar jantung mereka yang terpaut
jadi satu. Mengalun dalam irama cinta yang indah.
Dengan jari-jari tangannya, Jaka mengangkat dagu gadis itu.
Mata mereka kembali bertemu. Jaka secara lembut mendekatkan wajahnya. Yang
terjadi kini hanya desahan napas dari dua insan berlainan jenis yang menyatukan
bibir mereka dengan rapat. Anehnya, Wulan seperti sudah biasa saja
melakukannya. Dibalasnya kecupan dan lumatan bibir Jaka penuh dengan gelora
cinta.
Mendapat balasan yang bergelora dari Wulan, gairah Jaka
bangkit seketika. Pelan-pelan dibaringkan tubuh ramping itu di atas rerumputan.
Tangannya kini mulai merayap menjelajahi tubuh indah yang terbaring pasrah.
Luka yang ada pada tubuh Jaka seakan-akan lenyap saat itu juga, terbawa desah
napas Wulan yang memburu hangat menggairahkan.
"Oh,
Kakang...," desah Wulan.
* * *
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti semakin dekat dengan
Goa Larangan. Malam yang berkabut tebal hanya menampakkan bayangan tubuhnya
saja yang bergerak ringan bagai melayang di atas tanah. Tanpa disadari dua
pasang mata mengawasi setiap geraknya yang tersembunyi tidak jauh dari situ.
"Uts!" tiba-tiba Pendekar Rajawali
Sakti melompat.
Seberkas sinar kebiruan menyambar cepat ke arah tubuhnya.
Untungnya Pendekar Rajawali Sakti selalu waspada. Sinar biru itu hanya lewat
sedikit di bawah kakinya. Dua kali jumpalitan di udara, lalu dengan manis
menjejakkan kakinya di tanah.
"Rupanya ada juga yang ingin mainmain denganku,"
gumam Rangga pelan.
Baru saja selasai bergumam, sinar biru kembali meluncur
menyambar tubuh
Rangga. Pendekar ini hanya
memiringkan tubuhnya sedikit, maka sinar itu hanya lewat di depan dadanya.
Matanya yang tajam, segera dapat mengetahui dari mana datangnya sinar-sinar
itu.
"Keluar,
kalian!" dengus Rangga.
Dengan kekuatan luar biasa, tangan kanannya bergerak
mengibas. Seberkas cahaya kemerahan pun meluncur deras dari telapak tangannya.
Sinar itu langsung menghantam pohon besar tidak jauh darinya. Pohon itu pun
tumbang tanpa menimbulkan suara ledakan sedikit pun.
Dari pohon yang tumbang itu, berkelebat dua sosok bayangan
putih. Dalam sekejap saja di depan Rangga telah berdiri dua orang dengan
pakaian, wajah, dan bentuk tubuh yang sama.
"Ah, rupanya Setan Kembar dari
Gunung Wetan tertarik juga dengan kabar kosong," kata Rangga mengenali dua
lakilaki kembar di depannya.
"Kami
sudah mendengar nama besarmu, Pendekar Rajawali Sakti.
Beruntung sekali bisa bertemu di
sini," kata Sencaka.
"Tentunya maksudku berbeda
dengan kalian."
"Aku tidak peduli
dengan alasanmu datang ke Bukit Batok. Yang jelas, siapa saja berani mendekati Goa Larangan,
harus mati!" dingin suara Sencaki.
"Apa ada larangan seperti nama goa itu?" Rangga
berlagak pion.
"Aku yang melarang!" dengus
Sencaki
"Apakah goa
ini milikmu?"
"Jangan banyak bacot!" bentak Sencaki yang tidak
pernah dapat meredam emosi. Lain dengan saudara kembarnya yang lebih tenang dan
kalem dalam wataknya. Mereka memang selalu sama dalam banyak hal, tapi dalam
watak mereka berbeda jauh.
"Meskipun
kau punya nama besar yang bisa membuat jantung orang copot tapi kami tidak
gentar menghadapimu!" lanjut Sencaki.
"Aku pun tahu nama besar kalian, tapi aku muak dengan
sepak terjang kalian!" Rangga tidak kalah dingin serta pedas suaranya.
"Bersiaplah untuk mati!" dengus Sencaki seraya mencabut senjata andalannya berupa sepasang pedang pendek melengkung.
Sret!
Sencaka pun telah mencabut senjata yang sama bentuknya
dengan Sencaki. Rangga tetap berdiri tenang walaupun dua orang dari Setan
Kembar telah mencabut senjatanya. Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak
menyentuh gagang pedangnya. Dia sengaja bersikap seolaholah meremehkan, untuk
memancing kemarahan lawan.
"Cabut
pedangmu!" dengus Sencaki
Rangga hanya tersenyum tanpa mempedulikan bentakan Sencaki
"Jangan salahkan
kami bila kau mati tanpa senjata," kata Sencaka. Suaranya masih terdengar tenang dan tanpa
emosi. "Silakan kalau kalian mampu"
Setan Kembar segera bergerak membuka jurus. Rangga masih
tetap tenang, namun dua bola matanya tajam mengamati setiap gerakan lawan.
Sambil berteriak nyaring, dua orang kembar itu melompat menyerang.
Sadar kalau lawan memiliki kepandaian cukup tinggi, Rangga
melayaninya dengan jurus 'Cakar Rajawali'. Tubuhnya bergerak cepat menghindari
setiap sabetan dan tusukan pedang lawan yang sangat berbahaya dan mematikan.
Hingga pada saat yang tepat Rangga berhasil menyentil ujung pedang Sencaki.
Namun dengan cepat Sencaki memutar pedangnya menyabet ke perut Rangga;
"Uh!" Rangga mendengus sambil
menarik perutnya ke belakang.
Ujung pedang Sencaki lewat di depan perut Rangga. Tampaknya
Sencaki tidak terpengaruh oleh sentilan jari Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan
semakin ganas saja menyerang Demikian pula dengan saudara kembarnya yang selalu
mendukung setiap serangan Sencaki. Tidak jarang ujung pedang Sencaka hampir
bersarang di tubuh Pendekar
Rajawali Sakti.
"Nampaknya mereka bisa
menandingi jurus 'Cakar Rajawali'. Hm..., akan kucoba lagi," bisik Rangga dalam
hati.
Pada saat yang tepat pedang Sencaki masuk mengarah dada
Pendekar Rajawali Sakti. Dengan cepat tangan Rangga bergerak menjepit pedang
Itu dengan dua jarinya. Jepitan itu sangat kuat dan disertai pengerahan tenaga
dalam yang tinggi. Tapi hanya sekali sentak saja, Sencaki berhasi melepaskan
jepitan itu Bahkan dia langsung memutar pedangnya mengarah ke leher. Rangga
benar-benar terkejut.
Pendekar Rajawali
Sakti tidak punya pilihan lain. Segera dikerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Seketika itu juga tubuhnya mencelat ke udara.
Pedang Sencaki hanya menyambar
tempat kosong di bawah kaki Rangga.
Tetapi sungguh di luar dugaan sama sekali. Setelah Pendekar
Rajawali Saka melesat ke udara, ternyata Setan Kembar pun bisa melayang bagai
burung. Apalagi serangan-serangan mereka juga semakin dahsyat. Baru kali ini
Pendekar Rajawali
Sakti menemui lawan yang mampu
menandingi duel di udara. Sungguh lawan yang cukup tangguh. Kibasan-kibasan
tangan pendekar muda itu selalu dapat dihindari lawan. Namun seranganserangan
balasan Setan Kembar juga tidak kalah dahsyatnya. Empat buah pedang pendek
seperti mengurung Pendekar
Rajawali Sakti.
"Sungguh hebat kalian," puji Rangga dalam hati.
Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya. Kini-
dia melesat tinggi, lalu secepat itu pula menukik dengan kaki bergerak
mengancam kepala lawan. Jelas, ini adalah jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa'. Begitu cepat gerakan kakinya, sehingga membuat Setan Kembar kewalahan.
Secepat itu pula mereka merubah jurusnya.
Kembali pertarungan beijalan seimbang. Rangga terus saja
menukik turun dan menjejakkan kakinya di tanah dengan gerakan indah. Setan
Kembar juga segera turun sambil terus menyerang, membuat Pendekar Rajawali
Sakti sedikit kewalahan juga.
"Terpaksa harus kugunakan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’"
dengus Rangga dalam hati.
* *
*
Ketika
Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya, baru kelihatan kalau lawan mulai
terdesak sedikit demi sedikit. Gerakan pendekar muda ini selalu penuh tipuan.
Bahkan setiap pukulannya mengandung hawa panas yang luar biasa.
Hal ini membuat Setan Kembar menjadi
kacau dalam permainan jurus-jurusnya.
"Hm..,."
Rangga mendengus ketika melihat Sencaki sedikit lowong
pertahanannya. Dengan cepat dimiringkan tubuhnya menghindari tebasan pedang
Sencaka. Tapi tanpa diduga, tangan kirinya menyodok iga Sencaki yang kosong.
Sencaki yang tengah memusatkan perhatiannya pada kaki lawan,
benarbenar terkejut Padahal dia tadi ingin cepatcepat melompat, tapi pukulan
tangan kiri Rangga bagai kilat datangnya. Tanpa ampun lagi iga Sencaki
terhantam
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Aaaakh!"
Sencaki memekik keras.
Sencaki terjungkal beberapa langkah ke belakang. Tampak pada
bagian iganya seperti hangus terbakar. Warna hitam sebesar kepalan tangan
menghanguskan bajunya, tembus sampai ke bagian tubuh. Melihat saudara kembarnya
terkena pukulan, Sencaka pun memperhebat serangannya. Dua pedang pendeknya
berkelebat cepat mengancam tubuh
Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu Sencaki yang roboh, berusaha bangun kembali
Mulutnya meringis kesakitan merasakan tulangtulang iganya remuk. Cepat
digerakkan jari-jari tangannya ke bagian sekitar luka hitam di iga. Walaupun
masih terasa nyeri, Sencaki bergerak berdiri.
"Bangsat!"
umpat Sencaki geram.
Segera dia terjun lagi dalam pertarungan. Sencaka agak
senang juga melihat saudaranya mampu melanjutkan pertarungan lagi. Sedangkan
Rangga sedikit terkejut karena pukulan mautnya tidak membuat lawan tewas. Bahkan
kini mampu menyerang kembali dengan ganas.
Sret!
Rangga tidak ada pilihan lagi. Segera dicabut pedang
saktinya. Seketika keadaan malam yang diliputi kabut menjadi terang oleh sinar
biru yang terpancar dari pedang pusaka itu.
Betapa terkejutnya Setan Kembar
melihat pamor pedang itu. Tapi rasa
terkejut itu pun lenyap ketika Rangga
mengibaskan pedangnya.
Trang! Trang!
Dua kali terdengar senjata berbenturan. Kali ini Setan
Kembar terlonjak dan langsung mencelat mundur dua langkah. Mata mereka
membelalak melihat sebuah pedang mereka masingmasing buntung. Bahkan akibat
benturan itu, tangan mereka seperti kaku.
Rasa kaget yang menyentak jantung mereka belum lagi hilang,
Rangga kini kembali menyerang dengan menggunakan jurus gabungan antara 'Cakar
Rajawali' dengan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Awas...!"
seru Sencaka keras.
Sencaki yang masih
dalam keadaan terluka, tidak dapat mengelak cepat. Terpaksa ditangkisnya pedang yang
mengancam jiwanya.
Trang!
Pedang Sencaki buntung!
Dan tanpa diduga sama sekali, pedang Rangga terus menerobos
tanpa henti.
"Aaaakh...!" Sencaki menjerit melengking.
Pedang itu telah membuat leher Sencaki hampir putus.
Sebentar masih mampu bertahan, tapi tak lama ambruk dan menggelepar di tanah.
Darahnya mengucur deras dari leher yang koyak.
"Sencaki...!" teriak Sencaka kaget. Benar-benar hampir tak percaya
Sencaka melihat saudara kembarnya tewas
mengerikan.
Sencaka
memang tidak bisa berbuat banyak lagi. Pedang itu kini telah berkelebat lagi
mengancam dirinya. Pikirannya cerdik. Dia tidak mau mengambil resiko dengan
menghadang pedang itu dengan pedangnya. Cepatcepat dia melompat sejauh satu
tombak ke belakang. Pedang Pendekar Rajawali Sakti hanya menebas bagian kosong
"Kubunuh kau, bangsat!" geram Sencaka. Secepat kilat
Sencaka menyerang Rangga dengan melompat. Tapi kalah cepat dengan Rangga.
Karena baru saja akan melompat, pedang Rangga telah lebih dulu mengibas.
Sencaka yang dirasuki amarah tidak dapat lagi menghindar. Pedang itu tepat
menancap di dadanya. Dengan satu jeritan melengking panjang, tubuh Sencaka
roboh mandi darah.
Rangga kembali memasukkan
pedang pusaka ke dalam sarung di punggung. Kembali gelap menyelimuti
sekitarnya. Sebentar Rangga memandangi dua mayat lawannya, lalu cepat melompat
ke arah mulut goa.
* *
*
8
Rangga mengamati sebentar mulut goa yang gelap pekat Kakinya
melangkah ringan memasuki Goa Larangan Semakin masuk, semakin lembab udaranya.
Rangga mengerahkan ilmu 'Mata Dewa Elang' sehingga dapat melihat jelas dalam
keadaan gelap sekali pun
Kakinya terus melangkah lebih dalam lagi, dan baru berhenti
melangkah ketika didapatkannya sebuah makam yang indah di depannya. Segera
Rangga berlutut dengan sikap memberi hormat. Dari cerita Wulan dapat dipastikan
kalau ini makam Eyang Resi Suralaga. Pendekar Rajawali Sakti kembali berdiri.
"Maaf, saya datang untuk membantu cucu-cucumu,"
kata Rangga sopan
Baru saja Rangga selesai berkata, tibatiba makam itu
bergetar yang semakin lama semakin kuat. Rangga tetap berdiri tenang. Matanya
tertuju pada makam yang masih bergetar bagai terjadi gempa. Tibatiba asap putih
mengepul perlahan-lahan di tengah-tengah makam. Kian lama kian menebal.
Rangga kembali memberi hormat, namun matanya tetap tertuju
ke arah makam yang masih mengepulkan asap putih tebal. Pelan-pelan getaran itu
melemah bersamaan dengan pudarnya asap, hingga akhirnya hilang sama sekali. Goa
kembali tenang.
"Apakah Eyang Resi berkenan cupu itu saya bawa untuk
Sepasang Walet Merah?" Rangga bertanya halus dan sopan.
Rangga
menunggu beberapa saat sambil tetap menjura hormat Matanya tertuju pada sebuah
benda berbentuk kendi berwarna keemasan yang muncul setelah asap tebal
menghilang. Itulah Cupu Manik Tunjung Biru. Besarnya seukuran kepala orang
dewasa, berada tepat di tengah-tengah makam.
Tiba-tiba saja cupu itu bergerak-gerak dan melayang ke arah
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti ini pun berdiri seraya mengeluarkan tangannya.
Cupu Manik Tunjung Biru berhenti tepat di telapak tangannya. Tanpa ragu-ragu
lagi, dia menjura dan berbalik. Kembali dilangkahkan kakinya menuju luar goa.
Ketika kakinya baru melangkah sejauh dua tombak di depan
mulut Goa Larangan, tiba-tiba di depannya muncul seorang perempuan tua dengan
rambut yang serba putih.
"Nenek Sumbing," gumam Rangga mengenali perempuan
tua itu. "Apakah telah kau selesaikan pertarunganmu?"
"Hik hik hik..," Nenek Sumbing tertawa ngikik. "Sangat mudah
melenyapkan si tua Klabang
Hijau."
Pendekar Rajawali Sakti tak perlu penjelasan lagi. Dia cepat
mengerti kalau Klabang Hijau telah tewas di tangan perempuan tua ini. Jadi
jelas, tingkat kepandaian Nenek Sumbing tidak bisa diremehkan.
"Heh! Rupanya kau sudah berhasil menemukan Cupu Manik
Tunjung Biru, bocah!" seru Nenek Sumbing. Matanya jelalatan memandang
benda yang berada di kempitan ketiak Pendekar Rajawali
Sakti.
"Benda pusaka ini akan kuserahkan pada
pemiliknya," sahut Rangga.
"Kalau begitu, kau tak usah repotrepot mencarinya.
Benda itu milikku."
"Aku sudah tahu siapa pemiliknya. Yang pasti bukan kau,
Nenek Sumbing."
"Kampret jelek! Berani umbar bacot di depanku. Apa kau
punya nyawa rangkap?" Nenek Sumbing mendelik gusar.
"Bukan hanya
rangkap, tapi seribu." Nenek Sumbing berjingkrak geram. Kata-kata Rangga
yang diucapkan tenang itu sangat menyakitkan telinganya. Jelas mengandung tantangan meski tidak diucapkan secara langsung.
"Bocah, serahkan saja cupu itu!
Jangan sampai kuturunkan tangan kejam padamu!" dengus Nenek Sumbing mengancam.
"Aku rasa kau telah kejam sejak
dulu," sahut Rangga kalem.
"Setan belang! Rupanya kau tidak bisa diajak damai!"
"Tidak ada kata damai untuk orang serakah
sepertimu."
Nenek Sumbing tidak bisa lagi menahan geram. Seketika itu
juga diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti. Namun terjangan itu luput, karena
pendekar ini telah menggeser kakinya sedikit ke kanan. Nenek Sumbing yang
semula menganggap remeh, semakin gusar. Segera dia berbalik dan menyerang
kembali dengan jurus-jurus tangan kosong Perhatiannya terpusat penuh pada cupu
yang aman dalam ketiak Pendekar
Rajawali Sakti.
Dalam lima jurus saja, Rangga paham kalau Nenek Sumbing
mengarahkan jurusjurusnya hanya untuk merebut Cupu Manik Tunjung Biru. Namun
demikian, pertahanan Nenek Sumbing juga sangat kokoh. Beberapa kali Rangga
mencoba untuk membuka pertahanan itu dengan pancingan, tapi kenyataannya gagal.
Nenek Sumbing seperti mampu membaca ke mana arah gerakan dan tujuan lawan.
Sebenarnya, pertarungan itu berjalan lamban seperti dua
orang yang sedang berlatih olah kanuragan. Sampai matahari terbit di ufuk
Timur, mereka hanya menyelesaikan sepuluh jurus tangan kosong. Rangga penasaran
juga melihat Nenek Sumbing seperti main-main.
"Aku tidak punya waktu untuk mainmain denganmu, Nenek
Sumbing!" seru Rangga agak gusar.
"Siapa yang main-main? Lihat
tanganku!" dengus Nenek Sumbing.
Belum lagi kering mulutnya berkata, Nenek Sumbing
memiringkan badannya ke kiri sambil tangan kanannya dengan cepat didorong ke
depan. Rangga hanya berkelit ke kanan, karena serangan itu mudah dibaca. Tapi
tak diduga sama sekali, kaki perempuan itu terangkat naik cepat
Buk!
Rangga tersentak ketika dirasakan perutnya terkena hantaman
kaki perempuan tua itu. Dua langkah dia terdorong ke belakang, lalu dengan
cepat menguasai diri. Dan memang benar, Nenek Sumbing sudah kembali
menyerang dengan jurus-jurus yang
cepat
"Awas kaki!" seru Nenek Sumbing tiba-tiba.
Rangga hanya mengangkat kaki kanan sedikit ketika kaki Nenek
Sumbing bergerak cepat menyambar. Dan sebelum perempuan tua itu berdiri dengan
leluasa, dengan cepat kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun ke depan.
"Uts!" Nenek Sumbing cepat menarik kepalanya.
Kibasan kaki Rangga meleset beberapa senti di depan muka Nenek Sumbing. Masih dalam keadaan kaki
kanan di atas, Rangga menaikkan kaki kirinya. Cepat sekali Rangga bergerak
memutar tubuh. Dan tanpa diduga kaki kiri pendekar itu melayang ke arah dada.
"Ukh!" Nenek Sumbing yang tidak menyangka secepat itu datangnya serangan susulan, tidak bisa mengelak
lagi.
Satu tombak Nenek Sumbing
terjengkang ke belakang. Dadanya terasa sesak terkena tendangan yang disertai
dengan pengerahan tenaga dalam yang sempurna. Nenek Sumbing mendengus, sambil
mengerahkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Ini dilakukan untuk menghilangkan
rasa sesak yang menyelimuti dadanya.
* *
*
Duel dua tokoh tingkat tinggi itu terjadi sampai matahari
naik cukup tinggi. Sampai sejauh ini belum ada yang terlihat terdesak.
Masing-masing sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang sangat berbahaya.
Pada kesempatan yang memungkinkan, Rangga menggunakan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tubuhnya melayang cepat ke angkasa. Tidak
diduga, Nenek Sumbing pun mampu melesat cepat mengejar Pendekar
Rajawali Sakti.
"Jangan lari, Bocah!" seru Nenek Sumbing.
Tangan Nenek
Sumbing bergerak cepat melontarkan benda-benda kecil berbentuk jarum. Senjata
rahasia itu melesat cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu juga Rangga
memang telah siap dengan jurusnya itu, sehingga dengan mudah tangannya mengibas
cepat menghalau serangan jarum-jarum Nenek Sumbing. Gerakannya bagai sepasang
sayap burung saja yang hendak menghalau kumpulan awan di langit.
Jarum-jarum senjata rahasia Nenek Sumbing pun rontok di
tengah, jalan. Bahkan beberapa di antaranya berbalik menyerang sang pemilik.
Tentu saja Nenek Sumbing terkejut. Segera dia jumpalitan di udara menghindari
senjata rahasianya sendiri.
Pada saat perempuan itu sibuk dengan senjata rahasianya
sendiri, Rangga dengan cepat merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Begitu cepat gerakan kakinya meluruk mengincar kepala lawan.
Nenek Sumbing tidak mampu mengelak lagi. Terpaksa dihadangnya kaki itu dengan
tangannya.
Krek!
"Akh!" Nenek Sumbing memekik tertahan.
Bunyi tulang patah terdengar cukup keras. Tampak tangan kiri
perempuan tua itu seperti layu, menyambar disamping tubuhnya. Nenek Sumbing
merasa tidak menguntungkan bertarung di udara.
Cepat-cepat dia kembali turun.
Sementara itu Rangga tenis mengikutinya dengan tetap
mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Ketika kaki Nenek
Sumbing sampai di tanah, tiba-tiba dari atas datang serangan bagai seekor
rajawali hendak menyambar mangsa.
Nenek Sumbing menjerit kaget. Buruburu dijatuhkan tubuhnya
dan bergulingan di tanah. Kaki Rangga menyambar tempat kosong. Tapi secepat itu
pula Rangga kembali melesat ke udara, lalu turun kembali langsung menyambar
lawan yang bergulingan di tanah. Nenek Sumbing benar-benar seperti seekor tikus
yang terancam oleh elang lapar.
Tiga kali serangan Rangga berhasil dihindari. Kini Pendekar
Rajawali Sakti merubah jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ketika
kakinya menjejak tanah. Mendapat sedikit kesempatan, Nenek Sumbing bergegas
bangkit
"Tamat
riwayatmu, Nenek Sumbing!" seru Rangga keras.
Seketika Nenek Sumbing harus menerima serangan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Kedua tangan Rangga bergerak cepat mengarah ke
bagian-bagian tubuh yang mematikan. Perempuan tua itu kembali repot menghindari
serangan yang datang beruntun bagai hujan yang tumpah dari langit. Lebih-lebih
hanya sebelah tangan saja yang bergerak menahan gempuran itu.
Beberapa kali Nenek Sumbing hampir kecolongan. Jurus yang
dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti penuh dengan tipuan. Dan lagi, setiap ayunan
tangannya mengandung hawa panas menyengat kulit. Hal ini membuat Nenek Sumbing
kian sulit mengatur napasnya.
"Ikh!" Nenek Sumbing kembali tersentak ketika tangan kiri Rangga
tibatiba menerobos mengarah dada.
Buru-buru Nenek
Sumbing melompat ke belakang. Dalam keadaan tangan masih mengarah sasaran, kaki Rangga sudah
bergerak cepat melompat sambil
menyepak. Nenek Sumbing segera mengegoskan tubuhnya ke kiri. Sepakan kaki
Rangga luput dari sasaran.
"Hiya...!"
Rangga berteriak nyaring.
Dengan kaki masih melayang, tangan kanan Pendekar Rajawali
Sakti berkelebat cepat. Kali ini Nenek Sumbing tidak bisa lagi menghindar. Hawa
panas yang datang lebih dulu, membuat tubuhnya kaku. Dan....
"Aaaakh...!" Nenek Sumbing menjerit menyayat hati.
Tangan kanan Rangga telak masuk ke bagian dada perempuan tua
itu. Seketika tubuh Nenek Sumbing terlontar keras ke belakang, dan baru
berhenti setelah menabrak pohon yang cukup besar. Tubuh itu pun terhempas keras
di tanah. Tampak dari mulutnya darah kental kehitaman muncrat membasahi
pakaian.
Nenek Sumbing meregang nyawa sebentar, lalu diam dengan dada melesak
ke dalam. Rangga berdiri tegak memandang tubuh tua yang
menggeletak tak bernyawa lagi Kemudian mata Rangga beredar ke sekeliling. Bibirnya
menyungging senyum, karena yakin tidak ada lagi orang-orang yang terlihat di
sekitar tempat ini.
Mereka yang rata-rata memiliki
kepandaian di bawah Nenek Sumbing, segera melarikan diri ketika melihat
perempuan tua itu tewas. Rangga mengalihkan pandangannya ke arah Wulan yang
berdiri memapah Jaka. Pendekar Rajawali Sakti itu pun tersenyum seraya
melangkah mendekati Sepasang Walet Merah. Cupu Manik Tunjung Biru masih berada
di dalam kempitan ketiaknya.
* *
*
Rangga menyerahkan Cupu Manik Tunjung Biru kepada Sepasang
Walet Merah. Wulan yang menerimanya tidak mampu untuk berkata-kata lagi selain
matanya saja yang berkaca-kaca meluapkan keharuan. Agak lama mereka tidak
saling bicara.
"Aku rasa tempat ini tidak aman untuk kalian berdua," kata Rangga
memulai pembicaraan.
Wulan menatap Jaka sebentar, lalu kembali memandang Pendekar
Rajawali
Sakti.
"Jika kalian setuju, aku punya tempat cukup baik,"
kata Rangga lagi.
"Boleh kami
tahu?" tanya Jaka.
"Tentu saja. Tempat itu bernama
Pulau Karang. Memang tempatnya di seberang laut, tapi kalian bisa
menyewa perahu dari para nelayan."
"Di
mana letaknya?" tanya Wulan.
"Kalau ingin ke sana, pergi saja ke arah selatan. Jika
telah sampai pantai, minta tolonglah pada nelayan untuk mengantarkan. Rata-rata
mereka tahu tempat itu."
Wulan
mengerutkan keningnya.
"Jangan khawatir.
Di sana ada banyak pulau karang Kalian bisa memilihnya salah satu. Sulit bagi orang lain
untuk mencari pulau yang akan kalian tempati. Bahkan nelayan yang mengantar
kalian belum tentu dapat ingat."
"Bagaimana, Kakang?" tanya Wulan meminta pendapat
"Aku rasa itu lebih baik," sahut Jaka menerima
penuh usul Pendekar Rajawali
Sakti.
"Tapi
keadaanmu..."
"Aku tidak apa-apa. Hanya luka ini perlu sedikit
perawatan lagi."
Sepasang Walet Merah kembali menoleh pada Rangga, tapi
pendekar muda itu telah tidak ada lagi di tempatnya. Tentu saja mereka jadi
mencari-cari. Rangga seolah-olah lenyap ditelan bumi, hilang tanpa jelas ke
mana perginya. Bahkan suaranya pun tak terdengar saat pergi.
"Sungguh tinggi ilmunya," gumam Jaka kagum.
"Ya. Kalau saja seluruh tokoh sakti seperti dia, dunia
ini pasti aman," sahut Wulan bergumam pula.
Jaka memandang Wulan dan tersenyum. Tangannya melingkar di
pundak gadis itu. Wulan juga tersenyum sambil melingkarkan tangannya di
pinggang Jaka. Sesaat mereka berdiri mematung.
"Kita berangkat sekarang?" usul Jaka setelah lama
terdiam.
"Sebentar, aku ganti pakaian dulu, "sahut Wulan baru sadar kalau pakaiannya cabik-cabik
tidak karuan.
Sepasang Walet Merah mengayunkan kakinya menuju ke Goa
Larangan. Goa itu sebenarnya memang tempat tinggal mereka. Bertahun-tahun
mereka tinggal di sana, dan sebentar lagi harus hengkang dari situ. Entah untuk
waktu berapa lama, atau mungkin tak lama lagi.
"Sebenarnya aku berat meninggalkan tempat ini,"
bisik Wulan.
"Aku
juga," sahut Jaka
"Tapi kita harus berlatih lagi untuk menyempurnakan
ilmu 'Walet Merah'."
"Kau tetap ingin jadi pendekar?" Jaka bertanya.
"Kenapa?"
Wulan balas bertanya. "Tidak apa-apa," desah Jaka.
"Kau tidak
suka, Kakang?"
"Aku suka, tapi aku lebih suka jadi orang biasa. Punya
ladang, keluarga, dan anak-anak yang manis. Hidup tentram tanpa selalu
dibayangi bahaya."
"Kita akan hidup tentram setelah menguasai ilmu
"Walet Merah'," sahut Wulan.
Jaka hanya
tersenyum saja. Wulan tak kalah dengan senyumnya yang manis. Dan matahari pun
tersenyum seperti mengiringi sepasang anak manusia memasuki goa. Tanpa
diketahui, sepasang mata mengawasi dari jarak yang tidak begitu jauh. Sepasang
mata itu milik Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya menyungging senyum, lalu
berbalik dan melangkah pergi.
TAMAT
No comments:
Post a Comment