Bidadari Sungai Ular
Oleh. Teguh S.
CERSILKITA75
Seekor kuda putih tinggi kekar berlari bagai kilat menyusuri
tepian sungai. Bentuk sungai yang berliku-liku, seakan-akan bergerak bagai
seekor ular naga yang menyusuri lereng dan bukit-bukit di sekitarnya. Oleh
karena bentuknya yang mirip dengan ular naga, maka sungai itu dinamakan sungai
ular.
Kuda itu ditunggangi seorang wanita cantik dengan pakaian
serba biru. Wajahnya basah oleh keringat. Sebilah pedang bertengger di
pung-gungnya. Dia adalah Saka Lintang, anak angkat Geti Ireng, ketua gerombolan
Panjl Tengkorak. Ditinggalkannya Lembah Tengkorak, setelah seorang pendekar
muda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti mengobrak-abrik partainya, Panji
Tengkorak. ( Baca : Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah
Tengkorak).
"Hooop...!" Saka Lintang menarik tali kekang
kudanya kuat-kuat.
Kuda putih meringkik kencang lalu berhenti. Dengan gerakan
ringan dan tangkas, Saka Lintang melompat dari kudanya. Ketika kakinya sampai
di tanah, segera dijejakkan kakinya hingga tubuhnya melenting ke udara dan
hinggap di pohon yang cukup tinggi.
Saka Lintang bertengger pada sebuah cabang pohon, seraya
matanya mengawasi bagian hulu sungai. Bibirnya tersenyum kctika sebuah perahu
besar dengan layar lebar mulai terlihat. Di ujung tiang layar, berkibar
selembar bendera bergamhar bunga melati yang dilingkari rantai.
Dari lambang gambar bendera, dapat dipastikan kalau kapal
layar itu milik seorang saudagar kaya dari Kadipaten Balungan. Sebuah Kadipaten
kecil di wilayah Timur kerajaan Singasari yang berpenduduk cukup makmur.
"Suiiit...!" Saka Lintang bersiul nyaring yang
disertai tenaga dalam.
Mendengar siul yang bergema itu, serentak dari rimbunan
semak-semak tepi sungai bermunculan empat buah perahu berukuran sedang, dikayuh
oleh beberapa orang. Saka Lintang segera terjun diiringi gerakan salto beberapa
kali, dan hinggap tepat di punggung kudanya.
Gadis itu lantas menghentak tali kekang kudanya, lalu memacu
ke arah perahu gerombalannya yang makin dekat. Ketika perahunya yang berwarna
biru pekat itu telah menepi, Saka Lintang menarik tali kekang kuda, dan tanpa
berpikir banyak dia segera melompat ke udara. Perahu yang telah siap
menunggunya itu menerima tubuh Saka Lintang yang hinggap di tengah-tengahnya
"Ayo, cepat! Kepung kapal layar itu!" teriak Saka
Lintang.
Enam orang laki-laki bertubuh kekar segera mengayuh dayung.
Perahu itu pun meluncur deras mendekati kapal layar besar. Tiga perahu lain
yang berwarna biru pekat pula, bergerak menyerang. Sedangkan di kapal layar
besar itu tengah terjadi kesibukan. Beberapa orang telah siap dengan panah yang
mengarah pada gerombolan Saka
Lintang.
"Awas, panah!" teriak Saka Lintang ketika melihat
anak panah meluncur deras.
Saka Lintang pun mencabut pedangnya. Dengan cepat pedang itu
telah berputar-putar bagai baling-baling. Anakanak panah yang meluncur cepat
itu rontok seketika tersapu oleh pedang. Layaknya sebuah payung yang melindungi
dari serangan hujan.
Empat perahu Saka Lintang makin dekat ke arah kapal layar.
Sementara anak-anak panah terus meluncur mencari mangsa. Namun anak buah Saka
Lintang mudah saja merontokkannya. Saka Lintang tersenyum melihat keberhasilan
anak buahnya itu.
"Serang...!" teriak Saka Lintang nyaring.
Mendengar abaaba itu serentak anak buah Saka Lintang yang berseragam biru pekat
berlompatan ke atas kapal layar. Gerakan mereka sangat ringan dan cepat. Jelas
mereka bukan orang-orang sembarangan. Rata-rata mereka memiliki ilmu silat
cukup tinggi. Sementara pertarungan kini bergejolak di atas kapal layar. Saka
Lintang mengamuk bagai banteng terluka.
Tubuh-tubuh mulai ambruk bergelimang darah menyusul suara
jeritan hasil kelebatan pedang Saka Lintang. Memang orang-orang di atas kapal
bukan tandingan Saka Lintang dan anak buahnya. Banyak sudah lawan yang telah
berjatuhan.
Beberapa lawan malah menyelamatkan diri dengan terjun ke
sungai. Dan memang, Saka Lintang dan pasukannya berhasil menguasai kapal layar.
Dimasukkan pedangnya ke dalam sarung di punggung. Matanya tajam mengawasi
sekitar geladak kapal yang penuh oleh darah.
"Buang semua mayat ke sungai!" perintah Saka
Lintang.
Anak buah Saka Lintang yang berjumlah kira-kira dua puluh
orang itu segera mengerjakan perintahnya. Diseret dan dilemparkan seluruh mayat
ke sungai. Sekejap saja permukaan sungai telah berubah warnanya menjadi merah
oleh darah.
Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan wajah ditumbuhi
cambang mendekati Saka Lin¬tang. Sebilah golok besar tergantung di ping
gangnya. Dibungkukkan badannya sedikit di de-pan Saka Lintang yang berdiri
angkuh. Kedua tangannya berada di atas pinggang.
"Ada apa,
Codet?" tanya Saka Lintang datar.
"Hamba menemukan satu peti berisi perhiasan emas dan
perak, Tuan Putri," sahut laki-laki yang dipanggil Codet Memang di pipi
kanannya terdapat guratan panjang sehingga menambah seram wajahnya.
"Bagus, pindahkan semua barang berharga ke perahu kita!"
perintah Saka Lintang.
"Hoi! Angkat semua yang berharga!" teriak Codet
keras.
Kesibukan kembali terjadi. 'Tuan Putri ingin melihatlihat?"
ujar Codet sambil membungkuk lagi.
Saka Lintang tidak menyahut. Dilangkahkan kakinya dengan
angkuh melewati laki-laki tegap dan kasar itu. Codet mengikuti dari belakang.
Kapal layar ini tidak terlalu besar. Hanya sebentar saja Saka Lintang telah
menelusuri bagianbagian kapal. Dia sangat terkesan ketika masuk ke sebuah bilik
dalam kapal.
Bilik itu memang cukup indah, bagaikan peraduan seorang
bangsawan. Saka Lintang menduga, kapal layar ini pasti milik seorang bangsawan
kaya. Rasanya tidak mungkin Kadipaten memiliki kapal seindah ini. Tapi kenapa
bendera kapal menunjukkan milik saudagar Gantar dari Kadipaten Balungan? Atau
mungkin kapal ini telah dijual oleh saudagar itu kepada bangsawan kerajaan?
"Ah! Masa bodoh. Kenapa harus dipiklrkan? Yang penting
aku suka kapal ini!" dengus Saka Lintang dalam hati.
"Codet!"
panggil Saka Lintang.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Codet sambil
membungkukkan badan.
"Turunkan bendera kapal, ganti dengan bendera
kita!" perintah Saka Lintang.
"Hamba siap
menjalankan perintah."
"Kemudian
kapal ini, bawa pulang!"
Codet berlalu setelah sebelumnya memberi hormat Saka Lintang
melangkah memasuki bilik kapal kembali. Mulutnya tak henti-hentinya berdecak
kagum. Di dalam bilik ini, Saka Lintang merasa bagai putri raja. Atau paling
tidak putri bangsawan.
Dijatuhkan tubuhnya ke atas pembaringan yang berlapiskan
kain sutra lembut. Sungguh nyaman berada di pembaringan ini. Saka Lintang
tersenyum-senyum sendiri. Selama malang melintang menguasai sungai ular ini,
baru sekarang dia mendapat sebuah kapal layar yang mengagumkan. Rasanya sayang
kalau kapal ini mesti dibakar seperti yang sudah-sudah. Dia ingin memiliki
kapal ini. Dengan kapal ini dia bisa lebih leluasa menjadi penguasa sungai
Ular.
"Ha ha ha..., akulah ratu sungai Ular ini! Bidadari
sungai Ular....Ha ha ha...!" Saka Lintang tertawa sambil berteriakteriak
bagai orang glla.
Saka Lintang menari-nari berputar mengelilingi bilik kapal.
Tawanya belum berhenti. Dihampirinya sebuah meja terbuat dari batu pualam.
Matanya memperhatikan guci arak.
"Hm, arak buatan desa Cacah. Sungguh tinggi
seleranya," gumam Saka Lintang sambil menuang arak ke dalam gelas perak.
Basah sudah tenggorokannya oleh arak. Kepalanya
terangguk-angguk beberapa kali. Arak desa Cacah memang telah terkenal
kenikmatannya. Arak ini memang pilihan kaum bangsawan. Harganya hanya
terjangkau oleh orangorang kaya. Tanpa terasa, gelas peraknya telah kosong. Dia
telah menenggak habis arak itu. Saka Lintang menoleh ke pintu ketika diketuk
dari luar.
"Masuk!" bentak Saka Lintang karena merasa
terganggu kenikmatannya. Dia duduk di kursi berukir di samping meja pualam itu.
Codet muncul setelah pintu terbuka. Dia membungkuk sedikit
memberi hormat.
"Ada apa lagi?" tanya Saka Lintang kembali
memasang sikap angkuh.
"Hamba menemukan seorang wanita bersembunyi di balik
tumpukan peti," sahut Codet.
"Hm, siapa dia?" tanya Saka Lintang mengerutkan
kening.
Codet menjentikkan jarinya. Kemudian muncul dua orang
laki-laki mengapit seorang wanita muda berusia sekitar tujuh belas tahun.
Cantik dan berkulit kuning langsat. Pakaiannya dari sutra halus. Perhiasannya
semua dari emas. Wajahnya menyimpan rasa takut yang dalam.
Saka Lintang memberi isyarat agar anak buahnya keluar. Codet
menutup pintunya lagi. Saka Lintang kembali mengamati wanita muda itu. Mukanya
pucat dan tubuhnya gemetar. "Siapa kau?" tanya Saka Lintang. Wanita
muda itu tidak menjawab. Tapi berusaha mengangkat kepalanya pelan-pelan. Ketika
matanya tertumbuk pada Saka Lintang, tubuhnya seketika mengejang, Ketakutannya
kian sangat.
"Kau dengar pertanyaanku, kan? Siapa kau?" dengus
Saka Lintang mulai kesal karena wanita itu diam saja.
"Aku..., aku Intan Kemuning," jawab wanita muda
itu tergagap, "Aku putri patih kerajaan Galung."
"O, rupanya kau putri seorang patih? Tidak seharusnya
putri seorang patih kerajaan seperti tikus kena gebuk begitu!"
'Tolong bebaskan aku, aku berjanji tidak akan mengatakan
apa-apa pada ayahanda," rengek Intan Kemuning.
"Ha ha
ha...!" Saka Lintang tertawa gelak.
Intan Kemuning mulai terisak. Dia sungguh sangat menyesal
ikut dengan kapal ini. Padahal orang tuanya sudah melarang. Intan Kemuning
telah dibujuk agar pulang bersama-sama saja tewat jalan darat. Tapi Intan
Kemuning ingin menikmati perjalanan melalui sungai Ular bersama kapal yang baru
dibeli ayahnya untuk pesiar.
Tidak diduga sama sekali,
gerombolan perom-pak membegal kapal itu. Pengawalnya yang berjumlah tidak
kurang dari tiga puluh orang tewas semuanya. Sedangkan awak kapalnya mencari
selamat dengan terjun sungai. Intan Kemuning yang sehari-harinya tinggal di
tembok kebangsawanan, tidak dapat berbuat apa-apa. Dia tidak pernah belajar
ilmu silat. Jadi wajar saja kalau dia begitu ketakutan melihat para perompak
mengganas di kapalnya.
***
Kapal mewah terus melaju menyusuri alur sungai Ular
diiringi empat perahu gerombolannya. Masing-masing perahu berisi barang- barang
berharga dan djkawal oleh empat orang. Sementara di dalam bilik kapal mewah,
Saka Lintang tengah berbaring tengkurap dengan punggung terbuka.
Punggung yang terbuka itu terasa nikmat setelah Intan
Kemuning memijitinya. Dia dengan terpaksa harus mengikuti perintah Saka Lintang
yang menjadi pemimpin perompak sungai Ular. Perhiasan yang melekat di tubuhnya
juga sudah ditanggalkan, Intan Kemuning hanya bisa menerima nasib saja menjadi
budak kepala perompak itu.
"Pijatanmu enak juga. Siapa yang mengajari?" tanya
Saka Lintang.
"Bibi Emban. Katanya, biar suami betah di rumah, istri
harus pintar memijat," sahut Intan Kemuning pelan.
Saka Lintang membalikkan badan dan merapikan pakaiannya
kembali. Matanya tajam menatap wajah Intan Kemuning yang tertunduk. Saka
Lintang yang hidup dari dibesarkan di lingkungan keras, sangat terkejut
mendengar kata-kata Intan Kemuning. Dalam kamus hidupnya, tidak ada istilah
perempuan harus tunduk pada kaum laki-laki.
"Kau bilang tadi bahwa kau anak patih. Apa kau tidak
pernah belajar ilmu kanuragan?" tanya Saka Lintang.
'Tidak, Ayahanda tidak mengijinkan aku belajar ilmu-ilmu
keprajuritan. Beliau menginginkan aku menjadi seorang wanita bangsawan
sejati," polos sekali jawaban Intan Kemuning.
"Apa enaknya? Kau akan dijajah laki-laki, tahu!"
Saka Lintang jadi terhenyak hatinya. Dia tidak terima kaumnya jadi
bulan-bulanan kaum lelaki.
"Aku tidak
bisa menentang keinginan Ayahanda."
"Bodoh! Itu artinya kau sudah dijajah laki-laki,"
dengus Saka Lintang gemas.
Intan Kemuning
hanya tertunduk saja.
"Kalau kau tidak berbuat macam-macam dan menuruti kata-kataku,
aku akan mengajarimu ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian lainnya.
Supaya kau tidak jadi wanita yang lemah. Coba kau pikirkan! Baru lihat anak
buahku yang hanya bisa main gertak saja, kau sudah ketakutan setengah mati.
Untung kau tidak digagahi!"
Intan Kemuning terlonjak kaget. Tubuhnya menggigll
ketakutan.
"Mereka tidak akan mengganggumu! Dengan syarat, kau
harus turuti kata-kataku!" kata Saka Lintang.
Tidak ada pilihan lain bagi Intan Kemuning kecuali
menyanggupi kemauan Saka Lintang. Nasibnya sekarang berada di tangan pemimpin
perompak ini. Pikirnya, membangkang sedikit saja bisa-bisa mati konyol! Atau
malah dijadikan pemuas nafsu anak buah Saka Lintang...? Intan Kemuning tidak
sanggup membayangkannya.
"Aku hidup di lingkungan laki-laki kasar dan brutal.
Tapi mereka semua tunduk pada perintahku! Berani menentang dan kurang ajar.
Nyawa taruhannya!" jelas Saka Lintang.
"Kau seorang pemimpin perompak, tapi mengapa kau baik
padaku?" tanya Intan Kemuning tidak mengerti dengan sikap Saka Lintang.
Saka Lintang tertawa terbahak-bahak. Telinganya terasa
dikilik, dirinya dianggap "baik". Hidupnya penuh kekerasan.
Tangannya selalu dilumuri darah.
Kenapa masih ada juga orang yang mengatakan dirinya baik? Apa tidak salah
pendengarannya? Masih adakah kebaikan di hatinya? Dia sendiri tidak tahu
mengapa tiba- tiba jadi iba melihat Intan Kemuning. Lebih-lebih setelah
mendengar penuturannya yang polos itu.
Saka Lintang merasa seolah-olah dialah yang diinjakinjak
kaum lelaki setelah mendengar per-jalanan hidup Intan Kemuning. Hatinya
berontak dan dengan seketika dia ingin segera nienjadikan Intan Kemuning
seorang wanita yang kuat seperti dirinya.
Saka Lintang bangkit dari pembaringannya.
Dilangkahkan kakinya mendekati meja.
Diraihnya guci arak, lalu dituangkan ke dalam dua gelas pe-rak Satu gelas
disodorkan pada Intan Kemuning, segelas lagi buat dirinya.
"Aku tidak
biasa minum arak," tolak Intan Kemuning.
"Untuk jadi
pengikutku, harus bisa minum arak!" paksa
Saka Lintang.
Ragu-ragu Intan Kemuning menerima segelas arak yang
disodorkan buatnya. Tangannya gemetar memegang gelas itu. Sebab selama
hidupnya, belum pernah dia minum arak!
Mencium baunya saja, kepalanya
terasa pening.
"Ayo,
minum!" paksa Saka Lintang lagi.
Intan Kemuning memejamkan matanya. Sambil menahan napas,
diminumnya arak itu sedikit. Saka Lintang tersenyum melihat cara Intan Kemuning
minum arak. Tiba-tiba Intan Kemuning terbatuk-batuk dan berdahak beberapa kali.
Wajahnya memerah dan matanya berair.
Saka Lintang makin tertawa keras.
"Maaf, aku tidak bisa," ucap Intan Kemuning
setelah reda batuknya.
"Lama-lama kau akan terbiasa," sahut Saka Lintang
kalem.
'Tapi...."
"Di istanaku, semua minum arak! Tidak ada air minum,
kecuali sanggup memasaknya sendiri!" potong Saka
Lintang.
Intan Kemuning terdiam. Menginjakkan kakinya ke dapur saja
tidak pernah, apalagi memasak. Hatinya hanya bisa mengeluh dan menyesali diri.
Kenapa harus hidup dengan orang dan lingkungan yang sama sekali asing? Intan
Kemuning tidak dapat membayangkan apakah dia bisa hidup dengan cara seperti
ini,
Saka Lintang
menoleh ke pintu setelah diketuk dari luar.
Intan Kemuning juga memandang ke
arah pintu.
"Masuk!"
teriak Saka Lintang.
Codet muncul.
"Ada
apa?" tanya Saka Lintang.
"Sebentar
lagi kapal sandar, Tuan Putri," iapor Codet.
"Hm, biar saja. Aku dan Intan tetap di sini Kalian
bereskan semua barang-barang."
"Hamba
laksanakan, Tuan Putri."
"Tunggu!" cegah Saka Lintang melihat Codet akan
berbalik.
Codet membungkukkan badannya lagi. "Beritahu pada semua
anggota, kalau ada yang berani mengganggu Intan Kemuning, akan berurusan
denganku! Dia kini jadi adik angkatku!" ujar Saka Lintang keras.
"Hamba, Tuan Putri," Codet membungkuk hormat.
Hatinya sedikit diliputi keraguan.
"Pergilah! Laksanakan tugasmu!" Codet membungkuk lagi,
kemudian berbalik Pintu kamar kembali tertutup rapat.
Saka Lintang memandang Intan
Kemuning yang masih duduk di tepi pembaringan.
"Kau lihat,
laki-laki tadi hanya bentuknya saja yang kasar.
Nyalinya kecil," Saka Lintang
menjentikkan jarinya.
Intan Kemuning hanya menelan
ludah saja. Dia selalu ngeri jika lihat tampang laki-laki yang kasar dan kejam.
Dia tidak yakin apakah mampu seperti Saka Lintang. Dari sini Intan Kemuning
mulai bersimpati pada wanita yang usianya tidak terpaut jauh dari dirinya itu. Saka
Lintang, masih muda, cantik, tapi mampu menguasai dan memerintah lakilaki
bertampang kasar dan bengis. Intan Kemuning yang polos, mudah sekali jatuh
simpati pada sikap Saka Lintang. Meski dia tadi sempat melihat bagaimana Saka
Lintang membantai para pengawal Kadipaten dengan kejam. Namun bayangan
kekejaman di wajah Saka Lintang makin sirna dalam pandangan Intan Kemuning. Dia
hanya melihat suatu kelembutan dan kebaikan hati dalam diri Saka Lintang
sebagai wanita yang tegar.
***
Seminggu rasanya belum cukup bagi Intan Kemuning untuk
menyesuaikan diri di lingkungan para perompak. Di sekelilingnya kecuali Saka
Lintang, hanya laki-laki berwajah kasar dan sc-ram. Dan selama seminggu itu
Saka Lintang telah memberi dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Cukup keras latihan
yang diberikan. Hampir-hampir Intan Kemuning tidak sanggup menjalaninya.
Sejak itu pula, Saka Lintang tidak pernah lagi ikut merompak
kapal yang lewat di sungai Ular. Pemimpin perompak dipercayakan pada Codet.
Hasilnya memang tidak mengecewakan. Codet selalu pulang membawa hasil.
"Kau tidak keluar, Codet?" tanya Saka Lintang
melihat Codet tengah bermalas-malasan.
"Hari ini tidak ada kapal yang lewat, Tuan Putri.
Mereka takut terhadap Bidadari Sungai Ular!" sahut Codet.
"Kau tidak
berolok-olok padaku, Codet?"
"Mana berani hamba mengolok-olok Tuan Putri? Bisabisa
kepala hamba pisah dari badan."
"Bagus kalau
kau tahu!"
Codet melirik Intan Kemuning yang duduk di bangku bawah
pohon. Agak jauh memang. Sebuah buku bersampul hitam lusuh berada di tangannya.
"Maaf, Tuan Putri. Apa Tuan Putri tidak salah
mengangkat dia jadi adik?" takut-takut Codet bicara sambil ibu jari
tangannya diarahkan pada Intan Kemuning.
"Maksudmu....
Intan?" jawab Saka Lintang.
"Benar, Dia itu seorang putri patih. Berbahaya sekali
buat kita kalau...."
"Cukup!" sentak Saka Lintang memotong. "Kau
tahu, apa akibatnya menentang kehendakku?"
"Hamba, Tuan
Putri," Codet cepat-cepat menghormat.
"Kau kupercaya untuk jadi wakilku. Bukan untuk
mengaturku! Paham?!"
"Hamba
mengerti," sahut Codet.
"Sekarang pergilah! Dan jangan coba-coba mengusik Intan
Kemuning!"
Codet membungkuk lalu pergi. Matanya masih sempat melirik
Intan Kemuning. Codet yakin kalau buku itu berisi dasar-dasar ilmu pukulan tangan
kosong dan latihan pengerahan tenaga dalam. Dikhawatirkan Intan Kemuning akan
jadi duri dalam daging!
Codet sendiri dulu adalah seorang begal sebelum dikalah kan
Saka Lintang. Kemudian dia berjanji untuk selalu setia dan mengabdi pada gadis
itu. Sepuluh anak buahnya pun ikut dalam gerombolan ini. Dan sekarang jumlah
gerombolan ini tidak kurang dari tiga puluh orang. Mereka semua bekas begal
yang biasa berkeliaran mencari mangsa di hutan-hutan atau merambah desa-desa.
Kehidupan seperti itu memang bukan hal yang asing bagi mereka. Tapi justru baru
kali ini mereka tunduk oleh seorang wanita!
Codet menghampiri tiga orang temannya yang duduk melingkar
menghadapi rusa panggang. Bau harum menusuk hidung dan membangkitkan selera.
"Kalian ikut aku," kata Codet sambil mencomot
sepotong daging rusa.
"Ke mana,
Det?" tanya salah seorang.
"Ke
desa," jawab Codet.
"Cari apa ke
desa?" tanya yang lain.
"Cari
hiburan!"
Ketiga orang Itu tertawa seketika. Mereka tahu kalau Codet
mengincar Intan Kemuning, tapi takut kepada Saka Lintang. Sebagai pelampiasan
nafsunya, dia sering pergi ke desa terdekat. Codet hanya menggerutu saja sambil
membayangkan wajah Intan Kemuning. Codet melangkah pergi.
Ketiga temannya mengikuti sambil tertawa-tawa. Tak ada orang
yang tak tertarik dengan Intan Kemuning. Semua lakilaki di tempat itu pasti
berkhayal dapat menikmati kemulusan tubuhnya. Tapi hanya sekedar berkhayal.
Tidak lebih. Mereka takut oleh aturan yang diberikan Saka
Lintang.
Intan Kemuning memang selalu di bawah lindungan Saka
Lintang. Hal
inilah yang selalu mengganggu pikiran Codet. Pikirnya, oleh karena Intan
Kemuning putri seorang patih, sudah tentu pihak Kadipaten tidak akan ringgal
diam. Apalagi jika nanti Intan Kemuning berkhianat. Ini jelas menyulitkan
mereka. Codet menyayangkan pemimpinnya yang tidak menyadari kemungkinan yang
akan berakibat fatal!
***
2
Suasana di Kadipaten kerajaan Galung tengah dirundung duka.
Sudah seminggu ini Patih Giling Wesi memerintahkan prajurit-prajurit pilihan
untuk mencari kapal layar yang membawa putrinya. Sampai saat ini mereka belum
memperoleh kabar berita sama sekali.
Di Pendopo Kepatihan, Patih Giling Wesi seperti orang
kebingungan. Melangkah hilir mudik dengan hati diselimuti kegelisahan.
Tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya memandang ke depan Pendopo. Seorang
tamtama berjalan tergopoh-gopoh menuju Pendopo.
"Tamtama, ada apa?" tanya Patih Giling Wesi
setelah tamtama itu mendekat memberi hormat.
"Hamba menerima Iaporan dari beberapa telik sandi,
Gusti Patih," jawab tamtama itu.
"Cepat laporkan!"
"Beberapa telik sandi yang hamba kirim untuk mencari
keterangan tentang Putri Intan Kemuning, telah kembali pagi tadi. Dilaporkan
bahwa kapal yang membawa Putri
Intan Kemuning dirampok gerombolan
Bidadari Sungai Ular," tamtama itu menuturkan dengan sikap hormat.
"Bedebah!" geram Patih Giling Wesi murka.
Gerahamnya sampai bergemerutuk dengan wajah merah padam.
"Gerombolan Bidadari Sungai Ular sangat ganas, Gusti
Patih. Tidak peduli kapal siapa yang akan jadi sasaran," lanjut tamtama
itu lagi.
"Kumpulkan prajurit pilihan, kita berangkat sekarang
juga ke sungai Ular!" perintah Patih Giling Wesi.
"Sendika, Gusti Patih," tamtama itu memberi
hormat, lalu melangkah mundur.
Patih Giling Wesi bergegas masuk ke kamar pribadinya.
Istrinya terheran-heran melihat wajah suaminya yang merah padam. Dan betapa
terkejutnya istri Patih Giling Wesi ketika suaminya mengambil pedang pusaka.
Telah lama patih itu tidak menyentuhnya lagi.
"Kang
Mas...."
Patih Giling Wesi menoleh. Dia baru sadar kalau istrinya,
Rara Angken, berada di kamar ini. Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan
putri mereka, sehingga tak sadar kalau istrinya sejak tadi memperhatikan
tingkah lakunya.
"Untuk apa pedang itu?" tanya Rara Angken. Nada
suaranya bergetar penuh kecemasan.
"Aku akan mencari Intan Kemuning," sahut Patih
Giling Wesi.
'Tapi mengapa
harus membawa pedang pusaka?"
"Beberapa telik sandi melaporkan kalau kapal yang
membawa Intan Kemuning dirampok oleh Gerombolan
Bidadari Sungai Ular."
"Oh...!" Rara Angken menekap mulutnya.
"Berdoalah pada Hyang Widi untuk keselamatan anak kita," lembut suara
Patih Giling Wesi.
"Intan, anakku...," Rara Angken tak kuasa lagi
menahan air matanya.
"Dinda Rara Angken, tidak ada gunanya kau menangis.
Berdoalah agar anak kita selamat. Perompak itu memang ganas, tapi firasatku
mengatakan bahwa Intan Kemuning masih hidup. Tenangkan hatimu. Aku berjanji
akan membawa kembali anak kita," ujar Patih Giling Wesi sambil
mengelus-elus kepala dan bahu istrinya.
Rara Anken masih terisak. Air matanya menganak sungai di
pipi.
"Aku pergi, Dinda," pamit Patih Giling Wesi
setelah menarik napas panjang.
"Kang
Mas...," lirih suara Rara Angken.
Pedih hati Patih Giling Wesi melihat istrinya menangis.
Namun kakinya melangkah tegap, terayun ke luar kamar.
Sementara sekitar lima puluh
prajurit bersenjata lengkap sudah berbaris menunggunya di depan Pendopo.
Seorang prajurit menuntun seekor kuda hitam tinggi kekar
ketika Patih Giling Wesi tiba di depan Pendopo. Tanpa banyak basa-basi lagi,
patih yang terkena! pemberang itu segera melompat ke punggung kuda dengan
gerakan yang lincah.
Para prajurit bergegas menaiki kudanya masing-masing. Patih
Giling Wesi segera memacu kudanya dengan cepat diikuti oleh pasukannya. Derap
langkah kuda terdengar bergemuruh meninggalkan kepulan debu bergulung-gulung.
Kepatihan kembali sepi setelah mereka ke luar dari benteng diiringi oleh mata
beberapa penjaga yang terkesima.
"Hiya...! Hiya...!" Patih Giling Wesi meng-geprak
kudanya agar lebih kencang lagi.
Kuda hitam mengkilat itu mendengus-dengus berlari bagai anak
panah melesat cepat Kuda Patih Giling Wesi memang kuda pilihan. Tidak heran
kalau para prajuritnya tertinggal di bela-kang. Padahal mereka telah memacu
kudanya secepat mungkin.
Sebuah jalan desa yang kanari kirinya berdiri rumah
penduduk, mereka lewati. Semua orang yang berada di jalan segera menepi. Mereka
terheran-heran melihat banyak prajurit yang sudah terkenal kedigjayaannya
seperti akan perang.
Tiba kini sebuah kedai mereka lewati. Semua orang dalam
kedai menoleh. Tetapi yang terlihat hanya kepulan debu saja. Di antara
pengunjung kedai, duduk tenang seorang pemuda tampan yang tengah menghadapi
guci arak.
Pemuda itu tidak merasa terganggu oleh ulah prajurit
kepatihan yang memacu kuda dengan cepat itu. Padahal banyak orang dalam kedai
bertanya-tanya dan mendugaduga. Pemuda itu mengenakan baju rompi putih yang
lusuh. Di punggungnya bertengger sebilah pedang dengan gagang berbentuk kepala
burung rajawali. Dia adalah Rangga, Pendekar Rajawali Sakti.
"Seperti akan perang saja prajurit-prajurit itu,"
terdengar suara dari meja tidak jauh dari tempat duduk Rangga.
Rangga melirik ke arah suara itu. Dua anak muda duduk
menghadapi empat guci arak. Dari pakaiannya dapat ditebak kalau mereka anak
seorang bangsawan kaya. Atau paling tidak anak saudagar.
'Tidak biasanya, Patih Giling Wesi ikut serta. Pasti ada
sesuatu yang gawat," sahut temannya.
"Mereka
mencari putri Intan Kemuning!"
Semua orang di kedai terdongak dan menatap arah suara yang
datang tiba-tiba itu. Ternyata seorang kakek tua mengenakan baju
compang-camping dengan tongkat merah menyangga tubuhnya. Kakek tua itu
bersandar pada tiang kedai. Dari tongkat dan pakaiannya semua orang tahu dia
adalah Pengemis Sakti Tongkat Merah. Tapi jarang yang tahu kalau nama sebenamya
adalah Aki Lungkur. Hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang tahu nama aslinya.
"Kakek gembel! Kau jangan bicara sembarangan!"
bentak salah seorang dari dua pemuda tadi.
"He he he...," Aki Lungkur atau si Pengemis Sakti
Tongkat Merah itu hanya terkekeh saja. Dia tahu siapa dua pemuda congkak itu.
Mereka putra-putra para punggawa kerajaan.
Yang memakai baju berwarna merah, bernama Hanggara.
Sedangkan yang berpakaian warna hijau bernama Rangkasa. Mereka hanya
pemuda-pemuda yang besar mulut tanpa nyali sedikit pun. Dan semua orang tahu
siapa Intan Kemuning. Bunga Kepatihan yang menjadi incaran dan impian
putra-putra bangsawan dan punggawa kerajaan. Memang, hilangnya Intan Kemuning
belum tersebar luas kecuali para prajurit pilihan.
"Kecongkakanmu melebihi tingginya gunung, tapi matamu
buta! Kau tidak bisa melihat kejadian di sekelilingmu!" Aki Lungkur
bergumam.
Merah padam wajah kedua pemuda itu. Jelas ucapan Pengemis Sakti Tongkat Merah tertuju pada
mereka.
'Tanyakan pada Gusti Rara Angken. Kalau kata-kataku salah,
kalian boleh memancung leherku. Tapi, kalau aku benar maka aku minta kalian
membebaskan putri Intan Kemuning dari sarang Bidadari Sungai Ular!"
Setelah selesai kata-katanya, Aki Lungkur dengan cepat
melompat dan hilang dari pandangan mata. Suara menggumam terdengar bagai lebah
ditepuk sarangnya. Hanggara dan Rangkasa saling berpandangan. Kata-kata kakek
tua tadi bisa jadi ada benamya tetapi patut dipertanyakan pula.
Rasanya sulit dipercaya bila putri seorang patih yang
terkenal dengan julukan Singa Medan Laga bisa ditawan oleh gerombolan Bidadari
Sungai Ular. Semua orang tahu kalau hal itu benar-benar terjadi, maka
gerombolan perompak itu bukan saja berhadapan dengan para prajurit tetapi juga
dengan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan. Patih Giling Wesi mempunyai banyak
sahabat dari tokoh-tokoh rimba persilatan. Maka kalau berita itu sampai
tersebar luas, bukan tidak mungkin mereka akan membantu Patih
Giling Wesi.
Tanpa diketahui orang-orang di kedai, rupanya dua orang
gerombolan Bidadari Sungai Ular ada pula di kedai itu.
Mereka mendengar pembicaraan Aki
Lungkur dan segera angkat kaki ketika kakek tua itu menghilang.
"Kita harus laporkan segera pada Tuan Putri,"
bisik salah seorang.
"Benar,
Kakang Badil," sahut temannya.
'Pacu kudamu dan
kita ambil jalan pintas, Adi Gering!"
Mereka pun memacu kudanya dengan cepat. Dan kini keadaan
kedai menjadi sunyi. Satu persatu pengunjung kedai berlalu pergi dari tempat
itu. Bahkan dua pemuda congkak sudah sejak tadi meninggalkan kedai. Tinggal
Rangga sendirian masih duduk
menghadapi mejanya.
Seorang pelayan tua sekaligus
pemilik kedai menghampiri. 'Tambah lagi araknya, Tuan?" Pak Tua
menawarkan.
"Tidak, duduklah di sini. Aku perlu teman ngobrol"
sahut Rangga.
Pak Tua itu duduk di depan Rangga.
***
Matahari hampir condong ke Barat. Dua ekor kuda berpacu
memasuki hutan di kaki lereng bukit Guntur. Penunggang kuda itu adalah Badil
dan Gering, dua orang dari gerombolan Bidadari Sungai Ular.
Penuh dengan kesigapan, mereka melompat turun setelah kuda
yang mereka tunggangi berhenti di depan rumah terbuat dari kayu. Inilah markas
gerombolan Bidadari Sungai Ular. Dengan tergesa-gesa Badil menghampiri pintu
dan mengetuknya dengan keras. Ketika pintu terbuka, kedua tangan Saka Lintang
telah berada di pinggang.
"Ada
apa?" tanya Saka Lintang angkuh.
"Kami punya berita penting, Tuan Putri," kata
Badil segera membungkukkan badannya.
"Katakan
cepat!"
"Menyangkut..., Intan...," Badil setengah berbisik
Matanya menerobos ke dalam.
Saka Lintang mengerutkan keningnya. Dia melangkah dua
tindak'Tadi hamba berdua minum-minum di kedai Pak Tua. Di situ hamba melihat
serombongan prajurit berkuda dipimpin langsung oleh Patih Giling Wesi,"
jelas Badil ketika Saka Lintang telah berada di luar rumah.
"Lalu?"
desak Saka Lintang sudah bisa menebak
"Di situ juga ada Pengemis Sakti Tongkat Merah. Si
gembel Itu tahu kalau Intan Kemuning ada di sini. Dia yang menyebar kabar itu,
Tuan Putri," lanjut Badil.
"Kau
takut?" cibir Saka Lintang.
"Tidak!"
sahut Badil dan Gering bersamaan.
"Kalau begitu, siapkan semua yang ada. Sambut
kedatangan mereka!" perintah Saka Lintang tegas.
"Jumlah
mereka banyak, Tuan Putri," kata Gering.
"Mereka hanya tikus!" bentak Saka Lintang. Dia
mendengar nada cemas pada suara Gering.
"Hamba laksanakan, Tuan Putri," cepat-cepat Gering
membungkuk. Dia tahu gelagat kalau Saka Lintang sudah membentak keras.
Ketika kedua orang itu telah pergi, Saka Lintang bergegas
masuk ke kamar kembali. Dia menghampiri Intan Kemuning yang menunggu di balai
tengah-tengah ruangan.
"Ada apa
Kakak Lintang?' tanya Intan.
"Ada tikus yang mencoba masuk," jawab Saka Lintang
lalu duduk di balai berhadapan dengan Intan Kemuning.
'Tikus...?"
Intan Kemuning belum mengerti.
"Yah...,
tikus bodoh yang cari mampus!"
Intan Kemuning mulai mengerti. Yang dimaksud tikus tentulah
orang. Bukan tikus sebenarnya. Kadang-kadang dia harus berpikir lebih dulu
untuk dapat mengerti. Itulah Saka Lintang. Bukan hanya kata-katanya saja yang
sulit dimengerti. Sikapnya pun demikian. Kadang-kadang kasar, kadang-kadang
lembut. Tapi di balik kekasaran-nya, Intan Kemuning dapat melihat suatu
pelampiasan kekesalan pada Saka Lintang.
Sebenarnya ingin sekali Intan bertanya. Tapi setiap kali
akan bertanya, di saat itu pula niatnya diurungkan. Dia takut Saka Lintang
tersinggung. Intan Kemuning harus bisa menjaga diri dan berbuat apa saja yang
dikehendaki Saka Lintang.
"Mengapa kau memandangiku begitu?" tanya Saka
Lintang risih dipandangi terus.
"Tidak...,
tidak apa-apa," sahut Intan Kemuning tergagap.
"Aku..., aku heran saja."
"Apa yang
kau herankan?" tanya Saka Lin¬tang.
"Kakak
Lintang," pelan suara Intan Kemuning.
"Aku...? Ha
ha ha...!" Saka Lintang tertawa gelak
Intan Kemuning makin bingung melihat Saka Lintang tertawa
terbahak-bahak. Padahal kata-katanya tidak ada yang lucu. Kenapa dia sampai
tertawa gelak seperti itu? Namun dalam tawa itu, Intan Kemuning menangkap
semacam kegetiran yang ditutup-tutupi di wajah Saka
Lintang.
"Sudahlah, tidak usah memikirkan aku! Yang penting,
sekarang giatlah berlatih. Aku lihat jurus-jurus pukulan tangan kosongmu sudah
mantap. Perdalamlah lagi agar lebih sempurna," ujar Saka Lintang setelah
reda tawanya. Intan Kemuning hanya mengangguk.
"Nah,
berlatihlah sekarang!" perintah Saka Lintang.
"Kakak Lintang mau ke mana?" tanya Intan Kemuning
ketika Saka Lintang turun dari balai.
"Ke luar! Aku akan kembali lagi jika kau sudah selesai
berlatih," sahut Saka Lintang. "Ingat, setelah kau selesai latihan
tenaga dalam, bersemadilah!"
Intan Kemuning mengangguk kembali. Saka Lintang melangkah
dan menoleh sebentar pada Intan Kemuning. Bibirnya tersungging melihat Intan
Kemuning mulai berlatih.
Sebentar matanya mengawasi keadaan
sebelum menutup pintu, lalu keluar.
Saka Lintang melenting tinggi lalu membuat gerakan berputar
beberapa kali di udara dan hinggap dengan manis di atap rumah. Pandangannya
berkeliling. Bibirnya tersenyum melihat anak buahnya telah siap menanti
datangnya para prajurit kepatihan.
Mata Saka Lintang menatap lurus ke depan. Tampak sekitar
sepuluh orang berjalan menuju sungai Ular dipirhpin oleh Codet. Di belakang
mereka, berjalan sepuluh orang dipimpin oleh Badil dan sepuluh orang lagi
dipimpin oleh Gering. Lima belas orang berjaga-jaga di markas mereka. Saka
Lintang sedikit kagum pada Codet yang pandai mengatur anak buahnya.
Dengan gerakan indah, Saka Lintang melompat turun.
Saat kakinya mendarat di tanah,
kembali dilentingkan tubuhnya dan hinggap di atas punggung kudanya. Segera dia
menggebrak kudanya lalu melesat cepat menuju ke sungai Ular yang tidak jauh
dari lereng bukit Guntur markas Saka Lintang sekarang ini. Sungai Ular memang
indah dipandang, namun menyimpan keganasan yang luar biasa.
Sebentar saja Saka Lintang telah sampai di sungai Ular
mendahului anak buahnya. Matanya yang bulat bening memandang sekitar sungai
yang tenang. Setenang sikapnya saat ini.
Codet menggerak-gerakkan tangannya ke atas ketika mereka
telah sampai di sungai itu. Dengan seketika anak buahnya berpencar masuk ke
dalam semak-semak dan ke balik bongkahan-bongkahan batu. Kini di tepi sungai
tersisa empat orang. Mereka semua memang terlatih baik dalam menguasai daerah
sekitar sungai Ular. Maka dalam sekejap saja tidak ada orang yang terlihat.
Mereka bagaikan lenyap ditelan bumi. Pandai menyamarkan diri dengan alam!
"Dengar...!"
seru Saka Lintang tiba-tiba.
"Suara
kuda," gumam Codet.
"Hm, siapa dia," gumam Saka
Lintang.
***
Suara kaki kuda kuda makin jelas terdengar. Saka Lintang
mengerutkan keningnya. Dia hanya mendengar langkah dari satu ekor kuda saja.
Matanya langsung melirik
Badil.
"Hamba akan menyongsong, Tuan Putri!" ujar Badil
mengerti maksud lirikan Saka Lintang.
Badil dengan cepat melompat ke kudanya. Segera digebahnya
kuda itu. Dengan cepat kuda yang ditunggangi Badil sudah tidak terlihat lagi.
Lenyap di balik rimbunan pepohonan. Badil memacu kudanya menuju arah datangnya
suara kaki kuda.
Tiba-tiba ditarik tali kekang kudanya dan seketika tubuhnya
melontar tinggi. Kakinya dengan sigap hinggap di sebuah batang pohon yang
tinggi. Matanya dengan seksama berkeliling. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk
pada seekor kuda yang ditunggangi seorang pemuda. Tampak dua bilah pedang
bertengger di punggungnya.
"Kala Srenggi," desis Badil mengenali penunggang
kuda itu.
Badil menunggu beberapa saat sampai Kala Srenggi mendekat.
Kemudian dia meloncat turun ketika Kala
Srenggi tepat di bawah pohon yang
dinaiki Badil. Kala Srenggi dengan tangkas melompat dari kudanya ketika
merasakan ada penyerang gelap dari atas.
Pedang Badil segera membabat namun luput Dia kecewa. Padahal
dia yakin penunggang kuda itu akan pecah kepalanya tersambar pedang. Yang
didapati hanya tempat kosong saja,
"Licik!" dengus Kala Srenggi ketika kakinya
menjejak di tanah.
"Kau juga
lebih licik dariku, Kala Srenggi," balas Badil.
"Siapa kau?' tanya Kala Srenggi yang heran melihat
penyerang gelapnya tahu tentang dirinya.
"Aku Badil.
Macan Gunung Sinai!" sahut Badil angkuh.
"Hm..., Macan Gunung Sinai sampai nyasar ke bukit
Guntur," gumam Kala Srenggi mencibir.
"Ada urusan
apa kau datang ke sini?" tanya Badil.
"Aku hanya
lewat," jawab Kala Srenggi acuh.
"Tidak
seorang pun diijinkan masuk ke bukit Guntur!"
"He! Sejak kapan aku...." Kala Srenggi belum
menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Badil telah menyerang dengan cepat. Kala
Srenggi agak kewalahan menghindari serangan-serangan pedang Badil yang cepat
dan berbahaya. Macan Gunung Sinai memang bukan nama kosong, dan Kala Srenggi
tahu itu. Dengan cepat dia bersalto di udara. Tangannya segera menarik pedang
kembarnya. Sret! Traaang!
Dua pedang berbenturan di udara. Pijaran api akibat benturan
pedang berlompatan bersamaan dengan terpentalnya dua orang itu. Mereka memang
bukan orang sembarangan. Tanpa kesulitan apa-apa, kaki mereka telah menjejak di
tanah dengan lincah.
Dua orang itu sama-sama kaget dan sama-sama merasakan
kesemutan setelah pedang mereka beradu. Kini mereka sama-sama menyiapkan
jurus-jurus selanjutnya.
Sambil berteriak nyaring, mereka kembali terlibat dalam
pertarungan sengit. Masing-masing ingin segera menjatuhkan. Namun sampai lima
jurus berlalu, belum ada yang terdesak. Memasuki jurus selanjutnya masih tetap
seimbang. Beberapa kali ujung pedang mereka hampir menemui sa-saran satu sama
lain. Namun semuanya masih dapat dihindari.
Hingga pada suatu ketika, Kala Srenggi melompat mundur
sejauh dua tombak sambil memasukkan pedang kembar ke sarung di punggungnya.
Kini dikeluarkannya 'Aji Racun Merah". Melihat lawan tengah mengerahkan
ilmu andalan, Badil pun tak ketinggalan dengan ilmu andalannya pula. Mereka
sudah saling berhadapan siap menyerang dengan kesaktian masing-masing.
"Hiya...!"
"Hiya...!"
Kedua orang itu melompat berbarengan. Kini kedua telapak
tangan mereka bertemu di udara. Ledakan keras terjadi, disusul dengan
terpentalnya dua tubuh. Kala
Srenggi jatuh bergulingan di tanah
beberapa depa. Sedangkan Badil tidak kalah parah. Dari hidung dan mulutnya ke
luar darah.
"Uhk!"
Badil memuntahkan darah merah kehitaman.
Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Badil berusaha
bangkit. Tubuhnya sempoyongan. Sementara Kala Srenggi juga berusaha berdiri.
Dari sudut bibimya mengalir darah segar. Tangan kirinya menghitam terkena ajian
'Macan Gunung' yang dilepaskan Badil.
"Setan! Salah satu di antara kita harus mampus!"
geram Kala Srenggi.
"Huh!"
Badil hanya mendengus.
Badil sadar kalau tubuhnya telah dialiri 'Racun Merah' dan
hidupnya tak akan bertahan lebih lama lagi. Kala Srenggi pun demikian. Dia
terluka parah. Mereka samasama kepalang basah. Kembali ajian masing-masing
mulai mengarah satu sama lain.
"Berhenti!" tiba-tiba suara bentakan melengking
nyaring.
Namun terlambat! Kedua orang itu sudah kembali melompat dan
beradu di udara. Kala Srenggi lagi-lagi bergulingan di tanah. Dari mulutnya
menyembur darah kental kehitaman. Dia berusaha bangun, tetapi malah jatuh dan
tak bergerak sama sekali. Mati. Kedua tangannya seperti hangus terbakar.
Di pihak Badil, lebih mengerikan. Dia tergeletak dengan dada
pecah. Darah bersimbah membasahi tubuhnya. Badil tewas seketika setelah
tubuhnya tenanting di tanah.
Sebuah bayangan biru berkelebat dan mendarat di
tengah-tengah arena pertarungan tadi. Dia adalah Saka Lintang, kemudian disusul
oleh Codet dan Gering. Kedua orang itu terkejut melihat Badil tewas dengan dada
pecah.
Saka Lintang malah tenang-tenang
saja.
"Hm, Kala
Srenggi," gumam Saka Lintang.
Gadis itu mengayunkan langkahnya mendekati mayat Kala
Srenggi. Sebentar diamati dan dengan ujung kakinya dibalikkan tubuh Kala
Srenggi. Tampak di bagian dadanya hangus terbakar. Tidak ada luka di tubuhnya.
Juga tidak ada tanda-tanda Kala Srenggi masih hidup.
Saka Lintang mengambil ranting, lalu menekan dada Kala
Srenggi dengan ranting. Terkejut juga Saka Lintang ketika melihat dada Kala
Srenggi yang mendadak ambrol setelah tersentuh ranting. Bagai ditiup angin
saja! Dada Itu kini berlubang besar tembus sampai ke punggung. Sungguh dahsyat
ajian 'Macan Gunung' yang dilepaskan Badil.
"Bagaimana?" tanya Saka Lintang menoleh pada dua
anak buahnya.
"Mati,"
sahut Codet.
"Kuburkan
kedua mayat ini," perintah Saka Lintang.
'Tidak ada waktu, Tuan Putri. Sebentar lagi gelap,"
sahut Codet.
"Kalau
begitu, tinggalkan saja di sini!"
Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan dua sosok mayat
yang tergeletak di tanah. Sungguh tragis nasib mayatmayat itu. Tak ada seorang
pun yang sedia
menguburkannya. Tetapi untungnya,
Gering yang setiap hari selalu bersama-sama dengan Badil merasa tidak tega juga
terhadap mayat temannya itu. Dia kembali lagi lantas menggali tanah.
Saka Lintang hanya melirik, kemudian melanjutkan langkahnya.
Toh tadi dia juga sudah memerintahkan untuk mengubur mayat itu. Kini malah
Codet yang bimbang. Dia hanya berdiri dengan pandangan berganti-ganti dari Saka
Lintang ke arah Gering yang tengah menggali dengan pedangnya.
'Tuan Putri...," agak bergetar
suara Codet. Saka Lintang membalikkan tubuhnya.
"Tidakkah...."
"Bantu dia!" potong Saka Lintang cepat sambil
menunjuk pada Gering.
Tanpa menghiraukan Codet lagi, Saka Lintang melangkah cepat.
Codet bergegas mengham-\piri Gering dan membantu menguburkan mayat Badil.
'Terima
kasih," ucap Gering.
'Tuan Putri yang
memerintahku," sahut Codet.
Gering menatap Saka Lintang yang hanya terlihat bayangan
bajunya saja di antara pepohonan. Sampai selesai menguburkan Badil, mereka
belum bicara. Gering menatap mayat Kala Srenggi.
"Biarkan saja dia jadi santapan anjing hutan!"
kata Codet
Gering mengangkat bahunya.
Mereka memang tidak pernah mengurus mayat musuh. Kini dengan hati lega; mereka
tinggalkan tempat itu. Meninggalkan salah seorang teman yang kini terbaring di
dalam tanah.
***
3
Matahari baru saja menampakkan diri. Sinarnya membias
menerangi mayapada. Patih Giling Wesi duduk di atas punggung kudanya dengan
lesu. Semalaman dia mencari di sekitar sungai Ular, tapi tidak sedikit pun
jejak kapal layar yang membawa putrinya ditemukan.
"Rapaksa!"
"Hamba, Gusti Patih," salah seorang tamtama segera
mendekat.
"Beritahu prajurit, kita istirahat sebentar di
sini," kata Patih Giling Wesi.
"Adya Bala,
istirahat!" teriak tamtama Rapaksa keras.
Para prajurit serentak turun dari kuda masing-masing. Mereka
mencari tempat beristirahat dan membuka perbekalan. Patih Giling Wesi pun telah
turun dari kudanya lalu menghampiri sebuah batu besar yang menjorok ke sungai.
Dia duduk di atas batu menatap ke arah sungai yang berliku.
Belum sempat Patih Giling Wesi beristirahat banyak, tibatiba
datang seorang prajurit berlari-lari menghampirinya.
Didekatinya Patih Giling Wesi.
"Ampun, Gusti Patih. Hamba menemukan tanda
keprajuritan di pinggir
sungai," kata prajurit itu sambil menyerahkan sebuah kalung tanda
keprajuritan.
Patih Giling Wesi lantas menyambar kalung itu. Matanya
mengamati sebentar. Ada noda darah melekat di kalung itu. Berarti telah terjadi
sesuatu pada kapal itu. Dan yang jelas kejadiannya di sungai Ular ini!
"Rapaksa!"
teriak Path Giling Wesi.
Rapaksa berlari menghampiri. Dia segera memberi hormat
setelah tiba di depan Path Giling Wesi.
"Siapkan
prajurit!" perintah Patih Giling Wesi.
Rapaksa belum
sempat menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan dan disusul dengan rubuhnya lima
orang prajurit. Dada mereka tertancap tombak. Serentak para prajurit yang lain
bersiaga.
Patih Giling Wesi cepat melompat ke arah lima
prajuritnya yang tewas. Dia mencabut
sebatang tombak dari salah seorang prajuritnya yang sudah tidak bergerak itu.
Sebuah tombak berwarna biru dengan tangkai berukir huruf yang rapi dan indah.
"Bidadari
Sungai Ular," desis Patih Giling Wesi
"Rupanya ada tamu agung berkenan mengunjungi
wilayahku!"
Patih Giling Wesi dan para prajuritnya terkejut mendengar
suara yang tinggi menggema dibarengi pengerahan tenaga dalam yang sempurna.
Rasa terkejut mereka belum juga hilang ketika tiba-tiba muncul seorang wanita
cantik mengenakan pakaian serba biru. Dia tidak lain adalah Saka Lintang. Dengan
angkuh dia berdiri di atas batu tempat Patih Giling Wesi tadi beristirahat.
"Siapa
kau?!" bentak Patih Giling Wesi.
"Bidadari
Sungai Ular!" jawab Saka Lintang mantap.
"Setan! Kembalikan
putriku!" geram Patih Giling Wesi. "Ha ha ha..., tidak semudah itu
patih yang gagah." "Adya Bala!" teriak Patih Giling Wesi memberi
aba-aba.
Begitu prajurit bersiap, seketika itu pula dari rimbunan
semak dan dari balik bongkahan batu, bermunculan orangorang yang semuanya
ber-seragam biru. Mereka semua telah siap dengan senjata di tangan. Patih
Giling Wesi makin geram menyadari keadaannya telah terkepung.
Dua kelompok itu hampir seimbang jumlah-nya. Kelihatannya
prajurit Kepatihan lebih banyak. Tapi bukan berarti mereka bisa dengan mudah
mengalahkan gerombolan ini. Mereka semua memiliki tingkat kepandaian rata-rata
di atas para prajurit pilihan sekali pun.
"Intan
Kemuning akan kukembalikan pada saatnya nanti.
Percuma saja kau kerahkan seluruh
prajurit! Mereka hanya mengantar nyawa ke tempat ini!" ujar Saka Lintang
pongah.
"Kalian perompak liar, dan harus dimusnahkan!"
geram Patih Giling Wesi.
"Tidak semudah itu, Patih gagah," kata Saka
Lintang meremehkan.
Sudah tak tertahankan lagi amarah Patih Giling Wesi.
Pikirannya hanya terpusat pada keselamatan putrinya. Segera diperintahkan
prajuritnya untuk menyerang. Maka pertempuran pun berlangsung sengit. Bunyi
senjata beradu dan teriakan-teriakan pertempuran terdengar membahana.
Patih Giling Wesi tak ketinggalan dengan cepat melompat
menerjang Saka Lintang. Tetapi belum sampai dekat Saka Lintang, sebuah bayangan
berkelebat menghadang.
"Huh! Sontoloyo!" dengus Patih Giling Wesi. Gering
berdiri dengan pedang terhunus. Kalau saja bukan Patih Giling Wesi, mungkin
kepalanya sudah terpisah dari badan tersambar pedang Gering yang berkelebat cepat.
Patih Giling Wesi tidak membuang-buang waktu lagi. Dia menerjang dengan
jurus-jurus mautnya. Namun yang dihadapinya adalah Gering yang cukup tinggi
ilmunya.
Tidak heran kalau Gering dapat mengimbangi permainan pedang
Patih Giling Wesi. Bahkan beberapa kali dia dapat membalas serangan itu.
Sementara itu pertarungan semakin sengit.
Beberapa prajurit telah banyak yang roboh. Sedang dari pihak
Bidadari Sungai Ular, belum ada satu pun yang tewas. Jerit-jerit kematian makin
sering terdengar menyayat dari pihak prajurit.
Patih Giling Wesi berteriak melengking dan merubah permainan
pedangnya. Yang terlihat kini hanya bayangbayang pedang yang bergulung-gulung
menyelimuti tubuh Gering. Menyadari lawan telah menggunakan jurus yang ampuh,
Gering pun segera merubah jurusnya pula.
Pertarungan makin seru dan tak
terlihat lagi oleh mata biasa. Tubuh mereka seperti lenyap ditelan gulungan
sinar pedang yang menimbulkan suara bersiutan.
"Aaaakh...!"
tiba-tiba Gering berteriak memekik.
Ketika tubuhnya keluar dari gulungan sinar pedang, dada
telah basah oleh darah. Rupanya ujung pedang Patih Giling Wesi telah mengenai
sasarannya. Di saat yang genting itu, tiba-tiba Codet menerjang masuk. Gering
segera mundur sambil menekap dadanya yang robek.
"Kau akan bernasib lebih buruk dari temanmu!"
dengus Patih Giling Wesi.
"Sebaliknya kau akan kukirim ke neraka!" sembur
Codet.
"Majulah, setan!" geram Patih Giling Wesi. Codet
mencabut golok besarnya. Kelihatannya, golok itu berat sekali. Namun ketika
berada di tangan Codet seperti ringan saja. Benda tajam itu berkelebat cepat
dan mengarah ke bagian-bagian tubuh Patih Giling Wesi.
Serangan-serangan yang dibangun Codet memang lebih dahsyat
dan berbahaya dibandirig Gering. Patih Giling Wesi harus lebih hati-hati lagi.
Dia merasakan angin sambaran golok lawannya menimbulkan hawa panas.
Di luar arena pertarungan, Saka Lintang hanya mengamati saja
sambil bibimya menyungging senyum. Tampaknya prajurit-prajurit Kepatihan makin
kewalahan dan terdesak. Jumlah mereka makin berkurang. Sedang dari pihaknya,
hanya dua yang tewas. Hanya Gering yang kelihatan terluka parah dan kini
dirawat oleh anak buah
Saka Lintang. Gadis ini cukup
memaklumi keadaan Gering karena lawannya memang tangguh.
Kedudukan Codet pun kelihatan makin kewalahan. Saka
Lintang sudah bisa menduga kalau
sebentar lagi Codet akan jatuh.
Gerakan-gerakan Codet makin ngawur. Sementara Patih Giling
Wesi terus mendesak dengan penuh nafsu. Hingga pada suatu kesempatan....
"Aaaakh.,.!" Codet menjerit keras. Tepat seperti
dugaan Saka Lintang.
Pedang Patih Giling Wesi berhasil menembus dada Codet. Darah
segar segera muncrat ketika pedang itu ditarik ke luar. Codet limbung sebentar,
lalu ambruk tak berkutik. Patih Giling Wesi dengan cepat melompat ke
tengah-tengah prajurit-prajuritnya yang sedang kewalahan menerima gempuran yang
datang bagai air bah. Prajurit Kepatihan tinggal lima belas orang jumlahnya.
Seperti orang kesetanan layaknya, Patih Giling Wesi mengamuk
membabi buta. Setiap pedangnya berkelebat, pasti ada seorang lawan yang ambruk
mandi darah. Prajuritprajurit yang semula kendor semangatnya, seketika bangkit
kembali melihat pemimpinnya mengamuk bagai banteng terluka.
Sepuluh orang sudah roboh di ujung pedang Patih Giling Wesi
dalam tempo yang singkat. Memang tidak sia-sia dia dijuluki Singa Medan Laga.
Gerakannya cepat, sukar diduga. Meskipun hatinya terbakar amarah, namun
kelihatan sekali kalau Patih Giling Wesi bertarung menggunakan otak yang
dingin. Dia cepat membaca gerakan lawan. Dia pun dapat mematahkan serangan
lawan sebelum sampai, bahkan dengan cepat mendahuluinya.
Melihat orang-orangnya kewalahan menghadapi amukan Singa
Medan Laga, Saka Lintang jadi geram. Apalagi orangorangnya makin banyak yang
tumbang. Sebentar saja, dua puluh mayat sudah menggeletak.
'Patih Giling Wesi, akulah lawanmu!" teriak Saka
Lintang.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke udara dan
menghadang serangan Patih yang mengamuk.
"Huh!" Patih Giling Wesi mendengus sambil
menyemburkan ludahnya.
Seketika pertempuran terhenti. Masing-masing kelompok
melompat mundur. Mereka seperti memberi peluang bagi masing-masing pemimpin
untuk berlaga. Patih Giling Wesi menatap tajam pada Saka Lintang yang sudah
menghunus pedangnya.
"Serahkan anakku, atau kau harus mati di ujung
pedangku!" dengus Patih Giling Wesi.
"Aku tidak akan membunuhmu, Patih Giling Wesi. Aku
hanya ingin memberirnu sedikit pelajaran agar kau tidak lagi pongah!"
kalem dan tenang sekali suara Saka Lintang.
"Bocah setan!" geram Patih Giling Wesi merasa
terhina.
"Ha ha ha..., putrimu yang cantik akan jadi ratu
setan!" dia langsung menyerang dengan jurus-jurus berbahaya. Saka Lintang
melayaninya sambil tertawa -tawa. Sejak tadi sudah diperhatikannya jurus-jurus
Patih Giling Wesi. Dia telah tahu kelebihan dan kelemahannya.
Saka Lintang sengaja tidak membalas serangan lawan. Dia
hanya menghindar dan menangkis dengan gerakangerakan indah memukau.
Patih Giling Wesi memang tangguh dalam olah keprajuritan.
Tetapi dalam menghadapi tokoh rimba persilatan seperti Saka Lintang ini, dia
harus mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Semua serangan-serangannya, mentah
dan rontok di tengah jalan oleh gadis ini. Patih Giling Wesi mulai merasa sulit
menghadapi.
Mengingat dirinya adalah seorang patih yang disegani, Patih
Giling Wesi tidak mau menyerah begitu saja. Dirubahnya serangan dengan
menggunakan jurus-jurus andalan. Dan memang, kali ini Saka Lintang tidak mainmain
lagi. Jurus yang digunakan patih ini memang dahsyat, penuh gerak tipu yang
berbahaya. Sedikit saja lemah, akibatnya sangat fatal.
"Awas
kepala!" teriak Saka Lintang tiba-tiba.
Patih Giling Wesi terkejut Cepat-cepat dia menggerakkan
pedangnya melindungi kepala. Tapi tak disangka-sangka, gerakan yang menyambar
kepala hanya tipuan belaka. Sedangkan sasaran sesungguhnya adalah perut. Dengan
cepat pedang Saka Lintang berputar mengarah ke perut yang lowong. Untung Patih
Giling Wesi cepat menarik pedangnya. Trang!
Dua pedang berbenturan tepat di
depan perut Patih Giling Wesi. Terlambat sedikit saja, perut itu pasti sobek.
Dalam hati, Saka Lintang mengakui kehebatan patih ini. Tiga puluh jurus telah
berlalu, tapi kelihatannya belum ada seorang pun yang terdesak. Mereka masih
seimbang meskipun telah mengeluarkan jurus-jurus pedang tingkat tinggi.
***
Pertarungan antara Patih Giling Wesi dengan Saka Lintang
telah meningkat pada taraf yang genting. Seratus jurus telah berlalu dengan
cepat. Masing-masing belum ada yang terdesak. Semula Saka Lintang menduga kalau
kepandaian Patih Giling Wed berada jauh di bawahnya.
Kenyataannya sangat tak disangka
sama sekali. Patih Giling Wesi belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Saka Lintang kini meningkatkan permainan jurusjurusnya.
Kombinasi antara ilmu pedang dengan jurus 'Pukulan Geledek' yang dikeluarkannya
kini, sangat dahsyat.
Selain pedang yang
menyambar-nyambar, pukulan tangan kiri Saka Lintang juga mencari sasaran. Semua
sama-sama dahsyat. Batu-batuan dan pohon-pohon yang terkena pukulannya,
langsung hancur berkeping-keping.
Sedangkan Patih Giling Wesi juga sudah mengeluarkan
kesaktiannya. Dengan 'Ajian Sayuti Angin', Patih Giling Wesi dapat bergerak
melebihi kecepatan angin topan. Tebasan dan tusukan pedangnya makin berbahaya
dan menimbulkan tenaga dorongan yang dahsyat.
Batang-batang pohon segera tumbang terkena tebasan pedang
Patih Giling Wesi. Daun-daun segera berguguran terkena sambaran angin kelebatan
pedang yang menimbulkan suara gemuruh bagai angin puting beliung.
"Setan! Ilmu apa yang dia pakai?" dengus Saka
Lintang dalam hati.
Setiap kali pedangnya membentur pedang Patih Giling Wesi,
tangan Saka Lintang selalu bergetar bagai tersengat ribuan kala berbisa.
Sedapat mungkin dihindarinya benturan senjata. Tapi....
Trang! Trak!
Saka Lintang melompat mundur dengan wajah terkejut. Bagian
ujung pedangnya sempal. Tangannya seperti dijalari jutaan semut yang menggigit.
Perih dan bergetar ke seluruh persendian tangannya. Buru-buru gadis itu
memasukkan pedang ke dalam sarungnya. Dan kini dia telah siap dengan jurus
'Tarian Bidadari'.
Gerakan-gerakan tubuh Saka Lintang jadi berubah. Dia seperti
menari. Meliuk-liuk dengan indahnya dengan tangan bergerak-gerak lemah gemulai.
Matanya mengerling genit disertai gerak-gerak bibir yang mengundang birahi.
Sesaat Patih Giling Wesi terpana. Hatinya mendadak bergetar
melihat tubuh indah meliuk-liuk dan sikap yang mengundang birahi. Namun
tiba-tiba, dengan cepat dan tak terduga sama sekali, tangan kanan Saka Lintang
melayang mengarah dadanya. Patih itu terkejut bukan kepa-lang.
"Setan!" dengus Patih Giling Wesi dengan cepat
melompat sambil membabatkan pedangnya.
"Ah!"
Saka Lintang memekik manja.
Tangannya yang sudah terulur cepat, dengan lembut ditarik.
Dan.... Sulit dipercaya! Pedang yang sudah sedernikian dekat tangan Saka
Lintang yang bergerak lemah, tidak bisa membabat-nya putus. Bahkan lewat begitu
saja. Padahal tebasan pedang patih itu sangat cepat.
Tidak sebanding dengan gerakan
tangan yang lemah itu!
Patih Giling Wesi segera menyadari kalau gerakan lemah gemulai
yang mengundang birahi itu sangat berbahaya dan dapat mematikan lawan. Patih
itu berusaha untuk tidak terpengaruh pada setiap gerakan tubuh yang indah itu.
"Mampus kau!" bentak Patih Giling Wesi kembali
melancarkan serangan mautnya.
"Ouw!" Saka Lintang hanya mendesah manja sambil
menggerakkan tubuh dengan indah.
Serangan Patih Giling Wesi yang bertubi-tubi mengarah pada
bagian-bagian yang mematikan. Tetapi serangan dahsyat itu tidak pernah dapat
menyentuh tubuh Saka Lintang. Patih Giling Wesi memutar otak, mencari kelemahan
jurus aneh yang dimainkan lawannya itu.
Setiap kali pedangnya berkelebat dan dipastikan akan menebas
lawan, namun dengan manis Saka Lintang berhasil mengelak. Ujung pedang patih
itu hanya menyerempet beberapa rambut saja. Itulah kelebihan dari jurus Tarian
Bidadari yang membuat lawan jadi frustasi karena mengira serangannya berhasil.
"Huh! Ilmu setan mana yang dipakainya?" dengus
Patih Giling Wesi.
Patih Giling Wesi makin kewalahan. Di samping harus
menghadapi jurus aneh itu, dia juga harus berperang dengan batinnya sendiri.
Daya pikat yang dipancarkan Saka Lintang begitu kuat Gerakan-gerakan patih itu
jadi tidak teratur karena terpecah konsentrasinya. Sekuat daya Patih Giling
Wesi menekan nafsu birahinya yang semakin berkobar-kobar.
"hey!
Uts!"
Tiba-tiba Patih Giling Wesi tersentak. Tangan halus gemulai
itu mendadak hampir menepuk pundaknya. Untung saja patih itu masih memiliki
sedikit kewaspadaan sehingga tepukan tangan Saka Lintang berhasil dihindari.
Tetapi tak urung, tepukan lembut itu menyerempet bahunya.
Patih Giling Wesi merasakan suatu hawa panas menyebar. Seketika dia tersentak
kaget.
"Racun...!"
desisnya.
Segera Patih Giling Wesi mengerahkan hawa mumi ke seluruh
tubuhnya. Belum dapat dipastikan racun itu berbahaya atau tidak. Namun dari
anginnya sudah dapat dirasa. Mendadak kepala Patih Giling Wesi terasa pening.
Secara tidak langsung, dia telah
menghirup hawa racun yang disebar oleh telapak tangan Saka Lintang.
Hawa murni itu telah menutup seluruh aliran darahnya.
Perlahan- lahan rasa pening di
kepala berkurang. Tubuhnya jadi terasa hangat. Patih Giling Wesi membuka lagi
jalan darahnya setelah terasa racun yang terhisap tadi telah keluar dari
tubuhnya.
Patih Giling Wesi menatap Saka Lintang yang berdiri tenang
dengan bibir menyungging senyum memikat. Dalam hati Patih Giling Wesi
mengatakan bahwa tidak mungkin bertarung sambil menutup jalan darah dan
mengerahkan hawa murni. Tetapi kalau tidak begitu, racun bakal terhisap lagi!
Untuk menutup jalan darah dan mengerahkan hawa murni juga terlalu besar
resikonya. Bisa-bisa malah mati karena di dalam tubuh terjadi pertentangan dua
hawa yang ber-lainan.
"Jalan satu-satunya harus menahan panas. Ya, menahan
napas!" bisik hati Patih Giling Wesi.
Tapi apakah mampu menahan napas sambil bertarung? Kalau
hanya sepuluh jurus saja dia masih mampu. Tetapi lewat dari sepuluh, rasanya
tidak mungkin. Patih Giling Wesi seperti kehilangan akal dalam menghadapi
lawannya kali ini.
Sementara Saka Lintang telah mulai lagi dengan jurus 'Tarian
Bidadari'. Di saat Patih Giling Wesi dalam kebingungan, mendadak sebuah blsikan
lembut terdengar di telinganya. Bisikan yang entah datang dari mana. Sepertinya
suara itu begitu dekat dan jelas. Patih Giling Wesi tidak dapat berpikir lebih
banyak lagi. Yang jelas bisikan itu mengatakan tentang kelemahan jurus 'Tarian
Bidadari'.
***
"Jangan hiraukan tangannya, tetapi pandanglah matanya.
Arahkan pedang pada pusarnya,"
jelas bisikan itu.
Tanpa ragu-ragu lagi, patih itu segera menatap mata Saka
Lintang. Pedangnya terhunus ke arah pusar.
"Ikuti
setiap gerak kakinya," terdengar lagi bisikan itu.
Patih Giling Wesi segera bergerak mengikuti setiap gerakan
kaki Saka Lintang. Dan benar saja, baru dua petunjuk saja, kelihatan Saka
Lintang mulai kebingungan. Namun semuanya tertutupi oleh gerakan-gerakan lemah
gemulainya.
"Pusatkan napas pada perut. Hembuskan melalui
mulut," bisikan itu terdengar lagi.
Mudah dan sederhana sekali petunjuk yang diberikan sehingga
Patih Giling Wesi dengan cepat memahaminya.
Hatinya gembira. Semangat timbul
lagi. Dia sudah mulai merasakan kalau Saka Lintang menemui kesulitan.
Setiap gerakan Saka Lintang selalu dapat dibaca olehnya.
Saka Lintang mulai sulit menebarkan racun lewat pukulannya. Kian lama
gerakannya menjadi kacau, tidak beraturan. Bahkan beberapa kali ujung pedang
Patih Giling Wesi hampir menembus perutnya.
"Ih!" Saka Lintang terkejut ketika ujung pedang
patih itu berhasil merobek baju bagian perutnya.
Merah pada wajah gadis itu menahan malu. Cepat-cepat
ditutupinya bagian yang terbuka itu. Cukup besar sayatan menggores bajunya.
Saka Lintang segera melompat mundur. Dia jadi geram karena kelemahan jurus
andalannya terbaca lawan.
Patih Giling Wesi makin gembira karena merasa di atas angin.
Rupanya gerakan-gerakan lemah lembut Saka Lintang harus dihadapi pula dengan
gerakan yang lemah sedikit kaku. Untuk bisa melakukannya, digunakan pernapasan
perut di samping memandang mata lawan.
Sedangkan pada bagian perut yang terbuka, sering luput dari
perhatian. Mungkin karena lawan telah terpengaruh oleh gerakan-gerakan yang
mengundang syahwat itu, hingga jadi lupa terhadap daerah lowong itu. Dalam
menghadapi Patih Giling Wesi, Saka Lintang kali ini memang menelan pil pahit.
Dia sama sekali tidak tahu kalau patih itu mendapat petunjuk dari bisikan
misterius yang hanya dapat didengar oleh patih itu sendiri.
"Keluarkan seluruh kesaktianmu, biar lebih cepat kau
kukirim ke neraka!" dengus Patih Giling Wesi.
Saka Lintang hanya mendengus saja. Kini disiapkannya jurus
andalannya yang terakhir. Jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.
"Huh! Ilmu setan mana lagi yang digunakannya?!"
dengus Patih Giling Wesi.
Gerakan-gerakan yang diperlihatkan memang aneh. Kadang
lambat, tetapi segera berubah cepat. Sebentar dia melompat, kemudian merayap
cepat menyusur tanah. Mulutnya mendesis bagai ular.
"He he
he...!"
Suara terkekeh tiba-tiba terdengar menggema dari segala
penjuru. Kemudian muncul seorang kakek tua mengenakan baju compang-camping
dengan tongkat merah di tangannya.
"Ular harus dilawan dengan tongkat!" kata kakek
tua yang tidak lain adalah Pengemis Sakti Tongkat Merah atau Aki Lungkur.
"Aki Lungkur...," desis Patih Giling Wesi.
Seketika dia menduga kalau kakek tua inilah yang membisikkannya tadi.
"Adi Patih Giling Wesi, mundurlah. Dia bukan
lawanmu," kata Aki Lungkur tanpa mengecilkan kepandaian patih itu.
Patih Giling Wesi pun mundur dua tindak. Dia sudah tahu
siapa kakek tua itu. Tingkat kepandaiannya memang sulit diukur. Patih Giling
Wesi sangat menghormatinya meski dia hanya seorang yang lebih mirip pengemis.
"Selamatkan putrimu di bukit Guntur," kata Aki
Lungkur lagi.
"Bedebah! Kakek busuk, jangan campuri urusanku!" bentak Saka Lintang geram.
"Cepatlah berangkat! Jangan buang-buang waktu
lagi," kata Aki Lungkur tanpa mempedulikan bentakan Saka
Lintang.
"Baik, Aki.
Hati-hatilah," sahut Patih Giling Wesi.
"He he
he...," Aki Lungkur terkekeh lagi.
Tanpa mendapat peringatan pun, Aki Lungkur tahu siapa lawan
yang dihadapinya kini. Seorang gadis, anak angkat Geti Ireng. Tentulah
kepandaiannya tidak bisa dianggap enteng. Terbukti Patih Giling Wesi tidak
mampu menandinginya.
Patih Giling Wesi segera
berangkat. Bersama prajuritprajuritnya dia menuju bukit Guntur. Melihat keadaan
yang tidak menguntungkan itu, Saka Lintang segera memerintahkan anak buahnya
menghalangi para prajurit Kepatihan itu. Tanpa dikomando lagi, mereka langsung
menyerang para prajurit yang belum pergi jauh itu.
***
Pada waktu yang bersamaan, seorang pemuda berbaju rompi
putih berjalan menelusuri kaki bukit Guntur sambil bersiul-siul. Dari gagang
pedang yang menempel di punggungnya dapat diketahui kalau pemuda itu adalah
Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti.
Sambil bersiul-siul dengan irama yang tak jelas, Rangga
terus melenggang. Kepalanya tergeleng-geleng begitu mendengar suara berkeresek.
Suara siulannya berhenti. Bibirnya menyungging senyum.
"1..., 2..., 3.... Ah, hanya 15," gumam Rangga
menghitung.
Rangga masih melenggang tenang. Dia tahu kalau dirinya telah
memasuki daerah markas Bidadari Sungai Ular. Telinganya yang tajam menangkap
suara gerak langkah kaki tersembunyi. Dan kini telah mengepung dirinya.
"Hm..., mungkin rumah itu sarangnya," kembali
Rangga bergumam ketika melihat sebuah rumah kayu di depannya.
Rumah beratap rurnbia itu bertengger di kaki lereng yang
cukup terjal. Tidak terlalu sulit untuk mencapai sana. Dan, mendadak dari
rimbunan semak-semak bermunculan orang-orang berpakaian serba biru dengan
senjata terhunus.
"Berhenti!"
bentak salah seorang dengan keras.
"Waduh,
galak sekali," Rangga berlagak kaget.
"Siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini?" tanya
orang yang membentak tadi. Dia salah seorang kepercayaan si Bidadari Sungai
Ular. Namanya Jambak.
"Aku hanya pengembara dan kebetulan lewat sini,"
jawab Rangga kalem.
'Tidak ada seorang pun yang boleh memasuki kawasan
ini!" kata Jambak galak.
"Lho,
kenapa?" Rangga berlagak dungu.
"Jangan banyak tanya. Ayo, kembali! Atau tubuhmu
kujadikan dendeng!" ancam Jambak.
"Wuih! Sadis
sekali."
"Pergi!"
bentak Jambak keras.
Rangga hanya tersenyum saja. Diayunkan langkahnya. Tanpa
peduli Rangga meneruskan perjalanannya. Jambak jadi gusar karena kata-katanya
tidak digubris sama sekali.
Dia segera melompat dengan ilmu
peringan tubuhnya. Pedangnya terayun cepat mengarah kepala Rangga. Namun
tebasan pedang itu hanya mengenai angin.
"Teman-teman,
serang keparat ini!" perintah Jambak.
Seketika empat belas orang temannya dengan cepat mengurung
Rangga sambil berteriak-teriak mengacungkan senjata. Rangga hanya tersenyun.
Digenjot kakinya, dan dengan cepat tubuhnya melenting di udara. Bagaikan
terbang saja, Rangga melayang menuju rumah kayu di tebing bukit.
Kelima belas orang itu hanya melongo. Jambak yang memiliki
kepandaian cukup tinggi, segera memerintahkan teman-temannya mengejar. Dia
sendiri berlompatan dengan bantuan ilmu peringan tubuhnya.
"Hm..., kalian hanya kronco!" dengus Rangga begitu
kakinya menjejak tanah di depan rumah kayu itu.
Jambak yang datang lebih dulu dari teman-temannya dengan
cepat menyerang ganas. Rangga hanya berkelit menghindari tebasan pedang yang
datang bagai air bah itu. Namun bagi Rang-ga, semua serangan Jambak hanya
dianggap main-main saja. Dia hanya meliuk-liukkan tubuhnya tanpa menggeser kaki
sedikit pun. Kaki Rangga baru bergerak jika datang serangan lain secara
keroyokan.
Macam-macam bentuk senjata bertebaran mengepung tubuh
Pendekar Rajawali Sakti. Namun sampai sejauh ini, belum ada satu pun senjata
yang berhasil menyentuh tubuhnya. Rangga bagai seekor belut. Licin dan berkelit
ke sana kemari menghindari segala bentuk serangan yang datang bertubi-tubi.
"Maaf,
pinjam tombakmu!" kata Rangga kalem.
Selesai ucapannya, tangan Rangga bergerak cepat. Sekejap
saja seorang dari pengeroyoknya yang menggenggam tombak terhuyung ke belakang.
Tombak itu telah berpindah tangan. Dan kini orang itu telah ambruk tak
berkutik.
Darah menguncur deras dari keningnya yang bolong. Rupanya
Rangga menggunakan satu jarinya untuk menotok kening orang itu. Sangat keras
totokannya, sehingga kening orang itu bolong! Kini dengan tombak di tangan,
Rangga tidak lagi kewalahan. Denting macam- macam senjata beradu dengan tombak
di tangan Rangga.
Dalam keadaan dikeroyok seperti itu, Rangga masih sempat
melirik ke arah pintu rumah yang terbuka. Dan tibatiba muncul seorang wanita
muda, cantik, dan menggiurkan, mengenakan pakaian merah muda dari bahan sutra
halus di depan pintu. Rangga sedikit terpana melihat kecantikan wanita yang
tidak lain adalah Intan Kemuning. Namun dia tidak dapat memperhatikan lebih
lama lagi. Rangga kini sibuk menghadapi para pengeroyoknya yang semakin ganas.
Rangga menggerakkan tombaknya semakin cepat. Dua orang kini
terhuyung sambil menekap dada, lalu ambruk tidak berkutik lagi. Darah segar
segera mengucur dari dada yang robek itu. Belum lagi kering darah itu, menyusul
dua orang terhuyung-huyung lalu ambruk.
Pekik kematian kini terdengar saling susul. Tubuh-tubuh
bermandikan darah mulai bergelim-pangan. Sebentar saja sudah delapan orang yang
telah mengantar nyawa. Jambak merasakan lawannya bukan tandingan mereka semua.
Hatinya bergetar juga. Lebih-lebih setelah mendengar lagi suara jeritan panjang
melengking, disusul am-bruknya dua orang lagi.
"Cukup!"
Tiba-tiba
terdengar bentakan keras melengking.
"Bayangan hitam...!" seru Jambak gembira melihat
berkelebatnya sebuah bayangan.
Sebentar saja sesosok tubuh kurus tinggi berbalut baju hitam
ketat telah berdiri di tengah-tengah lapangan depan rumah kayu itu. Dari raut
wajah yang panjang kurus, dapat ditebak kalau orang itu wanita.
"Jambak,
siapa tikus itu?" tanya Bayangan Hitam.
"Dia
coba-coba menggerogoti lumbung."
"Huh! Lalu
di mana Gusti Putrimu?'
"Menghadang
perusuh di sungai Ular."
Si Bayangan Hitam mendongak seraya memonyongkan bibir.
Terdengarlah siulan yang panjang dan melengking tinggi. Siulan itu menggema
dipantulkan oleh bukit-bukit batu dan lembah.
Serentak dari balik-balik pepohonan muncul sekitar dua puluh
orang berpakaian serba hitam. Mereka semua menyandang pedang di punggung.
"Bagi
dua!" teriak Bayangan Hitam.
Tanpa banyak omong, orang-orang yang baru bermunculan itu
segera membentuk dua kelompok.
"Jambak, bawa satu kelompok orangku. Bantu Gusti
Putrimu!" perintah Bayangan Hitam.
"Oh, terima kasih" Jambak membungkukkan tubuhnya.
Jambak cepat memberi isyarat pada salah satu kelompok
Bayangan Hitam. Segera mereka berlari menuruni lereng bukit menuju sungai Ular.
Sisa empat orang teman-teman Jambak masih terdiam di tempatnya. Secercah
harapan muncul dan terbias di wajah mereka melihat kehadiran
Bayangan Hitam.
Mereka semua tahu siapa
Bayangan Hitam. Dia adalah seorang tokoh sakti yang tangguh dan sukar dicari
tandingannya. Benar-benar suatu kebetulan, Bayangan Hitam datang membawa anak
buahnya. Semangat mereka timbul kembali setelah hampir diporak-porandakan.
***
Bayangan Hitam bukan orang lain bagi Saka Lintang. Dia adik
kandung Geti Ireng, ayah angkat Saka Lintang. Jadi Bayangan Hitam adalah bibi
angkatnya. Meski Saka Lintang telah mengetahui asal-usulnya, namun dia sama
sekali tidak membenci Bayangan Hitam. Wanita kurus ini sangat baik terhadap
Saka Lintang. Lagi pula, Bayangan Hitam tidak pernah ingin ikut campur dalam
urusan Geti Ireng.
(Baca: Serial Pendekar Rajawali
Sakti. Episode: Iblis
Lembah Tengkorak)
"Siapa kau,
anak muda?!" tanya Bayangan Hitam.
"Namaku tak ada artinya buatmu," jawab Rangga.
Dari sekilas pandang saja, Rangga sudah dapat mengukur tingkat kepandaian
perempuan kurus ini. Dari julukannya, dapat dipastikan kalau tokoh ini dari
aliran hitam.
"Sombong!" dengus Bayangan Hitam sedikit gusar.
"Sebutkan namamu sebelum kau kukirim ke neraka!"
"Aku Pendekar Rajawali Sakti," lantang suara
Rangga.
"Aku datang untuk mengambil
Putri Intan Kemuning!"
Intan Kemuning yang masih berdiri di depan pintu rumah kayu,
terkejut. Wajahnya tampak berubah merah. Dia tidak kenal dengan pemuda tampan
itu. Mendengar namanya saja, baru kali ini. Tapi diam-diam Intan Kemuning
tertarik juga melihat ketampanannya. Lebih-lebih setelah menyaksikan sepak
terjangnya yang dengan mudah merobohkan sepuluh orang dalam satu jurus yang
diulangulang terus.
Bukan hanya Intan Kemuning yang terkejut Ternyata Bayangan
Hitam pun kaget setengah mati. Tak disangkasangka dia bertemu dengan pembunuh
kakak laki-lakinya. Apalagi si pembunuh itu masih muda dan tampan. Kalau anak
muda ini dapat membunuh Iblis Lembah Tengkorak, pasti tingkat kepandaiannya
tinggi sekali.
"Kebetulan kau muncul, bocah setan! Kau berhutang nyawa
padaku!" ujar Bayangan Hitam.
"Bertemu saja baru kali ini, bagaimana mungkin aku
berhutang nyawa padamu?"
"Kau membunuh saudara laki-lakiku! Kau harus bayar
dengan nyawamu!"
"Siapa
saudaramu?'
"Geti Ireng
atau Iblis Lembah Tengkorak!"
Rangga mengerutkan keningnya. Kini dia mengerti sudah, untuk
apa perempuan kurus atau Bayangan Hitam itu muncul. Kelihatannya dia telah siap
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
"Aku membunuh saudaramu, karena dia membantai
keluargaku!" lantang dan mantap suara Rangga.
"Aku tidak peduli! Yang jelas kau harus bayar nyawa
saudaraku!"
Rangga yang sudah mengukur kepandaian Bayangan
Hitam tidak sungkan-sungkan lagi.
Dia segera mencabut pedangnya ketika Bayangan Hitam telah siap dengan
pedangnya. Sret!
'Tahan
seranganku!" teriak Bayangan Hitam.
Bayangan Hitam segera menyerang Rangga dengan jurus-jurus
pedang yang dahsyat Sekejap saja mereka telah bertarung dengan jurus-jurus
pedang tingkat tinggi. Pedang Rangga berputar-putar berkelebat memancarkan
sinar biru yang menyilaukan. Sedangkan pedang Bayangan Hitam menderu-deru
menimbulkan hawa panas. Sinar hitam menggulung-gulung bagai asap tebal. Dua
sinar berbeda saling sambar dengan hebat-nya.
Kian lama pertarungan kian seru. Sebentar saja sepuluh jurus
telah berlalu. Kini tubuh mereka tidak terlihat jelas. Yang kelihatan hanya
bayangan hitam, putih, dan biru saling berkelebat Semua yang ada di situ
melongo, takjub.
Trang!
Dua pedang beradu menimbulkan pijaran bunga api. Bayangan
Hitam segera melompat mundur satu tombak. Dirasakan tangannya kesemutan ketika
pedangnya beradu. Jari-jari tangannya seperti kaku.
"Edan!" dengus Bayangan Hitam melihat ujung
pedangnya buntung.
Sementara Rangga tidak bergeming sedikit pun. Pedangnya
melintang di depan dada. Bibirnya mengulum senyum, tapi sinar matanya tajam menatap
lurus Bayangan Hitam. Rangga tidak merasakan apa-apa waktu pedangnya
berbenturan tadi. Kalau saja Bayangan Hitam tadi tidak melompat, bisa jadi
tangan kanannya pisah dari badan terbabat pedang Rangga.
"Keluarkan ilmu kesaktianmu, anak setan!" geram
Bayangan Hitam sambil membuang pedangnya begitu saja.
Rangga segera memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya. Dia
pun bersiap-siap mengerahkan jurus 'Cakar Rajawali', satu jurus andalan tingkat
pertama. Bayangan Hitam pun tak kalah siapnya. Kini dia mengeluarkan jurus
andalannya juga. Mereka telah saling berhadapan. "Bersiaplah!"
Bayangan Hitam segera menggebrak setelah selesai memberi
peringatan. Pertarungan dua tokoh sakti itu kembali berlangsung. Rangga
mengerutkan keningnya ketika merasakan angin sambaran pukulan yang sangat
dahsyat. Kini hanya dua bayangan hitam dan putih berkelebat. Debu mengepul di
udara disertai angin yang menderu-deru bagai terjadi topan.
"Glaaar...!"
Suara ledakan
keras terdengar ketika tangan Bayangan
Hitam menghantam batu. Seketika batu
itu hancur berkeping-keping menyebar ke segala penjuru. Rangga berdecak kagum
melihat kedahsyatan pukulan Bayangan Hitam.
"Hebat...!"
desis Rangga memuji dengan tulus
"Tahan
seranganku!" teriak Bayangan Hitam.
Seketika Bayangan Hitam merubah jurusnya. Kin dengan jurus
'Bayangan Maut', tubuhnya berar-benar seperti bayangan saja. Sulit diiihat
denjan mata biasa. Rangga pun segera merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'.
Kedua tangan Rangga mengembang. Kakinya bergerakgerak lincah
mengimbangi gerakan Bayangan Hitam yang sangat cepat. Kedua kaki Rangga kini
tidak lagi menjejak tanah. Kedua tangainya menyambar-nyambar menimbulkan deru
angin kencang. Beberapa pohon tumbang terkena sambaran angin pukulan Rangga.
Kedua kaki Rangga makin bergerak cepat. Bayangan
Hitam sampai terperanjat, karena
kaki-kaki Rengga saling susul mengarah kepala. Kedua tangan yang selalu
mengembang bagai sepasang sayap itu menyambarnyambar mengikuti gerakan tubuh
Rangga yang kadang
melayang, kadang menukik
"Akh!"
Tiba-tiba Bayangan Hitam memekik kesakitan. Tubuhnya
terhuyung dua tombak. Tanpa dapat dihindari lagi, kaki Rangga berhasil mengenai
pundaknya. Dia berusaha menghindari kepala, tapi tidak bisa lagi menarik
pundaknya.
Bayangan Hitam mengeram menahan sekit yang luar biasa karena
menyadari tangan kirinya tidak bisa digerakkan lagi. Tulang pundaknya patah
sehingga sulit digerakkan lagi.
"Serang...!"
teriak Bayangan Hitam keras melengking.
Serentak sepuluh orang berpakaian serba hitam bergerak
menyerang Rangga. Empat orang anak buah Bidadari Sungai Ular yang tersisa
membantu mengeroyok
Rangga. Mereka
penasaran karena belum bisa menggoreskan pedang ke tubuh Rangga. "Kurang
ajar!" geram Rangga sengit.
***
Sementara di sungai Ular, pertempuran masih berlangsung
sengit. Saka Lintang bertarung dengan Pengemis Sakti Tongkat Merah. Sedangkan
Patih Giling
Wesi dan para prajuritnya menghadapi
anak buah Bidadari Sungai Ular. Denting senjata bercampur dengan jerit
kematian.
Prajurit Kepatihan yang dipimpin Patih Giling Wesi itu kini
berada di atas angin. Patih itu mengamuk terus. Setiap pedangnya berkelebat
selalu menimbulkan korban. Makin lama orang-orang berpakaian serba biru semakin
berkurang jumlahnya. Yang tersisa hanya delapan orang saja.
Saka Lintang tidak mungkin membantu orang-orangnya. Dia
sendiri kewalahan menghadapi Pengemis Sakti Tongkat Merah. Saat gerombolan
perompak itu makin terdesak, tibatiba muncul sepuluh orang berpakaian serba
hitam dipimpin oleh Jambak.
'Tuan Putri, Bibi Bayangan Hitam datang!" teriak Jambak.
Saka Lintang berseri-seri wajah nya. Semangatnya segera
bangkit mendengar Bayangan Hitam ikut membantu. Apalagi melihat anak buah
Bayangan Hitam ikut bertempur. Lima orang membantu anak buah Saka Lintang, lima
orang lagi membantu mengeroyok Pengemis Sakti Tongkat Merah.
Saka Lintang mendekati Jambak yang tengah mengeroyok Kakek
Sakti Tongkat Merah. Kini keadaannya jadi berbalik. Orang-orang dari Bayangan
Hitam lebih tinggi tingkat kepandaiannya dan lebih ganas dalam bertarung.
"Di mana Bibi Bayangan Hitam sekarang?" tanya Saka
Lintang di sela-sela pertarungan.
'Tengah menghadapi Pendekar Rajawali Sakti," jawab
Jambak.
"Apa...?" Saka Lintang terkejut. Pengemis Sakti
Tongkat
Merah mendengar hal itu merasa
bersyukur karena Pendekar Rajawali Sakti telah sampai di sarang gerombolan
Bidadari Sungai Ular.
"Lalu, bagaimana Intan?" tanya Saka Lintang dengan
cemas.
"Berada di
markas!" sahut Jambak.
Saka Lintang segera melompat keluar dari pertarungan ketika
ada kesempatan. Dengan cepat dia berlari menggunakan ilmu peringan tubuh.
Pengemis Sakti Tongkat Merah yang sejak tadi mendengar, lalu berteriak nyaring.
Tubuhnya mencelat tinggi di udara dan jatuh tepat di samping
Patih Giling Wesi.
"Cepat ke bukit Guntur! Selamatkan putrimu!"
perintah
Kakek Pengemis itu. "Biar
orang-orang ini aku yang hadapi!"
Patih Giling Wesi segera melompat tinggi dan bersalto di
udara. Begitu kakinya menginjak tanah, langsung dikeluarkannya ilmu lari cepat.
Bagaikan kilat tubuh patih itu dan kini sudah jauh meninggalkan pertempuran.
Pengemis Sakti Tongkat Merah mengamuk memutar-mutar tongkat saktinya.
Satu persatu orang-orang berpakaian serba hitam tersungkur berlumuran darah disertai jerit kesakitan.
Mereka bukanlah lawan Pengemis Sakti
Tongkat Merah. Tongkatnya seperti hidup menyambar- nyambar mencari mangsa.
"Cepat susul Gustimu!" teriak Aki Lungkur kepada
para prajurit.
'Tapi, Ki...!" seorang prajurit tidak tega meninggalkan
orang tua itu sendirian.
"Jangan membantah!" dengus Aki Lungkur. Delapan
prajurit Kepatihan itu langsung beriari menyusul pemimpinnya. Sementara Kakek
Pengemis kian waspada, selalu menghalangi setiap orang yang akan mengejar para
prajurit.
"Cari kesempatan! Kejar mereka!" teriak Jambak
gusar.
Perintah Jambak seperti tertelan angin. Mereka seperti
menghadapi seribu pengemis. Aki Lungkur bergerak cepat menyambar setiap orang
yang berusaha keluar dari medan pertarungan. Jambak memutar otaknya mencari
jalan agar sebagian temannya bisa keluar dari pertarungan. Kakek sakti menebas
tongkatnya sehingga satu persatu bergelimpangan. Kini jumlah mereka makin
berkurang saja.
Di markas gerombolan Bidadari Sungai Ular, pertarungan masih
berlangsung sengit. Rangga mengamuk menghadapi Bayangan Hitam yang dibantu oleh
kaki tangannya.
Rangga mencabut pedangnya dan mengerahkan ilmu pedangnya
yang dipadu dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Jurus ke-tiga
dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Gerakan kakinya lincah menghindari
setiap serangan lawan, sedangkan pedangnya berkelebat ke arah tubuh lawan yang
kosong.
"Rantai
Bayangan!" teriak Bayangan Hitam tiba-tiba.
Seketika sepuluh orang mengambil posisi melingkar mengepung
Rangga. Empat orang ber-pakaian biru keluar dari arena.
Mata Rangga tajam mengamati gerakan sepuluh orang yang
berputar mengelilinginya sambil pedangnya tersilang di depan dada. Seperti mata
rantai, mereka bekerja sama dengan gerakan-gerakan yang teratur dan menunjang.
Makin lama makin cepat Yang terlihat kini hanya bayangan hitam yang bergerak
melingkar.
"Hiya!
Yeah...!"
Rangga kebingungan juga menghadapi pola serangan yang ganjil
ini. Tetapi dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti dapat menguasai diri. Ternyata
teriakan-teriakan itu hanya untuk memecah konsentrasinya.
Serangan-serangan itu sulit ditebak, datang dari segala
penjuru secara berganrJan. Gencar sekali. Mata Rangga tidak lepas mengamati
setiap serangan yang datang.
Tiba-tiba dia menjerit kuat sekali. Tubuhnya berputar cepat
bagai baling-baling.
Trang! Trang!
Trang!
Kepingan-kepingan logam pedang yang patah meluncur deras ke
arah orang-orang berpakaian serba hitam yang kebingungan. Pedang mereka terkena
sambaran pedang biru menyilaukan.
"Aaaakh...!"
Beberapa tubuh yang tidak sempat mengelak langsung
bergelimpangan dengan dada teriembus patahan pedang mereka sendiri menyusul
jeritan kematian.
"Bedebah! Kurang ajar!" Bayangan Hitam menggeram
melihat empat anak buahnya roboh hanya sekali gebrakan saja. Sedangkan yang
selamat hanya memegang pedang yang tinggal setengah saja.
Dengan gerakan manis, Rangga mendarat di tanah.
Pedangnya dimasukkan ke dalam
sarungnya di punggung. Rangga tidak akan menggunakan senjata jika lawan tidak
pula menggunakannya.
“Bola Rantai
Hitam!” teriak Bayangan Hitam tiba-tiba.
Dengan serentak sisa anak buahnya mengeluarkan sebuah bola
besi berwarna hitam yang bergigi runcing di sekelilingnya dan dihubungkan
dengan rantai halus berwarna hitam pula.
Keenam orang itu segera membentuk lingkaran. Tangan mereka
memutar-mutar rantai panjang dengan bola-bola bergigi di ujungnya. Suaranya menderu-deru
bagai angin topan.
Rangga pun mengerahkan gabungan dari tiga rangkaian jurus
'Rajawali Sakti'. Dia masih menganggap belum perlu merubah jurus, dan hanya
menggabung-gabungkan saja dengan berbagai kombinasi.
"Serang...!" teriak Bayangan Hitam memberi komando.
Seketika bola-bola itu menderu-deru silih berganti,
dilontarkan oleh keenam orang itu. Rangga membiarkan tubuhnya terbelit
rantai-rantai dengan bola bergigi itu.
Dengan satu teriakan melengking, dia melesat ke udara bagai
seekor rajawali. Tiba-tiba tubuh mereka terangkat ikut meluncur bersama Rangga
yang semakin tinggi.
"Lepaskan!"
teriak Bayangan Hitam.
Keenam orang itu serentak melepaskan rantai. Sebelum
menjejakkan kakinya di tanah, mereka bersalto di udara. Rangga yang masih
berada di atas, dengan gerakan cepat mengumpulkan dan melemparkan rantai-rantai
itu kepada pemiliknya.
"Aaaakh...!"
seorang dari mereka menjerit keras.
Kepalanya hancur terhantam bola hitam miliknya sendiri. Lima
orang lainnya masih bisa menyelamatkan diri. Bolabola besi lainnya menghantam
tanah lalu melesak ke dalam. Rantai-rantai hanya terlihat beberapa jengkal
saja.
Sungguh hebat tenaga dalam Rangga.
"Bedebah!"
geram Bayangan Hitam.
Rangga turun dengan manis. Kali ini dia tidak ingin lagi
membiarkan lawan mengatur siasat. Dia segera menyerang
Bayangan Hitam dengan gabungan tiga
rangkaian jurus
'Rajawali Sakti'.
Tentu Bayangan Hitam jadi kelabakan. Apa-lagi sebelah
tangannya tidak bisa digerakkan. Kelima anak buahnya ditambah empat anak buah
kelompok Bidadari Sungai Ular, langsung membantunya. Rangga kini dikeroyok
sepuluh orang. Tapi hanya empat orang saja yang menggunakan senjata.
"Lepas!"
sentak Rangga.
Tiba-tiba saja empat pedang terlempar ke udara. Dan tanpa
terduga sama sekali, kaki Rangga melayang ke arah kepala.
Kraaak!
"Aaaa..r!"
Gerakan Rangga dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa' begitu cepat sehingga keempat orang itu tidak bisa melindungi
kepalanya. Mereka segera menggelepar dengan kepala pecah.
Dengan cepat Rangga segera mengganti ketiga jurusnya
sehingga lawan kebingungan. Apalagi kini mereka tanpa senjata. Bayangan Hitam
pun kini hanya bisa bertahan tanpa mampu memberikan serangan balasan. Dari
mulutnya terus keluar umpatan dan cacian yang tidak berhenti.
"Bibi...!"
Bayangan Hitam menoleh. Dilihatnya Saka Lintang berlari
cepat dan segera melompat sambil menghunus pedang. Seketika Saka Lintang
terlibat dalam pertempuran pula. Dia menggeram dengan gigi gemerutuk melihat
semua anak buahnya tewas. Bahkan lima orang anggota Bayangan Hitam telah jadi
mayat.
"Mundur...!" tiba-tiba terdengar suara bentakan
keras menggelegar.
Begitu hebatnya suara bentakan
tadi, sehingga pertempuran sekejap saja berhenti, Siapakah yang membentak itu?
***
Seberkas sinar merah meluncur deras menyambar Rangga. Dengan
sigap Pendekar Rajawali Sakti itu melompat menghindari sinar merah yang datang
tiba-tiba itu. Belum sempat menjejakkan kakinya ke tanah, Rangga telah
disibukkan dengan sinar merah yang datang lagi.
Terpaksa dia kini mengerahkan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Mata Rangga yang tajam cepat mengetahui dari mana datangnya
sinar merah itu. Rangga cepat mengibaskan tangannya, dengan seketika dia telah
menggenggam pedangnya. Kini pedang itu terarah pada sebuah pohon besar. Dari
pedang pun meluncur sinar biru bergulunggulung.
Blar...!
Pohon besar itu hancur berkeping-keping tersambar sinar
biru. Rangga kembali memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya. Tepat saat
kakinya menginjak tanah, muncul seorang kakek tua berjubah merah. Kakek itu
mencelat bersamaan dengan hancurnya pohon itu.
"Paman
Nambi...!" seru Saka Lintang.
Seorang tokoh tua sakti bernama Nambi muncul di
tengah-tengah arena pertarungan. Dia dikenal dalam rimba persilatan dengan nama
Setan Jubah Merah. Tokoh ini beraliran hitam dan dulunya merupakan suami
Bayangan Hitam.
Sampai sekarang pun mereka masih suami istri. Hanya
kemunculan mereka saja yang tidak selalu bersamaan. Banyak tokoh menduga kalau
mereka tengah bentrok.
Hanya saja watak mereka yang
terbiasa malang melintang di rimba persilatan, sehingga mereka tidak hiraukan
status suami istri. Mereka sibuk mendirikan partai sendiri-sendiri.
"Paman..., untung paman cepat datang," Saka
Lintang gembira.
"Hm, apa yang terjadi, Lintang?" tanya Nambi
sambil mengamati mayat-mayat yang bergelimpangan. "Perkumpulanku
dihancurkan, paman," jawab Saka Lintang. Ada nada kesedihan daiam
suaranya. "Dan kau tidak mampu mengatasinya?" Saka Lintang hanya
tertunduk saja.
"Sudah kuperingatkan, jangan cari perkara dengan pihak
kerajaan. Masih saja membandel!" tegur paman angkat Saka Lintang.
Maksud Saka Lintang hanya ingin merubah Intan
Kemuning menjadi seorang pendekar
wanita. Tetapi tak diduga sama sekali akibatnya jadi demikian. Seluruh anak
buahnya mati. Dia sadar, ini adalah kesalahannya. Saka Lintang melirik Intan
Kemuning yang masih berdiri di depan pintu.
Mungkin kalau Pengemis Sakti Tongkat Merah tidak ikut
campur, Saka Lintang pasti mampu mengalahkan Patih
Giling Wesi dan para prajuritnya.
Tapi sekarang? Apalagi Pendekar Rajawali Sakti ikut membantu.
Saka Lintang memandang Rangga. Seketika hatinya bergetar.
Benih-benih cinta kembali muncul. Namun bibit dendam dan kebencian juga
bertumbuhan. Untuk kedua kalinya dia harus berhadapan dengan pemuda yang telah
merobek-robek hatinya ini. (Untuk lebih jelas, silahkan baca
Pendekar Rajawali Sakti dalam episode: Iblis Lembah
Tengkorakl
"Siapa
dia?" tanya Nambi atau Setan Jubah Merah.
"Pendekar
Rajawali Sakti," jawab Saka Lintang.
Nambi memandang pada istrinya, Bayangan Hitam. Matanya agak
menyipit melihat ke arah pundak perempuan tua itu. Pundak itu melesak ke dalam.
Patah! Mendadak hatinya panas.
"Anak muda,
hadapi aku!" bentak Setan Jubah Merah.
"Hati-hati,
Kakang!" Bayangan Hitam memperingatkan.
Setan Jubah Merah melompat cepat menerjang
Pendekar Rajawali Sakti. Pertempuran
sengit tidak dapat dihindari lagi. Setan Jubah Merah segera mengerahkan
jurus-jurus andalannya. Jurus tangan kosongnya sangat dahsyat. Setiap
pukulannya mengandung hawa racun yang mematikan. Tapi semua itu tidak
berpengaruh terhadap
Rangga. Rangga kebal terhadap segala
je-nis racun.
Kini Rangga menghadapi lawan dengan jurus 'Cakar Rajawali'.
Dengan jurus ini, Rangga tidak bermaksud memandang enteng lawan. Dia hanya
mengukur tingkat kepandaian lawan. Sudah menjadi sifatnya untuk tidak
mengeluarkan jurus-jurus berbahaya sebelum dia mengetahui tingkat kepandaian
lawan.
"Bocah setan! Jangan salahkan aku jika sampai
menurunkan tangan kejam!" geram Nambi sengit melihat Rangga hanya berkelit
tanpa mem-balas serangan.
"Kalau itu
keinginanmu, baiklah! Maafkan, Kakek!" sahut
Rangga dengan hormat
Nambi terdongak mendengar kata-kata Rangga. Baru kali ini
didapatkan lawan yang mau menghormat pada dirinya.
Pemuda itu tidak congkak. Bahkan
selalu merendah.
"Serang
aku!" teriak Nambi.
"Bersiaplah,
Kek!"
Rangga menyalurkan seluruh tenaga ke kedua telapak
tangannya. Seketika jari-jari tangannya meregang kaku. Lalu digerakkan
tangannya yang makin lama makin cepat. Nambi sedikit terperangah. Dengan cepat
dia mengimbanginya. pertarungan pun menjadi sengit.
"Maaf!"
seru Rangga.
"Akh!"
Setan Jubah Merah memekik tertahan. Dia terhuyung satu
tombak ke belakang. Jari-jari tangan Rangga berhasil menusuk pangkal lengan
kiri Nambi. Darah mengucur deras dari pangkal lengan yang bolong dua jari itu.
Nambi mengemerutukkan gerahamnya. Hati kecilnya berkata
kalau dia merasa salut terhadap anak muda itu. Dia sempat mendengar permintaan
maaf Rangga sebelum melancarkan serangan. Hasilnya sungguh tak terduga sekali.
Lengan Nambi bolong oleh tusukan jari-jari Rangga.
"Kakang...!" jerit Bayangan Hitam cemas melihat
darah mengucur dari lengan suaminya.
Bayangan Hitam langsung melompat menyerang Rangga. Kembali
Pendekar Rajawali Sakti harus melayani serangan beruntun Bayangan Hitam. Saka
Lintang pun tidak ingin ketinggalan. Mereka segera mengeroyok Rangga. Pendekar
Rajawali Sakti segera menggabungkan jurus 'Cakar
Rajawali' dengan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'. Sedangkan Saka Lintang mengerahkan jurus 'Pukulan
Geledek'nya.
Setan Jubah Merah yang telah berhasil menghentikan darah
dengan totokannya, segera ikut mengeroyok Rangga.
Kini Rangga berhadapan langsung
dengan tiga orang tokoh yang memiliki kepandaian yang luar biasa.
Posisi Rangga kian terdesak oleh serangan yang beruntun.
Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' lalu disusul dengan
jurus 'Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa'.
Sasarannya kini ke arah Bayangan Hitam. Begitu cepat
perubahan jurus yang dilakukan Rangga, sehingga Bayangan Hitam tidak dapat
menguasai diri lagi.
"Aaaakh...!"
Bayangan Hitam menjerit kesakitan.
Kaki Rangga telak bersarang di kepala Bayangan Hitam. Dia
menggelepar-gelepar dengan kepala hancur, kemudian diam tak bergerak lagi.
"Bibi...!"
Saka Lintang memekik kaget.
Setan Jubah Merah
menggeram menahan marah.
"Kubunuh
kau, bocah setan!" teriak Nambi.
Secepat kilat Setan Jubah Merah menyerang dengan jurus-jurus
mautnya. Sementara Saka Lintang kembali menyerang dengan jurus 'Ular Berbisa
Menyebar Racun'. Kemarahan dan dendamnya sudah sampai ubun-ubun. Dia tidak lagi
memandang perasaan cintanya pada Rangga.
Sementara pertarungan sengit berlangsung, lima orang
anggota Bayangan Hitam yang tersisa menyeret gurunya ke tempat yang lebih baik
Tetapi salah seorang dari mereka, kebetulan melihat Intan Kemuning yang belum
beranjak dari pintu pondok. Melihat kecantikan Intan Kemuning, seketika nafsu
birahinya bangkit.
"Ah!" Intan Kemuning kaget ketika tiba-tiba
seseorang telah ada di depannya.
Mata orang itu liar merayapi wajah gadis cantik di depannya.
Jakunnya turun naik menahan gejolak birahi yang bergelora dalam dada.
"Mau apa
kau?" Intan Kemuning bergidik,
"Kau yang menjadi gara-gara, sekarang aku minta bayaran
darimu," gertak laki-laki itu.
"Ih!" Intan Kemuning menepis tangan laki-laki yang
terulur hendak menjamah.
"He he he..., ternyata kau punya isi juga," orang
itu menyeringai. Liumya tertahan.
"Ah, jangan!"
***
6
Intan Kemuning makin kaget ketika orang itu telah menubruk
dan memeluknya. Dia meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Tanpa menghiraukan
jeritan, laki-laki itu menyeretnya masuk ke pondok
Rupanya perbuatan salah seorang anggota Bayangan
Hitam menarik perhatian empat orang
lainnya. Mereka kini tidak peduli dengan mayat gurunya. Segera mereka berlarian
ke pondok.
Di dalam pondok, Intan Kemuning terus meronta-ronta sambil
menjerit-jerit. Tangannya memukuli tubuh lelaki kasar yang telah menindihnya.
Intan Kemuning jadi lupa kalau dia telah belajar dasar-dasar ilmu olah
kanuragan. Rasa panik dan ketakutan yang amat sangat membuat dia lupa
segalanya.
"Auh!
Lepaskan...!" jerit Intan Kemuning.
Laki-laki itu makin liar merejam tubuh Intan Kemuning.
Bahkan empat laki-laki anggota Bayangan Hitam lainnya telah mengelilingi serta
menatap wajah dan tubuh yang indah itu.
Bret!
"Auuuh...!" Intan Kemuning memekik ketika tangan
lakilaki yang menindihnya, merobek bajunya.
Kini bagian dada yang membukit indah terbuka. Lima pasang
mata menatap ke a rah dada yang putih mulus tanpa berkedip. Intan Kemuning
cepat menutupi bagian dadanya yang terbuka, namun seorang laki-laki lainnya
maju dan menarik tangan Intan Kemuning.
'Tidak...! Lepaskan!" jerit Intan Kemuning putus asa.
Bret!
Lagi-lagi baju Intan Kemuning dirobek paksa. Tubuh Intan
Kemuning seketika jadi polos. Hanya bagian bawah saja yang masih tertutup.
Tangan-tangan kasar kini menelusuri bukit yang indah itu. Keempat orang yang
sebelumnya hanya berdiri saja, tidak bisa menahan diri lagi. Mereka mendekat
dan meraba-raba tubuh yang putih mulus itu.
Intan Kemuning benar-benar putus asa. Air bening mulai
menitik dari sudut matanya. Dari mulutnya keluar rintihan memohon belas
kasihan. Namun kelima orang sudah tidak peduli lagi. Tangan-tangan mereka makin
liar menjelajah ke seluruh tubuh gadis cantik itu.
'Tidak,
jangan...," rintih Intan Kemuning memelas.
Tepat ketika seorang laki-laki akan membuka bagian bawah
pakaiannya, tiba-tiba.... Brak!
Pintu poridok
yang tertutup, hancur berantakan.
"Binatang!"
Patih Giling Wesi segera menerjang marah.
Lima orang yang
tengah dirasuki iblis itu terperangah.
Pedang Patih Giling Wesi berkelebat
cepat Seketika saja dua kepala telah terpisah dari tubuh.
Tiga orang lainnya segera melompat menyebar. Intan Kemuning
cepat-cepat mengenakan pakaiannya kembali yang sudah tercabik-cabik itu. Air
matanya makin deras mengalir. Dia bersyukur karena kelima laki-laki itu belum
sempat merenggut kehormatannya.
"Binatang! Mampus, kalian semua!" teriak Patih
Giling Wesi kalap.
Pedangnya kian cepat berputar menyerang tiga orang
laiki-laki itu. Mereka hanya bisa berkelit saja. Dengan terpaksa mereka
melayani hanya dengan tangan kosong karena tidak memiliki senjata lagi.
"Aaaakh!"
kematian kembali terdengar.
Salah seorang dari tiga orang yang tersisa, ambruk dengan
dada tergores panjang dan dalam. Darah segera membasahi lantai. Melihat tiga
orang temannya telah tewas, segera dua orang anggota Bayangan Hitam itu
mendobrak dinding pondok, kabur.
"Ayah...!"
Patih Giling Wesi yang hendak mengejar, berbalik ketika
putrinya memanggil. Intan Kemuning berlari lalu menubruk ayahnya. Mereka saling
berpelukan menumpahkan seluruh air mata dan rindu.
"Kau tidak apa-apa, Nduk?" tanya Patih Giling Wesi
dengan suara tersendat.
"Tidak, Ayah," jawab Intan Kemuning tanpa
melepaskan pelukannya.
"Oh,
syukurlah," desah Patih Giling Wesi.
Kembali mereka terdiam sambil berpelukan. Ditumpahkan segala
kerinduan dan kegembiraan karena dapat berkumpul lagi. Pelan-pelan Patih Giling
Wesi melepaskan pelukannya. Sejenak ditatap putrinya. Jari-jari tangannya
mengusap air mata yang membasahi pipi Intan Kemuning.
"Mereka tidak mengganggumu, Nak?" tanya patih itu
masih diliputi perasaan cemas.
Biar bagaimana pun juga, hatinya masih khawatir terhadap
putrinya yang baru saja terbebas dari tawanan perompak itu.
"Mereka tidak ada yang menggangguku, Ayah," sahut
Intan Kemuning. 'Pemimpin perampok itu sangat baik. Dia
mengangkatku sebagai adiknya."
"Maksudmu,
Bidadari Sungai Ular itu?"
"Betul, Ayah. Kakak Lintang selalu melindungiku. Dia
baik sekali padaku."
"Lalu,
orang-orang itu?"
"Mereka bukan orang-orang Bidadari Sungai Ular. Mereka
orang-orang Bayangan Hitam,"
Seketika Intan Kemuning tersentak. Dia ingat kalau pemuda
tampan yang telah menggetarkan hatinya tengah bertempur di luar. Pemuda itu
kini menghadapi dua tokoh sakti.
"Ada apa,
Intan?" tanya Patih Giling Wesi.
"Pemuda itu...."
"Pemuda siapa?"
"Oh!"
Intan seperti tersadar. Malu.
Seketika kedua pipinya merah merona. Kepalanya tertunduk.
Tanpa disadari dia telah mencemaskan pendekar muda yang sejak tadi menarik
perhatiannya.
Pendekar itu telah merebut sekeping
hatinya.
Patih Giling Wesi terdongak begitu mendengar suara
pertempuran di luar. Patih Giling Wesi tersadar. Rasa haru dan gembira telah
membutakan mata dan menulikan telinganya, sehingga tidak tahu ada pertempuran
di luar.
Sekelebat memang dia melihat pertempuran itu, namun Patih
Giling Wesi lebih terpusat pada suara rintihan wanita di dalam pondok itu.
Dan ketika Intan Kemuning menyebut pemuda itu..., Patih
Giling Wesi seolah baru sadar kalau putrinya telah menjadi seorang gadis
remaja. Ah, apakah Intan Kemuning jatuh cinta? Apakah dengan pemuda tampan yang
kini sedang bertarung melawan dua tokoh sakti itu? Kalau benar, siapakah pemuda
itu? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak patih itu.
"Intan...,"
lembut suara Patih Giling Wesi.
Pelan-pelan Intan
Kemuning mengangkat kepalanya.
"Ayo...."
Patih Giling Wesi menggandeng anaknya ke luar pondok itu.
Mereka berhenti melangkah di depan pintu yang sudah hancur. Mereka menyaksikan
pertempuran antara Rangga melawan Saka Lintang dan Setan Jubah Merah.
Namun Intan Kemuning melangkah
terus, dan baru berhenti setelah berada dua tombak dari pondok. Patih Giling
Wesi mengikutinya. Patih Giling Wesi tersenyum melihat Intan Kemuning tidak
berkedip menatap setiap gerakan Rangga. Dalam hati dia merasa kagum juga
terhadap pemuda tampan itu.
***
Pertempuran masih terus berlangsung di sungai Ular. Kini
yang dihadapi Pengemis Sakti Tongkat Merah hanya empat orang saja. Mayat
menyebar di mana-mana. Bau anyir darah menyebar terbawa angin.
"He he he...!" Pengemis Sakti Tongkat Merah
terkekeh. Cukup sekali gebrak saja, keempat orang yang memang tidak punya nyali
lagi, dibuat tidak berkutik. Ujung tongkat Pengemis Sakti itu merobek-robek
dada mereka. Darah segar menyembur disertai jeritan kesakitan saling susul.
Keempat orang itu kini ambruk
kehilangan nyawa. Kakek Pengemis Sakti kembali terkekeh.
"Kasihan, kalian hanya membuang nyawa sia-sia,"
gumam Aki Lungkur atau Pengemis Sakti Tongkat Merah.
Pelan-pelan kakinya meninggalkan tempat pembantaian itu.
Ironis sekali. Tempat yang indah dan menyejukkan itu, kini jadi mengerikan. Bau
anyir darah telah mengundang anjing-anjing hutan untuk menyantap mayat-mayat
yang bergelimpangan. Tak luput, burung bangkai pun telah berkeliling di angkasa
minta bagian.
Aki Lungkur mengayunkan langkah menuju bukit Guntur. Langkah
yang kelihatan pelan, tapi kenyataannya, sebentar saja kakek tua itu telah jauh
melangkah. Kakinya seperti tidak menapak tanah. Itulah ilmu 'Sayiti Angin' yang
dikeluarkannya. Orang yang menguasai ilmu ini dapat meminjam hembusan angin
untuk mendorong tubuhnya. Layaknya kapas yang dihembus angin.
"Mudah-mudahan Pendekar Rajawali Sakti bisa mengatasi
keadaan," gumam Aki Lungkur pelan.
"He he
he...!"
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh. Aki Lungkur menghentikan
langkahnya. Suara itu jelas menggunakan tenaga dalam yang luar biasa.
'Tidak disangka, Pengemis Sakti Tongkat Merah mau mengotori
tangannya hanya untuk membantai cacing-cacing tanah," terdengar suara
mengejek.
"Ah, aku malas main petak umpet," keluh Aki
Lungkur terus melanjutkan langkahnya.
Langkahnya baru tiga tindak, tiba-tiba di depan Aki Lungkur
muncul seorang laki-laki gendut berkepala botak mengenakan jubah kuning.
Untaian tasbih tergenggam di tangan kanannya.
"Rupanya
kau, Pendeta Murtad," dengus Aki Lungkur.
"Aku rasa kau tidak perlu ke bukit Guntur, Aki Lungkur.
Kau akan menambah kotor tanganmu saja," kata Pendeta Murtad yang nama
aslinya Pradya Dagma.
"Aku rasa tanganmu tidak lebih bersih dari-pada tanganku," tenang sekali Aki
Lungkur menyahut.
'Tapi aku tidak
pernah usil dengan urusan orang lain."
"Dengan menghadang jalanku, kau sudah mencampuri urusan
orang lain."
'Phih! Aku sengaja menghadangmu untuk mencegah agar kau
tidak ikut campur urusan keponakanku!"
"Keponakan?
Ha ha ha...! Apa aku tidak salah dengar?
Kapan kau punya keponakan!"
"O, mengapa kau lari dari Lembah Tengkorak waktu itu?
Kenapa tidak kau bantu keponakanmu? Itukah paman yang baik?"
Merah padam wajah Pradya Dagma. Kata-kata Aki Lungkur tenang
diucapkannya, tetapi sakit didengamya. Kata-kata itu baginya adalah penghinaan
yang luar biasa.
"Ah,
sudahlah! Aku tidak ada urusan denganmu," kata Aki
Lungkur berusaha mengalah.
Aki Lungkur melangkah melanjutkan perjalanan tanpa peduli.
Melihat hal ini, Pradya Dagma makin merasa terhina. Dengan cepat dia kembali
menghadang.
"Sudah kukatakan, aku tidak ada urusan denganmu.
Minggir, aku mau pergi!" dengus Aki Lungkur sedikit jengkel.
"Kalau kau mencampuri urusan Saka Lintang, maka kau juga
berurusan denganku!'' sahut Pradya Dagma.
"Heh!
Rupanya kau cari penyakit?"
"Kau yang
cari kematian, Aki Lungkur!"
Aki Lungkur mendelik. Dia bersiap-siap ketika melihat
Pendeta Murtad itu telah membuka jurus-jurus ampuhnya. Tanpa dapat dicegah
lagi, dua tokoh sakti berlainan aliran itu bertempur dengan sengit
Diantara mereka berdua, sebenarnya tidak ada urusan apa-apa.
Aki Lungkur sendiri sebenarnya tidak melayani meski pun Pendeta Murtad itu
selalu cari perkara dengannya.
Pengemis Tongkat Merah melayaninya dengan setengahsetengah.
Padahal, Pendeta Murtad itu telah melancarkan serangan-serangan berbahaya.
Kelihatannya dia ingin membunuh Pengemis Sakti ini.
"Pradya Dagma, hentikan semua ketololanmu!" bentak
Aki Lungkur gusar.
"Jangan katakan aku kejam kalau kau kukirim ke neraka,
Lungkur!" sahut Pradya Dagma
keras. "Aku tidak peduli kau melawan atau tidak!"
Gigi Aki Lungkur beradu menahan geram. Pendeta
Murtad ini rupanya benar-benar ingin
membunuhnya. Dia masih mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Terpaksa Aki
Lungkur harus menghadapinya dengan hati- hati. Dia tahu kalau Pradya Dagma
sangat berbahaya, terutama tasbihnya yang menjadi andalan.
Antara Aki Lungkur dengan Pradya Dagma, sebenarnya masih
saudara seperguruan. Mereka sama-sama murid
Resi Brahespati. Akibat suatu
perselisihan, rupanya Pradya Dagma masih menyimpan api dendam. Dia tidak mau
mengakui keunggulan Aki Lungkur. Padahal setiap kali mereka bentrok, Aki
Lungkur selalu bersikap mengalah. Dia masih memandang hormat pada Resi
Brahespati. Sebab Pradya Dagma anak tunggal dari gurunya itu. Itulah sebabnya,
mengapa Aki Lungkur selalu menolak setiap tantangan Pradya Dagma. Dia pun tak
ingin mencampuri urusan Pradya Dagma meskipun tindakan dan perbuatan Pradya
Dagma selalu merugikan orang lain.
"Maaf, aku masih ada urusan yang lebih penting,"
ujar Aki Lungkur masih berusaha mengalah. Segera dia melenting cepat.
"Hey,
tunggu!"
Pradya Dagma segera mengejar. Hanya beberapa kali lompatan
saja, dia telah berhasil mengejar disertai satu pukulan dengan tenaga dalam
yang penuh. Aki Lungkur terkejut. Dia segera membuang diri ke tanah.
Pukulan Pradya Dagma menghantam sebatang pohon besar.
Seketika pohon itu tumbang disertai suara gemuruh. Aki Lungkur belum
bersiap-siap, tiba-tiba datang serangan berikut. Aki Lungkur kembali
bergulingan di tanah. Secepat itu pula, dia melenting dan berdiri di tanah
dengan kokoh.
"Kelakuanmu sudah melampaui batas, Pradya Dagma!"
geram Aki Lungkur.
"Kalau kau laki-laki, jangan hanya bisa
menghindar!" ejek Pradya Dagma.
"Kau memang sudah tidak bisa di beri hati, Seluruh
pikiran dan hatimu sudah tertutup iblis.”
"Kau pun akan, senang tinggal di neraka bersama
iblis."
"Demi Resi Brahespati, aku tidak menurunkan tangan
kejam padamu!"
Rupanya Aki Lungkur sudah tidak bisa menahan kesabarannya
lagi. Dibukanya jurus 'Tongkat Sakti'. Pradya Dagma terkekeh melihat Aki
Lungkur mulai terpancing kemarahannya. Dia pun segera mengerahkan jurus 'Tasbih
Sakti'.
Kedua tokoh itu mempergunakan
jurus yang didapat dari sumber yang sama. Mereka sama-sama telah mengenal jurus
masing-masing. Setelah mereka saling pandang, maka menyusullah suara teriakan
keras. Dua tokoh sakti itu pun saling menyerang.
***
Kali ini Aki Lungkur tidak main-main lagi. Kemauan saudara
seperguruannya dilayani dengan sungguh-sungguh. Bahkan serangan-serangan
balasannya tidak tanggungtanggung mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang
mematikan.
Lima jurus kini telah mereka lewati. Masing-masing belum ada
yang terdesak. Mereka paham betul dengan kelemahan dan kelebihan jurus-jurus
masing-masing. Jurusjurus yang mereka pergunakan juga beraliran sama, hanya
penerapannya yang lain. Jika Pradya Dagma mempergunakannya untuk maksud-maksud
kejahatan, maka Aki Lungkur mempergunakannya untuk membela yang lemah dan
menumpas kejahatan.
Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Aki Lungkur yang
selalu memperdalam dan menyempumakan ilmunya, kelihatan lebih unggul ketika
memasuki jurus yang keseratus. Sedikit demi sedikit Pradya Dagma mulai
kewalahan dan terdesak. Beberapa kali ujung tongkat itu hampir menyentuh tubuh
Pradya Dagma, Aki Lungkur selalu membelokkannya.
Hatinya tetap tidak mengijinkan untuk melukai saudara
seperguruannya ini. Tapi Pradya Dagma sudah tidak peduli. Dia malah
mempergunakan kesempatan itu untuk mendesak. Timbul sifat mengalah dalam hati
Aki Lungkur. Dibiarkan dirinya terdesak. Bahkan dia kelihatan tidak ada
semangat lagi untuk melanjutkan pertarungan. Hingga pada suatu saat...
"Akhl" Aki Lungkur memekik tertahan. Kaki Pradya
Dagma berhasil menghantam dadanya. Tubuh pengemis tua itu terdorong dua tombak.
Matanya berkunang-kunang. Dadanya terasa sesak. Tendangan Pradya Dagma telak,
disertai tenaga dalam yang hebat Kalau bukan Aki Lungkur, mungkin dada itu
telah jebol.
"Kau menghinaku, Lungkur! Kau sengaja mengalah!"
desis Pradya Dagma.
"Aku mengaku
kalah," kata Aki Lungkur ter-sendat
"Sudah aku katakan, aku tidak peduli dengan sikapmu!
Ayo lawan aku!" bentak Pradya Dagma.
Tiba-tiba di depan Aki Lungkur seperti berdiri seorang resi.
Seketika pengemis tua itu menjatuhkan diri, dan berlutut saat dia tahu yang
berdiri di depannya adalah Resi Brahespati.
"Ampunkan muridmu yang hina ini, Resi," ucap Aki
Lungkur dengan kepala tertunduk.
Pradya Dagma yang melihat sikap Aki Lungkur, terheranheran.
Dia tidak mengerti, mengapa tiba-tiba Aki Lungkur seperti ketakutan. Bahkan dia
tadi menyebut-nyebut resi. Pradya Dagma memang tidak melihat kedatangan Resi
Brahespati, ayahnya itu yang padahal tengah berdiri di depannya.
"Bangunlah, tidak layak kau berbuat begitu,"
lembut berwibawa suara Resi Brahespati.
"Aku berusaha mengalah, tapi Pradya Dagma...," Aki
Lungkur tidak melanjutkan kata-katanya.
"Dia benar-benar sudah murtad! Aku mengijinkan kalau
kau menjatuhkan tangan padanya. Beri dia pelajaran agar matanya terbuka."
"Resi..!"
Aki Lungkur terkejut menerima petuah itu.
Ketika Aki Lungkur ingin melanjutkan kata-katanya, tibatiba
Resi Brahespati telah lenyap dari pandangan. Kini yang berdiri di depannya
hanyalah Pradya Dagma. Masih terngiang-ngiang kata-kata gurunya tadi. Rasanya
memang masih terasa berat untuk menjatukan tangan kepada
Pradya Dagma. Segera Aki Lungkur
memantapkan hati untuk memberi pelajaran kepada saudara seperguruannya yang
murtad ini.
Belum juga Aki Lungkur bersiap-siap, Pradya Dagma kembali
menyerang dengan jurus-jurusnya. Terpaksa Aki Lungkur harus jatuh bangun
menghindari serangan beruntun itu. Ketika posisinya menguntungkan, Aki Lungkur
segera membalas tanpa memberi ampun lagi.
Pradya Dagma yang setingkat di bawah Aki Lungkur, kembali
terdesak. Sementara kata-kata Resi Brahespati terus terngiang- ngiang di
telinga Aki Lungkur. Hal inilah yang membuat pengemis tua itu tidak memberi
kesempatan kepada Pradya Dagma untuk membalas.
Pada suatu kesempatan yang baik, dengan cepat pukulan Aki
Lungkur bersarang di dada Pradya Dagma.
Kemudian disusul dengan tendangan
keras. Pendeta Murtad itu terdorong sejauh tiga tombak. Dari sudut bibirnya
keluar darah segar.
"Demi Resi Brahespati, minta ampunlah kau pada
ayahmu!" kata Aki Lungkur lantang.
"Setan!" dengus Pradya Dagma sambil menyeka darah
yang terus mengalir. "Jangan sebut-sebut ayahku!"
Setelah berkata demikian, Pradya Dagma kembali menyerang
membabi buta. Aki Lungkur tidak segan-segan lagi melayaninya. Tongkatnya kini
berkelebat cepat, dan....
"Aaaakh...!"
Jeritan melengking terdengar. Aki Lungkur mencabut
tongkatnya yang menembus dada pendeta murtad itu. Tubuh Pradya Dagma pun ambruk
dengan darah muncrat dari dadanya yang bolong. Aki Lungkur cepat-cepat
menghampiri dan merangkul tubuh gemuk itu.
"Dagma...!"
suara Aki Lungkur bergetar.
Pradya Dagma tersenyum. Napasnya tersendat-sendat. Darah
makin banyak keluar.
"Aku senang bisa mati di tangan tokoh sakti
sepertimu," lemah dan tersendat suara Pradya Dagma.
"Dagma..., kau harus hidup. Kita akan bersama-sama
lagi," hibur Aki Lungkur.
'Tidak, Lungkur. Aku puas. Kini keinginanku tercapai sudah.
Terima kasih, kau mau memenuhi keinginanku."
Aki Lungkur tidak mengerti, mengapa Pradya Dagma
menginginkan mati di tangannya.
"Aku sudah berjanji pada Komala, hanya kau yang boleh
membunuhku."
"Dagma, kau bicara apa?" Aki Lungkur makin tidak
mengerti. Ingatannya seketika mundur puluhan tahun yang lalu. Waktu itu mereka
masih sama-sama muda dan tinggal di padepokan Resi Brahespati. Di desa dekat
padepokan itu tinggallah seorang gadis bernama Komala. Dia cantik dan menjadi
kembang desa itu. Ternyata Komala membuka hatinya pada seorang pemuda bernama
Lungkur.
Hubungan mereka telah direstui oleh Resi Brahespati.
Mereka telah merencanakan untuk
memasuki jenjang perkawinan. Tetapi sebelum hari bahagia itu dilangsungkan,
seluruh desa dan padepokan geger. Komala kedapatan mati dengan leher tertembus
pisau. Sejak itu, Lungkur tidak ada niat lagi mendekati wanita. Hingga tua dia
tidak pernah menikah.
"Aku merasa iri karena Komala menjatuhkan pilihan
kepadamu. Malam itu, sehari sebelum pernikahanmu dengan Komala, aku menyelinap
ke kamarnya. Aku telah memperkosa dan membunuhnya, Lungkur! Di depan mayatnya
aku berjanji, hanya tanganmu lah yang bisa membunuhku. Kini keinginanku menebus
dosa pada
Komala terlaksana sudah,
Lungkur."
Aki Lungkur hanya tertunduk saja. Dia tak tahu harus
bagaimana lagi. Peristiwa itu sudah lama terjadi. Bahkan sudah hampir
dilupakannya. Tapi kini, peristiwa itu sepertinya baru saja terjadi.
"Semula aku hanya ingin memperkosa saja. Aku ingin
membuatmu kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja membunuhnya, Lungkur. Dia
mengambil pisau, dan aku berusaha mencegahnya. Tapi perbuatanku malah
menghilangkan nyawanya. Seharusnya malam itu kubiarkan saja dia membunuhku,"
Pradya Dagma meneruskan ceritanya.
Setitik air bening mulai menggulir di pipi Aki Lungkur.
"Maafkan aku, Lungkur. Hatiku akan tenang jika kau mau memaafkan
aku," kata Pradya Dagma lagi.
"Sejak lama aku selalu memaafkanmu," sahut Aki
Lungkur. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa.
'Terima
kasih."
Pradya Dagma menutup mata dengan tenang setelah mengucapkan
kata maaf dan terima kasih. Bibirnya menyungging senyum. Keinginannya telah
terkabul.
Menerima kenyataan itu, Aki Lungkur benar-benar sedih. Dia
baru sadar kalau perbuatan Pradya Dagma hanyalah untuk memancing kemarahan agar
dapat membunuhnya. Kalau saja hal itu diketahuinya sejak dulu, mungkin Aki
Lungkur akan segera membunuhnya agar kesengsaraan hidup Pradya Dagma tidak
berlarut-larut.
Tidak ada yang tahu kalau
seluruh perbuatan Pradya Dagma hanyalah pancingan agar Aki Lungkur dapat
membunuhnya. Ternyata di balik hatinya yang keji, masih tersimpan sedikit jiwa
ksatria. Teguh pada janji dan pendinannya Hanya sayangnya, sikap Pradya Dagma
berada di jalan yang salah.
***
7
Pertarungan antara Rangga melawan Saka Lintang dan Setan
Jubah Merah kian berlangsung sengit di bukit Guntur. Rangga masih tetap
menggunakan empat jurus gabungan dari jurus 'Rajawali Sakti'. Kadang dia
menggabungkan dua atau tiga jurus. Bahkan kalau mungkin menggabungkan
keempatnya sekaligus.
Dalam gerakan-gerakan membingungkan itu, Rangga selalu
mengganti-ganti jurus. Dengan demikian lawannya benar-benar kerepotan. Mereka
bingung menghadapi gerakan-gerakan yang sulit diduga arah dan tujuannya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba Rangga berteriak nyaring. Seketika itu pula,
tangannya mengembang dengan cepat Tubuhnya kini melayang. Kedua tangannya
bergerak-gerak cepat mengibas mencari sasaran.
"Awas,
Lintang!" teriak Setan Jubah Merah tiba-tiba.
"Hait!"
Saka Lintang melentingkan tubuhnya ke belakang sejauh dua
tombak. Kibasan Rangga berhasil dielakkan, namun bajunya harus direlakan
terjambret.
"Kurang ajar" geram Saka Lintang. Mukanya merah
menahan malu.
Baju di bagian dada yang memang sudah sobek, kian lebar saja
terbuka. Bagian dada yang membukit terbungkus kulit putih mulus itu tidak lepas
dari tatapan mata Patih Giling Wesi. Mata Rangga pun sempat menatap ke bagian
indah itu. Seketika darahnya seperti berhenti mengalir. Tetapi dengan cepat
dipusatkan kembali perhatiannya pada
Setan Jubah Merah.
Saka Lintang sedapat mungkin menutupi bagian tubuhnya yang
terbuka itu. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah bagai kepiting rebus. Lalu
dengan cepat dia kembali menerjang sambil menghunus pedangnya. Kali ini Saka
Lintang menggabungkan antara jurus-jurus ilmu pedangnya. Kali ini Saka Lintang
menggabungkan antara jurus-jurus ilmu pedang dengan jurus 'Ular Berbisa
Menyebar Racun'.
Menyadari Saka Lintang telah menebar racun, Setan Jubah
Merah menahan napas. Tetapi Rangga malah kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan
bibimya menyungging senyum. Dia tahu kalau hawa racun telah menyebar di
sekelilingnya. Tetapi racun jenis apa pun tak ada pengaruhnya bagi Rangga.
"Kena!"
teriak Saka Lintang keras.
Pukulan tangan kiri Saka Lintang tepat menghantam dada
Rangga. Gadis itu tidak tahu kalau sebenamya Rangga sengaja membiarkan tangan
beracun itu masuk ke dalam bagian dada yang lowong.
Wajah Saka Lintang seketika berubah setelah menyadari
tangannya tidak dapat ditarik lagi dari tubuh Rangga.
Sekuat tenaga gadis itu menarik
tangannya. Namun semakin ditarik, semakin kuat telapak tangannya menempel. Saka
Lintang jadi geram. Ditebaskan pedang yang ada di tangan kanannya ke leher
Rangga, namun....
Trak!
Rangga hanya menyentil pedang itu dengan jurus 'Cakar
Rajawali'. Seketika dari ujung pedang sampai pangkal lengan Saka Lintang
bergetar. Belum sempat gadis itu menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba tangan
Rangga bergerak menyambar gagang pedang dalam genggaman Saka Lintang.
"Ah...!" pekik Saka Lintang tertahan. Saka Lintang
semakin panik. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam dan penyaluran racun ke
telapak tangannya, gadis itu menggedor dada Rangga sekali lagi dengan tangan
kanannya. Di luar dugaan, kedua telapak tangan Saka Lintang kini menempel erat di
dada Rangga.
"Setan!"
dengus Saka Lintang geram.
Kalau Rangga mau, sebenamya dia bisa saja
menebaskan pedang yang terebut tadi.
Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Dia malah membuang pedang itu jauh-jauh.
Matanya menatap Setan Jubah Merah yang kebingungan.
Rangga menggunakan gadis itu menjadi
tameng, sehingga Setan Jubah Merah tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak bisa
leluasa melancarkan pukulan mautnya.
"Pengecut! Lepaskan gadis itu!" bentak Setan Jubah
Merah.
"Oh, tentu!
Ini, terimalah!"
Tiba-tiba saja tubuh Saka Lintang terpental keras. Setan
Jubah Merah terkejut. Dengan cepat dia melompat dan menangkap tubuh gadis itu
yang melayang deras. Jika saja gerakan Setan Jubah Merah tidak cepat, tubuh
Saka Lintang dipastikan hancur menubruk batu besar.
"Akh!" tiba-tiba
Setan Jubah Merah memekik keras.
Cepat-cepat dilepaskan tangannya. Dia kaget setengah mati
karena tubuh Saka Lintang masih menyebarkan hawa racun. Saka Lintang pun tak
urung kaget pula. Cepat-cepat dihilangkan hawa racun dari tubuhnya. Dihampirinya
Setan Jubah Merah yang tengah meringis memegangi tangannya sendiri.
"Paman..., kau tidak apa-apa?" tanya Saka Lintang
cemas.
"Uh!
Racunmu," kata Setan Jubah Merah sambil meringis.
Saka Lintang merogoh saku jubahnya, dan mengeluarkan sebuah
pil berwarna merah darah. Diberikannya pil itu kepada Setan Jubah Merah. Tanpa
banyak tanya lagi, lakilaki tua itu menelan pil yang diberikan Saka Lintang.
Seketika tubuhnya seperti terbakar.
"Semadilah, Paman," ujar Saka Lintang. Setan Jubah
Merah pun bersila. Kedua matanya dipejamkan. Perlahanlahan dari ujung kepalanya
mengepul asap tipis. Seluruh tubuh Setan Jubah Merah bergetar. Keringat
membasahi seluruh tubuhnya.
"Hoek!"
Cairan kental berwarna kehitaman dimuntahkan oleh
Setan Jubah Merah. Sedikit demi
sedikit, seluruh tubuh lakilaki tua itu mulai tenang. Setan Jubah Merah membuka
matanya ketika getaran pada tubuhnya berhenti sama sekali, dibarengi oleh
hilangnya asap tipis yang mengepul di kepala laki-laki tua itu.
Kini Pendekar Rajawali Sakti tengah duduk tenang di atas
batu besar. Dia memperhatikan saja kedua lawannya yang tengah sibuk itu.
Mulutnya malah bersiul-siul dengan irama tak menentu. Sesekali matanya melirik
Intan Kemuning yang berdiri di samping ayahnya. Setiap kali
Rangga melirik ke arahnya, Intan
Kemuning merasakan jantungnya berdetak keras.
Tanpa sadar Intan Kemuning melontarkan senyuman manis pada
pendekar muda itu. Tak diduga, Rangga membalasnya dengan senyum manis pula.
Kalau saja saat ini tidak ada ayahnya, ingin sekali Intan Kemuning menghambur dan
memeluk pemuda itu. Tapi semua
perasaan dan keinginan itu ditekan
dalam-dalam sampai ke dasar hatinya.
Sementara, dua tokoh tingkat tinggi, Saka Lintang dan Setan
Jubah Merah, telah kembali bersiap-siap menghadapi lawannya yang tengah duduk
tenang itu. Rangga seperti tidak peduli dengan lawan yang sudah bersiap-siap
menyerang kembali.
"Hiya!"
"Yeah!"
Dua teriakan keras saling susul, kemudian disambung dengan
melentingnya dua tubuh ke arah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak
tahu sama sekali kalau dua tokoh itu meluruk ke arahnya. Rangga masih tenang.
Sikap Rangga yang masa bodoh itu membuat Intan
Kemuning cemas. Dia gelisah karena
dua tokoh sakti begitu cepat menyerang.
"Pendekar Rajawali Sakti, awas!" Intan Kemuning
tidak dapat lagi mengendalikan diri.
Peringatan gadis itu tepat bersamaan dengan dua tubuh yang
meluruk menerjang Rangga. Serangan yang dibarengi pengerahan tenaga dalam,
begitu cepat datangnya. Akibatnya memang dahsyat. Batu tempat Rangga duduk,
jadi berkeping keping disertai ledakan keras terkena pukulan itu.
"Akh!"
Intan Kemuning memekik tertahan.
Jelas kalau Rangga tadi tidak sedikit pun menghindar. Dia
seperti membiarkan saja pukulan itu menghantam tubuhnya. Batu yang sebesar
kerbau itu saja hancur, bagaimana dengan Rangga? Debu masih mengepal tebal.
Intan Kemuning benar-benar tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Dia tidak
melihat pendekar itu. Apakah dia hancur bersama batu itu? Batin Intan Kemuning
bertanyatanya penuh kecemasan.
***
Berangsur-angsur asap tebal yang mengepul sirna disapu
angin. Ketika debu itu hilang sama sekali, tampak Rangga masih duduk di atas
tumpukan batu-batu yang hancur. Sikap duduknya tidak berubah sedikit pun. Kedua
tokoh sakti Itu terperanjat melihat hasil gempurannya tidak berpengaruh apa-apa
terhadap lawannya.
"Oh...," Intan Kemuning mendesah lega melihat
pendekar tampan itu masih hidup.
Sikap gadis itu tidak lepas dari pengamatan Patih Giling
Wesi. Dia hanya tersenyum-senyum saja. Rupanya dia mengerti apa yang telah
melanda putrinya ini.
Patih Giling Wesi kembali perhatiannya tercurah pada ketiga
tokoh yang kini telah bertarung kembali. Tanpa disadari, sepasang mata tengah
mengawasi pertarungan itu dari balik pohon.
Jelas pemilik sepasang mata itu bukan orang sembarangan.
Kehadirannya saja tidak diketahui sama sekali. Sementara itu Rangga sudah
kembali melayani dua lawannya yang kian bernafsu untuk mengakhiri pertarungan
alot dan panjang ini. Kini Saka Lintang hanya sesekali saja melontarkan pukulan
beracunnya. Dia harus mempertimbangkan kehadiran Setan Jubah Merah. Dia tidak
ingin lagi berbuat konyol yang hampir merenggut nyawa paman angkatnya.
"Maaf,
Kakek!" seru Rangga tiba-tiba.
Seketika Rangga merubah jurusnya. Dengan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' tangan Rangga berhasil menghantam telak dada Setan Jubah Merah.
"Aaaa...!" Setan Jubah Merah meraung keras. Tubuhnya
terlontar ke belakang sejauh tiga tombak.
"Paman...!"
pekik Saka Lintang.
Setan Jubah Merah meregang nyawa sebentar, lalu diam tak
bergerak sama sekali. Seluruh dadanya seperti hangus terbakar. Dia terkena
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang tak terduga dilepaskan Rangga.
"Kejam! Setan! Kubunuh kau!" pekik Saka Lintang
marah.
Gadis itu segera menyerang Rangga dengan mengeluarkan jurus
andalan terakhirnya. Jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun' yang dipadu dengan
jurus 'Tarian Bidadari'. Dalam sekejap sekitar tempat pertarungan telah
terselimuti oleh hawa racun yang mematikan.
Rangga kembali merubah jurusnya. Kali ini digunakannya jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sekejap saja tubuhnya telah melambung di udara.
Kedua tangannya merentang mengepak bagai sayap rajawali.
Secepat kilat, dirubahnya jurus itu menjadi 'Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa'. Tubuhnya meluruk turun deras. Kakinya bergerak
mengarah kepala lawan. Begitu cepatnya jurus itu sehingga Saka Lintang tidak
punya kesempatan lagi untuk mengelak.
"Aaaa...!" Saka Lintang memekik keras. Gadis itu
ambruk dengan kepala hancur berantakan. Darah seketika membasahi tanah. Rangga
kembali mendarat Matanya memperhatikan tubuh Saka Lintang yang meregang nyawa,
lalu diam tak bergerak lagi. Sungguh tragis kematian gadis ini. Dia mati di
tangan laki-laki yang dicintainya. Mati bersama rasa cinta, benci dan dendam.
"He he
he…." tiba-tiba terdengar suara terkekeh.
Rangga menoleh ke arah suara itu. Dari balik pohon muncul
seorang kakek tua berpakaian compang-camping. Di tangannya tergenggam tongkat
berwarna merah. Siapa lagi kalau bukan Pengemis Sakti Tongkat Merah.
"Menakjubkan, hebat..., hebat...," Aki Lungkur
atau Pengemis Sakti Tongkat Merah menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ah, kalau tidak salah, kakek yang berada di kedai
minum tempo hari," kata Rangga dengan tutur kata yang halus.
"Penglihatanmu tajam, anak muda. Aku pengemis tua yang
hina," sahut Aki Lungkur. Rangga mendekat Aki Lungkur terkekeh.
"Bagaimana kalau kita makan bersama lagi di bawah pohon sambil menikmati
udara segar," kata Rangga teringat ketika dia memberikan sebungkus bekal
makanan, lalu mereka makan bersama di pinggir tegalan.
"Ah..., tawaran yang menggairahkan. Mari!!" Ketika
mereka akan melangkah, tiba-tiba terdengar suara Patih Giling Wesi mencegah.
"Tunggu!"
Mereka menoleh
dan berbalik bersamaan.
"Uts! Hampir lupa kalau di sini masih ada orang
lain," kata Aki Lungkur.
Patih Giling Wesi mendekat diikuti Intan Kemuning. Gadis itu
selalu menundukkan kepala terus, tetapi matanya
melirik pada Rangga. Hatinya makin
berdebar-debar kalau kebetulan matanya beradu pandang. Kalau sudah demikian,
cepat-cepat matanya dialihkan mencari pandangan lain.
"Kisanak, kalau boleh tahu, siapa namamu dan dari mana
kau berasal?" tanya Patih Giling Wesi.
"Hamba hanya seorang pengembara hina Gusti Patih. Nama
hamba Rangga," jawab Rangga merendah.
"Rangga...," Patih Giling Wesi menggumamkan nama
itu beberapa kali.
Rangga memperhatikan dengan pandangan bertanyatanya.
"Namamu mirip dengan seorang putra Adipati yang hilang
dua puluh tahun lalu," Patih Giling Wesi setengah bergumam.
Rangga terkejut juga mendengarnya. Cepat-cepat diturupi rasa
kaget itu dengan senyum. Memang benar gumaman patih ini. Rangga jadi
bertanya-tanya, apakah Patih Giling Wesi kenal dengan ayahnya?
"Nama bisa saja sama, Gusti Patih," kata Rangga
buruburu.
Dia tidak ingin masa lalunya terungkap lagi. Biarlah
kenangan pahit itu dia sendiri yang tahu.
"Nama memang bisa saja sama. Tapi...," Patih
Giling Wesi mengamati wajah Rangga dengan teliti sekali.
Patih Giling Wesi tengah berusaha mengingat-ingat.
Sepertinya dia pernah mengenal wajah itu. Tapi di mana? Kapan pernah bertemu?
Ingatannya terus berputar. Tibatiba dia tersentak Benar! Tidak salah lagi.
Wajahnya sangat mirip dengan Adipati Karang Setra. Dua puluh tahun yang lalu
terjadi musibah pada rombongan Sang Adipati yang hendak menuju ke kota Kerajaan
Ayahandanya. ( Baca serial: Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah
Tengkorak).
Tetapi Patih Giling Wesi sedikit ragu-ragu juga.
Masalahnya, anak laki-laki Adipati
hilang tanpa bekas.
Sedangkan kejadiannya tidak jauh
dari jurang Lembah Bangkai. Semua orang menduga kalau anak itu pasti masuk ke
jurang Lembah Bangkai. Karena sudah pasti, siapa saja yang masuk ke dalam
jurang itu tak akan pernah selamat.
Patih Giling Wesi seperti berperang dengan batinnya sendiri.
Antara percaya dan tidak. Antara mengakui dan membantah. Dia berusaha memecahkan
teka-teki ini.
Siapakan
anak muda perkasa yang ada di depannya ini? ***
8
Beberapa saat suasana di bukit Guntur hening. Tidak ada yang
mengeluarkan suara, Semua seperti menunggu pembicaraan Patih Giling Wesi. Patih
itu sendiri sampai saat ini masih berusaha memecahkan teka-teki itu. Dia belum
dapat memastikan perihal anak muda ini. Ah! Siapa pun dia, yang jelas jasanya
sangat besar. Kalau tidak ada pendekar muda ini, entah bagaimana nasib
putrinya. Batin Patih Giling Wesi bicara sendiri.
"Aku sangat berhutang budi padamu, Kisanak. Jika tidak
mengganggu perjalananmu , sudi kau mampir sebentar di
Kepatihan," Patih Giling Wesi
mengundang.
Rangga menoleh pada Aki Lungkur yang berdiri di sampingnya.
Pengemis tua itu mengangguk-angguk kepalanya. Tentu dia setuju karena antara
dia dan patih itu telah terjalin suatu persahabatan.
Rangga belum menjawab. Matanya beralih memandang Intan
Kemuning. Seketika dua pasang mata saling berpandangan. Intan Kemuning jadi
gelagapan. Cepat dialihkan pandangannya ke tempat lain. Tapi bibirnya sempat
memberikan senyum manis.
"Baiklah,"
sahut Rangga mendesah.
"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang!" ajak
Patih Giling Wesi.
Keempat orang itu segera meninggalkan tempat itu. Mereka
menuruni bukit Guntur, meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan dan siap
jadi santapan anjing-anjing hutan.
Di kaki bukit, telah menunggu delapan orang prajurit
Kepatihan. Mereka segera menghampiri patih itu. Masingmasing menunggang kuda
dan menuntun seekor kuda pula.
Rapaksa segera melompat dari kudanya, diikuti oleh tujuh
orang prajurit-prajurit lain. Patih Giling Wesi mengamati sisa
prajurit-prajuritnya. Sungguh besar jasa mereka. Nyawa mereka korbankan hanya
untuk menyelamatkan seorang putri patih.
"Ampun, Gusti Patih. Hamba datang terlambat Hamba
mencari kuda-kuda dulu. Dan kini hamba hanya dapat lima belas ekor," kata
Rapaksa melapor.
"Hh, sudahlah. Mari kita kembali ke Kepatihan,"
sahut Patih Giling Wesi mendesah berat.
Perjalanan kini dilanjutkan dengan menunggang kuda.
Semula Patih Giling Wesi khawatir
juga terhadap Intan Kemuning. Setahunya Intan Kemuning tidah pernah belajar
naik kuda. Patih itu tidak tahu kalau selama jadi tawanan perampok, Intan
Kemuning telah diajari naik kuda oleh Saka Lintang. Akhirnya pikiran patih itu
tenang setelah melihat putrinya sangat lihai menunggang kuda.
Rombongan kecU berkuda itu terus meninggalkan bukit Guntur
yang terlihat hijau. Mereka melewati jalur pintas, tidak menyusuri tepian
sungai Ular. Hutan dirambah, padang diarungi, dan kini mereka telah dekat
dengan sebuah desa yang dekat dengan bukit Guntur.
Rombongan itu terus melewati desa
itu. Patih Giling Wesi selalu berada di samping Intan Kemuning. Hatinya masih
bertanya-tanya tentang kelihaian putrinya menunggang kuda.
***
Matahari telah condong ke Barat ketika rombongan itu sampai
di pintu Gerbang Kepatihan. Penjaga pintu segera membuka pintu ketika melihat
Patih Giling Wesi yang datang bersama putrinya. Mereka pun segera masuk ke
dalam benteng Kepatihan, dan berhenti tepat di depan pendopo.
Setelah melompat turun dari kudanya, Patih Giling Wesi
membantu Intan Kemuning yang sedikit kesulitan turun dari kudanya. Rangga
memandangi bangunan indah dan megah di depannya. Seketika dia teringat sewaktu
masih tinggal di Kadipaten. Kediamannya juga tak kalah indahnya dengan bangunan
itu.
"Mari silahkan masuk. Anda berdua adalah tamu kehormatanku,"
kata Patih Giling Wesi.
Sementara Intan Kemuning telah berlari masuk ke dalam
keputrenan. Rasa rindu yang menggebu ingin segera bertemu ibundanya, membuat
dia lupa sejenak terhadap Rangga. Patih Giling Wesi membawa dua tamunya masuk
ke bangsal utama Pendopo itu. Mereka kemudian duduk melingkar menghadapi meja.
Beberapa orang pelayan datang menyediakan suguhan.
"Silahkan," Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya
untuk minum.
'Terima kasih," ucap Rangga sambil mengangkat gelas
yang sudah terisi arak manis.
Rangga minum sedikit dengan sikap Sopan. Beda dengan Aki
Lungkur. Dia menenggak habis arak wangi mahal itu. Di mana lagi dia dapat minum
arak selezat ini kalau tidak mendapat undangan dari Patih Giling Wesi?
Patih Giling Wesi selalu memperhatikan sikap dan tutur kata
Rangga. Dari situ dia merasa sedang berhadapan dengan seorang pemuda bangsawan.
Sikap Rangga memang tidak seperti pendekar-pendekar lainnya. Biasanya
tokoh-tokoh rimba persilatan selalu tidak peduli dengan tata krama.
"Aku senang sekali jika kalian sudi menginap di sini
barang satu atau dua malam," kata Patih Giling Wesi lagi.
"Oh, tentu. Tentu saja aku tidak keberatan!" Aki
Lungkur cepat menerima sebelum Rangga membuka suara.
Sebenarnya Rangga ingin menolak. Tetapi karena Aki Lungkur
sudah menerima, dia hanya bisa angkat bahu saja. Memang tidak ada salahnya
menginap barang sehari setelah sepanjang hari menguras tenaga menyabung nyawa.
Patih Giling Wesi menepuk tangannya dua kali. Dua orang
punggawa datang mendekat. Mereka memberi hormat.
"Antarkan
tamu-tamuku ke tempat istirahatnya," perintah
Patih Giling Wesi.
Kedua punggawa
itu kembali memberi hormat.
"Silahkan," Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya
mengikuti para punggawa yang mengantarkan ke peristirahatan.
Aku Lungkur bangkit dan melangkah pergi ke tempat
istirahatnya. Rangga masih duduk di kursinya. Setelah mendapat anggukan dari
Patih Giling Wesi, dia pun bangkit melangkah mengikuti punggawa.
Rangga memandangi setiap ruangan yang dilewatinya. Di sebuah
kamar yang indah dan luas, punggawa itu berhenti. Dia menyilahkan Rangga masuk,
dan segera pergi setelah tugasnya selesai.
Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Indah sekali
ruangan ini.
Saat matanya menatap ke arah taman, dilihatnya Intan
Kemuning tengah duduk di bangku taman sendirian.
Diamatinya sebentar, dan memang
kelihatannya Intan Kemuning juga tengah memandang ke arahnya. Entah melihat
atau tidak, yang jelas pandangan itu tertuju pada
Rangga.
Rangga menoleh ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.
Bergegas dia membukanya. Aki Lungkur segera menerobos masuk dan menutup
kembali. Rangga mengernyitkan keningnya melihat pengemis tua itu seperti
terburu-buru.
"Ada apa,
Ki?" tanya Rangga.
"Gawat!"
sahut Aki Lungkur.
"Apanya yang
gawat?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Patih
Giling Wesi curiga padamu."
Rangga masih
belum mengerti. Dia hanya menatap lakilaki tua itu tak berkedip.
"Patih Giling Wesi memerintahkan beberapa punggawa
untuk menyelidiki asal-usulmu. Dia menduga kau anak Adipati yang hilang dua
puluh tahun yang lalu." "Dia menduga begitu?" Rangga terkejut.
"Benar! Aku mendengar sendiri. Makanya aku segera ke
sini menemuimu."
"Mengapa Aki
memberitahuku?"
"Karena kau baik. Kau seorang pendekar yang banyak
dibutuhkan oleh kaum lemah. Aku tidak peduli siapa dirimu.
Yang penting aku sudah menganggapmu
sahabat."
Rangga berusaha bersikap tenang, meskipun dadanya
bergemuruh. Rangga tidak ingin menjadi seorang pendekar tanpa masa lalu. Masa
lalu yang tidak perlu diketahui orang lain.
'Terima kasih,
Aki," ucap Rangga.
"Hati-hatilah. Aku membaca gelagat lain di balik niat
luhur Patih Giling Wesi."
"Jangan berprasangka buruk. Bukankah kalian
bersahabat?"
"Aku tidak berprasangka buruk. Niatnya yang tersembunyi
memang baik. Tapi aku yakin kau tidak akan menerimanya."
Rangga hanya tersenyum saja. Dia meminta Aki Lungkur untuk
pergi beristirahat. Laki-laki pengemis tua itu kembali ke luar setelah berpesan
macam-macam. Rangga hanya mengangguk dan mengiyakan saja. Dia tidak mau
berteletele melayani segala macam prasangka. Memang hatinya telah menduga, hal
apa yang akan dikatakan Aki Lungkur tadi.
Sepeninggal Aku Lungkur, Rangga kembali memandang ke arah
taman. Intan Kemuning masih duduk di sana memandang ke arahnya. Gadis itu
memang cantik. Tak ada orang di seluruh Kepatihan yang tidak tertarik pada
gadis ini.
Rangga sendiri
sebenamya juga tertarik.
Rangga melangkahkan kakinya ke
luar kamar. Matanya tajam mengawasi setiap tempat yang dilalui. Setiap sudut,
dua orang prajurit pasti ada di situ. Ketat sekali penjagaan di Kepatihan ini.
***
Intan Kemuning memandang Rangga yang melangkah
menghampirinya. Dia tidak beranjak dari duduknya. Sikapnya tetap anggun
meskipun selama beberapa hari ditempa dengan latihan-latihan keras oleh Saka
Lintang.
Jiwa kebangsawanannya tetap tidak
luntur.
"Boleh aku
duduk di sini?" tanya Rangga.
"Oh! Boleh,
boleh," sahut Intan Kemuning tergagap.
"Indah sekali taman ini," desah Rangga setelah
duduk di samping gadis itu.
"Ya,"
sahut Intan Kemuning.
'Tapi ada yang
lebih indah lagi untuk dipandang."
"Apa?"
"Wajahmu."
Seketika wajah Intan Kemuning menyemburat merah dadu.
Jantungnya jadi berdetak tidak beraturan. Pujian Rangga mengena di hatinya.
Rasa-nya dia ingin seribu kali mendengamya.
"Sepantasnya kau mendapatkan seorang pangeran yang
gagah dan tampan," kata Rangga.
"Adakah pangeran yang cocok untukku?" tanya Intan
Kemuning ingin menegaskan.
"Satu saat nanti, pasti ada seorang pangeran tampan dan
gagah menghampirimu."
"Kapan?"
"Satu saat nanti."
"Siapa pangeran itu?"
Rangga tidak
menjawab. Dia tersenyum saja.
Beberapa saat mereka terdiam saling tatap. Pelan-pelan Intan
Kemuning menundukkan kepalanya.
"Semoga aku yang menjadi pangeran itu, Intan,"
bisik Rangga dekat sekali dengan wajah Intan Kemuning.
"Oh.„," Intan
Kemuning tidak mampu berkata-kata lagi. Hatinya berbunga-bunga. Kedua lengannya
berkembang masuk ke dalam pelukan Rangga. Dan mereka memperketat
rangkulan-nya....
SELESAI
No comments:
Post a Comment